23
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif tidak menular yang kian meningkat jumlahnya (Suyono,2007). Data statistik WHO (2008) menyatakan bahwa penderita diabetes di Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000, menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan faktor resiko yaitu obesitas, kurang aktivitas fisik, merokok, dan hiperkolesterol (Yusharmen,2005). Pada tahun 2005 diketahui bahwa 1,1 juta jiwa meninggal akibat diabetes dan hampir 80% kematian dijumpai pada negara-negara berkembang terutama di usia 45-64 tahun (WHO,2008). Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik terjadinya hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Diebetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan 90% dari kasus DM yang ada dan mempunyai pola familial yang kuat (Mansjoer Arif, 2007). Angka kejadian dan prevalensi penyakit Diabetes Mellitus (DM), semakin lama semakin meningkat. Penderita DM mempunyai resiko dua sampai empat kali lebih tinggi dibanding populasi normal untuk timbulnya penyakit kardiovaskuler ataupun komplikasi mikro dan makro angiopati (Beckman,2002). Komplikasi tersebut sangat terkait dengan beratnya keadaan hiperglikemi yang ada dan ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan angka mortalitas yang mencapai 75% dari kematian akibat DM (Gutterman,2002). Hiperglikemia dan resistensi insulin merupakan faktor penting dari patomekanisme DM. Keadaan hiperglikemia pada DM akan berpengaruh pada peningkatan pembentukan AGEs dan ROS. Sedangkan peningkatan

Isi Revisi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Isi Revisi

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes merupakan salah satu penyakit degeneratif tidak menular yang kian meningkat jumlahnya (Suyono,2007). Data statistik WHO (2008) menyatakan bahwa penderita diabetes di Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000, menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan faktor resiko yaitu obesitas, kurang aktivitas fisik, merokok, dan hiperkolesterol (Yusharmen,2005). Pada tahun 2005 diketahui bahwa 1,1 juta jiwa meninggal akibat diabetes dan hampir 80% kematian dijumpai pada negara-negara berkembang terutama di usia 45-64 tahun (WHO,2008).

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik terjadinya hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Diebetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan 90% dari kasus DM yang ada dan mempunyai pola familial yang kuat (Mansjoer Arif, 2007).

Angka kejadian dan prevalensi penyakit Diabetes Mellitus (DM), semakin lama semakin meningkat. Penderita DM mempunyai resiko dua sampai empat kali lebih tinggi dibanding populasi normal untuk timbulnya penyakit kardiovaskuler ataupun komplikasi mikro dan makro angiopati (Beckman,2002). Komplikasi tersebut sangat terkait dengan beratnya keadaan hiperglikemi yang ada dan ikut bertanggung jawab terhadap peningkatan angka mortalitas yang mencapai 75% dari kematian akibat DM (Gutterman,2002).

Hiperglikemia dan resistensi insulin merupakan faktor penting dari patomekanisme DM. Keadaan hiperglikemia pada DM akan berpengaruh pada peningkatan pembentukan AGEs dan ROS. Sedangkan peningkatan produksi ROS akan menginduksi aktivasi NF-κB akibat pelepasan IκB. Resistensi insulin pada DM berpengaruh pada peningkatan kadar leptin dan penurunan adiponektin serum. Adanya Ob-R pada sel endothel menyebabkan induksi tidak langsung disfungsi endothel melalui aktivasi NF-κB akibat stimulasi MAPK. Peningkatan akivasi NF-κB baik akibat induksi leptin maupun ROS akan menyebabkan meningkatnya respon proinflamasi dan adhesion molecules yang bertindak dalam patomekanisme terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2 (Shutenko,2009).

Terapi akupuntur merupakan salah satu bagian dari pengobatan komplementer dan alternative telah dipercaya secara ilmiah sebagai komponen yang berguna pada praktek klinik di asia timur. Pada prakteknya, terapi akupuntur digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan mempertahankan kesehatan. WHO sudah mendata lebih dari 40 indikasi pengobatan untuk akupuntur dan National Institutes of Health telah menerima validitas dari pengobatan akupuntur. Penelitian yang dilakukah Sam-Woong Rho bahwa stimulasi akupuntur berpengaruh pada aktivitas seluler, ekspresi gen, dan aktivitas metabolisme. Studi fMRI lain pada hewan juga menunjukkan bahwa akupuntur dapat secara langsung meningkatkan aktivitas otak, khususnya pada daerah hipotalamus (HT) (Culliton,2007).

Page 2: Isi Revisi

2

Titik ST36 adalah titik akupuntur yang disebut Zusanli. Titik ini terdapat di kaki di bagian depan dan sedikit di bawah lutut yang biasa disebut Stomach Meridian Point #36 atau ST36. Pengobatan akupuntur pada titik ini diketahui memperbaiki gangguan pencernaan, anemia, kelelahan, dan kelemahan. Studi Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) menunjukkan bahwa akupuntur pada titik ST36 yang merupakan titik akupuntur utama pada kaki memodulasi aktivitas neural dari CNS manusia (Cho ZH, 2008).

"All things are poison and nothing is without poison, only the dose permits something not to be poisonous" Paracelsus (1493-1541). Pada penemuan terbaru Bee venom mengandung Melittin. Melittin sudah di buktikan dapat mensupresi NF-κB pada proliferasi vascular smooth muscle cell (VSCM) (S.S. Kang, 2002).

Oleh karena itu, tujuan dari gagasan tertulis ini adalah untuk mengetahui potensi dan penerapan kombinasi stimulasi akupuntur dengan Bee Venom pada titik ST36 sebagai penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner pada penderita DM Tipe 2.

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui bahwa kombinasi akupuntur dengan bee venom pada titik ST36 dapat menurunkan aktivasi NF-κB, ROS, dan MAPK pada penderita Diabtes Mellitus Tipe 2.

2. Mengetahui bahwa kombinasi Akupuntur dan injeksi toksin Bee Venom pada titik ST36 dapat mencegah komplikasi vaskuler pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.

3. Mengkaji aplikasi pengolahan,dosis konsumsi, cara dan batasan penggunaan kombinasi akupuntur dengan Bee Venom pada titik ST36 untuk mencegah komplikasi vaskuler pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.

C. Manfaat Penulisan

1. Dapat dijadikan sebagai dasar teori untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan tentang kegunaan akupuntur dan toksin Bee Venom dalam mencegah komplikasi vaskuler DM tipe 2.

2. Dapat dijadikan dasar ilmiah untuk mengungkapkan bukti ilmiah khasiat akupuntur dalam mengobati berbagai penyakit.

3. Dapat menjadi dasar dalam pengembangan pengobatan tradisional dengan penelitian ilmiah sebagai alternatif dari pengobatan konvensional.

GAGASAN

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi, Etiologi, dan klasifikasiDiabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan

klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan

Page 3: Isi Revisi

3

hiperglikemia (peningkatan glukosa darah) kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer Arif, 2007). Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam-macam dan akhirnya lebih mengarah pada insufisiensi insulin. Tetapi determinan genetik juga memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes mellitus (Price, 2006).

Menurut anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 1997, DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer Arif, 2007).

2. Patogenesis Diabetes MellitusKeadaan hiperglikemia akan menyebabkan peningkatan produksi radikal

bebas sehingga akan menyebabkan disfungsi endothel. Efek hiperglikemia pada sel endothel dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) produksi reactive oxigen intermediate, (2) aktivasi langsung pada protein kinase C, (3) aktivasi jalur aldose reductase yang menyebabkan akumulasi sorbitol dan menipisnya myo-inositol, (4) glikosidasi nonenzimatik pada long-live macromolecule. Oleh karena glikooksidasi protein dan lipid yang terjadi pada diabetes melitus adalah irreversible, maka hal ini menyebabkan disfungsi vaskuler jangkan panjnag. Pada awalnya, pemaparan gugus asam amino bebas terhadap gula tereduksi (misal, glukosa) menyebabkan pembentukan early glycation products, Schiff bases dan Amadori products yang keduanya bersifat reversible. Oksidasi lebih lanjut kedua produk tersebut membentuk AGEs (Advanced Glycosilated End producs) yang bersifat irreversible. AGEs berperan pada patofisiologi sel endothel karena dapat memodifikasi protein sehingga tidak berfungsi normal atau merusak komponen sel, jika AGEs berikatan dengan reseptor yang dikenali AGEs termasuk RAGE (receptor AGE) dan macrophage scavenging receptor (Van Acker, 2005).

3. Komplikasi Diabetes MellitusBila tidak dikelola dengan baik, DM akan meneyababkan terjadinya

berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Hiperglisolia kronik yang terjadi pada DM akan mengubah homeostasis biokimiawi dari sel yang meliputi beberapa jalur yaitu reduktase aldosteron, jalur stes oksidatif sitoplasmik, jalur peleotropik protein kinase C, dan terbentuknya spesies glikosilasi lanjut intaselular (Guyton dan Hall, 2004).

Komplikasi dari DM antara lain: 1) diabetes retinopati, pada diabetes retinopati proliferatif biasanya terjadi kehilangan sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu juga terjadi hambatan pada aliran pembuluh darah dan penyumbatan kapiler yang menyebabkan kelainan mikrovaskuler berupa lokus iskemik dan hipoksia lokal. Diabetes retinopati adalah faktor penting penyebab kebutaan pada usia kerja, prevalensi terjadinya retinopati pada pasien diabetes berkisar 60%; 2) diabetes nefropati, manifestasi klinis paling awal dari diabetes nefropati yang baru terjadi adalah perkembangan dari mikroalbuminuria yang bersifat persisten. Diabetes nefropati adalah faktor penyebab ESRD dan telah dilaporkan sebagai penyabab tingginya angka

Page 4: Isi Revisi

4

mortalitas dan morbiditas pada pasien diabetes (Guyton dan Hall, 2004). 3) aterosklerosis dan CHD, aterosklerosis akan bermanifestasi pada terjadinya CHD. Prevalensi terjadinya CHD pada DMT2 berkisar 70% dan merupakan penyebab kematian pada DMT2. Postpandrial hiperglikemia dapat menginduksi pembentukan AGEs dan ROS yang berperan pada terjadinya kelainan kardiovaskuler; 4) diabetes neuropati, Neuropati diabetik berhubungan denagn faktor risiko dari komplikasi vaskuler lain, seperti buruknnya kontrol metabolisme, dislipidemia, hipertensi, BMI, merokok, mikroalbuminuria, dan retionopati; 5) penyakit pembuluh darah perifer seperti kaki diabetes dan ulkus diabetes (Guyton dan Hall, 2004).

4. Resistensi Insulin DMT2Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino yang

dihasilkan oleh sel β pankreas. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis, glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa di hepar (Guyton dan Hall, 2004). Resistensi insulin dimulai sebelum onset DMT2 muncul. Kondisi itu terjadi pada saat gangguan toleransi glukosa muncul sebagai akibat kerusakan sel beta dan defisiensi insulin. Beberapa faktor berhubungan dengan perkembangan resistensi insulin pada individu dengan ganguan toleransi glukosa dan DMT2, antara lain genetik, pengaruh lingkungan, obesitas, dan kondisi lain yang terkait dengan inflamasi kronis atau infeksi.

Terjadinya resistensi insulin pada DMT2 juga menyebabkan peningkatan leptin dan menurunkan adiponektin serum. Leptin merupakan hormon yang diproduksi oleh jaringan adiposity dan berfungsi dalam regulasi intake makanan melalui inhibisi neuropeptida Y dan meningkatkan metabolisme basal terutama metabolisme lamak (Guyton dan Hall, 2004). Ob-R diekspresikan pada sel endothel, peningkatan produksi leptin pada DMT2 akan meningkatkan pula ikatan leptin dengan Ob-R. Leptin dapat menginduksi secara tidak langsung disfungsi endothel melalui NF-κB akibat stimulasi MAPK. MAPK selain menginduksi NF-κB juga menyebabkan peningkatan mitokondrial ROS akibat stres oksidatif yang menghasilkan oksigen radikal (Guyton dan Hall, 2004).

B. Solusi yang Pernah Ditawarkan atau Diterapkan Sebelumnya

Kerangka utama penatalaksanaan DM yaitu perencanan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik dan penyuluhan : 1. Perencanaan makan (meal planning)

Pada konsensus PERKENI telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang, berupa karbohidrat (60% - 70%), protein (10%-15%), dan lemak (20%-25%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Dalam perencanaan makan ini, dibutuhkan kedisiplinan dari penderita. Tanpa adanya kedisiplinan, penderita akan kesulitan dalam menangani penyakitnya.(Suyono, 2007). 2. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 – 4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Page 5: Isi Revisi

5

Endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, bersepeda, dan mendayung(Suyono, 2007). 3. Obat hipoglikemik

Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik. Walaupun mudah dipakai, penggunaan obat ini harus sesuai dosis atau berdasarkan petunjuk dokter, bila dosis terlalu rendah komplikasi kronis akan muncul lebih dini, sedangkan dosis yang berlebih atau cara pemakaian yang salah dapat menimbulkan hipoglikemia. (Suyono, 2007).

a. Obat hipoglikemik oral 1) Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara menstimulasi pelapasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.. Klorpropamid berbahaya untuk insufisiensi renal dan orang tua karena resiko hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga glibenklamid. (Suyono, 2007).

2) Biguanid Biguanid menurunkan kadar glukosa darah. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. (Suyono, 2007).

3) Inhibitor α glukosidaseObat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase untuk menurunkan penyerapan glukosa(Suyono, 2007).

b. InsulinPreparat insulin yang tersedia, antara lain :

1) Kerja pendek (Actrapid Human 40/humulin, Actrapid Human 100) 2) Kerja sedang (Monotard Human 100, Insulatard, NPH) 3) Kerja panjang (PZI) 4) Campuran kerja pendek dan sedang/panjang seperti Mixtard

(Suyono, 2007) Obat- obat hipoglikemik ini memiliki beberapa efek samping, contohnya

seperti efek samping pada saluran pencernaan yaitu rasa tak nyaman di perut, diare, rasa seperti logam di lidah, dan kembung.

C. Potensi Kombinasi Stimulasi Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik Akupuntur ST36 sebagai Pendekatan Preventif Komplikasi Vaskuler pada DMT2

1. AkupunturTerapi akupuntur merupakan salah satu bagian dari pengobatan

komplementer dan alternative telah dipercaya secara ilmiah sebagai komponen yang berguna pada praktek klinik di asia timur. Berdasarkan TCM (Traditional Chinese Medicine), energi vital yang disebut aliran Qi melalui meridian tubuh. Ketika aliran energy (Qi) mengalami obstruksi pada meridian, nyeri atau gejala akan muncul. Tujuan dari pengobatan akupuntur adalah membuka kembali meridian dan mengembalikan aliran dari qi (Culliton BJ, 2007). Pada prakteknya, terapi akupuntur digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan mempertahankan

Page 6: Isi Revisi

6

kesehatan. WHO sudah mendata lebih dari 40 indikasi pengobatan untuk akupuntur dan National Institutes of Health telah menerima validitas dari pengobatan akupuntur (Culliton BJ, 2007).

Teknik utama akupuntur melibatkan penetrasi kulit dari jarum padat tipis yang ditusukkan secara manual atau stimulasi elektrik. Studi dari akupuntur telah melaporkan jalur sinyal transmisi dari akupuntur pada saraf, efek melalui reflex spinalis, dan reaksi pada otak (Cho ZH, 2008). Disamping itu, mekanisme neural dari pengurangan nyeri telah jelas, anestesi dengan akupuntur melalui opioid endogen, seperti endorphin dan enkephalin (Chung SH, 2005).

Peningkatan aliran darah dari target organ dengan pengobatan akupuntur merupakan alasan utama dari efektifitas akupuntur (Niimi, 2005). Banyak proses seluler dan fisiologi diregulasi pada level transkripsi dari ekspresi gen. Identifikasi gen yang secara spesifik memodulasi selama proses akupuntur akan menjadi langkah awal untuk menjelaskan mekanisme dasar dari teknik ini (Chung SH, 2005). Mekanisme yang mungkin dari aksi akupuntur antara lain, aktivasi jalur system saraf otonom, sentral, dan perifer, pelepasan banyak neurochemichal, dan control inhibisi racun (Chung SH, 2005).

Studi eksperimental menunjukkan bahwa akupuntur memiliki efek sirkulasi dan biokimiawi dengan pelepasan transmitter dan peptide dari otak dan spinal cord. Secara fisiologi, akupuntur menstimulasi saraf aferen dari kulit dan otot (Chung SH, 2005). Pada tahun 1996, FDA mereklasifikasi jarum akupuntur dari alat medis eksperimental menjadi alat yang sejenis scalpel operasi, dan jarum suntik hipodermik. Baru-baru ini, consensus panel National Institutes of Health (NIH) menyatakan bahwa jarum akupuntur sebagai pengobatan efektif untuk nyeri gigi pascaoperasi dan pengobatan untuk nausea dan vomit yang disebabkan oleh anestesi, kemoterapi, dan kehamilan. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk membuktikan area tambahan dimana intervensi akupuntur berguna (Gongwang L, 2004).

a) Ketidakseimbangan Oksidan dan Antioksidan Akibat Hiperglikemi pada DMT2

Berdasarkan data yang terkumpul diketahui bahwa pada DMT2 resistensi insulin merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Selain itu, resistensi insulin juga menimbulkan peningkatan kadar leptin pada plasma. Adanya Ob-R pada endothel pembuluh darah, secara langsung akan meningkatkan ikatan antara leptin dan Ob-R yang mampu mengaktivasi MAPK. Dalam proses selanjunya aktivasi ini akan menyebabkan peningkatan ROS di mitokondria.

Keadaan hiperglikemia juga menginduksi pembentukan ROS di mitokondria dan memicu oksidasi glukosa. Terjadinya peningkatan glikosilasi protein pada DMT2 bersama dengan oksidasi glukosa secara bersama-sama akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard (glication). Dalam reaksi ini glukosa dan protein akan saling melekat tanpa bantuan enzimatik dan menghasilkan amodory product (1-amino, 1-deoksi, 2-ketose) sebagai produk utama pembentuk AGEs. Menurunnya konsentrasi glukosa akan melepaskan ikatan glukosa dari asam amino yang diikatnya. Sedangkan tingginya konsentrasi glukosa akan memberikan efek sebaliknya. AGEs merupakan produk yang bersifat irreversibel. Produksi AGEs

Page 7: Isi Revisi

7

yang meningkat pada DMT2 meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada DMT2.

Karakteristik dari AGEs adalah kemampuannya membentuk ikatan kovalen antar protein, yang berakibat pada berubahnya struktur dan fungsi protein, seperti pada matriks seluler, membran dasar, dan komponen dinding pembuluh darah. Disamping itu, AGEs memiliki interaksi dengan cell-surface AGE-binding receptors yang berakibat pada aktivasi molekul – molekul proinflamasi dan radikal bebas. AGEs selanjunya akan memfasilitasi pembentukan ROS melalui perubahan struktural dan fungsi protein dari membran sel maupun pembuluh darah. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan saling mempengaruhi antara produk glikasi lanjut dengan pembentukan ROS, begitu pula sebaliknya.

Glukosa yang tinggi dalam plasma akan direduksi oleh aldose reductase (AR) menjadi sorbitol. Sorbitol selanjutnya dioksidasi menjadi fruktosa dengan mereduksi NAD+ menjadi NADH oleh sorbitol dehidrogenase (SDH). Peningkatan aktivasi jalur ini menyebabkan meningkatnya turn over NADPH, diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP+. Hal ini sangat penting karena NADPH sitosoloik juga berperan sebagai defense antioksidan. Penurunan availability dari NADPH sitosolik berpengaruh pada penurunan aktivitas glutathione reductase (GRD). Akibatnya terjadi kompetisi antara AR dengan GRD yang memicu deplesi GSH, sehingga menurunkan aktivitas antioksidan endogen dan meningkatkan produksi okigen radikal.

Resistensi insulin maupun keadaan hiperglikemia pada DMT2 pada dasarnya bersama-sama meningkatkan produksi ROS. ROS yang berlebih dalam tubuh menimbulkan ketidakseimbangan antara oksidan den pertahanan antioksidan endogen. Akibatnya ROS akan menyerang membran lipid, protein maupun DNA yang mengarah pada kerusakan sel dan jaringan di dalam tubuh.

b) Komplikasi Vaskuler Sebagai Akibat Ketidakseimbangan Oksidan dan Antioksidan pada DMT2

Efek nagatif dari ROS tidak berakhir sampai disitu, ROS bersama-sama dengan MAPK juga berperan sebagai stimulus pengaktivasi IKK yang memicu fosforilasi subunit IκB dari kompleks NF-κB p50/p65 heterodimer melalui ubiquitin-proteosome system. Akibatnya, terjadi degradasi subunit IκB oleh proteosome dan terjadi aktivasi NF-κB. NF-κB yang aktif dengan mudah akan melakukan translokasi dari sitoplasma ke nukleus. Di dalam nukleus NF-κB akan berikatan dengan κB-binding site pada promoter gen target dan menginduksi terjadinya transkripsi menjadi mRNA yang selanjutnya meningkatkan ekspresi faktor-faktor inflamasi dan molekul adhesi, seperti TNF-α, TNF- β, ICAM-1, VCAM, MCP-1, dll.

Peningkatan regulasi terhadap faktor inflamasi dan molekul adhesi akibat peningkatan aktivitas NF-κB berhubungan dengan disfungsi endothel dan proses terjadinya inflamasi. Kerusakan endothel menyababkan terjadinya aterosklerosis. Ini disebabakan karena endothel yang terlepas dalam sirkulasi akan bergabung dengan platelet dan makrofag akibat stimulasi molekul adhesi dan memicu terjadinya trombosis. Keadaan yang demikian meningkatkan risiko terjadinya CHD sebagai komplikasi utama penyebab kematian pada DMT2.c) Peningkatan Antioksidan dan Penurunan Radikal Bebas Akibat Akupuntur

pada Titik ST36

Page 8: Isi Revisi

8

Studi melalui functional magnetic resonance imaging (fMRI) menunjukkan bahwa akupuntur pada ST36 mampu mengubah aktivitas transkripsi dan memodulasi aktivitas neural dari CNS manusia. Studi fMRI pada hewan juga menunjukkan bahwa akupuntur secara langsung meningkatkan aktivitas otak, terutama pada bagian hipotalamus. Penemuan ini menunjukkan bahwa akupuntur memodulasi berbagai fungsi otak pada hipotalamus, yang mana hipotalamus merupakan pusat control nyeri desenden dan modulasi endokrin terhadap imunitas.

Penelitian Liu et al dengan pengobatan akupuntur terhadap otak tikus menunjukkan bahwa stimulasi akupuntur meningkatkan aktivitas superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx), serta menurunkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) pada hippocampus. Peningkatan aktivitas SOD pada HT sesuai dengan peningkatan regulasi transkripsi gen SOD1. Untuk memastikan bahwa stimulasi akupuntur benar-benar menurunkan produksi ROS Liu et al mengukur ROS pada LV. Ternyata ROS mengalami penurunan secara signifikan dengan stimulasi akupuntur pada titik ST36, yaitu sebesar 28,2% dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun ternyata stimulasi akupuntur di luar titik ST36 tidak mengakibatkan penurunan ROS. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa stimulasi akupuntur pada titik sembarang di tubuh tidak mengakibatkan efek yang sama dibandingkan stimulasi pada titik spesifik ST36.

d) Perubahan Mikrosirkulasi Sebagai Efek AkupunturStimulasi akupuntur dilaporkan mampu meningkatkan mikrosirkulasi.

Stimulasi akupuntur secara langsung mampu meningkatkan diameter dan kecepatan aliran darah pada arteriol perifer yang diakibatkan oleh stimulasi fisik, sehingga dapat berperan sebagai pengobatan suportif untuk penyakit yang berkaitan dengan rendahnya aliran darah perifer.

Gambar 1. Perubahan diameter arteriol (Makiko K, 2009).

Pada gambar 4.3 diameter arteriol meningkat secarasignifikan pada akupuntur, yaitu 131%±14%, Diameter arteriol mencapai nilai maksimal pada 20 menit setelah stimulasi akupuntur berakhir.

Page 9: Isi Revisi

9

Gambar 2. Perubahan kecepatan aliran darah (Makiko K, 2009)

Pada gambar 4.4 kecepatan aliran darah meningkat secara signifikan menjadi 131%±14% dan 220%±66% pada akupuntur. Kecepatan aliran darah memperlihatkan kecenderungan perubahan yang sama seperti perubahan diameter arteriol. Studi ini menunjukkan bahwa aliran darah arteriol mulai meningkat setelah 10 menit akupuntur dimulai, meningkat secara maksimal setelah 20 menit akupuntur berakhir, dan Efek akupuntur bertahan 40 – 50 menit setelah stimulasi berakhir.

Sudah banyak penelitian yang membuktikan efek akupuntur pada perubahan aliran dan pembuluh darah, antara lain: Boutouyrie et al memperlihatkan bahwa stimulasi akupuntur menyebabkan vasodilatasi dari arteri radialis. Hsieh et al menemukan bahwa aliran darah dari hipotalamus, midbrain, dan cerebellum meningkat setelah stimulasi akupuntur. Uchida et al. juga menunjukan bahwa stimulasi akupuntur meningkatkan aliran darah serebrum yang diukur dengan menggunakan flowmeter laser Doppler pada tikus yang dianestesi (Uchida S, 2005).

Loaize et al melaporkan bahwa diameter arteriol pada kapsul sendi lutut meningkat sekitar 25% setelah stimulasi akupuntur pada otot quadriceps tikus yang dianestesi Untuk memeriksan mekanisme dari vasodilatasi, dia mempelajari efek NO yang merupakan vasodilator yang dilepaskan dari sel endotel dan saraf. Ternyata vasodilatasi tidak terjadi setelah pmberian inhibitor NO, yaitu L-NAME (N-nitro-l-arginine). Penelitian ini mengindikasikan Nitric Oxide berperan pada vasodilatasi yang disebabkan oleh stimulasi akupuntur. Tsuchiya et al mempelajari efek akupuntur terhadap kadar NO. Kadar NO pada plasma dari lengan yang diberi akupuntur secara signifikan meningkat pada menit ke-5 dan ke-60 setalah akupuntur. Aliran darah dari Jaringan subkutan palmar pada lengan yang mengalami akupuntur juga meningkat. Berbagai bukti penelitian tersebut merupakan indikasi yang kuat bahwa akupuntur mampu memperbaiki fungsi vaskuler.

2. Bee VenomPengobatan bee venom (BV) sebagai suatu pengobatan oriental sudah

digunakan bertahun-tahun lalu untuk mengobati penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis (RA), suatu penyakit autoimun yang belum diketahui penyebabnya. Pada penelitian yang dilakukan baru-baru ini, kadar sitokin proinflamasi TNF-α memiliki kadar yang lebih rendah pada kelompok BV

Page 10: Isi Revisi

10

dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pengobatan dengan BV bisa digunakan untuk menghambat penyakit jantung koroner (Lariviere WR, 2002). Pada beberapa tahun sebelumnya, dilaporkan bahwa injeksi suatu larutan yang mengandung BV pada kaki tikus, menunjukkan ekspresi yang khas persistent spontaneous nociception (PSN) dan hipersensitivitas inflamasi yang mencerminkan status nyeri patologik (Lariviere WR, 2002) .

Capsaicin-sensitive primary afferents (CSPA) menunjukkan peranannya sebagai BV dalam menginduksi PSN yang berlangsung lebih dari 1 jam. sebaik hypersensitivity mekanis atau termal yang mana berlangsung 3-4 hari. Meskipun begitu BV juga dipercaya memproduksi anti nyeri ketika di tusukkan ke poin akupuntur atau bagian yang sakit, baik di hewan atau studi klinis.

BV tersusun dari banyak agen kimia diantaranya polipeptida (melittin, apamin, mast cell degranulating peptide (MCDP), etc.), enzim-enzim (hyaluronidase, phospholipase A2 (PLA2), etc.), amin (histamine, dopamine, etc.) dan lainnya (Tu AT, 2007).

a) Mekanisme Bee Venom dalam Mensupresi NF-κB pada DMT2NF-κB memicu transkripsi gen yang berhubungan dengan aterosklerosis

(VCAM-1, MCP-1, Tumor Necrosis Factor (TNF), Metaloproteinase Matriks (MMP) -9 dan faktor jaringan procoagulant). Serangkaian kejadian ini menyebabkan akumulasi makrofag pada dinding arteri yang yang kemudian akan membentuk foam cell. Di sisi lain NF-κB juga meningkatakan enzim-enzim inflamasi yang juga berperan pada proses pembentukan plak aterosklerosis.

Bee venom mengandung zat yang bernama melittin. Melittin sudah di buktikan dapat mensupresi NF-κB pada proliferasi vascular smooth muscle cell (VSCM). Dengan adanya supresi NF-κB maka secara otomatis ekspresi molekul adhesi dan ekspresi enzim inflamasi pun akan terhambat. Dengan demikian akan mencegah terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2.

3. Mekanisme Kerja Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik ST36 (Zusanli) dalam Mencegah Komplikas Vaskuler pada DMT2.

Pada DMT2 yang menjadi fokus permasalahan dalam terjadinya komplikasi vaskuler adalah ROS. ROS bekerja sebagai sebagai perusak membran lipid sel, protein, maupun DNA. Diketahui bahwa, kombinasi akupuntur dan bee venom pada titik akupuntur ST36 mampu mengakibatkan perubahan ekspresi gen di hipotalamus dan perubahan aktivitas enzim antioksidatif. Titik ST36 atau titik Zusanli terletak pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci disebelah lateral anterior crest dari tibia. Bee venom akupuntur pada titik ST36 mampu meningkatkan aktivitas superoxide dismutase, Glutatione Peroxidase, dan menurunkan ROS. Apabila induksi akupuntur dengan bee venom telah menghambat peningkatan ROS pada DMT2, maka diduga bahwa terjadinya kerusakan protein dan DNA dapat dihambat. Tidak hanya itu, dengan dihambatnya ROS melalui bee venom akupuntur, pembentukan AGEs juga akan dapat ditekan sehingga dapat menurunkan amplifikasi pembentukan ROS oleh AGEs.

Adanya hambatan terhadap ROS oleh akupuntur menyebabkan turunya aktivitas ROS dalam menstimulasi IKK, dengan demikian aktivasi NF-κB dapat ditekan. Bee venom akupuntur tidak hanya mampu mengahambat ROS, namun

Page 11: Isi Revisi

11

juga mampu menghambat aktivitas MAPK dan NF-κB secara langsung, sehingga kerja akupuntur menjadi lebih kompleks yaitu pada radikal bebas yang terbentuk pada DMT2 dan secara genomik. Dengan hambatan pada ROS, MAPK, dan NF-κB maka aktivitas NF-κB pada gen target akan mengalami down-regulation dalam menghasilkan enzim inflamasi, molekul adhesi, sitokin, maupun kemokin yang berperan terhadap disfungsi endothel dan komplikasi vaskuler.

Gambar 4.6 Skema usulan analisis potensi bee venom akupuntur

Gambar 3. Skema Usulan Analisis Potensi Bee Venom Akupuntur sebagai Preventif Komplikasi Vaskuler pada DMT2 Melalui Kajian Biomolekuler

Amadory products

Glucose autoxidation antioxidant

defend

Schiff Base

Polyol pathway

ROS

Hiperglikemia

Protein glycosylation

Leptin plasma

MAPK

IκB

IKK

ekspresi molekul adhesi ekspresi inflamatory enzymes

Komplikasi Vaskuler

IRS

INSULI

NFκB

RAGE

INSULIN RESEPTOR

OB-R

AG

κB-binding site

BEE VENOM + AKUPUNTUR

Page 12: Isi Revisi

12

D. Pihak-Pihak yang Dipertimbangkan dapat Membantu Implementasi Gagasan

Untuk mengembangkan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom sebagai salah satu pilihan terapi preventif terhadap komplikasi vaskuler pada DMT2, diperlukan kerjasama dari berbagai macam pihak, diantaranya yaitu :

1. Pengusaha Lebah, yaitu pihak yang nantinya dapat mempermudah untuk mendapatkan Bee Venom

2. Penerapi akupuntur, yaitu pihak yang berperan dalam mengaplikasikan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom

3. Tenaga Kesehatan, yang nantinya berperan penting pada sosialisasi penggunaan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom sebagai terapi preventif terhadap komplikasi vaskuler pada DMT2.

4. Pasien, merupakan mata rantai terakhir, karena pada akhirnya pasien yang menjadi target utama penggunaan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee venom, maka diperlukan kerjasama dari pasien DMT2 itu sendiri, sehingga pasien mau melakukan terapi kombinasi akupuntur dengan Bee Venom.

E. Teknik Implementasi Penggunaan Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik Akupuntur ST36 sebagai Preventif Komplikasi Vaskuler pada Diabetes Mellitus Tipe II

1. Pengolahan Bee VenomLangkah pertama yang harus dilakukan adalah melepaskan Bee Venom

dari lebah. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melepaskan Bee Venom, salah satunya dengan menyetrum lebah. Hal ini dimaksudkan agar lebah merasa terancam dan selanjutnya lebah akan mengeluarkan Bee Venom. Setelah lebah mengeluarkan Bee Venom, selanjutnya adalah tahap pengolahan Bee Venom. Sekitar 200 mg Bee Venom mentah dilarutkan pada 0,01 M larutan asam asetat, lalu dilakukan sentrifigasi pada 10.000 r.p.m. selama 5 menit pada suhu 4 °C. Endapan dari sentrifugasi tidak digunakan, sedangkan yang dimanfaatkan adalah supernatant.

2. Dosis Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee VenomDosis kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom mengacu pada dosis

pada penelitian Y-N Chen (2006). Dosis sengatan pada dasarnya selain bergantung pada ketahanan tubuh pasien terhadap Bee Venom, juga tergantung kondisi dan keparahan dari DMT2 yang diderita. Secara umum, dosis yang dibutuhkan adalah 0,1 ml Bee Venom yang ditusukkan dengan metode akupuntur pada titik ST36 yang terdapat pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci disebelah lateral anterior crest dari tibia. Hal ini dilakukan 2 kali seminggu, dengan total 5 kali.

3. Cara Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee VenomJarum akupuntur yang akan digunakan berbeda dengan jarum akupuntur

yang biasa dipakai. Jarum akupuntur ini dimodifikasi sehingga pada jarum ini di dapatkan lubang khusus yang ditujukan sebagai tempat Bee Venom, sehingga Bee

Page 13: Isi Revisi

13

Venom bisa masuk ke dalam kulit bersamaan dengan ketika jarum ditusukkan ke kulit pasien. Sebelum jarum akupuntur ditusukkan, sebaiknya diberikan antiseptik di permukaan kulit pasien yang akan di tusuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada pasien.

4. Batasan Penggunaan Kombinasi Akupuntur dengan Bee VenomTerdapat kondisi-kondisi tertentu di mana terapi kombinasi akupuntur dan

Bee Venom tidak dapat dilakukan, yaitu pada pasien yang mempunyai riwayat hiperalergi atau menderita komplikasi penyakit jantung kronis dan lever. Selain itu, pasien yang berusia di bawah 8 tahun sebaiknya tidak melakukan terapi kombinasi ini, hal ini dilakukan untuk menghindari pasien yang belum tahan terhadap sengatan lebah. Setelah diberi terapi, pasien dianjurkan untuk tidak minum obat-obatan apotek pada hari itu.

KESIMPULAN

Melalui metode studi pustaka dan pengumpulan data, maka didapatkan bahwa kombinasi akupuntur dengan Bee Venom di titik ST36 dapat digunakan untuk mencegah komplikasi vaskuler pada DMT2. Pada DM, hiperglikemia dan resistensi insulin merupakan faktor penting dari patomekanisme. Keadaan hiperglikemia pada DM akan berpengaruh pada peningkatan pembentukan AGEs dan ROS. Sedangkan peningkatan produksi ROS akan menginduksi aktivasi NF-κB. Resistensi insulin pada DM berpengaruh pada disfungsi endothel melalui aktivasi NF-κB. Peningkatan akivasi NF-κB akan menyebabkan meningkatnya respon proinflamasi dan adhesion molecules yang bertindak dalam patomekanisme terjadinya komplikasi vaskuler pada DMT2.

Pada DMT2 yang menjadi fokus permasalahan dalam terjadinya komplikasi vaskuler adalah ROS. Diketahui bahwa, kombinasi akupuntur dan bee venom pada titik akupuntur ST36 mampu mengakibatkan perubahan ekspresi gen di hipotalamus dan perubahan aktivitas enzim antioksidatif. Bee venom akupuntur pada titik ST36 mampu meningkatkan aktivitas superoxide dismutase, Glutatione Peroxidase, dan menurunkan ROS. Apabila induksi akupuntur dengan bee venom telah menghambat peningkatan ROS pada DMT2, maka diduga bahwa terjadinya kerusakan protein dan DNA dapat dihambat. Dengan dihambatnya ROS melalui bee venom akupuntur. pembentukan AGEs juga akan dapat ditekan. Adanya hambatan terhadap ROS oleh akupuntur menyebabkan aktivasi NF-κB dapat ditekan. Bee venom akupuntur juga mampu menghambat aktivitas MAPK dan NF-κB secara langsung, sehingga kerja akupuntur menjadi lebih kompleks yaitu pada radikal bebas yang terbentuk pada DMT2 dan secara genomik. Dengan hambatan pada ROS, MAPK, dan NF-κB maka aktivitas NF-κB pada gen target akan mengalami down-regulation dalam menghasilkan enzim inflamasi, molekul adhesi, sitokin, maupun kemokin yang berperan terhadap disfungsi endothel dan komplikasi vaskuler.

Teknik kombinasi akupuntur Bee Venom untuk mencegah komplikasi vaskuler pada DMT2 dilakukan dengan menggunakan jarum akupuntur yang telah dimodifikasi. Pada jarum akupuntur diberikan lubang khusus sebagai tempat masuknya Bee Venom sehingga pada waktu jarum ditusukkan, Bee Venom juga

Page 14: Isi Revisi

Komplikasi vaskuler

ROS

NF-κB

Hiperglikemia

Diabetes Mellitus Tipe 2

Resistensi insulin

Leptin

AGEs

Titik ST36 (Zusanli)

Akupuntur Bee Venom

14

dapat masuk ke dalam kulit. Dosis yang dibutuhkan 0,1 ml Bee Venom yang ditusukkan dengan metode akupuntur pada titik akupuntur ST36 yang terdapat pada 3 inci di bawah tepi inferior patella dan 1 inci disebelah lateral anterior crest dari tibia. Metode ini dilakukan 2 kali seminggu, dengan total 5 kali.

Terapi kombinasi akupuntur dan Bee Venom tidak dapat dilakukan yaitu pada pasien yang mempunyai riwayat hiperalergi atau menderita komplikasi penyakit jantung kronis dan lever. Selain itu, pasien yang berusia di bawah 8 tahun sebaiknya tidak melakukan terapi kombinasi ini, hal ini dilakukan untuk menghindari pasien yang belum tahan terhadap sengatan lebah.

Gambar 4. Mekanisme dan Implementasi dari Kombinasi Akupuntur dengan Bee Venom pada Titik ST36

Manfaat dan dampak yang diperoleh dari gagasan ini antara lain dapat menurunkan angka kejadian komplikasi vaskuler pada DMT2 di Indonesia, selain itu, dari segi ekonomi gagasan ini bermanfaat dalam menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan bagi penduduk yang bekerja pada bidang peternakan lebah di Indonesia dan juga meningkatkan nilai jual dari lebah dengan memanfaatkan pula Bee Venomnya untuk dijadikan bahan terapi kombinasi dengan akupuntur.

DAFTAR PUSTAKABeckman JA, Creager MA, Libby P. Diabetes and atherosclerosis: epidemiology,

pathophysiology, and management. JAMA, 287:2570-81, 2002Boutouyrie P, Corvisier R, Azizi M, Lemoine D, Laloux B, Hallouin M-H,

Laurent S. Effects of acupuncture on radial artery hemodynamics: controlled trials in sensitized and naïve subjects. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2001;280:H628–H633

Batasan Penggunaan

Dosis Cara Penggunaan

Cara Pengolahan

Cara Pengolahan Dosis Cara Penggunaan Batasan Penggunaan

Mencegah Komplikasi Vaskuler

Page 15: Isi Revisi

15

Chung SH, Dickenson A. Pain, enkephalin and acupuncture. Nature 283: 243-244, 2005.

Culliton BJ. Neuroimmunie basis of acupuncture. Nat Med 3: 1307, 2007.Gongwang L, Hyodo A. Fundamentals of Acpuncture and Moxibustion. Tianjin,

China: Tianjin Science and Technology Translation and Publishing Corp., 2004.

Gutterman D. Vascular dysfunction in hyperglycemia. Is Protein Kinase-C the culprit. Circ Res. 90:5-7, 2002

Guyton dan Hall. 2004. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGCLariviere WR, Melzack R. 2006. The bee venom test: a new tonic-pain test. Pain

66:271–277.Lee JH, Kwon YB, Han HJ, Mar WC, Lee HJ, Yang IS, Beitz AJ, Kang SK.

2001. Bee venom pretreatment has both an antinociceptive and anti-inflammatory effect on carrageenan-induced inflammation.J Vet Med Sci 63:251–259.

Makiko Komori, Katsumi Takada. Microcirculatory Responses to Acupuncture Stimulation and Phototherapy.Anesth Analg 2009;104:308–11

Mansjoer, Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

Price, S.A. and Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (Volume 2 Edisi 6). Jakarta : EGC.

Shutenko Z, Henry Y, Pinard E, et al. 2009. Influence of antioxidant quercetin in vivo on the level of nitric oxide determined by electron paramagnetic resonance in rat brain during global ischemia and reperfusion. Biochem Pharmacol;57:199-208.

Suyono, Slamet. (2007). “Patofisiologi Diabetes Melitus” dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tu AT. 2007. Venoms: Chemistry and molecular biology. Toronto: John Wiley.Uchida S, Kagitani F, Suzuki A, Aikawa Y. Effect of acupuncture-like stimulation

on cortical cerebral blood flow in anesthetized rats. Jpn J Physiol 50: 495-507, 2000. Acupuncture. NIH Consensus Statement 15: 1-34, 2007.

Van Acker SA, Tromp MN, Haenen GR, etal. 2005. Flavonoids as scavengers of nitric oxide radical. Biochem Biophys Res Commun ;214:755-9.

WHO. 2008. Diabetes. (Online) (http://www.who.int/diabetes/facts/ world_figures/en/, diakses 18 September 2010)

Yusharmen, I Nyoman Kandun, Hariadi Wibisono, Endang R Sedyaningsih, Widarso. 2005. New England Journal of Medicine, 355(21) : 2186-94.