133
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung Terjaganya Kemurnian Sapi Madura di Pulau Madura Bull Race and Sonok Cows As a Factors For Supporting Maintaining Purity Madura Cattle in Madura Island Jauhari Efendy Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan Provinsi Jawa Timur 67184 Telp. (0343) 481131, Faks. (0343) 481132 Alamat e-mail: [email protected] ABSTRACT Madura cattle is one of the nation's most widely cattle integrate with social culture and socio-economic; namely as labor, saving, sports facilities (bull race) and other entertainment (sonok cows). This study aims to give any information on the importance of keeping and maintaining genetic purity Madura cattle from the point of view of culture that developed on the island of Madura is bull race and sonok cows. Bull race have existed since the Dutch government introduced by the Regent Sumenep. Existence bull race can not be separated from Madura cattle; regard this as a good criterion bull race only exist in pure Madura cattle, such as (i) medium body size, (ii) fine boned but muscular, (iii) the little horn and (iv) leg strong enough to resist the heavy pull of work. Sonok cows began to develop on the island of Madura since 1960 that originated from northern coastal areas Pamekasan. There is the farmers sonok cows, already quality cattle breeding technology. Morphologically, Madura cattle very precise used as sonok cows because of the exotic with multiple criteria; among others: (i) large enough posture, (ii) humped, (iii) the width of the chest circumference, (iv) the black tail feathers, (v ) body length, (vi) the skin is red brick, (vii) benign and (viii) has a neat curved horn-shaped "U". The presence of some of the main criteria in Madura cattle of male (as bull race) and females (as sonok cows) has led to the determination and strong desire of both farmers and the lovers of Madura cattle and local government to preserve the purity of Madura cattle. Keywords: bull race, sonok cows, eternity and purity Madura cattle ABSTRAK Sapi Madura merupakan salah satu bangsa sapi yang paling banyak berintegrasi dengan kehidupan sosial budaya maupun sosial ekonomi khususnya masyarakat petani; yakni sebagai tenaga kerja penggarap lahan pertanian atau tenaga tarik, tabungan, sekaligus sarana olah raga dan sumber hiburan yaitu sapi karapan bagi yang jantan dan 134

Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

  • Upload
    lamthuy

  • View
    268

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung Terjaganya

Kemurnian Sapi Madura di Pulau Madura

Bull Race and Sonok Cows As a Factors For Supporting Maintaining Purity Madura Cattle in Madura Island

Jauhari Efendy

Loka Penelitian Sapi Potong Jl. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan – Provinsi Jawa Timur 67184

Telp. (0343) 481131, Faks. (0343) 481132 Alamat e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Madura cattle is one of the nation's most widely cattle integrate with social culture

and socio-economic; namely as labor, saving, sports facilities (bull race) and other

entertainment (sonok cows). This study aims to give any information on the importance of

keeping and maintaining genetic purity Madura cattle from the point of view of culture

that developed on the island of Madura is bull race and sonok cows. Bull race have existed

since the Dutch government introduced by the Regent Sumenep. Existence bull race can

not be separated from Madura cattle; regard this as a good criterion bull race only exist in

pure Madura cattle, such as (i) medium body size, (ii) fine boned but muscular, (iii) the

little horn and (iv) leg strong enough to resist the heavy pull of work. Sonok cows began to

develop on the island of Madura since 1960 that originated from northern coastal areas

Pamekasan. There is the farmers sonok cows, already quality cattle breeding technology.

Morphologically, Madura cattle very precise used as sonok cows because of the exotic

with multiple criteria; among others: (i) large enough posture, (ii) humped, (iii) the width of the chest circumference, (iv) the black tail feathers, (v ) body length, (vi) the skin is red brick, (vii) benign and (viii) has a neat curved horn-shaped "U". The presence of some of the main criteria in Madura cattle of male (as bull race) and females (as sonok cows) has led to the determination and strong desire of both farmers and the lovers of Madura cattle and local government to preserve the purity of Madura cattle. Keywords: bull race, sonok cows, eternity and purity Madura cattle

ABSTRAK

Sapi Madura merupakan salah satu bangsa sapi yang paling banyak berintegrasi

dengan kehidupan sosial budaya maupun sosial ekonomi khususnya masyarakat petani;

yakni sebagai tenaga kerja penggarap lahan pertanian atau tenaga tarik, tabungan,

sekaligus sarana olah raga dan sumber hiburan yaitu sapi karapan bagi yang jantan dan

134

Page 2: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sapi sonok bagi yang betina. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang

pentingnya menjaga dan mempertahankan kemurnian sapi Madura secara genetik ditinjau

dari sudut pandang kebudayaan yang berkembang di Pulau Madura yaitu karapan sapi dan

sapi sonok. Karapan sapi telah ada sejak pemerintahan Belanda yang diperkenalkan oleh

Bupati Sumenep. Eksistensi sapi karapan tidak dapat dipisahkan dari sapi Madura; hal ini

karena kriteria sapi karapan yang baik hanya ada pada sapi Madura murni; seperti (i)

ukuran tubuh sedang, (ii) bertulang bagus tetapi berotot, (iii) tanduk kecil serta (iv) kaki

cukup kuat agar tahan terhadap kerja tarik yang berat. Sapi sonok mulai berkembang di

Pulau Madura sejak tahun 1960 yang berawal dari wilayah pesisir Utara Kabupaten

Pamekasan. Adanya penggemar (peternak) sapi sonok, maka secara teknis sudah

dihasilkan teknologi pembibitan sapi yang berkualitas. Secara morfologis, sapi Madura

sangat tepat dijadikan sebagai sapi sonok karena bentuknya yang eksotis dengan beberapa

kriteria; diantaranya : (i) postur tubuh cukup besar, (ii) berpunuk, (iii) lingkar dada lebar,

(iv) bulu ekor hitam, (v) badan panjang, (vi) kulit berwarna merah bata, (vii) jinak serta

(viii) memiliki tanduk rapi melengkung berbentuk huruf “U”. Terdapatnya beberapa

kriteria utama pada sapi Madura jantan (sebagai sapi karapan) maupun betina (sebagai

sapi sonok) maka telah memunculkan tekad dan keinginan yang kuat baik dari peternak

maupun masyarakat pecinta sapi Madura serta pemerintah daerah untuk menjaga

kelestarian dan kemurnian sapi Madura. Kata kunci : sapi karapan, sapi sonok,

kelestarian dan kemurnian sapi Madura

PENDAHULUAN

Sapi Madura yang diternakkan secara murni di Pulau Madura berasal dari

banteng piaraan yang dikawinkan dengan sapi zebu yang kemungkinan mencapai

pulau Madura melalui negara India. Persilangan ini berjalan beberapa abad yang

kemudian diikuti isolasi yang relatif panjang disertai dengan seleksi (Huitema, 1986).

Hasil penelitian Surjoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa sapi Madura berada

diantara sapi Bali, sapi Peranakan Ongole dan jauh dari sapi Eropah. Sapi Madura bagi masyarakat di Pulau Madura disamping berfungsi sebagai

tenaga kerja dan dikembangbiakkan juga sebagai sarana hiburan dan olah raga yang

merupakan ciri kebudayaan masyarakat; yaitu karapan sapi (bagi sapi jantan) dan

peragaan/kontes sapi betina yang dikenal dengan istilah “sapi sonok” (Harmadji, 1992;

Ashari dan Liem, 1992). Ma’sum (1992) juga mengemukakan, di kalangan strata sosial

tertentu sapi Madura dipelihara sebagai ternak kegemaran. Bagi masyarakat Madura, sapi

Madura mempunyai nilai khusus bagi status sosialnya, bahkan mempunyai potensi yang

cukup besar sebagai daya tarik wisata (Musofie et al., 1992). Siregar (1992) mengemukakan bahwa karapan sapi disamping sebagai budaya

bagi masyarakat Madura juga menjadi salah satu tiang penyanggah kecintaan masyarakat setempat terhadap sapinya. Memiliki sapi karapan maupun sapi sonok apalagi yang telah menjadi juara dapat mengangkat harkat dan martabat sosial yang cukup tinggi. Seseorang tidak segan-segan mengerahkan dan mengorbankan materi dan tenaganya untuk mendapatkan sapi karapan maupun sapi sonok berkualitas.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang pentingnya menjaga

dan mempertahankan kemurnian sapi Madura secara genetik ditinjau dari sudut

135

Page 3: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pandang kebudayaan karapan sapi dan sapi sonok. Hal ini mengingat dalam beberapa

dekade terakhir ini preferensi peternak sapi di Pulau Madura terhadap keberadaan

sapi-sapi silangan cukup tinggi; yaitu dengan mengawinkan induk sapi Madura

dengan pejantan sapi impor; seperti Limousin dan Simmental. Sejarah Karapan Sapi dan Sapi Sonok Karapan sapi telah ada sejak

Pemerintahan Belanda yang diperkenalkan oleh Bupati Sumenep. Awalnya tradisi karapan sapi ini hanya ingin mengundang hujan dan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang didapat (Suin, 2001). (Santoso, 2006) menyatakan bahwa karapan sapi semula adalah budaya untuk menyambut musim tanam padi dengan maksud membangun komunikasi dan informasi ketika hujan mulai turun di beberapa bagian Pulau Madura. Semua lapisan masyarakat terutama para petani biasanya terlibat dan bergembira baik pemilik tegal (sawah) dan/atau pemilik sapi.

Namun saat ini budaya karapan sapi sudah berkembang serta menyimpang dari tujuan semula; artinya tidak lagi dikenal sebagai sebuah ritual kebudayaan oleh masyarakat petani tetapi menjadi ajang perlombaan sehingga ada pergeseran fungsi yaitu yang sebelumnya untuk membangun komunikasi dan informasi serta solidaritas antar masyarakat (petani) menjadi ajang untuk mencari pemenang pacuan sapi (Hasan, 2012).

Disamping karapan sapi, Pulau Madura juga dikenal dengan kebudayaan “sapi sonok”; yakni dua sapi betina yang dihiasi dan dipercantik sedemikian rupa untuk dilombakan. Sebenarnya sapi sonok sendiri merupakan jenis karapan sapi juga, akan tetapi untuk sapi berjenis kelamin betina dan yang dilombakan adalah keindahan sapi saat berjalan dan berpakaian. Kontes sapi sonok diadakan sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan tradisi ini ke masyarakat luas, umumnya masyarakat di luar pulau Madura (Anonimus, 2012).

Sapi sonok telah ada sejak tahun 1960 dan pertama kali dicetuskan oleh warga Desa Dempo Barat Kecamatan Waru yang termasuk dalam wilayah pesisir Utara Pamekasan (Fauzani, 2009). Dalam sejarahnya setiap kali selesai bekerja (membajak ladang), para petani biasanya memandikan sapinya. Setelah dimandikan, maka sepasang sapi tersebut didiamkan ke satu tiang “tancek”. Kebiasaan ini juga dilakukan oleh petani lain dalam satu petak tanah tegal, sehingga tampak ramai.

Dalam perkembangannya, kemudian muncul pemikiran dari para petani untuk memilih dan melombakan sapi yang paling bersih dan rapi berdiri. Pasangan sapi itu juga kemudian didandani dengan aksesoris lain yang indah. Kemudian dari sinilah tradisi sapi sonok muncul, yang pada akhimya menjadi sebuah budaya masyarakat Pamekasan dan Madura pada umumnya (Anonimus, 2012).

Sapi sonok tampil menawan dan dirangkai dengan sebuah pangonong; yaitu kayu penghubung antara kedua sapi untuk diperagakan. Kontes sapi sonok diadakan sebagai upaya untuk lebih memperkenalkan tradisi khas Madura ke masyarakat luas, di luar pulau Madura. Sapi-sapi unggul dari berbagai penjuru pulau Madura bersiap mengikuti kontes sapi sonok di tengah kondisi geografis pulau Madura yang kering dan tandus namun masyarakat di Pulau Madura tetap dapat menghasilkan sapi yang berkualitas yang mampu mengangkat harkat sapi Madura. Secara ekonomi, harga sapi sonok menjadi semakin mahal dengan adanya pengakuan hak paten dari Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada tahun 2009 (Fauzani, 2009).

136

Page 4: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Karakteristik Sapi Karapan dan Sistem Pemeliharaannya fanatisme pemilik

sapi karapan terhadap eksistensi sapi Madura merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan. Kriteria sapi karapan yang baik diantaranya : (i) badannya panjang tetapi

kakinya pendek, atau sebaliknya kakinya panjang tetapi badannya pendek; (ii) badan

atletis; (iii) dada lebar dan dalam; (iv) kulit tipis; (v) bentuk badan kekar; (vi) kaki (lingkar

metacarpus dan metatarsus) bentuknya pipih; (vii) kondisi perut tidak buncit; (viii) ekor

seperti cambuk dan (ix) telinga kecil (Ma’sum, 1992). Berbagai kriteria tersebut hanya ada

pada sapi Madura murni terutama yang berasal dari Pulau Sepudi Kabupaten Sumenep

yang sejak lama dikenal sebagai wilayah penghasil sapi karapan. Alasan lain dijadikannya sapi Madura jantan sebagai sapi karapan adalah

karena memiliki karakteristik berukuran tubuh sedang serta bertulang bagus tapi berotot. Tanduknya kecil, tidak bengkok ke belakang seperti sapi Bali, tetapi ke samping dan ke atas. Kaki dan teracak cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja tarik yang berat. Gumba berkembang baik pada sapi jantan tetapi lebih lebar pada pangkalnya, serta terdapat lingkaran putih di sekitar moncong. Gumba, leher dan paha pada sapi jantan berwarna lebih gelap (Suin, 2001).

Gambar 1. Sepasang sapi karapan

sedang berlaga

Sumber: news.detik.com

Pemeliharaan sapi karapan memiliki banyak keunikan. Sapi dimandikan tiga kali

sehari; pagi dan sore dengan air mentah serta pada malam harinya menggunakan air

hangat. Air minum hanya diberikan satu kali sehari sekitar 2-4 liter per ekor. Pemberian

pakan dibatasi agar tidak berlebihan, keadaan ini diimbangi dengan berbagai suplemen.

Berbagai ramuan alami yang biasa diberikan antara lain : campuran dari bawang putih,

jahe dan cuka dengan tujuan untuk mengurangi kadar lemak yang berlebihan dalam tubuh

sapi. Lengkuas (laos) untuk mengurangi kecepatan aliran darah yang mengalir akibat luka

saat dikerap. Disamping itu juga diberikan bahan-bahan lain seperti : kunci, kencur, kelapa

tua, gula merah, temulawak dan kopi. Pemberian ramuan tersebut di atas setiap 2 hari

yang dicampur dengan telur ayam kampung (Suin, 2001). 137

Page 5: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

EKSISTENSI SAPI SONOK DALAM MENDUKUNG UPAYA PEMURNIAN SAPI MADURA

Dalam perkembangannya sapi sonok bukan hanya menjadi perekat hubungan

sosial, namun juga memiliki makna budaya dan teknologi. Bagi masyarakat di Pulau

Madura sapi sonok telah menjadi kebanggan tersendiri. Bupati Pamekasan telah

mendapatkan penghargaan sebagai salah satu kepala daerah yang memiliki kepedulian

yang tinggi atas pelestarian budaya karena komitrnennya untuk melestarikan sapi sonok. Dari aspek sosial, sapi sonok mendekatkan hubugan sosial masyarakat Madura,

sementara itu dari aspek budaya menjadikan sapi sonok sebagai sebuah hasil kreasi masyarakat yang menjadi kebanggaan serta sebagai salah satu aset wisata. Ditinjau dari aspek teknis, maka lahir suatu teknologi untuk membibitkan sapi yang berkualitas dan menjaga kelestarian serta kemurnian spesies atau bangsa sapi Madura.

Kriteria sapi sonok yang baik memiliki postur tubuh sapi yang besar, berpunuk besar, lingkar dada lebar, bulu ekor hitam, badan panjang, kulit berwarna merah bata, jinak, dan memiliki tanduk rapi melengkung berbentuk huruf “U”. Penilaiannya juga dilakukan berdasar seleksi genetis atau berasal dari perkawinan antara indukan sapi sonok unggulan yang dihasilkan baik melalui kawin alam maupun inseminasi buatan. Dengan asumsi jika induknya sapi sonok dikawinkan dengan pejantan sapi Madura atau pemacek unggulan, maka akan menghasilkan turunan (pedet betina) yang tidak jauh berbeda dengan performans induknya (Fauzani, 2009).

Gambar 2. Sepasang sapi sonok

Gambar 3. Kontes sapi sonok

Sumber: Loka Penelitian Sapi Potong Sumber: Loka Penelitian Sapi Potong

Sebagaimana halnya pada sapi karapan, sapi sonok juga membutuhkan

perawatan ekstra agar benar-benar menjadi sapi unggul. Sebulan sekali pemilik sapi memberikan jamu berupa adonan tepung jagung dicampur gula jawa, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa, dan telur. Dua kali sebulan sapi sonok juga diberi susu segar dicampur 25 butir kuning telur. Sapi sonok dirawat ekstra sejak berumur tiga

bulan. Sapi-sapi tersebut dilatih berdiri tegak di tempat pengikatan khusus antara pukul 15.00 dan 18.00 WIB. Dengan demikian, sapi-sapi itu terbiasa berjalan dengan posisi tegak dan kelihatan anggun. Agar kulit sapi bersih dan mengkilap, sapi sonok

dimandikan dua kali sehari. Kandang sapi dijaga selalu bersih (Anonimus, 2012). 138

Page 6: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN

Karapan sapi dan kontes sapi sonok merupakan dua jenis budaya yang telah

lama eksis dan berkembang di Pulau Madura. Adanya dua jenis kebudayaan tersebut

telah melahirkan sebuah komitmen dan tekad yang bulat bagi masyarakat Madura

terutama bagi penggemar sapi karapan dan sapi sonok serta pemerintah daerah untuk

secara berkesinambungan melakukan pemurnian sapi Madura disamping sebagai

upaya untuk melestarikan aset wisata di Pulau Madura.

DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2012. “Sapi Sonok”, Aset Wisata Madura. Diambil dari

http://go.girilaya.com/7dvmns. Ashari, T. dan C. Liem. 1992. Karakteristik Sapi Madura dalam Perbandingannya

dengan Ruminansia Besar Lainnya dan Peluang Pengembangannya. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Pasuruan: 79-83.

Fauzani, F. 2009. Tradisi Kontes Sapi Sonok di Madura. Ethnography of Madura. Diambil dari http://jakarta45.wordpress.com/2009 (25 Oktober 2009).

Harmadji. 1992. Prospek Pengembangan Sapi Madura. Prosiding Pertemuan Ilmiah

Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian

Ternak Grati. Pasuruan: 59-65. Hasan, F. 2012. Dampak Sosial Ekonomi Pergeseran Nilai Budaya Karapan Sapi. Jurnal

Sosial Ekonomi Pertanian (SEPA) : Vol. 8 No. 2 Pebruari 2012 : 75-82. Huitema, H. 1986. Peternakan di Daerah Tropis, Arti Ekonomi dan Kemampuannya.

Penelitian di Beberapa Daerah di Indonesia. Terjemahan. Peni Hardjosworo. Yayasan Obor Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta.

Ma’sum, K. 1992. Hasil Penelitian Sapi Madura di Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Pasuruan: 45-54.

Musofie, A., N.K. Wardhani dan M.A. Yusran. 1992. Respon Sapi Madura terhadap Perbaikan Pakan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Pasuruan: 172-178.

Santoso, B.I. 2006. Karapan Sapi di Pulau Madura dari Aspek Komunikasi dan Aspek Local Wisdom pada Sektor Pertanian. Makalah Sain dan Filsafat (Tidak dipublikasikan).

Siregar, A.R. 1992. Program Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sapi Madura di Pulau Madura. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Pasuruan: 193-197.

Suin, M. 2001. Studi Banding Ukuran Tubuh Sapi Karapan dan Non Karapan di Kabupaten Sampang Madura. Skripsi Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

139

Page 7: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Surjoatmodjo, M. 1992. Asal Usul Sapi Madura Ditinjau dari Hasil Pengukuran

Bagian-Bagian Tubuhnya. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan

Pengembangan Sapi Madura. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Pasuruan:

86-91.

140

Page 8: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Eksrak Tumbuhan Kehutanan Sebagai Insektisida Nabati

Extracts of Forestry Plant as Bioinsecticides

M.Thamrin*)

dan S.Asikin Balai

Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel

*)Penulis untuk korespondensi: Telp/Fax: +625114772534 /

+625114773034 Email: [email protected]

ABSTRACT

The use of synthetic insecticides that have a negative impacton the environment has

been widely reported. For the synthetic insecticide which is an important component of

integrated pest management needs to look for alternatives, one of which is to make use of

toxic compounds found in plants. Several studies suggest that the majority of plants there

are toxic to insect pests, because they have a group of secondary metabolites containing

various bioactive compounds. This paper aims to provide information about the potential

of bioinsecticide derived from forest plants are effective in controlling insect pests.

Kepayang plants effectively kills the diamond back moth larvae with mortality of 66% -

81%, bintaro plants effectively kill the army worm larvae with mortality of 85%-95%,

gelam plants effectively kills plusiacaterpillars with mortality of 70%-85%, jingah plants

effectively kills army worm larvae, plusia caterpillars, fruit worms and tritip caterpillars

with mortality of 70%-90%, jengkol and kalalayu plants effectively kill plusia caterpillars

with mortality respectively 70% and 80%. Thus six plant species have the potential as

bioinsecticides. Keywords: Extracts of forestryplant, Bioinsecticides

ABSTRAK

Penggunaan insektisida sintetik yang berdampak negatif terhadap lingkungan telah

banyak dilaporkan. Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting

dalam pengendalian hama terpadu perlu dicari alternatifnya, salah satunya adalah

memanfaatkansenyawaberacun yang terdapat pada tumbuhan. Beberapa hasil penelitian

menyatakan bahwa sebagian tumbuhan ada yang bersifat toksik terhadap hama serangga,

karena mempunyaikelompokmetabolitsekunder yang

mengandungberbagaisenyawabioaktif. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi

tentang potensi insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan kehutanan yang efektif

mengendalikan hama serangga. Tumbuhan kepayang efektif membunuh larva ulat kubis

dengan mortalitas 66%-81%, tumbuhan bintaro efektif membunuh larva ulat grayak

dengan mortalitas 85%-95%, tumbuhan gelam efektif membunuh larva ulat plusia dengan

mortalitas 70%-85%, tumbuhan jingah efektif membunuh larva ulat grayak, ulat plusia,

ulat buah dan ulat tritip dengan mortalitas 70%-90%, tumbuhan jengkol, dan kalalayu

efektif membunuh larva ulat plusia dengan mortalitas masing-

141

Page 9: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 masing70%dan 80%. Dengan demikian keenam jenis tumbuhan tersebut berpotensi

sebagai insektisida nabati. Kata kunci: Ekstrak tumbuhan hutan, Bioinsektisida

PENDAHULUAN

Insektisida sintetik tidak hanya berdampak negatif terhadap kehidupan serangga

tetapi juga sistem flora dan fauna serta kesehatan manusia (Manuwoto1999). Insektisida

sintetik juga memiliki sifat non spesifik karena dapat membunuh organisme lain

diantaranya adalah musuh alami yang harus dipertahankan keberadaannya (Arinafril dan

Muller 1999; Thamrin et al. 1999). Dampak lainnya adalah terjadinya resistensi hama

terhadap insektisida sehingga insektisida tersebut tidak lagi efisien digunakan karena

penggunaan selanjutnya akan meningkatkan biaya pengendalian dan mortalitas organisme

bukan sasaran, serta menurunkan kualitas lingkungan (Laba et al. 1998). Hutanmempunyai keanekaragaman flora yang darisatu tempatketempat lainnya

berbeda.Diperkirakanterdapat 10.000 jenispohon dalam hutan tropika di Indonesia,diantaranya sekitar 3.000 jenispohonterdapatdi pulau Kalimantan (Suhendang 2002). Dari tumbuhanhutantersebutsebagianada yang dapatdigunakansebagaibahanpestisidanabati.Sedikitnya 2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk terhadap organisme pengganggu tanaman (Prakash dan Rao 1977; Grainge dan Ahmed 1987). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat berfungsi sebagai insektisida dan repelen(Campbell 1933; Burkill1935).

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang potensi ekstrak tumbuhan kehutanan seperti kepayang(Pangum edule), bintaro(Cerbera odollam), gelam(Melaleuca cajuputi), jingah (Glutha rengas), jengkol (Pithecellobium lobatum), dan kalalayu (Eriogiosum rubiginusum) yang efektif mengendalikan beberapa jenis hama serangga.

EFIKASI EKSTRAK TUMBUHAN

Tumbuhan Kepayang. Tumbuhan kepayang adalah pohon yang tingginya

mencapai 10-40 m dengan diameter batang mencapai 2,5 m (Gambar 1). Biji kepayang

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng alternatif karena

mengandung asam lemak, lenoleat, dan oclat yang cukup tinggi (Taufik, 2000). Heyne

(1987) menyatakan bahwa bijikepayang yang masih muda dapat dipakai sebagai pestisida.

Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian pohon

kepayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat digunakan sebagai

bahan pencegah busuk (pengawet) dan senyawa pembunuh serangga. Efikasi ekstrak tumbuhan kepayang terhadap hama ulat kubis (Plutella

xylostella)ternyata mampu membunuh larva dari hama tersebut berkisar 66%-81% pada saat 48 dan 60 jam setelah infestasi (Tabel 1). Kematian larva tersebut diduga disebabkan oleh senyawa pyrethrin, karena menurut Thamrin (2009), salah satu

142

Page 10: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 senyawa yang terkandung dalam tumbuhan kepayang adalah pyrethrin. Menurut

George (1983), pyrethrin dapat mempengaruhi sel syaraf dan menggangu fungsi otot

sehingga otot menjadi kejang-kejang, akhirnya terjadi gejala paralisis yang diikuti

dengan kematian. Walaupun demikian, pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu

serangga dapat pulih kembali apabila jumlah pyrethrin yang meracuni masih di bawah

ambang toleransi serangga.

Sumber: M. Thamrin Gambar 1. Tumbuhan kepayang muda

Tabel 1.Efikasi ekstrak beberapa jenis tumbuhan terhadap mortalitas ulat

kubisdiLaboratorium Hama dan Penyakit Balai Penelitian Pertanian

Lahan Rawa (Balittra)

Jenis tumbuhan Waktu pengamatan

24 jsi 36 jsi 48 jsi 60 jsi

Kepayang 15 30 66 81

Lagundi (Vitex negundo) 3 36 47 51

Tapak Leman (Elephantophus scraber) 2 19 27 39

Jambu Mente (Anacardium occidentale) 2 30 34 38

Sembung (Blumea balsamifera) 2 21 25 51

Anggrung (Trema orientalis) 3 15 37 56

Pembanding 1 (tanpa insektisida) 0 0 0 0

Pembanding 2 (lamda sihalotrin) 100 100 100 100

Keterangan: jsi = jam setelah infestasi larva Sumber: Asikin dan Thamrin (2010a)

Tumbuhan Bintaro. Tumbuhan bintaro berbentuk pohon, tinggi 4-6 meter,

batang tegak dan berkayu. Daun berwarna hijau tua mengkilat, berbentuk lonjong, tepi

rata, ujung dan pangkal meruncing, tipis, licin, bertulang menyirip, panjang 15-20 cm

143

Page 11: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dan lebar 3-5 cm. Bunga terdiri atas lima petal dengan mahkota berbentuk terompet

yang pangkalnya berwarna merah muda dan berbau harum. Buah berbentuk bulat telur

dengan panjang sekitar 5-10 cm, buah muda berwarna hijau pucat dan berubah

menjadi merah cerah apabila matang (Gambar 2).Heyne (1987) melaporkan bahwa biji bintaro mengandung racun yang dapat menyebabkan sesak nafas yang berat

bahkan dalam dosis yang tinggi dapat mematikanhewan atau manusia, sedangkan

Tarmadi (2007) melaporkan bahwa ekstrak kulit dan daun bintaro mempunyai efek mortalitas terhadap rayap.

Ekstrak biji, daging buah, dan daun bintaro memberikan efek bersifat agak lemah hingga agak kuat terhadap mortalitas larva dari ulat grayak. Pada konsentrasi rendah, ekstrak tersebut menyebabkan mortalitas larva sebesar 35%-40%, tetapi pada konsentrasi tinggi, ekstraknya dapat menyebabkan kematian larva 85,0%-95,0%. Mortalitas larva tertinggi adalah pada ekstrak bagian daun (Gambar 3). Daun bintaro mengandung saponin yang dapat mengikat sterol dalam saluran makanan, mengakibatkan penurunan laju sterol dalam hemolimfa. Peran sterol bagi ulat grayak adalah sebagai prekusor hormon ekdison. Penurunan persediaan sterol ini sangat menggangu proses pergantian kulit serangga, sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu juga mengandung steroid yang memiliki efek menghambat perkembangan serangga (Utami 2011). Steroid pada tumbuhan memiliki fungsi protektif, misalnya fitoekdison sehingga steroid dapat menghambat proses pergantian kulit larva (Yunita et al. 2009).

Sumber: M. Thamrin

Gambar 2. Pohon dan buah bintaro

144

Page 12: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014

Sumber : Asikin dan Thamrin (2010b) Gambar 3. Efikasi ekstrak tumbuhan bintaro terhadap mortalitas

ula t grayak dengan konsentrasi yang berbeda

Tumbuhan Gelam. Tumbuhan gelam disebut tumbuhan kayu putih yang

termasuk dalam famili Myrtaceae. Tumbuhan ini berakar serabut, dan secara alami tumbuh di hutan rawa hingga mencapai tinggi 40 m dengan diameter kuran g lebih 35 cm (Gambar 4). Kulit batang gelam berlapis-lapis, berwarna putih keabu-ab uan

dengan permukaan kulit berwarna putih yang terkelupas tidak beraturan. Daunny a tunggal, lancip, helaian berbentuk jo rong atau lanset, strukturnya agak tebal seperti kulit, bertangkai pendek, letak berse ling, panjangnya 4,5-15,0 cm, lebar 0,8-4,0 cm, ujung dan pangkalnya runcing atau agak bulat, tepi rata, tulang daun sejajar berbentuk

tombak (Gambar 5). Permukaan daunnya berambut, berwarna hijau kelabu sa mpai hijau kecoklatan. Bila daun diremas atau dimemarkan akan berbau minyak kayu putih.

Menurut Thamrin et al (2007), efikasi beberapa bahan nabati yang dilakukan terhadap ulat plusia, terlihat bahwa gelam adalah bahan nabati yang paling efektif dibandingkan dengan bahan nabati lainnya, karena mampu membunuh ulat plusia dengan mortalitas 80,0% pada saat 72 jam setelah infestasi (Tabel 2), sedangkan penelitian yang dilakukan seb elumnya juga efektif membunuh larva yang sama dengan mortalitas 85% (Tabel 4).

Daun gelam mengandung sekitar 1,3% minyak atsiri dengan kandungan 14%-27% sineol dan aldehid. Selain itu mengandung 1-limonena, dipentena, ses kueterpena, azulen, seskueterpen alkohol, valeraldehid dan benzaldehida. Dipentena dan sineol, merupakan senyawa monoterpenoid yang dapat bekerja sebagai pestisida atau berdaya racun terhadap hewan tinggi, begitu juga seskuiterpenoid, azulen dan minyak atsiri dapat bekerja sebagai pestisida (Duke 1991).

145

Page 13: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Sumber: M.Thamrin Sumber: M. Thamrin

Gambar 4. Pohon gelam Gambar 5. Daun gelam

Tumbuhan Jingah. Tumbuhanjingahberbentukpohon, tinggi 4-10 meter, batang

tegak, berkayu dengan bintik-bintik hitam, dan bergetah. Daun berwarna hijau tua,

berbentuk memanjang, tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, bertulang menyirip,

panjang 10-15 cm dan lebar 3-5 cm. Ekstrak daun jingah efektif membunuh ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan

ulat tritip dengan mortalitas larva berkisar 75,0%-90,0% (Tabel 3), sedangkan penelitian sebelumnya mampu membunuh ulat plusia dengan mortalitas 70% (Tabel 4). Kematian larva tersebut diduga disebabkan terdapatnya metabolit sekunder yang bersifat racun terhadap serangga. Menurut Prosea (2002), tumbuhan jingah mengandung senyawa golongan steroid, lipid, benzenoid dan flavonaloid. Sedangkan getahnya mengandung senyawa ursiol, rengol, glutarengol, laccol, dan thitsiol. Racun dari getah ini sering digunakan untuk berburu binatang karena sifatnya dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit.

Tumbuhan Jengkol. Tanaman jengkol berupa pohon dengan tinggi mencapai

10-26 m. Buahnya berupa polong berbentuk gepeng dan berbelit. Warna buah jengkol

lembayung tua. Setelah tua, bentuk polong buahnya menjadi cembung dan di tempat

yang mengandung biji ukurannya membesar. Tiap polong dapat berisi 5-7 biji jengol.

Bijinya berkulit ari tipis dan berwarna cokelat mengilap (Gambar 6). Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Asikin dan Thamrin (2006),

ekstrak kulit biji jengkol efektif membunuh larva dari ulat plusia dengan mortalitas 70% (Tabel 4). Hal ini diduga bahwa kulit biji jengkol mengandung metabolit sekunder yang bersifat racun terhadap hama serangga. Biji jengkol mengandung alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin, sedangkan daunnya mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Setianingsih1994). Alkaloid, terpenoid dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan toksik (Smith 1989 Dalam Nursal dan Sireger 2003).

Tumbuhan Kalalayu. Tumbuhan kalalayu berbentuk pohon dengan

ketinggian antara 4-6 m, bentuk buah bulat telur berwarna hijau (Gambar 7) kemudian

berubah kemerahan, dan yang yang matang berwarna ungu sampai hitam. Masyarakat

Dayak dan Banjar menggunakan buahnya yang matang untuk obat sakit perut.

146

Page 14: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Hasil pengujian Asikin dan Thamrin (2006), ekstrak daun kalalayu efektif

membunuh larva dari ulat plusia dengan mortalitas 80% (Tabel 4). Menurut Asikin

dan Thamrin (2010) tumbuhan kalalayu diduga mengandung senyawa saponin karena

cairan ekstraknya banyak mengeluarkan busa seperti sabun.

Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Jering Gambar 6. Pohon dan buah jengkol

Sumber: M. Thamrin Gambar 7. Pohon dan buah kalalayu

Tabel 2. Efekasi insektisida berbahan nabati terhadap mortalitas ulat

plusia diLaboratorium Hama Penyakit Balittra

JenisTumbuhan Mortalitas larva (%)

12 jsi 24 jsi 36 jsi 48 jsi 72 jsi

Gelam 0 16,7 26,7 70,0 80,0

KayuSapat 0 0 3,3 16,7 16,7

Salasih 0 0 6,7 20,0 20,0

Insektisidasintetik 50 73,3 83,3 100 100

Tanpa insektisida 0 0 0 3,3 3,3

Keterangan: jsi = jam setelah infestasi Sumber: Thamrinet al. (2007)

147

Page 15: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tabel3. Efekasi ekstrak daun jingah terhadap mortalitas ulat grayak, ulat plusia,

Ulat buah dan ulat tritip diLaboratorium Hama Penyakit Balittra

ahunPengujian

Mortalitas larva (%)

Ulatgrayak Ulatplusia Ulatbuah Ulattritip

Tahun 2007 80,0-85,0 80,0-90,0 75,0-85,0 80,0-90,0

Tahun 2009 80,0-87,5 80,0-90,0 80,0-90,0 80,0-90,0

Tahun 2010 85,0-90,0 80,0-90,0 82,5-90,0 82,5-90,0

Sumber: Asikin (2011)

Tabel 4. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap

mortalitas ulat plusia di Laboratorium Hama

Penyakit Balittra Perlakuan Mortalitas (%)

Gelam 85 Kalalayu 80 Jingah 70 Jengkol 70 Kontrol 1 (lamda sihalotrin) 100

Kontrol 2 (tanpa dikendalikan) 10

Sumber : Asikin dan Thamrin (2006)

KESIMPULAN

Ekstrak tumbuhan kepayang, bintaro, gelam, jingah, jengkol dan kalalayu

efektif membunuh larva dari beberapa jenis hama serangga, sehingga keenam jenis

tumbuhan tersebut berpotensi sebagai insektisida nabati.

DAFTAR PUSTAKA Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas Biokimia Ekstrak Mimba terhadap

Perkembangan Plutela xylostella. Prosiding Seminar Nasional: Peranan

Entomologi dalam Pengendaian Hama yang Ramah Lingkungan dan

Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p. 381-386. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2006. Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah

Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan S.S. Antarlina (Ed). 73-86. Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Asikin. S. dan M.Thamrin. 2010a. Efikasi bahan tumbuhan terhadap hama sawi (Plutella xylostella). Dalam Sutimanet al. (Eds). Proceeding National Conference on Green Technology for Better Future. Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahin Malang.

148

Page 16: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Asikin. S., dan M.Thamrin. 2010b. Pengendalian ulat grayak Spodoptera litura

dengan menggunakan ekstrak bahan tumbuhan. Prosiding Seminar Nasional

Perlindungan Tanaman, Bogor 5 - 6 Agustus 2009. Strategi Perlindungan

Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global Dan Sistem Perdagangan

Bebas. Hal. 180 - 192. Asikin. S. 2011. Flora rawa sebagai pengendali OPT dan penyakit tanaman. Prosiding

Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. Bandung 16 - 17 Pebruari 2011. Hal 83 - 96.

Burkill, J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninculla. Government of the Straits Settlement.Milbank.London S.W. 340 hal.

Campbell, F.L., and W.W. Sullivan.1933. The relative toxicity of nicotine, methyl anabasine and lupinine for culicine mosquito larvae. J.Con. Entomol. 26 (3) : 910-918.

Duke. J. A. 1991. CRC Handbook Of MidiCinal Herb. Florida. George, W.W. 1983. Modes of action for insecticides. Pesticides: Theory and

Application. The British Crop Protection Council.p. 145-148. Grainge, M and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties.

New York: J. Wiley. 470 pp. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan

Jakarta. Penerjemah. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Laba, I.W., D. Kilin dan D. Soetopo. 1998. Dampak penggunaan insektisida dalam

pengendalian hama. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. XVII No. 3:99-107.

Nursal dan E.S. Siregar. 2005. Kandungan senyawa kimia ekstrak daun lengkuas (Lactuca indica L) toksisitas dan pengaruh subletalnya terhadap nyamuk Aedes Aegypty L. Univ. Sumatera Utara. Medan, htt:// www.kemahasiswan.its.ac.id/, diakses tanggal 5 Maret 2007.

Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 1-12. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.

Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers.

Prosea. 2002.Plant Resources of South-East Asia 12 Medicinal and Poisonous Plants2.Prosea. Bogor. Indonesia.

Setianingsih, E. 1994. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta. Suhendang. E. 2002. Pengantar ilmu kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas

Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Tarmadi, D., A.H. Prianto, I. Guswenrivo, T. Kartika, S. Yusuf. 2007. Pengaruh

ekstrak bintaro dan kecubung terhadap rayap tanah. J. Trop. Wood Scie. & Tech. Vol 5 No 1 2007.

Taufik, M. 2000. Penentuan kadar asam lemak dan sianida serta kualitas minyak dari daging buah picung (Pangium edule Rein W.). http://digilib.itb.ac.id/go. (8 Oktober 2008).

149

Page 17: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Thamrin, M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk

pengendalian ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan sayuran di

lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan. Kerjasama antara Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya lahan Pertanian dengan

Lembaga Riset dan Teknologi. 14p. Thamrin, M., M. Willis dan S. Asikin. 1999. Parasitoid dan predator penggerek batang

padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Dalam Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 175-181. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.

Thamrin, M., S. Asikin, Mukhlis dan A. Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. 31-48. Dalam Supriyo, A., M. Noor, I. Ar-Riza dan D. Nazemi (Ed). Keanekaragaman Flora dan Buah-buah Eksotik Lahan Rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Utami, S. 2011. Bioaktivitas insektisida nabati bintaro (Cerbera odollamGaertn.) sebagai pengendali hama Pteroma plagiophleps Hampson Dan Spodoptera litura. Institut Pertanian Bogor.

Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 ekstrak pucuk daun kepayang (Pangium edule Rein W.) terhadap ulat pemakan daun kubis (Plutella xylostella Linn.). Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

Yunita, J.E.A., N.H. Suprapti, J.S. Hidayat. 2009. Ekstrak daun teklan(Eupatorium riparium) terhadap mortalitas dan perkembangan Aedes aegyptii. Hioma Vol 11 No 1: 11-17

150

Page 18: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Produktivitas Galur Padi di Lahan Lebak Provinsi Sumatera Selatan

Rice Lines Productivity In Lowland Swamp South Sumatra Province

Suparwoto *)

, Waluyo dan Usman Setiawan1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi: 082175323647

email: [email protected]

ABSTRACT

This research collaboration Rice Research Institute with the Institute for

Agricultural Technology South Sumatra . This research was conducted at the experimental Kayuagung, Ogan Komering Ilir, South Sumatra Province , began in the dry season of 2013. The purpose of this study was to obtain some strains candidate varieties with high yield potential, look good, early maturity to moderate, has quality rice / rice well and ready to removed. Lines / varieties studied as much as 9 lines and 3 varieties for comparison, namely : Inpara 2, IR 42 and Martapura . The study is based on randomized complete block design with four replications , broad swath of 4 m x 5 m , a spacing of 25 cm x 25 cm , 40 days after seedlings, planted 2-3 seeds / hole . Fertilizers used 150 kg of urea , 100 kg SP - 36 and 100 kg KCl / ha Fertilization is done 2 times that at 10 days after transplanting with a rate of 75 kg of urea , 100 kg SP - 36 and 100 kg KCl / ha and at the age of 4 weeks after planting with a rate of 75 kg urea / ha, given are deployed . The variables measured were : plant height , number of productive tillers, harvesting, number of grains per panicle, percentage of filled grains per panicle, weight of 1000 grains and dry milled grain yield / plot after removed the line edge . Analysis of data using analysis of variance , followed by Duncan test at 5% level . The results showed that the grain yield of the strains studied everything is not significantly different from IR 42 and Martapura for comparison except Inpara 2. Lines that have grain yield over the IR 42 ( 2.65 tons/ ha ) is B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (2,70 tons/ha), B11377F-MR-34-2 (2,70 tons/ha), BMIP-46-4-1 (2,75 tons/ha), dan IR84941-12-1-2 (2,75 tons /ha).

Keywords: lines of rice, productivity, lowland swamp

ABSTRAK

Penelitian ini kerjasama Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Penelitian ini dilaksanakan di

Kebun Percobaan Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera

Selatan, dimulai pada musim kemarau tahun 2013. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi,

berpenampilan baik, umur genjah sampai sedang, memiliki mutu beras/nasi baik dan siap untuk dilepas. Galur/varietas yang diteliti sebanyak 9 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : Inpara 2, IR 42 dan Martapura. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan, luas petak 4 m x 5 m, jarak

151

Page 19: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 tanam 25 cm x 25 cm, umur bibit 40 HSS, ditanam 2-3 bibit/rumpun. Pupuk yang digunakan 150 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan dilakukan 2 kali yaitu pada umur 10 hari setelah tanam (HST) dengan takaran 75 kg urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha dan pada umur 4 minggu setelah tanam (MST) dengan takaran 75 kg urea/ha, diberikan secara disebar. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, bobot 1000 butir gabah dan hasil gabah kering giling/petak setelah dihilangkan satu baris pinggir. Analisis data menggunakan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Hasil menunjukkan bahwa hasil gabah dari galur-galur yang diteliti semuanya tidak berbeda nyata dengan IR 42 dan Martapura sebagai pembanding kecuali Inpara 2. Galur yang mempunyai hasil gabah di atas IR 42 (2,65 ton gkg/ha) adalah galur B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (2,70 ton gkg), B11377F-MR-34-2 (2,70 ton gkg), BMIP-46-4-1 (2,75 ton gkg), dan IR84941-12-1-2 (2,75 ton gkg).

Kata kunci : Galur padi, produktivitas, rawa lebak

PENDAHULUAN

Upaya untuk meningkatkan produksi beras terus dilaksanakan guna mencapai swasembada beras baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Secara intensifikasi diantaranya memperbaiki varietas dengan mendapatkan galur-galur yang mempunyai potensi hasil tinggi, umur genjah, toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik serta adaptif terhadap lingkungan setempat. Secara ekstensifikasi diantaranya membuka lahan dengan memanfaatkan lahan rawa, khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian tanaman pangan. Peningkatan kebutuhan pangan secara

ekstensifikasi maupun intensifikasi diarahkan di luar pulau Jawa karena memungkinkan untuk peningkatan tersebut diantaranya Provinsi Sumatera Selatan. Lahan lebak di Sumatera Selatan yang sudah dimanfaatkan sekitar 368.690 ha dari 2,98 juta ha sehingga masih mempunyai potensi untuk meningkatkan usaha tanaman pangan diantaranya padi (Puslitbangtanak, 2002 dalam Waluyo et al., 2010).

Pada tahun 2013 luas panen padi di Sumatera Selatan mencapai 800.036 ha dengan rata-rata produktivitas 4.59 ton/ha dan secara nasional sudah mencapai 5.15 ton/ha (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2013). Rendahnya produktivitas ini akibat petani menggunakan varietas unggul tidak berlabel hasil perbanyakan sendiri, dan penggunaan pupuk sangat tergantung dengan keadaan ekonomi petani. Selain itu rendahnya produktivitas disebabkan juga oleh penggunaan varietas yang sama dari musim ke musim tanam dan penurunan kualitas sumberdaya lahan. Dengan keterbatasan varietas untuk lahan rawa lebak maka petani menggunakan varietas yang ada dengan perbanyakan sendiri dari musim ke musim sehingga hasil yang dicapai kurang memuaskan. Umumnya petani menanam padi hanya satu kali dalam setahun pada musim kemarau sehingga sering terjadi kekeringan untuk lebak dangkal dan lebak tengahan. Selain itu genangan air yang tinggi juga akan menghambat penanaman sehingga penyemaian padi dilakukan sampai dua kali semai. Oleh sebab itu bibit yang ditanam sudah berumur lebih dari 30 hari setelah semai.

152

Page 20: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Kemudian teknologi yang digunakan petani masih relatif sederhana, masih banyak

penggunaan varietas lokal, varietas unggul tidak berlabel, dan penggunaan pupuk sangat

tergantung dengan keadaan ekonomi petani. Menurut Arifin et al., (1999) mengatakan

bahwa varietas yang ditanam secara terus-menerus dalam skala luas akan menimbulkan

hama/penyakit (strain baru) sehingga dapat menurunkan resistensi tanaman, berkurangnya

produksi bahkan gagal panen. Selain itu, kesuburan tanah yang rendah, kemasaman tanah,

keracunan dan defisiensi hara juga merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak.

Pada umumnya petani menanam padi hanya satu kali dalam setahun pada musim kemarau,

dimana penanaman padi dilakukan setelah air pada rawa lebak dangkal mulai menyurut

dan selanjutnya diikuti oleh lebak tengahan dan dalam. Bila pada lahan lebak dalam,

genangan air masih dalam biasanya tidak ditanami. Penanaman varietas padi yang adaptif

pada lahan sawah lebak adalah salah satu upaya penting yang perlu ditempuh sehingga

produktivitasnya lebih tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit utama dan mempunyai

kualitas beras yang baik. Dikemukakan oleh Daradjat (2001), varietas unggul merupakan

salah satu komponen teknologi yang memiliki peran nyata dalam meningkatkan produksi

dan kualitas hasil komoditas pertanian. Selanjutnya menurut Soewito et al. (1995), selama

ini sumbangan varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional cukup besar.

Dengan terbatasinya varietas padi rawa maka Balai Besar Penelitian Tanaman Padi terus

mencari varietas padi yang punya potensi hasil tinggi melalui uji coba galur-galur padi

guna meningkatkan produksi. Dengan demikian galur-galur hasil dari Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi perlu diteliti di lahan rawa lebak. Adapun tujuan dari penelitian

ini untuk mendapatkan beberapa galur calon varietas yang memiliki potensi hasil tinggi,

berpenampilan baik, dan umur genjah sampai sedang.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayu Agung, Kabupaten Ogan

Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, dimulai pada musim kemarau tahun 2013.

Galur/varietas yang diteliti sebanyak 9 galur dan 3 varietas pembanding (Tabel 1). Tabel 1. Daftar galur harapan yang diuji di lahan rawa lebak tahun 2013

No Galur/varietas Asal Sifat utama 1 IR84941-12-1-2 BB Biogen Toleran Fe 2 IR83835-95-1-1-3 BB Biogen Toleran Fe 3 BMIP-46-4-1 BB Biogen Toleran Fe 4 AGH42-2-3 IPB Toleran Fe 5 AGH43-1-2 IPB Toleran Fe 6 GH137-7-SKI-B Balitra Toleran Fe 7 BB Padi Tahan HDB, Toleran

B11377F-MR-34-2 Fe 8 BB Padi Tahan RTV, Toleran

B11586F-MR-11-2-2 Fe 9 BB Padi Hasil tinggi, Toleran

B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 Fe

10 IR 42 Pembanding

153

Page 21: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

No Galur/varietas Asal Sifat utama 11 Inpara 2 Pembanding

12 Martapura Pembanding

Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) dengan

empat ulangan, luas petak 4 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, umur bibit 40 HSS,

ditanam 2-3 bibit/rumpun. Pupuk yang digunakan 150 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100

kg KCl/ha. Pemupukan dilakukan 2 kali yaitu pada umur 10 hari setelah tanam (HST)

dengan takaran 75 kg urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha dan pada umur 4 minggu

setelah tanam (MST) dengan takaran 75 kg urea/ha, diberikan secara disebar. Persemaian dilakukan dua kali pindah. Pemberantasan hama dan penyakit

dilakukan apabila diperlukan sesuai keadaan di lapang. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam, sedangkan penyiangan pertama dan kedua dilakukan masing-masing pada 30 hari dan 60 hari setelah tanam. Bila perlu dilakukan penyiangan ketiga, tergantung keadaan di lapangan. Penentuan sampel dilakukan secara acak, masing-masing varietas sebanyak 5 tanaman. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, umur panen, jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, bobot 1000 butir gabah dan hasil gabah kering giling/petak setelah dihilangkan satu baris pinggir. Analisis data menggunakan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%.

HASIL

Hasil penelitian galur-galur padi di lahan rawa lebak secara statistik

menunjukkan bahwa tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen

berbeda nyata dengan varietas pembanding IR 42, Inpara 2 dan Martapura (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen galur dan

varietas yang diteliti di lahan rawa lebak, MK 2013 No Galur/varietas Tinggi Jumlah Umur panen

tanaman Anakan (80% (cm) Produktif masak)(HST)

(btg) 1 IR84941-12-1-2 112,3 e 12,2 a 87 a 2 IR83835-95-1-1-3 88,4 ab 14,5 b 95 c 3 BMIP-46-4-1 96,6 c 13,5 b 94 c 4 AGH42-2-3 80,4 a 13,7 b 95 c 5 AGH43-1-2 92,1 b 14,7 b 93 bc 6 GH137-7-SKI-B 104,6 d 15,2 b 94 c 7 B11377F-MR-34-2 98,3 c 14,7 b 95 c 8 B11586F-MR-11-2-2 95,9 bc 12,7 b 86 a 9 B10891B-MR-3-KN-4-1- 85,0 a 12,0 a 86 a

1-MR-1

10 IR 42 90,7 b 12,5 b 90 b

11 Inpara 2 97,4 c 13,2 b 93 c

154

Page 22: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 No Galur/varietas Tinggi Jumlah Umur panen

tanaman anakan (80% (cm) produktif masak)(HST)

(btg)

12 Martapura 85,0 a 14,0 b 96 c Rata-rata 93,9 11,1 92

KK (%) 3,4 12,3 2,4 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Komponen hasil dari galur dan varietas yang diteliti secara statistik sebagian

besar menunjukkan bahwa jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan bobot

1000 butir gabah berbeda nyata dengan varietas pembanding (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan bobot 1000

butir gabah galur dan varietas yang diteliti di lahan rawa lebak, MK 2013 No Galur/varietas Jlh % gabah Bobot

gabah/malai isi/malai 1000 butir

(btr) (btr) (gr) 1 IR84941-12-1-2 105 b 85,6 f 30,4 d 2 IR83835-95-1-1-3 111 b 84,8 f 25,7 ab 3 BMIP-46-4-1 111 b 77,6 a 26,8 b 4 AGH42-2-3 102 b 82,2 de 29,5 d 5 AGH43-1-2 93 a 87,3 g 27,1 cd 6 GH137-7-SKI-B 91 a 78,8 ab 25,6 a 7 B11377F-MR-34-2 106 b 80,3 cd 25,6 a 8 B11586F-MR-11-2-2 120 c 86,5 f 28,5 c 9 B10891B-MR-3-KN-4-1-1- 102 b 85,1 f 27,9 bc

MR-1

10 IR 42 108 b 83,4 ef 26,1 b 11 Inpara 2 96 a 80,0 bc 25,6 a

12 Martapura 106 b 80,0 c 25,3 a

Rata-rata 104,25 82,6 27,0

KK (%) 12,3 3,4 4,9 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang

sama berarti tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5% Hasil gabah kering dari galur dan varietas yang diuji secara statistik tidak berbeda

nyata dengan IR 42 dan Martapura kecuali Inpara 2 (Tabel 4).

155

Page 23: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 4. Rata-rata hasil gabah (ton gkg/ha) dari galur dan varietas yang diteliti di

lahan rawa lebak, MK 2013

No Galur/varietas Konversi hasil gabah (ton gkg/ha) 1 IR84941-12-1-2 2,75 b 2 IR83835-95-1-1-3 2,50 b 3 BMIP-46-4-1 2,75 b 4 AGH42-2-3 2,45 b 5 AGH43-1-2 2,60 b 6 GH137-7-SKI-B 2,55 b 7 B11377F-MR-34-2 2,70 b 8 B11586F-MR-11-2-2 2,50 b 9 B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 2,70 b 10 IR 42 2,65 b 11 Inpara 2 0,65 a

12 Martapura 2,80 b Rata-rata 2,46

KK (%) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

PEMBAHASAN

Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa tinggi tanaman dari galur dan varietas yang diteliti berkisar antara 80,4 cm – 112,3 cm, dimana galur IR84941-12-1-2 mempunyai

tinggi tanaman tertinggi 112,3 cm berbeda nyata dengan varietas IR 42, Inpara 2, Martapura dan galur lainnya sedangkan terendah dicapai oleh galur AGH42-2-3 yaitu 80,4 cm, dan galur ini tidak berbeda nyata dengan B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1

dan Martapura. Galur-galur yang diteliti tergolong mempunyai tinggi tanaman yang

rendah di bawah 110 cm kecuali IR84941-12-1-2 (112,3 cm) tergolong sedang (IRRI, 1996). Dikemukakan oleh Asaad dan Warda (2011), tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi dengan pertumbuhan tanaman yang

tinggi tidak menjamin tingkat produktivitasnya. Galur-galur tersebut berpenampilan baik karena tidak ada yang rebah.

Bila dilihat dari jumlah anakan produktif maka galur B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 dan IR84941-12-1-2 tidak berbeda nyata dan mempunyai anakan produktif sedikit 12,0-12,2 batang. Anakan dari galur yang lainnya tidak berbeda nyata dengan .varietas IR 42, Inpara 2 dan Martapura. Jumlah anakan dari galur dan varietas tersebut berkisar 12,7 sampai 15,2 batang dan tergolong sedang. Anakan terbanyak ditunjukkan oleh galur GH137-7-SKI-B (15,2 batang). Deskripsi varietas IR 42 bila tumbuh normal bisa mencapai 20-25 batang pada lahan irigasi, Inpara 2 bisa mencapai 16 batang dan Martapura bisa mencapai 10-19 batang pada lahan rawa (Balai Besar Penelitian Padi, 2011). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya di lahan rawa lebak IR 42 tidak jauh berbeda dengan yang lain hanya 11,5 batang. Hal ini disebabkan bibit yang ditanam tergolong tua 40 HSS karena genangan air di lahan sawah masih tinggi sehingga dilakukan dua kali semai, dimana semai pertama selama 20 HSS dan semai kedua 20 HSS. Jumlah anakan produktif per rumpun dari galur tersebut merupakan faktor pendukung komponen utama dalam menentukan potensi hasil.

156

Page 24: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Sedangkan umur panen dari galur-galur tersebut tergolong genjah kisaran 86-

96 hari setelah tanam (HST). Galur B11586F-MR-11-2-2, B10891B-MR-3-KN-4-1-1-

MR-1 dan IR84941-12-1-2 tidak berbeda nyata, mempunyai umur panen lebih cepat

dari galur yang lain dan varietas IR 42, Inpara 2 dan Martapura berkisar 86-87 HST

dan semua galur tergolong berumur genjah. Tabel 3, menunjukkan bahwa jumlah gabah/malai dari galur dan varietas yang

diteliti berkisar antara 91 hingga 120 butir/malai dimana jumlah gabah yang sedikit dicapai oleh GH137-7-SKI-B (91 butir) tidak berbeda nyata dengan AGH43-1-2 dan Inpara 2. Jumlah gabah /malai terbanyak ditunjukkan oleh galur B11586F-MR-11-2-2 (120 butir) berbeda nyata dengan galur lainnya dan varietas IR 42, Inpara 2 dan Martapura. Jumlah gabah per malai juga merupakan faktor pendukung dalam menentukan produksi suatu galur atau varietas.

Kemudian persentase gabah isi/malai dari galur tersebut tergolong baik kisaran 77,6 % - 86,5%. Galur B11586F-MR-11-2-2 mempunyai persentase gabah isi/malai terbanyak 86,5% tidak berbeda nyata dengan B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1, IR84941-12-1-2 dan IR84941-12-1-2 tetapi berbeda nyata dengan varietas IR42, Inpara 2 dan Martapura.

Bobot 1000 butir gabah dari galur dan varietas berkisaran antara 25,3 gr- 30,4 gr, dimana bobot 1000 butir terbanyak dicapai oleh galur IR84941-12-1-2 (30,4 gr) tidak berbeda nyata dengan AGH42-2-3 tetapi berbeda nyata dengan IR 42, Inpara 2 dan Martapura serta galur lainnya. Galur yang tidak berbeda nyata dengan Inpara 2 (25,6 gr) dan Martapura (25,3 gr) adalah GH137-7-SKI-B, B11377F-MR-34-2 dan IR83835-95-1-1-3.

Tabel 4, menunjukkan bahwa hasil gabah dari galur-galur yang diteliti semuanya tidak berbeda nyata dengan IR 42, dan Martapura sebagai pembanding kecuali Inpara 2. Hasil yang dicapai oleh galur/varietas yang diteliti bervariasi antara 2,45-2,75 ton gkg/ha. Hasil gabah yang ditunjukkan oleh Inpara 2 (0,65 ton gkg/ha) termasuk paling rendah dibanding dengan lainnya, hal ini disebabkan adanya serangan burung sehingga kehilangan hasil sebesar 80 %. Bila dilihat dari penelitian sebelumnya tahun 2011 di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Inpara 2 yang ditanam di rawa lebak bisa mencapai 3,96 ton gkg /ha (Suparwoto et al., 2012). Secara tabulasi bahwa galur yang mempunyai hasil gabah di atas IR 42 (2,65 ton gkg/ha) adalah galur B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (2,70 ton gkg), B11377F-MR-34-2 (2,70 ton gkg), BMIP-46-4-1 (2,75 ton gkg), dan IR84941-12-1-2 (2,75 ton gkg).

KESIMPULAN 1. Sebanyak 9 galur yang diteliti di lahan rawa lebak mempunyai tinggi tanaman

termasuk pendek, jumlah anakan produktif termasuk sedang dan umur panen

tergolong genjah serta penampilan pertumbuhan tanaman tidak ada yang roboh. 2. Hasil yang dicapai dari galur yang diteliti bervariasi antara 2,45-2,75 ton gkg/ha

tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding. Secara tabulasi bahwa galur yang mempunyai hasil gabah di atas IR 42 (2,65 ton gkg/ha) adalah galur B10891B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (2,70 ton gkg/ha), B11377F-MR-34-2 (2,70 ton gkg/ha), BMIP-46-4-1 (2,75 ton gkg/ha), dan IR84941-12-1-2 (2,75 ton gkg/ha)

157

Page 25: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z ; Sowono, S ; Roesmarkam ; Suliyanto dan Sartino. 1999. Uji adaptasi

varietas galur harapan padi sawah berumur sedang. Dalam : Roesmiyanto (ed).

Prosiding Seminar Hasil Penelitian /Pengkajian BPTP Karang Ploso. Badan

Litbang Pertanian Malang.Hal.8-13.

Assad dan Warda. 2011. Keragaan beberapa galur harapan padi sawah di Kabupaten

Sidrap Sulawesi Selatan. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat,

Satoto, Baehaki, dan Sudir (ed). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian

Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Padi, Buku 1. Badan Litbang

Pertanian Sukamandi. Halaman : 77-86

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik

Indonesia, Jakarta.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.

Daradjat, A.A. 2001. Program pemuliaan partisipatif pada tanaman padi : Konsep dan

Realisasi. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Penyelarasan Perakitan

Varietas Unggul Komoditas Hortikultura melalui Penerapan Program Shuttle

Breeding, Jakarta, 19-20 April 2001.

IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Internasional Rice Research

Institute. Los Philippines

Soewito, T, Z. Harahap dan Suwarno. 1995. Perbaikan varietas padi sawah

mendukung pelestarian swasembada beras. Dalam Proseding Simposium

Penelitian Tanaman Pangan III, Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kinerja Tanaman

Pangan Buku 2, Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian. Hal : 411.

Suparwoto, waluyo, Usman Setiawan dan Supartopo. 2012. Uji adaptasi galur-galur

padi rawa lebak di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan.

Prosiding Seminar Nasional Kemandirian Pangan 2012. Fakultas Teknologi

Industri Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung kerjasama dengan BPTP

Jawa Barat dan dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Barat, Buku 2B Bandung

Juli 2012. Hal. : 166-173

Waluyo, Suparwoto dan I.W. Supartha. 2010. Usaha padi di lahan rawa lebak

Sumatera Selatan melalui pendekatan PTT. Dalam : Sarlan A, Husin M Toha

dan Anischan Gani (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi

2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 2. Badan Litbang Pertanian

Sukamandi. Halaman : 815-823.

158

Page 26: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Produktivitas dan Kecernaan Empat Varietas Rumput Gajah

pada Puncak Musim Kemarau di Lahan Kering

Productivity and Digestibility of Four Penisetum Purpureum Varieties on

The Peak of Dry Season in Dry Land

Tri Agus Sulistya, Jauhari Efendy dan Mariyono

Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati- Pasuruan, Jawa

Timur Alamat e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Elephant grass (Penisetum purpureum) is still as first option forage for the

farmer. The many varieties of Elephant grass caused confusion varieties selection on farmer in order to get the peak of productivities. The research was aimed to know the productivities and digestibilities of five Elephant grass varieties on different space plant. Factorial randomized complete block design was used in this research, wich five varieties factor (cv. Hawaii, cv. Moot, cv. Africa, cv. King Grass, and cv. Taiwan) and two spacing factor (40 cm and 60 cm). There are three variables that has measured; fresh production, dry matter production, and dry matter digestibilities. The results showed that the fresh production on different varieties and spacing plantation were not significantly different. Dry matter production on different varieties were significantly different (P < 0,05), and the higher was acheived by cv. Hawaii with 1.24 ton/ha. Digestibility of dry matter was signifantly different (P < 0,05) among variety, the

higher digestibility on dry matter was acheived by cv. Mott 46,03 %. Keywords: Penisetum purpureum, in vitro digestibiliy, productivity

ABSTRAK

Rumput gajah (Penisetum purpureum) masih menjadi pilihan peternak untuk

dibudidayakan sebagai sumber hijauan makanan ternak (HMT) unggul. Banyaknya

varietas rumput tersebut menjadikan peternak kesulitan untuk memilih varietas yang lebih

unggul; utamanya yang dibudidayakan pada tanah lahan kering. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui produktivitas dan kecernaan empat varietas rumput gajah pada jarak

tanam berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok faktorial dengan

faktor 4 jenis varietas (cv. Hawaii, cv. Mott, cv. Africa dan cv. Taiwan) dan 2 jarak tanam

(40 cm dan 60 cm). Peubah yang diamati adalah produksi segar, produksi bahan kering

(BK) dan kecernaan bahan kering (KBK) secara in vitro. Produksi segar untuk tiap

varietas dan jarak tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata. Produksi BK menunjukkan

perbedaan nyata antar varietas (P < 0,05) dengan produksi tertinggi pada cv. Hawaii

sebesar 1,24 ton/ha; selanjutnya diikuti cv. Africa; cv. Taiwan dan cv. Mott, masing-

masing sebesar 1,20; 1,01 dan 0,86 ton/ha. Kecernaan BK

159

Page 27: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menunjukkan perbedaan nyata antar varietas (P < 0,05) dengan kecernaan BK

tertinggi pada cv. Mott sebesar 46,03 % diikuti cv. Hawaii, cv. Taiwan dan cv. Africa

masing-masing 42,75; 41,76; 37,83%. Kata kunci: Penisetum purpureum, kecernaan in vitro, produktivitas

PENDAHULUAN

Produktivitas ternak sebagian besar ditentukan oleh kualitas dan kuantitas

pakan yang dikonsumsi. Kualitas pakan mencakup pengertian kandungan berbagai zat

gizi, seperti energi, protein, mineral, vitamin serta kandungan zat-zat anti nutrisi

seperti tannin, lignin dan senyawa-senyawa sekunder lain (Haryanto, 2012). Umumnya peternakan rakyat di Indonesia masih menggunakan rumput sebagai

sumber pakan utama ternak mereka. (Evitayani et al., 2004) melaporkan bahwa Di

Indonesia, sekitar 75% dari pakan yang digunakan untuk ternak ruminansia adalah hijauan, terutama rumput alam dan hasil sisa tanaman.

Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang sangat mutlak diperlukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sepanjang tahun dalam sistem produksi ternak ruminansia. Porsi hijauan pakan dalam ransum ruminansia mencapai 40-80% dari total bahan kering ransum atau sekitar 1,5-3% dari bobot hidup ternak. Usaha budidaya tanaman pakan ternak sebagai sumber hijauan pakan telah menjadi subsektor peternakan tersendiri yang mempunyai output spesifik. Bahkan usaha tersebut dapat menjadi prioritas dibandingkan usaha budidaya tanaman pertanian ketika musim tertentu dimana nilai ekonomis hijauan pakan ternak lebih besar daripada nilai ekonomis hasil pertanian. Secara ekonomis pengusahaan hijauan pakan merupakan usahatani yang menguntungkan; diperkirakan dapat memberikan keuntungan 36% per ha lebih besar dibandingkan usahatani padi terutama jika menggunakan jenis dan varietas unggul yang memiliki potensi produksi dan kualitas tinggi.

Secara umum iklim di Indonesia cukup mendukung pertumbuhan optimal rumput

gajah (Penisetum purpureum). Agroklimat tanaman rumput gajah sesuai dengan

ketinggian 0-3.000 m di atas permukaan laut dan curah hujan 1.000-250 mm/th, namun

tidak tahan terhadap genangan maupun kekeringan (Badan Litbang Pertanian, 1996).

Namun demikian informasi mengenai standar penanaman yang optimal untuk budidaya

rumput gajah belum lengkap tersedia untuk setiap wilayah di Indonesia. Pengetahun

mengenai tingkat produktifitas rumput tersebut pada puncak produksi dan produksi

terendah dapat dijadikan sebagai acuan dalam aplikasi budidaya oleh pelaku usaha.

Hidayati et al., (2001) melaporkan bahwa produksi rumput dan legum tertinggi dicapai

pada awal musim kering, sedangkan produksi terendah dicapai pada awal musim hujan.

Dengan mengetahui tingkat produksi terendah pada penghujung musim kemarau dapat

dijadiakan gambaran mengenai daya tahan hidup dan produksi minimal sebagai acuan

carying capasity terendah dari suatu lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

produktivitas dan kecernaan empat varietas rumput gajah pada jarak tanam berbeda.

160

Page 28: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan November tahun 2013 di Kebun Percobaan

(KP) Parasan milik Loka Penelitian Sapi Potong. Sebanyak 40 petakan ukuran 5 x 3 m

digunakan untuk mengakomodir rancangan penelitian yang menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) faktorial 4 x 2; empat faktor varietas Penisetum purpureum

(cv. Hawaii, cv. Mott, cv. Africa dan cv. Taiwan) dan 2 macam jarak tanam (40 cm

dan 60 cm) dengan ulangan 4 petak tiap perlakuan. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembalikan tanah serta pemupukan

menggunakan pupuk dasar berupa kompos sebanyak 3 ton/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan Urea 200 kg/ha. Pemotongan (defoliasi) dilakukan 50 hari setelah tanam (HST). Selanjutnya tidak dilakukan pengairan meskipun pada musim kemarau. Rumput segar hasil pemanenan segera ditimbang dan diambil sampelnya untuk dilakukan uji laboratorium. Peubah yang diamati adalah produksi segar, produksi bahan kering (BK) dan kecernaan BK secara in vitro.

Produksi segar diperoleh dengan cara menimbang hijauan sesaat setelah dilakukan pemanenan tiap petak. Produksi BK didapatkan dari hasil pengujian BK sejati sampel dikalikan dengan total produksi segar. Kecernaan BK menggunakan metode Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Van Soest (1966) dan dilakukan di Laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Data Hasil pengujian dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan.

HASIL

Produksi Segar. Produksi segar adalah bobot keseluruhan tanaman hasil

pemotongan sesaat setelah dilakukan pemanenan; dan lazim dijadikan sebagai

parameter oleh peternak dalam mengukur potensi lahan tanaman pakan ternak (TPT). Namun demikian, berdasarkan ilmu nutrisi parameter tersebut tidak bisa dijadikan

standar penggolongan untuk mengukur produktivitas rumput, mengingat pada nilai

produksi segar masih terkandung air yang tidak memiliki nilai nutrisi sebagai bahan

pakan ternak. Akan tetapi melihat keumuman peternak yang masih menggunakan parameter produksi segar (ton/ha) menjadikan parameter ini tidak bisa diabaikan. Tabel 1. Produksi segar pada empat varietas rumput gajah (ton/ha)

Jarak tanam Varietas (cm) cv. Hawaii cv. Mott cv. Africa cv. Taiwan Rata

an 40 7,98 8,11 6,15 7,56 7,71

60 7,66 4,09 8,75 6,22 7,01

Rataan 7,82a 6,10

a 7,45

a 6,89

a

Keterangan: Nilai dengan buruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Produksi Bahan Kering (BK). Produksi Bahan Kering (BK) merupakan total

produksi biomass setelah dikurangi total kadar air. Produksi bahan kering lebih objektif

161

Page 29: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 untuk digunakan sebagai parameter tingkat produksi suatu tanaman pakan, karena

merupakan produk nyata yang dihasilkan dari sebuah tanaman pakan (Tabel 2).

Berdasarkan analisis sidik ragam, produksi bahan kering antar varietas menunjukkan

perbedaan yang nyata (P < 0,01). Tabel 2. Produksi bahan kering pada empat varietas rumput gajah (ton/ha)

Jarak Tanam Varietas

(cm) cv. Hawaii cv. Mott cv. Africa cv. Taiwan Rataan 40 1,26 1,13 1,04 1,06 1,23

y

60 1,23 0,59 1,37 0,96 1,13 y

Rataan 1,24 bc

0,86a 1,20

ab 1,01

ab

Keterangan: Nilai dengan buruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Kecernaan BK. Uji kecernaan menggunakan metode Tilley dan Terry

(1963) yang telah dimodifikasi oleh Van Soest (1966) dengan lama inkubasi 48

jam. Hasil kecernaan bahan kering (KBK) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kecernaan bahan kering pada empat varietas rumput gajah (ton/ha)

Jarak tanam Varietas

(cm) cv. Hawaii cv. Mott cv. Africa cv. Taiwan Rataan 40 43,21 46,64 36,35 41,39 40,16

60 42,29 45,42 39,31 42,13 40,99

Rataan 42,75bc

46,03c 37,83

ab 41,76

abc

Keterangan: Nilai dengan buruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

PEMBAHASAN

Produksi Segar. hasil analisis sidik ragam untuk Tabel 1; produksi segar pada

setiap varietas rumput gajah tidak menunjukkan perbedaan. Namun demikian, rataan

produksi segar tertinggi pada cv. Hawaii sebesar 7,82 ton/ha dan terendah cv. Mott sebesar 6,10 ton/ha. Produksi tertinggi pada penelitian ini masih jauh dibawah hasil

yang dilaporkan oleh Mahakka (2012) yang menggunakan varietas cv. Taiwan dengan

pengairan teratur dan pemupukan berupa pupuk cair 2 liter/ha sebesar 18,02 ton/ha.

Hal tersebut disebabkan penelitian ini dilakukan pada puncak musim kemarau, dimana terbatasnya ketersediaan air tanah menjadi faktor utama dalam menentukan produksi

rumput. Humphreys (1991) menyatakan bahwa produksi biomassa hijauan pakan ternak

sangat dipengaruhi oleh cara menanamnya, baik sistem tanam maupun pola tanamnya. Namun berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada penelitian ini diketahui bahwa produksi segar tanaman rumput pada puncak musim kemarau tidak dipengaruhi oleh jarak tanam dan jenis varietas tanaman.

Produksi Bahan Kering (BK). Produksi bahan kering tertinggi didapatkan pada

CV. Hawaii dengan 1,26 ton/ha pada jarak tanam 40 cm dan terendah pada cv. Mott sebesar 0,59 ton/ha pada jarak tanam 60 cm. Apabila dikomparasikan dengan Tabel 1, hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antar varietas dalam hal

162

Page 30: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kandungan airnya. Mengingat fraksi air bukanlah suatu nutrisi yang diinginkan dari

sumber bahan pakan hijauan, maka indikasi ini dapat dijadikan acuan bagi pemilihan

varietas yang akan dijadikan tanaman pakan ternak yang mempunyai bahan kering

tertinggi dengan kandungan kadar air paling rendah yaitu cv. Hawaii. Hasil produksi bahan kering tertinggi pada puncak musim kemarau ini jauh lebih

rendah dari hasil penelitian Mahakka (2012) yang menggunakan varietas cv. Taiwan dengan pengairan teratur dan pemupukan berupa pupuk cair 2 liter/ha sebesar 5,8 ton/ha. Rendahnya produksi bahan kering ini dikarenakan ketersediaan air tanah sangat rendah pada puncak musim kemarau.

Kecernaan BK. Pada Kecernaan BK menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) antar varietas rumput gajah; dengan kecernaan tertinggi pada cv. Mott sebesar 46,03% dan terendah pada cv. Afrika sebesar 37,83%. Hasil ini masih jauh lebih rendah dari hasil yang dilaporkan oleh Supriyati (2000) yang menyatakan bahwa kecernaan rumput gajah secara in vitro sebesar 58,31%. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa cekaman panas pada musim kemarau meningkatkan kandungan lignin yang berimbas pada penurunan kecernaan bahan kering rumput gajah.

Apabila dikomparasikan antara produksi BK pada Tabel 2 dengan kecernaan BK Tabel 3, terlihat bahwa pada cv. Mott meskipun mempunyai tingkat produksi BK

terendah namun memiliki kecernaan BK tertinggi. Kedua aspek ini bisa dipergunakan sebagai acuan pemilihan varietas yang akan dipergunakan sebagai tanaman pakan ternak.

KESIMPULAN

Rumput gajah (Penisetum purpureum) cv Hawaii memiliki produksi segar dan

bahan kering tertinggi dibandingkan tiga varietas lainnya; sedangkan cv Mott

memiliki keunggulan pada aspek kecernaan bahan kering diikuti oleh cv. Hawaii, cv.

Taiwan dan cv. Afrika.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Ibu Dyah Tuwi

Ramsiyati yang dalam kegiatan penelitian ini bertindak sebagai teknisi litkayasa yang

bertanggungjawab dengan pencatatan dan tabulasi data secara manual dan digital.

DAFTAR PUSTAKA Haryanto, B. 2012. Perkembangan Penelitian Nutrisi Ruminansia. Wartazoa. Volume :

22 Nomor : 4. Hidayati, N., C. Talib dan A. Pohan. 2001. Produktifitas Padang Penggembalaan

Rumput Alam untuk Menghasilkan Sapi Bibit di Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September.

163

Page 31: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Humphreys, L.R. 1991. Tropical Pasture Utilization. Cambridge University Press.

Cambridge. Evitayani, L. Warly, A. Fariani, T. Ichinohe, S.A. Abdulrazak and T. Fujihara. 2004.

Comparative rumen degradability of some legume forages between wet and dry season in West Sumatra, Indonesia. Asian- Aust. J. Anim. Sci. 17: 1107-1111.

Mahakka, A. Napoleon dan P. Rosa. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair terhadap Produksi Rumput Gajah cv. Taiwan (Pennisetum Purpureum Schumach). Jurnal Peternakan Sriwijaya, Volume : 1 Nomor 1.

Supriyati, D. Yulistiani, E. Wina, H. Hamid dan B. Haryanto. 2000. Pengaruh Suplementasi Zn, Cu dan Mo An-organik dan Organik terhadap Kecernaan Rumput Secara In Vitro. JITV Vol. 5 No. 1 Th 2000. pp. 276-278.

Tilley, J.M.A. dan R.A. Terry. 1963. A two stage technique for the in vitro digestion of forage crops. Journal of the British Grassland Society 18:104-111.

Van Soest, P.J., R.H. Wine and L.A. Moore. 1966. Estimation of the true digestibility

of forages by the in vitro digestion of cell walls. Proc Xth

Int. Grassld. Congr. Helsinki pp. 438-441.

164

Page 32: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengendalian Penyakit Tungro di Lahan Rawa Pasang Surut

Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Tungro Disease Control in Tidal Swamp Land Barito Kuala Regency of South Kalimantan

M. Thamrin

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel

Telp/Fax: +625114772534 / +625114773034 Email: [email protected]

ABSTRACT

Tungro is the disease of rice that become obstacles in national rice production increased stability and a threat to sustainable food. The disease will generally be experienced stunt, so the potential for optimal results will not be achieved even if the infection occurs the results obtained from the vegetative or stage of the nursery. In Indonesia, yield losses due to tungro disease reach 12,078 tons /year or Rp. 12-15 billion. Tungro disease in Barito Kuala (South Kalimantan), taking place since 2006 until now. The rice local varieties are susceptible, however the high yielding varieties are low damage. Control of the disease must be done comprehensively, especially against a green leafhopper vector. The first step that must be done is sanitation, which immerse the affected plants into the soil and clean up the grass around the rice fields, especially during the fallow. Another way is to do a rotation of gene resistant varieties, planting simultaneously, and crop rotation with crops to break the life cycle of the

vector. Insecticides can be used when the green leafhopper population is high. Keywords: tungro disease, controlling, tidal swamp land

ABSTRAK

Tungro adalah salah satu penyakit padi yang menjadi kendala dalam peningkatan

stabilitas produksi padi nasional dan ancaman bagi ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Tanaman padi yang terserang penyakit tungro umumnya akan mengalami kekerdilan,

sehingga potensi hasil optimal tidak tercapai bahkan tidak akan diperoleh hasil apabila

infeksinya terjadi sejak fase vegetatif atau tahap persemaian. Di Indonesia, kehilangan

hasil akibat serangan tungro mencapai 12.078 ton/tahun atau senilai Rp. 12-15 milyar.

Serangan penyakit tungro di Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan) terjadi sejak

tahun 2006 sampai sekarang. Jenis padi yang terserang pada umumnya varietas lokal

sedangkan varietas unggul tingkat serangannya rendah. Pengendalian penyakit ini harus

dilakukan secara komprehensif terutama terhadap wereng hijau sebagai vektornya.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah sanitasi, yaitu membenamkan tanaman yang

terserang ke dalam tanah dan membersihkan rumputan di sekitar persawahan terutama

pada saat bera. Cara lainnya adalah melakukan pergiliran varietas yang memiliki gen

tahan, tanam serempak, dan rotasi tanaman terutama dengan

165

Page 33: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 palawija untuk mematahkan siklus hidup vektornya. Insektisida dapat digunakan

apabila populasi wereng hijau masih tinggi. Kata kunci: penyakit tungro, pengendalian, lahan rawa pasang surut

PENDAHULUAN

Gejala utama penyakit tungro tampak pada perubahan warna pada daun muda menjadi kuning orange dimulai dari ujung daun, jumlah anakan berkurang, tanaman

kerdil dan pertumbuhannya terhambat. Gejala penyakit tersebar mengelompok, hamparan tanaman padi terlihat seperti bergelombang karena adanya perbedaan tinggi tanaman antara tanaman sehat dan yang terinfeksi (Said dan Widiarta, 2007).

Tanaman padi yang terserang penyakit tungro umumnya akan mengalami kekerdilan, daun berwarna orange dan sedikit terpelintir, jumlah anakan berkurang dan nilai

kehampaan malai tinggi. Potensi hasil optimal suatu varietas padi tidak akan tercapai apabila terserang tungro bahkan tidak akan diperoleh hasil apabila infeksi tungro

terjadi sejak fase vegetatif atau tahap persemaian (Saleh dan Tantera 1991). Penyakit tungro disebabkan oleh dua jenis virus yang berbeda yaitu virus

bentuk batang Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV) dan virus bentuk bulat Rice Tungro Spherical Virus (RTSV). Kedua jenis virus tersebut tidak memiliki kekerabatan serologi dan dapat menginfeksi satu sel tanaman secara bersama-sama tanpa mengakibatkan proteksi silang antara keduanya (Hibino dan Cabunagan 1986).

Tungro adalah salah satu penyakit padi yang menjadi kendala dalam peningkatan

stabilitas produksi padi nasional dan ancaman bagi ketahanan pangan yang berkelanjutan

(Widiarta et al. 2003). Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tungro dalam kurun

waktu 1996-2001 mencapai 12.078 ton/tahun atau senilai Rp. 12-15 milyar (Soetarto et al.

2001). Penyebaran penyakit tungro di Indonesia, hanya terbatas pada daerah tertentu

seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara,

namun pada tahun 1980, terjadi ledakan penyakit tungro di Bali yang meliputi Kabupaten

Badung, Tabanan, dan Gianyar, kemudian penyakit ini meluas ke Jawa Timur, Jogyakarta,

dan Jawa Tengah (Satomi 1972). Pada awal tahun -an pernah terjadi ledakan penyakit tungro di beberapa daerah

sentra produksi padi di Indonesia. Sampai dengan tahun 1976 penyakit ini dilaporkan

hanya terjadi di 7 propinsi, namun dewasa ini telah tersebar di 26 propinsi yang meliputi

142 kabupaten di Indonesia. Penyakit tungro telah menyebar luas hampir di seluruh daerah

produksi padi di Indonesia. Secara nasional penyakit tungro rata-rata setiap tahun

menginfeksi padi sawah 16.477 ha dan menyebabkan tanaman puso 1.027 ha pada periode

1996-2002. Ledakan tungro pada musim tanam 1998/1999 yang terkonsentrasi di Lombok

Timur dan Lombok Tengah dengan luas serangan sekitar 10.000-15.000 ha, tingkat

serangan berat sampai puso. Pada tahun 1972/1973 ledakan tungro terjadi di Sulawesi

Selatan dan pada tahun 1998/1999 terjadi serangan berat di Lombok Tengah dan Lombok

Timur seluas 10.000-15.000 ha (Hasanuddin 1999). Ledakan penyakit tungro juga terjadi

pada akhir tahun 1995 di Surakarta yang mengakibatkan sekitar 12.340 ha sawah puso

atau setara dengan Rp. 25 milyar dan pada Mh 2003/2004 terjadi serangan seluas 2.700 ha

di Propinsi Banten. Serangan tungro di Sulawesi Tengah terjadi di Kabupaten Donggala,

Tolitoli dan Parigi Moutong pada musim tanam 2002

166

Page 34: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 (Negara et al., 2004). Di Sulawesi Tenggara, serangan tungro terjadi di Kabupaten

Konawe khususnya di wilayah Wawotobi dan Pondidaha yang keduanya merupakan

sentra pengembangan padi (Idris et al., 2004). Sampai saat ini serangan tungro masih

sering terjadi di Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang semuanya

merupakan sentra produksi padi nasional. Serangan penyakit tungro di Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan)

mulai terjadi pada tahun 2006, namun sejak musim tanam 2009 serangan penyakit ini semakin meluas bahkan di beberapa kecamatan terjadi serangan yang berat sampai puso. Serangannya selalu terjadi setiap musim, sehingga sangat mengancam akan ketersediaan beras baik di tingkat daerah ataupun nasional, karena daerah ini adalah penghasil beras tertinggi untuk provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan laporan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan, luas serangan penyakit tungro di Kabupaten Barito Kuala pada musim kemarau 2009 mencapai 138,4 ha dan puso 16,6 ha (BPTPH 2011). Tulisan ini menguraikan tentang keadaan penyakit tungro di Kabupaten Bario Kuala Kalsel, dan cara pengendaliannya yang ramah terhadap lingkungan.

PENGENDALIAN

Pengendalian penyakit tungro harus dilakukan secara komprehensif dengan

memperhatikan berbagai aspek seperti penyebaran virus tungro, fluktuasi populasi

wereng hijau, perubahan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi petani. Langkah awal

yang harus dilakukan adalah sanitasi dan tanam serempak. Cara lainnya adalah

melakukan pergiliran varietas yang memiliki gen tahan dan rotasi dengan tanaman

palawija untuk mematahkan siklus hidup vektornya. Insektisida dapat digunakan

apabila populasi wereng hijau masih tinggi.

Sanitasi dan Tanam Serempak. Varietas padi lokal yang digunakan oleh

petani di Kabupaten Barito Kuala seperti siam mayang, siam mutiara, siam gumpal dan siam rukut tergolong rentan terhadap penyakit tungro, oleh karena itu disarankan untuk menggantinya dengan varietas unggul yang tahan tungro. Selain itu satitasi lingkungan juga harus dilakukan dengan cara membenamkan semua turiang padi ke dalam tanah dan membersihkan rumputan di sekitar sawah, agar wereng hijau sebagai vektornya tidak dapat bertahan hidup. Menurut Saleh dan Tantera (1991) bahwa selain tanaman padi, beberapa spesies padi liar dan gulma juga dapat terinfeksi virus. Tumbuhan tersebut dapat berfungsi sebagai sumber virus, dan bahkan untuk berkembangbiak. Said dan Widiarta (2007), mengemukakan bahwa tanaman inang tungro selain padi adalah rumput belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum distichum) dan padi liar.

Tanam serempak adalah sangat penting dilakukan karena cara ini dapat

memperpendek waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu perkembangbiakannya.

Tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu

berkembangbiak vektor penular patogen. Terjadinya epidemi penyakit tungro berawal dari

sumber infeksi yang berkembang pada pertanaman yang tidak serempak. Vektor infektif

dari pertanaman tidak serempak akan menjadi sumber penular migran pada

167

Page 35: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pertanaman di sekitarnya. Apabila populasi vektor migran infektif pada stadia awal

(persemaian) tinggi, maka penyakit tungro akan berkembang pada pertanaman di

sekitarnya. Pola tanam serempak akan memutus siklus hidup vektor dan keberadaan

sumber inokulum. Serangan tungro tidak akan terjadi apabila tidak tersedia sumber

inokulum walaupun ditemukan adanya vektor dan sebaliknya walaupun kepadatan

populasi vektor sangat rendah namun apabila tersedia sumber inokulum maka

serangan penyakit tungro akan meluas.

Waktu Tanam. Waktu tanam yang tepat diidentifikasi berdasarkan pola

fluktuasi populasi wereng hijau, keberadaan virus tungro dan iklim terutama curah hujan pada kurun waktu tertentu. Keberadaan virus tungro dan populasi wereng hijau tinggi merupakan ancaman akan terjadinya epidemi, oleh karena itu waktu tanamnya

dilakukan pada saat populasi vektor rendah. Tanaman padi rentan terhadap infeksi tungro sampai umur 45 hari setelah tanam (hst), maka untuk menghindari infeksi pada

periode tersebut adalah mengatur waktu tanam. Puncak populasi wereng hijau terjadi pada 1,5-2 bulan setelah curah hujan mencapai puncaknya. Dengan demikian, waktu

tanam yang tepat adalah 30-45 hari sebelum puncak curah hujan. Atur waktu tanam agar saat terjadi puncak kerapatan populasi dan intensitas tungro, tanaman telah berumur lebih dari 45 hst. Semakin muda tanaman terinfeksi maka semakin besar persentase kehilangan hasil yang ditimbulkan (Fausiah dan Pakki, 2012).

Tanam pada saat yang tepat adalah untuk membuat tanaman terhindar dari serangan pada saat tanaman rentan. Data pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas serangan tungro sepanjang tahun diperlukan untuk mengetahui saat-saat ancaman paling serius oleh penyakit tungro. Waktu tanam yang tepat hanya efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola tanam serempak. Waktu tanam serempak berhasil mengendalikan luas serangan tungro di Sulawesi Selatan, namun sulit diterapkan pada daerah yang tanam padinya tidak serempak seperti di Bali. Waktu tanam yang tepat dapat menghindarkan tanaman dari serangan wereng maupun infeksi virus tungro. Di Maros, penanaman padi pada awal musim hujan (Desember-Januari) atau musim kemarau (Juni-Juli) dapat terhindar dari serangan wereng dan tungro yang serius (Said dan Widiarta, 2007).

Penggunaan Varietas Tahan. Penggunaan varietas tahan merupakan

komponen yang paling efektif dalam strategi pengendalian tungro, bahkan efektif pada

berbagai ekosistem di Indonesia. Namun demikian, varietas tahan tidak boleh ditanam

terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vektor dan memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru. Wereng hijau sangat mudah beradaptasi

terhadap varietas tahan apabila berhasil terbentuk hingga enam generasi, bahkan dapat

terjadi setelah generasi kedua atau setelah generasi ketiga dan pada generasi keenam,

aspek biologi wereng hijau tidak berbeda nyata apabila berada pada varietas rentan. Saat ini telah dikembangkan varietas padi unggul yang adaptif untuk lahan

rawa, yaitu Inpara 1, 2, 3, 4 dan 5. Diantara varietas tersebut Inpara 2, 3 dan 4 memiliki potensi untuk dikembangkan di lahan rawa pasang surut karena tingkat kerusakan yang disebabkan oleh penyakit tungro dan blas terhadap ketiga varietas tersebut lebih rendah dibandingkan varietas lainnya (Koesrini et al. 2013).

168

Page 36: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Di lahan lebak dan pasang surut tipe B dan C, pergiliran tanaman padi dengan

palawija (kedelai, kacang tanah atau jagung) serta sayuran sudah banyak dilakukan

sehingga perkembangan hama dan penyakitnya terhambat. Sedangkan di lahan pasang

surut tipe A hanya padi saja yang dapat ditanam karena airnya selalu tergenang. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah pergiliran varietas, karena beberapa hasil

penelitian menyatakan bahwa perkembangan hama serangga sangat cepat di daerah

yang menanam padi secara terus-menerus dengan varietas yang sama, sedangkan di daerah yang melakukan pergiliran varietas, perkembangannya lebih lambat.

Penggunaan Tumbuhan Sambilata. Sambilata (Andrographis paniculata)

adalah tumbuhan tropik yang diketahui dapat mengurangi kemampuan wereng hijau

mengisap tanaman. Menurut Widiarta et al. (2009), aplikasi sambilata dapat menekan

pemerolehan maupun penularan virus tungro oleh wereng hijau. Dengan demikian

sambilata memiliki prospek sebagai salah satu komponen teknologi untuk dirakit

dalam pendekatan pengendalian terpadu penyakit tungro. Ekstrak daun sambilata juga merupakan antifidan yang dapat mengurangi

aktifitas makan wereng hijau. Pada konsentrasi 1.000 ppm mempengaruhi lokasi mengisap wereng hijau dari phloem ke xilem. Sehingga aplikasi ekstrak daun sambilata dapat mengurangi kemampuan wereng hijau dalam hal mendapatkan dan menularkan virus tungro yang berkembangbiak di jaringan floem. Hal tersebut serupa dengan dampak dari varietas tahan terhadap kebiasaan makan wereng hijau Widiarta et al. (2009). Menurut Kawabe (1985) pengambilan cairan tanaman oleh wereng hijau pada varietas tahan beralih dari floem ke xilem yang menyebabkan berpengaruh dalam mendapatkan dan penularan virus tungro.

Penggunaan Insektisida Sintetik. Pencemaran lingkungan pertanian

umumnya disebabkan oleh penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Beberapa hasil

penelitian melaporkan bahwa penggunaan pestisida yang melebihi dosis dan fekuensi

tinggi akan mengakibatkan terjadinya resurgensi dan resistensi serangga serta

tercemarnya lingkungan. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hal tersebut

maka dalam melakukan pengendalian dengan memperhatikan tingkat populasi dan

jenis serangga bukan sasaran terutama musuh alami. Untuk mengurangi dan mencegah dampak negatif, diharapkan ketentuan

tentang penggunaan insektisida dapat dilaksanakan sebaik-baiknya. Hal yang perlu mendapat perhatian dan penanganan, yaitu (1) penggunaan insektisida harus tepat jenis, mutu, waktu, dosis dan konsentrasi, cara dan alat aplikasi, serta komoditas dan organisme sasaran, (2) penanaman tidak serempak harus dihindari, karena pola tanam yang tidak serempak memungkinkan peningkatan frekuensi aplikasi insektisida, (3) insektisida pengganti yang efektif terhadap serangga resisten hendaknya tersedia secara dini, jika komponen lain tidak dapat mengendalikan perkembangan populasi, dan (4) menggunakan insektisida secara selektif dengan daya bunuh rendah terhadap musuh alami dan organisme bukan sasaran.

169

Page 37: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN DAN SARAN 3. Sanitasi dilakukan pada saat pengolahan tanah dengan cara membenamkan sumber

tungro baik tanaman yang terserang ataupun turiang dan rumput yang menjadi

inang, untuk menghilangkan atau mengurangi jumlah sumber tungro dan

sekaligus menekan terjadinya penularan virus tungro lebih lanjut 4. Tanam serempak dapat memutus siklus hidup vektor dan keberadaan sumber

inokulum, mengurangi sumber tanaman sakit serta membatasi waktu berkembangbiak wereng hijau sebagai vektor

5. Waktu tanam dilakukan sebelum populasi wereng hijau tinggi 6. Varietas Inpara 2, 3 dan 4 cukup baik dikembangkan di lahan pasang surut karena

kerusakannya relatif rendah terhadap serangan penyakit tungro 7. Tumbuhan sambilata memiliki prospek sebagai salah satu komponen teknologi

untuk dirakit dalam pendekatan pengendalian terpadu penyakit tungro 8. Insektisida sintetik dapat digunakan apabila cara lainnya tidak efektif lagi, namun

penggunaannya secara selektif dengan dosis tepat dan daya bunuh rendah terhadap musuh alami atau organisme bukan sasaran.

DAFTAR PUSTAKA BPTPH. 2011. Laporan Tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura

Provinsi Kalimantan Selatan Tahun Anggaran 2010. Fausiah, T.L. dan S. Pakki. 2012. Petunjuk Teknis Pengenalan dan Pengendalian

Terpadu Penyakit Tungro. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Hasanuddin, A. 1999. Monitoring dan serangan penyakit tungro di Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Hibino, H. and R.C. Cabunagan. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plants and vector leafhopper. Trop. Agr. Res. Ser. 19:173-182

Idris, A. Rauf dan Burhanuddin. 2004. Penampilan Beberapa Galur Harapan Padi Tahan Penyakit Tungro di Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004.

Kawabe, S. 1985. Mechanism of varietal resistance to the green leafhopper (Nepotettix cinticeps Uhier) JARQ 19:115-124

Koesrini, M. Thamrin, E. William, M. Saleh, M. Najib dan Muhammad. 2013.

Perbanyakan dan pemurnian benih padi untuk lahan rawa. Laporan Akhir.

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 35 hal. Negara, A., A. Ardjanhar dan F. Depparaba. 2004. Keberadaan Penyakit Tungro di

Sulawesi Tengah dan Upaya Pengendaliannya. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004.

Said, M.Y. dan Widiarta, I.N. 2007. Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu (Bagian 1). Pusat Penelitian dan Pengembantan Tanaman Pangan.

170

Page 38: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Saleh, N. dan D.M. Tantera. 1991. Penyakit virus dan mikoplasma padi. Dalam

Soenarjo, E. D.S. Damardjati dan M. Syam (Ed). Padi. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. 3:855-874. Satomi, H. 1972. Yellow dwarft disease of rice in Indonesia. Paper presented at SEAR

Symposium on Plant Disease in the Tropics, Jogyakarta, September 11-15, 1972. Soetarto, A., Jasis, S.W.G. Subroto, M. Siswanto dan E. Sudiyanto. 2001. Sistem

peramalan dan pengendalian OPT dalam mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Dalam Irsal Las et al., (Eds): Implementasi kebijakan strategi untuk peningkatan produksi padi berwawasan agribisnis dan lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor.

Widiarta, I.N., Yulianto dan A. Hasanuddin. 2003. Pengendalian terpadu penyakit tungro dengan strategi eliminasi peranan virus bulat. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbangtan. Balitpa. Hal: 513-527.

Widiarta, I.N., A. Yustiono dan D. Kusdiaman. 2009. Pengendalian Penyakit Tungro dengan Sambilata: Antifidan Nabati Wereng Hijau Vektor Virus Tungro. Balai Besar Penelitian Padi.

171

Page 39: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

SRI (System Of Rice Intensification) di Daerah Rawa Lebak Pematang

untuk Meningkatkan Intensitas Tanam

SRI (System Of Rice Intensification) in shallow fresh swamp land

to Improve Cropping Intensity

Edward Saleh1)

, Chandra Irsan2)

dan M. Umar Harun2)

1)

Program Studi Teknik Pertanian dan 2)

Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya

Telp (0711) 580664 Fax. (0711) 480279

Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Food crops such as rice which is the staple food of the majority of the Indonesian

population, the average productivity is still low and its production can not meet the food

needs of the entire community. One technology that is able to increase the production of

rice and can save the use of seeds, water and environmentally friendly is to adopt SRI

method of rice cultivation (System of Rice Intensification). SRI is a method or system of

intensive rice cultivation, which contributed to saving water usage by up to 50%. SRI

method otherwise be able to increase productivity by 75% saving seed, but adoption by

the farmers no swampy marsh. At swamp swampy conditions of rising and falling water

can not be controlled, so that the farmers tend to plant a lot of seeds (7-9 bars) and old-old.

For this research was to study the feasibility of applying SRI methods in the swampy

marsh embankment. The purpose of the study to determine the feasibility of SRI in the

swampy marsh embankment. The method used in this research is descriptive method with

direct observation, surveys using questionnaires with sampling (purposive sampling) and

practice in the field. The results showed SRI method can be applied to the inputs of

technology and cultural change. Input the necessary technology is the plot of land,

installation of sluice gates and the addition of a water pump. Cultural change that is

required is the willingness to plant seeds and plant seedlings young age of the stems per

clump. The results of SRI practices in the field are able to increase the productivity of

5.383 to 7.9 tons per hectare. Keywords: SRI, rice, feasibility

ABSTRAK

Tanaman pangan berupa padi yang merupakan makanan pokok mayoritas

penduduk Indonesia, rata-rata produktivitasnya masih rendah dan produksinya belum

dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan masyarakat. Salah satu teknologi yang mampu

meningkatkan produksi beras dan dapat menghemat penggunaan bibit, air serta ramah

lingkungan adalah dengan menerapkan budidaya padi metode SRI (System of Rice

Intensification). SRI merupakan cara atau sistem penanaman padi yang intensif, yang

memberikan kontribusi terhadap penghemat penggunaan air hingga 50%. Metode SRI

dinyatakan mampu meningkatkan produktivitas dengan hemat benih 75%, tetapi

172

Page 40: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 adopsinya oleh masyarakat petani rawa lebak belum ada. Pada rawa lebak kondisi naik

dan turunnya air belum dapat dikendalikan, sehingga petani cenderung menanam bibit

yang banyak (7-9 batang) dan telah berumur tua. Untuk itu penelitian ini melakukan studi

kelayakan penerapan metode SRI di daerah rawa lebak pematang. Tujuan penelitian untuk

menentukan kelayakan metode SRI di daerah rawa lebak pematang. Metode yang

digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dengan pengamatan langsung, survei

menggunakan kuisioner dengan pengambilan sampel sengaja (purposive sampling) dan

praktek di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan metode SRI dapat diterapkan dengan

input teknologi dan perubahan budaya. Input teknologi yang diperlukan adalah dengan

petakan lahan, pemasangan pintu air dan penambahan pompa air. Perubahan budaya yang

dibutuhkan adalah kesediaan menanam bibit umur muda dan menanam bibit satu batang

per rumpun. Hasil praktek SRI dilapangan mampu meningkatkan produktivitas dari 5,383

menjadi 7,9 ton per hektare. Kata Kunci : padi, rawa, SRI

PENDAHULUAN

Sampai saat ini (tahun 2014) dunia masih mengalami ancaman krisis pangan, yang ditandai dengan terus meningkatnya harga-harga produk sektor pangan,

khususnya harga makanan pokok, diantaranya harga beras yang kian melambung, dan ditambah dengan peningkatan permintaan atas beras tersebut. Sementara itu produksi beras dunia pun sedang menurun akibat terjadinya perubahan iklim global dan alih

fungsi lahan. Menurut Pratiwi dan Firdaus (2008), bagi Indonesia beras adalah komoditas yang strategis secara ekonomi dan politis, hal ini dikarenakan lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Selain itu industri beras juga menjadi penggerak perekonomian dengan menyediakan lapangan

pekerjaan bagi lebih dari 12.5 juta rumah tangga petani dan sebagai salah satu sumber

penerimaan GDP pertanian. Secara politis, ketersedian beras akan mempengaruhi kondisi politik dan kestabilan keamanan negara.

Tingginya konsumsi beras rata-rata penduduk (97,6 kg/kapita/tahun (Marbun, 2013) tetapi menurut Kementerian Pertanian RI (2013) konsumsi beras sekitar 130 kg/kapita/tahun) membuat Indonesia menjadi salah satu negara net importer beras tertinggi dunia (setara konsumsi beras dunia 80-90 kg/kapita/tahun). Besarnya kebutuhan untuk memenuhi konsumsi beras tersebut disebabkan besarnya jumlah penduduk dan belum berhasilnya usaha pemerintah dalam diversifikasi pangan. Menurut Amang dan Sawit (1999) dan Mulyana (1998), untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satunya yaitu melalui pencapaian swasembada beras.

Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung meningkat

dari tahun ke tahun, namun rata-rata konsumsi beras per tahun masih lebih tinggi dari rata-

rata produksi beras yaitu sebanyak 27.859,14 ribu ton sedangkan rata-rata produksi beras

per tahun hanya 26.725,78 ribu ton (Hessie dan Hadianto, 2009). Pemerintah Indonesia

bertekad untuk terus meningkatkan produksi beras nasional 5% per tahun dan

menargetkan pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015. Pencapaian target

tersebut terancam gagal karena adanya kendala biofisik yang harus diantisipasi dan

ditanggulangi, seperti alih fungsi lahan sawah produktif, perubahan iklim sebagai

173

Page 41: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 derivasi dari pemanasan global, degradasi sumberdaya lahan, pengelolaan air dan

lingkungan, serta meluasnya lahan terdegradasi dan terlantar (Haryono, 2013). Lahan sawah yang ada saat ini (data 2013) luasnya sekitar 8,1 juta hektar

cenderung menciut akibat konversi. Berdasarkan laju kebutuhan pangan nasional terutama padi, maka hingga tahun 2025 dibutuhkan tambahan lahan sawah 1,4 juta ha (Haryono, 2013). Oleh sebab itu menurut Haryono (2013), salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah pengembangan dan optimalisasi lahan sub-optimal yang salah satunya lahan rawa lebak, baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.

Salah satu lahan sub-optimal rawa lebak yang memiliki potensi tinggi, karena

sedikit faktor pembatas dan tersedia luas adalah lahan rawa lebak pematang. Lahan rawa

lebak ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani

dengan potensi daya saing yang dapat diusahakan, antara lain adalah dapat diusahakan

sepanjang waktu termasuk pada saat musim kemarau. Ekosistem rawa lebak pematang,

dicirikan oleh kedalaman genangan air kurang dari 50 cm, dengan lama genangan antara

1-3 bulan (Direktorat Rawa 1992). Adanya genangan air dan belum dapat dilakukan

pengendalian tinggi muka air di lahan rawa lebak, menyebabkan usahatani yang

dikembangkan masyarakat selama ini adalah tanaman padi satu kali. Menurut Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan (2014), perkembangan

penggunaan lahan pertanian tanaman padi saat ini, secara umum telah menurunkan tingkat kesuburannya, dan berdampak kepada semakin menurunnya tingkat produksi. Untuk meningkatkan hasil produksi petani mengupayakannya dengan meningkatkan penggunaan sarana produksi/saprodi (kuantitas dan kualitas benih, pupuk dan pestisida/insektisida) dan akibatnya terjadi peningkatan biaya produksi per satuan luas. Pada awalnya penambahan saprodi tersebut dapat meningkatkan hasil, namun untuk selanjutnya tingkat produksi kembali menurun. Salah satu usaha dalam upaya peningkatan hasil produksi dengan pola pertanian intensif yang ramah lingkungan yaitu dengan System of rice intensification (SRI). SRI merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air, dengan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan. Dengan pola tanam padi SRI diharapkan dapat memberikan tambahan produksi per satuan luas.

Prinsip SRI adalah penggunaan benih terseleksi, penanaman bibit umur muda, penanaman satu bibit per rumpun, dan pemberian air secukupnya. SRI merupakan cara atau sistem penanaman padi yang intensif, hemat benih 75%, penghemat penggunaan air hingga 50%, dan mampu meningkatkan produktivitas. Untuk itu penelitian ini melakukan studi kelayakan penerapan metode SRI di daerah rawa lebak pematang. Tujuan penelitian untuk menentukan kelayakan metode SRI di daerah rawa lebak pematang.

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dengan

pengamatan langsung, survei menggunakan kuisioner dengan pengambilan sampel

sengaja (purposive samplig) dan pembuatan demplot di lapangan. Penelitian telah

174

Page 42: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

dilakukan sejak tahun 2013 sampai 2014 di desa Pelabuhan Dalam, Kematan

Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Adapun modifikasi yang telah

dilakukan seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan budidaya padi dengan SRI, konvesional rawa lebak

dan Modifikasi SRI pada lahan rawa lebak SRI Konvesional Rawa Lebak Modifikasi SRI

Kebutuhan benih padi 15- Kebutuhan benih padi 50-60 30-40 kg/ha

20 kg/ha kg/ha

Waktu pembibitan hanya Waktu pembibitan 25-30 hari 15-25 hari

8-12 hari + direbukan 15-30 hari

Bibit diperlakukan dengan Pemindahan bibit dengan Cabut langsung tanam sangat lembut dengan ditarik atau dicabut, akar

menggunakan sendok, dicuci, diikat, ditumpuk,

tidak ditarik, tidak dicuci, dilemparkan sehingga

tidak diikat dan tidak menyebabkan banyak trauma

dilempar. dan shock tanaman.

Penanaman berbaris segi Penanaman secara acak Agak teratur

empat

Kepadatan tanam 16 Kepadatan tanam 33 -40 25

lobang per m2 atau kurang lobang per m

2

Jumlah tanaman per Jumlah tanaman per lubang 3- 2-3 lubang 1 bibit 7 bibit atau lebih dan

penanaman menggunakan

tongkat pembenam

Pemupukan hanya dengan Direkomendasikan NPK + BO pupuk organik pemupukan dengan NPK

(tidak dipupuk)

Kondisi basah/lembab Dilakukan penggenangan Sistem sawah petak,

(sesuai naik-turun pasang basah-tergenang

HASIL

175

Page 43: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

Tabel 2. Produksi padi kering giling per hektar yang diperoleh petani setelah

menerapkan SRI modifikasi di lahan rawa lebak pematang pada tahun 2014

Hasil BK total BK gabah BK gabah Gabah Pengukuran (ton/ha) bersih hampa hampa

ubinan (ton/ha) (ton/ha) (%)

Maksimum 9,37 9,2 0,170 1,81

Minimum 6,462 6,3 0,162 2,51

Rerata 8,068 7,9 0,151 1,89

Tabel 3. Produktivitas padi petani (konvensional) dan modifikasi SRI tahun

pertama diterapkan (2013)

No Metode Produktivitas (ton/ha) GKP 1 Konvensional (2013) 5,383

2 Modifikasi SRI (2013) 6,067 Sumber : Saleh dkk. (2013)

PEMBAHASAN

SRI (System of Rice Intensification). Peningkayan produksi padi dengan

intensifikasi masih terbuka lebar, salah satunya melalui System of Rice Intensification

(SRI). Budidaya padi dengan Metode SRI perlu dikembangkan sejalan dengan kebutuhan

SRI dalam pemakaian air yang tidak banyak yaitu hanya 40% dari kebutuhan

konvensional, adanya perubahan iklim global (climate change) yang menyebabkan

ketersediaan air makin terbatas berdasarkan ruang dan waktu dan usaha peningkatan IP

dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional (Sukrasno dkk., 2007). System Of

Rice Intensification (SRI) yaitu cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien

dengan proses manajemen sistem perakaran dengan berbasis pada pengelolaan tanah,

tanaman dan air (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2010). Menurut Sampurna (2008), SRI adalah salah satu inovasi metode budidaya

padi yang dikembangkan sejak 1980-an dari Madagaskar. SRI pertama kali dipublikasikan di jurnal Tropicultura tahun 1993. Sejak akhir 1990-an, SRI mulai mendunia sebagai hasil usaha dari Prof. Norman Uphoff, mantan direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD). Tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Sampai sekarang (tahun 2014), SRI telah diuji coba di lebih dari 25 negara dengan hasil panen berkisar 7-10 ton/hektar. Di Indonesia gagasan SRI juga telah di uji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi serta Papua atau diseluruh Indonesia.

Konsep dasar SRI menurut Sampurna (2008) adalah: (a) pindah tanam satu bibit

per lubang, usia sangat muda (7-14 hari setelah semai) dengan jarak tanam longgar (30 cm

x 30 cm) dan (b) pemberian air irigasi terputus-putus tanpa penggenangan di petak sawah.

Menurut Satyanarayana dan Babu (2004) teknologi SRI adalah rendah input,

176

Page 44: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 yaitu sedikit penggunaan bibit, hemat air, hemat pupuk dan pestisida kimia tetapi lebih

banyak menggunakan bahan organik. Hasil kajian para ilmuwan, menyatakan padi

bukan merupakan tanaman air, tetapi dapat bertahan hidup di air, namun tidak

berkembang dengan baik dibawah kondisi hipoksia (cekaman oksigen)(Satyanarayana

dan Babu (2004). Selanjutnya dinyatakan, padi yang dibudidayakan dengan SRI

mempunyai volume perakaran lebih besar, anakan lebih banyak dan kuat dengan malai

besar, gabah lebih berisi dan penuh dengan bobot biji yang lebih tinggi.

Lahan Rawa Lebak Pematang. Upaya pemerintah untuk swasembada beras

berkelanjutan menghadapi tantangan yang berat, karena lahan sawah subur untuk

usaha pertanian terus berkurang karena terjadinya alih fungsi penggunaan lahan,

sementara kebutuhan hasil pertanian terutama beras terus meningkat seiring

pertumbuhan penduduk yang tinggi. Disamping itu menurut Direktorat Perluasan dan

Pengelolaan Lahan (2014) peningkatan produktivitas lahan sawah melandai akibat

cekaman lingkungan dan pemanfaatan intensif di masa lalu. Salah satu alternatif pemecahan masalah sekaligus menjawab tantangan

tersebut adalah memanfaatkan lahan rawa (pasang surut dan lebak) sebagai areal produksi padi (Hendayana, 2010). Selanjutnya dinyatakan bahwa peluang optimalisasi pemanfaatan lahan rawa sangat besar, karena areal lahan rawa sangat luas, sedangkan pemanfaatannya belum intensif. Untuk lahan rawa lebak yang saat ini masih belum optimal, karena senjang (gap) produksi aktual dan potensialnya masih besar, sehingga merupakan salah satu pilihan yang menjanjikan, hal ini didukung dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lahan rawa lebak memiliki potensi untuk dijadikan areal produksi padi (Hendayana, 2010).

Menurut Waluyo dkk. (2012), lahan rawa lebak memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani dengan potensi daya saing yang dapat diusahakan, antara lain adalah dapat diusahakan sepanjang waktu termasuk pada saat musim kemarau. Lahan rawa lebak merupakan rawa yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak-anaknya, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau (Djamhari, 2009). Pemanfaatan lahan rawa lebak khususnya lebak pematang atau dangkal mempunyai kendala (Djamhari, 2009), yaitu hingga sekarang lahan baru dapat dipergunakan pada keadaan air macak-macak sampai dengan ketinggian air lebih kurang 30 cm lahan tersebut ditanami padi sedangkan pada kondisi kering lebih banyak tidak ditanami, dengan kondisi demikian lahan tersebut hanya dapat ditanami satu kali tanam dalam satu tahun.

Hidrologi lahan rawa lebak cocok untuk tanaman padi (Waluyo dan Supartha, 1994), oleh sebab itu padi merupakan salah satu komponen utama dalam sistem usaha tani masyarakat lahan rawa lebak. Berdasarkan hasil penelitian menurut Waluyo dan Supartha (1994) dengan menggunakan varietas unggul, produktivitas padi di lahan rawa lebak dapat mencapai 5,0 – 7,0 ton gabah kering panen per hektar, sehingga prospeknya sangat baik dalam meningkatkan produksi secara intensifikasi.

Daerah rawa lebak Ogan Keramasan di desa Pelabuhan Dalam merupakan dataran

rendah yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut yang berdampak secara langsung

maupun tidak langsung pada pasang surut muka air sungai Ogan dan Keramasan. Naiknya

permukaan air di daerah rawa lebak Ogan Keramasan disebabkan oleh luapan air sungai.

Keadaan air di lahan sawah dipengaruhi oleh keadaan musim,

177

Page 45: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pada musim hujan luapan air sungai yang mencapai lahan melimpah sampai

ketinggian muka air 100 cm, sedangkan keadaan pada saat kemarau berangsur kering

sampai ketinggian muka air tanah -60 cm, dengan rentang waktu terjadi kekeringan

mencapai sekitar 3 - 4 bulan (Saleh dkk., 2013). Berdasarkan lama genangan pada lahan rawa lebak, Lembaga Penelitian dan

Pengembangan (Litbang) Pertanian Lahan Pasang Surut, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, membagi lahan rawa lebak menjadi tiga tipe, yaitu: (1) lebak dangkal atau pematang, terletak dibagian tanggul sungai yang mempunyai kedalam air kurang dari 50 cm dengan masa genangan kurang dari 3 bulan. (2) lebak tengahan terjadi diantara lebak dangkal dengan lebak dalam, dengan kedalaman air antara 50 – 100 cm dengan masa genangan antara 3 – 6 bulan. (3) lebak dalam mempunyai kedalaman air lebih dari 100 cm dengan masa genangan lebih dari 6 bulan (Djamhari, 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa lahan rawa lebak tidak semuanya tergenangi air dalam waktu yang relatif lama tergantung pada keadaan hidrotopografi lebak itu sendiri dan pola hujan serta ketinggian air sungai setempat. Bagian yang memiliki hidrotopografi yang lebih tinggi mempunyai jangka waktu penggenangan lebih pendek dibandingkan dengan yang mempunyai keadaan hidrotopografi lebih rendah (Djamhari, 2009). Berdasarkan kriteria genangan diatas, maka lahan rawa lebak di lokasi penelitian merupakan peralihan rawa lebak tipe pematang ke tipe tengahan.

SRI pada Rawa Lebak Pematang. Penelitian kelayakan penerapan SRI pada

lahan rawa lebak pematang dilakukan dengan cara memperkenalkan praktek SRI

secara bertahap, yaitu dimulai dengan perbaikan tata air, penyiapan lahan,

penambahan bahan organik tanah, pemilihan benih, penyemaian, umur bibit,

penanaman, jarak tanam, jumlah bibit perlobang tanam, dan pemupukan. Hasil penelitian dilapangan terhadap produksi padi kering giling per hektar yang diperoleh petani setelah menerapkan SRI modifikasi (Tabel 1) hasilnya sangat baik dan disajikan pada Tabel 2. Dibandingkan hasil penelitian tahun sebelumnya pada Tabel 3 (tahun 2013) dan hasil pengamatan terhadap praktek budidaya yang dilakukan petani (konvensional), telah terjadi kenaikan produktitas. Hasil praktek secara konvensional oleh petani produktivitasnya 5,383 ton/ha gabah kering panen, sedangkan hasil penelitian modifikasi SRI dilapangan tahun pertama (tahun 2013) produktivitas rata-ratanya 6,067 ton/ha gabah kering panen. Dari hasil penelitian ini dapat dibahas/didiskusikan sebagai berikut : 1. Aspek pengaturan air. Petani lahan rawa lebak belum mengatur tinggi muka air di

sawahnya sesuai kebutuhan air tanaman, dan lebih banyak menyerahkan pengaturan

tinggi muka airnya berdasarkan mekanisme alami, yaitu kenaikan air pada saat pasang,

banjir pada sungai dan curah hujan. Untuk itu mereka tidak membagi lahan sawahnya

berdasarkan kemiringan, akibatnya tinggi muka air disawah tidak merata dan tidak

dapat dikendalikan. Sedangkan untuk penerapan SRI membutuhkan kondisi lahan

yang basah sampai macak-macak dan tidak boleh tergenang dalam waktu lama atau

kekeringan melampau retak rambut, seperti hasil penelitian Kalsim, dkk. (2007) pada

Gambar 1. Untuk itu diperkenalkan sawah berpetak yang ukurannya menyesuaikan

dengan kemiringan lahan. Setelah diperkenalkan sistem sawah berpetak dengan

hasilnya yang baik, maka telah mulai banyak petani mencontohnya. Sedangkan untuk

mempertahankan tinggi muka air dipetak sawah,

178

Page 46: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

maka dilakukan suplesi atau penambahan air melalui irigasi. Sumber air irigasi

berasal dari sumur bor dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) yang dihisap dengan

pompa air dangkal.

Gambar 1. Pengelolaan tinggi muka air pada sawah irigasi SRI Jawa Barat

(Kalsim, dkk., 2007) 2. Penyiapan lahan. Petani sawah rawa lebak pematang belum optimal pengolahan

lahannya, karena tanahnya tergolong berat untuk dibajak dengan bajak singkal.

Kendala ini lebih disebabkan kurang tersedianya tenaga operator handtraktor yang terampil, karena operatornya belum mendapatkan pelatihan yang benar.

Sebagai akibatnya lumpur hasil olahan tanah sawah kurang sempurnah, hal ini ditambah kendala rendahnya bahan organik tanah dan tingginya kadar liat, sehingga sulit melumpur dan cepat keras kembali pada saat air kurang. Untuk itu penambahan bahan organik dan mempertahankan bahan organik sangat penting

dalam memperbaiki struktur lumpur. 3. Pemilihan benih. Petani tidak melakukan pemilihan benih, dari benih kemasan

dilakukan semai semua tanpa memilah antara benih yang berisi dengan benih yang hampa, sebagai akibatnya kualitas bibit tidak semuanya baik. Untuk itu diperkenalkan pemilahan benih menggunakan prinsip hukum Archimides sebelum disemai, yaitu menggunakan air garam dan telor ayam sebagai indikator. Hasilnya tanaman padi memberikan keragaan yang kokoh dan kuat karena berasal dari benih padi yang berisi penuh.

4. Penyemaian. Penyemaian padi oleh petani biasanya dilakukan dengan penyemaian

kering pada pematang. Benih yang telah direndam dan diperam disemai pada lobang-

lobang dengan isi satu sendok per lobang. Setelah bibit berumur 20-25 hari (kadang-

kadang sampai 30 hari) dipindahkan ke sawah atau rebokan, tetapi belum ditanam.

Pada saat pemindahan dilakukan dengan cara pencabutan paksa, sehingga

179

Page 47: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

banyak akar yang putus. Lama waktu fase bibit direbokan berkisar 15 – 30 hari,

tergantung tinggi muka air di lahan sawah, sehingga seringkali bibit yang ditanam

telah berumur 45 – 60 hari, akibatnya tanaman yang baru ditanam banyak yang

langsung berbunga. Untuk modifikasi penerapan SRI dilakukan penyemaian basah

dan benihnya disebar, setelah berumur 15 – 25 hari (berdaun 2) langsung segera

ditanam ke sawah, sehingga tidak ada tindakan yang menyakiti bibit muda seperti

dengan cara pencabutan paksa yang menyebabkan akar terputus, pengikatan dan

pelemparan. Dari hasil pengamatan keragaan pertumbuhan padi antara modifikasi SRI

dan konvensional, terlihat padi dengan pembenihan modifikasi SRI jumlah anakannya

lebih banyak, rumpun lebih besar, lebih tinggi dan lebih kokoh. 5.Penanaman. Penanaman bibit padi dibenamkan dengan tongkat tanam, yaitu dengan

menekan pada bagian pangkal batang secara dalam ke dalam tanah. Pada saat bibit

ditekan dengan tongkat tanam menyebabkan bagian pangkal batang akan rusak dan

menyebabkan bibit mengalami terhenti/mandek (stagnant) pertumbuhannya beberapa

hari, karena itu biasanya beberapa hari setelah bibit ditanam warna daunnya jadi

kuning. Sedangkan dengan SRI, bibit yang ditanam masih kecil sehingga tidak dapat

ditanam dengan tongkat tanam, tetapi cukup dibenamkan dengan tangan. Penanaman

pada SRI menghendaki jarak tanam teratur dan jarang, jumlah bibit perlobang 1

batang. Sebagai modifikasi SRI, bibit ditanam pada umur 15-25 hari dengan jarak

tanam lebih longgar (25 rumpun/m2) dibanding konvensional (33-40 rumpun/m

2) dan

jumlah bibit per lobang 1 – 2 batang.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan SRI dapat diterapkan di lahan rawa lebak pematang secara

terbatas, dengan kendala utama adalah keterbatasan tenaga kerja, keterampilan tenaga

kerja dan budaya masyarakat. Dengan SRI diharapkan dapat meningkatkan

produktivitas lahan dan intensitas tanam menjadi dua kali per tahun. Saran untuk penerapan SRI membutuhkan tahapan, serta adanya percontohan

yang terus menerus, karena akan mengubah budaya pertanaman padi.

180

Page 48: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya yang

telah menyetujui penelitian ini dibiaya dengan dana BOPTN tahun 2014. Ucapan

terima kasih juga disampaikan kepada bapak Ahyat sebagai petani yang telah

membantu penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA Amang, B dan Sawit, M.H. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional Pelajaran

dari Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: IPB Press. Anugrah, I.S., Sumedi dan I.P. Wardana. 2008. Gagasan dan Implementasi System of

Rice intensification (SRI) dalam budidaya padi ekologis (BPE). [Online] http://tatiek.lecture.ub.ac.id/files/2009/08/sri-2.pdf [15 Mei 2011]. J. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 1, Maret 2008 : 75-99

Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. 2014. Pedoman Teknis Pengembangan System Of Rice Intensification TA. 2014. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta, 2014

Djamhari, S., 2009. Penerapan Teknologi Pengelolaan Air Di Rawa Lebak Sebagai Usaha Peningkatan Indeks Tanam Di Kabupaten Muara Enim. J. Hidrosfir Indonesia Vol. 4 No.1 Hal.23 - 28 Jakarta, April 2009 ISSN 1907-1043

Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan

Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional

Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka

Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013 Hendayana, R., 2010. Pengkajian Strategi Percepatan Adopsi Varietas Padi Unggul di

Lokasi Pasang Surut dan Rawa Untuk Meningkatkan 200 % Adopter Di Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah. Laporan Akhir Program Insentif Riset Terapan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Jalan Tentara Pe!ajar No. 10, Bogor

Hessie, R. dan A. Hadianto. 2009. Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Departemen Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (tidak dipublikasikan)

Kalsim, D.K.; Yushar; Subari; M. Deon dan A. Hanhan. 2007. Rancangan Operasional Irigasi untuk Pengembangan SRI. Proseding Seminar KNI-ICID. Bandung, 24 November 2007

Kementerian Pertanian RI., 2013. Konsumsi beras masyarakat Indonesia tertinggi di dunia. http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/ kementerian-pertanian/974-pertanian/13454-konsumsi-beras-masyarakat-indonesia-tertinggi-di-dunia. diakses tanggal 5 September 2014 jam 07:10 WIB

181

Page 49: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Marbun, S. 2013. Satu dasawarsa membangun untuk kesejahteraan rakyat. Penerbit

Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Kominikasi Sosial, Jakarta Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek

Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan)

Pratiwi, P. dan M. Firdaus. 2008. Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor (tidak dipublikasikan)

Saleh, E.; C. Irsan dan M. U. Harun. 2013. Pengelolaan Air Lahan Sawah Rawa Lebak Untuk Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan. Laporan akhir tahun pertama. Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, Indralaya.

Sampoerna . 2008. Tehnik dan Budidaya Penanaman Padi System of Rice Intensification (SRI). Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna, Pasuruan

Soekrasno; D.K. Kalsim; Sutiyadi; Yushar; Subari; M. D. Joubert; T. Pamungkas; H. A. Sofiyuddin dan J. Triyono. 2007. Program Percepatan Penelitian Irigasi Hemat Air pada Budidaya Padi dengan Metode SRI di Tingkat Tersier. Balai Irigasi, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Air, Badan Penelitian Dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta

Waluyo dan I.W. Supartha. 1994. Verifikasi penelitian sistem usahatani di lahan rawa lebak. Laporan tahunan hasil penelitian Proyek ISDP Kayu Agung Departemen Pertanian.

Waluyo, Alkasuma, Susilawati, dan Suparwoto., 2012. Inventarisasi Potensi Daya Saing Spasial Lahan Rawa Lebak untukPengembangan Pertanian di Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. ISSN 2252-6188 Vol. 1, No.1: 64-71, April 2012

182

Page 50: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Display Varietas Unggul Baru (VUB) di Wilayah Sektor Perbenihan Lahan Pasang Surut

Display New Varieties (VUB) in the region Germination sector tidal land

Waluyo, Wiratno, Usman dan Juadi

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

Jl. Kol.H. Burlian KM 6 Palembang. Tlp : (0711) 410155; Fax: (0711)411845) Email: [email protected]

ABSTRACT

Continuously improved rice production to meet the food needs of a growing

population. National rice needs today has touched the figure of more than 30 million tons

per year. On the other hand, the challenges faced in the procurement of paddy production

is getting heavier. The rate of population growth and the level of rice consumption is still

relatively high demand sustained increase in production, while most fertile rice fields have

been converted to other businesses. one solution is to use varieties that suit the local

conditions of the location and nature. The purpose of the activity is to promote the

Agricultural Research product varieties to the farmers in order to get to know and be able

to choose varieties according adaptability agroecosystems and farmer preferences.

Implementation location Mulia Sari village district. Banyuasin, southern Sumatra, from

October-February 2013/2014. Activity display new varieties (VUB) using a randomized

block design, using a 5 (five) varieties and the varieties commonly used local farmers as a

comparison. The number of replicates of 5 (five) and farmers as replications. By using a

randomized block design (RBD). Parameters measured were plant height, number of

tillers, number of productive tillers, days to flowering, harvesting, production in the form

of dry grain crops and pests / diseases that attack. It also will be counting the number of

the outpouring of labor and farmers' perceptions of the varieties studied. Other data are

nutrient status with PUTS and precipitation during the study. Data were analyzed by

analysis of variance and continued with different test HSD 5%. To find out the benefits of

farmers used the method of R / C ratio. At the age of 4 weeks and 8 weeks after planting

stocking each variety were planted, namely Inpari 1, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 13, 30 and

varieties Inpari Situbagendit, showed excellent growth, varieties which have more number

of tillers with varieties (Situbagendit) when the plants age 8 MSS is Inpari 1 Inpari 10, and

Inpari 30 based on the results of the calculation are tabulated average have the highest

number of tillers, respectively 16.60 and 16.24 and 14, 20 tillers per hill, while the lowest

is owned by Inpari 6 average 11.96 stems per clump. While the components of plant

height, it appears that the varieties Bagendit the most prominent plant height compared to

other varieties, namely the plant height 88.25 cm, while the varieties which have the

lowest height is owned by Inpari 1, and Inpari 30; each plant height 69.35 cm; and 70.80

cm. Productivity in each rice varieties studied were Inpari 30 with the results of 6.6 tonnes

/ ha, and Inpari 6, Inpari 10, 13 and Situ Bagendit Inpari respectively of

183

Page 51: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 5.2; 6.1; 5.1; 5.0, and 5.7 tons / ha. The use of high yielding varieties in rice farming

in tidal land favorably with the value of BC ratio> 1 Keywords: tidal marsh land, varieties, production

ABSTRAK

Produksi padi terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk

yang terus bertambah. Kebutuhan beras nasional dewasa ini telah menyentuh angka lebih

dari 30 juta ton per tahun. Disisi lain, tantangan yang dihadapi dalam pengadaan produksi

padi semakin berat. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif

masih tinggi menuntut peningkatan produksi yang sinambung, sementara sebagian lahan

sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya. salah satu solusinya adalah

menggunakan varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Adapun

tujuan dari kegiatan adalah mempromosikan varietas produk Litbang Pertanian kepada

masyarakat petani agar lebih mengenal dan dapat memilih varietas sesuai kemampuan

adaptasi agroekosistem dan preferensi petani. Lokasi Pelaksanaan desa Mulia Sari Kab.

Banyuasin, Sumatera selatan, mulai Oktober-Febuari 2013/2014. Kegiatan display

Varietas Unggul Baru (VUB) menggunakan rancangan acak kelompok, dengan

menggunakan 5 (lima) varietas dan satu varietas yang biasa digunakan petani setempat

sebagai pembanding. Jumlah ulangan 5 (lima) dan petani sebagai ulangan. Dengan

menggunakan rancangan Acak Kelompok (RAK). Parameter yang diamati adalah tinggi

tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, produksi

dalam bentuk gabah kering panen dan hama/penyakit yang menyerang. Selain itu juga

akan dilakukan penghitungan jumlah curahan tenaga kerja dan persepsi petani tentang

varietas yang dikaji. Data lainnya adalah status hara dengan PUTS dan curah hujan selama

kajian. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda BNJ 5%.

Untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh petani digunakan metode R/C ratio. Pada

umur 4 minggu dan 8 minggu setelah tanam tebar masing-masing varietas yang ditanam,

yaitu varietas Inpari 1, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 13 , inpari 30 dan varietas Situbagendit,

menunjukan pertumbuhan yang sangat baik, Varietas yang memiliki jumlah anakan lebih

banyak dengan varietas pembanding (Situbagendit) pada saat tanaman umur 8 MSS yaitu

varietas Inpari 1 Inpari 10, dan Inpari 30 berdasarkan hasil perhitungan secara tabulasi

rata-rata memiliki jumlah anakan yang tertinggi, yaitu masing-masing 16,60 dan 16,24

dan 14,20 anakan per rumpun, sedangkan terendah dimiliki oleh varietas Inpari 6 rata-rata

11,96 batang per rumpun. Sedangkan komponen tinggi tanaman, terlihat bahwa varietas

Situ Bagendit dengan tinggi tanaman yang paling menonjol dibandingkan dengan varietas

lainnya, yaitu dengan tinggi tanaman 88,25 cm, sedangkan varietas yang memiliki tinggi

terendah dimiliki oleh varietas Inpari 1, dan Inpari 30; masing-masing tinggi tanaman

69,35 cm; dan 70,80 cm. Produktivitas pada masing-masing varietas padi yang dikaji

adalah Inpari 30 dengan hasil 6,6 ton/ha, dan Inpari 6 , Inpari 10, Inpari 13 dan Situ

Bagendit masing-masing sebesar 5,2; 6,1; 5,1; 5,0, dan 5,7 ton/ha. Penggunaan varietas

unggul pada usahatani padi di lahan pasang surut menguntungkan dengan nilai BC ratio > Kata kunci : lahan rawa pasang surut, varietas, produksi

184

Page 52: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PENDAHULUAN

Produksi padi terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan

penduduk yang terus bertambah. Kebutuhan beras nasional dewasa ini telah menyentuh angka lebih dari 30 juta ton per tahun. Disisi lain, tantangan yang dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut peningkatan produksi yang

sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya. Perubahan iklim global juga menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi. Ancaman kekeringan dimusim kemarau dan

kebanjiran dimusim hujan sudah semakin sering melanda pertanaman petani. Naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global telah menyebabkan semakin meluasnya

lahan salin yang mengancam produksi padi (Departemen Pertanian, 2006). Lahan rawa memberikan sumbangan total terhadap produksi beras Sumatera

Selatan cukup tinggi, dimana komoditas tersebut merupakan usahatani yang sudah lama diusahakan oleh petani. Namun teknis budidaya yang dilakukan masih bersifat tradisional. Peluang untuk meningkatkan pendapatan petani melalui usahatani usahatani tanaman pangan cukup besar, hal ini didukung oleh potensi sumberdaya alam. Perbaikan teknologi diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani di lahan rawa.

Penggunaan varietas unggul yang dilepas oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi masih terbatas untuk lahan rawa. Hasil penelitian sebelumnya, varietas unggul padi untuk sawah irigasi seperti Ciherang, IR 42, Ciliwung, Batang Pariaman dapat tumbuh baik di lahan rawa dengan poduksi 5,0-7,0 ton gkp/ha (Waluyo. et al, 2008). Pada tahun 2008, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah melepas varietas unggul baru diantaranya untuk lahan rawa yaitu Inpara 1 toleran keracunan Fe dan Al, Inpara 2 tahan HDB/Blast dan Inpara 3 toleran rendaman selama 6 hari pada fase vegetatif dan untuk lahan sawah irigasi seperti Inpari 1 sampai Inpari 9 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2008).

Dari masalah tersebut di atas, salah satu solusinya adalah menggunakan varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas tanaman dan dapat dengan cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaannya lebih praktis. Karena keterbatasan pengetahuan petani akan varietas yang cocok ditanam di lahan rawa, menyebabkan petani menggunakan varietas-varietas yang diperuntukan bagi lahan sawah irigasi. Padahal, Badan Litbang Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas untuk kondisi sub optimal, diantaranya varietas padi lahan rawa, namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke pengguna. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas. Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah mempromosikan varietas produk Litbang Pertanian kepada masyarakat petani agar lebih mengenal dan dapat memilih varietas sesuai kemampuan adaptasi agroekosistem dan preferensi petani.

185

Page 53: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

BAHAN DAN METODE

Pengkajian akan dilaksanakan di Desa Mulya Sari, Kecamatan Tanjung Lago

Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, yang akan dilaksanakan pada bulan Oktober

sampai dengan Desember 2013. Pendekatan yang ditempuh dalam display varietas menganut azas-azas partisipatif yang keterkaitan antara peneliti, penyuluh dan petani

serta bimbingan teknis selama pengujian kepada petani. Kegiatan akan dilaksanakan

di Kabupaten Banyuasin dengan tipologi lahan sawah pasang surut pada musim

Tanam 2013.

Kegiatan display varietas unggul baru di lahan sawah pasang surut dengan luas

per plot 20 x 25 m2 dengan 6 varietas 1). Inpari 1; 2) Inpari 6; 3) Inpari 10; 4) Inpari 13, dan 5) Inpari 30, dan varietas Situbagendit (pembanding) sebagai perlakuan, dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 ulangan (petani kooperator). Paket teknologi yang digunakan berdasarkan pengelolaan tanaman

terpadu lahan rawa. Bibit padi yang ditanam secara atabela dengan sistem legowo, jarak tanam yang digunakan 25 x 25 cm. Dosis pupuk yang digunakan 200 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl per ha. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat

tanam berumur 10 hari, sedangkan Pupuk Urea diberikan 3 kali yang terdiri 1/3 dosis pada waktu 10 hari setelah tanam, 1/3 dosis pada umur 4 minggu setelah tanam dan 1/3 dosis pada umur 7 minggu setelah tanam.

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, produksi dalam bentuk gabah kering panen dan hama/penyakit yang menyerang. Selain itu juga akan dilakukan penghitungan jumlah curahan tenaga kerja dan persepsi petani tentang varietas yang dikaji. Data lainnya adalah status hara dengan PUTS dan curah hujan selama kajian. Selanjutnya Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda BNJ 5%. Untuk mengetahui kelayakan finansial usahatani padi meliputi pendapatan bersih dan nilai BC Ratio menggunakan metoda input-output analisis (Malian, 2004).

(RAVC) B C ratio = ----------------

TVC Dimana : BC ratio = Nisbah pendapatan terhadap biaya P = Harga jual padi (Rp/kg) TVC = Biaya total (Rp/ha/musim) RAVC = (Q x P) – TVC Q = Total produksi padi (kg/ha/musim) Dengan keputusan : BC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas BC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan

HASIL

186

Page 54: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan beberapa varietas pada umur 4

minggu dan 8 minggu, MH 2013 di Desa Mulya sari Kecamatan Tanjung

Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera selatan

Varietas Umur 4 MSS Umur 8 MSS

Tinggi Jumlah Tinggi Jumlah anakan

tanaman anakan tanaman

Inpari 1 31,02 8,24 69,35 16,60

Inpari 6 31,48 8,16 75,76 11,96

Inpari 10 31,84 10,08 72,24 16,24

Inpari 13 37,56 8,40 71,76 12,32

Inpari 30 36,10 9,52 70,80 14,20

Situbagendit 43,24 7,84 84,72 12,30

Tabel 2. Tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang malai pada kegiatan display

varietas unggul baru (VUB), MH 2013 di Desa Mulya sari Kecamatan Tanjung

Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan Varietas Tinggi Jumlah anakan Panjang malai (cm)

tanaman (cm) Produktif Inpari 1 78,0 a 13,4 ab 22,8 a Inpari 6 95,5 b 11,9 a 24,5 b Inpari 10 90,5 ab 11,8 a 22,2 a Inpari 13 76,2 a 15,0 b 24,0 b Inpari 30 98,8 bc 14,8 b 23,0 a

Situ Bagendit 95,1 b 13,1 ab 23,2 a Keterangan: Angka yang diikuti hurup yang sama pada kolom yang sama, tidak

berbeda nyata pada taraf 5% Tabel 3. Jumlah gabah isi, gabah hampa, umur panen dan hasil gabah pada kegiatan

display varietas unggul baru (VUB), MH 2013 di Desa Mulya sari

Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Sumatera selatan Varietas Jumlah gabah Jumlah Bobot Umur Hasil

isi/malai gabah 1000 butir panen ton/h

hampa/malai (gram) (hari) a Inpari 1 85,5 a 7,3 a 27,0 108 5,2 a Inpari 6 111,0 b 33,5 c 27,5 119 6,1 b Inpari 10 87,0 a 20,5 bc 28,0 112 5,1 a Inpari 13 97,1 ab 22,2 bc 25,4 98 5,0 a Inpari 30 115,0 bc 15,5 b 27,0 112 6,6 bc

Situ Bagendit 106,0 b 14,4 b 27,5 115 5,7 ab Keterangan: Angka yang diikuti hurup yang sama pada kolom yang sama, tidak

berbeda nyata pada taraf 5% .

187

Page 55: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Introduksi padi varietas unggul baru, penanaman suatu varietas yang terus menerus, disuatu tempat dalam jangka waktu yang lama, seperti halnya varietas Ciherang sangat tidak dianjurkan. Hal tersebut menyebabkankan produktivitas tanaman menjadi rendah, menjadi tidak tahan terhadap penyakit utama, yang

dikarenakan secara genetis sudah tidak murni lagi karena ditanam terlalu lama kemungkinan telah terjadi persilangan dengan varietas-varietas laian, yang umumnya berpotensi produksinya rendah. Pada awalnya varietas tersebut tahan terhadap hama wereng, tetapi apabila ditanam secara terus menerus, hama wereng akan membentuk

biotipe-biotipe baru, sehingga tanaman menjadi tidak tahan. Untuk mengganti varietas tersebut telah diadaptasikan varietas unggul baru

(VUB), seperti varietas Inpari 1, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 13 dan inpari 30, dengan adanya introduksi varietas unggul baru ini diharapkan dapat mengurangi proporsi penggunaan varietas Ciherang. Selain untuk meningkatkan produktivitas juga untuk mmperlambat keganasan hama dan penyakit, karena varietas Ciherang sudah rentan terhadap hama dan penyakit.

Tingginya minat petani untuk menanam varietas Ciherang karena petani

menyukai beras yang bulirnya panjang, dengan tekstur nasi yang pulen, dan bobot

gabah berat. Untuk itu telah dirakit beberapa varietas menyerupai Ciherang,

diantaranya varietas Inpari. Selain itu penanaman satu varietas untuk dua musim yang

berbeda (musim hujan dan musim kemarau) juga tidak baik, karena ada indikasi

varietas tertentu disuatu daerah tertentu baik baik ditanam pada musim hujan belum

tentu baik ditanam pada musim berikutnya, untuk itu perlu diadakan pergiliran

varietas antar musim. Program peningkatan ketahanan pangan memerlukan dukungan subsistem sarana

produksi diantaranya benih. Berbagai sebab belum digunakannya varietas unggul baru (VUB) antara lain kurangnya informasi keberadaan varietas tersebut dengan berbagai sifat keunggulannya serta ketersediaan benih varietas unggul terbatas. Untuk mendorong penyebaran benih varietas unggul diperlukan pengenalan varietas melalui sosialisasi varietas dan teknik produksi benih kepada penangkar di daerah sentra produksi (Marwoto et al. 2006). dengan strategi tersebut diharapkan akan terjadi percepatan waktu dalam adopsi produksi benih dan meningkatnya produksi benih. Varietas unggul merupakan salah satu komponen paket teknologi budidaya padi secara nyata dapat

Keragaan Tanaman Padi meningkatkan produktivitas dan pendapatan

petani, pada kegiatan display varietas unggul baru (VUB) padi tahun 2013, pada

musim hujan di lahan pasang surut menggunakan varietas Inpari 1, Inpari 6, Inpari

10, Inpari 13, inpari 30 dan Situ Bagendit (sebagai pembanding). Pertumbuhan awal, Secara umum pertumbuhan awal cukup baik, hal ini dicirikan dengan persentase tumbuh cukup tinggi (>90%). Pengamatan persentase tumbuh dilakukan 10 hari setelah benih ditanam. Secara rata-rata semua varietas memberikan persentase tumbuh yang baik yaitu diatas 90%.

Pertumbuhan fase vegetatif, pada umur 4 minggu dan 8 minggu setelah tanam tebar masing-masing varietas yang ditanam, yaitu varietas Inpari 1, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 13, inpari 30 dan varietas Situbagendit, menunjukan pertumbuhan yang sangat baik, hal ini terlihat dari jumlah anakan yang banyak, warna daun hijau tua. Jumlah

188

Page 56: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 anakan dan tinggi tanaman sebagai salah satu indikator tingkat perkembangan

tanaman dapat dilihat pada tabel 1. Varietas yang memiliki jumlah anakan lebih banyak dengan varietas

pembanding (Situbagendit) pada saat tanaman umur 8 MSS yaitu varietas Inpari 1 Inpari 10, dan Inpari 30 berdasarkan hasil perhitungan secara tabulasi rata-rata memiliki jumlah anakan yang tertinggi, yaitu masing-masing 16,60 dan 16,24 dan 14,20 anakan per rumpun, sedangkan terendah dimiliki oleh varietas Inpari 6 rata-rata 11,96 batang per rumpun. Sedangkan komponen tinggi tanaman, terlihat bahwa varietas Situ Bagendit dengan tinggi tanaman yang paling menonjol dibandingkan dengan varietas lainnya, yaitu dengan tinggi tanaman 88,25 cm, sedangkan varietas yang memiliki tinggi terendah dimiliki oleh varietas Inpari 1, dan Inpari 30; masing-masing tinggi tanaman 69,35 cm; dan 70,80 cm, seperti disajikan pada tabel 1.

Tinggi tanaman merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat produksinya. Tinggi tanaman mempunyai pengaruh yang besar terhadap hubungan antara panjang malai dengan hasil. Tanaman yang tumbuh baik mampu menyerap hara dalam jumlah yang banyak. Ketersediaan hara ditanah berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas fotosintesis tanaman, sehingga akan meningkatan pertumbuhan dan komponen hasil tanaman (Yosida, 1981).

Pertanaman pada saat generatif, data yang diamati dalam pengkajian ini adalah tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif (anakan), panjang malai (cm), jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai (butir), bobot 1000 butir (gram), umur panen (hss), dan produksi (ton/ha). Berdasarkan hasil pengkajian menunjukkan bahwa perlakukan berbeda nyata dengan semua parameter yang diamati.

Tinggi Tanaman, hasil analisis sidik ragam 6 varietas padi yang dikaji

menujukkan terdapat dua varietas yang tidak berbeda nyata tinggi tanaman yaitu

varietas Inpari 1 dan Inpari 13, namun berbeda nyata dengan varietas Inpari 6, 30 dan

Situbagendit. Varietas Inpari 6, inpari 30 dan Situ Bagendit mempunyai tinggi

tanaman 95,5 cm; 98,8 dan 95,1 cm, sedangkan tinggi tanaman yang lainnya, varietas

Inpari 1, Inpari 10 dan Inpari 13 mempunyai tinggi tanaman masing-masing 78,0 cm,

90,5 cm dan 76,2 cm. Seperti disajikan pada tabel 2.

Jumlah anakan Produktif, hasil pengamatan jumlah anakan produktif pada

saat menjelang panen berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan varietas Inpari 6 dan inpari 10 tidak berbeda nyata, namun berbedanyata dengan varietas Inpari 13 dan Inpari 30. Jumlah anakan tertinggi diperoleh varietas Inpari 13 dengan jumlah anakan

15,0 batang., dan diikuti oleh varietas Inpari 30 dengan jumlah anakan 14,8 batang per rumpun. Sedangkan julah anakan terendah diperoleh oleh varietas Inpari 6 dan Inpari 10 dengan jumlah anakan 11,6 batang dan 11,8 batang per rumpun. Hal ini disebabkan pada saat pembentukan anakan produktif atau pengisian bulir pengaruh lingkungan

sangat mendukung. Menurut Lesmana et al. (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tanaman padi tinggi adalah kondisi anakan produktif yang banyak.

189

Page 57: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Panjang malai, panjang malai pada varietas Inpari 6 dan Inpari 13 Tidak

berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan varietas lainnya yaitu varietas Inpari 1,

Inpari 10, Inpari 30 dan varietas Situ Bagendit. Panjang malai terpanjang diperoleh

pada varietas Inpari 6 dengan panjang malai 24,6 cm, sedangkan panjang malai

terendah diperoleh pada varietas Inpari 10 yaitu 22,2 cm. Bervariasinya pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan

panjang malai dari varietas-varietas yang diuji akibat dari faktor genetik dari masing-masing varietas dan faktor lingkungan, yaitu ketersediaaan air, kesuburan tanah, jarak tanam dan suhu, karena faktor tersebut dapat menetukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Ismunadji et al, 1989).

Jumlah gabah isi dan Umur panen, Jumlah gabah permalai lebih banyak

dipengaruhi oleh aktivitas tanaman selama fase reproduktif yaitu dari primordia sampai penyerbukan. Jumlah gabah permalai merupakan komponen yang sangat

penting dalam menentukan komponen hasil. Hasil pengamatan jumlah gabah per

malai, menunjukkan bahwa varietas Inpari 30 memiliki jumlah gabah permalai

terbanyak, yaitu 115 butir per malai dan berbeda nyata dengan varietas Inpari 1, dan Inpari 10, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 6, Inpari 13 dan Situ

Bagendit. varietas Inpari 1, dan Inpari 10 memiliki jumlah gabah/malai berbeda nyata

dengan varietas lainnya lainnya. Jumlah gabah isi terendah dimiliki oleh varietas

Inpari 1 dan Inpari 10 masing-masing , yaitu 85,5 dan 87,0 gabah isi per malai. Pengamatan terhadap jumlah gabah hampa varietas Inpari 1 berbeda nyata

dengan varietas lainnya, dengan jumlah gabah hampa permalai sebesar 7,3 permalai. Sedangkan varietas Inpari 10, Inpari 13, Inpari 30 dan varietas Situ Bagendit tidak berbeda nyata satu sama lainnya, dengan jumlah gabah hampa masing-masing 20,5; 22,2; 15,5; dan 14,4 gabah hampa permalai, namun verietas tersebut berbeda nyata dengan varietas Inpari 1.

Untuk bobot 1000 butir bervariasi pada masing-masing varietas. Bobot tertinggi pada varietas Inpari 10 yaitu 28 gram, sedangkan bobot terendah pada varietas Inpari 13 yaitu 25,4 gram per 1000 bulir.

Tinggi rendahnya persentase gabah isi per malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap varietas terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan. Dikemukakan oleh Simanulang (2001) bahwa jumlah gabah isi per malai berhubungan nyata dengan hasil tanaman tetapi sangat dipengaruhi oleh gabah hampa. Sedangkan umur panen menunjukkan bahwa antara 98 hari setelah tanam sampai 119 hari setelah tanam, umur panen tercepat terdapat pada varietas inpari 13 dan Inpari 1, sedangkan umur panen lebih lama pada varietas Inpari 6.

Produktivitas, rata-rata produktivitas pada masing-masing lebih dari 5,0

ton/ha, varietas yang dikaji menujukkan bahwa varietas Inpari 30 dengan hasil 6,6

ton/ha berbeda nyata dengan varietas lainnya, yaitu varietas Inpari 1, Inpari 10, dan

Inpari 13. Dengan produksi pada masing-masing varietas 5,2 ; 5,1, dan 5,0 ton/ha.

Sedangkan varietas Inpari 1 tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 10 dan Inpari

13, seperti disajikan pada Tabel 3.

190

Page 58: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Banyaknya gabah bernas maupun bobot 1000 butir berhubungan erat dengan

tinggi hasil yang diperoleh. Faktor yang paling penting untuk memperoleh hasil gabah

yang tinggi tergantung pada jumlah pembentukan jumlah anakan serta dipengaruhi

oleh sifat genetik masing-masing yang berinteraksi dengan faktor lingkungan

(Vergara, 1985), selanjutnya jumlah gabah hampa permalai dan umur tanaman

merupakan faktor pendukung utama untuk potensi hasil, yang merupakan salah satu

sifat yang perlu bagi varietas unggul lahan rawa (Suwarno et al., 1993).

Analisis Usahatani Padi, analisis usahatani padi pada lahan pasang surut

terhadap 6 varietas unggul padi Inpari 1 (5,2 ton/ha), Inpari 6 (6,1 ton/ha); Inpari 10 (5,1 ton/ha), Inpari 13 (5,0 ton/ha); Inpari 30 (6,6 ton/ha) dan Situ Bagendit (5,7 ton/ha), dengan harga jual gabah Rp 3.500/kg gkp, maka diperoleh penerimaan per

hektar per musim untuk Inpari 1 (Rp 18.200.000 ), Inpari 6 (Rp 21.350.000); Inpari 10 (Rp 17.850.000 ), Inpari 13 (Rp 17.500.000 ), Inpari 30 (Rp 23.100.000 ) dan Situ

Bagendit (Rp 19.950.000 ), sedangkan biaya produksi mencapai Rp 8.100.000 /ha/musim. Sehingga pendapatan bersih yang diperoleh untuk Inpari 1 (Rp 10.100.000

), Inpari 6 (Rp 13.250.000); Inpari 10 (Rp 9.750.000 ), Inpari 13 (Rp 9.400.000 ), Inpari 30 (Rp 15.000.000 ) dan Situ Bagendit (Rp 11.850.000. dengan nilai B/C ratio berturut-turut sebesar 1,3 ;1,6; 1,2; 1,2; 1,9 dan 1,5. Dengan demikian penggunaan varietas unggul pada usahatani padi di lahan pasang surut menguntungkan dengan

nilai BC ratio > 1 , disajikan pada lampiran 1.

KESIMPULAN 1. Produktivitas pada masing-masing varietas padi yang dikaji adalah Inpari 30

dengan hasil 6,6 ton/ha, dan Inpari 6 , Inpari 10, Inpari 13 dan Situ Bagendit

masing-masing sebesar 5,2; 6,1; 5,1; 5,0, dan 5,7 ton/ha. 2. Respon petani dari enam varietas yang dikaji, ada dua varietas yang direspon

petani yaitu varietas Inpari 30 dan Inpari 6. 3. Penggunaan varietas unggul pada usahatani padi di lahan pasang surut

menguntungkan dengan nilai BC ratio > 1 4. Berdasarkan hasil identifikasi, pertanaman padi yang dilakukan petani di kawasan

Kecamatan Tanjung Lago tepatnya di Desa Mulya Sari, membuktikan bahwa upaya peningkatan beras nasional dapat diwujudkan salah satunya dengan mewujudkan IP padi 200 ini.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Info padi tahun 2008. Balai Besar

Penelitian Tanaman Pad. Sukamandi. Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi 2007.

Badan Litbang Pertanian , Departemen Pertanian. Jakarta, 37 Hal.

191

Page 59: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Departemen Pertanian, 2006. Arah dan Strategi Sistem Perbenihan Tanaman Nasional.

Jakarta. ISBN : 979-1159-03-3. 53 Hal. Ismunadji et al,. 1988. padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan Bogor. Lesmana, O.S, H.M. Toha, I.Las dan B. Suprihanto. 2004. Varietas unggul baru padi.

Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Marwoto,D. Harnowo, M.M. Adie, M. Anwari, J. Purnomo, Riwanodja dan Subandi.

2006. Panduan teknis produksi benih sumber kedelai, kacang tanah dan kacang

hijau. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang. Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Dalam

Bambang Prayudi dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil

penelitian/pengkajian Spesifik lokasi. BPTP Jambi. Suwarno dan T. Suhartini. 1993. Perbaikan Varietas Padi Untuk menunjang

Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Dalam Prosiding Simposium

Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor, 23 – 25 Agustus 1993. Waluyo, Suparwoto, Supartha dan Legino. 2008. Laporan tahunan kegiatan Prima

Tani Desa Kota daro II, Kecamatan Rantau Panjang Kabupaten Ogan Ilir. Balai

Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Vergara, B. S.1985. Petunjuk untu penyawahan; komponen hasil; unsur-unsur yang

mempengaruhi hasil padi. Bharatara Karya Aksara. Bekerjasama dengan

International Rice research Institute. Los Banos-Philippines. Yosida, S. 1981. Fondamental of rice crop science. IRRI-Manila.

192

Page 60: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Lampiran 1. Analisis usahatani kegiatan display varietas unggul baru (VUB), MH

2013 di Desa Mulya sari Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten

Banyuasin, Sumatera Selatan

No Sarana Produksi Satuan Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1. Benih 30 kg 10000 300.000 2. Pupuk 1 paket 1200.000 1200.000

3. Pestisida 1 paket 800.000 800.000 Jumlah (Rp) 2.300.000 4. Tenaga kerja 5.800.000 Jumlah (Rp) 5.800.000 Total biaya (Rp) 8.100.000 5 Penerimaan (Rp)

Inpari 1 5,2 3500 18.200.000 Inpari 6 6,1 3500 21.350.000 Inpari 10 5,1 3500 17.850.000 Inpari 13 5,0 3500 17.500.000 Inpari 30 6,6 3500 23.100.000

Situ Bagendit 5,7 3500 19.950.000 6 Pendapatan bersih

(Rp)

Inpari 1 10.100.000 Inpari 6 13.250.000 Inpari 10 9.750.000 Inpari 13 9.400.000 Inpari 30 15.000.000

Situ Bagendit 11.850.000 7 BC ratio

Inpari 1 1,3 Inpari 6 1,6 Inpari 10 1,2 Inpari 13 1,2 Inpari 30 1,9 Situ Bagendit 1,5 Keterangan : Harga gabah Rp 3500/kg gabah kering panen

193

Page 61: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengkajian Varietas Padi Rawa (Inpara) untuk Meningkatkan

Pendapatan Petani Rawa Lebak di Kabupaten Ogan Ilir

Sumatera Selatan

Assessment of swamp rice varieties (Inpara) to increase

income of farmers in the lowland swamp Ogan Ilir

South Sumatra

Waluyo, Suparwoto dan Rajulis

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

Jl. Kol.H. Burlian KM 6 Palembang. Tlp : (0711) 410155; Fax: (0711)411845) Email: [email protected]

ABSTRACT

Lowland swamp land is marginal lands that have significant potential to be

developed in South Sumatra, but only a fraction are used as agricultural land. The main

constraints hamper the development of lowland swamp agrofisiknya apart due mainly

fluctuations puddles, as well as technical factors, socio-economic and institutional. Efforts

to improve the condition of the lowland swamp land is through improved technology-

specific farming system that is capable of improving the productivity of the land and be

able to increase the income of farmers. Rice Farming Systems Assessment in Land

Swamp Lebak implemented Desa Kota Daro II, MT 2013 District of Rantau Panjang

Ogan Ilir, South Sumatra. Activities in the field test will be conducted in 2013 in the

lowland swamp wetland area per plot 50 x 10 m2 with 5 varieties (i) Inpara 2; ii) Inpara 3;

iii) Inpara 4; iv) Inpara 5, and v) Ciherang as treatment, using a randomized block design

(RBD) with 7 replicates (farmer cooperators). Package technology used by integrated crop

management lowland swamp land (PTT lowland swamp). -Old rice seedlings were planted

30 days the number of seeds 2-3 per hole, spacing used 25 x 25 cm. The dose of fertilizer

used 100 kg of urea, 100 kg SP-36 and 100 kg of KCl per ha. Fertilizer SP-36 and KCl are

given at planting while Urea given 3 times that consists 1/3 dose at the time of planting,

1/3 dose at age 4 weeks after planting and 1/3 dose at the age of 7 weeks after planting.

The assessment aims to increase the income of farmers in rice farming in swampy areas

through the use of high yielding varieties adaptive, balanced fertilization and pest and

disease control in an integrated manner. The assessment results show that the varieties

Inpara 2, Inpara 3, 4 Inpara Inpara 5 and Ciherang when given the recommended dose of

fertilizer is 100 kg / ha of urea, 100 kg / ha SP 36 and 100 kg / ha KCl able to deliver the

highest yield varieties Inpara 2 of 2.9 tonnes / ha, 3 Inpara varieties of 3.0 tonnes / ha,

Inpara 4 of 3.6 tonnes / ha, Inpara 5 Ciherang 2.9 and 2.7 tonnes / ha. Overall this study

shows that the introduction of technology use can increase production, which in turn can

increase the income of farmers in lowland swamp land Keywords: Lowland swamp, varieties, farmers' income

194

Page 62: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

ABSTRAK

Lahan rawa lebak merupakan lahan marjinal yang mempunyai potensi cukup besar

untuk dikembangkan di Sumatera Selatan, tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan

sebagai lahan pertanian. Kendala utama terhambatnya pengembangan rawa lebak selain

karena faktor agrofisiknya terutama fluktuasi genangan air, juga karena faktor teknis,

sosial ekonomi dan kelembagaannya. Usaha untuk memperbaiki kondisi lahan rawa lebak

tersebut adalah melalui perbaikan teknologi sistem usahatani yang spesifik lokasi yang

mampu meningkatkan produktivitas lahan serta mampu meningkatkan pendapatan petani.

Pengkajian Sistem Usahatani Padi di Lahan Rawa Lebak dilaksanakan Desa Kota Daro II,

MT 2013 Kecamatan Rantau Panjang Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Kegiatan

pengujian di lapangan akan dilaksanakan pada 2013 di lahan sawah rawa lebak dengan

luas per plot 50 x 10 m2 dengan 5 varietas (i) Inpara 2; ii) Inpara 3; iii) Inpara 4; iv)

Inpara 5, dan v) Ciherang sebagai perlakuan, dengan menggunakan rancangan acak

kelompok (RAK) dengan 7 ulangan (petani kooperator). Paket teknologi yang digunakan

berdasarkan pengelolaan tanaman terpadu lahan rawa lebak (PTT rawa lebak). Bibit padi

yang ditanam berumur 30 hari dengan jumlah bibit 2 - 3 per lubang, jarak tanam yang

digunakan 25 x 25 cm. Dosis pupuk yang digunakan 100 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100

kg KCl per ha. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam sedangkan Pupuk Urea

diberikan 3 kali yang terdiri 1/3 dosis pada waktu tanam, 1/3 dosis pada umur 4 minggu

setelah tanam dan 1/3 dosis pada umur 7 minggu setelah tanam. Pengkajian bertujuan

untuk meningkatan pendapatan petani dalam usahatani padi di lahan lebak melalui

penggunaan varietas unggul adaptif, pemupukan yang seimbang dan pengendalian hama

penyakit secara terpadu. Hasil pengkajian menunjukan bahwa varietas Inpara 2, Inpara 3,

Inpara 4 Inpara 5 dan Ciherang apabila diberi dosis pupuk sesuai anjuran yaitu 100 kg/ha

Urea, 100 kg/ha SP 36 dan 100 kg/ha KCl mampu memberikan hasil panen tertinggi

varietas Inpara 2 sebesar 2,9 ton/ha , varietas Inpara 3 sebesar 3,0 ton/ha, Inpara 4 sebesar

3,6 ton/ha, Inpara 5 sebesar 2,9 dan Ciherang 2,7 ton/ha. Secara keseluruhan pengkajian

ini menunjukan bahwa penggunaan teknologi introduksi dapat meningkatkan produksi

yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani di lahan rawa lebak. Kata kunci: Rawa lebak, varietas, pendapatan petani

PENDAHULUAN

Perubahan iklim global merupakan fenomena faktual yang telah banyak

mempengaruhi peradaban global dan sistem pertanian. Dampak perubahan iklim tersebut

khususnya terhadap produksi padi akan sangat tergantung pada pola perubahan aktual

yang terjadi di daerah penanaman padi tersebut. Pada daerah-daerah yang muka air

tanahnya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka air sungai dan pasang surut air laut,

sistem budidaya padi akan sangat terpengaruh. Pada musim hujan, pengaruh tersebut akan

makin dominan. Daerah sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran

rendah akan sangat rentan terhadap semakin besarnya peluang terjadinya banjir.

195

Page 63: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Kondisi lahan rawa yang spesifik dan karakternya yang marjinal menyebabkan

perlunya penanganan yang berbeda dengan kondisi lahan lainnya. Sebagian besar

varietas padi yang dihasilkan pemulia dan yang populer digunakan petani merupakan

varietas yang dapat berproduksi baik pada kondisi yang optimal. Masih sangat sedikit

sekali ditemui varietas unggul yang toleran dengan kondisi di lahan rawa lebak.

Beberapa penelitian dan kajian telah banyak dilakukan tentang karakter tanaman yang

toleran dengan kondisi sub optimum khususnya di lahan rawa. Lahan rawa khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya

lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian tanaman pangan khusunya padi. Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), potensi pengembangan cukup luas mencapai 2,98 juta ha namun yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman padi baru seluas 0,37 juta ha, yang terdiri dari 0,07 juta ha lebak dangkal; 0,13 juta ha lebak tengahan, dan 0,17 juta ha lebak dalam, (Wijaya Adhi et,. 1992). Ditinjau dari potensi luas lahan dan penyebarannya, agroekosistem lahan rawa lebak mempunyai potensi untuk peningkatan produktivitas pertanian serta pemerataan dan peningkatan pendapatan petani. Akan tetapi pemanfaatan lahan rawa belum optimal, akibatnya dukungan potensi yang ada belum secara nyata diikuti oleh peningkatan produktivitas dan pendapatan petani.

Karena memiliki berbagai kendala antara lain kendala fisik, biologis, dan social ekonomi, sehingga pengembangannya memerlukan perencanaan dan pengembangan yang cermat.

Di lahan lebak, tanahnya dapat berupa tanah alluvial, alluvial bergambut atau gambut, lahan lebak dibedakan berdasarkan lama dan kedalaman genangan, yaitu (1) lebak dangkal bila lama genangannya kurang dari 3 bulan dan dalamya kurang dari 50 cm; (2) lebak tengahan bila lama genangannya antara 3-6 bulan dan dalamya 50-100 cm, dan lebak dalam bila lama genangannya lebih dari 6 bulan dan dalamnya lebih dari 100 cm.

Usahatani di lahan lebak terutama akan mengalami kendala fisik berupa genangan air yang datangnya tidak menentu dan mendadak, kendala biologis yang umumnya ditemukan adalah serangan hama terutama tikus dan penyakit tanaman padi terutama blas dan busuk pelepah pada padi. (Waluyo dan Ismail, I. G. 1995)

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu penelitian tentang pemupukan tanaman padi sudah pernah dilakukan, namun penelitian tentang topografi tanah, fluktuasi genangan dan kaitannya dengan banjir belum pernah diteliti. Selanjutnya usahatani padi di lahan lebak dengan kendala kondisi fisik lahan, maka diperlukan varietas padi yang dapat beradaptasi baik terhadap genangan maupun kekeringan, dan mempunyai toleransi yang cukup terhadap hama dan penyakit, dan memenuhi selera masyarakat setempat.

Tujuan dari kegiatan ini adalah mendapatkan varietas unggul baru (VUB) padi rawa lebak toleran rendaman serta berproduksi tinggi dan bernilai ekonomi tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.

196

Page 64: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Kota Daro II, Kecamatan Rantau panjang

Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan, dari bulan Januari sampai dengan Desember

2013.

Kegiatan dilaksanakan di lahan petani dengan melibatkan Balai Besar

Penelitian Padi, sebagai sumber varietas serta teknologinya. Hal tersebut diharapkan

dapat mempercepat adopsi teknologi oleh pengguna. Pendekatan yang ditempuh

dalam pengujian menganut azas-azas partisipatif yang keterkaitan antara peneliti, penyuluh dan petani serta bimbingan teknis selama pengujian kepada petani.

Pengkajian akan dilaksanakan di Kabupaten Ogan Ilir (OI) dengan tipologi lahan rawa

lebak pada musim Tanam 2013. Kegiatan pengujian di lapangan akan dilaksanakan pada 2013 di lahan sawah

rawa lebak dengan luas per plot 50 x 10 m2 dengan 5 varietas: a) Inpara 2; b) Inpara 3; c) Inpara 4; d) Inpara 5, dan e) Ciherang, sebagai perlakuan. Dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 7 ulangan (petani kooperator). Paket teknologi yang digunakan berdasarkan pengelolaan tanaman terpadu lahan rawa lebak (PTT rawa lebak). Bibit padi yang ditanam berumur 30 hari dengan jumlah bibit 2 - 3 per lubang, jarak tanam yang digunakan 25 x 25 cm. Dosis pupuk yang digunakan 100 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl per ha. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam sedangkan Pupuk Urea diberikan 3 kali yang terdiri 1/3 dosis pada waktu tanam, 1/3 dosis pada umur 4 minggu setelah tanam dan 1/3 dosis pada umur 7 minggu setelah tanam.

Data yang dikumpulkan pada pengujian dilapangan meliputi: vigor pertumbuhan tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur tanaman dapat panen, jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai, berat 1000 butir gabah (kadar air 14 %), hasil gabah kering bersih per plot, serangan hama penyakit di lapangan dan data meteorologi selama pelaksanaan percobaan, serta respon petani sekitar tempat percobaan terhadap penampilan tanaman. Untuk data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda BNT atau Duncan Multiple Range Test. Sedangkan kelayakan finansial usahatani padi meliputi pendapatan bersih dan nilai BC Ratio menggunakan metoda input-output analisis (Malian, 2004).

(RAVC) B C ratio = ----------------

TVC Dimana : BC ratio = Nisbah pendapatan terhadap biaya P = Harga jual padi (Rp/kg) TVC = Biaya total (Rp/ha/musim) RAVC = (Q x P) – TVC Q = Total produksi padi (kg/ha/musim) Dengan keputusan : BC Ratio > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan

197

Page 65: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 BC Ratio = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas BC Ratio < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan

HASIL Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang malai pada kegiatan pengkajian

varietas unggul baru (VUB) di lahan rawa lebak Dalam, Kabupaten Ogan

Ilir Sumatera Selatan, MK 2013

Varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan Panjang malai

(cm) produktif (cm) Inpara 2 103,1 ab 12,7 a 20,4 a Inpara 3 107,0 b 15,4 ab 22,4 ab Inpara 4 96,6 a 16,2 ab 23,4 b Inpara 5 97,1 a 13,1 a 23,1 b

Ciherang 104,8 ab 11,8 a 22,3 ab Keterangan: Angka yang diikuti hurup yang sama pada kolom yang sama,

tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Tabel 2. Jumlah gabah isi dan hampa per malai, umur panen dan hasil gabah pada

kegiatan pengkajian varietas unggul baru (VUB) di lahan rawa lebak Dalam,

Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan, MK 2013 Varietas Jumlah gabah Jumlah gabah Bobot Umur panen Hasil GKG

isi/malai hampa/malai 1000 butir (hari)

(gram) Inpara 2 99,4 a 22,9 ab 25,6 126 2,9 a Inpara 3 105,4 ab 19,0 a 25,7 127 3,0 ab Inpara 4 111,4 b 15,6 a 20,0 135 3,6 b Inpara 5 100,3 a 17,8 a 24,5 115 2,9 a

Ciherang 105,0 ab 23,0 ab 27,0 120 2,7 a Keterangan: Angka yang diikuti hurup yang sama pada kolom yang sama, tidak

berbeda nyata pada taraf 5%

PEMBAHASAN

Identifikasi dan Karakterisasi, Kabupaten Ogan Ilir merupakan kabupaten

pemekaran dari kabupaten OKI melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003.

Secara geografis terletak diantara 30 02' LS sampai 3

0 48' LS dan diantara 104

0 20' BT

sampai 1040 48' BT. Luas wilayah Kabupaten Ogan Ilir adalah 2.666,07 km

2 atau

266.607 hektar dengan awal kecamatan berjumlah 6 kecamatan. Kabupaten Ogan Komiring Ilir (OKI) merupakan kabupaten yang memiliki lahan lebak terluas yang mencapai 55,2 % dari luasan lahan lebak di Propinsi Sumatera Selatan. (Dinas Pertanian Ogan Ilir, 2006).

198

Page 66: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Batas administrasi Kabupaten Ogan Ilir di sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Banyuasin, Kota Palembang dan Kabupaten Muara Enim, di sebelah

selatan berbatasan dengan Kabupaten OKU, di sebelah timur berbatasan dengan

Kabupaten OKI dan OKU Timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kab Muara

Enim dan Kota Prabumulih.

Kabupaten Ogan Ilir merupakan daerah yang mempunyai iklim tropis basah (Type B) dengan musim kemarau berkisar antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan November sampai dengan April. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 1.096 mm dan rata-rata hari hujan 66

hari per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 230 C sampai 32

0 Celcius.

Kelembaban udara relatif harian berkisar antara 69 % sampai 98 %. Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran rendah

berawa yang sangat luas mulai dari Kecamatan Pemulutan, Pemulutan Barat, Pemulutan

Selatan, sampai Indralaya Utara, Indralaya dan sebagian di Kecamatan Indralaya Selatan,

sedangkan Kecamatan Tanjung Batu, Payaraman, Rambang Kuang dan Muara Kuang

relatif tinggi dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari permukaan air laut. Wilayah

daratan mencapai 65 % dan rawa-rawa sekitar 35 %. Rawa-rawa lebak tersebar di

beberapa kecamatan, kecuali di Kecamatan Tanjung Batu, Payaraman dan Kecamatan

Rambang Kuang dengan rawa lebak tidak begitu luas. Secara umum kondisi lahan di Kabupaten OI termasuk jenis tanah alluvial dan

podsolik. Tanah alluvial terdapat di daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar di sebagian wilayah Kabupaten OI. Tanah ini mengandung humus yang bermanfaat untuk tanaman pertanian. Sedangkan tanah podsolik terdapat di daratan yang tidak tergenang air dengan tingkat kesuburan tanah lebih rendah dibandingkan dengan jenis tanah alluvial.

Di daerah aliran sungai banyak terdapat lebak yang pasang surut airnya dipengaruhi oleh musim. Pada musim penghujan, terendam air dan pada musim

kemarau airnya surut. Secara umum drainase lahan lebak di kabupaten OI kurang baik

karena tidak tersedianya saluran drainase yang memadai. Sedangkan saluran irigasi di

daerah studi ditemui di kecamatan Pamulutan namun penataannya kurang baik dan masih menggangu tanaman yang ditanam. Dengan demikian penerapan system irigasi

di kecamatan Pamulutan kurang bermanfaat.

Secara umum usaha tani di sawah lebak di lokasi studi masih dilakukan secara

turun temurun dan masih mengandalkan kondisi alam. Di lokasi studi, pengolahan

tanah dilakukan dengan membersihkan tanaman pengganggu dan dimatikan dengan

herbisida atau lebih dikenal dengan cara tanpa olah tanah (TOT). Penggunaan bibit

padi pada beberapa tahun terakhir ini telah menggunakan menggunakan varitas IR 42,

IR 64 dan Ciherang, namun masih ada sebagian petani menggunakan varietas local

seperti padi putih dan jenis padi local lainnya.

Tinggi Tanaman, hasil analisis sidik ragam 5 varietas yang dikaji menujukkan

terdapat dua varietas tinggi tanaman kurang dari 100 cm yaitu varietas Inpara 4 dan

Inpara 5, dengan tinggi tanaman masing-masing 96,6 dan 97,1 cm dan berbeda nyata

dengan varietas lainnya yaitu varietas Inpara 2, Inpara 3 dan varietas Ciherang, dengan

tinggi tanaman masing-masing 103,1 cm; 107 cm; dan 104,8 cm. Sedangkan varietas

199

Page 67: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Inpara 2 tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 3 dan Ciherang, disajikan pada

tabel 1. Bervariasinya tinggi tanaman dari varietas yang dikaji disebabkan oleh faktor

genetik dari masing-masing galur dan faktor lingkungan. Tinggi pendeknya tananam berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman merupakan salah satu karakter agronomi yang harus diperhatikan, karena jika tanaman terlalu tinggi maka tanaman akan mudah rebah. Tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah pada saat panen, karena rendahnya daya topang tanah. Tanaman padi yang mengalami kerebahan di lahan rawa lebak akan mengalami permasalahan apabila terlambat panen bulir padi akan tumbuh maka kualitas padi akan turun. Menurut Bakri et al. (2006), lahan rawa lebak mempunyai struktur tanah amorf dan terdapat lumpur yang dalam, akibatnya daya topang tanah rendah, tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah. Disisi lain jika tanaman terlalu pendek maka tanaman akan rentan terhadap rendaman yang sering terjadi di lahan rawa lebak.

Jumlah anakan dan Panjang malai, hasil pengamatan jumlah anakan pada

saat menjelang panen berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan varietas Inpara 3 tidak berbeda nyata dengan Inpara 4, masing-masing dengan jumlah anakan 15,4 dan 16,2 batang per rumpun, namun berbeda nyata dengan varietas Inpara 2, Inpara 5 dan varietas Ciherang. Sedangkan varietas Inpara 2 tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 5 dan varietas Ciherang, dengan jumlah anakan masing-masing varietas 12,7; 13,1; dan 11,8 batang per rumpun.

Panjang malai, hasil pengamatan panjang malai berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa varietas Inpara 2 berbeda nyata dengan varietas lainnya, sedangkan varietas varietas Inpara 3 tidak berbedanyata dengan varietas Inpara 4, Inpara 5, maupun varietas Ciherang. Panjang malai terendah 20,4 cm didapat pada varietas Inpari 1, dan panjang malai terpanjang diperoleh pada varietas inpara 4 yaitu 23,4 cm, seperti disajikan pada Tabel 1. Bervariasinya pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan panjang malai dari varietas-varietas yang diuji akibat dari faktor genetik dari masing-masing varietas dan faktor lingkungan, yaitu ketersediaaan air, kesuburan tanah, jarak tanam dan suhu, karena faktor tersebut dapat menetukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Ismunadji et al, 1989).

Jumlah gabah isi dan umur panen, jumlah gabah isi permalai lebih banyak

dipengaruhi oleh aktivitas tanaman selama fase reproduktif yaitu dari primordia sampai penyerbukan. Jumlah gabah isi permalai merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan komponen hasil. Hasil pengamatan jumlah gabah isi per malai, menunjukkan bahwa varietas Inpara 2 dan Inpara 5 tidak berbeda nyata, demikian juga varietas inpara 3, varietas Inpara 4 dan Ciherang. Sedangkan varietas Inpara 2 berbeda nyata dengan varietas Inpara 3, Inpara 4 dan varietas Ciherang. Varietas Inpara 4 memiliki jumlah gabah isi permalai terbanyak yaitu 111,4 butir per malai, varietas yang memiliki gabah isi per malai terendah yaitu varietas Inpara 2 sebanyak 99,4 butir permalai. Sedangkan bobot seribu butir pada masing-masing varietas mempunyai bobot yang berbeda antara 20,0 gram- 27 gram. Bobot 1000 butir tertinggi terdapat pada varietas Ciherang yaitu 27,0 gram, dan bobot terendah pada varietas Inpara 4 yaitu 20,0 gram. Umur panen antara 115 hari setelah semai sampai 135 hari setelah semai, umur panen tercepat terdapat pada varietas inpara 5 dan umur panen lebih lama terdapat pada varietas inpara 4.

200

Page 68: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Hasil gabah, rata-rata hasil gabah dari varietas yang dikaji menujukkan bahwa

varietas Inpara 3 tidak berbeda nyata dengan Inpara 4 memberikan hasil masing-masing 3,0 dan 3,6 ton/ha, demikian juga dengan varietas inpara 2 tidak berbeda nyata dengan varietas inpara 5 dan varietas Ciherang, namun berbeda nyata dengan varietas

inpara 3 dan inpara 4. Produksi tertinggi diperoleh pada varietas inpara 4 yaitu sebesar 3,6 ton/ha, produksi terendah diperoleh pada varietas Ciherang dengan produksi sebesar 2,7 ton/ha. Berdasarkan deskripsi semuan varietas yang ditanam di lahan rawa

lebak bisa mencapai hasil gabah rata-rata 5 ton gkg/ha. Rendahnya hasil gabah yang dicapai oleh varietas pada pengkajian ini diakibatkan pada saat tanaman umur 60 hari terjadi permukaan air naik sampai saat menjelang panen karena curah hujan cukup tinggi, dari bulan Juni 232,3 mm, Juli 185,7, Agustus 90,9, September 301,7, Oktober

136,9 dan November 321,8. Sehingga sangat mempengaruhi hasil yang dicapai pada masing-masing varietas.

Analisis Usahatani Padi, analisis usahatani padi pada lahan rawa lebak dalam

terhadap 5 varietas unggul varietas unggul padi Inpara 2 (2,9 ton/ha), Inpara 3 (3,0 ton/ha), Inpara 4 (3,6/ha), Inpara 5 (2,9 ton/ha) dan Ciherang (2,7 ton/ha), dengan harga jual gabah Rp 3.500/kg, maka diperoleh penerimaan per hektar per musim untuk Inpara 2 (Rp 10.150.000 ), Inpara 3 (Rp 10.500.000 ), Inpara 4 (Rp 12.600.000 ), Inpara 5 (Rp 10.150.000 ) dan Ciherang (Rp 9.450.000 ), sedangkan biaya produksi mencapai Rp 7.750.000 /ha/musim. Sehingga pendapatan bersih yang diperoleh untuk Inpara 2 senilai Rp 2.400.000 , Inpara 3 Rp 2.750.000, Inpara 4 Rp 4.850.000 , Inpara 5 Rp 2.400.000 dan Ciherang Rp 1.700.000, dengan nilai B/C ratio berturut-turut sebesar 0,31 ; 0,35; 0,62; 0,31 dan 0,22. Rendahnya produksi dan pendapat usahatani padi pada lahan lebak Dalam, disebabkan terjadi kebanjiran pada saat tanaman umur 60 hari sampai saat menjelang panen. Pengaruh banjir di lahan rawa lebak dalam karena curah hujan cukup tinggi dari bulan Juni 232,3 mm, Juli 185,7, Agustus 90,9, September 301,7, Oktober 136,9 dan November 321,8. Sehingga sangat mempengaruhi hasil yang dicapai pada masing-masing varietas

KESIMPULAN 1. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa Reaksi tanah tergolong masam (pH 5,1),

kandungan C organiknya sangat tinggi, N total juga sangat tinggi, P tersedia sangat

rendah dan kation yang dapat dipertukarkan untuk Ca dan Mg tergolong rendah, K

dan Na tergolong sedang dan sangat tinggi. Kapasitar tukar kation tergolong

sedang, kejenuhan basa rendah. 2. Masalah atau kendala yang utama dilahan rawa lebak adalah fluktuasi air belum

dapat diduga secara pasti kapan air masuk dan surut terutama pada lahan rawa lebak dalam.

3. Varietas Inpara 3 dan Inpara 4 mempunyai potensi produksi cukup tinggi untuk dikembangkan pada lahan rawa lebak dalam.

201

Page 69: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Info padi tahun 2008. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.

Bakri dan R.H. Susanto. 2006. Keragaan produksi beberapa varietas padi hasil mutasi

radiasi di daerah rawa lebak di Kecamatan Rambutan Musi Banyuasin,

Sumatera Selatan. Jurnal Tanaman Tropika 9 (1) : 24-29. Departemen Pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perikanan dan

Peternakan Kabupaten OI, 2006. Rencana Strategis. Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Ogan Ilir.

Ismunadji et al,. 1988. padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor.

Malian, A. Husni. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial teknologi pada skala pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (The Participating Development of technology Transfer Project (PAATP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Waluyo dan Ismail, I. G. 1995. Proyek Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemanfaatan Lahan Rawa di Kalimantan Selatan.

Wijaya Adhi, IPG., Nugroho, dan A. Syarifuddin, K. 1992. Sumber Daya Lahan Rawa; Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan, Pp.19-38. Puslitbangtan, Badan Litbang Departemen Pertanian.

202

Page 70: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Lampiran 1. Analisis usahatani padi rawa lebak Dalam luasan 1 ha di Desa Kotadaro

II Kecamatan Rantau Panjang, Kabupaten Ogan Ilir, MK 2013 No Sarana Produksi Satuan Harga satuan Jumlah (Rp)

(Rp)

1. Benih 40 kg 10.000 400.000 2. Pupuk Urea 100 2000 200.000 SP-36 100 3000 300.000 KCl 50 9000 450.000

3. Pestisida 1 paket 400.000 400.000 Jumlah (Rp) 1.350.000 4. Tenaga kerja Pengolahan lahan 30 40.000 1.200.000

. Semai I 5 40.000 200.000

. Semai II 10 40.000 400.000

. Penanaman 20 40.000 800.000

. Penyiangan 20 40.000 800.000

. Pemupukan 5 40.000 200.000

. Penyemprotan 10 40.000 400.000

. Panen dan pasca panen 60 40.000 2.400.000 Jumlah (Rp) 6.400.000 Total biaya (Rp) 7.750.000

5 Produksi (ton /ha)

Inpara 2 2,9

Inpara 3 3,0

Inpara 4 3,6

Inpara 5 2,9

Ciherang 2,7

6 Penerimaan (Rp)

Inpara 2 2,9 3500 10.150.000 Inpara 3 3,0 3500 10.500.000 Inpara 4 3,6 3500 12.600.000 Inpara 5 2,9 3500 10.150.000 Ciherang 2,7 3500 9.450.000

7 Pendapatan bersih (Rp)

Inpara 2 2.400.000 Inpara 3 2.750.000 Inpara 4 4.850.000 Inpara 5 2.400.000 Ciherang 1.700.000

8 BC ratio

Inpara 2 0,31 Inpara 3 0,35 Inpara 4 0,62 Inpara 5 0,31 Ciherang 0,22

Keterangan : Harga gabah Rp 3500/kg

203

Page 71: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengembangan Industri Perbenihan Mendukung Peningkatan

Produksi Padi di Lahan Pasang Surut Provinsi Jambi

Seed Industry Development Support Increasing Rice Production in Tidal Land of Jambi Province

Nur Imdah Minsyah

!*), Endrizal

1), Suharyon

1)

1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

*) Penulis untuk korespondensi : Hp: 081274248990

Email: [email protected]

ABSTRACT

Seed Industry Development Support Increasing Rice Production in Tidal Land of Jambi Province. Unavailability of quality seeds is one of the limiting factors in an

effort to increase rice production in tidal land. This paper aims to provide an overview rice seed problems in Jambi province, especially in the tidal land and alternative development strategies. The data and information used derived from offices and agencies and the results of research / studies relevant. Opportunities and prospects of

rice seed in Jambi Province quite well. It is related to the large gap between production and needs of seeds, interest of farmers to use superior seed, and feasiable. Provision of superior seed quality can be done by optimizing utilization of assets and

an increase in production capacity and BBU BBI; expansion of breeding areas; Second, the expansion of breeding areas; development of seed supply with Jabalsim system, and; assurance market. Keywords: Seed Qualified, Opportunities and Prospects; Provision System.

ABSTRAK

Pengembangan Industri Perbenihan Mendukung Peningkatan Produksi Padi di Lahan pasang surut Provinsi Jambi. Ketidak tersediaan benih bermutu merupakan salah satu faktor pembatas dalam upaya meingkatan produksi padi di lahan pasang surut. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran permasalahan perbenihan padi di Provinsi Jambi khususnya di lahan pasang surut dan alternatif serta strategi pengembangannya. Data dan informasi yang digunakan berasal dari dinas dan instansi serta hasil-hasil penelitian/kajian yang relevan. Peluang dan prospek usaha penangkaran benih padi di Provinsi Jambi cukup baik. Hal ini berkenaan dengan kesenjangan yang besar antara produksi dan kebutuhan benih, minat petani untuk menggunakan benih unggul bermutu tinggi, dan layak untuk diusahakan. Penyediaan benih unggul bermutu dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaaatan asset-

aset dan peningkatan kapasitas produksinya BBI dan BBU; perluasan areal penangkaran; Kedua, perluasan areal penangkaran; pengembangan penyediaan benih dengan sistem Jabalsim, dan; jaminan pasar. Kata Kunci: Benih Bermutu, Peluang dan Prospek; Sistem Penyediaan.

204

Page 72: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PENDAHULUAN

Ketersediaan sumberdaya lahan yang subur untuk sektor pertanian yang

terbatas disatu sisi dan masih berlangsungnya alih fungsi lahan sawah, baik berupa alih komoditas yang dipandang lebih menguntungkan maupun ke penggunaan lain di luar sektor pertanian disisi yang lain, merupakan permasalahan yang dapat

mengancam upaya mempertahankan swasembada beras ((Pasaribu, dkk. 2010). Guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas swasembada beras di atas, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, mentargetkan laju peningkatan produksi padi dalam kurun waktu 2009 – 2014 sebesar 3,22, persen pertahun sehingga pada tahun 2014

total produksi padinya mencapai 75,70 juta ton (Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2009).

Berkenaan dengan hal tersebut pemanfaatan lahan-lahan sub optimal, diantaranya lahan pasang surut, merupakan pilihan yang sulit untuk dihindari,, untuk dapat berproduksi secara optimal memerlukan input yang tinggi. Lahan sub optimal adalah lahan yang produktivitasnya rendah yang disebabkan oleh faktor internal seperti bahan induk, sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau karena faktor eksternal seperti curah hujan dan suhu ekstrim (Las 2012 dalam. Mulyani dan Syarwani. 2013).

Disamping memperluas areal pertanaman, penggunaan vareitas unggul (baru) yang bermutu dapat memacu peningkatan produksi padi. Pengalaman pada masa revolusi hijau menunjukkan terjadinya peningkatan produksi padi secara nasional yang bermuara tercapainya swasembada beras pada pertengahan tahun 1984 sampai dengan awal tahun 1993 tidak terlepas dari penggunaan benih padi dari vareitas unggul yang bermutu (Malian, 1995 dan Andyana, 2006). Sehubungan dengan hal tersebut Las (2002) dalam Drajat,dkk (2008) melaporkan bahwa teknologi, perluasan areal tanam dan interaksi keduanya memberikan sumbangan terhadap peningkatan produksi padi berturut-turut sebesar 56 %, 26,3 %, dan 26,30 % dan peran vareitas unggul bersama pupuk dan air terhadap peningkatan produksi mencapai 75 %.

Posisi lahan pasang surut dalam produksi padi Provinsi Jambi, sangat penting. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusinya yang cukup tinggi. Dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2008 – 2012, kontribusinya antara antara 20,41 % - 27,72 % (Disperta Provinsi Jambi, 2013). Kontribusi ini didapat masih dapat ditingkatkan dengan pendekatan Intensifikasi maupun melalui perluasan areal tanam. Umumnya penanaman padi hanya satu kalii setahun dan varietas yang digunakan adalah varietas yang telah lama beredar (IR 42, Ciherang, Batanghari, dan Indragiri), dan asal-usulnya sudah tidak diketahui dengan jelas.

Penggunaan varietas unggul baru (VUB) secara masal, diyakini akan dapat meningkatkan kontribusi lahan pasang surut secara signifikan. Permasalahnnya, benih tersebut ketersediannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu sistem perbenihan yang mengarah kepada sebagai suatu industri, perlu dikembangkan.

Penulisan makalah ini bertujuan memberikan gambaran peran industri perbenihan dan strategi pengembangannya mendukung peningkatan produksi padi di lahan pasang surut Provinsi Jambi.

205

Page 73: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

SU MBER DAN ANALISIS DATA

Data dan informasi yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah data

sekunder yang diterbitkan ole h berbagai dinas dan instnasi yang relevan, seperti

Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik, dan Bappeda Provinsi Jambi.

Data dan informasi lain yang digunakan berasal dari hasil beberapa penell;itian dan

pengkajian Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik tabulasi sederhana.

Sedangkan analisisnya berupa analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

HASIL

Gambar 1. Perkembangan produuksi, kebutuhan dan kekurangan benih padi bermutu di

provinsi Jambi periode 2005 – 2012. Sumber. Endrizal, dkk. 2013

Tabel 1. Penyebaran kelompok dan luas lahan penangkaran benih padi di Provinsi Jambi periode 2011 – 2013 Kota/Kabupaten Jumlahh Luas Lahan (ha)

kelomp ok 2011 2012 2013 1. Jambi - 2,00 - 2,00 2. Batanghari 11 180,6 84,65 171,20 3. Muaro Jambi 11 86,05 113,70 105,00 4. Muaro Bungo 20 92,25 98,00 70,00 5. Tebo 8 41,00 109,00 200,00 6. Merangin 18 78,00 61,95 159,00 7. Sarolangun 9 50,65 101,00 98,00 8. Tanjab Barat 21 158,10 164,70 344,00 8. Tanjab Timur 13 265,60 105,00 443,00 9. Keinci 47 207,70 172,25 177,00 10. Sungai Penuh 27 94,00 65,00 123,00

206

Page 74: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Jumlah 185 1.256,85 1.075,25 1892,20 Sumber. BSBTPH Provinsi Jambi (2013) Tabel 2. Produksi dan penggunaan hasil kegiatan penangkaran benih padi di kelurahan

Pengabuan dan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tahun 2013.

Kelurahan Pengabuan Kelurahan senyerang

Uraian

Fisik % Fisik %

1. Produksi (Kg/ha) 3.160 100,00 2.980 100,00

a. Calon Benih 2.528 80.00 2.384 80,00

b. gabah 632 20,00 596 20.00

2. Penggunaan calon benih 2.538 100,00 2.384 100,00

(Kg) 2.185 86,43 2.056 86,24

a. Dijual melalui kelompok 243 9,61 228 9,56

b. Dijual langsung ke petani 100 3,96 100 4,19

c. Persiapan bibit

Sumber: Minsyah, dkk. 2013 (diolah kembali, 2014). Tabel 3. Analisis keragaan usaha penangkaran benih padi unggul di lahan pasang surut

Kelurahan Pengabuan dan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2013.

No. Uraian Kelurahan Kelurahan Pengabuan senyerang

A. Penerimaam (Rp/ha) 1. Penjualan calon benih melalui Kelompok 12.018.600 11.305.800 2. Penjualan langsung ke petani 1.153.300 1.084.900 4. Nilai benih pakai sendiri 475.000 475.000 3. Nilai non Benih 2.875.600 2.711.800

J u m l a h 16.522.500 15.577.500

B. Biaya produksi (Rp/ha) 1. Sarana produksi

* Benih 259.200 235.200 * Pupuk 595.700 558.670 * Pestisida 525.750 618.250 2. Tenaga Kerja Upahan 2.431.000 2.115.000 3. Sewa lahan 1.000.000 1.000.000 4. Penyusutan peralatan 158.500 158.500 J u m l a h 4.970.150 4.685.620

C. Pendapatan (Rp/ha) 11.552.500 10.891.880 D. R/C 3.32 3,32 E. B/C 2.32 2,32 F. Tenaga kerja keluarga (HOKP) 114.710 115,37 G. Imbalan Tenaga Kerja kelurga (Rp/HOKP) 100.711 94.058 H. Pendapatan per bulan (Rp/bln) 2.888.138 2722970

Sumber: Minsyah. 2013 (diolah kembali. 2014).

207

Page 75: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Produksi dan Kebutuhan benih. Perkembangan produksi dan kebutuhan

benih berumutu di Provinsi Jambi dalam kurun waktu selama 8 tahun dari tahun2005

sampai dengan tahun 2012 disajikan pada gambar di bawah ini. Pada gambar (Grafik)

terlihat produksi benih padi bermutu berfluktuasi walalupun menunjukkan kecendrungan yang semakin menuingkat. Pada tahun 2005 produksi benih padi hanya

211,53 ton, pada tahun-tahun berikutnya walaupun berfluktuasi namun menunjukkan

kecendrungan yang semakin meningkat, terakhir pada tahun 2012 produksinya

mencapai 988,86 ton, dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 9,44 persen per tahun. Walaupun demikian, antara produksi dan kebutuhan benih masih terjadi

kesenjangan yang sangat tinggi, kendati pertumbuhan kebutuhan pada periode yang sama

jauh di bawah pertumbuhan produksi. Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan benih

bermutu tersebut pada periode 2005 – 2012 antara 2,957.15 ton - 3,623.80 ton. Produksi benih unggul sebar di atas dihasilkan oleh kelompok penangkar.

Dalam sistem produksi benih di Indonesia, dapat dikategorikan sebagai sistem produksi formal ddan sistem produksi non formal. Kedua sistim ini memiliki karakterisitik yang berbeda, sehingga pemahaman peranan keduanya sebagai sumber benih bagi petani akan sangat bermanfaat untuk menungkatkan efektivitas penyebaran varietas unggul baru (Nugraha, dkk. 2008). Produksi benih padi melalui sektor formal biassanya dicirikan oleh produksi yang terencana, pengelolaan bebnih dengan tingkat mekanisasi tertentu, penanaman vareitas yang jelas (baku), dipasarkan dalam kemasan yang teridentifikasi, dan menrapkan jaminan mutu sampai tingkat tertentu, sehingga benih yang dihasilkan sangat jelas berbeda. Sebaliknya sektor perbenihan informal tidak memiliki ciri-ciri tersebut di atas, gabah yang secara visual dinilai baik dapat dianggap sebagai benih.

Ironisnya lahan-lahan yang dimiliki oleh Balai-balai Perbenihan padi yang ada, tidak atau belum dimanfaatkan secara optimal. Ada 2 Balai perbenihan yang memliki lahan cukup luas, namun yang dimanfaatkan relatif sangat kecil. Kedua balai perbenihan tersebut adalah Balai Benih Utama Margoyoso, Kabupaten Merangin dan Balai Benih Utama Alai Ilir, Kabupaten Bungo. Dari 42 ha lahan yang dimiliki oleh BBU Margoyoso, hanya 6 ha (14,29 %) yang telah dimanfaatkan, selebihnya berupa semak belukar. Sedangkan pada BBU Alai Ilir, dari 180 ha lahan yang dimiliknya, hanya 3 ha (1,67 %) yang digunakan (Adri. 2013).

PROSES PRODUKSI

Teknik Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Kegiatan awal yang dilakukan

adalah mendapatkan benih sumber. Benih sumber tersebut adalah satu tingkat lebih tinggi

dari kelas benih yang akan di hasilkan. Dalam hal ini, benih sumber yang digunakan

adalah kelas benih pokok (label unggu) untuk menghasilkan kelas benih sebar. Untuk

beberapa kelompok petani penangkar yang memenuhi kualifikasi tertentu diperkenankan

atau diperbolehkan untuk menangkar kelas benih yang lebih tinggi (label kuning) yang

menghasilkan kelas benih berlabel unggu. Tentunya jumlah

208

Page 76: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 benih sumber yang digunakan sangat terbatas, umumnya untuk memenuhi kebutuhan

kelompok penangkar bersangkutan. Benih yang digunakan (label unggu) sebagai benih sumber oleh kelompok

penangkar benih berasal dari (membeli) dari Balai Benih Induk (BBI) Padi Payung Mas. Umumnya kelompok penangkar yang melakukan pembelian langsung ke BBI Payung Mas adalah kelompok penangkar yang sudah mapan, aktivitas penangangkaran telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, serta telah memiliki jaringan pemasaran yang cukup luas, tidak hanya dalam lingkup masing-masing kabupaten dan Provinsi Jambi melainkan sampai ke Provinsi lain.

Selain diperoleh dari BBI Padi Payung Mas, pada waktu-waktu tertentu (insedentil) benih sumber ini didapatkan dari Program Pembinaan Kelompok Penangkar Dinas Pertanian, baik Dinas Pertanian masing-masing Kabupaten maupun yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Provinsi Jambi.

Teknik budidaya yang diterapkan sama dengan teknik budidaya padi pada

umumnya, yang berbeda areal pertanamannya calon benih tidak boleh bercampur dengan

vareitas lain, bila ada varietas lain antara calon benih dan vareitas lain tersebut harus

diatur jaraknya minimal 3 meter. Teknik lain yang dapat digunakan adalah isolasi waktu

yaitu pengaturan jadwal tanam sehingga waktu mekarnya malai dengan selisih waktu 3

minggu. Perbedaan lain, untuk calon benih perlu dilakukan rouging. Rouging dilakukan

pada tanaman yang tumbuh di luar jalur barisan, tanaman/rumpun yang tipe pertunasan

awal menyimpang dari sebagian besar dengan rumpun-rumpun tanaman lain, tanaman

yang bentuk dan ukuran daunnya berbeda, tanaman yang warna kaki atau daun pelepahnya

berbeda, tanaman/rumpun yang tingginya sangat berbeda (mencolok). Panen dilakukan bila perkiraan minimal 75 persen bulir padi sudah memasuki

fase masak fisiologi (kuning jerami) dan bulir padi pada pangkal malai sudah mengeras. Alat panen yang digunakan sabit bergerigi. Perontokkan segera dilakukan, sebagian besar anggota kelompok penangkar baik di Kelurahan Pengabuan (80 %) maupun di Kelurahan Senyerang (86,67 %) menggunakan jasan perontokkan mesin (Powe Threser).

Gabah yang dirontokkan umunya langsung dibawa dan disimpan di dalam rumah, secara umum petani di Kelurahan Pengabuan dan Senyerang tidak memiliki tempat khusus untuk penyimpanan hasil panen, tak terkecuali gabah padi. Bila cuaca memungkinkan, satu sampai dua hari berikutnya di lakukan pengeringan. Pengeringan umunya masih dilakukan secara konvesional berupa penjemuran yang dilakukan di halaman rumah bila tidak terjadi pasang besar dan di jalan-jalan desa bila terjadi pasang besar. Penjemuran umumnya di lakukan di halaman rumah yang di alasi dengan terpal yang ukurannya beragam, mulai dari yang berukuran 2 X 2 meter sampai 4 X 6 meter. Ketebalan gabah sewaktu dilakukan penjemuran umumnya berkisar antara 0,1 cm sampai dengan 0,3 cm, antara 2 – 3 jam gabah tersebut di bolak balik sampai kering dengan kadar 14 – 15 %. Penggunaan mesin pengering dengan dryer belum dilakukan (Minsyah, dkk.2013).

Proses penjemuran (pengeringan) gabah merupakan masalah tersendiri yang dihadapi di lahan pasang surut. Hal ini dikarenakan, panen umumnya dilakukan antara bulan maret – April, curah hujan masih relatif tinggi dan sebagian besar halaman rumah petani tergenang air pada waktu terjadinya pasang besar.

209

Page 77: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Proses selanjutnya adalah adalah melakukan pembersihan untuk memisahkan

untuk memisahkan dan mengeluarkan kotoran dan biji hampa sehingga diperoleh ukuran

dan berat biji yang relatife seragam. Gabah-gabah yang merupakan calon benih dikemas

dalam karung untuk selanjutnya dibawah dan disetor ke kelompok untuk diolah dan

diproses lebih lanjut sampai menjadi benih yang siap dijual atau dipasarkan.

Pengemasan Benih. Sebelum dilakukan pengemasan, sampel calon benih

dibawah ke laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Hasil Pertanian dan

Hasil Hutan (BPMSHPHH). Hasil pengujian labaratorium dan label yang dibutuhkan

umumnya diterima oleh kelompok penangkar benih (Produsen) rata-rata sepuluh hari.

Menurut Kelompok penangkar benih ini waktu yang diperlukan untuk mendapatkan

hasil uji labaratorium cukup lama, harapannya waktu untuk mendapatkan hasil uji

laboratorium seharusnya dapat diterima lebih singkat. Calon benih yang lolos uji laboratorium kemudian dikemas dalam kantong

plastic trasnparan berukuran 5 Kg dan 10 Kg. Teknik pengemasan yang digunakan masih sangat sederhana dan dilakukan secara manual. Peralatan yang digunakan terdiri dari timbangan yang berkapasitas 10 Kg dan lampu lilin.

Produksi dan Penggunaannya. Pada tingkat anggota, produksi hasil kegiatan

penangkaran dapat dipisahkan menjadi dua bagian yaitu, a). menjadi calon benih dan

b). menjadi gabah. Bagian yang menjadi calon benih mencapai 79,86 persen di Kelurahan Pengabuan dan 79,64 % di Kelurahan Senyerang yang dibulatkan menjadi

80 persen. Sedangkan yang menjadi gabah sekitar 20 persen. Pemisahan ini dilakukan

secara visual dan telah di lakukan oleh anggota kelompok sejak pertama kali menjadi

penangkar. Bagian yang dijadikan sebagai “calon benih” adalah bulir-bulir padi yang bernas, warna dan ukurannya relatif.

Berdasarkan jenis penggunaannya, calon benih dapat dikelompokkan dalam tiga bentuk penggunaan, yaitu: a). Dijual melalui kelompok; b). Dijual langsung ke petani lain baik yang berdomisili pada desa yang sama maupun yang berasal dari desa lain, dan; c) digunakan sendiri. Bagian calon benih yang dijual oleh anggota kelompok penangkar benih di Kelurahan Pengabuan mencapai 2.528 kg, selebihnya sekitar 100 Kg di simpan untuk dijadikan bibit untuk pertanamannya sendiri. Sedangkan di Kelurahan Senyerang 2.384 kg.

Secara rinci, produksi dan penggunaan hasik kegiatan penangkaran benih padi oleh kelompok penangkar benih padi di Kelurahan Pengabuan dan Kelurahan Senyerang pada MT 2013 disajikan pada tabel 2.

Analisis Kelayakan Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan

bahwa usaha penangkaran benih padi unggul di lahan pasang surut Kecamatan Pengabuan

dan Kecamatan Senyerang layak untuk diusahakan. Hal ini terlihat dari nilai R/C dan B/C

rasio. Nilai R/C dan B/C rasio usaha penangkaran benih padi di Kelurahan Pengabuan dan

Senyerang bernilai sama yaitu 3,32 dan 2,2. Indeks R/C 3,32 diinterpretasikan sebagai

setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluakan penerimaan yang diperoleh sebesar Rp

3,32,- atau sebesar 332 persen. Sedangkan indeks B/C rasio 2,32 diinterpretasikan sebagai

setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan akan memperoleh pendapatan

(keuntungan) sebesar Rp 2,32,- atau 232 persen.

210

Page 78: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pada tabel 2 tersebut, juga dapat dilihat imbalan tenaga kerja keluarga baik

yang diterima oleh anggota kelompok penangkar benih padi Kelurahan Pengabuan

maupun kelompok penangkar bebnih padi Kelurahan Senyerang lebih tinggi

dibandingkan dengan rata-rata upah buruh tani. Di Kelurahan Pengabuan, imbalan tenaga kerja keluarga anggota kelompok penangkar bebih benih sebesar Rp 100.711,-

/HOKP, di Kelurahan Senyerang imbalan tenaga kerja keluarga yang diterima anggota

kelompok penangkar benih padi sebesar Rp 94.058,-/HOKP. Sedangkan rata-rata upah buruh tani dkedua kelurahan tersebut sebesar Rp 60.000,-/hari.

Terakhir, rata-rata pendapatan perbulan yang diterima anggota kelompok penangkar dari kegiatan usaha penangkaran benih cukup besar. di Keluarahan Pengabuan rata-rata pendapatan perbulannya mencapai Rp 3.025.012,50 di Kelurahan Senyerang Rp 2.860.245 per bulan. Pendapatan ini jauh melampaui ketentuan Upah Minimum Regional Provinsi Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat untuk tahun 2013. Untuk Provinsi Jambi Upah Minimum Regionalnya sebesar Rp 1.3 juta (Radio Gibel FM. 2013)

Prospek dan Strategi Pengembangan Usaha penangkaran benih padi unggul di

Provinsi Jambi memeiliki prospek yang cukup baik. Hal ini didasarkan pada beberapa hal

berikut. Pertama masih terdapatnya kesenjangan yang sangat besar antara kemampuan

lembaga perbenihan local dan kebutuhan benih unggul yang dibutuhkan. Pada bagian

sebelumnya terungkap, Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan benih bermutu

tersebut pada periode 2005 – 2012 antara 2,957.15 ton - 3,623.80 ton. Hal ini merupakan

peluang bagi berbagai pihak yang berminat untuk bergerak atau menanamkan modalnya

(investasi) pada usaha penangkaran benih padi. Disamping dapat membantu dalam

memecahkan ketidak tersediaan benih padi yang dibutuhkan, juga akan menyerap tenaga

kerja dalam jumlah yang cukup signifikan, yang juga dapat berarti dapat membantu

pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran. Kedua, respon atau minat petani untuk menggunakan benih unggul adalah

tinggi. Masih rendahnya penggunaan benih unggul bermutu (berlabel) selama ini, bukan dikarenakan petani enggan menggunakan benih unggul bermutu, melainkan disebabkan oleh ketidak tersediaan benih yang dibutuhkan baik dalam jumlah maupun jenis/varietas yang sesuai dengan kondisi (Tipologi) lahan yang dimilikinya, serta selera pasar. Ketiga, hasil analisis finasial yang sangat sederhana untuk tingkar petani (kelompok penangkar benih), menunjukkan bahwa usaha penangkaran benih bermutu secara ekonomi sangat layak dan menguntungkan.

Penyediaan benih unggul bermutu dapat dilakukan melalui beberapa langkah yang dilakukan secara simultan. Pertama, mengoptimalkan pemanfaaatan asset-aset dan peningkatan kapasitas produksinya, baik dalam penyediaan benih pokok (Stock seed/label unggu) maupun benih sebar (Extension seed/label biru). Hal ini hanya dapat dilakukan bila anggaran oiperasional tersedia dalam jumlah yang cukup memadai, tersedianya staf pendukung baik dalam jumlah maupun dalam keahlian yang sesuai, serta didukung sarana dan prasarana dan fasilitas baik dalam jumlah maupun dalam spesifikasi yang cukup.

Kedua, perluasan areal penangkaran. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan

oleh pemerintah baik pemerintah Provinsi Jambi maupun Pemerintah Kabupaten melalui

Dinas Pertaniannya, diantatanya adalah memperluas areal penangkaran di

211

Page 79: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 tingkat lapang dengan membentuk kelompok-kelompok penangkar. Oleh karena

pendekatan yang digunakan cendrung bersifat keproyekan, aktivitasnya umunya hanya

berlangsung selama masa program. Ketiga sistem antar lapang dan antar musim. Pengembangan sistem penyediaan

benih bermutu antar lapang dan antar musim, dipandang merupakan langkah pengembangan sistem penyediaan benih bermutu paling tepat. Hal ini dikarenakan. Jadwal tanam yang beragam tergantung agroekologi dan tipe pengairan sawah.

Keempat, jaminan pasar. Pada beberapa kasus dilapangan ditemukan adanya beberapa penangkar baik secara individu maupun secara kelompok yang mengalami trauma, karena benih atau calon benih yang dihasilkannya tidak diserap oleh pasar. Akibatnya benih dan calon benih tersebut, dijual dengan harga sama dengan harga gabah bahkan sebagian diantaranya diproses menjadi beras. Akibat lanjut, kegiatan penangkaran tidak berlangsung lagi. Oleh karena perlu diadakan semacam lembaga yang tidak hanya dapat menampung melainkan juga dapat memberikan harga yang layak dan penangkar tersebut dapat segera menerima hasil penjualannya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASINYA

Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah dikemukakan pada bagian

terdahulu, maka dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Butir-butir kesimpulan

tersebut adalah sebagai berikut. 1. Secara ekonomi usaha penangkaran benih di lahan pasang surut Kelurahan Pengabuan

dan Kelurahan Senyerang, sangat menguntungkan. Hal ini terlihat dari beberapa

indicator yaitu indeks R/C dan B/C rasio, imbalan tenaga kerja keluarga dan rata-rata

pendapatan per bulan. R /C dan B/C rasionya 3,32 dan 2,32. Imbalan Tenaga kerja

keluarga masing-masing Rp 100.711,-/HOKP di Kelurahan Pengabuan dan Rp

94.058,-/HOKP di Kelurahan Senyerang. Sedangkan rata-rata upah buruh tani dkedua

kelurahan tersebut sebesar Rp 60.000,-/hari. Rata-rata pendapatan per bulan masing-

masing Rp 3.025.012,50 di Kelurahan Pengabuan dan Rp 2.860.245 per bulan di

Kelurahan Senyerang. Pendapatan ini jauh melampaui ketentuan Upah Minimum

Regional Provinsi Jambi yaitu Rp 1.3 juta/bulan.

2. Peluang dan prospek usaha penangkaran benih padi di Provinsi Jambi cukup baik.

Indikatornya: kesenjangan yang sangat besar antara produksi dan kebutuhan;

respon atau minat petani untuk menggunakan benih unggul adalah tinggi, dan

usaha penangkaran benih sangat menguntungkan dan layak. 3. Untuk memperkecil kenjangan antara produksi dan kebutuhan benih dapat

dilakukan secara bertahap dan simultan melaui: optimalisasi pemanfaaatan aset-

aset BBI dan BBU yang ada dan peningkatan kapasitas produksinya, baik dalam

penyediaan benih pokok (Stock seed/label unggu) maupun benih sebar (Extension

seed/label biru); perluasan areal penangkaran, dan; penyediaan benih dengan

sistem Jabalsim; Jaminan pasar.

212

Page 80: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA

Adri, Suharyon, Firdaus, H. Purnama dan Rudi. 2013. Mapping Lembaga Perbenihan

Padi di Provinsi Jambi. Balai Pengkajian Teknologi Jambi. P. 38. Andyana, M.O. 2006. Lintasan Marka dan Jalan Menuju Ketahanan Pangan dalam Era

Perdangan Bebas. P.109 -146. Dalam Sutanto dan Tim (Eds). Buku Revitaslisasi

Pertanian dan Dialog Peradaban. PT. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Bappeda Provinsi Jambi. 2011. Arah dan Kebijakan Pemanfaatan Lahan rawa Untuk

Mendukung Surplus Beras di Provinsi Jambi. Materi disampaikan pada “ Rapat

Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi Periode II, 15 Desember 2011. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi. 2013. Buku Data Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, Jambi. P.214

Drajat, A.A. Silitonga, S. dan Nafsiah. 2008. Ketersediaan Flasma Nuftah untuk Perbaikan vareitas Padi. P. 1-28. A.A. Drajat., A. Setyono.m A.K. Makarim., A.Hasanudin (Eds). Padi, Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2009. Rencana Strategis Kementrian pertanian 2009 – 2014. Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Minsyah, NI., Muzirman, Suharyon, A. Yusri. 2013. Faktor Faktor yang Mempengaruhi

Percepatan Penyebaran (Difusi dan Adopsi) Padi Varietas Inpara di Lahan Rawa

Provinsi Jambi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jambi. P. 69 Mulyani, A. dan M. Syarwani. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal

untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. P. 270-280. Dalam Herlinda S, Lakitan B, Sobir, Koesnandar, Suwandi, Puspitahati, Syafutri M.I, Meidalima D (Eds.) Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional. Unsri Press, Palembang.

Nugraha, U.S. Wahyuni, S. Samaullah, M.Y dan Ruskandar, A. 2008. Sistem Perbenihan Padi. P 91 – 122. ., A. Setyono.m A.K. Makarim., A.Hasanudin (Eds). Padi, Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Pasaribu, SM., K. Suradisastra, B. Sayaka dan A. Dariah. 2010. Pengendalian dan Pemulihan Ekosistem Pertanian. P. 7-22. Dalam K. Suradisastra., SM. Pasaribu., B. Sayaka., Ai dariah., I. Las., Haryono (eds). IPB-Pres, Bogor.

Radio Gibel FM. 2013. Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2013 Provinsi Jambi. September, 4, 2014. http://radiogibelfm.blogspot.com/2012/11/upah-minimum-provinsi-ump-tahun-2013.html.

213

Page 81: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Perkembangan dan Pertambahan Gerekan Larva Penggerek Batang

Tebu (Chilo sacchariphagus (Bojer) di Pertanaman Tebu Lahan

Kering Cinta Manis Kabupaten Ogan Ilir

Growth and Increase of Stem Borer Larvae (Chilo sacchariphagus

(Bojer) in Dryland Sugarcane Crops at Cinta Manis Ogan Ilir

Dewi Meidalima1*)

dan Ruarita Ramadhalina K2)

1*)Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama

Jl. Demang IV, Demang Lebar Daun Lorok Pakjo Palembang 2)

Fakultas Pertanian Universitas Tridinanti Palembang Jl. Kapten Marzuki No. 2446, Kamboja Palembang

1*)Corresponding author: Telp. +62711374146, Fax.

+62711580276, Email: [email protected]

ABSTRACT

Sugarcane (Saccharum officinarum L.) is the main raw material of sugar that can well grown in dry soil. This study aims to determine the hoist development and expansion of sugarcane borer larvae (Chilo sacchariphagus (Bojer) in sugarcane

dryland crops Cinta Manis Ogan Ilir district, from March to September 2012. Results of observations in the laboratory showed that the age range of stem borer larval phase was 16-44 days. Starting from hatching to entered the pupa phase, the average length

and width of the stem borer’s hoist was at 43.20 cm and 3.61 cm. Meanwhile, the results of length measurements of the stem borer larvae’s hoist in the field ranged

from 9- 81 cm, with an average of 41.2 cm. Increase in length and width of the hoist, weight of larvae and dirt tended to increase with the increasing of larvae age, which

reached the peak when the larvae on the age of 36 days, and decreased when the larvae enter the pupa stage. Keywords: Chilo sacchariphagus, dry land, larvae, stem borer

ABSTRAK

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan bahan baku utama gula yang dapat

tumbuh baik di lahan kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan

dan pertambahan gerekan larva penggerek batang tebu (Chilo sacchariphagus (Bojer) di

pertanaman tebu lahan kering Cinta Manis Kabupaten Ogan Ilir, sejak bulan Maret sampai

September 2012. Hasil pengamatan di laboratorium, menunjukkan bahwa kisaran umur

fase larva penggerek batang yaitu 16-44 hari. Dari mulai menetas sampai memasuki fase

pupa, rata-rata panjang dan lebar gerekan penggerek batang adalah sebesar 43,20 cm dan

3,61 cm. Sedangkan hasil pengukuran terhadap panjang gerekan larva penggerek batang di

lapangan berkisar antara 9-81 cm, dengan rata-rata 41,2 cm. pertambahan panjang dan

lebar gerekan, berat larva dan berat kotoran cenderung

214

Page 82: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 meningkat dengan bertambahnya umur larva, mencapai puncaknya pada umur larva

36 hari, dan berkurang menjelang larva memasuki fase pupa. Kata kunci: Chilo sacchariphagus, lahan kering, larva, penggerek batang

PENDAHULUAN

Lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta hektar (Mulyani dan Las, 2008). Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan bahan baku utama gula yang dapat

tumbuh baik di lahan kering. Produksi tebu dapat mencapai rata-rata 1000-1200

kuintal per ha jika dilakukan dengan teknik budidaya yang baik (Pratama et al., 2010).

Hasil panen tersebut sering tidak tercapai karena serangan hama tanaman, hal itu juga terjadi di pertanaman tebu Cinta Manis, Sumatera Selatan. Menurut Sutejo (2008),

akibat serangan hama produksi gula dapat menurun mencapai 20% per tahun. Data di pabrik gula Cinta Manis, Sumatera Selatan, menunjukkan penurunan

produksi gula dalam 5 tahun terakhir. Pada musim tanam 2006/2007 di pertanaman tebu Cinta Manis, Sumatera Selatan tercatat intensitas serangan penggerek pada tebu siap panen sebesar 11,25% (Juklak PHT Cinta Manis, 2010).

Serangan penggerek batang dapat menyebabkan produksi tebu berkurang dan mengganggu pasokan bahan baku tebu pada industri gula. Pada tanaman yang belum membentuk ruas dapat menyebabkan kematian total. Serangan pada pada tanaman yang sudah membentuk ruas akan terbentuk terowongan sangat luas. Serangan hama tersebut mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas gula (P3GI, 2008). Di perkebunan tebu Gunung Madu serangan hama penggerek penggerek batang tebu dilaporkan mencapai 6,43%, sementara pada varietas rentan kerusakan dapat mencapai 19 % (Sunaryo, 2003). Hasil penelitian Meidalima (2013), menunjukkan bahwa penggerek batang dapat menyebabkan lorong gerekan mencapai 75% total panjang tebu. Dengan panjang tebu rata-rata 227 cm tebu siap giling. Oleh karena perlu dilakukan penelitian tentang perkembangan dan pertambahan gerekan larva penggerek batang tebu (Chilo sacchariphagus (Bojer) di pertanaman tebu lahan kering Cinta Manis Kabupaten Ogan Ilir.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai September 2012. Kondisi suhu

lingkungan selama penelitian berkisar antara 22,8–27,2O

C, dan kelembaban nisbi udara

rata-rata berkisar antara 89,89–94,06%. Varietas tebu yang ditanam adalah PS 5051. Pengamatan Pertambahan Panjang dan Lebar Gerekan. Pada kegiatan ini

dilakukan pengukuran terhadap pertambahan panjang dan lebar gerekan, berat larva, berat kotoran dan ukuran larva. Berat larva instar 1 dan 2 ditimbang dengan menggunakan neraca digital merk Sartorius type TE3135. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Kesehatan Daerah Sumatera Selatan. Sedangkan berat larva instar berikutnya ditimbang dengan menggunakan neraca digital merk Camry type EHA701. Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Lalat Jatiroto Unit Usaha Cinta Manis, Sumatera Selatan. Pengamatan panjang dan lebar gerekan diamati dan diukur sampai larva menjadi prapupa.

215

Page 83: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Analisis Data. Kecenderungan perubahan tingkat kerusakan batang dan pucuk

dari waktu ke waktu akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL Pertambahan Gerekan. Tabel 1. Berat kotoran dan larva penggerek batang Umur Larva (hari) Berat Larva (g) Berat Kotoran (g) 1 0,008 0,006 4 0,090 0,007 8 0,100 0,010 12 0,100 0,110 16 0,120 0,240 20 0,120 0,300 24 0,130 0,400 28 0,190 0,610 32 0,240 1,200 36 0,270 1,250 40 0,260 1,350

44 0,220 0,800

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan di laboratorium, kisaran umur fase larva penggerek batang

yaitu 16-44 hari. Lama fase larva berkisar antara 21-41 hari (Achadian, 2007). Dari

mulai menetas sampai memasuki fase pupa, rata-rata panjang dan lebar gerekan

penggerek batang adalah sebesar 43,20 cm dan 3,61 cm. Sedangkan hasil

pengukuran terhadap panjang gerekan larva penggerek batang di lapangan berkisar

antara 9-81 cm, dengan rata-rata 41,2 cm. Seekor larva mampu menggerek 1-3 ruas

dengan rata-rata 1,78 ruas (Sutejo, 2008). Pertambahan panjang dan lebar gerekan cenderung meningkat dengan

bertambahnya umur larva, mencapai puncaknya pada umur larva 36 hari. Hari ke 16 umumnya larva sudah memasuki instar ke 3, pada fase ini kemampuan larva merusak batang tebu semakin tinggi dan mencapai puncaknya pada saat larva memasuki instar ke 5. Pada instar berikutnya, larva memasuki fase prapupa, kemampuan menggerek batang tebu sudah mulai turun. Rata-rata pada hari ke 44 larva sudah menjadi prapupa, sehingga tidak ada lagi gerekan yang terbentuk (Gambar 1).

216

Page 84: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014

Gambar 1. Ukuran larva, lebar dan panjang gerekan oleh larva penggerek batang.

Hasil pengukuran terhadap berat larva dan berat kotoran menunjuk kan makin

bertambah umur larva maka makin bertambah berat larva dan berat kotorran. Berat

kotoran dan larva berkurang m emasuki fase pupa (Tabel 1).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian apat disimpulkan bahwa pertambahan panjang dan lebar

gerekan, berat larva dan berat kotoran cenderung meningkat dengan bertambahnya

umur larva, mencapai punca knya pada umur larva 36 hari, dan berkurang menjelang

larva memasuki fase pupa.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh DP2M sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan

Penelitian Hibah Disertasi Doktor Universitas Sriwijaya Nomor:

0016/UN9.4.2/LK.ULP/ 2012 tanggal 7 September 2012.

DAFTAR PUSTAKA Achadian EM. 2007. Hama Penting pada Pertanaman Tebu di Indonesiia. Materi

Program Pelatihan Prote ksi Tanaman. P3GI, Pasuruan. 14 hal. Juklak PHT Cinta Manis. 2010. Pengendalian Hama Penggerek Berdasarkan Masa

Tanam. Unit Usaha Cin ta Manis, PTP Nusantara VII (Persero). Meidalima D. 2013. Pot ensi Parasitoid Telur dan Larva untuk Mengendalikan

Penggerek Batang dan Pucuk Tebu di Sumatera Selatan. Disertasi. Universitas Sriwijaya. 129 hal.

217

Page 85: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Mulyani A, Las I. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi Pengembangan

Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian

27(1):35-41. P3GI. 2008. Konsep Peningkatan Rendemen untuk Mendukung Program

Akselerasi Industri Gula Nasional. Pratama Z, Mardiansyah I, Zaini M. 2010. Pengaruh Kombinasi Waktu Pelepasan

yang Berbeda antar Diatraeophaga striatalis Tns. dan Trichogramma chilonis terhadap Persentase Kerusakan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum linn.) yang Disebabkan oleh Chilo auricilus Dudgeon. Universitas Negeri Surabaya, Fakultas MIPA, Jurusan Biologi.

Sunaryo. 2003. Mempelajari Serangan Hama Penggerek Batang di Lapang pada Berbagai VarietasTebu di Gunung Madu. Lampung Tengah. 4 hlm.

Sutejo B. 2008. Antisipasi Perkembangan Hama Penggerek Pucuk dan Penggerek Batang di Perkebunan Tebu Akibat Perubahan Iklim di Unit Usaha Cinta Manis PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Kab. Ogan Ilir Sumatera Selatan. . Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan dan Sumber Daya Hayati yang Berwawasan Lingkungan dalam Menyikapi Dampak Pemanasan Global, Palembang 18 Oktober 2008.

218

Page 86: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 LAMPIRAN Lampiran 1. Berat larva penggerek batang tebu

Umu

Berat larva (g) ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

r

1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

8 8 6 8 9 9 8 7 8 9

4 0,10 0,09 0,09 0,08 0,10 0,10 0,08 0,08 0,09 0,09

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 0,11 0,10 0,09 0,08 0,11 0,11 0,10 0,09 0,11 0,11

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

12 0,11 0,11 0,09 0,08 0,10 0,10 0,10 0,10 0,11 0,10

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 0,12 0,13 0,13 0,11 0,12 0,12 0,11 0,11 0,13 0,12

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

20 0,13 0,12 0,13 0,12 0,12 0,12 0,11 0,12 0,12 0,11

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

24 0,14 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,12 0,13 0,13 0,13

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

28 0,21 0,20 0,19 0,18 0,18 0,19 0,19 0,18 0,20 0,18

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

32 0,26 0,25 0,26 0,22 0,21 0,24 0,24 0,23 0,25 0,24

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

36 0,26 0,27 0,27 0,26 0,26 0,28 0,28 0,28 0,27 0,27

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

40 0,27 0,26 0,27 0,26 0,26 0,25 0,26 0,26 0,25 0,26

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

44 0,21 0,22 0,23 0,22 0,23 0,24 0,23 0,20 0,22 0,20

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Lampiran 2. Berat kotoran larva penggerek batang tebu

Umu Berat kotoran larva (g) ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

r

1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

6 5 6 5 6 7 5 7 7 6

4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,09

6 6 7 7 7 5 7 7 8 0

8 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01

0 0 0 9 0 0 9 0 0 0

12 0,11 0,12 0,10 0,11 0,11 0,11 0,12 0,10 0,11 0,11

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 0,24 0,25 0,23 0,23 0,25 0,25 0,24 0,25 0,23 0,24

219

Page 87: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

20 0,29 0,32 0,30 0,32 0,30 0,28 0,29 0,30 0,31 0,29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

24 0,36 0,41 0,43 0,37 0,40 0,39 0,42 0,38 0,41 0,43 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

28 0,61 0,60 0,59 0,60 0,58 0,59 0,59 0,62 0,61 0,60 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

32 1,20 1,30 1,10 1,20 1,10 1,30 1,20 1,10 1,20 1,30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

36 1,25 1,30 1,25 1,25 1,25 1,30 1,20 1,20 1,25 1,25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

40 1,30 1,35 1,35 1,40 1,30 1,35 1,40 1,35 1,35 1,40 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

44 0,90 0,90 0,80 0,70 0,70 0,90 0,80 0,70 0,70 0,90

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

220

Page 88: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Berbagai Dosis Pupuk Organik Cair

terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat Varietas Tantina

Effect of Different Doses of Liquid Organic Fertilizer

on the Growth and Yield of Tomato Varieties Tantina

Irma Calista Siagian, Yartiwi, Wahyu Wibawa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu

[email protected]

ABSTRACT

Tomato (Solanum lycopersicum L.) is one of the important horticultural

commodities to meet the needs of the market and society. Tomato productivity can be improved by using a liquid organic fertilizer right dose, right way, and timely so that the nutrients are arranged in the fertilizer can be utilized by tomato plants optimally. Liquid organic fertilizer plays an important role in the growth of roots, shoots, flowers, and ovaries, as well as improve resistance to pests, pathogens against disease, and environmental stresses. This study is a preliminary test of the liquid organic fertilizer from cow urine at various doses on yield and growth of tomato plants Tantina varieties. The design used the randomized block design with treatment P0 (control), P1 (32ml), P2 (35ml), P3 (38ml) and P4 (40ml) with 3 replications. Results of analysis of variance of the data obtained show that there is a very real effect of liquid organic fertilizer application on the growth of the fruit of the tomato plant, with optimal growth of tomato obtained at dosages of P1 with the results of 938.80 grams / stem. Keywords: tomato varieties Tantina, liquid organic fertilizer.

ABSTRAK

Tanaman tomat (Solanum lycopersicum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting dalam memenuhi kebutuhan pasar dan mayarakat. Produktivitas tomat dapat ditingkatkan dengan menggunakan pupuk organik cair secara tepat dosis, tepat cara, dan tepat waktu sehingga unsur-unsur hara yang tersusun dalam pupuk tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman tomat secara optimal. Pupuk organik cair berperan penting dalam pertumbuhan akar, tunas, bunga, dan bakal buah, serta meningkatkan daya tahan terhadap hama, patogen terhadap penyakit, dan juga cekaman lingkungan. Penelitian ini merupakan uji pendahuluan pupuk organic cair dari urine sapi pada berbagai dosis terhadap hasil dan pertumbuhan tanaman tomat varietas tantina. Rancangan yang digunakan yakni Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan P0(kontrol), P1(32ml), P2(35ml), P3(38ml) dan P4(40ml) dengan 3 kali

ulangan. Hasil analisa sidik ragam dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat nyata pemberian pupuk organic cair terhadap pertumbuhan hasil buah tanaman tomat , dengan pertumbuhan tomat optimal didapat pada dosis pupuk P1 dengan hasil 938.80 gram/batang. Kata kunci: tomat varietas tantina, pupuk organik cair.

221

Page 89: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PENDAHULUAN

Provinsi Bengkulu terletak di sebelah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1.991.933 hektar atau 19.919,33 kilometer persegi. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi

Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567

kilometer. Secara astronomis, Provinsi Bengkulu terletak di antara 2o16' LU dan 3

o 31 LS

dan antara 101 o 01' - 103

o 41’ BT. Sementara jika ditinjau dari posisi geografisnya,

Provinsi Bengkulu di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Provinsi Lampung, di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Musim yang terjadi di Provinsi Bengkulu sebagaimana wilayah lainnya di Indonesia dikenal dua musim, yaitu musim hujan (Desember-Maret) dan musim kemarau (Juni- September) sementara pada bulan April-

Mei dan Oktober-November merupakan masa peralihan/pancaroba.

IKLIM Tabel 1. Rata-Rata Temperatur, Kelembaban Nisbi, dan Rata-Rata Penyinaran

Matahari pada Stasiun Klimatologi Pulau Baai, 2012 Rata-Rata Temperatur Rata-Rata

Bulan

(0 C) Kelembaban PenyinaranMatah

Maksi Minimu Rata- Nisbi (%) ari

mum m rata (%) Maksimum

Januari 30.2 23.7 46.6 Januari 30.2

Pebruari 30.6 23.8 26.6 Februari 30.6

Maret 30.7 23.7 26.8 Maret 30.7

April 31 23.7 26.8 April 31

Mei 31.7 24.2 27.3 Mei 31.7

Juni 31.9 23.7 27.1 Juni 31.9

Juli 31.1 23.2 26.4 Juli 31.1

Agustus 31.5 23.7 26.8 Agustus 31.5

September 31.6 23.3 26.6 September 31.6

Oktober 31.8 24.2 27 Oktober 31.8

November 30.5 24 26.6 November 30.5

Desember 30.4 24 26.6 Desember 30.4

222

Page 90: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Kecepatan Angin Rata-Rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah Angin

pada Stasiun Klimatologi Pulau Baai, 2012 Kecepatan Angin Rata-

Kecepatan Maksimum Mutlak

Bulan Rata

(Knot)

(Km/Jam)

Januari 4.2 34

Pebruari 3.2 21

Maret 4.8 40

April 3.1 21

Mei 3.0 24

Juni 3.4 31

Juli 4.0 27

Agustus 5.6 25

September 5.3 25

Oktober 4.1 25

November 3.0 25

Desember 3.6 27

Luas panen tanaman tomat di Propinsi Bengkulu tahun 2012 adalah 2.501 ha

yang tersebar di seluruh kabupaten /Kota Bengkulu. Luas areal pertanaman di

dominasi oleh Kabupaten Rejang lebong yaitu 1.547 ha yang merupakan dataran

tinggin, sedangkan di kota Bengkulu seluas 23 ha yang merupakan dataran rendah.

Produksi tanaman tomat di Propinsi Bengkulu tahun 2012 adalah 333.307 kuintal menurun dibanding pada tahun sebelumnya 397.440 kuintal. Produksi tertinggi di

Kabupaten Rejang Lebong yaitu 245.623 kuintal, sedangkan di Kota Bengkulu 2.697

kuintal.(Badan Pusat Statistik. 2013. Propinsi Bengkulu Dalam Angka Propinsi

Bengkulu). Pengunaan kompos sebagai sumber nutrisi tanaman merupakan salah satu

program bebas bahan kimia, walaupun kompos tergolong miskin unsur hara jika dibandingkan dengan pupuk kimia. Namun, karena bahan-bahan penyusun kompos cukup melimpah maka potensi kompos sebagai penyedia unsur hara kemungkinan dapat menggantikan posisi pupuk kimia, meskipun dosis pemberian kompos menjadi lebih besar dari pada pupuk kimia,sebagai penyetaraan terhadap dosis pupuk kimia.

Tomat merupakan salah satu sayuran yang potensial perlu dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini dapat ditanam di dataran rendah - dataran tinggi, juga dapat ditanam di sawah bekas dan lahan kering. Untuk mencapai hasil tinggi, di samping penggunaan varietas tahan terhadap hama dan penyakit, juga perlu diperhatikan teknik budidaya yang tepat. Produktivitas nasional tomat di Indonesia masih rendah. Hal ini terjadi karena aplikasi teknologi dalam budidaya masih rendah. Salah satu kendala pada peternakan tomat pupuk yang digunakan yang tidak sesuai dengan kondisi tanah tertentu. Tanaman tomat membutuhkan unsur makro hara N, P, K, Ca, Mg dan hara mikro Mn, Zn, B. Dalam upaya peningkatan produksi tomat, penggunaan pupuk organik dan anorganik yang dibutuhkan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dosis pupuk organik cair yang tepat untuk pertumbuhan dan hasil tanaman tomat varietas tantina.

223

Page 91: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Oktober 2013 hingga April 2014 di lahan

masyarakat Kelurahan Lingkar Barat, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.

Varietas tomat yang digunakan adalah Tantina. Rancangan yang digunakan adalah

Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan P0(kontrol), P1(32ml), P2(35ml),

P3(38ml) dan P4(40ml) dengan 3 kali ulangan. Untuk mencegah serangan organism

pengganggu tanaman, tanaman tomat disemprot dengan pestisida sesuai dengan

rekomendasi penggunaan pestisida. Variabel yang diamati yaitu: (1) kandungan unsure

hara tanah, (2) tinggi tanaman pada umur 30, 45, 60 and 75 HST, (3) Jumlah Buah , (4)

Berat Buah. Data dianalisis berdasarkan sidik ragam. Perlakuan yang berbeda nyata

dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 95 %.

HASIL

Hasil Analisa Tanah dan Pupuk Organik Cair. Tanah yang digunakan

untuk penelitian ini adalah jenis podsolik merah-kuning, dimana warna tanah yang

kemerahan menjadi kuning atau kekuningan. Tabel 1. Kandungan Unsur Hara Tanah Lokasi Pengkajian No Type Analysis Result Information 01 Kadar Air 5.00 %

02 P-Bray 9.79 ppm Sedang

03 C-Org 4,5 % Tinggi

04 Ca 1.01 me/100 gr Sangat Rendah

05 Mg 2.00 me/100 gr Sedang

06 N-total 0,03 me/100 gr Sedang

07 Na 0.13 me/100 gr Rendah

08 K 0,04 me/100 gr Sangat Rendah

09 pH H2O 4,7 Asam

Tabel 2. Kandungan Kimia Pupuk Organik Cair (POC)

No Kandungan Kimia Result (%)

1 Kadar Air 15

2 Nitrogen 1.82

3 P2O5 5.69

4 C-Organik 15.82

5 K2O 2.79

6 C/N 8.69

224

Page 92: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 Keragaan Pertumbuhan Tanaman Tomat. Adapun rata-rata hasil pengukuran

terhadap tinggi tanaman tomat dapat dilihat pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) masing-masing perlakuan.

Perlakuan Rata-rata Tinggi Tanaman (cm)

14 HST 28 HST 56 HST

P0 35.17a 76.14

a 108.61a

P1 26.92b 68.83

a 119.32

a

P2 30.91ab

80.77a 112.98

a

P3 30.79ab

78.75a 107.36

a

P4 31.00ab

78.06a 118.99

a

Ket : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Jumlah Cabang. Hasil pengukuran pada parameter jumlah cabang tanaman tomat dari berbagai konsentrasi POC yang diuji secara statistik menunjukkan tidak ada

perbedaan yang nyata antara perlakuan mulai dari pengamatan umur 14 HST hingga 56

HST. Adapun rata-rata hasil pengukuran terhadap jumlah cabang tanaman tomat dapat

dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Rata-rata hasil pengukuran jumlah cabang (cabang) masing-masing perlakuan.

Perlakuan Rata-rata Jumlah Cabang (cabang) 14 HST 28 HST 56 HST P0 6.67

a 12.17a 16.58

a P1 5.72

a 11.72a 16.22

a P2 5.89

a 11.89a 16.69

a P3 6.33

a 12.25a 16.42

a P4 6.00

a 11.67a 14.58

a

Jumlah Bunga dan Tandan Bunga. Adapun rata-rata hasil pengukuran

terhadap jumlah bunga dan jumlah tangkai bunga tanaman tomat dapat dilihat pada

Tabel 5 berikut : Tabel 5. Rata-rata hasil pengukuran jumlah bunga(bunga) dan jumlah tandan bunga

(tandan) masing-masing perlakuan. Perlakuan Rata-rata Jumlah Bunga (bunga) Rata-rata Jumlah Tandan Bunga (tandan) 14 HST 28 HST 14 HST 28 HST P0 3.08

a 1.50a 5.00

a 6.36a

P1 2.08a 2.06

a 3.36

b 4.92

a

P2 5.28a 1.92

a 3.47

b 5.83

a

P3 3.33a 1.75

a 4.00

ab 8.00

a

P4 3.25a 1.58

a 3.00

b 8.14

a

Jumlah Buah dan Berat Buah. Bunga pada tanaman tomat merupakan bunga

majemuk yang berkumpul dalam rangkaian berupa tandan dan bertangkai. Adapun rata-

225

Page 93: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 rata hasil pengukuran terhadap jumlah buah per tanaman dan berat buah per tanaman

dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Rata-rata hasil pengukuran jumlah buah per tanaman (buah) dan berat buah per tanaman (g) masing-masing perlakuan.

Perlakuan Rata-rata Jumlah Buah Rata-rata Berat Buah (Buah) (g) P0 20.42

a 701.22ab

P1 21.97a 938.80

a

P2 18.53a 592.46

b

P3 24.44a 717.51

ab

P4 25.50a 636.02

b

PEMBAHASAN

Konsistensi longgar di bagian atas (top soil) dan tegas di bagian bawah (subsoil).

Konten Organik di tanah lapisan atas (top soil kurang dari 9 persen, umumnya sekitar

5%). Kandungan nutrisi tanaman seperti N, P, K dan Ca umumnya rendah dan reaksi

tanah (pH) sangat rendah antara 4-5,55. Sifat kimia dari tanah ini tidak pantas untuk

tomat, membutuhkan unsur hara tambahan untuk pertumbuhan tanaman tomat.

Penambahan pupuk organik dan pupuk NPK Phonska diharapkan dapat meningkatkan

sifat-sifat kimia tanah memberikan hasil yang optimal bagi pertumbuhan tanaman tomat.

tomat dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun tanah yang paling ideal adalah tanah

dengan bahan organik tinggi, jenis subur lempung berpasir, dan mudah mengikat air

(porous). Jenis tanah yang berhubungan dengan sirkulasi oksigen dalam tanah. Tingkat Mg pada 2.00 me / 100 g cocok untuk budidaya sayuran, hanya perlu

penambahan N, P dan K untuk meningkatkan produksi. Keasaman tanah (pH) juga perlu

tahu karena setiap tanaman membutuhkan lingkungan pH tertentu. Ada tanaman yang

toleran terhadap guncangan pH panjang, tetapi ada juga tanaman yang tidak tahan

terhadap pH shock. Selain efek langsung pada tanaman, pH juga mempengaruhi faktor-

faktor lain seperti ketersediaan elemen. Kelarutan Al dan fe juga dipengaruhi oleh acdity

tanah. Pada pH asam, kelarutan Al dan Fe sangat tinggi. Akibatnya, pH sangat rendah

pertumbuhan tanaman tidak normal karena pH tidak suitables. Jika tanah masam akan

ditanam dengan tanaman yang menyukai reaksi netral seperti tanaman tomat, maka tanah

harus diberi bahan / pupuk bias mengubah pH dari asam sampai netral. Semakin besar

perbedaan pH, semakin banyak pupuk yang dibutuhkan. Tingkat keasaman (pH) tanah

yang cocok untuk tanaman tomat adalah pH 7 (netral). Selain mempengaruhi pertumbuhan

tanaman, pH juga mempengaruhi aktivitas organisme tanah yang berperan dalam

dekomposisi bahan organik dan ketersediaan hara zat dalam tanah. Hasil analisis tanah hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nutrisi phospor dalam

tanah kurang tersedia sehingga diperlukan penambahan unsur hara lainnya, di mana lahan

yang digunakan untuk menanam tomat di polybag setiap lapisan kedua dari tanah. Jenis

tanah juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Seiring dengan

pendapat Nurtika (1992) fertilisasi merupakan salah satu upaya dalam

226

Page 94: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 budidaya tanaman untuk meningkatkan hasil dengan mengembalikan atau

menambahkan nutrisi. Dari tabel 2 diketahui bahwa pupuk organik cair memiliki jumlah kandungan

nitrogen, fosfor, kalium dan air yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pupuk organik padat yang berbahan dasar kotoran sapi padat. Bentuk pupuk organik yang berupa cairan mempermudah tanaman dalam menyerap unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya. Jika dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair ini memiliki sifat yang aman bagi kesehatan dan ramah terhadap lingkungan.

Hasil pengukuran padaparameter tinggi tanaman tomat dari berbagai konsentrasi

POC yang diuji secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata pada pengamatan usia

14 HST antara konsentrasi P0 dengan P1 namun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan P2, P3 dan P4. Sedangkan pada pengamat an usia 28 HST dan 54

HSTantar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Pertumbuhan merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang

mengakibatkan perubahan ukuran, pertambahan bobot, volume dan diameter batang dari waktu ke waktu. Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan. Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan dengan pewarisan sifat/perilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh. Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.

Pada hasil penelitian diperoleh bahwa tanaman tertinggi pada pengamatan usia 14 HST yaitu pada perlakuan tanpa POC (P0) sedangkan tanaman yang terendah pada perlakuan konsentrasi POC 32 ml/batang (P1). Namun pada akhir pengamatan usia 56 HST bahwa tanaman tertinggi merupakan perlakuan konsentrasi POC 32 ml/batang (P1) sedangkan tanaman terendah pada perlakuan konsentrasi POC 38 ml/batang (P3).

Perbedaan tinggi tanaman tomat pada usia 14 HST dari perlakuan P0 dengan P1 ini diduga karena belum terserap dengan sempurna pupuk yang diberikan kepada tanaman tomat dikarenakan kurangnya curah hujan pada masa penanaman.

Berdasarkan pengamatan terbentuknya bunga pada tanaman tomat varietas tantyna pada usia 14 HST. Hasil pengukuran pada parameter jumlah bunga dan jumlah tangkai bunga tanaman tomat dari berbagai konsentrasi POC yang diuji secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan mulai dari pengamatan usia 14 HST hingga 56 HST.

Pada hasil penelitian diperoleh bahwa jumlah cabang terbanyak merupakan perlakuan konsentrasi POC 35 ml/batang (P2) sedangkan jumlah cabang paling sedikit pada perlakuan konsentrasi POC 40 ml/batang (P4). Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5. bahwa jumlah bunga yang terbentuk pada pengamatan usia 28 HST lebih rendah dibandingkan saat pengamatan usia 14 HST pada masing-masing perlakuan. Perbedaan ini diduga karena banyaknya bunga yang jatuh dan tidak berkembang pada usia 28 HST.

Untuk jumlah buah per tanaman tomat dari berbagai konsentrasi POC yang diuji

secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan, namun

227

Page 95: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pada berat buah menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan P1 dengan P2 dan P4

sedangkan pada perlakuan P0 dan P3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

KESIMPULAN

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat nyata pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan hasil buah tanaman tomat , dengan pertumbuhan tomat optimal didapat pada dosis pupuk P1 (32 ml/batang) dengan hasil 938.80 gram/batang.

DAFTAR PUSTAKA Horticulture Research and Development Center. technical guidance Assorted

vegetables. Agriculture Ministry.2011 Sahera.W.O, Sabaruddin.L, Safuan.L.O.2012.Pertumbuhan dan Produksi Tomat

(Lycopericum esculentum Mill) Pada Berbagai Dosis Bokashi Kotoran Sapid an Jarak Tanam. Berkala Penelitian Agronomo. Vol.1 No.2.ISSN: 2089-9958.Hal. 102-106.

Hakim.N.dkk.,1986.Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Hilman, Y. And Suwandi. 1989. Influences Manure Dose on Tomato Varieties

Gondol.Hort Research Buletin.18 (2) :33-82 Wibowo.ZS dan Yati.Rachmiati.1996. Addition Auxiliary Materials Against Densified

Blend of Single Fertilizer to Influence Plants The. Research Summary :80-85 Saifuddin.Sarief.Agriculture Soil Sciences. Buana.Bandung Library.hal.136-137.

Rosmakam.Afandie, Widya.Nasih.Sciences of Soil Fertility. Kanisius.2002.hal.178-181

Sitompul, B.C. dan Guritno, B. , 1995. Plant Growth Analysis. UGM Press. Yogyakarta.

Surtinah. Study about relationship vegetative growth with tomato yields.Agriculture scientific Journal.Vo.4.No.1

Uzo, J.A. 1978. Effect of Nitrogen, Phosporum, and Potassium on The Yield of Tomato In The Humid Tropics. HortSci. 100(4):435-437

Nurtika, N. 1990. Effect of manure type and dose to chemical soil improvement and the

Yields of local tomato cultivars Gondol. Horti research bulletin. 19(1): 88-794.

228

Page 96: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Kajian Ukuran Umbi terhadap Produksi Tanaman Kentang Granola

dengan Pemanfaatan Pupuk Hayati

Study Size Tuber on the Production Plant Potato Granola

by use of Biofertilizer

Titin Sugianti*1)

, Sudjudi1, dan Syahri

2*

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi:Tel/Faks.+62370 67131/+62370 671620

email: [email protected]

ABSTRACT

Potato is one commodity of horticultural crops which has bright prospect,

considering the production of potato has an important role that can improve people's

nutrition. The main problem in the development of agribusiness in Indonesia, namely

potato certified seed can be guaranteed quality and appropriate generation (G0-G4) are

still limited its availability. One of the efforts made by the use of biological fertilizers on

potato cultivation system especially granola potato varieties. The study of biological

fertilizer utilization in the highlands of West Nusa Tenggara Sembalun MK II season in

July to December 2013 potato varieties used were G3. Activities include tilling perfect,

the manufacturing line of excavation, planting, pemupupukan, plant maintenance,

observation of various parameters including the number of shoots per plant, number of

tubers per 10m2 (tile), weight of tuber per 10m2, the size and weight of tubers per potato

production granola. Based on data indicating the biological fertilizer application gave a

positive correlation to the observed parameters. An increase in production by 11% with

the addition of a biological fertilizer treatment Sembalun farmers. Thus an increase in the

amount of seed potatoes produced by the generation G4. Keyword: Variety Granola Potato, Potato Generation G4, Biofertilaizer

ABSTRAK

Komoditas kentang merupakan salah satu komoditas dari tanaman hortikultura

yang memiliki prospek yang cukup cerah, mengingat produksi kentang memiliki peranan

penting yakni dapat meningkatkan gizi masyarakat. Problem utama dalam pengembangan

agribisnis komoditas kentang di Indonesia yaitu benih bersertifikat yang bisa dijamin mutu

dan sesuai generasinya (G0-G4) yang masih terbatas ketersediaanya. Salah satu upaya

yang dilakukan dengan pemanfaatan pupuk hayati pada sistem budidaya kentang

khususnya kentang varietas granola. Penelitian pemanfaatan pupuk hayati dilakukan di

dataran tinggi Sembalun Nusa Tenggara Barat pada musim MK II bulan Juli sampai

dengan Desember 2013. Varietas kentang yang digunakan adalah G3. Kegiatan meliputi

pengolahan tanah sempurna, pembuatan barisan galian, penanaman, pemupupukan,

pemeliharaan tanaman, pengamatan berbagai parameter meliputi jumlah

229

Page 97: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

tunas per tanaman, jumlah umbi per 10m2 (Ubinan), berat umbi per 10m

2, berat umbi

per ukuran dan hasil produksi kentang granola. Berdasarkan data menunjukkan dengan pemberian pupuk hayati memberikan korelasi yang positif terhadap parameter pengamatan. Terjadi peningkatan produksi sebesar 11% dengan penambahan pupuk hayati dari perlakuan petani Sembalun. Dengan demikian terjadi peningkatan jumlah benih kentang yang dihasilkan yaitu generasi G4. Kata Kunci : Varietas Granola, Generasi Kentang G4, Pupuk Hayati

PENDAHULUAN

Komoditas kentang digunakan masyarakat di Indonesia sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai potensi dalam program diversifikasi pangan. Pemanfaatan kentang bisa digunakan sebagai kentang sayur, puree maupun kentang olahan sebagai bahan baku industri sebagai potato chip/kripik (P.E.R. Prahardini dan Al. Gamal

Pratomo,k, 2004). Komoditas kentang merupakan salah satu komoditas dari tanaman hortikultura yang memiliki prospek yang cukup cerah, mengingat produksi kentang memiliki peranan penting yakni dapat meningkatkan gizi masyarakat (Novary, 1997).

Produksi kentang di indonesia 13,38 ton ha-1

sedangkan Selandia Baru

mencapai 35 ton ha-1

(FAO, 2000). Produksi kentang di Indonesia saat ini didominasi

oleh varietas Granola yang mencapai 90% dari seluruh areal tanam, sedangkan kentang olahan hanya menempati 10% saja (Chujoi, et al, 1999). Dari tahun ketahun luas areal, hasil produksi dan produktifitas kentang yang relatif rendah. Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian bersama lembaga donor dari luar negeri tengah melakukan uji coba pengembangan benih varietas Granula dan Atlantik untuk delapan kelompok petani di Sembalun Nusa Tenggara Barat yang dimulai pada tahun 2014. Petani Sembalun selama ini berhasil memanen kentang Atlantik rata-rata 20 ton per hektar, sedang varietas Granola sekitar 15 ton per hektar (Suara NTB, 2010). Namun kentang Atlantik memiliki beberapa kelemahan antara lain: produksinya rendah, tidak tahan layu, tidak tahan busuk daun dan tidak tahan nematoda akar (Kusmana, 2003).

Dengan permasalah tersebut kentang varietas Granula diharapkan dapat dikembangkan dengan baik di Sembalun. Berdasarkan hasil penelitian potensi

produksi kentang di indonesia dapat mencapai 30 ton ha-1

(Gunarto, 2003). Upaya

untuk meningkatkan produksi kentang tersebut adalah dengan menggunakan umbi bermutu tinggi yaitu mutu fisik. Mutu fisik mencakup tingkat keseragaman yang tinggi baik bentuk, warna, ukuran dan berat per volume (Sadjad, 1993 dalam Arifin dkk, 2014). Diharapkan dengan mutu yang baik dapat membantu dalam meningkatkan produktivitas kentang, karena bibit adalah bakal terjadinya suatu tanaman sehingga sangat menentukan terhadap hasil yang dicapai.

Selain mutu fisik kentang tingkat produktifitas tanah juga sangat mmpengaruhi pertumbuhan tanaman. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan pemanfaatan pupuk hayati dalam budidaya kentang varietas Granula. Pemanfaatan pupuk hayati telah dilaporkan mampu meningkatkan efisiensi serapan hara memperbaiki pertumbuhan dan hasil serta diyakini meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit (Hardianto, 2000 dalam Rusdi, 2010). Menurut Permentan (2009) pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri dari mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan dan kesehatan tanah.

230

Page 98: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Ukuran umbi bibit tanaman kentang yang digunakan petani yaitu S, M, L dan

LL. Namun dalam budidaya petani melakukan penanaman tidak melakukan pemilahan

ukuran bibit, segingga dalam satu areal tanam terdapat berbagai campuran ukuran

bibit. Pada dasarnya semua ukuran umbi dapat dipakai untuk dijadikan bibit, apabila

memilih bibit yang beratnya kurang dari 20 g dapat berproduksi namun rendah.

Diharapkan dari pengkajian umbi kentang dengan berbagai ukuran dapat memberikan

informasi ukuran bibit yang digunakan dengan hasil yang diperoleh.

BAHAN DAN METODE

Lokasi penelitian kentang Granola dilaksanakan di lahan dataran tinggi Sembalun Lombok Timur seluas 30 are. Kegiatan dilaksanakan pada musim tanam

MK II bulan Juli sampai bulan Desember 2013. Bahan yang digunakan yaitu benih kentang Granola sebanyak 600 kg, pupuk An-organik NPK Ponska sebanyak 150 kg,

SP-36 sebanyak 100 kg, ZA sebanyak 100kg dan KCl sebanyak 100 kg, pupuk organik granulle sebanyak 1,5 ton, pupuk hayati 1 kg, serta pestisida. Alat yang

dipergunakan dalam kegiatan penelitian yaitu alat pengolah tanah (Hand traktor, cangkul, sabit, hand sprayer, tali, penggaris, counter, timbangan, karung, kranjang dan plastik. Perlakuan ukuran benih kentang Granola adalah S, M, L dan LL.

Tahap pelaksanaan kegiatan penelitian dimulai dari pengolahan tanah sempurna setelah dilaksanakan pembersihan dari sisa brangkasan tanaman sebelumnya dengan menggunakan hand traktor dibajak dan di ratakan. Sebelum tanam dibuat barisan galian sedalam 10 cm dengan jarak baris galian 80 cm. Penanaman dengan meletakan benih kentang Granola Kebun Bibit Induk Kentang Kledung Temanggung Jawa Tengah dalam barisan tersebut dengan jarak 15-20 cm yang dikelompokan berdasarkan ukuran umbi benih kentang.

Kemudian ditaburkan seluruh dosis pupuk organic dan SP 36, ZA, ½ dosis pupuk NPK dan KCL didalam barisan bibit kentang serta pupuk hayati yang telah dicampur merata dengan air, selanjutnya dilakukan penutupan galian tanam dan galian pupuk. Sebagai isosalasi terhadap Organisme Pengganggu Tanaman dua baris pinggir ditanamai jagung.

Kegiatan pemeliharaan tanaman yaitu pembumbunan dan pemupukan susulan dillaksanakan setelah tanaman berumur 3-4 minggu setelah tanam dengan cara menaburkan sisa dosis pupuk sesuai dosis anjuran di antara tanaman kentang dalam barisan dan menutup dengan tanah sebagai kegiatan pembumbunan. Pengairan dilaksanakan sesuai kondisi dilapangan dengan memperhatikan kelembaban tanah dan masa kristis dari pertumbuhan tanaman kentang. Biasanya dilakukan pada umur 21 hst dan 60 hst.

Kegiatan pengendalian organisme pengganggu tanaman kentang adalah hama penggorok daun dan penyakit busuk daun yang disebabkan oleh jamur Pythoptora Infestan. Pengemdalian OPT tersebut digunakan dengan pendekatan pengendalian hama peyakit terpadu berdasarkan kondisi dilapangan dan batas ambang kendali untuk penggunaan pestisida. Masa pertumbuhn kentang varitas granola antara 85-95 hari. Hasil panen kentang disortasi menurut perlakuan bobot dan diameter dengan ukuran <30gr, 30- 60 gr, 60- 100 gr, >100gr.

231

Page 99: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengamatan berbagai parameter meliputi jumlah tunas per tanaman, jumlah

umbi per 10m2 (Ubinan), berat umbi per 10m

2, berat umbi per ukuran dan hasil

produksi kentang granola. Jumlah tunas per tanaman ditentukan dengan cara menghitung manual jumlah tunas per tanaman dilapangan. Setelah tanaman kentang dipanen, dilanjutkan dengan melakukan pemisahan berdasarkan ukuran umbi, perhitungan jumlah umbi per ukuran dan penimbangan berat per umbi per ukuran dan

total berat per ukuran umbi pada 10m2.

HASIL

Tabel 1. Data Rerata Jumlah Pertumbuhan Tunas Per Ukuran Benih Perlakuan Ukuran Benih Varietas Granula

S (gr) M (gr) L (gr) LL (gr)

Penambahan Pupuk Hayati 3 a 4 a 5 a 8 a

Petani Sembalun 3 a 4 a 4 a 6 a

Tabel 2. Data Hasil Produksi Kentang Varietas Granola (Ubinan 10 m2)

Perlakuan Jumlah Umbi Berat Umbi

(buah) (Kg) Penambahan Pupuk hayati 482 a 18,103 a

Petani Sembalun 382 b 15,477 b

Tabel 3. Data Hasil Perhitungan Jumlah Umbi Per Ukuran Benih

Perlakuan Ukuran Benih Varietas Granula

S M L LL

Penambahan Pupuk Hayati 84 a 98 a 119 b 126 a

Petani Sembalun 68 b 80 b 127 a 106 b

Tabel 4. Data Hasil Perhitungan Berat Umbi Per Ukuran Benih

Perlakuan Ukuran Benih Varietas Granula

S (Kg) M (Kg) L (Kg) LL (Kg)

Penambahan Pupuk Hayati 3.463 a 3.815 a 5.575 b 5.200 a

Petani Sembalun 2.124 b 3.395 b 5.745 a 4.213 b

Tabel 5. Data Rerata Berat Per Umbi Per Ukuran Benih

Perlakuan Ukuran Benih Varietas Granula

S (gr) M (gr) L (gr) LL (gr)

Penambahan Pupuk Hayati 41,23 a 38,93 b 46,85 a 41,27 a

Petani Sembalun 31,24 b 49,20 a 47,48 a 34,25 b

232

Page 100: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Kondisi Awal. Varietas kentang Granola memiliki rata-rata jumlah tunas yang

dapat dihasilkan tanpa melihat ukuran umbi adalah 4 sampai 5 tunas (E. Koswara, 2007). Jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada benih kentang granola dengan ukuran LL. Dari hasil yang dibudidayakan oleh petani sembalun rata-rata sebanyak 6 tunas. Produksi varietas Granola yang dibudidayakan oleh petani sembalun sekitar 15 ton per hektar (Suara NTB, 2010). Jumlah produksi yang diperoleh oleh petani sembalun mengunakan sistem budidaya kentang standar yang diperoleh dari pihak terkait. Sistem budidaya yang diterapkan diintroduksi petani sembalun tanpa melakukan inovasi. Hal ini menyebabkan produksi yang diperoleh oleh petani kentang sembalun tidak mengalami perubahan jumlah. Penggunaan ukuran benih kentang untuk dibudidayakan oleh petani sembalun tidak diperhatikan. Hal ini ditunjukan dengan penggunaan benih kentang dari berbagai ukuran yaitu dari yang berukuran S, M, L

dan LL oleh petani sembalun. Berdasarkan data diatas, maka dirasakan perlu dilakukan introduksi teknologi penambahan pengunakan pupuk hayati pada sistem budidaya kentang dan mengkaji ukuran kentang yang memberikan hasil maksimal terhadap produksi kentang di Sembalun.

Kondisi Setelah Introduksi Teknologi. Jumlah pertunasan umbi berkorelasi

positif dengan ukuran umbi, semakin besar ukuran umbi menunjukan jumlah pertunasan

semakin besar. Menurut sudjudi, 2013 dengan semakin besar ukuran umbi mempunyai

peluang mata tunas yang lebih banyak. Penambahan pupuk hayati terjadi peningkatan

jumlah tunas yaitu sebanyak rata-rata 8 tunas. Eglan (1984) dalam Laurensius L, (2012)

menyatakan bahwa fungi mampu meningkatkan pertumbuhan jumlah cabang dan hasil

panen karena adanya produksi metabolik sekunder. Selain itu jamur endofit mampu

mengahasilkan senyawa aktif biologis secara invitro, antara lain alkaloid, paxillin,

lolitrems, dan tetranone steroid. Pemberian mikroorganisme yang terdapat pada pupuk

hayati menimbulkan ketahanan pada tanaman yang diberi pupuk organik yang

menyediakan fosfor sehingga tanaman tumbuh lebih kuat dan membentuk percabangan

karena tanaman mampu membentuk epidermis yang lebih tebal (Bustaman, 2000). Produksi kentang varietas Granula pada ubinan 10 m

2 yaitu pada sistem

budidaya yang biasa diterapkan oleh petani Sembalun mencapai produksi hasil sebanyak 15, 447 Kg yang berarti mencapai 15 ton/ha. Hasil ini sesuai dengan besaran hasil yang biasa diperoleh oleh petani kentang di Sembalun. Namun pada data hasil ubinan kentang varietas Granola yang pada sistem budidayanya ditambahkan pupuk hayati menunjukkan peningkatan sebesar 14,5% dari hasil biasa yang digunakan yaitu 18,103 Kg yang berarti mencapai 18 ton/ha. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan jumlah umbi kentang yang dihasilkan dengan penambahan pupuk hayati. Berdasarkan data jumlah umbi yang dihasilkan pada tabel 3 menunjukkan pengaruh yang positif dengan penambahan pupuk hayati pada varietas kentang granola. Dengan semakin besarnya ukuran benih kentang maka jumlah umbi yang dihasilkan juga semakin banyak. Namun pada perlakuan petani Sembalun terjadi penurunan pada ukuran benih LL dibandingkan dengan ukuran benih L. Ukuran benih L memiliki bobot berat yang lebih tinggi pada perlakukan petani Sembalun dan pada penambahan pupuk hayati. Namun terjadi peningkatan sebesar 11% dengan penambahan pupuk hayati dibandingkan dengan perlakukan petani.

233

Page 101: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pupuk hayati umumnya mengandung bakteri penambat nitrogen, mikroba

pendegradasi selulosa dan mikroba pelarut fosfat. Menurut Ponmurugan and Gopi (2006), mikroba pelarut fosfat dalam kegiatannya mengeluarkan asam organik, zat pengatur tumbuh (indole acetic acid dan gibberellic acid) dan enzim fosfatase yang dapat membantu pelarutan fosfat dalam tanah. Dengan keberadaan mikroba pelarut

fosfat didalam pupuk hayati sangat mempengaruhi jumlah produksi umbi pada kentang. Diketahui fungsi fosfat untuk tanaman penghasil umbi adalah memperbanyak produksi umbi. Kita ketahui fosfat tidak mudah larut sehingga penggunaan pupuk

fosfat yaitu sebagai pupuk dasar. Namun tidak jarang dalam praktik sampai tanaman dipanen pupuk masih berada dalam kondisi utuh didalam tanah disekitar tanaman.

Dampak Inovasi Teknologi. Kajian penambahan pupuk hayati terhadap ukuran

umbi kentang pada sistem budidaya kentang di Sembalun merupakan introduksi teknologi

yang baru diterapkan pada saat penkajian, sehingga teknologi penambahan pupuk hayati

pada sistem budidaya kentang belum diterapkan oleh petani sembalun. Dengan

diketahuinya manfaat pupuk hayati dalam sistem budidaya kentang yang telah dilakukan

percobaan langsung di Sembalun diharapkan dengan ketersediaannya ribuan hektar lahan

untuk pengembangan kentang di Sembalun, Sembalun dapat menjadi salah satu sentra

penghasil kentang. Bukan hanya kentang varietas granula namun segala jenis kentang

olahan juga dapat dikembangkan dan bemberi hasil yang positif terhadap peningkatan

produksi, kualitas hasil dan kesejahteraan petani kentang Sembalun.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan

penambahan pupuk hayati pada budidaya kentang varietas granola memberikan

pengaruh yang positif baik terhadap pertumbuhan dan hasil produksi dari umbi

kentang granola. Diketahui benih kentang granola G3 dapat dimanfaatkan kembali

menjadi benih yanitu menjadi G4. Sehingga dengan penambahan pupuk hayati dapat

meningkatkan persediaan benih kentang varietas granola G4.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian Rusdy, 2010. Application of Bio-fertilizer and Phosphor on Non-irrigated Rice

Against Green Bug. Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala

arussalam Banda Aceh. J. Floratek 5: 31 – 42 Bustaman, H. 2000. Penggunaan Jamur Pelarut Fosfat untuk Meningkatkan

Pertumbuhan Tanaman Jahe dan Penurunan Penyakit Layu. Seminar Nasional BKS Barat Bidang Ilmu Pertanian. 23-24 September 2000.

Chujoi. E.R.S. Basuki, N. gunadi, Kusmana, O.S. Gunawan and Sudjoko SAT. 1999. Informal survey on potato production constrint in Pangalengan. West Java Indonesia. Pot. Res in Indonesia. Coolaborative Research between RIV – CIP.

E. Koswara, 2007. Teknik pengamatan penggunaan pupuk anorganik majemuk Dan tunggal pada beberapa varietas kentangBuletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 2, 2007

234

Page 102: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gunarto, A. 2003. Pengaruh Penggunaan Ukuran Bibit Terhadap Pertumbuhan,

Produksi dan Mutu Umbi Kentang Bibit G 4 (Solanum tuberosum L.). Jurnal

Sains dan Teknologi Indonesia. 5 (5):173-179. Kusmana. 2003. Laporan Hasil Seleksi Varietas Kentang Processing Menunjang

Pengembangan Agroindustri Laurensius Lehar, 2012. Pengujian Pupuk Organik Agen Hayati (Trichoderma sp)

terhadap Pertumbuhan Kentang (Solanum tuberosum L). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 115-124. ISSN 1410-5020

M. Samsul Arifin, Agung Nugroho, Agus Suryanto, 2014. Study of Shoot Length and Seed Tuber Weight on Increase Yield Potato Plants (Solanum Tuberosum l.) Granola Variety. Jurnal Produksi Tanaman, Volume 2, Nomor 3, April 2014, hlm. 221-229

Novary, 1997. Penanganan dan Pengolahan Sayur Segar. Penebar Swadaya. Jakarta

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No 28/Permentan/Sr.130/5/2009. 2009. Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah.

P.E.R. Prahardini dan Al. Gamal Pratomo,k, 2004. Uji Adaptasi Varietas dan Klon Kentang Olahan pada Musim Kemarau di Dataran Tinggi beriklim Kering. BPTP Jawa Timur.

Ponmurugan, P. And C. Gopi. 2006. In Vitro Production of Growth Regulators and Phosphatase Activity by Phosphate Solubilizing Bacteria. African Journal of Biotechnology. 4 : 348-350.

Suara NTB, 2010. Sembalun akan Jadi Sentral Pengembangan Kentang Nasional. Berita NTB Bersaing. Kabupaten Lombok Timur. NTB.

Sudjudi, 2013. Optimasi Produktivitas Pertanaman Kentang Melalui Perbaikan Teknologi Perbanyakan Benih Kentang G3 Bersertifikat. Laporan Pelaksanaan Kegiatan. ACIAR CP/2005/167. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.

235

Page 103: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Sistem Tanam Legowo Terhadap Produktivitas Beberapa

Varietas Padi Sawah di Kabupaten Manokwari

Effect of Legowo Cropping Systems on Productivity of Some Rice

Varieties in Manokwari

Subiadi1*)

, Surianto Sipi1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +6281343673122/+6282126633320

Email: [email protected]

ABSTRACT

One of the efforts that can be taken to improve the productivity of rice is to combine the use of high yielding varieties of rice and the application of the cropping system. The purpose of this study to observe the level of productivity of lowland rice cropping systems on some legowo used in Manokwari. The study uses a split plot design with randomized block design environmental design which consists of varieties

as main plots and cropping system as a subplot. The study was divided into 2 parts: 1st

study ; consists of varieties Ciherang and Mekongga (main plot) with cropping

systems legowo 4:1, legowo 5:1, and legowo 6:1 (sub plot), and 2nd

study ; consists of varieties Cigeulis and Inpari 19 (main plot) with cropping systems legowo 2:1, legowo 3:1, and legowo 4:1 (sub plot). The treatment was replicated 3 times with farmers as replicates. The result showed that the legowo 4:1 cropping system gave highest yield compared with other legowo cropping systems. Keywords: cropping systems, productivity, rice.

ABSTRAK

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas padi adalah dengan memadukan penggunaan varietas unggul padi dengan penerapan sistem tanam. Tujuan penelitian untuk melihat tingkat produktivitas padi sawah pada

beberapa sistem tanam legowo yang digunakan di Kabupaten Manokwari. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah dengan rancangan lingkungan rancangan acak kelompok yang terdiri dari varietas sebagai petak utama dan sistem tanam sebagai anak petak. Penelitian terbagi menjadi 2 bagian yaitu penelitian 1; terdiri dari varietas

Ciherang dan Mekongga (petak utama) dengan sistem tanam legowo 4:1, legowo 5:1, dan legowo 6:1 (anak petak), dan penelitian 2; terdiri dari varietas Cigeulis dan Inpari 19 (petak utama) dengan sistem tanam legowo 2:1, legowo 3:1, dan legowo 4:1 (anak

petak). Perlakuan diulang sebanyak 3 kali dengan petani sebagai ulangan. Hasil

menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 4:1 menghasilkan produktivitas padi yang paling tinggi dibandingkan dengan sistem tanam legowo yang lainnya. Kata kunci: padi, produktivitas, sistem tanam.

236

Page 104: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PENDAHULUAN

Luas tanam padi sawah di Provinsi Papua Barat 8 tahun terakhir tertinggi pada tahun 2009 seluas 9.249 ha. Sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 7.711 ha,

tahun 2011 seluas 6.898 ha, tahun 2012 seluas 6.592 ha dan tahun 2013 hanya 6.208 ha (BPS Provinsi Papua Barat, 2013a). Pada tahun 2014 luas lahan penanaman padi sawah bisa mencapai 7.075 hektar, dan 2.500 ha diantaranya terdapat di Kabupaten

Manokwari (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua Barat, 2014). Produktivitas tanaman padi di Kabupaten Manokwari 2 tahun terakhir yaitu 4,1 ton/ha (BPS Papua Barat, 2013b). Hasil ini masih jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 5,1 ton/ha. Berdasarkan hal tersebut, maka masih perlu perbaikan usahatani

melalui penerapan teknologi untuk meningkatkan produktivitas padi di Papua Barat khususnya Kabupaten Manokwari.

Potensi peningkatan produksi padi sangat bergantung pada kemampuan untuk memadukan berbagai komponen pengelolaan tanaman antara lain perpaduan antara varietas dengan pemupukan dan jarak tanam (Salahuddin et al., 2009; Amin et al., 2004). Pemilihan varietas merupakan salah satu komponen utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi. Varietas padi yang direkomendasikan adalah varietas unggul baru (VUB) yang mampu beradaptasi dengan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan tanaman yang baik, tahan serangan penyakit, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi serta memiliki kualitas rasa yang dapat diterima pasar (Badan Litbang Pertanian, 2007). Varietas unggul memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal, tetapi membutuhkan input produksi yang lebih tinggi (Ahmadikhah and Mirarab, 2010).

Sistem tanam legowo adalah sistem tanam yang berselang-seling antara dua atau lebih barisan dan satu barisan kosong. Misalnya legowo 2:1, setiap dua baris tanaman diselingi satu barisan kosong dengan lebar dua kali jarak dalam barisan. Demikian juga dengan sistem tanam legowo lainnya (Abdulrachman dkk., 2013). Sistem tanam legowo memberikan hasil lebih baik pada jumlah anakan, indeks luas daun, dan produksi (Anggraini dkk., 2013), dan dapat meningkatkan produksi 25,7-26,9 % (Suparwoto, 2010).

Jarak tanam yang yang lebar pada tanaman padi menghasilkan akumulasi berat kering tanaman, hasil gabah dan komponen hasil lainnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih sempit. Selain itu jarak tanam juga berpengaruh terhadap jumlah anakan, jumlah malai, luas dan kanopi daun, kandungan klorofil dan zat hijau daun serta tingkat kemampuan daun dalam berfotosintesis (Thakur et al., 2009), tinggi tanaman, panjang malai dan bulir gabah/malai (Salahuddin et al., 2009), dan performa dari individu tanaman (Baloch et al., 2002).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh sistem tanam legowo terhadap produktivitas beberapa varietas padi sawah di Kabupaten manokwari. Tujuan penelitian untuk melihat tingkat produktivitas padi sawah pada beberapa sistem tanam legowo yang digunakan di Kabupaten Manokwari.

237

Page 105: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kampung Prafi Mulya Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Papua Barat pada bulan Februari – Juni 2014. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah dengan rancangan lingkungan rancangan acak kelompok yang terdiri dari dari varietas sebagai petak utama dan sistem tanam sebagai anak petak. Penelitian terbagi menjadi 2 bagian yaitu penelitian 1; terdiri dari varietas Ciherang dan Mekongga (petak utama) dengan sistem tanam legowo 4:1, legowo 5:1, dan legowo 6:1 (anak petak), dan penelitian 2; terdiri dari varietas Cigeulis dan Inpari 19 (petak utama) dengan sistem tanam legowo 2:1, legowo 3:1, dan legowo 4:1 (anak petak). Varietas padi ditanam pada lahan petani yang digunakan sebagai ulangan. Penanaman varietas pada setiap lahan petani seluas 0,25 ha per kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali. Varietas ditanam dengan sistem tanam pindah sesuai perlakuan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Sistem tanam legowo yang diterapkan tidak

menggunakan tanaman sisipan pada tanaman pinggir. Sistem ini merupakan modifikasi sistem tanam legowo yang lebih diminati petani di Kabupaten Manokwari.

Pengamatan komponen produksi meliputi jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, berat per 1000 butir gabah, dan produktivitas. Pengamatan jumlah anakan produktif dilakukan pada saat tanaman padi memasuki fase pemasakan biji. Pengambilan sampel tanaman sebanyak 7–10 rumpun per perlakuan yang dilakukan secara acak dan diambil secara diagonal pada setiap petak sawah. Sedangkan parameter lainnya dilakukan pada saat panen. Pengambilan ubinan sebanyak 3 titik setiap perlakuan untuk menghitung produktivitas. Luas ubinan setiap titik

adalah 3 set legowo sepanjang 5 meter (9 m2) untuk legowo 2:1, 3 set legowo sepanjang 5

meter (12 m2) untuk legowo 3:1, 3 set legowo sepanjang 3 meter (9 m

2) untuk legowo 4:1,

3 set legowo sepanjang 3 meter (10,8 m2) untuk legowo 5:1, dan 3 set legowo sepanjang 3

meter (12,6 m2) untuk legowo 6:1. Gabah hasil ubinan dijemur di atas lantai jemur selama

dua hari untuk mencapai kadar air gabah kering panen (8-9 %). Rata-rata luas pematang di Kabupaten Manokwari 7% dari luas sawah per hektarnya, dan hasil ubinan dikonversi ke luasan hektar dan dikurangi dengan 7% luas pematang. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dengan program SAS. Uji Post Hoc dilakukan dengan Duncan’s pada tingkat ketelitian 95% jika terdapat pengaruh beda nyata pada perlakuan yang diuji.

HASIL

Pada penelitian ini digunakan rancangan petak terpisah dengan menempatkan

varietas pada petak utama sebagai faktor dengan ketelitian yang lebih rendah, dan sistem tanam pada anak petak sebagai faktor dengan ketelitian yang lebih tinggi. Hasil

pengamatan terhadap komponen produksi varietas padi di Kabupaten manokwari

ditunjukkan pada tabel 1 dan 2. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pada

penelitian 1, perlakuan varietas dan sistem tanam memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap produktivitas padi (P=0,45 dan P=0,11). Ini menunjukkan bahwa

daya hasil varietas Mekongga dan Ciherang dan sistem tanam legowo 4:1, 5:1, dan 6:1

pengaruhnya sama dalam produktivitas padi (tabel 1).

238

Page 106: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pada penelitian 2, perlakuan varietas dan sistem tanam memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap produktivitas padi ( P=0,03 dan P=0,01). Ini menunjukkan

bahwa varietas dan sistem tanam legowo 2:1, 3:1, dan 4:1 pengaruhnya berbeda dalam

produktivitas padi, dan produktivitas tertinggi diperoleh pada legowo 4:1 baik pada

varietas Cigeulis maupun pada varietas Inpari 19 (tabel 2). Perlakuan varietas dan sistem tanam tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komponen produksi seperti jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, dan berat per 1000 biji, baik pada penelitian 1 maupun pada penelitian 2. Namun demikian sistem tanam legowo 4:1 memberikan hasil yang paling tinggi untuk komponen produksi rata-rata berat per 1000 biji. Hal ini diduga sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas yang lebih tinggi pada sistem tanam legowo 4:1 dibandingkan sistem legowo yang lainnya.

239

Page 107: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

Tabel 1. Keragaan komponen produksi dan produktivitas varietas Ciherang dan Mekongga pada beberapa sistem tanam legowo. Rata-rata (± SD) Rata-rata (± SD)

Rata-rata (± SD) jumlah Rata-rata berat per

Varietas Sistem tanam anakan produktif per jumlah gabah per 1000 butir gabah Produktivitas (kg/ha)

gabah isi per malai

rumpun malai (g)

Ciherang Legowo 4:1 15,14 ± 0,51 a 142,67 ± 34,24 a 136,33 ± 33,29 a 27,07 ± 0,01 a 6.527,22 ± 672,33 a

Ciherang Legowo 5:1 13,90 ± 0,46 a 153,33 ± 04,04 a 139,00 ± 03,46 a 25,92 ± 1,95 a 6.212,92 ± 449,12 a

Ciherang Legowo 6:1 13,71 ± 0,87 a 149,00 ± 17,52 a 137,00 ± 10,00 a 26,58 ± 0,94 a 6.470,63 ± 949,05 a

Mekongga Legowo 4:1 14,10 ± 0,92 a 147,33 ± 20,50 a 137,67 ± 23,86 a 27,15 ± 1,73 a 6.888,89 ± 157,84 a

Mekongga Legowo 5:1 13,53 ± 0,50 a 164,00 ± 19,08 a 156,33 ± 17,93 a 24,70 ± 0,37 a 6.128,24 ± 376,17 a

Mekongga Legowo 6:1 14,00 ± 0,78 a 145,33 ± 10,96 a 111,00 ± 09,54 a 26,51 ± 0,87 a 6.642,86 ± 543,64 a

Rata-rata 14,06 150,28 136,22 26,32 6.478,46

Nilai pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Duncan, P > 0,05).

Tabel 2. Keragaan komponen produksi dan produktivitas varietas Cigeulis dan Inpari 19 pada beberapa sistem tanam legowo.

Rata-rata (± SD) Rata-rata (± SD) jumlah Rata-rata (± SD) Rata-rata berat per

Varietas Sistem tanam anakan produktif per jumlah gabah isi per 1000 butir gabah Produktivitas (kg/ha)

gabah per malai

rumpun malai (g)

Cigeulis Legowo 2:1 14,33 ± 2,34 a 152,67 ± 10,02 a 130,67 ± 02,08 a 25,81 ± 1,01 a 5.442,22 ± 654,21 ab

Cigeulis Legowo 3:1 13,17 ± 1,16 a 152,33 ± 34,59 a 132,67 ± 29,91 a 25,90 ± 0,36 a 4.805,00 ± 134,23 bc

Cigeulis Legowo 4:1 11,83 ± 1,53 a 134,33 ± 35,57 a 115,00 ± 41,14 a 29,23 ± 5,79 a 5.562,78 ± 130,02 a

Inpari 19 Legowo 2:1 13,07 ± 0,59 a 200,33 ± 16,19 a 164,00 ± 20,78 a 26,41 ± 1,55 a 4.873,89 ± 537,77 abc

Inpari 19 Legowo 3:1 12,60 ± 1,23 a 159,67 ± 29,36 a 139,00 ± 31,32 a 26,49 ± 2,48 a 4.404,58 ± 223,72 c

Inpari 19 Legowo 4:1 13,00 ± 0,44 a 194,67 ± 13,03 a 120,67 ± 05,03 a 27,57 ± 1,02 a 5.201,11 ± 465,96 ab

Rata-rata 13,00 165,67 133,67 26,90 5.048.26

Nilai pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Duncan, P > 0,05).

240

Page 108: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Sistem tanam legowo yang diterapkan di Kabupaten Manokwari tidak

menggunakan tanaman sisipan pada tanaman pinggir pada setiap set legowo. Ini

berbeda dengan sistem tanam legowo yang lazim digunakan dalam pengelolaan

tanaman terpadu (PTT) padi sawah. Pemilihan sistem legowo tanpa tanaman

sisipan didasarkan pada pengalaman petani, bahwa tanaman yang berada pada

pinggir barisan menghasilkan malai yang kecil bahkan ada yang tidak

menghasilkan malai. Ini berhubungan dengan jarak tanam yang umum

diterapkan di Kabupaten Manokwari. Petani di Kabupaten Manokwari umumnya

menggunakan jarak tanam yang lebih sempit yaitu 20 x 20 cm, sehingga jarak

tanam pada tanaman pinggir yang disisipi menjadi sangat rapat yaitu 10 cm.

Pada sistem tanam legowo dianjurkan untuk menghindari jarak tanam 20 x 20

cm karena akan menyebabkan jarak dalam baris sangat sempit (Abdurrahman,

2013). Kondisi ini disiasati oleh petani di Kabupaten Manokwari dengan tetap

menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm, tetapi tanaman pinggir tidak disisipi

sehingga jarak tanam pada tanaman pinggir tetap 20 x 20 cm. Variasi sistem tanam legowo yang digunakan pada penelitian ini tidak

menujukkan pengaruh yang signifikan terhadap komponen produksi padi. Hal ini

diduga berkaitan dengan penerapan jarak tanam yang lebih sempit yaitu 20 x 20

cm. Perbedaan komponen produksi belum terlihat jelas pada penerapan jarak

tanam yang lebih sempit misalnya jarak tanam 15 x 15 cm dengan 20 x 20 cm.

Sedangkan pengaruh jarak tanam yang lebih sempit dengan jarak tanam yang

lebih lebar kelihatan sangat berbeda terhadap komponen produksi. Misalnya

jarak tanam 20 x 20 cm hanya menghasilkan anakan produktif ± 14 anakan,

sedangkan pada jarak tanam 30 x 30 cm anakan produktif mencapai ± 24 anakan

Thakur et al., 2002; Hai-xin, 2012; Yang et al., 2014 in press). Jarak tanam tidak

berpengaruh secara langsung terhadap komponen produksi seperti jumlah gabah

per malai dan anakan produktif yang dihasilkan tanaman, tetapi ditentukan oleh

faktor lain seperti jumlah pupuk yang digunakan (Bagayoko, 2012). Pada penelitian 1, sistem tanam legowo 4:1, 5:1, dan 6:1 tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas padi. Namun demikian,

produktivitas padi tertinggi diperoleh pada sistem tanam legowo 4:1. Produktivitas

padi yang lebih tinggi pada legowo 4:1 dibandingkan dengan legowo 5:1 dan 6:1

diduga karena efek tanaman pinggir. Barisan kosong antar set legowo lebih banyak

pada legowo 4:1 sehingga efek tanaman pinggir lebih banyak terdapat pada legowo

4:1 dibandingkan dengan 5:1 dan 6:1. Efek tanaman pinggir (border effect) pada

sistem tanam jajar legowo berpengaruh terhadap peningkatan hasil, karena seolah-

olah hampir semua tanaman berada pada pinggir galengan sawah. Hasil yang

diperoleh pada tanaman pinggir lebih tinggi 1,5 - 2 kali lipat dari tanaman yang

berada pada bagian dalam barisan (Suriapermana, 2002). Efek tanaman pinggir

sangat dipengaruhi oleh jarak tanam. Jarak tanam

241

Page 109: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 yang lebih lebar memberikan hasil 1,3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan

efek tanaman pinggir pada jarak tanam yang lebih sempit (Wang et al., 2013). Produktivitas yang lebih tinggi pada legowo 4:1 pada penelitian 2 lebih

disebabkan oleh faktor jumlah populasi tanaman. Jumlah populasi tanaman lebih

tinggi pada legowo 4:1 dibandingkan dengan legowo 2:1 dan 3:1. Populasi

tanaman yang seharusnya semakin tinggi dengan legowo yang semakin kecil,

tidak berlaku pada sistem tanam legowo yang digunakan di Kabupaten

Manokwari. Bila sistem tanam legowo menggunakan tanaman sisipan, maka

populasi tanaman pada sistem legowo 2:1 lebih tinggi dari legowo 3:1 dan

legowo 4:1. Sebaliknya dengan sistem tanam legowo yang diterapkan di

Kabupaten Manokwari, populasi tanaman pada legowo 4:1 lebih tinggi dari

legowo 2:1 dan 3:1 karena tanaman pada pinggir barisan tidak ada tanaman

sisipan. Dengan kata lain semakin kecil sistem tanam legowonya, maka semakin

kecil pula populasi tanamannya.

KESIMPULAN

Penerapan sistem tanam legowo pada beberapa verietas unggul padi sawah

memberikan pengaruh berupa : 17. Varietas Mekongga dengan sistem tanam legowo 4:1 menghasilkan

produktivitas padi tertinggi (6,8 ton/ha) dan produktivitas terendah pada varietas Inpari 19 dengan sistem tanam legowo 3:1 (4,4 ton/ha).

18. Penerapan sistem tanam legowo di Kabupaten manokwari menggunakan jarak tanam yang lebih rapat dan tidak ada tanaman sisipan pada tanaman pinggir. Dengan sistem tanam tersebut, legowo 4:1 memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanam legowo yang lain dan direkomendasikan untuk diterapkan di Kabupaten manokwari.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, S., Mejaya, M.J., Agustiani, M., Gunawan, I., Sasmita, P., dan

Guswara, A. 2013. Sistem Tanam Legowo. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Ahmadikhah, A., and Mirarab, M. 2010. Differential Response of Local and

Improved Varieties of Rice to Cultural Practices. Archives of Applied Science Research. Vol. 2 (5) : 69-75.

Amin, M., Khan, M.A., Khan, E.A., and Ramzan, M., 2004. Effect of Increased Plant Density and Fertilizer Dose on The Yield of Rice Variety IR-6. Journal of Research Science. Vol. 15 (1) : 9-16.

Anggraini, F., Suryanto, A., dan Aini, N. 2013. Sistem Tanam dan Umur Bibit pada Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 13. Jurnal Produksi Tanaman. Vol. 1 (2) : 51-60.

Bagayoko, M. 2012. Effect of Plant Density, Organic Matter and Nitrogen Rates on Rice Yields in The System of Rice Intensification (SRI) in The “Office du Niger” in Mali. Asian Research Publishing Network Journal of Agriculture and Biological Science. Vol. 7 (8) : 620-632.

242

Page 110: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Baloch, A.W., Soomro, A.M., Javed, M.A., and Ahmed, M. 2002. Optimum

Plant Density for High Yield in Rice (Oryza sativa L.). Asian Journal of

Plant Science. Vol. 1 (1) : 25-27. BPS Provinsi Papua Barat. 2013a. Papua Barat Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Papua Barat. 2013b. Produksi Padi, Jagung, Kedelai, Ubi Kayu,

dan Ubi Jalar (Angka Ramalan II). Berita Resmi Statistik BPS Papua Barat No. 48/11/91/Th. VII, 1 November 2013.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah irigasi.

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua Barat. 2014. Luas lahan potensial untuk ditanami padi sawah pada tahun 2014 per kabupaten di Provinsi Papua Barat. http://distanakpb.blogspot.com/2012/05/isu-strategis-dan-analisa-internal-dan.html. Diakses 28 januari 2014.

Salahuddin, K.M., Chowhdury S.H., Munira, S., Islam, M.M., and Parvin, S. 2009.

Response of Nitrogen and Plant Spacing of Transplanted Aman Rice. Bangladesh J. Agril. Res. Vol. 34 (2) : 279-285.

Suparwoto. 2010. Penerapan Sistem Tanam Legowo pada Usahatani Padi untuk Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Petani. Jurnal Pembangunan Manusia. Vol. 10 (1) : 1-7.

Suriapermana, S. 2002. Teknologi Budidaya Padi dengan Cara Tanam Legowo pada Lahan Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sukamandi.

Thakur, A.K., Rath, S., Roychowdury, S., and Uphoff, N. 2010. Comparative Performance of Rice with System of Rice Intensification (SRI) and Conventional Management using Different Plant Spacings Journal of Agronomy and Crop Science. Vol. 196 : 146-159.

Wang, K., Zhou, H., Wang, B., Jian, Z., Wang, F., Huang, J., Nie, L., Cui, K., and Peng, S. 2013. Quantification of Border Effect on Grain Yield Measurement of Hybrid Rice. Field Crop Research. Vol. 141 : 47-54.

Xin, H.Z., Xue, X.W., Hua, Z.G., Qun X.H., and Long, H.L. 2012. Effect of Row

Spacing on Canopy Structure and Yield in Different Plant Type Rice

Cultivars. Journal of Northeast Agricultural University. Vol. 19 (4) : 11-19. Yang, Z., Li, N., Ma, J., Sun, Y., and Xu, H. 2014 (in press). High-Yielding

Traits of Heavy Panicle Varieties Under Triangle Planting Geometry : A New Plant Spatial Configuration for Hybrid Rice in China. Field Corps Research. (2014).

243

Page 111: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Pupuk Organik dan Herbisida Campuran Terhadap

Pertumbuhan Gulma serta Gejala Fitotoksisitas Pada Padi Sawah

Sistem Tabela

The Effects Of Organic Fertilizer And Mixed Herbicides On Weeds

Growth And Phytotoxicity Symptoms Of Rice Under Direct Seeding

System

I Ketut Suwitra*, Mahfudz**, Iskandar M. Lapanjang**, Johannes Amirullah***

*)

BPTP Sulawesi Tengah, Jl Lasoso No 62 Biromaru **)

Universitas Tadulako, Jl Soekarno-Hatta, Palu ***)

BPTP Sumsel e-mail: [email protected]

ABSTRACTS

The massive and fast growth of weeds was one of the prime constraints on

rice production under direct seeding system. Efforts have been made to boost the

rice production especially through the increase of nutrient absorption by the plant.

This could be achieved by additional organic fertilizer application and reduction of

weed competition. The research was conducted to find out the effect of organic

fertilizer Petroganik and mixed herbicides application on the growth of weeds and

phytotoxicity symptom of rice plants due herbicide applications. The experiment

was arranged in RCBD with 3 replications to facilitate the combination of 2 factors,

i.e. Organic Fertilizer (2, 3 and 4 t/ha) and mixed herbicides, i.e. Profoksidim +

Bentazon, Penoksulam + 2,4 D and no herbicide application. The results showed

that weed species were varied like Ludwidgia octovalvis, Cyperus iria, Fimbristylis

miliacea, Leptochloa cinensis, Ischaemum rugosum, Echinochloa colona and

Cyperus rotundus. A fast subsequent weeds growth was observed on the plots with

no herbicide after soil tillage. These massive trends were in line with the increase of

organic fertilizer dosages. Mixed herbicides of Profoksidim + Bentazon effectivelly

supressed only on Leptochloa cinensis and Echinochloa colona, while Penoksulam + 2,4 D was better in controling

Ludwidgia octovalvis, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea. Phytotoxicity symptoms were found higher up to the level of highly poisoned on rice plant under Penoksulan + 2,4 D applications, while mixed herbicides of Profoksidim + Bentazon contributed on light phytotoxicity. Keywords : Organic Fertilizer, Mixed Herbicides, Weed, Phytotocixity

Symptom, Rice under Direct Seeding System.

244

Page 112: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

ABSTRAK

Peningkatan produktivitas padi sistem tanam benih langsung (tabela) dihadapkan pada kendala pengendalian gulma yang berpotensi menurunkan hasil gabah. Penggunaan pupuk organik dan aplikasi herbisida campuran diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman melalui peningkatan ketersediaan unsur hara dan pengurangan kompetisi unsur hara dan lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi pupuk organik dan herbisida campuran terhadap pertumbuhan gulma dan efek fitotoksisitasnya terhadap tanaman padi, hal ini dilakukan sebagai langkah untuk memilih jenis herbisida yang efektif untuk mengendalikan gulma dan mengurangi efek fitotoksisitas pada tanaman padi. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Sidondo, Sulawesi Tengah dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pupuk organik Petroganik

dengan dosis 2, 3 dan 4 t/ha dan faktor kedua adalah campuran herbisida Profoksidim + Bentazon, Penoksulam + 2,4 D dan tanpa aplikasi herbisida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies gulma pertanaman padi sangat bervariasi seperti Ludwidgia octovalvis, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea, Leptochloa cinensis, Ischaemum rugosum, Echinochloa colona dan Cyperus rotundus. Herbisida campuran Profoksidim + Bentazon dapat secara efektif menekan pertumbuhan gulma Leptochloa cinensis dan Echinochloa colona. Sedangkan herbisida campuran Penoksulam + 2,4 D lebih efektif untuk pengendalian gulma Ludwidgia octovalvis, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea. Gejala fitotoksisitas tanaman padi hingga kriteria keracunan sangat berat terdeteksi perlakuan herbisida Penoksulam + 2,4 D, sedangkan aplikasi Profoksidim + Bentazon hanya menimbulkan efek fitotoksisitas ringan. Kata Kunci : Pupuk Organik, Herbisida Campuran, Pertumbuhan Gulma,

Fitotosisitas, Padi Sistem Tabela

PENDAHULUAN

Optimasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang

peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan

dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar lokasi dan belum

optimal. Menurut Makarim et al. (2003) rata-rata produktivitas padi nasional saat ini

adalah 4,7 t/ha, sedangkan potensinya dapat mencapai 6 – 7 t/ha.. Selanjutnya

ditegaskan bahwa belum optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara lain

disebabkan; a) rendahnya efisiensi pemupukan; b) belum efektifnya pengendalian

hama penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan varietas yang dipilih

kurang adaptif; d) kahat hara K dan unsur mikro; e) sifat fisik tanah tidak optimal;

dan f) pengendalian gulma yang kurang optimal. Tingginya ketergantungan terhadap pupuk kimia tertentu dalam

pertanaman padi dipandang sebagai salah satu penyebab menurunnya efisiensi pemupukan saat ini. Tingginya unsur-unsur kimia dalam tanah tertentu memicu ketidakseimbangan unsur hara sehingga menurunnya daya dukung lahan dalam menyediakan unsur hara yang lengkap dan cukup dan menjadi salah satu pemicu ‘levelling off. Produksi padi nasional dua dasawarsa terakhir ini (Sarjiman et al.

245

Page 113: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 2010). Status bahan organik pada lahan sawah di beberapa sentra produksi padi

produktif pun dilaporkan menurun. Ini artinya bahwa pemberian bahan organik

ke dalam tanah mutlak diperlukan agar produksi dan produktivitas lahan dan

tanaman dapat meningkat (Saidah et al. 2011). Selain kesuburan tanah, permasalahan peningkatan produktivitas padi

juga berkaitan dengan faktor kultur teknis, diantaranya pengendalian gulma. Sudarmo (1991) melaporkan bahwa penurunan hasil produksi padi sawah oleh gulma disebabkan adanya kompetisi dalam memperebutkan cahaya, air, nutrisi tanah dan pupuk. Kehilangan hasil akibat gulma diperkirakan mencapai 10 – 18 % (De Data, 1981; Ardjasa dan Bangun, 1985) bahkan mencapai 30% (Suardi dan Pane, 1983) Penurunan produksi pada tanaman padi dilaporkan mencapai 6 – 87 % (Sinar Tani, 2006), secara nasional penurunan hasil produksi padi akibat tidak terkendalinya gulma yaitu 15 – 42 % pada padi sawah dan 47 - 87 % pada padi gogo.

Pada sistem tanam pindah (tapin), benih padi dikecambahkan pada lahan tersendiri dan dipindahtanamkan pada lahan produksi yang telah dipersiapkan sebelumnya (diolah) setelah bibit mencapai umur 21 hari. Dengan demikian, kehadiran tanaman pada lahan produksi lebih awal dibandingkan dengan gulma (belum berkecambah). Sedangkan pada sistem tabela, benih padi ditanam langsung pada lahan produksi, sehingga perbedaan waktu perkecambahan gulma dan tanaman padi relatif kecil dibandingkan sistem tapin. Dengan demikian, daya saing gulma terhadap padi lebih besar pada sistem tabela dibandingkan dengan tapin.

Salah satu upaya dalam mengendalikan gulma pada pertanaman padi sistem tabela adalah dengan menggunakan herbisida. Dibandingkan dengan cara kultur mekanis, pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya dapat mengurangi resiko erosi lapisan tanah dan mencegah kerusakan akar serta menghemat tenaga kerja karena waktu pengendalian relatif singkat (Sigh et al. 2005). Namun demikian, penggunaan herbisida pun mempunyai kelemahan dan resiko, yaitu peningkatan resistensi gulma terhadap senyawa aktif herbisida tertentu akibat penggunaan jenis herbisida yang sama secara terus menerus dan sangat intensif. Penggunaan herbisida berspektrum lebar pun tidak direkomendasikan pada sistem tabela walaupun keragaman gulma pada lahan sawah sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh potensi keracunan (fitotoksisitas) bibit padi akibat racun herbisida yang dapat berakibat pada kematian awal tanaman padi. Alternatif cara dalam menghadapi permasalahan ini adalah penggunaan jenis herbisida berlainan jenis silih berganti dengan mencampurkan 2 atau lebih jenis herbisida berspektrum sempit yang tidak bersifat kontra-indikasi satu dengan lainnya untuk mengendalikan spektrum/ragam gulma yang lebih besar. Mahfudz et al. (2011) melaporkan bahwa kombinasi herbisida Tetris dan Basagran dapat mengendalikan gulma total dan dominan pada tanaman padi sistem tabela.

Pemberian pupuk organik pada padi sawah diharapkan dapat meningkatkan

efisiensi pemupukan. Di lain pihak, aplikasi herbisida campuran yang tepat juga

diharapkan dapat menekan pertumbuhan gulma secara total tanpa meracuni tanaman

sehingga menurunkan tingkat kompetisi penyerapan unsur hara antara tanaman dan

gulma dan meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Mendasarkan pada

pertimbangan di atas, maka penelitian ini dilakukan

246

Page 114: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk organik dan

herbisida campuran terhadap pertumbuhan gulma dan dampak fitotoksisitasnya

pada tanaman padi sistem tabela.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Sidondo, BPTP Sulawesi

Tengah yang berlokasi di Desa Sidondo III, Kecamatan Sigi Biromaru,

Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah pada Bulan Juni hingga Oktober 2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial

dengan tiga ulangan. Faktor yang dicoba meliputi pemberian pupuk organik

Petroganik (Petrokimia Gresik) dengan tiga dosis pemupukan (P) yaitu 2, 3 dan

4 t/ha. Faktor kedua adalah herbisida campuran (H) yaitu herbisida berbahan aktif Profoksidim + Bentazon dengan dosis 0,75 + 2 l/ha, Penoksulam + 2,4 D

dengan dosis 0,5 + 0,8 l/ha dan tanpa herbisida. Varietas padi yang digunakan

dalam penelitian adalah Inpari 13. Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan alat mekanisasi

berupa hand traktor dengan tahapan – tahapan : pembajakan, pemecahan tanah, pelumpuran dan pemerataan. Selanjutnya dibuat petakan-petakan berukuran 4 x

5 m2 sebagai plot dengan jumlah sesuai rancangan percobaan. Aplikasi pupuk

organik dilakukan di saat pemerataan tanah diberikan sesuai perlakuan. Tabela dilakukan setelah dua hari dari proses pengolahan tanah tahap

terakhir. Proses perkecambahan benih dilakukan selama 36 jam yaitu perendaman benih 12 jam dan selanjutnya benih dikecambahkan selama 24 jam. Setelah benih yang berkecambah ditanam atau disebar, aplikasi perlakuan herbisida campuran dilakukan hanya satu kali yaitu pada saat tanaman berumur 10 Hari Setelah Sebar (HSS). Setelah aplikasi herbisida, tanaman kemudian dipelihara sesuai dengan standar budidaya hingga panen.

Peubah yang diamati meliputi: 1. Identifikasi gulma petak-petak perlakuan.

Identifikasi gulma dilakukan dengan cara mengamati gulma yang tumbuh pada petak-petak perlakuan mulai 10 hari setelah penyebaran benih. Pengamatan lanjutan dilakukan setiap 10 hari hingga 45 hari setelah penyebaran benih (15 hari setelah aplikasi perlakuan herbisida). Identifikasi gulma dilakukan dengan cara mencocokan tanaman gulma yang diamati dengan buku referensi identifikasi gulma.

2. Persen penutupan total gulma pada tanaman padi.

Persen penutupan gulma adalah laju pertumbuhan gulma yang terjadi setelah aplikasi herbisida. Pengamatan dilakukan dengan menghitung populasi gulma yang tumbuh di masing-masing petak perlakuan pada 10, 20, 30 dan 45 Hari Setelah Aplikasi herbisida (HSA) dengan metode plot kuadrat.

3. Persen penutupan per spesies gulma Persentase penutupan per spesies gulma mengacu pada nilai persentase dari

masing-masing gulma yang terdapat pada setiap petak perlakuan. Pengamatan

247

Page 115: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

dilakukan dengan menghitung populasi per spesies gulma yang tumbuh di

petak-petak pertanaman pada 10, 20, 30 dan 45 HSA herbisida. 4. Fitotoksisitas pada tanaman padi, diamati pada 2, 7 dan 15 (HSA). Skoring

keracunan didasarkan atas pengamatan visual menurut metode Mahfudz et al. (2011) yaitu :

0 (tidak ada keracunan) = 0 – 5 % bentuk daun atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal. 1 (keracunan ringan) = 5 - 20 % bentuk daun atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal. 2 (keracunan sedang) = 20 - 50 % bentuk daun atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal. 3 (keracunan berat) = 50 - 75 % bentuk daun atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal.

4 (keracunan sangat berat) = 75 % bentuk daun atau warna daun atau pertumbuhan tanaman tidak normal sampai tanaman mati.

HASIL

Identifikasi Gulma. Pengamatan gulma sebelum aplikasi perlakuan herbisida dilakukan pada petak sampel perlakuan tanpa aplikasi herbisida dengan

ukuran 4 x 5 m2. Petak ini mempresentasikan spesies dan golongan gulma pada

seluruh hamparan petak-petak percobaan. Gulma yang tumbuh pada pertanaman padi sebelum aplikasi herbisida 10 hari setelah penyebaran benih sangat bervariasi baik jumlah maupun spesiesnya (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis, Golongan dan Jumlah Individu Gulma yang Tumbuh pada

Pertanaman Padi sebelum Aplikasi Herbisida (10 hari setelah penyebaran benih). Jenis Gulma Golongan Jumlah individu gulma pada petak sampel pengamatan (20

m2)

Ludwigia octovalvis Daun lebar 2431 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 1516 Cyperus iria Teki-tekian 1833 Cyperus rotundus Teki-tekian 567 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 324 Ischaemum rugosum Rumput-rumputan 189

Echinochloa colona Rumput-rumputan 120

Secara umum, gulma-gulma ini dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu

rumput-rumputan, daun lebar dan teki-tekian. Hasil identifikasi gulma yang

dilakukan pada pertanaman padi petak-petak penelitian mengindikasikan terdapat 7

jenis gulma dominan, yaitu : Ludwidgia octovalvis, Cyperus iria, Fimbristylis

miliacea, Leptochloa cinensis, Ischaemum rugosum, Echinochloa colona dan Cyperus rotundus seperti yang disajikan pada Tabel 1.

248

Page 116: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014

Persen Penutu pan Total Gulma. Penggunaan kombinasi antara dosis

pupuk organik dan herbisida campuran terhadap persentase penutupan total gulma yang diamati pada 10 HSA, 20 HSA, 30 HSA dan 45 HSA perlakuan herbisida tertera pada Gambar 1. Penggunaan pupuk organik tanpa dibare ngi dengan penggunaan herbisida menyebabkan persentase penutupan gulma berk isar antara

73,33 hingga 90,00 % pada 45 hari setelah aplikasi. Penggunaan herbisida campuran Profoksidim + Bentazon mampu menekan pertumbuhan g ulma total sebesar 80%. Demikian pula, penggunaan herbisida campuran Penoksulam + 2,4 D mampu menekan pertumbuhan gulma hingga 79,22%.

Gambar 1. Pengaruh Pem berian Dosis Pupuk Organik dan Herbisida Campuran Terhadap

Penutupan Tota l Gulma pada Tanaman Padi Tabela

Persen Penutu pan Per Spesies Gulma. Leptochloa cinensis merupakan

jenis gulma yang memiliki persentase penutupan gulma terbesar diikuti dengan Echinochloa colona, Is chaemum rugosum, Fimbristylis miliacea, C yperus iria

dan Ludwigia octovalv is (Gambar 2). L. cinensis, E. colona dan I. rugosum merupakan jenis rumpu t-rumputan dan teki-tekian yang memiliki day a bersaing tinggi dan tumbuh lebih cepat dibanding jenis gulma yang lain (Tabel1).

Ludwigia octoval vis merupakan jenis gulma berdaun lebar tetap i memiliki

persentase penutupan g lma paling rendah dibanding jenis gulma yang lain.

249

Page 117: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014

Gambar 2. Persen Penutupan Gulma Per Spesies

Laju Pertumbuhan Gulma. Penggunaan pupuk organik Petroganik

adalah untuk meningkatkan menambah ketersediaan dan penyerapan unsur hara tanah oleh tanaman padi. Namun demikian, keberadaan gulma dapat mengurangi

ketersediaan hara dalam tanah karena kompetisi penyerapan hara. Setelah dilakukan aplikasi herbisida campuran, jumlah total individu dan spesies gulma yang tumbuh setelah 20 HSS (10 HSA) relatif tidak bervariasi pada dosis pupuk organik yang diberikan. Jumlah total gulma berturut-turut adalah se banyak 26

individu pada dosis pu puk organik 2 t/ha, 20 individu pada dosis 3 t/ha dan 22 individu pada dosis 4 t/ha. Spesies gulma yang tumbuh pada petak pertanaman padi setelah aplikasi herbisida sama seperti sebelum aplikasi herbisid a dan tidak

terdapat spesies/golonga n gulma baru yang tumbuh. Aplikasi herbisida dimaksudkan untuk membunuh gulma pada pertanaman

padi, sehingga keberadaan gulma yang persisten setelah aplikasi herbisida dapat

dijadikan indikasi keefektifan bahan aktif herbisida dalam membunu h individu

tanaman gulma. Tabel 2 menunjukkan keberadaan gulma yang per sisten pada

petak-petak pertanama n padi setelah diberikan aplikasi herbisida campuran. Tabel 2

juga menunjukkan adanya variasi spesies gulma namun den gan jumlah individu

yang menuru n bila dibandingkan sebelum aplikasi herbisida. Hasil identifikasi

menunjukkan bahwa spesies dan jenis gulma yang tu mbuh pada petak-petak

perlakuan aplikasi herbisida campuran adalah bervariasi. Jenis gulma berdaun lebar

dan teki-tekian masih mampu tumbuh pada petak-petak pertanaman padi yang diberi

perlak uan herbisida campuran Profoksidim 0,75 l/ha + Bentazon 2 l/ha (H1). Sedan

gkan pada petak-petak perlakuan herbisida campuran Penoksulam 0,5 l/ha + 2,4 D

0,8 l/ha (H2), hanya jenis rumput-rum putan yang ditemukan dan tidak ditemukan

jenis gulma berdaun lebar teki-tekian. 250

Page 118: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Jenis, golongan dan jumlah individu gulma yang tumbuh pada

pertanaman padi pada 10 HSA herbisida campuran.

Perlakuan Jenis Gulma Golongan Jumlah individu P1H3 Ludwigia octovalvis Daun lebar 3007 Cyperus iria Teki-tekian 1127 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 967 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 240 Ischaemum rugosum Rumput-rumputan 187

Echinochloa colona Rumput-rumputan 127 P2H3 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 3060 Cyperus rotundus Teki-tekian 1700 Cyperus iria Teki-tekian 1307 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 213

Ludwigia octovalvis Daun lebar 180 P3H3 Ludwigia octovalvis Daun lebar 4107 Cyperus iria Teki-tekian 2113 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 1473 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 520 Ischaemum rugosum Rumput-rumputan 420

Echinochloa colona Rumput-rumputan 233 P3H1 Ludwigia octovalvis Daun lebar 7 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 5

Cyperus iria Teki-tekian 4 P2H1 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 6 Ludwigia octovalvis Daun lebar 7 P1H1 Fimbristylis miliacea Teki-tekian 6 Ludwigia octovalvis Daun lebar 6

Cyperus iria Teki-tekian 5 P1H2 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 6

Echinochloa colona Rumput-rumputan 3

P2H2 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 7 P3H2 Leptochloa cinensis Rumput-rumputan 6

Gejala Fitotoksisitas Tanaman Padi. Pemberian herbisida purna

tumbuh mempunyai beberapa resiko kerugian terutama yang berhubungan dengan performa pertumbuhan tanaman utama. Efek awal yang berhubungan

dengan performa pertumbuhan tanaman adalah gejala fitotoksisitas yang dapat berakibat pada stagnasi pertumbuhan hingga kematian tanaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa efek racun herbisida campuran Profoksidim + Bentazon terhadap pertanaman padi bersifat rendah dan hanya menimbulkan efek

fitotoksisitas ringan. Sedangkan aplikasi herbisida Penoksulam dan 2,4 D mengakibatkan efek toksisitas yang lebih tinggi hingga pada level sangat berat (lebih dari 75% pertanaman padi mengalami klorosis pada daun, kekeringan hingga stagnasi pertumbuhan). Gejela fitotoksisitas pada tanaman padi kemudian

terdeteksi berkurang pada 7 hingga 15 HSA.

251

Page 119: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tabel 3. Fitotoksisitas tanaman padi setelah diaplikasikan herbisida campuran

pada 2, 7 dan 15 hari setelah aplikasi herbisida campuran Perlakuan 2 HSA 7 HSA 15 HSA

P1H1 1 0 0 P

1H

2 4 0 0 P1H3 0 0 0 P2H1 1 0 0 P2H2 4 0 0 P

2H

3 0 0 0 P3H1 1 0 0 P3H2 4 0 0 P3H3 0 0 0

Keterangan : Skor fitotoksisitas berdasarkan metode Mahfudz et et al. (2011)

PEMBAHASAN

Secara umum jumlah individu gulma yang banyak tumbuh berasal dari

golongan gulma berdaun lebar dan teki-tekian. Hal ini disebabkan gulma pada

golongan ini umumnya berkembang biak dengan menggunakan umbi dan rimpang. Umbi dan rimpang terletak di dalam tanah dan sulit untuk dibersihkan

secara sempurna pada pengolahan tanah, sehingga mampu tumbuh kembali

sebagai tanaman baru saat kondisi lingkungan kondusif. Sedangkan gulma

golongan rumput-rumpuan umumnya berkembang biak melalui biji dan saat pengolahan tanah, tanaman gulma dapat dibersihkan sehingga sumber

penyebaran biji (tanaman gulma) menurun (Sembodo, 2010) Penutupan gulma yang merepresentasikan area pertanaman yang ditutupi

gulma dengan total luas pertanaman padi merupakan indikasi kerapatan gulma dan daya kompetisi gulma dengan tanaman padi terhadap faktor iklim terutama

cahaya matahari dan CO2 (Pujisiswanto dan Sembodo, 2009). Secara umum

aplikasi herbisida dapat menekan pertumbuhan gulma dan mengurangi penutupan gulma terutama pada periode awal pertumbuhan tanaman padi (0-30 HSS). Tanpa aplikasi herbisida, persen penutupan gulma lebih cepat dan masif hingga 45 HSS seiring dengan tingginya dosis pupuk organik yang diberikan. Hal ini disebabkan unsur hara yang ditambahkan pada pertanaman padi dimanfaatkan oleh gulma dan seiring dengan meningkatnya dosis pupuk, kesersediaan hara yang dapat dimanfaatkan oleh gulma untuk tumbuh dan berkembang secara cepat pun turut meningkat.

L. cinensis, E. colona dan I. rugosum merupakan jenis rumput-rumputan dan teki-tekian yang memiliki daya bersaing tinggi dan tumbuh lebih cepat dibanding jenis gulma yang lain. Menurut Pane (2004) ketiga jenis gulma tersebut merupakan jenis gulma paling jahat dan memiliki daya bersaing tinggi di pertanaman padi sawah maupun padi gogo rancah dan paling awal tumbuh. Sedangkan Ludwigia octovalvis merupakan jenis gulma berdaun lebar tetapi memiliki persentase penutupan gulma paling rendah dibanding jenis gulma yang lain. Hal ini disebabkan jenis gulma ini tempat hidupnya bukan pada lahan sawah yang selalu tergenang, namun gulma ini mampu bersaing jika tumbuh di lahan yang memiliki air sedikit.

Campuran herbisida mengindikasikan adanya kemampuan keefektifan yang bersifat selektif terhadap jenis gulma yang dikendalikan. Herbisida berbahan aktif Profoksidim efektif mengendalikan gulma rumput-rumputan

252

Page 120: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sedangkan Bentazon umumnya digunakan untuk mengendalikan gulma berdaun

lebar dan teki-tekian (Galano et al. 2009). Hasil penelitian ini tidak sepenuhnya

sejalan dengan Galhano et al.(2009), dimana gulma berdaun lebar dan teki-

tekian masih mampu tumbuh pada petak-petak pertanaman padi setelah aplikasi

herbisida campuran Profoksidim dan Bentazon. Hal senada pun terlihat pada petak-petak pertanaman padi yang diberi

perlakuan herbisida campuran Penoksulam dan 2,4 D, dimana hanya gulma golongan rumput-rumputan yang mampu tumbuh setelah perlakuan herbisida campuran ini. Penoksulam efektif untuk gulma berdaun lebar dan teki-tekian, sedangkan 2,4 D untuk gulma rumput-rumputan (Weedscience, 2011). Tidak ditemukannya gulma berdaun lebar dan teki-tekian pada petak perlakuan herbisida campuran tersebut mengkonfirmasi keefektifan Penoksulam sekaligus ketidakefektifan 2,4 D dalam mengendalikan gulma golongan rumput-rumputan.

Penoksulam merupakan herbisida grup Triazolopyrimidines sulfonamide yang bekerja menghambat enzim acetolactate synthase (ALS). Enzim ini diketahui terdapat pada banyak tanaman, sehingga bahan aktif herbisida ini dikenal memiliki spektrum luas dengan daya basmi yang tinggi (Weedscience, 2011). Bahan aktif Penoksulam dapat masuk ke dalam tubuh tanaman secara efektif melalui daun dan akar, tidak seperti Profoksidim dan Bentazon yang kurang efektif bila diabsorpsi melalui akar (Senseman, 2007). Sifat bahan aktif yang dapat sangat efektif masuk ke dalam tanaman melalui berbagai organ inilah diduga menjadi penyebab karakteristik toksisitas Penoksulam yang lebih tinggi pada pertanaman padi. Hilangnya fitotoksisitas yang menurun setelah 7 hingga 15 HSA disebabkan oleh aplikasi pemupukan susulan pada budidaya standar tanaman padi pada 15 HSS. Urea yang diberikan pada pemupukan susulan dapat mengurangi efek fitoktoksisitas dan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman padi.

KESIMPULAN

Spesies utama gulma dominan yang tumbuh di lahan sawah adalah Ludwigia octovalvis, Fimbristylis miliacea, Cyperus iria, Cyperus rotundus, Leptochloa cinensis, Ischaemum rugosum dan Echinochloa colona. Tanpa aplikasi herbisida, laju penutupan gulma pada tanaman padi sangat cepat dan masih seiring dengan meningkatnya dosis pupuk organik yang diaplikasikan. Sedangkan aplikasi herbisida campuran dapat menekan perkembangan gulma terutama pada awal pertumbuhan tanaman padi. Herbisida campuran Profoksidim + Bentazon efektif menekan pertumbuhan gulma pada golongan rumput-rumputan, namun kurang efektif dalam menekan gulma pada golongan daun lebar dan teki-tekian. Herbisida campuran Penoksulam + 2,4 D, di lain pihak lebih efektif untuk pengendalian gulma berdaun lebar dan teki-tekian daripada rumput-rumputan. Gejala fitotoksisitas terdeteksi lebih tinggi pada tanaman padi dengan aplikasi herbisida campuran Penoksulam + 2,4 D hingga pada level keracunan sangat berat dibandingkan dengan herbisida campuran Profoksidim + Bentazon yang hanya pada kriteria keracunan ringan.

253

Page 121: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

SARAN

Sehubungan dengan sifat fitotoksisitas herbisida campuran terhadap

tanaman padi yang dapat berakibat pada stagnasi pertumbuhan dan kehilangan

hasil, maka penelitian lanjutan pengaruh aplikasi herbisida campuran terhadap

komponen hasil dan kerugian ekonomi akibat kehilangan hasil sangat penting

untuk dilakukan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA Ardjasa, W. S dan P. Bangun. 1985. Pengendalian Gulma pada Tanaman

Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 93 hal. De Datta, S. K. 1981. Principle and Practices of Rice Production. John Wiley

and Sons Inc. New York. 148p. Galhano, V., F. Peixoto,. J. Gomes-Laranjo & E. Fernández-Valiente, 2009.

Differential Effects of Bentazon and Molinate on Anabaena cylindrica, an Autochthonous Cyanobacterium of Portuguese Rice Field Agro-ecosystems. Water Air Soil Pollut 197:211–222.

Mahfudz, Dwi Guntoro dan Dita Nurul Latifah. 2011. Pengujian Lapangan Efikasi Herbisida Kombinasi Tetris dan Basagran terhadap Gulma Umum pada Budidaya Tanaman Padi Sawah Tabela. Laporan Akhir. Kerjasama antara PT. BASF dengan Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.

Makarim A. K., D. Pasaribu, Z. Zaini dan I. Las. 2003. Analisis dan Sintesis Hasil Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dalam Program P3T. IAARD. Dept. of Agriculture.

Pane, H., 2004. Gulma-gulma jahat: ancaman baru dalam sistem produksi padi dilahan sawah tadah hujan. Prosiding Seminar Nasional Budi Daya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Hal 176-182.

Pujisiswanto, H dan D.R.J. Sembodo. 2009. Pengaruh Mulsa Jerami dan Tumpangsari Selada Crop dengan Terung Terhadap Pertumbuhan Gulma dan Hasil. Pros. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Konferensi Nasional XVIII, Bandung 30-31 Oktober 2009. 310 – 316 p.

Saidah, Asni Ardjanhar, Ruslan Boy, I Ketut Suwitra, A. Irmadamayanti dan Irwan Suluk Padang. 2011. Cara Pengelolaan Jerami sebagai Sumber Bahan Organik pada Budidaya Padi Sawah yang Dapat Meningkatkan Efisiensi Pemupukan dan Produksi Padi Minimal 15%. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sarjiman, Kristamtini, H. Purwaningsih. 2010. Pengurangan Hara Pupuk Kimia Pengaruhnya Terhadap Hasil Dan Gabah Hampa Untuk Pertanian Padi Sawah Berkelanjutan. Prosiding Ketahanan Pangan Dan Energi Dan Energi.

Sembodo J. 2010. Gulma dan Pengelolaanya. Penerbit Graha Ilmu. Edisi Pertama. Yogyakarta.

254

Page 122: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Senseman, S. A. 2007. Herbicide handbook, 9th ed. Lawrence, KS: Weed

Science Society of America. Singh, P.H., D.R. Batish, and R.K. Kohli (eds). 2005. Handbook of Sustainable

Weed Management. Food Product Press. New York. 892 p. Suardi, D. dan H. Pane. 1983. Daya Saing Beberapa Varietas Padi terhadap

Gulma. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (III): 63-66. Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangga Hama Penyakit dan Gulma Padi.

Kanisius Yogyakarta. 67 hal. Weedscience. 2011. Herbicide Resistant Weed Summary Table.

http://www.weedscience. org. [Januari 2011]

255

Page 123: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Uji Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di

Lahan Rawa Lebak Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi

Adaptation Test Some New Superior Varieties Rice The

Swamp Land in Batanghari Regency Jambi Province

Julistia Bobihoe, Kamalia Muliyanti dan Jumakir

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi Telp. 0741-7053525 / Fax :0741-40413 Alamat email : [email protected]

ABSTRACT

Assessment of some new superior variety Inpara rice in swampy marsh land

held in support of National Rice Improvement Program (P2BN) in Jambi Province.

Activities carried out in a participatory manner involving farmer groups with an

integrated crop management approach (ICM) lowland swamp rice. Assessment

activities carried out in the seacoast village of Rantau Kapas Tuo, Muaro Tembesi

District Batanghari in dry season 2012. Objective of the assessment are: (1)

determine the appearance of several new superior variety Inpara rice in swampy

wetlands and lowland swamp rice new superior variety develop, and (2) increase the

productivity of rice in the swampy wetlands through an integrated approach to crop

management (ICM). Outcomes of this study are: (1) Winning New rice varieties that adaptive Inpara swampy wetlands and high productivity in Jambi Province, and (2) the productivity of rice in the swampy wetlands increased with the approach of integrated crop management (ICM). The results of the study showed that the variability of new superior varieties Inpara 3, Inpara 5 and Indragiri showed good growth, adaptive and having a good response in the swampy wetlands. Highest production contained in the new superior variety Inpara 3 (5.9 t / ha GKP), is adaptive and viable varieties developed in lowland swamps in Jambi Province. Results obtained from the varieties tested to obtain an average result that matched the description of the yield potential in rice varieties. Integrated crop management (ICM) technology components that respond to farmers in addition to new superior variety Inpara 3 is legowo row planting 4:1 system. This is seen in the field, although some farmers still use local varieties have implemented legowo row planting system. Keywords: New superior variety Inpara, PTT lowland swamps and production

256

Page 124: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

ABSTRAK

Pengujian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi di lahan rawa lebak bertujuan untuk: 1) mengetahui penampilan beberapa varietas unggul baru (VUB) padi di lahan rawa lebak. 2) meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa lebak. Kegiatan dilaksanakan di lahan rawa lebak di Desa Rantau Kapas Tuo Kecamatan Muaro Tembesi Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi pada tahun 2012. Pengujian dilaksanakan melalui pendekatan tanaman terpadu (PTT) padi rawa lebak. Kegiatan pengujian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Data dianalisis dengan uji BNT. Varietas unggul baru yang digunakan adalah INPARA 1, INPARA 2, INPARA 3, INPARA 5, dan Indragiri. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keragaan tanaman padi varietas Inpara 3, Inpara 5 dan Indragiri menunjukkan pertumbuhan yang baik, adaptif

dan memiliki respon yang baik di lahan rawa lebak. Produksi tertinggi terdapat pada varietas unggul baru Inpara 3 (5,9 t/ha GKP), varietas Inpara 3 adaptif dan layak dikembangkan di rawa lebak di Provinsi Jambi. Hasil yang diperoleh dari varietas yang diuji memperoleh rata-rata hasil yang menyamai potensi hasil yang ada di deskripsi varietas padi. Komponen teknologi PTT yang direspon oleh petani selain varietas unggul baru Inpara 3 adalah sistim tanam jajar legowo 4:1. Hal ini terlihat di lapangan, walaupun sebagian petani masih menggunakan varietas lokal sudah menerapkan sistim tanam jajar legowo. Kata Kunci : VUB, PTT rawa lebak, jajar legowo dan peningkatan produksi

PENDAHULUAN

Target produksi padi 70,6 juta ton tahun 2011 dan surplus beras 10 juta ton tahun 2015 telah menjadi komitment pemerintah, menuju tercapainya kemandirian pangan dan pada akhirnya mencapai ketahanan pangan. Strategi yang disusun untuk meningkatkan produksi pangan khususnya padi dilakukan pemerintah melalui P2BN, meliputi : (1) Peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal tanam, (3) pengamanan produksi, dan (4) Pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usahatani. Salah satu upaya untuk peningkatan produktivitas dapat dilaksanakan melalui penggunaan varietas yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi. Varietas unggul baru (VUB) padi merupakan salah satu terobosan inovasi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. VUB juga merupakan inovasi yang paling mudah diadopsi petani karena teknologi ini murah. Di Provinsi Jambi, rawa lebak sudah banyak diusahakan untuk pengembangan tanaman padi, tetapi produksinya masih rendah yaitu 3-4 ton/ha dengan frekwensi penanaman padi satu kali setahun.

Padi rawa lebak, secara umum sama dengan padi sawah, tetapi karena

hidupnya di lahan rawa lebak, maka perlu varietas yang adaptif dan cara budidaya

yang sesuai dengan karakteristik rawa lebak. Agroekosistem rawa lebak mempunyai

dua kondisi ekstrim, yaitu tergenang air pada musim hujan 1-6 bulan atau sepanjang

tahun, dan kering pada saat musim kemarau. Lahan rawa lebak mempunyai kondisi

yang sangat spesifik, sehingga dalam upaya pemanfaatannya

257

Page 125: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 untuk usaha pertanian memerlukan pengelolaan yang khas disesuaikan dengan

kondisi lingkungannya. Kekhasan dari lahan rawa lebak adalah kebanjiran

dengan fluktuasi kedalaman air yang susah diterka pada musim hujan, dan

sebaliknya kekeringan pada musim kemarau. Genangan air pada musim hujan

dan kekeringan pada musim kemarau mengakibatkan pula terjadinya berbagai

proses oksidasi-reduksi di dalam tanah sehingga menyebabkan turunnya pH

tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman terutama unsur hara N, P dan K. Pemanfaatan rawa lebak untuk pertanian masih relatif rendah. Pada

umumnya petani menanam padi hanya sekali dalam setahun pada musim kemarau, dimana penanaman dilakukan pada saat air pada rawa lebak dangkal mulai menyurut dan selanjutnya diiukuti oleh lebak tengahan dan lebak dalam. Dalam pengembangan usahatani di lahan rawa lebak terdapat beberapa kendala yang diantaranya tata air, dimana pada musim hujan akan terjadi genangan/banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan. Kondisi ini menyebabkan produksi padi di lahan rawa lebak rendah (3-4 ton/ha). Untuk meningkatkan produktivitas di lahan rawa lebak yaitu dengan perbaikan teknologi budidaya yang tepat yang mudah di terapkan oleh petani dan dengan memanfaatkan lahan rawa lebak secara optimal diantaranya melalui penggunaan varietas unggul padi yang sesuai, yang ekonomis dan mempunyai umur yang pendek serta pengaturan pola tanam yang sesuai.

Perbaikan teknologi budidaya di lahan rawa lebak di laksanakan melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan beberapa komponen teknologi diantaranya varietas unggul spesifik lokasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan tumbuhnya. Pengelolaan Tanaman terpadu (PTT) padi adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Dalam implementasinya, model PTT mengintegrasikan berbagai komponen teknologi yang saling bersinergi, sehingga dapat memecahkan masalah setempat, meningkatkan efisiensi penggunaan input, memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah.

Pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi INPARA pada lahan rawa lebak dilaksanakan dalam upaya mendukung Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) di Provinsi Jambi. Kegiatan dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan kelompok tani dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi rawa lebak.

Kegiatan pengkajian betujuan untuk mengetahui penampilan beberapa varietas unggul baru (VUB) padi INPARA di lahan rawa lebak dan mengembangkan VUB padi rawa lebak melalui pendekatan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT)

BAHAN DAN METODE

Kegiatan pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Inpara

pada lahan rawa lebak mendukung P2BN dilaksanakan di lahan rawa lebak

dilaksanakan di Desa Rantau Kapas Tuo Kecamatan Muaro Tembesi Kabupaten

Batanghari Provinsi Jambi pada MK tahun 2012. Kegiatan pengujian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan 3 ulangan. Data dianalisis dengan uji BNT. Varietas unggul baru yang

258

Page 126: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 akan digunakan adalah Inpara 1, Inpara 3, Inpara 5, Inpari 10, Inpari 13 dan

Indragiri. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu

(PTT) padi rawa lebak. Penanaman dilakukan dengan cara tanam pindah (tapin) dilakukan setelah bibit dipersemaian berumur < 21 hari. Bibit ditanam 1 bibit/rumpun dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pembuatan/perbaikan saluran kemalir untuk pengaturan tata air agar tidak terjadi genangan air dan untuk proses pencucian dari unsur yang meracuni tanaman. Pengolahan tanah, setelah diolah dicampur dengan pupuk kandang dan dolomite. Pupuk diberikan dengan dosis Urea 150 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 50-100 kg/ha. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam. Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan sanitasi lingkungan, pemasangan umpan beracun dan penggunaan pestisida. Penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 1 – 2 minggu. Penyulaman dilakukan bagi tanaman yang mati, dengan menggunakan bibit yang masih tersedia. Penyiangan dilakukan 2 kali yaitu penyiangan I pada umur 3 minggu setelah tanam dan penyiangan ke II pada umur 7 minggu setelah tanam.

Data yang dikumpulkan dalam pengkajian ini meliputi, data agronomis (pertumbuhan dan hasil tanaman), data tersebut ditabulasi dan selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif. Tabel 1. Komponen teknologi PTT padi rawa lebak pada pada kegiatan

Pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Inpara pada

lahan rawa lebak MK 2012

No Komponen Teknologi PTT padi

1. Pengolahan tanah Traktor /minimum

2. Benih Berlabel/bermutu (25 kg/ha)

3. Varietas Varietas Unggul Baru (Inpara 1, Inpara 3,

Inpara 5, Inpari 13, dan Indragiri

4. Persemaian Basah

5. Penanaman/Sistem tanam Legowo 4:1

6. Umur bibit 15 hari setelah semai (HSS)

7. Pupuk organik Pupuk Ponska

Pupuk anorganik (kg/ha)

8. 19. Urea 150

20. SP 36 100

21. KCl 50-100

9. Penyiangan Gasrok/manual

10. Pengendalian OPT Penerapan PHT

11 Panen Tepat waktu

259

Page 127: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

HASIL

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman. Pada fase vegetatif pertumbuhan

tanaman yang diamati adalah keragaan tanaman, tinggi tanaman dan jumlah

anakan produktif. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman, dan jumlah anakan produktif, pada kegiatan

Pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Inpara pada

lahan rawa lebak, MK 2012 Keragaan tanaman Tinggi tanaman Jumlah

No Varietas (skor) (cm) anakan

produktif 1 Inpara1 3 – 5 71,67 a 13 a 2 Inpara 3 1 – 3 74,73 ab 19 c 3 Inpara 5 1 – 3 90 c 14 ab 4 Inpari 10 3 – 5 87 c 12,00 a 5 Inpari 13 3 – 5 89 c 12,00 a

6 Indragiri 1 - 3 91 c 11,00 a Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada uji Duncan Skor 1 : sangat baik ; 3 : baik ; 5 : sedang

Pertumbuhan Generatif Tanaman. Pada fase generatif pertumbuhan

tanaman yang diamati adalah panjang malai, gabah isi, gabah hampa, berat 1000

butir, umur panen dan hasil.

Tabel 3. Rata-rata Panjang Malai, Umur Panen, Gabah Isi, Gabah Hampa, pada

kegiatan Pengkajian beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Inpara

pada lahan rawa lebak, MK 2012

No. Varietas Panjang Malai Umur panen Gabah Isi Gabah Hampa 1 Inpara1 24,6 ab 125 e 175,7 b 11,4 a 2 Inpara 3 23,26 a 119 d 212,1 c 7,66 a 3 Inpara 5 23,8 a 110 b 164,4 b 6,93 a 4 Inpari 10 23,2 a 115 c 184,6 b 12,4 b 5 Inpari 13 23,46 a 95 a 112,7 a 19,33 ab

6 Indragiri 26,6 c 119 d 185,3 bc 6,93 a Ket : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada uji Duncan

260

Page 128: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 Tabel 4. Rata-rata Berat 1000 biji dan Hasil (t/ha) pada kegiatan Pengkajian

beberapa varietas unggul baru (VUB) padi Inpara pada lahan rawa lebak

No Varietas Berat 1000 biji (gr) Hasil

(t GKG/ha) 1 Inpara1 24,3 bc 5,1 c 2 Inpara 3 30,2 e 5,9 d 3 Inpara 5 24,1 b 5,3 d 4 Inpari 10 26,4 d 4,5 b 5 Inpari 13 25,6 c 4,3 a

6 Indragiri 23 a 4,1 a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada

taraf 5% pada uji DMRT PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah Pengkajian. Lokasi kegiatan pengkajian terletak

di Kabupaten Batanghari. Secara geografis terletak pada koordinat 10 15

’- 2

0 20

Lintang Selatan dan 1020 30

’ -104

0 30

’ Bujur Timur. Daerah ini beriklim tropis

dengan tingkat elevasi sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian 11 – 100 meter dari permukaan laut. Lahan merupakan aset penting dalam usaha pertanian sebagai media tumbuhnya tanaman.

Berdasarkan data potensi lahan di Kabupaten Batanghari terdiri dari lahan

persawahan 18.189 ha dan lahan kering 277.677 ha. Lahan ini mempunyai potensi

untuk usaha tanaman pangan. Kemampuan tanah merupakan sifat fisik tanah yang

dibatasi oleh berbagai faktor antara lain kemiringan tanah (lereng), drainase,

kedalaman efektif tanah, tektur tanah. Kegunaan dari pada kemampuan tanah adalah

untuk menilai tingkat kecocokan atau kesesuaian tanah secara fisik terhadap

berbagai jenis penggunaan tanah dalam usaha pertanian untuk dibuat analisis dari

fisik tanah dan lingkungannya dengan sifat agronomis tanaman. Kemiringan tanah

dibagi dalam 4 kelas yaitu : Datar 0 – 2 %, Landai 2 – 15 %, Gelombang 15 – 40 %

dan Terjal > 40 %. Lahan dengan kemiringan > 40 % sudah mulai terjal tidak baik

untuk usaha pertanian, karena dapat terjadi longsor, lahan ini hanya cocok untuk

hutan lindung. Tanaman pertanian sebaiknya diusahakan pada lahan dengan

kemiringan 0 – 2 %, tetapi masih dapat diusahakan pada lahan dengan kemiringan

sampai 15 % dengan tindakan terasering dan penanaman pohon sesuai dengan garis

kontour untuk mencegah erosi. Jadi potensi lahan di Kabupaten Batanghari

berdasarkan kemiringan tanah dapat diusahakan tanaman pertanian (padi dan

palawija). Pada dasarnya jenis tanah di Kabupaten Batanghari dapat digolongkan

atas dua kelompok yaitu Azonal dan Zonal. Tanah Azonal seperti Organosol,

Aluvial, Gley Humus Rendah, dan Hidromorfik Kelabu adalah tanah-tanah yang

masih mengalami peoses lanjutan oleh karena tanah yang demikian belum

menunjukkan profil yang sempurna. Sedangkan jenis tanah Zonal seperti Andosol,

Latosol, Podsolik adalah tanah-tanah yang sudah mengalami perkembangan profil

yang lebih sempurna. Jenis tanah Podsolik Merah Kuning merupakan tanah yang

paling luas di Kabupaten Batanghari sebesar 435.451 ha atau 84,06 %, sebagian

terdiri dari Aluvial yang terletak disepanjang aliran sungai Batanghari dan anak

sungainya seluas 82.584 ha atau 15.94 %.

261

Page 129: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman. Dari hasil pengkajian menunjukkan

bahwa pertumbuhan tanaman padi beberapa VUB cukup baik dan hama yang muncul pada pertanaman padi fase vegetatif seperti lembing batu, putih palsu, sundep sedangkan pada fase generatif seperti walang sangit, beluk, tikus dan

burung. Intensitas serangan hama pada fase vegetatif dan generatif berada dibawah ambang ekonomis. Pengendalian hama dilakukan dengan cara pengendalian hama terpadu (PHT). Keragaan tanaman padi dari masing-masing

varietas cukup bervariasi karena dipengaruhi oleh kondisi air yang ada dilahan, sehingga pada lahan yang agak rendah masih tersedia air sedangkan pada lahan yang agak tinggi airnya semakin berkurang. Varietas unggul Inpara 3, Inpara 5 dan Indragiri menunjukkan keragaan yang cukup baik dan memilki respon yang

baik di lahan rawa lebak dibanding varietas yang lainnya. Dari pengamatan keragaan tanaman terlihat bahwa vigor beberapa varietas

menunjukkan pertumbuhan yang cukup beragam sesuai dengan sifat genetis dan

faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Dari enam varietas yang diujicobakan

terlihat pada varietas Inpara 3, Inpara 5 dan Inpari 10 menunjukkan keragaan yang

baik (skor 3) sampai sangat baik (skor 1), sedangkan varietas Inpara 1, Inpari 13 dan

Indragiri menunjukkan keragaan sedang (skor 5) sampai baik (skor 3). IRRI (1996) mendefinisikan vigor sebagai kesesuaian tanaman terhadap

lingkungan diawal pertumbuhan (bibit), hal ini dilihat dilapangan dihubungkan dengan kemampuan menghasilkan anakan, tinggi tanaman dan lainnya.

Tinggi tanaman adalah suatu sifat baku (keturunan). Adanya perbedaan tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh suatu pengaruh keadaan lingkungan. Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi tanaman padi sawah biasanya 80-120 cm. Dari data tinggi tanaman terlihat bahwa varietas padi yang diuji dengan tinggi tanaman antara 71,67 cm – 90 cm termasuk tinggi tanaman sedang untuk padi sawah dan cukup adaptif dikembangkan karena dengan tinggi tanaman tersebut termasuk dalam kategori tinggi tanaman sedang untuk padi sawah < 110 cm (Silitonga, T.S, dkk, 2003).

Kriteria seleksi pada tanaman padi antara lain adalah tinggi tanaman padi, dimana tinggi rendahnya tanaman mempunyai kaitan dengan panjang dan pendeknya malai dan juga dengan tahannya tanaman terhadap kerebahan. Tanaman akan lebih rendah pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut (Simanulang, 2001). Tinggi tanaman juga merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat produksinya (Suprapto dan Dradjat, 2005).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada umumnya varietas yang diuji mempunyai tinggi tanaman antara 71,67 cm – 90 cm (Tabel 2). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara varietas Inpara 1 dan varietas lainnya, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 3. Dimana tinggi tanaman tertinggi terdapat pada varietas Indragiri (91 cm) dan terendah pada varietas Inpara 1 (71,67 cm).

Tinggi tanaman menentukan tingkat penerimaan petani terhadap suatu varietas baru. Petani kurang menyenangi varietas yang berpostur tinggi karena umumnya sangat rentan rebah, dan tanaman padi yang tinggi belum menjamin tingkat produktivitasnya.

Jumlah anakan masing-masing varietas yang diuji menunjukkan jumlah anakan yang beragam antara 11-19 anakan. Hasil analisis statistik terhadap

262

Page 130: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata

antara varietas Inpara 3 dengan Inpari 1, Inpari 10, Inpari 13 dan Indragiri tapi

tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 5, dimana jumlah anakan tertinggi

terdapat pada varietas Inpara 3 (19,00) dan jumlah anakan terendah pada varietas

Indragiri (11,00). Anakan produktif per rumpun atau persatuan luas merupakan penentu

terhadap jumlah malai dengan demikian anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Pembentukan anakan produktif sangat menentukan jumlah malai dari tanaman padi. Makin banyak anakan produktif makin banyak jumlah malai. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil, karena makin banyak jumlah malai makin tinggi hasil tanaman padi.

Kriteria seleksi pada tanaman padi antara lain adalah tinggi tanaman padi, dimana tinggi rendahnya tanaman mempunyai kaitan dengan panjang dan pendeknya malai dan juga dengan tahannya tanaman terhadap kerebahan. Tanaman akan lebih rendah pada lokasi yang lebih tinggi dari permukaan laut (Simanulang, 2001). Tinggi tanaman juga merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat produksinya (Suprapto dan Dradjat, 2005).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada umumnya varietas yang diuji mempunyai tinggi tanaman antara 71,67 cm – 90 cm (Tabel 2). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara varietas Inpara 1 dan varietas lainnya, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 3. Dimana tinggi tanaman tertinggi terdapat pada varietas Indragiri (91 cm) dan terendah pada varietas Inpara 1 (71,67 cm).

Tinggi tanaman menentukan tingkat penerimaan petani terhadap suatu varietas baru. Petani kurang menyenangi varietas yang berpostur tinggi karena umumnya sangat rentan rebah, dan tanaman padi yang tinggi belum menjamin tingkat produktivitasnya.

Jumlah anakan masing-masing varietas yang diuji menunjukkan jumlah anakan yang beragam antara 11-19 anakan. Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara varietas Inpara 3 dengan Inpari 1, Inpari 10, Inpari 13 dan Indragiri tapi tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 5, dimana jumlah anakan tertinggi terdapat pada varietas Inpara 3 (19,00) dan jumlah anakan terendah pada varietas Indragiri (11,00).

Anakan produktif per rumpun atau persatuan luas merupakan penentu terhadap jumlah malai dengan demikian anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah (Simanulang, 2001). Pembentukan anakan produktif sangat menentukan jumlah malai dari tanaman padi. Makin banyak anakan produktif makin banyak jumlah malai. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan hasil, karena makin banyak jumlah malai makin tinggi hasil tanaman padi.

Pertumbuhan Generatif Tanaman. Dari Tabel 3 terlihat bahwa variasi

panjang malai berkisar antara 23,2 – 26,6 cm. Dimana malai terpanjang terdapat

pada varietas Indragiri (26,6 cm) dan terpendek pada varietas Inpari 10 (23,2 cm).

263

Page 131: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Semakin panjang malai tanaman padi semakin banyak cabang tiap malai,

setiap cabang malai terdapat butir padi. Banyaknya butir padi tiap cabang malai

tergantung kepada varietas padi yang ditanam dan budidaya tanaman. Setiap varietas yang diuji memperlihatkan jumlah gabah isi dan gabah

hampa yang bervariasi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah gabah isi dan gabah hampa. Tabel 3 menunjukkan bahwa gabah isi tertinggi pada varietas Inpara 3 (212,1 butir) dan terendah pada varietas Inpari 13 (112,7 butir). Sedangkan untuk gabah hampa tertinggi terdapat pada varietas Inpari 13 (19,33 butir) dan terendah pada varietas Indragiri (6,93 butir).

Gabah hampa ini memperlihatkan ketidakmampuan tanaman dalam melakukan pengisian bulir tanaman, kehampaan menyebabkan hasil tidak akan tinggi hal ini bisa disebabkan faktor genetik atau lingkungan (Horrie, Homma dan Yoshida. 2006).

Gabah yang hampa akan berpengaruh terhadap hasil padi, semakin tinggi prosentase gabah hampa maka pengaruhnya terhadap hasil padi semakin besar, dimana makin tinggi biji hampa mengakibatkan produksi tanaman padi rendah. Jumlah gabah isi per malai mempunyai korelasi nyata dengan hasil, sehingga jumlah gabah isi per malai merupakan salah satu acuan kriteria seleksi untuk mendapatkan hasil tinggi (Simanulang, 2001).

Hasil pengujian memperlihatkan beragamnya umur panen dari masing-masing varietas yang diuji. Umur panen tanaman padi terpendek terdapat pada varietas Inpari 13 (95 hari) sedangkan terpanjang pada varietas Inpara 1. Rata-rata umur panen varietas yang diuji lebih pendek dari umur panen yang ada di deskripsi varietas padi, kondisi ini disebabkan karena pada saat memasuki fase generatife tanaman padi mengalami kekeringan menyebabkan gabah cepat masak (cepat panen).

Beragamnya umur panen varietas padi yang diuji disebabkan beragamnya pertumbuhan pada fase vegetatif dan generatif dari masing-masing varietas. Lamanya fase pertumbuhan vegetatif merupakan penyebab perbedaan umur tanaman yang juga disebabkan oleh faktor genetik dari suatu tanaman (De Datta, 19821 dalam Endrizal dan Jumakir, 2005). Berat 1000 butir dari varietas yang diuji beragam yaitu antara 23 – 30,2 gr. Berat biji tertinggi terdapat pada varietas Inpara 3 (30,2 gr) dan terendah pada varietas Indragiri (23 gr). Bobot 1000 butir gabah secara tidak langsung menggambarkan besar atau kecilnya gabah suatu varietas padi. Varietas yang gabahnya besar, bobot 1000 butirnya akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Ukuran gabah dipengaruhi oleh sifat genetik serta daya adaptasinya dengan lingkungan tumbuhnya. Di dataran tinggi pada musim kemarau dengan suhu yang rendah sangat berpengaruh terhadap bobot 1000 butir gabah, (Fagi dan Las, 1988).

Berbedanya bobot 1000 butir gabah merupakan sifat tanaman dimana kemampuan suatu varietas menghasilkan gabah yang banyak sering berlawanan dengan kemampuan untuk menghasilkan gabah yang besar dan berat, namun produksi yang tinggi juga dapat dicapai dengan jumlah gabah yang banyak walaupun ukurannya tidak begitu besar (Simanulang, 2001).

Hasil padi ditentukan oleh komponen hasil seperti jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 butir. Korelasi hasil nyata dengan bobot 1000 butir dan

264

Page 132: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 gabah isi per malai merupakan salah satu acuan kriteria seleksi untuk

mendapatkan hasil tinggi. Hasil suatu tanaman ditentukan oleh komponen hasil suatu tanaman

tersebut, selanjutnya dinyatakan bahwa sifat komponen hasil antara satu dengan yang lainya memiliki hubungan erat, ketidak seimbangan diantara komponen hasil tersebut akan sangat mempengaruhi potensi hasil yang diperoleh (Manurung dan Ismunadji, 1988).

Dari data hasil pengujian menunjukkan beragamnya pertumbuhan dan hasil dari varietas yang diuji dimana hasil tertinggi terdapat pada varietas Inpara 3 yaitu 5,9 t/ha GKP sedangkan terendah terdapat pada varietas Indragiri yaitu 4,1 t/ha GKP.

Permasalahan yang dihadapi adalah kekeringan, dimana hampir sebulan tidak turun hujan sehingga menyebabkan lahan pertanaman padi tanahnya pecah/retak. Kondisi ini menyebabkan beberapa varietas unggul baru padi mengalami kekeringan diantaranya VUB Inpari 10 dan Inpari 13. Pada kondisi kekeringan tanaman padi yang penampilannya terbaik adalah varietas Inpara 3 dan Indragiri.

Dari hasil yang diperoleh varietas Inpari 3 terlihat bahwa varietas ini layak dikembangkan karena varietas Inpari 3 disamping memperoleh hasil tertinggi, varietas ini tahan terhadap serangan hama wereng dan penyakit blas, dibandingkan dengan varietas yang diuji lainnya. Varietas Inpara 3 disamping tahan terhadap rendaman selama 2 minggu pada fase vegetative juga tahan kondisi kekeringan. Hal ini terlihat dimana dengan kondisi kekeringan varietas Inpara 3 memperoleh hasil tertinggi (5,9 t/ha GKG). Hasil ini lebih tinggi dari hasil yang ada pada deskripsi varietas dimana Inpara 3 mempunyai rata-rata hasil 4,6 t/ha dan potensi hasil 5,6 t/ha.

KESIMPULAN 1. Keragaan tanaman padi varietas Inpara 3, Inpara 5 dan Indragiri

menunjukkan pertumbuhan yang baik, adaptif dan memiliki respon yang

baik di lahan rawa lebak. 2. Produksi tertinggi terdapat pada varietas unggul baru Inpara 3 (5,9 t/ha GKP),

varietas ini adaptif dan layak dikembangkan di rawa lebak di Provinsi Jambi. 3. Hasil yang diperoleh dari varietas yang diuji memperoleh rata-rata hasil

menyamai potensi hasil yang di deskripsi varietas padi.

DAFTAR PUSTAKA Ar-Riza dan Jumberi, 2008. Padi di lahan rawa Lebak dan Peranannya dalam

Sistem Produksi Padi Nasional. Padi Inovasi Teknologi Produksi. Balai

Besar Penelitian Tanaman padi. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi lahan

rawa Lebak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Pusat Statistik. 2002. Luas Lahan dan Alat-Alat Pertanian Tahun 2002.

Survei Pertanian. BPS Provinsi Jambi. Jambi

265

Page 133: Karapan Sapi dan Sapi Sonok Sebagai Faktor Pendukung ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/new2/wp-content/uploads/2015/12/... · kayu penghubung antara ... Gumba berkembang baik pada

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Distan Provinsi Jambi. 2005. Penerapan teknologi dan pengelolaan lahan rawa

lebak program tanaman pangan di Provinsi Jambi. Dinas Pertanian

tanaman Pangan Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional

Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT) dan Hasil-Hasil

Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) Jambi kerjasama dengan Balai Penelitian Pertanian

Lahan Rawa (Balittra). Direktorat Rawa, Ditjen Pengairan, Dep.PU. 1991. Pengembangan dan

Pemanfaatan Rawa di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan tanggal 23-24 Oktober. Palembang.

Djakfar, Z.R. 1989. Pengembangan Lahan Rawa Lebak dalam Menunjang

Peningkatan Produksi Pangan di Sumatera Selatan. Makalah pada

Lokakarya Penyusunan Repelita V- Sub Sektor Pertanian Tanaman

Pangan. Palembang. 28-29 Maret. Palembang. IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. International Rice Research Makarim, A.K., Irsal Las, A.M. Fagi, I.N. Widiarta dan D. Pasaribu. 2004. Padi

tipe baru, budidaya dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu. pedoman bagi penyuluh pertanian. Balitpa, Sukamandi,

Simanulang, Z, A. 2001. Kriteria Seleksi untuk Sifat Agronomis dan Mutu. Pelatihan dan Koordinasi Program Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9 – 14 April 2001. Balai Penelitian Padi Sukamandi.

Sinar Tani No 3009. 2003. Lahan Rawa Lebak sebagai Kantong Produksi Pangan.. Sinta Edisi 13-19 Agustus 2003 N0. 3009. Tahun XXXIII. Jakarta

Subagyo, H dan M. Supraptohardjo. 1978. Beberapa catatan tentang Potensi/aspek Tanah Daerah Lebak/rawa di Sumatera Selatan. Makalah pada Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak. Palembang.

Soewito T, Z Harahap dan Suwarno. 1995. Perbaikan varietas padi sawah mendukung pelestarian swasembada beras. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Bogor, 23-25 Agustus 1993. Kinerja Tanaman Pangan Buku 2. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian

Suprapto dan Dradjat A, 2005. Buletin Plasma Nutfah Vol.11 No.1 Th.2005

266