Upload
praktikumhasillaut
View
7
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
praktikum kecap ikan ini dilakukan pada hari Senin,21 September 2015. Kecap Ikan merupakan produk samping dalam industri pengolahan ikan dengan menggunakan fermentasi baik secara enzimatis maupun dengan garam.
Citation preview
Acara IV
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Agustina Cloudia 13.70.0092
Kelompok B3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples,
panci, kain saring, dan pengaduk kayu.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan, enzim
papain komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan sebanyak 50 gram dihancurkan, lalu dimasukkan ke dalam
toples
Kemudian ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%
Diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
Setelah itu ditambahkan 300 ml air dan diaduk
Hasil fermentasi kemudian disaring, lalu filtrat direbus selama 30 menit sampai mendidih (selama perebusan
ditambahkan bumbu seperti 50 g bawang putih, 50 g garam, dan 1 butir gula kelapa)
2
Setelah mendidih kecap dibiarkan agak dingin, lalu dilakukan penyaringan kedua
Kecap ikan yang telah jadi diamati secara sensoris yang meliputi warna, rasa, dan aroma
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan produk kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)B1 Enzim papain 0,2% ++ +++ +++ ++ 5,5B2 Enzim papain 0,4% +++++ +++++ +++ +++ 6,0B3 Enzim papain 0,6% +++++ +++++ ++ ++ 5,0B4 Enzim papain 0,8% ++++ ++++ ++ ++ 4,5B5 Enzim papain 1% ++++ ++++ ++ +++ 5,9
Keterangan :Warna :+ : tidak coklat gelap++ : kurang coklat gelap +++ : agak coklat gelap++++ : coklat gelap+++++ : sangat coklat gelapAroma :+ : sangat tidak tajam++ : kurang tajam+++ : agak tajam++++ : tajam+++++ : sangat tajam
Rasa :+ : sangat tidak asin++ : kurang asin+++ : agak asin++++ : asin+++++ : sangat asinPenampakan :+ : sangat cair++ : cair+++ : agak kental++++ : kental+++++ : sangat kental
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsentrasi papain
pada kecap ikan yang dibuat oleh kloter B. Kelompok B1 menggunakan konsentrasi
papain 0,2 %; kelompok B2 menggunakan konsentrasi papain 0,4%; kelompok B3
menggunakan konsentrasi papain 0,6%; kelompok B4 dengan konsentrasi 0,8% dan
kelompok B5 dengan konsentrasi 1%. Dalam segi warna, kecap ikan yang dihasilkan
kelompok B2 dan B3 menunjukkan warna sangat coklat gelap sedangkan kelompok B1
menghasilkan warna kurang coklat gelap. Dalam segi rasa, kelompok B2 dan B3
menunjukkan rasa yang sangat asin sedangkan kelompok B1 agak asin. Untuk
parameter aroma tidak terjadi perbedaan yang mencolok. Aroma yang dihasilkan pada
kelompok B1 dan B2 adalah agak tajam, sedangkan kelompok B3-B5 menunjukkan
aroma yang kurang tajam. Kelompok B2 dan B5 menunjukkan penampakan yang agak
kental, sedangkan kelompok B1, B3 dan B4 menunjukkan penampakan kecap asin
yang cair. Salinitas tertinggi diperoleh oleh kelompok B2 (konsentrasi 0,4%) sedangkan
salinitas terendah pada kelompok B4 (konsentraso 0,8%). Dalam hal ini salinitas dan
rasa yang dihasilkan tidak sebanding.
3. PEMBAHASAN
Kecap ikan adalah produk pengolahan yang dibuat dengan fermentasi dimana proses
pembuatannya mudah dan harganya murah. Kecap ikan dapat menggunakan sari daging
ikan sebagai bahan bakunya. Pembuatan kecap ikan dinilai sangat ekonomis karena
bahan yang diperoleh tersedia, dimana dapat menggunakan semua jenis ikan
(Moeljanto,1992). Mutu kecap ikan dapat dilihat dari penggunaan garam dan waktu
yang digunakan untuk proses fermentasi. Kecap ikan dapat diidentifikasi dengan
keberadaan senyawa nitrogen, warna kecap yang kekuningan hingga coklat muda dan
rasa agak asin (Kasmidjo,1990).
Kualitas kecap ikan juga dapat dilihat dari material ikan yang digunakan, konsentrasi
garam yang digunakan, metode yang digunakan dan waktu. Rasio garam dan ikan yang
digunakan akan menghasilkan kecap ikan yang bagus (Mueda, 2015).
Kecap ikan memiliki variasi nama lain di berbagai negara, dan umumnya terkenal di
daerah Asia Tenggara, Asia Selatan dan Eropa (Astawan & Astawan, 1988). Kecap ikan
memiliki kandungan gizi yang tinggi, karena adanya protein ikan yang mudah dicerna
dan diserap tubuh serta banyak mengandung asam amino esensial (Hadiwiyoto,1993).
Aplikasi kecap ikan antara lain sebagai pengganti garam sehingga mampu menambah
cita rasa, dan dapat untuk merendam daging (Loha,1998). Aplikasi lainnya antara lain
sebagai sumber suplemen makanan yang bersifat tradisional, flavor, dan komponen
tambahan dan pembuatan soy sauce dan seasoning (Ibrahim,2010). Proses pembuatan
memiliki kelemahan dimana membutuhkan waktu lama (Moeljanto,1992).
Adanya aroma yang khas pada kecap ikan dipengaruhi oleh amida atau amina dari asam
glutamat dan asam lemak rantai pendek. Dalam fermentasi kecap ikan, aktivitas
enzimatis dari mikroba menyebabkan terjadinya proses biodegradasi jaringan ikat
sehingga memperoleh senyawa dengan berat molekul rendah (Leon,1979). Jenis
fermentasi yang dapat digunakan adalah secara enzimatis atau dengan garam. Jika
menggunakan cara enzimatis, maka membutuhkan enzim proteolitik, dimana enzim ini
akan mempercepat penguraian protein sehingga proses pembuatan kecap ikan lebih
5
cepat. Enzim proteolitik termasuk enzim yang tidak tahan pada garam (salt intolerant).
Enzim proteolitik yang umumnya digunakan adalah enzim bromelin dan papain, dimana
akan memberikan rasa yang khas tetapi aromanya kurang disukai oleh masyarakat
(Astawan & Astawan,1988).
Adanya garam bertujuan untuk menarik air, protein dan mineral dalam bahan karena
garam memiliki tekanan osmotik yang tinggi serta dapat mencegah adanya
pembusukan. Waktu pembuatan kecap ikan dengan fermentasi dengan menggunakan
garam sekitar 7 bulan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Proses fermentasi yang lama juga
dapat disebabkan mikroorganisme pembantu fermentasi tidak dapat hidup dikondisi
kandungan garam yang tinggi (Lee,2013). Aktivitas enzim dapat bekerja dengan
maksimal dikarenakan beberapa hal antara lain (1) jenis dan konsentrasi substrat ;(2)
konsentrasi enzim;(3) Suhu, suhu optimal untuk enzim bekerja maksimal adalah 18-
23oC dengan maksimal 40oC;(4) pH, pH optimum adalah 4,5-8. pH yang terlalu rendah
atau tinggi akan menyebabkan denaturasi; (5) Adanya aktivator dan inhibitor.
Produk fermentasi dari ikan hasilnya dapat dimaksimalkan dengan penambahan filamen
jamur seperti KOJI, dimana mampu meningkatkan kualitas fermentasi karena di
dalamnya terdapat amilase, lipase dan protease. KOJI juga mempu mempercepat proses
hidrolisis dari fermentasi (Fukuda,2014). Nama lain kecap ikan di Thailand adalah Nam
pla. Kandungan garam dalam Nam-pla sekitar 25-30% dan terdapat mikroorganisme
dari bakteri halofilik (Tanasupawat,2009).
Lay (1994) dan Lee (1992) menambahkan bahwa alasan penggunaan enzim dapat
mempercepat proses fermentasi dikarenakan berkurangnya angka pada rantai ikatan
peptida berkurang dan rusaknya struktur miofibril dalam bahan baku. Penggunaan
mikroba juga dapat membantu proses pembuatan kecap ikan dimana mikroba yang
dipilih adalah golongan mikroba tahan garam tinggi (salt tolerant) (Astawan &
Astawan,1991). Tujuan adanya pengolahan ikan sebagai produk samping adalah
mencegah peningkatan bahan sisa, dimana bahan sisa tersebut sebenarnya dapat diolah.
Pengolahan ikan akan memperpanjang umur simpan, memperbaiki rasa, tekstur, bau
6
dan penampakan. Kecap ikan dapat diolah dengan menggunakan bahan sisa dari
pengolahan sebelumnya seperti insang, kepala, dan tulang (Iskandar,1995).
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah bagian sisa ikan bawal yang
digunakan untuk praktikum pembuatan surimi antara lain tulang dan kepala ikan.
Langkah kerja yang dilakukan adalah tulang dan kepala ikan diambil sebanyak 50 gram
dan dihancurkan menggunakan blender kemudian ditambahkan enzim papain pada
asing masing kelompok. Untuk menghasilkan produk kecap ikan yang berkualitas, maka
dibutuhkan bahan ikan yang masih segar (Afrianto & Liviawaty,1989).
Tujuan penghalusan tulang dan kepala ikan agar proses ektraksi berjalan dengan efektif,
karena dengan rusaknya sel akan membuat senyawa flavor (protein, lemak) dalam
bahan menjadi cepat keluar, memperbesar luas permukaan bahan, meningkatkan
pencampuran bahan sehingga lebih homogen (Saleh et al,1996). Konsentrasi enzim
papain yang digunakan antara lain 0,2% (kel B1); 0,4% (kel B2); 0,6% (kel B3); 0,8%
(kel B4) dan 1% (kel B5) yang selanjutnya diinkubasi selama 4 hari. Enzim papain
adalah golongan endopeptidase, dimana akan bekerja untuk memecah protein dari
dalam (Winarno,1995). Penggunaan enzim dapat mempercepat proses fermentasi.
Enzim papain adalah jenis enzim protease yang dapat memcah protein menjadi pepton,
peptida dan asam amino. Papain juga mampu meningkatkan kandungan protein dalam
kecap dan memperkuat rasa sehingga menghasilkan kecap ikan dengan kualitas tinggi
(Muhidin, 1999).
Proses inkubasi yang dilakukan sesusai dengan teori Afrianto & Liviawaty (1989)
dimana fermentasi secara enzimatis pada pembuatan kecap ikan akan lebih cepat
dibandingkan fermentasi dengan garam. Astawan & Astawan (1991) kembali
menambahkan apabila waktu fermentasi yang dilakukan terlalu lama, akan
menghasilkan rasa yang tidak enak, hal ini disebabkan saat fermentasi komponen yang
mengalami pemecahan menjadi lebih banyak (amylase, maltase, fosfatase,
lipatase,lipase, proteinase). Pada inkubasi penutupan toples harus dilakukan dengan
sempurna, karena untuk mencegah kontaminasi dan menciptakan suasana anaerob di
dalam toples.
7
Daryono (1974) menambahkan bahwa terdapat karakteristik kestabilan enzim papain
antara lain, stabil pada pH 5, akan rusak pada pH kurang dari 3 dan diatas 11, tahan di
suhu tinggi, tahan pada pelarut organik serta reagen yang bisa merusak enzim. Dapat
disimpulkan enzim papain termasuk enzim protease yang memiliki tingkat kestabilan
paling tinggi. Hasil fermentasi kecap ikan kemudian ditambahkan air sebanyak 300 ml
air dan diaduk. Penambahan air bertujuan untuk menghomogenkan hasil fermentasi
yang didapatkan. Dilakukan penyaringan setelah itufiltrat direbus selama 30 menit
hingga mendidih. Penyaringan dilakukan agar didapatkan filtrat murni yang telah
terpisah dari padatan atau kotoran (Moeljanto,1992). Pemasakan hasil fitrat bertujuan
agar viskositas larutan meningkat (Fellows,1990).
Pada saat perebusan ditambahkan bahan tambahan seperti 50 g bawang putih, 50 gram
garam dan 50 gram gula kelapa. Bumbu dapat berfungsi sebagai pengawet. Bawang
putih berperan sebagai antimikrob, meningkatkan umur simpan. Di dalam bawang putih
terkandung senyawa allicin (Fachruddin,1997). Garam yang ditambahkan pada kecap
ikan berfungsi untuk menghasilkan rasa asin, penguat rasa dan dapat memberi efek
pengawetan (Astawan & Astawan,1991). Cara kerja garam sebagai pengawet adalah
menurunkan aw, kelarutan oksigen dan mengganggu keseimbangan ionik dari sel.
Energi dalam sel akan berkurang karena keseimbangan ionik terganggu sehingga sel
akan mati (Desrosier,1977).
Gula kelapa atau gula jawa akan memberikan warna pada kecap ikan, yaitu coklat
karamel serta menghasilkan flavor yang khas. Selain itu, gula jawa dapat mengurangi
rasa asin akibat penambahan garam yang berlebihan, menambah viskositas kecap,
memberikan rasa lembut, dan menambah aroma dari kecap ikan (Kasmidjo,1990).
Selama pemasakan perlu dilakukan pengadukan agar campuran bahan menjadi
homogen. Setelah mendidih, kecap didiamkan terlebih dahulu sampai dingin dan
kemudian dilakukan penyaringan kedua. Dilakukan pengujian sensori (warna, aroma
dan rasa) dan salinitas pada kecap ikan. Penyaringan kedua ini bertujuan untuk
memisahkan ampas dan filtrat sehingga didapatkan kecap ikan yang murni tanpa ampas
(Moeljanto,1992).
8
Pengujian salinitas (kadar garam) dilakukan dengan mengukur padatan terlarut.
Penghitungan dilakukan dengan hand refractometer dengan satuan brix. Brix adalah zat
padatan yan terlarut pada setiap 100 gram larutan. Berdasarkan hasil pengamatan,
dengan penambahan konsentrasi yang berbeda menghasilkan hasil yang berbeda pula
pada segi warna, aroma, rasa, penampakan dan salinitas.
Dalam segi warna, kecap ikan dengan konsentrasi 0,4% (kel B2) dan 0,6% (kel B3)
menghasilkan warna yang sangat coklat gelap, warna pada kel B1 (konsentrasi kurang
coklat gelap) sedangkan untuk kelompok lainnya menghasilkan warna yang hampir rata
yaitu coklat gelap. Faktor yang mempengaruhi perbedaan warna antara lain (1) Adanya
reaksi Maillard, dimana reaksi ini akan menghasilkan warna coklat; (2) Aktivitas enzim
proteolitik, dimana warna kecap ikan yang semakin gelap disebabkan konsentrasi enzim
yang ditambahkan juga banyak; (3) Suhu, suhu tinggi dapat menyebabkan karamelisasi
gula pada kecap ikan sehingga warna menjadi lebih pekat (Petrucci,1992). Sehingga
seharusnya kecap ikan pada kelompok B5 dengan konsentrasi papain 1% menghasilkan
warna yang lebih pekat.
Dalam segi rasa, kelompok B2-B5 menghasilkan rasa yang tidak terlalu jauh (asin dan
sangat asin) sedangkan untuk kelompok B1 menghasilkan rasa yang agak asin. Dalam
hal ini, dapat dilihat bahwa warna dan rasa menghasilkan hasil yang sebanding. Hal ini
berbeda dengan teori Astawan & Astawan (1988), seharusnya kecap ikan dengan
konsentrasi enzim yang tinggi akan menghasilkan rasa paling kuat (paling asin).
Penyebabnya adalah saat fermentasi terjadi pembentukan cita rasa, yang berasal dari
pemecahan senyawa kompleks. Semakin besar konsentrasi enzim yang ditambahkan
maka proses fermentasi dan pemecahan protein semakin berjalan sempurna sehingga
menghasilkan rasa yang semakin kuat. Adanya rasa asin pada kecap ikan dapat
disebabkan karena keberadaan senyawa amilase, maltase, lipase, proteinase, dll.
Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa adanya hasil yang berbeda dapat
dipengaruhi beberapa hal antara lain proses pemasakan yang kurang sempurna,
penambahan bumbu, dan senyawa peptida.
9
Dalam segi aroma, hasil yang diperoleh kelompok B1 hingga B5 menghasilkan hasil
yang tidak berbeda dimana hasilnya adalah kurang tajam dan agak tajam. Aroma yang
muncul dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu (1) Jumlah bumbu yang ditambahkan, (2)
Keberadaan komponen nitrogen (amonia, histidin dan arginin), (3) Adanya enzim
protease, dimana semakin kuat daya proteolitik dari enzim maka aroma ikan yang amis
akan semakin kuat, (4) Keberadaan asam glutamat juga mempengaruhi flavor kecap
yang kuat (Armstrong,1995). Sehingga seharusnya konsentrasi papain 1% akan
menghasilkan aroma yang paling kuat.
Dalam segi penampakan, konsentrasi papain 0,4% (kel B2) dan 1% (kel B5)
menghasilkan penampakan yang agak kental sedangkan kelompok B1,B3 dan B4
menghasilkna penampakan kecap yang cair. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayed
(2010), dimana umumnya penampakan kecap ikan yaitu cair atau agak kental. Adanya
perbedaan antara hasil dan teori pada kualitas sensori dapat disebabkan beberapa hal
antara lain kesalahan penimbangan enzim, penilaian panelis yang subjektif sehingga
kurang akurat, dan kurang akuratnya proses yang dilakukan pada masing-masing
kelompok (cara pengadukan dan pemanasan), serta jumlah bumbu yang ditambahkan.
Dalam uji salinitas dengan menggunakan hand refractometer, urutan salinitas tertinggi
ke terendah adalah 6,0 % (kel B2, konsentrasi 0,4%); 5,9% ( kel B5, konsentrasi 1%);
5,5% (kel B1, konsentrasi 0,2%); 5,0% (kel B3, konsentrasi 0,6) dan 4,5% (kel B4,
konsentrasi 0,8%). Hal ini berbeda dengan teori Astawan & Astawan (1988) dimana
seharusnya konsentrasi enzim yang tinggi akan menghasilkan salinitas yang tinggi pula,
dikarenakan dalam proses fermentasi berjalan sempurna dan menghasilkan rasa yang
kuat (paling asin) sehingga kadar garam nya juga tinggi. Rasa asin yang kuat dapat
disebabkan jumlah asam glutamat yang tersedia pada hasil produk tersebut. Kesalahan
ini disebabkan kurang akuratnya membaca skala pada alat dan pemakaian api kompor
yang berbeda sehingga hasil reaksi yang terjadi juga berbeda.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan dapat menggunakan sari daging ikan sebagai bahan bakunya
Mutu kecap ikan dapat dilihat dari penggunaan garam dan waktu yang digunakan
untuk proses fermentasi
Aroma yang khas pada kecap ikan dipengaruhi asam glutamat dan asam lemak
rantai pendek
Jenis fermentasi yang dapat digunakan adalah secara enzimatis atau dengan garam
Fermentasi enzimatik menggunakan enzim proteolitik
Waktu pembuatan kecap ikan dengan fermentasi garam membutuhkan waktu
lebih lama dibandingkan dengan cara enzimatis
Enzim proteolitik dapat mempercepat penguraian protein pada bahan
Jenis mikroba yang digunakan untuk pembuatan kecap ikan adalah mikroba yang
tahan pada kandungan garam tinggi
Penghalusan bahan akan membuat senyawa flavor mudah keluar
Enzim papain adalah jenis enzim protease yang dapat memcah protein menjadi
pepton, peptida dan asam amino
Enzim papain dapat memperkuat rasa dan meningkatkan protein dalam kecap ikan
Enzim papain stabil pada pH 5
Enzim papain termasuk enzim protease yang memiliki tingkat kestabilan paling
tinggi
Bawang putih berperan sebagai antimikrob dan dapat meningkatkan umur simpan
Garam berfungsi untuk penguat rasa dan efek pengawetan
Gula kelapa menghasilkan flavor yang khas
Pengujian salinitas (kadar garam) dilakukan dengan mengukur padatan terlarut
Semakin tinggi konsentrasi enzim maka warna kecap ikan akan semakin pekat,
rasa paling asin dan aroma paling kuat
Parameter rasa sebanding dengan salinitas
Semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan maka proses fermentasi semakin
berjalan sempurna
Semarang, 1 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen
11
Michelle Darmawan
Agustina Cloudia13.70.0092
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, W. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.
Daryono, M dan Muhidin. 1974. Penentuan Aktivitas dan Produksi Papain Kasar Tiap Buah dari Beberapa Varietas Pepaya. Buletin Penelitian Hortikultura 2.
Desrosier, N. W. and Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
Fukuda, T., Furushita, M., Shiba, T., K, Harada. (2014) Fish Fermented Technology by Filamentous Fungi. Journal of National Fisheries University. 62(4). 163-168.
Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.
Ibrahim, Sayed Mekawi. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.
Iskandar, H.M. (1995). Teori Pengolahan Makanan. Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
13
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.
Lee, J. M., Lee, D.M., Kim, S.M. (2013). The Effects of Koji and Histidine on the Formation of Histamine in Anchovy Sauce and the Growth Inhibition of Histamine Degrading Bacteria with Preservatives. American Journal of Advanced Food Science and Technology. Vol (1). 25-36.
Leon, S. Y. 1979. Tropical food in the far east, Di dalam G. E. Tuglett dan G. Chara Lambaous. Chemistry and Nutrition. Vol 2. Academic Press, New York.
Loha,K.(1998). Adventures in Thai Cookiing & Travel.How Fish Sauce is Made. www.thaifooandtravel.com
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mueda, R. T. (2015). Physico-chemical and color characteristics of saltfermented fish sauce from anchovy Stolephorus commersonii. International Journal of the Bioflux Society. Vol 8.
Muhidin, D. (1999). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Sayed M.I. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) for Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).
Tanasupawat, S., Namwong, S., Kudo, T., T., Itoh. (2009). Identification of Halophilic bacteria From Fish Sauce (Nam-pla) in Thailand. Journal of Culture Collections. Vol (6). 69-75.
14
Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus : Salinitas (% )=hasil pengukuran1000
x 100 %
Kelompok B 1
Hasil pengukuran = 30
Salinitas (% )= 551000
x100 %=5,5 %
Kelompok B 2
Hasil pengukuran = 60
Salinitas (% )= 601000
x100 %=6,0 %
Kelompok B 3
Hasil pengukuran = 50
Salinitas (% )= 501000
x100 %=5,0 %
Kelompok B 4
Hasil pengukuran = 45
Salinitas (% )= 451000
x100 %=4,5 %
Kelompok B 5
Hasil pengukuran = 59
Salinitas (% )= 591000
x100 %=5,9 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal