21
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 1 Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12 Baskita Ginting Sekolah Tinggi Teologi Baptis Medan [email protected] Abstract Everybody is looking for and the pursuit of happiness in life. In a naked eyes and to the size of the general public, who gets happy is a man who has what it takes and fulfilled what is desirable. Seeking happiness tends to focus on wealth, position, and sex. As a result not a few people, from the intellectuals and layman trapped, in order to achieve such happiness. Such happiness is false. To explain happiness in accordance with Bible teaching, this study used descriptive qualitative method by analyzing the text of the Bible Matthew 5: 1-12. Based on the facts and results of text analysis, qualitative research is used to build conclusions about the importance of obtaining happiness in God through books explaining the key points in Matthew 5: 1-12. This study concludes that true happiness, is the happiness that begins with the personal recognition of God, so willing to do what God says, despite the temporary suffering. Abstrak Semua orang mencari dan mengejar kebahagiaan dalam hidup ini. Secara kasat mata dan menjadi ukuran masyarakat umum, yang berbahagia adalah orang yang memiliki apa yang diperlukan dan terpenuhi apa yang diinginkan. Kecendrungannya berfokus pada harta, tahta dan sex. Akibatnya tidak sedikit orang, dari golongan cendikia dan awam terjebak, demi mencapai kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan demikian adalah semu. Untuk menjelaskan tentang kebahagiaan sesuai dengan pengajaran Alkitab, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menganalisis teks Alkitab Matius 5:1-12. Berdasarkan fakta dan hasil analisa teks, penelitian kualitatif digunakan untuk membangun kesimpulan tentang pentingnya mendapatkan kebahagiaan di dalam Tuhan melalui buku-buku yang menjelaskan pokok-pokok penting dalam Matius 5:1-12. Kajian ini menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang sejati, adalah kebahagian yang diawali dari pengenalan akan Tuhan secara pribadi, sehingga rela melakukan apa yang Tuhan firmankan, walaupun menghadapi penderitaan sementara. Keywords: Believer; Matthew; belssed are; happiness Kata Kunci: Matius; berbahagialah; kebahagiaan; orang percaya Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 1, No 1, Juni 2018 (1-21) ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate

Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 1

Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting Sekolah Tinggi Teologi Baptis Medan

[email protected]

Abstract Everybody is looking for and the pursuit of happiness in life. In a naked

eyes and to the size of the general public, who gets happy is a man who has

what it takes and fulfilled what is desirable. Seeking happiness tends to

focus on wealth, position, and sex. As a result not a few people, from the

intellectuals and layman trapped, in order to achieve such happiness. Such

happiness is false. To explain happiness in accordance with Bible teaching,

this study used descriptive qualitative method by analyzing the text of the

Bible Matthew 5: 1-12. Based on the facts and results of text analysis,

qualitative research is used to build conclusions about the importance of

obtaining happiness in God through books explaining the key points in

Matthew 5: 1-12. This study concludes that true happiness, is the happiness

that begins with the personal recognition of God, so willing to do what God

says, despite the temporary suffering.

Abstrak Semua orang mencari dan mengejar kebahagiaan dalam hidup ini. Secara

kasat mata dan menjadi ukuran masyarakat umum, yang berbahagia adalah

orang yang memiliki apa yang diperlukan dan terpenuhi apa yang

diinginkan. Kecendrungannya berfokus pada harta, tahta dan sex.

Akibatnya tidak sedikit orang, dari golongan cendikia dan awam terjebak,

demi mencapai kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan demikian adalah semu.

Untuk menjelaskan tentang kebahagiaan sesuai dengan pengajaran Alkitab,

penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan

menganalisis teks Alkitab Matius 5:1-12. Berdasarkan fakta dan hasil

analisa teks, penelitian kualitatif digunakan untuk membangun kesimpulan

tentang pentingnya mendapatkan kebahagiaan di dalam Tuhan melalui

buku-buku yang menjelaskan pokok-pokok penting dalam Matius 5:1-12.

Kajian ini menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang sejati, adalah

kebahagian yang diawali dari pengenalan akan Tuhan secara pribadi,

sehingga rela melakukan apa yang Tuhan firmankan, walaupun

menghadapi penderitaan sementara.

Keywords:

Believer; Matthew; belssed

are; happiness

Kata Kunci:

Matius; berbahagialah;

kebahagiaan; orang percaya

Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 1, No 1, Juni 2018 (1-21)

ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate

Page 2: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 2

PENDAHULUAN

Secara umum, orang mengukur

kebahagiaan itu berdasarkan apa yang

dilihat mata. Memiliki mobil baru, rumah

baru, jabatan yang tinggi, tersedia apa saja

yang diperlukan atau meraih apa yang

dicita-citakan. Bagi kebanyakan orang,

bahagia searti dengan memiliki ada yang

diinginkan. Akibatnya orang berlomba-

lomba mencapai apa yang diinginkannya,

tanpa mempedulikan proses dan akibatnya

dikemudian hari. Demi kebahagiaan

sementara, budaya malu, santun, dan

mengutamakan orang lain diabaikan.

Yang terjadi hanya mementingkan diri

sendiri, keserakahan dan secara tidak

langsung membuat susah orang lain dan

generasi akan datang.

Mempercakapkan bahagia atau

kebahagiaan berarti berbicara tentang satu

keadaan. Keadaan ini terikat oleh waktu

lampau, sekarang dan masa akan datang,

atau suatu keadaan yang relatif/absolut,

bahkan personal/general. Bahagia menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

“keadaan atau perasaan senang dan

tentram bebas dari segala yang

menyusahkan atau keadaan yang

membahagiakan.”1 Bahagia atau

kebahagiaan dari pengertian ini hanya

kepada satu segi, yaitu keadaan yang

membuat bahagia saja, dikatakan

berbahagia. Namun, dalam Matius 5:1-12

pengertian dan makna bahagia, bukan

sekedar yang membuat bahagia saja,

dikatakan berbahagia, justru berbahagialah

orang yang miskin dihadapan Allah, yang

berdukacita, yang lemah lembut, yang

lapar dan haus akan kebenaran, yang

murah hati, yang suci hatinya, yang

membawa damai, dan yang dianiaya

karena kebenaran. Kebahagian tersebut

kebutuhan utama manusia pada masa kini

dan masa akan datang. Bagaimanapun

keberadaan kita, 8 ucapan bahagia tersebut

harus kita lakukan.

Konteks Matius 5:3-12

Injil Matius ditulis oleh Matius,

antara tahun 70-100 SM. Ketika Injil

Matius di tulis, penulis dipengaruhi oleh

keadaan yang berkembang pada saat itu,

dari situasi politik, ekonomi, sosial dan

agama. Secara politik atau pemerintahan,

orang Yahudi ada di bawah kekuasaan

1Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 86

Page 3: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 3

“kerajaan Romawi.”2 Dari segi ekonomi

dan sosial, orang Yahudi harus bekerja

untuk menunjang kehidupan. “Sama

seperti sekarang perkembangan dan

pelaksanaan ibadah mereka dipengaruhi

oleh keadaan ekonomi yang berlaku pada

saat itu. Pertanian, perindustrian,

keuangan, pendidikan, dan pengangkutan

serta perjalanan mempengaruhi kehidupan

orang Yahudi.”3

Keadaan moral secara umum,

kurang baik, terutama dikalangan ekonomi

menengah ke atas, kebaikkan dikalahkan

dengan keburukan. “Pada saat itu,

kecenderungan masyarakat mengarah

kepada pemuasan hawa nafsu dan

pelanggaran hukum. Nyawa manusia tidak

ada harganya dan pembunuhan sering

terjadi. Perceraian mudah dilaksanakan

2Hampir seluruh dunia berada, kecuali

beberapa kerajaan yang kurang di kenal di Timur

Jauh, berada di bawah kekuasaan Romawi. Dari

samudra Atlantik di sebelah barat hingga sungai

Efrat dan Laut Merah di sebelah timur, dan dari

sungai Rhone, sungai Donou, Laut Hitam serta

pegunungan Kaukus di sebelah utara hingga gurun

Sahara disebelah selatan terbentang sebuah

kekaisaran yang luas di bawah kekuasaan dan

kepemimpinan diktatorial sang kaisar yang disebut

raja (I Petrus 2:17), dan juga Augustus (Lukas 2:1)

dalam Perjanjian Baru.

3Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi

Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 52.

dan pada umumnya dianggap biasa dalam

masyarakat.”4

Dari segi agama, dari kalangan

Romawi maupun orang Yahudi, sudah ada

berabad-abad berbagai agama dan aliran

filsafat. Dikalangan orang Yahudi ada

perhimpunan agama dan partai-partai

Yahudi “imam, orang Farisi, orang Saduki,

ahli Taurat, partai Zelot, orang Herodian,

orang Essen.”5 Aliran Filsafat yang

berkembang “filasafat Socrates, Stoa,

Plato, Aristotels, Epikcuros, Gnostik.”6

Masih banyak aliran agama, filsafat, bidat

dan idiologi-idiologi yang berkembang dan

saling bersaing menawarkan jawaban bagi

masalah-masalah yang dihadapi zaman itu.

Sebagai contoh, pada zaman Yesus,

“hukum-hukum Perjanjian Lama yang

sederhana itu telah dijadikan ruwet dengan

penambahan banyak tafsiran dan

penerapan secara rinci oleh orang ahli

Taurat, orang Farisi dan Saduki yang

legalistik, penuh kemunafikan dan ketidak

4

Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian

Baru. (Malang: Gandum Mas, 1992), 72.

5Uraian tentang agama dan Filsafat yang

mempengaruhi pengajaran Yesus pada zaman

tersebut, dijelaskan dalam buku Latarbelakang

Perjanjian Baru Jilid II, oleh Lukas Tjandra

(Malang: Departemen Literatur SAAT, 2000), 34.

6Tjandra, Latarbelakang Perjanjian Baru,

105-116.

Page 4: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 4

jujuran dalam ajaran.”7 Akibatnya, agama

dan pemimpin agama, tidak memberi

jawaban kepada umat, pada hal umat sudah

tertekan secara politik, sosial dan ekonomi.

Dengan hadirnya Tuhan Yesus dengan

pengajaran-Nya maka memberi harapan

baru, terutama orang-orang yang miskin

dan tertindas.

Pengajaran Yesus di bukit (Matius

5-7), secara umum dianggab sebagai

pengajaran etika yang paling

komprehensif. Pengajaran tersebut

memberi gambaran yang baik tentang

kedudukan etika dalam masyarakat baru

yang hendak Yesus dirikan. Diawali

dengan penerimaan dan pengakuan Yesus

sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yesus

menyatakan, bahwa ada perbedaan yang

nyata antara kehidupan orang yang

mendengar dan melakukan ajaran Yesus.

Yesus mengajarkan pengikut-Nya

berdasarkan Matius 5-7, harus memiliki

nilai kebahagiaan, nilai kerohanian dan

nilai keteladan. Berkaitan dengan Matius

5:3-12, Yesus mengaharapkan pendengar

dan pengikutnya, walaupun miskin secara

ekonomi, tertekan oleh sosial, politik dan

7John Drane, Memahami Perjanjian Baru

Pengantar HistorisTeologis (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2009), 117

agama tidak memberi jawaban atas

kesulitan. Yesus mengajar, agar dapat

berbahagia oleh karena memiliki hubungan

baru dengan Yesus, yang memberikan

kebahagiaan tersendiri walaupun sedang

miskin, tertekan secara sosial dan politik.

Kebahagiaan Menurut Matius 5:3-12

Kata kebahagiaan „μακαριοι„

terdapat 8 kali di dalam Matius 5:3-12

dalam bentuk format: „μακαριοι οί„…

Deklensi dari kata ini adalah nominative

plural adjective dari akar kata „μακαριοs

„yang diartikan sebagai blessed, fortunate,

happy. Kata ini biasanya “in the sense of

priviledged recipient of divine favor of

human beings with a more obvious religion

connotation, as predicative with a subst.

adj, or subst. adj or ptc.”8

Menurut Theologial Dictionary of

the NT - senada dengan pendapat di atas-

kata makarios “is very common, usually in

direct beatitudes. The reference is to

persons, and the macarism, in the third

person consists of a predicative makarios,

then the person, and finally the reason in a

8William F. Arndt and F. Wilbur Gingrich.

A Greek-English Lexicon of the NT and other

Earlier Christian Literature (Chicago and London:

The University of Chicago Press, 1979), 486.

Page 5: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 5

subsidiary clause.”9 Berdasarkan pendapat

tersebut, kata kebahagiaan dalam Matius

5:3-12, adalah keberadaan manusia yang

berkaitan dengan konotasi rohani, yang

berperan sebagai „predicative‟ dengan

suatu susbtansi adjective.

Dapat diterjemahkan sebagai

“berbahagialah orang-orang yang…”.

Dikaitkan dengan penggunaan yang biasa

dari kata ini (dalam Matius 5:3-12 berlaku

konsep ini) “in the sense of priviledged

recipient of divine favor,” maka

kebahagiaan berkaitan dengan penerimaan

sesuatu anugerah yang istimewa dari

kemurahan hati Allah.” Artinya

kebahagiaan itu adalah anugerah yang

diterima dari Allah. Karena kebahagiaan

ini bersumber dari Allah, maka

kebahagiaan ini tidak tergantung pada hal-

hal duniawi. Artinya seseorang yang telah

menerima anugerah tersebut, dapat

berbahagia di tengah-tengah kesulitan yang

dihadapinya. Jenis kebahagian ini kontras

dengan apa yang dapat diberikan oleh

dunia."10

Menurut Philo:

God alone is blessed, and humans

can know blessedness only as they

9Geoffrey W. Bromiley, Theological

Dictionary of the New Testament (Grand Rapids:

W.B.E. Publishing Company, 1992), 549.

10

Bromiley, Theological Dictionary, 549.

share the divine nature in their

bearing of earthly sorrows and their

philosophical endeavors. Set in the

context of eschatological

salvation…Often there is a contrast

with false happiness…Often, then,

we find sacred paradoxes (Mt. 5:3;

Lk. 6:20). God effects a reversal of

all human value.”11

Kebahagiaan yang sejati bukanlah bagi

orang yang kaya dan aman, tetapi bagi

orang-orang yang miskin, bagi orang-

orang yang dianiaya “who are rich only in

pity, purity, and peace.”12

Berkaitan

dengan kata berbahagia di Matius 5:3-12,

James Montgomery Boice berkomentar

bahwa kata “blessed” means “happy,”

tetapi bukan dalam konsep duniawi -

karena kebahagiaan dari dunia ini bersifat

superfisial yang tergantung kepada situasi-

kebahagiaan yang dibicarakan di sini

adalah kebahagiaan yang tidak tergantung

pada situasi dan memenuhi jiwa dengan

sukacita sekalipun berada di tengah-tengah

keadaan yang sangat sukar.”13

Kebahagiaan yang dialami

seseorang berkaitan dengan waktu, yaitu

masa depan dan masa kini. Stefan Leks,

11 Bromiley, Theological Dictionary, 549.

12

Bromiley, Theological Dictionary, 549.

13

James Montgometory Boice. An

Expositional Commentary the Sermon on the Mount

(Grand Rapids: BakerBooks, 2000), 13-14.

Page 6: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 6

dalam Tafsiran Injil Matius menjelaskan:

“Yesus menyebut bahagia orang yang saat

ini juga bahagia karena masa depan yang

terbuka bagi mereka. Mereka dapat saja

menderita, tetapi pengalaman derita itu

dicahayakan oleh harapan mengenai apa

yang akan datang. Kebahagiaan itu tak

terpisahkan dari realitas yang dialami masa

sekarang.”14

Yang menjamin kebahagian

masa depan dan masa sekarang adalah

Yesus sendiri, sebab Dia yang menjanjikan

kepada setiap orang yang percaya kepada-

Nya.

Ketika Yesus mengatakan

pernyataan „berbahagialah orang…‟

(Matius 5:3-12), Dia sedang mengatakan

kepada para pendengar-Nya bagaimana

mereka “could be deeply, spiritually, and

profoundly happy and how could maintain

this happiness even in the midst of life‟s

disappointments and hard times.”15

Berkaitan dengan kata „berbahagialah

orang…‟dalam konteks khotbah di Bukit,

“by its own definition Jesus was himself

most happy.”16

Billy Graham berkomentar

tentang hal ini bahwa “if by happiness we

mean serenity, confidence, contentment,

14Stefan Leks, Tafsiran Injil Matius

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 114.

15

James Montgometory Boice, 149.

16

James Montgometory Boice, 149.

peace, joy and soul-satisfaction, then Jesus

was supremely „happy.‟ Kebahagiaan

Yesus tidak tergantung kepada situasi dari

luar. Dia tidak memerlukan suatu stimulus

dari luar diri-Nya untuk membuat Dia

bahagia. Dia telah belajar suatu rahasia

yang membuat Dia hidup di atas segala

jenis situasi dalam hidup dan takut akan

masa depan. “He moved with calmness,

certainty and serenity through the most

trying circumstances-even death!”17

Jika

Yesus adalah orang yang berbahagia dalam

arti rohani seperti konsep di atas, maka

orang yang percaya kepada-Nya juga dapat

berbahagia. Sebab Yesus telah menjadi

sama seperti kita, di dalam segala jenis

penderitaan kita, di dalam pencobaan, di

dalam kekecewaan-supaya kita boleh

hidup sama seperti Dia.

Harus disadari bahwa mendapat

kebahagiaan yang sejati tidak dapat dicari

dengan cara duniawi. Orang duniawi

mendapatkan kebahagiaan adalah pertama,

dengan uang, tetapi nyatanya tidak ada

kebahagian yang sejati di dalamnya;

kedua, mendapatkan kebahagiaan lewat

popularitas, namun popularitas tidak

member jaminan kebahagiaan; ketiga,

17James Montgometory Boice, 149.

Page 7: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 7

mendapatkan kebahagiaan lewat kekuasaan,

namun kekuasaan juga tidak dapat

memuaskan hati. Untuk mendapatkan

kebahagiaan yang sejati hanya ada dalam

Yesus Kristus. Tuhan Yesus, mengajarkan

dalam Matius 5:3-12 jalan menuju kepada

kebahagiaan hanya ditemukan di dalam

kemiskinan rohani, di dalam karakter yang

ditandai dengan kelemahlembutan, lapar

dan haus akan kebenaran, di dalam

kemurahan, di dalam kekudusan, dan di

dalam keinginan untuk membawa damai.

Yang Miskin di Hadapan Allah

“Berbahagialah orang yang

miskin di hadapan Allah”. Kata “miskin di

hadapan Allah” dalam bahasa Inggris

“blessed are the poor in spirit”

diterjemahkan dari ptwcoi ptokhos dari

kata dasar ptwcoj (ptochos'} yang berarti

miskin. Dalam bahasa Yunani ada dua

kata miskin. “Pertama, penes, yaitu miskin

dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai

banyak harta, hidup sederhana. Kedua,

ptokhos, yaitu miskin dalam arti yang

sangat miskin, miskin tidak mempunyai

apa-apa, apabila tidak ditolong akan mati

kelaparan.”18

Kata ptochos dipakai Yesus

dalam kalimat “miskin di hadapan Allah.”

18James Montgometory Boice.,149

Frasa “di hadapan Allah” menyatakan

“dalam roh” atau “in the spirit.” “Neither

passage uses poor in the general social

meaning. The enlarged form in Matt. The

poor in spirit (hoi ptochoi to pneumati)

bring out the the and Jewish backround of

those who in afflication have confidence

only in God.”19

Orang yang merasa “miskin

secara rohani di hadapan Allah, yang

dikatakan berbahagia, dialah yang

empunya kerajaan sorga, bukan karena ia

miskin, melainkan karena ia merasa tidak

mampu menyelamatkan dirinya, lalu

berseru minta tolong kepada Tuhan, orang

yang demikianlah yang selamat dan

empunya kerajaan sorga.”20

Di sisi lain,

miskin secara rohani adalah orang-orang

yang kosong atau haus secara rohani,

sehingga mengabaikan hal-hal lahiriah

datang mencari Yesus:

To be poor in spirit is not to lack

courage but to acknowledge spiritual

bankruptcy…the kindom of heaven

is not given on the basis of

race,…earned merits, the military

zeal and prowess of Zealots, or the

wealth of a Zacchaeus. It is given to

19Colin Brown (editor), New Testament

Theology Volume 2 (Grand Rapids: Michigan,

1992), 824.

20

David Iman Santoso, Theologi Lukas

Intisari dan Aplikasinya (Malang: Literatur SAAT,

2006), 99.

Page 8: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 8

the poor, the despised publicans, the

prostitutes, those who are so poor

they know they can offer nothing and

do not try. They cry for mercy, and

they alone are heard.21

Kemiskinan tidak membawa

kebahagiaan pada seseorang, “Yesus juga

tidak setuju atas kemiskinan yang dialami

manusia, maka Ia datang untuk

membebaskan dan menyelamatkan.”22

Namun yang Yesus maksudkan miskin

secara rohani di hadapan Allah adalah

orang yang secara rohani kekurangan terus

dan secara naluri akan berseru minta

tolong kepada Allah. Dalam ketekunan

dan keseriusan mencari Yesus sumber

kekayaan rohani, pada saat menemukan

orang tersebut sanagat berbahagia.

Sumber kekayaan rohani hanya ada dalam

Yesus Kristus. Dalam usaha pencarian

yang demikian, Allah yang Mahakasih dan

Mahamurah pasti akan mengaruniakan dari

kerajaan sorga. Mazmur 34:7 menyatakan

“orang yang miskin berseru, dan Tuhan

mendengar, Ia menyelamatkan dia dari

segala kesesakannya.” Dengan demikian,

21D. A. Carson, Matthew in The Expositors

Bible Commentary, vol. 8, Matthew, Mark, Luke

(Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 132.

22

John R.W. Stoot, Isu-Isu Global

Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta:

Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994), 135.

kesadaran akan miskin secara rohani dan

mencari Allah yang merupakan sumber

kekayaan rohani dan segala sesuatu akan

memberikan sepenuhnya.

Kenyataan saat ini, di Indonesia jumlah

orang miskin terus bertambah, termasuk

orang Kristen. Kemiskinan tersebut dalam

harta dan rohani. Kenyataan tersebut

terlihat bertambah banyaknya orang miskin

di jalanan dan kaum cendikia tersandung

kasus korupsi. Berbeda dengan zaman

Yesus, ketika menyampaikan

“berbahagialah orang miskin di hadapan

Allah”. Pada zaman itu keadaan orang

Yahudi betul-betul miskin secara harta,

namun secara rohani mereka kaya.

Sehingga kehadiran pengikut Yesus pada

zaman itu mempengaruhi keadaan menjadi

baik. Keberadaan orang sekarang ini juga

walaupun mungkin miskin secara harta

namun kaya secara rohani, yang akan

memperbaiki keadaan.

Yang Berdukacita

“Berbahagialah orang yang

berdukacita, karena mereka akan dihibur”

(Matius 5:4. Berdukacita diterjemahkan

dari kata penqou/ntej\ penthountes. Kata ini

dipakai untuk menunjukkan kedukacitaan

karena kematian, atau kehilangan orang

Page 9: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 9

yang sangat dicintai, sehingga

menimbulkan ratapan yang dalam. Kata

Yunani penqou/ntej\ – penthountes dari kata

penqou – pentho bisa diterapkan pada

mereka yang berdukacita karena kematian

orang yang dikasihi ataupun karena

penyesalan atas dosa-dosanya. “Karena itu

dukacita yang dimaksud punya makna

sosio-religius yang mendalam. Bukan saja

dukacita karena kehilangan kekasih, tetapi

karena kehilangan Allah atau karya Allah

dalam dirinya terhalang oleh dosa-

dosanya. Berbahagialah orang yang hancur

hatinya karena menyadari dosa-dosanya,

lalu menyesal dan berbalik kembali pada

Allah.”23

Dalam Perjanjian Lama, kata

tersebut dipakai untuk melukiskan

kedukacitaan Yakub ketika percaya bahwa

Yusuf meninggal. “Dan Yakub

mengoyakkan jubahnya, lalu mengenakan

kain kabung pada pinggangnya dan

berkabunglah ia berhari-hari lamanya

karena anaknya itu.”24

Kedukacitaan

seperti itu digambarkan sebagai

kedukacitaan yang mencekam manusia

sedemikian rupa, sehingga tidak dapat

23

http://www.sarapanpagi.org/berbahagiala

h-vt3081.html, 15 Agustus 2011

24

Kej. 37:43

ditutup-tutupi atau disembunyikan. Dalam

situasi yang demikian, sahabat atau orang-

orang yang paling dekat pun, tidak dapat

menghibur. Namun, apabila dengan sadar

dan mengakui bahwa yang terjadi

merupakan rencana dan kehendak Allah,

maka di sana ada penghiburan dari Allah.

Yang berbahagia menurut Yesus

dalam nats di atas ialah orang-orang yang

berdukacita, “bukan orang-orang yang

berdukacita karena dosa, seperti yang

diajarkan oleh para ahli-ahli Taurat. Justru

dalam Injil Matius dikatakan, bahwa dosa

harus dibenci, ditolak, ditinggalkan dan

bukan dijadikan alasan atau sumber

dukacita.”25

Berbahagialah orang yang

mengalami kepedihan karena menyesali

dosa-dosanya dan terus mengharapkan

uluran tangan Allah. Sebab orang itu akan

menemukan belas kasih dan penghiburan

sejati dari Allah. Justru dalam

penderitaannya, banyak orang menemukan

dan menyadari pendampingan dari Allah.

Dengan demikian penghiburan yang

dimaksud adalah penyelamatan dari Allah.

Yesus maksudkan orang-orang

yang bedukcaita di sini sama dengan

25J.L. Ch. Abineneo, Khotbah di Bukit

Catatan-Catatantentang Matius 5-7 (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1996), 16.

Page 10: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 10

orang-orang yang berdukacita yang tahan

berdiri menghadapi kesedihan yang paling

pahit yang dibawa hidup ini. “Pertama,

kesedihan dapat menunjukkan kebaikkan

esensial dari sesama kita. Kedua,

kesedihan yang menunjukkan penghiburan

dan belas kasihan Allah. Justru disaat-saat

kesedihan, menemukan sesamanya dan

Allahnya seperti tidak pernah ia temukan

sebelumnya.”26

Jika semua hanya tahu

hidup dalam keadaan seperti itu. Namun

jika dukacita datang, maka orang jatuh ke

dalam persoalan hidup, dan jika

menerimanya, maka hal itu membuat

keadaan lebih baik. “Berbahagialah orang

yang bertahan dalam pencobaan, sebab

apabila ia sudah tahan uji, ia akan

menerima mahkota kehidupan yang

dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang

mengasihi Dia” (Yak. 1:12).

Yang Lemah Lembut

“Berbahagialah orang yang lemah

lembut, karena mereka akan memiliki

bumi” (Matius 5:5). Kata “lemah lembut”

dalam bahasa Yunaninya “pra|ei/j\

praeis”, dari kata “prau<j praus.” Kata

praus “dipakai untuk binatang yang telah

26David Holdaway, Kehidupan Yesus

(Semarang: Sinode GKMI, 2001), 123.

dapat menerima pengarahan serta kendali

dari tuannya.”27

Berdasarkan makna

ucapan “berbahagialah”, berarti

mempunyai kebiasaan tanggap, mudah

menaati dan kesabaran yang terkendali.

Orang yang berbahagia adalah orang yang

seluruh hidupnya berporos kepada Allah

dan mengendalikan diri sendiri.

Kata lain yang dipakai adalah

”proates”. Kata ini menjelaskan tentang

kerendahan diri, tentang kesediaan

menerima kenyataan bahwa setiap orang

selalu perlu belajar. “Pro ates”

menjelaskan tentang satu-satunya sikap

yang betul dari manusia terhadap Allah,

dengan demikian ucapan berbahagialah

dapat diterjemahkan “berbahagialah orang

yang memiliki kerendahan diri untuk

mengetahui keacuh tak acuhannya sendiri,

kelemahannya sendiri dan keperluan serta

kebutuhannya sendiri.”28

Kelemahanlembutan yang seperti

itulah yang akan mewarisi bumi, demikian

kata Yesus. Sejarah menyatakan bahwa

orang-orang yang berhasil dan menjadi

pembesar adalah orang-orang yang

mengontrol hidup dengan kuat dalam

27William Barcley, Gospel of Matthew

Volume 1 (Edinburgh: The Saint Andrew Press,

1967), 160

28

Barclay, Gospel of Matthew, 16.

Page 11: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 11

kesabaran yang tinggi, tanggap, cekatan,

dan disiplin yang tinggi. Bijaksana dalam

bertindak dan menempatkan diri “Adapun

Musa ialah seorang yang sangat lembut

hatinya lebih dari setiap manusia yang ada

di atas bumi” (Bilangan 12:3). Sepanjang

hidup, Musa dalam menjalankan tugas,

membiarkan diri dikendalikan oleh Allah

sehingga tidak ada alasan baginya untuk

menyombongkan diri atas keberhasilan

yang diperolehnya.

“Berbahagialah orang yang lemah

lembut”, adalah orang memiliki kepekaan

sosial yang tinggi dan ketaatan untuk

melakukan apa saja yang berguna untuk

menyenangkan Tuhan dan sesama

manusia. Sikap lemah lembut ditunjukkan

dalam perbuatan. Suster Teresa karena

panggilan Tuhan ke India untuk menolong

orang-orang sakit kusta, dan anak-anak

terlantar.29

Suster Teresa bahagia

melakukan tugas tersebut, sampai akhir

hidup. Apa yang dilakukan tersebut,

memberi kebahagian bagi banyak orang di

India dan juga menjadi insfirasi

pengabdian banyak orang untuk

melakukan tugas kemanusiaan.

29Charlotte Gray, Bunda Teresa (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1994), 29-30

Yang Lapar dan Haus akan Kebenaran

“Berbahagialah orang yang lapar

dan haus akan kebenaran, karena mereka

akan dipuaskan” (Matius 5:6). Ayat ini

mempunyai persamaan denga ayat 3

“Berbahagialah orang yang miskin di

hadapan Allah, karena merekalah yang

empunya kerajaan sorga.” Orang yang

miskin di hadapan Allah, akan minta

tolong kepada Allah, demikian juga orang

yang lapar dan haus akan kebenaran, akan

merindukan kebenaran itu. Orang yang

lapar dan haus kebenaran akan dipuaskan

tubuh, jiwa, roh dan akhirnya

diselamatkan, diberikan kerajaan sorga.

Kata Yunani dikaiosu,nhn dikaiosunên

bermakna "kebenaran" juga "keadilan",

yang berkenaan dengan apa yang

dikehendaki Allah untuk dilakukan. Baik

dari pengertian luas maupun sempit orang

harus berusaha mencari kebenaran Allah

dan menyatakan kebenaran Allah tersebut.

“Orang yang lapar dan haus akan

kebenaran adalah orang yang selalu

bertanya-tanya tentang apa yang

dikehendaki Allah agar ia lakukan dan

coba membuatnya. Orang seperti itulah

yang akan berbahagia, karena akan

Page 12: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 12

dipuaskan oleh Allah.”30

Allah akan

memberikan apa yang dirindukan dan

memuaskan dengan keselamatan yang

sudah Yesus berikan.

“Orang yang lapar dan haus akan

kebenaran” berarti “suatu kerinduan yang

amat dalam untuk memperoleh kebenaran

pribadi, yang hanya dapat dikerjakan oleh

kebenaran Allah, dengan usaha yang

sungguh-sungguh mencari Allah.”31

“Kelaparan dan kehausan” yang dilukiskan

dalam ucapan berbahagia, bukanlah

kelaparan dan kehausan yang biasa.

Dengan sepotong kue atau segelas air

sudah terobati. Namun kelaparan dan

kehausan yang berlarut-larut, sangat

menyengsarakan dan mencekam, sehingga

segera perlu bantuan makanan dan

minuman yang cukup. Kehausan dan

kelaparan tersebut bukan sekadar makanan

dan minuman, namun kebenaran. Dalam

hal tersebut hanya kebenaran Yesus saja.

Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang

serius dari setiap orang untuk menemukan

kebenaran Kristus, orang yang

demikianlah yang disebut berbahagia.

30Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir

Zaman (Surabaya: Momentum, 2004), 118.

31

The Wycliffe Bible Comementary,

Voleme 3 Tafsiran Perjanjian Baru, editor Charles

F. Pfeiffer & Everett F. Harrison (Malang:

Gandum Mas, 2001), 34.

Melihat prilaku manusia termasuk

orang Kristen saat ini, kecenderungannya

haus dan lapar akan kekuasaan, uang dan

seks bukan akan kebenaran Kristus. Hal

tersebut berdampak pada eksploitasi diri,

sesama, dan alam. Sehingga kebahagiaan

semakin jauh. Seharusnya setiap orang

lebih haus dan lapar akan kebenaran,

supaya mengalami kebahagiaan, yang

diberikan Allah, oleh karena hidup

manusia tidak hanya bergantung pada

makanan, namun dari setiap Firman yang

keluar dari mulut Allah (Matius 4:4).

Sebagaiman manusia hidup haus akan air

dan lapar akan makan, lebih dari itu

seharusnya lapar dan haus akan kebenaran

Allah.

Yang Murah Hati

“Berbahagialah orang yang murah

hatinya, karena mereka akan beroleh

kemurahan” (Matius 5:7). Ayat ini, sama

seperti yang lainnya, bersifat paradox,

sebab orang yang murah hati biasanya

tidak akan dianggap sebagai orang yang

sangat bijak, dan juga tidak akan mungkin

bisa menjadi yang terkaya, namun Kristus

menyebut mereka berbahagia. “Murah

hati” diterjemahkan dari bahasa Yunani

“evleh,monej\” eleemones, yang berasal dari

Page 13: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 13

kata “evleh,mwn” eleemon. Satu sifat yang

dimiliki seseorang “bagaimanapun

keadaannya rela menaruh belas kasihan;

bermurah hati atau berbagi demi kebaikan

orang lain.”32

Dalam Perjanjian Lama, murah hati

banyak dipergunakan, dalam bahasa Ibrani

dikatakan chesedh atau hesed, yang sering

diterjemahkan belas kasihan. Barclay

menggambarkan chesedh ini sebagai “the

ability to get right inside the other persons

skin until we can see things with his eyes,

things with his mind, and feel things with

his feeling.”33

Dalam hal ini, kata yang

mirip dengan chesedh ialah “syimpathy,

yang berasal dari sun dan paschein, yang

artinya meraskan atau menderita

bersama.”34

Artinya yang lebih dalam

adalah murah hati, disatu sisi membuat hati

orang tergerak, di sisi lain membuat tangan

juga bergerak untuk menolong orang yang

memerlukan belas kasiahan.

Menjadi orang yang bermurah hati,

tidak perlu menunggu memiliki kekayaan

32B. F. Drewes, Wilfrid Haubeck &

Heinrich von Seibenthal, Kunci Bahasa Yunani

Perjanjian Baru Kitab Injil Matius-Kisah Para

Rasul (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9

33

William Barcley, Gospel of Matthew

Volume 1 (Edinburgh: The Saint Andrew Press,

1967), 32

34

Santoso, 86

yang berlimpah-limpah, pangkat atau

kedudukan yang tinggi, yang diterima

Allah adalah hati yang bersedia memberi

dan berbagi. Sikap saleh, dermawan,

kerelaan membantu orang-orang yang

kesusahan dan tidak membeda-bedakan

adalah sikap yang dinantikan Yesus dari

setiap orang. Orang yang demikianlah

yang disebut berbahagia. Seperti yang

dilakukan oleh orang Samaria yang murah

hati. Ketika menolong seseorang yang

turun dari Yerusalem jatuh ke tangan

penyamun-penyamun, bukan saja harta

diambil, tetapi dilukai dan ditinggalkan.

Namun, orang Samaria, yang seharusnya

tidak bisa berbicara dan menyentuh orang

tersebut, dengan murah hati orang Samaria

menolong. “Ia membalut luka lukanya…

Kemudian membawanya ketempat

penginapan dan merawatnya… katanya:

Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih

dari ini, aku akan menggantinya, waktu

aku kembali “(Lukas 10:34-35). Kerelaan

menanggung beban orang lain, tanpa

pamrih atau mengharapkan pujian dari

siapapun, hanya untuk menyatakan

kemurahan hati, orang yang demikian

Yesus maksudkan berbahagia.

Menjadi orang yang bermurah hati,

seperti Kristus yang penuh kemurahan hati,

Page 14: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 14

maka orang itu pun menjadi sempurna,

sesuai dengan ukuran pribadi, sama seperti

Dia yang sempurna adanya. Dengan sifat

murah hati, akan mendapat kemurahan dari

Tuhan dan sesama yang tidak disangka-

sangka, sebab “orang yang murah hati

akan mendapat balasan belas kasihan dari

Allah.”35

Yang Suci Hatinya

“Berbahagialah orang yang suci

hatinya, karena mereka akan melihat

Allah” (Matius 5:8). Bahasa Yunanin

yang dipakai dalam nats ini menyatakan

“suci hati” adalah “kaqaroi. th/| kardi,a|

katharoi tê kardia. Kata suci dari kata

“kaqaros” katharos, yang berarti bersih,

murni, dipergunakan kepada kain atau

gandum yang sudah dibersihkan. Arti kata

ini menurut R. Meyer mengacu ke pada

kemurnian hati, sebagai berikut:

The stress on the ritual purity is

accompanied in rabbinic Judaism by

a strong and consistent requirement

of moral purity. We have received

the soul pure from God and must

keep it so. The demand for inner

purity covers the whole life from

such things as speech on the one

hand to the administration of justice

on the other. We are to keep our

mouths from every sin and sanctify

ourselves from all sin and guilt; God

35Henry, Injil Matius 1-11, 166

then gives us the promise of his

enduring presence.”36

Orang yang bersih hatinya adalah orang

yang bermotivasi murni, lurus hati dan

tanpa pamrih dalam bertindak di segala

bidang kehidupan, terutama pengabdian

kepada Allah. Orang yang bersih dan

murni hati, hanya berbuat yang

menyenangkan dan menyelaraskan

kepeinginan dengan Allah. Orang yang

demikian akan melihat Allah. “Melihat

Allah berarti, “akan mengalami atau

merasakan kehadiran Allah yang

memenuhi dirinya. Melihat Allah

merupakan janji eskatologis yang

mencakup keselamatan sejak saat ini

hingga mencapai kepenuhannya di akhir

zaman.”37

Kata yang suci hatinya

menjelaskan, sifat atau perbuatan

seseorang yang didasari dengan sikap hati

yang suci, murni dan teruji oleh waktu dan

keadaan. Sikap tersebut sering dikaitkan

dengan ibadah atau motivasi seseorang

kepada Allah. Dalam Mazmur 24:4-5

36Geoffrey W. Bromiley, Theological

Dictionary of th New Testament (Grand Rapids:

W.B. Eerdmans Publishing Company, 1999), 382.

37

Nicholas P. Wolterstorff, Refleksi

Mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Kristen

Mendidik Untuk Kehidupan (Surabaya:

Momentum, 2007), 253

Page 15: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 15

disebut “bahwa orang yang bersih

tangannya dan murni hatinya yang tidak

menyerahkan dirinya kepada penipuan dan

tidak bersumpah palsu. Dialah yang

menerima berkat dari Tuhan dan keadailan

dari Allah yang menyelamatkan dia.”

Artinya, “dalam hubungan terhadap Tuhan

dan sesama manusia bersih dari segala

kepalsuan.”38

Melakukan dengan hati

yang suci dan murni, tanpa ada unsur

paksaan atau mengharapkan sesuatu dari

manapun juga, hanyalah untuk

menyenangkan Tuhan. Dalam hal ini,

akan nampak kualitas ibadah dan

hubungan dengan sesama. Berbahagialah

orang yang suci hatinya, adalah orang yang

melakukan apa saja, terutama ibadah

kepada Allah, yang tidak kelihatan itu

dengan kesucian dan kemurnian hati. Hal

tersebut akan nampak dari kualitas hidup

setiap hari dalam bermasyarakat.

Orang yang “suci hatinya” ialah

orang yang bersungguh-sungguh

melakukan untuk Tuhan dan sesama

manusia dengan terbuka dan transparan.

Hati termasuk pikiran dan motivasi adalah

murni, tidak tercampur dengan sesuatu

38Malcolm O. Tolbert, Goo News From

Matthew Volume I, (Nashville Tennesse:

Broadman Press, 1975), 34

yang cemar jelek atau tersembunyi.

Kemunafikan dan tipu daya tabu, tidak ada

akal bulus pada orang tersebut. Kesucian

hati, disesuaikan perkataan dan perbuatan.

Jika ada kekurangan atau keterbatasan

dalam diri, secara sukarela menyatakan

dan meminta pengertian dari orang

bersama-sama dengan orang tersebut.

Yang Membawa Damai

“Berbahagialah orang yang

membawa damai, karena mereka akan

disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).

“Membawa damai” dalam bahasa Inggris

“peacemakers” dalam Yunaninya

eivrhnopoioi, “eirênopoioi” yang artinya

sifat yang dimiliki seseorang, kemanapun

atau dimanapun berusaha untuk membawa

dan menciptakan damai, sehingga

dimanpun tidak memiliki musuh namun

memiliki banyak sahabat.

Kata Yunani ειρηνοποιος –

(eirênopoios), "pembawa damai/

peacemaker", berasal dari kata ειρηνη –

(eirênê) , "damai", yang sepadan dengan

kata Ibrani םולש - "SHALOM" dan

muatannya mencakup "segala kenyataan

yang membuat orang dapat menikmati

kebaikan". “Di dalam bahasa Ibrani damai

tidak pernah hanya berarti suatu keadaan

Page 16: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 16

negatif. Damai juga tidak pernah hanya,

tidak adanya persoalan atau kesulitan. Di

dalam bahasa Ibrani “damai atau salam”39

selalu berarti segala sesuatu yang membuat

dan membawa kebaikan bagi manusia.

Kata kerja “membawa damai”

menyatakan sifat Alllah, yang juga

menjadi sifat dasar orang yang

mendengarkan ajaran Yesus. Allah

melalui Yesus Kristus mendamaikan dunia

dengan diri-Nya, melalui penjelamaan

Yesus Kristus menjadi manusia. Ketika

Yesus lahir, sejumlah besar tentara sorga

bersama malaikat menaikkan pujian

“kemuliaan bagi Allah di tempat yang

maha tinggi dan damai sejahtra di bumi di

antara manusia yang berkenan kepada-

Nya” (Lukas 2:14).

Dikatakan orang-orang Kristen

yang membawa damai disebut anak-anak

Allah, karena anak-anak Allah itu sendiri

melakukan apa yang Allah lakukan, yaitu

melaksanakan misi perdamaian. Adalah

wajar apabila seseorang anak melakukan

39Kata damai atau salam adalah kata yang

sama dengan syalom dalam bahasa Ibrani. Kalau

ada orang mengatakan salam kepada sesamanya,

maka orang tersebut tidak hanya bermaksud untuk

mengatakan, bahwa disini tidak ada hal-hal yang

jahat atau menyusahkan. Dengan ucapan

tersebut,orang itu juga menginginkan adanya

kebaikan bagi sesamanya. Abineno, 25

apa yang dilakukan bapa lakukan. Arthur

Pink menyatakan, “to be lover of and work

after peace is one the distinguishing marks

of those who are followers of the Prince of

Peace.”40

Paulus juga menyatakan

“sedapat-dapatnya, kalau hal itu tergantung

padamu, hiduplah dalam perdamaian

dengan semua orang” (Roma 12:18).

Jika dilihat hampir dimana-mana,

ada kerusahan, pertikaian bahkan

peperangan antara suku mapun bangsa.

Anak-anak Tuhan mempunyai tugas

panggilan menciptakan atau membawa

damai. Dimulai dari lingkup yang kecil, di

rumah tangga, gereja, lingkungan atau

masyarakat umum bahkan sampai bangsa-

bangsa. Alangkah baiknya dimapun harus

berusaha dan membuat damai. Damai itu

mahal harganya, perlu pengorbanan waktu

tenaga, pikiran dan dana yang sangat besar,

namun tetap dimulai dari diri masing-

masing.

Orang yang membawa atau

mengupayakan damai itulah yang akan

berbahagia. Dikatakan orang yang

"membawa atau mengupayakan damai"

dan bukan sekadar orang yang "cinta suka

40Arthur Pink, An Exposition of the

Sermon on the Mount (Grand Rapids, Michingan:

Baker Book House, 1974), 35

Page 17: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 17

damai", sebab sering kali terjadi bahwa

orang-orang cinta damai pun malah

bertindak salah yang menimbulkan

kerunyaman clan pertikaian. Misal, orang

cinta damai yang melarikan diri, tidak mau

menghadapi dan menghindari persoalan-

persoalan hidup. Persoalan seperti itu

tidak akan selesai dengan sendirinya, tetapi

tanpa dibereska n, justru akan tumpuk-

menumpu dan menjadi beban berat

kehidupan.

Yang Dianiaya oleh Sebab Kebenaran

Salah satu yang sangat menarik di

dalam diri Yesus adalah kejujuran-Nya

yang tulus. Yesus tidak pernah

membiarkan orang-orang selalu bertanya-

tanya. Yesus memberikan kepastian

tentang apa yang akan terjadi, jika orang-

orang mengikuti-Nya. Sejak awal

pelayanan-Nya, Yesus mengajarkan,

bahwa Ia datang bukan membuat hidup ini

mudah, namun mengajarkan nilai-nilai

kehidupan yang berbeda seperti yang

diajarkan ahli Taurat atau orang Farisi.

Dalam ucapan berbahagia yang terakhir:

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh

sebab kebenaran, karena merekalah yang

empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah

kamu, jika karena Aku kamu dicela dan

dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala

yang jahat. Bersukacita dan

bergembiralah, karena upahmu besar di

sorga, sebab demikian juga telah dianiaya

nabi-nabi yang sebelum kamu" (Matius

5:10-12).

Kata dianiaya yang dipakai dalam

teks Yunani “dediwgme,noi” dediogmenoi

yang berasa dari kata “diw,kw” diooko.

Yang menyatakan seseorang dianiaya

sekarang maupun akan datang oleh karena

sesuatu bukan karena kesalahan sendiri,

namun karena kebenaran. “Kebenaran di

sini harus berarti kelakuan yang benar dan

hanya apabila orang yang dianiaya itu

karena berkelakuan yang benar, ia dapat

disebut berbahagia.”41

Dalam nats

tersebut, bukan penganiayaan itu sendiri

yang dikatakan bahagia, melainkan

penganiayaan oleh sebab kebenaran.

Memang setiap orang yang mau hidup

beribadah di dalam Kristus akan menderita

aniaya, oleh karena berfokus

mengutamakan Allah. Yesus sendiri juga

mengatakan kepada murid-murid: “Kamu

akan dibenci semua orang oleh karena

nama-Ku, tetapi orang yang bertahan

41Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-

Wahyu (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2005),

74

Page 18: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 18

sampai pada kesudahannya ia akan

selamat” (Markus 13:13). Selain itu,

penganiayaan yang dimaksud bukan

sekadar aniaya. Dianiaya oleh karena

kebenaran sama artinya dengan menderita

penganiayaan karena melakukan kehendak

Allah. “Sebab hanya ada satu kebenaran,

yakni apa yang sesuai dengan kehendak

Allah. Orang yang menderita karena

kebenaran itulah yang empunya Kerajaan

Surga. Artinya, orang itu bukan pemilik,

karena pemiliknya Allah, tetapi ia akan

menerima berkat karunia dari Allah yang

meraja.”42

Hidup dalam kebenaran dan

mengikuti teladan Yesus, banyak orang

percaya rela dianiaya. Pada gereja mula-

mula ada banyak tokoh rela mati syahid.

Pada zaman itu, berkembang pandangan

adalah satu kebanggaan apabila mati martir

oleh karena kebenaran. Yohanes

Pembaptis dibunuh oleh raja Herodes

Antipas. Yakobus, saudara Yohanes, mati

syahid dibawah raja Herodes Agripa.

Pengalaman penderitaan adalah satu

kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan

kepada Yesus Kristus. Salah seorang

martir yang sangat terkenal adalah

42Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-

Wahyu,68

Polycarpus, uskup Smirna yang sudah

berusia lanjut. Tuduhan palsu telah

menyeretnya ke hadapan pengadilan

Romawi. Diberi kesempatan untuk

melakukan pilihan, antara

mempersembahkan korban kepada dewa

kaisar atau mati. Polycarpus menjawab:

Selama 86 tahun aku telah melayani

Kristus dan Kristus tidak pernah

berbuat sesuatu yang menyakitkan

aku. Bagimana sekarang aku dapat

menghujat Rajaku yang telah

menyelamatkan diriku itu?

Berdasarkan jawaban tersebut maka

Polycarpus ditusuk dan dipancung di

atas sebuah tiang. Dia berdoa yang

terakhir kali: O Tuhan, Allah yang

Maha Kuasa, Bapa dari Anak-Mu

yang Engakau kasihi dan Engkau

berkati…Aku berterima kasih

kepada-Mu, bahwa Engkau telah

bermurah hati mengajarkan kepadaku

hari-hari dan jam-jam yang sangat

berharga itu…Itulah kesempatan

yang sangat berharga untuk

menyatakan kesetian untuk

menyatakan kebenaran Allah.43

Derita yang dialami seseorang

karena Yesus akan berperan dalam sejarah

penyelamatan. Para nabi adalah orang-

43Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah

Pemikiran Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia.

1990), 70

Page 19: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 19

orang yang telah mengalami penganiayaan

karena nama Allah dan akhirnya

dibenarkan oleh Allah. Walaupun dibenci

dan dicela, para murid Yesus mempunyai

sekutu yang memberi pengharapan akan

upah besar dari Allah. Upah itulah yang

tidak akan diterima oleh orang-orang yang

bersekutu dengan nabi-nabi palsu. Orang-

orang menderita oleh sebab kebenaran,

menderita karena tidak mau berbuat dosa.

Apa pun dalih dan alasan yang dibuat

bahkan penganiayaan, mereka tetap setia

kepada kebenaran, itulah disebut nilai-nilai

yang kekal di belakang penderitaan.

Semakin jelas bahwa bersukacita dalam

penderitaan bukanlah sesuatu yang lazim

bagi dunia44

, tetapi inilah uniknya

pengajaran Yesus di Bukit, suatu ajaran

yang kemudian ditekankan oleh Petrus:

“Tetapi sekalipun kamu harus menderita

juga karena kebenaran, kamu akan

berbahagia. Bersukacitalah sesuai dengan

bagian yang kamu dapat dalam

pendertiataan Kristus…Berbahagialah

kamu, jika kamu dinista karena nama

Kristus.” (I Petrus 3:14, 4:13-14).

Sehingga orang yang demikialah yang

44 Sonny Eli Zaluchu, “Penderitaan Kristus

Sebagai Wujud Solidaritas Allah Kepada Manusia,”

DUNAMIS ( Jurnal Teologi dan Pendidikan

Kristiani ) Vol 2, no. 1 (2017): 61–74.

disebut berbahagia dan memiliki kerajaan

sorga.

PENUTUP

Semua ucapan bahagia dari yang

pertama sampai yang terakhir menjungkir-

balikkan perhitungan manusia (orang

Yahudi pada zaman itu), bahkan pada

zaman sekarang ini. Namun, ucapan-

ucapan tersebut mengandung nilai-nilai

kebahagiaan, yang dibutuhkan manusia

pada zaman sekarang maupun masa akan

datang (kekalan). Melakukan “8 ucapan

berbahagialah” menunjukkan seseorang

memahami makna kata tersebut seta

melakukannya, maka itulah kwalitas hidup

seseorang.

Secara badani melakukan 8

ucapan berbahagia sangat susah, namun

Yesus secara utuh tahu kadar kerohanian

dan kedagingan manusia. Seseorang

mengenal Yesus si pemberi 8 ucapan

berbahagia itu, makaharus meyakini bahwa

Yesus juga memberi kekuatan ekstra untuk

melakukan walaupun seolah-olah

kontradiksi dengan sifat seseorang.

Melakukan 8 ucapan berbahagia,

diperlukan komitmen yang utuh, tidak

berorientasi sepenuhnya pada hidup masa

kini, melainkan hidup masa akan datang.

Page 20: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 20

Setiap orang yang melakukan 8 ucapan

berbahagia adalah paling berbahagia, oleh

karena telah dapat menjaga kesimbangan

hidup, yaitu bersekutu akrab dengan Allah

dan berbuat untuk sesama manusia.

REFERENSI

Abineneo, J.L. Ch. Khotbah di Bukit

Catatan-Catatan tentang Matius 5-

7. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996

Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab

Indonesia, 2010

Barclay, William. Pemahaman Alkitab

Setiap Hari Injil Matius 1-

10.Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2006

________Gospel of Matthew Volume 1.

Edinburgh: The Saint Andrew

Press, 1967

Bromiley, Geoffrey W. Theological

Dictionary of the New Testament.

Grand Rapids: W.B. Eerdmans

Publishing Company, 1999

Brown, Colin (editor), New Testament

Theology Volume 2. Grand

Rapids: Michigan, 1992

Carson, D. A. Matthew. in The Expositors

Bible Commentary, vol. 8,

Matthew, Mark, Luke. Grand

Rapids: Eerdmans, 1984

Drane, John. Memahami Perjanjian Baru

Pengantar Historis Teologis

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Drewes, B. F. Wilfrid Haubeck &

Heinrich von Seibenthal. Kunci

Bahasa

Yunani Perjanjian Baru Kitab Injil

Matius-Kisah Para Rasul. Jakarta:

BPK Gunung Mulia. 2008

Dufour, Xavier Leon. Ensiklopedi

Perjanjian Baru. Yogyakarta:

Kanisius. 1990

Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-

Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi

Bina Kasih/OMF, 1995

F. Arndt, William and F. Wilbur Gingrich.

A Greek-English Lexicon of the

NT

and other Earlier Christian

Literature. Chicago and London:

The University of Chicago Press,

1979

Hoekema, Anthony A. Alkitab dan Akhir

Zaman. Surabaya: Momentum,

2004

Holdaway, David. Kehidupan Yesus.

Semarang: Sinode GKMI, 2001

Iman Santoso, David. Theologi Lukas

Intisari dan Aplikasinya. Malang:

Literatur SAAT, 2006

Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah

Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1990

Leks, Stefan. Tafsiran Injil Matius.

Yogyakarta: Kanisius, 2002

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Baru. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Montgometory Boice, James. An

Expositional Commentary the

Sermon on the Mount. Grand

Rapids: BakerBooks, 2000

Pasca Volume VI, Nomor 4, Oktober,

2009

Pink, Arthur. An Exposition of the

Sermon on the Mount. Grand

Rapids, Michingan: Baker Book

House, 1974

Stot, John R.W. Isu-Isu Global Menantang

Kepemimpinan Kristiani. Jakarta:

Yayasan Komunikasi Bina

Kasih/OMF, 1994

Page 21: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12

ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018

Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 21

Stulos, Volume 10 Nomor 1, April, 2011

http://www.sarapanpagi.org/berbah

agialah-vt3081.html, 15 Agustus

2011

Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-

Wahyu. Jakarta: Yayasan Bina

Kasih/OMF, 2005

Tenney, Merrill C. Survei Perjanjian

Baru.Malang: Gandum Mas, 1992.

Tjandra, Lukas. Latarbelakang Perjanjian

Baru Jilid II. Malang:

Departemen Literatur SAAT, 2000.

The Wycliffe Bible Comementary, Voleme

3 Tafsiran Perjanjian Baru, editor

Charles F. Pfeiffer & Everett F.

Harrison. Malang: Gandum Mas,

2001

Tolbert, Malcolm O. Goo News From

Matthew Volume I. Nashville

Tennesse: Broadman Press, 1975.

Wolterstorff, Nicholas P. Refleksi

Mengenai Pengajaran dan

Pembelajaran Kristen Mendidik

Untuk Kehidupan. Surabaya:

Momentum, 2007

Zaluchu, Sonny Eli. “Penderitaan Kristus

Sebagai Wujud Solidaritas Allah

Kepada Manusia.” DUNAMIS (

Jurnal Teologi dan Pendidikan

Kristiani ) Vol 2, no. 1 (2017): 61–74.