Upload
doddy-ismunandar
View
166
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan
Citation preview
Draft ke-3, Oktober 2009
Untuk diskusi kalangan internal
Tidak untuk disebarluaskan
KEBIJAKAN UMUM
KETAHANAN PANGAN 2010-2014
DEWAN KETAHANAN PANGAN
JAKARTA (Oktober 2009)
1
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 ini disusun
sebagai penyempurnaan dari KUKP 2005-2009 yang telah dijadikan referensi
berharga oleh para perumus dan pelaksana kebijakan di lapangan, pelaku ekonomi
dan masyarakat madani pada umumnya. Pada intinya KUKP 2010-2014 masih
menggunakan argumen utama yang tidak berubah, bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat
Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
melaksanakan pembangunan nasional. Tujuan pembangunan ketahanan pangan
adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu,
dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang
waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi
inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
KUKP 2010-2014 mempertimbangkan beberapa perubahan yang terjadi
pada tingkat global seperti pergerakan harga-harga pangan strategis, baik sebagai
dampak berantai dari kenaikan harga mi`nyak bumi dunia, sebagai dampak dari
perubahan iklim dan pemanasan global, maupun sebagai dampak dari krisis
finansial global yang mempengaruhi daya beli konsumen miskin, terutama di
negara-negara berkembang. KUKP ini juga mempertimbangkan fenomena dan
dinamika kondisi internal di dalam negeri, seperti perubahan mendasar setting
kebijakan dan aransemen kelembagaan ketahanan pangan pada tingkat daerah,
terutama sebagai konsekuensi dari ketentauan terbaru bahwa ketahanan pangan
adalah urusuan wajib pemerintah daerah. Disamping itu, sebagai konsekuensi
dari implementasi kebijakan dan kesepakatan pimpinan daerah di tingkat provinsi
2
dan di tingkat kabupaten/kota, Indonesia juga sedang berupaya mengembangkan
suatu kebijakan yang mengarah pada satu sasaran strategis tentang “Indonesia
Tahan Pangan dan Gizi 2015”. Beberapa tahun terakhir, cukup banyak kebijakan
khusus baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah yang telah mengarah pada
beberapa fenomena baru dan perubahan mendasar tersebut di atas.
Pada KUKP 2010-2014, secara esensial dapat dikatakan bahwa ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah
desa melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dan bertanggungjawab terhadap
penyelengaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan
memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat.
Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih sangat penting dalam
mencapai ketahanan pangan, walaupun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan
semakin pentingnya fungsi sektor swasta dan kelembagaan pasar. Pemerintah pusat
menentukan arah kebijakan, strategi yang akan ditempuh, dan sasaran yang akan
dicapai menuju tingkat ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat secara
umum. Ketidakjelasan dan keterputusan antara hierarki level politis-strategis,
organisasi, dan implementasi sangat mempengaruhi perjalanan serta kualitas
ketahanan pangan, yang meliputi dimensi ketersediaan, aksesibilitas dan stabilitas
harga, serta utilisasi produk pangan di Indonesia.
Sistem produksi, produktivitas dan efisiensi pada pangan strategis seperti
beras, gula, jagung dan kedelai masih cukup lemah, baik karena faktor musim,
cuaca, serta ketidakpastian lainnya, maupun karena faktor perubahan teknologi yang
tidak sebagus pada dekade 1970 dan 1980an. Sistem produksi pangan yang
demikian, baik di sektor hulu maupun di sektor hilir, ditambah sistem distribusi yang
tidak memberikan balas jasa yang fair di antara pelaku ekonomi dan stakeholders,
3
masih mempengaruhi produktivitas dan penyediaan pangan di dalam negeri.
Produksi beras saat ini mungkin telah mencapai tingkat swasembada dan
kemandirian yang cukup baik karena tingkat ketergantungan kepada pasokan beras
impor tidak terlalu eksesif dan pada waktu tertentu ketika cadangan pangan nasional
tidak mencukupi. Akan tetapi, produksi gula, beras dan jagung justru masih perlu
mengandalkan impor dari pasar dunia karena tingkat produksi dan produktivitas di
dalam negeri masih cukup rendah.
Desentralisasi ekonomi adalah titik tolak untuk memperbaiki kerjasama,
minimal sinergi kebijakan ketahana pangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Sistem organisasi dan enforcement, rasa tanggung jawab
pejabat pusat dan daerah perlu diperbaiki, paling tidak terdapat mekanisme
pengawasan untuk menetapkan prioritas alokasi anggaran pusat dan daerah yang
mampu menunjang pencapaian ketahanan pangan. Misalnya dalam hal kejelasan
pembagian tugas dan tanggung jawab dalam rehabilitasi infrastruktur pertanian
dan pedesaan yang dikenal dengan istilah O&M (operation and maintenance)
jaringan irigasi, saluran drainase, jalan produksi, jalan desa dan tentunya jalan
propinsi, jalan negara dan lain-lain.
1.2 Tujuan Penyusunan
Dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 ini
disusun untuk dapat dijadikan acuan bagi para stakeholders pangan, mulai dari
instansi pemerintah, sektor swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
perguruan tinggi, dan terutama petani, nelayan, industri pengolah, pedagang,
penyedia jasa lain dan masyarakat umum. Secara khsus, dokumen kebijakan yang
disertai rencana aksi pada periode 2010-2014 diharapkan menjadi common
platform bagi para setakholders tersebut di atas tentang peran dan upaya yang
dapat dilaksanakan, dengan siapa bersinergi, serta kapan dan dimana harus
berperan; untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam mewujudkan
4
ketahanan pangan sebagai tujuan bersama. Hal yang tidak kalah pentingnya
adalah bahwa kebijakan umum ini diharapkan menjadi acuan dasar bagi lembaga
pemerintah dan BUMN untuk membangun sinergi, integrasi dan koordinasi,
minimal agar saling informed tentang kegiatan yang dilaksanakannya, dan
maksimal agar mampu mencapai tujuan ketahanan pangan.
1.3 Ruang Lingkup dan Proses Penyusunan
Ruang lingkup dokumen KUKP 2010-2014 ini merupakan penjabaran dari
strategi besar Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, yang
pada saat Draft Kebijakan Umum Ketahanan Pangan ini dibuat, pembahasan
RPJM juga sedang berlangsung. Substansi dan kerangka dasar dalam dokumen
Kebijakan Ketahanan Umum Ketahanan Pangan ini merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budiaya Tanaman, UU 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, PP Nomor 28 Tahun
2004 tentang Keamanan Pangan beserta perangkat peraturan kebijakan di
bawahnya yang tidak bertentangan.
Substansi dasar yang disampaikan dalam dokumen ini adalah aspek
keseimbangan ketahanan pangan, yang meliputi ketersediaan, aksesibilitas dan
stabilitas harga pangan, baik dalam skala rumah tangga, regional wilayah dan
skala nasional. Ketahanan pangan mengalami dinamika dan tantangan baru yang
semakin kompleks seiring dengan beberapa perubahan yang terjadi pada tingkat
global dan dinamika perkembangan ekonomi nasional. Substansi penting lainnya
adalah butir-butir kebijakan umum ketahanan pangan yang terdiri dari 15 elemen
penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan elemen
masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga, tingkat wilayah dan tingka nasional. Matriks agenda aksi yang merupakan
penjabaran rinci dengan target atau sasaran yang jelas dari setiap elemen
5
kebijakan akan menjadi semacam panduang berharga bagi para stakeholders yang
telah disebutkan di atas.
Proses penyusunan dokumen KUKP 2010-2014 dilakukan oleh suatu Tim
Penyusun yang dibentuk oleh Menteri Pertanian selaku Ketua Harian Dewan
Ketahanan Pangan. Tim ini bertugas menyusun konsep awal dokumen kebijakan
melalui penelitian, studi pustaka, diskusi internal dan pertemuan dengan para
stakeholders. Draf awal KUKP 2010-2014 telah dibahas berkali-kali dalam
berbagai diskusi publik, mulai dari pengenalan, perumusan, identifikasi masalah,
prioritisasi kebijakan, langkah aksi, sampai ada “pembagian tugas”dan tanggung
jawab stakeholders. Diskusi publik telah melibatkan unsur lembaga pemerintah,
perguruan tinggi, swasta, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi kemasyarakatan lainnya. Tim perumus mengolah kembali saran dan
masukan dari peserta diskusi publik untuk menyempurnakan subtansi argumen,
alur pembahasan, pemilihan serta susunan kata-kata yang digunakan dalam
penyusunan dokumen KUKP 2010-2014 ini. Tahap terakhir proses ini adalah
diskusi internal instansi pemerintah yang terlibat dalam proses formalisasi
dokumen ini menjadi suatu kebijakan umum yang, jika dimungkinkan, akan
dituangkan dalam suatu Peraturan Presiden (Perpres).
6
BAB 2.
TANTANGAN BARU KETAHANAN PANGAN
Tantangan baru ketahanan pangan lebih banyak diwarnai perubahan yang
demikian cepat terjadi pada lingkungan global, seperti kenaikan harga minyak
bumi yang sangat fluktuatif, peruabahan iklim yang semakin menjadi nyata, serta
beberapa kecenderungan atau respons dari negara-negara produsen pangan yang
cenderung semakin protektif. Pergerakan harga pangan pada tahun 2008 yang
cukup merumitkan, terutama karena harga beberapa komoditas pangan naik tajam
pada semester pertama dan turun tajam pada semester kedua. Pada awal tahun,
hampir semua orang meresahkan lonjakan harga komoditas pangan berlipat-lipat
dan sempat mengganggu stabilitas politik di beberapa negara berkembang.
Kemudian, pada akhir tahun, masyarakat juga resah karena harga-harga produk
pertanian cenderung anjlok. Pada tahun 2009, harga pangan kembali naik secara
perlahan, tapi pasti, walaupun belum menyamai lonjakan harga pada tahun 2008.
Pergerakan dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim lainnya jelas menimbulkan
kejutan yang tidak terduga, yang pasti mengganggu stabilitas dan sinyal-sinyal
insentif yang dimiliki para pelaku.
Semula, banyak analis mengira bahwa “the era of cheap price is over”.
Kesimpulan itu tidak sepenuhnhya salah karena sejak tahun 2008, politik pangan
dan kebijakan pertanian di banyak negara cenderung merupakan respon terhadap
fenomena pergerakan harga pangan yang cukup liar. Namun demikian, pada
semester kedua 2008, beberapa komoditas pangan strategis mengalami kejatuhan
harga yang signifikan, walaupun tidak sedramatis tahun-tahun sebelumnya. Petani
atau pelaku ekonomi lain pasti bekerja berdasarkan ekspektasi – untuk
memperoleh tambahan pendapatan yang lebih tinggi. Apabila ekspektasi positif
ini tidak dapat terpenuhi, maka agak sulit bagi siapa pun untuk berharap bahwa
7
petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian.
Sementara itu konsumen pangan, terutama dari golongan berpenghasilan rendah
semakin sulit untuk menjangkau peningkatan harga-harga pangan, sehingga
sangat mempengaruhi akses dan kualitas konsumsi pangan yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, KUKP 2010-2014 ini dapat dianggap memadai apabila kebijakan
yang dapat menjadi insentif positif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas pangan dan pertanian secara umum.
2.1 Dinamika Ekonomi Pangan Global
Berdasarkan penelusuran beberapa analisis dan literatur yang berkembang,
eskalasi harga pangan strategis yang sangat tinggi diperkirakan mengubah
struktur perdagangan global, bahkan tingkat laku yang ditunjukkan oleh beberapa
reaksi protektif oleh beberapa produsen pangan global. Misalnya, produsen utama
beras dunia seperti Cina, Thailand, Vietnam, India, Indonesia dan lain-lain
ternyata lebih mengutamakan konsumsi di dalam negerinya, dari pada harus
mengekspornya ke pasar global. Tidak secara kebetulan apabila negara-negara
produsen beras ini juga sekaligus konsumen besar beras dunia. Berbeda halnya
dengan Amerika Serikat (AS), yang bukan merupakan konsumen besar beras.
Produksi beras yang dihasilkan di negara bagian California, Hawaii, Louisiana,
dan lain-lain lebih diutamakan untuk tujuan ekspor, sehingga dalam beberapa
tahun terakhir, AS telah menjadi negara eksportir nomor 3 atau 4 terbesar dunia,
bergantian dengan India. Apakah fenomena baru perdagangan dunia ini akan
menjadi insentif bagi Amerika Serikat untuk meningkatkan penguasaan dan
perluasan pangsa pasar beras ke Asia, fakta empiris kelak yang akan
menjawabnya.
Dari beberapa penjelasan di atas, perubahan pola dan struktur perdagangan
komoditas pangan global tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor penting berikut:
(1) fenomena perubahan iklim yang mengacaukan ramalan produksi pangan
8
strategis, (2) peningkatan permintaan komoditas pangan karena konversi terhadap
biofuel, dan (3) aksi para investor (spekulan) global karena kondisi pasar
keuangan yang tidak menentu. Penjelasan singkat dari faktor di atas diuraikan
berikut ini:
Pertama, perubahan iklim telah menimbulkan periode musim hujan dan
musim kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi
pertanian, persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik. Laporan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa setiap
kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius, akan menurunkan produksi pertanian
China dan Bangladesh 30 persen nanti pada tahun 2050. Sulit dilukiskan betapa
dahsyat dampak sosial-ekonomi yang terjadi, misalnya jika tiba-tiba tinggi air laut
meningkat sampai 3 meter. Sekitar 30 persen garis pantai di dunia akan lenyap
pada tahu 2080, dan bencana kekeringan akan menjadi menu sehari-hari di
negara-negara tropis dan sub-tropis. Dalam laporan berjudul “Stern Review on the
Economic of Climate Change”, seorang pakar berkebangsaan Inggris Nicholas
Stern (2006) mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan tentang
dampak pemanasan global. Perubahan iklim bahkan telah dianggap sebagai salah
satu kontributor pada laju eskalasi harga pangan dan pertanian saat ini, karena
telah mengakibatkan gangguang besar pada sistem produksi pangan.
Kedua, kenaikan harga minyak dunia sejak 2007 itu sempat melonjakkan
harga-harga pangan secara dramatis, seperti yang terjadi pada pangan strategis
seperti gandum, beras, daging, dan susu. Sebagian besar negara yang memeliki
sumberdaya alam agak berlimpah, saat ini sedang mengembangkan bahan bakar
biologi (biofuels), yang juga telah mendorong permintaan terhadap minyak nabati
dunia menjadi meningkat pesat. Kebijakan pengembangan biofuel di negara-
negara maju (dan negara-negara berkembang) telah menyebabkan perubahan
fokus pemanfaatan komoditas pangan dan pertanian, tidak hanya untuk memenuhi
9
kebutuhan pangan, tapi juga untuk memenuhi energi. Misalnya, suatu Laporan
yang dipublikasi oleh International Institute for Sustainable Development (IISD,
2007) menyebutkan bahwa Amerika Serikat mengeluarkan anggaran US$ 7
milliar untuk mendukung pengembangan etanol, yang sekaligus telah
mengkonversi 20 persen dari produksi jagung di dalam negerinya, dan
diperkirakan akan naik menjadi 32 persen pada tahun 2016. Uni Eropa juga telah
mentargetkan 10 persen dari konsumsi bahan bakar di sektor transportasi pada
tahun 2020 akan berasal dari biofuel. Target yang lebih besar juga dicanangkan
oleh Amerika Serikat, yaitu 36 miliar galon konsumsi bahan bakar biofuel pada
tahun 2022. Akibat berikutnya, harga dunia komoditas minyak dan lemak yang
dapat digunakan untuk energi menjadi meningkat tajam, bahkan ketika harga-
harga pangan lain cenderung menurun.
Ketiga, kecenderungan melonjaknya nilai investasi (spekulasi) komoditas
pangan di pasar komoditas global, dibandingkan dengan pasar keuangan global
yang sedang diliputi ketidakpastian. Walaupun masih harus dicermati dalam
rentang waktu yang agak panjang, namun beberapa kejadian akhir-akhir ini
merupakan bukti-bukti awal dari pergeseran fokus perdagangan komoditas global.
Faktor melesunya pasar keuangan global atau bursa saham di pasar-pasar besar
dunia, serta melemhanya nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain di dunia,
juga ikut mempengaruhi keputusan para investor yang mulai meminati pasar
komoditi global. Dalam istilah pasar keuangan global, fenomena saat ini juga
dikenal sebagai low inventory stocks, yang sekaligus menunjukkan terjadinya
tingkat volatilitas pasar yang sangat tinggi. Akibatnya, tingkat harga pangan di
pasar global menjadi ”tersandera” oleh keputusan segelintir investor (spekulan)
skala besar, yang sebenarnya tidak mencerminkan prinsip-prinsip klasik
perdagangan, yang berdasar pada perbedaan keuntungan komparatif dalam
memproduksi komoditas pangan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa akan
10
sangat berisiko tinggi apabila perdagangan pangan, hanya digantungkan pada
pasar keuangan dan pasar komoditas global, yang pasti menimbulkan dampak
ketidakmerataan dan ketimpangan yang mengkhawatirkan.
Implikasi lain dari perubahan pola dan struktur perdagangan global saat ini
adalah semakin berkembangnya strategi intervensi yang dilakukakan oleh negara
dalam rangka stabilisasi harga pangan. Di tingkat akademik, kontroversi lama
tentang suatu dampak distortif dari kebijakan intervensi pasar masih akan
berlanjut, walaupun tidak akan sekeras perdebatan pada era 1980-an. Kutub
perbedabatan mungkin akan bergeser, tidak hanya antara ekonom arus tengah
(neoklasik) dan ekonom yang menekankan pada perencanaan sentralistik. Kini,
perdebatan itu disemarakkan oleh semakin berkembangnya mazhab teori ekonomi
kelembagaan yang menekankan pada kebekerjaan (workability) dari suatu
intervensi yang dilakukan negara. Terlebih lagi, ekonom yang semula berada
pada kutub arus tengah, kini mulai lebih realistis dengan mulai menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi kelembagaan dengan karakter keteraturan aturan main,
pengelolaan biaya transaksi, serta interaksi antara keputusan ekonomi dan
keputusan non-ekonomi yang lebih bervisi pada keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.
Pada intinya, kutub arus tengah sampai sekarang masih konsisten menolak
keras campur tangan pemerintah dalam stabilisasi harga beberapa bahan pangan,
terutama dalam rentang jangka panjang. Argumen yang dikemukakan kutub ini
adalah bahwa manfaat yang dapat dipetik dari tindakan upaya stabilisasi harga
umumnya sangat kecil, bahkan negatif. Biaya transaksi (transaction cost) yang
ditimbulkan oleh upaya intervensi pemerintah tersebut ternyata sangat besar
Korupsi kronis yang senantiasa menyertai strategi stabilisasi harga bahan pangan
di kebanyakan Dunia Ketiga adalah salah satu bentuk biaya transaksi yang harus
ditanggung masyarakat luas. Bahkan, beberapa kelompok kepentingan (vested
11
interest) yang selalu melingkupi proses perumusan kebijakan intervensi negara
tersebut justru memanfaatkannya bukan untuk tujuan implementasi stabilisasi
harga semata, melainkan untuk kepentingannya sendiri. Menariknya, tidak sedikit
dari ekonom arus tengah ini yang melihat betapa pentingnya suatu langkah
stabilisasi harga bahan pangan yang harus ditempuh pemerintah. Misalnya, pada
tahap awal ekonomi pembangunan, beberapa ekonom menolak tegas simplifikasi
dan kesalahan persepsi para ekonom arus tengah di atas, terutama tentang betapa
pentingnya arti stabilitas harga bahan pangan pada bangsa-bangsa Asia. Di
Indonesia, argumen pentingnya stabilisasi inilah yang menjadi falsafah utama
kebijakan harga dasar gabah dan harga atap beras, serta sebagai justifikasi
pendirian lembaga logistik nasional, yang kini menjadi Perum Bulog. Telah cukup
banyak studi yang menunjukkan bahwa stabilisasi harga bahan pangan sangat erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, terutama dari perspektif makro.
Ketika pangsa perdagangan komoditas pangan global semakin banyak
dikuasai oleh negara-negara maju, dalam hal ini Amerika Utara dan Eropa Barat,
maka negara-negara berkembang, yang sebagian besar juga masih miskin,
menjadi sangat tergantung pada pasokan pangan global. Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia dan Asia pada akhir 1990-an telah memberikan pelajaran
berarti bahwa liberalisasi perdagangan pangan bukanlah resep mujarab yang
mampu menjawab persoalan fluktuasi dan stabilisasi harga pangan, apalagi jika
dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Atas saran untuk
melakukan reformasi ekonomi dan keuangan yang ditawarkan oleh lembaga
keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, Indonesia pernah mencoba
melakukan liberalisasi perdagangan pangan, termasuk menghilangkan tarif impor
dan bea masuk beras dan beberapa komoditas strategis sampai 0 persen. Akibat
yang paling mencolok adalah bahwa pasca liberalisasi kebijakan pangan tersebut,
tingkat harga beras sebagai pangan pokok menjadi lebih berfluktuatif. Stabilisasi
12
harga yang dihipotesiskan oleh IMF dan Bank Dunia akan tercipta setelah pasar
pangan domestik terhubung dengan pasar global, ternyata sulit terbukti di
lapangan. Lembaga-lembaga internasional yang bervisi arus tengah dan juga
liberal tersebut– sehingga sering disebut neoliberal – nampak tidak terlalu
memahami lebih dalam tentang persoalan struktural yang melingkupi
perdagangan komoditas pangan strategis di Indonesia.
Menariknya, banyak ekonom arus tengah yang juga menjadi bagian tidak
terpisahkan dari poses globalisasi dan perdagangan bebas komoditas pangan, kini
bahkan mengkritik keras pendekatan dan paradgima yang diusulkan lembaga
keuangan global tersebut. Sebaliknya pula, para ekonom yang sebelumnya secara
konsisten menganjurkan intervensi pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga
pangan serta mempertahankannya secara konsisten, kini justru menjadi pengkritik
terdepan tentang kebijakan stabilisasi tersebut. Di Indonesia dan negara
berkembang lain, pangan merupakan bagian terbesar dari komponen konsumsi
penduduk, fluktuasi harga pangan yang sangat tinggi dapat mengganggu stabilitas
kehidupan ekonomi yang tentu saja sangat mempengaruhi kinerja pertumbuhan
ekonomi. Upaya pemerintah dalam stabilisasi harga pangan dianggap masih
cukup relevan, setidaknya sampai tercipta suatu fase di mana pangsa pengeluaran
terhadap bahan makanan tidak lagi menjadi bagian yang sangat dominan.
2.2 Penyediaan Pangan Strategis
Krisis finasial global sekarang ini terasa lebih berat bagi ekonomi
Indonesia karena bersamaan dengan lonjakan harga minyak bumi dunia, fluktuasi
harga pangan yang luar biasa tinggi, fenomenal perubahan iklim yang
mengacaukan ramalan produksi, serta variabilitas cuaca yang semakin tidak
bersahabat. Pada tingkat makro global, mungkin saja krisis finansial menjadi
salah satu pemicu percepatan pergeseran kekuatan ekonomi global dari negara-
negara maju ke arah negara-negara berkembang progresif atau yang lebih dikenal
13
dengan “new emerging markets”. Akan tetapi, pada bidang pangan dan pertanian,
posisi negara-negara berkembang yang notabene memiliki jumlah penduduk lebih
besar dari negara-negara maju, masih belum dapat melepaskan diri dari
permasalahan struktural dalam sistem produksi dan konsumsi, ketahanan pangan,
kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi, saat
ini terdapat kecenderungan di antara negara-negara berkembang untuk semakin
mementingkan urusan pangan di dalam negerinya sendiri, bahkan dengan
menerapkan strategi proteksi yang cenderung berlebihan.
Di tingkat global, produksi beras sebenarnya tidaklah terlalu buruk, walau
memang sedang mengalami stagnansi atau pelandaian (leveling-off) karena
peningkatan produksi lebih banyak hanya mengandalkan pertambahan areal
panen. Produksi beras global diperkirakan sekitar 643 juta ton pada tahun 2007.
Angka tersebut juga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produksi beras 581
juta ton pada tahun 2006 atau dari perkiraan Food Outlook FAO sebelumya pada
edisi Juni 2007. Kenaikan produksi di India, Myanmar dan Indonesia diperkirakan
cukup signifikan untuk meningkatkan produksi beras dunia tahun 2007.
Persoalan menjadi agak kompleks ketika produktivitas beras rata-rata dunia nyaris
tidak bertambah pada beberapa tahun terakhir dan tercatat hanya 4,1 ton per
hektar. Maknanya, betapa rendahnya tingkat perubahan teknologi, aplikasi benih
baru dan teknologi lain di sektor pangan pokok ini.
Ancaman krisis pangan di belahan bumi lain bahkan lebih menakutkan,
terutama karena pertambahan penduduk, pemanasan global dan ketidakpastian
iklim serta ancaman ekologis karena keterlambatan adaptasi dan mitigasi
peruabahan iklim. Menurut laporan Program Pangan Dunia (2008), sebanyak 57
negara (29 di Afrika, 19 di Asia dan 9 di Amerika Latin) juga terkena terpaan
banjir dan bencana ekologis yang menakutkan. Di pihak lain, bencana kekeringan
dan gelombang panas juga melanda beberapa tempat di Asia, Eropa, Cina,
14
Mozambik dan Uruguay. Di Australia, yang menjadi salah satu produsen gandum
dunia, bencana kekeringan tahun 2007 lalu telah menurunkan produksi gandum
sekitar 40 persen atau 4 juta ton. Tidak heran jika kondisi suplai gandum dunia
agak terganggu dan melonjakkan harga gandum di pasar global. Laporan WFP
tersebut juga menyebutkan bahwa sekitar 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam
kelaparan. Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun,
sehingga kenaikan harga pangan dunia saat ini benar-benar di luar jangkauan
mereka dari kelompok lapis paling bawah tersebut. Inilah tantangan paling besar
bagi siapa pun yang peduli tentang ekonomi pangan dan pencapai Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG).
Di dalam negeri, ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan yang
semakin kompleks karena beberapa kecenderungan global di atas, musim
kemarau panjang tahun ini yang diperkirakan menurunkan produksi pangan
strategis. Pencapaian Indonesia dalam peningkatan produksi pangan pokok
(beras) mungkin perlu diapresiasi, sekalipun masih terdapat kontroversi statistik
dan metode penghitungan. Badan Pusat Statistik (BPS) meramalkan produksi
beras 2009 mencapai 62,6 juta ton gabah kering giling (GKG), atau meningkat
3,71 persen dari 60,3 juta ton produksi tahun 2008. Apabila karena kemarau
panjang, ramalam produksi beras tahun ini diperkirakan sama dengan tahun lalu,
hal itu berarti terdapat potensi kenaikan produksi 2,3 juta ton padi, sesuatu yang
tidak dapat diabaikan begitu saja.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah
memprediksi musim kering tahun ini akan terjadi sampai sampai Januari 2010,
dan hampir seluruh wilayah di Indonesia mengalami anomali cuaca yang merata.
International Research Institute for Climate and Society (IRI) Columbia
University (New York) menyebutkan bahwa peluang kekeringan pada bulan Juli,
Agustus dan September (JAS) 2009 mecapai 82 persen. Variabel yang diukur
15
dari ENSO Forecast (El-Nino Southern Oscillation) untuk daerah NINO 3.4
(Indonesia dan sekitarnya) tersebut masih tetap tinggi, berkisar 80 persen sampai
dengan Februari, Maret, dan April 2010 (FMA 2010). Musim basah baru terjadi
Maret, April, Mei 2010 (MAM 2010). Musim kering tahun ini serasa lebih
menyengat karena terjadi bersamaan dengan dampak fenomena moda positif di
Samudra Hindia atau dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD). Konsep
penelitian model variasi iklim yang dikembangkan Japan Agency for Marine-
Earth Science and Technology (JAMSTEC) telah menjelaskan gejala cuaca
abnormal atau perubahan iklim global saat kekeringan hebat tahun 1997.
Minimnya uap air di atas Indonesia dan sekitarnya karena fenomena anomali
cuaca di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia telah menjadi catatan sejarah rekor
buruk impor beras Indonesia yang mencapai 5,8 juta ton tahun 1998.
Produksi bahan pangan penting menunjukkan kecenderungan peningkatan,
kecuali kedelai yang mengalami penurunan sejak dekade 1990an. Pada tahun
2009 ini, produksi jagung diramalkan 17 juta ton, terutama karena peningkatan
luas panen di Propinsi Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, Lampung,
dan Sumatera Utara. Angka tersebut memang masih belum mampu mencapai
target swasembada jagung, yang seharusnya telah tercapai sejak tahun 2007,
karena Indonesia masih harus memenuhi konsumsi jagung dari pasar impor. Hal
yang agak positif adalah bahwa penggunaan benih unggul jagung hibrida,
terutamabuah hasil bioteknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, peningkatan
produksi jagung hibrida juga sekaligus mampu mendukung sektor peternakan
karena industri pakan ternak ikut tumbuh pasca stagnansi yang cukup serius pada
puncak krisis ekonomi. Membaiknya produksi jagung domestik sedikit membantu
mengurangi ketergantungan sektor peternakan kecil terhadap pakan impor, dan
sempat memberikan ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi. Akan tetapi,
16
karena laju konsumsi jagung yang tumbuh lebih cepat, Indonesia masih harus
mengandalkan jagung impor dalam jumlah yang cukup signifikan.
Tabel 1. Kinerja Produksi Pangan Strategis Indonesia, 2006-2009
2006 2007 2008 2009
Padi
Luas Panen (ha) 11.786.430 12.147.637 12,299,391 12,668,989
Produktivitas (ton/ha) 4.62 4.71 4.89 4.94
Produksi (ton GKG) 54.454.937 57.157.435 60.325.925 62.561.146
Jagung
Luas Panen (ha) 3.345.805 3.630.324 4.001.724 4.096.838
Produktivitas (ton/ha) 3.47 3.66 4.08 4.16
Produksi (ton pipilan kering) 11.609.463 13.287.527 16.317.252 17.041.215
Kedelai
Luas Panen (ha) 580.534 459.116 590.956 701.392
Produktivitas (ton/ha) 1.29 1.29 1.31 1.32
Produksi (ton biji kering) 747.611 592.381 775.710 924.511
Gula (Tebu)
Luas Panen (ha) 384.000 395.000 410.000 415.000
Produktivitas (ton hablur/ha) 5.90 6.08 6.20 6.26
Produksi (ton gula) 2.266.900 2.401.600 2.542.000 2.840.000
Sumber: Produksi padi, jagung dan kedelai dari BPS, terakhir Aram 2 Juli 2009
Kinerja produksi gula dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI), 2008
Produksi kedelai tahun 2009 diperkirakan mendekati 701 ribu ton biji
kering, suatu peningkatan signifikan dibandingkan angka produksi tahun 2008
yang hanya tercatat 590 tibu ton (Tabel 1). Namun demikian, kinerja produksi
beberapa tahun terakhir adalah penurunan permanen dari angka produksi di atas
1,5 juta ton pada awal 1990an. Saat ini agak sulit meyakinkan petani Indonesia
untuk kembali menanam kedelai ketika tingkat permintaan terhadap kebutuhan
pokok seperti beras dan komoditas bernilai timbah tinggi lain semain meningkat.
Hal ini terlihat dari penurunan areal panen kedelai yang cukup signifikan, yaitu 20
persen. Pada dekade 1980an, Indonesia melaksanakan suatu program sistematis
untuk meningkatkan produksi dan produktivitas palawija, tidak hanya sebagai
sumber tambahan pendapatan petani, tapi juga untuk meningkatkan kualitas dan
17
kesuburan tanah. Secara agronomis, tanaman dari kelompok legum (kacang-
kacangan) mampu mengikat Nitrogen dari udara, sehingga mengurangi biaya
penggunaan pupuk kimia buatan. Namun demikian, peluang tersebut tidak dapat
dimanfaatkan secara baik di Indonesia. Produktivitas kedelai di Indonesia hanya
1,28 ton/ha atau setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri, seperti di
Brazil, Argentina dan Amerika Serikat.
Produksi gula pada tahun 2009 ini diperkirakan mencapai 2,84 juta ton
(Tabel 1) sehingga tercapainya swasembada gula konsumsi masyarakat dapat
tercapai. Definisi “gula konsumsi” sengaja digunakan oleh pemerintah untuk
memperhalus pencapaian target swasembada, atau untuk membedakan dengan
“gula industri”, yang masih dilakukan oleh industri gula rafinasi mengandalkan
bahan baku impor gula mentah. Apakah target swasembada gula tersebut tercapai
atau tidak, nampaknya masih menarik untuk diterlusuri secara mendalam karena
tingkat konsumsi gula yang meningkat pesat. Saat ini konsumsi gula rata-rata di
Indonesia mencapai lebih dari 12 kg per kapita per tahun, terutama karena
pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pendapatan masyarakat (baca:
pertumbuhan ekonomi) Indonesia. Konsumsi gula industri diperkirakan sekitar
2,15 juta ton, terdiri dari 1,1 juta industri besar dan 1,05 juta ton industri kecil dan
usaha kecil menengah (UKM), sehingga total konsumsi gula di Indonesia
diperkirakan 4,85 juta ton atau lebih. Nampaknya, akurasi prediksi dan statistik
produksi dan konsumsi gula mengalami persoalan yang sama peliknya dengan
statistik beras dan beberapa pangan strategis lain. Aplikasi teknologi produksi,
teknik budidaya, serta sensitivitas usahatani tebu (lahan basah) terhadap fenomena
perubahan iklim juga dapat menjelaskan fluktuasi produksi tebu di Indonesia.
Pada skala tebu rakyat, persoalan teknik keprasan yang berulang sampai belasan
kali juga menjadi masalah tersendiri karena insentif pendanaan pembongkaran
ratoon cukup pelik untuk dapat dicerna petani tebu. Disamping itu, basis
18
usahatani tebu semakin tergeser oleh komoditas lain, terutama padi, palawija dan
hortikultura yang menghasilkan pendapatan ekonomi tinggi berlipat.
Sebenarnya, Indonesia memiliki potensi swasembada gula, walaupun
terdapat kecenderungan persaingan penggunaan lahan antara padi dan gula,
karena kedua tanaman memerlukan jenis tanah dan iklim yang mirip. Titik
sentral persoalannya adalah apakah segenap energi bangsa dan wisdom dalam
mengambil keputusan intervensi kebijakan dapat saling mendukung dengan target
swasembada gula tersebut. Sekali lagi, persoalan utama bukan terletak pada
positioning apakah Indonesia harus protektif atau liberal dalam pengembangan
“industri” gulanya. Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat
diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku,
mulai dari petani, pedagang, pengolah dan konsumen. Termasuk di sini adalah
intervensi dan keputusan impor, beserta perlakuannya yang sangat mencolok
antara importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT).
Dalam konteks inilah maka, intervensi kebijakan atau pemihakan pada
sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian
swasembada gula. Rekonstruksi basis produksi dalam sistem usahatani tebu, serta
peningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis pabrik-pabrik gula yang ada di
Indonesia menjadi hampir mutlak untuk mencapai tujuan swasembada gula yang
lebih beradab. Kedua aspek ini perlu dibenahi secara bersamaan karena tidak
mungkin berharap peningkatan efisiensi pabrik gula apabila kualitas rendemen
gula dalam tebu petani ternyata sangat rendah, yaitu sekitar 7 persen lebih sedikit.
Dalam kondisi biasa-biasa saja, mustahil berharap peningkatan produksi dan
produktivitas tebu apabila insentif harga beli demikian rendah karena pabrik gula
telah menderita inefisiensi teknis dan ekonomis. Lebih buruk lagi, dukungan
permodalan dari sektor perbankan dan lembaga non-bank lain cukup lemah,
sehingga lengkaplah sudah persoalan struktural di sektor hulu produksi gula.
19
Beberapa studi sebenarnya telah banyak dilakukan untuk mengantisipasi
pergeseran usahatani tebu tanaman ekonomis lainnya, sehingga muncullah
pilihan-pilihan rasional untuk pemanfaatan tebu lahan kering, bahkan di Luar
Jawa. Benar bahwa pendapatan luar usahatani sangat penting bagi sebagian besar
petani di Jawa, maka usahatani tebu di lahan kering dengan dukungan aktivitas
ekonomi luar usahatani yang lebih produktif akan dapat meningkatkan
pendapatan petani di Jawa dan berkontribusi besar bagi pengentasan masyarakat
dari kemiskinan serta pengembangan wilayah secara umum. Pemerintah perlu
lebih serius dalam menindaklanjuti hasil-hasil analisis kebijakan alternatif atu
perubahan pola tanam usahatani seperti itu, karena langkah kebihakan tersebut
dapat berkontribusi bagi pemandirian petani dan desentralisasi ekonomi atau
otonomi daerah yang lebih beradab.
Pada sistem produksi ini, langkah pemcapaian swasembada gula dapat
ditempuh dengan langkah besar peningkatan rendemen, yang selama ini hanya
sekitar 7 persen atau kurang. Kenaikan rendemen 1 persen saja, maka terdapat
potensi tambahan produksi gula lebih dari 300 ribu ton, yang tentu saja dapat
berkontribusi pada pencapaian swasembada gula Indonesia. Kapasitas
sumberdaya pabrik dan sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk
meningkatkan produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar. Strategi tersebut
dapat ditempuh dengan “metode konvensional” dalam bidang budidaya, berupa
perbaikan varietas, penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam,
pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme
pengganggu, dan sebagainya. Dalam bidang panen dan pasca panen, penentuan
awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang juga sangat
mempengaruhi produktivitas, misalnya dengan pemantauan tingkat kemasakan,
penebangan tebu secara bersih dan pengangkutan tebu secara cepat. Secara teknis,
dalam bidang penggilingan, penentuan tingkat optimasi kapasitas giling dapat
mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik. Sedangkan pemantauan
20
tentang kelancaran giling dapat mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan
dan pengolahan.
Selain “metode konvensional” di atas, peningkatan rendemen dapat
ditempuh dengan “metode terobosan yang lebih komprehensif” seperti
memperbaiki sistem insentif manajemen produksi tebu, mulai dari sistem bagi
hasil, sistem transfer tebu, pengukuruan kualitas tebu, insentif harga dan
kebijakan lain seperti pendanaan kredit yang lebih dapat diandalkan, sampai pada
aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem blok. Apabila
kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat dikombinasikan secara baik,
maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen bukanlah sesuatu yang sulit.
Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten dilaksanakan, maka tidak
mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di Indonesia dapat mencapai 13
persen atau lebih.
Untuk itu, langkah-langkah pembenahan aspek mikro bisnis dan reposisi
strategi mengarah pada perubahan budaya perusahaan (corporate culture) wajib
segera dilakukan untuk pabrik gula di Jawa, terutama yang berada dalam skema
pengelolaan BUMN induknya PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Tidaklah tabu
untuk belajar dari strategi bisnis dan manajemen pabrik gula skala besar dengan
teknologi modern seperti di Kelompok Usaha Sugar Group di Lampung,
Kelompok Gunung Madu Plantations (GMP), Kelompok Kebun Agung dan
sebagainya. Maksudnya, kebijakan revitalisasi industri gula dan restrukturisasi
agro-industri di tingkat makro perlu juga lebih diarahkan pada upaya peningkatan
daya saing industri secara keseluruhan. Pada kondisi inilah, maka Indonesia tidak
perlu risau lagi dengan persoalan swasembada gula, karena produksi gula dalam
negeri dapat melampaui 3 juta ton, sehingga analisis ekonomi politik yang
diperlukan adalah bagaimana gula Indonesia dapat masuk ke segenap pasar-pasar
gula strategis di belahan lain di dunia.
21
Tabel 2. Produksi Minyak Sawit Dunia, 2004-2008 (dalam juta ton)
Negara 2004 2005 2006 2007 2008
Indonesia 12,38 13,97 16,05 16,70 18,60
Malaysia 13,97 14,80 15,88 15,82 17,30
Thailand 0,76 0,80 0,86 1,02 1,17
Negara Lain 3,88 4,11 4,35 4,59 4,95
Total Dunia 30,99 33,68 37,14 38,13 42,02
Sumber: Oil World dan GAPKI, 2008
Produksi minyak goreng di Indonesia saat ini lebih banyak mengandalkan
bahan baku minyak kelapa sawit (CPO), atau terjadi pergeseran dari proses
produksi minyak goreng pada dekade 1980-an yang masih mengandalkan bagan
baku minyak kelapa dalam (CCO=Crude Coconut Oil). Apabila harga CPO di
pasar global meningkat, maka harga eceran minyak goreng di dalam negeri juga
melambung tinggi karena tingginya harga bahan baku CPO kepada industri
minyak goreng di dalam negeri. Walaupun, kontribusi kenaikan harga minyak
goreng terhadap inflasi masih sanagt kecil (tidak sampai 2 persen), posisi minyak
goreng memang cukup strategis, bahkan sering bergulir ke ranah politik.
Kesulitan akses konsumsi minyak goreng, terutama dari kelompok berpenghasilan
rendah tentu merupakan salah satu bahan kontroversi politik dan kebijakan
publik. Bahkan, kenaikan harga minyak goreng saat ini juga terasa memberatkan
bagi seorang petani kelapa sawit, yang juga berhak untuk memperoleh harga yang
layak atas kebutuhan pokok sehari-harinya.
Petani sawit sebenarnya juga memperoleh manfaat “windfall profit” atas
semakin tingginya harga CPO di pasar global, produksi CPO juga mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Estimasi yang dikeluarkan oleh Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dengan berbasis data Oil World
menunjukkan bahwa produksi CPO Indonesia tahun 2008 ini mencapai 18,6 juta
22
ton, atau melampaui produksi CPOO Malaysia 17,3 juta ton (Tabel 2). Pangsa
atau kontribusi produksi CPO Indonesia kini telah mencapai 44,3 persen dari total
produksi CPO dunia, lebih tinggi dari 41,2 pangsa CPO Malaysia. Dengan
pangsa total di atas 85 persen, posisi dan tingkah laku Indonesia dan Malaysia
tentu sangat strategis dalam peta perdagangan CPO dunia. Akan tetapi, apakah
Indonesia dan Malaysia mampu “mendominasi” harga keseimbangan pasar CPO
di tingkat global, analisis mendalam masih harus diakukan terhadap psosis
komoditas pesaing dari CPO dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia:
seperti minyak kedelai, minyak kanola, minyak jagung bahkan minyak kelapa,
minyak matahari dan lain-lain.
Produksi daging pada tahun 2008 tercatat 2.2 juta ton, dengan dominasi
daging ayam ras pedaging yang demikian besar, yaitu mencapai 993 ribu ton.
Produksi daging sapi hanya 352 ribu ton, sehingga Indonesia tetap mengimpor
sekitar 520 ekor sapi setiap tahun. Produksi daging sapi, daging ayam dan produk
sektor peternakan atau yang menjadi sumber protein hewani di Indonesia
sebenarnya tidaklah terlau besar untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih
akan meningkat setiap tahun. Akibatnya, Indonesia masih harus menggantunkan
pada daging impor, terutama dari Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain
yang bebas penyakit hewan, seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), antraks, sapi
gila, dan lain-lain.
23
Tabel 3. Ketersediaan Daging, Telur dan Produk Peterakan Lain, 2004-2008
(ribu ton)
2004 2005 2006 2007 2008
Daging 2,020.4 1,817.0 2,062.9 2,069.5 2,169.7
Ayam ras pedaging 846.1 779.1 861.3 942.8 992.7
Ayas ras petelur 48.4 45.2 57.6 58.2 58.2
Ayam Buras 296.4 301.4 341.3 294.9 307.5
Sapi potong 447.6 358.7 395.8 339.5 352.4
Babi 194.7 173.7 196.0 225.9 235.6
Lainnya 187.2 158.9 210.9 208.2 223.3
Telur 1,107.4 1,051.5 1,204.4 1,382.1 1,484.6
Itik 173.2 195.0 193.6 207.5 217.7
Ayam buras 172.1 175.4 194.0 230.5 239.3
Ayam ras 762.0 681.1 816.8 944.1 1,027.6
Susu segar 549.9 536.0 616.5 567.7 574.4
Sumber: Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, 2008
Saat ini, sebagian besar tingkat konsumsi protein hewani Indonesia masih
lebih besar dari kemampuan penyediaannya, kecuali telur ayam yang menujukkan
surplus. Disamping itu, tingkat konsumsi produk hewani per kapita di Indonesia
masih sangat kecil, sekitar 1,15 kilogram per kapita per tahun untuk daging sapi;
sekitar 2,3 kilogram per kapita untuk daging ayam broiler, sekitar 3,3 kilogram
per kapita, dan 9,3 kilogram per kapita untuk susu, dan sebagainya. Tingkat
konsumsi daging dan susu di Indonesia dan negara berkembang memang
tergolong memang masih 4-5 kali lebih rendah disbanding tingkat konsumsi di
negara-negara maju. Namun laju peningkatan konsumsi daging di negara
berkembang pada periode 1971-1995 tercatat 70 juta ton, sementara di negara-
negara maju hanya 26 juta ton. Demikian pula untuk konsumsi susu yang
meningkat 105 juta ton di negara berkembang dan hanya 50 juta ton di negara
maju. Perbedaan statistik peningkatan konsumsi yang mencapai 2-3 kali lipat di
24
atas juga cukup konsisten apabila diukur dengan indikator lain seperti nilai
konsumsi dan kuantitas kalori yang dihasilkan. Di Indonesia, Revolusi Peternakan
ditandai oleh berkembang pesatnya industri ayam petelur, ayam pedaging dan
ayam kampung sendiri, sejak akhir 1970an. Tidak kalah pentingnya, industri
pakan ternak yang umumnya terkait dengan investasi asing dan beroperasi dengan
skala besar juga tumbuh pesat, yang ditandai dengan maju dan membaiknya
tingkat efisiensi, bahka di seluruh sistem agribisnis berbasis peternakan.
Tingginya angka pertumbuhan yang juga terjadi di belahan lain di muka
bumi, sering dinamakan Revolusi Peternakan (Livestock Revolution), yang
sebenarnya telah dimulai sejak awal 1970-an. Revolusi Peternakan amat berbeda
secara fundamental dengan Revolusi Hijau (Green Revolution) di sektor tanaman
biji-bijian yang lebih banyak didorong oleh sisi suplai (supply driven) produksi
dengan karakter perubahan teknologi baru biologi dan kimiwai seperti varietas
unggul, pupuk, pestisida dan sebagainya. Revolusi peternakan didorong oleh sisi
permintaan (demand-driven) karena perubahan konsumsi dari sumber kalori
berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi, dan persyaratan
kualitas nutrisi dan kesehatan lainnya.
Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa sektor peternakan adalah salah
satu sektor andalan dalam sistem dan usaha agribisnis di Indonesia yang telah
menerapkan strategi demand-driven yang sebenarnya. Sektor stratgis yang
melibatkan usaha rumah tangga dan menyerap jutaan lapangan kerja di pedesaan
dan perkotaan tersebut tidak semata menjalankan sistem produksi dengan supply-
oriented yang sangat rentan tehadap anjloknya harga karena kelebihan penawaran.
Sektor peternakan memang sejak awal perkembangannya tumbuh dan
berkembang karena merespons tingginya permintaan terhadap daging, telur dan
produk berkualitas lainnya, suatu pergeseran sangat substansial dari pangan
berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan kandungan nutrisi tinggi.
25
Dalam ekonomi pembangunan, fenomena tersebut dikenal dengan istilah
Revolusi Peternakan karena pada saat bersamaan industri pakan ternak skala kecil
dan besar pun berkembang cukup besar, yang tentu saja mensyaratkan perbaikan
tingkat efisiensi ekonomi. Untuk itu, perubahan lingkungan eksternal yang
demikian cepat tersebut pastilah menuntut kemampuan ekstra para perumus
kebijakan dan para pelaku ekonomi untuk mengantisipasi kompleksitas proses
transformasi tersebut yang terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk,
peningkatan permintaan, keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan kualitas
higienis produk peternakan serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Dengan demikian pemerintah dapat mampu mencurahkan perhatian secara all-out
terhadap wabah flu burung dan sektor peternakan umumnya.
Sektor peternakan tercatat sebagai salah satu sektor yang memiliki
keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang tinggi, terutama subsektor
unggas dengan industri pakan ternak. Ketergantungan dan tingkat sensitivitas
yang demikian tinggi antara keduanya telah mewarnai pasang-surut sektor
peternakan Indonesia. Kinerja cukup baik dengan tingkat pertumbuhan di atas 6
persen per tahaun pada dekade 1980an sampai awal 1990an pasti tidak dapat
dilepaskan dari kemampuan dan kegigihan para peternak dalam mengantisipasi
perubahan dan inovasi baru dalam teknologi sektor peternakan. Demikian pula,
ketidak-mampuan para peternak kecil-menengah untuk memenuhi pakan ternak
karena melonjaknya harga pakan ternak impor pada puncak krisis ekonomi turut
berkontribusi pada anjloknya kinerja peternakan, yang mencatat angka
pertumbuhan negatif 2 persen per tahun pada periode 1997-2001. Sesuatu yang
perlu ditekankan di sini adalah bahwa industri pakan ternak ini nyaris identik
dengan investasi dan kapasitas produksi domestik. Maksudnya, apabila terganggu
sedikit saja, maka strategi untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi juga
pasti terganggu. Disamping itu, keterkaitan ke depan (forward linkages) sektor
26
peternakan, terutama industri perunggasan dengan industri hasil makanan, industri
hotel dan restoran dan sektor pariwisata lainnya juga cukup tinggi. Dalam hal ini,
angka kesempatan kerja dan devisa yang dihasilkan karena keterkaitan ke depan
ini pun sangat besar. Mislanya, angka laju permintaan atau konsumsi terhadap
daging ayam sangat tinggi, yaitu mencapai 8,83 persen per tahun selama tiga dasa
warsa terakhir. Laju permintaan pernah anjlok minus 5,25 persen per tahun pada
masa puncak krisis ekonomi, pulih kembali pasca krisis dengan laju permintaan
9,75 persen per tahun pada tingkat konsumsi sekitar 820 ribu ton per tahun.
Berikut ini akan diuraikan secara rinci karakter menonjol dari seluruh
tujuh komoditas pangan strategis di tingkat nasional, yaitu: (1) beras akan terus
menempati posisi strategis secara ekonomi, sosial dan politik, baik karena faktor
historis, maupun karena ideologis dan emosional sebagian besar penduduk
Indonesia; (2) jagung akan mengalami transisi yang cukup signifikan dari posisi
komoditas pangan menjadi bahan baku industri pakan; (3) kedelai akan merespon
signal insentif harga baik di tingkat domestik, maupun tingkat intenasional; (4)
gula akan mengalami komptisi internal gula tebu dengan gula rafinasi, yang masih
belum mampu menjawab tantangan struktural di dalamya; (5) minyak goreng
akan mengalami transisi konsumsi yang lebih responsif terhadap harga bahan
baku CPO, baik berupa insentif karena tingginya harga, maupun berupa
disinsentif karena anjloknya harga dan lainnya; (6) terigu akan menyesuaikan diri
dengan peningkatan permintaan, walaupun sulit berharap banyak dari gandum
domestik; dan (7) daging akan terus mencari titik keseimbangan baru produksi,
impor dan negara asal, serta tingkat konsumsi yang akan berkembang pesat.
(a) Beras dan Karakter Komoditas Strategis
Di Indonesia, beras merupakan pangan pokok dan memberikan peran
hingga sekitar 45 persen dari total food-intake, atau sekitar 80 persen dari sumber
karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia. Hal tersebut
27
relatif merata diseluruh Indonesia, maksudnya secara nutrisi, ekonomi, sosial, dan
budaya, beras tetap merupakan pangan terpenting bagi sebagian besar masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya merupakan hasil perekayasaan kultural yang memberi
konsekuensi luas. Diantaranya adalah bahwa kebijakan pangan Indonesia harus
menempatkan kebijakan perberasan sebagai salah satu pilar utamanya. Beras
dapat dikatakan sebagai komoditas pangan yang paling banyak mendapat
perhatian, baik di tingkat akademik, maupun di tingkat politis, mulai dari sistem
produksi, distribusi (tataniaga), perdagangan ekspor dan impor, disparitas harga,
pola konsumsi masyarakat, dinamika pembangunan daerah dan sebagainya.
Pemerintah bahkan perlu secara berkala megeluarkan interensi kebijakan
perberasan, walaupun lebih banyak terfokus pada kebijakan harga, tepatnya
penentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Landasan perundangan terakhir
yang dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
1 Tahun 2008, yang juga dimaksudkan untuk memberikan insentif produksi dan
perlindungan kepada petani beras, sekaligus perlindungan untuk konsumen
miskin, atau untuk berkontribusi pada stabilitas harga pangan pokok ini.
Namun demikian, karakter strategis komoditas beras tidak dapat
dilepaskan dari struktur perdagangan beras yang relatif tidak sehat. Data time
series bulanan selama 29 tahun di 24 propinsi menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut: Pertama pasar beras di lima wilayah kepulauan di Indonesia
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara) pada masa Orde
Baru (1975-1997) telah terintegrasi secara spasial, walau tidak penuh. Kemudian,
pasar beras semakin tersegmentasi dalam rezim Pasar Bebas dan Pasar Terbuka
Terkendali. Segmentasi pasar beras terjadi karena perubahan rezim kebijakan itu
sendiri, serta karna faktor infrastruktur yang kurang baik, penyelundupan yang
makin marak, dan lalu lintas barang yang tidak lancar akibat dari hambatan
peraturan daerah. Kedua, kinerja stabilisasi harga yang diukur dari tingkat
28
integrasi vertikal antara pasar gabah dan pasar beras, juga menunjukkan hasil
yang tidak terlalu mengejutkan. Integrasi pasar secara vertikal hanya terjadi pada
rezim Orde Baru dan tidak sama sekali pada rezim Pasar Bebas dan pada rezim
Pasar Terbuka Terkendali. Maksudnya, pasar gabah dan pasar beras menjadi
agak liar setelah Presiden Soeharto berhenti menjadi Kepala Negara, harga dasar
gabah (floor price) dan harga atap (ceiling price) beras tidak lagi di-enforced dan
Bulog tidak lagi memiliki kekuasaan monopoli dalam impor beras. Transmisi
harga dari gabah petani ke beras konsumen lebih cepat terjadi, maksudnya
perubahan harga gabah petani cepat sekali mempengaruhi harga beras konsumen.
Hal yang sebaliknya tidak terjadi. Perubahan harga beras konsumen tidak
direspons secara cepat oleh harga gabah petani. Walaupun harga beras melonjak
sangat tinggi, tapi petani tidak banyak menerima manfaat dari kenaikan harga
beras tersebut. Hasil analisis ini sekaligus merupakan konfirmasi anggapan umum
bahwa selama ini kebijakan stabilisasi harga yang ad-hoc seperti sekarang ini
memang lebih banyak difokuskan stabilitas harga beras konsumen, sebagaimana
bagian dari instrumen pengendalian laju inflasi.
Komoditas beras mengalami permasalahan struktural tentang
ketidakjelasan fungsi stok penyangga. Cadangan pangan di Indonesia meliputi
cadangan tetap (iron stock), yang harus tersedia, terutama untuk mengatasi
kondisi darurat, dan cadangan penyanggah (buffer stock). Stok penyangga
berbeda menurut daerah, lokasi geografis, kerentanan terhadap fenomena alam
dan moda atau karakter transportasi pada lokakitas tertentu misalnya. Pada
daerah-daerah dengan kondisi fisik-geografis sulit dicapai dan sosial-politik tidak
stabil, cadangan penyanggah ini perlu lebih besar, sehingga diharapkan mampu
benar-benar menyanggah kemungkinan gejolak harga dan kuantitas pangan, yang
bersifat pokok ini. Studi tentang cadangan pangan ini menemukan bahwa
pengadaan gabah oleh Bulog atau kebijakan operasi pembelian gabah petani
29
hanya efektif dalam masa Orde Baru, tapi tidak efektif pada Pasar Bebas dan
Pasar Terbuka Terkendali. Maksudnya Bulog berperan cukup baik sebagai
lembaga stabilisasi harga harga gabah tingkat petani hanya pada masa Orde Baru,
dan tidak banyak berperan pada masa Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali
seperti sekarang ini. Hal yang cukup menarik adalah bahwa peran Bulog dalam
stabilisasi harga beras konsumen tidak ada sama sekali pada ketiga rezim atau
sepanjang periode observasi. Pengaruh musim terhadap jumlah beras tidak terlalu
signifikan, kecuali pada bulan Februari dan Maret pada rezim Orde Baru, dan
tidak pada rezim Pasar Bebas dan Terbuka Terkendali. Pada rezim Pasar Terbuka
Terkendali, faktor operasi pasar murni signifikan pada bulan Januari, karena pada
bulan-bulan lain tidak terlihat pengaruh yang nyata. Saat ini jumlah beras untuk
operasi pasar murni mulai dikurangi dan sejak 2004 telah dimodifikasi menjadi
Program Raskin (beras untuk keluarga miskin), yang semakin diminati oleh
masyarakat dan para pengambil kebijakan.
(b) Jagung dan Fenomena Hibrida
Peningkatan produksi jagung dengan laju lebih 14 persen per tahun dalam
beberapa tahun terakhir tentu tidak dilepaskan dari peran jagung hibrida, yang
mulai banyak ditanam di Indonesia sejak dekade 1990-an. Areal panen
bertambah sangat signifikan lebih 8 persen per tahun, sedangkan produktivitas
juga bertambah sektiar 4 persen per tahun. Areal panen dan produksi palawija
masih mengandalkan lahan pertanian di Jawa, yang secara teoritis dan empiris
tidak akan mampu menopang beban-beban produksi pertanian dan bahan pangan
di Indonesia. Walaupun pangsa produksi yang berasal dari Pulau Jawa masih
lebih dominan, peran peningkatan areal tanam di Luar Jawa: terutama Sumatera
dan Sulawesi adalah kontributor penting peningkatan produksi jagung di
Indonesia. Ketika pada dekade 1980-an, jagung lebih banyak digunakan untuk
30
pangan, kini sebagian besar dari produksi jagung Indonesia digunakan untuk
pakan ternak atau sebagai bahan baku industri pakan ternak.
Sentra produksi jagung di Indonesia sebenarnya relatif tidak banyak
berubah, yaitu: Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara Timur Tujuan produksi jagung di Sumatera Utara
sebagian besar untuk dijual (tujuan komersial), di Jawa dan Lampung sebagai
pangan dan bahan baku industri, dan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi
sebagai pangan pokok. Pasca masuknya jagung hibrida, tujuan produksi jagung
di Sulawesi juga digunakan untuk bahan baku industri makanan ternak. Karakter
jagung hibrida yang banyak ditanam di lahan sawah dan lahan kering dengan
curah hujan tinggi sebenarnya merupakan perkembangan yang sangat menarik.
Pola kerja sama petani swasta dengan petani, kemitraan antara petani kecil dan
usaha agribisnis, sistem produksi jagung yang terintegrasi dengan industri pakan
ternak adalah beberapa perkembangan terkini yang mewarnai ekonomi jagung
Indonesia sekarang.
Di Madura, jagung lokal dengan varietas genjah juga ditanam pada lahan
dengan intensitas pompa air lebih dari 42 hektar per pompa. Sesuatu yang perlu
ditekankan di sini adalah jagung lokal dan jagung hibrida adalah dua komoditas
yang berbeda. Jagung lokal umumnya digunakan untuk pangan dan tidak dapat
dijadikan bahan baku industri pakan. Demikian pula, jagung hibrida digunakan
untuk bahan baku industri dan tidak dapat digunakan sebagai pangan. Relevansi
jagung hibrida dalam sistem pangan di Indonesia adalah posisinya sebagai bahan
baku industri pakan ternak, sehingga sangat berpengaruh pada sistem produksi,
konsumsi, harga dan perdagangan ternak, khususnya unggas. Jumlah populasi
unggas (standing population) yang diperkirakan 630 juta ekor per tahun ayam
kampung, 1 milyar ekor per tahun ayam broiler dan petelur, plus puluhan juta
bebek, burung dan lain-lain, tentulah memerlukan penyediaan pakan ternak yang
31
memadai, karena sektor ini mampu menyerap lebih dari 10 juta tenaga kerja
dengan omzet lebih dari US$ 30 miliar per tahun.
Sebenarnya, potensi peningkatan produktivitas jagung hibrida di Indonesia
masih sangat tinggi mengingat perbedaan produksi – atau disebut tingkat heterisis
– jagung hibrida dan non-hibrida mencapai 75-100 persen. Produksi rata-rata
jagung non-hibrida masih berkisar 3-4 ton biji kering per hektar, sedangkan
jagung hibrida berkisar 7-8 juta ton. Secara genetis, tanaman jagung berkembang
biak dengan penyerbukan silang (cross pollination) dengan susunan pasangan gen
yang tidak sepadan atau heterozigot. Hal ini tentu sangat berbeda dengan padi
yang menyerbuk sendiri (self-pollination) dan memiliki pasangan gen sama-
sepadan atau homozigot. Teknologi benih hibrida adalah upaya manusia untuk
merekonstruksu seluruh pasangan gen pada tanaman menjadi heterozigot, dengan
jalan membuat benih berasal dari persilangan. Produktivitas jagung hibrida pasti
lebih tinggi dibanding jagung non-hibrida karena fenomena heterosis tersebut.
Tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa faktor heterosis pada jagung hibrida
jauh lebih tinggi dari padi hibrida dengan faktor heterosis 10-20 persen saja,
sehingga agak sulit jika dijadikan sebagai tumpuah utama peningkatan produksi
padi di Indonesia saat ini.
(c) Kedelai dan Kesalahan Insentif
Penyediaan kedelai di Indonesia sebenarnya masih akan tetap prospektif
karena produksi dalam negeri tahun 2008 sekitar 700 ribu ton masih sangat jauh
dari kebutuhan konsumsi kedelai nasional yang mencapai 2,5 – 3 juta ton per
tahun. Laju konsumsi kedelai masih akan terus meningkat, selain karena
pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,5 persen per tahun, serta perkembangan
industri pengolahan dengan baku kedelai seperti tahu, tempe, kecap dan
sebagainya. Dengan kata lain, Indonesia masih harus mengandalkan kedelai
impor untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Sewaktu harga kededai
32
impor masih cukup murah, sekitar US$ 240 per ton, para pelaku industri, baik
skala kecil menengah maupun skala besar, tidak mengalami kesulitan dalam
memperoleh bahan baku kedelai impor. Ketika harga kedelai di pasar dunia tiba-
tiba melambung sangat tinggi mencapai US$ 520 per ton per Januari 2008, dari
hanya US$ 306 per ton pada Januari 2007, Indonesia nyaris dilanda krisis kedelai
di dalam negeri.
Pada masa Orde Baru Indonesia memang pernah memberikan keleluasaan
kepada Bulog untuk melakukan monopoli impor kedelai dengan pertimbangan
untuk stabilitas harga dan pasokan kedelai, terutama bagi pelaku usaha kecil dan
koperasi pengrajin tahu-tempe Indonesia (Kopti). Fluktuasi harga kedelai di pasar
dunia ikut mempengaruhi harga kedelai di pasar domestik, walaupun pada tingkat
harga yang rendah. Kondisi ini tidak memberikan insentif kepada petani kedelai
untuk berproduksi sebanyak 2,1 juta ton/tahun agar tercapai target swasembada
kedelai. Pada puncak krisis ekonomi, atas saran Dana Moneter Internasional
(IMF), pemerintah meliberalisasi perdagangan kedelai dengan memberlakukan
bea masuk 0 persen. Pedagang besar diuntungkan oleh kebijakan penghapusan
monopoli, karena marjin bruto riil kedelai pada periode pasca monopoli lebih
besar. Secara umum marjin perdagangan kedelai lebih stabil menciptakan iklim
usaha yang lebih kondusif untuk para pedagang kedelai pada periode pasca
monopoli. Pada kondisi harga internasional yang rendah, keteraturan pasokan
kedelai dan rendahnya harga riil kedelai impor menguntungkan pengarjin tahu
dan tempe dan industri pengolahan kedelai. Sekali lagi, harga kedelai yang
rendah tidak menguntungkan usahatani kedelai, dan bahkan koperasi (Kopti) yang
masih diliputi masalah internasl kelembagaan, karena secara umum kalah
bersaing dengan pedagang besar.
Sebenarnya, tidak ada yang mustahil di bumi Indonesia untuk dapat
menghasilkan kedelai dengan produktivitas yang lebih baik dari saat ini, yang
33
hanya tercatat 1,31 ton per hektare. Angka produktivitas itu hanya setengah dari
produktivitas kedelai di luar negeri. Tentu tidak seimbang membandingkan
produktivtias kedelai Indonesia dengan kedelai AS yang memperoleh full-support
dari pemerintahnya karena besarnya kekuatan lobi politik asosiasi kedelai di sana
(American Soybean Association). Sementara di Indonesia, kekuatan lobi kedelai
adalah perajin tahu-tempe atau yang tergabung dalam koperasi tahu-tempe, yang
nota bene merupakan konsumen kedelai, bukan petani kedelai. Mereka menjadi
gamang sendiri, dan tidak jarang serba salah, mengingat agenda yang
diperjuangkan adalah untuk menurunkan harga kedelai di dalam negeri, bukan
untuk memberikan insentif pagi peningkatan produksi. Potret demografis dan
kondisi sosio-psikologis perajin tahu-tempe saat ini berbeda dengan potret orang
tua atau generasi pearjin tahu-tempe pada era 1990-an. Jika pada dekade lalu,
perajin tahu-tempe masih merangkap sebagai petani kedelai, generasi saat ini
umumnya hanya menjalankan profesi sebagai perajin saja, dan hanya sedikit yang
memiliki lahan usahatani kedelai. Fenomena spesifikasi usaha seperti itu menjadi
faktor „terbelahnya‟ sistem insentif di sektor hulu (produksi) dengan di sektor hilir
(distribusi dan konsumsi). Tidak terlalu heran jika koordinasi dan integrasi
kebijakan antara Departemen Pertanian dan Departemen Perdagangan memang
merupakan sesuatu yang sulit dilaksanakan di Indonesia.
Indonesia sebenarnya memiliki banyak pemulia tanaman (breeder) kedelai
yang telah mampu menghasilkan galur harapan varietas kedelai, yang sekaligus
tahan serangan penyakit virus kerdil (SSV=soybean stunt virus). Di tingkat
percobaan, produktivitas kedelai galur ini mampu menghasilkan biji kedelai 2,8
ton per ha, suatu pekerjaan penelitian panjang yang tidak sia-sia. Sekarang, semua
terpulang kepada pemerintah, apakah berminat (1) untuk mengembangkan
varietas kedelai lokal yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti terbaik di negeri
ini, atau (2) akan terus mengandalkan kedelai impor AS yang sangat mungkin
34
menggunakan benih rekayasa genetika (transgenik) yang kontroversial tersebut.
Jika langkah pertama yang ingin diambil, pemerintah perlu segera melakukan
terobosan dalam uji adaptasi, uji multilokasi, dan memberikan insentif bagi
pemerintah daerah yang melaksanakan misi nasional sangat penting ini. Jika
langka kedua yang ingin diambil, seperti misalnya melanjutkan kebijakan tarif
impor 0%, secara semu akan terlihat bahwa keteraturan pasokan kedelai akan
terjamin dan harga riil kedelai impor akan murah. Langkah ini dikatakan semu
karena petani kedelai benar-benar diadu langsung dengan petani luar negeri,
koperasi tahu-tempe lambat-laun akan mati, dan sokoguru ekonomi Indonesia
dikuasai pedagang besar.
(d) Gula dan Kemelut Struktural
Sistem produksi gula sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari karakter
sistem usahatani tebu skala kecil yang sangat dominant di Jawa dan berafiliasi
dengan PT Perkebunan Nusantara dengan persoalan efisiensi teknis dan efisiensi
ekonomis. Pada sisi ekstrem lainnya, sistem produksi agribisnis perkebunan gula
skala besar di Luar Jawa menjadi sangat dominan dalam penguasaan lahan,
manajemen distribusi sumber daya alam dan penguasaan informasi dan lain-lain.
Berhubung masalah yang melingkupi komoditas gula bersifat struktural, langkah
peningkatan produksi tebu di tingkat usahatani, upaya intervensi melalui
kebijakan tataniaga dan strategi revitalisasi industri gula di dalam negeri,
semuanya belum menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Demikian pula, manajemen perdagangan atau sistem tataniaga gula dan
bahan pangan lain yang bersifat strategis sebenarnya bukanlah barang baru di
Indonesia karena sejarah ekonomi pertanian di negeri ini juga lahir dan
berkembang bersama legasi sebuah lembaga parastatal yang melibatkan
manajemen kebijakan negara. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk
“mengatur” aktivitas impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian
35
dan Perdagangan (SK No. 643/MPP/Kep/9/2002) tentang Tataniaga Impor Gula
(TIG) ternyata telah menimbulkan reaksi dan hasil akhir yang sangat beragam.
Kebijakan tataniaga itu memberikan privilis kepada importir produsen (IP) untuk
mengimpor gula mentah (raw sugar) dan kepada importir terdaftar (IT) untuk
mengimpor gula putih (white sugar) yang tidak lain adalah perkebunan gula yang
memiliki perolehan bahan baku 75 persen berasal dari petani. Perusahaan
perkebunan yang memenuhi kualifikasi sebagai IT adalah empat Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang masuk kualifikasi, yaitu: PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).
Pada sisi lain, kebijakan itu juga memberikan peluang bagi pengembangan
industri gula rafinasi, yang khusus memutihkan gula mentah impor yang
umumnya tidak layak untuk dikonsumsi secara langsung.
Catatan penting dari SK 643/2002 terebut adalah bahwa gula mentah dan
gula rafinasi (refined sugar) yang diimpor oleh importir produsen (IP) hanya
dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi pengolahan gula, dan
dilarang diperjualbelikan serta dipindahtangankan. Walaupun debat publik yang
berkembang seakan serempak memberi peringatan atas rekam jejak (track record)
perkebunan gula yang tidak memiliki pengalaman dalam aktivitas impor,
kebijakan tataniaga itu tetap dilaksanakan. Analisis kritis terhadap sistem
tataniaga gula tersebut pasti selalu menarik karena keterburuan kebijakan dan
berbagai entry barriers yang justru menimbulkan “jalan pintas” bagi para
pemburu rente. Kemudian, upaya perbaikan kebijakan pengaturan impor gula
dengan penerbitan Kepmen baru yaitu Nomor 527MPP/Kep/9/2004 tertanggal 17
September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG). di antaranya dengan
kembali melibatkan BUMN Perum (Perusahaan Umum) Bulog dan PT
Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) dalam perdagangan gula di
Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan kinerja kebijaikan
36
tataniaga gula dalam lima tahun terakhir adalah bahwa mandat kebijakan tersebut
terlalu berat untuk dicapai oleh sistem administrasi pemerintahan yang sedang
mengalami persoalan besar transparansi dan akuntabilitas yang mengganggu.
Dalam lima tahun terakhir, ekonomi pergulaan Indonesia semakin
kompleks setelah langkah restrukturisasi industri gula domestik juga disertai
perkembangan indsurtri gula rafinasi (refinary) yang lumayan cepat. Selain untuk
mendongkrak nilai tambah ekonomi, industri rafinisasi gula memiliki pangsa
pasar yang berbeda dengan industri gula putih biasa, karena ia lebih banyak
tertuju pada industri makanan dan minuman di dalam negeri. Tidak dapat
disangsikan, bahwa investasi baru dan pengembangan industri gula rafinasi akan
menjadi peluang besar bagi peningkatan kapasitas industri domestik dan
penyerapan lapangan kerja. Untuk investasi baru dalam bidang gula rafinasi,
pemerintah menerapkan kebijakan bea masuk lima persen selama dua tahun
pertama, seperti dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor.
135/KMK.05/2000. Ketentuan yang sama tentang keringana bea masuk ini juga
berlaku kepada industri rafinasi yang melakukan perluasan usahanya. Hasilnya,
dalam waktu relatif singkat, industri gula rafinasi berkembang sangat pesat,
dengan lima industri besar di Jawa yang berkapasitas sekitar dua juta ton.
Kerumitan baru dengan kehadiran industri rafinasi di Indonesia tidak
sebatas karena diskriminsasi bea masuk atau keleluasaannya melakukan impor
gula mentah, tapi keterkaitannya dengan kinerja industri bahan makanan dan
minuman, yang umumnya milik asing. Industri gula rafinasi di Indonesia yang
memasok gula putih ke perusahaan besar makanan dan minuman dituntut untuk
selalu konsisten menghasilkan produk gula dengan spesifikasi yang ditentukan
oleh perusahaan induknya di luar negeri. Pada situasi karakter usahatani tebu saat
ini, kecil kemungkinan industri gula rafinasi akan menggunakan bahan baku gula
tebu dari petani di dalam negeri, apalagi yang berskala kecil. Dalam istilah
37
ekonomi politik, di sinilah terdapat “interlocking system” yang tidak memihak
petani kecil di dalam negeri akibat dari ketidakmatangan kebijakan
pengembangan industri gula rafinasi di Indonesia. Situasi menjadi semakin rumit
ketika industri makanan dan minuman sekala besar juga memperoleh status
sebagai importir produsen (IP) gula dan memiliki privilis untuk mengimpor gula
mentah, tentu saja dengan ketentuan bea masuk impor yang sama dengan pabrik
gula tebu dan pabrik gula rafinasi. Dengan karakter penegakan hukum yang
lemah atau kualitas administrasi kebijakan yang masih banyak bermasalah, maka
tak seorang pun dapat menjamin bahwa gula mentah yang diimpor oleh industri
rafiniasi (atau oleh mitra dagang yang bersangkutan) tidak akan merembes ke
pasar domestik. Pada musim giling, fenomena aliran gula mentah impor ini ke
pasar bebas, sampai ke pelosok di sentra produksi tebu, dikhwatirkan dapat
menekan harga gula di tingkat petani.
(e) Minyak Goreng dan Instabilitas Pasar CPO
Sebagai salah satu komoditas strategis, minyak goreng menghadapi
permasalahan instabilitas pasar minyak sawit mentah (CPO). Ketika harga CPO
dunia mencapai US$ 1200 per ton, industri minyak makan di dalam negeri
mengalami kesulitan bahan baku CPO karena para petani, pemilik kebun dan
agribisnis kelapa sawit skala besar telah memilih pasar ekspor sebagai tujuan
akhir pemasarannya. Harga minyak goreng yang tinggi sangat memberatkan
masyarakat berpenghasilan rendah dan industri makanan skala mikro dan kecil.
Benar bahwa kontribusi kenaikan harga minyak goreng terhadap inflasi tidak
setinggi kenaikan harga beras. Hasil Survai Sosial-Ekonomi Nasional
(SUSENAS) terbatas tahun 2006 menyebutkan bahwa kontribusi pengeluaran
rumah tangga terhadap minyak dan lemak hanya 1.97 persen, yang sangat jauh
dibanding pengeluaran rumah tangga terhadap biji-bijian (beras) 11.37 persen.
Akan tetapi, membiarkan masyarakat menerima pukulan bertubi-tubi seperti
38
melambungnya harga beras dan kebutuhan pokok lainya tentu sulit diterima akal
sehat. Ditambah lagi, dampak berantai kenaikan minyak goreng adalah
terancamnya kualitas kesehatan masyarakat lapis bawah. Rumah tangga miskin
dan industri makanan skala kecil cenderung memakai ulang minyak goreng sisa
(jelantah) berkali-kali melebihi ambang batas toleransi tubuh manusia terhadap
makanan berlemak sangat jenuh tersebut.
Untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng tersebut, pemerintah
sebenarnya telah mencoba melakukan langkah intervensi dengan melaksanakan
program stabilisasi harga (PSH) dan melibatkan produsen minyak goreng. Strategi
stabilitasi yang tanpa strategi pasti tidak akan menghasilkan apa-apa karena
dilakukan dengan setengah hati dan ”atas belas kasihan” pengusaha, karena
lembaga negara tidak terlibat secara sistematis. Sangat sulit berharap efektivitas
PSH di tengah situasi pasar yang tidak normal, dan kemungkinan underestimasi
konsumsi minyak goreng 300 ribu ton per bulan tersebut. Skema kebijakan lain
coba diambil, misalnya dengan mewajibkan kalangan industri untuk memasok
kebutuhan CPO dalam negeri (DMO=domestic market obligation), walaupun sulit
untuk dilaksanakan secara baik di lapangan. Dalam skema DMO ini, sebenarnya
masyarakat juga telah cukup letih dengan pengalaman industri pupuk yang
menghadapi masalah sejenis, amat berharap bahwa pemerintah mampu
berwibawa mengawal dan melaksanakan wajib pasok kepada kebutuhan industri
domestik. Akan tetapi, melaksanakan suatu command and order seperti pada
masa lalu tersebut ternyata tidak mudah.
Sebagian besar produsen (dan pedagang) CPO melakukan sistem
penjualan produknya ke pasar dunia dengan cara tiga bulan ke depan (forward)
dan memperdagangkannya di pasar berjangka (futures). Tidak terlalu
mengherankan apabila transaksi pasar fisik dan spot CPO jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan komoditas hasil perkebunan lain di Indonesia. Di sinilah,
39
kekhawatiran bahwa kebijakan DMO dapat menjadi “subsidi harga terselubung”
dari petani sawit dan industri skala kecil-menengah terhadap industri besar CPO
yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Kemudian, ketika pasar CPO
internasional menjadi lesu, karena pasar saham dan pasar keuangan yang juga
anjlok, harga CPO di pasar dunia tiba-tiba anjlok di bawah batas psikologis US$
700 per ton, dari harga di atas US$ 1200 per ton pada bulan Juni 2008.
Akibatnya, petani sawit terpaksa harus menerima kenyataan bahwa harga tandan
buah segar (TBS) di lapangan hanya dihargai Rp 350 per kilogram, suatu
penurunan di luar akal sehat karena pada bulan Juni 2008 harga TBS masih terjual
di atas Rp 1800 per kilogram.
Petani sawit Indonesia tentu agak sulit untuk memahami bahwa Amerika
Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengurangi permintaan impor CPO – baik
karena dampak krisis keuangan global, maupun karena produksi minyak nabati
lain di AS dan UE yang sedang membaik. Sekadar catatan, petani sawit yang
paling terpukul adalah petani yang bekerja sendiri (stand-alone) atau yang tidak
menjalin kemitraan dengan BUMN atau agribisnis swasta skala besar. Petani
tunggal ini harus mencari pembeli atau pedagang pengumpul TBS dengan harga
yang agak layak dan harus berpacu dengan waktu untuk mengurangi derajat rusak
atau derajat busuk dari hasil panennya. Berbeda halnya dengan petani yang telah
menjalin kemitraan dengan BUMN atau swasta besar, yang umumnya
memperoleh harga beli yang agak lebih tinggi, walaupun juga mengalami
penurunan harga. Pelaku ekonomi skala besar ini umumnya mementingkan
penyerapan produksi TBS dari kebunnya sendiri atau maksimal dari petani
plasmanya sendiri, untuk kemudian membeli TBS dari petani sawit dalam
program kemitraan. Seandainya berbagai instrumen perlindungan harga
komoditas pertanian (seperti instrumen resi gudang atau mekanisme pasar lelang)
40
di dalam negeri telah berkembang, mungkin petani sawit tidak harus menanggung
dampak buruk penurunan harga seperti saat ini.
(f) Terigu dan Kompleksitas Gandum Domestik
Walaupun tidak memproduksi gandum sendiri, tingkat konsumsi tepung
terigu di Indonesia meningkat sangat pesat, baik dalam bentuk konsumsi terigu
langsung oleh masyarakat, maupun dalam bentuk konsumsi pangan olahan yang
terbuat dari terigu. Studi ekonomi gandum di Indonesia lebih banyak berkisar
tentang hegemoni atau struktur pasar gandum impor yang monopolis karena
berhubungan dengan proses pengambilan keputusan kebijakan pada masa Orde
Baru. Pengembangan gandum domestik masih belum mengalami kemajuan yang
berarti, walaupun Kelompok Usaha Indofood sebagai pengolah gandum terbesar
telah melakukan inisiasi “Proyek Gandum 2000” untuk mengenalkan tanaman
gandum kepada petani Indonesia. Institut Pertanian Bogor (IPB) dan beberapa
perguruan tinggi di Indonesia dengan dukungan Indofood melakukan uji tanaman
gandum di 24 lokasi yang tersebar di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa
Tenggara Timur.
Hasil-hasil penelitian tersebut secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
dari sekitar 20 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, sekitar 2 juta hektar sangat
cocok untuk ditanam gandum. Peta pewilayahan produksi gandum di Indonesia
memiliki dua pembatas utama, yaitu: (1) ketinggian tempat, menentukan suhu
udara yang berhubungan dengan sebaran lokasi spasial, dan (2) curah hujan,
menentukan ketersediaan air yang berhubungan dengan waktu tanam (temporal).
Dengan karakter pembatas utama itu, maka daerah-daerah pegunungan yang
memiliki suhu rendah seperti Bukit Barisan di Sumatera dan daerah pegunungan
Pulau Jawa Bagian Selatan dapat dijadikan sentra produksi gandum dengan
produksi tinggi.
41
Ketika harga bahan bakar minyak di pasar global naik sangat tinggi, maka
ongkos angkut untuk bahan pangan berbasis biji-bijian, termasuk gandum, kini
telah melonjak menjadi US$ 100 per ton. Untuk merespon kenaikan biaya angkut
di atas, kebijakan yang diambil Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) adalah menghapus tarif bea masuk gandum (dan kedelai),
walau sempat dipertanyakan masyarakat. Negara-negara importir gandum lain
juga merespon harga pangan global dengan menghapus pajak impor gandum,
tepung gandum dan beras, dan tepung jagung (seperti yang ditempuh Bolivia),
mempertimbangkan untuk mengubah tarif impor gandum (Brzil, Meksiko, dll),
menghapus tarif gandum tepung terigu (Ekuador, India, Maroko, Korea, Turki
dan lain-lain). Negara-negara Uni Eropa menunda pajak impor pangan biji-bijian,
dengan pertimbangan agar komoditas pangan yang dihasilkan negara-negara
berkembang. Bahkan, negara-negara produsen gandum dunia telah
memberlakukan larangan ekspor gandum (seperti Bolivia, Rusia, Pakistan dan
lain-lain). Selain itu, beberapa negara juga menerapkan kuota perdagangan
gandum, mkisalnya pembatasan ekspor gandum (seperti Kasazkhtan), melarang
ekspor gandum ke Belarussia (Rusia), melarang ekspor gandum ke Afganistan
(Pakistan), menentukan mutu ekspor gandum dan tepung terigu (Pakistan), sedang
coba menetapkan kuota ekspor tepung terigu dan tepung jagung, dan tepung beras
(Cina), dan lain sebagainya.
(g) Daging dan Kontroversi Asal Impor
Berhubung produksi daging di dalam negeri tidak mencukupi, Indonesia
masih harus menggantungkan kebutuhan daing sapi dari pasar luar negeri,
terutama dari Australia dan Selandia Baru. Estimasi data konsumsi daging di
Indonesia berbeda menurut lembaga, namun berkisar total 2,6 kilogram per kapita
per tahun menurut (Survai Sosial Ekonomi Nasional - Badan Pusat Statistik
(Susenas BPS), sekitar 1,7 kilogram daging sapi menurut Asosiasi Produsen
42
Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) plus 4,5 kilogram daging ayam
menurut Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), serta 1,2 kilogram
daging sapi plus 3,1 kilogram daging ayam menurut Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian (Deptan). Estimasi data mana pun yang
dipakai, faktaya adalah bahwa tingkat konsumsi daging yang masih tergolong
rendah juga menjadi insentif menarik bagi siapa pun untuk mendorong dan
meningkatkan konsumsi daging di Indonesia.
Studi-studi dan diskusi publik tentang daging umumnya berhubungan dengan
kontroversi asal daging impor, karena dua kubu yang saling berlawanan dalam
memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Kelompok pertama adalah
mereka yang selama ini menjadi bagian dari atau berhubungan langsung dan tidak
langsung dengan proses impor daging dari Australia dan Selandia Baru.
Kelompok kedua adalah mereka yang mencoba memberikan alternatif pemenuhan
daging impor dari negara-negara lain seperti India, Spanyol, Brazil, Argentina dan
lain-lain yang masih tidak terbebas dari kemungkinan tertular penyakit berbahaya
seperti antraks, sapi gila, penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sebagainya.
Misalnya, tentang impor daging dan meat bone meal (MBM) yang
diputuskan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 482/Kpts/
PD.620/8/2006 tertanggal 22 Agustus 2006 yang agak longgar. Kebijakan itu
menggantikan SK No 745/1992 yang hanya membolehkan Indonesia mengimpor
produk daging dari Australia dan Selandia Baru. Kalangan yang mendukung
berargumen bahwa pelonggaran (liberalisasi) impor daging dimaksudkan untuk
mengurangi posisi hegemoni atau monopoli kedua negara eksportir daging
tersebut. Bahkan, ada argumen bahwa liberalisasi impor daging akan menekan
peredaran daging ilegal di pasar domestik, suatu penyederhanaan masalah tanpa
perhitungan. Namun, masyarakat mempermasalahkan akurasi substansi dari SK
No 482/2006, mengingat kemampuan pengawasan di dalam negeri begitu lemah.
43
Wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdiri atas 704 pelabuhan formal sering
dijadikan alasan pembenaran (excuse) untuk tidak mampu melakukan pengawasan
perdagangan produk daging berbahaya. Pintu-pintu masuk impor tidak resmi lebih
dari 3.000 dan tersebar di sepanjang pantai dan daerah perbatasan, juga jadi alasan
tersendiri tentang sulitnya penegakan hukum.
Komisi Kesehatan Hewan Departemen Pertanian yang mengacu pada
ketentuan Badan Kesehatan Hewan Internasional (Office International des
Epizooties/OIE) sebenarnya tidak memberikan rekomendasi pembukaan impor
MBM. Keputusan kebijakan perdagangan produk daging berbahaya tersebut
sungguh merupakan tragedi terbesar sektor peternakan. Selama dua dasawarsa
terakhir, Indonesia bebas PMK. Liberalisasi produk daging yang amat gegabah itu
mengandung risiko yang harus ditanggung masyarakat menjadi amat berat. Jika
PMK kembali mewabah di Indonesia, diperlukan waktu lebih dari 100 tahun
untuk membebaskan PMK. Biayanya tentu sangat besar. Risiko yang tidak kalah
besarnya, kesan negatif masyarakat bahwa pemerintah tidak memihak
peternaknya.
Potensi pasar daging di Indonesia yang memang besar, peluang
peningkatan konsumsi daging yang juga besar, seiring dengan membaiknya
tingkat pendapatan masyarakat dan kesadaran meningkatkan kecukupan protein
hewani. Dengan basis konsumsi daging sapi per kapita seperti diuraikan di atas
dan asumsi 200 kilogram daging per ekor yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia
membutuhkan sekitar 350 – 400 ribu ekor sapi per tahun. Pola permintaan daging
umumnya meningkat menjelang hari-hari besar nasional seperti Idul Fitri dan Idul
Adha, suatu siklus tahunan yang seharusnya telah diketahui oleh pemerintah dan
pelaku ekonomi sektor peternakan ini. Catatan tentang impor sapi dari Australia
mencapai lebih dari 520 ribu ekor pada tahun 2007, sebagian besar untuk
digunakan sebagai sapi potong dan sebagian kecil digunakan sebagai bakalan
44
(induk) untuk penggemukan di Indoensia. Dengan potensi pasar yang sangat
besar itulah, tidak kurang dari 68 negara sedang antre mencoba mengekspor
daging dan produk daging ke Indonesia. Akhir-akhir ini Indonesia berupaya
untuk mengimpor daging sapi dari Brazil, sebagai salah satu eksportir sapi
terbesar di dunia (23 persen pangsa) selain Australia (22 persen), Kanada (10%),
India (9 persen), Uni Eropa (6 persen) dan lain-lain. Sebenarnya Amerika Serikat
juga merupakan produsen daging terbesar di dunia (24 persen), bersama Brazil
(15 persen), Uni Eropa (15 persen), Cina (15 persen), Argentina (5 persen) dan
lain-lain. Kontribusi produksi daging Australia di pasar dunia sebenarnya cukup
kecil, hanya 4 persen. Namun, karena jumlah penduduk Australia yang tidak
terlalu besar, total konsumsi daging di dalam negerinya tidak terlalu besar,
sehingga Australia menjadi salah satu eksportir daging terbesar di dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa otoritas pelabuhan di Indoensia
telah disibukkan untuk membongkar dan memusnahkan daging impor ilegal dari
India, Argentina, Brasil, Uruguay, AS, dan Spanyol sebagai wakil Uni Eropa.
Pengambilan keputusan sebaiknya dikembalikan kepada hakikat kesejahteraan
masyarakat di dalam negeri Indonesia, dari petani, konsumen dan pengampu
kepentingan lainnya, termasuk jika Indonesia akan memperketat perizinan impor
produk daging yang berbahaya, bahkan melarang sama sekali produk daging dari
negara yang tidak terbebas penyakit PMK dan sapi gila. Apabila dampak buruk
yang harus ditanggung masyarakat banyak justru lebih dahsyat bagi kesehatan dan
keselamatan jiwa, khususnya bagi kegairahan peternak meningkatkan produksi
dan produktivitasnya, maka pemerintah dituntut untuk lebih teliti dan hati-hati.
Masih segar ingatan masyarakat tentang kasus "tekan-menekan" impor paha ayam
atau chicken leg-quarter (CLQ) dari Amerika Serikat, yang akhirnya sampai
kepada otoritas tertinggi pada masa administrasi pemerintahan sebelumnya.
45
2.3 Akses Pangan dan Pengentasan Kemiskinan
Akses pangan sering didekati dari kebijakan pangan murah (cheap food
policy) yang konon pro-rakyat miskin dan selama 10 tahun terakhir telah
dilaksanakan melalui program beras untuk keluarga miskin (raskin). Program
raskin sendiri adalah penyempurnaan dari instrumen operasi pasar murni (OPM)
dan operasi pasar khusus (OPK) karena penurunan daya beli sejak krisis ekonomi
1997. Waktu itu, argumen yang berkembang adalah fakta hasil Survai Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 1999 yang menyebutkan bahwa sebagian besar (76
persen) rumah tangga Indonesia adalah konsumen beras (net consumer) dan hanya
24 persen sisanya produsen beras (net producer). Di daerah perkotaan, net
consumer beras adalah 96 persen atau hanya 4 persen saja yang merupakan net
producer beras. Di daerah pedesaan, net consumer beras sekitar 60 persen atau
hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan net producer beras. Pada
intinya, karena beras juga merupakan makanan pokok dengan karakteristik
permintaan yang tidak elastis – perubahan harga tidak terlalu berpengaruh
terhadap konsumsi beras – maka kelompok miskin itulah yang menderita cukup
parah karena perubahan harga beras.
Dalam perjalanannya, pemikiran kebijakan pangan murah tersebut
memperoleh kritik yang cukup keras, karena dianggap tidak memberikan insentif
yang cukup kepada petani padi dan bahan pangan lain untuk meningkatkan
produksi dan produktivitasnya. Sejak krisis ekonomi itu, spread harga atau marjin
antara harga gabah di tingkat petani dan harga beras di tingkat konsumen melebar
sangat besar, dari sekitar Rp 400 sampai melebihi Rp 2000 per kilogram.
Implikasinya adalah bahwa nilai tambah pengolahan dan perdagangan beras tidak
dinikmati oleh petani dan konsumen, tapi lebih banyak oleh pedagang,
penggilingan padi dan pelaku lain. Hal itu dapat juga diterjemahkan bahwa sistem
pasca panen dan distribusi beras di dalam negeri tidak efisien dan menyisakan
46
fenomena asimetri pasar yang menjadi kendala serius dalam pembangunan
ekonomi. Fokus kebijakan pangan di Indonesia perlu diarahkan untuk
meningkatkan harga gabah dan menurunkan harga beras atau untuk mengurangi
spread harga gabah dan beras, yang masih memberikan keuntungan bagi usaha
penggilingan padi dan perdagangan beras.
Beberapa ekonom pertanian sebenarnya telah mengusulkan strategi
kebijakan kecukupan pangan (food adequacy), untuk menjamin ketersediaan dan
kecukupan pangan di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat dijangkau dan aman
dikonsumsi masyarakat luas. Strategi ini adalah bagian tak terpisahkan dari
seluruh dimensi ketahanan pangan, khususnya di tingkat mikro rumah tangga,
karena ketahanan pangan mencakup tiga aspek penting: ketersediaan, aksesibilitas
dan stabilitas. Di tingkat rumah tangga, tingkat ketersediaan pangan (atau
tepatnya kecukupan pangan) diukur dengan membandingkan tingkat konsumsi
enegeri dan protein dengan angka kecukupan gizi (AKG). Indonesia memiliki
standar AKG yang dihasilkan dari Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VII,
pada Juni 2008, yaitu 2.200 kilokalori (kkal) dan 57 gram protein per kapita per
hari. Konsumsi energi dan protein sebenarnya telah semakin meningkat dalam
lima tahun terakhir dan bahkan melebihi AKG yang disebutkan di atas.
Terjadinya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan ini diikuti pula dengan
penurunan persentase rumahtangga yang defisit energi tingkat berat (konsumsi
energi < 70% angka kecukupan gizi) yang juga dikenal sebagai sangat rawan
pangan. Persentase penduduk yang sangat rawan pangan menurun dari 13,1%
tahun 2002 menjadi 11,1% tahun 2008. Meski menurun jumlah penduduk yang
defisit energi tingkat berat (sangat rawan pangan) diperkirakan masih sekitar 25,1
juta jiwa pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2008).
Implikasinya adalah bahwa dalam konteks kebijakan pengentasan
kemiskinan dan ketahanan pangan, kedua paket kebijakan pangan murah dan
47
kecukupan pangan masih belum cukup. Pengentasan kemiskinan perlu bervisi
pemberdayaan masyarakat, sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja produktif
di pedesaan dan perkotaan. Perbaikan keterkaitan (linkages) aktivitas ekonomi di
pedesaan dan perkotaan diharapkan mampu meningkatkan arus pergerakan
produk dan jasa, yang sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja baru.
Dimensi lain yang perlu dicover adalah struktur usahatani keluarga, sistem
produksi yang tidak efisien, sampai pada aspek distribusi dan tataniaga beras yang
sangat tidak berpihak pada petani produsen. Pengentasan kemiskinan perlu
mempertimbangkan aspek kepemilikan atau penguasaan lahan yang amat
marjinal, akses terhadap faktor produksi dan teknologi baru, dan sebagainya.
Kasus ledakan gizi buruk dan dan gizi kurang yang semakin banyak
dijumpai di Indonesia adalah salah satu dari contoh buruknya sinergi antara
ketersediaan pangan di tingkat makro dan aksesibilitas individu dan rumah tangga
terhadap bahan pangan. Bagaimana mungkin suatu daerah lumbung beras yang
memiliki surplus produksi beras tapi banyak penduduknya yang tidak memiliki
akses terhadap pangan. Mereka inilah yang masuk dalam kategori penduduk miskin
dan memiliki akses buruk terhadap pangan. Apabila pembangunan ketahanan
pangan difokuskan langsung pada kelompok miskin ini, maka manfaatnya akan
terlihat secara jelas ketika kelompok pendapatan rendah ini telah mampu
memenuhi kecukupan pangan, baik energi maupun proteinnya. Hal ini pun
merupakan langkah penting dalam upaya mengeluarkan petani dari kemiskinan,
sebagaimana komitmen Indonesia dan negara-negara lain di dunia dalam
melaksakan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millineum Development Goals
=MDGs, yaitu mengurangi proporsi penduduk yang hidup kemiskinan dan
kelaparan, sampai setengahnya pada tahun 2015 nanti.
Secara teoritis, pembangunan pertanian dapat meningkatkan ketahanan
pangan, melalui peningkatan jumlah ketersediaan pangan dan perbaikan akses
48
atau daya beli terhadap pangan. Sejarah pembangunan pertanian di Indonesia
menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui verietas
unggul, lonjakan produksi peternakan dan perikanan telah terbukti mampu
mengatasi persoalan kelaparan dalam tiga dasa warsa terakhir. Peningkatan
produktivitas dan perbaikan pendapatan petani telah berkontribusi pada perbaikan
ekonomi pedesaan, sehingga akses dan daya beli terhadap bahan pangan juga
meningkat. Dalam konteks ini, penganekaragaman pangan pun berlangsung cukup
baik sehingga kualitas dan pemenuhan gizi seimbang juga lebih terjamin. Cukup
banyak strategi pengentasan kemiskinan telah mengedepankan aspek penyediaan
pangan, akses terhadap bahan pangan, baru kemudian memfokuskan pada
stabilitas harga pangan atau strategi pembangunan jangkan panjang lainnya.
Akan tetapi, setelah “berhasil” dalam periode tumbuh tinggi sampai
pertengahan tahun 1980-an, pada awal dekade 1990-an, pembangunan pertanian
Indonesia tidak mampu melepaskan dari jebakan kemiskinan yang memang lebih
bersifat struktural. Sektor pertanian mengalami fase dekonstruktif dan tumbuh
rendah sekitar 3,4 persen karena proteksi besar-besaran pada sektor industri,
apalagi berlangsung melalui proses konglomerasi yang merapuhkan fondasi
ekonomi yang sebenarnya. Ketika krisis ekonomi menimbulkan pengangguran
besar dan limpahan tenaga kerja dari sektor perkotaan tidak mampu tertampung di
sektor pedesaan, pertanian pun harus menanggung beban ekonomi-politik yang
tidak ringan. Ketangguhan sektor ini yang sempat dibanggakan pada saat puncak
krisis moneter akhirnya tidak mampu bertahan lebih lama karena pembangunan
pertanian dan proses transformasi ekonomi tidak dapat hanya disandarkan pada
kenaikan harga-harga (inflasi) semata. Pergerakan tenaga kerja dari pedesaan ke
perkotaan – dan sebaliknya – yang berlangsung cukup mulus sebelum krisis
ekonomi tidak dapat lagi terjadi tanpa biaya sosial yang cukup tinggi. Sektor
pendukung industri dan jasa yang selama itu mampu mengimbangi naiknya
49
permintaan aggregat karena pertumbuhan penduduk, sejak krisis ekonomi belum
mengalami pemulihan yang berarti karena rendahnya investasi, kapasitas dan
aktivitas produksi yang memperluas kesempatan kerja.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 1998-2009
Tahun
Garis Kemiskinan
(Rp/Kap/Bulan)
Persentase Penduduk
Miskin (%)
Jumlah Penduduk
Miskin (Juta Jiwa)
Kota Desa Kota Desa Kota+
Desa
Kota Desa Kota+
Desa
Des-1998 96.959 72.780 21,92 25,72 24,23 17,60 31,90 49,50
Mar-1999 92.409 74.272 19,41 26,03 23,43 15,64 32,33 47,97
Agus-1999 89.845 69.420 15,09 20,22 18,17 12,40 25,10 37,50
2000 91.632 73.648 14,58 22,38 19,14 12,30 26,40 38,70
2001 100.011 80.382 9,76 24,95 18,40 8,60 29,30 37,90
2002 130.499 96.512 14,46 21,10 18,20 13,30 25,10 38,40
2003 138.803 105.888 13,57 20,23 17,42 12,20 25,10 37,30
2004 143.455 108.725 12,13 20,11 16,66 11,40 24,80 36,10
Feb-2005 150.799 117.259 11,37 19,51 15,97 12,40 22,70 35,10
Jul-2005 167.717 127.148 13,03 22,33 18,30 12,63 27,64 40,27
Mar-2006 175.324 131.256 13,36 21,90 17,75 14,29 24,76 39,05
Mar-2007 187.942 146.837 12,52 20,37 16,58 13,56 23,61 37,17
Mar-2008 204.896 161.831 11,65 18,93 15,42 12,77 22,19 34,96
Mar-2009 222.123 179.835 10,72 17,35 14,15 11,91 20,62 32,53
Sumber: Badan Pusat Statistik (berbagai tahun)
Fenomena itulah yang juga berkontribusi pada peta kemiskinan akhir-
akhir ini, yangs secara ironis harus juga ditanggung oleh sektor pertanian dan
pedesaan. Tabel 4 menyajikan perkembangan terakhir data kemiskinan, termasuk
potret kemiskinan di daerah pedesaan, yang umumnya berkait dengan sektor
pertanian. Petani sebagai konstituen paling besar terbesar dari pembanguan
pertanian tersebut, yang telah berjuang keras mengangkat harkat dan martabat
bangsa, serta turut serta berkontribusi pada keberhasilan sistem ekonomi-politik
nasional, ternyata tidak mampu menikmati keberhasilan tersebut secara baik.
Paradoks seperti di atas memang cukup menyakitkan karena secara teoritis
dan empiris, para ahli dan pejuang sektor pertanian merasa sangat yakin bahwa
50
sektor vital tersebut telah dipercaya sebagai pengganda pendapatan (income
multiplier) yang paling efektif dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Secara teoritis dan empiris, sebenarnya telah amat jelas bahwa sektor pertanian
sangat potensial untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pedesaan.
Pembangunan pertanian yang menjadi basis pembangunan ekonomi hampir
seluruh negara di dunia akan meningkatkan produktivitas tanaman, terutama
bahan pangan, melalui intensifikasi penggunaan lahan dan pemanfaatan
sumberdaya ekoomi secara optimal. Apabila pendapatan petani ikut meningkat –
sekalipun tingkat harga tidak berubah – maka ekonomi pedesaan akan berputar
lebih baik, karena tingkat pengeluaran terhadap produk-produk non-farm juga
meningkat. Pembangunan pertanian menjadi landasan utama menuju modernisasi
pembangunan ekonomi, tanpa berlebihan untuk saling bersubsitusi (trade-off)
antara sektor pertanian, industri dan jasa.
Paling tidak, empat dari delapan poin dalam MDGs berhubungan langsung
dengan pembangunan ketahanan pangan dan pertanian secara umum, yaitu
mengurangi proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan,
meningkatkan peranan wanita, menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan
mengembangkan kemitraan tingkat global (Lihat Kotak 1). Empat poin lainnya
juga secara tidak langsung berhubungan dengan ketahan pangan dan
pembangunan pertanian, misalnya akses terhadap pangan bermutu akan
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, peningkatan pendapatan yang
diperoleh dari perbaikan produktivitas pertanian dapat digunakan untuk memacu
investasi pendidikan anak-anak dan pengembangan sumberdaya manusia dan
sebagainya.
51
Bagi Indonesia persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem
dengan lahan tidak sampai 0,5 hektar semakin lama semakin banyak. Hasil
Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian
meningkat menjadi 25,4 juta dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 atau
meningkat sebesar 2,2 persen per tahun. Jumlah petani gurem pun ikut
meningkat dari 10,8 juta (52,7 persen) menjadi 13,2 juta (53,2 persen) rumah
tangga. Sebagaimana dapat diduga, sebagian besar dari petani gurem tersebut
berada di Jawa karena 75 persen petani Jawa tergolong gurem atau meningkat dari
70 persen pada tahun 1993. Maksudnya, saat ini hanya 25 persen dari seluruh
petani di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan.
Potret petani sebaliknya terjadi terjadi di Luar Pulau Jawa. Rumah tangga petani
Kotak 1. Millenium Development Goals, 1990-2015
1. Eradicate extreme poverty and hunger
Halve the proportion of people with less than US$ 1 a day
Halve the proportion of people who suffer from hunger
2. Achieve universal primary education
3. Promote gender equality and empower woman
4. Reduce child mortality
5. Improve maternal health
6. Combat HIV/AIDS, malaria, and other disease
7. Ensure environmental sustainability
Integrate sustainable development into country policies and reverse loss
of environmental resources
8. Develop a global partnership for development, including market access
Reduce average tariffs on agricultural products
Reduce domestic and export agricultural subsidies in OECD countries
Sumber: http://www.developmentgoals.org
52
di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain umumnya menguasai
lahan rata-rata cukup besar, dan hanya 34 persen dari rumah tangga petani di sana
yang tercatat menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Namun demikian,
kecenderungan peningkatan jumlah petani gurem di Luar Jawa ini pun – karena
pada Sensus Pertanian 1993 tercatat 31 persen – perlu diperhatikan dengan
seksama mengingat, terutama apabila ancaman penurunan produksi, produktivitas
dan kesejahteraan petani dapat menjadi semakin besar. Proses pemiskinan petani
seperti ini – walaupun terasa terlalu simplistik – jelas dapat berimplikasi sangat
luas, baik secara ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.
Komposisi penguasaan lahan di Indonesia sampai saat ini tidak banyak
berubah, terutama bahwa pertanian pangan di Indonesia masih mengandalkan
usahatani skala kecil, di bawah 0,5 hektar. Menurut Hasil Pendapatan Usahatani
(PUT) yang dilakukan Badan Pusta Statisktik (BPS) tanggal 31 Juli 2009, jumlah
rumah tangga usahatani (RUT) tahun 2009 ini adalh 17,8 juta rumah tangga.
Perssentase petani tanaman pangan yang miliki luas areal kurang dari 0,5 hektar
tercatat 9.545.260 unit rumah tangga usahatani atau 53.5 persen dari total RUT.
Persentase jumlah rumah tangga petani dengan skala usaha tidak ekonomis ini
cukup konsisten dengan hasil Sensus 2003, jika tidak dikatakan telah meningkat,
walau pun cukup kecil. Implikasinya bagi pembangunan pertanian adalah bahwa
persoalan struktural yang belum terpecahkan selama beberapa dekade terakhir,
masih akan menjadi salah satu kendala cukup serius dalam perbaikan akses
pangan, dan tentu saja dalam upaya untuk meningkatkan diversifikasi pangan.
Di dalam literatur ekonomi pembangunan sebenarnya telah disebutkan
bahwa petani miskin karena mereka tidak memiliki kemampuan (entitlement)
bahkan tidak memiliki kemerdekaan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi
keluarga dan bangsanya. Sen berupaya memberikan penjelasan yang lebih
komprehensif, tidak hanya fakta bahwa petani tidak memiliki penghasilan yang
memadai atau “akibat” dari suatu kemiskinan, namun lebih banyak tentang
53
buruknya akses atau “sebab” terjadinya suatu kemiskinan. Dapat dibayangkan,
dampak berantai yang pasti terjadi, apabila petani tidak memiliki akses terhadap
lahan sebagai faktor produksi terpenting dalam suatu budidaya pertanian
(agriculture), pastilah upaya peningkatan produksi, produktivitas dan pendapatan
petani tidak akan mencapai hasil optimal. Lebih-lebih lagi, perbaikan akses ini
menjadi begitu krusial dan sangat vital dalam dimensi bisnis pertanian
(agribusiness) yang sangat mengedepankan kesatuan sistem dan tata-nilai yang
utuh dari hulu, tengah, hilir dan pendukung seperti akses pasar, pemasaran,
perbankan, pendidikan, penyuluhan, dan kebijakan pemerintah yang relevan.
Selama dekade terakhir, diversikasi pendapatan rumah tangga pedesaan
memang semakin besar dan dalam, terutama setelah aktivitas usaha kecil
menengah, perdagangan dan jasa lainnya semakin masuk ke hampir seluruh
pelosok pedesaan. Hal tersebut juga sangat berkaitan erat dengan kenaikan tingkat
permintaan efektif (effective demand) di pedesaan, karena total pendapatan rumah
tangga secara umum juga meningkat. Pangsa pendapatan rumah tangga yang
berasal dari upah juga meningkat seiring dengan kebutuhan tenaga kerja yang
lebih besar karena skala ekonomi yang juga meningkat. Hal lain yang perlu
dicatat adalah bahwa selama sepuluh tahun terakhir, pangsa transaksi lain di
pedesaan seperti kiriman uang dari sanak famili dari luar pedesaan, penerimaan
dari sewa aset, serta transaksi keuangan di pedesaan juga mengalami peningkatan
yang sangat pesat.
Catatan lain adalah bahwa interpretasi terhadap perubahan kecenderungan
di atas perlu dilakukan secara hati-hati, mengingat perbedaan penggunaan data
dari suatu aktivitas yang berbeda (Sensus Pertanian dan Survai Sosial Ekonomi
Nasional-Susenas) walaupun masih dalam lingkup Badan Pusat Statistik-BPS.
Namun demikian, melihat kecenderungan pergeseran dominasi peran aktivitas
luar usahatai (off-farm) yang cukup konsisten, penjelasan di atas tidak akan
memberikan kesimpulan yang berbeda. Pada kondisi keterbukaan ekonomi yang
54
cukup besar seperti saat ini, maka petani tanaman pangan pokok seperti padi dan
palawija akan sangat sulit mengandalkan ekonomi rumah tangganya hanya dari
sektor usahatani on-farm. Selain karena semakin murahnya harga komoditas
tanaman pangan secara relatif dan bahkan komoditas pertanian lainnya secara
umum, perubahan teknologi pertanian yang terjadi pada tiga dekade terakhir juga
telah berkontribusi pada peningkatan efisiensi usahatani. Petani skala kecil dan
tidak mampu menggapai skala ekonomi usahatani, umumnya tidak mampu
menikmati manfaat besar dari efisiensi usahatani, sehingga penerimaan ekonomi
dari kelompok ini juga tidak besar bahkan tidak cukup mampu menopang
ekonomi rumah tangganya. Petani skala kecil inilah harus mengandalkan aktivitas
ekonomi dari luar usahatani untuk mempertahankan kehidupan rumah tangganya.
Singkatnya, perubahan komposisi pendapatan rumah tangga pedesaan ini
seharusnya menjadi referensi penting bagi pengembangan kelembagaan
ketahanan pangan dan pembangunan pertanian secara umum. Dua implikasi
penting dari pergesaran dominasi aktivitas off-farm ini adalah sebagai berikut:
Pertama, meningkatnya dominasi off-farm nyaris identik dengan upaya survival
bagi mereka dengan skala usaha ekonomi tidak memadai. Kedua, semakin
besarnya dominasi aktivitas off-farm dapat juga berarti semakin membaiknya
tingkat permintaan efektif (effective demand) di pedesaan karena aktivitas
perdagangan, jasa dan usaha lain juga meningkat. Kedua fenomena di atas tentu
masih jauh dibandingkan dengan pergeseran pangsa pendapatan luar usahatani di
Jepang, Amerika Serikat dan negara maju lain, yang identik dengan semakin
berkembangnya usahatani paruh waktu (part-time farming) dan efisiensi usahatani
yang lebih baik. Dengan demikian, maka semakin jelaslah bahwa pembangunan
ketahanan pangan perlu menjadi satu kesatuan dengan proses pembangunan
ekonomi atau transformasi struktural ekonomi secara umum.
55
BAB 3.
KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN
Substansi kebijakan umum ketahanan pangan yang terdiri dari 15 elemen
penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan elemen
masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga, tingkat wilayah dan tingka nasional. Selain memberikan arah kebijakan
yang lebih jelas dan mudah dicerna, pemerintah berperan menjabarkan secara
rinci kebijakan-kebijakan lain yang mampu memberikan insentif dari hulu sampai
hilir atau perlindungan kepada petani dan konsumen sekaligus. Langkah nyata
yang berhubungan dengan hal-hal berikut menjadi sangat mutlak: penyediaan,
distribusi, aksesibilitas, dan stabilitas harga pangan, diversifikasi usaha dan
penganekaragaman pangan, penanganan pasca panen, keamanan pangan,
pencegahanan kerawanan pangan, kerjasama internasional, penelitian dan
pengembangan, penangulangan risiko, penataan aspek pertanahan dan tata ruang
daerah dan wilayah, partisipasi masyarakat dan lain-lain.
Untuk menjabarkannya menjadi suatu agenda aksi yang dapat
dilaksanakan di tingkat lapangan, suatu maktriks agenda aksi disusun sedemikian
rupa sebagai penjabaran rinci dari setiap elemen kebijakan dengan sasaran yang
jelas, kerangka waktu berikut focal point yang paling bertanggung jawab.
3.1 Konsep Kebijakan Umum
1. Menjamin Ketersediaan Pangan.
Ketersediaan pangan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan
gizi rumah tangga dengan bertumpu pada kemampuan produksi dalam negeri
melalui pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi
produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif dan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal.
56
Pemerintah memberikan dukungan peningkatan produktivitas pangan, terutama
pangan pokok, termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air. Rencana aksi
yang dilakukan adalah:
a. Peningkatan produktivitas komoditas pangan agar tercapai lonjakan produksi
pangan yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sekaligus untuk menjaga
tingkat efisiensi pada sistem produksi.
b. Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama yang “tertidur” dan tidak produktif,
sebagai sumber penghasil pangan strategis dan bersifat pokok, melalui
pemberian insentif khusus bagi mereka yang akan memanfaatkan sumberdaya
lahan terbengkalai tersebut;
c. Perluasan areal tanaman pangan, terutama ke Luar Jawa, untuk mendukung
penyediaan lahan berkelanjutan seluas 15 juta hektar untuk produksi pangan
strategis;
d. Pengembangan konservasi dan tehabilitasi lahan, meliputi usaha-usaha
berbasis pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan, dan
peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan
kerusakan, serta rehabilitasi lahan-lahan usaha pertanian dan kehutanan secara
luas.
e. Peningkatan efisiensi penanganan pasca panen dan pengolahan melalui
perakitan dan pengembangan teknologi pasca panen dan pengolahan tepat
guna spesifik lokasi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk,
peningkatan kesadaran dan kemampuan petani/nelayan untuk memanfaatkan
teknologi pasca panen dan pengolahan yang tepat untuk meningkatkan
efisiensi dan kualitas produk, mendorong pemanfaatan teknologi dan peralatan
tersebut melalui penyediaan insentif bagi pelaku usaha, khususnya skala kecil.
57
f. Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan daerah aliran sungai. melalui
penegakan peraturan untuk menjamin kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam secara ramah lingkungan, rehabilitasi daerah aliran sungai dan lahan
kritis, konservasi air dalam rangka pemanfaatan curah hujan dan aliran
permukaan, pengembangan infrastruktur pengairan untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan air, serta penyebarluasan penerapan teknologi ramah
lingkungan pada usaha-usaha yang rnemanfaatkan sumberdaya air dan daerah
aliran sungai.
g. Perbaikan jaringan irigasi dan drainase, dengan fokus pada rehabilitasi 700
ribu hektar saluran irigasi terutam di daerah lumbung pangan sekaligus
melalui pemanfaatan dana stimulus fiscal serta upaya lain untuk
mengantisipasi dampak krisis ekonomi global.
2. Menata Pertanahan dan Tata Ruang dan Wilayah.
Petaan lahan dan air diarahkan untuk menjamin penyediaan pangan yang
cukup, aman dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan lahan pertanian
produktif, mencegah alih fungsi lahan pertanian subur berigasi teknis, dan
memperbaiki tata ruang, administrasi dan sertifikasi pertanahan agar tidak
menimbulkan ketidakadilan baru. Pemerintah memfasilitasi pelestarian
sumberdaya air, membangun dan memelihara jaringan irigasi, dan bersama
masyarakat mengelola pemanfaatan sumberdaya air secara adil dan berkelanjutan.
Aktivitas perbaikan pertanahan dan tata ruang wilayah dapat diwujudkan melalu
rencana aksi sebagai berikut:
a. Pengembangan reforma agraria yang lebih berkeadilan tanpa harus
mengganggu kepentingan petani, untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan
lahan pertanian yang lebih beradab;
58
b. Perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan yang murah, dengan
sasaran jelas yakni terciptanya administrasi petanahan yang memadai dan
tidak memberatkan rakyat;
c. Pemberian sanksi yang sangat berat bagi pelaku konversi lahan subur
beririgasi teknis menjadi kegunaan lain di luar pertanian agar dapat menahan
laju konversi lahan subur beririgasi yang dapat menimbulkan fenomena
ketidakdilan baru.
d. Penyusunan tata tuang daerah dan wilayah, sebagai amanat dari Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Kegiatan ini meliputi
perbaikan Rencana Tata Ruang Daerah dan Wilayah (RTRW) tingkat provinsi
secara terkoordinasi antar daerah/wilayah dengan mempertimbangkan unsur-
unsur sosial, ekonomi, budaya dan kelestarian sumberdaya alam, disertai
penerapannya secara tegas dan konsisten, dengan penerapan sanksi terhadap
pelanggaran.
e. Penerapan sistem perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian
subur melalui penyusunan peraturan dan penerapannya secara tegas bidang
perpajakan atas lahan atau usaha yang dapat menghambat/memberatkan setiap
upaya mengkonversi lahan pertanian subur, dan atau membiarkan lahan
pertanian terlantar.
3. Melakukan Antisipasi, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
Pemanasan global adalah fakta, bukan sekadar prediksi, apalagi mitos
khayal. Pemanasan global telah menimbulkan periode musim hujan dan musim
kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian,
persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi secara baik. Langkah rehabilitasi
kerusakan karena dampak kekeringan dan perubahan iklim (reaktif) akan jauh
lebih mahal dibandingkan dengan langkah adaptasi dan mitigasi bencana
59
pemanasan global itu (antisipatif). Tidak ada kata terlambat untuk memulai suatu
langkah sekecil apa pun – bukan bersilang pendapat – yang dapat berkontribusi
pada kejayaan ekonomi pertanian dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu diperlukan
suatu upaya serius untuk mengerahkan birokrasi dan aparat pemerintah di tingkat
pusat dan daerah untuk menyampaikan secara rinci serangkaian langkah berikut:
a. Penyusunan sistem peringatan dini, mulai dari tingkat teknis pola tanam
pangan, langkah hemat air dan pemanenan air setiap ada hujan, sampai pada
pelestarian sumber-sumber air di hulu sungai dan hutan konservasi.
b. Program penyiapan dan pemberian bantuan darurat bahan pangan dan air
minum/air bersih jika kekeringan melanda.
c. Perbaikan manajemen sistem irigasi, pengelolaan air dan rehabilitasi sumber-
sumber air air secara berkelanjutan menjadi sangat penting, minimal untuk
mengurangi dampak kekeringan yang lebih hebat
d. Pengurangan secara sistematis terhadap luas, intensitas, dan durasi musim
kemarau karena perubahan iklim di Indonesia, misalnya dengan “injeksi” air
dengan dam parit, sumur resapan dan channel reservoir yang dapat dikelola
sendiri oleh masyarakat.
e. Realisasi adaptasi perubahan iklim di sektor pertanian, misalnya dengan
memasyaratkan hasil-hasil studi jenis tanaman dan pola tanam yang hemat air,
f. Rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur irigasi serta melanjutkan program
sejenis yang belum selesai pada periode sebelumnya.
g. Pencegahan penurunan produksi pangan, merumuskan skema perlindungan
petani produsen (dan konsumen) secara sistematis.
4. Menjamin Cadangan Pangan Pemerintah dan Masyarakat.
60
Cadangan pangan dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan pangan,
kelebihan pangan, gejolak harga dan/atau keadaan darurat. Cadangan pangan
diutamakan berasal dari produksi dalam negeri dan pemasukan atau impor pangan
dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi. Pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/kota dan desa menyediakan dan mengelola cadangan
pangan tertentu yang bersifat pokok. Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan
seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan dan mengelola cadangan pangan
masyarakat sesuai dengan kearifan dan budaya lokal. Cadangan pangan
pemerintah dapat direalisasikan melalui rencana aksi berikut:
a. Pengembangan cadangan di setiap lapis pemerintah: dari tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat desa untuk membantu mewujudukan
cadangan pangan yang bersifat pokok di setiap daerah dan di setiap desa
dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia;
b. Pengembangan lumbung pangan di tingkat masyarakat agar tercipta dan
terintegrasi sistem cadangan pemerintah dan masyarakat;
c. Peningkatan kerjasama antar-daerah otonom, terutama aliran pangan pokok
dari daerah surplus ke daerah defisit pangan, agar terjalin kerjasama antar
daerah dengan satuan kluster ekonomi yang saling mendukung
d. Pada keadaam darurat, masing-masing kelompok masyarakat mampu
memanfaatkan dan mengelola sistem cadangan pangannya untuk mengatasi
masalah kerawanan pangannya secara mandiri dan berkelanjutan. Fasilitasi
dilakukan dalam aspek manajemen kelompok maupun aspek teknis
pengelolaan pangan sehingga kualitas dan nilai ekonominya dapat
ditingkatkan.
61
5. Mengembangkan Sistem Distribusi Pangan yang Adil dan Efisien.
Sistem distribusi pangan menyangkut pengelolaan mekanisme yang adil
antar pelaku mulai dari petani produsen, pedagang, pengolah, dan konsumen.
Sistem distribusi pangan dilaksanakan untuk menjamin penyediaan pangan setiap
rumah tangga di seluruh wilayah sepanjang waktu secara efisien dan efektif.
Pemerintah mengembangkan sarana, prasarana dan pengaturan distribusi pangan
serta mendorong partispasi masyarakat dalam mewujudkan sistem distribusi
pangan. Sistem distribusi pangan yang adil dan efisien dapat ditempuh melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengembangan infrastrukturk distribusi yang meliputi pembangunan dan
rehabilitasi sarana dasar, jalan desa dan jalan usahatani agar tercapai target
pengerasan jalan desa dan jalan usahatani, dengan prioritas pada daerah
lumbung pangan;
b. Pemberdayaan organisasi petani di tingkat pedesaan untuk membantu
meningkatkan posisi tawar petani di hadapan pedagang pengumpul dan
tengkulak;
c. Pengawasan sistem persaingan pedagang yang tidak sehat dengan sasaran
jelas, yakni berkurangnya kolusi harga antar pedagang yang merugikan petani;
d. Pengawasan dan pengembangan standar mutu pangan, untuk mendukung
terjaminnya mutu produk pangan;
e. Penghapusan retribusi produk pertanian yang masih mentah dengan sasaran
jelas, yakni hlangnya pajak atau retribusi yang memberatkan petani dan
pedagang kecil.
6. Meningkatkan Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Pangan.
62
Akses rumah tangga terhadap pangan diwujudkan melalui pengendalian
stabilitas harga pangan, peningkatan daya beli, pemberian bantuan pangan dan
pangan bersubsidi. Pemerintah memantau dan mengidentifkasi secara dini tentang
kekurangan dan surplus pangan, kerawanan pangan, dan ketidakmampuan rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya serta melakukan tindakan
pencegahan dan penanggulangan yang diperlukan. Bantuan pangan dan pangan
bersubsidi disalurkan kepada kelompok rawan pangan dan keluarga miskin untuk
meningkatkan kualitas gizinya. Rencana aksi untuk memperbaiki aksesibilitas
pangan dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a. Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk membantu aksesibilitas, agar
semakin solid rasa saling percaya di antara masyarakat baik di perdesaan
maupun di perkotaan;
b. Pengembangan pangan lokal untuk meningkatkan pendaptaan rumah tangga
dan daya beli masyarakat, agar semakin terintegrasi budaya dan kearifan
pangan lokal dengan pengentasan kemiskinan secara umum;
c. Peningkatan efektivitas program subsidi pangan seperti beras untuk keluarga
miskin (raskin) agar tingkat salah-sasaran semakin berkurang dan kriteria tepat
lainnya semakin baik; dan
d. Identifikasi secara dini dan pemantauan berkala gejala kurang pangan dan
surplus pangan, dengan sasaran jelas, yakni tersedianya peta defisit dan
surplus pangan di seluruh Indonesia
7. Menjaga Stabilitas Harga Pangan.
Stabilitas harga pangan tertentu yang bersifat pokok diarahkan untuk
menghindari terjadinya gejolak harga yang mengakibatkan keresahan masyarakat.
Pemerintah melakukan pemantauan dan stabilisasi harga pangan tertentu yang
bersifat pokok melalui pengelolaan pasokan pangan, kelancaran distribusi pangan,
63
kebijakan perdagangan, pemanfaatan cadangan pangan dan intervensi pasar
apabila diperlukan. Rencana aksi untuk mewujudkan stabilitas harga pangan
tersebut dapat ditempuh melalui:
a. Pemantauan secara mingguan dan bulanan harga pangan strategis (beras,
jagung, gula, kedelai dan daging) agar tersedia data yang konsisten serta
sebaran harga pangan strategis di tingkat produsen dan tingkat konsumen yang
dapat dipercaya;
b. Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan penyanggah untuk menjaga
stabilitas harga pangan, agar tersedia pasokan pangan, terutama pada saat
paceklik, gagal panen dan bencana alam;
c. Pengembangan sistem pangadaan pangan pokok yang melibatkan lembaga
usaha ekonomi pedesaan, agar kapasitas kelembagaan masyarakat dalam
pengadaan pangan semakin meningkat.
8. Mencegah dan Menangani Keadaan Rawan Pangan dan Gizi.
Pencegahan keadaan rawan pangan dan gizi dilakukan melalui
pengembangan dan pemantapan sistem isyarat dini dan intervensi yang memadai.
Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan keadaan rawan pangan
dan gizi akibat kemiskinan dan keadaan darurat karena bencana alam, konflik
sosial dan paceklik yang berkepanjangan. Penanggulangan keadaan rawan pangan
dan gizi dilakukan melalui pemberian bantuan pangan dan pelayanan kesehatan
serta penguatan kapasitas individu dan kelembagaan masyarakat perdesaan dan
perkotaan. Rencana aksi untuk mencegah dan menangani keadaan rawan pangan
dan gizi di atas dapat dirinci sebagai berikut:
a. Pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi, (SKPG dan
sejenisnya) agar tercipta sistem isyarat dini yang mudah dimengerti dan
dimanfaatkan oleh segenap lapisan masyarakat;
64
b. Pemantauan secara berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga,
karena gagal panen dan paceklik, untuk membangkitkan kembali kelembagaan
masyarakat dengan sistem monitoring sederhana yang dilakukan oleh setiap
rumah tangga di seluruh Indoensia;
c. Fasilitasi pemerintah daerah untuk membangun kemampuan merespon isyarat
tersebut secara tepat dan cepat untuk mencegah dan mengatasi terjadinya
kerawanan pangan.
d. Peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan dan bimbingan sosial
kepada keluarga yang membutuhkan melalui sistem komunikasi, informasi
dan edukasi yang sesuai dengan situasi sosial budaya dan ekonomi setempat.
e. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, agar
tersedianya pangan dengan kandungan gizi seimbang yang mudah dijangkau;
dan
f. Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat
menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi untuk mempercepat langkah
penanganan gejala rawan pangan, terutama pada kantong-kantong kemiskinan
di perdesaan dan perkotaan
9. Melakukan Diversifikasi Pangan.
Diversifikasi pangan sebenarnya meliputi diversifikasi produksi dan
diversifikasi konsumsi pangan. Diversifikasi produksi (usaha) diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan produsen, terutama petani, peternak dan nelayan kecil
melalui pengembangan usahatani terpadu, pelestarian sumberdaya alam,
konservasi lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya air, dan keanekaragaman
hayati. Diversifikasi konsumsi pangan diarahkan untuk mencapai konsumsi
pangan yang bergizi seimbang. Pemerintah memfasilitasi diversifikasi usaha dan
konsumsi pangan melalui pengembangan teknologi dan industri pangan sesuai
65
sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Diversifikasi usaha atau produksi
pangan dan diversifikasi konsumsi pangan dapat ditempuh melalui rencana aksi
sebagai berikut:
a. Pengembangan diversifikasi usaha melalui usahatani terpadu bidang pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan dan lain-lain untuk ”menyebar-ratakan”
risiko gagal panen karena iklim dan cuaca serta karena fluktuasi harga yang
sulit diantisipasi;
b. Pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati di daerah kawasan
hutan sebagai sumber pangan alternatif bagi masyarakat miskin, terutama
yang berada di sekitar kawasan hutan;
c. Pengembanga pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah untuk
mengembangkan pangan lokal, terutama yang memiliki sifat khas dan eksotis;
d. Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang agar
tercipta sinergi saling menguntungkan antara diversifikasi pangan dan
pengembangan pangan lokal;
e. Pengembangan teknologi pangan untuk meningkatkan nilai tambah dalam
rangka diverisikasi pangan untuk semakin mengembangkan sumber energi dan
protein dari pangan alternatif yang ada; dan
f. Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi untuk
mewujudkan pangan alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan
terhadap pangan pokok seperti beras.
10. Meningkatkan Keamanan dan Mutu Pangan.
Penanganan keamanan dan mutu pangan diarahkan untuk menjamin
produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar dari cemaran biologis,
kimia, dan fisik yang berbahaya bagi kesehatan. Pemerintah melakukan
66
pencegahan dan penanggulangan dampak pangan yang tidak aman bagi
masyarakat melalui penetapan standar keamanan dan mutu pangan, kehalalan,
serta perdagangan. Rencana aksi peningkatan keamanan dan mutu pangan dapat
diwujudkan sebagai berikut:
a. Pembinaan sistem produksi dan konsumsi pangan masyarakat agar terhindar
dari cemaran biologis, kimia, dan fisik yang berbahaya, untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat, produsen pangan besar dan usaha kecil menengah
tentang pangan bermutu dan aman bagi kesehatan;
b. Pencegahan dini, penegakan hukum bagi penanggulangan dampak pangan
yang tidak aman untuk menekan peredaran pangan tidak mutu dan tidak aman
dan tidak berkualitas, sekaligus untuk menciptakan mekanisme penanganan
dampak negatif pangan;
c. Penetapan standar keamanan dan mutu pangan, kehalalan, serta perdagangan
pangan, untuk secara keserluruhan meingkatkan kualitas kemananan, mutu
pangan, kehalanan pangan dalam sistem perdagangan pangan.
11. Memfasilitasi Penelitian dan Pengembangan.
Penelitian dan pengembangan bidang pangan diarahkan untuk
mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah memfasilitasi kegiatan
penelitian dan pengembangan terutama melalui alokasi anggaran yang memadai
serta mendorong peran-serta sektor swasta dalam penelitian dan pengembangan
ketahanan pangan dan gizi. Rencana aksi untuk mendukung aktivitas penelitian
dan pengembangan dapat diwujudkan melalui:
a. Pemberian fasiltias, kemudahan, penghargaan dan dukungan politis pada
kegiatan penelitian dan pengembangan, untuk mewujdukan hasil-hasil
penelitian yang dapat digunakan untuk mengembangkan produksi dan
efisiensi usaha pangan;
67
b. Alokasi anggaran negara yang memadai untuk penelitian dan pengembangan,
sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB);
c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan antara lembaga penelitian, universitas
dan sektor swasta dalam pencarian dan pengembangan inovasi penelitian
untuk membuka ruang dan semangat bagi sektor swasta berpartisipasi dalam
penelitian dan pengembagan pangan; dan
d. Peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknologi budidaya,
berupa perakitan teknologi untuk menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi
untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas usaha pertanian, perikanan dan
kehutananan, serta untuk perbaikan teknologi budidaya untuk menekan
senjang hasil antara tingkat penelitian dan tingkat petani, meningkatkan
efisiensi ke arah zero waste, memperbaiki/ mempertahankan kesuburan lahan
dan meningkatkan pendapatan petani.
12. Melaksanakan Kerjasama Internasional.
Kerjasama internasional pembangunan ketahanan pangan dilakukan
melalui diplomasi ekonomi, politik dan budaya dengan prinsip kesetaraan,
keadilan dan kedaulatan yang bermartabat. Pemerintah menetapkan kebijakan
perdagangan pangan, terutama pangan pokok dan yang bersifat strategis untuk
melindungi kepentingan petani produsen dan konsumen. Pemerintah memetakan
kekuatan daya saing usaha pangan nasional secara berkala untuk acuan
pengembangan ketahanan pangan dalam dinamika ekonomi global. Rencana aksi
menuju kerjasama internasional yang lebih beradab dan saling menguntungkan
dapat dirinci sebagai berikut:
a. Penggalangan kerjasama ekonomi baik dalam kerangkan bilateral maupun
multilateral, untuk memperkokoh posisi Indonesia dalam perdagangan pangan
di ASEAN, dan Asia Pasifik;
68
b. Peningkatan jumlah atase pertanian dan perdagangan yang berkualtias dan
bertanggung jawab agar mampu membawa misi kepentingan nasional dalam
kancah internasional;
c. Diplomasi ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk meningkatkan ketahanan
pangan domestik dengan sasaran jangka menengah yang jelas, yakni semakin
dihormatinya Indonesia dalam arena perdagangan dan kerjasama ekonomi
tingkat internasional.
13. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat.
Peran serta masyarakat diarahkan untuk mewujudkan ketahanan pangan,
melalui pengembangan aktivitas produksi, perdagangan dan distribusi pangan,
pengeloalaan cadangan pangan, konsumsi pangan bergizi seimbang, serta
pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Pemerintah memfasilitasi
keikutsertaan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi pangan dan
gizi, serta peningkatan kapasitas dan motivasi masyarakat. Rencana aksi untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dapat dirinci sebagai berikut:
a. Pemberian insentif bagi mereka yang berjasa pada pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan dan gizi, agar masyarakat semakin bergairah
untuk berpartisipasi membantu menanggulangi masalah pangan dan gizi;
b. Peningkatan motivasi masyarakat dan kapasitas dan kelembagaan yang
mendukung proses pencapaian ketahanan pangan, agar semakin besar tingkat
kapasitas kelembagaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan;
c. Pengembangan lembaga dan kebijakan pendukung, seperti lembaga simpan-
pinjam desa dan usaha kecil menengah (UKM) serta koperasi, untuk
berkontribusi pada bangkitnya kembali lembaga simpan pinjam desa dan
partisipasi UKM dan koperasi dalam penyediaan pangan.
69
14. Mengembangkan Sumberdaya Manusia.
Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan
melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara lebih komprehensif.
Pemerintah merevitalisasi sistem penyuluhan melalui kerjasama sinergis dengan
lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga pengembangan swadaya
masyarakat yang lebih beradab, bertanggung jawab dan menjunjung nilai-nilai
kebenaran. Rencana aksi yang dapat dilaksanakan untuk menunjang
pengembangan sumberdaya manusia (SDM) meliputi:
a. Perbaikan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan secara lebih
komprehensif agar tersusun program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
pangan yang lebih komprehensif;
b. Penyusunan dan sosialisasi peraturan penyuluhan, penataan kelembagaan
penyuluhan pertanian, peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian,
peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan penerapan
secara meluas pendekatan pemberdayaan/pendampingan kepada kelompok
masyarakat petani/ nelayan
c. Pemberian muatan pangan dan gizi pada kurikulum pendidikan di sekolah
dasar dan kejuruan untuk meningkatklan kesadaran masyarakat tentang
pangan bermutu sejak usia dini;
d. Peningkatan kerjasama dengan lembaga non-pemerintah (LSM) dan kelompok
masyarakat lain yang peduli terhadap peningkatan sumberdaya manusia
(SDM) agar tercipta suatu kerjasama sinergis antara lembaga pemerintah,
lembaga swasta, dan lembaga masyarakat yang peduli pada mutu pangan dan
gizi.
70
15. Melaksanakan Kebijakan Makro dan Perdagangan yang Kondusif
Falsafah utama dari kebijakan makro dan kebijakan perdaganga yang
kondusif adalah integrasi strategi ekonomi makro ke dalam pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan, apa pun kondisinya. Untuk negara agraris dan
basis sumberdaya seperti Indonesia, seluruh elemen kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal pasti amat terkait dengan pembangunan pertanian.
a. Kebijakan fiskal yang memberikan insentif bagi usaha pertanian, misalnya
dengan pemberian keringanan pajak bagi para pelaku usaha di bidang
pertanian dan pengolahan pangan untuk mendorong pertumbuhan investasi
usaha berbasis pertanian dan pangan.
b. Alokasi anggaran negara dan anggaran daerah yang memadai untuk
pembangunan pertanian dan ketahanan pangan, melalui peningkatan kapasitas,
kepedulian dan pemberian pemahaman serta umpan balik kepada lembaga
pemerintah yang berkompeten termasuk lembaga legislatif;
c. Kebijakan proteksi perdagangan, minimal untuk empat komoditas utama
dalam special products (SPs), yaitu: beras, jagung, kedelai dan tebu (plus
daging) sebagaimana disampaikan secara resmi oleh Indonesia kepada
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Langkah ini dapat dilakukan melalui
penerapan berbagai instrumen dan regulasi perdagangan secara arif untuk
melindungi dari persaingan yang tidak menguntungkan dan memberikan
dukungan terhadap peningkatan daya saing produk pertanian strategis
nasional.
71
3.2 Prasyarat Koordinasi dan Integrasi Kebijakan
Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional bertumpu pada
sumberdaya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah dan
produksi domestik, serta mengurangi ketergantungan pada pemasukan atau impor
pangan. Impor pangan hanya dilakukan pada keadaan yang memaksa, misalnya
pada saat neraca pangan berada dalam keadaan negatif atau pada masa paceklik
karena kekeringan dan/atau bencana alam lainnya. Seluruh sektor dan bidang
dalam pemerintahan berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi, sebagai
prasyarat penting, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/ Kota, sampai Pemerintah Desa dan masyarakat untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
Saat ini paling tidak terdapat 20 lembaga pemerintah dan badan usaha milik
negara yang terlibat langsung dan tidak langsung terhadap kebijakan ketahanan
pangan.
1. Departemen Pertanian. Kebijakan produksi pangan, perkebunan,
peternakan, peningkatan produktivitas, pengelolaan lahan dan air irigasi,
pengolahan dan pemasaran hasil, pengembangan sumberdaya manusia
(penyuluhan, pendidikan dan latihan), penelitian dan pengembangan serta
koordinasi pemantapan ketahanan pangan.
2. Departemen Dalam Negeri. Pembinaan ketahanan pangan di daerah dan
provinsi, koordinasi kebijakan pangan dan pertanian antar daerah otonom,
pemberian insentif perwilayahan komoditas pangan, pengalokasian dana
alokasi ketahanan pangan, dalam kaitannya dengan fasilitasi penyusunan
anggaran daerah, pertanggung- jawaban dan pengawasan keuangan daerah.
3. Departemen Pertahanan. Pembinaan strategi dan interdependensi daerah
dalam mewujudkan dan memantapkan ketahanan pangan, pengamanan
72
jaringan distribusi dan stok pangan nasional. Segmen ketahanan pangan
seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari strategi petahanan dan
pertahanan nasional.
4. Departemen Keuangan. Penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan
lainnya serta pembiayaan ketahanan pangan dalam skema anggaran
pendapatan dan belanja negara negara, pengawasan komoditas pangan yang
keluar dan masuk batas wilayah negara, dan pembinaan lembaga keuangan
yang berhubungan dengan aktivitas pangan dan pertanian.
5. Departemen Perindustrian. Strategi industrialisasi yang mendukung
produksi dan produktivitas industri pangan, kebijakan agroindustri,
pengembangan industri kecil dan menengah, terutama bidang pangan dan
pertanian, serta standarisasi teknis komoditas hasil industri pangan.
6. Departemen Perdagangan. Sistem distribusi pangan dan pertanian di
dalam negeri, perdagangan internasional produk pangan, tataniaga produk
pertanian strategis, pengembangan ekspor komoditas pangan dan pertanian,
skema perdagangan berjangka bagi komoditas pangan tertentu serta
kerjasama internasional atau diplomasi ekonomi yang dibutuhkan untuk
memantapkan ketahanan pangan.
7. Departemen Kehutanan. Strategi perlindungan hutan, konservasi sumber
daya alam, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial untuk ketahanan pangan,
pemanfaatan lahan hutan untuk produksi pangan dan pertanian sepanjang
saling mendukung konservasi sumberdaya alam, pelestarian plasma-nutfah
sumberdaya hutan untuk pemantapan ketahanan pangan.
8. Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya untuk mendukung ketahanan pangan, pengawasan
dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan, pengembangan
73
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta pembinaan pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan.
9. Departemen Perhubungan. Pengembangan infrastruktur perhubungan,
pelayanan pelabuhan, sarana dan prsaranan lain dalam perhubungan laut,
darat dan udara, untuk mendukung kelancaran sistem distribusi pangan,
pengawasan pergerakan komoditas pangan.
10. Departemen Pekerjaan Umum. Pengembangan dan pemeliharaan sarana
dan prasarana (infrsatruktur), mulai dari jalan, jembatan, jaringan irigasi dan
drainase, strategi penyusunan kebijakan tata ruang dan wilayah yang akan
bermanfaat pada “perwilayahan” komoditas pangan dan pertanian.
11. Departemen Kesehatan. Peningkatan kualitas kesehatan, mutu pangan dan
gizi masyarakat, pemahaman masyarakat terhadap kebutuhan energi,
protein, vitamin dan mineral, pengawasan makan (dan obat), pengamanan
mutu pangan, terutama tentang kandungan bahan, zat penyusun serta waktu
kadaluarsa bahan pangan.
12. Departemen Sosial. Pencegahan gejala dan penanggulangan kasus rawan
pangan, penanggulangan kemiskinan dan kekurangan pangan akut,
rehabilitasi dan rekonstruksi daerah bencana, pemberdayaan masyarakat
untuk menghadapi insekuritas pangan.
13. Departemen Komunikasi dan Informasi. Penyeberluasan kebijakan
ketahanan pangan, khususnya tentang konsep pangan bermutu dan bergizi
seimbang melalui rangkaian strategi komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) pangan dan gizi, sampai pada segenap lapisan masyarakat.
14. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM).
Strategi pengembangan peran-serta kelembagaan koperasi dan UKM dalam
pemantapan ketahanan pangan, kebijakan peningkatan produksi UKM
74
bidang pangan dan pertanian, kebijakan perbaikan pemasaran dan jaringan
usaha pangan, serta dukungan strategi pengembangan dan restrukturisasi
UKM, terutama di bidang pangan;
15. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Strategi pengembangan riset
dan teknologi bidang pangan, dari hulu tingkat bahan baku dan produksi
sampai hilir serta rekayasa teknologi pangan-pertanian untuk mendukung
penemuan varietas unggul dan teknologi baru yang mampu meningkatkan
produktivitas dan efisiensi komoditas pangan serta mampu mendorong
aplikasi teknologi di tengah masyarakat.
16. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan. Strategi dan
kebijakan perencanaan pembangunan pangan yang terintegrasi dan
terkoordinasi antar-instansi pemerintah serta antara pusat dan daerah,
kebijakan pangan dan pertanian, kebijakan tataruang daerah dan wilayah,
desentralisasi kebijakan pembangunan secara umum.
17. Kementerian Negara Koordinator Bidang Perekonomian. Koordinasi
strategi dan kebijakan pembangunan pangan antar-instansi pemerintah dalam
lingkup perekonomian, antara pusat dan daerah, terutama dalam kerangka
revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
18. Badan Pusat Statistik. Akurasi dan konsistensi data produksi dan
konsumsi pangan dan pertanian, derajat kesehatan dan kualitas gizi
masyarakat, tingkat dan kedalaman kemiskinan, pertumbuhan dan kepadatan
penduduk, koordinasi publikasi data dengan instansi lain dari tingkat pusat
sampai tingkat daerah.
19. Badan Pertanahan Nasional. Peningkatan kepastian usaha produksi
pangan, melalui pencegahan konversi lahan pertanian subur beririgasi dan
pemberian sanksi yang setimpal bagi pelanggar ketentuan konversi lahan.
75
20. Perum Bulog. Memperoleh penugasan pemerintah untuk melaksanaan
pengadaan pangan, terutama yang bersifat pokok dan strategis, melakukan
pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan Pemerintah
dan distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu,
khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan
oleh Pemerintah dalam rangka ketahanan pangan.
3.3 Rencana Aksi Ketahanan Pangan 2010-2014
Rencana aksi ketahanan pangan periode 2010-2014 adalah suatu panduan
pelaksanaan kebijakan umum tersebut di tingkat lapangan, sekaligus merupakan
penjabaran rinci dari setiap elemen kebijakan dengan sasaran yang jelas, berikut
focal point, terutama lembaga pemerintah yang paling bertanggung jawab untuk
mewujudkannya. Rinician inilah yang seharusnya menjadi semacam panduan
berharga bagi para stakeholders ketahanan pangan dari lembaga pemerintah,
swasta, BUMN, perguruan tinggi lembaga swadaya masyarakat dan kalamngan
masyarakat umum. Selengkapnya, matriks rencana aksi ketahanan pangan 2010-
2014 tersebut akan diuraikan berikut ini:
55
Matriks Rencana Aksi Kebijakan Umum Ketahanan Pangan Tahun 2010-2014
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
1 Menjamin Ketersediaan Pangan Peningkatan produktivitas untuk swasembada
komoditas pangan strategis (beras, jagung,
kedelai, tebu, daging)
Utama: Deptan
Pendukung: Deperin,
Ristek,
Tercapainya swasembada pangan
strategis yang berbasis peningkatan
produktivitas dan efisiensi usaha.
Pemberian insentif sistem produksi, meliputi
subsidi input pertanian (pupuk dan benih) dan
permodalan usaha pertanian.
Utama: Menko Ekon,
Pendukung: Deptan,
Kadin, perbankan
Semakin memadainya insentif sistem
produksi bagi petani untuk
meningkatkan produksi-produktivitas
Pemanfaatan sumberdaya lahan, terutama
yang lama “tertidur” dan tidak termanfaatkan.
Utama: Deptan,
Pendukung: BPN
Dephut, KLH,
Tersedianya lahan baru untuk
produksi bahan pangan strategis
Perluasan areal tanaman pangan, pengamanan
UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, terutama ke luar Jawa
Utama: Deptan,
Pendukung: Dep PU,
Pemprov
Tersedianya lahan pangan secara
berkelanjutan 15 juta hektar untuk
produksi pangan
Pengembangan konservasi dan rehabilitasi
lahan melalui pemberian insentif dan sanksi
Utama: Dephut,
Pendukung: Deptan,
KLH
Berkurangnya degradasi lahan,
terutama pada lahan marjinal/kritis
Pelestarian sumberdaya air dan pengelolaan
daerah aliran sungai
Utama: Dephut,
Pendukung: KLH,
Deptan, swasta
Menurunnya degradasi lahan dan
tersedianya air pada musim kemarau
Peningkatan efisiensi penangan pasca panen Utama: Deperin,
Pendukung: Deptan
Kadin, Perbankan
Meningkatnya efisiensi pasca panen
Perbaikan jaringan irigasi-drainase Utama: Dep PU,
Pendukung: Deptan,
Kadin, masyarakat
Rehabilitasi 700.00 ha saluran irigasi,
terutama di daerah lumbung pangan
56
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
2 Menata Pertanahan dan Tata
Ruang dan Wilayah
Pengembangan reforma agraria yang lebih
berkeadilan tanpa harus mengganggu
kepentingan petani
Utama: BPN,
Pendukung: Deptan,
Bappenas Depdagri,
Pemda
Terwujudnya kebijakan pengelolaan
lahan pertanian yang lebih beradab
Perbaikan administrasi pertanahan dan
serifikasi lahan yang murah
Utama: BPN,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Pemda
Terselesaikannya sengketa lahan,
terutama tentang administrasi lahan
Pemberian sanksi yang sangat berat bagi
pelaku konversi lahan subur beririgasi teknis
menjadi kegunaan lain di luar pertanian
Utama: Bappenas,
Pendukung: BPN,
Deptan, Pemda
Terhentinya fenomena konversi lahan
subur beririgasi yang dapat
menimbulkan fenomena ketidakdilan
baru.
Penyusunan tata ruang daerah dan wilayah
yang memapu mendukung pewilayahan
komditas unggulan
Utama: Dep PU
Pendukung: Deptan,
Bappenas, BPN,
Pemprov
Terciptanya administrasi petanahan
yang memadai dan tidak
memberatkan rakyat
Penyusunan tata tuang daerah dan wilayah,
sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
Utama: Dep PU,
Pendukung: Depkum,
Deptan, BPN,
Pemprov
Tersusunnya RUTRW yang dapat
diakses oleh seluruh lapisan
masyarakat
Perbaikan Rencana Tata Ruang Daerah dan
Wilayah (RTRW) tingkat provinsi secara
terkoordinasi antar daerah/wilayah.
Utama: Bappenas,
Pendukung: Dep PU
BPN, Pemprov dan
Pemda (Kab/kota)
Semakin jelasnya RTRW Provinsi dan
Daerah dengan mempertimbangkan
unsur-unsur sosial, ekonomi, budaya
dan kelestarian sumberdaya alam.
Penerapan sistem perpajakan progresif bagi
pelaku konversi lahan pertanian subur melalui
penyusunan peraturan dan penerapannya
secara tegas bidang perpajakan atas lahan atau
usaha yang dapat menghambat/memberatkan
konversi lahan pertanian subur
Utama: Depkum,
Pendukung: Dep PU,
BPN, Pemprov dan
Pemda
Berkurangnya laju konversi lahan
sawah (berkelanjutan) menjadi
kegunaan lain di luar pertanian
57
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
3
Melakukan antisipasi, adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim
Penyusunan sistem peringatan dini, mulai
dari tingkat teknis pola tanam pangan,
langkah hemat air dan pemanenan air setiap
ada hujan, sampai pelestarian sumber-sumber
air di hulu sungai dan hutan konservasi.
Utama: Bappenas,
Pendukung: Deptan,
BMKG, Depdagri
dan Pemda
Tersusunnya dokumen sistem
peringatan dini, mulai dari aspek pola
tanam sampai pada pemanenan air
Program penyiapan dan pemberian bantuan
darurat bahan pangan dan air minum/air
bersih jika kekeringan melanda.
Utama: Depsos,
Pendukung: Deptan
Depdagri, Pemda
Tersedianya basis data bagi
penyaluran bantuan darurat bahan
pangan/air bersih pada saat
kekeringan melanda.
Perbaikan manajemen sistem irigasi,
pengelolaan air dan rehabilitasi sumber-
sumber air air secara berkelanjutan, minimal
untuk mengurangi dampak kekeringan yang
lebih hebat
Utama: Dep PU,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Pemda
Membaiknya sistem pengelolaam air
di daerah, terutama pada sistem
kemarau.
Pengurangan secara sistematis terhadap luas,
intensitas, dan durasi musim kemarau karena
perubahan iklim, misalnya dengan “injeksi”
air dengan dam parit, sumur resapan dan
channel reservoir .
Utama: Deptan,
Pendukung: BMKG
Depdagri, Pemda
Terselenggarakannya sistem injeksi
air, dam parit, sumur resapan yang
dikelola langsungoleh masyarakat.
Rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur
irigasi serta melanjutkan program sejenis
yang belum selesai pada periode sebelumnya.
Utama: Dep PU,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Pemda
Terselesaikannya pembangunan
proyek infrastruktur, terutama yang
tidak sempat selesai pada 2009
Pencegahan penurunan produksi pangan,
perumusan skema perlindungan petani
produsen (dan konsumen) secara sistematis.
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Pemda
Berkurangnya kemungkinan produksi
pagan.karena petani telah dilindungi
dari beberapa macam risiko...
Penelitian dan pengembangan varietas
pangan yang tahan kekeringan dan efisiensi
pemakaian air permukaan dan air tanah
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Universitas, Kadin,
swasta dan Pemda
Tersedianya varietas baru yang
unggul sekaligus mampu adaptasi
dengan perubahan iklim dan
pemanasan global.
58
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
4 Menjamin Cadangan Pangan
Pemerintah dan Masyarakat
Pengembangan cadangan di setiap lapis
pemerintah: daerah dan desa
Utama: Bulog,
Pendukung: Deptan
Depdagri, Pemda
Tersedianya cadangan pangan pokok
di setiap daerah (jika perlu setiap
desa)
Pengembangan lumbung pangan di tingkat
masyarakat
Utama: Depdagri,
Pendukung: Deptan,
Pemda
Terintegrasinya sistem cadangan
pemerintah dan cadangan masyarakat
Peningkatan kerjasama antar-daerah otonom,
terutama aliran pangan pokok dari daerah
surplus ke daerah defisit pangan
Utama: Depdgari,
Pendukung: Deptan
Semakin terintegrasinya kerjasama
antar daerah dengan satuan kluster
ekonomi yang saling mendukung
Pengelolaan sistem cadangan pangan oleh
masyrakat, terutama pada keadaam darurat,
masing-masing kelompok masyarakat
Utama: Depdagri
Pendukung: Deptan,
Bulog Pemda,
LKMD masyarakat
Terkelolanya cadangan pangan
masayrakat untuk mengatasi masalah
kerawanan pangannya secara mandiri
dan berkelanjutan.
Fasilitasi aspek manajemen kelompok dan
fasiltiasi aspek teknis pengelolaan pangan
Utama: Menkop
Pendukung: Deptan,
Pemda, Pem Desa,
LKMD, masyarakat
Meningkatnya kualitas kehidupan
masayarakat nilai ekonomi cadangan
pangan masyarakat.
59
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
5 Mengembangkan Sistem
Distribusi Pangan yang Adil dan
Efisien
Pengembangan (pembangunan dan
rehabilitasi) sarana dasar, jalan desa dan jalan
usahatani
Utama: Dep PU,
Pendukung: Dephub,
Depdagri
Target pengerasan jalan desa dan
jalan usahatani, dengan prioritas pada
daerah lumbung pangan
Pemberdayaan organisasi petani di tingkat
pedesaan
Utama: Deptan,
Pendukung: Pemda.
Depdagri, Dep PU
Meningkatnya posisi tawar petani di
hadapan pengumpul dan tengkulak
Pengawasan sistem persaingan pedagang yang
tidak sehat
Utama: Depdag,
Pendukung: KPPU,
Pemprov dan Pemda
Berkurangnya kolusi harga antar
pedagang yang merugikan petani
Pengawasan dan pengembangan standar mutu
produk pangan
Utama: Depdag,
Pendukung: Depkes,
Deperin, BP POM
Terjaminnya mutu produk pangan
Penghapusan retribusi produk pertanian yang
masih mentah
Utama: Depkeu,
Pendukung: Deptan,
Depdag, Pemda
Hilangnya retribusi memberatkan
petani dan pedagang kecil.
6 Meningkatkan Aksesibilitas
Rumah Tangga terhadap Pangan
Penguatan kelembagaan di tingkat desa untuk
membantu aksesibilitas masyarakat miskin
terhadap pangan strategis
Utama: Depdagri,
Pendukung: Menko
Kesra, Pemda
Semakin solidnya rasa saling percaya
di antara masyarakat baik di
perdesaan maupun di perkotaan
Pengembangan pangan lokal untuk
meningkatkan pendaptaan rumah tangga dan
daya beli masyarakat
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Pemda, Menko Kesra
Terintegrasinya budaya dan kearifan
pangan lokal dengan pengentasan
kemiskinan secara umum
Peningkatan efektivitas program beras untuk
keluarga miskin-raskin
Utama: Bulog,
Pendukung: Pemda,
swasta, masyarakat
Berkurangnya tingkat ”salah-sasaran”
dan meningkatkanya kriteria tepat
lainnya
Identifikasi secara dini dan pemantauan
berkala gejala kurang pangan dan surplus
pangan
Utama: Depkes,
Pendukung: Deptan,
Pemda, universitas
Tersedianya peta defisit dan surplus
pangan di seluruh Indonesia
60
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
7 Menjaga Stabilitas Harga Pangan Pemantauan secara mingguan dan bulanan
harga pangan strategis (beras, jagung, gula,
kedelai)
Utama: Depdag,
Pendukung: BPS,
Deptan, Pemda
Tersedianya data dan sebaran harga
pangan strategis
Pengelolaan pasokan pangan dan cadangan
penyanggah untuk menjaga stabilitas harga
pangan
Utama: Depdag,
Pendukung: Deptan,
Bulog, Pemprov
Siap sedianya pasokan pangan pada,
terutama pada saat paceklik, gagal panen
dan bencana alam
Pengembangan sistem pangadaan pangan
pokok yang melibatkan lembaga usaha
ekonomi pedesaan
Utama: Bulog,
Pendukung: Deptan,
Pemda, univesitas
Meningkatnya kapasitas kelembagaan
masyarakat di tingkat desa dalam
pengadaan pangan pokok
8 Mencegah dan Menangani
Keadaan Rawan Pangan dan
Gizi.
Pengembangan sistem isyarat dini keadaan
rawan pangan dan gizi
Utama: Depkes,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Bappenas
Terciptanya sistem isyarat dini yang
mudah dimengerti dan dimanfaatkan oleh
segenap lapisan masyarakat
Pemantauan secara berkala tentang
perkembangan pola pangan rumah tangga,
karena gagal panen dan paceklik
Utama: Depdagri,
Pendukung: Depkes,
Pemda, pemda
Bangkitnya kembali kelembagaan
masyarakat dengan sistem monitoring
sederhana yang dilakukan oleh setiap
rumah tangga di seluruh Indoensia
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk
peningkatan gizi keluarga
Utama: Deptan,
Pendukung: Depkes,
Depdagri, Pemda,
Tersedianya pangan dengan kandungan
gizi seimbang yang mudah dijangkau
Pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di
seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi
keadaan rawan pangan dan gizi
Utama: Bulog,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Depkes,
Cepatnya penanganan gejala rawan
pangan, terutama pada kantong-kantong
kemiskinan di perdesaan dan perkotaan
61
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
9 Melakukan Diversifikasi Pangan Pengembangan diversifikasi usaha melalui
usahatani terpadu bidang pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan dsb.
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Pemprov, Dinas2
Tersebarnya risiko gagal panen karena
iklim dan cuaca serta karena fluktuasi
harga yang sulit untuk diantisipasi
Pelestarian sumberdaya alam dan
keanekaragaman hayati di daerah kawasan
hutan
Utama: Deptan,
Pendukung: Dephut,
KLH, masyarakat
Teresdianya sumber pangan alternatif bagi
masyarakat miskin, terutama pada
kawasan hutan
Pengembanga pangan lokal sesuai dengan
kekhasan daerah
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Pemda, masyarakat
Berkembangnya pangan lokal, terutama
yang memiliki sifat khas dan eksotis
Peningkatan diversifikasi konsumsi pangan
dan prinsip gizi seimbang
Utama: Depkes,
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Pemda
Berkembangnya sumber energi dan
protein dari pangan alternatif yang ada
Pengembangan teknologi pangan untuk
meningkatkan nilai tambah dalam rangka
diverisikasi pangan
Utama: Menristek
Pendukung: Deperin,
Kadin, masyarakat
Tersedianya pangan alternatif yang dapat
mengurangi ketergantungan terhadap
pangan pokok seperti beras
Perbaikan sistem komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) gizi
Utama: Depkes,
Pendukung:Depdagri
Pemda, Depkominfo
Meningkatnya pemahaman masyarakat
tentang gizi seimbang
10
Meningkatkan Mutu dan
Keamanan Pangan
Pembinaan sistem produksi dan konsumsi
pangan masyarakat agar terhindar dari
cemaran biologis, kimia, dan fisik yang
berbahaya.
Utama: Depkes,
Pendukung: Deprin,
Depdag, Deptan
Bertambahnya pemahaman masyarakat,
produsen pangan besar dan usaha kecil
menengah tentang pangan bermutu dan
aman bagi kesehatan
Pencegahan dini, penegakan hukum
penanggulangan dampak pangan yang tidak
aman.
Utama: Depkes,
Pendukung: POM
Deprin, Deptan
Berkurangnya pangan tidak mutu dan
tidak aman, dan terciptanya mekanisme
penanganan dampak negatif pangan.
Penetapan standar keamanan dan mutu
pangan, kehalalan, perdagangan pangan.
Utama: Depkes,
Pemda, Deprin, Dep
Meningkatnya kualitas kemananan, mutu
pangan, kehalanan pangan dalam sistem
62
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
11 Memfasilitasi Penelitian dan
Pengembangan
Pemberian fasiltias, kemudahan, dan
dukungan politis untuk penelitian dan
pengembangan
Utama: Ristek,
Pendukung: Deptan,
Depkeu, universitas,
swasta, masyarakat
Meningkatnya hasil-hasil penelitian
yang dapat digunakanlangsung untuk
mengembangkan produksi dan efisiensi
usaha pangan
Alokasi anggaran negara yang memadai
untuk penelitian dan pengembangan
Utama: Ristek,
Pendukung: Deptan,
Depkeu, masyarakat
Terwujudnya alokasi anggaran dana
penelitian dan pengembangan bidang
pangan sampai 1 persen dari PDB
Peningkatan kerjasama dan kemitraan
antara lembaga penelitian, universitas dan
sektor swasta dalam pencarian dan
pengembangan inovasi penelitian
Utama: Ristek,
Pendukung: Deptan,
Depdag, Deperin
Semakin besarnya semangat sektor
swasta untuk berpartisipasi dalam
penelitian dan pengembagan pangan
12 Melaksanakan Kerjasama
Internasional
Penggalangan kerjasama ekonomi baik
dalam kerangkan bilateral maupun
multilateral
Utama: Deplu,
Pendukung:Depdag,
Dephan, Deptan
Semakin kokohnya posisi Indonesia
dalam perdagangan pangan di ASEAN,
dan Asia Pasifik
Peningkatan jumlah atase pertanian dan
perdagangan
Utama: Deplu,
Pendukung:Depdag,
Deptan
Bertambahnya secara signifikan jumlah
atase pertanian dan perdagangan yang
mampu membawa misi kepentingan
nasional dalam kancah internasional
Diplomasi ekonomi, politik, sosial dan
budaya untuk meningkatkan ketahanan
pangan domestik
Utama: Deplu,
Pendukung:Depdag,
Deptan
Semakin dihormatinya Indonesia
dalam arena perdagangan dan
kerjasama ekonomi tingkat
internasional
63
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
13 Meningkatkan Peran Serta
Masyarakat
Pemberian insentif bagi mereka yang
berjasa pada pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan dan gizi
Utama: Depdagri,
Pendukung: Deptan
Depdag, Pemda
Semakin bergairahnya masyarakat
untuk berpartisipasi membantu
menanggulangi masalah pangan & gizi
Peningkatan motivasi masyarakat dan
kapasitas dan kelembagaan yang dapat
mendukung proses pencapaian ketahanan
pangan
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri
Meningkatnya motivasi dan kapasitas
kelembagaan masyarakat di perdesaan
dan perkotaan
Pengembangan lembaga dan kebijakan
pendukung, seperti lembaga simpan-pinjam
desa dan usaha kecil menengah (UKM)
serta koperasi
Utama: Menkop,
Pendukung: Pemda,
Menko Perekonomi
Kembali bangkitnya lembaga simpan
pinjam desa dan semakin besarnya
partisipasi UKM dan koperasi dalam
penyediaan pangan
14 Mengembangkan Sumberdaya
Manusia (Pangan-Pertanian)
Perbaikan program pendidikan, pelatihan
dan penyuluhan pangan secara lebih
komprehensif
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri,
Pemprov, Dinas2
Tersusunnya program pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan pangan yang
lebih komprehensif;
Penyusunan dan sosialisasi peraturan
penyuluhan, penataan kelembagaan
penyuluhan pertanian, peningkatan
ketenagaan penyuluhan pertanian, dll
Utama: Deptan,
Pendukung:Depdagri
Pemprov, Dinas2
Meningkatannya mutu, akseptabilitas
penyelenggaraan penyuluhan
pertanian, pemberdayaan/
pendampingan kepada kelompok
masyarakat petani/ nelayan
Pemberian muatan pangan dan gizi pada
kurikulum pendidikan di sekolah dasar dan
kejuruan
Utama: Diknas
Pendukung:Deptan,
Depdagri, Pemda
Semakin mningkatnya kesadaran
masyarakat tentang pangan bermutu
sejak usia dini;
Peningkatan kerjasama dengan lembaga
non-pemerintah (LSM) dan kelompok
masyarakat lain yang peduli terhadap
peningkatan sumberdaya manusia (SDM)
Utama: Menko Kesra
Pendukung: Deptan,
Depdagri, Pemda
terciptanya suatu kerjasama sinergis
antara lembaga pemerintah, lembaga
swasta, dan lembaga masyarakat yang
peduli pada mutu pangan dan gizi.
64
No
Tujuan Kebijakan
Program Kegiatan
Lembaga Relevan
Indikator keberhasilan (output)
15 Melaksanakan Kebijakan Makro
dan Perdagangan yang Kondusif
Kebijakan fiskal yang memberikan insentif
bagi usaha pertanian, misalnya dengan
pemberian keringanan pajak bagi para
pelaku usaha di bidang pertanian dan
pengolahan pangan
Utama: Depkeu,
Pendukung: BKPM,
Deptan, Kadin,
Depdagri, Pemprov
Semakin bergairahnya investasi usaha
berbasis pangan dan pertanian, dari
hulu sampai hilir
Alokasi anggaran negara dan anggaran
daerah yang memadai untuk pembangunan
pertanian dan ketahanan pangan, melalui
peningkatan kapasitas, kepedulian dan
pemberian pemahaman
Utama: Depkeu,
Pendukung: Deptan,
Kadin, Depdagri,
Pemprov
Semakin meningkatnya kesadaran para
perumus kebijakan, anggota parlemen,
untuk menjadikan sektor pangan dan
pertanian sebagai landasan penting
pembangunan ekonomi Indonesia
Kebijakan proteksi perdagangan, minimal
untuk empat komoditas utama dalam
special products (SPs), yaitu: beras, jagung,
kedelai dan tebu (plus daging) sebagaimana
disampaikan secara resmi Indonesia kepada
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kebijakan proteksi (dan promosi ini) danpat
memberikan dukungan peningkatan daya
saing produk strategis nasional
Utama: Depdag,
Pendukung: Depkeu,
Deptan, Kadin,
Depdagri, Pemprov
Semakin membaiknya instrumen dan
regulasi perdagangan untuk melindungi
petani Indonesia dari persaingan global
yang tidak menguntungkan.
65
BAB 4.
PENUTUP: PENAJAMAN KEBIJAKAN
Secara umum, penajaman kebijakan ketahanan pangan yang dapat
mewadahi berbagai macam kepentingan yang berkembang menurut pelaku
ekonomi dan segenap stakholders adalah berlandaskan falsafah dasar ketahanan
pangan, bahkan kemandirian pangan, yang berdimensi ketersediaan pangan,
aksesibilitas dan stabilitas harga pangan dan utilisasi pangan. Dimensi
ketersediaan dapat dipenuhi dengan konsistensi strategi peningkatan produksi
pangan di dalam negeri, untuk mengurangi ketergantungan kepada pangan impor,
sekaligus meningkatkan kemandirian pangan dan kedaulatan bangsa. Dimensi
aksesibilitas dapat dipenuhi dengan strategi kecukupan pangan (food adequacy),
untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan pangan di seluruh wilayah
Indonesia, yang dapat dijangkau dan aman dikonsumsi masyarakat luas. Dimensi
stabilitas dapat dipenuhi dengan pelaksanaan strategi implementasi kebijakan
stabilisasi harga, baik dengan dukungan penuh anggaran negara, maupun dengan
pembenahan aspek kelembagaan dari pasar pangan di dalam negeri. Penajaman
kebijakan ketahanan pangan dapat ditempuh melalui berapa langkahh berikut:
Pertama, memperkuat cadangan pangan pemerintah yang merupakan
manifestasi dari konsep stok besi (iron stock) atau cadangan yang harus ada
sepanjang waktu, terutama untuk mengatasi kondisi darurat. Di tingkat normatif,
falsafah cadangan pangan ini telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, sebagai penjabaran dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Stok besi yang aman
minimal setara satu bulan total konsumsi atau sekitar 300 ribu ton, sehingga
diperlukan sekitar 3,6 juta ton per tahun. Selain itu, cadangan pangan pokok juga
perlu disimpan dalam bentuk stok penyangga (buffer stock) untuk pengendalian
gejolak harga, dalam skema operasi pasar. Perum Bulog mengelola cadangan
66
beras pemerintah (CBP) dan stok penyangga, terutama untuk menjalankan
program beras untuk keluarga miskin (raskin). Apabila saat ini Bulog mampu
melakukan pengadaan beras dalam negeri mencapat 2 juta ton atau lebih, hal itu
adalah batas bawah tingkat aman untuk mengantisipasi gejolak peningkatan
harga, terutama pada musim paceklik. Kapasitas gudang Bulog di seluruh
Indonesia mencapai 4 juta ton lebih, sehingga strategi pengadaan pangan (dari)
dalam negeri hampir perlu memperoleh perhatian memadai.
Kedua, memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan cadangan
pangan yang bersifat pokok, walau pun tidak terbatas pada romantisasi lumbung
pangan seperti pada masa lalu. Sebagian besar stok pangan di Indonesia itu
dikelola masyarkat sendiri dan kalangan dunia usaha, karena kemampuan Bulog
hanya 7-8 persen dari produksi beras nasional. Di satu sisi, secara administratif
telah ditegaskan bahwa ketahanan pangan adalah “urusan wajib” bagi
pemerintahan daearah (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Laporan Pertanggungjawaban Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota). Dalam hal ini kata
kuncinya adalah pemerintah dan pemerintah daerah (plus masyarakat) perlu bahu-
membahu meningkatkan cadangan pangan, demi terciptanya ketahanan pangan,
bahkan kemandirian pangan di Indonesia. Upaya pengelolaan cadangan pangan
oleh pemerintah daerah dapat menjadi komplemen dari cadangan beras
pemerintah (CBP) di tingkat pusat (yang dikelola Perum Bulog). Prasyarat,
kriteria, dan indikator untuk mewujudkan cadangan pangan regional ini memang
perlu secara rinci dirumuskan, agar meminimalisir upaya perburuan rente dari
para petualang, mengurani risiko karena faktor ketidakpastian iklim, dan
mengembangkan skema lindung nilai yang mampu mengurangi risiko finansial.
67
Ketiga, meningkatkan produksi dan produktivitas pangan di dalam negeri
melalui aplikasi teknologi baru, yang dihasilkan melalui perjalanan panjang
penelitian dan pengembangan (R and D), serta penelitian untuk pengembangan (R
for D). Dunia usaha dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata
melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat
penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia.
Hanya dengan R-and-D dan R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga
daya saing Imdonesia akan meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha dapat pula
untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan,
terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi
pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan
strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi
demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah engembangan
teknologi dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal.
Keempat, menjamin kelancaran manajeman distribusi pangan pokok,
maka pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus mampu menjaga stabilitas
harga pangan pokok, dengan cara memperbaiki manajemen kebijakan
perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Sebagaimana disinggung sebelumnya,
dalam menghadapi kondisi darurat, pemerintah perlu memobilisasi cadangan
pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat serta melakukan dan
melibatkan industri pangan nasional. Pada kondisi tidak normal tersebut, subsidi
harga pangan [dalam format Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin),
Sistem Kepaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) dan lain-lain], mungkin masih diperlukan, karena mampu menjangkau
ribuan titik distribusi di segenap pelosok tanah air. Lebih penting lagi, skema
subsidi pangan perlu pula dilihat sebagai investasi negara untuk memperkuat
68
jaringan distribusi program bahan pangan bersubsidi lainnya, bahkan menjadi
cikal-bakal pelaksanaan food-stamp atau bantuan pangan, sekaligus untuk
berkontribusi pada pembangunan sumberdaya manusia Indonesia yang lebih
komprehensif.
Kelima, melaksanakan strategi diversifikasi pangan secara lebih serius,
untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi beras, yang saat ini sangat
tinggi dan sering mempengaruhi tekanan permintaan terhadap beras. Falsafah
dasar tentang ”pemenuhan pangan beragam dan gizi seimbang” dapat dijadikan
pintu masuk ke dalam strategi diversifikasi pangan yang berbasis tepung-
tepungan, yang bersumber dari pangan lokal, yang mudah sekali dijumpai di
pelosok tanah air. Langkah awal dapat dimulai dengan pengembangan sumber
pangan lokal, eksotik, bernilai ekonomi tinggi, mengandung protein, vitamin dan
bergizi baik. Kampanye ”makan ikan” dan ”minum susu” akan mampu
memperbaiki kecukupan protein dan vitamin, yang dapat saja mengurangi tekanan
konsumsi terhadap bahan karbohidrat seperti beras yang sangat sensitif secara
ekonomi dan politik. Kemudian, pengindustrian pangan lokal ini harus
memperoleh dukungan kebijakan yang memadai, mulai dari skema pembiayaan,
insentif perpajakan, dan kemudahan lainnya.