Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAJIAN SEMIOTIKA PADA PERTUNJUKAN HUDOQ KITA’
DI DESA PAMPANG KALIMANTAN TIMUR
Tri Indrahastuti,S.Sn.M.Sn
Abstrak
Penelitan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisa semiotika
terhadap kesenian Hudoq Kita’ di Desa Pampang Kalimantan Timur. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah seniman
kesenian Hudoq Kita’ , perangkat desa, dan tokoh masyarakat di desa Pampang,
yang bertindak selaku pengurus kesenian ini. Pengumpulan data dilakukan
melalui metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah-langkah
analisis data meliputi untuk deskripsi data, reduksi data, penyajian data dan
kesimpulan. Kebasahan data diperoleh dengan triangulasi.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bentuk penyajian kesenian
Hudoq Kita’ meliputi unsur-unsur yang mengandung makna semiotika di
dalamnya yaitu gerak, iringan, tata rias, tata busana, dan tempat pertunjukan.2)
Kesenian Hudoq Kita’ merupakan hasil cipta manusia yang mempunyai
kreativitas dalam menjalani kehidupan, dalam kehidupan manusia tidak jauh dari
makna dan kesenian adalah bagian dari kehidupan manusia.
Kata kunci : Semiotika, Bentuk Penyajian, Hudoq Kita’.
BAB I. PENDAHULUAN
Kesenian rakyat adalah salah satu kesenian yang tumbuh dan berkembang
yang menjadi kebiasaan, sehingga mengakar dan mendarah daging di
lingkungannya. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, kesenian
rakyat yang sudah menjadi ciri khas dalam suatu daerah seringkali ditinggalkan
bahkan tidak dikenal oleh generasi yang tinggal di daerah tersebut. Apalagi oleh
masyarakat Indonesia yang notabennya adalah negara yang terkenal dengan
berbagai ragam budaya dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu diantaranya adalah Hudoq Kita’ yang merupakan salah satu
kesenian rakyat tumbuh dan berkembang di Desa Pampang Kalimantan Timur..
Hudoq Kita’ ini sudah menjadi ciri khas di Desa Pampang Kalimantan Timur ,
selain menjadi hiburan warga sekitar, Hudoq Kita’ mampu menyedot perhatian
masyarakat sekitar, agar berapresiasi dalam pelaksanaan Hudoq Kita’, sehingga
2
kesenian yang merupakan warisan atau hak kekayaan intelektual tetap terpelihara
dan dapat dijaga kelestariannya.
Kondisi kekinian yang dihadapkan pada tekanan modernitas di Desa
Pampang Kalimantan Timut membawa Hudoq Kita’ terbawa oleh pengaruh
modernitas. Eksistensi Hudoq Kita’ sudah tergeser digantikan dengan pengaruh
modernitas yang masuk melalui gelombang-gelombang saluran media virtual.
Rasa cinta terhadap Hudoq Kita’ yang dahulunya menggebugebu, kini luntur
seiring bergulirnya zaman, hal ini ditandai dengan semakin berkurangnya
intensitas pertunjukkan Hudoq Kita’ dipertontonkan di Desa Pampang Kalimantan
Timur. Kecintaan warga terhadap Hudoq Kita’ ini muncul ketika kesenian ini
jarang dipertunjukkan mereka akan berusaha untuk menyelenggarakan suatu acara
dimana Hudoq Kita’ dapat dimainkan oleh para seniman Hudoq Kita’ tersebut.
Karena Hudoq Kita’ dipertunjukkan pada saat-saat tertentu, antara lain upacara
adat dan syukuran.
Hudoq Kita’ biasanya dipentaskan di tempat terbuka dan halaman rumah
atau lapangan yang mampu memuat banyak pemain dan penonton. Pertunjukkan
Hudoq Kita’ dibuat menyerupai bentuk pentas arena agar dapat dilihat oleh
penonton dari sisi manapun. Hudoq Kita’ adalah tari ritual dengan menggunakan
topeng yang dipakai para penari. Hudoq Kita’ digunakan sebagai sarana
permohonan, yaitu permohonan kesuburan dan keselamatan. Keselamatan
diharapkan para petani adalah mendapatkan hasil ladang yang berlimpah dan
keselamatan agar tanaman terhindar dari hama dan bencana. Ini dapat diketahui
dengan keberadaan Hudoq Kita’ itu sendiri bagian dari upacara ritual yang
bermanfaat bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan anggapan
bahwa Hudoq Kita’ merupakan salah satu upaya masyarakat untuk menghadirkan
kembali kejadian di masa lampau yang berkaitan dengan topeng yang digunakan
pada saat pertunjukan.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa setiap simbol yang tertangkap
secara indrawi sarat akan pemaknaan dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Apalagi masyarakat Dayak yang dalam proses kelahiran Hudoq Kita’ tidak
sekedar melahirkan kesenian yang tanpa makna dan cerita di dalamnya, tetapi
3
proses embriosasi dari Hudoq Kita’ diadaptasi dari cerita-cerita yang berkembang
dalam masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, maka timbul ketertarikan
penulis untuk mencoba mencari dan mempelajari makna semiotika (tanda) yang
terkandung dalam Hudoq Kita’, di desa Pampang, Kalimantan Timur.
Asumsi yang paling mendasar dari semiotika yaitu segala sesuatu
merupakan tanda, bukan hanya bahasa atau sistem komunikasi tertentu saja yang
tersusun sebagai tanda-tanda. akan tetapi tanda merupakan perantara dalam
berhubungan dengan realitas kehidupan. Terkait dengan masalah yang diangkat
oleh peneliti, objek penelitian dengan materi mengungkapkan makna dari sebuah
tanda. Tanda-tanda apa saja yang dipercaya dan selalu digunakan dalam
masyarakat pendukung Hudoq Kita’ sebagai sebuah simbol ritual, terkait dengan
tanda yang mempunyai kekuatan atau power dalam pelaksaaannya. Ilmu tanda
tersebut lazimnya disebut dengan “semiotika”.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut
Bagaimana bentuk penyajian Hudoq Kita’ dan makna semiotika di dalam Hudoq
Kita’ di Desa Pampang Kalimantan Timur.
Pengkajian Hudoq Kita’ dikaji dengan kajian semiotika. Secara Etimologis,
istilah “semiotika” berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Dalam
penelitian ini semiotika yang dimaksud adalah ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoezt
mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan
dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. (dalam Alex Sobur, Op.cit
hal.96). Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger ( 2001 :89)
menyebutkan bahwa semiotika sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap fenomena masyarakat/sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-
tanda. Semiotik adalah ilmu tentang tanda yang bersifat formal yang membahas
4
sesuatu hal secara mendalam sampai kepada akarnya. Semiotika merupakan
sebuah penanda dan dijabarkan dengan konteks yang berbeda. Charles Sander
Pierce mengemukakan bahwa sebuah tanda atau representament adalah sesuatu
yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau
kapasitas. Dia menyebutnya intrepretasi sebagai tanda yang pertama, pada
gilirannya akan mengacu pada objek tertentu.
Dengan demikian, sebuah tanda memiliki reaksi ‘triadik’ langsung dengan
interpretan dan objeknya. Proses ‘semiosis’ merupakan suatu proses
yangmemadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang
disebutsebagai objek. Proses ini oleh Pierce disebut sebagai signifikasi. Dari sudut
pandang Pierce ini, proses signifikasi bisa saja menghasilkan rangkaian hubungan
yang tidak berkesudahan, sehingga pada gilirannya sebuah interpretan akan
menjadi sebuah representanmen, menjadi interpretan lagi, jadi representamen lagi
dan seterusnya. Dari berbagai kemungkinan persilangan di antara seluruh tipe
tanda ini tentu dapat dihasilkan berpuluhpuluh kombinasi yang kompleks. Tanda
mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan penanda (signified). Penanda
adalah bentuk formal menandai sesuatu yang disebut dengan petanda, sedangkan
petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda yaitu arti.
Dari beberapa pendapat para ahli semiotika penulis menggunakan teori
Charles Sanders Peirce untuk melakukan penelitian secara sistematis tentang
makna semiotika yang terkandung dalam Hudoq Kita’ di Desa Pampang
Kalimantan Timur. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda, fenomena sosial
masyarakat dan kebudayaan itu juga merupakan tanda-tanda yang hidup dan
berkembang.
Alam komunikasi sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari gejala
penandaan, pada dasarnya mereka hidup dalam dunia tanda yang mempengaruhi
cara-caranya bertindak dan berinteraksi. Peirce berpendapat bahwa logika harus
mempengaruhi orang bernalar, penalaran itu menurutnya adalah melalui suatu
5
cara mendasar yaitu tanda. Sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, manusia
saling berkomunikasi dengan dengan menggunakan pikiran,
diungkapkan melalui kata-kata dan intonasi bahasa yang keluar dari
masingmasing individu, kemudian diterima dan dicermati oleh individu lain yang
mengintrepretasikan kata-kata agar menjadi respon yang baik.
Tanda tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan
hubungan dengan penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama yaitu :
(1) ikon , tanda yang mempunyai hubungan alamiah dengan objek, (2) indek,
tanda yang mempunyai hubungan kausal, (3) simbol, mempunyai hubungan
alamiah dan diolah menurut penciptanya.
Dalam penelitian ini konsep tanda dan makna yang digunakan dibentuk
dalam tiga sisi menurut Sanders Peirce yaitu representament atau tanda itu
sendiri, objek sesuatu yang dirujuk oleh tanda, dan akan membuahkan
interpretant yang merupakan sesuatu yang diserap oleh pikiran manusia. Peneliti
menyimpulkan bahwa setiap tanda dapat dilihat oleh manusia dalam bentuk objek
kemudian setiap orang dapat mengartikannya sesuai dengan apa yang dilihat,
sehingga terbentuk suatu representasi menurut objek yang dilihat.
Dalam teori kebudayaan, semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda
dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita
dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Sebagai perangkat
analisis yang mengkaji kebudayaan, semiotika tidak selalu dipandang sebagai
ilmu, namun hanya sebagai perangkat teori untuk mengkaji tanda, yakni sistem
yang hidup dalam suatu kebudayaan. Artinya, dalam suatu kebudayaan
mempunyai berbagai macam unsur yang membentuk kebudayaan itu sendiri, dan
sistem yang mengatur kebudayaan mempunyai struktur yang akan menjadikan
kebudayaan tersebut berkembang. Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian
yang mempunyai berbagai macam unsur dan juga tanda yang ada didalamnya.
Hudoq Kita’ merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dilihat dan
dinikmati oleh masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti secara langsung akan
mendiskripsikan semiotika Hudoq Kita’ dengan berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Sanders Pierce.
6
II. HASIL PENELITIAN
Bentuk Pertunjukan Hudoq Kita’
Hudoq Kita’ merupakan seni pertunjukan tradisi Dayak Kenyah yang
hidup dan berkembang di des Pampang, yang hingga kini belum diketahui
sejarahnya. Menurut Pebayak, hadirnya Hudoq Kita’ tidak dapat dipastikan tahun,
pencipta, dan siapa pembawa tari tersebut Pendapat ini sepadan dengan
pernyataan Sal Murgianto yang mengatakan bahwa tari tradisi yang ada di
belahan timur, termasuk Indonesia lebih banyak mengungkapkan pengalaman
hidup dan emosi bersama suatu masyarakat, karena dalam kehidupan alam tradisi
kebersamaan lebih diutamakan daripada presentasi pribadi. Oleh sebab itu,
bentuk-bentuk kesenian tradisi di Indonesia tidak diketahui siapa penciptanya
(Murgianto,1992:10).
Asal-usul Hudoq dapat dikaitkan dengan faktor alam dan kepercayaan
masyarakat Dayak yang mempengaruhi terciptanya Hudoq Kita’. Hudoq dalam
bahasa Dayak diartikan sebagai topeng, yaitu sesuatu alat yang dibuat untuk
menggambarkan suatu jenis mahluk tertentu yang dianggap keramat. Hudoq
merupakan simbol kekuatan yang dibentuk dan direkayasa dalam nafas seni
sehingga mempunyai kesan estetis dan artistik yang melekat dalam bentuk topeng.
Dalam kepercayaan suku Dayak Kenyah, Hudoq dapat diartikan sebagai
nama roh gaib yang datang beramai-ramai dari Apo Lagan ke desa yang sedang
melaksanakan upacara persembahan. Selain itu asal-usul Hudoq, berkaitan dengan
mitos orang Dayak, yang merupakan ajaran yang harus dilaksanakan, karena di
dalam mitos tersebut terdapat peristiwa yang sudah dialami nenek moyang pada
zaman dahulu.
7
Hudoq dalam perwujudannya menggambarkan wajah-wajah binatang dan
manusia, sedangkan dalam upacara Pelas Tahun, Hudoq adalah pertunjukan tari
yang menggambarkan dewa-dewi padi yang datang pada saat upacara. Dari uraian
tersebut dapat dikatakan bahwa Hudoq sampai saat ini masih dipertahankan
merupakan peninggalan yang harus ditaati dan dilakukan pada waktu tertentu.
Suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur beserta sub suku lainnya
sangat menjaga kemurniaan adatnya dan menganggapnya lebih tinggi nilainya.
Tema merupakan inti dari pertunjukan, seseorang akan dapat menikmati
dan memahami pertunjukan apabila dapat mengetahui maksud dari pertunjukan
tersebut. Tema dari Hudoq Kita’ adalah suatu permohonan yang ditampilkan
lewat gerak tari yaitu berupa gerak melawai dengan melangkah maju dan
menghentak ke bumi. Hudoq Kita’ dilaksanakan sebagai sarana permohonan dan
persembahan kepada roh-roh leluhur dan dewi padi, agar masyarakat Pampang
memperoleh kesuburan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Hudoq Kita’ merupakan tarian kelompok dengan 12 orang penari wanita
berusia antara 40-60 tahun, ditarikan oleh kaum wanita. Sebagai pelaku tari
Hudoq Kita’ ini masih mengantungkan hidupnya dari hasil berladang, jadi bagi
mereka khususnya dan bagi masyarakat Dayak Kenyah pada umumnya. Bagi
keperluan suatu upacara adat, para pelaku tari tidak mendapat imbalan khusus,
karena diadakannya pertunjukan tari tersebut untuk kebutuhan mereka bersama.
Dalam masyarakat Dayak, wanita memiliki kedudukan yang tinggi, karena
wanita dianggap sebagai simbol kesuburan dan wanita dalam masyarakat Dayak
adalah bumi tradisi (Korrie:2002:163). Dari ungkapan tersebut dapat disimpulkan
bahwa wanita dalam kehidupan masyarakat Dayak memiliki kedudukan, di mana
wanita selalu menjunjung tinggi adat dan tradisi mereka yang telah turun temurun
diwariskan nenek moyang mereka.
Salah satu pelaku Hudoq Kita’ di desa Pampang adalah Agit La’Ing,
seorang wanita Dayak Kenyah yang mengabdikan dirinya sebagai penari tradisi
Dayak di desa Pampang, ia memulai belajar menari sejak usianya masih kanak-
kanak dan kegiatan menari ini dilakukannya sebelum menempati desa Pampang.
8
Agit lahir di Long Ban Apo Kayan pada tahun 1953, tanggal dan bulan tidak
begitu diingat, karena bagi orang dulu tanggal dan bulan tidak begitu penting.
Agit merupakan anak ketiga dari enam saudara, empat saudaranya adalah
perempuan dan dua laki-laki yang bertempat tinggal di daerah Hulu, Samarinda,
dan Malaysia. Selain Agit, saudara tertuanya Kilam, juga penari Hudoq Kita’ di
desa Pampang.
Dalam kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, belajar menari bukan suatu
keharusan, akan tetapi merupakan pembawaan sejak jaman nenek moyang
terdahulu yang turun temurun diwariskan. Dari usia kanak-kanak masyarakat
Dayak sudah mengenal tarian, biasanya usia kanak-kanak hanya menari Leleng
dan Datun. Beranjak dewasa, tari Gong menjadi keharusan karena biasanya pada
saat memulai hidup baru para gadis Dayak, menyajikan tari Gong sebagai
persembahan kepad calon suami. Selain itu Enggang Terbang dan Kancet Lasan,
tarian yang ditarikan saat suku Dayak Kenyah khususnya wanita beranjak dewasa.
Pada saat usia mereka sekitar 40-60, Hudoq Kita’ yang dibawakan, karena
berkaitan dengan kehidupan masyarakat Dayak yang berhubungan dengan
upacara.
Pada umumnya penari Hudoq Kita’ di desa Pampang, merupakan
keturunan penari Hudoq Kita’ sebelumnya, seperti halnya Agit dan Kilam sebagai
pelaku tari Hudoq Kita’ mereka masih keturunan dari nenek mereka yang tinggal
di Apo Kayan sebagai penari Hudoq Kita.
Tari dalam seni pertunjukan dapat dikatakan indah, bagus, baik,
menganggumkan, dan sebagainya berdasarkan penilaian relatif dari masing-
masing individu yang melihatnya. Gerak merupakan unsur pokok dalam diri
manusia dan juga merupakan alat bantu dalam kehidupan manusia, untuk
mengemukakan keinginan dan menyatakan refleksi spontan di dalam jiwa
manusia. Apabila gerak itu disusun dengan memperhatikan ruang dan waktu, yang
didukung oleh irama maka terjadilah gerak tari (Smith:1985:6).
Menurut Moh.Hatta, gerak Hudoq Kita’ tidaklah rumit dan tidak memiliki
nama-nama gerak. Gerak tari ini sangatlah sederhana yaitu berupa: 1) gerakan
kaki: hentakan dan melangkah maju, 2) gerak tangan: lambaian atau ayunan ke
9
depan dan ke belalang dengan menggunakan properti kirip.1 Dalam pertunjukan
Hudoq Kita’ gerak tari hanya terdiri dari gerakan kaki dengan melangkah maju
dan hentakan kaki. Gerak kaki ini menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak
Kenyah yang masih bergantung kepada tenaga manusia, di mana mereka berjalan
naik turun gunung, ke luar masuk hutan dengan berjalan kaki. Dari sini dapat
diketahui bahwa kaki dalam masyarakat Dayak Kenyah merupakan sumber
kekuatan yang diyakini dapat mempengaruhi alam dan wujud permohonan
kesuburan.
Gerak tangan terdiri dari lambaian/melawai atau ayunan tangan ke depan
dan ke belakang dengan menggunakan properti kirip. Kirip merupakan simbol
kemuliaan dan kebesaran suku Dayak, kirip yang digunakan adalah bulu burung
enggang yang memiliki warna putih dan hitam. Warna-warna tersebut memiliki
arti sebagai berikut: putih adalah lambang tulang yang bermakna suci, bersih.
Hitam adalah lambang kulit yang bermakna keuletan/rajin/ketekunan. Gerak
lambaian tangan merupakan wujud permohonan masyarakat Dayak Kenyah pada
penjaga desa dan penguasa di langit agar diberi keselamtan dan dijauhkan dari
pengeruh-pengaruh jahat.
Ada tiga bagian tubuh yang menjadi pokok dalam Hudoq Kita’ yaitu
gerakan kaki, tangan, dan kepala, sedangkan tubuh hanya merupakan akibat
koordinasi ketiga bagian tersebut. Gerakan secara keseluruhan penuh dengan
maksud dan tujuan spiritual. Para penari Hudoq Kita’ bergerak dengan gerakan
sederhana dan berulang terus menerus, menari didasari oleh adanyan kebutuhan
rohani yang menyangkut kepercayaan.
Dalam penyajiannya Hudoq Kita’ memiliki ragam gerak melawai yaitu
melambaikan atau mengayunkan tangan ke depan dan ke belakang secara
bergantian dengan diikuti dengan langkah kaki maju dan menghentakkan kaki ke
bumi. Pada ragam gerak melawai diikuti dengan langkah kaki maju, dengan posisi
kaki kanan diangkat sejajar kaki kiri dengan posisi tangan kiri merentang ke
depan badan dan tangan kanan ditarik ke belakang hinngga merentang ke
belakang dengan posisi badan agak merendah. Gerak melawai dengan
.
10
menghentakkan kaki, dengan posisi kaki kanan diangkat, kemudian dihentakkan
sejajar dengan kaki kiri dengan posisi tangan dan badan yang sama.
Dalam kehidupan Dayak Kenyah, pada umumnya gerak-gerak tari diambil
dari gerak-gerak burung enggang, karena burung enggang menurut cerita nenek
moyang dipercaya sebagai jelmaan putri yang mengajarkan tarian pada suku
Dayak. Semua jenis tari Dayak pada umumnya sama, di mana anggota badan
bergerak seimbang antara gerak tangan, gerak kaki, dan kepala. Hudoq Kita’
termasuk jenis gerakan berjalan, dan tidak ada gerak bersambung berurutan,
semua gerakan berirama lambat dan halus, di mana gerakan tersebut merupakan
simbol kehalusan jiwa dan kegiatan wanita Dayak sehari-hari dan saat bekerja di
ladang.
Pola lantai dalam pertunjukan Hudoq Kita’ adalah menggunakan garis
lurus dengan posisi penari berbanjar ke belakang berurutan, kemudian membentuk
garis lengkung atau membentuk lingkaran sampai akhir pertunjukan. Desain lantai
yang menggunakan garis lengkung yang berbentuk lingkaran pada tari-tarian
rakyar yang masih sakral mengandung maksud dan kekuatan tertentu. Desain
lantai yang berbentuk lingkaran mengandung kekuatan magi, biasanya magi yang
baik. Demikian pula halnya dengan Hudoq Kita’, mereka menari dan berputar
mengelilingi arena pentas.
Menurut Soedarsono, tari yang dilakukan berkelompok dan masih terlihat
ciri-ciri primitif hal ini dapat dilihat dari pola lantai yang melingkar dipercayai
magi tersebut dapat mempengaruhi pertanian masyarakat setempat
(Soedarsono:1977:43). Hal ini sepadan dengan bentuk pola lantai Hudoq Kita’,
yang melingkar dan dipercaya mengandung kekuatan dan berhubungan dengan
upacara ritual panen padi.
Hudoq Kita’ merupakan tarian yang menggunakan topeng dan
menggambarkan sosok manusia. Properti utama dari tari ini adalah topeng.
Topeng merupakan sebuah tiruan wajah yang dibentuk atas bahan dasar yang
tipis/ditipiskan, dengan memperhitungkan muka wajah manusia, sehingga wajah
yang mengenakannya sebagian/seluruhnya tertutup (Edi Sedyawati:1993).
11
Di Kalimantan Timur terdapat beberapa jenis tari Hudoq yang dimiliki
oleh suku Dayak Kenyah, Dayak Bahau, dan Dayak Modang. Dalam suku Dayak,
Hudoq yang dimiliki berbeda-beda, tetapi memilki fungsi yang sama yaitu untuk
upacara pesta panen/musim tanam padi. Oleh karena itu, kehidupan suku Dayak
Kenyah bercocok tanam dijalankan secara turun-temurun sehingga menjadikan
kebiasaan yang tidak dapat ditinggallkan.
Dalam pesta panen, Hudoq bermakna sebagai simbol berbagai kekuatan
roh, baik itu simbol jahat maupun simbol baik. Suku Dayak Kenyah di desa
Pampang biasanya menggunakan Hudoq yang terbuat dari anyaman manik
berbentuk cadar yang menggambarkan sosok manusia, dan Hudoq ini merupakan
simbol kebaikan.
Properti lain adalah kirip atau bulu burung Enggang yang diselipkan
diantara kedua tangan penari. Dalam kehidupan masyarakat Dayak burung
Enggang dianggap penjaga desa. Menurut Martin, seorang anggota keluarga
bangsawan di desa Long Mekar, menjelaskan simbolisme burung Enggang
sebagai berikut:
“Orang Dayak menggunakan seekor burung,yaitu burung Enggang sebagai
simbol. Ini karena burung Enggang selalu terbang dan hinggap di pohon-pohon
dan gunung-gunung yang tinggi. Oleh karena burung Enggang hinggap di pohon-
pohon yang tinggi, dan memiliki bulu-bulu yang besar serta mengeluarkan suara-
suara yang indah, maka kicauannya terdengar dari mana-mana atau dari setiap
penjuru hutan. Bulu-bulunya yang indah melambangkan pemimpin yang
dikagumi oleh rakyatnya. Seorang pemimpin didengar nasihatnya oleh para
pengikutnya. Sayap yang lebar bermakna bahwa seorang pemimpin harus
didengar oleh pengikutnya. Ekornya yang panjang adalah lambang ketenteraman
dan kemakmuran bagi orang Dayak. Burung Enggang diambil sebagai lambang
bagi orang Dayak, karena burung itu melambangkan kemuliaan dan kebesaran .
Awalnya orang-orang Dayak Kenyah yang memilihnya sebagai simbol. Akan
tetapi, semua orang Dayak memiliki simbol yang sama karena hampir semuanya
berpusat di Apo Kayan” (Maunati: 2001:180).
Dalam pertunjukan Hudoq Kita’, penari tidak menggunakan rias wajah,
karena wajah mereka topeng. Busana yang digunakan berupa kebaya dan kain
12
bermotif (ta’ah). Selain itu kelengkapan dari busana Hudoq Kita’ yang biasa
digunakan sebagai berikut:
a. Bluko, penutup kepala bagian luar yang dihiasi dengan manic-manik bermotif
manusia (kepala) dan bulu-bulu yang terbuat dari serat kayu serta bulu burung
enggang sebanyak 2-4 helai yang ditancapkan dibagian belakang. Bluko
tersebut terbuat dari anyaman rotan yang berbentuk lingkaran seperti topi.
b. Tangkup, penutup kepala bagian dalam yang digunakan untuk mengikat topeng
sebelum memakai bluko.
c. Uleng sabu, kalung yang digantungkan dileher yang terbuat dari anyaman
manik.
d. Belaong, perhiasan telinga yang terbuat dari logam yang dikaitkan pada kain
yang menyerupai telinga panjang.
Dapat dikatakan pendapat di atas bahwa iringan merupakan satu elemen
yang sangat penting dalam suatu garapan tari. Instrumen yang digunakan dalam
Hudoq Kita’ ada tiga macam yaitu 3 buah sape, 2 buah jatung, dan 1 buah teweq.
Musik adalah salah satu media ungkap kesenian, musik dikatakan sebagai
pencerminan kebudayaan pada masyarakat pengiringnya. Berbicara pada suatu
masyarakat, adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupannya, di mana terdiri
dari berbagai unsur kebudayaan. Unsur kebudayaan yang dimaksud adalah, sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan
peralatan (Koentjaraningrat,1992:1-4).
Sesuai penjelasan Koentjaringrat, maka budaya masyarakat pada suatu
daerah dapat dilihat dari perilaku kehidupan sehari-hari atau musik yang
digunakan pada daerah itu. Seperti musik iringan yang dipakai yang untuk
mengiringi Hudoq Kita’, mempunyai ciri khas daerah Kalimantan yang
mencerminkan budaya Kalimantan, serta sebagai pendukung dalam Hudoq Kita’.
Ciri atau karakateristik musik iringan daerah Kalimantan terletak pada sape dan
jatung.
13
Suatu pertunjukan membutuhkan wadah atau tempat, di luar maupun di
dalam ruangan biasanya tempat tersebut disesuaikan dengan keperluan
pertunjukan. Tari Hudoq Kita’ merupakan tarian ritual yang selalu diadakan
serambi balai adat/lamin. Serambi balai adat berbentuk lapangan terbuka,
memungkinkan tertampungnya banyak penonton yang melihat pertunjukan
tersebut dari segala penjuru arah.
Dalam pertunjukan, waktu yang mengantar aktivitas seni sangat
berpengaruh, tergantung untuk apa pertunjukan tersebut diadakan. Seperti halnya
tari Hudoq Kita’ yang merupakan rangkaian upacara, karena tari tersebut
dianggap memiliki nilai-nilai ritual diselenggarakan pada waktu siang hari. Siang
hari dikaitkan dengan upacara penanaman yang dilakukan para petani dan
menggambarkan sesuatu dengan aktivitas petani.
BAB III. PEMAHASAN
Proses semiosis yang terjadi dalam membaca tanda atau simbol terjadi
ketika sang oleh representamen secara indrawi. Proses semiosis sendiri terjadi
atas pengetahuan yangmelatarbelakangi sang representament tersebut, misal:
ketika ia melihat sebuah bunga (baca: tanda) tidak semua sang representamen
mempunyai penafsiran yang seragam, ketika melihat tanda objek tersebut,
kekuasaan menafsir tergantung dengan pengetahuan dan motivasi tindakan
representamen tersebut, karena sejatinya manusia bertindak atas dasar
pengetahuannya, oleh karena itu manusia dijajah oleh pengetahuannya. Ada yang
berpendapat bunga itu harum, ada juga yang berpendapat bunga sebagai tempat
bersemayam para dewa, ada yang berpendapat bunga sebagai pembawa
keberkahan, serta ada yang berpendapat bahwa bunga sangat erat kaitannya
dengan romantik dari hubungan cinta sepasang kekasih. Oleh karenanya proses
14
semiosis tergantung dari konteks, situasi, relasi sosial yang di dalamnya, dan latar
belakang pengetahuan sang representamen.
Terkait dengan pernyataan di atas hasil dari proses semiosis tidak berhenti
pada satu titik saja, tidak ada pemberhentian terakhir dalam sebuah proses
semiosis, karena penyajian hasil semiosis dalam proses kemenjadian. Dengan
pernyataan diatas maka disimpulkan dalam penelitian ini yaitu sebagai
Pola gerak yang digunakan di dalam pertunjukan Hudoq Kita’
menggunakan gerak melawai (ayunan atau lambaian tangan ke depan dan ke
belakang) yang menggambarkan permohonan yang tidak lepas dari makna.
Gerakan tangan yang berupa ayunan atau lambaian tangan diikuti dengan
hentakan kaki. Gerak yang ada merupakan hal yang dapat mencerminkan aktivitas
keseharian masyarakat Dayak Kenyah.
Gerak dalam hudoq kita’ menggunakan gerak yang lembut dengan
gerak melawai, di mana kedua tangan diayunkan secara bergantian ke depan dan
ke belakang yang diikuti dengan hentakan kaki serta anggukan kepala. Makna dari
gerak tersebut merupakan cerminan masyarakat dalam hubungannya secara
horizontal dan vertikal artinya hubungan masyarakat Dayak Keyah dalam
komunikasi dengan Tuhannya juga dengan komunikasi makhluk lainnya. Gerak
berjalan, melangkah mengarahkan bahwa pada gerakan tersebut dihubungkan
dengan perjuangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang harus
melalui perjuangan yang dilandasi suatu kekuatan, kepercayaan diri, semangat,
dan persatuan seluruh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama baik
lahir maupun batin.
15
Berdasarkan unsur-unsur gerak tersebut dapat mencairkan masyarakat
dalam komunikasinya dengan alam. Hal ini dapat dilihat pada gerak kaki yang
menghentak-hentak ke lantai, tampak simbol-simbol untuk menguji kekuatan
tanah. Pada gerak tangan yang diayunkan ke depan ke belakang mencerminkan
manusia dalam hubungan dengan alam. Karena dalam gerak tersebut juga
menggambarkan gerak burung enggang. Gerakan kepala antara lain gerak
anggukan dengan gerak tunduk ke bawah dan tengadah ke atas.
Berpijak pada konsep bahwa seni adalah emosi manusia yang berbudaya
dan tari adalah ekspresi jiwa manusia yang di dalamnya mengandung maksud
tertentu. Adapun makna yang terkandung dalam gerak tari hudoq kita’ adalah
gerak lambaian tangan merupakan wujud permohonan masyarakat desa Pampang
pada penjaga desa dan penguasa di langit agar diberikan keselamatan dari
pengaruh-pengaruh jahat. Ada tiga bagian tubuh yang menjadi pokok dalam tari
Hudoq Kita’ yaitu gerakan kaki, tangan dan kepala, sedangkan gerakan tubuh
hanya merupakan akibat dari koordinasi ketiga bagian tersebut. Para penari
Hudoq Kita’ bergerak dengan gerakan sederhana dan berulang terus menerus,
menari di dasari oleh adanya dorongan kebutuhan rohani yang menyangkut
kepercayaan atau perayaan adat.
Dalam pertunjukan Hudoq Kita’ , simbol kesuburan dimaknai oleh para
penari Hudoq, yang terdiri dari wanita yang berusia 40-60 tahun. Para penari
Hudoq Kita’ adalah obyek utama di mana para penari yang terdiri dari wanita bagi
masyarakat Dayak Kenyah merupakan penggambaran dari dewi padi atau hasil
panen. Oleh karena dari dalam diri wanita dapat digambarkan kesuburan dan
16
kecantikan. Maksud dari kesuburan ialah diberikan hasil panen yang berlimpah,
yang digambarkan juga lewat gerak tari yang menghentakkan kaki ke bumi.
Kecantikan dimaknai bahwa panen akan lebih baik. Berusia 40-60 tahun bagi
masyarakat Dayak diyakini bahwa wanita yang berusia sekitar usia tersebut lebih
memahami tata cara pelaksanaan Hudoq Kita’ .
Busana yang digunakan para penari yang terdiri dari kebaya dan kain taah,
kebaya yang menggambarkan ornamen tumbuhan memiliki makna kepercayaan
adanya alam bawah, bahwa kehidupan manusia berada di dunia bawah.
Sedangkan kain taah yang menggambarkan ornamen manusia, bermakna
kepercayaan alam atas yaitu roh dan dewa. Ornamen tumbuhan yang terdapat
dalam kebaya memiliki simbol pohon kehidupan yang dipercaya masyarakat
Dayak, bahwa pohon kehidupan merupakan makna sangat dalam dan sakral yaitu
lambang manusia dan penciptanya, nilai-nilai moral, hidup yang lurus, rukun,
kebaikan, kewajiban dan pria dan wanita yang hidup di dunia.
Properti pada Hudoq Kita’ merupakan alat pelengkap yang digunakan oleh
para penari. Properti dalam Hudoq Kita’ sebagai simbol yang mempunyai fungsi
dan makna yang ada padanya, sedangkan properti yang digunakan dalam
pertunjukan Hudoq Kita’ adalah Hudoq (topeng) yang berbentuk cadar terbuat
dari anyaman manik yang menggambarkan manusia. Hudoq ini terbuat dari
anyaman manik yang beraneka ragam warna. Pada umumnya manik yang
digunakan adalah merah, hijau, kuning, biru dan putih. Setiap warna memiliki arti
dan keistimewaan berbeda-beda dalam masyarakat Dayak Kenyah.
17
Manik warna merah dalam masyarakat Dayak Kenyah merupakan simbol
makna semangat hidup, manik warna biru memiliki makna sumber kekuatan dari
segala penjuru yang tidak mudah luntur, manik warna kuning memiliki makna
simbolisasi yang mengambarkan keagungan dan keramat, manik warna hijau
memiliki makna kelengkapan dan intisari alam semesta. Sedangkan manik warna
putih merupakan simbolisasi sebuah makna lambang kesucian iman seseorang
kepada Sang Penciptanya. Hudoq yang terangkai dari anyaman ini berbentuk
manusia, manusia merupakan simbol ketentraman.
Warna-warna utama yang sering digunakan dalam rangkaian anyaman
manik hudoq kita’ adalah merah, putih, kuning, dan hitam. Memiliki makna dan
melambangkan hal-hal yang berbeda antara lain merah melambangkan darah
diambil dari batu/getah macau, putih melambangkan air yang menggemuruh yang
memberikan getaran jiwa dan perasaan yang diambil dari kapur, hitam
melambangkan kegelapan dari arang kayu damar, dan kuning melambangkan
perpaduan matahari dan bulan yang melambangkan surga yang diambil dari akar.
Warna-warna utama tersebut memiliki kesan getaran magis di jiwa. Hudoq
(topeng) yang terangkai dalam anyaman manik warna merah, hitam, putih dan
kuning juga melambangkan kekuatan alam yang akan membawa air dan
melindungi tanaman yang mereka tanam hingga musim panen tiba.
Properti lainya adalah kirip atau bulu enggang. Dalam masyarakat Dayak
Kenyah burung enggang merupakan lambang kehidupan dan kebesaran,
perdamaian dan persatuan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari burung enggang
senantiasa digunakan dalam bentuk patung, ukiran, lukisan, pakaian adat, rumah
18
adat, balai desa, monumen, pintu gerbang, bahkan juga dikuburan. Kirip yang
digunakan dalam pertunjukan hudoq kita’ terdiri dari 2 warna, yaitu warna putih
yang melambangkan tulang yang bermakna suci/bersih, sedangkan warna hitam
adalah lambang kulit yang bermakna kemuliaan dan kebesaran. Dalam
pertunjukan hudoq kita’ , kirip juga dimaknai sebagai kehidupan manusia dengan
warna hitam dan putih, putih yang pertama menandakan manusia itu dilahirkan
suci oleh Tuhan, menandakan dunia pralahir, hitam simbol kegelapan yang dilalui
manusia. Warna putih lainnya simbol manusia yang disucikan oleh Tuhan
melambangkan dunia akhirat. Dengan simbol-simbol ini manusia diharapkan bisa
menjaga dan memelihara alam serta isinya.
BAB III. PENUTUP
Semiotika merupakan ilmu yang mengkaji suatu tanda yang mempunyai
makna,secara umum dapat dilihat dari suatu bentuk kehidupan yang dapat
diartikan atau disebut dengan makna. Suatu makna dalam teori semiotika dapat
dikategorikan beberapa yakni representament yang mewakili sesuatu , kemudian
objek yang menjadi sesuatu , dan melalui penafsiran sesuatu atau makna dapat
disimpulkan dengan interpretasi. Melalui berbagai proses kehidupan manusia,
tidak akan jauh dari yang dinamakan dengan makna. Karena itu banyak anggapan
tentang “hidup itu penuh makna” atau dengan kata lain “makna kehidupan” dari
kedua kata tersebut akan timbul pula anggapan lain yang dinamakan penafsiran.
Dalam meneliti dan manganalisis suatu karya seni dibutuhkan adanya penafsiran
atau disebut juga interpretasi.
Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, yang secara
universal lahir dan berkembang dalam masyarakat kemudian menjadi ciri khas
suatu daerah. Kesenian yang lahir dan berkembang dalam suatu daerah biasanya
mempunyai latar belakang sesuai dengan keadaan daerah tersebut, yang saling
19
berkesinambungan antara unsur kebudayaan seperti halnya bahasa, sistem
teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, dan sistem
religi yang terdapat dalam suatu daerah tersebut.
Demikian halnya kesenian Hudoq Kita’ yang terdapat di DesaPampang,
Provinsi Kalimantan Timur yang sangat melekat erat proses perkembangannya
sesuai dengan latar belakang keadaan daerah tersebut. Bentuk penyajian Kesenian
Hudoq Kita’ terdiri dari komponen yang pokok yaitu gerak, iringan, rias dan
busana, dan juga pola lantai yang mempunyai makna dan interpretasi didalamnya.
Dari berbagai proses yang dilakukan oleh peneliti melalui observasi,
wawancara, apresiasi, pengumpulan data, dan juga analisis yang telah terlaksana
maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa secara pengertian semiotika
dilihat dari nama “Hudoq Kita’” merupakan sebutan topeng dalam
perkembangannya dilihat dari sisi kebudayaan yang ada di desa Pampang adalah
gambaran masyarakat yang sangat lincah dan rajin dalam melakukan suatu
pekerjaan.
Sebuah kesenian itu merupakan sebuah interpretasi, hidup itu sendiri
sebenarnya merupakan interpretasi. Jika terdapat pluralitas makna, maka
interpretasi yang dibutuhkan terutama bila simbol-simbol yang dilibatkan begitu
banyak sehingga mengandung pemaknaan yang berlapis-lapis dan setipa
interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna.
Dalam pemahaman tinjauan seni, nilai estettik dipahami sebagai bagian
utuh dari sebuah wujud benda fungsional. Dalam pengamatan transformasi
budaya, nilai estetik sebuah karya seni akan dinilai bermakna jika merupakan
‘tanda’ dan terjadinya ‘dialog’ ataupun proses sintesis budaya.karena manusia
berbicara, berbuat, dan membangun sesuatu merupakan suatu usaha untuk
membentuk makna. Kemudian makna tersebut akan dapat dicerna oleh manusia
lain dengan berbagai konteks penerimaan yang dapat menimbulkan interpretasi
lain.
Demikian pula halnya dengan kesenian yang merupakan salah satu alat
komunikasi masyarakat umumnya dan khususnya para pecinta seni. Kesenian
telah melalui berbagai proses untuk dapat membentuk sebuah makna yang dapat
20
dicerna oleh para penikmat sebuah karya seni itu sendiri. Kesenian Hudoq Kita’
juga mengalami proses yang sangat panjang dan menghasilkan sesuatu yang
sudah mendarahdaging bagi para pencipta, pelaku, dan penikmat seni itu sendiri.
Berdasarkan kaitan antara tradisi seni dengan karya seni ciptaan baru dapat dilihat
yang ada didalamnya. Karya seni Hudoq Kita’setia pada nilai-nilai tradisi. Karya
seni yang demikian tentu terlalu banyak mengutip tradisi seni masyarakatnya,
meskipun benarbenar karya kreatif dalam seni yang dikandungnya, akan segera
tampak kemiripan dengan berbagai seni yang telah ada. Keistimewaan yang
ditemukan dalam Hudoq Kita’.
KEPUSTAKAAN
Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 1998, “ Teks dalam Konteks Seni dalam Kajian
Antropologi Budaya” dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan
Seni, Nomor VI/01, Mei.
Anyang, Thambun Y.C, 1998, Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman dalam
Arus Modernisasi, Jakarta: Grasindo.
Alqdarie, Syarif Ibrahim, 1994, Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat, Jakarta: Grasindo.
Anye, Tulung, 1984, Sisetem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Kalimantan
Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Amir, P. Yasraf. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika Gaya, Kode dan Matinya
Makna. Bandung: Matahari
Billa, Martin, 2005, Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah, Jakarta:
Sinar Harapan.
Bertens, K. 2011.Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bodgan, Robert and Steven Taylor, 1993, “Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian”,
Surabaya: Usaha Nasional.
Brown, A.R Radcliffe, 1980, Stuktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif,
Kualalumpur Dewan Bahasa dan Kementrian Malaysia.
Coomans, Mikhail, 1987, Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan,
Jakarta: PT. Gramedia.
21
Daeng, Hans J, 2000, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Tinjauan
Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Devung, Simon, 1984/1985, Penelitian Suku Terasing Suku Dayak Kenyah
Kalimantan Timur Kelompok Suku Dayak Kenyah di Sungai Alan Kasus
Perubahan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur.
______________, 1990/1991, Upacara Tradisional “Kuangkay Suku Dayak
Benuaq Daerah Kalimantan Timur, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kalimantan Barat.
Dillistone, F.W, 2002, The Power of Symbols, Yogyakarta: Kanisius.
Djuweng, Stepanus, 1996, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
_________________, 1996, Manusia Dayak Orang Kecil Terperangkap
Modernisasi, Pontianak: IDRD Pontianak.
Hatta, Moh, 1997, Deskripsi Tari Hudoq Kita’, Kelompok Teknis Seni Tari
Taman Budaya Samarinda Kalimantan Timur.
Hadi, Sumandiyo, 2006, Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Buku Pustaka.
Hadi, Sumandiyo.2005.Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka
Yogyakarta.Kussudiardja,
Hariwijaya, M. 2013. Semiotika Jawa, Kajian Makna Falsafah Tradisi.
Yogyakarta : PARADIGMA INDONESIA P YOGYAKARTA
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi – Jilid II. Jakarta : Rineka Cipta
Herusatoto, Budiyono, 2003, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta:
Harindita Graha Widia.
Holt, Calire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terj. R.M.
Soedarsono, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Ibrahim, Qurida, 2009, Dayak Kalimantan Timur Sebuah Catatan Perjalanan,
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Dayak Kalimantan Timur.
Kayam, Umar, “Seni Pertunjukan Kita”, dalam Jurnal Seni Pertunjukan
Indonesia, Tahun X.
22
Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia.
______________, 1986, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
Lahajir, 2001, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang,
Yogyakarta: Galang Press.
Laurer, Robert.H, 2001, Presfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka
Cipta.
Lawai, Liman, 1990, Sejarah Suku Kenyah Leppo’ Tau dan Perkembangan
Stuktur Masyarakat di Kecamatan Kayan Hulu Apo Kayan,
Jakarta: Kebudayaan dan Pelestarian Alam Penelitian
Interdisipliner di Kalimantan Timur.
Maunati,Yekti, 2004, Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,
Yogyakarta: Lkis.
Malinovski, Richard,1992, Argonauts of Western Pasifis, Waveland, Pree.
Moleong, Lexy. 2007.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Murgianto, Sal, 1992, Koreografi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sachari, Agus.2002. Estetika Makna, Simbol & Daya. Bandung:ITB
Sumardjo, Jakob.2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB
Salim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzim Guba
dan Penerapannya, Yogyakarta: Tiara Wacaana.
Syahbandi, 1997/1998, Fungsi dan Peranan Budaya Lisan Bangsa Tunjung,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pengembangan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur.
Sellato, Bernars, 1999, Kebudayaan dan Pelestarian Alam “Penelitian
Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, Jakarta: Ford Foundation
Indonesia dan Philipina.
Santoso, 2004, Mencermati seni pertunjukan II, STSI Surakarta.
Sedyawati, Edy, 1993, “Topeng Dalam Budaya”, dalam Jurnal Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
23
_____________, 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
Soedjono, Soeprapto, 1994, “Fenomena Bentuk Estetika dalam Studi
Perbandingan Seni”, dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan
Seni, IV/04, Oktober.
Soedarsono, 1999, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
_________, 2002, Pertumbuhan Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
________, 1977, Tari-tarian Indonesia I, Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suardanus,1993, Hudoq Sebuah Simbol dan Tarian Suku Dayak Kalimantan
Timur, Taman Budaya Propinsi Kalimantan Timur.
_______________, 1995/1996, “Sejarah, Peran, Fungsi, dan Bentuk Seni Tari
Suku Bangsa Dayak Kenyah di Desa Pampang” dalam Bunga Rampai
Kesenian Daerah Suku Bangsa Dayak Kenyah, Taman Budaya Samarinda
Kalimantan Timur.
Struss, Amsel and Juliet Corbin, 1997, Dasar-Dasar Penelitian
Kualitatif:Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded, Surabaya: Bina Ilmu.
Spradley, James, P, 1997, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacara.
Sumarjo, Jacob, 2000, Filsafat Seni, Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Poerwanto, Hari, 2000, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Prespektif
Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rampan, Korrie Layun, 2002, Tarian Gantar “Ngerakau” , Magelang: Yayasan
Indonesiatera.
Radam, Naried Haloie, 2001, Religi Orang Bukit, Yogyakarta: Yayasan Semesta.
Rizzer, Geogrge, 2000, Sosiological Theory, Fifthin edition, Singapore: Mc-Graw
Hill.
Riwut, Tjiling, 1993, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan,
Yogyakarta: Yayasan Indonesiatera.
____________, 2003, Menyelami Kebudayaan Leluhur, Palangkaraya:
Pusakalima.
24
Taringan, Serta, 1978/1979, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan
Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tuner, Victor, 1967, The Forest of Symbol; Aspect of Ndembu Ritual, Ithaca and
London: Cornell Offset.
Tohari, Ahmad, “Perjumpaan Sastra dan Seni Tradisi”, dalam Majalah Gong
Media Seni dan Pendidikan Seni, Edisi 61/VI/2004.
Ukur, Fridolin, 1994, Makna Religi dari Alam Sekitar Kebudayaan Dayak,
Jakarta: Grasindo.
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu.2013. Semiotika Komunikasi -Edisi 2. Jakarta :
Mitra Wacana Media
Winangun, Y.W . Wartaya, 1990, Masyarakat Bebas Stuktur Liminalitas dan
Komunitas Menurut Victor Tuner, Yogyakarta: Kanisius.