Upload
raymond-pierce
View
165
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Isolasi dan Uji Kualitatif
Mikroba Penghasil Selulosa dari Tanah Dekat Area Pengrajenan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroba adalah makhluk yang mempunyai ukuran sangat kecil dan
tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Klasifikasi mikroba meliputi bakteri,
virus, protozoa, alga, dan fungi. Mikroba mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia. Salah satu produk metabilsme dari bakteri adalah enzim.
Enzim yang dihasilkan antara lain enzim amilase, selulase, protease dan
lipase. Enzim yang dihasilkan tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Seperti selulase yang bermanfaat dalam industri kertas, makanan dan
minuman, industri detergen dan industri ternak dan pertanian. Selulosa dapat
dihasilkan oleh fungi dan bakteri. Fungi penghasil selulosa antara lain genus
Tricoderma (Tricoderma viride), Aspergillus (Aspergillus oryzae dan
Aspergillus niger) dan Penicillium. Sedangkan bakteri pengahasil selulosa
antara lain Bacillus, Cellulomonas, Micrococcus, Cellevebrio,
Sporosphytopagha. Bakteri penghasil sesulosa disebut dengan bakteri
selulotik. Bakteri selulotik adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk
menguraikan selulosa menjadi monomer glukosa dan menjadikannya sebagai
sumber karbon dan energi. Pemanfaatan bakteri selulitik yaitu sebagai
penghasil enzim selulase yang digunakan untuk menghidrolisis selulosa.
Selulosa adalah karbohidrat berpolimer berantai lurus bebentuk seperti
serabut, liat, tidak larut dalam air dan ditemukan dalam dinding sel pelindung
tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan dan semua bagian berkayu
jaringan tumbuhan dan pada tanah dekat area penggrajenan. Enzim yang
dihasilkan adalah enzim selulase yang mempunyai banyak manfaat. Indonesia
masih menggantungkan dirinya pada negara asing dalam produki enzim
selulase dan harganya pun tidak murah. Oleh karena itu penelitian pada kali
ini bertujuan untuk mengisolasi bakteri selulosa yang mana dapat
menghasilkan enzim selulase sehingga dapat memproduksi selulase sendiri
dengan harga yang jauh lebih murah. Teknik isolasi yang digunakan dari
daerah tanah dekat area penggrajenan karena area tersebut mudah ditemukan
dan dalam pengambilan samplenya tidak sulit.
2.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari study lapangan kali ini adalah:
1. Bagaimana cara mengisolasi mikroba penghasil selulosa dari tanah dekat area
penggrajenan (serbuk kayu bekas)?
2. Bagaimana cara uji kualitatif mikroba penghasil selulosa dari tanah dekat area
penggrajenan (serbuk kayu bekas)?
1.2 Tujuan
Tujuan dari study lapangan kali ini adalah:
1. Mengetahui cara mengisolasi mikroba penghasil selulosa dari tanah dekat area
penggrajenan (serbuk kayu bekas).
2. Mengetahui cara uji kualitatif mikroba penghasil selulosa dari tanah dekat
area penggrajenan (serbuk kayu bekas).
1.3 Manfaat
Manfaat dari study lapangan kali ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai cara mengisolasi mikroba penghasil
selulosa dari tanah dekat area penggrajenan (serbuk kayu bekas).
2. Memberikan informasi mengenai cara uji kualitatif mikroba penghasil
selulosa dari tanah dekat area penggrajenan (serbuk kayu bekas).
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Selulolitik dan Enzim Selulosa
Bakteri selulolitik adalah bakteri yang mampu menghidrolisis kompleks
selulosa menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa.
Glukosa tersebut digunakan sebagai sumber karbon dan sumber nutrisi bagi
pertumbuhan organisme ini. Bakteri selulolitik mensintesis seperangkat enzim yang
mampu menghidrolisis selulosa. Enzim tersebut adalah kompleks selulase. Enzim ini
disintesis oleh mikroba selama tumbuh dalam media selulosa (Ibrahim &
Eldiwan,2007).
Mikroba yang mampu mendegradasi selulosa kristal dapat mensekresikan
kompleks selulase (Shimada et al. 1994). Selulase dihasilkan sebagai respon terhadap
adanya selulosa pada lingkungannya. Proses ini berlangsung apabila terjadi kontak
langsung antara sel bakteri dan permukaan selulosa (Busto et al. 1995). Kemampuan
biosintesis selulase dimiliki oleh banyak mikroba (Raza & shafiq-Ur-Rehman 2008).
Mikroba penghasil selulase secara ekstraseluler tersebar pada kapang dan bakteri.
Meskipun bakteri selulolitik memiliki sistem metabolisme yang berbeda dengan
kapang dan sedikit sekali data tentang bakteri penghasil enzim ini, akan tetapi,
umumnya diasumsikan memiliki tingkah laku yang sama (Fikrinda 2000). Mikroba
selulolitik dari kelompok bakteri memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat sehingga
waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi selulase menjadi lebih pendek. Selain
itu, tingkat variasi genetik kelompok bakteri sangat beragam sehingga
memungkinkan dilakukan rekayasa genetik untuk optimasi produksi maupun aktivitas
selulasenya (Alam et al. 2004). Setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks
enzim yang berdeda-beda, tergantung dari gen yang dimiliki dan sumber karbon yang
digunakan. Selain itu, jumlah dan komponen selulase yang dihasilkan dipengaruhi
oleh jenis substrat, konsentrasi substrat, dan suhu (Aguiar 2001).
Gambar1.1 Enzim selulase
Beberapa mikroba, misalnya fungi, yeast, bakteri, dan kelompok
actinomycetes memiliki kemamapuan selulolitik dan mampu mengubahnya menjadi
gula yang sama (glukosa). Proses dekomposisi selulosa memerlukan suatu enzim
yang komplek disebut dengan selulase. Terdapat tiga tipe dari aktivitas enzim ini
pada bakteri. Komponen dari sistem selulase pertama diklasifikasikan berdasarkan
pada model aksi katalitiknya dan saat sekarang diklasifikasikan berdasarkan sifat
strukturalnya. Tiga tipe utama dari aktivitas enzimatik yang ditemukan; (1)
Endoglucanase atau 1,4-B-D-glucanase, termasuk 1,4-B-D-glucan-4-glucano-
hydrolase (EC 3.2.1.4), (2) exoglucanase, termasuk 1,4-B-D-glucan glucanohydrolase
(juga dikenal sebagai cellodextrinase) (EC 3.2.1.74) dan 1,4-B-D-glucan
cellobiohydrolase) (cellobiohydrolase) (EC 3.2.1.91), dan (3) B-glucosidase atau B-
glucosida glucohydrolase (EC. 3.2.1.21). Endoklukanse memotong secra acak pada
tempat internal tidak beraturan dari rantai polisakarida selulosa sehingga
menghasilkan oligosakarida dengan berbagai macam panjang dan selanjutnya ujung
rantai baru. Exoglukanase bertindak untuk proses reduksi atau ujung reduksi dari
rantai polisakarida selulosa sehingga membebaskan baik glukosa (glukanohydrolase)
atau selebiosa (selebiohidrolase) sebagi produk utama. Exoglukanase dapat berperan
pada mikrokristal selulosa dengan melepaskan rantai selulosa dari struktur mikro
kristal B-Glukosidase menjadi cellodextrin dan selebiosa untuk dirubah menjadi
glukosa (persson et al., 1991; Lynd et al., 2001).
Selulosa adalah senyawa organik yang paling melimpah di alam. Ada dua tipe
dasar selulosa yang terdapat di alam, yaitu pektoselulosa dan lignoselulosa. Contoh
pektoselulosa seperti rami yang mengandung 80% selulosa dan contoh lignoselulosa
yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sebagai senyawa utama penyusun
dinding sel tanaman, selulosa mencakup sekitar 30% dari keseluruhan material
tumbuhan (90% dari kapas dan 50% dari kayu merupakan selulosa)(Bob, 2012).
Pemanfaatan selulosa telah dilakukan di berbagai bidang, diantaranya untuk
produksi kertas, fiber, dan senyawa kimia turunannya untuk industri plastik, film
fotografi, rayon, dan lainnya. Produk hidrolisis selulosa yaitu gula (glukosa) juga
merupakan senyawa yang vital dalam industri bioproses. Oleh karena itu penggunaan
selulosa sebagai sumber glukosa, di samping sebagai sumber energi terbarukan yang
murah dan melimpah untuk berbagai keperluan semakin berkembang. Hidrolisis
selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat maupun enzim
selulase.Hewan herbivora dapat menggunakan selulosa sebagai bahan makanan
karena memiliki rumen mikroflora untuk menghasilkan enzim selulase. Rumen
mikroflora merupakan komunitas dari berbagai jenis mikroorganisme yang hidup di
dalam perut hewan herbivora tersebut (Bob, 2013).
2.1.1 Kapang Aspergillus
Aspergillus sp., seperti Penicillium sp., berasal dari ordo yang sama yaitu
Hypomycetes. Aspergillus sp. membentuk badan spora yang disebut konidium
dengan tangkainya konidiofor. Aspergillus sp. memiliki ciri khas yaitu memiliki
sterigma primer dan sterigma sekunder karena phialidesnya bercabang 2 kali. Salah
satu contoh jamur ini adalah Aspergillus orizae yang digunakan untuk pembuatan
tempe dan Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoxin, zat karsinogenik terkuat
yang pernah ditemukan (Robinson, 2001).
Gambar 2.2 Koloni Aspergillus
Gambar 2.3 Koloni bakteri Aspergillus nidulaus
2.1.2 Fungi Tricodaerma
Banyak spesies dari Tricoderma termasuk dalam selulotik. (Kapang tersebut
mempunyai kemampuan mendegradasi selulosa dan menghasilkan enzim selolase
dalam jumlah yang besar). Tricoderma banyak ditemukan dalam kayu busuk, produk
kayu, tekstil, buah, sayur dan tanah disekitar daun-daunan kering. Trichoderma sp
penting dalam pembuatan antibiotic.
Gambar2.3 Tricoderma
2.2 Isolasi Bakteri Penghasil Selulosa
Kajian mengenai keanekaragaman bakteri penghasil selulosa pada berbagai
habitat alami dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari habitat alaminya berupa
buahdan inokulum nata. Bakteri diisolasi secara selektif dengan menggunakan media
HS (Hestrin and Schraam) dan discreening kemampuannya menghasilkan selulosa
menggunakan media produksi air kelapa yang mengandung 5% glukosa dan
ammonium sulfat 0.5% pada pH 5. Selanjutnya, isolat bakteri penghasil selulosa
dikarakterisasi dan identifikasi secara fenotipik dan molekular. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 29 isolat bakteri penghasil selulosa berhasil diisolasi dari habitat
alaminya yaitu buah (anggur, jeruk, salak, mangga) dan inokulum nata. Keseluruhan
isolat merupakan kelompok bakteri gram negatif berbentuk batang dan mampu
mengoksidasi etanol menjadi asam asetat dan diidentifikasi sebagai anggota familia
Acetobacteraceae. Hasil karakterisasi dan identifikasi dengan menggunakan metode
profil matching menunjukkan bahwa keseluruhan isolat dikelompokkan dalam tiga
genus berbeda, yaitu Acetobacter, Gluconacetobacter, dan Gluconobacter. Ada 12
isolat yang dikelompokkan kedalam genus Acetobacter yang teridentifikasi sebagai
strain anggota 5 spesies yang berbeda, yaitu A. Pasteurianus (MGA2), A. Orleansis
(MGA1), A. lovaniensis (SLK1, JRK3, MGA6 ), A. indonesiensis (AGR7, AGR8,
AGR9, AGR10, AGR 17) dan A. tropicalis (JRK1, MGA5). Selanjutnya isolat yang
teridentifikasi sebagai anggota genus Gluconacetobacter, dan Gluconobacter
masingmasing berjumlah 10 dan 7 isolat. Sebanyak 10 isolat yang dikelompokkan
dalam genus Gluconacetobacter teridentifikasi sebagai strain anggota 5 spesies
berbeda, yaitu Ga. hansenii (GDN25, AGR18, AGR19), Ga.oboediens (GDN31), Ga.
Xylinus (JRK2), Ga. swingsii (NDCI11, NDCI122 ), dan Ga. rhaeticus (GDN23,
NDCI13), selanjutnya sebanyak 7 isolat yang dikelompokkan dalam genus
Gluconobacter teridentifikasi sebagai strain anggota 3 spesies berbeda, yaitu G.
oxydans (TNI26, GDN32), G. cerinus (GDN32, MGA4,AGR3, AGR4), dan G.
thailandicus (MGA3). Analisis filogenetik berdasarkan sequence gen 16S rRNA
menunjukkan bahwa kedua isolat MGA6 dan MGA3 teridentifikasi sebagai strain
anggota spesies A. lovaniensis. Jadi dapat disimpulkan, pada penelitian ini berhasil
diisolasi beranekaragam bakteri penghasil selulosa dan ada diantaranya isolat yang
memiliki kemampuan unggul dalam menghasilkan selulosa.
Enzim hasil produksi mikrobia memiliki banyak keuntungan dengan produksi
dalam kuantitas besar mengunakan teknik metode fermentasi yang telah ditetapkan.
Produksi enzim erat kaitanya dengan cara pengontrolan mikroorganisme sehingga
produktivitas dapat ditingkatkan dan dimodifikasi dengan kontrol ini. Hasil selulase
yang diproduksi tergantung pada hubungan komplek yang melibatkan beragam faktor
seperti pH, suhu, waktu inkubasi, kation, sumber karbon dan nitrogen.Untuk
menghasilkan proses fermentasi yang baik, maka diperlukan suatu mikroorganisme
yang mampu mengahasilkan secara melimpah metabolit yang diinginkan. Diperlukan
sebuah penyelidikan yang rumit guna membangun sebuah kondisi optimum untuk
meningkatakan skala produksi enzim dalam proses fermentasi sendiri. Beberapa
peneliti telah menunujukan bahwa biaya produksi selulase erat terkait dengan
produktivitas strain mikroba pengahasil enzim (Omojasola dan Jilani, 2008). Proses
seperti itu akan mengatasi kekuranagn akan bahan makanan dan pakan ternak,
memecahkan permasalahan pembuanagan sampah modern, dan mengurangi
ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil dengan penyedian sumber energi
ramah dan terbarukan dalam bentuk glukosa dimana dapat digunakan untuk produksi
etanol, asam organik, dan senyawa kimia lainnya (Hidayat, Wahyu 2011).
2.3 Uji mikroba penghasil selulase
2.3.1 Menggunakan CMC
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah
larut dalam air. Oleh karena itu CMC mudah dihidrolisis menjadi gulagula sederhana
oleh enzim selulase dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh bakteri.
Peneltian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimum aktivitas enzim selulase
dari bekicot (Achatina fulica) beserta karakternya dan mempelajari pola fermentasi
etanol dari hidrolisat CMC menggunakan Zymomonas mobilis. Kadar Glukosa yang
dihasilkan dari proses hidrolisis dianalisa dengan menggunakan metode Somogyi-
Nelson, sedangkan kadar etanol dari proses fermentasi dianalisa dengan Kromatografi
Gas (GC). Dari penelitian ini diperoleh enzim selulase dengan aktivitas (Filter Paper
Ase) sebesar 0,02 mmol/mL per menit (0,02 Unit) dan aktivitas spesifik sebesar 0,023
Unit/mg protein. Enzim selulase beraktivitas optimum pada pH 5,2, temperatur 50oC,
dan konsentrasi substrat 4% serta memiliki parameter kinetik Vm sebesar 0,002
mg/mL per menit dan Km sebesar 0,005 mg/mL. Pada kondisi optimum enzim
selulase dari bekicot (Achatina fulica) mampu menghidrolisis Carboxy Methyl
Cellulose (CMC) dengan kadar glukosa 0,245 g/100mL(61,45 mg glukosa/g CMC).
Fermentasi dengan menggunakan substrat hidrolisat Carboxy Methyl Cellulose (CMC
menghasilkan etanol sebesar 0,457 g/g glukosa atau yield etanol sebesar 89,6 %
dibanding teori (0,028 g etanol/g CMC) (Hartanti, 2010 Jurnal Isolasi dan Seleksi
Bakteri Selulotik halaman 10).
Menurut Khairani, 2007, penstabil digunakan untuk menstabilkan
(menghindari terjadinya pemisahan antara padatan dan cairan) atau mengentalkan
hasil olahan. Beberapa bahan penstabil yang digunakan adalah gelatin, agar-agar,
CMC, dan pektin. CMC banyak digunakan sebagai stabilizer dalam pembuatan salad
dressing.
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari selulosa dan ini sering
dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC
ada beberapa terpenting, yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel,sebagai
pengemulsi, dan dalam beberapa hal dapat merekatkan penyebaran antibiotik
(Winarno, 1985).
Penggunaan CMC di Indonesia sebagai bahan penstabil, pengental,
pengembang, pengemulsi dan pembentuk gel dalam produk pangan khususnya sejenis
sirup yang diijinkan oleh Menteri Kesehatan RI, diatur menurut PP. No. 235/
MENKES/ PER/ VI/ 1979 adalah 1-2%.
Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki
kenampakan tekstur dari produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC
mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel
yang dibentuk oleh CMC (Manifie, 1989).
Menurut Khairani, 2007, penstabil digunakan untuk menstabilkan
(menghindari terjadinya pemisahan antara padatan dan cairan) atau mengentalkan
hasil olahan. Beberapa bahan penstabil yang digunakan adalah gelatin, agar-agar,
CMC, dan pektin. CMC banyak digunakan sebagai stabilizer dalam pembuatan salad
dressing.
CMC adalah ester polimer selulosa yang larut dalam air dibuat dengan
mereaksikan Natrium Monoklorasetat dengan selulosa. Natrium karboxymethyl
selulosa merupakan turunan selulosa yang digunakan secara luas oleh industri
makanan adalah garam Na karboxyl methyl selulosa murni kemudian ditambahkan
Na kloroasetat untuk mendapatkan tekstur yang baik. Selain itu juga digunakan untuk
mencegah terjadinya retrogradasi dan sineresis pada bahan makanan. Adapun reaksi
pembuatan CMC adalah sebagai berikut:
ROH + NaOH R-Ona + HOH
R-ONa + Cl CH2COONa RCH2COONa + NaCl
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah
larut dalam air. Oleh karena itu CMC mudah dihidrolisis menjadi gulagula sederhana
oleh enzim selulase dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh bakteri
(Masfufatun, 2010).
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari selulosa dan ini sering
dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC
ada beberapa terpenting, yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel,sebagai
pengemulsi, dan dalam beberapa hal dapat merekatkan penyebaran antibiotik
(Winarno, 1985).
Penggunaan CMC di Indonesia sebagai bahan penstabil, pengental,
pengembang, pengemulsi dan pembentuk gel dalam produk pangan khususnya sejenis
sirup yang diijinkan oleh Menteri Kesehatan RI, diatur menurut PP. No. 235/
MENKES/ PER/ VI/ 1979 adalah 1-2%.Sebagai pengemulsi, CMC sangat baik
digunakan untuk memperbaiki kenampakan tekstur dari produk berkadar gula tinggi.
Sebagai pengental, CMC mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air
terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (Nelaeska Putri,2011).
Kultur bakteri yang telah ditumbuhkan dalam media cair yang
mengandung substrat CMC 1% disentrifugasi pada kecepatan 10 000 g selama
15 menit. Bagian supernatan digunakan untuk pengujian aktivitas enzim
ekstraseluler. Sebanyak 1 mL supernatan dicampur dengan 1 mL CMC 1%
pada bufer Mc Ilvaine pH 7,2 (dengan komposisi bufer seperti pada Lampiran
2). Setelah itu, campuran diinkubasi pada 55 °C selama 60 menit. Reaksi
tersebut dihentikan dengan penambahan 3 mL pereaksi DNS. Kontrol negatif
merupakan enzim yang langsung diinaktifasi dengan DNS. Campuran divorteks,
kemudian dididihkan selama 15 menit dalam penangas air mendidih, lalu
didinginkan terlebih dahulu. Setelah itu, dilakukan pengukuran serapan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Sebagai standar digunakan
larutan glukosa dengan konsentrasi 0.01-0.1 mg/mL. Aktivitas enzim dihitung
dengan persamaan kurva standar dari larutan enzim yang menghasilkan gula
pereduksi. Tahapan seleksi bertujuan mengetahui bakteri yang memiliki aktivitas
selulolitik. Aktivitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan bakteri dalam
menghidrolisis substrat CMC. Bakteri yang mampu menghidrolisis CMC akan
membentuk zona bening di sekitar koloni. Seleksi ini menggunakan koloni-
koloni bakteri yang telah diisolasi. Setiap koloni dipindahkan ke dalam cawan
master dan replika yang berisi media agar Thermus dengan substrat CMC 1%.
Koloni bakteri yang dipindahkan ke dalam cawan master langsung dipindahkan ke
dalam cawan replika. Dengan demikian, koloni dalam cawan master dan replika
merupakan koloni yang sama. Pewarnaan merah kongo dilakukan pada koloni
dalam cawan replika untuk memperjelas zona bening yang dihasilkan. Koloni
yang berada dalam cawan master digunakan sebagai stok bakteri yang
menghasilkan zona bening. Teknik pewarnaan dilakukan menggunakan pewarna
merah kongo 0.1% (Hartanti,2010 Jurnal isolasi dan seleksi bakteri selulotik
halaman 8).
Termofil pada Media CMC Cair .Sebanyak 0,5 mL suspensi kompos yang
telah dibuat sebelumnya diinokulasikan dalam 50 mL media CMC cair, diinkubasi
pada suhu 55 oC selama 3 hari (Al Bashori, 2011). Setiap 100 mL media CMC
cair mengandung ekstrak ragi 0,2 g, beef extract 0,4 g, pepton 0,51 g, KH2PO4 0,1
g, MgSO4.7H2O 0,02 g, CaCl2 0,3 g, FeCl3 0,028 g, Na2HPO4 0,1 g, dan
CMC 0,5 g . Hasil inkubasi akan dilanjutkan pada proses penentuan suhu
optimum inkubasi(Alam,dkk, 2013 Isolasi Bakteri Selulotik Termofilik Kompos
Pertanian halaman191)
2.3.2 Uji Benedict
Uji Benedict digunakan untuk mendeteksi zat uji mengandung gula pereduksi
atau gula invers. Pereaksi benedict terdiri dari kupri sulfat, natrium sitrat, dan natrium
karbonat. Ke dalam 5 ml pereaksi dalam tabung reaksi ditambahkan 8 tetes larutan
contoh, kemudian tabung reaksi ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit.
Timbulnya endapan warna hijau , kuning, atau merah orange menunjukkanadanya
gula pereduksi. Pada uji benedict, teori yang mendarsarinya adalah gula yang
mengandung gugus aldehida atau keton bebas akan mereduksi ion Cu2+ dalam
suasana alkalis, menjadi Cu+, yang mengendap sebagai Cu2O (kupro oksida)
berwarna merah bata. Pada uji Benedict, indikator terkandungnya Gula Reduksi
adalah dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata. hal teresebut dikarenakan
terbentuknya hasil reaksi berupa Cu2O. Berikut reaksi yang berlangsung:
O O
║ ║
R—C—H + Cu2+ 2OH- → R—C—OH + Cu2O
Gula Pereduksi Endapan Merah Bata. Dari hasil uji benedict, larutan uji postif
terdapat gula pereduksi adalah glukosa, maltosa, sukrosa, galaktosa, fruktosa, laktosa,
arabinosa dan air kelapa muda. Sedangkan yang tidak memiliki gula pereduksi adalah
amilum (Alex, 2012).
Uji benedict digunakan mendeteksi secara semikuantitatif (kasar) adanya
glukosa
Uji benedict tidak spesifik terhadap glukosa karena gula lain yang mempunyai
sifat mereduksi dapat juga memberi hasil yang positif
Prinsip uji benedict adalah : adanya gugus aldehid atau keton bebas gula akan
mereduksi kuprioksida dalam pereaksi Benedict menjadi kuprooksida yang
berwarna (merah bata)
WARNA PENILAIAN KADAR
Biru jernih ( - ) 0
Hijau/kuning hijau ( + ) < 0,5 %
Kuning/kuning kehijauan ( ++ ) 0,5 – 1,0 %
Jingga ( +++ ) 1,0 – 2,0 %
Merah ( ++++ ) > 2,0 %
Gambar 2.4 Tahap-tahapan hidrolisis selulosa
BAB 3
METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
Alat Bahan
- 11 Cawan Petri
- 12 Tabung reaksi
- Jarum ose
- Pembakar spirtus
- Erlenmeyer 250 ml
- Rak tabung reaksi
- Kapas dan kassa
- Tali
- Autoclave
- Korek api
- Pipet mikro
- Tip pipet mikro steril
- Pipet ukur steril 10 ml
- Ball pippet
- Vortex
- Incubator shaker
- Oven
3.2 Prosedur Kerja
1. Mengambil 1 gram tanah dekat area penggrajenan dan memasukannya
dalam tabung reaksi
2. Menuangkan 10 ml air steril dalam tabung reaksi
3. Menghomogenkan larutan dalam tabung reaksi selama beberapa menit
4. Mendiamkannya hingga air dan tanahnya berpisah dibawah tabung
reaksi
- Media NA
- Media PDA
- CMC
- Ethanol 70 %
- Biakan mikroba dari tanah dekat area
penggrajenan
- Air steril
- Tissue
- Benedict (CuSO4 , Natrium Sitrat ,
dan Na2CO3)
5. Mengambil 1 ml air yang berada diatas tabung menggunakan pipet
mikro
6. Melakukan pengenceran sampai 10-7
7. Melakukan isolasi cawan tuang
8. Melakukan pengamatan dalam mikroskop
9. Melakukan isolasi cawan gores
10. Melakukan pengamatan dalam mikroskop
11. Memindahkannya dalam media agar miring
12. Melakukan pengamatan dalam mikroskop
9 ml 9 ml 9 ml 9 ml 9 ml 9 ml
1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
10 ml
1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml
Digoreskan Digoreskan
Digoreskan Digoreskan
Tanah 1 gram
DitambahAir Steril
Botol kaca
Dikocok &Dihomogenkan
Didiamkan
Mengambil 1 mlsuper natan
Tabung Reaksi II
(10-2)
Tabung Reaksi III
(10-3)
Tabung Reaksi IV
(10-4)
Tabung Reaksi VII
(10-7)
Tabung Reaksi VI
(10-6)
Tabung Reaksi V
(10-5)
Tabung Reaksi I
(10-1)
Air Steril
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Dihomogenkan pada Vortex Mixer
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Agar NA/PDA 1/3 bag.
Sterilisasi
Disumbat
Diaduk
Ditambah 500 ml aquades
panas
Menimbang 10 gram NA / PDA
Erlenmeyer
Diputar & Dibekukan
Inkubasi 2 x 24 jam
Diamati dengan Mikroskop
Agar NA/PDA beku 1/3
bag.
Agar NA /PDA
beku 1/3 bag.
Agar NA / PDA
beku 1/3 bag.
Inkubasi 2 x 24 jam
Diamati dengan Mikroskop
Agar Miring
Agar Miring
Agar Miring
Inkubasi 2 x 24 jam
Laporan Hasil Penelitian Study Lapangan
Mata Kuliah Bioproses
(Isolasi dan Uji Kualitatif Mikroba Penghasil Selulosa
dari Tanah Dekat Area Pengrajenan)
Oleh:
Ahmad Ilmid Daviq (NIM. 1331410129)
Advie Alfian (NIM.1331410033)
Anindita Dyah Palupi (NIM. 1331410094)
Annissa Risky Amalia (NIM.1331410079)
Bekti Yustikaningrum (NIM. 1331410074)
Nelawati Tri Rahayu (NIM.1331410016)
TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
Jalan Soekarno Hatta 09November 2013