Upload
phungquynh
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 2-7 Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 12 No. 1 ISSN 1411-2132
2
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Spons Callyspongia sp.
Isolation, Characterization, and Bioactivity of Secondary Metabolites Cloroform Extract of
Sponges Callyspongia sp.
Suriani1), Hanapi Usman2), Ahyar Ahmad2) 1)Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
2)Jurusan Kimia Universitas Hasanuddin
ABSTRACT The isolation, structure determination and activity test against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs of secondary metabolites of sponges Callyspongia sp has been carried out. Separation techniques used consisted of maceration and fractination, while the structure of compounds were elucidated based on physical, spectroscopie UV and IR data. Two compounds that obtained were predicted as (1) Triterpenoid, and (2) Steroid. Compound (1) showed stronged toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs LC50 58,86µg/mL and IC50 0,365µg/mL with compound (2) showed high toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchine with LC50 86,53 µg/mL and IC50 22,69µg/mL, respectively.
Keywords : Callyspongia sp, Bioactivity, Artemia salina Leach, Sea Urchin Eggs, Triterpenoid, Steroid.
PENDAHULUAN
Dibidang kelautan, Indonesia memegang peranan penting bagi dunia karena memiliki keragaman hayati laut tertinggi di dunia yang merupakan sumber daya organik. Di dalamnya terdapat 60.000 km persegi areal terumbu karang (spons) yang mencakup 15 % terumbu karang dunia (Kompas, 5 April 2004)
Menurut Achmad (2004) sumber daya organik merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai sumber senyawa baru yang unik yang tidak dapat ditemukan di laboratorium dan mungkin sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian, dan industri. Indonesia memiliki sumberdaya organik yang melimpah, merupakan kekayaan yang sebagian besar belum diteliti kandungan kimianya. Oleh karenanya Indonesia adalah suatu negara yang sangat prospektif untuk mengembangkan kimia organik bahan alam khususnya bahan alam laut.
Spons merupakan biota laut yang multiseluler primitive (metazoan) tanpa jaringan nyata, yang merupakan sumber metabolit sekunder terkaya (Eru,2005 & Romimohtarto, 2001). Jumlah penyebarannya sangat banyak. Ada 15.000 spesies spons laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa bioaktif laut ditemukan pada spons laut (Anonim, 2006). Perjalanan pencarian obat dari spons dibeberapa perairan Indonesia sudah dilakukan, namun masih banyak lokasi di Indonesia yang belum tersentuh (Wahyuono,2003).
Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah
Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari spons ini dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996) dan juga beberapa metabolit sekunder yang memiliki bioaktifitas telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari spons Indonesia antara lain β-sitosterol; Cholest-5-en-3β-ol; Cholestan-3β-ol; Ergosta-5,22-dien-3β-ol; 9,19-Siklocholest-24-en-3β-ol; dan Ergost-5-en-3β-ol, senyawa tersebut menunjukkan toksisitas terhadap A.salina (Sapar, 2004). Barangamide, brianthein, aaptamin, lembehyne, dan bitungolides (Rachmaniar, 2003). Senyawa-senyawa lain masih banyak diteliti dan dilaporkan mempunyai aktivitas farmakologis seperti caminoside A dan swinhoeiamide A (Astuti, 2003). Analisis yang dilakukan terhadap spons Xestospongia aschmorica menghasilkan empat senyawa manzamine baru dengan aktivitas antibakteri (Endrada et al., 1996). Manzamin A yang sebelumnya banyak diteliti karena potensinya sebagai senyawa antikanker mampu menghambat parasit malaria. Peptida pendek dan siklo peptide dari Theonella sp. Dan Microscleroderma sp. (Schmidt and Fusetani et al., 1999) yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Schmidt and Faulkner,1998; Fusetani et al., 1999; dalam Sapar, 2004). Bunga karang yang aktif sebagai bakterisida pada komoditas perikanan antara lain Callyspongia sp, Halicondria sp, dan Auletta sp (Rosmiati & Suryati, 2001).
Namun sejauh ini belum banyak data penelitian yang mengeksplorasi senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp sebagai bahan baku obat pada penyakit manusia dan hewan yang bersifat sebagai anti kanker. Oleh
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
3
karena itu perlu dilakukan penelusuran senyawa metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp serta uji toksisitas sebagai anti kanker dengan menggunakan uji BST dan antimitotik masing-masing menggunakan benur udang A. Salina dan telur bulubabi.
METODE PENELITIAN
1. Isolasi dan pemurnian senyawa metabolit sekunder dari spons
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada metode yang sering digunakan dalam mengisolasi senyawa kimia bahan alam yang meliputi pemilihan spesies spons, penentuan lokasi pengambilan sampel, persiapan dan pengambilan sampel hewan, maserasi, partisi, fraksinasi dan analisis spektroskopi dari senyawa murni yang diperoleh dan dilanjutkan dengan uji aktivitas dari senyawa yang diperoleh (Soekamto, 2003). 2. Uji Bioaktivitas a. uji toksisitas dengan menggunakan metode
Brine Shrimp lethality test (BST)
Masing-masing sebanyak 1 mg sampel dalam tabung ependorf dilarutkan dalam DMSO sebanyak 100 µL kemudian diencerkan dengan 150 µL aquades. Dari pengenceran tersebut diambil 200 µL diencerkan kembali dengan 600 µL aquades. Selanjutnya pengenceran dilakukan dalam mikroplate dengan konsentrasi yang divariasi dan volume sampel tiap lubang 100 µL secara triplo. Larva udang A. salina yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 µL dengan jumlah benur 7-15 ekor, dimasukkan dalam mikroplate (96-well plate) yang berisi sampel kemudian diinkubasi selama 24 jam dilakukan juga pada DMSO tanpa sampel sebagai control negative. Selanjutnya dihitung udang yang mati dan yang hidup serta ditentukan LC50 dengan program “ Bliss method” (Meyer, 1982).
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Tabung eppendoff yang berisi sampel ditambahkan air laut sesuai perhitungan untuk mencukupkan volume akhir hingga 1 ml. Kemudian dalam tabung tersebut ditambahkan zigot sebanyak 100 µg/ml setelah 10 menit terjadi fertilisasi. Dilakukan pengulangan 3 kali untuk tiap sampel uji dan kontrol. Selanjutnya disimpan pada suhu 15 – 20 oC dengan diselingi pengocokan. Pengamatan sel yang membelah dilakukan setelah 2 jam inkubasi dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera.
3. Penentuan Struktur Senyawa
Penentuan struktur senyawa dapat dilakukan berdasarkan pengukuran instrument seperti UV dan IR terhadap senyawa bioaktif yang telah dimurnikan.
HASIL PENELITIAN
1. Ekstraksi dan Fraksinasi Hasil maserasi ekstrak kloroform setelah disaring dievaporasi pada tekanan rendah diperoleh maserat kental berupa residu berwarna coklat sebanyak 1044 mL dan secara konversi berat pervolume diperoleh ekstrak sebanyak 48 g. Hasil ekstraksi cair-cair dalam corong pisah berturut-turut dengan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat pada penguapan mengunakan alat rotary vapor dengan tekanan rendah diperoleh ekstrak n-heksan (3,8g), kloroform (6,8g), dan etil asetat (2,6g) Ekstrak kloroform (6,8g) tersebut selanjutnya difraksinasi dengan menggunakan KKV dan eluen n-heksan, campuran n-hesan-etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 27 fraksi. Berdasarkan analisis KLT fraksi dengan Rf yang sama digabung hingga diperoleh 4 fraksi utama (A-D), kemudian dievaporasi dan ditentukan beratnya serta dimonitor dengan KLT.
Fraksi X merupakan gabungan fraksi A dan fraksi B, setelah difraksinasi dengan KKT menggunakan eluen n-heksan, campuran n-heksan etil asetat dengan peningkatan kepolaran diperoleh 32 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT menghasilkan 9 fraksi utama (X1 –X9 ).
Fraksi utama ke-2 (X2) sebanyak 13,2 mg berupa serbuk putih kekuningan, dikristalisasi dan direkristalisasi dengan metanol diperoleh senyawa (1) berupa serbuk putih sebanyak 6,4 mg dengan titik leleh 176 –177 oC. Kemurnian senyawa tersebut dengan melalui analisis KLT yang menunjukkan noda tunggal dengan tiga macam sistem eluen.
Fraksi utama ke-3 (X3) setelah dikristalisasi dengan aseton menghasilkan senyawa (2) yang berupa kristal putih sebanyak 4,2 mg. Kristal tersebut larut dalam pelarut n-heksan. Fraksi utama C difraksinasi lebih lanjut dengan menggunakan KKT dengan eluen etil-asetat–n-heksan 40% diperoleh 5 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan analisis KLT. menghasilkan 2 fraksi utama (C1 – C2). Setelah fraksi C1 dikristalisai dengan aseton kemudian fraksi C1 dan fraksi X3 dianalisis dengan KLT secara bersama-sama, karena analisis KLT mempunyai nili Rf yang sama sehingga fraksi C1 dan fraksi X3 digabung diperoleh senyawa (2) berbentuk kristal putih sebanyak 5,4 mg dengan titik leleh 187 – 189 oC. Karakter senyawa tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Kemurnian senyawa (2) dibuktikan melalui analisis KLT dengan tiga macam sistem eluen yang menunjukkan noda tunggal.
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
4
2. Uji Bioaktivitas. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Tabel 1. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) ekstrak spons callysponga sp. fraksi n-heksan, kloroform dan etil asetat
No Ekstrak Berat
(g) Aktivitas
(LC50) (µg/mL)
1. 2. 3.
n-Heksan Kloroform Etil asetat
3,8 6,8 2,6
230,25 94,53 435,38
Tabel 2. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) 4 fraksi
utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform spons Callyspongia sp .
No Fraksi
utama Berat (mg)
Aktivitas (LC50)
(µg/mL)
1. 2. 3. 4.
Fraksi A Fraksi B Fraksi C Fraksi D
134 87 43 32
58,86 152,09 184,33 741,09
Tabel 3. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) fraksi-
fraksi utama hasil fraksinasi fraksi A+B (fraksi X) dan fraksi C
No Fraksi Berat
(mg) Aktivitas
(LC50) (µg/mL)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
X1 X2 X3-C1 X4 X5 X6 X7 X8 X9
3,3 13,2 14,6 5,2 4,6 3,7 4,3 4,5 3,2
- 11,83 68,32
- 758,46 471,29 778,09 358,70
-
Tabel 4. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) senyawa (isolat tunggal)
No Senyawa Berat (mg)
Aktivitas (LC50)
(µg/mL) 1. 2.
Senyawa 1 Senyawa 2
6,4 mg 9,6 mg
58,86 86,53
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi Tabel 5. Nilai aktivitas (IC50 dalam µg/mL) ekstrak kloroform dan senyawa (isolat tunggal)
No Senyawa Berat
Aktivitas (IC50 )
(µg/mL) 1.
2. 3.
Ekstrak kloroform Senyawa 1 Senyawa 2
6,8 g
6,4 mg 9,6 mg
5,337
0,365 22,69
3. Pengukuran Spektroskopi
Senyawa (1) diperoleh sebagai serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176 – 177 oC. UV (MeOH) λmax: 237 nm dan 366 nm; penambahan pereaksi NaOH menunjukkan λmax : 237 nm dan 366 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1
:>3000 cm-1 (OH), 2918, 2962, 2850 cm-1 (C-H alifatik) 1705 cm-1 (C=O), 1261, cm-1 (O-CH3), 1097 cm-1 (C-O), 1465 cm-1 dan 1407 cm-1 (CH2 dan CH3) serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1
Senyawa (2) dperoleh sebagai kristal berwarna putih dengan titik leleh 187 – 189 oC. UV (MeOH) λmax : 229 nm dan 274 nm; penambahan pereaksi geser NaOH menunjukkan λmax : 229 nm dan 274 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1 : 3433 cm-1 (OH), 2924 dan 2851 cm-1 (C-H alifatik) 1107 (C-O), 1710 cm-1 (C=O), 1464 dan 1374 cm-1
(CH2 dan CH3) serta serapan tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959, 879 dan 793 cm-1.
PEMBAHASAN
1. Interpretasi senyawa
Senyawa 1 diperoleh berbentuk serbuk berwarna putih dengan titik leleh 176–177 oC. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menunjukkan positif warna merah ungu yang mengindikasikan golongan senyawa triterpenoid.
Dari spektrum UV tampak bahwa senyawa 1 memberikan pita serapan maksimum pada daerah panjang
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
5
gelombang λmaks 237 nm (9230) dan serapan pada panjang gelombang λmaks 366 nm (727), setelah penambahan pereaksi geser NaOH tidak menyebabkan pergeseran panjang gelombang yang mengindikasikan bahwa tidak ada pergeseran gugus hidroksil.
Dari data spektrum IR tersebut di atas, nampak adanya serapan pada νmaks >3000 cm-1 menunjukkan adanya gugus OH, serapan pada 2918, 2962, 2850 cm-1
yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1463 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1385 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3 yang khas untuk golongan triterpenoid (Yoshihiro et al, 2001). Serapan pada 1705 cm-1 yang menunjukkan regangan ulur ikatan C=O sebagai keton siklik, serapan pada 1261 cm-1 menunjukkan adanya gugus metoksi dan serapan pada 1097 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder serta tekukan keluar bidang gugus C-H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1 (Gambar 2).
Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa triterpenoid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah senyawa golongan triterpen.
Senyawa 2 diperoleh berbentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 187– 189 oC. Karakter senyawa ini tidak berpendar dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform. Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann Burchard menghasilkan warna hijau biru yang mengindikasikan senyawa golongan steroid hal ini juga didukung dengan adanya analisis spektrum UV dan IR.
Dari spektrum UV senyawa 2 diperoleh serapan maksimum pada λmax 229 nm (6543) dan 274 nm (2592). Penambahan pereaksi geser NaOH tidak mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ditunjukkan pada serapan λmax 229 dan 274 nm yang mengindikasikan tidak ada pergeseran gugus hidroksil.
Selanjutnya informasi mengenai senyawa 2 sebagai senyawa steroid diperoleh dari spektrum infra merah (Gambar 4) nampak adanya bilangan gelombang maksimum pada daerah νmaks 3433 cm-1 yang merupakan serapan untuk gugus OH (hidroksil), indikasi terhadap adanya gugus hidroksil didukung oleh serapan pada daerah νmaks 1107 cm-1 merupakan regangan ulur dari C-O alkohol sekunder yang khas untuk golongan steroid (Guogiang et al, 2005). Pada bilangan gelombang νmaks 2924, 2851 cm-1 terdapat serapan yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks 1464 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1374 cm-1 yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3. Bilangan gelombang pada νmaks 1710 cm-1
menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) sebagai keton siklik dan bilangan gelombang pada gelombang νmaks 1259 cm-1 yang kuat menunjukkan adanya gugus metoksi serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959,879 dan 793 cm-1.
Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi literatur senyawa-senyawa steroid maka dapat disimpulkan bahwa senyawa 2 adalah senyawa golongan steroid. 2. Uji Bioaktivitas Senyawa Metabolit Sekunder a. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine Shrimp lethality test (BST) Metabolit sekunder ekstrak n-heksan, fraksi-fraksi, dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp. diuji aktivitasnya dengan menggunakan udang A.salina sesuai dengan cara yang diuraikan oleh Meyer. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Berdasarkan suatu ketentuan, senyawa murni dikatakan aktif apabila nilai LC50 di bawah atau sama dengan 200 µ g/mL dan 500
µ g/mL untuk ekstrak atau fraksi (Anderson et al, 1991).
Aktivitas ekstrak awal (ekstrak n-heksan, kloroform, dan etil asetat) terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 masing-masing 230,25µ g/mL, 94,53
µ g/mL, dan 435,38µ g/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa
ekstrak kloroform sangat aktif, dan ekstrak n-heksan tergolong aktif sedangkan ekstrak etil asetat cukup aktif. Kemudian empat fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform, hanya satu fraksi yang dikategorikan tidak aktif yaitu fraksi D. Fraksi A, fraksi B dan fraksi C mempunyai nilai LC50 rata-rata dibawah 200 µ g/mL (Tabel 2) sehingga
tergolong aktif terhadap benur udang A. salina. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi-fraksi dari ekstrak kloroform spons Callyspongia sp kemungkinan mengandung senyawa yang bersifat bioaktif atau kemungkinan terdapat beberapa senyawa yang tidak aktif yang bergabung dan saling memperkuat bioaktivitasnya sehingga menyebabkan fraksi tersebut aktif.
Fraksi yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi, yaitu fraksi A dengan LC50 58,86 µ g/mL menunjukkan
bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang sangat aktif atau bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan triterpenoid. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang Artemia salina dengan nilai LC50 42,97 µ g/mL (Ulfa,
2006). Aktivitas yang sangat tinggi pada senyawa triterpenoid dengan gugus asam karboksilat juga dijumpai pada asam (24Z)-3-oksotirukalla-7,24-dien-26-oat dan asam epi-oleanolat (Gambar 5) yang berhasil diisolasi dari daun Celaenododendron mexicanum (Euphorbiaceae). Kedua senyawa ini mempunyai aktivitas anti-protozoa ( Manuel et al., 2001).
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
6
Gambar 5. Struktur Molekul Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat
Fraksi B dan fraksi C dengan LC50 masing-masing 152,09µ g/mL dan 184,33µ g/mL juga
tergolong fraksi yang aktif. Hasil fraksinasi fraksi X (fraksi A + fraksi B ) dan fraksi C juga memperlihatkan fraksi yang tergolong aktif yaitu fraksi X2 11,83 µ g/mL dan fraksi X3 + C2 68,32µ g/mL kecuali
fraksi X5 758,46µ g/mL, fraksi X6 471,29µ g/mL,
fraksi X7 778,09 µ g/mL dan fraksi X8
358,70µ g/mL. Fraksi X1, Fraksi X4 dan fraksi X9
tidak dilakukan uji bioaktivitas karena tidak larut dalam larutan uji yang digunakan dalam hal ini adalah DMSO
Kemudian fraksi X3 + C1 yang aktivitasnya tergolong sangat tinggi (68,32µ g/mL) setelah
direksistalisasi diperoleh senyawa (2) yang dipastikan sebagai senyawa golongan steroid dengan LC50 86,53 µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat
senyawa yang bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan ditemukannya senyawa golongan steroid pada fraksi tersebut. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang A. salina dengan nilai LC50 76 µ g/mL (Sapar, 2004).
Golongan senyawa steroid yang hampir selalu dapat ditemukan pada hewan dan tumbuhan. Senyawa ini diduga terbentuk dari asam asetat melalui jalur asam mevalonat kemudian mengalami beberapa reaksi kondensasi, siklisasi dan sebagainya hingga terbentuk senyawa antara/intermediate. Penggunaan senyawa-senyawa aktif farmakologik yang berasal dari alam seperti turunan steroid sangat penting artinya ditinjau dari segi kesehatan karena efek sampingnya relatif kecil dibanding dengan senyawa sintetik. Di samping
itu, bahan baku senyawa-senyawa ini juga dapat diperbaharui. Senyawa golongan steroid seperti β -sitosterol
memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja enzim yang mengkonversi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab terjadinya kanker prostat (Renai Sante dalam Sapar, 2004).
Gambar 6. Struktur molekul senyawa steroid ( β -sitosterol)
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur Bulubabi
Metabolit sekunder ekstrak kloroform dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp diuji aktivitasnya dengan menggunakan sel telur Bulubabi. Hasil uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Pengelompokan terhadap aktivitas sitotoksik didasarkan pada kriteria sitotoksisitas yang tinggi bila IC50 < 4 µg/mL untuk senyawa murni dan IC50 < 20 µg/mL untuk ekstrak total (Hostettmann,1991).
Uji aktivitas ekstrak kloroform, senyawa (1) dan senyawa (2) terhadap sel telur Bulubabi masing-masing 5,337 µg/mL,0,365 µg/mL dan 22,69 µg/mL. Berdasarkan kriteria pengelompokan maka ekstrak kloroform dan senyawa (1) memiliki toksisitas yang sangat tinggi sedangkan senyawa (2) memiliki toksisitas cukup tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa ekstrak atau fraksi yang bersifat aktif setelah difraksinasi lebih lanjut akan menghasilkan fraksi atau senyawa murni yang juga bersifat aktif seperti pada fraksi X2
dan X3 +C1 diatas. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada ekstrak atau fraksi yang tergolong aktif ditemukan atau terdapat senyawa yang tidak aktif khususnya terhadap benur udang A. salina dan sel telur Bulubabi.
KESIMPULAN
Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV dan
IR) menghasilkan 2 jenis senyawa yang diperoleh merupakan (1) senyawa triterpendid dan (2) senyawa steroid. Hasil uji bioaktif yang dilakukan terhadap benur udang Artemia salina Leach dan sel telur Bulubabi memperlihatkan bahwa senyawa (1) sangat toksik terhadap Artemia salina dan sel telur Bulubabi masing-masing LC50 58,86 µg/mLdan IC50 0,365 g/mL sedang senyawa (2) cukup toksik terhadap
HO
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
7
Artemia salina dan sel telur Bulubabi dengan LC50 86,53 µg/mL dan IC50 22,69µg/mL.
SARAN
Callyspongia sp berpotensi untuk
dikembangkan sebagai fitofarmaka mengingat senyawa yang terkandung di dalamnya bersifat bioaktif. Untuk itu perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh dan analisis spektrum lebih lanjut agar dapat diketahui secar pasti struktur senyawa yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 2004. Empat puluh tahun dalam kimia
organic bahan alam tumbuh-tumbuhan tropika Indonesia, Rekoleksi dan Prospek. Bulletin of The Indonesian Society of Natural Products Chemistry, 4(2): 5 -54.
Anderson, J.E., Goetz, C.M, and McLaughlin, J.L. 1990. A blind Comparison of Simple Banch-top Bioassay and Human Tumour Cell Cytotoxicities as Anti tumour Prescreen. Phytochemical Analysis . 6: 107-111
Anonim, 2003. Foundation Scuba Diver Indonesia. http:/www.Terangi.or.id/ Indonesian/terumbu-Indon, diakses 12 April 2005.
Anonim, 2006, Mencari Obat Mujarab Laut. http:/www. Forek.or.id, diakses 25 Mei 2006.
Amir,I & Bidiyanto,A., 1996, Mengenal Spons Laut
(Demospongia) Sec. Umum. Oseana, Vol 21 No 2, Lipi, Jakarta.
Astuti, P., 2003, Spons Invertebrata Laut Berpotensi sebagai Sumber Bahan Baku Obat Alam, vol 8 No.26 Oktober-Desember (Edisi khusus). Bagian Biologi-Farmasi, UGM, Yogyakarta.
Barnes, R., P. Calon and P. Olive, 1989. The Invertebrata. Blacwell Scientific Pub. Oxford. London. Edinburg. Boston Melborne. Five Pub: 49-53.
Barnes., R.S.K., 1999. A new Synthesis. Second Edition. Blacwel Science, UK, 49-52.
Caraan, G.B., Lazaro,J.E., Concepcio, G.P., 1994, Biological Assays for Screening of Marine Samples, Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute and Institute of Chemistry, University of the Philipines.
Dini, I. 2005. Penelusuran Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.) dan Bioaktivitasnya terhadap Artemia salina Leach. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Eru Wibowo, A., dkk., 2005, Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit Sekunder dari biota Laut, Pusat Pengkajian dan penerapan Teknologi Farmasi dan
Medika. http:/www. Iptek.com, diakses 12 April 2005. Fusetani, N.,J Warabi, K. Nogata, Y., Nakao, Y &
Matsunaga, S. 1997. Koshikamide Al, a new Cytotoxic Linear Peptide Isolated from a Marine Sponge, Theonella sp. Tetrahedron letters 40, 4687-4690.
Garson, M.J., 1994. The Biosynthesis of Sponge Secondary Metabolites: Why it is Important? In : Soest, R. W. M. van, Th. M.G. van Kempen and J. C. Braekman, Sponges in Time and space. Proc. 4 th Int. Porifera Congr. Rotterda: Balkema.
Gatot, D. 1984. Kemoterapi Tumor Ganas dalam “Tumor Ganas pada Anak”. Bagian Patologi Anatomik, FK-UI, Jakarta, 99-105.
Gan, S. 1987. Anti Kanker dalam “ Farmakologi dan Terapi”, Edisi III, Bagian Farmakologi FK-UI, Jakarta. 625-626, 635..
Gisela P.C., Gina, C., dan Lazaro, J.E. 1994. Biological Essay For Screening Of Marine Samples, “In Natural Produst Workshop”, Work Book, Marine Science Institut, University Of The Philiphines, Philiphine, 15-18.
Guogiang Li, Zhiwei, D., Huasi, G., Leen van, O., Peter, P & Wenhan, L. 2005. Steroids from the soft coral Dendrophyta sp. www.elsevier.com/locate/steroids. Diakses 22 Februari 2006.
Hadi, S. and John B. Bremner. 2001. Initial Studies on Alkaloids from Lombok Medicinal Plants: Molecules. Departement of Chemistry; University of Wollongong; Wollongong V. 6. 117-129, Australia.
Harryanto, A.R., Aru, W.S., 1990. Kemoterpi Kanker dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 524-529.
Hooper, J.N,A., 1997. Guide to Sponge Collection and Identification. Version Merch. Queensland Museum South Brisbane, Queensland.
Hostettmann, K., Hostettmann, M., Marston, A. 1991. Isolasi dan Uji Sitotoksik Senyawa Bahan Alam. ITB, Bandung.
Jasin, M., 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar Wijaya. Surabaya.
Kompas, 2004. Menggali Bahan Baku Obat di Dalam Laut. Terbit 12 Mei 2004. Jakarta.
Lomis, T.A., 1978. Toksikologi Dasar. Edisi III, Penerjemah Imono Argo, IKIP Semarang Press, 4, 16-21.Manuel J. and Luis M., 2001. Plant Natural Product With Leishmaniacidal Activity. J. The Royal Society of Chemistry, 18: 674-688.McLaughlin, J, L., C.J. Chang, and D.L. Smith, 1991. Benctop : Bioassay for The Discovery of Bioactive Natural Products an update; in studies in Natural Products Chemistry. Elsevier, Amsterdam, in Press. 1-10.
Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E Putnan, L.B. Jacobsen, D.E. Nicholas, J.L. McLaughlin 1982. Brine Shrimp: A
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
8
Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent. Departement of Medical Chemistry and Pharmakognocy, School of Pharmacy and pharmacal science, and Cell Culture Libratory, Perdue Cancer Center. West lavayette. USA.
Raflizar, Adimunca, C.,Tuminah, S. 2006. Dekok Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai Obat Radang Hati Akut. Cermin Dunia Kedokteran. 50: 10-14.
Rahmaniar, 2003. Produk Alam Laut sebagai Lead Compound untuk Farmasi dan Pertanian, Dibawakan pada Seminar Sehari Perpektif baru dalam Drug. Discovery, Makassar, 26 Oktober 2003.
Rahman,R, Abd & Ahmad ridhay, 2004. Penapisan senyawa Antimikroba dari Beberapa Jenis Bunga Karang (Porifera).Tesis tidak diternitkan. Makassar, Jurusan Farmasi Univeritas Hasanuddin.
Romimohtarto,K & Sri Juwana, 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut, Djambatan, Jakarta.
Rosmiati & Suryati,E 2001, Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh senyawa Bioaktif Spona terhadap Bakteri Patogen udang. http://Pustaka.bogor.net/publ/J biotek diakses 24 Februari 2006.
Rusli, 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Anti Mikroba Beberapa Spons dari Perairan Pulau Samalona. Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Sapar, A., A.S. Kumanireng, N, de Voogd, Alfian N, 2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit Sekunder Aktif Sponges Biemna triraphis Asal Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde), Marina Chemica Acta. J.V. 6 NO.1.
Sarjoko, 1996. Hubungan Kuantitatif Struktur dan Aktivitas, Rancangan Rasional dalam Pengembangan Senyawa Bioaktif, Dibawakan pada Seminar sehari Perspektif baru dalam Drug. Discovery, Ujung Pandang.
Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut di Indonesia. Arah dan prospek: Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Jakarta.
Scheuer, P.J., (Ed), 1978. Marine Natural Product : Chemical and Biological Perspectives. Vol. II. Academic Press, Inc. New York. USA.
Scmidt, E.W and Faulkner, D.J. 1998. Mecrosclerodermis C-E, Anrifungal Cyclic, peptide from the lithistid Marine Sponges Theonella sp and Microscleroderma sp, Tetrahedron 54, 3043-3056.
Soekamto, N.H., 2003. Profil Fitokimia Beberapa Spesies Moraceae Indonesia; Disertasi tidak diterbitkan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Troter II, R.T., Logan, M.H., Rocha, J.M., dan Bonetta, J.L., 1983. Ethnography and Bioassay : Combined Methods for a Preliminary Screen of Home Remedies for Potensial Pharmacological Activity. MFI, J. of Pharm, vol 6, no 4.
Ulfa, M. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.). Tesis tidak diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Wahyuono, S., 2003, Mencari Obat antikanker dari Spons Perairan Indonesia, Cakrawala Suplemen Pikiran Rakyat. http:/www. Pikiran rakyat.com, diakses 13 April 2006.
Wiryowidagdo, S & W. Moka, 1995. Identifikasi dan Eksplorasi Organisme Laut sebagai Sumber Bahan Baku obat di Kepulauan Spermonde Sul-Sel.
Yuliani, S. 2001. Prospek Pengembangan Obat Tradisional Menjadi Obat Fitofarmaka. Jurnal Litbang Pertanian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat - Bogor. 20,(3).
Yoshihiro, M., Masoto, F., Akihito,Y., Yutaka, S., Shigenori, & Hiroshi,S. 2001. Triterpene glycosides from the roots of Sanguisorba officinalis. www. elsevier.com/locate/phytocem. Dieakses 22 Februari 2006.
1
Dear readers, Due to a progress in technology, publications now enters in a new appearance and positioned in a global perspective that is the ability of reaching the readers as much and large as possible. Doubly prepared in the form in ‘on-line’ as well as in printed matter are not really an easy task because we are still in a learning stage especially for on line system. Fortunately we have many good talents and volunteers that work hardly to build a capability of having a good online performance. Communication, as said in French words : “ςa n’est plus comme d’autres fois” meaning that the way we interact is no longer like before. Now we all are using internet language which is for older fellows are sometimes difficult to adapt and adopt. We learn every day as the consequence of sustaining life. On the other hand printed form remain existed simply because many writers or researchers require it as part of proven documents needed for promoting their career in professional level. It is necessary as well to let the readers know that various efforts have been conducted to assign the web site of the journal. First thing to do is to apply the journal at www.unhas.ac.id and it works although it is difficult to manage. A second try is to bring the journal into other website in this case called www.marina.cv-21.com as is currently used. Further step in the future is to create our own website called www.marina-chimica-acta.com which will be used for the next publication. Of course some budget implication can not be avoided but as part of our dedication to the journal, an equilibrium between the cost and the service will be made in balance. Sponges have been mostly the article topics presented at this time. Suriani et al for example explored the secondary metabolites of Callispongis sp. through its isolation, characterization, and bioactivity examination. Ika Indrayani et al, on the other hand, discussed about the capacity of Clathria reinwardhi and Xestospongia in absorbing metals Pb and Fe, the research they have done in Spermonde waters. Another sponge research is coming from Henie Purwandar that studied concentration of trace metals of Cr, Co, and Ni on sponge microsymbiont, Enterobacter agglomerans from haliclona fascigera sp. Two other papers are about biosorption capacity of reef upon nickel ion from Rizki Amaliah et al. , and the last one is article given by Rohani Bahar dealing with alginate extraction from seaweed sargassum sp and its application in slowing fruit maturation, in this case oranges. Finally, it is important once again to note that printed form will be kept existed on request and cost implied. Have a nice reading. Chief Editor Alfian Noor
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 2-7
Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 12 No. 1
ISSN 1411-2132
2
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari
Spons Callyspongia sp.
Isolation, Characterization, and Bioactivity of Secondary Metabolites Cloroform Extract of
Sponges Callyspongia sp.
Suriani1)
, Hanapi Usman2)
, Ahyar Ahmad2)
1)Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
2)Jurusan Kimia Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
The isolation, structure determination and activity test against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs
of secondary metabolites of sponges Callyspongia sp has been carried out. Separation techniques used consisted of
maceration and fractination, while the structure of compounds were elucidated based on physical, spectroscopie UV
and IR data. Two compounds that obtained were predicted as (1) Triterpenoid, and (2) Steroid. Compound (1)
showed stronged toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchin eggs LC50 58,86µg/mL and IC50 0,365µg/mL
with compound (2) showed high toxicity against Artemia salina Leach and Sea urchine with LC50 86,53 µg/mL and
IC50 22,69µg/mL, respectively.
Keywords : Callyspongia sp, Bioactivity, Artemia salina Leach, Sea Urchin Eggs, Triterpenoid, Steroid.
PENDAHULUAN
Dibidang kelautan, Indonesia memegang
peranan penting bagi dunia karena memiliki keragaman
hayati laut tertinggi di dunia yang merupakan sumber
daya organik. Di dalamnya terdapat 60.000 km persegi
areal terumbu karang (spons) yang mencakup 15 %
terumbu karang dunia (Kompas, 5 April 2004)
Menurut Achmad (2004) sumber daya organik
merupakan gudang senyawa kimia yang sangat
potensial sebagai sumber senyawa baru yang unik yang
tidak dapat ditemukan di laboratorium dan mungkin
sangat berguna dalam keperluan pengobatan, pertanian,
dan industri. Indonesia memiliki sumberdaya organik
yang melimpah, merupakan kekayaan yang sebagian
besar belum diteliti kandungan kimianya. Oleh
karenanya Indonesia adalah suatu negara yang sangat
prospektif untuk mengembangkan kimia organik bahan
alam khususnya bahan alam laut.
Spons merupakan biota laut yang multiseluler
primitive (metazoan) tanpa jaringan nyata, yang
merupakan sumber metabolit sekunder terkaya
(Eru,2005 & Romimohtarto, 2001). Jumlah
penyebarannya sangat banyak. Ada 15.000 spesies
spons laut di seluruh dunia dan sekitar 45 % senyawa
bioaktif laut ditemukan pada spons laut (Anonim,
2006). Perjalanan pencarian obat dari spons dibeberapa
perairan Indonesia sudah dilakukan, namun masih
banyak lokasi di Indonesia yang belum tersentuh
(Wahyuono,2003).
Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis
spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah
Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang
mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari
spons ini dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan
antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996) dan juga beberapa
metabolit sekunder yang memiliki bioaktifitas telah berhasil
diisolasi dan diidentifikasi dari spons Indonesia antara lain
β-sitosterol; Cholest-5-en-3β-ol; Cholestan-3β-ol; Ergosta-
5,22-dien-3β-ol; 9,19-Siklocholest-24-en-3β-ol; dan Ergost-
5-en-3β-ol, senyawa tersebut menunjukkan toksisitas
terhadap A.salina (Sapar, 2004). Barangamide, brianthein,
aaptamin, lembehyne, dan bitungolides (Rachmaniar, 2003).
Senyawa-senyawa lain masih banyak diteliti dan dilaporkan
mempunyai aktivitas farmakologis seperti caminoside A dan
swinhoeiamide A (Astuti, 2003). Analisis yang dilakukan
terhadap spons Xestospongia aschmorica menghasilkan
empat senyawa manzamine baru dengan aktivitas antibakteri
(Endrada et al., 1996). Manzamin A yang sebelumnya
banyak diteliti karena potensinya sebagai senyawa
antikanker mampu menghambat parasit malaria. Peptida
pendek dan siklo peptide dari Theonella sp. Dan
Microscleroderma sp. (Schmidt and Fusetani et al., 1999)
yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi dan
pengobatan penyakit pada manusia dan hewan (Schmidt and
Faulkner,1998; Fusetani et al., 1999; dalam Sapar, 2004).
Bunga karang yang aktif sebagai bakterisida pada komoditas
perikanan antara lain Callyspongia sp, Halicondria sp, dan
Auletta sp (Rosmiati & Suryati, 2001).
Namun sejauh ini belum banyak data penelitian
yang mengeksplorasi senyawa metabolit sekunder dari spons
Callyspongia sp sebagai bahan baku obat pada penyakit
manusia dan hewan yang bersifat sebagai anti kanker. Oleh
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
3
karena itu perlu dilakukan penelusuran senyawa
metabolit sekunder dari spons Callyspongia sp serta uji
toksisitas sebagai anti kanker dengan menggunakan uji
BST dan antimitotik masing-masing menggunakan
benur udang A. Salina dan telur bulubabi.
METODE PENELITIAN
1. Isolasi dan pemurnian senyawa metabolit
sekunder dari spons
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan pada metode yang sering digunakan dalam
mengisolasi senyawa kimia bahan alam yang meliputi
pemilihan spesies spons, penentuan lokasi pengambilan
sampel, persiapan dan pengambilan sampel hewan,
maserasi, partisi, fraksinasi dan analisis spektroskopi
dari senyawa murni yang diperoleh dan dilanjutkan
dengan uji aktivitas dari senyawa yang diperoleh
(Soekamto, 2003).
2. Uji Bioaktivitas
a. uji toksisitas dengan menggunakan metode
Brine Shrimp lethality test (BST)
Masing-masing sebanyak 1 mg sampel dalam
tabung ependorf dilarutkan dalam DMSO sebanyak
100 µL kemudian diencerkan dengan 150 µL aquades.
Dari pengenceran tersebut diambil 200 µL diencerkan
kembali dengan 600 µL aquades. Selanjutnya
pengenceran dilakukan dalam mikroplate dengan
konsentrasi yang divariasi dan volume sampel tiap
lubang 100 µL secara triplo. Larva udang A. salina
yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 µL dengan
jumlah benur 7-15 ekor, dimasukkan dalam mikroplate
(96-well plate) yang berisi sampel kemudian diinkubasi
selama 24 jam dilakukan juga pada DMSO tanpa
sampel sebagai control negative. Selanjutnya dihitung
udang yang mati dan yang hidup serta ditentukan LC50
dengan program “ Bliss method” (Meyer, 1982).
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel
telur Bulubabi
Tabung eppendoff yang berisi sampel
ditambahkan air laut sesuai perhitungan untuk
mencukupkan volume akhir hingga 1 ml. Kemudian
dalam tabung tersebut ditambahkan zigot sebanyak 100
µg/ml setelah 10 menit terjadi fertilisasi. Dilakukan
pengulangan 3 kali untuk tiap sampel uji dan kontrol.
Selanjutnya disimpan pada suhu 15 – 20 oC dengan
diselingi pengocokan. Pengamatan sel yang membelah
dilakukan setelah 2 jam inkubasi dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi dengan kamera.
3. Penentuan Struktur Senyawa
Penentuan struktur senyawa dapat dilakukan
berdasarkan pengukuran instrument seperti UV dan IR
terhadap senyawa bioaktif yang telah dimurnikan.
HASIL PENELITIAN
1. Ekstraksi dan Fraksinasi
Hasil maserasi ekstrak kloroform setelah disaring
dievaporasi pada tekanan rendah diperoleh maserat kental
berupa residu berwarna coklat sebanyak 1044 mL dan secara
konversi berat pervolume diperoleh ekstrak sebanyak 48 g.
Hasil ekstraksi cair-cair dalam corong pisah berturut-turut
dengan pelarut n-heksan, kloroform dan etil asetat pada
penguapan mengunakan alat rotary vapor dengan tekanan
rendah diperoleh ekstrak n-heksan (3,8g), kloroform (6,8g),
dan etil asetat (2,6g)
Ekstrak kloroform (6,8g) tersebut selanjutnya
difraksinasi dengan menggunakan KKV dan eluen n-
heksan, campuran n-hesan-etil asetat dengan peningkatan
kepolaran diperoleh 27 fraksi. Berdasarkan analisis KLT
fraksi dengan Rf yang sama digabung hingga diperoleh 4
fraksi utama (A-D), kemudian dievaporasi dan ditentukan
beratnya serta dimonitor dengan KLT.
Fraksi X merupakan gabungan fraksi A dan fraksi B,
setelah difraksinasi dengan KKT menggunakan eluen n-
heksan, campuran n-heksan etil asetat dengan peningkatan
kepolaran diperoleh 32 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi
berdasarkan analisis KLT menghasilkan 9 fraksi utama (X1
–X9 ).
Fraksi utama ke-2 (X2) sebanyak 13,2 mg berupa serbuk
putih kekuningan, dikristalisasi dan direkristalisasi dengan
metanol diperoleh senyawa (1) berupa serbuk putih
sebanyak 6,4 mg dengan titik leleh 176 –177 oC.
Kemurnian senyawa tersebut dengan melalui analisis KLT
yang menunjukkan noda tunggal dengan tiga macam sistem
eluen.
Fraksi utama ke-3 (X3) setelah dikristalisasi dengan
aseton menghasilkan senyawa (2) yang berupa kristal putih
sebanyak 4,2 mg. Kristal tersebut larut dalam pelarut n-
heksan. Fraksi utama C difraksinasi lebih lanjut dengan
menggunakan KKT dengan eluen etil-asetat–n-heksan 40%
diperoleh 5 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi berdasarkan
analisis KLT. menghasilkan 2 fraksi utama (C1 – C2).
Setelah fraksi C1 dikristalisai dengan aseton kemudian fraksi
C1 dan fraksi X3 dianalisis dengan KLT secara bersama-
sama, karena analisis KLT mempunyai nili Rf yang sama
sehingga fraksi C1 dan fraksi X3 digabung diperoleh
senyawa (2) berbentuk kristal putih sebanyak 5,4 mg dengan
titik leleh 187 – 189 oC. Karakter senyawa tidak berpendar
dibawah UV, namun dengan menggunakan pereaksi
penampak noda seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula
berwarna biru kemudian memudar dan larut dalam
kloroform. Kemurnian senyawa (2) dibuktikan melalui
analisis KLT dengan tiga macam sistem eluen yang
menunjukkan noda tunggal.
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
4
2. Uji Bioaktivitas. Uji toksisitas dengan
menggunakan metode Brine Shrimp lethality test
(BST)
Tabel 1. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) ekstrak
spons callysponga sp. fraksi n-heksan, kloroform dan
etil asetat
No Ekstrak Berat
(g)
Aktivitas
(LC50)
(µg/mL)
1.
2.
3.
n-Heksan
Kloroform
Etil asetat
3,8
6,8
2,6
230,25
94,53
435,38
Tabel 2. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) 4 fraksi
utama hasil fraksinasi ekstrak kloroform
spons Callyspongia sp .
No Fraksi
utama
Berat
(mg)
Aktivitas
(LC50)
(µg/mL)
1.
2.
3.
4.
Fraksi A
Fraksi B
Fraksi C
Fraksi D
134
87
43
32
58,86
152,09
184,33
741,09
Tabel 3. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) fraksi-
fraksi utama hasil fraksinasi fraksi A+B
(fraksi X) dan fraksi C
No Fraksi Berat
(mg)
Aktivitas
(LC50)
(µg/mL)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
X1
X2
X3-C1
X4
X5
X6
X7
X8
X9
3,3
13,2
14,6
5,2
4,6
3,7
4,3
4,5
3,2
-
11,83
68,32
-
758,46
471,29
778,09
358,70
-
Tabel 4. Nilai aktivitas (LC50 dalam µg/mL) senyawa (isolat
tunggal)
No Senyawa Berat
(mg)
Aktivitas
(LC50)
(µg/mL)
1.
2.
Senyawa 1
Senyawa 2
6,4 mg
9,6 mg
58,86
86,53
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur
Bulubabi
Tabel 5. Nilai aktivitas (IC50 dalam µg/mL) ekstrak
kloroform dan senyawa (isolat tunggal)
No Senyawa Berat
Aktivitas
(IC50 )
(µg/mL)
1.
2.
3.
Ekstrak
kloroform
Senyawa 1
Senyawa 2
6,8 g
6,4 mg
9,6 mg
5,337
0,365
22,69
3. Pengukuran Spektroskopi
Senyawa (1) diperoleh sebagai serbuk berwarna
putih dengan titik leleh 176 – 177 oC. UV (MeOH) λmax: 237
nm dan 366 nm; penambahan pereaksi NaOH menunjukkan
λmax : 237 nm dan 366 nm; spektrum IR (Kbr) Vmax cm-1
:>3000 cm-1
(OH), 2918, 2962, 2850 cm-1
(C-H alifatik)
1705 cm-1
(C=O), 1261, cm-1
(O-CH3), 1097 cm-1
(C-O),
1465 cm-1
dan 1407 cm-1
(CH2 dan CH3) serta tekukan
keluar bidang C-H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1
Senyawa (2) dperoleh sebagai kristal berwarna
putih dengan titik leleh 187 – 189 oC. UV (MeOH) λmax : 229
nm dan 274 nm; penambahan pereaksi geser NaOH
menunjukkan λmax : 229 nm dan 274 nm; spektrum IR (Kbr)
Vmax cm-1
: 3433 cm-1
(OH), 2924 dan 2851 cm-1
(C-H
alifatik) 1107 (C-O), 1710 cm-1
(C=O), 1464 dan 1374 cm-1
(CH2 dan CH3) serta serapan tekukan keluar bidang C-H
pada serapan 959, 879 dan 793 cm-1
.
PEMBAHASAN
1. Interpretasi senyawa
Senyawa 1 diperoleh berbentuk serbuk berwarna
putih dengan titik leleh 176–177 oC. Hasil uji kualitatif
dengan pereaksi Liebermann Burchard menunjukkan positif
warna merah ungu yang mengindikasikan golongan senyawa
triterpenoid.
Dari spektrum UV tampak bahwa senyawa 1
memberikan pita serapan maksimum pada daerah panjang
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
5
gelombang λmaks 237 nm (9230) dan serapan pada
panjang gelombang λmaks 366 nm (727), setelah
penambahan pereaksi geser NaOH tidak menyebabkan
pergeseran panjang gelombang yang mengindikasikan
bahwa tidak ada pergeseran gugus hidroksil.
Dari data spektrum IR tersebut di atas, nampak
adanya serapan pada νmaks >3000 cm-1
menunjukkan
adanya gugus OH, serapan pada 2918, 2962, 2850 cm-1
yang sangat kuat dan tajam menunjukkan adanya
gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada νmaks
1463 cm-1
yang merupakan tekukan C-H alifatik dari
CH2 dan serapan pada νmaks 1385 cm-1
yang merupakan
tekukan C-H alifatik dari CH3 yang khas untuk
golongan triterpenoid (Yoshihiro et al, 2001). Serapan
pada 1705 cm-1
yang menunjukkan regangan ulur
ikatan C=O sebagai keton siklik, serapan pada 1261
cm-1
menunjukkan adanya gugus metoksi dan serapan
pada 1097 cm-1
merupakan regangan ulur dari C-O
alkohol sekunder serta tekukan keluar bidang gugus C-
H pada serapan 865, 801 dan 720 cm-1
(Gambar 2).
Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi
literatur senyawa-senyawa triterpenoid maka dapat
disimpulkan bahwa senyawa 1 adalah senyawa
golongan triterpen.
Senyawa 2 diperoleh berbentuk kristal
berwarna putih dengan titik leleh 187– 189 oC.
Karakter senyawa ini tidak berpendar dibawah UV,
namun dengan menggunakan pereaksi penampak noda
seriumsulfat menunjukkan noda mula-mula berwarna
biru kemudian memudar dan larut dalam kloroform.
Hasil uji kualitatif dengan pereaksi Liebermann
Burchard menghasilkan warna hijau biru yang
mengindikasikan senyawa golongan steroid hal ini juga
didukung dengan adanya analisis spektrum UV dan IR.
Dari spektrum UV senyawa 2 diperoleh
serapan maksimum pada λmax 229 nm (6543) dan 274
nm (2592). Penambahan pereaksi geser NaOH tidak
mengakibatkan pergeseran panjang gelombang
ditunjukkan pada serapan λmax 229 dan 274 nm yang
mengindikasikan tidak ada pergeseran gugus hidroksil.
Selanjutnya informasi mengenai senyawa 2
sebagai senyawa steroid diperoleh dari spektrum infra
merah (Gambar 4) nampak adanya bilangan
gelombang maksimum pada daerah νmaks 3433 cm-1
yang merupakan serapan untuk gugus OH (hidroksil),
indikasi terhadap adanya gugus hidroksil didukung
oleh serapan pada daerah νmaks 1107 cm-1
merupakan
regangan ulur dari C-O alkohol sekunder yang khas
untuk golongan steroid (Guogiang et al, 2005). Pada
bilangan gelombang νmaks 2924, 2851 cm-1
terdapat
serapan yang sangat kuat dan tajam menunjukkan
adanya gugus C-H alifatik diikuti dengan serapan pada
νmaks 1464 cm-1
yang merupakan tekukan C-H
alifatik dari CH2 dan serapan pada νmaks 1374 cm-1
yang merupakan tekukan C-H alifatik dari CH3.
Bilangan gelombang pada νmaks 1710 cm-1
menunjukkan adanya serapan gugus karbonil (C=O) sebagai
keton siklik dan bilangan gelombang pada gelombang νmaks
1259 cm-1
yang kuat menunjukkan adanya gugus metoksi
serta tekukan keluar bidang C-H pada serapan 959,879 dan
793 cm-1
.
Berdasarkan data-data di atas dan hasil studi
literatur senyawa-senyawa steroid maka dapat disimpulkan
bahwa senyawa 2 adalah senyawa golongan steroid.
2. Uji Bioaktivitas Senyawa Metabolit Sekunder
a. Uji toksisitas dengan menggunakan metode Brine
Shrimp lethality test (BST)
Metabolit sekunder ekstrak n-heksan, fraksi-fraksi,
dan isolat tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia
sp. diuji aktivitasnya dengan menggunakan udang A.salina
sesuai dengan cara yang diuraikan oleh Meyer. Hasil uji
menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi bahkan
ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi. Berdasarkan
suatu ketentuan, senyawa murni dikatakan aktif apabila nilai
LC50 di bawah atau sama dengan 200 µ g/mL dan 500
µ g/mL untuk ekstrak atau fraksi (Anderson et al, 1991).
Aktivitas ekstrak awal (ekstrak n-heksan,
kloroform, dan etil asetat) terhadap benur udang A. salina
dengan nilai LC50 masing-masing 230,25 µ g/mL, 94,53
µ g/mL, dan 435,38 µ g/mL. Hasil ini menunjukkan bahwa
ekstrak kloroform sangat aktif, dan ekstrak n-heksan
tergolong aktif sedangkan ekstrak etil asetat cukup aktif.
Kemudian empat fraksi utama hasil fraksinasi ekstrak
kloroform, hanya satu fraksi yang dikategorikan tidak aktif
yaitu fraksi D. Fraksi A, fraksi B dan fraksi C mempunyai
nilai LC50 rata-rata dibawah 200 µ g/mL (Tabel 2) sehingga
tergolong aktif terhadap benur udang A. salina. Hal ini
mengindikasikan bahwa fraksi-fraksi dari ekstrak kloroform
spons Callyspongia sp kemungkinan mengandung senyawa
yang bersifat bioaktif atau kemungkinan terdapat beberapa
senyawa yang tidak aktif yang bergabung dan saling
memperkuat bioaktivitasnya sehingga menyebabkan fraksi
tersebut aktif.
Fraksi yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi,
yaitu fraksi A dengan LC50 58,86 µ g/mL menunjukkan
bahwa pada fraksi ini terdapat senyawa yang sangat aktif
atau bersifat bioaktif. Hal ini didukung dengan
ditemukannya senyawa golongan triterpenoid. Senyawa ini
menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap benur udang
Artemia salina dengan nilai LC50 42,97 µ g/mL (Ulfa,
2006). Aktivitas yang sangat tinggi pada senyawa
triterpenoid dengan gugus asam karboksilat juga dijumpai
pada asam (24Z)-3-oksotirukalla-7,24-dien-26-oat dan
asam epi-oleanolat (Gambar 5) yang berhasil diisolasi dari
daun Celaenododendron mexicanum (Euphorbiaceae).
Kedua senyawa ini mempunyai aktivitas anti-protozoa
( Manuel et al., 2001).
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
6
Gambar 5. Struktur Molekul Senyawa Triterpenoid
Asam Karboksilat
Fraksi B dan fraksi C dengan LC50 masing-
masing 152,09 µ g/mL dan 184,33 µ g/mL juga
tergolong fraksi yang aktif. Hasil fraksinasi fraksi X
(fraksi A + fraksi B ) dan fraksi C juga memperlihatkan
fraksi yang tergolong aktif yaitu fraksi X2 11,83
µ g/mL dan fraksi X3 + C2 68,32 µ g/mL kecuali
fraksi X5 758,46 µ g/mL, fraksi X6 471,29 µ g/mL,
fraksi X7 778,09 µ g/mL dan fraksi X8
358,70 µ g/mL. Fraksi X1, Fraksi X4 dan fraksi X9
tidak dilakukan uji bioaktivitas karena tidak larut
dalam larutan uji yang digunakan dalam hal ini adalah
DMSO
Kemudian fraksi X3 + C1 yang aktivitasnya
tergolong sangat tinggi (68,32 µ g/mL) setelah
direksistalisasi diperoleh senyawa (2) yang dipastikan
sebagai senyawa golongan steroid dengan LC50 86,53
µ g/mL menunjukkan bahwa pada fraksi ini terdapat
senyawa yang bersifat bioaktif. Hal ini didukung
dengan ditemukannya senyawa golongan steroid pada
fraksi tersebut. Senyawa ini menunjukkan aktivitas
yang tinggi terhadap benur udang A. salina dengan
nilai LC50 76 µ g/mL (Sapar, 2004).
Golongan senyawa steroid yang hampir selalu
dapat ditemukan pada hewan dan tumbuhan. Senyawa
ini diduga terbentuk dari asam asetat melalui jalur
asam mevalonat kemudian mengalami beberapa reaksi
kondensasi, siklisasi dan sebagainya hingga terbentuk
senyawa antara/intermediate. Penggunaan senyawa-
senyawa aktif farmakologik yang berasal dari alam
seperti turunan steroid sangat penting artinya ditinjau
dari segi kesehatan karena efek sampingnya relatif
kecil dibanding dengan senyawa sintetik. Di samping
itu, bahan baku senyawa-senyawa ini juga dapat
diperbaharui. Senyawa golongan steroid seperti β -sitosterol
memiliki efek farmakologis yaitu mampu menghambat kerja
enzim yang mengkonversi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan penyebab
terjadinya kanker prostat (Renai Sante dalam Sapar, 2004).
Gambar 6. Struktur molekul senyawa steroid
( β -sitosterol)
b. Uji aktivitas dengan metode uji Antimitotik sel telur
Bulubabi
Metabolit sekunder ekstrak kloroform dan isolat
tunggal yang diperoleh dari spons Callyspongia sp diuji
aktivitasnya dengan menggunakan sel telur Bulubabi. Hasil
uji menunjukkan adanya toksisitas yang cukup tinggi
bahkan ada yang toksisitasnya tergolong sangat tinggi.
Pengelompokan terhadap aktivitas sitotoksik didasarkan
pada kriteria sitotoksisitas yang tinggi bila IC50 < 4 µg/mL
untuk senyawa murni dan IC50 < 20 µg/mL untuk ekstrak
total (Hostettmann,1991).
Uji aktivitas ekstrak kloroform, senyawa (1) dan
senyawa (2) terhadap sel telur Bulubabi masing-masing
5,337 µg/mL,0,365 µg/mL dan 22,69 µg/mL. Berdasarkan
kriteria pengelompokan maka ekstrak kloroform dan
senyawa (1) memiliki toksisitas yang sangat tinggi
sedangkan senyawa (2) memiliki toksisitas cukup tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan
bahwa ekstrak atau fraksi yang bersifat aktif setelah
difraksinasi lebih lanjut akan menghasilkan fraksi atau
senyawa murni yang juga bersifat aktif seperti pada fraksi X2
dan X3 +C1 diatas. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada
ekstrak atau fraksi yang tergolong aktif ditemukan atau
terdapat senyawa yang tidak aktif khususnya terhadap benur
udang A. salina dan sel telur Bulubabi.
KESIMPULAN
Hasil interpretasi data fisik dan spektrum (UV dan
IR) menghasilkan 2 jenis senyawa yang diperoleh
merupakan (1) senyawa triterpendid dan (2) senyawa steroid.
Hasil uji bioaktif yang dilakukan terhadap benur udang
Artemia salina Leach dan sel telur Bulubabi memperlihatkan
bahwa senyawa (1) sangat toksik terhadap Artemia salina
dan sel telur Bulubabi masing-masing LC50 58,86 µg/mLdan
IC50 0,365 g/mL sedang senyawa (2) cukup toksik terhadap
HO
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
7
Artemia salina dan sel telur Bulubabi dengan LC50
86,53 µg/mL dan IC50 22,69µg/mL.
SARAN
Callyspongia sp berpotensi untuk
dikembangkan sebagai fitofarmaka mengingat senyawa
yang terkandung di dalamnya bersifat bioaktif. Untuk
itu perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh dan analisis
spektrum lebih lanjut agar dapat diketahui secar pasti
struktur senyawa yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 2004. Empat puluh tahun dalam kimia
organic bahan alam tumbuh-tumbuhan tropika
Indonesia, Rekoleksi dan Prospek. Bulletin of The
Indonesian Society of Natural Products Chemistry,
4(2): 5 -54.
Anderson, J.E., Goetz, C.M, and McLaughlin, J.L.
1990. A blind Comparison of Simple Banch-top
Bioassay and Human Tumour Cell Cytotoxicities
as Anti tumour Prescreen. Phytochemical Analysis
. 6: 107-111
Anonim, 2003. Foundation Scuba Diver Indonesia.
http:/www.Terangi.or.id/ Indonesian/terumbu-
Indon, diakses 12 April 2005.
Anonim, 2006, Mencari Obat Mujarab Laut.
http:/www. Forek.or.id, diakses 25 Mei 2006.
Amir,I & Bidiyanto,A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongia) Sec. Umum. Oseana, Vol 21 No 2,
Lipi, Jakarta.
Astuti, P., 2003, Spons Invertebrata Laut Berpotensi
sebagai Sumber Bahan Baku Obat Alam, vol 8
No.26 Oktober-Desember (Edisi khusus). Bagian
Biologi-Farmasi, UGM, Yogyakarta.
Barnes, R., P. Calon and P. Olive, 1989. The
Invertebrata. Blacwell Scientific Pub. Oxford.
London. Edinburg. Boston Melborne. Five Pub:
49-53.
Barnes., R.S.K., 1999. A new Synthesis. Second
Edition. Blacwel Science, UK, 49-52.
Caraan, G.B., Lazaro,J.E., Concepcio, G.P., 1994,
Biological Assays for Screening of Marine
Samples, Second Marine Natural Product
Workshop, Marine Science Institute and Institute
of Chemistry, University of the Philipines.
Dini, I. 2005. Penelusuran Metabolit Sekunder Ekstrak
Kulit Batang Tumbuhan Paliasa (Kleinhovia
hospita Linn.) dan Bioaktivitasnya terhadap
Artemia salina Leach. Tesis tidak diterbitkan.
Makassar: Jurusan Kimia Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Eru Wibowo, A., dkk., 2005, Studi Eksplorasi Senyawa
Metabolit Sekunder dari biota Laut, Pusat
Pengkajian dan penerapan Teknologi Farmasi dan
Medika. http:/www. Iptek.com, diakses 12 April 2005.
Fusetani, N.,J Warabi, K. Nogata, Y., Nakao, Y &
Matsunaga, S. 1997. Koshikamide Al, a new Cytotoxic
Linear Peptide Isolated from a Marine Sponge,
Theonella sp. Tetrahedron letters 40, 4687-4690.
Garson, M.J., 1994. The Biosynthesis of Sponge Secondary
Metabolites: Why it is Important? In : Soest, R. W. M.
van, Th. M.G. van Kempen and J. C. Braekman,
Sponges in Time and space. Proc. 4 th Int. Porifera
Congr. Rotterda: Balkema.
Gatot, D. 1984. Kemoterapi Tumor Ganas dalam “Tumor
Ganas pada Anak”. Bagian Patologi Anatomik, FK-UI,
Jakarta, 99-105.
Gan, S. 1987. Anti Kanker dalam “ Farmakologi dan Terapi”, Edisi III, Bagian Farmakologi FK-UI, Jakarta.
625-626, 635..
Gisela P.C., Gina, C., dan Lazaro, J.E. 1994. Biological
Essay For Screening Of Marine Samples, “In Natural
Produst Workshop”, Work Book, Marine Science
Institut, University Of The Philiphines, Philiphine, 15-
18.
Guogiang Li, Zhiwei, D., Huasi, G., Leen van, O., Peter, P &
Wenhan, L. 2005. Steroids from the soft coral
Dendrophyta sp. www.elsevier.com/locate/steroids.
Diakses 22 Februari 2006.
Hadi, S. and John B. Bremner. 2001. Initial Studies on
Alkaloids from Lombok Medicinal Plants: Molecules.
Departement of Chemistry; University of Wollongong;
Wollongong V. 6. 117-129, Australia.
Harryanto, A.R., Aru, W.S., 1990. Kemoterpi Kanker dalam
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta, 524-529.
Hooper, J.N,A., 1997. Guide to Sponge Collection and
Identification. Version Merch. Queensland Museum
South Brisbane, Queensland.
Hostettmann, K., Hostettmann, M., Marston, A. 1991.
Isolasi dan Uji Sitotoksik Senyawa Bahan Alam. ITB,
Bandung.
Jasin, M., 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan
Vertebrata. Sinar Wijaya. Surabaya.
Kompas, 2004. Menggali Bahan Baku Obat di Dalam Laut. Terbit 12 Mei 2004. Jakarta.
Lomis, T.A., 1978. Toksikologi Dasar. Edisi III, Penerjemah
Imono Argo, IKIP Semarang Press, 4, 16-21.Manuel J.
and Luis M., 2001. Plant Natural Product With
Leishmaniacidal Activity. J. The Royal Society of
Chemistry, 18: 674-688.McLaughlin, J, L., C.J. Chang,
and D.L. Smith, 1991. Benctop : Bioassay for The
Discovery of Bioactive Natural Products an update; in
studies in Natural Products Chemistry. Elsevier,
Amsterdam, in Press. 1-10.
Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E Putnan, L.B. Jacobsen, D.E.
Nicholas, J.L. McLaughlin 1982. Brine Shrimp: A
Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Volume 13 Nomor 1
8
Convenient General Bioassay for Active Plant
Constituent. Departement of Medical Chemistry
and Pharmakognocy, School of Pharmacy and
pharmacal science, and Cell Culture Libratory,
Perdue Cancer Center. West lavayette. USA.
Raflizar, Adimunca, C.,Tuminah, S. 2006. Dekok
Daun Paliasa (Kleinhovia hospita Linn) Sebagai
Obat Radang Hati Akut. Cermin Dunia Kedokteran. 50: 10-14.
Rahmaniar, 2003. Produk Alam Laut sebagai Lead
Compound untuk Farmasi dan Pertanian,
Dibawakan pada Seminar Sehari Perpektif baru
dalam Drug. Discovery, Makassar, 26 Oktober
2003.
Rahman,R, Abd & Ahmad ridhay, 2004. Penapisan
senyawa Antimikroba dari Beberapa Jenis Bunga
Karang (Porifera).Tesis tidak diternitkan.
Makassar, Jurusan Farmasi Univeritas
Hasanuddin.
Romimohtarto,K & Sri Juwana, 2001. Biologi Laut,Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut, Djambatan,
Jakarta.
Rosmiati & Suryati,E 2001, Isolasi, Identifikasi dan
Pengaruh senyawa Bioaktif Spona terhadap
Bakteri Patogen udang.
http://Pustaka.bogor.net/publ/J biotek diakses 24
Februari 2006.
Rusli, 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Anti
Mikroba Beberapa Spons dari Perairan Pulau
Samalona. Tesis tidak diterbitkan. Makassar:
Jurusan Kimia Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Sapar, A., A.S. Kumanireng, N, de Voogd, Alfian N,
2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit
Sekunder Aktif Sponges Biemna triraphis Asal
Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde),
Marina Chemica Acta. J.V. 6 NO.1.
Sarjoko, 1996. Hubungan Kuantitatif Struktur dan
Aktivitas, Rancangan Rasional dalam
Pengembangan Senyawa Bioaktif, Dibawakan
pada Seminar sehari Perspektif baru dalam Drug.
Discovery, Ujung Pandang.
Satari. RR, 1999. Penelitian Produk Bahan Alam Laut
di Indonesia. Arah dan prospek: Seminar Nasional
Kimia Bahan Alam. Jakarta.
Scheuer, P.J., (Ed), 1978. Marine Natural Product :
Chemical and Biological Perspectives. Vol. II.
Academic Press, Inc. New York. USA.
Scmidt, E.W and Faulkner, D.J. 1998.
Mecrosclerodermis C-E, Anrifungal Cyclic,
peptide from the lithistid Marine Sponges
Theonella sp and Microscleroderma sp,
Tetrahedron 54, 3043-3056.
Soekamto, N.H., 2003. Profil Fitokimia Beberapa Spesies Moraceae Indonesia; Disertasi tidak
diterbitkan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Troter II, R.T., Logan, M.H., Rocha, J.M., dan Bonetta, J.L.,
1983. Ethnography and Bioassay : Combined Methods for a Preliminary Screen of Home Remedies for
Potensial Pharmacological Activity. MFI, J. of Pharm,
vol 6, no 4.
Ulfa, M. 2006. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas
Metabolit Sekunder Ekstrak Kulit Batang Tumbuhan
Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.). Tesis tidak
diterbitkan. Makassar: Jurusan Kimia Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Wahyuono, S., 2003, Mencari Obat antikanker dari Spons
Perairan Indonesia, Cakrawala Suplemen Pikiran
Rakyat. http:/www. Pikiran rakyat.com, diakses 13
April 2006.
Wiryowidagdo, S & W. Moka, 1995. Identifikasi dan
Eksplorasi Organisme Laut sebagai Sumber Bahan
Baku obat di Kepulauan Spermonde Sul-Sel.
Yuliani, S. 2001. Prospek Pengembangan Obat Tradisional
Menjadi Obat Fitofarmaka. Jurnal Litbang Pertanian
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat - Bogor.
20,(3).
Yoshihiro, M., Masoto, F., Akihito,Y., Yutaka, S.,
Shigenori, & Hiroshi,S. 2001. Triterpene glycosides
from the roots of Sanguisorba officinalis. www.
elsevier.com/locate/phytocem. Dieakses 22 Februari
2006.
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 9-15
Program Buginesia, Universitas Hasanuddin
Vol. 13 No. 1
ISSN 1411-2132
�
�
�
�
��
�
PENELITIAN LOGAM Pb DAN Fe DALAM SPONS DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
Ika Indrayani, Mutamainnah Bashir, Alfian Noor*, Asmawati Abdullah
Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Hasanuddin
Kampus UNHAS Tamalanrea, Makassar 90245 *Kontak : [email protected]�
ABSTRACT
Analisis of metals concentration of Pb and Fe in the sponge Clathria reinwardhi, Clathria sp. and Xestospongia
sp. have been carry out. Spons preparation was done by washed, dried, crushed and dissolved in HNO3 p.a the
solution is ready for analysis using by Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) method. The results shown
that Pb was higher accumulation in sceleton and Fe was in tissue. The concentration of Pb and Fe in the
sponge from Barranglompo are Clathria reinwardhi (8,85 and 238,40 ppm); Clathria sp. (15,94 and 232,79
ppm); Xestospongia sp. (8,86 and 139,39 ppm). Samalona are Clathria reinwadhi (10,99 and 259,87 ppm);
Xestospongia sp. (9,92 and 301,69 ppm) and Barangcaddi is Clathria reinwardhi (10,99 and 147,32 ppm).
Key words : Accumulation, Concentration, Metals, Spons, SSA
PENDAHULUAN
Platform karang kepulauan Spermonde adalah
kandang keragaman hayati perairan Indonesia yang
jarang tandingannya dan yang paling banyak diteliti
dalam tigapuluh tahun terakhir. Setidaknya 262
spesies terumbu karang Moll, H (1983), 223 spesis
rumput laut Verheij (1993), 58 spesis lamun
Erftemeier (1994), dan 199 spesis spons de Voogd
(1999) telah ditemukan dan dideterminasi dalam
lingkup kepulauan ini. Di sisi lain pengaruh kota
metropolitan Makassar berupa buangan limbah
cukup besar diantaranya logam berat (lihat peta)
Gambar 1. Peta Kawasan Terpadu Kota Makassar
Spons sebagai filter feeder sudah diketahui
berperan penting sebagai alat monitor dan bahkan
menyerap logam tersebut dalam sistem biologisnya
(setidaknya dua sumber). Berikut ini dilaporkan
hasil penelitian kontribusi berbagai jenis spons
dalam menyerap Pb dan Fe di perairan kota
Makassar.
METODOLOGI PENELITIAN
Alat Penelitian Alat yang digunakan meliputi alat gelas yang
umum digunakan di laboratorium,
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Buck
Scientific 205, lampu katoda berongga Pb dan Fe,
neraca analitik Ohaus Mode No. AP 110, pemanas
listrik Maspion, batang pengaduk, kotak es, cawan
petri, lumpang porselin, oven SPN 150 SFD Model
Spinsofd, konduktometer YSI Model 33, pH-meter
Pinnacle Series, dan desikator.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan: spons spesis Clathria
reinwardhi, Clathria sp., Xestospongia sp., HNO3
p.a Merck, HNO3 5%, HNO3 0,5 M, NH4Fe(SO4)2.
12 H2O Merck, Pb(NO3)2 Merck, akuabides,
akuades, deterjen, kertas pH, aseton teknis, tissue
roll, aluminium foil, kertas saring Whatman 42,
plastik kedap udara, dan kertas label.
Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel spons dilakukan pada
tanggal 23 Maret 2011 di tiga lokasi yaitu Pulau
Barranglompo, Pulau Barangcaddi dan Pulau
Samalona. Kemudian sampel dipreparasi dan
diukur di laboratorium Kimia Analitik FMIPA
UNHAS.
Metode Pengambilan Sampel Sampel spons yang telah diambil dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi, yaitu spons
(Clathria reinwardhi, Xestospongia sp. Clathria
sp). Sampel air laut dan sedimen juga diambil di
lokasi spons tersebut.
Sampel spons dicuci bersih, kemudian dibagi
menjadi dua bagian, satu untuk perlakuan pada
rangka dan bagian lain untuk perlakuan bukan-
rangka.
Prosedur Analisis Analisis kadar air dan logam
berat (Pb dan Fe) Kira-kira 10,000 gram masing-masing sampel
ditimbang teliti di dalam cawan. Sampel
dikeringkan dalam oven pada temperatur 105 oC
selama 4 jam lalu didinginkan dalam desikator,
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons Volume 13 Nomor 1
�
���
kemudian sampel kering ditimbang. Sampel kering
ditimbang sampai bobot tetap. Selisih bobot
menunjukkan kadar air.
Penyiapan sampel Pb dan Fe dalam rangka,
sampel dicuci air panas yang ditambahkan deterjen
kemudian direndam dalam air laut selama kurang
lebih 48 jam. Setelah itu sampel ditekan-tekan
sampai jaringannya rusak dan dicuci dengan air.
Selanjutnya sampel dicuci aseton, dikeringkan dan
dihaluskan sampai menjadi serbuk.
Untuk penentuan logam Pb dan Fe secara
keseluruhan, contoh dicuci air panas yang
ditambahkan deterjen lalu direndam dalam
akuades. Setelah itu contoh dicuci aseton kemudian
dikeringkan dan dihaluskan sampai menjadi serbuk,
sedangkan penetapan kadar logam Pb dan Fe
maupun larutan bakunya serta larutan sampel
dilakukan menurut (Verdenal dkk, 1985) Setiap
sampel ditimbang teliti sebanyak 1 gram lalu
ditambahkan 10 mL asam nitrat p.a, dipanaskan
dan kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Setelah dingin dimasukkan ke dalam labu takar 50
mL lalu diencerkan hingga tanda batas dengan
akuabides dan dikocok sampai homogen. Larutan
disaring dengan kertas saring Whatman 42 dan
filtratnya siap dianalisis dengan SSA.
Analisis: blanko adalah pengukuran pereaksi yang
digunakan tanpa larutan sampel , larutan sampel,
larutan baku kemudian dianalisis menggunakan
spektrofotometer serapan atom untuk mendapatkan
kurva kalibrasi dan konsentrasi Pb dan Fe dalam
larutan contoh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Perairan Kepulauan Spermonde Pantai perairan kepulauan Spermonde
umumnya bersuhu nyaman, tingkat keasinan air
yang tidak terlalu tinggi, serta keasaman relatif
netral, disertai kuat arus yang terkendali. Tabel 1 di
bawah ini menunjukkan parameter fisikokimia
perairan di tiga pulau lokasi sampling.
Tabel 1. Kondisi Perairan Tiga Pulau di Kepulauan Spermonde
Kondisi Pulau
Barranglompo
Pulau
Barangcaddi
Pulau Samalona
Suhu (oC) 28,6 28,2 29
Salinitas (‰) 31 30 34
pH 7 7,6 6,8
Kecepatan Arus (m/s) 0,05 0,09 0,13
Dari berbagai data perairan sebelumnya, kondisi di atas mewakili situasi rata-rata dan umumnya menjadi kondisi habitat spons, baik pertumbuhan maupun interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Hooper (1997), suhu pertumbuhan optimal spons berkisar 26-31
oC. Suhu sangat
berpengaruh terhadap kelarutan logam dalam lingkungan perairan, dimana peningkatan suhu dapat meningkatkan kelarutan logam dalam air sehingga hal ini bisa saja mempengaruhi akumulasi logam dalam organisme laut, terutama pada spons.
Salinitas merupakan salah satu faktor kimia yang ikut mempengaruhi kehidupan biota di dalamnya. Pada umumnya karang seperti spons tumbuh dengan normal pada salinitas 28-35‰.
Selain suhu dan salinitas, pH juga dapat mempengaruhi kelarutan logam dalam air dimana peningkatan pH dapat menurunkan kelarutan logam dalam air. Spons tumbuh pada pH berkisar 6 – 8 (Kuntsen dalam Hamidah, 1980).
Pengaruh kedalaman biasanya berhubungan dengan faktor lingkungan lainnya, seperti cahaya dan pergerakan air.� Dimana kedalaman laut juga mempengaruhi spons untuk mengakumulasikan logam (Tuwanakotta, 2008).
B. Hasil Analisis Kadar Air Analisis kadar air yang diperoleh dalam sedimen dan spons yang diambil dari pulau Samalona, Barangcaddi dan Barranglompo direkam dalam tabel 2.
Tabel 2. Kadar Air dalam Sedimen dan Spons
Lokasi
Kadar air (%)
Sedimen Clathria reinwardhi Xestospongia sp. Clathria sp.
Samalona 27,79 73,19 52,10 -
Barangcaddi 30,23 81,25 - -
Barranglompo 29,25 79,20 43,68 88,62
Keterangan :
- = Tidak ada sampel
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Kadar air yang dikandung oleh spons
Clathria sp. dan Clathria reinwardhi lebih tinggi
daripada Xestospongia sp. Hal ini mungkin
disebabkan bentuk fisik (tekstur) spons yang
berbeda.
C. Hasil Analisis Logam Pb dan Fe dalam Air
Laut, Sedimen dan Spons
Analisis kadar logam Pb dan Fe dalam
salinitas, pH, air laut dan sedimen, Clathria
reinwardhi,
Xestospongia sp. dan Clathria sp. yang berada di
Samalona, Barranglompo serta di Barangcaddi
dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kadar Logam Pb dan Fe dalam Air Laut, Sedimen dan Spons
Lokasi Kadar Logam (ppm)
Air Laut Sedimen Clathria reinwardhi Xestospongia sp. Clathria sp.
Pb Fe Pb Fe Pb Fe Pb Fe Pb Fe
Samalona 0,21 0,52 55,31 904,09 10,99 259,87 9,92 301,69 - -
Barangcaddi 0,12 0,34 55,25 857,88 10,99 147,32 - - - -
Barranglompo 0,16 0,46 53,14 538,98 8,85 238,40 8,86 139,39 15,94 232,79
Keterangan :
- : tidak ada sampel
Menurut Warsidah (2001) akumulasi logam
dalam spons bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan pertumbuhannya. Kadar logam
dalam spons juga dipengaruhi oleh sedimen yang
ada di sekitarnya.
Sedangkan menurut Darmono ( 2001), faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap kadar
logam dalam tubuh spons adalah air laut dan
sedimen di mana spons itu hidup. Hal ini
disebabkan karena dalam mencari makanan spons
aktif menghisap dan menyaring air laut melalui
pori-pori yang ada di permukaan tubuhnya. Di lain
pihak, sedimen merupakan tempat terakhir
terakumulasinya semua jenis logam yang tidak
diserap oleh biota-biota di dalam perairan.
Dari tabel 3, kadar Fe rata-rata dalam air laut,
sedimen dan sampel spons lebih tinggi daripada
kadar Pb. Hal ini disebabkan karena logam Fe
termasuk logam esensial dimana pada proses
pertumbuhannya spons memerlukan logam
tersebut, karena logam-logam ini secara umum
dapat membantu dalam proses fisiologis makhluk
hidup dengan jalan membantu kerja enzim atau
pembentukan organ dari makhluk yang
bersangkutan. Logam Fe secara fisiologis
dibutuhkan oleh spons untuk mengkatalisis reaksi-
reaksi kimiawi yang memungkinkan diperolehnya
metabolit lain (Lehninger, 1982). Selain itu, logam
Fe pada spons juga berperan dalam transport
oksigen, respirasi sel, dan terlibat dalam
metabolisme enzimatik hidrogen (hidrogenase),
peroksidase, katalase dan nitrogenase
(Darmokoesoemo dan Handoko, 2008).
Kadar logam Fe dalam sedimen (538,98 ppm
– 904,09 ppm) lebih tinggi daripada dalam air laut
(0,34 ppm – 0,52 ppm). Hal ini menunjukkan
bahwa pada sedimen terjadi akumulasi logam Fe
yang besar karena sedimen merupakan tempat
mengendapnya logam-logam Fe yang berasal dari
permukaan.
Adapun hasil penentuan kadar logam Pb
seperti terlihat pada tabel 3 menunjukkan bahwa
spons-spons yang hidup di Samalona memiliki
kadar logam Pb yang besar. Hal ini disebabkan
oleh kadar logam Pb dalam air laut di Samalona
(0,2066 ppm) lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan air laut di perairan Barranglompo dan
Barangcaddi (0,1597 dan 0,1239 ppm).
Kadar logam Pb dalam spons berkisar
antara 8,8544 -15,9407 ppm dalam berat kering.
Tingginya kadar logam Pb juga disebabkan oleh
jaraknya yang dekat dengan kota Makassar yang
padat dengan penduduk dan terdapat banyak
industri. Selain itu Samalona dekat dengan
pelabuhan Soekarno dan pelabuhan pertamina.
Berdasarkan Connel dan Miller (1995) bahwa
keberadaan logam di perairan laut dapat berasal
dari berbagai sumber, antara lain; dari kegiatan
pertambangan, rumah tangga, limbah buangan dari
industri, tumpahan minyak dan dari aliran
pertanian.
Kadar logam Pb dan Fe dalam air laut,
sedimen dan spons dapat ditampilkan dalam bentuk
grafik yang dapat dilihat pada gambar 2.
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Sp
�
Gambar 2. Diagram Kad
D. Distribusi Logam Pb dan Fe dal
Jaringan dan Rangka Spons
Distribusi dan akumulasi logam
organisme air sangat berbeda-beda,
Tabel 4. K
Lokasi Clathria reinwa
Pb
Samalona 2,13 1
Barangcaddi 2,13 1
Barranglompo 3,54 1
Keterangan:
- : tidak ada sampel
Gambar 3. Dis
�
���
���
���
���
����
�� �� ��
������ �����
������������� �
�
��
���
���
���
� �
� �����������������
������������� �
pons Volum
adar Logam Pb dan Fe dalam Air Laut, Sedimen dan Spon
alam
m pada setiap
, hal tersebut
bergantung pada setiap spesies, ko
dalam air, fase pertumbuhan dan ke
pindah tempat (Darmon
Kadar Logam Pb dan Fe dalam Jaringan Spons
Kadar Logam Pb dan Fe (ppm)
wardhi Xestospongia sp. Clath
Fe Pb Fe Pb
148,93 4,60 167,85 -
106,83 - - -
130,01 3,54 12,40 7,10
istribusi Logam Pb dan Fe dalam Jaringan Spons
�� �� �� �� �� �� ��
� �� �����
���������
��� ��������
���
�� ��������
������
�
�
�
�� �� �� ��
������ ������ � ���������� �
������
�
�
�
me 13 Nomor 1
ons
konsentrasi logam
kemampuan untuk
ono, 1995).
thria sp.
Fe
-
-
51,83
�
��������
���������
�������� �
�������
���������
�������� �
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Sp
�
Tabel 5. K
Lokasi Clathria re
Pb
Samalona 8,86
Barangcaddi 8,86
Barranglompo 5,31
Keterangan:
- : Tidak ada sampel
Gambar 4. Di
Berdasarkan Tabel 4 dan 5, se
hasil analisis logam Pb dalam tiga jenis
diteliti yaitu Clathria reinwardhi, Xestodan Clathria sp. menunjukkan bahw
lebih banyak terakumulasi di dal
daripada di dalam jaringan. Menuru
Budiyanto (1996), beberapa kerangka s
dari kalsium karbonat. Oleh karena itu
lebih banyak terkandung dalam rangka
dalam jaringan spons itu sendiri. Kemu
ini disebabkan karena adanya pertukara
Ca2+
(CaCO3) dengan Pb2+
sehingga
PbCO3.
Sedangkan logam Fe leb
terakumulasi dalam jaringan dibandin
rangka. Dari enam sampel spons yan
empat diantaranya yaitu Clathria
Tabel 6. Angka Bandi
Spons Chlatria re
BL BC
Rangka 5,31 8,8
Jaringan 3,54 2,1
AB 1,50 4,1
�
��
���
���
���
� �
� �����������������
������������� �
pons Volum
���
Kadar Logam Pb dan Fe dalam Rangka Spons�
Kadar Logam Fe dan Pb (ppm)
reinwardhi Xestospongia sp. Clat
Fe Pb Fe Pb
110,94 5,32 133,84 -
40,49 - - -
108,39 5,31 126,99 8,83
Distribusi Logam Pb dan Fe dalam Rangka Spons
sebagian besar
nis spons yang
stospongia sp.wa logam Pb
alam rangka
rut Amir dan
a spons terdiri
itu, logam Pb
ka di banding
mungkinan hal
aran ion antara
ga membentuk
lebih banyak
ingkan dalam
ang dianalisis,
a reinwardhi
(Barranglompo, Barangcaddi dan
Xestopongia sp. (Samalona) meng
Fe lebih banyak terakumulasi d
daripada dalam rangka. Hasil
sesuai dengan pendapat Verdenal
Menurut Verdenal dkk. pada tahun
dibutuhkan untuk penyusunan sera
spons yang disebut lepidokros
menurut Darmono (1995) logam
logam esensial yang sangat diperlu
organisme termasuk didalamn
invertebrata untuk melangsungka
dalam jaringan pernapasan. Kedua
mungkin menyebabkan logam Fe
terakumulasi dalam jaringan d
rangka.
ding Kadar Logam Pb dalam Rangka dan Jaringan Spons
Kadar Logam Pb (ppm)
reinwardhi Xetospongia sp.
BC S BL S
8,86 8,86 5,31 5,32
2,13 2,13 3,54 4,60
4,16 4,15 1,50 1,16
�� �� �� ��
������ ������ � ���������� �
������
�
�
�
me 13 Nomor 1
lathria sp.
Fe
-
-
180,96
n Samalona) dan
nghasilkan logam
dalam jaringan
l yang diperoleh
al dan Darmono.
n 1985, logam Fe
erat pada jaringan
rosit, sedangkan
m Fe merupakan
rlukan oleh setiap
nya organisme
kan metabolisme
ua hal inilah yang
Fe lebih banyak
daripada dalam
Chlatria sp.
BL
8,84
7,10
1,24
�������
���������
�������� �
Penelitian Logam Pb Dan Fe Dalam Spons Volume 13 Nomor 1
�
Gambar 5. Grafik Angka Banding Kadar Logam Pb dalam Rangka dan Jaringan pada Spons
Keterangan :
1. Clathria reinwardhi
2. Xestospongia sp.
3. Clathria sp.
Tabel 7. Angka Banding Kadar Logam Fe dalam Jaringan dan Rangka Spons
Spons
Kadar Logam Fe (ppm)
Clathria reinwardhi Xestospongia sp. Clathria sp.
BL BC SL BL SL BL
Jaringan 130,01 106,83 148,93 12,4 167,85 51,83
Rangka 108,39 40,49 110,94 126,99 133,84 180,96
AB 1,19 2,64 1,34 0,09 1,25 0,29
Gambar 3. Grafik Angka Banding Kadar Logam Fe dalam Jaringan dan Rangka pada Spons
���� ��������
����
����
�
���
�
���
�
���
��
�
���
� ��� � ��� � ��� ��
��� ������
������ �
��� ������
�
���
�
���
�
���
���
�
��
�������� ���������� ���������� ��� �������� ����
�
����
���
���
"Volume. x, No. y" "Tittle of Journal ..."
�
���
Pada gambar 5 dan 6 terlihat bahwa logam Pb dan
Fe yang terakumulasi dalam rangka dan jaringan pada
ketiga jenis spons yaitu Clathria reinwardhi, Xestospongia
sp. dan Clathria sp berada pada kisaran konsentrasi 1,15 –
4,16 ppm dan 0,09 – 2,64 ppm.
Berdasarkan data di atas, maka spons merupakan
salah satu hewan yang dapat berperan dalam
menanggulangi pencemaran serta dapat dijadikan sebagai
bioindikator khususnya pencemaran yang disebabkan oleh
logam-logam di perairan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka
dapat disimpulkan bahwa spons Clathria reinwardhi,
Xestospongia sp. dan Clathria sp. mengandung logam Pb
dan Fe. Logam Pb lebih banyak terakumulasi dalam
rangka sedangkan Fe lebih banyak terakumulasi dalam
jaringan. Kandungan Pb dan Fe dalam spons yang berasal
dari Barranglompo untuk Clathria reinwardhi (8,85 dan
238,40 ppm); Clathria sp. (15,94 dan 232,79 ppm);
Xestospongia sp. (8,86 dan 139,39 ppm). Samalona untuk
Clathria reinwadhi (10,99 dan 259,87 ppm); Xestospongia sp. (9,92 dan 301,69 ppm) dan Barangcaddi untuk Clathria
reinwardhi (10,99 dan 147,32 ppm).
DAFTAR PUSTAKA
Amir, I., dan Budiyanto, A., 1996, Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum, Oseana, 21 (2), 15-31.
Berquist, P. R., 1978, Sponss, Hutchinson, London.
Connel, D.W., dan Miller, G.J., 1995, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Ui-Press, Jakarta.
Darmokoesoemo dan Handoko, 2008, Studi Fisiko-Kimia Pembebasan Besi (III) Dalam Kompleks Besi (III) Azotobactine D
Secara In Vitro, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya.
Darmono, 1995, Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI-Press, Jakarta.
Darmono, 2001, Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI-Press, Jakarta.
De Voogd, J. Nicole, 2005, Indonesian Sponges, Biodiversity and Mariculture potential, University of Amsterdam,
Netherlands.
Harris, V. A., 1988, Sessile Animals of The Sea Shore, Chapman and Hall, London.
Hooper, J. N. A., 1997, Guide to Spons Collection and Identification, Memoir of the Queensland Museum, Australia.
Lehninger, A. L., 1982, Dasar-Dasar Biokimia, Erlangga, Jakarta.
Moll, H., 1983, Zonation and Diversity of Scleractinia on Reffs off S.W Sulawesi, Indonesia. Offsetdrukkerij Kanters B.V.,
Alblasserdam
Rochyatun, E., Edward, dan Rozak, A., 2003, Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Cr, Mn dan Fe dalam Air laut dan
Sedimen Di Perairan Kalimantan Timur, Oseanologi dan Limnologi Indonesia, (35), 51-71.
Tuwanakotta, N., 2008, Kadar Logam Berat Pb, Cd, dan Cr dalam Spons (symphyllia agaricia) di Perairan Teluk Ambon
Bagian Luar. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Ambon.
Verdenal, dkk., 1985, New Perspective in Spons Biology, Smithsonian Institution Press, London.
Verhejj, E., 1993, Marine Plants on the Reefs of the Spermonde Archipelago, S. W Sulawesi, Indonesia, Aspects of Taxonomy
Flousties, and Ecology, Rijksherbarium/hortus Botanicus Leiden, Belanda.
Warsidah, 2001, Distribusi Logam-Logam Esensial Mn, Cu, Zn, dan Ni dalam Spons di Perairan Spermonde, Tesis tidak
diterbitkan, Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 16-20
Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1
ISSN 1411-2132
�
�
�
16
EKSTRAKSI ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET BUAH
Rohani Bahar Jurusan Kimia, Universitas Hasanuddin, Makassar 90245
Email : [email protected]
ABSTRACT
This research is aimed to determine the capacity of sodium alginate in fruit maturation. Extracted using sodium
carbonate (4%, 6%, and 8%) from sargassum sp taken of Kayangan island, alginate was then purified by
isopropanol. The results showed that the best quality was achieved at 6% with rendemen of 18.3%, 9.09%
reduction by drying, ash content 47.33% with 1.395 of viscosity. Hasilnya menunjukkan bahwa pada konsentrasi
6% mencapai mutu yang terbaik dengan rendamen 18,36%, kadar susut pengeringan 9,09%, kadar abu 47,33%
dengan visikositas 1,395%. The examination was applied to orange maserated with sodium alginate (0-50 ppm).
At 15 ppm suspension, orange can be kept 58.2 days in average at room temperature while control or without
treatment average keeping time was only 32.8 days. This indicated that sodium alginate has a potential as fruit
preserver.
Key words : maturation, extract, Sargassum sp, keeping time
PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya
hayati laut Indonesia yang mempunyai potensi cukup baik
untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Dari
ratusan jenis rumput laut yang ada di Indonesia, terdapat 5
jenis yang bernilai ekonomis tinggi seperti Gracilaria,
Gelidium, keduanya penghasil agar, Eucheuma, Hypea,
sebagai penghasil carrageenan, dan Sargassum, sebagai
penghasil alginat. Saat ini rumput laut tersebut belum
dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia.
Sargassum sp adalah salah satu jenis rumput laut yang
bernilai ekonomis, tersebar luas di perairan Indonesia,
tumbuh di perairan yang terlindung dan berombak besar
pada habitat batu (Kadi dan Atmadja, 1988). Sargassum sp
sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan
sebagai sumber alginat yang banyak dibutuhkan dalam
industr makanan maupun non pangan (Indriani dan
Sumarsih, 1994).
Dalam industri pangan alginat dapat digunakan
sebagai bahan untuk membuat kemasan edible atau lebih
dikenal dalam bentuk edible film atau edible coating
(Glicksman, 1983). Edible coating sendiri sudah
berkembang sejak lama dan sudah digunakan sebagai
pelapis buah jeruk dan lemon untuk meningkatkan masa
simpannya (Krochta dkk., 1994), juga digunakan sebagai
pelapis produk daging beku (Bauer, 1968), makanan semi
basah (Torres, 1985), produk hasil laut, sosis dan obat-
obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta dkk.,
1994). Fungsi dari edible coating selain dapat melindungi
produk pangan, juga penampakan asli produk dapat
dipertahankan. Selain itu kemasan edible dapat langsung
dimakan dan aman bagi lingkungan (Kinzel, 1992).
Teknologi pasca panen dalam dunia pertanian
sangat menentukan kualitas produk pertanian. Penanganan
hasil pertanian khususnya dalam mempertahankan
kesegaran, keutuhan, serta kesehatan terhadap buah sangat
menentukan nilai ekonomisnya. Diketahui bahwa, buah
khususnya jeruk manis apabila dipanen sangat banyak
mengalami perubahan-perubahan kimia, khususnya
perubahan karena respirasi udara, perubahan kadar air,
susunan molekul karbohidrat, perubahan asam dan
perubahan pH yang pada akhirnya perubahan tersebut akan
mengakibatkan buah dapat rusak dan akhirnya membusuk.
Buah jeruk akan cepat mengalami kerusakan seperti
perubahan warna karena enzim dan aktiviitas
mikrobiologi, oleh kaarena itu diperlukan alternatif untuk
mengawetkan dan memperpanjang daya simpan buah
tersebut.
Berdasarkan pada permasalahan tersebut,
penelitian ini dilakukan untuk membuat ekstrak Na-alginat
dari alga Sargassum yang dapat menghambat proses
pematangan buah jeruk, menentukan masa simpan rata-rata
buah jeruk dengan menggunakan suspensi ekstrak Na-
alginat dari alga Sargassum, menentukan konsentrasi
suspensi ekstrak Na-alginat dengan daya hambat
maksimum alga Sargassum terhadap proses pematangan
buah jeruk, menentukan pengaruh konsentrasi Na2CO3
dalam proses ekstraksi rumput laut Sargassum sp. terhadap
rendamen dan mutu asam alginat.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan antara lain alat gelas,
timbangan digital, viskosimeter ostwald, piknometer,
furnace 6000, oven, blender, cawan petri, cawan porselen,
saringan vakum, pengaduk, desikator, dan alat-alat untuk
analisa kimia.
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut � ������������������������������������������������������������������������������������������������������
�
���
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain rumput laut jenis Sargassum sp yang diambil
dari pulau Khayangan, larutan asam klorida (HCl) 30 %,
natrium hidroksida (NaOH), kertas saring whatman,
aluminium foil, natrium karbonat (Na2CO3), kalsium
klorida (CaCl2), natrium hipoklorit (NaClO) 12 %,
isopropanol, akuades, tissu, plastik dan buah jeruk manis.
Prosedur Kerja
1. Ekstraksi sampel
Pada penelitian ini serbuk Sargassum sebanyak 100
gram direndam dalam larutan HCl 0,5% selama 30 menit
kemudian direndam dalam NaOH 0,25% selama 30 menit,
dicuci dan ditambahkan Na2CO3 1 % sebanyak 10 kali
berat sampel rumput laut. Ekstraksi dilakukan pada suhu
70 oC selama 2 jam. Setelah itu disaring dan ditambahkan
CaCl2 dengan variasi konsentrasi 3 %, 6 %, 9% dan HCl 4
% untuk mendapatkan Asam Alginat. Dicuci dan
dilanjutkan dengan penambahan Na2CO3 dengan variasi
konsentrasi 4 %, 6%, 8 % untuk mengendapkan natrium
alginat. Natrium alginat murni diperoleh dengan
penambahan isopropanol, pemanasan pada suhu 60oC dan
penggilingan.
2. Identifikasi Natrium Alginat (FCC, 1981)
Sebanyak 5 mL sampel pada sampel pada konsentrasi
1% ditambahkan 1 mL larutan CaCl2 dan ke dalam 10 mL
sampel pada konsentrasi 1% ditambahkan 1mL H2SO4.
Sampel terbukti natrium alginat bila menunjukkan adanya
endapan gel yang terpisah.
3. Rendamen
Rendamen natrium alginat dapat dihitung berdasarkan
berat kering rumput laut.
Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan
didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Cawan
dimasukkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam.
Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan
ditimbang setelah dingin. Cawan dan sampel dimasukkan
kembali ke dalam oven, dikeringkan lagi sampai diperoleh
berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus
4. Kadar Abu (FAO,1978)
Sebanyak 3 gram tepung natrium alginat ditimbang
dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot
keringnya kemudian dipanaskan dalam tanur pada suhu
650 oC sampai bebas dari karbon. Sampel didinginkan
dalam desikator dan ditimbang
5. Viskositas
Sampel ditimbang sebanyak 3 gram dan dilarutkan
dalam 250 mL aquades ke dalam gelas piala 400 mL yang
telah diketahui bobotnya. Setelah natrium alginat larut
sempurna ditambah aquades lagi sampai bobot total larutan
300 gram. Pengukuran viskositas dilakukan dengan
menggunakan Viskosimeter Ostwald. Viskositas larutan
dihitung dengan satuan Centipoise (cP).
6. Pengawetan dengan Natrium Alginat
Lima buah jeruk dicelup dalam larutan natrium alginat
konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 25 ppm, 30
ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm, 50 ppm. Pencelupan
dilakukan selama 1 jam, hingga diperkirakan keseluruhan
pori dari jeruk manis tertutup. Jeruk dikeluarkan satu per
satu dari wadah dan seluruh permukaannya dikeringkan
dengan tissu secara hati-hati. Buah yang telah kering
dikemas dalam plastik tembus pandang yang sebelumnya
telah dilubangi dan diberi label sesuai konsentrasi
suspensi. Setiap buah dalam kemasan plastik disimpan
secara teratur pada suhu ruangan, hingga 95 % warna kulit
buah jeruk berubah dari warna hijau menjadi warna coklat.
Lama penyimpanan dalam hari dicatat sebagai daya
hambat ekstrak Sargassum sp. terhadap proses pengawetan
buah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ekstraksi
Hasil maserasi serbuk Sargassum sp. diperoleh
ekstrak berwarna coklat muda yang kemudian digunakan
untuk menguji daya hambatnya terhadap proses
pembusukan buah.
2. Pengaruh konsentrasi Na2CO3 terhadap rendamen
dan bobot hilang Natrium Alginat
Tabel 1. Karakteristik Natrium Alginat Hasil Ekstraksi
P A R A M E T E R P E R L A K U A N
S T A N D A R Na2CO3 4% Na2CO3 6% Na2CO3 8%
Rendamen (%) 17,34 18,36 19,96 > 18,00
Kadar Susut Pengeringan (%) 10,22 9,09 12,80 < 15,00
Kadar abu (%) 40,67 47,33 50,67 < 27,00
Viskositas (Cps) 9,20 13,95 10,29 8-16
Rendamen =����� ���� ������ � ���
����� ���� ������ ��� � 100%
Kada Air (%) = ���� �� ����� ��
����� ����� � 100%
Kada Susut pengeringan = ����� ���
����� ����� � 100%
Kada Abu = ����� ���
����� ����� � 100%
Ekstraksi Alginat Dari Rumput
3. Rendamen
Rata-rata rendamen natriu
dari rumput laut ini berkis
20,24%. Nilai rata-rata tertingg
dari perlakuan Na2CO3 8% ya
perlakuan Na2CO3 6% yaitu
terendah sebesar 17,34% pada p
Gambar 1. Grafik Renda
Semakin tinggi konsentrasi
semakin tinggi pula
rendamen natrium alginat yang
disebabkan dengan semakin
mempercepat pertukaran den
untuk membentuk natrium
menyebabkan adanya Na+
berle
Penggunaan NaOH pada tah
untuk membuka permukaan
sehingga permukaannya lebi
melepaskan alginat. NaOH j
alginat dari dinding sel rum
bersama larutan yang dipisahka
4. Bobot Susut Pengeringan
Rata-rata bobot susut p
alginat berkisar antara 9,09%
bobot susut pengeringan tertin
12,80% diperoleh pada perla
perlakuan Na2CO3 4% yaitu
Na2CO3 6% yaitu 9,09%. Ha
ekstraksi dengan Na2CO3 6%
paling optimum.
Gambar 2. Grafik Kadar Su
Algin
Bobot susut pengerin
ditetapkan FCC adalah <15% d
natrium alginat komersil kira-
dikatakan bahwa semua natriu
pada setiap perlakuan masih me
Tingginya bobot susut penge
terhadap daya simpan suat
mempunyai bobot susut pen
ut Laut � �����������������������������������
18
rium alginat yang dihasilkan
isar antara 17,34% sampai
ggi natrium alginat diperoleh
yaitu sebesar 20,24%, diikuti
u sebesar 18,36% dan yang
a perlakuan Na2CO3 4%.
damen Natrium Alginat
i Na2CO3 yang digunakan
ang dihasilkan, hal ini diduga
kin banyaknya Na+ akan
engan H+ dari asam alginat
um alginat, dan bahkan
rlebih.
ahap pra ekstraksi ditujukan
n dinding sel rumput laut
bih luas dan lebih mudah
juga mendorong keluarnya
umput laut dan alginat ikut
kan.
an
pengeringan pada natrium
% sampai 12,80%. Rata-rata
tinggi natrium alginat sebesar
rlakuan Na2CO3 8%, diikuti
aitu 10,22% dan perlakuan
Hal ini menunjukkan bahwa
merupakan perlakuan yang
Susut Pengeringan Natium
ginat
ringan natrium alginat yang
dan bobot susu pengeringan
-kira 12,5% sehingga dapat
trium alginat yang dihasilkan
memenuhi standar FCC.
geringan dapat berpengaruh
atu produk. Produk yang
engeringan rendah biasanya
mempun
dengan
yang tin
5. Ka
Has
antara
tertingg
perlakua
47,33%
Gambar
Gambar
dengan
hal ini d
alginat d
natrium
natrium
Kadar ab
27% dan
oleh kar
setiap pe
Yani (19
karena te
pencucia
(1981) m
asam al
abu yan
juga m
dipengar
konsentr
6. Vis
Vis
antara 9
yang ter
13,95 cP
perlakua
bahwa s
berkisar
G
Gam
Na2CO3
ini dise
�����������
� ���� �������
����������������������������������������������������������������
unyai masa simpan yang lebih lama diband
n produk yang mempunyai bobot susut penge
tinggi.
adar Abu Natrium Alginat
asil rata-rata kadar abu natrium alginat be
40,67% sampai 50,67%. Rata-rata kada
ggi natrium alginat sebesar 50,67% diperoleh
uan Na2CO3 8%, diikuti perlakuan Na2CO3 6%
% dan perlakuan Na2CO3 4% yaitu 40,67%.
ar 3. Grafik Kadar Abu Natrium Alginat
ar 3 diatas menunjukkan adanya peningkatan kad
n bertambahnya konsentrasi Na2CO3 yang digu
i disebabkan bahwa pada tahap pengendapan n
t dengan Na2CO3 diduga karena adanya kelebih
m yang tidak bereaksi dengan algin untuk mem
m alginat.
abu natrium alginat yang ditetapkan FCC adalah
dan kadar abu natrium alginat komersil kira-kira
arena itu semua natrium alginat yang dihasilka
perlakuan belum memenuhi standar FCC.
(1988) menyatakan bahwa tingginya kadar abu
a terbentuknya garam NaCl yang tidak terbilas pa
cian endapan asam alginat. Food Chemical
) menyatakan bahwa kelebihan Na2CO3 saat net
alginat akan meningkatkan kelebihan soda dan
ang cukup tinggi. Hasil penelitian Budinartuti
menyatakan bahwa perubahan kadar abu
garuhi oleh perubahan konsentrasi Na2CO3, makin
ntrasi Na2CO3 makin tinggi residu garam yang ter
iskositas
iskositas natrium alginat hasil penelitian ini b
9,2 cP sampai 13,95 cP. Viskositas natrium
tertinggi diperoleh pada perlakuan Na2CO3 6%
cP, diikuti perlakuan Na2CO3 8% yaitu 10,29
uan Na2CO3 4% yaitu 9,2 cP. Nilai ini menun
semua ekstrak hasil penelitian mencapai standa
ar 8 – 16 cP.
Gambar 4. Grafik Viskositas Natrium Alginat
ambar 4 menunjukkan bahwa pada ekstraksi d
3 6% mencapai nilai viskositas yang optimum
isebabkan karena pada konsentrasi tersebut a
�
��
���
� � �
������������� �����
�
��
��
� � �
������������� �����
�����
ndingkan
geringan
berkisar
dar abu
leh pada
6% yaitu
adar abu
gunakan,
natrium
ihan ion
mbentuk
ah sekitar
iran23%,
kan pada
u diduga
pada saat
l Codex
etralisasi
an kadar
ti (1990)
bu juga
kin tinggi
terjadi.
berkisar
alginat
6% yaitu
9 cP dan
unjukkan
dar yang
at
i dengan
um. Hal
t alginat
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut � ������������������������������������������������������������������������������������������������������
�
���
terekstrak dengan baik sehingga dihasilkan natrium alginat
dengan bobot molekul tinggi, sedangkan dengan kelebihan
Na2CO3 kemungkinan alginat terdegradasi sehingga
banyak rantai polimer alginat yang terputus dan
menghasilkan natrium alginat dengan bobot molekul
rendah yang akan memberikan nilai viskositas yang rendah
pula.
Viskositas merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas dari natrium alginat itu sendiri.
Ekstraksi alginat menggunakan larutan Na2CO3 dengan
konsentrasi rendah menyebabkan sebagian besar alginat
berbobot molekul rendah terekstrak sehingga viskositas
natrium alginat yang dihasilkan rendah. Peningkatan
konsentrasi Na2CO3 sampai batas tertentu dapat
meningkatkan viskositas natrium alginat karena banyak
alginat berbobot molekul tinggi terekstrak. Pemanasan
dibutuhkan untuk mempermudah ekstraksi dan melarutkan
alginat berbobot molekul tinggi, akan tetapi pemanasan
yang terlalu lama akan mendegradasi polimer alginat.
Demikian juga ekstraksi yang dilakukan pada suhu rendah
menyebabkan ekstraksi berjalan lambat. Tetapi semakin
tinggi suhu ekstraksi maka viskositas natrium alginat yang
diperoleh semakin kecil, dan sebaliknya. Mutu alginat
ditentukan oleh panjangnya rantai polimer mannuronat
maupun guluronat atau selang seling kedua ikatannya.
Semakin panjang rantainya, semakin besar berat
molekulnya dan semakin besar nilai viskositasnya.
7. Daya Hambat Natrium Alginat Terhadap Proses
Pematangan dan Pembusukan Buah
Tabel 2. Masa Simpan Pematangan Jeruk Manis disuspensi dengan ekstrak natrium alginate
No. Perlakuan
Konsentrasi Suspensi (ppm)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Masa Simpan (Hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 8 18 20 40 25 18 16 17 17 16 18
2 16 19 38 45 36 29 22 28 26 22 25
3 27 37 40 47 38 45 32 29 29 27 29
4 28 45 48 50 41 46 35 42 41 35 30
5 30 47 49 55 47 47 43 46 45 38 34
rata-rata (hari) 21,8 33,2 39,0 47,4 37,4 37,0 29,6 32,4 31,6 27,6 27,2
Keterangan: Penetapan masa simpan setelah 95% permukaan kulit jeruk manis berubah dari hijau menjadi kuning.
Tabel 3. Masa Simpan Pembusukan Jeruk Manis disuspensi dengan Ekstrak Natrium Alginat
No. Perlakuan
Konsentrasi Suspensi (ppm)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Masa Simpan (Hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 20 29 32 50 36 32 31 28 29 25 27
2 29 32 36 54 45 38 33 34 35 34 32
3 35 40 52 58 47 54 41 39 40 36 39
4 38 51 58 62 53 56 47 57 51 45 42
5 42 58 63 67 59 59 51 59 56 50 47
rata-rata (hari) 32,8 42,0 48,2 58,2 48,0 47,8 40,6 43,4 42,2 38,0 37,4
�
Gambar 5. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Sargassum sp. dengan masa simpan buah jeruk manis
�
��
��
��
��
��
��
�
� � �� �� �� �� �� �� �� �� ��
Ma
sa S
imp
an
(Ha
ri)
Konsentrasi Na2CO3 (ppm)
�������������
���� �������
Ekstraksi Alginat Dari Rumput Laut � ������������������������������������������������������������������������������������������������������
20
Gambar 5 menunjukkan bahwa adanya
peningkatan masa simpan buah jeruk manis dengan
bertambahnya konsentrasi natrium alginat sampai pada
konsentrasi 15 ppm, setelah itu mengalami penurunan
masa simpan sampai pada konsentrasi 30 ppm, dan sedikit
mengalami kenaikan pada konsentrasi 35 yang kemudian
terus mengalami penurunan masa simpan sampai
konsentrasi 50 ppm.
Dengan demikian konsentrasi optimum ekstrak
alginat dalam menghambat proses pematangan buah
berdasarkan penelitian ini yaitu 15 ppm dengan masa
simpan buah rata-rata 47,4 hari.
Ekstrak alginat dapat digunakan untuk
meningkatkan masa simpan buah karena kemampuan
alginat untuk menutupi pori-pori buah sehingga respirasi
udara dari dan ke dalam buah berjalan lambat.
Berkurangnya respirasi udara akan mencegah
berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis yang dipicu
oleh oksigen. Selain itu sifat alginat yang mudah menyerap
air dapat mengeluarkan air dan menyebabkan peningkatan
konsentrasi padatan terlarut di dalam jeruk manis. Kondisi
ini akan meningkatkan tekanan osmotik di dalam jeruk,
sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
memperlambat laju reaksi kimia maupun enzimatis.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini, dari alga coklat jenis
Sargassum sp. berhasil diekstrak natrium alginat yang
digunakan untuk menghambat proses pematangan dan
pembusukan buah. Ekstrak natrium alginat pada
konsentrasi 15% diperoleh sebagai konsentrasi optimum
dalam pengawetan buah jeruk dengan rata-rata masa
simpan selama 58,2 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja,J., 1992. Ekstraksi Sodium Alginat dengan metode CaCl2 dari Sargassum sp dan Turbinaria sp. Laporan
Penelitian
Bachtiar, E., 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Lat (Alga) sebagai Biotarget Industri, Universitas Padjajaran Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jatinangor
Bauer, C. D., G.L. Neuser and H.A. Pinkalla, Oktober 15, 1968, US Patent : 3.406.081
Bosse,W.V.1928. Rhodophyceae: Gigartinales et Rhodomeniales. List des algues du Siboga. Siboga exed : 49 (4) : 1-141
Chapman, L.J. dan D.J. Chapman, 1980. Seaweed and Their Uses 3rd
, Chapman and Hall, New York
FCC, 1981. Food Chemical Codex, National Academy Press. Washington DC
Gautam, M., et al. 2000. Indonesia the Chalenges of World Bank Involvement in Forest. Evaluation Country Case Study
Series. The Worls Bank. Washington,D.C.64 pp
Glicksman,M., 1983, Food Hydrocolloids. Volume II, CRS Presss,inc, Florida
Indriani, H., dan E. Sumarsih, 1994. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut
Nizamuddin, M., 1970. Phytogeography of the fucales and their seasonal growth. Bot. Mar. 13 : 131-139
Kadi, A. 2005. Kesesuaian Perairan Teluk Klabat Bangka untuk Usaha Budidaya Rumput Laut. Jour. Sci Fish Vol VII No 1.
Univ. Gajah Mada Jogyakarta : 65-70
Kadi,A., dan W.S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae); Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya, dan Pasca Panen, Puslitbang
Oseanografi-LIPI, Jakarta
Kinzel, B., 1992. Protein Rich Edible Coating for Foods. Agricultural Research. May 1992 : 20-21
Krochta,J.M., Baldwin, E.A dan M.O. Nisperos-Carriedo, 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality, technomic
Publi,Co., Inc USA
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 21-35
Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1
ISSN 1411-2132
�
���
�
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Dalam Bakteri Simbion Spons
Haliclona fascigera Di Perairan Spermonde, Makassar
The Existence of Trace Metals Co, Cr, and Ni in Bacterial Symbiont of Sponge
Haliclona fascigera at in The Spermonde Waters, Makassar
Henie Poerwandar Asmaningrum*, Alfian Noor, & Maming Gaffar
Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar 90245
*Koresponden : [email protected]
ABSTRACT
This work is aimed to identify the existence of metals Co, Cr, and Ni in bacterial
symbiont of sponge species Haliclona fascigera. Sampling has been conducted in
Spermonde waters around three islands of Samalona (SM), Barrang Caddi (BC), and
Barrang Lompo (BL). After microbiological treatment, metals in samples were
determined using Inductively Coupled Plasma – Optical Emission Spectroscopy. The
bacterial symbiont found is Enterobacter agglomerans and its metal concentration
(ppm) respectively are Co ( 0.199 ), Cr (0.564), and Ni (0.464) in SM; Co ( 0.1975 ),
Cr ( 0.4938) and Ni ( 0.5432 ) in BC; and finally Co ( 0.313), Cr ( 0.6254) and Ni (
0.813) in BL. It is concluded, these metal concentrations were still much lower than its
toxic levels.
Key words : Haliclona fascigera, bacterial symbionts, trace metals, ICP-OES
PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya penelitian tentang spons laut akhirnya membawa
pengetahuan bahwa spons selama hidupnya selalu bersimbiosis dengan mikroorganisme
termasuk bakteri. Pada tahun 1994, Faulkner menyatakan bahwa keberadaan
mikroorganisme simbion inilah yang mendukung spons dalam mempertahankan
hidupnya dan diperkirakan mengambil bagian dalam produksi metabolit sekunder.
Selvin dkk (2009) meneliti kemampuan spons bersama bakteri simbionnya dalam
mengakumulasi logam berat. Bakteri sendiri diketahui mampu berfungsi sebagai
akumulator dan sering digunakan pada proses biosorpsi logam berat.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi bakteri simbion atau yang bersimbiosis
dengan spesies Haliclona fascigera dan menentukan konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni
dalam bakteri tersebut. Telah banyak jenis spons ditemukan di Kepulauan Spermonde,
sekitar 199 spesis, sementara wilayah perairan tersebut mengalami perkembangan pesat
dan dikuatirkan berdampak pada ekosistem perairan sekitarnya. Diduga sekitar 2000
spesies spons terdapat di kepulauan tersebut (de Voogd, 2005 dalam Noor, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies bakteri simbion spons Haliclona
fascigera adalah Enterobacter agglomerans. Konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada
bakteri simbion spons Haliclona fascigera dari ketiga pulau menunjukkan pola yang
mirip, dimana Co terukur pada konsentrasi terkecil dan Ni terukur pada konsentrasi
terbesar. Konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada bakteri simbion spons Haliclona
fascigera masih di bawah level toksik.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan sampling
Gambar-1 dibawah ini menunjukkan lokasi pengambilan contoh yang terdiri dari
perairan sekitar pulau Samalona (SM), Barang Caddi (BC) dan Barang Lompo (BL).
Gambar-1. Peta lokasi penelitian. Kondisi perairan juga dapat dilihat di bagian bawah.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
�
Spons laut diambil pada kedalaman ± 12 m. disertai perekaman gambar baik sebelum
maupun sesudah sampling, lalu dimasukkan dalam plastik sampel yang telah diisi
sedikit air laut. Selanjutnya ditempatkan di dalam kotak pendingin dan dibawa ke
laboratorium kimia radiasi disimpan dalam pendingin sebelum perlakuan selanjutnya.
�
�
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain pH meter, GPS, termometer, kotak pendingin,
ICP-OES Optima 2000 DV merk Perkin Elmer, inkubator (heraeus), penangas listrik,
oven, neraca analitik (heraeus), blender, neraca analitik, cawan petri, autoklaf, enkas,
bunsen, spoit, sendok tanduk, batang pengaduk, penyaring mikro, dan alat gelas yang
umum dipakai di laboratorium.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain spons laut Haliclona fascigera, asam
nitrat, pepton, ekstrak daging, agar, alumunium foil, kertas label, cling wrap, plastik
sampel, kertas saring Whatman, alkohol 70%, air laut steril, akuades, dan akuabides.
Prosedur Kerja
Dilakukan dua tahap pekerjaan yaitu (1) pengerjaan mikrobiologis dan (2) analisis
logam. Dalam pengerjaan kimia mikrobiologi dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Preparasi Sampel dan Optimasi Mikroba Simbion
Suspensi spons diencerkan sampai 7 seri, lalu dari 3 seri pengenceran terakhir masing-
masing diambil 0,05 mL dan ditebar pada 10-15 mL medium NA dalam cawan petri.
Cawan kemudian diinkubasi pada variasi suhu 27�C, 37�C, dan 47�C, dengan variasi
waktu 1 - 5 x 24 jam untuk mengetahui kondisi optimum pertumbuhan mikroba.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Untuk identifikasi bakteri simbion, suspensi spons yang telah diencerkan diisolasi pada
media NA dan McConkey agar. Diamati juga karakteristik pertumbuhan pada media
TSI agar dan SIM agar. Selain itu dilakukan juga uji sitrat, urea, dan karbohidrat.
Analisis kadar logam Co, Cr, dan Ni pada Bakteri Simbion Spons.
Suspensi spons diencerkan sampai 7 seri, lalu dari 3 seri pengenceran terakhir masing-
masing diambil 0,05 mL dan ditebar pada 10-15 mL medium NA dalam cawan petri.
Cawan diinkubasi pada suhu optimum selama masa inkubasi optimum. Koloni bakteri
yang diperoleh ditimbang lalu didestruksi dengan HNO3 60% kira-kira 6 mL pada gelas
ukur, kemudian dipanaskan. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu takar 100
mL, diencerkan dengan akuabides hingga volume 100 mL. Sampel kemudian disaring
menggunakan kertas saring Whatman yang steril dengan ukuran pori µm. Hasil yang
diperoleh kemudian dimasukkan dalam botol sampel lalu dianalisis menggunakan ICP-
OES untuk mengetahui konsentrasi logam Co, Cr, dan Ni pada bakteri simbion spons
laut Haliclona fascigera.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel spons laut diambil di perairan Pulau Samalona, Pulau Barrang Caddi,
dan Pulau Barrang Lompo. Bila diurutkan berdasarkan jarak pulau ke kota Makassar,
maka Pulau Samalona jaraknya paling dekat dengan kota Makassar disusul Pulau
Barrang Caddi lalu Pulau Barrang Lompo yang jaraknya paling jauh dari kota
Makassar. Hasil pengukuran parameter fisik-kimia perairan ketiga pulau tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
Tabel 1. Parameter Lingkungan Pada Lokasi SamplingSpons Laut Haliclona
fascigera
Parameter
(09.00 – 15.00 WITA)
Lokasi
SM BC BL
Suhu (ºC) 31,1 30,5 31,4
pH 6,66 6,55 6,61
Kecepatan arus (ms-1) 0,21 0,05 0,43
Salinitas (‰) 30 30,5 30
Kondisi optimum pertumbuhan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
Jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera dari Pulau
Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo ditunjukkan pada Gambar 1, 2, dan 3.
Berdasarkan pola pertumbuhan pada Gambar 1, 2, dan 3 tampak bahwa suhu optimum
pertumbuhan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau
Samalona adalah 27°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah 2x24 jam, dari Pulau
Barrang Caddi adalah 37°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah 2x24 jam, dan
dari Pulau Barrang Lompo adalah 47°C dengan waktu inkubasi optimumnya adalah
4x24 jam.
Gambar 1. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
Pulau Samalona pada tiga variasi suhu
� � � � �
������� �� � �� � �� � � � �
������� � �� � �� �� � � � � ��
������� � � � � � �� � �� � ��
�
�
�
�
�
��
��
��
�����������
��� ����������
Hari pengamatan
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
Gambar 2. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
Pulau Barrang Caddi pada tiga variasi suhu
Gambar 3. Grafik jumlah koloni bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
Pulau Barrang Lompo pada tiga variasi suhu
Identifikasi bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
Hasil uji biokimia terhadap bakteri yang ditumbuhkan dari spons laut Haliclona
fascigera yang diperoleh dari Pulau Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo
dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4.
Tabel 2. Hasil uji biokimia
Uji Biokimia Hasil
TSIA
H2S
Gas
Acid/acid
-
-
SIM
Indol -
� � � � �
������� �� � � �� � �� � � � ��
������� �� � � �� � � � � �
������� � �� � �� � �� � �� � ��
�
�
��
��
��
��
��
�������������� ���
�����
� � � � �
������� � �� � �� � �� � �� � ��
������� � � � �� � � � �� � ��
������� � �� � � � �� � � � �
�
� �
�
� �
�
� �
�
� �
�
�����������
��� ���������
Hari pengamatan
Hari pengamatan
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan
�
H2S
Motility
Methyl Red (MR)
Voges-Proskauer (VP)
Glukosa
Laktosa
Maltosa
Sukrosa
Sitrat
Urea
Gambar 4. Hasil uji biokimi
(Keterangan gam
sitrat, VP, MR,
glukosa, laktosa,
warna kuning ses
Konsentrasi logam runut C
yang berasosiasi dengan spo
Setelah dianalisis men
runut Co, Cr, dan Ni seperti ya
�
���
���
���
���
�
��� ���
Ko
nse
ntr
asi
lo
ga
m
ru
nu
t (p
pm
)
an Ni Volume 1
���
-
-
+
-
+
+
+
+
-
-
ia
ambar kiri urutan uji biokimia dari kiri ke kan
, SIM, TSIA; gambar kanan urutan uji karb
a, sukrosa, maltosa dimana warna merah seb
sesudah ditumbuhkan sampel)
Co, Cr, dan Ni dari bakteri Enterobacter agg
pons laut Haliclona fascigera
enggunakan ICP – OES diperoleh nilai konsent
yang dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
������� ���������� �Pulau
��
��
�
13 Nomor 1
anan : urea,
rbohidrat :
ebelum dan
agglomerans
ntrasi logam
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan
�
Gambar 5. Grafik konsen
Enterobacter aggl
fascigera ditinjau
Gambar 6. Grafik konsen
Enterobacter aggl
fascigera ditinjau
Kondisi optimum pertumbu
Gambar 1 menunjukka
simbion spons laut Haliclona
bagus. Populasi bertambah s
bakteri secara umum yang m
Namun pada suhu 37°C di ha
Hal ini kemungkinan disebabk
membutuhkan waktu sekitar 2
baru sebelum dapat mengguna
Gambar 2 menunjukka
simbion spons laut Haliclona f
bagus. Pada suhu 37°C, popu
�
���
���
���
���
�
��
Ko
nse
ntr
asi
lo
ga
m
run
ut
(pp
m)
Jenis log
an Ni Volume 1
���
sentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dar
gglomerans yang berasosiasi dengan spons laut
au dari posisi pulau
sentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dar
gglomerans yang berasosiasi dengan spons laut
au dari jenis logam
uhan bakteri simbion spons laut Haliclona fasc
kan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuh
na fascigera yang diperoleh dari Pulau Samalo
secara teratur dan mengikuti tahap-tahap pe
meliputi tahap penyesuaian, pertumbuhan dan p
hari ke-2 sempat terjadi penurunan jumlah kolo
bkan karena bakteri masih pada tahap penyesuaia
r 2 – 3 hari untuk beradaptasi dengan lingkunga
nakan nutrisi yang ada di sekitarnya secara optima
kkan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuh
a fascigera yang diperoleh dari Pulau Barrang Ca
pulasi bertambah secara teratur dan mengikuti ta
�� �
logam runut
�����������
���������������
������������� �
13 Nomor 1
ari bakteri
ut Haliclona
ari bakteri
ut Haliclona
ascigera
uhan bakteri
alona cukup
pertumbuhan
penurunan.
loni bakteri.
aian. Bakteri
gannya yang
mal.
uhan bakteri
Caddi cukup
i tahap-tahap
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
pertumbuhan bakteri secara umum yang meliputi tahap penyesuaian, pertumbuhan dan
penurunan. Namun tidak demikian pada suhu 27°C dan 47°C. Dari grafik terlihat bahwa
telah terjadi penurunan jumlah koloni bakteri sejak hari ke-2 sampai pada hari ke-5.
Dalam penelitian ini, kemungkinan bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang
diperoleh dari Pulau Barrang Caddi tidak mampu hidup pada suhu 27°C dan 47°C. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena faktor-faktor lingkungan yang tidak cocok , seperti
suhu, pH, keadaan medium, dan radiasi.
Gambar 3 menunjukkan bahwa pada ketiga variasi suhu, pertumbuhan bakteri
simbion spons laut Haliclona fascigera yang diperoleh dari Pulau Barrang Lompo
cukup bagus. Populasi bertambah secara teratur dan mengikuti tahap-tahap
pertumbuhan bakteri secara umum yang meliputi tahap penyesuaian, pertumbuhan dan
penurunan. Sedangkan pada suhu 47°C, di hari ke-2 juga terjadi penurunan jumlah
koloni bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada pola pertumbuhan bakteri dari Pulau Samalona, yaitu
bakteri masih pada tahap penyesuaian.
Setelah dibandingkan dengan tabel identifikasi bakteri yang memuat ciri-ciri
spesies bakteri, diketahui bahwa bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang
ditumbuhkan adalah Enterobacter agglomerans. Pesciaroli et al, (2012) menemukan
bahwa bakteri Enterobacter agglomerans mampu hidup di laut pada kisaran suhu 5 -
40°C, dengan suhu optimumnya adalah 25°C. Sedangkan Son et al (2006) dan Gavini et
al (1989) dalam Pesciaroli et al (2012) menemukan bahwa bakteri Enterobacter
agglomerans mampu hidup di laut pada kisaran suhu 5 - 45°C, dengan suhu
optimumnya adalah 30°C. Penelitian ini menumbuhkan bakteri pada tiga variasi suhu,
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
yaitu 27°C, 37°C, dan 47°C. Literatur-literatur di atas mendukung bahwa bakteri yang
diidentifikasi, yaitu Enterobacter agglomerans, berada pada jangkauan suhu hidupnya.
Hasil identifikasi juga menunjukkan bakteri Enterobacter agglomerans ini
merupakan koloni bakteri dominan pada spons laut Haliclona fascigera. Hal ini
memang mungkin terjadi, seperti dikemukakan oleh Hentschel et al, 2006 dalam
Sipkema et al (2009) bahwa spons yang ditempati oleh mikroorganisme spesifik
biasanya adalah spons yang densitas mikrobialnya tinggi. Sedangkan spons yang
densitas mikrobialnya rendah kurang memiliki mikroorganisme spesifik. Spesifitas yang
tinggi menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi didasarkan pada pertukaran metabolit.
Proses metabolik bakteri simbion spons, meski belum jelas apakah sebagai bagian dari
hubungan komensal ataukah mutualistik, antara lain reduksi sulfat, oksidasi metan, dan
kemungkinan oksidasi ammonia (Sipkema et al, 2009).
Pada penelitian lain, bakteri Enterobacter agglomerans juga telah diisolasi dari
spons laut Jaspis sp dan diketahui memiliki aktivitas sebagai penghasil inhibitor
protease (Mahdiyah, 2010).
Konsentrasi logam runut Co, Cr, dan Ni dari bakteri Enterobacter agglomerans
yang berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera
Gambar 5 menunjukkan bahwa bakteri Enterobacter agglomerans yang
berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera dari Pulau Barrang Lompo memiliki
konsentrasi logam runut paling tinggi yaitu Co sebesar 0, 3127 ppm, Cr sebesar 0,6254
ppm, dan Ni sebesar 0,8131 ppm. Hal ini didukung dengan kondisi pulau yang
meskipun jaraknya paling jauh dari kota Makassar, tetapi memiliki kecepatan arus
paling tinggi daripada Pulau Samalona dan Barrang Caddi. Pulau Barrang Lompo
berada pada daerah ombak pecah. Arus diketahui berperan penting dalam proses
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
sirkulasi dalam perairan dan berpengaruh terhadap jumlah nutrien yang dibawanya.
Selain itu diperkirakan pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk, aktivitas ekonomi, dan
pembangunan infrastruktur di pulau ini turut menyumbang tingginya serapan logam
pada bakteri tersebut.
Gambar 5 juga menunjukkan pada Pulau Samalona konsentrasi logam runut Cr
lebih tinggi daripada konsentrasi logam runut Co dan Ni pada bakteri Enterobacter
agglomerans yang berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena letak Pulau Samalona yang paling dekat dengan Kota
Makassar, dimana diketahui bahwa di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar terdapat
pabrik semen yang merupakan penyumbang utama Cr ke lingkungan. Selain dari pabrik
semen, Cr juga dapat berasal dari cat kapal-kapal transportasi yang menghubungkan
Pulau Samalona dengan pulau-pulau lainnya. Logam Cr merupakan logam runut
esensial. Penyerapan logam ini pada bakteri dipengaruhi oleh pH dan suhu. pH medium
mempengaruhi kelarutan logam dan tingkat ionisasi gugus fungsi logam seperti gugus
karboksilat, fosfat dan amino sebagai pembawa muatan negatif. Di laut Cr(VI) berada
dalam bentuk oksianion (CrO42-
atau Cr2O72-
), oleh sebab itu tidak efektif berikatan
dengan gugus fungsi yang bermuatan negatif. Demikian juga sebaliknya, saat pH
menurun, seluruh permukaan sel menjadi positif, permukaan sel dikelilingi ion
hidronium, yang kemudian meningkatkan interaksi Cr(VI) pada sisi aktif biopolimer
sehingga mampu diserap oleh sel bakteri tersebut. Lebih lanjut, kenaikan suhu
menyebabkan kenaikan serapan logam runut Cr(VI) kemungkinan hal itu meningkatkan
afinitas logam atau sisi aktif bakteri (Sultan et al, 2012).
Jika ditinjau dari jenis logam runut, seperti yang dilihat pada gambar 6, maka
diperoleh konsentrasi logam Co pada bakteri Enterobacter agglomerans yang
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
berasosiasi dengan spons laut Haliclona fascigera terukur paling kecil pada ketiga
pulau, yaitu Pulau Samalona sebesar 0,1989 ppm, Pulau Barrang Caddi sebesar 0,1975
ppm, dan Pulau Barrang Lompo sebesar 0, 3127 ppm. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh kecilnya konsentrasi Co yang tersedia di air laut. Martin et al (1989) dan Johnson
et al (1988) dalam Moffet and Ho (1996) menyatakan bahwa semakin dalam laut,
semakin kecil konsentrasi Co. Selain itu, Co dalam spesiasi organiknya (Co(II)) sangat
labil, mudah teroksidasi menjadi Co(III). Ni terukur paling tinggi, yaitu Pulau Samalona
sebesar 0,4642 ppm, Pulau Barrang Caddi sebesar 0,5432 ppm, dan Pulau Barrang
Lompo sebesar 0,8131 ppm. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya enzim
yang mengikat Ni sebagai kofaktor dalam metabolismenya. Samapai saat ini telah
diketahui ada sembilan enzim yang mengandung nikel antara lain urease, NiFe
hidrogenase, karbon monoksida dehidrogenase, asetil-CoA dekarbonilase/sintase, metil
koenzim M reduktase, superoksida dismutase tertentu, beberapa glioksilase, aci-
reducton dioksigenase, dan metilendiurease (Mulrooney and Hausinger, 2003).
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri simbion mampu
mengakumulasi logam runut, seperti hal nya spons inangnya. Hal ini karena bakteri
memiliki hubungan dalam rantai makanan yang erat pada spons laut terutama dalam
lingkungan air tinggi kandungan organiknya (Reiswig, 1974; 2006). Kefalas et al
(2003) menyatakan bahwa bakteri yang berasosiasi dengan spons dapat digunakan
sebagai indikator kontaminasi ekosistem laut.
KESIMPULAN
Spesies bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera yang teridentifikasi di
Pulau Samalona, Barrang Caddi, dan Barrang Lompo adalah Enterobacter
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
agglomerans. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0,1989 ppm, Cr sebesar 0,5637
ppm, dan Ni sebesar 0,4642 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
di Pulau Samalona. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0,1975 ppm, Cr sebesar 0,4938
ppm, dan Ni sebesar 0,5432 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona fascigera
di Pulau Barrang Caddi. Konsentrasi logam runut Co sebesar 0, 3127 ppm, Cr sebesar
0,6254 ppm, dan Ni sebesar 0,8131 ppm pada bakteri simbion spons laut Haliclona
fascigera di Pulau Barrang Lompo. Bakteri Enterobacter agglomerans sebagai simbion
spons laut Haliclona fascigera mampu berfungsi sebagai bioindikator logam runut Co,
Cr, dan Ni.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada pihak-pihak yang berpartisipasi selama
penelitian, memberi kontribusi pada penerbitan artikel dan pada pihak Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, yang telah memberikan beasiswa untuk
kelancaran penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Faulkner, D. J., Unson, M. D., and Bewley, C. A. 1994. The Chemistry of Some
Sponges and Their Symbionts. Pure & Appl. Chem. 66 : 1983-1990.
Kefalas, E., Castritsi-Catharios, J., Miliou, H. 2003. Bacteria Associated With The
Sponge. Ecol Indicators. 2 : 339–43.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Mahdiyah, D. 2010. Penapisan dan Identifikasi Bakteri yang Berasosiasi dengan Spons
Jaspis sp. Penghasil Inhibitor Protease. (Online). (http://repository.ipb.ac.id/,
diakses pada 7 Mei 2012).
Moffett, J. W., Ho, J. 1996. Oxidation of Cobalt and Manganese in Seawater Via A
Common Microbially Catalyzed Pathway. Geochimica et Cosmochimica Acta.
18 : 3415-3424.
Mulrooney, S. B., Hausinger, R. P. 2003. Nickel Uptake and Utilization by
Microorganisms. FEMS Microbiology Reviews.
Noor, A. 2007. Riset Kelautan Berorientasi Terapan: Keperluan Mendesak Bagi
Kawasan Timur Indonesia. Makalah disajikan dalam Kongres Ilmu Pengetahuan
Wilayah untuk Kawasan Timur Indonesia. Pusat Kegiatan Penelitian UNHAS.
Makassar.
Pesciaroli, C., Cupini, F., Selbmann, L., Barghini, P., Fenice, M. 2012. Temperature
Preference of Bacteria Isolated from Seawater Collected in Kandalaksha Bay,
White Sea, Rusia. Polar Biol. 35 : 435 – 445.
Reiswig, H. M. 1974. Bacteria as Food for Temperate Water Sponges. Can J Zool. 53 :
582–9.
Reiswig, H. M. 2006. Particle Feeding in Natural Populations of Three Marine
Demosponges. Biol Bull. 141: 568–91.
Selvin, J., Priya, S. S., Kiran, G. S., Thangavelu, T., Bai, N. S. 2009. Sponge-associated
Marine Bacteria as Indicators of Heavy Metal Pollution. Mic Res. 164 : 352-363.
Sipkema, D., Holmes, B., Nichols, S. A., Blanch, H. W. 2009. Biological
Characterisation of Haliclona (?gellius) sp. : Sponge and Associated
Microorganisms. Microb Ecol. 58 : 903 – 920.
Eksistensi Logam Runut Co, Cr, dan Ni Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Sultan, S., Mubashar, K., Faisal, M. 2012. Uptake of Toxic Cr (VI) by Biomass of
Exopolysaccharides Producing Bacterial Strains. Afr Jour of Micr Res. 13 :
3329-3336.
Marina Chimica Acta, April 2012, hal 36-45
Program Buginesia, Universitas Hassanuddin
Vol. 13 No. 1
ISSN 1411-2132
�
���
�
PEMANFAATAN KARANG SEBAGAI BIOSORBEN ION LOGAM Ni(II)
Rizki Amaliah, Nursiah La Nafie dan Sitti Fauziah
Jurusan Kimia, Fakuktas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin
Kampus UNHAS Tamalanrea, Makassar 90245
ABSTRACT
Nickel is one of the environmental inorganic pollutant and its removal is of major concern
because of its larger usages in industrial process. Biosorption has emerged as an alternative
solution for heavy metal pollution, using biomaterial called biosorbent. Biosorption of Ni(II) ion
using coral with variation of contact time, pH and concentration has been investigated. The
concentration of Ni(II) ion before and after adsorption were determined by Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS). The result showed that coral was able to adsorb Ni(II) ion and the
optimum biosorption occured at contact time 90 minutes and at pH 6. Langmuir and Freundlich
isothermal model were used to study the adsorption isotherm. Biosorption of Ni(II) ion by coral
was more appropriate to Langmuir isothermal model with a value of adsorption capacity (Qo)
3,1928 mg/g.
Keywords: biosorption, Langmuir isothermal, coral, Ni(II), AAS.
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia industri dapat memberi dampak positif dan dampak negatif bagi kehidupan
manusia. Dampak negatif yang banyak dirasakan dari perkembangan dunia industri adalah
dihasilkannnya bahan-bahan pencemar yang dapat mengganggu lingkungan. Bahan pencemar
yang sering mendapat perhatian adalah ion-ion logam berat, hal ini disebabkan karena ion-ion ini
bersifat toksik meskipun pada konsentrasi yang rendah dan umumnya sebagai polutan utama
bagi lingkungan (Suardana, 2008).
Logam berat adalah logam-logam dan metaloid yang memiliki massa atom antara 63,5 dan
200,6 g/mol serta memiliki densitas lebih dari 4,5 g/cm3 (Shah, 2008). Logam berat pencemar
lingkungan terdiri atas beberapa unsur yang dikategorikan atas pencemar prioritas tinggi, sedang
dan rendah yang umumnya terlarut dalam air dalam berbagai senyawa. Logam berat tidak dapat
dihancurkan oleh mikroorganisme dan dapat terakumulasi dalam tubuh manusia serta
mengakibatkan kerusakan organ-organ tubuh (Sembodo, 2006). Logam berat menyebabkan
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
pencemaran yang serius karena toksisitasnya dan tidak dapat terdegradasi dalam lingkungan
(Pekey, 2006).
Nikel, khususnya Ni(II) dikenal sebagai pencemar anorganik dan usaha untuk menghilangkannya
dari lingkungan harus menjadi perhatian utama karena senyawa nikel bersifat karsinogenik dan
juga dapat menyebabkan asma (Hanif, dkk., 2006). Nikel berada di lingkugan karena berbagai
proses seperti elektroplating, industri penyamakan kulit, pengawetan kayu, industri pulp, industri
pembuatan baja, dan sebagainya (Congeevaram, dkk., 2007). Lembaga perlindungan lingkungan,
Environmental Protection Agency (EPA), USA telah menetapkan ambang batas pembuangan
nikel pada air limbah adalah 2 – 3 mg/L (Aslam, dkk., 2010), sedangkan ambang batas nikel
dalam air minum adalah di bawah 0,04 mg/L (Rodríguez, dkk., 2006).
Beberapa metode dapat digunakan untuk menghilangkan ion logam berat dari air limbah, salah
satunya adalah biosorpsi. Metode ini didasarkan pada daya serap (adsorpsi) suatu biosorben
terhadap logam yang akan dihilangkan dari larutannya. Biosorpsi merupakan metode alternatif
yang dapat digunakan untuk menanggulangi pencemaran logam berat. Menurut Volesky (1999),
biosorpsi memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan teknik konvensional,
diantaranya: murah, dapat diperbaharui, tidak ada produk endapan dan air beracun yang
dihasilkan sebagai hasil sampingan, serta recovery logam sangat mungkin dilakukan karena
logam dapat dengan segera dipisahkan dari biomassa dan diperoleh kembali.
Pencemaran tidak sepenuhnya dapat dihindari, tetapi dapat diminimalisasi. Seiring dengan
perkembangan penduduk, dibutuhkan suatu metode dan teknologi untuk membersihkan dan
mengurangi kerusakan lingkungan (Viera dan Volesky, 2000). Biosorpsi dapat menjadi solusi
untuk membersihkan lingkungan yang terkontaminasi logam berat. Karang merupakan limbah di
sekitar perairan dengan komponen utamanya kalsium karbonat, sangat mungkin dimanfaatkan
sebagai bahan biosorben, utamanya sebagai biosorben logam-logam berat sebagai upaya
mengurangi pencemaran ion logam khususnya di daerah perairan. Hal ini telah dibuktikan oleh
Suzuki dan Takeuchi (1994) bahwa karang dapat digunakan untuk menjerap ion logam berat
bervalensi dua, Pb2+
dan Cu2+
dengan kapasitas adsorpsi masing-masing sebesar 1,3 mol/kg dan
0,9 mol/kg pada suhu 403 K.
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan karang dalam menjerap ion Ni(II)
serta mengetahui kondisi optimum adsorpsi ion Ni(II) oleh karang.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan dan alat penelitian
Bahan-bahan yang digunakan adalah karang mati yang diperoleh dari pesisir di kelurahan Bone-
Bone kota Bau-bau Sulawesi Tenggara, Ni(NO3)2.6H2O, HNO3, NaOH, akuades, akuabides,
kertas saring Whatman 41, aluminium foil, kertas pH universal, kertas label dan kertas saring
biasa.
Alat-alat yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas yang umum digunakan, oven
model SPNISOSFD, magnetic stirrer, neraca digital Ohaus model NO AP210, ayakan (80 mesh
dan 100 mesh), spektrofotometer serapan atom (SSA) Buck Scientific Model 205 VGP, dan
desikator.
CARA KERJA
Penyiapan Biosorben Karang
Karang yang telah diambil segera dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan
partikel-partikel lain. Pencucian dilanjutkan dengan menggunakan akuades. Karang selanjutnya
ditiriskan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 130 0C selama 24 jam lalu disimpan
dalam desikator. Karang selanjutnya dihaluskan dan partikel diambil dengan ukuran lolos
saringan 80 mesh tetapi tidak lolos saringan 100 mesh.
Penentuan Waktu Optimum Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
Larutan Ni(II) dengan konsentrasi 50 mg/L pada pH 5 disiapkan. Karang sebanyak 2 gram
ditambahkan ke dalam 100 mL larutan Ni(II). Campuran dikocok dengan stirrer magnet selama
5 menit dan disaring menggunakan kertas saring Whatman 41. Absorbansi filtrat diukur dengan
SSA pada panjang gelombang maksimum. Percobaan kemudian diulangi dengan variasi waktu
pengocokan (10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 menit). Setiap percobaan dilakukan 2 kali
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang.
Konsentrasi yang diserap untuk tiap waktu dihitung dengan cara:
Konsentrasi teradsorpsi = konsentrasi awal - konsentrasi akhir
Cadsorpsi = Cawal – Cakhir
Banyaknya ion-ion logam yang teradsorpsi (mg) per gram biosorben (karang) ditentukan dengan
persamaan:�
�� � ��� � ��. �
�
dimana qe = jumlah ion logam yang teradsorpsi (mg/g)
Co = konsentrasi ion logam sebelum adsorpsi
Ce = konsentrasi ion logam setelah adsorpsi
V = volume larutan ion logam (L)
W = jumlah adsorben, karang (g)
Waktu optimum adalah waktu dimana konsentrasi teradsorpai (Cadsorpsi) terbesar
Penentuan pH Optimum Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
Karang sebanyak 2 gram ditambahkan ke dalam 100 mL larutan ion logam Ni(II) dengan
konsentrasi 50 mg/L dan pH 2. Campuran dikocok selama waktu optimum kemudian disaring
dengan kertas saring Whatman 41. Absorbansi filtrate diukur dengan SSA. Percobaan di atas
diulang pada pH yang berbeda masing-masing 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Setiap percobaan dilakukan 2
kali pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang.
pH optimum adalah pH dimana konsentrasi teradsorpsi (Cadsorpsi) terbesar.
Penentuan Kapasitas Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
Larutan ion logam Ni(II) dengan konsentrasi masing-masing 50, 100, 150, 200 dan 250 mg/L
disiapkan. Karang sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam tiap-tiap 100 mL larutan tersebut.
Campuran dikocok selama waktu dan pH optimum kemudian disaring dengan kertas saring
Whatman 41. Absorbansi tiap-tiap filtrat diukur dengan SSA. Setiap percobaan dilakukan 2 kali
pengulangan. Percobaan blanko dilakukan seperti di atas tetapi tanpa penambahan karang.
Kapasitas biosorpsi dihitung dengan menggunakan persamaan Freudlich [log qe = log k + 1/n
(log Ce)] atau persamaan Langmuir (Ce/qe = 1/Qob + Ce/Qo) dengan mengalurkan log qe terhadap
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
log Ce untuk persamaan Freudlich atau Ce/qe terhadap Ce untuk persamaan Langmuir.
Berdasarkan intercept persamaan Freudlich diperoleh nilai k (kapasitas adsorpsi) dan dari slope
persamaan Langmuir dapat diperoleh nilai Qo yang berhubungan dengan kapasitas adsorpsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Waktu Terhadap Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
Waktu kontak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses biosorpsi. Jumlah ion logam
yang teradsorpsi akan mencapai batas maksimum pada waktu tertentu, yang dinamakan waktu
optimum. Waktu kontak optimum biosorpsi ion logam Ni(II) ditentukan dengan menghitung
jumlah ion yang diadsorpsi (qe) sebagai fungsi waktu (t) yang ditunjukan pada table 1 dan
Gambar 1.
Tabel 1. Jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang pada variasi waktu pengadukan.
Waktu (menit) Co (mg/L) Ce (mg/L) Qe (mg/g)
5 43.4586 27.2368 0.8108
10 43.4586 20.6015 1.1425
20 43.4586 17.7819 1.2835
30 43.4586 17.2744 1.3087
40 43.4586 14.0789 1.4688
50 43.4586 12.5940 1.5429
60 43.4586 12.0113 1.5721
70 43.4586 9.3797 1.7039
80 43.4586 8.7594 1.7340
90 43.4586 5.3759 1.9032
100 43.4586 6.4477 1.8499
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
��
�
Gambar 1. Hubungan antara waktu kontak (menit) dengan jumlah ion logam Ni(II) yang
diadsorpsi (mg/g) oleh karang
Table 1 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa waktu optimum biosorpsi ion logam Ni(II) oleh
karang adalah 90 menit dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi adalah 1,9032 mg/g.
Jumlah ion logam Ni(II) yang teradsorpsi cenderung meningkat seiring dengan semakin lamanya
waktu pengadukan hingga mencapai optimum pada waktu pengadukan 90 menit, namun setelah
mencapai waktu optimum, jumlah ion logam Ni(II) yang teradsorpsi cenderung menurun.
Kondisi ini sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu kontak antara adsorben dengan zat
terlarut maka akan semakin banyak zat terlarut yang teradsorpsi. Akan tetapi, jumlah zat terlarut
yang teradsorpsi akan mencapai batas optimum pada waktu tertentu, dimana adsorben (karang)
tidak dapat lagi mengadsorpsi karena ion logam Ni(II) sudah mengisi penuh sisi aktip permukaan
adsorben.
Waktu optimum biosorpsi ion logam Ni(II) pada beberapa penelitian lain menunjukan hasil yang
berbeda-beda, tergantung pada jenis biosorben yang digunakan. Ada yang menunjukan hasil
yang sama seperti penelitian yang dilakukan El-Sayed, dkk., (2010) tentang biosorpsi ion Ni(II)
dan Cu(II) dari larutannya dengan jerami padi, diperoleh waktu optimum untuk biosorpsi ion
Ni(II) adalah 90 menit. Ozdemir, dkk., (2005) juga memperoleh waktu optimum biosorpsi ion
�
���
���
���
���
�
���
���
���
���
�
� �� �� �� �� ��� ���
������������ ����������������
����������
�����������
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
��
�
Ni(II) adalah 90 menit dalam penelitian pemanfaatan alginat untuk adsorpsi Cu(II) dan Ni(II).
Sedangkan penelitian adsorpsi Ni menggunakan karbon aktif tempurung kelapa yang dilakukan
oleh Onundi, dkk., (2010) menunjukan hasil waktu optimum yang berbeda, yaitu 75 menit. Pada
penelitian ini, waktu kontak 90 menit adalah waktu yang diperlukan untuk mengadsorpsi ion
logam Ni(II) secara optimal oleh karang, yang digunakan untuk penelitian lebih lanjut.
Pengaruh pH Terhadap Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
pH larutan adalah salah satu faktor penting dalam biosorpsi ion logam selain waktu. Tabel 2 dan
Gambar 2 menunjukan pengaruh perubahan pH larutan dalam biosorpsi ion logam Ni(II) oleh
karang.
Tabel 2. Jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang sebagai fungsi pH.
pH� Co (mg/L)� Ce (mg/L)� qe (mg/g)� Pengendapan�
3 46.4706 27.3702 0.9549 Tidak ada
4 44.6367 21.9550 1.1339 Tidak ada
5 44.6367 7.1972 1.8718 Tidak ada
6 41.7301 0.7958 2.0465 Tidak ada
7 38.0623 -2.1453 2.0098 Ada
8 -4.3945 -4.2215 -0.0087 Ada
Gambar 2. Hubungan antara pH dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi (mg/g) oleh
karang.
���
�
��
�
��
�
��
� � � � � ��
������������ ����������������
����������
�
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
pH larutan sangat berpengaruh terhadap jumlah ion logam yang teradsorpsi. Pada penelitian ini,
pengaruh pH terhadap biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang diamati pada kisaran pH 3 hingga
8. Kisaran pH yang digunakan adalah pH yang tidak mengganggu proses analisis, misalnya
dengan adanya pengendapan logam (sebagai hidroksida) ataupun yang dapat melarutkan
biosorben yang digunakan. Gambar 2 dan Tabel 2 menunjukan jumlah ion logam Ni(II) yang
teradsorpsi sedikit pada pH rendah, dan meningkat seiring dengan peningkatan pH larutan
hingga mencapai optimum pada pH 6 dengan jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi sebesar
2.0465 mg/g. Pengaruh pH berkaitan dengan fakta bahwa dalam suasana asam terjadi kompetisi
antara ion logam dan ion H+ yang menyebabkan pengikatan logam pada kondisi seperti ini
kurang berarti. Dengan peningkatan pH, tolakan elektrostatik menurun akibat dari penurunan
kepadatan muatan positif pada permukaan biosorben sehingga mengakibatkan peningkatan
adsorpsi logam. Pada pH yang lebih tinggi (pH > 6), terjadi penurunan jumlah ion Ni(II) yang
teradsorpsi. Hal ini disebabkan karena pada pH yang lebih tinggi ion Ni(II) dalam larutan
berkurang karena mulai terbentuk endapan Ni(OH)2. Penelitian lebih lanjut untuk penentuan
kapasitas biosorpsi digunakan pH optimum yaitu pH 6.
Kapasitas Biosorpsi Ion Logam Ni(II) oleh Karang
Kelayakan dan efisiensi suatu proses biosorpsi tidak hanya bergantung pada sifat biosorben,
tetapi juga pada konsentrasi larutan ion logam. Pengaruh konsentrasi ion logam Ni(II) dalam
proses biosorpsi ditunjukan pada Tabel 3 dan Gambar 3 berikut.
Tabel 3. Jumlah ion Ni(II) yang diadsorpsi oleh karang sebagai fungsi konsentrasi pada waktu
optimum dan pH 6.
Co(mg/L)� Ce (mg/L)� qe(mg/g)� Ce/qe� log Ce� log qe�
29.5543� 3.6072� 1.2969� 2.7814� 0.5572� 0.1129�
81.3370� 31.6992� 2.4814� 12.7747� 1.5010� 0.3947�
120.8914� 67.1588� 2.6860� 25.0036� 1.8271� 0.4291�
162.6741� 92.9248� 3.4869� 26.6501� 1.9681� 0.5424�
189.1365� 130.8496� 2.9141� 44.9029� 2.1168� 0.4645�
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Gambar 3. Hubungan antara konsentrasi ion Ni(II) setelah adsorpsi (mg/L) dengan jumlah ion
Ni(II) yang diadsorpsi (mg/g).
Semakin besar konsentrasi ion logam Ni(II), jumlah ion logam Ni(II) yang diadsorpsi juga
semakin besar kemudian cenderung menurun dan konstan yang diakibatkan karena biosorben
telah mengalami kejenuhan. Kapasitas biosorpsi ditentukan menggunakan dua model isotermal
yaitu model isotermal Langmuir dengan mengalurkan Ce/qe terhadap Ce (Gambar 4) dan model
isotermal Freundlich dengan mengalurkan log qe terhadap log Ce (Gambar 5).
Gambar 4. Kurva isotermal Langmuir untuk adsorpsi ion Ni(II) oleh karang
�
��
�
��
�
��
�
�
� �� �� �� �� ��� ��� ���
������������ ��������������������������
������������������
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Gambar 5. Kurva isotermal Freundlich untuk adsorpsi ion Ni(II) oleh karang
Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukan model isotermal Langmuir yang paling sesuai untuk
biosorpsi ion logam Ni(II) oleh karang dengan nilai koefisien korelasi (R2) adalah 0,972
sedangkan nilai R2
dari kurva isotermal Freundlich adalah 0,9246. Nilai koefisien korelasi (R2)
yang besar pada kurva isothermal Langmuir mengindikasikan proses biosorpsi ion logam
memiliki cakupan lapis tunggal (monolayer) pada karang. Dengan kata lain, biosorpsi ion logam
Ni(II) pada karang terjadi pada gugus fungsi pada permukaan karang yang dianggap sebagai
adsorpsi lapis tunggal. Biosorben berbeda dapat memberikan karakteristik penyerapan yang
berbeda, sehingga kesesuaian dari isothermal adsorpsi sangat bergantung pada jenis biosorben
yang digunakan.
Berdasarkan slope kurva isotermal Langmuir kapasitas adsorpsi (Qo) diperoleh sebesar
3,1928 mg/g, sedangkan dari intercept kurva isothermal Freundlich diperoleh nilai kapasitas
adsorpsi (K) sebesar 0,9683 mg/g. Biosorben yang paling baik digunakan dalam penyerapan ion
logam adalah yang memiliki nilai kapasitas adsorpsi yang paling besar.
KESIMPULAN
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Karang dapat digunakan sebagai biosorben ion logam Ni(II) dengan waktu optimum biosorpsi
karang terhadap ion logam Ni(II) adalah 90 menit, pH optimum biosorpsi karang terhadap ion
logam Ni(II) adalah 6. Biosorpsi karang terhadap ion logam Ni(II) lebih sesuai dengan isotermal
Langmuir dengan nilai kapasitas adsorpsi (Qo) sebesar 3,1928 mg/g.
DAFTAR PUSTAKA
Aslam, M. Z., Ramzan, N., Naveed, S., and Feroze, N., 2010, Ni(II) Removal by Biosorption
Using Ficus religiosa (Peepal) Leaves, Journal of The Chilean Chemical Society, 55 (1), 81-84.
Congeevaram, S., Dhanarani, S., Park, J., Dexilin, M., Thamaraiselvi, K., 2007, Biosorption of
Chromium and Nickel by Heavy Metal Resistant Fungal and Bacterial Isolates, Journal of
Hazardous Materials,146, 270-277.
El-Sayed, G. O., Dessouki, H. A., and Ibrahim, S. S., 2010, Biosorption of Ni (II) and Cd (II)
Ions from Aqueous Solutions onto Rice Straw, Chemical Sciences Journal, (Online),
(http://astonjournals.com/csj, diakses 27 Oktober 2010), 1-11.
Hanif, M. A., Nadeema, R., Bhatti, H. N., Ahmada, N. R. and Ansari, T. M., 2006, Ni(II)
Biosorption by Cassia fistula (Golden Shower) Biomass, Journal of Hazardous Materials,
(Online) 139, (http://www.aseanbiodiversity.info/51006486.pdf, diakses 26 Oktober 2010).
Onundi, Y. B., Mamun, A. A., Al Khatib, M. F., and Ahmed, Y. M., 2010, Adsorption of copper,
nickel and lead ions from synthetic semiconductor industrial wastewater by palm shell activated
carbon, Int. J. Environ. Sci. Tech., (Online) 7 (4), (http://www.bioline.org.br/pdf?st10074,
diakses 11 Juni 2011), 751-758.
Ozdemir, G., Cheyhan, N., and Manav, E., 2005, Utilization in alginate beads for Cu(II) and
Ni(II) adsorption of an exopolysaccharide produced by Chryseomonas luteola TEM05, World
Journal of Microbiology & Biotechnology, (Online) 21 (2),
(http://www.springerlink.com/content/l0471n8w5n0p2266/fulltext.pdf,
Pekey, H., 2006, The Distribution and Sources of Heavy Metals in Izmit Bay Surface Sediments
Affected by a Polluted Stream, Marrine Pollution Buletine, (Online) 52 (10),
(http://www.sciencedirect.com/science/journal/0025326X, diakses 27 Oktober 2010), 219-231.
Rodríguez, C. E., Quesada, A. and Rodríguez E., 2006, Nickel Biosorption by Acinetobacter
baumannii and Pseudomonas aeruginosa Isolated from Industrial Wastewater, Brazilian Journal
of Microbiology, 37, 465-467.
Sembodo, B. S. T., 2006, Model Kinetika Langmuir untuk Adsorpsi Timbal pada Abu Sekam
Padi, Ekuilibrium, 5 (1), 28-33.
Pemanfaatan Karang Sebagai Biosorben Ion Logam Ni(Ii) Volume 13 Nomor 1
�
���
�
Suardana, I. N., 2008, Optimalisai Daya Adsorpsi Zeolit Terhadap Ion Kromium(III), Jurnal
Penelitian dan pengembangan Sains & Humaniora, (Online) 2 (1),
(http://www.freewebs.com/santyasa/Lemlit/PDF_Files/SAINS/APRIL_20
08/I_Nyoman_Suardana.pdf, diakses 11 Agustus 2010), 17-33.
Suzuki, Y., and Takeuchi, Y., 1994, Uptake of a Few Divalent Heavy-Metal Ion Species from
Their Aqueous Solutions by Coral Sand Heat-Treated at Various Temperatures, Journal of
Chemical Engineering of Japan, (Online) 27 (2),
(http://www.jstage.jst.go.jp/article/jcej/27/2/165/_pdf, diakses 24 Agustus 2010), 165-170.
Vieira, R. H. S. F. and Volesky, B., 2000, Biosorption: a solution to pollution?,
INTERNATIONAL MICROBIOL, 3, 17-24.
Volesky, B., 1999, Biosorption for the Next Century, Biohydrometallurgy and the Environment
Toward the Mining of the 21st Century, Process Metallurgy, (Online) 9 (2),
(http://www.sciencedirect.com/science/bookseries/, diakses 10 November 2010).