Upload
lynhi
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Perairan dan Perikanan di Tempat Penelitian
Laut dipandang sebagai pemersatu gugusan kepulauan dan juga menjadi
media integrasi determinan pembangunan secara utuh, baik sosio ekonomi, sosio
politik, institusional dan lingkungan, serta hukum. Rangkaian dasar pikir dan
kenyataan yang diuraikan di atas menjadi fenomena umum untuk Maluku. Secara
geografis Kabupaten Maluku Tenggara terletak pada koordinat 131o – 133o5’ Bujur
Timur dan 5o – 6,5o00’ Lintang Selatan, dengan batasannya Sebelah Utara dengan
Papua Bagian Selatan,Sebelah Selatan Berbatasan dengan Laut Arafura, Sebelah
barat berbatasan dengan Laut Banda dan bagian Utara Kepulauan Tanimbar, Sebelah
Timur berbatasan dengan Kepulauan Aru.
Secara administrasi pemerintahan Ur Pulau terletak wilayah Kecamatan Kei
Kecil Barat, cakupan wilayah dibatasi pada titik koorninat 505'45'' Bujur Timur dan
132032'30'' Lintang Selatan, sedangkan secara geografis di sebelah utara berbetasan
dengan pulau-pulau Sepuluh (10) sebelah timur berbatasan dengan Pulau Warbal,
sebelah Selatan berbatasan dengan Pulau Nuhuta. Kedalaman perairan antara 2
sampai 20 meter, dasar perairan berpasir terutama dibagian dekat pantai.
2.2 Kapal Perikanan
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977), yang dimaksud dengan kapal
perikanan adalah kapal yang digunakan dalam dunia usaha perikanan yang
pelaksaannya atau kegiatannya dalam usaha penangkapan atau mengumpulkan
sumberdaya perairan, pengengelolaan usaha budidaya perairan serta penggunaan
dalam beberapa kegiatan (seperti untuk research, traning, dan inspeksi sumberdaya
perairan). Kapal merupakan suatu bangunan atau konstruksi terapung yang berfungsi
sebagai wadah, tempat bekerja (working area) dan sarana transportasi, dimana kapal
ikan termasuk didalamnya (Iskandar & Novita 1997). Ayodhyoa (1972) mengartikan
bahwa kapal perikanan merupakan kapal yang digunakan pada usaha penangkapan
8 8
ikan atau mengumpulkan sumberdaya perairan, kegiatan-kegiatan riset, guidance,
traning, control dan sebagainya yang berkaitan dengan usaha tersebut.
Ayodhyoa (1972) mengartikan bahwa kapal perikanan merupakan kapal yang
digunakan pada usaha penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya perairan,
kegiatan-kegiatan riset, guidance, traning, control dan sebagainya yang berkaitan
dengan usaha tersebut. Fyson (1985), menyatakan bahwa kapal perikanan adalah
kapal yang dibangun untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan usaha penangkapan ikan
dengan ukuran, rancangan bentuk dek, kapasitas muat, akomodasi, mesin serta
berbagai perlengkapan yang secara keseluruhan disesuaikan dengan fungsi dalam
rencana operasi.
Iskandar dan Imron (1993), mengemukakan bahwa kapal yang dibangun oleh
suatu usaha perikanan tergantung dari besar kecilnya usaha tersebut. Besar kecilnya
dari kapal yang dibuat, juga seringkali disebabkan berdasarkan tujuan dari daerah
penangkapan serta fasilitas di “ fishing base ”.
Menurut Iskandar dan Pujiati (1995), berpendapat bahwa kapal penangkapan
ikan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berdasarkan teknik pengoperasian
alat yang digunakan, diantara :
1) Kapal yang mengoperasikan alat tangkap yang diam/statis (static gear), contohnya
gillnet, trammel net dan pancing;
2) Kapal yang mengoperasikan alat tangkap yang ditarik (towed gear/dragged gear),
contohnya pancing tonda, trawl, pukat ikan dan lainnya;
3) Kapal yang mengoperasikan alat yang tangkap dilingkarkan (encircling gear),
seperti purse seine, paying dan dogol;
4) Kapal yang mengoperasikan lebih dari satu alat tangkap yang berbeda
(multipurpose).
Menurut Gunawan (1987), kapal ikan tradisional di Indonesia umumnya
primitif sekali, tetapi modernisasinya dapat dipercepat terutama dengan adanya sistim
motorisasi perikanan di indonesia. Motorisasi perikanan ini secara lambat laun akan
merubah desain dan konstruksi kapal serta akan menggantikan kapal ikan tradisional
di seluruh pelosok wilayah Indonesia. Untuk mengetahui kecepatan kapal jukung
9 9
yang sesuai dengan daya mesin yang digunakan akan dilakukan pendekatan
berdasarkan beberapa parameter analisis.
Pasaribu (1986), menyatakan bahwa lebih dari 90 % kapal penangkap ikan
yang ada di Indonesia beroperasi di perairan pantai dan pada umumnya sebagian
besar dari kapal-kapal tersebut dibangun berdasarkan pengalaman tanpa
menggunakan perhitungan-perhitungan yang pasti sebagaimana pembuatan kapal-
kapal kayu yang dibangun secara modern, demikian juga dengan pembangunan kapal
yang digerakan dengan motor atau tanpa motor. Kapal jukung merupakan salah salah
satu jenis alat transportasi nelayan tradisional yang biasanya digunakan untuk
melakukan usaha penangkapan ikan.
2.3 Dimensi Utama Kapal
Menurut Dohri dan Soedjana (1983) dimensi utama kapal yang terdiri dari :
1) Panjang kapal (Length/L)
Panjang kapal dapat dibedakan dalam 3 bagian yaitu LOA, LPP dan LWL.
Panjang total atau LOA (Length Over All) adalah jarak tegak lurus kapal yang
diukur mulai dari titik terdepan dari linggi haluan sampai dengan titik
terbelakang dari buritan. Panjang total ini merupakan panjang yang terbesar
dari sebuah kapal dan diukur sejajar dengan lunas kapal seperti ditunjukkan
pada Gambar 2
LOA
Gambar 2 Ukuran panjang total kapal (LOA)
10 10
Jarak sepanjang garis tegak atau LPP/LBP (Length Perpendicular/Length
Between Perpendicular) adalah jarak horizontal yang dihitung dari garis tegak
haluan sampai dengan garis tegak buritan. Garis tegak haluan atau FP (Fore
Perpendicular) ialah garis khayal yang terletak tegak lurus pada perpotongan
antara Lwl dan badan kapal pada bagian haluan. Sedangkan yang dimaksud
dengan garis tegak buritan atau AP (After Perpendicular) ialah sebuah garis
khayal yang terletak pada badan kapal bagian buritan atau berada di belakang
poros kemudi (bagi kapal yang memiliki poros kemudi) (Gambar 3).
AP LPP FP
Gambar 3 Ukuran panjang garis tegak (LPP)
Panjang garis air atau LWL (Length of Water Line) adalah jarak horizontal
pada kapal yang dihitung dari titik perpotongan antara garis air (water line)
dengan linggi haluan sampai dengan titik perpotongan antara garis air dengan
linggi buritan (Gambar 4).
LWL
Gambar 4 Panjang garis air (LWL)
11 11
2) Lebar kapal (Breadth/B)
Lebar kapal pada umumnya dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
Lebar terbesar atau Bmax (Breadth maximum), adalah jarak horizontal pada
lebar kapal yang terbesar, dihitung dari salah satu sisi terluar (sheer) yang satu
ke sisi (sheer) lainnya yang berhadapan (Gambar 5).
Lebar dalam atau Bmoulded (Breadth moulded), adalah jarak horizontal pada
lebar kapal yang terbesar, diukur dari bagian dalam kulit kapal yang satu ke
bagian dalam kulit kapal lainnya yang berhadapan (Gambar 5).
Gambar 5 Lebar kapal(sumber : Dahri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
3) Dalam kapal (Depth)
Dalam suatu kapal dibedakan atas :
Dalam atau D (Depth), adalah jarak vertikal yang diukur dari dek terendah
kapal sampai titik terendah badan kapal (Gambar 6).
Sarat kapal atau d (draft), adalah jarak vertikal yang diukur dari garis air
(water line) tertinggi sampai dengan titik terendah badan kapal (Gambar 6)
Lambung bebas (freeboard), adalah jarak vertikal/tegak yang diukur dari garis
air (water line) tertinggi sampai dengan sheer (Gambar 6).
12 12
Gambar 6 Dalam kapal(sumber : Dahri dan Soedjana, 1983 digambar ulang)
Menurut Fyson (1985), dalam desain sebuah kapal karakteristik perbandingan
dimensi-dimensi utama (L, B, D) merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Perbandingan tersebut meliputi :
1) Perbandingan antara panjang dan lebar (L/B), merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap tahanan gerak dan kecepatan kapal;
2) Perbandingan antara lebar dan dalam (B/D), merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap stabilitas; dan
3) Perbandingan antara panjang dan dalam (L/D), merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kekuatan memanjang kapal.
Iskandar dan Novita (2000) mengemukakan, bahwa rasio dimensi utama
kapal penangkap ikan tradisional di Indonesia memiliki beberapa perbedaan nilai
parameter pada badan kapal apabila dibandingkan dengan kapal Jepang, dengan
demikian nilai kisaran yang dimiliki oleh kapal Jepang sebagian besar lebih besar dari
parameter kapal Indonesia. Menurut Iskandar (2007), mengatakan bahwa apabila nilai
L/B semakin mengecil maka nilai rasio akan berpengaruh terhadap kecepatan kapal,
nilai L/D semakin membesar mengakibatkan kekuatan memanjang kapal menjadi
lemah, sedangkan nilai dari B/D makin membesar maka akan memberikan stabilitas
kapal yang baik namun propulsive ability akan memburuk.
13 13
2.4 Koefisien Balok (Coeffisien of block)
Koefisien bentuk suatu kapal erat hubungannya dengan stabilitas kapal,
menurut Fyson (1985), stabilitas kapal ikan didefenisikan sebagai kemampuan kapal
tersebut untuk kembali ke posisi semula setelah mengalami momen temporal. Momen
ini dapat disebabkan oleh angin, gelombang, sebaran muatan di kapal, air di dek dan
lain-lain.
Muckel (1975) menyatakan bahwa stabilitas kapal tergantung pada beberapa
faktor antara lain dimensi kapal, bentuk kapal badan kapal yang ada di dalam air,
distribusi benda-benda yang ada diatas kapal dan sudut kemiringan kapal terhadap
bidang horizontal.
Fyson (1985) mengemukakan bahwa coefficient of fineness akan
menunjukkan bentuk badan kapal berdasarkan hubungan antara luas area badan kapal
yang berbeda dan volume badan kapal terhadap masing-masing dimensi utama kapal,
coefficient of fineness untuk kapal yang tidak bergerak (V = 0 m/det).
2.5 Parameter Hidrostatis
Menurut Iskandar dan Novita (1997), parameter hidrostatis merupakan
parameter yang menyangkut kemampuan kapal untuk mengapung ditas air. Parameter
hidrostatis juga menggambarkan kondisi awal kapal (by design) selama kapal
mengalami perubahan berat, variasi trim dan draf. Beberapa parameter hidrostatis
yang perlu diketahui antara lain (Derret & Barras 2006) :
1) Volume displasement (∇), menunjukan kapasitas/volume badan kapal dibawah
water line (WL) atau volume air yang dipindahkan pada saat kapal berada
dalam air pada draft tertentu.
2) Ton displacement (Δ), menunjukkan berat badan kapal di bawah WL atau
berat air laut yang dipindahkan pada saat kapal berada dalam air pada draft
tertentu.
3). Coefficient of block (Cb), menunjukkan perbandingan antara nilai volume
displacement kapal dengan volume bidang balok yang mengelilingi badan
kapal. Cb juga dikenal sebagai koefisien kegemukan badan kapal (Gambar 7).
14
(Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
4) Coefficient of prismatic (Cp),
displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang
melintang tengah kapal (A
Cp juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal
secara horizontal (Gambar
5) Coefficient vertical prismatic (Cvp),
volume displacement kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area kapal
pada WL tertentu secara horizontal
juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk
vertikal (Gambar 8).
Gambar 8 Coefficient of (Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
Gambar 7 Coefficient of block (Cb)(Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
Coefficient of prismatic (Cp), menunjukkan perbandingan antara
kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang
melintang tengah kapal (A) dan panjang kapal pada garis air tertentu (Lwl).
Cp juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal
secara horizontal (Gambar 7).
al prismatic (Cvp), menunjukkan perbandingan antara
kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area kapal
pada WL tertentu secara horizontal-longitudinal (Aw) dan draft kapal.
juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal secara
).
Coefficient of prismatic (Cp) dan coefficient vertical prismatic (Cvp)(Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
14
menunjukkan perbandingan antara volume
kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area penampang
) dan panjang kapal pada garis air tertentu (Lwl).
Cp juga dikenal sebagai koefisien yang menunjukkan bentuk badan kapal
menunjukkan perbandingan antara
kapal dengan volume yang dibentuk oleh luas area kapal
kapal. Cvp
badan kapal secara
(Cvp)
15 15
6) Coefficient of waterplan (Cw), menunjukkan besarnya luas area penampang
membujur tengah kapal dibandingkan dengan bidang empat persegi panjang
yang mengelilingi luas area tersebut. Cw menunjukkan bentuk badan kapal
pada bagian waterplan area (Gambar 9).
Gambar 9 Coefficient of waterplane (Cw)(Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
7) Coefficient of midship (C), menunjukkan perbandingan antara luas
penampang melintang tengahs kapal secara vertikal dengan bidang empat
persegi panjang yang mengelilingi luas area tersebut. C mengambarkan
bentuk badan kapal pada bagian tengah kapal/midship (Gambar 10).
Gambar 10 Coefficient of midship (C)(Sumber : Iskandar dan Novita, 1997 digambar ulang)
Coefficient of midship (C), menunjukkan perbandingan antara luas
penampang melintang tengahs kapal secara vertikal dengan bidang empat persegi
panjang yang mengelilingi luas area tersebut. C mengambarkan bentuk badan kapal
pada bagian tengah kapal/midship. Koefisien bentuk kapal juga dipengaruhi oleh luas
16 16
bagian lambung kapal yang terbenam dalam air, bentuk lambung kapal yang
terbenam di air berbeda-beda sesuai dengan jenis kapal, dimana kapal yang
memerlukan kecepatan tinggi maka bentuk lambungnya lebih langsing dibandingkan
dengan jenis kapal yang kurang memerlukan kecepatan tinggi.
Bentuk lambung kapal ini berhubungan dengan koefisien bentuk. Dibawah ini
disajikan nilai koefisien bentuk yang dikemukakan oleh Nomura dan Yamazaki
(1977), Tabel 1.
Tabel 1 Koefisien bentuk untuk masing-masing jenis kapal berdasarkan alat tangkapyang dioperasikan
Kelompok kapal Kisaran nilai Cb Cp C Cw
Alat tangkap yang ditarik 0,58 – 0,67 0,66 – 0,72 0,88 – 0,93 - Alat tangkap pasif 0,63 – 0,72 0,83 – 0,90 0,65 – 0,75 0,91 – 0,97 Alat tangkap yang 0,57 – 0,68 0,76 – 0,94 0,67 – 0,78 0,91 – 0,95
Dilingkarkan
2.6 Sistem Propulsi Kapal
Kapal yang sedang bergerak merupakan suatu benda yang terapung dan
bergerak pada media air. Apabila kapal tersbut bergerak maka padanya akan
mengalami hambatan (resistance force) dari media yang dilaluinya (Kilmanun, 1993).
Agar kapal dapat bergerak dengan sesuatu kecepata yang diinginkan, maka
kapal tersebut harus diberikan suatu dorongan yang dihasilkan dari mesin induk ke
baling-baling. Gaya dorong tersebut harus lebih besar dari besarnya tahanan yang
bekerja pada badan kapal, dengan demikian gaya dorong merupakan fungsi dari
bentuk badan kapal.
Apabila bentuk badan kapal didesain sebaik mungkin maka tahanan yang
bekerja pada kapal tersebut akan lebih kecil, dengan demikian daya mesin penggerak
yang dipergunakan akan lebih kecil pula. Untuk itu maka sisim penggerak atau
propulsi kapal sangat penting peranannya dalam perencanaan sebuah kapal.
17 17
2.6.1 Mesin kapal
2.6.1.1 Mesin utama kapal ikan
Mesin utama kapal ikan yang pada umumnya digunakan saat ini adalah
berdasarkan sistem pembakaran suatu motor maka dapat dibedakan menjadi motor
listrik, motor pembakaran luar, dan motor pembakaran dalam. Pembakaran yang
berlangsung didalam silinder disebut motor pembakaran dalam (Soenarto, 1985).
Pemakaian mesin yang sesuai berguna untuk efesiensi eksplotasi kapal perikanan.
Mesin harus dipilih dengan mempertimbangkan hasil kerja sesuai dengan tenaga dan
kecepatan yang diinginkan (Trianto, 1985). Mesin induk merupakan mesin penghasil
tenaga sebagai penggerak utama yang dilengkapi dengan adanya poros, baling-baling,
bantalan tabung poros baling-baling (stren tube), kopling dan kemudi. Klasifikasi
mesin pokok terdiri dari mesin uap torak, mesin uap turbin, turbin gas dan motor
bakar (Trianto, 1985).
Soenarta dan Furuhama (1985), mengemukakan bahwa mesin kapal harus
dipasang sedemikian rupa sehingga poros engkol yang dihubungkan dengan poros
propeller agak menurun sedikit di buritan. Akan sangat baik kalau kemiringannya
kecil yaitu tidak lebih dari 80. Kalau kemiringannya lebih besar akan mengurangi
daya yang dikeluarkan sehingga kecepatan pun berkurang. Dudukan mesin harus satu
sumbu dengan bantalan poros propeller dan dipasang secara tetap dan menetap kuat
pada kapal.
Menurut Murdiyanto dan Iskandar (2004), mengemukan bahwa mesin kapal
pada umumnya mempunyai konstruksi dan karakteristik yang berbeda dengan mesin
yang ada didarat, yang menjadi pertimbangan utama pada mesin kapal adalah
keselamatan. Mesin ini dipergunakan diperairan, dan apabila terjadi kecelakaan akan
berakibat fatal. Ketika kapal sedang berlayar maka mesin kapal digunakan dengan
waktu yang lama secara terus-menerus. Penggunaan mesin yang terus-menerus dan
kurangnya perawatan akan menyebabkan adanya penurunan daya yang dikeluarkan.
Penurunan daya ini menyebabkan putaran mesin mesin turun dan diteruskan dengan
menurunnya putaran propeller yang menyebabkan kecepatan kapal berkurang.
18 18
Penurunan daya juga akan menurunkan efisiensimesin kapal tersbut baik terhadap
waktu maupun bahan bakar.
Menurut Arismunandar (1977), mesin yang banyak digunakan sekarang
adalah mesin kalor, yaitu mesin yang menggunakan energi termal untuk melakukan
kerja mekanik atau yang mengubah energi termal menjadi energi mekanik. Energi itu
sendiri dapat diperoleh dengan proses pembakaran, proses fusi bahan bakar nuklir
atau proses lain-lain. Ditinjau dari segi cara memperoleh energi mesin kalor dibagi
menjadi dua golongan, yaitu mesin pembakaran luar dan mesin pembakaran dalam.
Mesin pembakaran luar proses pembakaran terjadi di luar mesin, dimana energi
termal dari gas hasil pembakaran dipindahkan ke fluida kerja mesin, melalui beberapa
dinding pemisah. Pada umumnya mesin pembakaran dalam dikenal dengan motor
bakar. Proses pembakaran berlangsung di dalam motor bakasr itu sendiri sehingga
gas pembakaran yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai fluida kerja.
Menurut Echizen et. al., (1987), mesin kapal penangkap ikan adalah nama
umum dari mesin yang mempunyai konstruksi dan penampilan yang cocok digunakan
untuk menangkap ikan. Mesin kapal terdiri atas dua macam, yaitu mesin utama yang
digunakan untuk memutar baling-baling atau sebagai tenaga penggerak kapal dan
mesin bantu yang digunakan untuk membantu operasi penangkapan. Pada umumnya
mesin utama dan mesin bantu adalah mesin pembakaran.
Penggunaan mesin dalam suatu usaha penangkapan merupakan suatu usaha
modernisasi dalam bidang perikanan yang ditujukan untuk meningkatkan hasil
tangkapan. Perbedaan tenaga penggerak dari berbagai armada penangkapan akan
memberikan perbedaan terhadap hasil tangkapan pada suatu daerah penangkapan
(fishing ground) yang sama, (Jakobson, 1964).
Berdasarkan pemasangan mesin di kapal, mesin dapat dibedakan atas dua
jenis yaitu: mesin inboard yang pemasangannya diatas deck kapal sehingga dapat
dibongkar pasang dengan mudah atau pemasangannya didalam deck. Mesin outboard
dirancang untuk pelayaran yang memiliki dua jenis yaitu mesin yang dirancang
khusus untuk di laut yang biasanya disebut marine engine yang umumnya terdapat di
kapal layar serta jenis mesin yang kedua adalah mesin yang berporos panjang.
19 19
Berdasarkan letak pemasangan mesin outboard dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
mesin yang dipasang disamping kapal, dibagian belakang kapal (buritan kapal), dan
didalam kapal pada bagian buritan kapal (Traung, 1975).
Menurut Soenarta (1985), mesin tempel adalah salah satu jenis mesin
outboard yang terdiri dari sebuah mesin, poros penggerak, gigi reduksi, poros baling-
baling, dan baling-baling. Karakteristik dari mesin tempel adalah sebagai berikut :
1) Umumnya mesin tempel adalah mesin dua tak;
2) Menghasilkan daya keluaran per berat unit yang besar,
3) Beratnya ringan dan kompak; dan
4) Sangat mudah dibongkar dan dipasangkan pada kapal serta serta mudah
dibawa-bawa.
Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) (1989)), menyebutkan bahwa posisi
pemasangan mesin terhadap dudukan mesin haruslah sempurna untuk mencegah
getaran mesin. Sudut pemasangan mesin terhadap kedudukan mesin dapat telihat
pada Tabel 2 :
Tabel 2 Pemasangan mesin terhadap kedudukan mesin
Sudut inklinasi
Komponen instelasi Sisi kapal Depan dan belakang kapal Statis Dinamis Statis Dinamis Mesin utama 15° 22,5 ° 5 ° 7,5°
Menurut Ayodhyoa (1972), mengemukakan bahwa persyaratan mesin yang
layak pakai dan dapat pula dioperasikan yaitu harus memenuhi syarat BKI,
mempunyai bobot yang relatif ringan dengan volume yang relatif kecil, pada kapal
kekiri atau kekanan (oleng) yang terus menerus dengan sudut kemiringan 22,50 motor
tetap dapat berfungsi, pada keadaan oleng arah membujur (trim) yang terus menerus
dengan sudut kemiringan 100 motor dapat befungsi, efisien dalam pemakaian bahan
bakar, tidak menimbulkan getaran yang merugikan, mudah untuk diperbaiki
20 20
(dibongkar pasang pada setiap saat) mengingat kemungkinan terjadinya kerusakan
pada saat pelayaran, tahan terhadap air laut, tidak menggunakan bahan bakar yang
mudah terbakar, tahan untuk pengoperasian yang sifatnya terus-menerus dan mudah
untuk dioperasikan. Akasaka T dan Tower B (1988) mengemukakan bahwa mesin
yang menggerakkan kapal ikan yaitu mesin diesel dan mesin bensin.
1) Mesin diesel
Prinsip kerja mesin diesel adalah mengisap udara di dalam tabung bahan
bakar untuk untuk meningkatkan suhu dan tabung bakar atau silinder, apabila udara
ini ditekan dalam silinder menyebabkan suhu dan tekan tekanan akan sangat tinggi
secara tiba-tiba pada saat bahan bakar solar disemprotkan dalam bentuk embun
sehingga terjadi pembakaran dalam silinder. Mesin diesel memanfaatkan pemuaian
gas untuk membangkitkan tenaga putar propeller atau baling-baling.
2) Mesin bensin
Prinsip kerja mesin bensin sama saja dengan mesin diesel namun mesin besin
menggunakan bahan bakar bensin dimana pembakaran terjadi di dalam silinder
dengan cara percikan api listrik yang berasal dari accu, kelebihan dari mesin ini
adalah lebih ringan dari mesin diesel. Mesin bensin biasanya digunakan pada kapal-
kapal yang umumnya disebut mesin tempel.
2.6.1.2 Cara mengatur fungsi mesin bakar intern
Agar mesin yang tiap siklusnya terjadi empat kali langkah torak atau satu kali
putaran poros engkol untuk menghasilkan satu kali langkah usaha yang terjadi pada
saat itu adalah, langkah pemasukkan, langkah kompresi, langkah usaha/ekspansi, dan
langkah pembuangan.
Mesin dua langkah lebih kecil ruang geraknya namun lebih besar tenaga
(output) yang dihasilkan lebih besar dari mesin empat langkah, diman prinsip kerja
dari mesin ini terjadi dua kali langkah torak atau satu putaran poros engkol untuk
menghasilkan satu langkah usaha, selain itu mesin dua langkah lebih sederhana
konstruksinya tidak banyak mengalami gangguan, mudah dipasang, namun dalam
21 21
proses pembakaran banyak menggunakan bahan bakar dan minyak pelumas serta
ruang pembakaran dengan mudah kotor, keuntungannya yaitu lebih menguntungkan
daripada kekurangannya sehingga sistim inilah yang digunakan pada mesin diesel.
2.6.2 Sistem poros dan baling-baling
2.6.2.1 Sistem poros
Poros merupakan suatu alat yang digunakan untuk menggerakkan baling-
baling kapal yang dimana daya penggeraknya diperoleh dari hasil kerja dari mesin
kapal. Poros merupakan salah satu bagian yang penting dari setiap mesin, hampir
semua mesin meneruskan tenaga bersama-sama dengan putaran. Poros mempunyai
peranan penting dalam mentransmisikan daya (Sularso. 1983).
Poros merupakan suatu seri batang yang di pasang di mesin utama dan baling-
baling (propeller) atau untuk meneruskan daya putar mesin utama ke baling-baling
atau meneruskan dorongan air yang dihasilkan dengan perputaran baling-baling ke
kapal melalui roda pelor pendorong (Echien el. al, 1987).
Firnasari (2004), mengemukakan bahwa poros baling-baling merupakan
penghubungkan anatara mesin dan baling-baling. Perputaran putar dari poros
mengakibatkan baling-baling juga ikut berputar. Berputarnya baling-baling
mengakibatkan perpindahan massa air yang berada didepan baling-baling ke belakang
baling-baling, perpindahan massa air tersebut mengakibatkan kapal dapat bergerak
maju.
Akasaka T dan Tower B (1988) menyampaikan bahwa poros baling-baling
berfungsi untuk menyalurkan gaya dari mesin induk ke baling-baling dan sekaligus
merndamkan getaran oleh mesin dan baling-baling ke seluruh bagian tubuh kapal.
22 22
(1) Macam-macam poros
Menurut Sularso (1983), poros umumnya digunakan untuk meneruskan daya
yang mana dapat diklasifikasikan menurut pembebanannya adalah sebagai berikut :
1). Poros Transmisi, poros ini mendapat beban puntir murni atau puntir dan lentur.
Daya ditransmisikan kepada poros ini melalui kopling.roda gigi, puli sabuk atau
spoket rantai dan lain-lain.
2). Spindel, poros transmisi yang relatif pendek, seperti poros utama mesin perkakas,
dimana beban utamanya berupa puntiran, yang disebut spindel. Syarat yang harus
dipenuhi poros ini adalah deformasinya harus kecil dan bentuk serta ukurannya
harus teliti
3). Gardan, seperti yang dipasang diantara roda-roda kereta barang, dimana tidak
mendapat beban puntir, bahkan kadang-kadang tidak boleh perputar, yang mana
disebut gardan. Gardan ini hanya mendapat beban lentur, kecuali jika digerakkan
oleh penggerak mula dimana akan mengalami beban puntir juga.
(2) Hal-hal penting dalam perencanaan poros
Untuk merencanakan sebuah poros, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
1) Kekuatan poros, dimana suatu poros transmisi dapat mengalami beban puntir atau
lentur, atau gabungan antara puntir dan lentur. Juga poros yang mendapat beban
tarik atau tekan seperti poros baling-baling kapal atau turbin, dan lain-lain.
Kelelahan, tumbukan atau pengaruh konsentrasi tegangan bila diameter poros
mempunyai alur pasak, harus diperhatikan.
2) Kekakuan Poros, apabila sebuah poros mempunyai kekuatan yang kuat tetapi jika
lenturan atau defleksi puntirnya terlalu besar akan menakibatkan ketidak telitian
atau getaran dan suara. Disamping itu kekuatan poros, kekakuannya juga harus
diperhatikan dan disesuaikan dengan macam mesin yang akan dilayani poros
tersebut.
3) Putaran Kritis, apabila suatu mesin dinaikkan maka pada suatu harga putaran
tertentu dapat terjadi getaran yang luar biasa besarnya, maka putaran ini disebut
23 23
putaran kritis. Hal tersebut dapat terjadi pada turbin, motor torak, motor listrik
dan lain-lain, dan dapat mengakibatka kerusakan pada poros dan bagian lainnya.
4) Korosi, bahan-bahan tahan terhadap korosi (temasuk plastik) harus dipilih untuk
poros baling-baling dan pompa bila terjadi kontak dengan fluida yang korosif.
Demikian halnya untuk poros-poros yang terancam kavitasi, dan poros-poros
yang sering berhenti lama. Sampai batas-batas tertentu dapat pula dilakukan
perlindungan terhadap korosi.
5) Bahan Poros, poros untuk mesin umumnya dibuat dari baja batang yang ditarik
dingin dan difinis, baja karbon konstruksi mesin (disebut dahan S-C) yang
dihasilkan dari ingot yang di-“kill” (baja yang dideoksidasikan dengan
ferrerolikondan dicor, kadar karbon terjamin).
(3) Poros dengan beban puntir dan beban lentur
Poros yang mendapat pembebanan utama berupa torsi, seperti pada poros
motor dengan sebuah kopling, tidak mendapat beban lain kecuali torsi, maka diameter
poros tersebut dapat lebih kecil. Jika diperkirakan akan terjadi pembebanan berupa
lenturan, tarikan, atau tekanan, maka kemungkinan adanya pembebanan tambahan
tersebut perlu diperhintungkan dalam faktor keamanan yang diambil.
Pada umumnya poros meneruskan daya melalui sabuk, roda gigi, dan rantai. Dengan
demikian poros tersebut mendapat beban puntir dan beban lentur sehingga pada
permukaan akan terjadi tegangan geser karena momen puntir dan tegangan karena
momen lentur.
2.6.3 Sistem baling-baling kapal
Baling-baling merupakan salah satu bagian yang termasuk dalam sistem
propulsi kapal yang menghasilkan gaya dorong (penggerak) untuk mengantisipasi
tahanan yang dialami kapal dan hanya dapat bekerja atas dasar putaran mesin induk
kapal. Mesin induk kapal dengan baling-baling merupakan kesatuan sistem yang
tidak dapat terpisahkan dalam perencanaan propulsi kapal (Djatmiko et al, 1983).
24 24
Ukuran baling-baling mempunyai ukuran yang berbeda-berbeda berdasarkan
ukuran kapal dan disamping itu juga dapat ditentukan oleh pitch (P), diameter (D),
dan jumlah, tebal dan luas daun (Soenarto, 1985)
2.6.3.1 Aksis baling-baling
Periode awal perkembangan teori baling-baling ulir diterangkan berdasarkan
prinsip dari perputaran mur pada baut. Bila diputar satu kali, baut akan bergerak
maju sepanjang langkah ulirnya (Pitch). Penerapannya pada baling-baling, dengan
mengasumsikan bahwa tidak memiliki viskositas maka dalam suatu kisaran baling-
baling akan bergerak maju sejauh jarak pitch. Dalam keadaan slip nol, kapal tidaj
bergerak maju karena tidak ada dorongan yang dihasilkan oleh baling-baling
(Sumarlan, 1983). Dalam keadaan tidak bergerak, namun baling-baling tetap
berputar, maka baling-baling berada dalam keadaan slip 100% (Attwood & Pangelly,
1967). Deskripsi tentang slip diperlihatkan pada Gambar 11.
JJaarraakk mmaajjuu ssaattuu ppuuttaarraannSSlliipp
AArraahh
GGeerraakkaannPPuuttaarraann DD mmaajjuu
Pitch
Gambar 11 Diskrepsi slip dan pitch baling-baling
25 25
Menurut Djatmiko et al (1983), menyatakan bahwa mesin induk kapal
dengan baling-baling merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
perencanaan propulsi kapal. Menurut Suzuki, (1978), bahwa apabila kecepatan
sebuah kapal melebihi kecepatan yang diperlukan oleh kapal maka akan
mengakobatkan kapal tersebut tidak efisien. Hal tersebut disebabkan karena untuk
menambah daya dorong (HP) lebih dari kecepatan yang sesuai, tidak hanya
menyebabkan mesin yang digunakan terlalu besar, tetapi akan menyebabkan
konsumsi bahan bakar lebih tinggi tanpa adanya perubahan kecepatan yang berarti.
2.6.3.2 Elemen baling-baling
Baling-baling mempunyai fungsi sebagai alat mempercepat air yang melewati
bidang pinggiran baling-baling dari reaksi yang timbul akibat percepatan air tersebut
mengahsilkan daya dorong ke muka. Jadi timbul perubahan momentum dimana yang
semula diam, karena aksi baling-baling mengakibatkan terjadinya percepatan air.
Ditinjau dari teori elemen daun, propeller merupakan baling-baling angkat
(lifting vane) dimana daya angkat dan tahanan pada elemen daun berperan menambah
gaya dorong dan tenaga putar (Olson, 1965).
Prinsip kerja elemen daun baling-baling berdasarkan perbedaan tekanan pada kedua
sisi baling-baling dimana kecepatan aliran air pada bagian punggung lebih besar dari
sisi muka sehingga tekanan pada bagian punggung yang lebih tinggi, perbedaan
tekanan inilah yang menghasilkan daya angkat (Sutrisno, 1982). Tekanan pada
bagian punggung merupakan tekanan negative karena seolah-olah terjadi hisapan dan
baling-baling mendapatkan tekanan dorong dari hasil hisapan tersebut (Attwood dan
Pangelly, 1967).
26 26
Suctin Zone
Back
Trailing
edge Leading edge
Pressure zon
Face
Gambar 12 Distribusi tekanan pada elemen daun baling-baling (Attwood & Pangelly, 1967).
2.6.4 Klasifikasi baling-baling
2.6.4.1 Berdasarkan karakteristik pitch
1. Baling-baling Pitch Tetap
Picth dari baling-baling ini terpasang tetap pada bos dan tidak berubah-ubah.
Jenis baling-baling ini terbagi atas dua, yaitu picth tetap bervariasi dalam arah radial
(Harval, 1992). Menurut Djatmiko et al (1983), picth (P) adalah jarak aksial yang
dicapai setiap satu kali berputar. Pada pembebanan yang tinggi baling-baling ini
tidak dapat dimanfaatkan daya motor yang baik (Nierich dkk 1984).
2. Baling-baling Kendali Daun
Baling-baling picthnya dapat dikontrol, sehingga lanjut kisarannya dapat
dikontrol. Dengan demikian seluruh daya motor dapat dimanfaatkan secara maksimal
dalam kondisi benda yang berbeda-beda. Keuntungan lain adalah kemampuan olah
gerak yang cepat dan tanpa harus berhenti, berbalik atau merubah arah putaran dan
praktis untuk mengatasi getaran karena adanya torsi.
27 27
2.6.4.2 Berdasarkan struktur mekanik
Monoblok propeller adalah baling-baling dimana terpasang tetap pada bos
sehingga tidak dapat dipisahkan.
2.6.4.3 Baling-baling assembling
Baling-baling assembling adalah daun dan bos dapat dipisahkan. Hal ini
memberikan keuntungan karena daun dapat diganti karena rusak, namun berdampak
pada efisiensi.
2.6.4.4 Berdasarkan arah putaran
Arah rotasi adalah putaran baling-baling yang berputar dari kanana menurut
arah jarum jam yang akan memutarkan baling-baling pada rotasi maju atau
sebaliknya, jika dilihat dari buritan, jika dilihat dari buritan (Rawson,1984). Pada
kapal berbaling-baling, dikenal dengan baling-baling putaran kiri dan baling-baling
kanan, sedangkan kapal berbaling-baling dua dan putaran dalam. Menurut
(Yamamoto. 1982), bahwa baling-baling kanan berputar kekanan dan baling-baling
kiri berputar ke kiri maka pasangan baling-baling demikian disebut putaran ke kanan,
maka putarannya disebut putaran kedalam (Inward turning).
2.6.4.5 Berdasarkan jumlah daun
Berdasarkan jumlah daun, baling-baling dapat diklasifikasikan menjadi
baling-baling berdaun dua, baling-baling berdaun tiga, baling-baling berdaun empat
dan lain-lain. Pemilihan jumlah daun baling-baling yang digunakan tergantung dari
beban gaya dorong dan tingkat getaran (Olson, 1965).
2.6.4.6 Berdasarkan ukuran
Berdasarkan ukuran, baling-baling mempunyai ukuran yang berbeda-beda
sesuai dengan motor penggerak yang digunakan pada kapal dan daya motor yang
dipakai oleh motor penggerak kapal. Dilihat dari jenisnya, baling-baling mempunyai
kode tertentu, dimana kode tersebut menunjukkan ukuran dari setiapbaling-baling
28 28
yang dinyatakan dengan jumlah daun, panjang picth, dan diameter baling-baling
(Prado, 1990).
2.7 Kecepatan Kapal
Kecepatan kapal sangat diperlukan dalam operasi penangkapan ikan untuk
sebuah kapal perikanan. Kecepatan dibutuhkan dan diperhitungkan dalam melakukan
pelayaran menuju fishing ground dan kecepatan pengajaran ikan. Kecepatan juga
diperhitungkan pada saat kembali menuju pangkalan pendaratan ikan fishing port
agar ikan-ikan hasil tangkapan dapat secepatnya diproses sehingga kesegaran ikan
masih sangat baik.
Menurut Trianto (1985) pemakaian mesin yang sesuai berguna untuk efisiensi
eksploitasi kapal perikanan, mesin harus dipilih dengan mempertimbangkan hasil
kerja sesuai dengan tenaga dan kecepatan yang diinginkan. Untuk itu dalam
pemilihan mesin haruslah disesuaikan dengan kapal yang kita miliki.
Ayodhyoa (1972), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menentukan
kecepatan kapal adalah faktor-faktor dimensi utama, displacement, bentuk badan
kapal yang berada dalam air, trim, dan mesin penggerak. Dimensi utama kapal,
semakin besar ukuran nilai panjang kapal (L), dengan besaran nilai lebar (B) tetap,
maka kecepatan akan bertambah baik. Secara tidak langsung dimensi kapal sangat
mempengaruhi kecepata kapal seperti panjang kapal (Length, L), lebar (Lebar, B),
serta dalam kapal (Depth,D). Menurut Fyson (1985), mengemukankan bahwa
dimensi rasio kapal seperti L/B, L/D, B/D, L/B, sangatlah berpengaruh terhadap
kecepatan maju kapal, menurunnya nilai perbandingan L dan B (L/B) sehingga
menyebabkan menurunnya kecepatan kapal.
Novita dan Iskandar (2008), mengemukakan bahwa tahanan gerak merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan kapal yang dihasilkan oleh
kasko kapal pada saat terjadinya interaksi an atara alairan air dengan kasko kapal.
Semakin besarnya tahanan gerak yang dihasilkan, sehingga tenaga yang yang
dibutuhkan semakin besar yang dibutuhkan pada kapal untuk melaju di laut.
Kecepatan yang dibutuhkan tiap kapal berbeda-beda tergantung dari alat tangkap
29 29
yang dioperasikan, selain itu juga dipengaruhi oleh ukuran panjang, lebar dan dalam,
coefisien of fineness, displecement, trim, bentuk kapal dibawah air dan kekuatan
mesin.
Kecepatan ekonomis kapal akan berpengaruh jika perbandingan antara
kecepatan kapal (V/L, V: kecepatan kapal dalam knots dan L: panjang kapal dalam
meter) mendekati 1,0 untuk kapal-kapal cepat perbandingannya lebih dari 1,2 dan
untuk kapal-kapal lambat nilai ini kurang dari 0,8 (Nomura dan Yamazaki, 1977).
Selain itu Munro dan Smith (1975), mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) faktor yang
mempengaruhi efisiensi propulsi dan kecepatan kapal anatara lain letak mesin,
konstruksi kasko serta efesiensi baling-baling.
Fyson (1995) menyatakan tahanan kapal pada kecepatan yang diberikan
merupakan daya yang dikehendaki untuk melaju pada perairan tenang, diasumsikan
bahwa tidak terdapat gangguan pada mesin penggerak kapal. Bila kapal mengalami
penambahan beban, disebut tahanan badan kapal pada saat kapal kosong. Daya yang
dibutuhkan untuk mengatasi tahanan tersebut effective horse power (EHP), dalam
penentuan HP dikenal beberapa istilah, yaitu :
1) Indicated horse power (IHP), tenaga yang dihasilkan untuk menggerakkan torak;
2) Break horse power (BHP), tenaga yang digunakan untuk memutarkan roda gila;
3) Shaft horse power (SHP), tenaga yang digunakan untuk memutarkan poros
baling-baling; dan
4) Effective horse power (EHP), tenaga efektif yang digunakan untuk
menggerakakan kapal.
2.8 Sudut jatuh poros
Sudut jatuh poros dapat mempengaruhi kecepatan kapal. Menurut Firnasari
(2004), mengemukakan bahwa untuk mengetahui berapa besarnya sudut jatuh poros
yang masuk kedalam air dengan menggunakan alat ukur (waterpass) pada satu sudut
yang sejajar dengan permukaan air yang berdekatan dengan panjang poros sehingga
sudut yang terbentuk dapat terlihat dibusur. Untuk mengetahui berapa besarnya sudut
30 30
jatuh masing-masing poros baling-baling yang digunakan pada kapal jukung maka
dapat diukur dengan alat ukur waterpass.
Jarak baling-baling dari permukaan air dapat mempengaruhi besaran sudut
jatuh yang terjadi. Finarsari (2004) mengemukakan bahwa besaran sudut jatuh
merupakan variabel bebas dan jarak baling-baling dari permukaan air merupakan
variabel tidak bebas.