Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN GEOLISTRIK DENGAN MENGGUNAKAN
METODE RESISTIVITAS UNTUK PERENCANAAN
BANGUNAN SIPIL DI KRUI, PESISIR BARAT, LAMPUNG
SKRIPSI
MAWALI INDAH NURDINIYANTI
NIM. 11160970000064
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020 M
v
ABSTRAK
Krui merupakan daerah yang sedang berkembang pesat dalam hal pembangunan
gedungnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui struktur dan kondisi lapisan
bawah permukaan bumi berdasarkan nilai resistivitas batuan untuk perencanaan
bangunan sipil. Penelitian ini berlokasi di dekat Pasar Krui, Kecamatan Pesisir
Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Saat pengambilan data, konfigurasi
yang digunakan adalah Wenner-Alpha dengan 5 lintasan. Proses pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan Res2DINV, Surfer, ArcGis dan Voxler.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pemodelan 2D dan 3D yang
menggambarkan secara umum bahwa litologi lapisan bawah permukaan pada
daerah penelitian mengandung lapisan akuifer, batuan lempung, alluvial dan
batupasir tufan dengan nilai tahanan jenisnya antara 1,6 – 2502 Ωm. Pada penelitian
ini, nilai tahanan jenis batuan yang diperoleh akan dikorelasikan dengan tabel nilai
resistivitas batuan, data log bor dan kondisi geologi regional. Hasil dari penelitian
ini didapatkan bahwa terdapat batupasir yang cukup keras dan bisa dijadikan
pondasi untuk membangun gedung pada kedalaman hingga 10 m.
Kata kunci: Bangunan Sipil, Data Log Bor, Geolistrik, Wenner-Alpha, Res2DINV
vi
ABSTRACT
Krui is an area that is growing rapidly in terms of building construction. This
research was conducted to determine the structure and condition of the subsurface
layer based on the value of rock resistivity for civil building planning. This research
is located near Krui Market, Pesisir Tengah District, Pesisir Barat Regency,
Lampung. When retrieving data, the configuration used is Wenner-Alpha with 5
tracks. The data processing is done using Res2DINV, Surfer, ArcGis and Voxler.
Based on the results of the study, 2D and 3D modeling is obtained which generally
illustrates that lithology of subsurface layers in the study area contains aquifer,
clay rock, alluvial and tuff sandstones with resistivity values between 1.6 - 2502
Ωm. In this study, the rock resistivity values obtained will be correlated with the
rock resistivity values table, drill log data and regional geological conditions. The
results of this study found that there are sandstones that are quite hard and can be
used as a foundation for building buildings at depths of up to 10 m.
Keywords: Civil Buildings, Drill Log Data, Geoelectric, Wenner-Alpha, Res2DINV
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian
Geolistrik dengan Menggunakan Metode Resistivitas untuk Perencanaan
Bangunan Sipil di Krui, Pesisir Barat, Lampung tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarganya yang telah membawa ummatnya dari zaman kegelapan hingga
zaman yang terang benderang ini, karena berkat ajaran dan ilmu yang beliau
sampaikan penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Strata 1 (S1) pada Program Studi Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu serta mendukung proses penyusunan skripsi ini.
Tanpa bantuan, do’a dan dukungan dari mereka, penulis tidak akan mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Mereka yang telah membantu
dan mendukung penulis adalah:
1. Orang tua penulis, Bapak Suyanto tersayang dan Ibu Nurhasanah tercinta
yang tak henti-hentinya mendo’akan serta mendukung penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini. Jazaakumullah khairan katsiran atas semua
kebaikannya. Semoga syurga menjadi tempat yang kekal untuk kembali
berkumpul.
2. Ibu Tati Zera, M.Si selaku Ketua Program Studi Fisika dan Dosen
Pembimbing I yang selalu membantu, mendo’akan dan mendukung penulis
dalam proses penyusunan tugas akhir skripsi ini.
3. Ibu Elvan Yuniarti, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Fisika yang telah
memberikan do’a dan dukungan kepada penulis.
4. Bapak Ir. Eko Widi Santoso, M.Si selaku Direktur Pusat Teknologi Reduksi
dan Risiko Bencana (PTRRB) Badan Pengkajian Penerapan Teknologi
(BPPT) PUSPIPTEK Serpong yang telah memberikan izin untuk dapat
melaksanakan penelitian skripsi di tempat ini hingga selesai.
viii
5. Bapak Nur Hidayat, S.T, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing, membantu, mengajarkan serta memberikan arahan pada
penelitian skripsi yang dilakukan penulis. Banyak sekali ilmu-ilmu dan
solusi yang beliau berikan pada permasalahan yang terjadi saat penelitian.
6. Bapak Ir. Heru Sri Naryanto, M.Si selaku wali pembimbing yang telah
memberikan ilmu, masukan dan saran kepada penulis selama penelitian dan
penyusunan skripsi.
7. Seluruh staff karyawan PTRRB yang telah menerima dan membantu
penulis dengan baik terkhusus Febri, Mas Shomim, Pak Rochman, Bu
Neneng, Mba Puspa, dll. Terimakasih banyak telah membantu kegiatan
kami selama di PTRRB.
8. Keluarga besar Asy-Syamsuriyah dan keluarga besar Mbah Darmo yang
telah memberikan semangat dan mendo’akan penulis agar dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Murrabiyah terbaik sepanjang masa, Mba Rita Arianti yang selalu
memberikan do’a dan motivasinya kepada penulis.
10. Sahabat terbaik di lingkaran cinta ‘Shalihah Penghuni Syurga’, Nitia, Risti,
Kak Fitri, Hanan, Ana, Anisha, Icha, Yumna, Tsaniya dan kawan-kawan
semua.
11. Keluarga besar SALAM 6 Depok periode 2016 – sekarang, yang sudah
membuat penulis banyak belajar bersyukur, memberikan do’a, dukungan,
motivasi dan lain-lain. Terkhusus untuk BPH dan Head Office (HO) 2019,
terimakasih telah membersamai.
12. Keluarga besar LDK Syahid UIN Jakarta dan Tim Kece Media 23,
terkhusus Nada Cinta Kasih, Euit Umaya Jundiah, Dwi Ayu Lestari, Tut
Nyadin, Riska Nurlita dan teman-teman shalih/ah lainnya yang selalu baik
dan melangitkan do’a-do’anya kepada penulis.
13. Keluarga besar LDK Syahid FST, terkhusus Indah Octaviara Sari, Sri
Haryani, Fadhilah Hanifah, Anis Yulia, dan teman-teman lain yang sudah
menjadikan FST sebagai wadah berkumpulnya kebaikan-kebaikan.
ix
14. Keluarga besar HIMAFI UIN Jakarta periode 2016-2019 yang telah
memberikan pengalaman yang luar biasa untuk bisa berkontribusi walau
belum bisa maksimal, semoga ilmu yang diperoleh bermanfaat untuk masa
depan.
15. Salsabila Firdausi Hidayah dan teman-teman seperjuangan Fisika lain,
khususnya Geofisika 2016 yang telah menemani dan berjuang bersama
sejak awal masuk perkuliahan. Semoga sukses dunia dan akhirat.
16. Teman menuju S.Si, Dinniar Damayanti dan Salsa Fajar Dini yang
senantiasa membantu dan menemani dalam keadaan apapun. Semoga
kesuksesan menyertai kita baik di dunia maupun di akhirat.
17. Kawan-kawan UIN Archery Squad, yang telah memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis. Serta teman-teman lain yang tidak bisa
disebutkan.
18. Nitia Fatimah dan Risti Anjar Wati, dua wanita shalihah yang sangat spesial
bagi penulis karena selalu mendukung, menyemangati dan mengingatkan
dalam segala hal kebaikan.
19. Pejuang “S.”, Annis, Melda, Ana, Risti, Tsaniya, Wafa, yang selalu
menyemangati dan mendukung penulis dalam kondisi apapun.
Penulis berharap semoga seluruh pihak yang telah membantu dengan
ikhlas dalam penelitian dan penulisan skripsi ini Allah SWT akan memberikan
balasan kebaikan yang berlipat ganda dan meridhoi setiap langkah kaki kalian.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih belum sempurna karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk
khalayak ramai dan menjadi pemberat kebaikan di hari perhitungan nanti.
Penulis berharap sekali dengan adanya kritik dan saran yang membangun agar
dapat diperbaiki dengan baik. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui e-
mail: [email protected].
Depok, 23 Juli 2020
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 4
1.3 Batasan Masalah 4
1.4 Rumusan Masalah 5
1.5 Tujuan Penelitian 5
1.6 Manfaat Penelitian 5
1.7 Sistematika Penulisan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Kondisi Geologi Regional 7
2.1.1 Geomorfologi 7
2.1.2 Kondisi Tanah 8
2.1.3 Jenis Batuan 9
2.2 Kondisi Wilayah Regional 14
2.3 Metode Geofisika 15
2.4 Metode Geolistrik 16
2.5 Metode Resistivitas 17
2.5.1 Konsep Dasar Resisitivitas 17
2.5.2 Resistivitas Semu 18
2.6 Konfigurasi Wenner 18
2.7 Sifat Kelistrikan Batuan 20
2.7.1 Jenis-Jenis Batuan 21
2.7.2 Konduksi Dielektrik 29
2.7.3 Kondisi Elektrolitik 29
2.7.4 Kondisi Elektronik 30
xi
2.8 Kekuatan Pondasi Bangunan 30
2.9 Standart Penetration Test (SPT ) 31
BAB III METODE PENELITIAN 33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 33
3.2 Instrumen Penelitian 35
3.2.1 Perangkat Keras 35
3.2.2 Perangkat Lunak 35
3.3 Diagram Alir Penelitian 37
3.4 Pengolahan Data 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 42
4.1 Hasil Analisa Geolistrik 42
4.2 Hasil Korelasi Data Bor, Geologi Regional dan Tabel Nilai
Resistivitas 43
4.3 Hasil dan Interpretasi Penampang 50
4.3.1 Lintasan L-01 51
4.3.2 Lintasan L-02 52
4.3.3 Lintasan L-03 54
4.3.4 Lintasan L-04 56
4.3.5 Lintasan L-05 58
4.4 Persebaran Jenis Batuan 60
4.5 Pemodelan 3D 62
4.6 Peta ISO-Resistivity 64
BAB V PENUTUP 66
5.1 Kesimpulan 66
5.2 Saran 66
DAFTAR ACUAN 68
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Administratif Kabupaten Pesisir Barat 10
Gambar 2.2 Peta Topografi Daerah Penelitian 12
Gambar 2.3 Formasi Batuan Daerah Krui, Kab. Pesisir Barat 13
Gambar 2.4 Konfigurasi Wenner 19
Gambar 2.5 Daur Batuan 22
Gambar 2.6 Contoh Batuan Beku 25
Gambar 2.7 Batuan Beku Ekstrusif dan Intrusif yang Berkomposisi
Asam, Intermediate, Basa, dan Ultrabasa 26
Gambar 2.8 Contoh Batuan Sedimen 28
Gambar 2.9 Contoh Batuan Metamorf 29
Gambar 2.10 Penetrasi dengan SPT 32
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Daerah Krui, Kecamatan Pesisir
Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung 33
Gambar 3.2 Blok Lintasan Penelitian 34
Gambar 3.3 Alat-alat yang digunakan saat penelitian 36
Gambar 3.4 Susunan Data Geolistrik dalam Notepad 38
Gambar 3.5 Pemodelan 2D Hasil Inversi Least-Square 40
Gambar 3.6 Hasil pemodelan 2D dengan Topografi 40
Gambar 3.7 Hasil Pemodelan 3D 41
Gambar 4.1 Lokasi Pengukuran Data Geolistrik 42
Gambar 4.2 Hasil Korelasi Nilai Resistivitas, Geologi Regional
dan Data Log Bor 45
Gambar 4.3 Data Log Bor 46
Gambar 4.4 Kalibrasi Hasil Pengolahan Data Geolistrik dengan
Data Log Bor, Tabel Resistivitas, dan Geologi Regional 48
Gambar 4.5 Hasil Penampang Lintasan 01 51
Gambar 4.6 Hasil Penampang Lintasan 02 52
Gambar 4.7 Hasil Penampang Lintasan 03 54
Gambar 4.8 Hasil Penampang Lintasan 04 56
Gambar 4.9 Hasil Penampang Lintasan 05 58
xiii
Gambar 4.10 Persebaran Jenis Batuan Lintasan 1, 2 dan 3 60
Gambar 4.11 Persebaran Jenis Batuan Lintasan 4 dan 5 61
Gambar 4.12 Hasil Penampang 3-Dimensi dilihat dari Sumbu X
(Panjang Lintasan) 63
Gambar 4.13 Hasil Penampang 3-Dimensi dilihat dari Sumbu Z
(Kedalaman) 63
Gambar 4.14 Peta ISO-Resistivity dan Peta Kedalaman Lintasan 01-03
dengan Spasi 5m 64
Gambar 4.15 Peta ISO-Resistivity dan Peta Kedalaman Lintasan 04-05
dengan Spasi 2,5m 65
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat 14
Tabel 2.2 Metode Geofisika 15
Tabel 2.3 Aplikasi Metode Geofisika 16
Tabel 2.4 Tabel Resisitivitas Batuan 21
Tabel 2.5 Nilai Tahanan Jenis Pada Batuan Beku dan Metamorf 24
Tabel 2.6 Daftar Nama Batuan Sedimen Klastik dan Non-klastik 26
Tabel 2.7 Daftar Nama Batuan Sedimen Non-Klastik 27
Tabel 2.8 Nilai Tahanan Jenis Batuan Sedimen 27
Tabel 4.1 Koordinat Lintasan 43
Tabel 4.2 BOR TITIK 1 47
Tabel 4.3 BOR TITIK 2 47
Tabel 4.4 Korelasi antara Nilai Resistivitas Batuan dengan Formasi
Geologi Regional 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Allah SWT telah menciptakan bumi dan seisinya dengan begitu sempurna,
menjadikan bumi sebagai tempat berpijak yang nyaman karena adanya tarikan gaya
gravitasi. Gaya gravitasi inilah yang membuat seluruh makhluk seisi bumi berjalan
sesuai koridornya. Allah SWT juga berfirman dalam QS. Fatir ayat 41 [1]:
Artinya: “Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap;
dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang mampu menahannya
selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”
Jika kita memandang langit dan bumi serta bintang-bintang yang bertebaran
di angkasa, semua berada di tempatnya, mengitari orbitnya secara pasti tanpa
berhenti atau keluar dari orbitnya. Mereka tidak pernah melambat atau bertambah
cepat putarannya. Semua itu berdiri tanpa tiang, tanpa tambang kuat yang
mengikatnya, dan tanpa bersandar kepada sesuatu. Jika langit dan bumi berubah
dari tempatnya, sehingga guncang dan hancur lebur, maka tidak ada seorangpun
yang mampu memegangnya setelah itu selamanya. Itu adalah waktu yang sering
disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai akhir dari dunia ini yakni, ketika sistem planet
mengalami perubahan sehingga planet-planet guncang, berbenturan, dan
berhamburan [2].
Allah SWT telah menyebutkan bahwa Ialah yang menahan langit dan seluruh
isinya termasuk bumi. Ia yang mengokohkan bumi dengan segala isinya,
menjadikan permukaan bumi kuat dan sangat kokoh. Tidak ada satupun makhluk-
Nya yang bisa menahannya. Kemudian Allah Ta’ala memberitahukan tentang
kekuasaan-Nya yang besar yang dengan kekuasaan-Nya itulah langit dan bumi
2
dapat berdiri dan memiliki kekuatan yang mencengkram keduanya. Allah Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap,”
yakni berguncang dari posisinya. “Dan sungguh jika keduanya lenyap tidak ada
seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Dia.” Maksudnya adalah tidak
ada yang berkuasa untuk melestarikan dan mengekalkan keduanya selain Dia [3].
Sesuai dengan firman Allah yang telah dijelaskan, kita sebagai manusia dapat
berusaha untuk meminimalisir kerusakan di bumi salah satunya dengan cara
menyelidiki kondisi bawah permukaan untuk membangun gedung dengan pondasi
yang kuat. Pembangunan gedung bertingkat seperti gedung pemerintahan, gedung
layanan kesehatan, dan lain-lain tengah berkembang pesat di beberapa daerah, salah
satunya Daerah Krui.
Daerah Krui terletak di Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat,
Provinsi Lampung. Wilayah Kabupaten Pesisir Barat memiliki luas ± 2.907,23 km2
atau 8,39% dari Luas Wilayah Provinsi Lampung. Sedangkan Kecamatan Pesisir
Tengah memiliki luas 120,6 km2. Jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar ±
136.370 jiwa [4]. Kabupaten Pesisir Barat merupakan wilayah dengan kawasan
pegunungan dan perbukitan dengan ketinggian antara 600 sampai 1.000 meter
diatas permukaan laut. Kabupaten Pesisir Barat merupakan kabupaten yang sedang
berkembang pesat untuk kemajuan pembangunan infrastrukturnya. Gedung
bertingkat atau bangunan infrastruktur sipil sangatlah jarang ditemui karena
kabupaten ini adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung
Barat. Berdasarkan informasi tersebut, Kabupaten Pesisir Barat khususnya daerah
Krui berencana untuk membangun gedung sipil seperti gedung pemerintahan,
gedung pelayanan masyarakat, gedung pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Setiap bangunan/gedung menanggung beban dari beberapa gaya yang bekerja
didalamnya, salah satunya beban gempa. Beban gempa merupakan jenis beban gaya
yang mungkin muncul (sesaat). Beban gaya ini biasanya yang mampu merusak
gedung, bila dalam pembangunannya tidak memperhatikan aspek beban gempa.
Kegempaan di sekitar Daerah Pesisir Barat termasuk kedalam klasifikasi tinggi [5].
Daerah Krui memiliki garis pantai di sepanjang wilayah 210 km yang akan
menimbulkan peluang terjadinya abrasi dan sedimentasi pantai, dan termasuk
kedalam daerah rawan gempa dan longsor [6]. Oleh karena itu, penulis tertarik
3
untuk melakukan penelitian bawah permukaan dengan data sekunder yang dimiliki
oleh Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) yang berupa data mentah resistivitas.
Dalam perencanaan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perlu
dilakukan identifikasi kondisi bawah permukaannya terlebih dahulu. Pembangunan
gedung-gedung besar dan bertingkat ini tidak bisa berjalan baik apabila kondisi
bawah permukaannya belum diketahui. Oleh karena itu, identifikasi struktur lapisan
bawah perlu dilakukan sebagai acuan dalam pembuatan pondasi bangunan. Seluruh
pembangunan infrastruktur baik berupa gedung, jalan, jembatan dan lain
sebagainya sangat penting untuk memperhatikan kekuatan dari pondasi tersebut.
Dengan mengetahui kondisi atau struktur lapisan bawah permukaan ini diharapkan
bisa meminimalisir kegagalan dan kerusakan dalam pembuatan pondasi tersebut
dan bisa membangun pondasi yang kuat dan kokoh. Dalam mengidentifikasi bawah
permukaan ini terdapat banyak sekali metode geofisika yang bisa digunakan, salah
satunya yaitu metode geolistrik.
Metode geolistrik adalah salah satu metode yang mempelajari sifat-sifat
aliran listrik didalam bumi dan bagaimana cara mendeteksinya dari permukaan
bumi. Besaran fisis dari metode geolistrik adalah tahanan jenis batuan yang
diakibatkan karena adanya medan potensial dan arus yang diinjeksikan ke bawah
permukaan bumi. Metode geolistrik resisitivitas ini merupakan bagian dari meode
geolistrik yang digunakan untuk mendeteksi sifat resisitivitas (tahanan jenis) di
bawah permukaan. Metode ini cocok untuk eksplorasi dengan kedalaman yang
dangkal karena hasilnya akan lebih akurat. Oleh sebab itu, metode ini sering
digunakan pada survei geofisika untuk menentukan jenis batuan bawah permukaan,
mendeteksi adanya akuifer, dan masih banyak lagi. Konfigurasi yang digunakan
pada penelitian ini adalah konfigurasi Wenner-Alpha.
Konfigurasi Wenner-Alpha merupakan konfigurasi dengan 4 elektroda
dimana jarak elektroda arusnya memiliki nilai yang sama dengan jarak antar
elektroda potensialnya [7]. Konfigurasi ini banyak digunakan karena keunggulan
yang dimilikinya seperti ketelitian saat pembacaan, dapat mendeteksi lapisan
batuan dalam keadaan yang non-homogenitas, dan lain-lain. Prinsip kerja dari
metode ini adalah dengan menginjeksikan arus listrik kedalam bumi melalui dua
4
buah elektoda arus. Beda potensial diukur melalui dua buah elektroda potensial,
dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda tertentu,
dapat ditentukan variasi harga tahanan jenis masing-masing lapisan di bawah titik
ukur. Dari nilai tahanan jenis tersebut, dapat diketahui jenis batuan yang terdapat
dibawah permukaan dengan mengkorelasikan tabel nilai resistivitas dan data log
bor.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah Daerah Krui, merupakan
daerah yang berada di dekat pesisir pantai, sehingga untuk perencanaan
pembangunan gedung-gedung pencakar langit diperlukan survei penyelidikan
kondisi bawah permukaan. Survei ini dilakukan guna mendapatkan informasi
litologi bawah permukaan daerah penelitian dengan jelas. Lokasi penelitian ini
memiliki topografi wilayah yang bervariasi mulai dari dataran rendah hingga terjal.
Luasan daerah terbesar adalah berlereng miring hingga terjal yaitu sebesar 70% dari
luasan total Kabupaten Pesisir Barat yang membentang dari utara ke selatan
sepanjang Patahan Semangko. Karena Sumatera berada di jalur cincin api pasifik,
maka dari itu episenter (sumber gempa) yang terjadi di wilayah ini sebagian besar
berasal dari zona tumbukan Lempeng Indo-Australian dan Lempeng Eurasia di
perairan barat Lampung, zona Patahan Semangko yang merupakan zona paling
selatan dari patahan-patahan besar di Sumatera serta patahan-patahan aktif lainnya.
Oleh karena itu, mengetahui kondisi bawah permukaan sebelum melakukan
pembangunan infrastruktur sangatlah penting agar meminimalisir hal-hal yang
tidak diharapkan seperti bangunan ambruk karena pondasi yang bermasalah, dan
lain-lain.
1.3 Batasan Masalah
Penelitian ini memiliki batasan masalah seperti:
1. Penelitian ini dilakukan oleh Tim Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana
(PTRRB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Pasar
Krui, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
2. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
geolistrik yang akan diolah menggunakan software Res2DINV.
5
3. Pengambilan data geolistrik menggunakan konfigurasi Wenner-Alpha untuk
mengetahui kondisi lapisan bawah permukaan berdasarkan nilai
resistivitasnya.
1.4 Rumusan Masalah
Penelitian ini memiliki rumusan masalah:
1. Menyelidiki kondisi bawah permukaan di area lokasi penelitian.
2. Mengkorelasikan data geolistrik dan data pemboran untuk menentukan
daerah yang cocok untuk dijadikan bangunan atau gedung sipil dengan
pondasi yang kuat.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kondisi lapisan bawah permukaan berupa struktur batuan
di Kabupaten Pesisir Barat.
2. Mengkorelasikan data geolistrik dengan data bor dan data geologi regional
agar diperoleh hasil investigasi bawah permukaan untuk dijadikan
bangunan sipil.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ialah untuk mengetahui kondisi atau struktur
lapisan dibawah permukaan bumi seperti jenis batuan, sebaran, ketebalan serta
kondisi yang ada dibawah permukaan sehingga dapat ditentukan daerah mana
yang cocok untuk dijadikan bangunan dengan pondasi yang kuat.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang
penelitian, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Membahas tentang teori-teori mendasar mengenai letak geografis penelitian,
kondisi geologi regional, metode geofisika, metode geolistrik (resistivitas),
konfigurasi elektroda, dan sifat kelistrikan batuan.
6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Membahas tentang tempat dan waktu saat melaksanakan penelitian,
peralatan dan bahan yang digunakan saat penelitian serta tahapan penelitian.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Membahas tentang hasil dari penelitian berupa pengolahan data dan hasil
penampang 2D serta analisis dari hasil penelitian tersebut.
BAB V PENUTUP
Menyampaikan poin-poin kesimpulan dari hasil penelitian yang didapat dan
memberikan saran yang membangun untuk penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Geologi Regional
Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Kota
Agung, Sumatera dengan skala 1 : 250.000. Peta geologi ini diterbitkan oleh Pusat
Penelitian dan Penelitian Geologi (PPPG) Bandung oleh T.C Amin, Sidarto,
S.Santosa dan W. Gunawan pada tahun 1993.
2.1.1 Geomorfologi
Secara Topografi Kabupaten Pesisir Barat dibagi menjadi 3 (tiga) unit
topografi yakni: [4]
1. Daerah dataran rendah (ketinggian 0 sampai 600 meter dari permukaan
laut).
2. Daerah berbukit (ketinggian 600 sampai 1.000 meter dari permukaan laut).
3. Daerah pegunungan (daerah ketinggian 1.000 sampai dengan 2.000 meter
dari permukaan laut).
Keadaan wilayah sepanjang Pantai Pesisir Barat umumnya datar sampai
berombak dengan kemiringan berkisar 3% sampai 5%. Di bagian Barat Laut
Kabupaten Pesisir Barat terdapat gunung-gunung dan bukit, yaitu Gunung Pugung
(1.964 m), Gunung Sebayan (1.744 m), Gunung Telalawan (1.753 m) dan Gunung
Tampak Tunggak (1.744 m).
Vegetasi utama yang menyusun bukit barisan, terdiri dari: [4]
1. Hutan hujan dataran rendah yang terdiri dari :
a. Formasi Hutan Pantai (Littoral Forest)
Tipe hutan ini terletak disamping semenanjung selatan Taman Nasional
Bukit Barisan, di pantai barat yang terendah pada ketinggian 0 - 2 meter dari
permukaan laut. Jenis-jenis vegetasinya antara lain Terminalia, Ahesbiskus
Sp, Barbaringtonia, Calophylum, Casuarina Sp, Pandanus Sp, dan Ficus Sp.
8
b. Formasi Dataran Rendah (Lowland Planis)
Tipe formasi ini terletak di sepenanjung selatan (pertengahan jalan ke
utara) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang memiliki ketinggian 0-
500 meter dari permukaan laut.
c. Formasi Hutan Hujan Bawah.
Tipe hutan ini terletak di sebelah Danau Ranau bagian barat dan selatan
dan berada pada ketinggian 500 - 1.000 meter dari permukaan laut. Jenis –
jenis pohon yang ada adalah dari famili Dipterocarpaceae, Myrtaceae dan
Annonaceae antara lain Uqenia oferculuta dan Nauclea purpurescens. Jenis
- jenis tumbuhan bawah dan semak antara lain Neolitcea cassinefolia,
Psychotria rhinocerotis, Arecea Sp dan Globba pandela.
2. Hutan Hujan Tengah (Lower Montain Rain Forest)
Tipe hutan ini terletak di Daerah Sekincau ditengah pegunungan sebelah utara
pada ketinggian 1.000 - 1.500 meter dari permukaan laut. Jenis-jenis tumbuhan dari
famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae dan Fagaceae antara lain Qercus
Sp, selain itu terdapat juga padang rumput (grazing area) di Daerah Danau
Mengukut, Jenis vegetasi yang terdapat adalah gajah (Penesetum purpureum).
2.1.2 Kondisi Tanah
Kondisi tanah yang terdapat di Kabupaten Pesisir Barat memiliki beberapa
jenis, diantaranya: [4]
1. Tanah Pada Sistem Alluvial.
Tanah sistem ini terbentuk dari bahan endapan sungai dan hasil
alluvial/koliviasi di kaki lereng perbukitan/pegunungan yang landai. Tersebar
antara ketinggian 0 - 100 meter dari pemukaan laut di sepanjang jalur aliran sungai
daerah Peisisir Selatan, Pesisir Tengah, dan Pesisir Utara.
2. Tanah Pada Sistem Marine
Tanah sistem ini terbentuk dari bahan endapan laut yang bersusun halus
sampai kasar dan merupakan dataran rendah yang memanjang pada ketinggian
antara 0 - 20 meter dari permukaan laut, berupa dataran pasang surut berlumpur,
beting-beting pantai dan cekungan antar pantai.
9
3. Tanah Pada Sistem Teras Marine
Jenis tanah ini terdapat di sepanjang garis pantai mulai dari Pesisir Utara,
terletak pada ketinggian antara 0 - 20 meter dari permukaan laut, bentuk wilayah
berombak sampai bergelombang dengan variasi lereng antara 3 - 5 %. Terbentuk
dari tufa masam dan batuan sedimen.
4. Tanah Pada Sistem Vulkan
Secara umum tanah pada sistem ini dapat dibedakan berdasarkan bahan
induknya yaitu dari bahan induk andesitis dan basal terletak pada ketinggian 25-
200 meter dari permukaan laut. Lereng atas dan tengah telah mengalami pengikisan
lanjut, berlereng curam dengan lereng lebih dari 30 sedangkan lereng bawahnya
berlereng kurang dari 16 %.
5. Tanah Pada Sistem Perbukitan
Keadaan topografi yang bervariasi pada sistem ini memberikan pengaruh
terhadap proses pembentukan dan perkembangan tanah. Umumnya tanah telah
mengalami dan menunjukan perkembangan lanjut, kecuali di daerah yang tererosi.
Daerahnya terletak di lereng pegunungan vulkan terutama di sepanjang Bukit
Barisan. Bahan pembentuknya berupa bahan vulkan, sedimen, plutonik masam dan
batuan metamorf setempat yang ditutupi oleh bahan tufa masam ranau.
6. Tanah Pada Sistem Pegunungan Dan Plato
Pada umumnya bahan pembentuknya berupa bahan vulkan tersier, batuan
plutonik masam. Terletak pada ketinggian antara 25-1.350 meter dari
permukaan laut dan pada umumnya berlereng curam, agak curam, sampai
sangat curam sekali dengan lereng lebih baik dari 30 %.
2.1.3 Jenis Batuan
Berdasarkan peta geologi Provinsi Lampung skala 1 : 250.000 yang disusun
oleh S. Gafoer, TC Amin, Andi Mangga (1989), Pesisir Barat terdiri dari batuan
vulkan tua (Old Quarternary Young), Formasi Simpang Aur, Formasi Ranau,
Formasi Bal, Batuan Intrusive [4].
10
Gambar 2.1 Formasi Batuan Daerah Krui, Kab. Pesisir Barat. [8]
Berdasarkan peta geologi regional ‘Lembar Kotaagung, Sumatera’, Daerah
Krui berada di dekat Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir
Barat, Provinsi Lampung. Daerah ini merupakan daerah perbukitan yang
menggelombang dan berbatasan langsung dengan Laut Teluk Krui.
Terdapat beberapa formasi batuan penyusun daerah ini, diantaranya: [8]
1. Alluvium (Qa)
Formasi ini telah ada sejak zaman holosen. Litologi batuannya terdiri dari
bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lanau dan lumpur. Pada peta lembar Kota Agung,
formasi batuan ini tersebar di seluruh lembar terutama di daerah depresi Semangko
dan daerah pantai. Formasi ini memiliki ciri-ciri geologi foto seperti, rona kelabu
11
tua, tekstur kasar, sub-dendritik, drainase berkerapatan rendah, topografi datar.
Alluvium ini termasuk batuan endapan permukaan.
2. Formasi Simpangaur (Tmps)
Formasi ini berada di zaman miosen-akhir pliosen. Litologi batuannya terdiri
dari batupasir tufan & batulanau, konglomerat anekabahan, tuf. Batupasir tufan
memiliki ciri berwarna kelabu pucat, berbutir halus, keras, padat berlensa batupasir,
mengandung moluska dan pecahan kerang. Batulanau tufan memiliki ciri berwarna
kelabu pucat-kelabu kehijauan, lunak, berlapis baik, tebal beberapa cm sampai 3 m
ditemukan terutama di bagian atas formasi. Mengandung sisipan tipis lignit & batu
pasir, bermoluska. Konglomerat anekabahan memiliki cri-ciri berwarna
kecoklatan-kuning, fragmen bundar-memundar tanggung terutama terdiri dari
batuan gunungapi dalam massa dasar batupasir kasar tufan, dijumpai di bagian
bawah formasi. Tuf putih kecoklatan, terdapat sebagai sisipan dalam unit batupasir
dan batulanau, pada umumnya berketebalan beberapa cm sampai 50 cm. Formasi
Simpangaur ini termasuk batuan sedimen dan tersebar luas berarah barat laut-
tenggara di sepanjang bagian barat Bukit Barisan dengan ketebalan bervariasi mulai
dari 200-700 m. Ciri-ciri geologi foto pada formasi ini memiliki warna rona kelabu,
tekstur halus, drainase kerapatan menengah, sub-paralel, relief rendah.
Air tanah biasanya dapat ditentukan pada pasir dan batupasir dimana bagian
bawah yang melapisi batuan ini bersifat kedap/anti air. Pada geologi bawah
permukaan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidaklah sama. Sejarah
geologi di zaman dahulu dan jenis formasi batuan menjadi faktor penting dalam
terbentuknya lapisan yang berfungsi sebagai cebakan air. Jika terdapat beberapa
daerah yang memiliki potensi air tanah tidak terlalu baik, itu adalah hal yang sangat
wajar. Pemahaman geologi dan geofisika cukup penting untuk mendapatkan
informasi daya dukung air bawah permukaan di suatu wilayah [9]. Daerah Krui
memiliki kondisi regional yang tidak datar, ada perbukitan, dataran rendah dan lain-
lain. Jenis batuan yang terdapat di daerah ini seperti endapan lempung pasir,
batupasir, hingga batuan keras lainnya terdapat pada kedalaman 2 – 15 m [5].
12
Gambar 2.2 Peta Topografi Daerah Penelitian
13
Gambar 2.3 Peta Administratif Kabupaten Pesisir Barat. [10]
14
2.2 Kondisi Wilayah Regional
Kabupaten Pesisir Barat merupakan kabupaten termuda dengan Ibukota Krui,
salah satu dari 15 kabupaten/kota di wilayah Provinsi Lampung. Kabupaten ini
merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Barat yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2012 (tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 231, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5364) tentang Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Pesisir Barat
Provinsi Lampung tertanggal 16 November 2012 dan diundangkan pada tanggal 17
November 2012 [11].
Wilayah Kabupaten Pesisir Barat memiliki luas ± 2.907,23 km2 atau 8,39%
dari Luas Wilayah Provinsi Lampung, dengan mata pencaharian pokok sebagian
besar penduduknya sebagai petani dan nelayan. Secara geografis letak Kabupaten
Pesisir Barat berada di selatan garis khatulistiwa pada koordinat: 4º40' 0" - 6º0'0"
Lintang Selatan dan 103º30'0" - 104º50'0" Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Pesisir
Barat secara administratif terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 desa (di Pesisir
Barat disebut Pekon) dan 2 Kelurahan, dengan jumlah penduduk sebesar ± 136.370
jiwa [4].
Tabel 2.1 Luas Wilayah Tiap Kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat. [12]
No Kecamatan Luas Wilayah
Km2 %
1 Pesisir Selatan 409,2 14,17
2 Bengkunat 215,0 7,45
3 Bengkunat Belimbing 943,70 32,69
4 Pesisir Utara 84,5 2,92
5 Karya Penggawa 211,1 7,31
6 Pulau Pisang 43,6 1,51
7 Way Krui 40,9 1,42
8 Krui Selatan 36,3 1,26
9 Ngambur 327,2 11,33
10 Lemong 455,0 15,76
11 Pesisir Tengah 120,6 4,18
Total 2.907,23 100,00
15
2.3 Metode Geofisika
Metode geofisika merupakan salah satu cabang dari ilmu bumi yang
mengkaji tentang bumi menggunakan prinsip-prinsip dasar fisika untuk
mempelajari struktur bawah permukaan bumi. Secara umum, metode geofisika
dibagi menjadi 2, yaitu metode aktif dan metode pasif. Metode aktif adalah metode
yang ketika melakukan pengukuran menggunakan gelombang gangguan buatan
yang ditransfer ke bumi lalu respon yang diberikan oleh bumi akan dicatat.
Misalnya, ledakan dari dinamit, penginjeksian arus listrik kebawah permukaan, dan
lain sebagainya. Sedangkan metode pasif merupakan metode yang ketika
melakukan pengukuran memanfaatkan medan alami yang dipancarkan oleh bumi.
Misalnya, pemanfaatan radiasi gelombang gempa bumi, medan listrik bumi, medan
magnet bumi, dan lain sebagainya. Dalam kegiatan eksplorasi, terdapat beberapa
jenis metode geofisika seperti, metode geolistrik, metode gravitasi, metode seismik,
metode geomagnetik dan radar.
Tabel 2.2 Metode Geofisika. [13]
Metode Parameter Yang Diukur Sifat Fisika Yang Diukur
Seismik Waktu tempuh gelombang
seismik yang dibiaskan atau
dipantulkan
Massa jenis dan modulus
elastis, yang menentukan
cepat rambat gelombang
seismik
Gravitasi Variasi spasial dalam kekuatan
medan gravitasi bumi
Massa jenis
Magnetik Variasi spasial dalam kekuatan
bidang geomagnetik
Suseptibilitas magnetik dan
remanensi
Resistivitas
Listrik
Resistansi bumi Konduktivitas listrik
Polarisasi
Induksi
Tegangan polarisasi atau
resistansi tanah yang bergantung
pada frekuensi
Kapasitansi listrik
Potensial Diri Potensial listrik Konduktivitas listrik
Elektromagnetik Respon terhadap radiasi
elektromagnetik
Konduktivitas listrik dan
induktansi
16
Metode geofisika tersebut dipergunakan sesuai dengan tujuannya masing-masing
karena memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap parameter pengukuran
fisikanya. Beberapa contoh pengaplikasian metode geofisika dapat dilihat di tabel
2.3:
Tabel 2.3 Aplikasi Metode Geofisika. [13]
Aplikasi Metode Geofisika Metode Geofisika yang Sesuai
Eksplorasi bahan bakar fosil
(minyak, gas, batubara)
Seismik, Gravitasi, Magnetik,
(elektromagnetik)
Eksplorasi mineral mengandung
logam
Magnetik, elekromagnetik,
resistivitas, potensial diri, polarisasi
induksi
Eksplorasi deposit mineral dalam
jumlah besar (contoh: batu pasir)
Seismik, resistivitas, gravitasi
Eksplorasi air tanah Resistivitas, seismik, gravitasi,
georadar
Investigasi lokasi konstruksi Resistivitas, seismik, georadar,
gravitasi, georadar
Investigasi arkeologi Georadar, resistivitas, elektromagnet,
magnetik, seismik
2.4 Metode Geolistrik
Metode geolistrik ialah salah satu metode geofisika yang mempelajari
tentang sifat aliran listrik dibawah permukaan bumi dengan cara mengalirkan arus
listrik yang bertegangan tinggi ke bawah permukaan bumi. Metode ini digunakan
untuk mendeteksi dan menggambarkan kondisi litologi bawah permukaan.
Geolistrik dikenal sebagai metode yang ramah lingkungan, praktis dan dapat
memberikan informasi sampai kedalaman yang optimal [14]. Salah satu kelebihan
yang dimiliki metode ini adalah waktu yang dibutuhkan saat pengambilan data
relatif lebih cepat dan dapat menginformasikan kondisi bawah permukaan bumi
yang lebih akurat.
Metode geolistrik adalah metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi
bawah permukaan bumi berdasarkan besar nilai resistivitas (tahanan jenis). Metode
geolistrik dapat dibagi menjadi 2 macam berdasarkan sumber arus listrik yaitu: [15]
1. Metode aktif, yaitu mengalirkan sumber arus listrik ke dalam tanah atau batuan
bumi, kemudian efek potensialnya diukur di dua titik permukaan tanah dengan
jalan menggunakan aktivitas elektrokimia alami.
17
2. Metode pasif, yaitu menggunakan arus listrik yang terjadi akibat adanya aktivitas
elektrokimia dan elektromekanik dalam material-material penyusun batuan.
Metode geolistrik yang memanfaatkan adanya arus listrik alami antara lain Self
Potential (SP) dan Magnetotellurik.
2.5 Metode Resistivitas
Metode resisitivitas merupakan bagian dari metode geolistrik yang
digunakan untuk mendeteksi sifat resistivitas (tahanan jenis) yang ada dibawah
permukaan bumi. Prinsip pengukuran dalam metode tahanan jenis adalah dengan
menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian
beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda potensial. Dari hasil
pengukuran arus dan beda potensial tersebut setiap jarak elektroda yang berbeda
kemudian dapat diturunkan variasi nilai tahanan jenis (ρ) dari masing-masing
lapisan di bawah titik ukur dalam satuan ohm-m (Ωm) [14].
2.5.1 Konsep Dasar Resistivitas
Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian
dari arus listrik yang diberikan pada lapisan tanah, akan menjalar ke dalam tanah
pada kedalaman tertentu dan bertambah besar dengan bertambahnya jarak antar
elektroda. Dalam pengukuran geolistrik resistivitas jika sepasang elektroda
diperbesar, distribusi potensial pada permukaan bumi akan semakin membesar
dengan nilai resistivitas yang bervariasi [16].
Berdasarkan tujuan pengukuran di lapangan, metode geolistrik dibagi menjadi dua,
yaitu: [16]
1. Metode Resistivitas Sounding
Metode ini bertujuan untuk menyelidiki perubahan nilai tahanan jenis bawah
permukaan ke arah vertikal yaitu dengan cara pada titik ukur tetap, jarak elektroda
arus dan tegangan diubah-ubah sehingga semakin besar jarak antar elektroda maka
akan tampak efek dari material yang lebih dalam.
2. Metode Resistivitas Mapping
Metode ini bertujuan untuk menyelidiki perubahan nilai tahanan jenis bawah
permukaan ke arah lateral atau horisontal yaitu dengan cara menggeser titik ukur
secara horisontal dengan jarak elektroda dan tegangan tetap. Pada metode ini
kedalaman yang tersurvei akan sama karena pergeserannya ke arah horisontal.
18
2.5.2 Resistivitas Semu
Hasil pengukuran langsung di lapangan dinamakan resistivitas semu (ρa),
yang mana merupakan besaran rata-rata dari nilai-nilai resistivitas medium yang
berbeda-beda tersebut. Nilai resistivitas semunya dapat ditentukan sebesar:
ρa=2𝛺𝛥𝑉
𝐼
1
(1
𝑟1 −
1
𝑟2)−(
1
𝑟3 −
1
𝑟4) (2.1)
Kelompok parameter yang berdimensi jarak dinotasikan sebagai K yang disebut
sebagai faktor geometri:
K=2𝜋
(1
𝑟1 −
1
𝑟2)−(
1
𝑟3 −
1
𝑟4) (2.2)
K merupakan suatu tetapan, dan nilainya tergantung pada susunan elektroda yang
digunakan dalam pengukuran. Dengan demikian persamaan dapat ditulis menjadi,
ρa= 𝐾𝛥𝑉
𝐼 (2.3)
Dimana:
K = Tetapan Faktor Geometri 𝛥𝑉 = Tegangan (V)
ρa = Resistivitas Semu (Ωm) I = Arus Listrik (A)
Dengan menggunakan konfigurasi elektroda tertentu, nilai K dapat
ditentukan, beda tegangan dan arus yang dimasukkan ke dalam tanah dapat diukur,
dengan demikian resistivitas semunya dapat dihitung dengan mengubah jarak antar
elektroda untuk kepentingan eksplorasi dapat diperoleh berbagai variasi nilai
tahanan jenis terhadap kedalaman. Hasil pengukuran di lapangan sesudah dihitung
nilai tahanan jenisnya merupakan fungsi dari konfigurasi elektroda dan berkaitan
dengan kedalaman penetrasinya. Semakin panjang rentang antar elektroda, semakin
dalam penetrasi arus yang diperoleh yang tentu juga sangat ditentukan oleh kuat
arus yang dialirkan melalui elektroda arus [17].
2.6 Konfigurasi Wenner
Metode geolistrik terdiri dari beberapa konfigurasi, misalnya ke 4 buah
elektrodanya terletak dalam satu garis lurus dengan posisi elektroda AB dan MN
19
yang simetris terhadap titik pusat pada kedua sisi, salah satunya Konfigurasi
Wenner. Setiap konfigurasi mempunyai metode perhitungan tersendiri untuk
mengetahui nilai ketebalan dan tahanan jenis batuan di bawah permukaan.
Konfigurasi Wenner dikembangkan oleh Wenner di Amerika yang keempat
buah elektroda-nya terletak dalam satu garis dan simetris terhadap titik tengah.
Jarak MN pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga (1/3) dari jarak AB. Bila jarak
AB diperlebar, maka jarak MN juga harus diubah sehingga jarak MN tetap sepertiga
jarak AB.
Gambar 2.4 Konfigurasi Wenner [17]
Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan
tegangan pada elektroda MN lebih baik dengan angka yang relatif besar karena
elektroda MN yang relatif dekat dengan elektroda AB. Alat ukurnya bisa
menggunakan multimeter dengan impedansi yang relatif lebih kecil. Penentuan
resistivitas semu berdasarkan faktor geometrinya (K) seperti pada persamaan.
ρa = 2𝜋𝑎𝑉
𝐼 (2.4)
Dari gambar 2.5, terlihat bahwa jarak AM = NB = a dan jarak AN = MB =
2a, dengan menggunakan persamaan (2.2) diperoleh:
K =2𝜋
(1
𝑎 −
1
2𝑎)−(
1
2𝑎 −
1
𝑎) (2.5)
K = 2𝜋𝑎 (2.6)
Sehingga faktor geometri untuk konfigurasi Wenner adalah:
Kw = 2𝜋𝑎 (2.7)
Salah satu jenis konfigurasi wenner ini adalah Wenner-Alpha. Wenner-Alpha
memiliki konfigurasi elektroda potensial yang berada diantara elektroda arus yang
20
tersusun dari C1-P1-P2-C2 dengan jarak elektroda yang satu dengan lainnya sama
yaitu a. Keuntungan dan keterbasan konfigurasi Wenner-Alpha adalah: [18]
1. Konfigurasi elektroda Wenner-Alpha sangat sensitive terhadap perubahan
lateral setempat dan dangkal. Hal tersebut terjadi karena anomaly geologi
diamati oleh elektroda C1 dan P1 berkali-kali. Namun demikian untuk jarak
C-P yang lebih pendek, daya tembus (penetrasi) lebih besar, sehingga berlaku
untuk eksplorasi resistivitas dalam.
2. Karena bidang ekuipotensial untuk benda homogen berupa bola, maka data-
data lebih mudah diproses dan dimengerti. Disamping itu nilai errornya
cukup kecil.
3. Karena sensitif terhadap perubahan-perubahan ke arah lateral di permukaan,
konfigurasi ini banyak digunakan untuk penyelidikan geotermal.
2.7 Sifat Kelistrikan Batuan
Sifat kelistrikan batuan adalah suatu karakteristik dari batuan apabila
dialirkan arus listrik kedalam batuannya. Arus listrik dapat berasal dari alam yang
disebabkan oleh adanya atom-atom penyusun kerak bumi akibat adanya
ketidakseimbangan muatan, atau arus listrik yang sengaja dimasukkan kedalam
bawah permukaan. Setiap batuan dan mineral dalam bumi memiliki nilai tahanan
jenis yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kepadatan
batuan, umur batuan, jumlah mineral yang dikandung, kandungan elektrolit,
permeabilitas, porositas dan lain sebagainya, sehingga tidak ada nilai dari harga
tahanan jenis yang pasti [19]. Beberapa sifat kelistrikan batuan yang berguna dalam
eksplorasi secara geolistrik terkhusus dalam metode resistivitas adalah potensial
listrik alami, konduktivitas listrik, dan konstanta dielektrik.
Potensial listrik alami ini terjadi disebabkan dengan adanya aktivitas
elektrokimia atau kegiatan-kegiatan mekanik alam. Potensial listrik ini
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Potensial elektrokinetik, potensial ini terjadi saat larutan elektrolit bergerak
melalui media yang berbentuk pipa kapiler atau media yang berpori.
2. Potensial difusi, terjadi apabila terdapat perbedaan mobilitas ion-ion dalam
larutan yang mempunyai konsentrasi berbeda.
21
3. Potensial nerust, terjadi saat elektroda logam dimasukkan kedalam elektroda
homogen.
4. Potensial mineralisasi, terjadi saat dua elektroda logam dimasukkan kedalam
elektroda yang homogen.
Tabel 2.4 Tabel Resisitivitas Batuan [20]
2.7.1 Jenis-Jenis Batuan
Batuan adalah kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat
secara gembur ataupun padat. Batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,
biasanya tidak homogen. Pada umumnya batuan merupakan gabungan dari dua
mineral ataupun lebih. Batuan mempunyai komposisi mineral, sifat-sifat fisik, dan
22
umur yang beraneka ragam [21]. Batuan dapat digolongkan menjadi 3 jenis
golongan, yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Perkembangan
batuan mengikuti suatu siklus atau daur batuan. Siklus batuan adalah suatu proses
dimana material bumi berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya dan terjadi akibat
interaksi antara lempengan tektonik dan siklus hidrologi [22].
Gambar 2.5 Daur Batuan (Siklus Batuan) [22]
Melalui daur batuan ini, dapat diketahui proses-proses geologi yang bekerja
dan mengubah kelompok batuan yang satu ke lainnya. Konsep daur batuan ini
merupakan landasan utama dari Geologi Fisik yang diutarakan oleh James Hutton.
Dalam daur tersebut, batuan beku terbentuk sebagai akibat dari pendinginan dan
pembekuan magma. Pendinginan magma yang berupa lelehan silikat, akan diikuti
oleh proses penghabluran yang dapat berlangsung dibawah atau diatas permukaan
bumi melalui erupsi gunung berapi. Proses penghabluran adalah proses perubahan
suatu benda/zat dari gas menjadi benda padat.
Kelompok batuan beku tersebut, apabila kemudian tersingkap di permukaan,
maka ia akan bersentuhan dengan atmosfer dan hidrosfer, yang menyebabkan
23
berlangsungnya proses pelapukan. Melalui proses ini batuan akan mengalami
penghancuran. Selanjutnya, batuan yang telah dihancurkan ini akan
dipindahkan/digerakkan dari tempat terkumpulnya oleh gaya berat, air yang
mengalir diatas dan dibawah permukaan, angin yang bertiup, serta gelombang di
pantai dan gletser di pegunungan-pegunungan yang tinggi. Media pengangkut
tersebut juga dikenal sebagai alat pengikis, yang dalam bekerjanya berupaya untuk
meratakan permukaan bumi. Bahan-bahan yang diangkutnya baik itu berupa
fragmen-fragmen atau bahan yang larut, kemudian akan diendapkan di tempat-
tempat tertentu sebagai sedimen.
Proses berikutnya adalah terjadinya ubahan dari sedimen yang bersifat lepas
menjadi batuan yang keras melalui pembebanan dan perekatan oleh senyawa
mineral dalam larutan. Proses inilah yang disebut batuan sedimen. Apabila terhadap
batuan sedimen ini terjadi peningkatan tekanan dan suhu akibat dari penimbunan
atau terlibat dalam proses pembentukan pegunungan, maka batuan sedimen tersebut
akan mengalami ubahan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, dan
terbentuklah batuan malihan atau batuan metamorfis. Apabila batuan metamorfis
ini masih mengalami peningkatan tekanan dan suhu, maka ia akan kembali leleh
dan berubah menjadi magma [22].
Panah-panah dalam gambar, menunjukan bahwa jalannya siklus dapat
terganggu dengan adanya jalan-jalan pintas yang dapat ditempuh, seperti dari
batuan beku menjadi batuan metamorfis, atau batuan metamorfis menjadi sedimen
tanpa melalui pembentukan magma dan batuan beku. Batuan sedimen di lain pihak
dapat kembali menjadi sedimen akibat tersingkap ke permukaan dan mengalami
proses pelapukan.
1. Batuan Beku
Batuan beku atau biasa disebut batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, “api”)
merupakan jenis batuan yang terbentuk dari magma hasil pendinginan dan
pengerasan, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik dibawah permukaan sebagai
batuan intrusif (plutonik) maupun diatas permukaan sebagai batuan ekstrusif
(vulkanik). Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya
berlangsung di permukaan bumi, sedangkan batuan beku intrusif adalah batuan
beku yang proses pembekuannya berlangsung dibawah permukaan bumi. Batuan
24
beku ekstrusif ini yaitu lava yang memiliki berbagia struktur yang memberi
petunjuk mengenai proses yang terjadi pada saat pembekuan lava tersebut.
Tabel 2.5 Nilai Tahanan Jenis Pada Batuan Beku dan Metamorf. [20]
Tabel 2.5 menjelaskan tentang jenis batuan beku dam metamorf
berdasarkan nilai resistivitas/tahanan jenisnya. Semakin tinggi nilai tahanan
jenisnya makan akan semakin kering/keras tekstur dari batuan tersebut.
Batuan Tahanan Jenis (Ωm)
Granite 3x102 – 106
Granite Porphyry 4,5x103 (basah) – 1,3x106 (kering)
Feldspar Porphyry 4x103 (basah)
Albite 3x102 (basah) – 3,3x103 (kering)
Syenite 102 – 106
Diorite 104 – 105
Diorite Porphyry 1,9x103 (basah) – 2,8x104 (kering)
Porphyrite 10 – 5x104 (basah) – 1,8x105 (kering)
Carbonatized Porphyry 2,5x103 (basah) – 6x104(kering)
Quartz Porphyry 3x102 – 3x105
Quartz Diorite 2x104 – 2x106 (basah) – 1,8x105 (kering)
Porphyry (various) 60x104
Dacite 2x104 (basah)
Andesite 4,5x104 (basah) – 1,7x102 (kering)
Diabase Porphyry 103 (basah) – 1,7x105 (kering)
Diabase (various) 20 – 5x107
Lavas 102 – 5x104
Gabbro 103 – 106
Basalt 10 – 1,3x107 (kering)
Olivine norite 103 – 6x104 (basah)
Peridotite 3x103 (basah) – 6,5x103 (kering)
Hornfels 8x103 (basah) – 6x107 (kering)
Schists 20 – 104
Tuffs 2x103 (basah) – 105 (kering)
Graphite schists 10 – 102
Slatea (various) 6x102 – 4x107
Gneiss (various) 6,8x104 (basah) – 3x106 (kering)
Marmer 102 – 2,5x108 (kering)
Skarn 2,5x102 (basah) – 2,5x108 (kering)
Quartzites (various) 10 – 2x108
25
Adapun contoh batuan beku adalah sebagai berikut:
Gambar 2.6 Contoh Batuan Beku. [22]
Gambar 2.7 Batuan Beku Ekstrusif Dan Intrusif yang Berkomposisi Asam, Intermediate,
Basa, Dan Ultrabasa [22]
26
2. Batuan Sedimen
Pada umumnya, sedimen diangkut dan dipindahkan oleh air (proses fluvial),
oleh angin (proses aeolian) dan oleh es (glacier). Pada saat kekuatan untuk
mengangkut sedimen tidak cukup besar dalam membawa sedimen-sedimen yang
ada maka sedimen tersebut akan jatuh atau mungkin tertahan akibat gaya gravitasi
yang ada. Setelah itu proses sedimentasi dapat berlangsung sehingga mampu
mengubah sedimen-sedimen tersebut menjadi suatu batuan sedimen. Material yang
menyusun batuan sedimen adalah lumpur, pasir, kerikil, kerakal, dan sebagainya.
Sedimen ini akan menjadi batuan sedimen apabila mengalami proses pengerasan.
Sedimen akan menjadi batuan sedimen melalui proses pengerasan atau pembatuan
(lithifikasi) yang melibatkan proses pemadatan (compaction), sementasi
(cementation) dan diagenesa dan lithifikasi.
Ciri-ciri batuan sedimen adalah: [22]
a. Berlapis (stratification);
b. Umumnya mengandung fosil;
c. Memiliki struktur sedimen;
d. Tersusun dari fragmen butiran hasil transportasi.
Tabel dibawah ini adalah daftar nama-nama batuan sedimen klastik (berdasarkan
ukuran dan bentuk butir) dan batuan sedimen non-klastik (berdasarkan genesa
pembentukannya):
Tabel 2.6 Daftar Nama Batuan Sedimen Klastik dan Non-klastik. [22]
BATUAN SEDIMEN KLASTIK
Tekstur Ukuran Butir Komposisi Nama Batuan
Klastik Gravel > 2 mm Fragmen batuan membundar Konglomerat
Fragmen batuan menyudut Breksi
1/16 – 2 mm Mineral kuarsa dominan Batupasir Kuarsa
Kuarsa dan flespar Batupasir Arkose
Kuarsa, feldspar, lempung
dan fragmen batuan
Batupasir
Graywacke
<1/256 mm Laminasi Serpih
Masif Lempung
27
Tabel 2.7 Daftar Nama Batuan Sedimen Non-Klastik. [22]
BATUAN SEDIMEN NON-KLASTIK
Kelompok Tekstur Komposisi Nama Batuan
Evaporite Non-klastik Halite, NaCl Batu garam
Non-klastik Gypsum, CaSO4-2 H2O Batu Gypsum
Non-klastik CaCO3 Travertine
Karbonat
Klastik/Non-
Klastik
Calcite, CaCO3 Batugamping Klastik
Klastik/Non-
Klastik
Dolomite, CaMg(CO3)2 Dolomite
Klastik/Non-
Klastik
Calcite, CaCO3 Batugamping terumbu
Silika Non-Klastik Mikrokristalin, quartz Rijang (Chert)
Non-Klastik Plantonik Diatomiceous Earth
Diatomite
Organik Non-Klastik Material Organik Batubara
Tabel 2.8 Nilai Tahanan Jenis Batuan Sedimen. [20]
Batuan Tahanan Jenis (Ωm)
Consolidated shales 10 – 2x103
Argilities 10 – 8x102
Conglomerats 2x103 – 104
Sandstones 1 – 6,4x108
Linestones 50 – 107
Dolomite 3,5x102 – 5x103
Unconsolidated wet clay 20
Marls 3 – 70
Clays 1 – 100
Alluvium and sands 100 – 800
Oil sands 4 – 800
28
Adapun contoh batuan sedimen sebagai berikut:
Gambar 2.8 Contoh Batuan Sedimen. [22]
3. Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari batuan asal (batuan beku
dan batuan sedimen) yang mengalami perubahan temperaturdan tekanan secara
bersamaan yang mengakibatkan pembentukan mineral-mineral baru dan tekstur
yang baru [15]. Pengamatan singkapan batuan metamorf pada saat di lapangan
sangat berguna dalam menentukan hubungan antara batuan metamorf dengan yang
lainnya. Batuan metamorf merupakan batuan dasar dari batuan tersier. Berdasarkan
urutan stratigrafi, batuan metamorf adalah batuan yang paling tua, secara tidak
selaras diatas batuan metamorf diendapkan [23].
Batuan metamorf dengan nilai tahanan jenis masing-masingnya terdapat pada
Tabel 2.5.
29
Contoh dari batuan metamorf adalah sebagai berikut:
Gambar 2.9 Contoh Batuan Metamorf. [22]
2.7.2 Konduksi Dielektrik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap
aliran arus listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas
sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Elektron dalam batuan berpindah dan
berkumpul terpisah dalam inti karena adanya pengaruh medan listrik diluar,
sehingga terjadi polarisasi. Peristiwa ini bergantung pada kondisi dielektrik batuan
yang bersangkutan [18].
2.7.3 Konduksi Elektrolitik
Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki
resistivitas yang sangat tinggi. Namun, pada kenyataannya batuan biasanya bersifat
porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Akibatnya, batuan
menjadi konduktor elektrolitik, dimana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion
elektrolitik dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada
volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika
kandungan air dalam batuan berkurang [18].
30
2.7.4 Konduksi Elektronik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron
bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-
elektron bebas tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat atau
karakteristik masing-masing batuan yag dilewatinya. Salah satu sifat atau
karakteristiknya adalah resistivitas (tahanan jenis) yang menunjukkan kemampuan
bahan untuk menghantarkan arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu
bahan maka semakin sulit bahan tersebut menghantarkan arus listrik, begitu pula
sebaliknya.
2.8 Kekuatan Pondasi Bangunan
Tanah pondasi merupakan bahan yang memiliki susunan yang sangat rumit dan
beraneka ragam. Perubahan tersebut terjadi berdasarkan prinsip-prinsip geologi.
Sehingga dalam hal ini peta topografi dan peta geologi sangat dibutuhkan untuk
mengetahui gambaran umum tanah pondasi tersebut. Walaupun terdapat sifat fisik
dan mekanik yang sudah diketahui dengan penyelidikan tanah, tetapi hasilnya bisa
tidak sesuai dengan kenyataannya. Penyelidikan tanah diperlukan untuk
menentukan stratifikasi (pelapisan) tanah dan karakteristik tanah, sehingga
perancangan dan kontruksi pondasi dapat dilakukan dengan ekonomis.
Penyelidikan tanah ini memiliki tujuan diantaranya adalah sebagai berikut: [19]
a. Mendapatkan informasi mengenai pelapisan tanah dan batuan.
b. Mendapatkan informasi mengenai kedalaman muka air tanah.
c. Mendapatkan informasi sifat fisis dan sifat mekanis tanah atau batuan.
d. Menentukan parameter tanah untuk analisis (berdasarkan uji lapangan berupa
SPT atau CPT).
Tanah yang akan digunakan untuk pondasi memiliki klasifikasi tertentu dalam
perencanaan pembangunan yaitu perkiraan terhadap hasil eksplorasi tanah,
perkiraan standart kemiringan lereng dari penggalian tanah atau tebing, perkiraan
pemilihan bahan, perkiraan muai dan susut, pemilihan jenis kontruksi dan peralatan
untuk konstruksi, perkiraan kemampuan peralatan untuk konstruksi, rencana
pekerjaan pembuatan lereng dan tembok penahan tanah, dll. Prosedur dalam
penyelidikan tanah dan studi pondasi ini adalah berupa informasi yang harus
diperoleh sebelum melakukan penyelidikan tanah yaitu berupa informasi mengenai
31
keadaan di lapangan mengenai topografi, vegetasi, bangunan, jalan akses, dan lain-
lain. Informasi lainya juga yaitu berupa kondisi geologi, kegempaan regional,
peraturan setempat, dan besarnya beban dari struktur [19].
Hal-hal yang perlu di observasi dan di survei selain peta geologi atau
keterangan-keterangan pembangunan, diantaranya adalah:
a. Letak singkapan-singkapan dan eksplorasi tanah
b. Topografi dan geografi
c. Letak jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang ada
d. Kondisi permukaan tanah dan tumbuhan
e. Keadaan air tanah dan letak mata air
f. Keadaan saluran-saluran yang ada
Perencanaan penyelidikan tanah ini juga meliputi penentuan jumlah titik bor,
kedalaman bor, jumlah sampel, dll. Apabila kondisi tanah saat dilakukan pemboran
itu homogen, maka jumlah titik bor harus dikurangi dan jika pelapisan tanah itu
acak, maka sejumlah titik bor dibutuhkan untuk dapat menggambarkan potongan
melintang melalui titik-titik bor tersebut. Pemboran tanah tersebut diasumsikan
bahwa pemboran harus dilakukan hingga kedalaman (nilai >50) yaitu lapisan tanah
keras yang dicapai beberapa meter (sekurang-kurangnya 3 kali pembacaan nilai
SPT). Apabila lapisan kerasnya masih terdapat tanah kompresibel, maka pemboran
diteruskan kecuali jika lapisan tersebut tidak akan mengakibatkan penurunan yang
berlebihan [19].
2.9 Standart Penetration Test (SPT)
Pada pembangunan teknik sipil terdapat potensi kegagalan dalam
pembangunan sehingga dapat didukung dengan melakukan control soil test yang
baik. Dalam melakukan atau melaksanakan proyek sipil adalah dengan melakukan
input data berupa data penyelidikan tanah secara rinci dan teliti. Adapun dalam
melakukan penyelidikan tanah di lapangan dapat digunakan metode geofisika yaitu
metode geolistrik dan geoteknik berupa SPT (Standart Penetration Test) serta
dilakukan penyelidikan tanah di laboratorium untuk mengetahui sifat dan
karakteristik tanah.
32
Metode pengujian tanah dengan SPT (Standart Penetration Test) termasuk
cara yang cukup ekonomis dan relatif mudah untuk mengetahui kondisi di bawah
permukaan tanah dan diperkirakan 85% dari desain pondasi menggunakan cara ini.
SPT merupakan alat uji tanah yang memiliki kelebihan karena terdiri dari beberapa
komponen yang sederhana, mudah dipasang, mudah ditransformasikan dan dapat
diandalkan dalam penyelidikan tanah. Pengujian SPT dilakukan dengan cara
mengebor tanah terlebih dahulu sesuai kedalaman yang diinginkan, kemudian split
spoon sampler dimasukkan ke dalam lubang bor, selanjutnya ditumbuk palu seberat
63,5 kg dan dijatuhkan dari ketinggian 75 cm. Setelah ditumbuk sedalam 15 cm,
maka selanjutnya dicatat jumlah pukulan (nilai N-SPT) yang diperlukan untuk
menumbuk sedalam 30 cm [19].
Gambar 2.10 Penetrasi dengan SPT
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Pada penelitian ini digunakan data sekunder yang berlokasi di Daerah Krui,
Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Waktu
penelitian yang dilakukan oleh penulis mulai dari studi literatur, pengambilan data
sekunder sampai dengan pengolahan data kurang lebih 4 bulan yang berlangsung
pada bulan Januari - April 2020. Proses pengolahan data dan analisis penelitian ini
dilakukan di Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang beralamat di BPPT Gedung 820
Geostech Kawasan Puspiptek, Serpong, Banten.
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
34
Gambar 3.2 Blok Lintasan Penelitian
35
3.2 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini ada beberapa instrumen yang digunakan yaitu,
perangkat keras dan perangkat lunak.
3.2.1 Perangkat Keras
Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini milik Pusat Teknologi
Reduksi Risiko Bencana (PTRRB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), yakni:
a. Ares Resistivity Meter v.5.6, alat yang digunakan untuk pengambilan data.
b. Global Positioning System (GPS), digunakan untuk menentukan koordinat
lintasan pada titik lokasi dan posisi elevasinya.
c. Kompas, digunakan untuk menunjukkan arah pengukuran agar lintasan
menjadi lurus dan sesuai.
d. Aki, digunakan sebagi sumber arus listrik.
e. Elektroda besi 48 batang, digunakan untuk menginjeksikan arus listrik
kebawah permukaan.
f. Kabel multicore dengan panjang 235 meter, digunakan untuk menghubungan
elektroda arus dengan elektroda potensial.
g. Palu, digunakan untuk menancapkan elektroda kedalam tanah.
h. Meteran, digunakan untuk mengukur bentaran jarak antar elektroda.
i. Terpal, digunakan untuk menutupi alat Ares Resistivity Meter dari panas
matahari dan hujan, serta sebagai alas.
j. Buku, alat tulis dan laptop.
k. Peta Geologi lembar KotaAgung, Sumatera.
3.2.2 Perangkat Lunak
Perangkat lunak atau software yang digunakan adalah:
a. ArcGis 10.7, digunakan untuk menampilkan kondisi lokasi penelitian yang
sebenarnya.
b. Notepad, digunakan untuk mengolah data yang dimasukkan kedalam
Res2DINV.
c. Microsoft Excel 2016, digunakan untuk mengubahan nilai resisitivitas semu
menjadi resistivitas sejati.
36
d. Microsoft Word 2016, digunakan untuk menyusun tugas akhir skripsi.
e. Res2DINV, digunakan untuk membuat pemodelan 2D.
f. Voxler 4, digunakan untuk membuat pemodelan 3D.
g. Surfer 13, digunakan untuk membuat peta ISO-Resistivity
h. Google Earth Pro, digunakan untuk menentukan titik koordinat lintasan.
Gambar 3.3 Alat-Alat Yang Digunakan Saat Penelitian. (a. Buku tulis, b. Aki, c. Kabel, d. Palu, e.
Kompas, f. Meteran, g. GPS, h. Terpal, i. Elektroda, j. Ares Resistivity Meter)
37
3.3 Diagram Alir Penelitian
3.4 Pengolahan Data
Proses pengolahan data dimulai dari pengumpulan data sekunder yang
terdiri dari data nilai resistivitas semu dan data topografinya. Setelah itu, data
tersebut dimasukkan kedalam notepad. Data yang di input harus sesuai dengan
ketentuan dan akan di simpan dalam file dengan ekstensi (.dat atau .txt), perhatikan
gambar 3.4:
38
Gambar 3.4 Susunan Data Geolistrik dalam Notepad
Keterangan: [24]
Line 1: Nama lintasan pengukuran
Line 2: Spasi elektroda
Line 3: Jenis konfigurasi yang dipakai ( Wenner = 1, Pole-pole = 2, Dipole-dipole
= 3, Pole-dipole = 4, Schlumberger = 7)
Line 4: Jumlah total datum
Line 5: Lokasi titik Z (Masukan angka ‘0’ bila letak elektroda pertama diketahui
dan masukan angka 1 jika titik tengahnya diketahui)
Line 6: Jenis data. (Ketik 1 untuk data polarisasi induksi (IP) dan ketik 0 untuk data
resistivitas)
Line 7, 8, 9, dst: Lokasi Z, jarak spasi elektroda dan nilai resistivitas semu yang
terukur.
39
Jika data yang digunakan terdapat data topografi, maka data tersebut harus
dimasukkan juga kedalam notepad seperti gambar 3.4 dengan keterangan seperti
berikut:
Line 1: Kode topografinya
Line 2: Jumlah seluruh data topografi
Line 3, 4, 5, dst: Titik elektroda dan nilai topografinya
Line penutup: Masukkan angka ‘0’ sebanyak 4 kali enter sebagai penutup dari data
topografi
Data tersebut diolah menggunakan software RES2DINV untuk mendapatkan
pemodelan 2-Dimensi. Software ini akan secara otomatis membuat bentuk
pemodelan 2-Dimensi pada bawah permukaan daerah yang telah di survei.
Pengolahan data pada software RES2DINV ini menggunakan proses inversi. Proses
inversi adalah proses pengolahan data lapangan yang melibatkan teknik
penyelesaian matematika dan statistik untuk memperoleh informasi guna
mengetahui distribusi sifat fisis bawah permukaan. Tujuan dari proses inversi ini
adalah untuk mengestimasi parameter fisis batuan yang tidak diketahui sebelumnya
[25]. Proses inversi ini sering disebut dengan inverse modelling.
Pada penelitian ini dilakukan survei dengan menggunakan konfigurasi
Wenner. Selanjutnya, data inversi tersebut diolah dengan menggunakan least
square inversion dengan hasil nilai RMS error yang menunjukkan adanya
perbedaan nilai resistivitas semu dengan nilai resistivitas yang sebenarnya. Dalam
proses inversi ini terdapat proses iterasi, proses iterasi adalah proses perhitungan
data secara berulang agar didapat nilai RMS error yang semakin rendah. Pada
pengolahan data ini digunakan iterasi maksimal 5 kali.
Nilai RMS error ini menunjukkan tingkat perbedaan dari pengukuran nilai
resistivitas material terhadap nilai resistivitas material yang sebenarnya [26].
Semakin besar nilai RMSE maka pemodelan yang diperoleh dari proses inversi ini
akan semakin halus [27]. Model yang semakin halus ini dengan nilai RMSE yang
tinggi cenderung tidak mewakili kondisi sebenarnya di lapangan [26].
Bagaimanapun, model dengan nilai RMSE serendah mungkin bisa menunjukkan
variasi besar dan tidak realistis dalam pemodelan nilai resistivitas dan tidak selalu
40
menjadi model yang terbaik dalam perspektif geologis. Ini sering terjadi pada iterasi
antara 3 dan 5 [28].
Setelah semua tahapan selesai didapatkan hasil berupa pemodelan 2D seperti
dibawah ini:
Gambar 3.5 Pemodelan 2D Hasil Inversi Least-Square
Pada pemodelan tersebut digunakan iterasi sebanyak 3 kali dengan nilai RMSE
sebesar 6,4%. Kemudian, nilai data topografinya dimasukkan dan akan tampak
pemodelan 2D seperti gambar dibawah ini:
Gambar 3.6 Hasil Pemodelan 2-D dengan Topografi
41
Setelah diperoleh hasil penampang dari pemodelan 2D, kemudian data dari
pemodelan 2D tersebut diolah dengan menggunakan Voxler 4. Data yang
diperlukan adalah data xyz hasil inversi dari pemodelan 2D Res2DINV dengan X
(jarak elektroda), Y (jarak lintasan) dan Z (kedalaman) dan nilai resistivitas hasil
inversi. Hasil yang diperoleh berupa pemodelan 3D seperti dibawah ini:
Gambar 3.7 Hasil Pemodelan 3D
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisa Geolistrik
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
geolistrik milik Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berlokasi di Jalan Raya
Puspiptek, Serpong. Lokasi penelitian dan pengambilan data ini di daerah Krui,
Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Pada
penelitian ini pengukuran data geolistrik dilakukan sebanyak 5 lintasan dengan
konfigurasi Wenner.
Pada gambar 4.1 menunjukkan persebaran dari titik pengukuran data geolistrik
yang memiliki panjang lintasan 235 meter dan 117,5 meter. Untuk lintasan L-01
hingga L-03 memiliki spasi 5 meter dengan menempatkan elektroda pertama di 5
m dan elektroda akhir di 240 m. Sedangkan lintasan L-04 dan L-05 memiliki spasi
2,5 meter dengan menempatkan elektroda pertama di 2,5 m dan elektroda akhir di
120 m. Sebaran titik pengukuran geolistrik, sebagai berikut:
Gambar 4.1 Lokasi Pengukuran Data Geolistrik
43
Hasil pengolahan data dengan inversi least square menggunakan software
RES2DINV berupa pemodelan 2-Dimensi sebanyak 5 lintasan dengan masing-
masing koordinat sebagai berikut:
Tabel 4.1 Koordinat Lintasan
Nama
Lintasan
Lattitude Longitude
Lintasan L-01 5°11’25,3”S - 5°11’18,5”S 103°56’12,5”E -103°56’12,6”E
Lintasan L-02 5°11’24,7”S - 5°11’17,7”S 103°56’11,0”E -103°56’11,0”E
Lintasan L-03 5°11’20,8”S - 5°11’20,8”S 103°56’7,8”E - 103°56’14,9”E
Lintasan L-04 5°11’17,3”S - 5°11’17,7”S 103°56’1,4”E - 103°56’5,2”E
Lintasan E-05 5°11’21,0”S - 5°11’17,2”S 103°56’3,1”E - 103°56’3,3”E
Selain menggunakan RES2DINV, pengolahan data geolistrik ini juga
menggunakan ArcGis 10.7 untuk mendapatkan lokasi wilayah penelitian dan
menentukan titik pengukurannya. Hasil inversi berupa pemodelan 2-Dimensi yang
diperoleh, akan di interpretasi dengan mengorelasikan data log bor, tabel nilai
resistivitas dan data geologi regional.
4.2 Hasil Korelasi Data Bor, Geologi Regional, dan Tabel Nilai Resistivitas
Korelasi data bor, geologi regional dan tabel nilai resistivitas ini dilakukan
untuk mengklasifikan jenis-jenis batuan yang terdapat pada area tersebut.
Berdasarkan gambar 4.2 dari hasil pengolahan data dengan data log bor, tabel
resistivitas batuan menurut Telford dan data geologi regional dapat disimpulkan
bahwa interpretasi penampang dilakukan berdasarkan:
1. Hasil data log bor,
2. Hasil dari nilai resisitivas
3. Peta geologi regional lembar Kotaagung, litologi pada lokasi penelitian
adalah formasi Simpangaur (Tmps) dan alluvium (Qa).
Dari hasil korelasi antara tabel resistivitas batuan, data log bor dan data
geologi regional (gambar 4.2) didapatkan hasil yang sama yaitu pada kedalaman
hingga 10 m di bagian atas permukaan terdapat jenis batuan yang cukup keras dan
44
padat yaitu batupasir tufan. Pada peta geologi regional, terlihat bahwa Daerah Krui
tersusun atas formasi batuan alluvium (Qa) dan formasi simpangaur (Tmps).
Dimana masing-masing litologi batuannya, Formasi Simpangaur (Tmps) terdiri
dari batupasir tufan & batulanau, konglomerat anekabahan, tuf, bermoluska dan
alluvium (Qa) terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lanau dan lumpur.
Sedangkan, dalam penampang resistivitas ditunjukkan nilai tahanan jenisnya antara
417 – 1053 Ωm. Berdasarkan tabel resisitivitas batuan menurut Telford 1990, nilai
tersebut terklasifikasi dalam jenis batuan batupasir tufan dengan konsentrasi yang
keras dan cukup padat. Nilai resistivitas tersebut digambarkan dengan warna merah
yang tersebar dibagian atas permukaan hingga kedalaman 10 – 12 m.
Dari data log bor yang tertera, dapat disimpulkan bahwa hasil sampel
pengeboran didapatkan jenis tanah yang konsentrasinya padat dan keras seperti batu
karang berpasir di kedalaman 6 – 10 m. pada kedalaman tersebut dieroleh nilai SPT
yang cukup tinggi yaitu > 60. Dari hasil ketiga data yang dikorelasikan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pembuatan pondasi bangunan dapat dibangun pada
kedalaman 8 – 10 m dengan jenis gedung yang tidak terlalu tinggi seperti gedung
pemerintahan 3 – 4 lantai, gedung sekolah 3 lantai dan lain-lain. Semakin tinggi
gedung akan semakin dalam juga pondasi yang dibutuhkan, sehingga dengan
kedalaman 8 – 10 m hanya bisa dibuat gedung maksimal 4 lantai di Daerah Krui.
Pembangunan pondasi juga harus di tanah/batuan yang konsentrasinya keras dan
padat. Apabila dibangun pondasi di daerah yang memiliki jenis batuan lunak atau
basah dikhawatirkan akan menyebabkan bidang gelinciran.
45
Gambar 4.2 Hasil Korelasi Nilai Resistivitas, Geologi Regional dan Data Bor
46
Gambar 4.3 Data Log Bor
47
Tabel 4.2 BOR TITIK 1
Log Profile
(Kedalaman)
Soil Description N1
(0 – 15 )
N2
(15 – 30)
N3
(30 – 45)
SPT
0,40 – 2,00 m Lempung sedikit berpasir berwarna kuning
kecoklatan (konsentrasi tanah keras)
9 14 21 35
2,40 – 4,00 m Pasir membatu bercampur lempung berwarna kuning keputihan
(konsentrasi tanah sangat padat)
14 21 37 58
4,40 – 6,00 m Batu cadas bercampur pasir berwarna abu-abu keputihan (konsentrasi tanah keras sekali)
19
4
- - > 60
6,40 – 8,00 m Batu cadas bercampur pasir berwarna abu-abu
keputihan (konsentrasi tanah keras sekali)
21
5
- - > 60
Tabel 4.3 BOR TITIK 2
Log Profile (Kedalaman)
Soil Description N1 (0 – 15 )
N2 (15 – 30)
N3 (30 – 45)
SPT
0,20 – 2,00 m Pasir laut berwarna putih
(konsentrasi tanah sedang)
5 19 12 21
2,40 – 4,00 m Pasir bercampur batu karang berwarna putih kekuningan
(konsentrasi tanah keras)
12 19 31 50
4,40 – 6,00 m Batu karang berpasir berwarna putih
(konsentrasi tanah sangat padat)
14 21 31 52
6,40 – 8,00 m Batu karang berpasir berwarna putih
kekuningan (konsentrasi tanah sangat
padat)
18 27 21
9
> 60
8,40 – 10,00 m Batu karang berpasir berwarna putih kekuningan
18 24 21
5
> 60
48
Gambar 4.4 Kalibrasi Hasil Pengolahan Data Geolistrik dengan Data Log Bor, Tabel Resistivitas, dan Peta Geologi Regional
49
Tabel 4.4 Korelasi antara Nilai Resistivitas Batuan dengan Formasi Geologi Regional
Nilai Resisitivitas (Ωm)
Jenis Batuan
(Berdasarkan Tabel Resistivitas)
Jenis Formasi
(Berdasarkan Geologi Regional)
1,6 – 15,3 Air Tanah (Akuifer) -
21,9 – 118 Lempung, Alluvium Alluvium (Qa)
99,6 – 903 Alluvium, Batupasir Halus, Kerikil,
Pasir
Alluvium (Qa), Formasi Simpangaur
(Tmps)
452 – 2502 Batupasir Kasar dengan Tekstur Keras Formasi Simpangaur (Tmps)
50
4.3 Hasil dan Interpretasi Penampang
Penelitian ini dilakukan di daerah Krui, Kecamatan Pesisir Tengah,
Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil
pengolahan data geolistrik yang telah di interpretasi. Hasil tersebut berupa
penampang lintasan 2-Dimensi yang digunakan untuk mendapatkan informasi
batuan yang ada dibawah permukaan dan melakukan investigasi struktur bawah
permukaan pada lokasi yang akan dibangun gedung. Litologi batuan yang ada
dibawah permukaan diperoleh dari hasil korelasi antara: data log bor, nilai
resistivitas batuan, dan data geologi regionalnya. Dari data log bor diperoleh
deskripsi batuan beserta nilai SPT (Standard Penetration Test), untuk struktur
sebarannya bisa diperoleh dari hasil pengukuran geolistrik.
Skala warna pada hasil penampang 2-Dimensi mengimplementasikan
bahwa semakin ke kanan (warna merah hingga ungu tua) maka kepadatan
materialnya akan semakin padat dan keras sehingga nilai resistivitasnya juga
semakin tinggi. Sedangkan apabila semakin ke kiri (warna biru muda hingga biru
tua) maka kepadatan materialnya akan semakin lunak dan nilai resistivitasnya pun
semakin rendah. Hasil yang diperoleh dari pengukuran geolistrik pada lokasi
penelitian menunjukkan bahwa nilai resistivitas pada daerah tersebut berkisar 1,6 –
2502 Ωm. Untuk pembangunan gedung bertingkat, sangat direkomendasikan untuk
memilih batuan yang padat dan keras supaya pondasi bangunan tersebut dapat
berdiri kokoh dan tidak direkomendasikan untuk membangun gedung diatas batuan
yang lunak dan mengandung banyak air. Apabila dalam kondisi bawah permukaan
terdapat batuan lunak, maka disarankan untuk membuat pondasi hingga kedalaman
tertentu melewati lapisan batuan lunak dan menemukan lapisan batuan yang padat
dan keras. Ujung pondasi yang tertanam pada batuan lunak akan mudah tergelincir
dan mengakibatkan kerobohan pada bangunan tersebut.
51
4.3.1 Lintasan L-01
Gambar 4.5 Hasil Penampang Lintasan 1
Pada lintasan L-01 (berwarna biru) diperoleh nilai error 4,1 % dengan total
panjang lintasan sejauh 235 m, menggunakan 48 buah elektroda dan jarak antar
elektrodanya sebesar 5 m. Pada lintasan ini jumlah datum pointnya adalah 359.
Nilai resistivitas maksimal pada lintasan ini adalah 683 Ωm dengan kedalaman
yang diperoleh 40 m dibawah permukaan tanah. Pada lintasan ini didominasi oleh
akuifer air tanah dan alluvium hingga kedalaman 40 m. Berdasarkan data tabel
resistivitas batuan (Telford, 1990), dugaan hasil investigasi struktur bawah
permukaan pada lintasan L-01 didominasi oleh lapisan dengan nilai resistivitas
antara 1,8 – 9,8 Ωm yang ditunjukkan oleh warna biru tua hingga biru muda, diduga
lapisan tersebut terdiri dari akuifer air tanah. Untuk lapisan dengan nilai resistivitas
antara 22,9 – 125 Ωm yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga kuning, dimana
lapisan tersebut diduga terdiri dari batuan alluvium dan sedikit lempung-pasir.
Lapisan yang memiliki nilai resistivitas antara 125 – 292 Ωm diduga terdiri
dari batupasir kasar yang ditunjukkan oleh warna coklat hingga oren. Sedangkan
untuk nilai resistivitas antara 292 – 683 Ωm diduga lapisan tersebut terdiri dari
batupasir tufan keras yang ditunjukkan dengan warna merah hingga ungu.
Persebaran batupasir ini berada di lapisan paling atas dengan jarak lateral 73 – 88
52
m dan 105 – 205 m. Lapisan ini merupakan lapisan batuan yang paling keras karena
memiliki nilai resistivitas yang cukup tinggi.
Daerah Krui ini terletak pada formasi alluvium (Qa) dan formasi
simpangaur (Tmps), dimana batupasir merupakan salah satu jenis batuan yang
termasuk dalam formasi simpangaur dan alluvium. Berdasarkan data bor titik 2,
hasil pemboran yang diperoleh batuan berpasir dengan konsentrasi yang cukup
keras dan padat. Oleh karena itu, pada lintasan L-01 ini direkomendasikan pondasi
bangunan (gedung sipil) dibangun pada jarak lateral 100, 137,5, 150, 198 m dengan
kedalaman 7 – 10 m.
4.3.2 Lintasan L-02
Gambar 4.6 Hasil Penampang Lintasan 2
Pada lintasan L-02 (berwarna biru) ini diperoleh nilai error sebesar 5,4 %
dengan total panjang lintasan sejauh 235 m, menggunakan 48 buah elektroda dan
jarak antar elektrodanya sebesar 5 m. Pada lintasan ini jumlah datum pointnya
adalah 360. Pada lintasan ini digunakan sebagai titik kalibrasi dengan titik bor 2.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai resistivitas terbesar 2502 Ωm dan
lintasan ini didominasi oleh batuan alluvium dan lapisan akuifer air tanah hingga
kedalaman 40 m. Berdasarkan nilai SPT yaitu 50 yang merupakan batuan keras,
53
tetapi data log bor masih berupa pasir laut yang bercampur batu karang hingga batu
karang berpasir.
Nilai resistivitas maksimal pada lintasan ini adalah 2502 Ωm dengan
kedalaman yang diperoleh 40 m dibawah permukaan tanah. Berdasarkan data tabel
resistivitas batuan (Telford, 1990), pada lintasan ini didominasi oleh akuifer air
tanah dan alluvium hingga kedalaman 40 m. Dugaan hasil investigasi struktur
bawah permukaan pada lintasan L-02 didominasi oleh lapisan dengan nilai
resistivitas antara 2,0 – 15,3 Ωm yang ditunjukkan oleh warna biru tua hingga biru
muda, diduga lapisan tersebut terdiri dari akuifer air tanah. Untuk lapisan dengan
nilai resistivitas antara 42,5 – 326 Ωm yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga
kuning, dimana lapisan tersebut diduga terdiri dari batuan alluvium.
Berdasarkan lembar geologi regional Kotaagung, fromasi batuan alluvium
(Qa) terdiri dari bongkahan, kerikil, pasir, lanau dan lumpur. Lapisan dengan nilai
resistivitas antara 326 – 903 Ωm diduga terdiri dari batupasir dengan tekstur kasar
dan padat yang ditunjukkan oleh warna coklat hingga oren. Sedangkan untuk nilai
resistivitas antara 903 – 2502 Ωm diduga lapisan tersebut terdiri dari batupasir tufan
keras yang ditunjukkan dengan warna merah hingga ungu. Persebaran batupasir ini
berada di lapisan paling atas dengan jarak lateral 20 – 30 m, 85 – 100 m, dan 115 –
140 m. Lapisan ini merupakan lapisan batuan yang paling keras karena memiliki
nilai resistivitas yang tinggi.
Batuan keras pada lintasan ini terletak didekat permukaan, sesuai dengan
hasil bor, korelasi antara hasil pemboran SPT dengan geolistrik. Pada lapisan paling
atas 0,2 – 2 m dengan nilai tahanan jenis 42,5 – 200 Ωm dan nilai SPT 21 berada
pada lapisan batuan warna hijau hingga kuning, berangsur berubah pada kedalaman
4 meter meningkat ke warna merah sesuai dengan nilai resistivitas pada batuan yang
sangat keras antara 903 – 2502 Ωm pada nilai SPT 52, didapatkan hasil berupa batu
karang berpasir dengan konsentrasi tanah sangat padat. Pada lintasan L-02 ini
direkomendasikan pondasi bangunan (gedung sipil) dibangun pada jarak lateral 90,
122, 140 m dengan kedalaman 6 – 10 m.
54
4.3.3 Lintasan L-03
Gambar 4.7 Hasil Penampang Lintasan 3
Pada lintasan L-03 (berwarna biru) ini diperoleh nilai error sebesar 3,2 %
dengan total panjang lintasan sejauh 235 m, menggunakan 48 buah elektroda dan
jarak antar elektrodanya sebesar 5 m. Pada lintasan ini jumlah datum pointnya
adalah 359. Pada lintasan ini digunakan sebagai titik kalibrasi dengan titik bor 2.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai resistivitas terbesar kurang lebih
1053 Ωm dan lintasan ini didominasi oleh batuan alluvium dan lapisan akuifer air
tanah hingga kedalaman 40 m. Menurut dari nilai SPT yaitu 50 yang merupakan
batuan keras, tetapi data log bor masih berupa pasir laut yang bercampur batu
karang hingga batu karang berpasir dengan konsentrasi tanah yang keras dan padat.
Lintasan ini memiliki nilai resistivitas terbesar 1053 Ωm dengan kedalaman
yang diperoleh 45 m dibawah permukaan tanah. Pada lintasan ini didominasi oleh
akuifer air tanah dan alluvium hingga kedalaman 40 m. Dugaan hasil investigasi
struktur bawah permukaan pada lintasan C-03 didominasi oleh lapisan dengan nilai
resistivitas antara 1,6 – 10,3 Ωm yang ditunjukkan oleh warna biru tua hingga biru
muda, diduga lapisan tersebut merupakan akuifer air tanah. Untuk lapisan dengan
nilai resistivitas antara 26 – 165 Ωm yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga
55
kuning, dimana lapisan tersebut diduga terdiri dari batuan alluvium dan ada sedikit
lempung-pasir.
Berdasarkan lembar geologi regional Kotaagung, lapisan batuan alluvium
terdiri dari bongkahan, kerikil, pasir, lanau dan lumpur. Lapisan yang memiliki nilai
resistivitas antara 165 – 417 Ωm diduga terdiri dari batupasir kasar yang
ditunjukkan oleh warna coklat hingga oren. Sedangkan untuk nilai resistivitas
antara 417 – 1053 Ωm diduga lapisan tersebut terdiri dari batupasir tufan keras yang
ditunjukkan dengan warna merah hingga ungu. Persebaran batupasir ini berada di
lapisan paling atas dengan jarak lateral 50 – 70 m, 85 – 155 m, dan 165 – 205 m.
Lapisan ini merupakan lapisan batuan yang paling padat dan keras karena memiliki
nilai resistivitas yang tinggi.
Batuan keras pada lintasan ini terletak didekat permukaan, sesuai dengan
hasil bor, korelasi antara hasil pemboran SPT dengan geolistrik. Pada lapisan paling
atas 0,2 – 2 m dengan nilai tahanan jenis 26 – 100 Ωm dan nilai SPT 21 berada pada
lapisan batuan warna hijau hingga kuning, berangsur berubah pada kedalaman 4
meter meningkat ke warna merah sesuai dengan nilai resistivitas pada batuan sangat
keras antara 417 – 1053 Ωm pada nilai SPT 52, didapatkan hasil berupa batu karang
berpasir dengan konsentrasi tanah sangat padat dan keras. Pada lintasan L-03 ini
direkomendasikan pondasi bangunan (gedung sipil) dibangun pada jarak lateral 95,
123, 147, 165, 195 m dengan kedalaman 7 – 10 m.
56
4.3.4 Lintasan L-04
Gambar 4.8 Hasil Penampang Lintasan 4
Pada lintasan L-04 (berwarna biru) ini diperoleh nilai error sebesar 3,2 %
dengan total panjang lintasan sejauh 117,5, menggunakan 48 buah elektroda dan
jarak antar elektrodanya sebesar 2,5 m. Pada lintasan ini jumlah datum pointnya
adalah 321. Lintasan ini terletak didekat titik lubang bor 1. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa nilai resistivitas terbesar kurang lebih 452 Ωm dan lintasan ini
didominasi oleh lapisan akuifer air tanah hingga kedalaman 12,5 m. Hal ini
menandakan bahwa semakin mendekati pesisir pantai, formasi batuan bawah
permukaannya semakin rendah konsentrasi kepadatannya. Lintasan ini berbeda dari
lintasan-lintasan sebelumnya karena pada lintasan ini menggunakan spasi yang
lebih kecil dan bentangan jarak lateralnya juga lebih pendek. Berdasarkan nilai SPT
yaitu 50 yang merupakan batuan keras, tetapi data log bor masih berupa pasir
membatu yang bercampur lempung dengan konsentrasi tanah yang sangat padat.
Lintasan ini memiliki nilai resistivitas terbesar 452 Ωm dengan kedalaman
yang diperoleh kurang lebih 20 m dibawah permukaan tanah. Pada lintasan ini
didominasi oleh akuifer air tanah hingga kedalaman 12,5 m. Berdasarkan data tabel
resistivitas batuan (Telford, 1990), hasil dugaan investigasi struktur bawah
permukaan pada lintasan L-04 didominasi oleh lapisan dengan nilai resistivitas
antara 2,3 – 10,3 Ωm yang ditunjukkan oleh warna biru tua hingga biru muda,
57
diduga lapisan tersebut merupakan akuifer air tanah. Untuk lapisan dengan nilai
resistivitas antara 21,9 – 99,6 Ωm yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga
kuning, dimana lapisan tersebut diduga terdiri dari lempung. Lapisan yang memiliki
nilai resistivitas antara 99,6 – 212 Ωm diduga terdiri dari pasir-pasir halus yang
ditunjukkan oleh warna coklat hingga oren. Sedangkan untuk nilai resistivitas
antara 212 – 452 Ωm diduga lapisan tersebut terdiri dari pasir-pasir yang cukup
keras dan kasar, ditunjukkan dengan warna merah hingga ungu.
Persebaran pasir-pasir ini berada di lapisan paling atas dengan jarak lateral
20 – 32,5 m dan 40 – 90 m. Lapisan ini merupakan lapisan batuan yang padat dan
keras karena memiliki nilai resistivitas yang cukup tinggi. Batuan keras pada
lintasan ini terletak didekat permukaan, sesuai dengan hasil bor, korelasi antara
hasil pemboran SPT dengan geolistrik adalah sebagai berikut : Pada lapisan paling
atas 0,4 – 4 m dengan nilai tahanan jenis 99,6 – 452 Ωm dan nilai SPT 58 berada
pada lapisan batuan warna kuning hingga merah keunguan, didapatkan hasil berupa
lempung sedikit berpasir dan pasir membatu bercampur lempung dengan
konsentrasi tanah sangat padat dan keras.
Pada lintasan L-04 ini direkomendasikan pondasi bangunan (gedung sipil)
dibangun pada:
1. Pada jarak lateral 42,5 m, 57,5 m, 67,5 m, 77,5 m dengan kedalaman yang sama
yaitu kurang lebih 5-8 m. Pada titik ini terdapat lapisan lempung dengan kedalaman
kurang lebih 2 – 3 m. Pada hasil penampang dapat terlihat bahwa lapisan ini
mengandung banyak akuifer sehingga sangat disarankan untuk bisa membuat
pondasi yang lebih dalam lagi sampai menemukan batuan yang agak keras untuk
ujung pondasi agar bangunan dapat berdiri kokoh.
58
4.3.5 Lintasan L-05
Gambar 4.9 Hasil Penampang Lintasan 5
Pada lintasan L-05 (berwarna biru) ini diperoleh nilai error sebesar 24,2 %
dengan total panjang lintasan sejauh 117,5 m, menggunakan 48 buah elektroda dan
jarak antar elektrodanya sebesar 2,5 m. Pada lintasan ini jumlah datum pointnya
adalah 336. Lintasan ini terletak di dekat titik lubang bor 1. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa nilai resistivitas terbesar kurang lebih 673 Ωm dan lintasan ini
didominasi oleh batuan lempung, lapisan akuifer air tanah dan batupasir keras
hingga kedalaman 20 m. Berdasarkan nilai SPT yaitu 50 yang merupakan batuan
keras, tetapi data log bor masih berupa pasir membatu yang bercampur lempung
dengan konsentrasi tanah yang sangat padat.
Lintasan ini memiliki nilai resistivitas terbesar 673 Ωm dengan kedalaman
yang diperoleh kurang lebih 20 m dibawah permukaan tanah. Pada lintasan ini
didominasi oleh akuifer air tanah dan lempung hingga kedalaman 22,5 m.
Berdasarkan data tabel resistivitas batuan (Telford, 1990), dugaan hasil investigasi
struktur bawah permukaan pada lintasan L-05 terdapat lapisan dengan nilai
resistivitas antara 2,0 – 10,6 Ωm yang ditunjukkan oleh warna biru tua hingga biru
muda, diduga lapisan tersebut merupakan akuifer air tanah. Untuk lapisan dengan
nilai resistivitas antara 24,3 – 128 Ωm yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga
kuning, dimana lapisan tersebut diduga terdiri dari lempung. Lapisan yang memiliki
59
nilai resistivitas antara 128 – 293 Ωm diduga terdiri dari pasir-pasir halus yang
ditunjukkan oleh warna coklat hingga oren. Sedangkan untuk nilai resistivitas
antara 293 – 673 Ωm diduga lapisan tersebut terdiri dari pasir-pasir yang cukup
keras dan kasar, ditunjukkan dengan warna merah hingga ungu.
Persebaran pasir-pasir ini berada di hampir seluruh lapisan dengan
kedalaman yang berbeda. Lapisan ini merupakan lapisan batuan yang padat dan
keras karena memiliki nilai resistivitas yang cukup tinggi. Batuan keras pada
lintasan ini terletak didekat permukaan, sesuai dengan hasil bor, korelasi antara
hasil pemboran SPT dengan geolistrik adalah sebagai berikut: Pada lapisan paling
atas 0,4 – 4 m dengan nilai tahanan jenis 128 – 673 Ωm dan nilai SPT 58 berada
pada lapisan batuan warna kuning hingga merah keunguan, didapatkan hasil berupa
lempung sedikit berpasir dan pasir membatu bercampur lempung dengan
konsentrasi tanah sangat padat dan keras. Pada lintasan L-05 ini direkomendasikan
pondasi bangunan (gedung sipil) dibangun pada jarak lateral 17,5, 30, 47, 70, 90 m
dengan kedalaman 7 – 10 m.
60
4.4 Persebaran Jenis Batuan
Gambar 4.10 Persebaran Jenis Batuan Lintasan 1, 2 dan 3
61
Gambar 4.11 Persebaran Jenis Batuan Lintasan 4 dan 5
62
Gambar 4.10 adalah hasil penampang pada lintasan 1, 2 dan 3. Pada gambar
tersebut dapat dilihat bahwa persebaran lapisan yang diduga batu lempung dan
akuifer mendominasi pada bagian tengah hingga bawah lintasan 1, 2 dan 3. Pada
penampang tersebut, batu lempung dan alluvial dimodelkan dengan warna hijau
hingga kuning kecoklatan, sedangkan lapisan akuifer dimodelkan dengan warna
biru. Persebaran batupasir tersebar di beberapa permukaan lapisan. Pada setiap
permukaan lapisan 1, 2 dan 3 terdapat batupasir dengan tekstur yang halus dan kasar
hingga kedalaman 10 m. Batupasir ini dimodelkan dengan warna coklat hingga
merah keunguan.
Gambar 4.11 adalah hasil penampang pada lintasan 4 dan 5. Pada gambar
tersebut dapat dilihat bahwa persebaran lapisan yang diduga batu lempung dan
akuifer mendominasi pada bagian bawah lintasan 4 dan 5. Sedangkan persebaran
batupasir tersebar hampir di seluruh permukaan lapisan. Pada setiap permukaan
lapisan 4 dan 5 terdapat batupasir dengan tekstur yang halus dan kasar dengan
kedalaman yang lebih dangkal dibanding lintasan 1, 2 dan 3 yaitu, kurang lebih 5
m saja. Untuk warna pemodelan di penampang sama seperti gambar 4.9, biru untuk
lapisan akuifer, hijau hingga kuning untuk batu lempung, alluvial, coklat hingga
merah keunguan untuk batupasir halus hingga kasar.
4.5 Pemodelan 3D
Pemodelan 3D dilakukan menggunakan software Voxler 4. Tujuan dibuatnya
model 3D ini adalah untuk mengetahui dsitribusi nilai resistivitas secara vertikal
dan horizontal. Data yang dimasukkan pada software ini ada 5, yaitu panjang
lintasan, jarak lintasan, kedalaman, nilai resistivitas dan nama lintasan. Pada
software ini bisa dilakukan pemotongan secara axial (memotong sumbu X dan Y),
coronal (memotong sumbu X dan Z) dan sagittal (memotong sumbu Y dan Z) [29].
Sumbu X menunjukkan panjang lintasan, sumbu Y menunjukkan jarak antar
lintasan dan sumbu Z menunjukkan kedalamannya. Dari gambar 4.12 dapat
diketahui bahwa dibawah permukaan daerah penelitian dengan kedalaman lebih
dari 15m terdapat lapisan akuifer dan alluvial yang cukup mendominasi. Hal ini
dikarenakan daerah penelitian merupakan daerah yang berada di dekat pesisir
pantai yang menyebabkan lapisan air/akuifer dibawah permukaan cukup banyak
63
ditemui. Pada daerah di permukaan lintasan, terdapat juga batupasir yang hampir
merata tersebar di permukaan. Dari gambar tersebut terlihat warna merah hingga
kuning muda, hal ini menunjukkan bahwa nilai resistivitas pada lintasan ini berkisar
3,0064 – 1243,53 Ωm.
Gambar 4.12 Hasil Penampang 3-Dimensi dilihat dari Sumbu X (Panjang Lintasan)
Gambar 4.13 Hasil Penampang 3-Dimensi dilihat dari Sumbu Z (Kedalaman)
64
4.5 Peta ISO-Resistivity
Peta ISO-Resistivity merupakan peta hasil pengelompokkan lintasan
penelitian berdasarkan nilai z (kedalaman) yang sama untuk mengetahui hasil
distribusi nilai-nilai resistivitas dari seluruh lintasan. Pada penelitian ini, dilakukan
pengambilan data dengan 5 lintasan dan spasi yang berbeda. Lintasan 01-03 dengan
spasi 5m dan lintasan 04-05 dengan spasi 2,5m. Pada penelitian ini dibuat 2 peta
ISO-Resisitivity dengan masing-masing kedalaman 14,33 m dan 19,78 m dibawah
permukaan. Pada peta dibawah ini juga dibuatkan peta kedalaman berdasarkan nilai
topografi yang diperoleh dari hasil inversi.
Gambar 4.14 Peta ISO-Resistivity dan Peta Kedalaman Lintasan 01-03 dengan Spasi 5 m.
Gambar 4.14, merupakan peta hasil distribusi nilai-nilai resistivitas pada
kedalaman 19,78 m dibawah permukaan. Nilai resistivitas yang terdeteksi pada
kedalaman tersebut berkisar antara 0 – 145 Ωm. Dari hasil kontur tersebut dapat
dilihat bahwa pada kedalaman ini didominasi oleh lapisan akuifer, sedikit lempung
dan alluvial. Hanya ada sedikit batuan dengan resistivitas 125 – 145 Ωm ditemukan
pada kedalaman ini. Pada peta kedalaman, dapat dilihat juga bahwa nilai resistivitas
tinggi tersebar di bagian atas permukaan.
65
Gambar 4.15 Peta ISO-Resistivity dan Peta Kedalaman Lintasan 04-05 dengan Spasi 2,5 m.
Gambar 4.15, merupakan peta hasil distribusi nilai-nilai resistivitas pada
kedalaman 14,33 m dibawah permukaan. Nilai resistivitas yang terdeteksi pada
kedalaman tersebut berkisar antara 0 – 70 Ωm. Dari hasil kontur tersebut dapat
dilihat bahwa pada kedalaman ini juga didominasi oleh lapisan akuifer, sedikit
lempung dan alluvial. Nilai resistivitas tertinggi sebesar 70 Ωm yang diduga jenis
batuan tersebut batu lempung atau alluvial. Pada peta kedalaman, dapat dilihat juga
bahwa nilai resistivitas tinggi tersebar di bagian atas permukaan.
Pada pembuatan peta ISO-Resistivity ini tidak bisa digabung seluruh
lintasan dikarenakan spasinya berbeda. Dari hasil kedua peta tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada kedalaman 14,33 m dan 19,78 m didominasi oleh lapisan
akuifer dan beberapa jenis batuan dengan tekstur yang lunak. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai resistivitas yang tidak terlalu besar. Sedangkan jenis batuan yang
bertekstur keras dan kasar memiliki nilai resisitivitas yang cukup tinggi yaitu 300 –
2.000 Ωm. Semakin tinggi nilai resisitivitasnya maka semakin besar juga nilai
porositasnya. Nilai porositas yang tinggi menunjukkan kepadatan sel penyusun
batuan tersebut. Dan sebaliknya, apabila nilai resistivitsnya rendah maka nilai
porositasnya akan semakin kecil.
66
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diperoleh dapat disimbulkan bahwa:
1. Menurut hasil interpretasi dari penampang geolistrik 2-Dimensi yang
diperoleh, kondisi lapisan bawah permukaan di daerah penelitian ada
beberapa titik yang layak untuk dibangun pondasi bangunan sipil dengan
beberapa ketentuan.
2. Secara umum, kondisi litologi lapisan bawah permukaan pada daerah
penelitian mengandung alluvium, batupasir tufan baik dengan tekstur halus
dan keras, juga ada lapisan akuifer dengan besar nilai resistivitas antara 1,6
– 2502 Ωm.
3. Didapatkan hasil korelasi antara data geolistrik dan data log bor dengan nilai
SPT > 60 sampai kedalaman 10 m dan dapat diketahui terdiri dari batuan
seperti pasir laut, pasir bercampur batu karang, lempung berpasir, batu cadas
dan batu karang.
4. Didapatkan hasil korelasi antara nilai resistivitas yang diperoleh dengan
tabel nilai resistivitas batuan, data log bor dan peta geologi regional bahwa
nilai resisitivitas 1,6 – 150 Ωm menujukkan adanya lapisan akuifer air tanah,
lempung berpasir dan alluvial. Nilai resistivitas 151 – 550 Ωm menunjukkan
adanya batupasir dengan tekstur halus dan sedikit keras. Sedangkan nilai
resistivitas 551 – 2502 Ωm menunjukkan adanya batupasir tufan kasar yang
bertekstur keras dan padat.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya:
1. Untuk melakukan pembangunan gedung sipil, sebaiknya pondasi gedung
tersebut dibangun pada lapisan yang keras dan padat. Usahakan tidak
membangun gedung pada lapisan yang bersifat lunak atau basah karena
akan membahayakan. Apabila ditemukan lapisan yang basah, sebaiknya
pondasi diperdalam hingga menemukan kembali lapisan yang keras.
67
2. Pengeboran dengan mengunakan SPT lebih diperbanyak, agar hasil
penyelidikan bawah permukaannya lebih akurat. Semakin banyak titik bor,
data yang diperoleh akan semakin komprehensif. Dan akan lebih mudah
ketika mengkorelasikan dengan data geolistrik dan geologi regional.
68
DAFTAR ACUAN
[1] AL-HUFAZ, ”Al-Qur’an Hafalan,” Bandung: Cordoba, 2018.
[2] Q. Sayyid, Y. As’ad, ”Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 9,” Depok: Gema
Insani Press, 2008.
[3] N. A. Muhammad, Syihabuddin, ”Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari
Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3,” Depok: Gema Insani Press, 2001.
[4] Badan Pusat Statistik (BPS), ”Buku Pesisir Barat Dalam Angka 2013,”
Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, 2013.
[5] Wisyanto, “Analisis Potensi Ancaman Gempa Terhadap Bangunan di Krui,
Kabupaten Pesisir Barat,” J. Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana, Vol.
12, No. 2, pp. 37 – 45, 2017.
[6] A. Herison, Y. Romdania, dkk., “Analisis Zonasi Ekowisata Bahari
Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Pesisir
Barat),” J. Spatial Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi, Vol. 18,
No. 2, pp. 95 – 104, 2018.
[7] Lowrie. W, ”Fundamental of Geophysics,” New York: Cambridge
University Press, 2007.
[8] Amin, T.C., Sidarto, dkk.,” Geologi Lembar Kotaagung, Sumatera,”
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (PPPG), 1994.
[9] E. Rolia, “Pengukuran Geolistrik untuk Menafsirkan Keberadaan Air
Tanah di Pekon Suka Jadi, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir
Barat,” J. TAPAK, Vol. 3, No. 2, pp. 96 – 103, 2014.
[10] Peta Kota, “Peta Kabupaten Pesisir Barat,” Powered Blogger, 2020.
[Online]. Available: http://peta-kota.blogspot.com/2017/02/peta-
kabupaten-pesisir-barat.htnl?m=1. [Accessed: 11-Juli-2020]
[11] Kelompok Kerja (POKJA) Sanitasi, ”BAB II Gambaran Wilayan Umum
Buku Putih Sanitasi,” Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.
[12] Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pesisir Barat, Tahun
2015.
[13] Philip. Kearey, ”An Introduction to Geophysical Exploration,” Third
Edition. Berlin USA: Blackwell Science, 2002.
[14] H. S. Naryanto, ”Analisis Patahan Bawah Permukaan Dari Pengukuran
Geolistrik Untuk Antisipasi Bencana Gempa Di Kabupaten Grobogan,” J.
Alami, Vol. 2, No. 2, pp. 73 – 81, 2018.
69
[15] S. D. Prabandini, ”Identifikasi Kondisi Bawah Permukaan Untuk Pondasi
Jembatan di Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi Menggunakan
Metode Geolistrik,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2019.
[16] R. Gustiansyah, ”Laporan Praktikum Geolistrik Dengan Konfigurasi
Wenner Beta Dipole-Dipole di Lapangan Sepak Bola Utara Gedung FISIP
Universitas Brawijaya,” Malang: Universitas Brawijaya, 2013.
[17] S. A. Amin, ”Rancang Bangun Prototipe Alat Ukur Resistivitas Tanah
Skala Laboratorium,” Makassar: Universitas Hasanuddin, 2017.
[18] H. Nurisyadzatul, ”Analisis Data Geolistrik Resistivitas Untuk Pemodelan
Struktur Geologi Bawah Permukaan Gunung Lumpur Bangkalan,” Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim, 2016.
[19] S. Shobihah, ”Identifikasi Struktur Bawah Permukaan dengan
Menggunakan Geolistrik Konfigurasi Wenner-Schlumberger dan Data SPT
(Standart Penetration Test) Studi Kasus: Jalan Tol Manado-Bitung,”
Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018.
[20] Telford, W. M., Geldart, L.P. and Sherif, R.E,” Applied Geophysics 2nd
Edition,” Newyork: Cambridge University Press, 1990.
[21] K. D. Santi, ”Studi Karakterisasi Batuan Beku Andesit Kabupaten Lampung
Barat, Provinsi Lampung,” Lampung: Universitas Lampung, 2019.
[22] N. Djauhari, ”Pengantar Geologi, 2nd ed,” Bogor: Pakuan University Press,
2012.
[23] K. Anis, A. Ikhwannur, dkk, ”Petrogenesis Batuan Metamorf di Perbukitan
Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah,” Semarang: Universitas
Diponegoro, 2018.
[24] I. Lutfinur, ”Identifikasi Sesar Bawah Permukaan Menggunakan Metode
Geolistrik Konfigurasi Schlumberger (Studi Kasus Sungai Opak
Yogyakarta),” Universitas Negeri Semarang, 2015.
[25] Supriyanto, ”Analisis Data Geofisika: Memahami Teori Inversi (edisi 1),”
Depok: Universitas Indonesia, 2007.
[26] Loke, M.H, ”Tutorial: 2D and 3D Electrical Imaging Surveys,” Online:
www.geoelectrical.com, 2004.
[27] A. Dika, ”Karakterisasi Cebakan Mineral Sulfida Berdasarkan Hasil
Metode Geolistrik Resistivitas dan Induksi Polarisasi Daerah Jampang
Kabupaten Sukabumi,” Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2015.
[28] Geotomo, ”RES2DINV: Rapid 2-D Resistivity and IP Inversion Using The
Least-Squares Method,” Malaysia, 2010.
70
[29] A. N. Fitrianti, ”Identifikasi Sebaran Rembesan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun dengan Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas (Studi
Kasus: Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto),”
Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018.
[30] Y. Dita, ”Pemetaan Resistivitas Area Rawan Longsor dengan
Menggunakan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner (Studi Kasus di Desa
Joho, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten TulungAgung),” Malang:
Universitas Negeri Malang, 2011.