Upload
martin-susanto
View
168
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),
laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.
Berdasarkan data laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring menduduki urutan
ke-5 dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,
tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit.1
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena
nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak dibawah dasar tengkorak
serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun
ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli, sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan matastasis ke leher lebih
sering ditemukan sebagai gejala pertama.1
Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium
awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%
untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam
pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya meliputi
epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan
pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil.1
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.2 Nasofaring terletak di antara basis cranial dan
palatum mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring.3,4 Rongga nasofaring
menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-
masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior,
superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral.3,5
Batas nasofaring di bagian superior adalah dasar tengkorak, dibagian inferior adalah
palatum mole.3,4,5,6 Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os
sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium
tuba eustachius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius,
sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius
dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat
fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub
mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata.
Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.2
Pembuluh darah nasofaring berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis
eksterna, masing-masing adalah (1) arteri faringeal asendens, cabamg terkecil arteri karotis
eksterna; (2) arteri palatine asendens; (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri
maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga adalah cabang akhir arteri maksilaris interna.2
2
Gambar 1. Anatomi Nasofaring6
2.2. Epidemiologi dan Etiologi
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring ada virus
Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup
tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala
lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain
sekalipun.1,2,3,4,5,8,9
Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini
bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,
pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau
parasit. 1,2,3,4,5,8,9
Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun
demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500
3
kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/ 100.000
penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia. 1,2,3,4,5,8,9
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah
karena mereka memakan makanan yang diawetkan pada musim dingin dengan menggunakan
bahan pengawet nitrosamine. 1,2,3,4,5,8,9
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi. Demikian pula angka yang
didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini
terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT
RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainnya.1
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat
diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan
hidup, pekerjaan dan lain-lain. 1,2,3,4,5,8,9 Faktor lingkungan yang berpengaruh adanya iritasi
oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu, dan kebiasaan makan makan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar
nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan
adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Tentang faktor genetik telah banyak
ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan
pada organ tubuh lain.1,8 adapun faktor genetik yang dianggap berhubungan dengan
karsinoma nasofaring adalah HLA-BW46 dan HLA-B17.4,5
2.3. Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan daraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala
4
nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum
ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah
mukosa (creeping tumor).1,2,3,4,8
Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak
nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma
nasofaring. 1,2,3,4,8
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke
V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika
belum terdapat keluhan lain yang berarti. 1,2,3,4,8
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugular, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila surah mengenai seluruh sarah otak
disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila
telah demikian, biasanya prognosisnya buruk. 1,2,3,4,8
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. 1,2,3,4,8
2.4. Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit
ditemukan.1,2,8
5
Gambar 2. Gambaran CT-Scan karsinoma nasofaring8
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. pTjokro Setiyo dari
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut ( stadium II dan IV) sensitivitas IgA VCA adakah 97,5% dan
spesifisitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya sampai 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30%, sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.1,2,8,9
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hudung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi. 1,2,8,9
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem
6
bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung
disebelahnya, sehinggu palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan
Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dengan narkosis.1
2.5. Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu: 1,2,3,4,5,8,9
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.
Pada umumnya batas sel cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
2.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC. 1,2,3,4,5,8,9
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor
T1 - Tumor terbatas di nasofaring
T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/ atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
(infiltrasi tumor kea rah postero-lateral melebihi fasia faring-basiler.
T2b: disertai perluasan ke parafaring
T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal
T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan/ atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
7
N- Pembesaran kelenjar getah bening regional
NX - Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran
N1 - Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas foss supraklavikula
N2 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa suprakalvikula
N3 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 c,. atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
N3a: ukuran lebih dari 6 cm
N3b: di dalam fossa supraklavikula
Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral
M = Metastasis jauh
Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 - Tidak ada metastasis jauh
M1 - Terdapat metastasis jauh
Stadium karsinoma nasofaring: 1,2,3,4,5,8,9
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 NO, N1, N2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
8
2.7. Diagnosa Banding3
1) Angiofibroma nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan
nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal,
kadang tampak vasodilatasi di permukaannya, konsistensinya kenyal padat. Bila secara klinis
dicurigai penyakit ini, awas jangan mudah melakukan biopsy karena mudah terjadi
perdarahan masif.
2) Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30
tahun sudah mengalami atrofi. Tetapi pada sebagian orang dalam proses atrofi ini mengalami
infesi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat ini, bila terjadi
ulserasi, perdarahan maka perlu biopsy untuk membedakannya.
3) TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan
jaringan sekitarnya membentuk mass, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi
aspirasi jarum menemukan materi mirip keju.
2.8. Penatalaksanaan
Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi dengan
kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.3,4,5,8
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N> 6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
2.8.1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.2
9
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin
dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi
terpenting.2
Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh
baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu
dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :2
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel
normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak
dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan
reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih
baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada
kanker.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.
Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80%-100% dengan terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh
yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angkaketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring
tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.2
Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang
diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV.
a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi 2
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga
dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan
penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin
timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi 10
dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam
tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita,
seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai
sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh
kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit
100.000 per uL.
b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi 2
Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin
berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening
regional.
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :
1. Seluruh nasofaring
2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
3. Sinus kavernosus
4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan
foramen jugularis lateral.
5. Setengah belakang kavum nasi
6. Sinus etmoid posterior
7. 1/3 posterior orbit
8. 1/3 posterior sinus maksila
9. Fossa pterygoidea
10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
11. Kelenjar retrofaringeal
12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring
harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah
mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary.
Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus
atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk,
11
kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke
kelenjar sub maksila.
Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :
Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana
Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat
pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar
teraba.
Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila
didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang
teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita
dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat
dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas atas
mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri
dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar
supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas
atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor
primer.
Gambar 3. Batas lapangan radiasi
12
Gambar 4. Batas lapangan radiasi
c. Sinar untuk radioterapi 2
Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah :
1. Sinar Alfa
Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton dan
neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.
2. Sinar Beta
Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai
energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi
yang superfisial.
3. Sinar Gamma
Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya
tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya
atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis
maksimalnya.
13
d. Radioisotop 2
1. Caecium137 ! sinar gamma
2. Cobalt60 ! sinar gamma
3. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.
e. Teknik Radioterapi 2
Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
1. Radiasi Eksterna / Teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar
diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor
tergantung dari :
a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi
b. Jarak antara sumber energi dan tumor
c. Kepadatan massa tumor.
Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per kali, dalam 2-
3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan
penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.
2. Radiasi Interna / Brachiterapi
Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh.
Ada beberapa jenis radiasi interna :
a. Interstitial
Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau
jarum irridium.
b. Intracavitair
Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :
- After loading
Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah
aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
14
- Instalasi
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.
3. Intravena
Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV akan
diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.
f. Dosis radiasi 2
Ada 2 jenis radiasi, yaitu :
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh.
Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi
yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk
metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal,
lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai
4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan
penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan
penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x
200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak
didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan
supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.
15
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan
menggunakan radioisotop Cobalt60.
Di bagian Radiologi RS. Elisabet Medan, radiasi diberikan dengan menggunakan
radioisotop Cessium137, mula-mula diberikan dengan dosis rendah mulai 300 cGy – 6000
cGy dalam waktu 4 atau 5 minggu.
g. Respon radiasi 2
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
h. Komplikasi radioterapi 2
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
1. Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis - Anoreksi
- Dermatitis
- Eritema
2. Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Gangguan pertumbuhan
- dll
16
2.8.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan
hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.2
Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan
kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah PF (DDP +
5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP + 5FU dan DDP +
gemsitabin, dll.3
DDP: 80-100mg/m2 iv drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi, lakukan hidrasi 3
hari).
5FU: 800-1000mg/m2/d iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.
Ulangi setiap 21 hari, atau:
Karboplatin: 300mg/m2 atau AUC = 6 iv drip, hari pertama.
5FU: 800-1000mg/m2/d iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.
Ulangi setiap 21 hari
2.8.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih
yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.2
Dalam kondisi berikut dapat dipertimbangkan tindakan operasi:3
1) Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi.
2) Bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring.
3) Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
4) Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade
I, II, adenokarsinoma, dll.
5) Komplikasi radiasi (misal, parasinusitis radiasi, ulkus radiasi, dll).
17
2.9. Prognosis
Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium
awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%
untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.1
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :10
Stadium yang lebih lanjut.
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh
2.10. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat lain.1
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.1,5 Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik
IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara missal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.1
18
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor gana di daerah kepala dan leher, yang
menyerang bagian nasofaring. Adapaun penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-
Barr, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat
mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi,
infeksi kuman atau parasit.
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring,
gejala telinga, gejala mata dan saraf, sertametastasis atau gejala di leher. Gejela nasofaring
berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan di telinga dapat menyebabkan
tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Penekanan pada
sejumlah saraf otak dapat menyebabkan diplopia dan neuralgia trigeminal. Metastasis ke
kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat karena
sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Diagnosis karsinoma nasofaring dapat menggunakan CT-Scan, pemeriksaan serologi
dan biopsy yang merupakan pemeriksaan bakunya. Dari hasil histopatologinya, dapat
ditemukan 3 bentuk karsinoma yaitu karsinoma sel skuamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi
dan karsinoma tidak berdiferensiasi.
Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan sistem TMN menurut UICC
dan dibagi menjadi stadium I-IV. Penentuan ini berguna untuk menentukan jenis terapi yang
akan diberikan. Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi
dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.
Pencegahan karsinoma nasofaring berupa pemberian vaksinasi, migrasi penduduk ke
daerah dengan faktor risiko rendah, penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, penyuluhan
mengenasi lingkungan hidup yang tidak sehat, dan melakukan tes serologik.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin, A. dan Adham, M, Karsinoma Nasofaring. In.Soepardi, E.A.,et al. (eds.).
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi
Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: 182-187
2. Asroel, H.A., Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Refarat.
Medan: FK USU, 2002.
3. Desen, W., et al. Tumor di Kepala dan Leher. In Desen, W. (ed). Buku Ajar Onkologi
Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011: 263-278
4. Cassidy, A., Bissett, D., dan Obe, R., Cancer of The Nasopharynx. In Cassidy, A.(ed).
Oxford Handbook of Oncology. New York: Oxford University Press. 2002: 450-453
5. Lalwani, A.K., benign & Malignant Lesions of The Oral Cavity, Oropharynx &
Nasopharynx. In Lalwani, A.K.(ed). Current Diagnosis & Treatment in
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. New York: McGraw-Hill. 2008: 356-366
6. Rusmarjon dan Hermani, B., Odinofagia . In.Soepardi, E.A.,et al. (eds.). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: 212-216
7. Netter F.H., Lateral Wall of Nasal Cavity. Atlas of Human Anatomy 4th ed. Elseiver,
p37
8. Dhingra, P.L., Tumors of Nasopharynx. Diseases of Ear, Nose and Throat 4th ed.
Elseiver p 230-235
9. Sivanandan, R. dan Fee, W.E., Benign and Malignant Tumors of Nasopharynx. In
Cummings, C.W., et al (eds). Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery.
Edisi keempat. Philadelphia: Mosby. 2005
10. Munir, Delfitri. Karsinoma Nasofaring (Kanker Tenggorok). Medan : USU Press.
2009.
20