Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 1
Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Baskita Ginting Sekolah Tinggi Teologi Baptis Medan
Abstract Everybody is looking for and the pursuit of happiness in life. In a naked
eyes and to the size of the general public, who gets happy is a man who has
what it takes and fulfilled what is desirable. Seeking happiness tends to
focus on wealth, position, and sex. As a result not a few people, from the
intellectuals and layman trapped, in order to achieve such happiness. Such
happiness is false. To explain happiness in accordance with Bible teaching,
this study used descriptive qualitative method by analyzing the text of the
Bible Matthew 5: 1-12. Based on the facts and results of text analysis,
qualitative research is used to build conclusions about the importance of
obtaining happiness in God through books explaining the key points in
Matthew 5: 1-12. This study concludes that true happiness, is the happiness
that begins with the personal recognition of God, so willing to do what God
says, despite the temporary suffering.
Abstrak Semua orang mencari dan mengejar kebahagiaan dalam hidup ini. Secara
kasat mata dan menjadi ukuran masyarakat umum, yang berbahagia adalah
orang yang memiliki apa yang diperlukan dan terpenuhi apa yang
diinginkan. Kecendrungannya berfokus pada harta, tahta dan sex.
Akibatnya tidak sedikit orang, dari golongan cendikia dan awam terjebak,
demi mencapai kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan demikian adalah semu.
Untuk menjelaskan tentang kebahagiaan sesuai dengan pengajaran Alkitab,
penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
menganalisis teks Alkitab Matius 5:1-12. Berdasarkan fakta dan hasil
analisa teks, penelitian kualitatif digunakan untuk membangun kesimpulan
tentang pentingnya mendapatkan kebahagiaan di dalam Tuhan melalui
buku-buku yang menjelaskan pokok-pokok penting dalam Matius 5:1-12.
Kajian ini menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang sejati, adalah
kebahagian yang diawali dari pengenalan akan Tuhan secara pribadi,
sehingga rela melakukan apa yang Tuhan firmankan, walaupun
menghadapi penderitaan sementara.
Keywords:
Believer; Matthew; belssed
are; happiness
Kata Kunci:
Matius; berbahagialah;
kebahagiaan; orang percaya
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 1, No 1, Juni 2018 (1-21)
ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) http://www.sttbaptis-medan.ac.id/e-journal/index.php/illuminate
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 2
PENDAHULUAN
Secara umum, orang mengukur
kebahagiaan itu berdasarkan apa yang
dilihat mata. Memiliki mobil baru, rumah
baru, jabatan yang tinggi, tersedia apa saja
yang diperlukan atau meraih apa yang
dicita-citakan. Bagi kebanyakan orang,
bahagia searti dengan memiliki ada yang
diinginkan. Akibatnya orang berlomba-
lomba mencapai apa yang diinginkannya,
tanpa mempedulikan proses dan akibatnya
dikemudian hari. Demi kebahagiaan
sementara, budaya malu, santun, dan
mengutamakan orang lain diabaikan.
Yang terjadi hanya mementingkan diri
sendiri, keserakahan dan secara tidak
langsung membuat susah orang lain dan
generasi akan datang.
Mempercakapkan bahagia atau
kebahagiaan berarti berbicara tentang satu
keadaan. Keadaan ini terikat oleh waktu
lampau, sekarang dan masa akan datang,
atau suatu keadaan yang relatif/absolut,
bahkan personal/general. Bahagia menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“keadaan atau perasaan senang dan
tentram bebas dari segala yang
menyusahkan atau keadaan yang
membahagiakan.”1 Bahagia atau
kebahagiaan dari pengertian ini hanya
kepada satu segi, yaitu keadaan yang
membuat bahagia saja, dikatakan
berbahagia. Namun, dalam Matius 5:1-12
pengertian dan makna bahagia, bukan
sekedar yang membuat bahagia saja,
dikatakan berbahagia, justru berbahagialah
orang yang miskin dihadapan Allah, yang
berdukacita, yang lemah lembut, yang
lapar dan haus akan kebenaran, yang
murah hati, yang suci hatinya, yang
membawa damai, dan yang dianiaya
karena kebenaran. Kebahagian tersebut
kebutuhan utama manusia pada masa kini
dan masa akan datang. Bagaimanapun
keberadaan kita, 8 ucapan bahagia tersebut
harus kita lakukan.
Konteks Matius 5:3-12
Injil Matius ditulis oleh Matius,
antara tahun 70-100 SM. Ketika Injil
Matius di tulis, penulis dipengaruhi oleh
keadaan yang berkembang pada saat itu,
dari situasi politik, ekonomi, sosial dan
agama. Secara politik atau pemerintahan,
orang Yahudi ada di bawah kekuasaan
1Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 86
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 3
“kerajaan Romawi.”2 Dari segi ekonomi
dan sosial, orang Yahudi harus bekerja
untuk menunjang kehidupan. “Sama
seperti sekarang perkembangan dan
pelaksanaan ibadah mereka dipengaruhi
oleh keadaan ekonomi yang berlaku pada
saat itu. Pertanian, perindustrian,
keuangan, pendidikan, dan pengangkutan
serta perjalanan mempengaruhi kehidupan
orang Yahudi.”3
Keadaan moral secara umum,
kurang baik, terutama dikalangan ekonomi
menengah ke atas, kebaikkan dikalahkan
dengan keburukan. “Pada saat itu,
kecenderungan masyarakat mengarah
kepada pemuasan hawa nafsu dan
pelanggaran hukum. Nyawa manusia tidak
ada harganya dan pembunuhan sering
terjadi. Perceraian mudah dilaksanakan
2Hampir seluruh dunia berada, kecuali
beberapa kerajaan yang kurang di kenal di Timur
Jauh, berada di bawah kekuasaan Romawi. Dari
samudra Atlantik di sebelah barat hingga sungai
Efrat dan Laut Merah di sebelah timur, dan dari
sungai Rhone, sungai Donou, Laut Hitam serta
pegunungan Kaukus di sebelah utara hingga gurun
Sahara disebelah selatan terbentang sebuah
kekaisaran yang luas di bawah kekuasaan dan
kepemimpinan diktatorial sang kaisar yang disebut
raja (I Petrus 2:17), dan juga Augustus (Lukas 2:1)
dalam Perjanjian Baru.
3Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi
Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 52.
dan pada umumnya dianggap biasa dalam
masyarakat.”4
Dari segi agama, dari kalangan
Romawi maupun orang Yahudi, sudah ada
berabad-abad berbagai agama dan aliran
filsafat. Dikalangan orang Yahudi ada
perhimpunan agama dan partai-partai
Yahudi “imam, orang Farisi, orang Saduki,
ahli Taurat, partai Zelot, orang Herodian,
orang Essen.”5 Aliran Filsafat yang
berkembang “filasafat Socrates, Stoa,
Plato, Aristotels, Epikcuros, Gnostik.”6
Masih banyak aliran agama, filsafat, bidat
dan idiologi-idiologi yang berkembang dan
saling bersaing menawarkan jawaban bagi
masalah-masalah yang dihadapi zaman itu.
Sebagai contoh, pada zaman Yesus,
“hukum-hukum Perjanjian Lama yang
sederhana itu telah dijadikan ruwet dengan
penambahan banyak tafsiran dan
penerapan secara rinci oleh orang ahli
Taurat, orang Farisi dan Saduki yang
legalistik, penuh kemunafikan dan ketidak
4
Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian
Baru. (Malang: Gandum Mas, 1992), 72.
5Uraian tentang agama dan Filsafat yang
mempengaruhi pengajaran Yesus pada zaman
tersebut, dijelaskan dalam buku Latarbelakang
Perjanjian Baru Jilid II, oleh Lukas Tjandra
(Malang: Departemen Literatur SAAT, 2000), 34.
6Tjandra, Latarbelakang Perjanjian Baru,
105-116.
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 4
jujuran dalam ajaran.”7 Akibatnya, agama
dan pemimpin agama, tidak memberi
jawaban kepada umat, pada hal umat sudah
tertekan secara politik, sosial dan ekonomi.
Dengan hadirnya Tuhan Yesus dengan
pengajaran-Nya maka memberi harapan
baru, terutama orang-orang yang miskin
dan tertindas.
Pengajaran Yesus di bukit (Matius
5-7), secara umum dianggab sebagai
pengajaran etika yang paling
komprehensif. Pengajaran tersebut
memberi gambaran yang baik tentang
kedudukan etika dalam masyarakat baru
yang hendak Yesus dirikan. Diawali
dengan penerimaan dan pengakuan Yesus
sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yesus
menyatakan, bahwa ada perbedaan yang
nyata antara kehidupan orang yang
mendengar dan melakukan ajaran Yesus.
Yesus mengajarkan pengikut-Nya
berdasarkan Matius 5-7, harus memiliki
nilai kebahagiaan, nilai kerohanian dan
nilai keteladan. Berkaitan dengan Matius
5:3-12, Yesus mengaharapkan pendengar
dan pengikutnya, walaupun miskin secara
ekonomi, tertekan oleh sosial, politik dan
7John Drane, Memahami Perjanjian Baru
Pengantar HistorisTeologis (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009), 117
agama tidak memberi jawaban atas
kesulitan. Yesus mengajar, agar dapat
berbahagia oleh karena memiliki hubungan
baru dengan Yesus, yang memberikan
kebahagiaan tersendiri walaupun sedang
miskin, tertekan secara sosial dan politik.
Kebahagiaan Menurut Matius 5:3-12
Kata kebahagiaan „μακαριοι„
terdapat 8 kali di dalam Matius 5:3-12
dalam bentuk format: „μακαριοι οί„…
Deklensi dari kata ini adalah nominative
plural adjective dari akar kata „μακαριοs
„yang diartikan sebagai blessed, fortunate,
happy. Kata ini biasanya “in the sense of
priviledged recipient of divine favor of
human beings with a more obvious religion
connotation, as predicative with a subst.
adj, or subst. adj or ptc.”8
Menurut Theologial Dictionary of
the NT - senada dengan pendapat di atas-
kata makarios “is very common, usually in
direct beatitudes. The reference is to
persons, and the macarism, in the third
person consists of a predicative makarios,
then the person, and finally the reason in a
8William F. Arndt and F. Wilbur Gingrich.
A Greek-English Lexicon of the NT and other
Earlier Christian Literature (Chicago and London:
The University of Chicago Press, 1979), 486.
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 5
subsidiary clause.”9 Berdasarkan pendapat
tersebut, kata kebahagiaan dalam Matius
5:3-12, adalah keberadaan manusia yang
berkaitan dengan konotasi rohani, yang
berperan sebagai „predicative‟ dengan
suatu susbtansi adjective.
Dapat diterjemahkan sebagai
“berbahagialah orang-orang yang…”.
Dikaitkan dengan penggunaan yang biasa
dari kata ini (dalam Matius 5:3-12 berlaku
konsep ini) “in the sense of priviledged
recipient of divine favor,” maka
kebahagiaan berkaitan dengan penerimaan
sesuatu anugerah yang istimewa dari
kemurahan hati Allah.” Artinya
kebahagiaan itu adalah anugerah yang
diterima dari Allah. Karena kebahagiaan
ini bersumber dari Allah, maka
kebahagiaan ini tidak tergantung pada hal-
hal duniawi. Artinya seseorang yang telah
menerima anugerah tersebut, dapat
berbahagia di tengah-tengah kesulitan yang
dihadapinya. Jenis kebahagian ini kontras
dengan apa yang dapat diberikan oleh
dunia."10
Menurut Philo:
God alone is blessed, and humans
can know blessedness only as they
9Geoffrey W. Bromiley, Theological
Dictionary of the New Testament (Grand Rapids:
W.B.E. Publishing Company, 1992), 549.
10
Bromiley, Theological Dictionary, 549.
share the divine nature in their
bearing of earthly sorrows and their
philosophical endeavors. Set in the
context of eschatological
salvation…Often there is a contrast
with false happiness…Often, then,
we find sacred paradoxes (Mt. 5:3;
Lk. 6:20). God effects a reversal of
all human value.”11
Kebahagiaan yang sejati bukanlah bagi
orang yang kaya dan aman, tetapi bagi
orang-orang yang miskin, bagi orang-
orang yang dianiaya “who are rich only in
pity, purity, and peace.”12
Berkaitan
dengan kata berbahagia di Matius 5:3-12,
James Montgomery Boice berkomentar
bahwa kata “blessed” means “happy,”
tetapi bukan dalam konsep duniawi -
karena kebahagiaan dari dunia ini bersifat
superfisial yang tergantung kepada situasi-
kebahagiaan yang dibicarakan di sini
adalah kebahagiaan yang tidak tergantung
pada situasi dan memenuhi jiwa dengan
sukacita sekalipun berada di tengah-tengah
keadaan yang sangat sukar.”13
Kebahagiaan yang dialami
seseorang berkaitan dengan waktu, yaitu
masa depan dan masa kini. Stefan Leks,
11 Bromiley, Theological Dictionary, 549.
12
Bromiley, Theological Dictionary, 549.
13
James Montgometory Boice. An
Expositional Commentary the Sermon on the Mount
(Grand Rapids: BakerBooks, 2000), 13-14.
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 6
dalam Tafsiran Injil Matius menjelaskan:
“Yesus menyebut bahagia orang yang saat
ini juga bahagia karena masa depan yang
terbuka bagi mereka. Mereka dapat saja
menderita, tetapi pengalaman derita itu
dicahayakan oleh harapan mengenai apa
yang akan datang. Kebahagiaan itu tak
terpisahkan dari realitas yang dialami masa
sekarang.”14
Yang menjamin kebahagian
masa depan dan masa sekarang adalah
Yesus sendiri, sebab Dia yang menjanjikan
kepada setiap orang yang percaya kepada-
Nya.
Ketika Yesus mengatakan
pernyataan „berbahagialah orang…‟
(Matius 5:3-12), Dia sedang mengatakan
kepada para pendengar-Nya bagaimana
mereka “could be deeply, spiritually, and
profoundly happy and how could maintain
this happiness even in the midst of life‟s
disappointments and hard times.”15
Berkaitan dengan kata „berbahagialah
orang…‟dalam konteks khotbah di Bukit,
“by its own definition Jesus was himself
most happy.”16
Billy Graham berkomentar
tentang hal ini bahwa “if by happiness we
mean serenity, confidence, contentment,
14Stefan Leks, Tafsiran Injil Matius
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 114.
15
James Montgometory Boice, 149.
16
James Montgometory Boice, 149.
peace, joy and soul-satisfaction, then Jesus
was supremely „happy.‟ Kebahagiaan
Yesus tidak tergantung kepada situasi dari
luar. Dia tidak memerlukan suatu stimulus
dari luar diri-Nya untuk membuat Dia
bahagia. Dia telah belajar suatu rahasia
yang membuat Dia hidup di atas segala
jenis situasi dalam hidup dan takut akan
masa depan. “He moved with calmness,
certainty and serenity through the most
trying circumstances-even death!”17
Jika
Yesus adalah orang yang berbahagia dalam
arti rohani seperti konsep di atas, maka
orang yang percaya kepada-Nya juga dapat
berbahagia. Sebab Yesus telah menjadi
sama seperti kita, di dalam segala jenis
penderitaan kita, di dalam pencobaan, di
dalam kekecewaan-supaya kita boleh
hidup sama seperti Dia.
Harus disadari bahwa mendapat
kebahagiaan yang sejati tidak dapat dicari
dengan cara duniawi. Orang duniawi
mendapatkan kebahagiaan adalah pertama,
dengan uang, tetapi nyatanya tidak ada
kebahagian yang sejati di dalamnya;
kedua, mendapatkan kebahagiaan lewat
popularitas, namun popularitas tidak
member jaminan kebahagiaan; ketiga,
17James Montgometory Boice, 149.
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 7
mendapatkan kebahagiaan lewat kekuasaan,
namun kekuasaan juga tidak dapat
memuaskan hati. Untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sejati hanya ada dalam
Yesus Kristus. Tuhan Yesus, mengajarkan
dalam Matius 5:3-12 jalan menuju kepada
kebahagiaan hanya ditemukan di dalam
kemiskinan rohani, di dalam karakter yang
ditandai dengan kelemahlembutan, lapar
dan haus akan kebenaran, di dalam
kemurahan, di dalam kekudusan, dan di
dalam keinginan untuk membawa damai.
Yang Miskin di Hadapan Allah
“Berbahagialah orang yang
miskin di hadapan Allah”. Kata “miskin di
hadapan Allah” dalam bahasa Inggris
“blessed are the poor in spirit”
diterjemahkan dari ptwcoi ptokhos dari
kata dasar ptwcoj (ptochos'} yang berarti
miskin. Dalam bahasa Yunani ada dua
kata miskin. “Pertama, penes, yaitu miskin
dalam arti tidak kaya, tidak mempunyai
banyak harta, hidup sederhana. Kedua,
ptokhos, yaitu miskin dalam arti yang
sangat miskin, miskin tidak mempunyai
apa-apa, apabila tidak ditolong akan mati
kelaparan.”18
Kata ptochos dipakai Yesus
dalam kalimat “miskin di hadapan Allah.”
18James Montgometory Boice.,149
Frasa “di hadapan Allah” menyatakan
“dalam roh” atau “in the spirit.” “Neither
passage uses poor in the general social
meaning. The enlarged form in Matt. The
poor in spirit (hoi ptochoi to pneumati)
bring out the the and Jewish backround of
those who in afflication have confidence
only in God.”19
Orang yang merasa “miskin
secara rohani di hadapan Allah, yang
dikatakan berbahagia, dialah yang
empunya kerajaan sorga, bukan karena ia
miskin, melainkan karena ia merasa tidak
mampu menyelamatkan dirinya, lalu
berseru minta tolong kepada Tuhan, orang
yang demikianlah yang selamat dan
empunya kerajaan sorga.”20
Di sisi lain,
miskin secara rohani adalah orang-orang
yang kosong atau haus secara rohani,
sehingga mengabaikan hal-hal lahiriah
datang mencari Yesus:
To be poor in spirit is not to lack
courage but to acknowledge spiritual
bankruptcy…the kindom of heaven
is not given on the basis of
race,…earned merits, the military
zeal and prowess of Zealots, or the
wealth of a Zacchaeus. It is given to
19Colin Brown (editor), New Testament
Theology Volume 2 (Grand Rapids: Michigan,
1992), 824.
20
David Iman Santoso, Theologi Lukas
Intisari dan Aplikasinya (Malang: Literatur SAAT,
2006), 99.
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 8
the poor, the despised publicans, the
prostitutes, those who are so poor
they know they can offer nothing and
do not try. They cry for mercy, and
they alone are heard.21
Kemiskinan tidak membawa
kebahagiaan pada seseorang, “Yesus juga
tidak setuju atas kemiskinan yang dialami
manusia, maka Ia datang untuk
membebaskan dan menyelamatkan.”22
Namun yang Yesus maksudkan miskin
secara rohani di hadapan Allah adalah
orang yang secara rohani kekurangan terus
dan secara naluri akan berseru minta
tolong kepada Allah. Dalam ketekunan
dan keseriusan mencari Yesus sumber
kekayaan rohani, pada saat menemukan
orang tersebut sanagat berbahagia.
Sumber kekayaan rohani hanya ada dalam
Yesus Kristus. Dalam usaha pencarian
yang demikian, Allah yang Mahakasih dan
Mahamurah pasti akan mengaruniakan dari
kerajaan sorga. Mazmur 34:7 menyatakan
“orang yang miskin berseru, dan Tuhan
mendengar, Ia menyelamatkan dia dari
segala kesesakannya.” Dengan demikian,
21D. A. Carson, Matthew in The Expositors
Bible Commentary, vol. 8, Matthew, Mark, Luke
(Grand Rapids: Eerdmans, 1984), 132.
22
John R.W. Stoot, Isu-Isu Global
Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994), 135.
kesadaran akan miskin secara rohani dan
mencari Allah yang merupakan sumber
kekayaan rohani dan segala sesuatu akan
memberikan sepenuhnya.
Kenyataan saat ini, di Indonesia jumlah
orang miskin terus bertambah, termasuk
orang Kristen. Kemiskinan tersebut dalam
harta dan rohani. Kenyataan tersebut
terlihat bertambah banyaknya orang miskin
di jalanan dan kaum cendikia tersandung
kasus korupsi. Berbeda dengan zaman
Yesus, ketika menyampaikan
“berbahagialah orang miskin di hadapan
Allah”. Pada zaman itu keadaan orang
Yahudi betul-betul miskin secara harta,
namun secara rohani mereka kaya.
Sehingga kehadiran pengikut Yesus pada
zaman itu mempengaruhi keadaan menjadi
baik. Keberadaan orang sekarang ini juga
walaupun mungkin miskin secara harta
namun kaya secara rohani, yang akan
memperbaiki keadaan.
Yang Berdukacita
“Berbahagialah orang yang
berdukacita, karena mereka akan dihibur”
(Matius 5:4. Berdukacita diterjemahkan
dari kata penqou/ntej\ penthountes. Kata ini
dipakai untuk menunjukkan kedukacitaan
karena kematian, atau kehilangan orang
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 9
yang sangat dicintai, sehingga
menimbulkan ratapan yang dalam. Kata
Yunani penqou/ntej\ – penthountes dari kata
penqou – pentho bisa diterapkan pada
mereka yang berdukacita karena kematian
orang yang dikasihi ataupun karena
penyesalan atas dosa-dosanya. “Karena itu
dukacita yang dimaksud punya makna
sosio-religius yang mendalam. Bukan saja
dukacita karena kehilangan kekasih, tetapi
karena kehilangan Allah atau karya Allah
dalam dirinya terhalang oleh dosa-
dosanya. Berbahagialah orang yang hancur
hatinya karena menyadari dosa-dosanya,
lalu menyesal dan berbalik kembali pada
Allah.”23
Dalam Perjanjian Lama, kata
tersebut dipakai untuk melukiskan
kedukacitaan Yakub ketika percaya bahwa
Yusuf meninggal. “Dan Yakub
mengoyakkan jubahnya, lalu mengenakan
kain kabung pada pinggangnya dan
berkabunglah ia berhari-hari lamanya
karena anaknya itu.”24
Kedukacitaan
seperti itu digambarkan sebagai
kedukacitaan yang mencekam manusia
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat
23
http://www.sarapanpagi.org/berbahagiala
h-vt3081.html, 15 Agustus 2011
24
Kej. 37:43
ditutup-tutupi atau disembunyikan. Dalam
situasi yang demikian, sahabat atau orang-
orang yang paling dekat pun, tidak dapat
menghibur. Namun, apabila dengan sadar
dan mengakui bahwa yang terjadi
merupakan rencana dan kehendak Allah,
maka di sana ada penghiburan dari Allah.
Yang berbahagia menurut Yesus
dalam nats di atas ialah orang-orang yang
berdukacita, “bukan orang-orang yang
berdukacita karena dosa, seperti yang
diajarkan oleh para ahli-ahli Taurat. Justru
dalam Injil Matius dikatakan, bahwa dosa
harus dibenci, ditolak, ditinggalkan dan
bukan dijadikan alasan atau sumber
dukacita.”25
Berbahagialah orang yang
mengalami kepedihan karena menyesali
dosa-dosanya dan terus mengharapkan
uluran tangan Allah. Sebab orang itu akan
menemukan belas kasih dan penghiburan
sejati dari Allah. Justru dalam
penderitaannya, banyak orang menemukan
dan menyadari pendampingan dari Allah.
Dengan demikian penghiburan yang
dimaksud adalah penyelamatan dari Allah.
Yesus maksudkan orang-orang
yang bedukcaita di sini sama dengan
25J.L. Ch. Abineneo, Khotbah di Bukit
Catatan-Catatantentang Matius 5-7 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), 16.
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 10
orang-orang yang berdukacita yang tahan
berdiri menghadapi kesedihan yang paling
pahit yang dibawa hidup ini. “Pertama,
kesedihan dapat menunjukkan kebaikkan
esensial dari sesama kita. Kedua,
kesedihan yang menunjukkan penghiburan
dan belas kasihan Allah. Justru disaat-saat
kesedihan, menemukan sesamanya dan
Allahnya seperti tidak pernah ia temukan
sebelumnya.”26
Jika semua hanya tahu
hidup dalam keadaan seperti itu. Namun
jika dukacita datang, maka orang jatuh ke
dalam persoalan hidup, dan jika
menerimanya, maka hal itu membuat
keadaan lebih baik. “Berbahagialah orang
yang bertahan dalam pencobaan, sebab
apabila ia sudah tahan uji, ia akan
menerima mahkota kehidupan yang
dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang
mengasihi Dia” (Yak. 1:12).
Yang Lemah Lembut
“Berbahagialah orang yang lemah
lembut, karena mereka akan memiliki
bumi” (Matius 5:5). Kata “lemah lembut”
dalam bahasa Yunaninya “pra|ei/j\
praeis”, dari kata “prau<j praus.” Kata
praus “dipakai untuk binatang yang telah
26David Holdaway, Kehidupan Yesus
(Semarang: Sinode GKMI, 2001), 123.
dapat menerima pengarahan serta kendali
dari tuannya.”27
Berdasarkan makna
ucapan “berbahagialah”, berarti
mempunyai kebiasaan tanggap, mudah
menaati dan kesabaran yang terkendali.
Orang yang berbahagia adalah orang yang
seluruh hidupnya berporos kepada Allah
dan mengendalikan diri sendiri.
Kata lain yang dipakai adalah
”proates”. Kata ini menjelaskan tentang
kerendahan diri, tentang kesediaan
menerima kenyataan bahwa setiap orang
selalu perlu belajar. “Pro ates”
menjelaskan tentang satu-satunya sikap
yang betul dari manusia terhadap Allah,
dengan demikian ucapan berbahagialah
dapat diterjemahkan “berbahagialah orang
yang memiliki kerendahan diri untuk
mengetahui keacuh tak acuhannya sendiri,
kelemahannya sendiri dan keperluan serta
kebutuhannya sendiri.”28
Kelemahanlembutan yang seperti
itulah yang akan mewarisi bumi, demikian
kata Yesus. Sejarah menyatakan bahwa
orang-orang yang berhasil dan menjadi
pembesar adalah orang-orang yang
mengontrol hidup dengan kuat dalam
27William Barcley, Gospel of Matthew
Volume 1 (Edinburgh: The Saint Andrew Press,
1967), 160
28
Barclay, Gospel of Matthew, 16.
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 11
kesabaran yang tinggi, tanggap, cekatan,
dan disiplin yang tinggi. Bijaksana dalam
bertindak dan menempatkan diri “Adapun
Musa ialah seorang yang sangat lembut
hatinya lebih dari setiap manusia yang ada
di atas bumi” (Bilangan 12:3). Sepanjang
hidup, Musa dalam menjalankan tugas,
membiarkan diri dikendalikan oleh Allah
sehingga tidak ada alasan baginya untuk
menyombongkan diri atas keberhasilan
yang diperolehnya.
“Berbahagialah orang yang lemah
lembut”, adalah orang memiliki kepekaan
sosial yang tinggi dan ketaatan untuk
melakukan apa saja yang berguna untuk
menyenangkan Tuhan dan sesama
manusia. Sikap lemah lembut ditunjukkan
dalam perbuatan. Suster Teresa karena
panggilan Tuhan ke India untuk menolong
orang-orang sakit kusta, dan anak-anak
terlantar.29
Suster Teresa bahagia
melakukan tugas tersebut, sampai akhir
hidup. Apa yang dilakukan tersebut,
memberi kebahagian bagi banyak orang di
India dan juga menjadi insfirasi
pengabdian banyak orang untuk
melakukan tugas kemanusiaan.
29Charlotte Gray, Bunda Teresa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994), 29-30
Yang Lapar dan Haus akan Kebenaran
“Berbahagialah orang yang lapar
dan haus akan kebenaran, karena mereka
akan dipuaskan” (Matius 5:6). Ayat ini
mempunyai persamaan denga ayat 3
“Berbahagialah orang yang miskin di
hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya kerajaan sorga.” Orang yang
miskin di hadapan Allah, akan minta
tolong kepada Allah, demikian juga orang
yang lapar dan haus akan kebenaran, akan
merindukan kebenaran itu. Orang yang
lapar dan haus kebenaran akan dipuaskan
tubuh, jiwa, roh dan akhirnya
diselamatkan, diberikan kerajaan sorga.
Kata Yunani dikaiosu,nhn dikaiosunên
bermakna "kebenaran" juga "keadilan",
yang berkenaan dengan apa yang
dikehendaki Allah untuk dilakukan. Baik
dari pengertian luas maupun sempit orang
harus berusaha mencari kebenaran Allah
dan menyatakan kebenaran Allah tersebut.
“Orang yang lapar dan haus akan
kebenaran adalah orang yang selalu
bertanya-tanya tentang apa yang
dikehendaki Allah agar ia lakukan dan
coba membuatnya. Orang seperti itulah
yang akan berbahagia, karena akan
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 12
dipuaskan oleh Allah.”30
Allah akan
memberikan apa yang dirindukan dan
memuaskan dengan keselamatan yang
sudah Yesus berikan.
“Orang yang lapar dan haus akan
kebenaran” berarti “suatu kerinduan yang
amat dalam untuk memperoleh kebenaran
pribadi, yang hanya dapat dikerjakan oleh
kebenaran Allah, dengan usaha yang
sungguh-sungguh mencari Allah.”31
“Kelaparan dan kehausan” yang dilukiskan
dalam ucapan berbahagia, bukanlah
kelaparan dan kehausan yang biasa.
Dengan sepotong kue atau segelas air
sudah terobati. Namun kelaparan dan
kehausan yang berlarut-larut, sangat
menyengsarakan dan mencekam, sehingga
segera perlu bantuan makanan dan
minuman yang cukup. Kehausan dan
kelaparan tersebut bukan sekadar makanan
dan minuman, namun kebenaran. Dalam
hal tersebut hanya kebenaran Yesus saja.
Oleh sebab itu, diperlukan usaha yang
serius dari setiap orang untuk menemukan
kebenaran Kristus, orang yang
demikianlah yang disebut berbahagia.
30Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir
Zaman (Surabaya: Momentum, 2004), 118.
31
The Wycliffe Bible Comementary,
Voleme 3 Tafsiran Perjanjian Baru, editor Charles
F. Pfeiffer & Everett F. Harrison (Malang:
Gandum Mas, 2001), 34.
Melihat prilaku manusia termasuk
orang Kristen saat ini, kecenderungannya
haus dan lapar akan kekuasaan, uang dan
seks bukan akan kebenaran Kristus. Hal
tersebut berdampak pada eksploitasi diri,
sesama, dan alam. Sehingga kebahagiaan
semakin jauh. Seharusnya setiap orang
lebih haus dan lapar akan kebenaran,
supaya mengalami kebahagiaan, yang
diberikan Allah, oleh karena hidup
manusia tidak hanya bergantung pada
makanan, namun dari setiap Firman yang
keluar dari mulut Allah (Matius 4:4).
Sebagaiman manusia hidup haus akan air
dan lapar akan makan, lebih dari itu
seharusnya lapar dan haus akan kebenaran
Allah.
Yang Murah Hati
“Berbahagialah orang yang murah
hatinya, karena mereka akan beroleh
kemurahan” (Matius 5:7). Ayat ini, sama
seperti yang lainnya, bersifat paradox,
sebab orang yang murah hati biasanya
tidak akan dianggap sebagai orang yang
sangat bijak, dan juga tidak akan mungkin
bisa menjadi yang terkaya, namun Kristus
menyebut mereka berbahagia. “Murah
hati” diterjemahkan dari bahasa Yunani
“evleh,monej\” eleemones, yang berasal dari
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 13
kata “evleh,mwn” eleemon. Satu sifat yang
dimiliki seseorang “bagaimanapun
keadaannya rela menaruh belas kasihan;
bermurah hati atau berbagi demi kebaikan
orang lain.”32
Dalam Perjanjian Lama, murah hati
banyak dipergunakan, dalam bahasa Ibrani
dikatakan chesedh atau hesed, yang sering
diterjemahkan belas kasihan. Barclay
menggambarkan chesedh ini sebagai “the
ability to get right inside the other persons
skin until we can see things with his eyes,
things with his mind, and feel things with
his feeling.”33
Dalam hal ini, kata yang
mirip dengan chesedh ialah “syimpathy,
yang berasal dari sun dan paschein, yang
artinya meraskan atau menderita
bersama.”34
Artinya yang lebih dalam
adalah murah hati, disatu sisi membuat hati
orang tergerak, di sisi lain membuat tangan
juga bergerak untuk menolong orang yang
memerlukan belas kasiahan.
Menjadi orang yang bermurah hati,
tidak perlu menunggu memiliki kekayaan
32B. F. Drewes, Wilfrid Haubeck &
Heinrich von Seibenthal, Kunci Bahasa Yunani
Perjanjian Baru Kitab Injil Matius-Kisah Para
Rasul (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 9
33
William Barcley, Gospel of Matthew
Volume 1 (Edinburgh: The Saint Andrew Press,
1967), 32
34
Santoso, 86
yang berlimpah-limpah, pangkat atau
kedudukan yang tinggi, yang diterima
Allah adalah hati yang bersedia memberi
dan berbagi. Sikap saleh, dermawan,
kerelaan membantu orang-orang yang
kesusahan dan tidak membeda-bedakan
adalah sikap yang dinantikan Yesus dari
setiap orang. Orang yang demikianlah
yang disebut berbahagia. Seperti yang
dilakukan oleh orang Samaria yang murah
hati. Ketika menolong seseorang yang
turun dari Yerusalem jatuh ke tangan
penyamun-penyamun, bukan saja harta
diambil, tetapi dilukai dan ditinggalkan.
Namun, orang Samaria, yang seharusnya
tidak bisa berbicara dan menyentuh orang
tersebut, dengan murah hati orang Samaria
menolong. “Ia membalut luka lukanya…
Kemudian membawanya ketempat
penginapan dan merawatnya… katanya:
Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih
dari ini, aku akan menggantinya, waktu
aku kembali “(Lukas 10:34-35). Kerelaan
menanggung beban orang lain, tanpa
pamrih atau mengharapkan pujian dari
siapapun, hanya untuk menyatakan
kemurahan hati, orang yang demikian
Yesus maksudkan berbahagia.
Menjadi orang yang bermurah hati,
seperti Kristus yang penuh kemurahan hati,
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 14
maka orang itu pun menjadi sempurna,
sesuai dengan ukuran pribadi, sama seperti
Dia yang sempurna adanya. Dengan sifat
murah hati, akan mendapat kemurahan dari
Tuhan dan sesama yang tidak disangka-
sangka, sebab “orang yang murah hati
akan mendapat balasan belas kasihan dari
Allah.”35
Yang Suci Hatinya
“Berbahagialah orang yang suci
hatinya, karena mereka akan melihat
Allah” (Matius 5:8). Bahasa Yunanin
yang dipakai dalam nats ini menyatakan
“suci hati” adalah “kaqaroi. th/| kardi,a|
katharoi tê kardia. Kata suci dari kata
“kaqaros” katharos, yang berarti bersih,
murni, dipergunakan kepada kain atau
gandum yang sudah dibersihkan. Arti kata
ini menurut R. Meyer mengacu ke pada
kemurnian hati, sebagai berikut:
The stress on the ritual purity is
accompanied in rabbinic Judaism by
a strong and consistent requirement
of moral purity. We have received
the soul pure from God and must
keep it so. The demand for inner
purity covers the whole life from
such things as speech on the one
hand to the administration of justice
on the other. We are to keep our
mouths from every sin and sanctify
ourselves from all sin and guilt; God
35Henry, Injil Matius 1-11, 166
then gives us the promise of his
enduring presence.”36
Orang yang bersih hatinya adalah orang
yang bermotivasi murni, lurus hati dan
tanpa pamrih dalam bertindak di segala
bidang kehidupan, terutama pengabdian
kepada Allah. Orang yang bersih dan
murni hati, hanya berbuat yang
menyenangkan dan menyelaraskan
kepeinginan dengan Allah. Orang yang
demikian akan melihat Allah. “Melihat
Allah berarti, “akan mengalami atau
merasakan kehadiran Allah yang
memenuhi dirinya. Melihat Allah
merupakan janji eskatologis yang
mencakup keselamatan sejak saat ini
hingga mencapai kepenuhannya di akhir
zaman.”37
Kata yang suci hatinya
menjelaskan, sifat atau perbuatan
seseorang yang didasari dengan sikap hati
yang suci, murni dan teruji oleh waktu dan
keadaan. Sikap tersebut sering dikaitkan
dengan ibadah atau motivasi seseorang
kepada Allah. Dalam Mazmur 24:4-5
36Geoffrey W. Bromiley, Theological
Dictionary of th New Testament (Grand Rapids:
W.B. Eerdmans Publishing Company, 1999), 382.
37
Nicholas P. Wolterstorff, Refleksi
Mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Kristen
Mendidik Untuk Kehidupan (Surabaya:
Momentum, 2007), 253
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 15
disebut “bahwa orang yang bersih
tangannya dan murni hatinya yang tidak
menyerahkan dirinya kepada penipuan dan
tidak bersumpah palsu. Dialah yang
menerima berkat dari Tuhan dan keadailan
dari Allah yang menyelamatkan dia.”
Artinya, “dalam hubungan terhadap Tuhan
dan sesama manusia bersih dari segala
kepalsuan.”38
Melakukan dengan hati
yang suci dan murni, tanpa ada unsur
paksaan atau mengharapkan sesuatu dari
manapun juga, hanyalah untuk
menyenangkan Tuhan. Dalam hal ini,
akan nampak kualitas ibadah dan
hubungan dengan sesama. Berbahagialah
orang yang suci hatinya, adalah orang yang
melakukan apa saja, terutama ibadah
kepada Allah, yang tidak kelihatan itu
dengan kesucian dan kemurnian hati. Hal
tersebut akan nampak dari kualitas hidup
setiap hari dalam bermasyarakat.
Orang yang “suci hatinya” ialah
orang yang bersungguh-sungguh
melakukan untuk Tuhan dan sesama
manusia dengan terbuka dan transparan.
Hati termasuk pikiran dan motivasi adalah
murni, tidak tercampur dengan sesuatu
38Malcolm O. Tolbert, Goo News From
Matthew Volume I, (Nashville Tennesse:
Broadman Press, 1975), 34
yang cemar jelek atau tersembunyi.
Kemunafikan dan tipu daya tabu, tidak ada
akal bulus pada orang tersebut. Kesucian
hati, disesuaikan perkataan dan perbuatan.
Jika ada kekurangan atau keterbatasan
dalam diri, secara sukarela menyatakan
dan meminta pengertian dari orang
bersama-sama dengan orang tersebut.
Yang Membawa Damai
“Berbahagialah orang yang
membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).
“Membawa damai” dalam bahasa Inggris
“peacemakers” dalam Yunaninya
eivrhnopoioi, “eirênopoioi” yang artinya
sifat yang dimiliki seseorang, kemanapun
atau dimanapun berusaha untuk membawa
dan menciptakan damai, sehingga
dimanpun tidak memiliki musuh namun
memiliki banyak sahabat.
Kata Yunani ειρηνοποιος –
(eirênopoios), "pembawa damai/
peacemaker", berasal dari kata ειρηνη –
(eirênê) , "damai", yang sepadan dengan
kata Ibrani םולש - "SHALOM" dan
muatannya mencakup "segala kenyataan
yang membuat orang dapat menikmati
kebaikan". “Di dalam bahasa Ibrani damai
tidak pernah hanya berarti suatu keadaan
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 16
negatif. Damai juga tidak pernah hanya,
tidak adanya persoalan atau kesulitan. Di
dalam bahasa Ibrani “damai atau salam”39
selalu berarti segala sesuatu yang membuat
dan membawa kebaikan bagi manusia.
Kata kerja “membawa damai”
menyatakan sifat Alllah, yang juga
menjadi sifat dasar orang yang
mendengarkan ajaran Yesus. Allah
melalui Yesus Kristus mendamaikan dunia
dengan diri-Nya, melalui penjelamaan
Yesus Kristus menjadi manusia. Ketika
Yesus lahir, sejumlah besar tentara sorga
bersama malaikat menaikkan pujian
“kemuliaan bagi Allah di tempat yang
maha tinggi dan damai sejahtra di bumi di
antara manusia yang berkenan kepada-
Nya” (Lukas 2:14).
Dikatakan orang-orang Kristen
yang membawa damai disebut anak-anak
Allah, karena anak-anak Allah itu sendiri
melakukan apa yang Allah lakukan, yaitu
melaksanakan misi perdamaian. Adalah
wajar apabila seseorang anak melakukan
39Kata damai atau salam adalah kata yang
sama dengan syalom dalam bahasa Ibrani. Kalau
ada orang mengatakan salam kepada sesamanya,
maka orang tersebut tidak hanya bermaksud untuk
mengatakan, bahwa disini tidak ada hal-hal yang
jahat atau menyusahkan. Dengan ucapan
tersebut,orang itu juga menginginkan adanya
kebaikan bagi sesamanya. Abineno, 25
apa yang dilakukan bapa lakukan. Arthur
Pink menyatakan, “to be lover of and work
after peace is one the distinguishing marks
of those who are followers of the Prince of
Peace.”40
Paulus juga menyatakan
“sedapat-dapatnya, kalau hal itu tergantung
padamu, hiduplah dalam perdamaian
dengan semua orang” (Roma 12:18).
Jika dilihat hampir dimana-mana,
ada kerusahan, pertikaian bahkan
peperangan antara suku mapun bangsa.
Anak-anak Tuhan mempunyai tugas
panggilan menciptakan atau membawa
damai. Dimulai dari lingkup yang kecil, di
rumah tangga, gereja, lingkungan atau
masyarakat umum bahkan sampai bangsa-
bangsa. Alangkah baiknya dimapun harus
berusaha dan membuat damai. Damai itu
mahal harganya, perlu pengorbanan waktu
tenaga, pikiran dan dana yang sangat besar,
namun tetap dimulai dari diri masing-
masing.
Orang yang membawa atau
mengupayakan damai itulah yang akan
berbahagia. Dikatakan orang yang
"membawa atau mengupayakan damai"
dan bukan sekadar orang yang "cinta suka
40Arthur Pink, An Exposition of the
Sermon on the Mount (Grand Rapids, Michingan:
Baker Book House, 1974), 35
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 17
damai", sebab sering kali terjadi bahwa
orang-orang cinta damai pun malah
bertindak salah yang menimbulkan
kerunyaman clan pertikaian. Misal, orang
cinta damai yang melarikan diri, tidak mau
menghadapi dan menghindari persoalan-
persoalan hidup. Persoalan seperti itu
tidak akan selesai dengan sendirinya, tetapi
tanpa dibereska n, justru akan tumpuk-
menumpu dan menjadi beban berat
kehidupan.
Yang Dianiaya oleh Sebab Kebenaran
Salah satu yang sangat menarik di
dalam diri Yesus adalah kejujuran-Nya
yang tulus. Yesus tidak pernah
membiarkan orang-orang selalu bertanya-
tanya. Yesus memberikan kepastian
tentang apa yang akan terjadi, jika orang-
orang mengikuti-Nya. Sejak awal
pelayanan-Nya, Yesus mengajarkan,
bahwa Ia datang bukan membuat hidup ini
mudah, namun mengajarkan nilai-nilai
kehidupan yang berbeda seperti yang
diajarkan ahli Taurat atau orang Farisi.
Dalam ucapan berbahagia yang terakhir:
“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh
sebab kebenaran, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah
kamu, jika karena Aku kamu dicela dan
dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala
yang jahat. Bersukacita dan
bergembiralah, karena upahmu besar di
sorga, sebab demikian juga telah dianiaya
nabi-nabi yang sebelum kamu" (Matius
5:10-12).
Kata dianiaya yang dipakai dalam
teks Yunani “dediwgme,noi” dediogmenoi
yang berasa dari kata “diw,kw” diooko.
Yang menyatakan seseorang dianiaya
sekarang maupun akan datang oleh karena
sesuatu bukan karena kesalahan sendiri,
namun karena kebenaran. “Kebenaran di
sini harus berarti kelakuan yang benar dan
hanya apabila orang yang dianiaya itu
karena berkelakuan yang benar, ia dapat
disebut berbahagia.”41
Dalam nats
tersebut, bukan penganiayaan itu sendiri
yang dikatakan bahagia, melainkan
penganiayaan oleh sebab kebenaran.
Memang setiap orang yang mau hidup
beribadah di dalam Kristus akan menderita
aniaya, oleh karena berfokus
mengutamakan Allah. Yesus sendiri juga
mengatakan kepada murid-murid: “Kamu
akan dibenci semua orang oleh karena
nama-Ku, tetapi orang yang bertahan
41Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-
Wahyu (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2005),
74
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 18
sampai pada kesudahannya ia akan
selamat” (Markus 13:13). Selain itu,
penganiayaan yang dimaksud bukan
sekadar aniaya. Dianiaya oleh karena
kebenaran sama artinya dengan menderita
penganiayaan karena melakukan kehendak
Allah. “Sebab hanya ada satu kebenaran,
yakni apa yang sesuai dengan kehendak
Allah. Orang yang menderita karena
kebenaran itulah yang empunya Kerajaan
Surga. Artinya, orang itu bukan pemilik,
karena pemiliknya Allah, tetapi ia akan
menerima berkat karunia dari Allah yang
meraja.”42
Hidup dalam kebenaran dan
mengikuti teladan Yesus, banyak orang
percaya rela dianiaya. Pada gereja mula-
mula ada banyak tokoh rela mati syahid.
Pada zaman itu, berkembang pandangan
adalah satu kebanggaan apabila mati martir
oleh karena kebenaran. Yohanes
Pembaptis dibunuh oleh raja Herodes
Antipas. Yakobus, saudara Yohanes, mati
syahid dibawah raja Herodes Agripa.
Pengalaman penderitaan adalah satu
kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan
kepada Yesus Kristus. Salah seorang
martir yang sangat terkenal adalah
42Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-
Wahyu,68
Polycarpus, uskup Smirna yang sudah
berusia lanjut. Tuduhan palsu telah
menyeretnya ke hadapan pengadilan
Romawi. Diberi kesempatan untuk
melakukan pilihan, antara
mempersembahkan korban kepada dewa
kaisar atau mati. Polycarpus menjawab:
Selama 86 tahun aku telah melayani
Kristus dan Kristus tidak pernah
berbuat sesuatu yang menyakitkan
aku. Bagimana sekarang aku dapat
menghujat Rajaku yang telah
menyelamatkan diriku itu?
Berdasarkan jawaban tersebut maka
Polycarpus ditusuk dan dipancung di
atas sebuah tiang. Dia berdoa yang
terakhir kali: O Tuhan, Allah yang
Maha Kuasa, Bapa dari Anak-Mu
yang Engakau kasihi dan Engkau
berkati…Aku berterima kasih
kepada-Mu, bahwa Engkau telah
bermurah hati mengajarkan kepadaku
hari-hari dan jam-jam yang sangat
berharga itu…Itulah kesempatan
yang sangat berharga untuk
menyatakan kesetian untuk
menyatakan kebenaran Allah.43
Derita yang dialami seseorang
karena Yesus akan berperan dalam sejarah
penyelamatan. Para nabi adalah orang-
43Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah
Pemikiran Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1990), 70
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 19
orang yang telah mengalami penganiayaan
karena nama Allah dan akhirnya
dibenarkan oleh Allah. Walaupun dibenci
dan dicela, para murid Yesus mempunyai
sekutu yang memberi pengharapan akan
upah besar dari Allah. Upah itulah yang
tidak akan diterima oleh orang-orang yang
bersekutu dengan nabi-nabi palsu. Orang-
orang menderita oleh sebab kebenaran,
menderita karena tidak mau berbuat dosa.
Apa pun dalih dan alasan yang dibuat
bahkan penganiayaan, mereka tetap setia
kepada kebenaran, itulah disebut nilai-nilai
yang kekal di belakang penderitaan.
Semakin jelas bahwa bersukacita dalam
penderitaan bukanlah sesuatu yang lazim
bagi dunia44
, tetapi inilah uniknya
pengajaran Yesus di Bukit, suatu ajaran
yang kemudian ditekankan oleh Petrus:
“Tetapi sekalipun kamu harus menderita
juga karena kebenaran, kamu akan
berbahagia. Bersukacitalah sesuai dengan
bagian yang kamu dapat dalam
pendertiataan Kristus…Berbahagialah
kamu, jika kamu dinista karena nama
Kristus.” (I Petrus 3:14, 4:13-14).
Sehingga orang yang demikialah yang
44 Sonny Eli Zaluchu, “Penderitaan Kristus
Sebagai Wujud Solidaritas Allah Kepada Manusia,”
DUNAMIS ( Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani ) Vol 2, no. 1 (2017): 61–74.
disebut berbahagia dan memiliki kerajaan
sorga.
PENUTUP
Semua ucapan bahagia dari yang
pertama sampai yang terakhir menjungkir-
balikkan perhitungan manusia (orang
Yahudi pada zaman itu), bahkan pada
zaman sekarang ini. Namun, ucapan-
ucapan tersebut mengandung nilai-nilai
kebahagiaan, yang dibutuhkan manusia
pada zaman sekarang maupun masa akan
datang (kekalan). Melakukan “8 ucapan
berbahagialah” menunjukkan seseorang
memahami makna kata tersebut seta
melakukannya, maka itulah kwalitas hidup
seseorang.
Secara badani melakukan 8
ucapan berbahagia sangat susah, namun
Yesus secara utuh tahu kadar kerohanian
dan kedagingan manusia. Seseorang
mengenal Yesus si pemberi 8 ucapan
berbahagia itu, makaharus meyakini bahwa
Yesus juga memberi kekuatan ekstra untuk
melakukan walaupun seolah-olah
kontradiksi dengan sifat seseorang.
Melakukan 8 ucapan berbahagia,
diperlukan komitmen yang utuh, tidak
berorientasi sepenuhnya pada hidup masa
kini, melainkan hidup masa akan datang.
Baskita Ginting: Kebahagiaan Orang Percaya: Refleksi Teologis Matius 5:1-12
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 20
Setiap orang yang melakukan 8 ucapan
berbahagia adalah paling berbahagia, oleh
karena telah dapat menjaga kesimbangan
hidup, yaitu bersekutu akrab dengan Allah
dan berbuat untuk sesama manusia.
REFERENSI
Abineneo, J.L. Ch. Khotbah di Bukit
Catatan-Catatan tentang Matius 5-
7. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2010
Barclay, William. Pemahaman Alkitab
Setiap Hari Injil Matius 1-
10.Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006
________Gospel of Matthew Volume 1.
Edinburgh: The Saint Andrew
Press, 1967
Bromiley, Geoffrey W. Theological
Dictionary of the New Testament.
Grand Rapids: W.B. Eerdmans
Publishing Company, 1999
Brown, Colin (editor), New Testament
Theology Volume 2. Grand
Rapids: Michigan, 1992
Carson, D. A. Matthew. in The Expositors
Bible Commentary, vol. 8,
Matthew, Mark, Luke. Grand
Rapids: Eerdmans, 1984
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru
Pengantar Historis Teologis
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
Drewes, B. F. Wilfrid Haubeck &
Heinrich von Seibenthal. Kunci
Bahasa
Yunani Perjanjian Baru Kitab Injil
Matius-Kisah Para Rasul. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2008
Dufour, Xavier Leon. Ensiklopedi
Perjanjian Baru. Yogyakarta:
Kanisius. 1990
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-
Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 1995
F. Arndt, William and F. Wilbur Gingrich.
A Greek-English Lexicon of the
NT
and other Earlier Christian
Literature. Chicago and London:
The University of Chicago Press,
1979
Hoekema, Anthony A. Alkitab dan Akhir
Zaman. Surabaya: Momentum,
2004
Holdaway, David. Kehidupan Yesus.
Semarang: Sinode GKMI, 2001
Iman Santoso, David. Theologi Lukas
Intisari dan Aplikasinya. Malang:
Literatur SAAT, 2006
Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah
Pemikiran Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1990
Leks, Stefan. Tafsiran Injil Matius.
Yogyakarta: Kanisius, 2002
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Baru. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.
Montgometory Boice, James. An
Expositional Commentary the
Sermon on the Mount. Grand
Rapids: BakerBooks, 2000
Pasca Volume VI, Nomor 4, Oktober,
2009
Pink, Arthur. An Exposition of the
Sermon on the Mount. Grand
Rapids, Michingan: Baker Book
House, 1974
Stot, John R.W. Isu-Isu Global Menantang
Kepemimpinan Kristiani. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1994
ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol 1, No 1, Juni 2018
Copyright 2018, ILLUMINATE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen; ISSN 2622-8998 (print), 2621-7732 (online) | 21
Stulos, Volume 10 Nomor 1, April, 2011
http://www.sarapanpagi.org/berbah
agialah-vt3081.html, 15 Agustus
2011
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-
Wahyu. Jakarta: Yayasan Bina
Kasih/OMF, 2005
Tenney, Merrill C. Survei Perjanjian
Baru.Malang: Gandum Mas, 1992.
Tjandra, Lukas. Latarbelakang Perjanjian
Baru Jilid II. Malang:
Departemen Literatur SAAT, 2000.
The Wycliffe Bible Comementary, Voleme
3 Tafsiran Perjanjian Baru, editor
Charles F. Pfeiffer & Everett F.
Harrison. Malang: Gandum Mas,
2001
Tolbert, Malcolm O. Goo News From
Matthew Volume I. Nashville
Tennesse: Broadman Press, 1975.
Wolterstorff, Nicholas P. Refleksi
Mengenai Pengajaran dan
Pembelajaran Kristen Mendidik
Untuk Kehidupan. Surabaya:
Momentum, 2007
Zaluchu, Sonny Eli. “Penderitaan Kristus
Sebagai Wujud Solidaritas Allah
Kepada Manusia.” DUNAMIS (
Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani ) Vol 2, no. 1 (2017): 61–74.