Upload
rendy-ivaniar-sh
View
322
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Mengkaji RUU PT
Citation preview
KAJIAN KRITIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI ANTARA PENJAMINAN HAM DAN KOMERSIALISASI
(PENCARIAN BENTUK DAN BATASAN PENGATURAN)
Oleh. RENDY IVANIAR Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
RINGKASAN
Rancangan undang-undang Pendidikan Tinggi atau RUU PT yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat masih menuai banyak masalah dan kritik. Masyarakat banyak yang resah akibat isu-isu yang dihembuskan oleh RUU PT ini. Apabila RUU PT ini disahkan maka akan banyak perubahan mendasar yang akan terjadi terhadap perkembangan sistem pendidikan di Indonesia terutama pengaturan terkait pendanaan dan penggolongan perguruan tinggi. Memang tidak semua rumusan dalam undang-undang tersebut membawa dampak negative bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memajukan system pendidikan di Indonesia sesuai dengan undang-undang yang akan disahkan ini. Capat atau lambat memang kita tidak dapat membendung lagi persainagn akan mutu sumber daya manusia di seluruh dunia akibat derasnya arus globalisasi sehingga kita juga harus menyiapkan sumber daya manusia yang dapat bersaing dalam tataran internasional. Salah satu langkah strategis Indonesia yang dapat ditempuh dalam meningkatkan daya saing adalah dengan melakukan perbaikan system melalui pembuatan peraturan yang baru yang dapat menciptakan mutu pendidikan tinggi di Indonesia, tentunya yang sesuai dengan ideology bangsa dan sesuai dengan undang-undang dasar 1945 (UUD 1945).
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada kenyataannya Indonesia masih belum siap menerima arus globalisasi di bidang pendidikan. RUU PT yang memungkinkan perguruan tinggi dari luar negeri dapat membuka cabangnya di Indonesia menimbulkan suatu kekhawatiran tersendiri pada erkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang notabene masih dalam tahap perkembangan. Selayaknya Indonesia mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kemampuannya untuk memperoleh keunggulan komparatif di tengah derasnya arus globalisasi. Perkembangan system pendidikan tinggi di Indonesia sudah beberakali melakukan pembaharuan, begitu pula dengan dasar hukumnya. Mulai dari dibentuknya undang-undang nomor 2 tahun 1989, undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan hingga undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tenayat masih belum dapat mengayomi pemenuhan hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan. Bahkan undang-undang BHP diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang ini
inkonstitusional yang tandanya undang-undang ini telah melukai hak warga Negara. Sehingga untuk mengatasi semua permasalahan yang diakibatkan putusan mahkamah konstitusi ini pemerintah harus segera membuat peraturan baru lagi yang sesuai dengan tujuan bangsa dan mencerminkan sifat konstitusionalisme.
Perguruan tinggi yang merupakan sebuah asset investasi masa depan bangsa harus dipikirkan secara matang arah perkembangannya. Oleh karena itu menurut hemat penulis sangat penting melakuakn kajian terkait rancangan undang-undang pendidikan tinggi ini, sehingga nantinya ditemukan sebuah bentuk dan batasan pengaturan tentang pendidikan tinggi yang seharusnya menjamin hak-hak warga Negara. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, dengan teknik analisis data melalui analisis bahan hukum dilakukan dengan teknik analisis isi.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengacu pada pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan bangsa Indonesia
adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Frase ini tidak hanya menyatakan
negara perlu atau wajib menyelenggarakan pendidikan, lebih dari pada itu, negara
wajib menjamin terciptanya pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini dipertegas di dalam batang tubuh UUD 1945
bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, telah diatur tentang kewajiban
negara terhadap warga negaranya, juga tentang hak dan kewajiban warga negara
kepada negaranya. Negara wajib memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan
lahir batin sesuai dengan system demokrasi yang dianutnya serta melindungi hak
asasi warganya sebagai manusia secara individual berdasarkan ketentuan yang
berlaku yang dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku
di Indonesia dan oleh system kenegaraan yang digunakan.1
Akan tetapi dalam keadaan yang sebenarnya komersialisasi dan komoditasi
pendidikan di Indonesia semakin berkembang dengan adanya peluang besar karena
pengawasan pemerintah kurang, atau memang komoditasi seperti ini
menguntungkan bagi negara.2 Namun, akibatnya masyarakat bawah sulit untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka banyak tidak memilih untuk
bersekolah karena hal di atas. Maraknya pendidikan yang dikomersialkan membuat
kerugian pula bagi negara dengan sedikitnya SDM serta banyaknya pengangguran.
Masyarakat juga butuh biaya untuk kesehariannya di mana mereka juga ingin
menghidupi kesehariannya butuh biaya yang lebih, ditambah dengan biaya
pendidikan yang semakin tinggi.
1 http://intrakampushmmitb.files.wordpress.com/2011/07/risalah.pdf
2 http://faizal.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_381.pdf
Atas dasar ini peningkatan kualitas pendidikan bukan kerja sampingan dari
pemerintah. Pendidikan baik kualitas maupun pemerataan adalah hal pokok yang
harus menjadi perhatian pemerintah. Bergemingnya wacana rancangan undang-
undang perguruan tinggi seolah menjadi angin segar ditengah krisis pendidikan di
negeri ini. Wajar saja bagi sebuah negara yang sudah 66 tahun untuk mulai beranjak
dari mengurusi pendidikan dasar kepada peningkatan kualitas pendidikan tinggi.3
Demi meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam
segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan dan
profesionalis yang berbudaya, kreatif, toleran, demokratis dan berkarakter tangguh.
Diperlukan pengaturan sebagai dasar kepastian hukum untuk menjamin
penyelenggaraan pendidikan tinggi, sehingga mampu mewujudkan keterjangkauan
dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang
bermutu serta relevan dengan kepentingan masyarakat.
Sebenarnya keinginan pemerintah untuk merubah system pendidikan yang
ada di Indnesia sudah digulirkan sejak dibuatnya undang-undang tentang badan
hokum pendidikan (BHP), akan tetapi undang-undang tersebut terbukti
inkonstitusional. Putusan mahkamah konstitusi No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-
VII/2009 membuat undang-undang ini tidak efektif dan putusan mahkamah
konstitusi ini memiliki implikasi yuridis yang sangat besar terhadap system
pendidikan di Indonesia.4 Implikasi ini tidak hanya sebatas menutup gerak undang-
undang BHP, tetapi juga berimplikasi besar terhadap manajemen pendidikan tinggi
secara keseluruhan.
Hukum di Indonesia masih mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat,
semoga dengan hadirnya paying hukum baru ini, benar-benar menjadi angin segar
buat PT, pemerintah bahkan masyarakat yang kurang mampu untuk mengakses
3 http://prasetya.ub.ac.id/berita/Uji-Publik-RUU-tentang-Pendidikan-Tinggi-8163-id.pdf
4 http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%20suharizal.pdf
pendidikan tinggi sehingga istilah “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak sekedar
menjadi retorika kosong di pembukaan UUD 45.
Seperti yang telah penulis paparkan diatas bahwa salah satu potret dunia
pendidikan yang belakangan ini menggelisahkan adalah mahalnya biaya pendidikan.
Sementara itu, jumlah orang miskin semakin bertambah, jurang kaya-miskin tambah
menganga. Rakyat miskin yang “dilumpuhkan” oleh berbagai kebijakan dan struktur
negara, akhirnya harus pula dilindas oleh dunia pendidikan. Hal ini berarti, langsung
tidak langsung, pengelola Negara mengkhianati rakyatnya, si kaya menghisap si
miskin, kaum terpelajar menindas orang-orang yang tidak mampu mengenyam
pendidikan. Berkaitan dengan pernyataan di atas, perlu ditegaskan bahwa masalah
penting dalam dunia pendidikan yang harus terus dibicarakan adalah pergumulan
dua kekuatan tidak terhindarkan, antara kepentingan komersialisasi dengan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu judul yang penulis buat sangat menarik untuk
dibahas.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dan aplikasi pemenuhan hak rakyat untuk memperoleh
pendidikan Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana seharusnya bentuk dan batasan pengaturan yang ada dalam undang-
undang Pendidikan Tinggi?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan aplikasi pemenuhan hak rakyat untuk
memperoleh pendidikan Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia saat ini.
2. Untuk mencari bentuk dan batasan pengaturan yang ada dalam undang-undang
Pendidikan Tinggi.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Bagi penulis karya tulis ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
situasi perkembangan pendidikan dan langkah strategis Indonesia dalam
memajukan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan tinggi.
2. Bagi Akademisi
Bagi akademisi dapat memberikan partisipasi dan dukungan untuk memberikan
sumbangan pemikiran dalam menentukan langkah strategis yang ditempuh oleh
Indonesia dalam memajukan pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan
tinggi.
3. Bagi Pelaku Pendidikan / Masyarakat
Bagi pelaku pendidikan diharapakan dapat memberikan partisipasi dan
bekerjasama yang baik serta memberikan dukungan yang positif dalam setiap
kebijakan pemerintah yang diambil dalam menentukan langkah strategis untuk
memajukan pendidikan di Indonesia.
4. Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah karya tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam merestrukturisasi suatu kebijakan pengembangan
pendidikan yang berkaitan dengan pengambilan langkah strategis Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Rencana di Bentuknya Undang-Undang Tentang Pendidikan
Tinggi
Hasil-hasil yang telah dicapai oleh system pendidikan tinggi kita adalah
paduan akhir dari seluruh usaha yang telah dilakukan dimasa yang lalu dalam
masa perkembangannya. Bila hasil yang telah dicapai ini dibandingkan dengan
tantangan yang dihadapi oleh pendidikan tinggi pada masa ini, akan terlihat suatu
perbedaan yang besar antara kemampuan dan tantangan.
Demi laju pembangunan yang diharapkan, maupun tingkat kehidupan
yang kian meningkat sebagai hasil-hasil pembangunan dimasa depan, dapat
diperkirakan bahwa tantangan yang dihadapkan kepada pendidikan tinggi akan
bertambah besar. Dalam menghadapi tantangan ini, berbagai keterbatasan
dihadapi oleh pendidikan tinggi kita, yang bersumber pada perkembangan dimasa
lalu. Guna menangani masalah perbedaan yang besar antara kemampuan dan
tantangan didalam serba keterbatasan dana, fasilitas maupun tenaga kerja, akan
diperlukan suatu rencana kerja serta pelaksanaannya yang tepat sehingga dapat
mendudukan pendidikan tinggi kita dikemudian hari didalam posisi yang sebaik
mungkin terhadap tantangan yang dihadapinya.5
Sejak permulaan orde baru, pemikiran-pemikiran untuk memperbarui
system pendidikan tinggi di Indonesia telah dirintis. Pemikiran ini dituangkan
dalam dokumen yang dikenal dengan “Basic Memoandum Dirjen Perguruan
Tinggi”.6 Dokumen ini mendasari langkah-langkah inovatif yang diambil dan
mempengaruhi perkembangan pendidikan kita hingga sekarang. Dengan
diterapkannya pola pembangunan nasional secara berencana melalui tahapan-
5 DA. Tisna.1982. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang. Jakarta. Hlm 7 6 Ibid. hlm 8
tahapan pembangunan, yang dikenal dengan REPELITA,7 maka pengembangan
secara berencana pada pendidikan juga pelu dilaksanakan.
Untuk mendukung hal tersebut maka sudah banyak peraturang yang
telah dibuat oleh pemerintah. Mulai dari undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan hingga undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan yang sekarang telah di yudisial review oleh Mahkamah
Konstitusi dikarenakan inkonstitusional. Terdapat lima alasan mengapa MK
menggugurkan eksistensi dari undang-undang BHP ini.8
Pertama, UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis,
kejelasan maksud dan keselarasan dengan undang-undang lainnya. Kedua, UU
BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai
kemampuan yang sama, padahal realitasnya setiap perguruan tinggi tidak
mempunyai kemampuan yang sama. Ketiga, pemberian otonom kepada PTN akan
berakibat beragam dan perlu dikaji lebih mendalam, kaena lebih banyak perguruan
tinggi yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha ditiap
daerah. Keempat, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan
nasional dan menimbulkan kepastian hokum. Kelima, prinsip nirlaba tak hanya
bias diterapkan dalam BH tapi juga dalam bentuk hokum lainnya. MK dalam
putusannya a quo menyatakan bahwa pendidikan sebagai barang public (public
goods) dan bukan barang privat (private goods).
Pengaruh yudisial dari putusan mahkamah konstitusi ini sangat luas.
Peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk peraturan pemerinah (PP)
ataupun peratuan menteri yang dibentuk mengacu pada UU Nomor 9 Tahun 2009
harus direvisi atau bahkan dicabut, baik yang mengenai Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah (BHPP), Badan Hukum Pendidikan Daerah (BHPD) ataupun Badan
Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) yang mengacu pada undang-undang
Badan Hukum Pendidikan harus dicabut atau direvisi.
7 REPELITA yang merupakan singkatan dari Rencana Pembangunan Lima Tahun yang merupakan
program dari Orde Baru saat Soeharto menjadi presiden beserta usulan dari para ekonom-ekonom saat itu. Pembangunan secara bertahap dari Repelita 1 hingga terakhir menyumbangkan pembangunan yang sinergis di Indonesia. 8 Suharizal, 2011. Formulasi Undang-Undang BHP. Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10/No.3 hlm. 2
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penge lolaan dan
Penyelengg-araan Pendidikan meng atur secara khusus menyangkut Perguruan
Tinggi sebagai badan hukum. Walaupun PP Nomor 17 Tahun 2010 tidak
merujuk kepada UU Nomor 19 Tahun 2009, namun secara materi bertentangan
dengan tafsiran badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud oleh hakim
MK dalam dua putusan, yakni; putusan Nomor 021/PUUIV/2006 pada 22
Februari 2007, dan Putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU VII/2009
tanggal 31 Maret 2010. sehingga PP Nomor 17 Tahun 2010 menjadi bagian yang
harus direvisi.
Walaupun dalam perjalanannya pengembangan pendidikan di Indonesia
mempunyai banyak halangan, akan tetapi pengembangan system pendidikan tetap
harus dilanjutkan. Pada dasarnya mengelola perubahan dari peraturan satu menuju
peraturan berikutnya yang diinduksikan terarah akan memerlukan waktu, perlu
pula perhatian bahwa pendidikan tinggi tetap hasrus memberikan karya-karyanya.
Untuk menuju system pendidikan tinggi nasional dikemudian hari secara nyata,
pendidikan tinggi harus menghadapi tiga proses secara bersamaan, yaitu9 (1)
Proses perubahan menuju Sistem Pendidikan TInggi Nasional yang digariskan, (2)
Proses meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil karya yang lebih baik (3)
Proses pertumbuhan untuk mampu menghadapi tantangan-tantangan yang
meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu, pemerintah yang berkewajiban menjalankan konstitusi
harus terus meningkatkan system pendidikan tinggi. Untuk meningkatkan itu
diperlukan sebuah peraturan yang dapat mengatur dan memberi kewenangan
pemerintah. Dalam hal ini sangat urgent dibentuk sebuah peraturan baru pengganti
undang-undang BHP yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak
terutama masyarakat kurang mampu, sehingga dibuatlah rancangan undang-
undang Pendidikan Tinggi ini.
9 DA. Tisna.1982. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang. Jakarta. Hlm 7
2.2 Politik Hukum Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
Salah satu pendapat terkait politik hokum adalah pendapat dari mantan
Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Teuku M. Radhie, yang
dimaksud dengan politik hukum adalah “hukum apa dan bagaimana yang akan
mengatur tata kehidupan masyarakat, bersumber pada politik hukum”.10 Sedang
politik hukum dalam penulisan ini adalah politik hukum tentang isi hukum pada
Rancangan undang-undang (RUU) tentang Pendidikan Tinggi. RUU ini menuai
banyak kritikan karena dari Mahasiswa dan organisasi masyarakat peduli
pendidikan, mereka menuntut pembatalan pengesahan Rancangan Undang-undang
perguruan tinggi (RUU PT). Sebab, RUU PT ini mengancam hak rakyat atas
pendidikan.
Dapat dikatakan, politik hukum Rancangan undang-undang (RUU)
tentang Pendidikan Tinggi sangat berpihak pada pemerintah, eksploratif dan
berpihak kepada kapitalisme dan jauh dari memperhatikan HAM.11 Lebih jauh,
UU ini belum sejalan dengan semangat mewujudkan hukum yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
sehingga belum responsif. Bahkan menurut hemat penulis pula, sangat
disayangkan apabila memang terbukti benar bahwa hukum ini extra
konstitusional, karena melanggar prinsip pasal 33 UUD 1945.12
RUU Pendidikan Tinggi jelas bertentangan dengan semangat UUD 1945
yang menghendaki 'Mencerdaskan Kehidupan Bangsa' menjadi tujuan negara,
serta pendidikan sebagai hak yang harus dipenuhi oleh negara kepada rakyat. Baik
yang diatur di dalam UUD 1945, maupun Kovenan Ekonomi, Sosial, dan budaya.
RUU ini juga melanggar prinsip pendidikan untuk semua.13
10
M. Radhie dalam M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal 20. 11
Ibid. 12
Ibid, hlm. 49-50. 13
www.edukasi.kompas.com
Pasal-pasal yang keinginan pemerintah untuk memberi peluang
kapitalisme antara lain di pasal 77 ayat (4) merupakan bentuk privatisasi
perguruan tinggi, yang berbunyi “ Status otonom sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan
bidang akademik dan non akademik” Pengaturan dalam Pasal 77 ayat (4) ini,
terutama terkait dengan otonomi non-akademik, termasuk diantaranya otonomi
keuangan, akan memunculkan orientasi bisnis pada perguruan tinggi. Dalam
pasal 52 RUU Pendidikan Tinggi diatur mengenai internasionalisasi, yakni
ketentuan dimana perguruan tinggi di luar negeri dapat mendirikan cabangnya di
Indonesia yang dikhawatirkan akan memberikan dampak negative terhadap
perkembangan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan sebuah kajian yang lebih mendalam terkait RUU PT
ini agar berpihak kepada rakyat.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Metode Pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif
atau penelitian hukum doktrinal yang mengkaji subtansi dari peraturan perundang-
undangan.14 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute-approach), yaitu dengan menelaah
peraturan perundang-undangan15 yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan di Indonesia, terutama mengenai peraturan pendidikan dan pendekatan
konsep (conseptual approach), dengan menelaah dan memahami konsep-konsep
pemenuhan mekanisme kontrol peraturan pendidikan di berbagai negara dan di
Indonesia khususnya16.
3.2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Penelitian ini menggunakan
bahan hukum17, yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, meliputi; Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan ; Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum
Pendidikan;
b. Bahan Hukum Sekunder, meliputi; Rancangan Undang-Undang Tentang
Pendidikan Tinggi, keluaran 22 Februari 2012.
14
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAM-
HUMA, Jakarta, 2002, h. 146-147. 15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2007, h. 96. 16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising,
Malang, 2007, h. 391. 17
CFG. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, ALUMNI,
Bandung, 1994, h. 36.
c. Bahan Hukum Tersier18, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dan Black`s Law Dictionary.
3.3. Tahapan Penelitian
Penelitian hukum ini, dilakukan melalui tahap-tahap berikut; (a) mencari
dan mengklasifikasikan fakta; (b) mengadakan klasifikasi tentang masalah hukum
yang diteliti; (c) mengadakan analisis hukum atau/dan analisis interdisipliner dan
multidisipliner; (d) menguji hipotesis; (e) menarik kesimpulan; serta (f)
mengajukan saran.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi
dokumen dan studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dari perpustakaan dan
pusat riset yang dapat mendukung terbentuknya karya tulis ini. Selain itu
pengumpulan data juga dari internet.
3.5. Teknik Analisis Data
Analisis bahan hukum dilakukan dengan teknik analisis isi (content
analysis).19 Analisis isi adalah teknik penelitian yang bertujuan untuk mencandra
suatu pesan yang tersirat maupun tersurat. Dalam analisis isi, kandungan asas dan
pasal-pasal relevan telah dipaparkan dan selanjutnya diinterpretasi20 dengan
metode otentik21, komparatif, teleologis dan gramatikal.
18Ibrahim R, Sinopsis Penelitian Ilmu Hukum. Raja Grafindo Persada, 1995, h. 41-43. 19Valerine J.L. Kriekhoff, Analisis Konten dalam Penelitian Hukum: Suatu Telaah Awal,
Kumpulan Bahan Bacaan dalam Penataran Metode Penelitian Hukum yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Cimanggis, 20-30 Juli 1997, h. 85.
20Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
2001, h. 11.
21Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, ALUMNI, Bandung, 2000, h. 11.
BAB IV
ANALISIS SINTESIS
4.1 Aplikasi Pemenuhan Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Pendidikan
Perguruan Tinggi Di Indonesia.
Sejak lahirnya pemerintahan orde baru, pembangunan sector pendidikan
menjadi salah satu perhatian utama pemerintah. Berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam berbagai bidang menuntut pemerintah melaksanakan perbaikab
terutama dalam bdang pendidikan. Sejak Repelita I mulai disadari bahwa
pendidikan harus mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan, serta
kemungkinan perkembangan ekonomi dan social sehingga dapat memberi bekal
hidup kepada peserta didik dan memenuhi kebutuhan masyarakat.22 Sesuai dengan
ketetapan MPRS 1966, pendidikan nasional yang berdasarkan atas falsafah negara
pancasila dianggap sebagai upaya investasi nasional yang terwujud dalam investasi
ilmu dan keterampilan.
Salah satu upaya dalam mengaplikasikan ketetapan MPRS tersebut adalah
dengan melakukan perluasan kesempatan belajar. Tujuan paling mendasar dari
pemerataan kesempatan belajar ialah mengurangi kesenjangan social yang
umumnya terjadi dalam masyarakat.Melalui pemerataan kesempatan pendidikan
yang bermutu dan relevan ini maka kesenjangan social dapat dikurangi sejalan
dengan semakin meratanya pendapatan dan kesejahteran masyarakat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kesempatan belajar di perguruan negeri
semakin sulit. Walaupun sejak tahun 1945 perguruan tinggi di Indonesia hanya
berjumlah 5 dengan kemudian terus betambah jumlahnya ternyata masih belum
sebanding dengan pertumbuhan jumlah dan kemampuan finansial masyarakat.
22 Wardjiman Djojonegoo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Lima Puluh Tahun
Perkembangan Pendidikan Indonesia, hlm 149
Ini terlihat dari data BPS pada Februari 2011, jumlah orang Indonesia
yang bekerja pada Februari 2011 sebanyak 111.3 juta orang dengan komposisi;
a. SD ke bawah : 55.1 juta (49.33%)
b. Diploma : 3.3 juta (2.98%)
c. Sarjana : 5.5 juta (4.99%)
Terlihat dari total jumalh orang Indonesia yang bekerja, hanya 2,98% saja
yang lulusan diploma dan 4,99% saja yang lulusan dari sarjana. Ini
menggambarkan bahwa masih sulitnya kesempatan warga Negara untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi. Salah satu penyebab
sulitnya masuk ke perguruan tinggi adalah kapasitas yang tidak memadai seperti
yang dipaparkan oleh DPR bahwa daya tamping 60 Perguruan Tinggi Negeri pada
tahun 2011 sebanyak 110.149 kursi, sedangkan peserta SNMPTN pada tahun 2011
sebanyak 460.611 orang.
Sedikitnya daya tampung PTN bermutu dan terkonsentrasinya di pulau
Jawa belum diperhatikan bagaimana arah kebijakan mengatasinya di RUU PT
terutama bagaimana pemerintah memberdayakan dan meningkatkan kualitas
Perguruan Tinggi di daerah dan tentu sulit melewatiu masa transisi tanpa campur
tangan pemerintah termasuk dalam perihal pembiayaan.
Dengan bertolak dari hasil evaluasi pendidian tinggi, maka system
pendidikan tinggi kita pada saat ini menghadapi berbagai masalah pokok yang
besar, yang perlu ditanggulangi secara berencana.23 Masalah-masalah pokok yang
akan diuraikan dibawah ini akan saling bekaitan satu dengan lainnyadan disadari
sepenuhnya bahwa penyelesaiannya akan memerlukan konsep-konsep yang jelas.
Permasalahan pokok yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :
1. Produktivitas yang rendah
Sarana pendidikan pada umumnya terbatas, bersamaan denan rendahnya
kelancaran pendidikan, dirasakan pula kelemahan dalam aspek relevansi.
23 DA. Tisna.1982. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang. Jakarta. Hlm 28
Ditinjau dari segi penelitian, maka hasil – hasil yang dicapai pergruan
tinggi pun belum menunjukan pemanfaatan potensi riset yang optimum.
Jumlah hasil penelitian sebagai salah satu pencerminan kegiatan ilmiah
perguruan tinggi dalam periode 4 tahun hanya sekitar 4000 dengan jumlah
gelar doctor yang diberikan dalam periiode yang sama hanya sekitar 77.24
Masalah produktivitas lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah
dalam hal peningkatan dan pembinaan kegiatan penelitian yang berkaitan
dan menunjang pendidikan.
Hal ini antara lain menunjukan pentingnya kapasitas dan potensi riset yang
dimiliki perguruan tinggi, tidak saja untuk pendidikan tetapi juga untuk
masyarakat dan pembangunan. Perlu kiranya disadari bahwa untuk jangka
waktu yang singkat dimasa yang akan dating untuk sementara kapasitas dan
potensi riset nasional masih akan ditentukan oleh lembaga-lembaga
perguruan tinggi.
2. Keterbatasan daya tamping mahasiswa baru
Dalam studi-studi yang telah dilakukan oleh separtemen pendidikan dan
kebudayaan, yang hasilnya antara lain telah dikemukakan dalam
memorandum akhir jabatan dirjen Pendidian Tinggi tahun 1976 dan
gambaran keadaan Pendidikan tinggi tahun 1975 hingga saat tahun 2011
kita dapat melihat kenyataan ketidak seimbangan antara jumlah permintaan
belajar pada lembaga-lembaga perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa
yang dapat diteima di lembaga perguruan-perguruan tinggi tadi. Ketidak
seimbananan ini disebabkan antara lain karena peningkatan tamatan sekolah
lanjutan atas yang ingin meneruskan pendidikannya disamping terbatasnya
kemampuan dan kapasitas sarana pendidikan yang ada.
Keadaan ini menunjukan urgensi penanganan peningkatan kemampuan
lembaga-lembaga pendidikan untuk memungkinkan tercapainya populasi
mahasiswa yang wajar ditinjau dari segi pertumbuhan permintaan belajar,
24
DA. Tisna.1982. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang. Jakarta. Hlm 32
maupun dari segi pelayanan, dengan memperhaikan mutu akademis, tenaga,
fasilitas, dan dana yang diperlukan.
3. Kemampuan yang sangat terbatas untuk tumbuh dengan kekuatan
sendiri
Tugas dan peranan lembaga perguruan tinggi sebagai inti pertumbuhan dan
perkembangan (nucleus for growth and development) ini meupakan
tanggung jawab yang berat, yang harus dimulai dengan pertumbuhan dan
pengembangan dalam tubuh lembaga- lembaga perguruan tinggi sendiri.
Perlu dipikirkan cara-caa atau pendekatan untuk memanfaatkan kapasitas
dan potensi lembaga erguruan tinggi untuk tumbuh sendiri, hal ini sangat
penting mengingat keterbatasan pemerintah untuk melaksanakan
pembinaan menyeluuh, akan tetapi dalam hal ini pemerintah juga tidak
boleh melepas tangan untuk membina perguruan tinggi dalam hal akademis
maupun non akademis.
4. Ketidak seimbangan antara kelembagaan perguruan tinggi
Kenyataan menunjukan bahwa kemampuan dan kapasitas untuk tumbuh
dan mengembang initidak merata disemua lembaga perguruan tinggi,
sehingga memerlukan pemikiran-pemikirn dan usaha-usaha yang mantap
untuk mempercepat peningkatan dan pembinaan kemampuan pertumbuhan
dan pengembangan lembaga-lebaga perguuran tinggi.
5. Struktur perbidangan yang kurang meyakinkan
Sebelum membuka suatu jurusan baru tentunya pemerintah harus
menyesuaikan dengan permintaan pasar kerja. Banyak saat ini dengan
beralasan kebutuhan lapangan kerja dibuka pembidangan baru padahal
pasar tidak menghendakinya. Ini menyebabkan banyak pengangguan
sarjana di Indonesia.
4.2. Analisis Bentuk Dan Batasan Pengaturan Yang Ada Dalam Undang-Undang
Pendidikan Tinggi
Latar belakang dibentuknya rancangan undang-undang ini sudah
dipaparkan pada pembahsan sebelumnya. Secara garis besar digambarkan dalam
konsideran bahwa undang-undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, negara telah memberikan kerangka yang jelas kepada
Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai dengan
amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Meskipun demikian masih memerlukan pengaturan agar pendidikan
tinggi dapat lebih berfungsi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, untuk pemberdayaan dan pembudayaan bangsa.
Sebelum rancangan undang-undang tentang pendidikan tinggi disahkan,
kita perlu mengkajinya lebih mendalam dan komprehensif sehingga nantinya
tidak menimbulkan keresahan saat penerapannya. Analisis secara kompehensif
mulai dari hubungan antara materi muatan hubungannya dengan hukum positif
yang sudah ada, harmonisasi dengan undang-undang terkait dan analisis
permasalahan-permasalahan dalam pasal-pasalnya.
a. Materi muatan dan hubungannya dengan hukum positif yang sudah ada.
Rancangan Undang-Undang ini memuat asas-asas yang dijawantahkan dalam
rumusan norma, asas yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. kebenaran ilmiah;
b. penalaran;
c. kejujuran;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kebajikan;
g. tanggung jawab;
h. kebhinnekaan; dan
i. keterjangkauan.
Penyebutan kebenaran ilmiah sebenarnya di dalamnya sudah termasuk
kebenaran penalaran. Oleh sebab itu, agar lebih relevan dengan karakteristik
bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka seharusnya mengakui kebenaran religi. Atas dasar pandangan itu, maka
kebenaran penalaran diganti dengan kebenaran religi. Selain itu ternyata
terdapat bebeapa pasal yang sangat penting yang dipermalahkan oleh
masyarakat. Yaitu terkait (1) bagian dasar hukum, (2) Otonomisasi
pendidikan, (3) Alokasi anggaran untuk mahasiswa, (4) Spirit NKK/BKK
dalam RUU Pendidikan Tinggi, (5) Internasionalisasi dalam RUU Pendidikan
Tinggi, dan (6) Tenaga Kependidikan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. kesempatan belajar di perguruan negeri semakin sulit. Walaupun sejak tahun
1945 perguruan tinggi di Indonesia hanya berjumlah 5 dengan kemudian terus
betambah jumlahnya ternyata masih belum sebanding dengan pertumbuhan
jumlah dan kemampuan finansial masyarakat. Dengan bertolak dari hasil
evaluasi pendidian tinggi, maka system pendidikan tinggi kita pada saat ini
menghadapi berbagai masalah pokok yang besar, yaitu (1) Produktivitas
Rendah, (2) Keterbatasan Daya Tampung Mahasiswa, (3) Belum mampu untuk
tumbuh dengan kekuatan sendiri, (4) Ketidak seimbangan antara lembaga
perguruan tinggi, (5) Struktur pembidangan yang kurang meyakinkan
2. Terdapat beberapa pasal yang sangat penting yang dipermalahkan oleh
masyarakat. yaitu terkait (1) bagian dasar hukum, (2) Otonomisasi pendidikan,
(3) Alokasi anggaran untuk mahasiswa, (4) Spirit NKK/BKK dalam RUU
Pendidikan Tinggi, (5) Internasionalisasi dalam RUU Pendidikan Tinggi, dan
(6) Tenaga Kependidikan.
5.2 Saran
1. Seyogyanya yang menjadi pembahasan negara adalah pemenuhan hak warga
Negara untuk mendapatkan pendidikan hingga kejenjang pendidikan tinggi.
2. Seyogyanya Pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya
untuk menjalankan dan mengembangkan system pendidikan sehingga mutu
sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing secara global.
3. Seyogyanya Pemerintah memperketat pengawas dan evaluasi berkala terhadap
jalannya system pendidikan terutama setelah undang-undang pendidikan tinggi
disahkan.