20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2005). Menurut Muttaqin (2008) pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan benda–benda asing. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000). Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus (Said, 2010). 9

jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal

Citation preview

Page 1: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

9  

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia

1. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh

bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing

(Ngastiyah, 2005). Menurut Muttaqin (2008) pneumonia adalah proses

inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian

alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan benda–benda

asing.

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah

yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak

dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis

(bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme

(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi

dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama

disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia

adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan

Staphylococcus aureus (Said, 2010).

9

Page 2: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

10  

 

2. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada

perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalm spektrum

etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum

mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil (< 20 hari)

meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Coli,

Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar (3 minggu

– 3 bulan) dan anak balita (4 bulan – 5 tahun), pneumonia sering

disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus

influenza type B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang

lebih besar dan remaja, menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab

kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai

penyebab kematian pada neonatus. pneumoniae (Said, 2010).

3. Klasifikasi Pneumonia

Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk

golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan – 5

tahun (Said, 2010) :

a. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu:

1) Pneumonia Berat.

Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau

nafas cepat (60X per menit atau lebih). Tarikan dinding dada

kedalam terjadi bila paru-paru menjadi “kaku” dan mengakibatkan

perlunya tenaga untuk menarik nafas. Anak dengan tarikan dinding

Page 3: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

11  

 

dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal yang lebih besar

dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan cepat.

Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda

lain seperti :

a). Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas.

b). Suara rintihan

c). Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen).

d). Wheezing yang baru pertama dialami.

2) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada

bagian bawah atau nafas cepat yaitu < 60 kali per menit (batuk,

pilek, biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur kurang dari 2

bulan ini adalah : kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,

stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.

b. Golongan umur 2 bulan – 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu :

1) Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan

dada bagian bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan

catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis dan

meronta.

2) Pneumonia, bila hanya disertai nafas cepat dengan batasan :

(a) Untuk usia 2 bulan – kurang 12 bulan = 50 kali per menit.

(b) Untuk usia 1 tahun – 5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

Page 4: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

12  

 

3) Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada

bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda

bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun adalah : tidak

dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan

gizi buruk.

4. Manifestasi klinis

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia

pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme

penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama

pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi

non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis (Said, 2010).

Menurut Said (2010) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah

sebagai berikut:

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT)

seperti mual, muntah atau diare: kadang-kadang ditemukan gejala

infeksi ekstrapulmoner.

b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,

takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada

pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,

suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi

kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas

Page 5: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

13  

 

terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan

kelainan.

5. Pencegahan

Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau

mengurangi faktor resiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,

yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan

petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan

pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif,

dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus yang

pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan

asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi

udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor resiko.(Kartasamita,

2010).

Menurut Kartasamita (2010), usaha untuk mencegah pneumonia ada

2 yaitu:

a. Pencegahan Non spesifik, yaitu:

1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi.

2) Menurunkan kemiskinan.

3) Meningkatkan tingkat pendidikan.

4) Menurunkan angka balita kurang gizi.

5) Meningkatkan derajat kesehatan.

6) Menurunkan morbiditas dan mortalitas.

7) Lingkungan yang bersih, bebas polusi

Page 6: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

14  

 

b. Pencegahan Spesifik

1) Cegah berat bayi lahir ringan (BBLR).

2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang.

3) Berikan imunisasi

Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia

adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (haemophilus

influenzae type b) dan pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya,

yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi

nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan

pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua

vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun,

karena harganya mahal belum banyak negara yang memasukkan kedua

vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.

B. Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun

atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris,

2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita adalah istilah umum

bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia

batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan

kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara

dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

Page 7: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

15  

 

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu

keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat

dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa

keemasan.

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di

bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat

tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di

atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam

golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan

mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan

pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga

mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun

harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia

1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun

yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia

prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).

Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam

proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara

pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan

perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan

gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Depkes RI, 2011).

Page 8: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

16  

 

C. Faktor Resiko Kejadian Pneumonia

1. Faktor resiko yang selalu ada

a. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah

satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan

neonatal (Dinkes, 2009). Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir

rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan.

Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia

dan sakit saluran pernapasan lainnya (Prabu, 2009).

b. Status gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk

variabel-variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari

keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan

penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari

tersedianya zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa, 2002).

Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Balita dengan gizi

yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita

dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.

Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai

nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi

kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya

Page 9: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

17  

 

lebih lama (Prabu, 2009). Salah satu cara penilaian status gizi balita

adalah dengan pengukuran antropometri, pengukuran tersebut sudah

ditetapkan melalui SK Menkes RI nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002

tanggal 1 Agustus 2002.

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.

Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah

dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Dalam

antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar

penilaian status gizi, salah satu indeks antropometri yaitu berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk

menilai status gizi saat kini. (Supariasa, 2002).

Menginterprestasikan hasil pengukuran diperlukan baku rujukan.

Di Indonesia baku rujukan dan telah direkomendasikan pemakaiannya

salah satunya, yaitu baku rujukan WHO – NCHS yang

direkomendasikan pada semiloka Antropometri 1991. Data rujukan

WHO-NCHS sebagai batas ambang untuk status gizi baik yang

disarankan WHO adalah Standar deviasi unit disebut juga Z-skor.

WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk

memantau pertumbuhan. Rumus perhitungan Z skor adalah :

Page 10: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

18  

 

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor

Indeks Status Gizi Ambang Batas

Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Tinggi Badan menurut TB/U

Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

< -3 SD - 3 s/d <-2 SD - 2 s/d +2 SD > +2 SD

Penelitian Gozali (2010) menyatakan ada hubungan yang

signifikan antara status gizi dengan klasifikasi pneumonia di Puskesmas

Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta, dengan prosentase sebesar

36,67% anak balita dengan status gizi kurang yang terkena Pneumonia

dari jumlah responden 30 anak balita.

c. ASI Ekslusif

ASI (air susu ibu) adalah makanan terbaik bagi bayi karena

mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan

perkembangan bayi, karena itu untuk mencapai pertumbuhan dan

perkembangan bayi yang optimal ASI perlu diberikan secara eksklusif

(Nelson, 2000). Bayi dianjurkan untuk disusui secara ekslusif selama 6

bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan

didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama dua tahun

Page 11: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

19  

 

pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan

resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit

menular lainnya di kemudian hari (Mexitalia, 2011).

Penelitian Wibowo (2011) menunjukan bahwa pemberian ASI

Eksklusif sebagian besar mengalami kejadian ISPA yaitu 35 balita

(77,8%) sedangkan pada kelompok balita dengan pemberian Asi

Eksklusif lebih rendah tidak mengalami kejadian ISPA yaitu 21

(46,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA

pada balita di Puskesmas Sumbang II.

d. Polusi udara dalam ruangan

Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya

disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu

merupakan faktor resiko terhadap kejadian pneumonia pada balita.

Penelitian Yuwono (2008) menunjukan anak balita yang tinggal di

rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan adalah kayu memiliki

resiko terkena pneumonia sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan

anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang

digunakan minyak/gas. Polusi udara di dalam rumah juga dapat

disebabkan oleh asap rokok, alat pemanas ruangan dan juga akibat

pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor.

Page 12: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

20  

 

e. Kepadatan hunian rumah

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor

polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian Febriana (2011)

menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian

padat memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 3,8 kali lebih besar

dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian

tidak padat.

Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan

karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang

menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota

keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah

tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bahteri maupun

virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu

ke penghuni rumah lainnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

289/Menkes/s\SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan,

kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang

per 8m²) dan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 2 orang per 8m²).

2. Faktor Resiko Yang Masih Sangat Mungkin

a. Ibu hamil yang merokok

Ibu hamil yang merokok akan sangat merugikan dirinya dan

bayinya, karena bayi akan kekurangan oksigen dan racun dapat

ditransfer lewat plasenta kedalam tubuh bayi. Ibu hamil yang merokok

Page 13: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

21  

 

mempunyai resiko keguguran, kelahiran prematur, berat bayi lahir

rendah (BBLR), bahkan kematian janin (Sulistyawati, 2011). Rokok

juga merupakan polusi udara yang dapat meningkatakan resiko

terjadinya penyakit pneumonia bagi balita dirumah.

b. Balita kekurangan zinc

Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem

biologi, yang diperlukan untuk pembelahan, diferensiasi dan

pertumbuhan sel. Organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan

sel, seperti sistem kekebalan tubuh dan usus, sangat sensitife terhadap

defesiensi seng. Anak-anak di negara sedang berkembang mengalami

asupan seng yang tidak adekuat, yang mengakibatkan penurunan

regenerasi sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuahan linier serta

penurunan sistem imun; sehingga meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi (Hidayati, 2011).

Suplementasi Zinc (Zn) perlu diberikan untuk anak dengan diet

kurang Zinc di negara berkembang. Penelitian di beberapa negara Asia

Selatan menunjukkan bahwa suplementasi Zinc pada diet sedikitnya 3

bulan dapat mencegah infeksi saluran pernapasan bawah. Di Indonesia,

Zinc dianjurkan diberikan pada anak yang menderita diare

(Kartasamita, 2010). Zinc banyak terdapat dalam daging, tiram, ikan

kering, hati dan susu juga merupakan sumber makanan yang kaya akan

zinc. Selain itu makanan yang mengandung fitat dan makanan berserat

menghalangi absorbsi Zinc (Eschleman, 1996 dalam Nasution, 2004).

Page 14: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

22  

 

Beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan

zinc dan besi adalah asam askorbat dan sitrat (pepaya, jambu biji,

pisang, mangga, semangka, pir, jeruk, lemon, apel, jus nenas, kembang

kol, dan limau), asam malak dan tartrat (wortel, kentang, tomat, labu,

kol, dan lobak cina), asam amino sistein (daging, kambing, daging babi,

hati, ayam, dan ikan), dan produk-produk fermentasi (kecap kacang

kedele, acar/asinan kubis) (Nasution, 2004).

Beberapa makanan yang dapat menghambat penyerapan zinc dan

besi adalah fitat (beras, terigu, gandum, kacang kedele, susu coklat,

kacang dan tumbuhan polong), polifenol (teh, kopi, bayam, kacang,

tumbuhan polong, rempah-rempah), kalsium dan fosfat (susu dan keju)

(Gillespie, 1998 dalam Nasution, 2004).

c. Pengalaman ibu

Menurut Notoadmojo (2003) salah satu cara memperoleh

pengetahuan adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman

pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan

dengan cara menanggulangi kembali pengalaman yang diperoleh dalam

pemecahan masalah yang lain.

d. Bersamaan penyakit (diare, jantung, asma)

Infeksi pneumonia pada anak juga dapat mempengaruhi saluran

pencernaan berupa diare, dan juga dapat mempengaruhi organ lain.

Lebih dari 50% anak yang menderita pneumonia yang didapat dari

Page 15: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

23  

 

masyarakat (community-acquired pneumonia) dengan etiologi

legionella, akan mengalami diare (Nurjanah dkk, 2011).

Penelitian Putra (2005) mengungkapkan pneumonia dengan diare

bersama-sama mempunyai peran penting sebagai penyakit yang

menyebabkan anak menjalani rawat inap di rumah sakit Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta dengan prosentase 7,3 % balita mengalami

pneumonia dan diare antara bulan 1 Juni-31 Agustus 2005.

3. Resiko Yang Masih Mungkin (possible risk factors)

a. Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko

yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia.

Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan

oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk

mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita

pneumonia, akan mempunyai resiko meninggal karena pneumonia

sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai

pengetahuan yang tepat (Kartasasmita, 2010).

b. Lama menjalani perawatan

Penentuan lama rawatan pada pasien rawat jalan, termasuk bagi

penderita pneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis

penyebab penyakit, tindakan medis dan perilaku orang tua.

Berdasarakan penelitian Sabuna (2011) tatalaksana pneumonia balita di

puskesmas Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 53,5% perawat

Page 16: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

24  

 

melaksanakan tatalaksana pneumonia namun sebanyak, 46,5% tidak

melakasanakan tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini menunjukan

mayoritas perawat memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan

tatalaksana pneumonia pada balita. Banyaknya perawat yang memiliki

motivasi tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia balita akan

mempengaruhi menurunya lama rawat jalan pada balita yang menderita

pneumonia.

c. Curah hujan (kelembaban)

Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme.

Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan

kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan

bakteri (Setyaningsih, 1998). Pada musim penghujan kelembaban udara

akan semakin tinggi sehingga dapat mempersubur pertumbuhan bakteri

mikroorganisme patogen penyebab Pneumonia. Penelitian Febriana

(2011) menunjukan ada hubungan bermakna kelembaban udara dalam

rumah dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pedan Kabupaten

Klaten. Penelitian dilaksanakan antara bulan Oktober sampai dengan

bulan Desember 2010, dimana pada bulan Oktober sampai dengan

Desember menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) di Jawa

Tengah curah hujan masih sangat tinggi.

d. Ketinggian tempat tinggal

Hukum Gradien Geothermis, menyebutkan semakin tinggi (tiap

kenaikan 1.000 meter) suatu tempat di permukaan bumi, temperatur

Page 17: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

25  

 

udaranya akan turun rata-rata sekitar 6°C di daerah sekitar khatulistiwa

(Hendri, 2011).

Suhu udara naik, maka jumlah uap air yang dapat dikandung juga

meningkat sehingga kelembapan relatifnya turun. Dan sebaliknya, bila

suhu udara turun, kelembapan relatifnya naik, karena kapasitas udara

menyimpan uap air berkurang. Kelembaban sangat penting untuk

pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme

berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang

sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998).

e. Kekurangan vitamin A

Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah

dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan

imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil

penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan

bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang

mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih

lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A.

f. Urutan kelahiran

Urutan anak dan jumlah anak dalam keluarga yang besar akan

mempengaruhi kepadatan hunian rumah, semakin padat penghuni

rumah resiko polusi akan menjadi semakin tinggi. Hasil penelitian

Nascimento (2004) di negara Brasil menyatakan bahwa semakin tinggi

Page 18: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

26  

 

peringkat di urutan kelahiran, semakin besar kesempatan untuk rawat

inap karena pneumonia.

g. Polusi udara luar ruangan

Kondisi udara diruangan tertutup mengandung lebih sedikit

mikroorganisme dari jenis yang sama dibandingkan yang ditemukan

diudara terbuka. Mikroorganisme tersebut sebagian besar adalah

saprofit dan bersifat nonpatogenik. Akan tetapi dengan bertambahnya

mikroorganisme non patogrnik dalam jumlah yang relatif besar dapat

membuatnya mempunyai potensi yang sama seperti mikroorganisme

patogenik.

Pada mulanya udara jarang mengandung mikroorganisme

patogenik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran

penularan sejumlah spesies utama yang menyebabkan infeksi pada

saluran pernafasan (Setyaningsih dkk, 1998).

D. Kerangka Teori Penelitian

Faktor resiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang

mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu

(Notoatmodjo, 2010). Menurut Rudan, dkk (2008). Faktor resiko terjadinya

pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu faktor resiko yang selalu ada (definite risk

factors), meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI

eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan hunian. Faktor resiko yang

sangat mungkin (likely risk factors) meliputi ibu hamil yang merokok, balita

Page 19: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

27  

 

kekurangan zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, bersamaan penyakit

(misalnya diare, penyakit jantung, asma), dan faktor resiko yang masih

mungkin (possible risk factors) meliputi pendidikan Ibu, lama menjalani

perawatan, curah hujan (kelembaban), ketinggian tempat tinggal (udara

dingin), kekurangan vitamin A, urutan kelahiran, polusi udara luar ruangan.

Faktor resiko tersebut memungkinkan adanya mekanisme hubungan antara

agen penyakit dengan induk semang (host) dan pejamu yaitu manusia,

sehingga terjadi efek sakit. Semua yang tersebut di atas dapat tergambarkan

dalam bagan berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Teori

(Sumber : Modifikasi teori Notoadmojo (2010) dan Rudan, dkk (2008)

Agen Fisik, Biologis

Kimia

Definite risk factors 1. Status gizi 2. BBLR 3. ASI Eksklusif 4. Polusi udara dalam ruang 5. Kepadatan hunian

Possible risk factors 1. Pendidikan Ibu 2. Lama menjalani

perawatan 3. Curah hujan

(kelembaban) 4. Ketinggian tempat

tinggal (udara dingin) 5. Kekurangan vitamin A 6. Urutan kelahiran 7. Polusi udara luar

ruangan

Status Pneumonia

Likely risk factors 1. Ibu hamil yang

merokok 2. Balita kekurangan

zinc 3. Pengalaman ibu 4. Bersamaan

penyakit (misalnya diare penyakit jantung, asma)

Page 20: jhptump-a-arifrokhma-920-2-babii

28  

 

E. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai kerangka

konsepnya sebagai berikut. Sebagai variabel bebas adalah status gizi, BBLR,

status pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan

hunian. Variabel bebas yang dimaksud oleh peneliti akan di teliti apakah ada

hubungannya dengan dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan

Kabupaten Purbalingga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut

ini:

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara faktor resiko (status gizi, BBLR, pemberian ASI

Eksklusif, polusi udara dalam ruangan dan kepadatan hunian rumah) dengan

kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga”.

Faktor Utama

1. Status gizi 2. Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) 3. Status pemberian ASI

eksklusif 4. Polusi udara dalam

ruangan 5. Pemukiman padat

Kejadian Pneumonia Pada balita