Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Diterbitkan oleh:
Seminari Tinggi Santo Fransiskus Xaverius Ambon
Benediktus Titirloloby
Konsep Etika Nilai Max Scheler dan
Analisis terhadap Aksiologinya
Yeremias Banusu Korelasi Makna Tarian Bonet
Masyarakat Dawan dengan Konsep
Relasi Martin Buber
(Sebuah Studi Komparasi dengan
Pendekatan Filosofis)
Jeffrey Bartilet
On Anonymity and Indifference
Marius Goo Pastoral Inkarnatoris di Era Digital
Zaman Milenial
Antonius Alex Lesomar Transendensi Person Menurut Carol
Wojtyla
Vol. 05, No. 02, Desember 2020 ISSN:2548-7043
Fides et Ratio Jurnal Teologi Kontekstual Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon
Fides et Ratio Jurnal Teologi Kontekstual Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon
Vol. 05, No. 02, Desember 2020
Fides et Ratio adalah jurnal teologi kontekstual Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon yang
bertujuan menyampaikan suatu kajian teoretis atas penelitian dalam bidang teologi atau refleksi atas
penghayatan iman yang berguna bagi pengembangan iman umat dalam konteks Maluku dan inspirasi
bagi kaum intelektual. Jurnal ini diterbitkan oleh Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon,
Keuskupan Amboina.
Dewan Redaksi
Pelindung : Ignasius Samson Sudirman Refo, SS., MA
Ketua : Kornelis Seralarat, SS.,MA
Anggota : Faustinus Kebubun, S.Fil.
Fenansus Ngoranmele, S.Fil.
Liberatus Mayabubun, S.Fil.
Benediktus Titirloloby, S.Fil.
Amatus Rendy Watkaat, S.Fil.
Wilfridus Fallo, S.Fil.
Penyunting : Dr. Paul Richard Renwarin
Dr. Patris Rahabav, M. Pd
Kornelis Seralarat, SS., MA
Alamat Redaksi
Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon,
Jl. Pakatora Pohon Mangga, Kole-Kole Pante, RT 001/RW 06 – Poka Rumah Tiga
Email : [email protected]
Dicetak Oleh : CV Aman Jaya Ambon
• Jurnal Fides et Ratio terbit 2 kali dalam setahun (Juni & Desember).
KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL Fides et Ratio
I. Ketentuan Umum
1. Artikel merupakan karya asli dari hasil penelitian dan pemikiran teologi dan filsafat
dan belum pernah dipublikasikan di media lain.
2. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis.
3. Artikel menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4. Panjang artikel 10-12 halaman atau 3000-4000 kata (tidak termasuk daftar pustaka)
dengan spasi 1,5, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12, ukuran kertas A4.
5. Artikel dikirim dalam bentuk print-out dan soft copy (jenis document .doc –Microsoft
Word) paling lambat 2 bulan sebelum terbit (April dan Oktober). Alamat kirim: Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon, Jl. Pakatora Pohon Mangga, Kole-kole
Pante, RT 001/RW 06 – Poka Rumah Tiga, E-Mail : [email protected].
6. Penulis wajib mengirimkan biodata.
II. Ketentuan Khusus
1. Referensi dan informasi lainnya dituliskan sebagai footnotes, sebagai berikut: Nama
lengkap, judul buku ditulis italic atau judul artikel ditulis diantara tanda kutip,
halaman. Robert Hardiwiryana, Spiritualitas Imam Diosesan Melayani Gereja di
Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 36.
2. Gambar, bagan dan foto: dilengkapi dengan judul/keterangan gambar/bagan.
3. Ketentuan daftar pustaka:
a. Dari sumber buku: nama keluarga, nama depan. Judul (cetak miring), edisi
(jika ada), nama kota: penerbit, tahun terbit. Contoh: Hadiwijono, Harun. Sari
Sejarah FIlsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
b. Dari sumber jurnal: nama penulis. Judul artikel (dalam dua tanda kutip), nama
jurnal (dicetak miring). volume. nomor. Halaman.
c. Dari sumber selain buku dan jurnal: nama penulis. Judul (dicetak miring).
Jenis sumber. Nama kota: penerbit, tahun.
d. Dari sumber internet.
III. Format Artikel
1. Judul: dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
2. Nama penulis: tanpa gelar.
3. Abstrak: 1 alinea dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Abstrak berisi seputar
gagasan-gagasan dasar, temuan-temuan penting dan kontribusi karangan.
4. Kata-kata kunci: terdiri dari 3 – 6 kata, yang merupakan gagasan dasar dalam artikel.
5. Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penelitian.
6. Pembahasan: yang dapat terdiri dari beberapa bab.
7. Penutup: berisi kesimpulan dan rekomendasi
8. Daftar pustaka: memuat referensi yang diurutkan secara alfabetis. Nama belakang
penulis dituliskan terlebih dahulu.
1
KONSEP ETIKA NILAI MAX SCHELER DAN
ANALISIS TERHADAP AKSIOLOGINYA
Benediktus Titirloloby Seminari Tinggi Fransiskus Xaverius, Poka Rumah Tiga, Ambon
Email: [email protected]
Abstrak
Dengan melihat fakta dunia sekarang tentang cara berpikir manusia dan tindakannya yang terlalu
cepat menilai orang lain membuat penulis merasa tertarik menelusuri hal ini. Terhadap realitas ini,
penulis memilih konsep etika nilai Max Scheler yang menyajikan cukup buah pemikiran untuk
mengkaji hal ini. Dengan alasan ini penulis mempresentasikan konsep etika nilai Max Scheler
tentang nilai-nilai material yang khas dirinya untuk menjawab realitas tersebut. Penulis dengan
singkat dan padat mendeskripsikan pandangan umum dan permasalah tentang nilai dengan tujuan
membuat perbandingan dengan etika nilai Scheler. Dengan begitu penulis berusaha mengangkat
secara lebih kentara manakah ciri khas etika nilai dari Scheler. Selanjutnya, penulis berusaha untuk
membuat analisis terhadap aksiologinya. Di sini, penulis akan memperlihatkan manakah gagasan-
gagasan yang Scheler gunakan untuk menyusun etika nilainya yang dikritik maupun didukung oleh
beberapa pemikir dan juga menunjuk kelemahan dan keunggulan dari aksiologinya yang berguna
sebagai pendasaran tindakan moral manusia. Tujuan penulisan ini adalah untuk menjawab persoalan
di atas; untuk membuat suatu analisis yang dilanjutkan dengan refleksi terhadap aksiologi Max
Scheler demi menunjuk kelemahan dan keunggulan etika nilainya. Juga, melihat sumbangan etika
nilai dan aksiologi Max Scheler bagi ilmu etika dan pertimbangannya bagi kehidupan manusia.
Kata Kunci: Max Scheler, Etika, Nilai dan Analisis.
Abstract
The facts of the world today about the way humans think and act too quickly to judge others makes
the author feel interested in exploring this matter. Regarding this reality, the author chooses the
concept of the ethics of value Max Scheler, which provides enough ideas to study this matter. For
this reason, the author presented the concept of the ethics of Max Scheler's values about material
values that are unique to him to answer this reality. The author briefly and concisely describes
general views and issues regarding values in order to make comparisons with Scheler's ethical
values. In this way the author tries to raise more clearly what is the characteristic of Scheler's ethics
of values. Next, the writer tries to make an analysis of the axiology. Here, the author will show
which of the ideas Scheler used to construct his ethical values which were criticized and supported
by some thinkers and also pointed out the weaknesses and advantages of his axiology which are
useful as a basis for human moral action. The purpose of this paper is to answer the above problems;
to make an analysis followed by a reflection on Max Scheler's axiology in order to point out the
weaknesses and advantages of his value ethics. Also, see the contribution of the ethics of values and
axiology of Max Scheler for the science of ethics and its considerations for human life.
Keywords: Max Scheler, Ethics, Values and Analysis.
I. PENDAHULUAN
Manusia yang bermoral sesungguhnya tak bisa hidup tanpa nilai. Moralitas setiap tindakan manusia
mengarah pada nilai-nilai tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Ada orang yang mungkin saja bertindak
tanpa sadar hanya karena mengikuti kebiasaan hariannya dan berpikir bahwa apa yang ia lakukan tidaklah terlalu
berguna atau tidak bernilai karena tidak ada kaitannya dengan apa pun. Atau sebaliknya, ada orang yang dengan
kesadaran penuh dan karena itu sangat berhati-hati dalam bertindak untuk menjaga agar setiap tindakan yang
dilakukannya mempunyai bobot nilai “baik” tertentu. Ada pula tanggapan lain dari luar diri kita yaitu sesama kita
yang atas cara tertentu dan dalam waktu tertentu sesekali dapat melihat dan menilai tindakan yang kita perbuat
2
baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Di lain pihak, persoalan tentang nilai tidak hanya melekat pada
perbuatan manusia yang dapat dikatakan atau disadari sebagai “baik”, namun ada juga kategori dari benda-benda
tertentu yang padanya entahkah orang mengatributkan nilai “indah” ataukah benda itu yang bernilai pada dirinya
sebagai “indah”. Lebih daripada itu, terdapa pula nilai-nilai yang bukan bersifat material seperti nilai-nilai
rohani/spiritual yang darinya atau karenanya seseorang terkadang dikatakan sebagai orang baik, saleh, suci dan
bertakwa kepada Allah. Tentu saja masih banyak lagi nilai-nilai yang lain.
Jelas, ada begitu banyak pengertian tentang nilai karena terkadang nilai dipandang sebagai suatu hal yang
dapat berubah-ubah. Dalam benak banyak orang, nilai itu bersifat subyektif belaka sehingga setiap perbuatan
manusia selalu diberi nilai. Hal itu mengasumsikan bahwa nilai itu tergantung pada setiap orang dan bukannya
bersifat apriori. Bila demikian adanya maka setiap perbuatan yang manusia lakukan akan bersifat relatif dan tidak
ada suatu patokan/tolak ukur tertentu yang dapat berlaku secara umum.
Persoalan-persoalan seperti yang terlihat di atas adalah suatu rangsangan bagi penulis untuk mengkaji
lebih jauh dalam sudut pandang etika apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan nilai. Apakah nilai itu bersifat
subjektif ataukah objektif ataukah memang kedua-duanya. Penulis berusaha mengkaji hal ini dengan bertolak dari
konsep etika nilai Max Scheler. Baginya, nilai bukanlah sesuatu yang bersifat subjektif belaka, namun lebih
daripada itu, nilai sesungguhnya bersifat material, objektif dan apriori. Baginya, setiap perbuatan manusia
seharusnya terarah kepada nilai-nilai tertentu. Nilai seharusnya diperjuangkan lewat kemampuan-kemampuan
manusia yang tidak hanya secara rasional tetapi juga secara emosional-intuitif yang tertanam dalam hati setiap
orang.1
II. KAJIAN LITERATUR
Dalam hidup setiap hari, baik disadari maupun tidak disadari, manusia selalu berbicara dan menyinggung
tentang nilai. Ini memperlihatkan bahwa nilai begitu penting dalam kehidupan manusia. Nilai menjadi suatu tolak
ukur, tingkatan perilaku dan juga sebagai sarana berperilaku. Pada zaman Yunani kuno, dikala filsafat baru mulai
berkembang dan mendapat tempat penting dalam tatanan dunia pendidikan, secara khusus di zaman Plato, nilai
(Value) masih dimengerti dalam konteks “yang ada” (being). Being, yang merupakan hakikat dasar penemuan
filsafat tentang realitas, terkadang dimengerti juga sebagai nilai. Bilamana di zaman ini orang berbicara tentang
nilai (value), yang dimaksudkan ialah “ada” atau being. Dapat dikatakan perhatian secara khusus terhadap
pentingnya nilai masih kabur dalam zaman itu.
Perhatian terhadap pentingnya nilai, baru mendapat tempatnya pada abad ke-19. Dalam masa ini, hal-hal
seperti keadilan, kebaikan, keindahan dan kebenaran dilihat secara khusus sebagai nilai. Di sini hal-hal serupa
mulai dibuat distingsi dengan nilai.2 Kemudian muncul perbedaan pemahaman tentang yang ada (being) sebagai
fakta dengan nilai (value) sebagai yang memiliki karakteristik tersendiri. Konsekuensinya, muncul sesuatu yang
dimengerti sebagai aksiologi, yang berbicara secara khusus tentang hakikat nilai.
Max Scheler (filsuf dan etikawan) memberikan gambaran tentang nilai. Pikiran Scheler tentang nilai
dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul Etika Formalisme dan Etika Nilai Material (Der Formalismus in der
Ethik und die Materiale Wert Ethik). Baginya, nilai bercorak apriori, objektif dan material. Nilai tidak tergantung
pada manusia atau mendahului tangkapan manusia, nilai bukanlah bersifat subjektif atau dibuat berdasarkan rasio
manusia. Lebih daripada itu, nilai itu ada dalam kehidupan manusia dan termuat dalam benda-benda yang
membawa nilai dan sangat spesifik atas realitas hidup manusia. Scheler juga menegaskan bahwa untuk dapat
sampai pada pemahaman tentang nilai yang dimaksudkan maka tak dapat lepas dari fenomenologi yang
dikembangkannya dari Edmund Husserl.
Corak apriori nilai pun menyebabkan nilai bebas dari perubahan, baik itu perubahan yang terjadi pada
pembawa nilai (carrier of value) maupun pada tanggapan manusia. Nilai itu obyektif karena ia ada dalam keadaan
yang sebenarnya tanpa dipengaruhi oleh sesuatu yang lain, bahkan tidak oleh kehendak manusia. Kehendak
manusia yang kuat sekalipun tak dapat merubah obyektivitas nilai. Hal ini turut ditegaskan oleh Quantin Lauer
menjelaskan pendapat Scheler sebagai berikut:
1Bdk. Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 36. 2Ing. Distinction; dari bahasa Latin distinction, distinctus (pemisahan, pembedaan, penjaringan).
Kegiatan kesadaran dalam merefleksikan perbedaan obyektif antara benda-benda atau hal-hal atau unsur-unsur
kesadaran (penginderaan, konsep dll). Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 171-172.
3
Bagi Scheler adalah tidak cukup bahwa sebagai objek yang dimaksudkan dalam operasi intelektual,
secara sederhana menjadi objek dari tindakan berdasarkan keinginan. Harus ada yang menghendaki suatu
aspek nilai yang menjadikannya sebagai objek dari keinginan ... haruslah diusahakan sebuah distingsi
operasi kognitif yang mana merangkul secara tepat di bawah formalitas ini. Operasi ini ia sebut
"emosional" untuk membedakannya dari operasi rasional intelektual.3
Nilai itu bersifat material artinya nilai itu ada dan hidup secara konkret dalam dunia manusia dan benda-
benda yang mengandung nilai. Terhadap hal ini, Scheler pun menembukan dan membuat tingkatan-tingkata dalam
nilai dan kriteria-kriteria yang menentukan tingkatan-tingkatan nilai tersebut. Terdapat 5 kriteria dan empat
tingkatan nilai. Scheler juga membahas tentang hubungan nilai dan persona / manusia yang adalah satu kesatuan
efisien. Menurut Scheler, antara persona (yang khas darinya) dan nilai terjadi hubungan terikat dan timbal balik.
Di sini, ia memperilhatkan peran dari perasaan manusia yang disebutnya Intensionality feeling sebagai sarana
utama manusia dalam menangkap nilai dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.
III. METODE
Penelitian ini menggunakan motode library research, yang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat dan mengolah bahan penelitian dengan
4 ciri utama yakni: Pertama, bahwa peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan
pengetahuan langsung dari lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peniliti tidak terjun
langsung ke lapangan karena peneliti berhadapan langsung dengan sumber data yang ada di perpustakaan. Ketiga,
bahwa data pustaka terdiri atas data primer dan sekunder. Terdapat beberapa sumber primer dari Max Scheler dan
pemikirannya, juga sumber sekunder tentang dirinya dan pemikirannya. Keempat, bahwa kondisi data pustaka
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Berdasarkan dengan hal tersebut di atas, maka pengumpulan data dalam
penelitian dilakukan dengan menelaah dan/atau mengekplorasi beberapa jurnal, buku, dan dokumen-dokumen
lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian atau kajian.
IV. KONSEP ETIKA NILAI MAX SCHELER DAN ANALISIS TERHADAP AKSIOLOGINYA
1. Biografi, Karya Dan Latar Belakang Pemikiran Max Scheler
Secara garis besar, pada bagian ini ada beberapa hal yang patut dikatakan tentang Max Scheler. Pertama,
mengenai kehidupan keluarga, kisah cinta dan pendidikannya. Max Scheler lahir pada tanggal 22 Agustus 1874,
di Munchen, ibukota daerah Bayern, Jerman Selatan, dengan menyandang nama lengkap Max Ferdinand Scheler.
Ia dilahirkan dalam keluarga yang unik: orang tua yang berbeda agama, dan dirinya yang kemudian memilih
menjadi seorang Katolik. Ia adalah seseorang yang terus mencari jati dirinya dalam segala hal baik lewat karya-
karyanya maupun lewat kehidupan pribadinya. Pencarian jati diri itu terus berlanjut dalam masa dewasanya secara
khusus saat ia dimabuk cinta. Scheler adalah pria yang kuat dalam hal cinta dan membutuhkan cinta dari wanita
untuk menyemangati dia dalam hidupnya khususnya dalam menemukan inspirasi baru untuk karya-karyanya. Ada
tiga wanita dalam hidupnya, namun yang paling ia cintai dan menjadi salah satu dorongan inspirasi baginya adalah
Marit Furtwangler.4 Karena cinta dan wanita, Scheler memiliki gambaran ideal wanita sempurna yang harus
mengkombinasikan empat sosok: ibu, kekasih, biarawati dan pelacur [Nota 1971, 22].5 Dalam kenyataannya tidak
ada wanita yang demikian yang menjadi milik Scheler.
Sejak di bangku pendidikan, Scheler telah memperlihatkan minatnya pada filsafat. Ia gemar membaca
terutama mempelajari tulisan-tulisan Nietzsche dan Karl Marx. Di dalam pendidikannya, ia berjumpa dengan
beberapa tokoh/pemikir, salah satu yang paling berjasa yakni Husserl.6 Terdapat beberapa karya Scheler yang
3For Scheler it is not enought than an object intended in an intellectual operation simply become an
object for the operation willing. There must be in the which is willed a value aspect which makes of it an object
of willing ... it must be intended a distinct cognitive operation which grasps it precisely under this formality. This
operation he calls "emotional" to distinguish it from the rational operation of intellection. Q. Lauer, “The
Phenomenological Ethics of Max Scheler,” International Philosophical Quarterly I (May, 1961), hlm. 288. 4 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 21. 5 Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 32. 6 Bdk. Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 22.
4
dikembangkan selama berada di bangku pendidikan maupun dalam situasi zaman itu, yakni pecahnya perang
dunia I. Salah satu karyanya yang terkenal dala bidang etika dituangkan dalam bukunya yang berjudul Der
Formalismus in der Ethik und die Material Wertethik – Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material.
Kedua, tanggapan dan kritik terhadap etika formal Kant. Perlu diperhatikan bahwa salah satu dasar
Scheler dapat mengkritik etika formal Kant yakni latar belakang metode berfilsafatnya yang khas yakni
fenomenologi, dan juga ia menambahkan pemikirannya yang unik tentang emosi yang kadangkala luput dari fokus
pemikiran banyak filsuf besar, termasuk Kant. Setelah melontarkan beberapa kritik terhadap etika kewajiban Kant
secara khusus atas imperatif kategoris yang menjadi terminologi Kant, Scheler akhirnya mengomentari bahwa
etika Kant sangat formal dan tidak berbobot. Menurutnya, etika Kant tak dapat diterapkan pada situasi konkret
dan khusus sebab pada situasi tertentu kita tidak tahu mana yang wajib dan mana yang tidak wajib.7 Tidak hanya
semata-mata mengkritik etika formal Kant, ia juga berusaha mengatasi pemikiran Kant dengan mengembangkan
etika material atau yang popular dikenal sebagai etika nilai/aksiologi.
Ketiga, fenomenologi sebagai metode atau sarana berfilsafat. Pada awalnya Scheler terpengaruh dan
mendapat inspirasi dari Husserl sebagai orang pertama yang mempopulerkan fenomenologi sebagai sebuah ilmu
yang rigor.8 Scheler mengaku berhutang budi pada Husserl. Namun dalam perkembangannya, ia menemukan jalan
baru yang berbeda dari Husserl.9 Ia tidak melihat fenomenologi sebagai sebuah ilmu, melainkan sebagai metode
atau sarana dalam berfilsafat. Atas dasar inilah, ia mulai memberikan tanggapan atas fenomenologi Husserl. Di
satu pihak, ia memperlihatkan kemiripan fenomenologinya dengan Husserl, namun di pihak lain, ia
memperlihatkan ciri khas fenomenologinya yang berbeda dari Husserl. Salah satu sumbangan terbesar Scheler
dalam fenomenologi yakni menunjukkan tentang peran emosi/perasaan manusia. Ia menyebutnya intentional
feelings atau perasaan intensional, yakni perasaan yang sungguh terarah kepada sesuatu, dalam hal ini kepada
nilai-nilai yang tampak dalam realitas.10 Dengan metode fenomenologi ini, Scheler kemudian menyusun konsep
etika nilai material.
2. Konsep Etika Nilai Max Scheler
Pandangan Scheler tentang nilai tak dapat dilepaskan dari metode fenomenologi. Di sana ada semacam
gaya tertentu untuk memahami nilai. Nilai berbeda dengan penilaian. Orang cenderung untuk memberikan
penilaian dan mengatakan itulah nilai dalam arti sebenarnya. Padahal dengan demikian, mereka telah
mencampuradukkan hakikat nilai yang apriori, obyektif dan material dengan perasaan pribadi.
Scheler juga membedakan antara nilai sebagai kualitas yang independen dengan barang pembawa nilai.
Nilai dalam dirinya sendiri tidak tergantung pada pembawa nilai. Itu sebabnya, nilai tidak berubah dalam kurun
waktu.11
Secara umum terdapat dua nilai yakni nilai positif dan nilai negatif. Selain itu terdapat juga nilai baik
dan nilai jahat. Menurut Scheler, nilai-nilai ini dapat dijelaskan dengan dua aksioma dasar. Pertama, nilai positif-
baik adalah nilai yang harus ada dalam perwujudannya di dunia. Kedua, nilai negatif-jahat adalah nilai yang tidak
harus ada dalam perwujudannya di dunia. Scheler menyatakan bahwa suatu nilai semakin tinggi apabila ada dalam
wilayah nilai-nilai positif-baik. Sebaliknya, suatu nilai semakin rendah apabila nilai tersebut berada dalam wilayah
nilai-nilai negatif-jahat. Ini memperlihatkan arah pandangan nilai dari Scheler yang selanjutnya, yakni tentang
tingkatan dalam nilai.12
Dalam nilai terdapat tingkatan tertentu yang membedakan setiap nilai. Karena itu, dengan berani Scheler
memperlihatkan tingkatan dalam nilai. Dasarnya ialah preferensi apriori. Sebelum orang menentukan jenis-jenis
nilai mana yang terendah sampai tertinggi, di dalam nilai itu sendiri sudah ada tingkatan nilai. Hal itu hanya dapat
ditangkap melalui emosi intensional atau perasaan terbuka yang terarah pada nilai.
7 Bdk. K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer - Jerman dan Inggris (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013), hlm. 159. 8 Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 38. 9 Bdk. Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, hlm. xix. 10 Bdk. Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 25. 11 Bdk. Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Value, hlm. 15. 12 Ibid., hlm. 26-27.
5
Selain dengan dasar preferensi tersebut, Scheler juga menambahkan hal lain berupa kriteria sebagai
standar untuk mengukur tinggi-rendahnya nilai. Ia menyebutkan lima kriteria pembeda dalam tingkatan nilai,
yakni kriteria pertama: kecenderungan intrinsik untuk bertahan, kriteria kedua: keutuhan atau ketidakterbagian,
kriteria ketiga: kemendasaran nilai, kriteria keempat: kepuasan yang dihasilkan, kriteria kelima: relativitas dan
keabsolutan nilai. Dari lima kriteria tersebut, Scheler kemudian menyusun hierarki atau tingkatan nilai. Hasilnya,
ia menemukan terdapat empat jenis nilai mulai dari nilai tertendah yakni nilai inderawi (kesenangan yang sifatnya
sementara), nilai vitalitas atau kehidupan, nilai spiritual hingga nilai tertinggi yakni nilai kekudusan (nilai yang
absolut dan abadi). Scheler menegaskan bahwa untuk memperoleh nilai setiap individu harus terbuka dan
terdorong oleh semacam perasaan intensional yang kuat, seperti cinta.
Scheler menerapkan konsep etikanya terhadap person sebagai “dia” satu-satunya yang mampu untuk
menangkap nilai dengan perasaan intensional yakni hati yang mencintai.13 Selain cinta, terdapat juga benci sebagai
emosi yang menghancurkan nilai dan menggerakan person untuk mewujudkan nilai lebih rendah. Bila hal itu
terjadi, Scheler juga menawarkan satu gagasan yakni tentang penyesalan sebagai permulaan baru bagi person
untuk mulai lagi mencapai kesempurnaan nilai-nilai. Person dengan hati yang mencintai yang di dalamnya disertai
dengan ordo amoris didorong untuk terus bergerak mencapai kesempurnaan nilai-nilai yang kemudian menjadi
konkret dalam perbuatan person sebagai pribadi yang bermoral.14
3. Analisis Terhadap Aksiologi Max Scheler
Karya Scheler, etika nilai, telah memperoleh banyak tanggapan dari berbagai pihak, baik itu berupa kritik
yang memperlihatkan kelemahan gagasan Scheler maupun apresiasi yang memperlihatkan keunggulannya.
Terdapat dua tokoh utama yang memberikan tanggapan terhadap pemikiran Scheler, itulah Hartmann dan Stephen
Richard Wigmore. Secara sangat signifikan, banyak kritik yang dilontarkan dari Hartmann terhadap beberapa
gagasan inti dari Scheler seperti: keterbatasan otonomi moral dari Scheler, konflik pikiran dan perasaan dalam
etika nilai Scheler, kritik Hartmann terhadap konsep person Scheler, dan terdapat juga kritik Stephen Richard
Wigmore terhadap preferensi nilai Scheler. Hal itu wajar, sebab Hartmann merupakan orang yang menaruh minat
pada karya Scheler sehingga bukan hanya sekedar melontarkan kritik, namun di balik itu ia ingin memperlengkapi
kelemahan Scheler dengan menambahkan pokok pikirannya. Itulah yang dibuat oleh Kelly dalam upaya
mensintesiskan pemikiran Scheler dan Hartmann.15
Selain itu, ditunjukkan beberapa penilaian kritis terhadap etika nilai/aksiologi Scheler dengan
memperlihatkan beberapa kelemahan dan keunggulannya. Dari konsep etika nilai/aksiologi Scheler dan tanggapan
atasnya, maka penulis membuat suatu refleksi tentang aksiologi dan nilai dalam perkembangan zaman. Meskipun
terdapat penyempitan hakikat nilai yang disebabkan karena kepentingan aplikasi nilai ke dalam lingkup, aspek
dan konteks konkret masyarakat, toh itu merupakan bentuk perhatian terhadap perkembangan tindakan moral
manusia berdasarkan nilai-nilai. Dengan langkah demikian, hakikat nilai itu tidak hanyut terbawa zaman, namun
tetap eksis dalam hidup manusia. Lebih daripada itu, penulis melihat bahwa etika nilai Scheler masih sungguh
relevan dalam perkembangan zaman.
Secara pribadi, sebagai calon imam, penulis sungguh merasa terbantu lewat teori etika nilai Scheler ini.
Satu hal yang penulis petik dari pemikirannya, yakni tentang bagaimana melihat nilai-nilai dalam realitas dan
menjadikan nilai-nilai yang ada, terutama nilai tertinggi yakni nilai kekudusan, sebagai orientasi sikap moral
penulis sendiri. Kegunaan teori etika nilai Scheler ini terbuka dan berdampak juga bagi masyarakat umum. Mereka
dapat dibantu untuk melihat dengan jelas nilai-nilai yang ada yang dibedakan dari obyek bernilai dan penilaian.
Nilai-nilai yang ditemukan oleh Scheler ini dapat menjadi dasar perbuatan moral mereka. Penulis juga
13 Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 38.
14 Bila dengan tepat penerapan ini dilakukan, maka Scheler memperlihatkan bahwa person tersebut akan
menjadi pribadi yang bermoral dengan beberapa karakter, seperti menjadi orang suci/santo, pahlawan, pemimpin,
jenius dan artis. Hal ini bisa dibaca lebih lanjut dalam Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 84-99. 15 Eugene Kelly, Material Ethics of Value: Max Scheler and Nicolai Hartmann, editor by Philip Blosser
(USA: Springer Dordrecht Heidelberg London New York, 2011), hlm. ix.
6
memberikan pendapat bahwa etika nilai Scheler masih relevan hingga kini khususnya dapat diterapkan dalam
lingkup pendidikan seperti pendidikan nilai yakni penanaman nilai-nilai hidup kepada genarasi muda sebagai
upaya membentuk karakter mereka sejak dini. Dengan demikian, mereka akan mempunyai dasar yang kokoh
dalam membuat pertimbangan-pertimbangan dan memiliki orientasi dalam bertindak dan bersikap secara moral.
V. PENUTUP
Etika nilai material/aksilogi Scheler sungguh merupakan suatu karya dalam bidang etika yang unik sebab
di sana terdapat suatu ciri khas berfilsafat yakni dengan metode fenomenologi. Dalam menguraikan pemikirannya,
ia telah memperlihatkan tentang pentingnya peran emosi/perasaan dalam uraian-uraian filsafat. Atas kritiknya
terhadap etika Kant yang menurutnya kosong, ia kemudian menemukan etika nilai material yang artinya etika
nilai yang mempunyai bobot, isi tertentu sehingga menjadi lebih jelas sebagai patokan perbuatan manusia.
Pemikiran Scheler ini ditanggapi dan dikritisi oleh beberapa pemikir, namun pada intinya ia telah
menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi manusia, yakni ia menjadikan nilai-nilai sebagai landasan perbuatan
moral manusia.
Daftar Pustaka
Scheler, Max. Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Value, translated by M.S. Frings and R.L. Funk.
First edition. USA: Northwestern University Press, 1985.
Kelly, Eugene. Material Ethics of Value: Max Scheler and Nicolai Hartmann, editor by Philip Blosser. USA:
Springer Dordrecht Heidelberg London New York, 2011.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Kontemporer - Jerman dan Inggris, cetakan pertama. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Magnis-Suseno, Frans. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, cetakan pertama. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
7
KORELASI MAKNA TARIAN BONET MASYARAKAT DAWAN
DENGAN KONSEP RELASI MARTIN BUBER
(Sebuah Study Komparasi dengan Pendekatan Filosofis)
Yeremias Banusu
STFT Widya Sasana, Malang, Email: [email protected]
Abstract
The focus of this paper is the correlation between the meaning of Bonet dance in Dawan society
with the concept of relations with Martin Buber. The Bonet dance for the Dawan community
(TTU Regency, NTT Province) is a dance that expresses harmonious unity and unity marked by
a dance around, circling while holding hands, whereas relations according to Martin Buber are
harmonious and mutual relations between humans and humans. There is a correlation between
the bonet dance with the concept of Martin Buber relations. This paper is a comparative study
with a philosophical approach conducted by the author to find the correlation between the two
variables above.
Kata Kunci: Bonet, Masyarakat Dawan, Relasi, Keharmonisan, Timbal-balik, Kesatuan
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang kaya akan budaya dan alam. Kekayaan akan budaya ini
merupakan suatu realita yang ada di Indonesia dimana Kebudayaan pertama-tama adalah kesadaran. Kesadaran
yang dimaksudkan adalah kesadaran akan kearifan lokal atau budaya sendiri yang mana dapat memberikan
banyak kekayaan pada diri manusia itu sendiri. Dengan demikian, kesadaran merupakan suatu fondasi bagi
manusia yang menghantar orang untuk mengenali, menggali dan memahami tentang budaya yang dimilikinya.
Tentunya hal demikian ini tidak terlepas dari suku yang mempunyai atau memiliki budaya tersebut.
Kehidupan suatu masyarakat boleh dikatakan harmonis, baik, sejahtera, rukun dan damai apabila selalu
berjalan beriringan dengan nilai dan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam masyarakat sesuai dengan tata
cara yang berlaku. Segala aturan budaya yang berlaku dalam suatu lingkup masyarakat merupakan sebuah tali
pengikat persaudaraan yang menyatukan seluruh masyarakat. Supaya pedoman atau nilai serta norma-norma ini
tetap menjadi baik, maka perlu dijaga, dirawat, dihidupi, dilindungi serta kembangkan agar tidak terkontaminasi
dengan budaya-budaya dari luar yang masuk dan memudarkan keaslian yang ada.
Setiap suku atau komunitas masyarakat memiliki budaya yang menjadi kekhasan untuk dijaga dan
dilestarikan. Budaya tersebut menjadi simbol keberadaan setiap masyarakat dimana pun berada. Dengan
berkembangnya teknologi dan informasi yang turut mempengaruhi pudarnya nilai dan norma dalam suatu
budaya yang dianut dan dihidup oleh suatu masyarakat atau komunitas tertentu. Salah satu budaya yang unik
dan hampir punah dalam masyarakat dawan adalah seni tari. Tarian lokal yang menjadi kekayaan daerah
terancam punah akibat rendahnya kesadaran yang dibangun oleh masyarakat setempat. Pandangan masyarakat
terkait dengan perkembangan IPTEK ini adalah suatu perkembangan zaman yang menarik, menggoda untuk
manusia mengikutinya, namun kalau kita melihat bahwa dibalik semuanya itu sebenarnya ada unsur lain yang
membuat kita untuk meninggalkan budaya asli yang sudah kita hidup sebagai manusia berbudi. Salah satu
budaya tari yang masih dihidupi namun mulai tampak krisisnya dalam masyarakat dawan sekarang adalah
Budaya bonet atau tarian Bonet.1
1 Merson Nome, Makna Bonet dalam Masyarkat Timor Tengah Selatan, http:// www. Bonet-Masyarakat TTS.
Com. Diakses tanggal 8 Desember 2018. Pukul. 08.45. WIT.
8
1. TARIAN BONET MASYARAKAT DAWAN
A. Gambaran umum masyarakat Dawan
Suku Dawan merupakan suku terbesar di pulau Timor bagian Barat. Dimana masyarakatnya tersebar di
seluruh pulau Timor mulai dari Kupang, Timor Tengah selatan dan Timor Tengah Utara. Untuk memahami asal
usul orang Dawan, kita pun harus bertolak dari kata “Dawan” itu sendiri. Kata Dawan sesungguhnya berasal
dari bahasa Belu bagian selatan. Orang Belu Selatan menyebut tetangga sebelah Barat yakni orang-orang Timor
Tengah Utara sebagai orang yang tinggal di pedalaman dan pegunungan dengan sebutan “Dawan”.2 Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kata Dawan bukan berasal dari ungkapan atau pemberian orang Dawan sendiri
melainkan nama atau sebutan tersebut diberikan oleh orang lain.3
Selain itu juga, orang belu utara suka menyebut orang Dawan dalam bahasa mereka yakni orang rawan.
Ungkapan ini, bertolak dari kenyataan bahwa orang Dawan itu mendiami daerah-daerah kristis atau daerah
kering.4 Dengan berbagai macam sebutan atau ungkapan yang diberikan oleh orang lain, akhirnya menghantar
orang Dawan untuk menyebut dirinya sebagai Atoin Pah Meto5 artinya orang yang hidup di tanah yang kering.
B. Makna Tarian Bonet
a. Tarian Bonet sebagai salah satu kekayaan budaya masyarakat dawan
Secara etimologis kata bonet berasal dari rangkaian kata dalam bahasa Dawan yaitu na bonet yang
artinya mengepung, mengelilingi, mengurung dan melingkar. Dalam bahasa pergaulan dari kata kerja bo-en
yang berarti mengelilingi dan membagi. Kata ini sinonim dengan kata nfun atau nafun misalnya dalam
ungkapan “Asu nboen metan” artinya anjing mengelilingi musang, “tok tol bonet” artinya duduk dalam bentuk
lingkaran. Dari sini dapat dikatakan bonet dimaksudkan membungkus atau dibungkus. Dalam konteks tari bonet
bisa diartikan sebagai tarian atau menari dalam bentuk lingkaran.6
Berdasarkan isi dan fungsinya, tarian bonet dibedakan atas jenisnya yakni boen nitu (pujian-pujian
kepada arwah), boen bae (nyanyian-nyanyian ceria: kelahiran anak dan tapoen an olef artinya mengantr are-are
dari bayi yang dilahirkan atau tapoin liana/anah artinya upacara memperkenalkan anak kepada masyarakat ),
boen mepu (nyanyian kerja) dan boen mnah fe’u (tarian pesta syukur panen atau hasil kebun baru), boen uime
fe’u (pesta rumah baru).7
Tarian bonet dalam masyarakat Dawan di zaman dahulu digelar sebagai suatu tarian yang dipakai ketika
masyarakat Dawan hendak meminta perlindungan dari Tuhan, agar Tuhan menjaga hubungan atau relasi yang
sudah dibangun di antara mereka. Selain itu juga, meminta pertolongan dan perlindungan Tuhan untuk
kesuburan tanah, jagung, dan tanaman-tanaman lainnya hingga sampai pada panen di tahun berikutnya. Namun,
dengan seiring perkembangan zaman, tarian Bonet yang menggunakan alat bantu petunjukkan berupa lesung
dan alu, digelar dalam situasi apa pun, mulai dari pernikahan sampai pada menyambut tamu, bahkan juga
digunakan dalam upacara kematian.
Tarian Bonet adalah salah satu tuturan berirama atau suatu puisi lisan yang selalu dilagukan dalam
upacara-upacara tertentu sebagai bentuk kebersamaan, ungkapan relasi sebagai suatu keluarga dawan. Tuturan
tersebut membentuk satuan-satuan berupa penggalan yang ditandai dengan jeda. Satuan-satuan itu membentuk
bait, dengan jumlah lariknya yang tidak selalu sama. Cirinya adalah pengulangan bentuk.
Tarian Bonet sama seperti tarian-tarian khas lainnya yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur seperti
tarian Lego-Lego (alor), tarian Gawi (Flores-Ende) yang tarikan dengan membentuk Lingkaran. Tarian tersebut
2 Martinus Lafu, dkk, Ungkapan Tradisional Bahasa Meto Suku Atoni Pah Meto Kabupaten Timor Tengah
Utara (Kupang: Gita Kasih, 2008), 1. 3Andreas Tefa Sawu, Di Bawah Naungan Gunung Mutis (Ende: Nusa Indah, 2014), 13. 4Martinus Lafu, dkk, Op.Cit., 21. 5Sebutan Atoin Pah Meto tentunya tidak hanya mengandung arti orang yang hidup di tanah kering, melainkan
sebutan tersebut mau mengungkapkan bahwa kami adalah raja bumi yang kuat untuk berjalan kaki dan mendaki
gunung, pekerja keras, dan mampu bertahan hidup di tanah yang kering dan berbatu ini. 6 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Dominikus Timo, Oenaek, Kecamatan Insana Fafinesu, Kabupaten
Timor Tengah Utara, tanggal 9 Desember 2018. Pukul 20.00-21.30 WIT. 7 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Asterius Taku. Beliau adalah seorang raja (Kapitan), di Oekolo,
Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara pada minggu, 9 Desember 2018. Pukul 17.00-18.04
WIT.
9
dilakukan dengan membentuk lingkaran dengan bergandengan tangan, berputar sambil mengangkat pantun
dengan berulang kali yang merupakan bentuk keunikan dalam tarian Bonet tersebut.
Dari ulasan di atas mengenai arti dan gambaran dari tarian bonet itu sendiri, ada beberapa makna yang
terkandung di dalamnya:
b. Membentuk Lingkaran dan Bergandengan Tangan
Bagi masyarakat Dawan, menari dengan membentuk lingkaran sambil bergandengan tangan adalah
simbol relasi yang mempersatukanan dan menyatukan suku-suku di pulau Timor secara keseluruhan dan secara
khusus suku-suku di Kabupaten Timor Tengah Utara yakni Biboki, Insana dan Meomafo. Masyarakat menari
dengan membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, kemudian gerak-gerik kaki yang serentak, bergeser ke
kanan mau mengungkapkan seolah-olah bundaran berputar mengelilingi pusatnya. Sementara irama lagu yang
diperdengarkan para penari mengikut derap kaki dalam tarian yang sementara dihayati. Dalam tarian melingkar
itu, masyarakat mengungkapkan syair-syair mengenai kehidupan masyarakat yang dikaitkan dengan suatu
istilah dalam masyarakat Dawan yakni Oe Fatu. Istilah Oe Fatu ini adalah sebutan untuk air, batu dan kayu
yang merupakan bagian dari ciptaan Tuhan. Masyarakat dawan berkeyakinan bahwa lewat alam inilah
masyarakat mendapatkan kehidupan berupa air, hasil hutan dan sebagainya. Untuk perlu membangun relasi
dengan Oe Fatu dalam ini supaya kesejahteraan masyarakat dalam hal sandang papan bisa melimpah. Dengan
demikian, tarian Bonet ini bukan hanya untuk menyatukan masyarakat Dawan pada umumnya, melainkan juga
menyatukan masyarakat Dawan dengan alam semesta.
Syair-syair yang diungkapkan dalam tarian bonet sangatlah bervariasi sesuai dengan moment dan
situasinya. Misalnya ketika masyarakat Dawan mengadakan suatu kegiatan bersama di pusat kabupaten, maka
syair pantuan yang diucapkan adalah sahut menyahut. Pembawa pantun pertama akan menyatakan “e ka te bes
hao e hao, no ko unu, hit mese mbi pah bale i. E hau fo me hau men ana. Hit ta bu teu ba hit bale TTU ije nek
malile ma alekot” setelah ia menyanyikan pantunnya sambil menyentakkan kaki di bumi, maka pantun tersebut
akan dijawab oleh teman dalam lingkaran tersebut dengan menyatakan “e ka tebes hao e hao..oo..oo. e hao ekon
te fan e hao, TTU in ka ne lo namas neu to tafa nok in sufa ka’u”. Syair-syair ini mau menyatakan bahwa sejak
awal mula kita hidup di bumi ini sebagai satu keluarga masyarakat Dawan. Nama Dawan selalu harus seperti
pohon cendana yang harum mewangi kehidupan ini. Persatuan dan relasi kita harus membawa sukacita,
kebahagiaan dan kedamaian bagi masyarakat Dawan. Peserta dalam tarian Bonet ini tidak terbatas jumlah. Bagi
masyarakat Dawan semakin besar lingkarannya, maka semakin kuat relasi persaudaraan yang dibangun dalam
masyarakat Dawan itu sendiri.
Makna lain dalam tarian melingkar dan bergandengan tangan adalah mengungkapkan bahwa dalam
kehidupan masyarakat Dawan harus ada rasa cinta kasih, hidup dalam kegotong-royongan, saling menolong
dalam suka maupun duka. Dan hal-hal inilah yang selalu dihidup oleh masyarakat Dawan dimana pun mereka
berada. Masyarakat juga memaknai bahwa tarian yang berbentuk lingkaran itu adalah untuk menjaga keutuhan
dan kesatuan. Dimana dibuktikan oleh para penari bahwa mereka harus sepikiran, sekata sama dalam tindakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa segala keberhasilan dan kemenangan dalam perjuangan merupakan
bukti dari kebulatan hati, kebulatan pikiran, seia-sekata dan keseragaman dalam bertindak dengan segala
kemampuan dan kekuatan yang ada secara bersama-sama. Ternyata kalau kita mecermati bahwa tarian bonet itu
tidak hanya sekedar melingkar, bergandengan tangan dan melantunkan syair-syair indah tetapi dibalik itu ada
kekayaan makna yang tersirat di dalamnya.
c. Komunikasi
Dalam tarian bonet ini, masyarakat Dawan menyatakan bahwa syair-syair yang dinyanyikan atau
dipantukan dalam tarian itu, mengungkapkan sebuah komunikasi antara masayarakat Dawan dengan Sang
Pencipta, dengan Alam dan dengan sesama. Komunikasi di dalam tarian bonet ini dibuka oleh pemantun (ketua)
untuk menyapa semua orang yang berada di dalam lingkaran itu maupun yang ada diluar lingkaran.
Bagi masyarakat komunikasi itu penting, karena dalam komunikasi itu kita semakin mempererat relasi
kita antara satu dengan yang lain. Dalam membangun komunikasi dengan Tuhan, alam dan sesama salah satu
cara adalah dengan tarian bonet. Dalam komunikasi dengan Tuhan dalam tarian bonet masyarakat Dawan
meomohon dan meminta agar Uis Neno (Tuhan) memberikan mereka tanah yang subur, memberkati tanaman
agar jadi subur serta menjauhkan mereka dari segala marah bahaya. Sedangkan dalam hubungan dengan sesama
10
dalam bentuk lingkaran itu, menghantar mereka untuk berkomunikasi bahwa kita adalah sederajat. Ungkapan
tersebut dapat dihayati bahwa “saya tidak akan hidup dan berguna tanpa engkau maupun sebaliknya”.
d. Tarian Pujian
Masyarakat Dawan juga menghayati dan memaknai tarian bonet ini sebagai tarian pujian kepada Sang
Maha Agung. Tujuannya adalah agar Sang Maha Agung (Allah) senantiasa memberikan cahaya yang menerangi
serta membimbing mereka dalam memperjuangkan hidup mereka di dunia ini. Bagi masyarakat Dawan memuji
Tuhan adalah suatu keharusan dalam hal apapun. Mengapa demikian? Masyarakat mengimani bahwa Tuhan
atau lasim di sebut masyarakat Dawan (Uis Neno) itu selalu ada dan tinggal bersama kita. Oleh karena itu, kita
harus memuji-Nya dengan cara apapun salah satunya adalah dengan tarian bonet dengan syair-syair yang
mengandung makna religius dan mengarah pada Sang Agung (Uis Neno).
2. RELASI MENURUT MARTIN BUBER
a. Gambaran singkat Martin Buber
Martin Buber dilahitkan pada tanggal 8 Februari 1878 di Wina, Austro-Hungaria. Dan Meninggal pada
tanggal 13 Mei 1965. Ia adalah seorang filsuf Jerman di era abad ke-20. Ia sangat terkenal dengan filsafat
dialognya, sebuah pemikiran eksistensialisme yang berpusat pada pembedaan antara relasi Aku-Itu dan Aku-
Engkau. Beliau juga adalah pendiri dari kantor sentral pendidikan dewasa dan menjadi suatu organisasi yang
penting sejalan aktivitas pemerintahan Jerman yang melarang orang Yahudi untuk mengikuti pendidikan
publik. Pada tahun 1938, Ia meninggalkan Jerman dan pergi ke Yerusalem, Palestina (yang waktu masih
dibawah pimpin Inggris dan kini dibawah pimpinan Israel). Disanalah ia menerima keprofesoran di universitas
Ibrani dan mengajar di bidang antropologi dan sosiologi dasar.
Selain sebagai filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia adalah seorang filsuf
berketurunan Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi, berlanjut dalam pemikirannya. Buber
juga mempunyai seorang istri yang bernama Paula dan meninggal pada tahun 1958. Dan juga Buber dan Paula
dikarunia dua orang anak yakni Rafael Buber (Laki-laki) dan anak perempuanya bernama Eva Strauss Steinitz.8
b. Pemikiran Martin Buber Mengenai Relasi
Pemikiran filosofis Buber dapat dipakai untuk meninjau relasi manusia dan menginspirasi hidup di tengah
fenomena yang tidak ideal. Bagi Buber, makna relasi tidak bisa bergerak di tempat. Seandainya bergerak di
tempat saja, sebenarnya relasi menjadi tidak berarti. Perjumpaan menjadi aneh, lain dan tidak mencapai suatu
keindahan dalam berelasi. Keindahan yang terletak dalam relasi terjadi pada saat orang saling menyapa, saling
mengerti dan memahami.
Relasi yang indah, terwujud dalam relasi timbal balik. Sebab melalui relasi timbal balik, manusia
mendapatkan jaminan terhadap keindahan eksistensi manusia yang tiap saat adalah relasional, bertemu dan
berjumpa dengan manusia lain.Bagi Buber hubungan timbal balik adalah sangat primodial. Pertemuan manusia
dengan sesamanya tidak bisa dihindari. Artinya, berjumpa dengan sesama manusia adalah realitas yang tidak
bisa ditiadakan bila kita berbicara mengenai manusia yang memiliki dimensi sosial.
1. Relasi sebagai Realitas
Buber mengatakan bahwa relasi manusia harus ada timbal balik, relasi timbal balik ini bukan sebagai
sesuatu yang interpersonal, melainkan sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi. Buber sedikit berbeda
pendapat dengan levinas yang menyatakan bahwa relasi bukanlah suatu realitas karena relasi harus asimetris
yakni perjumpaan. Buber mengungkapkan pendapatnya bahwa tidak ada relasi asimetris. Kalau relasi asimetris
terjadi, berarti kita sedang mempraktikkan relasi yang bukan relasi manusiawi. Relasi manusiawi adalah relasi
yang timbal balik. Aku menyapa Engkau dan Engkau menjawab Aku. Itu yang dimaksud dengan ‘timbal balik’.
Sementara itu dalam relasi asimetris, ketika Aku menyapa Engkau, Engkau tidak memiliki keharusan untuk
menanggapinya. Engkau boleh menganggap saya sebagai yang tidak berarti dan tidak ada, bahkan seolah-olah
Engkau tidak mendengarkan sapaan-Ku.9
8 https//id.m.wikipedia.org. diakses Malang, 8 Desember 2018. Pukul. 21.30. WIT 9 Makna relasi asimetris Levinas adalah tanggapan yang saya berikan terhadap orang lain dalam bentuk
perhatian, kepedulian yang saya persembahkan kepada orang lain, didorong oleh munculnya ‘wajah’ yang lain.
11
2. Etika Wajah
Bagi Buber, orang lain selalu dianggap sebagai anak kecil yang menginginkan supaya disentuh atau
diselamatkan oleh seseorang, sehingga dengan posisi kita yang selalu menganggap orang lain sebagai anak kecil
yang harus disentuh, dibantu, relasi dengan orang lain semakin sempurna menjadi tak terbatas.10 Etika wajah
dalam gagasan Buber yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah pemahaman yang juga tidak asing yakni
dengan menyatakan “bukan Aku yang lain”.11
Wajah orang lain adalah membuat saya bertanggung jawab atas hidup seseorang. Bahkan, perbuatan
seseorang adalah tanggung jawab saya. Kalau kebaikan dilakukan oleh seseorang, hal itu buah dari pengaruh
relasi seseorang dengan saya. Kalau perilakunya tidak baik, saya bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penderitaan orang lain adalah derita saya. Oleh sebab itu, saya tidak mungkin diam melihat penderitaan orang
lain karena penderitaan orang lain adalah penderitaan saya sendiri.12
Martin Buber lebih menekankan fusion, yakni di antara mereka yang bertemu harus melebur. Sedangkan
bagi filsuf lain menyatakan bahwa relasi itu tidak mesti melebur. Cukup dari saya saja untuk membangun relasi
yang baik. Saya tidak peduli apakah Engkau memiliki tanggung jawab untuk melestarikan relasi yang sudah ada
di antara kita. Wajah meminta saya dan memerintah saya, supaya saya merespon Engkau tanpa ada balasan.13
Wajahmu yang menyapa saya untuk mempraktikkan kebaikan terhadap Engkau.
Buber memiliki pandangan bahwa realitas hidup manusia adalah perjumpaan. Perjumpaan seseorang
dengan orang lain tidak pernah berhenti. Artinya bahwa perjumapaan tidak dengan orang lain tidak dibatas oleh
waktu dan situasi. Kkapan saja kita boleh saling bertemu. Oleh sebab itu, relasi di antara manusia selalu ada dan
selalu seimbang.14
3. Relasi Eksistensi
Dalam berbicara mengenai Aku dan Engkau, buber memperkenalkan tesisnya tentang eksistensi manusia.
Dalam tesisnya Buber mengembangkan ide eksistensinya sebagai pertemuan. Buber menjelaskan filosofisnya
dengan pasangan kata Ich-Du dan Ich-Es. Ia dapat mengelompokkan dua kata ini ke dalam mode-mode
kesadaran, interaksi dan being (menjadi). Setiap orang atau individu dapat melakukan interaksi dengan individu
lainnya, dengan objek mati (benda-benda mati), atau dengan keseluruhan realitas secara umum. Secara filosofi
pasangan kedua kata tersebut menyampaikan suatu ide yang rumit terkait dengan mode menjadi (being),
terutama bagaimana seseorang bisa exist (ada) dan bagaimana ia dapat mengaktualisasikan keberadaannya
(existence) tersebut.15
Sesuatu yang saya persembahkan terhadap orang lain adalah tidak semata-mata berasal dari orang lain atau
bukan sebagai suatu rangsangan yang datang dari orang lain untuk memberi perhatian kepada orang lain supaya
memiliki relasi yang baik, tetapi relasi yang saya bangun dengan orang lain adalah relasi yang datang secara
cuma-cuma dari diri sendiri (“starting from oneself toward the other”) dan tidak pernah mengharapkan balasan
dari orang yang saya perhatikan. Inilah relasi asimetris yang dimaksud dengan Levinas. Seseorang tidak perlu
mengharapkan balasan dari orang lain. Seandainya orang lain menolak tawaran damai supaya tidak memiliki
relasi yang baik dengan saya, hal itu bukan sebuah masalah. Kalau hanya saya yang memiliki keinginan untuk
berelasi dengan damai bersama orang lain dan orang lain tidak memiliki keinginan yang sama, bagi saya pun
tidak ada masalah, karena itulah relasi asimetris. 10 Martin Buber, Between Man and Man (London: Routledge Classics, 1947), 20. 11 Dalam pandangan Levinas, orang lain bukan anak kecil yang sementara lagi akan dewasa dan kemudian anak
kecil itu akan membalas kebaikan kita terhadapnya, tetapi orang lain adalah janda yang tidak mungkin untuk
menjadi muda kembali. Orang lain adalah anak yatim piatu yang tidak memiliki kemungkinan bahwa
orangtuanya akan hidup kembali. Orangtua seorang anak bukan berarti sudah bercerai tetapi orangtuanya
memang sudah tidak ada, sehingga harus ditolong. Janda miskin dan anak yatim adalah gambaran orang lain
yang ditampilkan oleh Levinas dan menjadi gambaran dalam gagasan-gagasannya. Bdk Emmanuel Levinas,
Time and the Other (Pittsburgh: Duquesne University Press,1979), 83. 13 K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial (Jakarta: Gramedia, 1987) 91. Pandangan Levinas mengenai relasi manusia. baginya cukup saya membangun tidak perlu timbal balik dan sebagainya. Hal inilah pandang oleh Buber bukanlah sebuah relasi. 14 Martin Buber, Between Man and Man, Op.Cit., 25. 15 https//id.m.wikipedia.org. diakses Malang, 8 Desember 2018. Pukul. 21.30. WIT
12
Buber menggambarkan ke mode tersebut dengan istilah Ich-Du adalah dialog dan Ich-Es adalah
monolog. Untuk mendeskripsikan dialog atau monolog melalui metafor dan untuk meyampaikan sifat
interpersonal dari eksistensi manusia, buber menggunakan konsep komunikasi, terutama komunikasi bahasa.
Dalam istilah Buber, Ich—Es atau I–It yang berarti Aku—Itu, menandai dunia Erfahrung yaitu dunia
yang berkaitan dengan benda-benda.16 Benda-benda di sekitar kita dianggap tidak dapat berbicara kepada
manusia yang sedang berelasi dengan benda-benda tersebut.17 Kebebasan manusia menjadi lebih sangat berarti
(meaningful). Manusia tidak tergantung pada kebebasan benda-benda tersebut. Intinya bahwa benda yang ada di
sekitar manusia tidak memiliki kebebasan dan dengan demikian, manusialah yang memiliki kebebasan penuh
untuk mengatur benda-benda tersebut.
Buber sengaja mengambil contoh relasi manusia dengan benda dalam memahami relasi manusia dengan
sesamanya. Padahal, manusia sering memperlakukan sesamanya manusia sebagai benda. Kalau manusia
memiliki kebiasaan mengatur benda dan menguasai benda pada saat berelasi dengan benda, relasi tersebut tidak
bisa dipakai ketika berelasi dengan sesama manusia. Bagi Buber, relasi manusia dengan manusia selalu ‘mutual’
atau timbal balik.
Buber memaknai istilah I—Thou, atau Ich—Du memiliki arti Aku—Engkau. Aku dan Engkau bukan
makhluk yang asing dalam sebuah realitas perjumpaan. Engkau adalah orang lain dan bukan makhluk yang
berbeda dengan Aku sebagai manusia. I—Thou adalah sama-sama manusia yang hidup dalam suatu alam yang
sama dan memiliki kemampuan serta kelebihan dan kekurangan dalam mewujudkan kebaikan. Kelebihan
manusia dibandingkan benda-benda yang ada di jagat ini adalah manusia mampu berelasi dengan diri sendiri,
dengan benda dan dengan dunia yang ada di luar dirinya, yakni tempat manusia menemukan keutamaan hidup
atau bisa disebut sebagai moralitas. Buber menyatakan bahwa kalau kita manusia hidup terbagi atas dua wilayah
yang sangat besar dan sangat berpengaruh dalam hidup manusia, yakni institusi dan perasaan. Buber
membedakan antara perasaan dan institusi adalah istilah dan kata yang berbeda tetapi memiliki relasi satu sama
lain seperti manusia memiliki relasi terhadap manusia yang lain.
Institusi selalu berada di luar diri saya.18 Saya juga selalu berelasi dengan institusi yang ada di luar diri
saya itu. Institusi memiliki hukum, memiliki aturan yang selalu indah dan kadang-kadang ada kesukaran untuk
menjalankannya secara bersama-sama. Institusi itu juga bukan lahan atau bangunan yang didirikan secara
pribadi dan menjadi milik sendiri, melainkan adalah milik bersama, sehingga semua orang yang bergabung
dalam institusi tersebut akan melihat wajah yang lain, akan bertemu atau berjumpa dengan yang lain. Manusia
tidak hidup sendiri-sendiri, melainkan menghayati pedoman hidup secara bersama-sama. Institusi adalah dunia
luar tempat saya menemukan “yang lain” yang selalu bersama-sama dengan saya.
Sedangkan perasaan selalu berada di dalam, yakni di dalam diri manusia.19 Perasaan adalah milik
manusia secara personal, secara individual, dan bukan milik bersama. Perasaan tidak berada di luar, namun
bertemu dengan institusi atau orang lain. Institusi berpisah dengan perasaan tetapi perasaan yang ada di dalam
(Aku) bertemu dengan institusi (Engkau) yang lain. Dalam hal ini institusi dan perasaan harus selalu bertemu
karena itu adalah kodrat yang tidak bisa dihindari, seperti manusia pun tidak bisa menghindari realitas hidupnya
sebagai makhluk yang selalu berjumpa.20
Kenyataan hidup manusia selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Pertemuan kita yang telah
dibangun melalui sebuah hubungan, melebur menjadi satu sampai Aku mengatakan terhadap Engkau sebagai
yang berhubungan dengan Aku, bahwa Aku tidak pernah menjadi Aku kalau Engkau tidak ada. Aku ada karena
Engkau ada dalam hidupku. Engkau telah berpartisipasi dalam seluruh perjuanganku.21
Relasi I–Thou adalah hubungan yang terjadi di antara kita sebagai rahmat. Oleh sebab itu, relasi dalam
perjumpaan harus tetap dijaga sebagai sebuah harta yang tidak boleh hilang. Dan supaya perjumpaan itu tetap
utuh, bagi Buber ada satu hal yang harus dimiliki oleh manusia, yakni relasi dengan institusi dan perasaan
(Engkau dan Aku), tidak boleh ada yang saling mendahului untuk menjelaskan hal apa saja. Engkau dan Aku
16Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001) 83. 17 Martin Buber, I and Thou (Edinburg: T&T. Clark, 1970) , 54. 18 Ibid., 95. 19 Maurice Friedman, Martin Buber Life and Work, The Early Years 1878-1923 (London: Search Press, 1982)
347. 20 Martin Buber, I and Thou, Op.Cit., 94. 21 Ibid., 62.
13
adalah manusia yang sama-sama memiliki pengetahuan tentang apa saja. Dalam hal ini, Buber seolah-olah tidak
mengakui kelebihan orang lain dan tidak memperhitungkan kesalahan dan kelemahan orang lain. Di antara kita,
tidak boleh ada yang mendahului untuk menerangkan arti persaudaraan kita, juga tidak ada yang tidak
mengetahui arti persaudaraan kita. Dengan cara ini, kita menjadi pelestari setiap hubungan yang mampir di
dalam perasaan kita masing-masing.22 Namun, pertemuan Aku dengan Engkau adalah suatu rahmat. Kalau itu
rahmat, berarti sepantasnya saya mensyukurinya, karena wajahmu yang ada di hadapan saya adalah rahmat.
Kehadiran orang lain di hadapan saya dan di sekitar saya adalah rahmat.
4. Relasi Dialogis
Ada Engkau di sekitarku, berarti ada komunikasi di sana. Ada percakapan di antara yang bertemu. Entah
apapun yang dibicarakan dan menjadi prioritas percakapan dalam suatu pertemuan yang terpenting adalah
adanya suatu situasi saling menyapa sebagai wujud dari pertemuan. Dalam dunia dialogis, kita menyadari
bahwa kita bertemu dengan manusia dan saya sebagai manusia yang mampu berkomunikasi dengan sama yang
saya jumpai bukan dengan benda-benda.
Melalui dialog saat berjumpa, kita mampu mengetahui kebutuhan orang yang ada di sekitar kita. Ada
hubungan timbal balik yang menjadikan kita saling mengerti dan saling memahami. Saya menyampaikan
pertanyaan kepada lawan bicara saya dan kemudian lawan bicara saya akan menjawab atau menanggapi
pertanyaan saya. Kita dijadikan manusia yang hanya sarana untuk mencapai kebahagiaan tanpa relasi dialogis.
Komunikasi yang paling berarti adalah di antara dua orang yang bertemu.23
Dari ruang lingkup hidup manusia di atas, manusia memiliki relasi yang paling mendasar, Pertama,
relasi Aku dan benda yang ada di sekitar saya. Kedua, relasi Aku dengan Engkau.24 Dalam pandangan Buber,
manusia akan semakin mampu mengenal dirinya secara utuh dan mengenal tujuan hidupnya, serta menjadi
pribadi yang utuh, jika memiliki hubungan yang bersifat I-Thou. Relasi dialogis adalah wujud dari sebuah
perjumpaan.
5. Tanpa Allah Hidup Tak Bermakna
Dalam membangun relasi dengan Allah Buber menyatakan bahwa relasi manusia dengan Allah
dilukiskannya sebagai relasi yang sangat berbeda dari relasi manusia dengan benda dan juga dengan sesama.
Manusia hanya dapat mengenal Allah dalam ketaatan melalui kepercayaan dan manusia hanya mampu
memberontak meninggalkan Allah dan tidak bisa memperlakukan Allah sebagai It atau sebagai Thou, karena
manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki ketergantungan penuh kepada Allah. Karena manusia
merupakan ciptaan, Pencipta akan selalu dekat dengan karyanya, sehingga pada titik tertentu manusia tidak
pernah ditinggalkan oleh Penciptanya; manusia tidak pernah dilupakan oleh Penciptanya. Oleh sebab itu, ciptaan
itu selalu ada dalam genggaman Ilahi. Ketika manusia meninggalkan Allah, Sang Ilahi selalu membutuhkan
manusia dan manusia sebenarnya sudah selalu membutuhkan kedamaian dan membutuhkan Sang Ilahi. Melalui
relasi yang saling membutuhkan, manusia semakin dekat dengan Sang Ilahi sehingga hidupnya berada dalam
keabadian.25 Dalam hal ini manusia adalah abadi, kekal, karena Allah ada di dalam diri manusia secara natural.
Mengenal Allah didasarkan pada ketaatan dan kepercayaan supaya bisa mengalami Allah.26 Melalui
kepercayaan dan ketaatan itulah manusia mampu mengalami perjumpaan dengan Allah. Pertemuan manusia
dengan Allah terjadi melalui sebuah cara yang sangat natural yakni melalui doa, karena dalam situasi berdoa,
manusia bisa mencurahkan isi hatinya kepada Allah, tetapi Allah bukan manusia dan bukan benda yang masing-
masing memiliki ciri khas relasinya. Perjumpaan kita dengan Pencipta, membuat kita sadar bahwa ada yang
menolong dan ada ‘teman’ kita, maka bagi. Buber relasi manusia dengan manusia dan relasi manusia dengan
sang Ilahi selalu melebur. Oleh sebab itu, manusia adalah abadi karena memiliki relasi yang mendalam dengan
Sang Ilahi. Kalau manusia sudah berada dalam keabadian, masih bisakah seseorang diperlakukan sebagai
benda?
22Ibid., 62-63. 23 Maurice Friedman, Martin Buber The Life Of Dialogue (London: The University of Chicago, 1960) 87. 24Ibid., 53 25 K. Bertens, Filsafat Barat Barat XX , Op.Cit.,164. 26 M. Buber, I and Thou, Op.Cit.,164
14
Kecenderungan manusia adalah memperlakukan sesamanya manusia sebagai yang bukan manusia, dan
menganggapnya sebagai benda. Perbuatan semacam ini memang bisa terjadi dengan mengikuti cara Buber
menjelaskan relasi manusia. Bagi Buber relasi di antara manusia harus mutual, maka kalau seseorang tidak
menganggap sesamanya sebagai manusia, hal itupun bagian dari hasil relasi timbal balik. Bagi Buber, salah satu
hal yang bisa mengubah hidup manusia agar tidak memperlakukan sesamanya sebagai benda adalah manusia
harus menyadari bahwa hidupnya sebagai manusia berada dalam keabadian bersama Sang Ilahi. Manusia
mampu menangkap keilahian dalam relasi yang tengah dialami.27 Sang Ilahi adalah nafas yang masuk ke dalam
hidup manusia. Manusia menerima nafas itu sebagai sumber untuk menyusun cerita atau menyusun sejarah
hidupnya di dunia. Kalau nafas kehidupan atau Allah tidak meresap dalam hidup kita, arti kehidupan yang sejati
tidak tersentuh oleh cara hidup manusia.
3. KORELASI ANTARA TARIAN BONET DAN KONSEP MARTIN BUBER
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang diungkapkan atau di angkat
baik dalam tarian bonet maupun relasi dalam konsep Martin Buber:
a. Relasi mengungkapkan keharmonisan
Pada dasarnya relasi itu harus membawa keharmonisan, sukacita dan kebahagiaan. Dalam tarian bonet
itu, masyarakat mengungkapkan keharmonisan mereka dalam menyanyikan syair-syair pantun. Mereka
menyatakan bahwa kita harus seia-sekata, sepikiran dan sependapat dalam memperjuangkan sesuatu atau dalam
melantungkan syair-syair pantun dalam tarian bonet itu. Menurut KBBI, keharmonisan dari kata harmonis “seia-
sekata” sedangkan keharmonisan adalah keselarasan dan keserasian.28 Bagi Buber, relasi keharmonisan itu
terjadi ketika saya menyapa engkau dan engkau menjawab. Artinya ada hubungan timbal balik antara saya
dengan engkau dalam membangun relasi yang harmonis.
Bagi buber relasi asimetris tidak membawa keharmonisan karena, relasi asimetris ini secara tindak
langsung kita sedang mempraktekkan yang bukan manusiawi. Sebab bagi dia relasi manusiawi adalah relasi
timbal balik antar satu dengan yang lain sehingga mendatangkan atau mengungkapkan keharmonisan.
b. Relasi mempererat Kesatuan
Tarian bonet dipahami oleh masyarakat Dawan sebagai satu tarian daerah yang membawa masyarakat
dalam mempererat tali persaudaraan. Dan hal ini ditunjukkan dalam tarian tersebut dengan cara menari
melingkar dan bergandengan tangan. Dan ini mau mengungkapkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Dawan
harus ada rasa cinta kasih, hidup dalam kegotong-royongan, saling menolong dalam suka maupun duka. Dan
hal-hal inilah yang selalu dihidup oleh masyarakat Dawan dimana pun mereka berada. Masyarakat juga
memaknai bahwa tarian yang berbentuk lingkaran itu adalah untuk menjaga keutuhan dan kesatuan.
Bagi Buber relasi sebagai pemersatu ini dilihat sebagai sebuah eksistensi. Buber mengembangkan
pemahamannya bahwa relasi sebagai suatu eksistensi mengarah pada suatu pertemuan. Terkait dengan
pernyataan mengenai eksistensi ini, Ia mengungkapkan dengan menggunakan mode-mode yakni Ich-Du dan
Ich-Es. Kedua mode ini memiliki eksistensinya masing-masing. Meskipun demikian, tetap mengungkapkan
suatu yang menyatukan. Buber melihat bahwa dalam membangun relasi, manusia tidak terbatas pada relasi Aku-
Engkau tetapi Aku-Itu juga harus disatukan dalam membangun relasi. Dan disinilah letak ungkapan Buber
mengenai eksistensi itu.
c. Relasi membawa Rahmat
Dalam tarian bonet, secara tidak langsung masyarakat Dawan bisa membawa relasi mereka dengan
Tuhan. Dan mereka beranggapan bahwa relasi yang mereka bangun adalah relasi yang membawa rahmat.
Dimana masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari selalu menghadirkan Tuhan dalam kegiatan mereka.
Sehingga ketika mereka berhasil melakukan suatu kegiatan, mereka menyatakan bahwa ini terjadi akibat relasi
yang baik dengan Sang Pencipta (Uis Neno). Sehingga dalam jenis-jenis bonet disebut sebagai boen malile atau
boen bae (nyanyian sukuran atau pujian kepada Allah karena telah memberikan sesuatu yang baik atau telah
memberkati) misalnya adalah kelahiran anak, panen hasil bumi dan sebagainya.
27 Ibid., 57. 28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 390.
15
Bagi Buber, manusia tidak bisa hidup tanpa Allah. Allah adalah pemiliki alam jagat raya, karena
Allahlah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia. Oleh karena itu, manusia pun harus membangun
relasi dengan Allah sebagai pencipta dan pemberi kehidupan. Allah sebagai pencipta, akan selalu dekat dan ada
bersama dengan ciptaan-Nya.
d. Relasi mengungkapkan Kesederajatan
Dalam tarian bonet yang melingkar dan bergandengan tangan ini juga mengungkapkan tentang
kesederajatan. Menari dengan melingkar dan bergandengan tangan dapat dihayati dan dimaknai masyarakat
Dawan bahwa kita adalah sama, kita sederajat. Ungkapan mengenai kita adalah sama, sederajat inilah yang
membuat masyarakat Dawan untuk menerapkan hidup yang penuh rasa cinta kasih dan damai, kegotong-
royongan dan sebagainya.
Terkaitan dengan hal ini, Buber mengajak kita bahwa kita sebagai manusia dalam membangun relasi
janganlah kita cenderung memperlakukan sesama kita bukan sebagai manusia melainkan kita harus
memperlakukan sesama kita sebagai manusia karena kita diciptakan oleh Sang Ilahi yang satu dan sama.
Sehingga ia menekankan bahwa relasi itu harus ada timbal balik sehingga tidak ada yang saling memperpojok
atau meremehkan antara aku-engkau dan sebagainya.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan semua pembahasan di atas, secara khusus pada korelasi antara tarian bonet dan teori relasi
martin Buber saya menemukan bahwa dalam membangun relasi itu tidak harus sesuatu yang wao atau tren
begitu. Melainkan relasi itu bisa diungkapkan dalam berbagai macam cara misalnya lewat seni musik, seni tari,
seni suara, seni ukir dan sebagainya.
Tarian bonet dengan cara melingkar dan bergandengan tangan ini memiliki makna yang sangatlah
mendalam. Dimana dalam tarian itu mengungkapkan kegotong-royongan, rasa cinta kasih, keutuhan, kesatuan
dan persatuan. Dan hal inilah yang dipandang oleh Martin Buber sebagai suatu eksistensi. Eksistensi yang
dimaksudkan oleh Martin Buber adalah suatu tindakan yang melampuai pandangan kita manusia. Kita tidak
hanya menilai sesuatu terbatas pada apa yang kita dilihat didepan kita melainkan harus melampaui apa yang
tampak di depan kita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa budaya ini dipandang secara filosofis sebagai
satu budaya yang memiliki kekayaan akan maknanya. Pemaknaan akan budaya tersebut tidak terbatas pada apa
yang selama ini dihayati dan dilakukan, melainkan melampaui pemikiran dan tafsiran masyarakat yang terbatas
itu.
b. Rekomendasi
Bertolak dari kesimpulan di atas, tarian bonet merupakan suatu tarian yang terus menerus dikembangkan
oleh setiap generasi. Dengan mengembangkan budaya tarian bonet ini, maka generasi penerus perlahan-lahan
akan mengerti makna yang terdalam dari tarian ini. supaya bisa dikembangkan dan tidak punah tarian bonet ini,
maka penulis merekomendasikan beberapa hal yang hendaknya dapat dilakukan oleh generasi-generasi zaman
ini.
1. Generasi muda masyarakat dawan dapat memandang tarian Bonet sebagai suatu karya seni yang harus
dilestarikan dan dikembangkan. Sebab dengan berkembangnya perubahan zaman yang kian kemari melanda
dan merasuki kehidupan manusia, dapat membuat generasi muda semakin tidak mencintai tarian lokal yang
begitu kaya akan makna dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tarian ini adalah relasi. Dengan melestarikan dan menghidupkan
tarian tersebut, maka relasi generasi muda dalam masyarakat tidak akan mudah untuk dipengaruhi atau
dirasuki oleh kebudayaan-kebudayaan lainnya. Sebab tarian bonet mempererat hubungan atau mengikat tali
persaudaraan antar sesama semakin kuat dan mendalam.
3. Hal lain yang dianjurkan agar generasi muda masyarakat dawan dengan segala macam ilmu pengetahuan
yang didapatnya terkhusus dalam ilmu filsafat dapat menggali dan menelaah lebih jauh kekayaan-kekayaan
ilmu pengetahuan yang ada dalam budaya masyarakat dawan. Dengan demikian, apa yang tidak diketahui
selama ini bisa dapat dimengerti dan dipahami oleh generasi-generasi selanjutnya dan juga untuk masyarakat
pada umumnya yang ingin mengetahui budaya-budaya yang ada dalam masyarakat dawan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II. Jakarta: Gramedia, 1981.
Buber, Martin Buber, Between Man and Man. London: Routledge Classics, 1947.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Friedman, Maurice. Martin Buber The Life Of Dialogue . London: The University of Chicago, 1960. Lafu.
Martinus Lafu, dkk, Ungkapan Tradisional Bahasa Meto Suku Atoni Pah Meto Kabupaten Timor Tengah
Utara. Kupang: Gita Kasih, 2008.
Levinas, Emmanue. Time and the Other. Pittsburgh: Duquesne University Press,1979.
Sawu, Andreas Tefa. Di Bawah Naungan Gunung Mutis. Ende: Nusa Indah, 2014.
Nome, Merson. Makna Bonet dalam Masyarkat Timor Tengah Selatan, http:// www. Bonet-Masyarakat TTS.
Com. Diakses tanggal 8 Desember 2018. Pukul. 08.45. WIT.
https//id.m.wikipedia.org. diakses Malang, 8 Desember 2018. Pukul. 21.30. WIT
17
ON ANONYMITY AND INDIFFERENCE
Jeffrey Bartilet
Department of Humanities and Philosophy, Polytechnic
University of the Philippines
Email: [email protected]
Abstract
Keywords: Indifference, Responsibility, the Self, the Other
There seems to be a misguided notion that social concern is something beyond one’s immediate
community. And it seems that when an academic institution like ours is responding to social concerns it would act
on the level of policy and the motivation behind it would be that of a requisite. But what does it really mean to
respond to social concerns, to problems which confront not just the institution but us as living human beings? What
does responding mean? And what does concern really mean? And by further extending the reflection, we may ask
the question what is the social? I would say, with the of risk sounding trite, that the social is not something beyond,
not an abstract conjured by our thoughts for the purpose of discussion or an object of investigation or study or
publication, nor is it a name in a certificate. It is not something beyond us and we need not look too far to find it.
The social is in our midst. The social is us, we. The social need not be outside our immediate day to day experience,
nor is it or beyond our very community, nor one’s home, nor one’s place of work. The social is in fact the neglected
and the abandoned in our very lives, it is the one’s that are in need of care within the very orbit of our day to day
affairs. The social is in the very “others” that we encounter everyday, the very people we experience everyday. It is
an encounter not in a sense of a duel or competition but of an event, a taking place, an event that is a revelation. It is
a revelation in the sense that in the encounter with the person, the “face to face encounter,” the Other is revealed to
me. It is in the encounter with a friend, a colleague, the boss, the daughter, that unknown neighbor, or the face of
and the hand that ask for spare coins, it is the document or file of the human being, the concrete human being whose
fate may rest on the file or document, whether she be hanged or given pardon, whether she be separated or be united
with her child, whether she gets the medicine that she or her ailing mother needs, whether she gets to eat something
for the day, it is the living human being that breathes, that needs, that loves and caresses, it is this encounter that I
am revealed as a human being and as a social being. The social is the Other. How could she be not this? And she is
more than this.
But when do people become indifferent? How is it that people refuse to see? How is it possible that people
fail to respond to the call for aid, to the call of the Other? And who is this Other? We may say that the Other is not
the powerful, not the mighty but the destitute, for her poverty is in her eyes, in her hands, in her very gestures. She is
the signified in the cry, the very person behind the voice that says “help me.” But her plea is also manifest in her soft
resonance, in the reverberations of her voice, in her movements, in the very body that speaks of her emaciation, her
concreteness is the flesh that sinks to me, to my very flesh and being that says “help me.” Destitution could be more
than monetary, and so the response to the call of the Other is more often times not that of money. Suffering could
come from a manifold of causes and more manifold is the experience of pain, of suffering: illness, periods of
convalescence, the unbearable moments of ache, the agony of the soul and of the heart, the tears of loneliness and
The paper articulates, in broad strokes, an idea of responsibility that is affixed to a general attitude
of availability and service. That to respond to, that to be responsive is to breakthrough the barriers
of complacency, it is to be open to the unsettling appeal for justice amidst injustice, and that to
exist is not to be only for oneself.
18
helplessness. And so we see in the cry, in the faint, in the collapse, in the call for aid, in the tears of loneliness at
moments of helplessness the revelations of the human being’s destitution. What is expressed in the event of the
encounter with the Other is that the Other is revealed to me as Other, other than me, someone who is not me, who is
totally different from me. The Other may not literally utter the words “help me” but she is revealed to us in her
naked poverty, in her tears, in her is voice, in her gesture, in her movements, in her fragility. The fainting, the
impoverished state, is revealed to me in the event of the cry for help. But the event is more than an event, more than
a lone episode. It is here that the unbearable shame of myself is revealed to me by the Other in her naked poverty.
But it is also my destitution for in my failure to respond to her plea myself is revealed to me as unjust, I am unjust.
The Inconvenience of Responding
We are allergic to the Other, we are allergic to the destitute, we are allergic to the stranger, to the
impoverished, to the hand that begs, to the grimy body, to the incarcerated, to the emaciated and ill, but also to the
fraught, to the heavily burdened, to the troubled. Why, why do we turn our backs to them, why do we turn our eyes
away? Why do we avoid them, why do we sometimes, or most of the times, abhor or even repel them? Is it because
we see them as ugly? Is it because we see them as inconvenience for they disrupt the normal flow of our routine, for
they give an unsightly smudge on our well-defined life, for they stain our well-managed and well-maintained
landscape? The Other for us is unsightly, distasteful and inconvenient. That is how we see the Other. But were does
this come from, this feeling of inconvenience, the detest for the unsightly, the abhorrence for stranger, a detest for
the Other, where does it originate? Would it be possible that if we locate this root cause we could understand and
even perhaps “cure” ourselves of this ghastly vision, this lens of ours that sees the Other as someone to be fend off?
A well-managed and well-maintained landscape gives us a sense of being secured. One is comfortable and
at ease, one is at home. But to be at home is to be calloused. To be calloused is to shut everything from the outside,
to fence everything in, to be the center, to be the solitary center, to cling to the comforts of one’s world, a world that
is thought to be created by himself alone. And therefore to see the world as something created by one’s self alone is
to have a mindset that is uncaring and aggressive, possessive and colonial. To possess and to colonize and to expand
and secure one’s domain is the frame of mind that drives the spirit of the self that sees only its ego, an ego-self that
is the center of everything, and therefore egoistic and narcissistic. Could it be that this attitude is the very same
attitude of capitalism and imperialism? Could it be that self-centered ego as an ego that sees itself as superior is the
very affliction that repels, abhors, hates and is blind to the Other?
The Convenience of Maintaining
By superiority, the superior would always be blinded by its identity, by its identification with its character,
with its position, with its chair. The chair which stands for a character is mistaken for his own humanity, or rather, it
has defined his character and humanity as a human being, the character of a boss, of a lawyer, a politician, a
bureaucrat, a peddler. He identifies himself with the character, and the identification becomes narcissistic and
egoistic, he becomes the center, the I-center. The world is a price to be won, everything is for the taking, the ideals
and principles of people are inessential for he has learned in his conquest that everything has a price. Seeing himself
as the center he sees himself as the superior, above others, and so it feeds him of his claim to superiority. Being
mighty and powerful he becomes repressive. Thinking himself as mighty and powerful the superior represses the
subordinate.
The superior-subordinate relation is a relation of etiquette and most often a means-end relation. The
relation is not ethical, precisely because it is a means-end relation and the interaction is a relation of reservation, of
ritual, of categories, of policy, of profits, of benefit. For the superior sees it’s subordinate not as a person, or only
partly a person. But for the most part he sees her as a possession, as an equipment. The superior would always
unload itself of its workload, of its burden to the subordinate, and the very relation is the ritual of this unloading and
the subordinate would always be at the receiving end. Because it is a means-end relation the superior seizes the
19
subordinate. The superior, intoxicated of its superiority, tries to possess the subordinate by seizing her time, her
space, her interiority, as many as possible, as often as possible, as exhaustively as possible. He is conscious of it. He
operates to capture her in her entirety. He may greet her or show concern for her once in a while but the subordinate
would always notice there is no sincerity in the superior or that the subordinate recognizes the power, would always
see the superior as powerful. The cordial greeting is a ritual and a reminder of who is the superior, who is mighty,
who has power. When the superior notices that the subordinate is approaching him for a favor or assistance he
would deploy his evasive skills.
Dribbling
Dribbling is a special skill. In sports such as football or basketball dribbling is a skill for evasion and delay
whereby the ball is handled well by the player against opponents. It is a means to run a play of offense by moving
the ball well within one’s reach without the opponent taking it. The opponent is powerless if the dribbling skill of
ball handler is outstanding. But dribbling is not just a skill in sports. It is a skill used by the superior to the
subordinate, by the intelligent to the ignorant, ng mataas na tao sa maliit na tao. As it is in sports so it is in handling
the Other. Dribbling is applied as a tactic of evasion and delay. It is an offensive, but an offensive that offends, that
is indifferent to the call of the Other. Deflection is indifference, for one does not want to be disturbed, one doesn’t
go out of one’s way. It is the failure to respond to the call. This failure to respond have in fact infected the automat.
Confined to its task of repetitive work the automat follows the day to day routine. The world is made by
and revolves around the routine. Routine gives a feeling of security, of being at home. He nurtures the routine for
within it he is at ease, well and secured. Even if there is an urgency, a need for response, a call for help of the Other,
he responds only with reservation, only with a certain reserve. He may hesitate and give in to this call once in a
while but only to the extent that his actions are only within the perimeter of his well-managed world, he acts only to
the extent that he secures himself and his interest. He never forgets himself. He clings to his ego. His work only
revolves in himself and so he handles others with a certain coldness and distance.
A document is more than a piece of paper. Surely, it refers to something. And often times, it is about
something more concrete, real, tactile and alive. A case file for example refers to this real, tactile and living person.
A dossier of an orphan, a document of an indigent patient, a referral letter of a person in need of medical aid, a case
file of a detained person, an endorsement letter for an employee’s benefit and pay.
Repetitive work most of the time blinds us to the person referred to by these documents and makes us
calloused and deaf to their urgent call. The failure to see that these documents are more than just pieces of paper
could perhaps spring from forgetfulness and fatigue, or from the lose of the joy in work, or from the recurring
routine which brings about dullness of the mind, body and spirit.. But it could not be also be due to the security
brought by convenience and complacency, work that perhaps no longer fulfills and accomplishes goodness and self-
worth but only maintains one’s existence. One is merely earning one’s wage for existence, the time clock is his time.
One is merely existing, existing by maintaining one’s convenience and security, of maintaining one’s well-managed
and well-maintained world.
The Anonymity of Home
To maintain and operate at the level of maintenance, of mere survival, is to work at the level of
complacency. Just to go about day to day and engaging in one’s world with an attitude of business as usual is to
secure the distance between one’s self and the Other. To go about at this level is to act on the level of the crowd.
Acting on level of the crowd is acting on the level of self-maintenance, it is the level of not choosing to see and not
responding to the call of the Other. It is a level of distanciation and disinterestedness, a level of not committing, it is
the level of anonymity. To be anonymous is to maintain, to be at home, and to secure one’s domain. The
overworked social worker, the stressed secretary, the corrupt judge, the profit mongering business owner, the
uncaring boss, all has committed in going about doing there business by deflection, unburdening oneself of such
20
“inconvenience” of reaching out, of going out. The Other becomes anonymous because one has become indifferent.
But the self could also be acting at the level of anonymity, at the level of self-convenience, of self-centered interests.
Indifference as a Loss
But to be at home is to be at a loss, a loss of the ability to respond, to reach out, and to welcome the
stranger, the unexpected stranger, it is the failure to respond to the call of the Other, and therefore to be inhospitable.
One could easily loose one’s self in the thick of things, in the hunt for convenience and power, in managing well
one’s self interest. Browning one’s own nose is a conscious activity, it is an activity which is fueled by the hunt to
possess, the desire to expand one’s dominion and a hankering for stability, it is the drive to secure one’s self the
convenience of a world that is thought to be self-made. That one’s world is thought to be only the world that is
connected to blood-ties, or within the orbit that bestows privileges and gains, of power, security and convenience.
One could only look at tragedies, at death and disease, to see that all these quests for security would only bring about
false security.
The thinking that one is autonomous, that one is free and can stand on one’s own is to forget that one has
from the very beginning up to the present is within a relation, a relation with the Other. No one is a self-made man.
One had always someone who cared for him and aided him and answered the many calls for help, from the subtle
and implicit to the most obvious and apparent. There are even the bolts that came from the blue, the surprisingly
there who gave us aid, lending assistance whether it be a relative, a friend, an acquaintance, or a stranger, or the
wind, or the rain, or the tree that gave shade. The one who cared and gave us aid, who answered our call, relieved us
of our pain, assisted us in our labors, ministered to us in our confusion, abetted us in our times of dispiritedness,
served us in our poverty, alleviated us from our misery.
But we have to take note that the encounter with the Other, the Face to Face encounter, is an invitation, an
invitation for us to respond to her call, to her plea, to her cry. It is a situation that we be no longer be ourselves, that
we no longer cling to our selfish egos in a sense that we abandon our well-managed and well-maintained world, that
we loose ourselves and be responsible for the Other. The circumstance, the event, of this encounter is an opportunity
to be responsible. But we can never be responsible if we only think of responsibility in terms of what we do. Rather,
responsibility comes only when we ourselves be responsible for Other. A radical responsibility that promotes the
good without return, of losing one’s self for the Other, and therefore doing the good.
It is the good that I must do and so respond to the Other not for myself but for her. It is this unbearable
shame of myself revealed to me by the Other in her naked poverty. But it is also my destitution for I am unjust. My
injustice is revealed to me by Her nakedness, by her poverty, by her destitution, by her misery, it is the unbearable
shame that reveals to me mine and the Other’s destitution, our unclothed destitution. It reveals itself in the
impoverished as impoverished, as emaciated, as naked, as in need of food, of shelter, of clothing, of warmth, of
caress, of embrace. It is this that calls to our being. It is this that captures us and overpowers us. It is here that the
Other is revealed as the most High for the Other’s power is a power that stings to my soul and makes me forget that
the world is all about myself. It is here that our shame and our injustice is revealed by this most High. And so to be
human is to regain one’s humanity, but it would not be just about caring for myself, or my household, for that would
be selfish. It is also about caring for the colleague, the neighbor, the elder, the relative that has not much, the river,
the tree, the file or document that needs attention. To be human therefore is to experience that one’s humanity is a
humanity-in-relation. And concern is more than a concern for one’s interest. A truly authentic concern is a
responding to the Other, a responsibility for the Other. But a sincere response is response that does not seek a return
and gain merits for the self. If an institution like ours is to act and to respond to social concerns then the measure
should be no other than this: that it must be open to the plea for justice and that its actions should be devoid of any
self-serving ends.
21
References
Emmanuel Levinas. Ethics and Infinity, trans. Philippe Nemo, Claretian Publications, Quezon City, 1997
_____ Time and the Other trans. Richard A. Cohen, Duquesne University Press, 1987
_____ Totality and Infinity: An Essay on Exterioirity, trans. Alphonso Lingis, Pittsburg,
Duquesne University Press, 1969.
22
PASTORAL INKARNATORIS DI ERA DIGITAL ZAMAN MILENIAL
Marius Goo
STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur
Email: [email protected]
Abstrak
Orang beriman Kristiani memiliki kerinduan untuk bersatu dengan Allah. Allah pun selalu menyapa
manusia dengan aneka macam cara. Cara paling utuh dan tertinggi adalah inkarnasi. Allah menyapa
manusia dengan menjadi manusia. Keinginan manusia untuk saling menyapa dan berkomunikasi
antarmanusia dewasa ini terjalin melalui alat digital. Sapaan Allah merupakan inkarnatoris, artinya
hadir secara penuh, sedangkan sapaan antar sesama manusia dalam media sosial merupakan
telepresence, artinya hadir tetapi tidak sepenuhnya: hadir sekaligus tidak hadir. Komunikasi sosial ini
mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia. Dalam situasi inilah Gereja dihimbau untuk
menunjukkan sapaan Allah. Cinta Allah yang paling nyata dan mewujud adalah inkarnasi. Hidup
inkarnatoris dalam pewartaan Teologi Inkarnasi amat relevan bagi pelayanan pastoral Gereja di dunia
digital dewasa ini.
Kata-kata kunci: Cinta kasih Allah, Inkarnasi, Telepresence, Alat Digital, Pastoral.
Abstract
Christian believers have a desire to be one with God. Allah also always greets humans in various
ways. The fullest and highest way is incarnation. Allah greets humans by becoming human. The
human desire to greet and communicate with each other today is interwoven through digital tools.
Greetings of Allah are incarnatorial, meaning that they are fully present, while greetings between
humans on social media are telepresence, meaning they are present but not fully present: both present
and not present. This social communication affects all dimensions of human life. It is in this situation
that the Church is encouraged to show the greeting of God. The most tangible and manifest love of
Allah is incarnation. The life of the incarnator in the proclamation of the Incarnational Theology is
very relevant for the pastoral ministry of the Church in today's digital world.
Keywords: Love of God, Incarnation, Telepresence, Digital Tools, Pastoral.
I. PENDAHULUAN
Gereja kini turut berpartisipasi dalam menggunakan yang namanya media sosial. Beberapa fitur internet
digunakan untuk mengakses informasi. Internet bagi manusia milenial merupakan satu pemberian Allah agar
manusia saling mengkomunikasikan diri antar satu dengan yang lain, terlebih mewartakan nama-Nya. Tulisan ini
merupakan usaha menanggapi cinta kasih Allah dalam dunia digital. Pada titik tertentu teknologi digital sendiri
merupakan cinta kasih Allah bagi dunia. Walaupun masih sebatas telepresence,1 dapat dilihat sebagai partisipasi
dalam inkarnasi Allah. Karena teknologi digital merupakan telepresence, maka Gereja mesti berjuang untuk
1Telepresence, relasi antartubuh dalam dunia maya, tubuh secara lebih efektif terhubung dengan tubuh yang
lain melalui jaringan komputer dan internet, kehadiran tetapi sekaligus ketidakhadiran, hadir dalam dunia maya
tetapi secara nyata, dalam bentuk fisik tidak hadir atau tidak nyata. Bdk. Yohanes Wahyu Prastyo, “Hadir dan
Tinggal dalam Realitas Manusia: Mengantisipasi, Telepresence dan Belajar dari Inkarnasi,” dalam Jurnal Filsafat,
34/2 (2018), hlm. 50.
23
mencerahkannya. Media sosial pada akhirnya merupakakan pasrtisipasi inkarnasi, yakni sebagai media pewartaan
Kerajaan Allah. Karena itu, bagi orang Kristiani media sosial hanyalah sarana dan bukan tujuan. Tujuannya adalah
mencapai Kerajaan Allah.
Sehubungan dengan itu, pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam artikel ini yakni “Bagaimana Gereja
memposisikan diri dalam pewartaan dengan pastoral Inkarnatoris dalam era milenial ini?”
II. METODE
Penelitian ini menggunakan motode library research, yang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat dan mengolah bahan penelitian dengan
empat ciri utama yakni: Pertama, bahwa peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan
pengetahuan langsung dari lapangan. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” artinya peniliti tidak terjun langsung
ke lapangan karena peneliti berhadapan langsung dengan sumber data yang ada di perpustakaan. Ketiga, bahwa data
pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan atau data dari tangan
kedua dan bukan data orisinil dari data pertama di lapangan. Keempat, bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu. Berdasarkan dengan hal di atas, maka pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan
menelaah dan/atau mengekplorasi beberapa jurnal, buku, dan dokumen-dokumen lainnya yang dianggap relevan
dengan penelitian atau kajian.
III. PASTORAL INKARNATORIS2 DI ERA DIGITAL ZAMAN MILENIAL
1. Media Sosial
Media digital berisi penggabungan dari data, teks, suara dan berbagai macam (image), disimpan di dalam
format digital dan didistiribusikan melalui jaringan komunikasi.3 Pendiri microsoft, Bill Gates menyatakan bahwa
perkembangan media baru (internet), telah menghadirkan era baru dalam perdagangan, di mana proses jual beli akan
diwarnai dengan informasi yang lengkap, biaya transaksi yang sangat rendah, sehingga terbentuk “surga belanja”.4
Revolusi informasi yang ditandai dengan lahirnya era teknologi digital, telah mengubah seluruh aspek kehidupan
manusia baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun dalam bidang pertahanan keamanan.5
Berbicara tentang dunia digital berarti berbicara soal “dunia virtual”, yakni dunia internet.6 Kehadiran internet
mengubah cara berkomunikasi. Sebelumnya komunikasi dalam bentuk face to face kini bukan lagi face to face
melainkan melalui online. Dengan kecanggihan teknologi informasi, masyarakat modern dipaksakan untuk harus
memilih berinteraksi sosial secara online.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam wujud internet yang dikategorikan sebagai media baru,
pada kenyataannya membawa dampak yang signifikan dalam kehidupan individu dan dunia sosial manusia.7
Teknologi digital merupakan bentuk kemajuan yang paling mutakhir yang melibatkan parangkat-perangkat
elektronik digital yang sesungguhnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Teknologi digital yang
diidentikan dengan internet merupakan satu penemuan teknologi digital yang paling menantang zaman ini. Internet
2Inkarnasi (Latin Incarnation, menjadi daging) merupakan keyakinan demi penyelamatan dunia. Lih. W. R.
F. Browing, Kamus Alkitab, Penerj. Liem Kiem Yang dan Bambang Subarndrijo (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007), 154. 3Sri Hastjarjo, “Literasi Media Baru Berbasis Lokal Wisdom Jawa,” dalam Literasi Media dan Kearifan
Lokal, (Salatiga: Mata Padi Pressindo, 2012), hlm. 143-144. 4Bill Gates, The Road Ahead, (New York: Penguin, 1996), hlm. 181. 5Frano Kleden, “Etika Komunikasi Digital: Di Era Pasca Kebenaran,” dalam Jurnal Filsafat Driyakara, 34/2,
(2018), hlm. 17. 6Shiefti Dyah Alyusi, Media sosial Interaksi, Indentitas dan Modal Sosial, (Jakarta: Prenadamedia, 2018), 1. 7Tomi Febryanto, Kesenjangan Digital dan Literasi Media Baru, dalam Literasi Media dan Kearifan Lokal,
(Salatiga: Mata Padi Pressindo, 2012), 171.
24
mendapatkan ruang untuk hadir dalam eksistensi yang penuh.8 Media sosial menghubungkan manusia dari berbagai
belahan dunia yang tidak saling kenal sebelumnya, dengan cara mengkoneksikan komputer dengan jaringan internet.
Karena itu, internet bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan informasi.9 Media sosial membentuk manusia untuk
saling mengetahui, mengenal dan bahkan menerima sebagai satu rumpun bangsa manusia.
1.1 Media Sosial pada Eksistensinya
Karakter dasar dari media sosial adalah interaksi. Saling berinteraksi karena terjalinnya jaringan
antarpengguna dari aneka tempat dan heterogenitas manusia dengan budaya yang beragam.10 Budaya siber
(cyberculture) melihat bagaimana budaya ada di ruang cyber, sekaligus melihat dunia cyber menjadi budaya
manusia modern saat ini. Bahkan media sosial sendiri merupakan produk dari budaya dan sekaligus sebagai
produser dari budaya itu sendiri.11
Pada eksistensinya, budaya cyber selalu netral. Menjadi rancu ketika menusia menyentuh dan menggunakan
alat digital. Manusia yang memahami alat digital, baik kelemahan maupun kelebihan, pasti akan menggunakan
gadget secara bijak dan akan mengarahkan pada kebijaksanaan. Tujuan kebijaksanaan yang dimaksud adalah
menjadikannya sebagai “media pewartaan iman.” Menunjukkan Allah yang senantiasa menyapa dan menjumpai
manusia sepanjang masa.12 Sebab keberadaan media sosial sejalan dengan misi Allah, yakni memudahkan manusia
untuk menemukan jati diri sebagai manusia, baik dimensi kemanusiaan maupun dimensi keilahian. Masalahnya
dirancukan oleh para pengguna, misalnya kerohanian manusia mengalami desolasi13 karena lebih mengutamakan
yang duniawi semata.
1.2 Media Sosial bagi Para Pengguna
Revolusi teknologi dan media sosial memberikan dampak yang bisa dikatakan “mengepung” segala aspek
kehidupan manusia. Salah satu yang menjadi hakekat adalah membanjirnya informasi.14 Dalam sebuah penelitian
ditemukan perilaku mahasiswa, bahwa mereka lebih bergantung pada perangkat teknologi. Bagi mahasiswa, telepon
genggam bukan lagi kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan primer. Seolah telepon genggam menjadi syarat
menjadi mahasiswa.15 Realitas ini menunjukkan bahwa media sosial saat ini benar-benar merasuki semua aspek
kehidupan manusia. Dari cara penggunaan media sosial akan menjadi jelas pengguna aktif dan pengguna pasif.
Pengguna aktif adalah mereka yang menjadikan media sosial sebagai tujuan, sedangkan pengguna pasif adalah
mereka yang menjadikan media sosial hanya sebatas sarana.
1.2.1 Pengguna Aktif
Para pengguna aktif yang dimaksud di sini adalah orang yang bergantung sepenuhnya pada social media.
Keinginannya begitu kuat untuk memiliki dan terpenuhi menggenggamnya secara erat. Mereka menjadikan media
sosial adalah tujuan pencarian dan setelah menemukan, dijadikannya sebagai tujuan pencapaian hidup. Keinginan
semu itu membentengi diri untuk melampaui dan berdialog dengan sesama. Berelasi pun dibangun untuk memenuhi
keinginannya. Seperti dikatakan Freud, manusia di fase narsistik (fase yang penuh keinginan) sebagai ingat diri,
keinginan untuk memiliki yang lain. Yang lain hanya menjadi objek pemenuhan keinginan.16
8Ibid., hlm. 174. 9Shiefti Dyah Alyusi, Op. Cit., 1. 10Rulli Nasrullah, Media Sosial, Perspektif komunikasi, budaya dan sosioteknologi, (Bandung: Simbiosa
Rekaktama Media, 2017), 25. 11D. Bell, An Introduction to Cubercultures, (New York: Routledge, 2001), 8. 12Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, (Yogyakata: Kanisius, 2014), 2. 13Ignasius Loyola, Latihan Rohani, Terj. J. Darminta, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), 206. 14Rulli Nasrullah, Op. Cit., xi. 15Ibid., x. 16Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius), 68.
25
Internet menyediakan segala sesuatu dan bahkan memenuhi atau menanggapi pencarian dan kebutuhan.
Manusia modern jika ingin menemukan jawaban atas pertanyaan, semua lari ke internet. Para pengguna aktif,
hampir seluruh waktu dari hidupnya dipergunakan untuk mengakses internet. Internet telah menjadi semacam
bagian terpenting dari kehidupan anak muda.17 Internet telah menjadi segala-galanya, dengan menyediakan segala-
galanya pula, baik yang positif maupun yang negatif. Internet menyediakan tawaran-tawaran dunia yang
“meluluhkan hati dan budi”, serta membuat terpikat padanya. Manusia terperangkap dalam dunia digital. Setelah
terperangkap susah untuk keluar, bahkan tidak ingin keluar karena semacam terhipnotis dan terobsesi dengan aneka
fitur, aplikasi dan informasi yang menggiurkan.
Kelekatan dan ketergantungan terhadap tawaran-tawaran dunia ini telah membuat manusia kehilangan
eksistensi diri sebagai manusia. Manusia kehilangan dimensi hakiki, ialah iman (rohani): mengikuti keinginan dunia
dan bergantung penuh pada kuasa dunia. Terbentuk hidup seolah-olah tanpa Tuhan. Bahkan kehilangan cinta kasih
Allah, atau melawan Allah dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan diri dari penggunaan
sarana teknologi modern.18
Menggunakan media sosial secara aktif (± 20 jam sehari) dapat dikatakan menggantikan posisi Allah, tercipta
ateisme palsu modern. Di mana media sosial menjadi allah yang diagungkan sepanjang hidup, tanpa henti dan secara
khusuk. Pendewaan pada alat digital, membuat hidup menjadi tak bermakna dan kering. Semua waktu tersita, tiada
peluang untuk berdoa, bermeditasi dan berbagi firman Allah.19
1.2.2 Pengguna Pasif
Hal sebaliknya dari pengguna aktif di atas yang menjadikan media sosial sebagai tujuan pencarian dan
pencapaian hidup, pengguna pasif dipahami sebagai orang yang menggunakan media sosial hanya sebagai sarana.
Artinya, media sosial digunakan sebagai alat pembantu untuk mencapai tujuan hidup. Tujuan hidup untuk pengguna
pasif adalah Allah, sehingga alat digital digunakan untuk lebih mendekatkan diri dan mencapai Allah sumber cinta
kasih.
Pengguna pasif memandang media sosial sebagai sarana memasuki kebenaran dan iman. Media sosial
merupakan ruang baru untuk evangelisasi, sebagaimana disampaikan oleh Paus Fransiskus pada hari Komunikasi
Sosial Sedunia ke-47, 2013.20 Media sosial membuka ruang baru, sekaligus memberikan dukungan yang berharga
untuk karya pewartaan Injil. Ruang baru ini dikerjakan oleh para pengguna pasif, di mana mereka menggunakannya
sebagai sarana mencapai kesempurnaan. Kesempuranaan yang dimaksud adalah menjadi saudara Yesus Kristus.21
Yesus Kristus adalah cinta kasih Allah yang paling nyata (Yoh. 3:16). Dihimbau kepada kaum kreatif dewasa,
terlebih dalam dunia digital untuk ambil bagian dalam Allah Sang Pencipta sendiri, yang sedang berkarya
menyempurnakan dunia (Yoh. 5:17).
1.3 Media Sosial: Antara Dunia Maya dan Dunia Nyata
Dari dalam dunia media sosial, telepresence, Gereja harus mampu membawa masyarakat media pada satu
perasaan atau keyakinan bahwa Allah masih mencintai dunia. Gereja menyadarkan pengguna media tentang karya-
karya Allah yang sangat agung. Peristiwa-peristiwa inkarnatoris yang dikerjakan Allah terlaksana hingga hari ini,
melalui kemutakhiran digital. Media sosial secara nyata hadir di dunia, berdampak besar bagi kehidupan riil
manusia. Media sosial dewasa ini benar-benar mencapai suatu peradaban manusia yang menakjubkan.22 Di samping
17Roger E. Hernandez, Media dan Remaja, terj. Teens and the media, (United Stated: Mason Crest
Publishers, 2005), 34. 18Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Op. Cit., 139-140. 19Ibid., 158. 20Ibid., 159. 21Louis Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasan Ini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 63. 22Tomi Febriyanto, Op.Cit., Literasi Media dan Kearifan Lokal, 170.
26
itu juga terjadi degradasi nilai dalam kehidupan komunitas manusia, yakni ketika media sosial menjadi agen untuk
memanipulasi opini publik (hoaks).23
Pertama, Dunia Maya (virtual world): perkembangan media sosial dalam dunia maya telah membentuk sikap
dan cara berada manusia, juga emosi dan bahasa manusia. Bahasa manusia diperkaya, sekaligus diperpadat dalam
simbol-simbol, image, ikon dan stiker-stiker yang tersedia dalam internet. Para pengguna memperhatikan dan
menggunakan atau meniru simbol-simbol yang tersedia.24 Dalam dunia maya yang serba lengkap ini pun
menciptakan mental pengguna menjadi statis dan cenderung menutup diri terhadap lingkungan sosial.
Kedua, dunia nyata (real world): media sosial berkembang di dunia nyata. Dampak dari perkembangannya
dapat dialami secara indrawi. Bisa dilihat, dipegang juga bisa didengar. Perkembangan media sosial juga
mempengaruhi kehidupan batin, dunia rasa manusia modern. Dampaknya, manusia milenial terlihat lebih banyak
menyendiri, bersikap masa bodoh dan tidak simpatik pada dunia nyata.
1.3.1 Kebutuhan akan Telepresence
Dunia virtual berdampak besar bagi pemenuhan kebutuhan manusia dalam berinteraksi.25 Melalui media
sosial manusia dapat melakukan interaksi dan membangun relasi walaupun jarak jauh dengan saling memandang
bentuk rupa. Telepresence, kehadiran rupa (fisik) dalam media memberikan kepuasan tersendiri, walaupun tidak
nyata. Kehadiran rupa dalam media digital merupakan suatu telepresence, namun sekaligus teleabsence karena tidak
nyata. Ada di depan, namun hanya dunia virtual, maka dikatakan kehadiran yang tidak nyata (teleabsence).26
Melalui jaringan komputer dan internet, tubuh dapat secara lebih efektif terhubung dengan tubuh yang lain.27
Jaringan komputer dan internet telah membuka satu horizon baru bagi relasi bertubuh.28 Manusia memiliki
keinginan intim, atau relasi kebertubuhan, sehingga untuk memenuhi keinginan itu dilampiaskan pula dengan
membuat perangkat peniru. Kehadiran perangkat ini memiliki arti positif dalam mengatasi keberjauhan jarak antara
individu satu dengan lainya. Namun, perangkat tersebut sebenarnya hanya membuat manusia menjadi semakin
terasing. Kehadiran antarmanusia diperantarai, bahkan diwakilkan oleh teknologi sehingga dengan sesama manusia
secara riil makin jauh, karena diganti oleh perangkat. Manusia dapat menjadi semakin terisolasi dari diri dan
lingkungannya sendiri.29
Ada beberapa aspek dalam telepresence, relasi antar-tubuh dalam dunia maya: pertama, hilangnya
cengkraman optimal terhadap dunia. Kehilangan kondisi optimum untuk berinteraksi dengan dunia: kehilangan
penguasaan menubuh. Karena itu cengkraman yang mungkin adalah sejauh yang dimungkinkan oleh teknologi.
23Eni Maryani, Media dan Perubahan Sosial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 45. 24Rulli Nasrullah, Op. Cit., Media Sosial, 184. 25Riliana Oktavianti, “Makna Menumbuh dalam Dunia Maya,” dalam Jurnal Filsafat Driyakara, Tahun
XXXIV, No. 3, (2013), 55-66. 26Yohanes Wahyu Prasetyo, Op. Cit., Jurnal Filsafat Driyakara, 50. 27Yohanes Sevi Dehut, Op. Cit., Masyarakat Digital, Jurnal Filsafat Driyakara, 71. 28Dunia virtual telah lama menyediakan ruang bagi terbentuknya identitas kolektif. Pengguna internet dan
khususnya pengguna media sosial, dengan mudahnya ‘menyerahkan’ identitas personal mereka. Persoalan identitas
ini mengkhawatirkan karena identitas adalah hal yang penting dalam kontrol sosial. Beberapa akademia menyebut
internet sebagai ruang dengan identitas kolektif dan karenanya mereduksi keunikan individu. Beberapa lainnya
menegaskan internet sebagai ruang dimana identitas individu dapat lebih tereksplorasi dan teraplikasi. Dua
pemahaman berbeda ini memperlihatkan bahwa dunia digital, indentitas personal dapat dikonstruksi sedemikian
rupa. Bahkan, kita dapat memilih identitas untuk tidak beridentitas. (Lih. Dinita Andriani Putri, “(Setengah) Berlari:
Manusia di Tengah Gumparan Digital,” dalam makalah seminar ‘Dies Natalis SFT Driyakara ke-49; Jakarta, 21
April 2018, 3). 29Riliana Oktavianti, Makna Menubuh dalam Dunia Maya, Op. Cit., 65.
27
Kedua, kehilangan konteks dan suasana hati (mood). Dalam dunia maya, suasana hati bisa disembunyikan.
Karena itu, dalam kehadiran jarak jauh, manusia kehilangan perasaan berada dalam dunia yang sama dengan orang
lain.30
Ketiga, kehilangan keterlibatan manusia akan situasi. Keterbatasan telepresence yang mendasar dalam hal
relasi antar-manusia adalah menjadikannya sekedar relasi manusia dengan objek. Manusia tidak hadir secara penuh
dalam bentuk perangkat teknologi, baik real-time dan real-place maupun fisik manusia.
Keempat, kehilangan rasa percaya. Rasa percaya hilang karena orang tidak dapat mengembangkan rasa saling
percaya dan hanya menatap satu sama lain melalui layar komputer dan smatphone. Oleh karena itu, ada hubungan
erat antara kepecayaan dan kehadiran fisik. Rasa percaya membutuhkan rasa aman, gembira dan rasa terlindungi.31
Dalam membangun komunikasi digital yang ideal, ada beberapa hal yang perlu harus diperhatikan: pertama,
dalam komunikasi yang bersifat virtual perlu dibentuk kelompok khusus yang mempunyai otoritas menyeleksi
informasi yang tersebar luas.
Kedua, disusun undang-undang khusus yang dapat digunakan untuk mengatur atau menata ruang digital.
Menyusun etika komunikasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman setiap orang ketika berada di ruang digital.
Harapannya pengirim pesan memperlakukan penerima pesan seperti ia ini diperlakukan. Dengan demikian, perlu
diperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan moral.
Ketiga, membangun semangat bela rasa setiap pengguna dengan tulus. Dalam komunikasi jarak jauh, bela
rasa dapat diaktualisasikan, dengan membayangkan wajah-wajah konkret, bukan sekedar pesan-pesan anonim. Hal
ini penting untuk mengurangi alienasi dan membangun komunikasi digital lebih efektif dan manusiawi.
Keempat, pendidikan menjadi kunci untuk membangun kematangan masyarakat dalam menggunakan media
sosial. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya di sekolah formal melainkan juga di rumah melalui keteladanan orang
tua. Pemerintah pun harus berpartisipasi, tidak hanya meminta masyarakat bijaksana menggunakan internet atau
mewaspadai hoaks tanpa mengendalikan persaingan harga internet yang masif di antara operator telekomunikasi
seluler, khususnya untuk mengakses media sosial.32
Kehadiran individu melalui dunia digital telepresence, tidak bisa disamakan dengan inkarnasi: kehadiran
nyata Allah untuk menyelamatkan manusia. Di mana, telepresence memiliki dampak positif juga negatif, sedangkan
inkarnasi lebih bersifat sakramental. Telepresence hadir hanya dalam layar kaca, atau melalui perangkat teknologi,
sedangkan inkarnasi lebih dalam bentuk tubuh manusia, yang menyapa dan tinggal bersama manusia secara nyata, di
mana-mana dari kekal sampai kekal.
1.3.2 Kebutuhan akan Inkarnasi
Kebutuhan akan inkarnasi menjadi kerinduan manusia beriman. Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14),
mestinya tinggal dan bertahta di hati manusia. Pengetahuan dan iman akan Allah yang berinkarnasi menjadi manusia
harus diketahui oleh umat beriman, dan dihayati dalam kehidupan sehari hari. Bahwa, zaman dahulu Allah
mengkomunikasikan diri-Nya melalui para nabi. Namun, saat ini Ia datang ke dunia melalui Putera-Nya.
Komunikasi diri Allah melalui para nabi masih menyisakan kerinduan dalam diri manusia. Karena manusia
merindukan sesuatu yang imanen dari Allah, Allah hadir dalam realitas manusia melalui Yesus Kristus. Demikian
30Teknologi Digital melahirkan zaman yang kiranya cukup tepat dinamakan “Zaman Rasa Perasaan.” Betapa
pun rasional promosi tentang jejaring sosial daring – keterhubungan – keterbukaan – saling berbagi – solidaritas –
kata-kata ini mewakili hasrat (kerinduan dan harapan) terdalam manusia untuk diakuidan diterima secara rasional.
(lihat, Karlina Supelli, “Tunggang Langgang dalam Dunia Hidbrida,” makalah seminar ‘Dies Natalis STFT
Driyakara ke 49, Jakarta, 21 April 2018, 2). 31Yohanes Wahyu Prasetyo, Op. Cit., 52. 32Bagimanapun, internet sama seperti teknologi lain, selalu memiliki dua sisi, yaitu mendatangkan manfaat
atau justru menjerumuskan manusia. Karena itu, masyarakat perlu dipersiapkan menghadapi pemanfaatan internet
yang semakin massif ke depan. Jika tidak, bukan hanya masyarakat yang akan mengalami sakit mental, melainkan
bangsa pun dapat “sakit” atau daoat terpecah belas akibat internet dan media sosial. (lihat, Deonisia Arlinta dan M.
Zaid Waahyudi, “Media sosial Mengubah Otak dan Jiwa, Kompas 3 Juni 2018.
28
pula dalam relasi dan interaksi yang dibangun dalam masyarakat digital. Pertemuan yang bersifat maya atau virtual
pada dasarnya kurang memuaskan. Oleh karena itu, manusia membutuhkan kehadiran langsung dari sesamanya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan kehadiran fisik (faktual) dalam ruang dan waktu.
Selain itu, manusia memiliki kerinduan akan Allah yang secara faktual hadir dalam realitas manusia.33
Kebutuhan terhadap inkarnasi ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya, yakni tentang
bagaimana Allah mengasihi manusia hingga Ia mengaruniakan Anak-Nya untuk keselamatan bangsa manusia dari
perbudakan dosa, yang membinasakan.
2. Cinta Kasih Allah (Inkarnasi)
Istilah inkarnasi menegaskan pentingnya arti kehadiran faktual dalam ruang dan waktu.34 Allah yang
mengkomunikasikan Diri sungguh masuk dalam dimensi manusia, dalam ruang dan waktu. Komunikasi Diri Allah
tidak hanya dengan Sabda dan pengantaraan para nabi. Ia sendiri hadir dalam dan melalui Yesus Putera-Nya (Yoh.
1:4). Inkarnasi memperlihatkan sikap penuh pengertian Allah yang adalah Kasih.35
Cinta Allah lebih agung dari segala cinta yang lainnya. Cinta Tuhan kepada bangsa Israel jauh lebih dalam
dibandingkan dengan cinta seorang bapak kepada puteranya (bdk. Hos. 11:1). Cinta itu lebih besar daripada cinta
seorang ibu kepada anak-anaknya (bdk. Yes. 49:14-15). Allah mencintai bangsa-Nya lebih dari seorang pengantin
pria mencintai pengantin wanita (bdk. Yes. 62:4-5). Cinta itu malahan akan mengalahkan ketidaksetiaan yang paling
buruk (bdk. Yeh. 16; Hos. 11). Ia akan berlangkah sekian jauh, sampai Ia menyerahkan juga yang paling dicintai-
Nya: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal (Yoh.
3:16). Oleh karena jatuhnya manusia dalam jurang dosa dan menjadi binasa, maka Allah harus menjadi manusia
untuk menghasilkan re-kreasi, penciptaan kembali bangsa manusia:
“ketika menjelma menjadi manusia, Ia merekapitulasi di dalam diri-Nya sejarah bangsa manusia yang
panjang itu, sambil merangkum dan menyelamatkan kita supaya kita dapat menerima kembali dalam
Kritus Yesus apa yang telah kita kehilangan dalam Adam, yaitu gambar dan rupa Allah.”36
Cinta Allah itu juga “abadi” (Yes. 5:8): “Biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih
setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu” (Yes. 5:10). “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu
aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).
Allah mencintai manusia secara penuh dan tanpa syarat. “Karena dalam cinta-Nya yang tidak bersyarat Allah
menurunkan kepada kita Injil Kehidupan, dan oleh Injil itu juga kita mengalami perubahan dan diselamatkan. Kita
ditebus oleh “Sang Pemimpin kepada hidup” (Kis. 3:15) berkat darah-Nya yang berharga (1Kor6:20). Dalam
dimensi inkarnatoris, Gereja dihimbau untuk menunjukkan reksa penuh perhatian terhadap sesama. “Sebagai murid
Yesus, kita dipanggil untuk menjadi sesama bagi tiap orang (bdk. Luk. 10:29) dan menunjukkan perhatian istimewa
kepada mereka yang paling miskin, tersendiri dan berkekurangan. Menolong mereka yang haus, lapar, pendatang,
telanjang, sakit dan yang dipenjarakan.”37
2.1 Gereja yang Menyadari Media Sosial sebagai Inkarnasi
Kehadiran media sosial dapat diyakini sebagai inkarnasi, walaupun tidak penuh dan utuh. Dilihat sebagai
inkarnasi karena “pada dirinya” tidak buruk dan netral, bahkan ada untuk menolong manusia. Inkarnasi media sosial
tidak penuh karena bersifat telepresence,38 masih belum bisa menghadirkan secara penuh atau terbatas pada
perangkat elektronik.
33Yohanes Wahyu Prasetyo, Op.Cit., 53. 34Yohanes Sevi Dehut, Op. Cit., 76. 35Ibid., 36Ireneus dari Lyon, Melawan Bidaah, V, 14, 2; bdk. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi
Keselamatan, (Yogyakarta: kanisius, 2003), 52. 37Yohanes Paulus II, Ensiklik “Evangeli Vitae”, 25 Maret 1995, 139. 38Yohanes Wahyu Prasetyo, Op. Cit., 50.
29
Media sosial yang memiliki keterbatasan tidak dapat disamakan dengan inkarnasi “Allah yang menjadi
manusia.” Dalam pemikiran inkarnatoris media sosial, Gereja menggunakan media sosial sebagai “sarana”
penyelamatan manusia. Media sosial yang memiliki keterbatasan dalam perangkat, memiliki fungsi besar dalam
Gereja untuk mewartakan Injil.”39
2.2 Satu Keyakinan Tunggal: Gereja Hadir di Dunia untuk Menyelamatkan Dunia
Tugas utama Gereja adalah menyelamatkan dunia. Dalam usaha menyelamatkan dunia, dibutuhkan
manajemen pastoral untuk menata paroki dalam penggembalaan. Reksa pastoral ini butuh komunikasi. Dialog dan
konsultasi dalam membangun relasi dengan pastor dan umatnya sebagai umat Allah amatlah penting, bukan hanya
hidup rohani, melainkan juga jasmani, untuk menata dunia menjadi sakral.40
Dunia profan yang makin pesat dengan sekularisasi, menuntut Gereja untuk terus merefleksikan diri, sambil
memperbarui strategi dan mengevaluasi arah gerak pendampingan dan pelayanan. Dalam kehidupan pastoral,
pewartaan Sabda Allah, pelayanan pastoral, hidup sebagai satu komunitas beriman atau manajemen pastoral Paroki
wajib dievaluasi dan diketahui oleh pimpinan Gereja setempat, paling kurang imam dan Dewan Pastoral Paroki
(DPP).41
Gereja wajib mengidentifikasi isu-isu popuper, terlebih mengetahui perubahan atau tanda-tanda zaman.
Gereja masuk dan mengenal masalah-masalah yang dihadapi oleh umat dan bersama mereka berjalan untuk
mengatasinya.42 Setidaknya, pastor simpatik lewat doa-doa, peneguhan-peneguhan rohani agar umat mampu
bertahan hidup. Pastor dituntut untuk turun menjumpai dan berjalan bersama umat. Komunitas gerejawi menjadi
wujud nyata dari kehendak untuk berjalan bersama, menemukan Guru Kehidupan Sejati, Yesus Kristus, dalam suka
duka bersama.43
2.2.1 Gereja dan Dunia Milenial
Gereja mesti hadir dalam posisi yang tepat, sekaligus memposisikan diri secara tegas, bahwa Gereja ada di
dunia bukan untuk teralienasi atau dialienasi oleh dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Karena itu, manusia
digital yang hanya sekedar bertujuan ekonomis dan teknologis tidak cukup, karena manusia kehilangan dimensi
kekekalan.44 Gereja diharapkan untuk mengubah ketimpangan dan penyimpangan yang terjadi hanya demi
keuntungan ekonomis dan kemajuan teknologis tanpa menghiraukan kehidupan manusia.
Gereja adalah sakramen bagi dunia. Gereja hadir untuk menyelamatkan dunia. Gereja yang terdiri dari
anggota-anggota mesti membangun communio sejati, yang selalu berkomunikasi untuk membentuk unio, suatu
kesatuan hidup umat beriman Kristiani.45
2.2.2 Gereja Ada untuk Dunia
Gereja mesti menyadari bahwa manusia bukanlah atom yang hilang di alam semesta tanpa tujuan,46 tetapi ia
adalah ciptaan Allah, yang dianugerahi jiwa abadi dan yang selalu dicintai-Nya.47 Allah sungguh menjamin
39Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Op. Cit., 64-65. 40Charles E. Zech, Introduction, dalam The Parish Management Handbook, (Unites Stated: Twenty-Third
Publications, 2003), 1-6 41 William L. Pickett, A Concise quide to Pastoral Planning, (United States of America, Ave Maria Press,
2007), 100. 42Ibid., 104. 43A. Eddy Kristiyanto, menjadi Gereja yang Berjalan Bersama Papua, Op. Cit., xi. 44Benediktus XVI, Ensiklik “Caritas in Veritate”, 29 Juni 2009, 27. 45Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 17. 46Bdk. Benediktus XVI, Homili pada Misa, Islinger Feld, Regensburg, 2 September 2006. 47Benediktus XVI, Ensiklik “Caritas in Veritate, Op. Cit., 35.
30
perkembangan hidup manusia. Dengan demikian, Allah tidak pernah “alpa” untuk menuntun manusia, sekalipun
manusia berbalik dari-Nya. Dosa dan kesalahan manusia tidak pernah membatalkan cinta Allah kepada ciptaan-Nya.
Sebagaimana Rasul Paulus mengatakan, “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-
limpah” (Rm. 5:20).
Gereja yang diperhadapkan pada kenyataan bahwa kecanggihan berbagai alat teknologi digital dengan
internet, sedang berkembang pesat dalam dua dekade terakhir.48 Perkembangan ini pun membuat manusia tidak lagi
memiliki waktu hening. Akibatnya, manusia hidup di tengah-tengah kedangkalan karena ledakan informasi yang
tidak disertai dengan kemampuan untuk merefleksikannya. Padahal refleksi ini melahirkan manusia untuk menjadi
bebas dan rileks, karena hanya dengan kebebasan manusia menanggapi pemberian diri Allah dalam sejarah
keselamatan.49 Sejarah perkembangan dunia terhubung dengan sejarah penciptaan dalam sejarah keselamatan yang
sedang dikerjakan Allah hingga hari ini. Jadi, antara kenyataan dunia dan karya Allah tak terpisahkan, bahwa
semuanya terjadi dalam pantauan dan rencana Allah.
Gereja berpartisipasi untuk memperkenalkan rencana Allah bagi dunia. Rencana Allah bagi dunia adalah
mencintai dan menyelamatkan dunia. Di mana Allah menciptakan karena mencintai. Allah menciptakan segala
sesuatu dalam diri Yesus dan Yesus melaksanakan karya keselamatan Allah secara penuh.50 Karena itu, tentunya
Allah tidak menciptakan dunia jika hendak melepaskan dan membinasakan dari hadapan-Nya. Kasih Allah akan
dunia inilah yang menjadi pewartaan, sekaligus kesaksian utama Gereja di dunia.
2.2.3 Pertobatan Gereja dan Pembebasan Dunia
Pertobatan Gereja yang dimaksud adalah pembaruan Gereja, ecclesia semper reformanda. Gereja yang terus
memperbarui dirinya menuju kesempurnaan abadi. Seruan ini seharusnya selalu direfleksikan oleh seluruh anggota
Gereja. Komunitas Basis Gerejani (KBG) menjadi “jalan menuju pemerdekaan” yang menyoroti pengalaman-
pengalaman kunci dan saling mensharingkan dalam kelompok basis.51
Melalui semangat Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja membuka diri terhadap dunia dan Gereja
berkomitmen untuk hidup berdampingan dengan dunia. “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-
orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (Gaudium et Spes, Art. 1).52
2.2.4 Gereja Memimpin Dunia
48Bonefasius Melkyor Pando, Menyingkap “Kenyataan Dunia Maya”, dalam Jurnal Filsafat Driyakara, th.
XXXIV N0. 3/2013, (Yogyakarta: STF Driyakara, 2103), 3. 49H. Angga Indraswara, Bertolaklah ke Tempat yang Dalam, dalam Jurnal Filsafat Driyakara, ibid., 29. 50Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta, (Malang: Traktat STFT Widya Sasana Malang, 2006), 6. 51Victoria Narisco-Apuan, Pendahuluan, dalam Anrique P. Batangan, dkk., Komunitas Basis Gerejani,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), 12. 52Konstitusi Pastoral tentang “Gereja di Dunia Dewasa Ini” terdiri dari dua bagian, yang merupakan satu
kesatuan. Konstitusi ini disebut “pastoral” karena bermaksud menguraikan hubungan Gereja dengan dunia dan umat
manusia zaman sekarang berdasarkan asaas-asas ajaran. Bagian pertama tidak terlepas dari maksud pastoral, seperti
bagian kedua pun tidak terlepas dari maksud mengajar. Bagian pertama, Gereja memaparkan ajarannya tentang
manusia, tentang dunia yang dialaminya dan tentang hubungan keduanya. Dalam bagian kedua ditelaah secara lebih
cermat pelbagai bagian segi kehidupan serta masyarakat manusia zaman sekarang: khususnya disoroti soal-soal dan
masalah-masalah yang dewasa inii tampak lebih mendesak. Dalam bagian kedua, bahan ulasan lebih berpedaman
pada kaidah-kaidah ajaran, bukan hanya mencantumkan unsur-unsur yang serba tetap, melainkan juga menyajikan
hal-hal yang silih berganti. Maka, hendaknya konstitusi ini ditafsirkan menurut kaidah-kaidah umumpenafsiran
teologis; khususnya dalam bagian ekdua hendaknya diperhitungkan keadaan-keadaan yang dapat berubah dan pada
hakekatnya tidak terpisahkan dari pokok-pokok yang diuraikan. Diambil dari catatan kaki tentang Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Obor, 2012), 521.
31
Gereja terus menghendaki untuk membarui dunia sesuai kehendak Allah, yakni mengikuti misi kehadiran
Kristus, ialah menyelamatkan dunia. Bercermin pada Yesus Kristus sebagai pemimpin, yang membawa dunia
kepada Allah sang Bapa-Nya, Gereja pun meneladani-Nya dengan membawa dunia kepada Pencipta, bukan
teralienasi, bahkan disesatkan oleh media.53 Gereja hadir untuk menerangi dan menggarami dunia, sesuai amanat
Yesus (Mat. 5:13-16).
Gereja menjadi terang berarti harus bercermin pada Yesus sang terang (bdk. Yoh. 1:5,7-9; 3:19). Yesus sang
terang itu menghalau kegelapan dunia, dan memimpin manusia kepada terang. Pemberitahuan Yesus: “Terang telah
datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan
mereka jahat” (Yoh. 3:19), hendak memperlihatkan terang itu berkaitan dengan kudus dan suci, sedangkan
kegelapan itu lebih mengarah pada kejahatan dan dosa. Karena itu, Yesus datang ke dunia untuk memimpin manusia
keluar dari kuasa dosa dan kejahatan untuk mengembalikan manusia kepada kekudusan.
Selain itu, Gereja menjadi garam berarti, Gereja hadir secara lain: memberi aroma, rasa yang lain dari dunia.
“Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tiada lagi gunanya selain
dibuang dan diinjak orang (Mat. 5:13). Gereja semesta yang sedang mengembang misi Allah, yakni mendirikan
Kerajaan Allah, Gereja diwajibkan menghadirkan aroma Kerajaan Allah itu di tengah dunia.
Gereja memimpin dunia untuk membalikkan arah kepada Kerajaan Allah. “Kerajaan Allah sudah ada.
Kerajaan Allah itu sudah mendekat dalam Sabda yang menjadi manusia, telah diumumkan dalam seluruh Injil dan
telah datang dalam kematian dan kebangkitan Kristus” (KGK. Art. 2816). Kristus sendiri Kerajaan Allah itu.54
Gereja dipanggil untuk memimpin dunia kepada Kerajaan Allah, di mana Allah menjadi Raja dan semua manusia
menjadi warga Kerajaan-Nya.
2.2.5 Gereja Menguduskan Dunia
Gereja dibangun untuk menguduskan dunia. Tugas Gereja menguduskan dunia bersumber dari Kristus
sebagai sang imam agung (Ibr. 5:65-6), yakni kekudusan yang datang dari Allah sumber kekudusan.
Dewasa ini semakin banyak orang meluangkan waktu lebih lama dengan media sosial daripada kegiatan
tunggal lain mana pun, kecuali saat tidur. Media telah menjadi bagian dari susunan hidup sehari-hari. Teknologi
komunikasi membawa arus berita yang tak berkesudahan di dalam hidup setiap manusia. Teknologi digital
sesungguhnya membuat pergeseran yang hakiki terhadap perilaku-perilaku komunikasi, juga terhadap ragam
hubungan kemanusiaan. Terlebih kaum muda merasa bahwa dunia digital merupakan rumah sendiri.55
Era digital ini pun mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan iman umat. Dapat dikatakan segalanya
disekularisasi atau diprofanisasi. Pandangan manusia hanya mengarah untuk memenuhi kebutuhan dunia dan
teralienasi dalam hiburan dunia yang makin hingar-bingar. Manusia menjadi Homo Consumens, yakni nafsu lapar
dan haus yang tidak pernah terpuaskan oleh produk komsumsi yang ada. Keinginan yang tak terpuaskan ini
melahirkan mental ingin membeli dan memiliki.56
Dalam situasi dunia inilah Gereja sedang berziarah. Gereja berziarah bersama dan di dalam dunia menuju
dunia baru, Yerusalem baru (Why. 3:12). Untuk mencapai Yerusalem baru, Gereja selalu berjuang untuk
menguduskan dunia. Globalisasi memang memiliki pengaruh yang amat besar bagi pengudusan dunia, terkait
anjuran pastoral dan ajaran Gereja tentang sakramen pertobatan.57 Tantangan globalisasi bukan mengecilkan atau
memadamkan semangat Gereja untuk menguduskan dunia, sebab Gereja adalah sakramen dan ada untuk
menguduskan dunia. Karena itu Gereja harus tetap eksis untuk menjalankan sakramen rekonsiliasi sebagai tanda
53Sri Pannyavaro Mahathera, Media Memuliakan Kehidupan, dalam Y.I. Iswarahadi (ed.), Media
memuliakan kehidupan? Sebuah Antologi Komunikasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 19-20. 54Dokumen Katekismus Gereja Katolik, (Flores: Nusa Indah, 2014), 677. 55Laurensius Dihe, Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 65. 56Benny Santoso, Bebas dari Konsumerisme, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006), 43-44. 57Laurensius Dihe, Op. Cit., 74.
32
Allah lebih besar kuasa daripada dosa dan kejahatan. Sekalipun manusia mengambil disposisi yang jauh dari posisi
Allah,58 Allah tetap mencintai umat-Nya. Gereja diharapkan menampakkan cinta Allah ini kepada dunia.
3. Satu Alternatif: Teologi Cinta Kasih Pastoral di Era Milenial
Dunia milenial telah membisukan, bahkan membisingkan manusia dalam hoaks. Kebenaran dimanipulasi dan
hal ini dianggap lumrah, mengatakan dan mencari makna kebenaran bukan menjadi prioritas. Berkembangnya aneka
informasi pun membisingkan manusia dan apa yang benar dan bernilai terlewatkan tanpa dimaknai dalam refleksi.59
Media sosial menyediakan segala yang dicari, baik yang positif maupun yang negatif. Ketersediaan ini
berpotensi membuat manusia milenial cepat puas. Dianggap pengetahuan yang didapatkan di internet adalah
lengkap dan final. Internet yang memberikan kemudahan berpotenesi menghasilkan generasi milenial yang tidak
bakal tahan dalam kesulitan, karena itu mereka berjuang menyederhanakan masalah dan berupaya menghindari
kesukaran. Kemajuan media sosial juga berpotensi mendorong manusia milenial menjalin hubungan yang dangkal.
Menjadi manusia yang aktif di ruang internet, namun pasif di dunia nyata.60
Dalam situasi semacam ini Teologi Cinta Kasih Pastoral mesti digalakkan. Satu sisi internet memberikan
kepuasan dan kemudahan, namun pada sisi lain mengalienasi dan mempersulit manusia menemukan cinta Allah.
Bahkan, ketika internet dipergunakan secara salah, manusia dapat kehilangan cinta kasih Allah. Gereja
menunjukkan Allah yang menjumpai manusia setiap saat, lebih dari dunia digital. Dunia digital sendiri adalah satu
rahmat Allah, satu cara Allah mencintai manusia, berkat tuntunan Roh-Nya (Kej. 2:7).
3.1 Kehadiran Gereja yang Mengasihi Dunia
Gereja telah menerima Injil sebagai sumber kegembiraan dan keselamatan.61 Gereja juga menerima Yesus,
yang diutus oleh Bapa untuk “mewartakan Kabar Baik bagi rakyat miskin” (Luk. 4:18). Gereja menerima-Nya
melalui para Rasul, yang oleh Kristus diutus ke seluruh dunia (bdk. Mrk. 16:15). Gereja diminta untuk mewartakan
Injil setiap hari, sebagaimana dikatakan Rasul Paulus: “Celakalah aku, kalau aku tidak mewartakan Injil!” (1Kor.
9:16). Paus Paulus VI menulis: “Pewartaan Injil ialah rahmat dan panggilan yang khas bagi Gereja, jati dirinya yang
terdalam. Gereja berada untuk mewartakan Injil.”62
Evangelisasi merupakan kegiatan Gereja yang meliputi seluruh eksistensinya. Gereja ikut serta dalam misi
kenabian, imamat dan rajawi Yesus. Mewartakan Yesus berarti mewartakan hidup. Sebab Yesus adalah “Sabda
Hidup” (1Yoh. 1:1). Dalam Dia “nampaklah hidup” (1Yoh.1:2). Dia sendiri “hidup yang kekal yang ada bersama
Bapa dan dinyatakan kepada kita” (1Yoh.1:2).
3.2 Inkarnasi sebagai Satu Bentuk Teologi Konteks Digital
Teologi yang tepat dalam konteks teknologi digital adalah Teologi Inkarnatoris di mana Gereja menunjukkan
keunggulan “kasih Allah” yang tiada bandingnya dengan perkembangan dunia. Rencana Allah melampaui
kemampuan akal manusia (bdk. Yes. 55:8). Rencana Allah yang termulia terjadi dalam peristiwa inkarnasi, Sabda
Allah menjadi manusia (Yoh. 1:14).
Sabda Allah mengambil rupa manusia hendak menunjukkan Allah memasuki dimensi manusia. Allah masuk
dalam sejarah peradaban manusia. Allah masuk dalam kurung ruang dan waktu. Allah menjadi manusia berarti Ia
dapat diindrai secara manusiawi, tanpa batas dan tersembunyi. Yesus menunjukkan wajah Allah (Yoh. 14:9-11).
Allah mendatangi dan menyapa secara manusiawi, dan Ia hadir secara sempurna dalam ke-Allah-an dan
kemanusiaan penuh. Yesus sebagai Allah adalah Anak Allah (Mat. 8:29; 14:33; 16:16), sedangkan Yesus sebagai
manusia berarti Ia mengalami hidup seperti semua manusia di dunia dalam dimensi ruang dan waktu, kecuali dalam
58Micael Marsch, Penyebuhan melalui Sakramen, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 85. 59Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Op. Cit., 60-61. 60Nurudin, Perkembangan Teknologi Komunikasi, (Yogyakarta: PT Rajagrafindo Persada), 115. 61Ibid., 127. 62Anjuran Apostolik “Evangeli Nuntiandi, (8 Desember 1975) No. 14, 68.
33
dosa. Bahkan sampai tubuh-Nya mengalami kematian dan kembali mengenakan tubuh kemuliaan dengan
kebangkitan-Nya dari kubur (Why. 1:8).
Allah yang mengambil tubuh manusia, tinggal dan hidup sebagai manusia, tanpa pengantara atau perangkat
tertentu, seperti gadget di zaman ini. Pertemuan atau relasi dalam dunia maya lebih bersifat telepresence, hadir
namun tidak penuh, bahkan dengan menggunakan perangkat yang juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang
paling umum adalah “berkepemilikan” alat teknologi, karena jika “tidak memiliki” tentu relasi jarak jauh tidak akan
terbangun. Setelah memilikinya, signal harus terjangkau dan selanjutnya harus memiliki pulsa dan “ tidak boleh”
terjadi gangguan pada alat digital. Kalaupun semua lengkap, masih mempunyai keterbatasan, yakni kontak dalam
dunia maya tidak utuh, hadir namun pada saat yang sama tidak hadir, telepresence, namun teleabsence.63 Artinya,
dapat melihat tubuh dan mendengar suara namun tubuh fisiknya tidak berada bersama.
Telepresence masih memiliki jarak dalam membangun relasi dan hanya memberikan kepuasan atau
kesempurnaan semu. Manusia dialienasi dan dialpakan dari realitas dunia yang nyata. Manusia mendapatkan
kepuasan, namun sesungguhnya tidak sejati, bahkan membuat manusia kehilangan jati diri yang memiliki jiwa
kekal. Walaupun demikian, manusia zaman digital lebih menyukai, memilih dan mencintai kehidupan di dunia
maya. Karena itu, untuk menyadarkan manusia milenial di era digital ini, para pewarta Injil mesti memberikan
pewartaan Injil yang tepat. Paling kurang menyadarkan dimensi kerohanian dari manusia, sekaligus memupuknya
hingga kembali bersatu dengan Allah sumber kekudusan. Sehingga alat digital digunakan untuk membantu
menumbuhkan iman dan menjadikan media pewartaan Kerajaan Allah.
Penutup
Interaksi secara manusiawi, dapat dipahami dalam adikodrati sebagai inkarnasi. Interaksi manusia terbangun
karena adanya interelasi timbal balik antara sesama manusia,64 untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan sosial.
Dengan adanya komunitas online maka arus informasi menjadi lebih efisien dan profesional.65 Sedangkan Inkarnasi
mempunyai nilai lebih, ialah komunikasi diri Allah. Allah yang berelasi dengan manusia pada tingkat yang paling
tinggi.66
Orang Kristiani dalam pewartaan mesti mempraktekan relasi secara faktual dan aktual “inkarnasi”. Teknologi
komunikasi memberikan porsi yang tepat, cepat dan memudahkan, namun masih mempunyai jarak dalam ruang dan
waktu, telepresence. Keyakinan pada inkarnasi Allah memberikan pemahaman yang memadai bahwa kehadiran
faktual sekaligus merupakan bentuk komunikasi yang optimal. Itulah cara terbaik yang dipilih Allah untuk
menjumpai manusia.
Sekalipun kasih Allah hendak diungkapkan secara telepresence, tidak akan pernah diungkapkan dan
dipraktekkan secara optimal, sebab inkarnasi menduduki posisi yang paling tinggi dari segala relasi yang tercipta
dalam teknologi informasi. Dalam arti ini, telepresence merupakan satu bentuk partisipasi untuk menyatakan
inkarnasi, atau cinta kasih Allah yang terlaksana bagi dunia.
Dengan cara apa pun, kasih Allah diwartakan hingga ke ujung bumi. Kesaksian tentang Injil di dalam realitas
apa pun, di mana dan kapan pun, baik secara fisik maupun digital mesti dijalankan. Di mana Gereja sebagai satu
lembaga agama harus ikut berpartisipasi memberikan pelayanan alternatif, kreatif dan inovatif sesuai perkembangan
dunia demi mentransiformasi Kerajaan Allah berdasarkan tuntutan perkembangan zaman.67
Kehadiran melalui dunia digital telepresence, tidak bisa disamakan dengan inkarnasi, kehadiran nyata Allah
untuk menyelamatkan manusia. Telepresence memiliki dampak positif dan negatif sedangkan inkarnasi lebih
bersifat sakramental. Selain itu, telepresence hadir hanya dalam layar kaca, atau melalui perangkat teknologi,
sedangkan inkarnasi lebih dalam bentuk tubuh manusia, yang menyapa dan tinggal bersama manusia secara nyata.
63Riliana Oktavianti, Op. Cit., 61. 64J. Hasbullah, Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, (Jakarta: MR-United Press,
2006), 9. 65Shiefti Dyah Alyusi, Media Sosial, Op. Cit., 7. 66Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum, art. 4, (Jakarta: Obor, 2004). 67Komisi Kateketik KWI, Op. Cit, 158-159.
34
DAFTAR PUSTAKA
Alyusi, Shiefti Dyah. Media sosial Interaksi, Indentitas dan Modal Sosial. Prenadamedia, Jakarta, 2018.
Anjuran Apostolik “Evangeli Nuntiandi, 8 Desember 1975.
Apuan, Victoria Narisco, Pendahuluan, dalam Anrique P. Batangan, dkk., Komunitas Basis Gerejani. Kanisius,
Yogyakarta, 2006.
Arlinta, Deonisia dan M. Zaid Waahyudi, “Media sosial Mengubah Otak dan Jiwa,” Kompas 3 Juni 2018
Bell, D., An Introduction to Cubercultures. Routledge, New York, 2001.
Benediktus XVI. Ensiklik “Caritas in Veritate”, 29 Juni 2009.
Benediktus XVI, Homili pada Misa, Islinger Feld, Regensburg, 2 September 2006.
Browing, W. F. Kamus Alkitab. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007.
Cahyadi, Krispurwana. Pastoral Gereja, Kanisius, Yogyakarta, 2013.
Dihe, Laurensius. Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2015.
Febryanto, Tomi. “Kesenjangan Digital dan Literasi Media Baru,” dalam Literasi Media dan Kearifan Lokal, Mata
Padi Pressindo, Salatiga, 2012.
Gates, Bill. The Road Ahead, Penguin, New York, 1996.
Hastjarjo, Sri. “Literasi Media Baru Berbasis Lokal Wisdom Jawa,” dalam Literasi Media dan Kearifan Lokal, Mata
Padi Pressindo, Salatiga, 2012.
Hernandez, Roger E., Media dan Remaja, terj. Teens and the media, Mason Crest Publishers, United Stated, 2005.
Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Flores, 2014.
Kleden, Frano. “Etika Komunikasi Digital: Di Era Paskah Kebenaran,” dalam Jurnal Filsafat Driyakara, 2018.
Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Kanisius, Yogyakata, 2014.
Leahy, Louis, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982.
Loyola, Ignasius, Latihan Rohani, Terj. J. Darminta, Kanisius, Yogyakarta, 2019.
Mahathera, Sri Pannyavaro, Media Memuliakan Kehidupan, dalam Y.I. Iswarahadi (ed.), Media memuliakan
kehidupan? Sebuah Antologi Komunikasi, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Maria, Petrus Handoko, “Dicipta untuk Dicinta,” Traktat STFT Widya Sasana Malang, Malang, 2006.
Marsch, Micael, Penyebuhan melalui Sakramen, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Maryani, Eni, Media dan Perubahan Sosial, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011.
Nasrullah, Rulli, Media Sosial, Perspektif komunikasi, budaya dan sosioteknologi, Simbiosa Rekaktama Media,
Bandung, 2017.
Nurudin, Perkembangan Teknologi Komunikasi, Yogyakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Oktavianti, Riliana. “Makna Menumbuh dalam Dunia Maya,” dalam Jurnal Filsafat Driyakara, 2013.
O’Donnell, Kevin. Postmodernisme, Kanisius,Yogyakarta, 2018.
Pando, Bonefasius Melkyor, Menyingkap “Kenyataan Dunia Maya,” dalam Jurnal Filsafat, STF Driyakara, Jakarta,
2103
Pickett, William L. A Concise quide to Pastoral Planning, Ave Maria Press, United States of America, 2007.
Prastyo, Yohanes Wahyu, “Hadir dan Tinggal dalam Realitas Manusia: Mengantisipasi Telepresence dan Belajar
dari Inkarnasi,” dalam Jurnal Filsafat, 2018.
35
Putri, Dinita Andriani, “Setengah Berlari: Manusia di Tengah Gumparan Digital, “makalah seminar ‘Dies Natalis
Jakarta, SFT Driyakara, 2018
Santoso, Benny, Bebas dari Konsumerisme, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006
Supelli, Karlina, Tunggang Langgang dalam Dunia Hidbrida, makalah seminar ‘Jakarta, STFT Driyakara, 2018
Yohanes Paulus II, Ensiklik “Evangeli Vitae”, 25 Maret 1995
Zech, Charles E., Introduction, dalam The Parish Management Handbook, Twenty-Third Publications, Unites
Stated of America, 2003
36
TRANSENDENSI PERSON MENURUT KAROL WOJTYŁA1
Antonius Alex Lesomar
Metaphysics and Philosophical Anthropology, Philosophy, The John Paul II Catholic
University of Lublin
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas tentang konsep transendensi menurut Karol Wojtyła. Transendensi ini lebih
dikaitkan dengan tindakan dari kehendak melalui self-determination dengan menampilkan struktur
self-governance dan self-possession. Transendensi menunjukkan bahwa manusia bukanlah sebatas
suatu spesies di antara spesies yang lain atau suatu objek di antara objek yang lain. Akan tetapi,
manusia adalah person dengan kodrat rasional; ia unik dan tak tergantikan. Ia juga tampil sebagai
subjek sekaligus objek dari tindakannya. Ia menjadi subjek dari tindakan sekaligus objek yang
dibentuk oleh tindakannya sendiri. Transendensi person terwujud juga dalam integrasi dengan aspek
psikosomatik dan lebih tampak riil dalam partisipasi atau co-acting.
Kata Kunci: person, transendensi, tindakan, self-determination, self-governance, self-possession, self-
fulfillment, nilai, integrasi, partisipasi, komunitas.
CARA MEMAHAMI MANUSIA
Karol Wojtyła, menjelaskan dua cara untuk memahami manusia yaitu dari perspektif kosmologis dan
personalistik. Dari sudut pandang kosmologi manusia dipahami sebagai suatu spesies atau satu jenis natural being
yang berbeda dari natural being lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Kekhususan yang membuat manusia berbeda
dari natural being lainnya adalah sifat dasar rasionalitasnya atau rational nature. Pemahaman kosmologis ini
dijumpai dalam gagasan Aristoteles tentang manusia, homo est animal rationale. Wojtyła tidak menolak pandangan
Aristoteles ini. Akan tetapi, ia mengembangkan lebih jauh pandangan ini untuk menemukan dan menjelaskan
innerness manusia. Menurutnya, jika manusia hanya dilihat sebagai animal rationale, maka manusia hanya
dipandang sebagai salah satu objek di antara objek-objek lain yang ada dalam dunia. Ia adalah satu spesies di antara
spesies lain atau individu dari suatu spesies, sehingga manusia pun dapat direduksi. Wojtyła tidak hanya ingin
menunjukkan sisi objektivitas manusia ini dalam sistem filsafatnya, tetapi ia juga ingin menunjukkan sisi
subjektivitas manusia.2
Wojtyła memperlihatkan pengembangan pemikirannya dengan memahami manusia sebagai person.
Pemahaman inilah yang menjadi titik tolak untuk menjelaskan keseluruhan manusia yang kompleks. Ia pun
mengikuti dan mengembangkan gagasan person dari Boethius dan aliran Thomistik setelahnya. Bagi Boethius,
persona est rationalis naturae individua substantia (substansi individual dengan sifat dasar/kodrat rasional).3
Tentunya, definisi ini berdasarkan sebuah pemahaman metafisika, di mana nature dipahami kurang lebih ekuivalen
artinya dengan esensi yang menjadi basis untuk aktualisasi dari sesuatu.4 Nature dalam arti ini diintegrasikan di
1 Dalam tulisan ini saya konsisten menggunakan kata “person” yang mempunyai arti yang sama dengan
“pribadi” atau osoba dalam bahasa polandia. 2 Lih. Karol Wojtyła, “Subjectivity and Irreducible in Human Being”, in Person and Community: Selected
Essays, Trans.by Theresa Sandok, OSM (New York: Peter Lang, 1993), 211. 3 Karol Wojtyła, “The Human Person and Natural Law”, in Person and Community: Selected Essays,
Trans.by Theresa Sandok, OSM (New York: Peter Lang, 1993), 182; Karol Wojtyła, Considerations on The Essence
of Man, Trans. by John Grondelski (Lublin: PTTA, 2016), 157. 4 Karol Wojtyła, “The Human Person and Natural Law”, 182.
37
dalam person. Person memiliki kesesuaian dengan nature atau boleh dikatakan nature menetapkan person di tempat
yang pantas di tengah dunia dalam keseluruhan susunan objektif dunia.5 Tentunya, konsep ini berbeda dengan
konsep fenomenologi, yang mana nature dipahami semata-mata sebagai subjek dari aktualisasi naluriah atau subjek
dari apa yang terjadi.6 Para fenomenologis lebih menyempitkan arti nature. Di sini, nature adalah sumber dari
semua aktualisasi dengan pegecualian pada person. Person adalah subjek dari sebuah jenis aktualisasi partikular atau
secara konkret sebagai sumber dari tindakan atau perbuatan. Person dalam arti ini, terkesan, berlawanan dengan
nature.7 Wojtyla merekonsiliasi kedua pemahaman ini. Menurut Wojtyła person berdiri di atas atau berdasar pada
nature dan ia pun menjadi subjek dari tindakannya serta tampak dalam tindakan. Bahkan person tampak pertama-
tama dalam momen self-determination, di mana ia memilih dan menentukan tindakannya. Karena itu, setiap person
memiliki kodrat rasional yang sama tetapi masing-masing person sangat unik dan memiliki kekhasan dalam
tindakan-tindakannya. Dengan demikian, menurut Wojtyła kekhususan dari manusia sebagai person adalah
tindakannya yang sadar yang berdasar pada kodrat rasional. Baginya, hanya melalui analisa tindakan kita dapat
sampai kepada person sebagai sumbernya, karena tindakan selalu membutuhkan adanya sumber atau subjeknya,
yaitu person; operari sequitur esse8 (tindakan membutuhkan atau mensyaratkan adanya eksistensi).
Selanjutnya, melalui tindakan kita dapat menemukan struktur internal dari person yaitu self-governance dan
self-possession yang dimampukan oleh kehendak untuk menuju pada kebenaran akan yang baik (the truth of good),
yang diinformasikan oleh intelek kepada kehendak. Dengan tindakan yang tertuju kepada kebaikan, person
menentukan diri sekaligus memenuhi dirinya. Pemenuhan diri (self-fulfillment) dari seorang person terjadi ketika ia
memerintah (govern) dirinya untuk menuju kepada kebaikan (nilai yang baik), sebaliknya, ia tidak akan mencapai
self-fulfillment ketika ia memutuskan untuk mengabaikan yang baik dan memilih yang jahat. Menurut Wojtyła, di
sini, peran suara hati penting untuk mengokohkan kebenaran yang telah disampaikan oleh intelek. Dengan kata lain,
suara hati memperlihatkan ketergantungan tindakan kepada kebenaran akan kebaikan. Dengan demikian, peran
suara hati ini menekankan aspek moralitas dari tindakan manusia. Suara hati berperan untuk menjustifikasi nilai
moral dari suatu tindakan, berkaitan dengan baik dan jahat yang terkandung dalam tindakan.9 Oleh karena itu,
seorang person mempunyai tanggungjawab atas tindakannya sendiri dan bertanggungjawab pula atas pemenuhan
atau aktualisasi dirinya.
Penjelasan-penjelasan ini mau mengungkapkan bahwa Wojtyła tidak membatasi dirinya pada gagasan
tradisional akan manusia dalam perspektif kosmologis. Ia bergerak lebih dalam untuk memahami manusia sebagai
person dengan strukturnya yang kompleks dan kesatuannya dengan elemen-elemen yang lain yang membentuk
manusia sebagai suatu keseluruhan. Dari penelusuran itu Wojtyła hendak menegaskan bahwa manusia sebagai
person bukanlah sebagai sesuatu (something), seperti dalam pandangan kosmologis, tetapi seseorang (someone)
berdasarkan pandangan personalistik. Pemahaman seperti ini memperlihatkan personalisme Wojtyła yang
merupakan sintesa antara metafisika realistic (philosophy of being) dan fenomenologi (philosophy of consciousness)
yang kemudian membantunnya untuk mengkonstruksi gagasan subjektivitas maupun objektivitas dari person.
TRANSENDENSI PERSON DALAM TINDAKAN
Secara etimologi transendensi (trans-scendere) berarti melintasi (go over) atau melampaui (beyond)
ambang pintu atau batasan. Istilah ini boleh menunjuk pada subjek yang melangkah melewati batasannya menuju
sebuah objek.10 Istilah ini memperlihatkan intensionalitas menuju objek eksternal melibatkan tindakan volitional
5 Ibid. 184-185 6 Ibid.182 7 Ibid. 8 Kata operari dimaksudkan sebagai “aktivitas atau struktur dinamisme secara umum” yang terjadi pada
manusia, akan tetapi dalam konteks person, operari dimengerti secara khusus sebagai tindakan sadar. Hanya person
yang menjadi subjek dari tindakan sadar. 9 Lih. Karol Wojtyła, Acting Person, Trans.by Andrzej Potocki, (Dordrecht: D.Reidel Publishing Company,
1979), 159-160. 10 Ibid., 119.
38
(kehendak). Namun, dalam penjelasan selanjutnya akan diuraikan apa yang dimaksudkan transendensi oleh Wojtyła.
Pemahaman akan transendensi pertama-tama dimulai dengan menganalisa operari (tindakan) dalam
pengalaman manusia. Melalui analisa ini, kita masuk ke dalam pemahaman akan person dalam kaitan dengan aspek
self-determination dengan strukturnyanya yaitu self-governance dan self-possession. Wojtyła memahami bahwa
transendensi adalah buah dari self-determination.11 Self-determination adalah nama lain dari kebebasan, menurut
Wojtyła. Ia memahami self-determination sebagai kebebasan untuk memilih dan memutuskan tindakan dan
pembentukan diri melalui tindakan tersebut. Operari sebagai tindakan dari “kehendak”, muncul ketika seseorang
memerintah dirinya sendiri untuk bertindak, dan dengan cara demikian ia membentuk dirinya. Struktur personal,
self-governance, yang menunjukkan seseorang memerintah dirinya sendiri secara bersamaan menunjukkan pula
bahwa ia memiliki dirinya, self-possession, sungguh menampakkan transendensi manusia. Transendesi manusia
tampak di saat ia sendiri memerintah atau mengatur dirinya secara bebas untuk bertindak terhadap objek. Dengan
demikian, transendensi nampak dalam kebebasan untuk memilih dan memutuskan tindakan yang tertuju pada objek
eksterior, yang Wojtyła sebut sebagai transendensi horizontal. Menurut Wojtyła, person tidak hanya mengarahkan
tindakananya ke objek ekternal tetapi tindakan itu tertuju pula pada dirinya sendiri yang berdampak pada
pembentukan atau pemenuhan diri. Ini yang Wojtyła sebut sebagai transendensi vertikal. Transendensi ini tampak
dalam moment efikasi atau moment dimana seseorang menjadi actor dari tindakannya sendiri, dan hal ini tidak
ditemukan dalam natural being lainnya. Singkatnya, transendensi person tampak dalam “tindakan kehendak bebas”
sebagai aspek dari person dengan struktur self-governance dan self-possession.
Menurut Wojtyła, melalui analisa tindakan dalam pengalaman, dimana seseorang mengatur dirinya sendiri,
kita menemukan person sebagai efficien cause-nya dan sekaligus menemukan person hadir atau tampak dalam
tindakan tersebut. Seorang person yang baik atau buruk dibentuk dan dimunculkan melalui tindakan. Tindakan
membentuk atau mengkonstruksi person dan menampakannya. Seorang person menjadi baik atau jahat berdasar
pada tindakannya sendiri. Dengan demikian, person menjadi subjek sekaligus objek dari tindakannya. Disini,
Wojtyła mengatakan bahwa person tidak lain adalah nama lain dari transendensi. Akan tetapi, Wojtyła menekankan
point penting bahwa person yang tampak dalam tindakan itu adalah sintesa antara efikasi dan subjektiveness.
Efikasi adalah “momen menjadi actor dari tindakan”.12 Sedangkan, subjektiveness merujuk pada “apa yang terjadi
dalam manusia” (what happen in man) atau apa yang terberikan. Gagasan ini sebagai kontra terhadap Scheler yang
melihat person hanya sebagai kesatuan dari berbagai macam tindakan. Dalam gagasan Wojtyła ada sintesa antara
keaktifan dalam efikasi dan “kepasifan”13 pada apa yang terjadi dalam manusia. Dengan demikian, person tidak
hanya dimengerti sebatas “saya yang hadir dalam tindakan” saja atau sebaliknya person hanya sebatas
“subjektiveness saya yang terberi” atau dalam terminology filsafat tradisional sebagai Suppositum atau dalam
terminology Boethius Individua substantia. Bagi Wojtyła, person adalah subjek dari tindakan sadar dan hadir dalam
setiap tindakan sadar mempunyai dasar pijakan pada saya yang terberi yang disebut Suppositum yang menjadi
subjek dari eksistensi dan semua aktivitas. Jadi person berpijak dan tercakup dalam Suppositum sekaligus hadir
dalam tindakan. Suppositum ini adalah sesuatu yang memiliki kodrat rasional yang menjamin identitas manusia
dalam eksistensi dan semua aktivitasnya termasuk tindakan personal.14 Di sini tampak Wojtyła mengikuti dan
mengembangkan pandangan para Skolastik yang melestarikan pandangan Boethius person est rationalis naturae
individua substantia. Karena itu, menurut Wojtyła, dalam pengalaman manusia kita mengalami dua level
subjektivitas yaitu subjektivitas pada level kesadaran dan subjektivtias pada level metafisika. Pada level kesadaran
11 Ibid. 12 Ibid., 66. 13Kepasifan adalah istilah saya. Istilah ini bukan dimaksudkan bahwa subjektiveness saya memang sama
sekali pasif. Pasif yang dimaksudkan hanya dalam konteks tindakan sadar. Dalam subjektivness saya tetap ada
dinamisme aktivitas-aktivitas di luar dari tindakan sadar, yang Wojtyła sebut dengan istilah aktivasi. 14 Lih. Richard A. Spinello,”The Enduring Relevance of Karol Wojtyła’s Philosophy”, Logos 17:3
(Summer 2014), 21-22.
39
kita mengalami person sebagai subjek dari tindakan-tindakan sadar dan pada level metafisiska kita mengalami “diri
saya sendiri sebagai substansi individual” yang menjadi subjek dari eksitensi dan semua aktivitas.15
TRANSENDENSI PERSON DAN INTEGRASI
Transendensi person dalam tindakan memiliki elemen komplemen yaitu integrasi. Integrasi yang ia
maksudkan pertama-tama adalah integrasi antara person dan tindakan. Pengalaman bahwa “saya sedang bertindak”
mengandung makna bahwa saya secara menyeluruh disatukan dalam tindakan saya. Pengalaman ini
mempertunjukkan transendensi person melalui struktur self-governance dan self- possession tetapi sekaligus
menampakkan integrasi person dan tindakan.16 Person dan tindakan pertama-tema berintegrasi karena tindakan itu
muncul dari self-governance.17 Integrasi person dan tindakan lebih lanjut terjadi pada level soma (tubuh) dan psike.
Di sini integrasi berarti keseluruhan atau kesatuan melalui person dan tindakannya masuk ke lingkup soma dan
psike.
Soma atau tubuh manusia mencakup “aspek dalam” dan “aspek luar” dengan dinamismenya masing-
masing. Dinamisme “aspek dalam” disebut reaktifitas dan dinamisme “aspek luar” disebut gerak. Gerak pada aspek
luar tubuh berdasar pada reaktifitas dalam tubuh. Integrasi terjadi ketika reaktifitas dan gerak ini dilibatkan dalam
tindakan person. Jika reaktifitas dan gerak terjadi tanpa kaitan dengan tindakan person, maka yang ada hanyalah
“apa yang terjadi pada manusia.” Jika reaktifitas dan gerak diintegrasikan dalam tindakan person maka di sini tubuh
manusia dipahami sebagai sarana untuk memanifestasikan tindakan person. Wojtyła menegaskan bahwa tubuh
bukanlah saya, tapi saya memiliki tubuh. Saya sebagai person mempekerjakan tubuh saya dalam tindakan yang
sadar dan bebas.
Jika reaktivitas menjadi sifat dasar dari tubuh maka emosi adalah sifat dasar dari psike. Tubuh mampu
reaktif terhadap stimulus secara spontan dan instinktual serta menghasilkan gerak. Sedangkan psike, bukan dalam
arti metafisika, mempunyai kemampuan untuk merasa. Perasaan mempunyai hubungan erat dengan kesadaran dan
ego atau saya. Misalnya, dalam pengalaman akan tubuh, saya dapat merasakan tubuh saya sebagai tubuhku karena
kaitan dengan kesadaran dan ego. Begitu pula dengan pengalaman-pengalaman lainnya, karena pengalaman akan
tubuh telah menjadi prototipenya. Jika perasaan itu diintegrasikan dengan tindakan person maka perasaan itu dapat
dialami dan direfleksikan. Akan tetapi, jika perasaan itu terjadi tidak dalam kaitan dengan tindakan person yang
sadar maka perasaan itu hanyalah sesuatu yang terjadi pada manusia.
Selain itu, Wojtyła menjelaskan bahwa dalam kaitan dengan tindakan, emosi atau perasaan mempunyai
kemampuan untuk merasakan nilai. Nilai itu kemudian ditransfer kepada kehendak untuk pertimbangan pilihan dan
keputusan. Nilai yang dirasakan ada dalam kerjasama emosi dan kesadaran. Akan tetapi, Wojtyła menjelaskan
bahwa bukan hanya emosi yang mempunyai kaitan dengan nilai tetapi akal budi. Akal budi mempunyai
intensionalitas terhadap nilai sedangkan emosi semata-mata hanya bereaksi terhadap nilai yang dijumpai dalam
objek.18
TRANSENDENSI PERSON DAN PARTISIPASI
Transendensi person tidak hanya terbatas dalam aspek atau momen integrasi tetapi termanifestasi juga
dalam relasi intersubjektif atau relasi I-other dalam komunitas. Dalam komunitas (Communio Personarum), person
mencapai transendensi riil. Wojtyła menekankan bahwa dalam komunitas, dimana terdapat relasi intersubjektivitas,
15 Bdk. Karol Wojtyła, “The Person: Subject and Community” in in Person and Community: Selected
Essays, Trans.by Theresa Sandok, OSM (New York: Peter Lang, 1993), 222-223. 16Karol Wojtyła, Acting Person, 192. 17 Lih. Tomasz Duma, “Personalism in the Lublin School of Philosophy”, Studia Gilsoniana 5:2 (April-Juni
2016), 379. 18Grzegorz Hołub, “The Relation between Consciousness and Emotions in the Thought of Karol Wojtyła”,
The Person and the Challenges, Volume 5 (2015) Number 2, 152.
40
person tidak kehilangan keunggulannya.19 Fakta adanya relasi intersubjektivitas atau relasi social, sesungguhnya,
didasarkan dalam personal subjek atau intrinsik di dalam person. Wojtyła nyatakan sebagai berikut:
This of course is a direct and natural consequence of the fact that man lives “together with other
men” and indeed we may even go so far as to say that he exists together with other men. The mark of
the communal-or social- trait is essentialy imprinted on human existence itself. 20
Dengan demikian, person telah memiliki jaringan relasi dengan orang lain dalam dirinya. Atau dengan kata lain,
relasi dengan orang lain telah memiliki dasar realitas ontologis pada person. Wojtyła katakan sebagai berikut, “their
social and communal nature is rooted in the nature of person and not vice versa.”21
Hubungan sosial atau relasi intersubjektivitas yang didasarkan pada transendensi atau relasi person dan
tindakan dapat diwujudkan melalui partisipasi atau co-acting. Dalam partisipasi Saya yang memerintah atau
mengatur diri saya berdasarkan tindakan kehendak bebas saya untuk bertindak bersama dalam komunitas. Partisipasi
ini adalah bentuk kehidupan social yang dibentuk karena transendensi dan integrasi person dalam tindakan.22
Partisipasi berarti saya mengalami orang lain sebagai person atau orang lain sebagai saya yang lain. Wojtyła
tekankan sebagai berikut, “Another person is a neighbor to me not just because we share like humanity, but chiefly
because the other is another I”.23 Akan tetapi, pengalaman saya akan saya yang lain tidak lah sama dengan
pengalaman akan diri saya sendiri, karena diri saya sendiri tidak bisa ditransfer, begitupun sebaliknya.24 Partisipasi,
selanjutnya, dapat membuat seorang person sadar akan dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri dan menentukan
dirinya kepada pemenuhan diri, dalam eksistensi dan tindakan-tindakan bersama orang lain. Karena itu, partisipasi
bisa bermakna realisasi tindakan personal atau “nilai personalik” sekaligus kemampuan untuk berada dan bertindak
bersama, seperti yang dikatakan Wojtyła: “the ability to exist and act together with others in such a way that in this
existing and acting we remain ourselves and actualize ourselves, which means our own I’s.25 Jadi, Wojtyła
menekankan bahwa dalam partisipasi itu person tidak kehilangan dirinya di antara diri atau saya yang lain. Bahkan
dalam partisipasi itu person akan mencapai kesadaran diri, pemilikan diri dan pemenuhan dirinya melalui tindakan
dalam komunitas serta menyadari adanya kehadiran saya yang lain.
Dengan landasan pemikiran ini Wojtyła menolak gagasan individualisme dan anti-individualisme atau
totalisme, karena kekeliruan pemahaman antropologi. Gagasan individualisme ini dapat dilihat pada konsep Sartre.
Sartre menganggap manusia adalah kebebasan. Ia bebas tanpa determinasi.26 Karena itu, ia menganggap orang lain
sebagai neraka.27 Jauh sebelum Sartre, ada konsep individualisme kaum liberal seperti dari Hobbes dan Locke.28
Dalam pandangan mereka, person adalah self-sufficient dan relasi dengan orang lain hanya terjadi secara aksidental.
Dari kodratnya, manusia hanyalah Individu. Setiap Individu fokus pada kebaikan dan kepentingannya sendiri.
Komunitas atau masyarakat hanya ada untuk melindungi hak-hak individu dari gangguan orang lain.29
19 Richard A. Spinello,”The Enduring Relevance of Karol Wojtyła’s Philosophy”, 39. 20 Karol Wojtyła, Acting Person, 262. 21 Ibid., 263. 22 Tomasz Duma, “Personalism in the Lublin School of Philosophy”, 380. 23Lih. Karol Wojtyła, “Participation and Alienation?”, in Person and Community Selected Essay, Trans.by
Theresa Sandok, OSM (New York:Peter Lang), 201; Karol Wojtyła, Acting Person, 271. 24 Karol Wojtyła, “Participation and Alienation?”, 202. 25 Ibid. 26Richard A. Spinello, ”The Enduring Relevance of Karol Wojtyła’s Philosophy”, 20. 27 Rocco Buttiglione, Karol Wojtyła, The Thought of The Man Who Became Pope John Paul II, Trans.by
Paolo Guietti ans Francesca Murphy (Michigan: William B.Eerdmans Publishing, 1997), 287. 28 Richard A. Spinello,”The Enduring Relevance of Karol Wojtyła’s Philosophy”, 42. 29 Ibid.43.
41
Selain itu, konsep anti-individualisme atau totalisme dapat dijumpai dalam pandangan Marxisme. Sejak
awal, Marx berpendapat bahwa esensi manusia bukanlah abstraksi inherent dalam setiap individu tunggal.30 Dalam
kenyataannya esensi manusia adalah penyatuaan dari relasi-relasi social. Karena itu, manusia tidak memiliki apa-apa
di luar masyarakat. Ia pun tidak hanya tidak dapat eksis di luar masyarakat, tetapi juga tidak dapat berpikir secara
independen dari masyarakat.31 Para Marxist di masa kontemporer berpendapat bahwa manusia adalah semata-mata
materi: Ia adalah pengada material yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dengan aktivitas fisik
yang pada gilirannya menentukan kehidupan social dan politiknya. Para Marxis yakin bahwa kerja fisik adalah
proses penciptaan diri. Dalam kaitan dengan relasi social sebagai struktur ontik manusia, Marxisme mengajarkan
bahwa manusia hidup dalam kesatuan dengan yang lain. Kesatuan dengan orang lain adalah kepastian. Para Marxis
meyakini bahwa manusia tidak memiliki apapun secara independen dan personal. Masyarakat adalah yang utama.
Masyarakat itulah yang membentuk individualitas particular manusia dan menunjukan cara bertindak dalam situasi-
situasi social yang nyata.
Wojtyła menolak dua kutub pemikiran yang bertolak belakang ini, tetapi sama-sama mereduksi manusia.
Baginya komunitas sebagai bentuk konkret dari relasi I-Other harus didasarkan pada partisipasi dan partisipasi itu
mempunyai dasarnya pada nilai personalistik atau tindakan person yang menunjukkan transendensinya. Baginya,
akibat dari absensi partisipasi baik yang ditunjukkan oleh kaum individualis maupun anti-individualis adalah
alienasi. Menurut Wojtyła struktur eksistensi social manusia perlu dievaluasi dalam cahaya realasi social ini dimana
ada partisipasi yang membangun Communio Personarum atau sebaliknya penolakan terhadapa aspek ini yang
menyebabkan adanya alienasi.
Wojtyła juga menambahkan pada bagian akhir bukunya Acting Person bahwa fakta alienasi dapat
terhindarkan pula dengan perintah Injili untuk mencintai. Perintah cinta ini harusnya sebagai aturan untuk eksistensi
dan tindakan manusia bersama dengan orang lain.32 Dengan perintah cinta ini, manusia berpartisipasi dengan orang
lain sebagai tetangga dan mengalami mereka sebagai seorang person atau “saya yang lain.”
KESIMPULAN
Manusia bukan hanya salah satu spesies di antara spesies yang lain dengan kodrat rasional sebagai
kekhususanya. Lebih dalam dari itu ia adalah person dengan kodrat rasional dan sungguh-sungguh unik dan tak
tergantikan dalam dan melalui tindakan sadar.
Transendensi person mempertajam dan memperjelas status keunikan dari person. Transendensi berarti
setiap person memerintah (govern) dirinya masing-masing. Melalui self-governance ia bebas memilih tindakan dan
mengaktualisasikan dirinya sendiri. Karena itu, setiap person bebas untuk menentukan tindakan yang baik atau
buruk sekaligus memilih menjadi orang baik atau buruk sebagai dampak dari pilihan tindakannya.
Transendensi person yang dikonsepkan oleh Wojtyła, sesungguhnya, bukan dalam arti metafisika secara
umum, yang menekankan perhatian pada karakter transendental being secara umum.33 Transendensi person yang
dimaksudkan olehnya lebih berkaitan dengan tindakan “kehendak” dengan aspek kebebasannya atau self-
determination dengan struktur self-governance dan self-possession. Dengan demikian transendensi person
difokuskan pada tindakan kehendak dalam memilih dan memutuskan tindakan menuju nilai objektif yang pada
akhirnya membentuk diri person sendiri, entah menjadi person baik atau buruk. Person sendiripun memiliki
tanggungjawab terhadap pilihan tindakan dan konsekuensinya. Karena itu bagi Wojtyła person adalah moral
being.
30 Krapiec Mieczyslaw A., I-Man: An Outline of Philosophical Anthropology, Trans., by Marie Lescoe,
Andrew Woznicki, Theresa Sandok et al (New Britain: Mariel Publication, 1983), 50. 31Ibid. 32 lih. Karol Wojtyła, Acting Person, 298. 33 Tomasz Duma, “Personalism in the Lublin School of Philosophy”, 377.
42
DAFTAR PUSTAKA
Buttiglione, Rocco. Karol Wojtyła, The Thought of The Man Who Became Pope John Paul II. Trans.by Paolo
Guietti ans Francesca Murphy. Michigan: William B.Eerdmans Publishing, 1997.
Duma, Tomasz. “Personalism in the Lublin School of Philosophy”. Studia Gilsoniana 5:2 (April-Juni 2016). 365-
390.
Hołub, Grzegorz. “The Relation between Consciousness and Emotions in the Thought of Karol Wojtyła.” The
Person and the Challenges. Volume 5. Number 2 (2015). 149–164.
Krapiec Mieczyslaw A., I-Man: An Outline of Philosophical Anthropology. Trans. By Marie Lescoe, Andrew
Woznicki, Theresa Sandok et al. New Britain: Mariel Publication, 1983.
Spinello, Richard A.”The Enduring Relevance of Karol Wojtyła’s Philosophy.” Logos 17:3 (Summer 2014). 17-48
Wojtyła, Karol. Acting Person, Trans. By Andrzej Potocki. Dordrecht: D.Reidel Publishing Company, 1979.
Wojtyła, Karol “Subjectivity and Irreducible in Human Being”, in Person and Community: Selected Essays, Trans.
By Theresa Sandok, OSM. New York: Peter Lang, 1993.
Karol Wojtyła, “The Human Person and Natural Law”, in Person and Community: Selected Essays, Trans. By
Theresa Sandok, OSM. New York: Peter Lang, 1993.
Wojtyła, Karol. “Participation and Alienation?” in Person and Community Selected Essay. Trans., By Theresa
Sandok, OSM (New York: Peter Lang), 201; Karol Wojtyła, Acting Person, 271.
Wojtyła, Karol. Consideration on The Essence of Man. Lublin: PTTA, 2016.