jurnal perlakuan priming Muhammad Zanzibar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Perlakuan priming pada benih

Citation preview

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian42

    TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT 1)

    Oleh :

    Muhammad Zanzibar 2) Balai Penelitian dan Teknologi Perbenihan Bogor

    ABSTRAK

    Salah satu faktor penyebab belum optimalnya pengusahaan hutan rakyat adalah rendahnya mutu benih yang digunakan. Proses penanganan yang didasarkan pada karakter masing-masing benih dapat mempertahankan mutu genetik serta mendapatkan keberhasilan tumbuh tanaman yang tinggi. Penggunaan teknologi iradiasi sinar gamma dan priming secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas hutan rakyat. Iradiasi sinar gamma pada benih suren mampu meningkatkan volume bibit (umur 6 bulan) sebesar 600%, jenis tanaman hutan lainnya memiliki kecenderungan respon yang sama. Pemanfaatan teknologi iradiasi dapat diperoleh melalui perlakuan perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas dan vigoritas serta mendapatkan klon unggul yang produktivitasnya tinggi. Perlakuan priming mampu meningkatkan/memperbaiki mutu fisiologis benih tua dan atau yang rusak selama penanganan. Selain itu, tampilan benih lebih bersih, berwarna cerah dan segar, metoda ini relatif lebih mudah dan murah diaplikasikan sehingga dapat dipertimbangkan menjadi perlakuan standard penanganan benih.

    Kata kunci : Benih, hutan rakyat, iradiasi, penanganan, priming

    I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan hutan rakyat sudah sejak lama telah berkontribusi secara signifikan terhadap suplai bahan baku industri kayu skala kecil, menengah, maupun besar; mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, regional, dan nasional; penciptaan lapangan kerja dan usaha; dan pengurangan tingkat pengangguran. Pengelolaan hutan rakyat masih belum menjadi pilihan utama bagi rumah tangga petani dalam pengusahaan sumberdaya lokalnya karena produktivitasnya masih sangat rendah. Menurut Dephut (2006) pembangunan hutan rakyat di pulau Jawa telah mencapai jumlah kumulatif seluas 2.400.000 ha. Belum optimalnya pengusahaan hutan rakyat tersebut dapat disebabkan oleh penggunaan benih bermutu rendah, disamping faktor-faktor teknis/non teknis lainnya. Sumber benih bersertifikat hanya mampu memasok kurang dari 20% kebutuhan penanaman, selebihnya merupakan benih asalan (klandestein). Permasalahan pengadaan benih bermutu di Indonesia bersumber pada keragaman genetik rendah dan keterbatasan tegakan, ketidak serempakan musim berbuah, pengetahuan yang terbatas dan persepsi yang salah tentang mutu, akses pengguna terhadap benih bermutu sangat rendah serta kebijakan segmentatif (Zanzibar, 2009). Benih bermutu tinggi merupakan interaksi antara mutu genetis, fisiologis dan fisik. Berdasarkan persyaratan benih bermutu, persyaratan fisiologi dan fisik mungkin dapat dipenuhi dengan mudah, namun persyaratan genetik masih merupakan tantangan yang harus dihadapi. Dalam praktek kehutanan hubungan antara ke tiga kriteria mutu benih tersebut secara sederhana dimaksudkan bahwa kegiatan penanaman pada lahan hutan yang marginal seyogyanya menggunakan benih bermutu tinggi, artinya tampilan mutu genetis akan menggambarkan fenotipa pohon yang diinginkan, dan tampilan tersebut dapat dicapai bila benih yang digunakan memiliki viabilitas dan vigoritas yang tinggi. Hubungan antara ketiga kriteria mutu benih dalam sistem sertifikasi mutu benih tanaman hutan di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian 43

    II. WATAK BENIH DAN HUBUNGANNYA DENGAN TEKNOLOGI PENANGANAN

    Teknologi penanganan bertujuan mendapatkan keberhasilan tumbuh yang tinggi; mencakup serangkaian prosedur yang dimulai dari pemanenan hingga perlakuan awal terhadap perkecambahan. Cara penanganan yang tepat akan meningkatkan perolehan hasil, baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Setiap elemen dari kegiatan penanganan sangat menentukan derajat kualitas genetik yang diembannya. Tabel 1. Hubungan Antara Mutu Fisik-Fisiologis dan Genetik dalam Sistem Sertifikasi Mutu Benih Tanaman Hutan

    Mutu Fisik-Fisiologis (MFF)/Genetik (MG)

    G1 Kebun

    Pangkas G2 G3 G4 G5 G6

    G7 Tegakan

    Benih MFF1 G1MFF1 G2MFF1 G3MFF1 G4MFF1 G5MFF1 G6MFF1 G7MFF1 Kualitas/h

    arga tertinggi

    MFF2 G1MFF2 G2MFF2 G3MFF2 G4MFF2 G5MFF2 G6MFF2 G7MFF2 MFF3 G1MFF3 G2MFF3 G3MFF3 G4MFF3 G5MFF3 G6MFF3 G7MFF3

    Kualitas/harga terendah

    Metoda penanganan sangat dipengaruhi watak benih, yaitu apakah benih tersebut

    berwatak ortodoks, intermediate atau rekalsitran. Benih ortodoks dapat disimpan lama pada tingkat kadar air rendah dan memiliki dormansi, benih intermediate juga dapat dikeringkan sampai pada kadar air rendah sesuai klasifikasi ortodoks, tetapi peka terhadap suhu rendah, sedangkan benih rekalsitran adalah benih yang cepat menurun viabilitasnya, penyimpanan memerlukan kadar air tinggi atau sama dengan kadar air benih segar. Watak benih beberapa jenis tanaman hutan rakyat dan teknologi penanganannya secara tertera pada Tabel 2.

    Tabel 2. Watak Benih dan Hubungannya dengan Penanganan Beberapa Jenis Tanaman Hutan

    Rakyat

    Ciri Sifat : Ortodoks : Intermediate *) Rekalsitran Jenis mangium, cempaka, jabon, jati,

    johar, kihiang, kihujan, manglit, puspa, randu, sawo kecik, sengon, sonobritz, tusam, tisuk

    damar, mahoni, gmelina, jengkol, kesambi, kemiri, lame, mindi, suren

    buni, rasamala, mimba, sukun, bisbol, jamblang, kecapi, kemang, kesemek, melinjo manggis, matoa

    Kadar air benih dan suhu penyimpanan

    Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, toleransi kadar air penyimpanan 6 8%, suhu -4 hingga 20 oC

    Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah. Toleransi kadar air penyimpanan 12 15%, suhu 0 hingga 8oC

    Tidak toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah. Toleransi kadar air penyimpanan 20 40%, suhu 15 hingga 25 oC

    Potensi waktu penyimpanan

    Beberapa tahun hingga puluhan tahun

    Beberapa bulan, seringkali hingga 1 -2 tahun

    Beberapa hari/minggu

    Ukuran benih Kecil hingga medium, umumnya kulit benihnya keras dan liat

    Bervariasi dari kecil hingga besar

    Umumnya berukuran besar

    Dormansi Sering terjadi Dormansi lemah Tidak ada dormansi. Kemasakan dan perkecambahan terjadi dalam selang waktu yang singkat

    Metabolisme pada saat masak

    Tidak aktif Kurang aktif Aktif

    Keterangan : *) Menurut klasifikasi Ellis et all .,(1990)

    Keragaman Varietas Tinggi Viabilitas dan vigoritas rendah

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian44

    III. APLIKASI TEKNOLOGI PENANGANAN UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT

    Metoda teknologi penanganan benih yang secara nyata tidak langsung dapat

    meningkatkan produktivitas hutan rakyat adalah sebagai berikut : A. Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma

    Iradiasi sinar gamma (60Co) telah rutin dipakai dalam mutasi tanaman pertanian untuk tujuan pemuliaan. Iradiasi sinar gamma pada benih memperlihatkan bahwa iradiasi dosis tinggi dapat bersifat menghambat (inhibitory) (Radhadevi dan Nayar, 1996; Kumari dan Singh, 1996), namun pada dosis rendah dapat berperan memacu pertumbuhan (stimulatory) (Raghava dan Raghava, 1989; Chan dan Lam, 2002). Peningkatan pertumbuhan dibanding kontrol pada iradiasi dosis rendah telah ditunjukkan pada berbagai sistem seperti biak embryogenik apokat (Witjaksono dan Litz, 2004), biji apokat (Fuentes et.al., 2009). Iradiasi benih dengan sinar gamma telah diketahui berpengaruh pada pertumbuhan tanaman melalui perubahan sitologi, genetik, biokimia, fisiologis dan perubahan morfogenetik pada sel dan jaringan (Gunckel dan Sparrow, 1961 dalam Tapa, 2004).

    Gambar 1. Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Bibit Suren Umur 6 Bulan Akibat Perlakuan Iradiasi Sinar Gamma pada Benih

    (a) (b) (c)

    Gambar 2. Pertumbuhan peubah tinggi dan diameter bibit suren pada umu 6 bulan akibat perlakuan iradiasi. (a) Mutu Fisiologis Sedang - Dosis Rendah (b) Kontrol (c) Mutu Fisiologis Tinggi - Dosis Rendah

    Penelitian Zanzibar (2008) iradiasi benih suren antara 5 100 Gy diperoleh bahwa

    dosis rendah secara nyata meningkatkan volume bibit (umur 6 bulan) sebanyak sekitar 600% yang berasal dari peningkatan pertumbuhan tinggi 300% dan diameter 200%. Peningkatan pertumbuhan tersebut dibanding kontrol benih segar (tanpa iradiasi) terlihat sangat dramatis. Peningkatan pertumbuhan sampai 600% adalah pertambahan pertumbuhan yang sangat besar yang mungkin sukar dicapai dengan pemuliaan konvensional. Iradiasi dosis rendah sangat memacu pertumbuhan awal tanaman.

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian 45

    Benih suren yang telah menurun kualitas fisiologisnya bila diiradiasi dengan dosis yang tepat akan meningkatkan pertumbuhan bibit; sama halnya dengan bibit dari benih yang tidak mendapatkan perlakuan (kontrol). Iradiasi dosis rendah juga berfungsi mematahkan dormansi. Berdasarkan nilai similaritas, dosis iradiasi 5 100 Gy diduga sudah menghasilkan mutan. Jarak genetik 0.3 menunjukkan bahwa antara populasi relatif telah memiliki keragaman tinggi.

    Respon terhadap iradiasi masing-masing jenis benih berbeda, dipengaruhi oleh radiosensitivitas berupa kondisi fisik-fisiologis (kandungan biokimia, viabilitas, kekerasan kulit), genetik (kemurnian varietas, sumber) dan lingkungan (oksigen, kadar air dan suhu). Pada faktor lingkungan, semakin banyak kadar oksigen dan molekul air berada dalam materi maka semakin banyak pula pembentukan radikal bebas sehingga menjadi semakin sensitif (IAEA, 1977).

    Penggunaan teknologi iradiasi pada benih/bibit mencakup perlakuan perkecambahan maupun mendapatkan varietas baru yang memiliki keunggulan produktivitas, umur yang lebih genjah, serta ketahanan terhadap penyakit dan kekeringan sesaat. Berdasarkan hasil hasil penelitian pada jenis suren dan jenis-jenis lainnya yang sedang diteliti diperoleh bahwa prospek pemanfaatan teknologi iradiasi untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat sangat besar. Dibutuhkan penelitian dan kajian terpadu dan bersinambungan guna diperoleh optimalisasi pemanfaatan teknologi tersebut dengan tujuan pencapaian hutan rakyat vegetatif unggul dan hutan rakyat unggul fisiologis. Tahapan dan ruang lingkup kegiatannya tertera pada Lampiran 1. A. Priming untuk Invigorasi Benih/Bibit Penurunan mutu benih merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Selama proses tersebut aktifitas dalam benih menurun hingga benih kehilangan viabilitasnya. Salah satu cara meningkatkan potensi benih yang telah menurun mutu fisiologisnya adalah perlakuan priming. Menurut Bailly et al., (1998) bahwa prinsip priming adalah mengaktifkan sumber daya yang internal benih ditambah dengan sumber daya eksternal untuk memaksimumkan pertumbuhan. Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju kebutuhan air selama perkecambahan serta memacu laju metabolisme. Keadaan ini memungkinkan fase aktivasi berlangsung lama sehingga akan memberikan perbaikan fisiologis, antara lain benih berkecambah lebih cepat dan serempak, serta meningkatkan persentase perkecambahannya. Murray dan Wilson (1987), adanya perlakuan priming akan meningkatkan aktivitas enzim protease dan kemampuan embrio untuk mensistesis protein dan RNA, sehingga lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Tabel 3. Tahap Priming dan Pengkondisian Benih

    Metoda priming Tahap kegiatan Hidrasi dehidrasi/perendaman dengan H2O Matrikonditioning Pelembaban hidrasi-dehidrasi : benih diletakkan dalam wadah ter-

    tutup yang telah berisi kertas merang berlapis/ spoon jenuh air (H2O, dilembabkan selama 48 - 72 jam)

    perendaman : benih direndam selama 24 jam

    dalam wadah tertutup, berisi abu gosok/serbuk gergaji + benih + air (v/v = 0,4 : 1 : 1) kemudian diaduk secara merata

    Kontrol kelembaban hidrasi-dehidrasi : setiap 6 jam benih diaduk secara merata selama 3 menit, setiap 24 jam, air/larutan ditambahkan sebesar yang hilang

    tidak dilakukan

    setiap 6 jam benih diaduk secara merata selama 3 menit

    setiap 24 jam air ditambahkan sebesar yang hilang

    Pengeringan antara hidrasi-dehidrasi/perendaman : dikeringkan pada suhu kamar selama 72 jam

    tidak dilakukan

    Pencucian tidak dilakukan air mengalir Pengeringan akhir, pengemasan dan penyimpanan

    dikering anginkan pada suhu kamar selama 120 jam atau setelah diperoleh kadar air kesetim-bangan

    dalam wadah dan kondisi penyimpanan yang sesuai karakter benih

    dikering anginkan pada suhu kamar selama 120 jam atau setelah diperoleh kadar air kesetimbangan

    dalam wadah dan kondisi penyim-panan yang sesuai karakter benih

    Keterangan : khusus hidrasi dehidrasi/pelembaban dalam H2O, tahap 1 sampai dengan 3 diulang sebanyak 2 3 kali

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian46

    a b

    a b c Gambar 3. Metoda pelembaban (a) dan perendaman (b) pada osmokonditioning. Proses

    matrikonditioning pada benih tusam menggunakan abu gosok (c) pencucian (d) dan penjemuran (e) setelah perlakuan priming

    Menurut Parera dan Cantliffe (1994) bahwa tekanan cairan pada penerapan priming

    dikurangi oleh larutan dari senyawa berbobot molekul tinggi (gula, garam, polyethileneglicol, potasium nitrate, mannitol) atau medium padat (serbuk gergaji, abu dapur) yang memiliki potensi osmotik rendah dan atau potensi matrik yang dapat diabaikan. Metoda priming dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu osmokonditioning dan matrikonditioning. Umumnya, benih tanaman hutan yang telah rendah mutu fisiologisnya dapat ditingkatkan kembali menggunakan priming osmokonditioning (perendaman dalam H2O, hidrasi dehidrasi dengan H2O) atau matrikonditioning menggunakan abu gosok/serbuk gergaji sehingga lebih murah dan mudah. Menurut Zanzibar (2010) bahwa perlakuan perendaman sangat sesuai untuk benih berkulit keras/liat, sedangkan hidrasi-dehidrasi dan matrikonditioning abu gosok/serbuk gergaji untuk benih berkulit lembut. Tahap priming dan pengkondisian benih tertera pada Tabel 3.

    (a)(b)

    Gambar 4. Penampilan kecambah suren pada hari ke 9 setelah mendapatkan perlakuan priming. Hidrasi dehidrasi (a) Kontrol (b).

    Priming juga berfungsi mematahkan dormansi; kondisi lembab/basah-kering akan

    memacu embrio yang memerlukan pemasakan lanjutan (after ripening), misalnya pada kesambi dan jati (Zanzibar et all,. 2009; Zanzibar, 2006). Perlakuan lembab/basah kemudian dikeringkan secara berulang-ulang menjadi mekanisme penyembuhan akibat penuaan secara alami dan atau kerusakan fisik selama penanganan. Setelah laju imbibisi

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian 47

    dikendalikan, priming kemudian mengaktifkan bahan metabolisme untuk memulai proses perkecambahan; radikel mengalami perpanjangan hingga fase akhir aktivasi. Perlakuan dihentikan sebelum kondisi benih mencapai batas toleransi kerusakan. Benih priming dapat dikeringkan kembali untuk disimpan, didistribusikan atau di tanam (Leubner, 2006). Hasil penelitian priming yang efektif meningkatkan mutu fisiologis beberapa benih tanaman hutan (Tabel 4). Selain meningkatkan mutu fisiologis, tampilan benih relatif lebih segar, berwarna cerah serta mudah dan murah diaplikasikan. Metoda priming seyogyanya menjadi proses penanganan benih standard.

    Tabel 4. Keunggulan Mutu Fisiologis Benih Priming Beberapa Jenis Tanaman Hutan Rakyat

    Jenis Perlakuan Terbaik Keunggulan Mutu Fisiologis Perlakuan Terhadap Kontrol

    Pustaka

    Jati Matrikonditioning dengan abu gosok, selama 72 jam. Penerapan sebelum dan sesudah penyimpanan

    Benih disimpan selama 16 minggu : PTM, DB dan Kct meningkat 2 kali lipat, masing-masing sebesar 22.54, 34.50 dan 31.20%. Mempercepat kemasakan embrio (after ripening)

    Zanzibar (2006)

    Kesambi Direndam dalam air selama 24 jam, dikering anginkan selama 24 jam. Perlakuan yang sama diulang 3 kali. Penerapan sebelum benih disimpan

    Benih disimpan 16 minggu pada suhu kamar : DB, Kst dan Kct meningkat 3 kali lipat dibanding mutu awal, masing-masing sebesar 96.13, 96.16, dan 1.78%/etmal (DBa = 34.67 %, KSt = 30.95 %, KCt = 0.58%/ etmal). Mempercepat kemasakan embrio

    Zanzibar et.all,- (2009)

    Tusam Hidrasi-dehidrasi dengan H2O selama 72 jam, kemudian dikering angin selama 72 jam. Perlakuan yang sama diulang 3 kali

    Benih disimpan 6 bulan pada suhu kamar : DB dan Kct meningkat 2 kali lipat, masing-masing sebesar 31.00% dan 3.0%/etmal

    Zanzibar (2007)

    Suren Hidrasi-dehidrasi dengan H2O selama 72 jam, kemudian dikering anginkan selama 72 jam. Perlakuan yang sama diulang 3 kali.

    Benih disimpan dalam ruang ber AC (t = 18 22 oC, RH = 70 80%) : DB dan KCt, masing-masing meningkat sebesar 32.0% dan 3.5%/etmal ,atau lebih besar dari mutu benih awal (panenan baru)

    Zanzibar (2010)

    Keterangan : PTM = Potensi Tumbuh Maksimum, DB = Daya Berkecambah, Kst = Keserempakkan Tumbuh, Kct = Kecepatan Tumbuh

    IV. KESIMPULAN

    Teknologi penanganan menggunakan iradiasi sinar gamma dan priming pada benih tanaman hutan secara tidak langsung dapat meningkatkan produktivitas. Optimalisasi pemanfaatan teknologi iradiasi yang ditujukan pada pencapaian hutan rakyat genetik unggul dan hutan rakyat unggul fisiologis membutuhkan penelitian/kajian terpadu dan bersinambungan. Perlakuan priming dapat menjadi metoda standard penanganan benih, khususnya yang telah rendah mutu fisiologisnya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bailly, C.A., B.F. Corbineau dan D. Come. 1998. Free Radical Scavenging as Affected by Accelerated Ageing and Subsequent Priming in Sunflower Seed. Plant Physiol 104 : 46 652.

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian48

    Balai Teknologi Perbenihan. 1998. Program Nasional Sistem Perbenihan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor.

    Dephut, 2006. Kajian Kebijakan Perioritas : Operasionalisasi dan Implementasinya dalam Program dan Kegiatan. Biro Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal. Departemen Kehutanan.

    Ellis, R.H., T.D. Hong and E.H. Roberts, 1990. An Internediate Category of Seed Storage Behaviour ? Jounal of Ex., Bot, 41 : 1167 1174.

    Harrington, J.F. 1972. Seed Storage and Longevity. In : Kozlowski, T.T (ed.) : Seed Biology., 3 : 145 245.

    Leubner G. 2006. Hydrotime : Population Based Threshold Germination model. The Seed Biology Place.

    Parera,C.A. dan D.J. Cantliffe. 1994. Presowing Seed Priming. Horticultural reviews 16 : 109-139.

    Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta.

    Chan, Y.K. and P.F. Lam. 2002. Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working material Improvement of tropical and subtropical fruit trees through induced mutations and biotechnology. IAEA, Vienna, Austria. 35 45 pp.

    Fuentes J.L., L. Santiago, N.N. Rodrguez, O. Coto Arbelo, A. Alvarez, Y. Valds1, M. Vernhe1, M. Guerra1, S. Altanez, E.F. Prieto, B. Velzquez2 J.A. Rodrguez, D.G. Sourd, V.R. Fuentes, M.R. Leal. 2009. Combining zygotic embryo culture and mutation induction to improve salinity tolerance in avocado (Persea americana Mill). Induced Mutation in Tropical Fruit Tree. IAEA Tecdoc 1615. International Atomic Energy Agency, May 2009. Pp.71-82 (http://mvgs.iaea.org/pdf/TECDOC1615.pdf).

    IAEA, 1977. International Atomic Energy Agency. Technical reports series No. 119. Second edition. Join FAO/IAEA devision. Vienna.

    Radhadevi, D.S. and N.K. Nayar. 1996. Gamma rays induce fruit character variations in Nendran, a varieties of banana (Musa paradasiaca L.). Geobios : 23(2-3): 88-93.

    Raghava, R.P. dan N. Raghava. 1989. Effect of gamma irradiation on fresh on dry weight of plant part in Physsalis L. Geobios : 16(6) : 261-264.

    Thapa, C.B., 2004. Effect of acute exposure of gamma rays on seed germination of Pinus kesiya Gord and Pinus wallichiana A.B. Jacks. Botanica Orientalis Journal of Plant Sci. pp 120 121.

    Witjaksono and R.E. Litz. 2004. Effect of Gamma Irradiation on Embryogenic Avocado Cultures and Somatic Embryo Development. Plant Cell Tissue and Organ Culture 71:139-147.

    Zanzibar, M. 2006. Devigorasi dan Invigorasi Benih Jati (Tectona grandis) dan Kesambi (Sleichera oleosa). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

    Zanzibar, M. Devigorasi dan Invigorasi Benih Tusam (Pinus merkusii). Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian 49

    Zanzibar, M. 2008. Devigorasi dan invigorasi benih suren (Toona sureni). Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

    Zanzibar, M. 2009. Pengadaan Benih Tanaman Hutan (Makalah Utama). Gelar Teknologi. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Pemda Kabupaten Majalengka.

    Zanzibar. M, 2010. Peningkatan Mutu Fisiologis Benih Suren dengan Cara Priming. Jurnal Standardisasi. Majalah ilmiah Standardisasi 12 (1) : 1 6.

  • Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian50

    Lampiran 1. Ruang Lingkup dan Tahap Penelitian Terpadu Peningkatan Produktivitas hutan Rakyat Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma

    Aplikasi massal

    Klonal mutan terseleksi

    Penanaman Seleksi pertumbuhan Evaluasi

    Hutanrakyatgeneratifunggulfisiologis

    Perbanyakan vegetatif massal

    Uji multi lokasi Seleksi

    individu2

    Varietas terseleksi

    seleksi klonal, evaluasi silvikultur, analisis finansial

    Pelepasan varietas

    Kebun perbanyakan

    vegetatif

    Pembibitan Seleksibibit

    Bibit unggul fisiologis

    Iradiasi sinar gamma

    Benih unggul fisiologis

    Benih dengan sel termutasi (mutan)

    Teknik pening-katan kualitas fisiologis benih

    Dosis rendah Dosis tinggi

    Kelompok Benih Awal

    Hutan rakyat vegetatif unggul

    Sumber benih

    Sebaran alami

    identifikasi identifikasi

    Teknik perbanyakan

    vegetatif

    Kebun pangkas mutan

    terseleksi Tegakan mutan

    terseleksi Okulasi/stek Pemetaan genetik

    Pembibitan Seleksi bibit Penanaman Seleksi