Upload
reed-jones
View
20
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kecap ikan merupakan hidrolisa ikan yang menghasilkan cairan berwarna coklat jernih.
Citation preview
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Vania Christina
12.70.0106
Kelompok A6
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2014
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kelompok Perlakuan Warna Rasa Aroma Salinitas PenampakanA1 Enzim Papain 0,4% ++ ++++ ++++ 3% ++A2 Enzim Papain 0,8% ++ +++++ ++++ 2,8% ++A3 Enzim Papain 1,2% ++ ++++ ++++ 3,3% ++A4 Enzim Papain 1,6% ++ +++++ ++++ 3,5% +++A5 Enzim Papain 2% ++ ++++ ++++ 2,8% +++A6 Enzim Papain 2,5% +++ +++ ++++ 3,3% +
Keterangan:Warna Rasa Aroma+ : Tidak Coklat Gelap + : Sangat Tidak Asin + : Sangat Tidak Tajam++ : Kurang Coklat Gelap ++ : Kurang Asin ++ : Kurang Tajam+++ : Agak Coklat Gelap +++ : Agak Asin +++ : Agak Tajam++++ : Coklat Gelap ++++ : Asin ++++ : Tajam+++++ : Sangat Coklat Gelap +++++ : Sangat Asin +++++ : Sangat Tajam
Penampakan+ : sangat cair++ : cair+++ :agak kental++++ :kental+++++ :sangat kental
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa warna kecap ikan pada semua
kelompok adalah kurang coklat gelap, kecuali kelompok A6 (enzim papain 2,5) agak
coklat gelap. Untuk parameter rasa, kelompok yang sangat asin adalah A2 (enzim
papain 0,8%) dan A4 (enzim papain 1,6%), sedangkan yang agak asin kelompok A6.
Untuk parameter aroma semua kelompok sama yaitu tajam. Untuk parameter salinitas,
nilai tertinggi yaitu 3,5% pada perlakuan enzim papain 1,6% sedangkan nilai ternedah
yaitu 2,8% pada perlakuan enzim papain 0,8% dan 2%. Dan untuk parameter
penampakan, kelompok yang sangat cair adalah A6 (enzim papain 2,5%) sedangkan
yang agak kental adalah A4 (enzim papain 1,6%) dan A5 (enzim papin 2%).
1
2. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini akan dilakukan percobaan dengan judul “KECAP IKAN”. Kecap
ikan termasuk produk fermentasi (garam), enzimatis atau kimiawi dari hidrolisa ikan
yang menghasilkan cairan coklat jernih. Kecap ikan dapat dibuat dari berbagai jenis
ikan termasuk limbah ikan seperti insang dan isi perut ikan (Astawan & Astawan,
1988). Pada umumnya hanya sekitar 70% bagian ikan yang dapat dimakan, bagian
seperti kepala, ekor, sirip dan isi perut tidak ikut dimakan, namun bagian tersebut dapat
digunakan untuk olahan kecap ikan.
Kecap ikan mengandung komposisi dengan berat molekul yang rendah sehingga kecap
ikan mudah dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Sifat pelarutan kecap ikan dalam
air mencapai hingga 90% dengan rasio kandungan nitrogen amino dan nitrogen total
sebesar 45%. Senyawa protein yang terdapat pada kecap ikan berbentuk peptida-peptida
sederhana dan asam-asam amino (Kasmidjo, 1990). Kandungan gizi utama kecap ikan
adalah protein terhidrolisa, nitrogen terlarut dan mineral dalam bentuk garam seperti
natrium, kalsium dan iodium (Afrianto & Liviawaty, 1989).
Ikan sendiri mengandung protein yang tinggi dan rendah lemak sehingga sangat
bermanfaat bagi kesehatan manusia (Irawan, 1995). Untuk meminimalkan kelemahan
ikan yang mudah rusak saat suhu tinggi, kondisi tropis serta kelembaban yang rendah
maka dilakukan pengawetan ikan dengan cara fermentasi tradisional seperti kecap ikan.
Cara untuk mempercepat proses fermentasi tanpa memperngaruhi rasa dan kualitas
nutrisi maka perlu adanya peningkatan suhu fermentasi, penambahan agen anti bakteri
tanpa garam dan penambahan enzim protease (Hariyono et al, 2005).
Fermentasi pembuatan kecap ikan dapat menggunakan penambahan garam maupun
dengan enzimatis. Prinsip pembuatan kecap ikan dengan penambahan garam akan
terjadi penarikan komponen ikan keluar dari tubuh ikan seperti air. Air yang keluar
tersebut dapat mengandung zat gizi seperti protein dan mineral. Penambahan garam
dengan jumlah yang besar dapat memberikan tekanan osmotik yang besar pula, dapat
melindungi ikan dari kontaminasi oleh lalat dan belatung serta melindungi dari
2
3
pembusukan oleh bakteri pembusuk. Fermentasi dengan penambahan garam
memerlukan waktu yang lebih lama yaitu sekitar 7 bulan (Astawan & Astawan, 1988).
Sedangkan pada fermentasi secara enzimatis dapat menggunakan enzim protease seperti
enzim bromelin yang berasal dari parutan buah nanas muda maupun enzim papain yang
berasal dari getah buah pepaya muda. Enzim protease mampu menguraikan protein
menjadi beberapa komponen seperti peptida, pepton dan asam amino yang saling
berinteraksi sehingga timbul aroma dan rasa yang khas. Namun aroma dan rasa yang
tercipta kurang disukai oleh masyarakat. Fermentasi enzimatis memerlukan waktu yang
lebih singkat dan menghasilkan protein yang lebih tinggi (Astawan & Astawan, 1988).
Pepaya (Carica papaya) mengandung enzim papain yang dapat memecah molekul
protein sehingga termasuk sebagai endopeptidase yang dapat memecah molekul protein
dari dalam (Lisdiana & Soemadi, 1997). Enzim papain juga termasuk dalam kelompok
golongan protein sulfihidril. Dalam molekul enzim papapin tidak tekandung karbohidrat
di dalamnya. Enzim papain dapat digunakan dalam batang, daun, buah dan getah
pepaya muda (Winarno, 1995).
Prinsip aktivitas enzim papain adalah merusak struktur jaringan otot rangka dari protein
miofibril. Ketika otot rangka mengalami kerusakan maka daging ikan menjadi lebih
lunak, tetapi kolagen di dalamnya tidak rusak sehingga daging akan tetap dalam kondisi
dan bentuk yang tetap (Lee, 1992). Suhu, pH, kemurnian serta konsentrasi protease
yang tepat dapat mengoptimalkan daya pemecahan molekul protein oleh enzim
protease. Getah buah pepaya memiliki enzim papain berwarna hijau dan lebih baik
dibandingkan dari batang atau daun, karena daya enzimatik dan jumlahnya yang cukup
tinggi. Papain dari getah batang dan daun papaya memiliki aktivitas proteolitik kurang
lebih 200 MCU/g, sedangkan papain dari buah sekitar 400 MCU/g (Muhidi, 1999).
Metode yang dilakukan pada praktikum ini adalah tulang dan ekor ikan dihancurkan
dengan blender kemudian sebanyak 50 gram hancuran dimasukkan ke dalam wadah
fermentasi dan ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap
kelompok yaitu ntuk kelompok A1-A6 secara berturut-turut adalah 0,4%, 0,8%, 1,2%,
4
1,6%, 2%, dan 2,5%. Setelah inkubasi selama 3 hari pada suhu ruang, fermentasi
tersebut ditambah air sebanyak 250 ml lalu disaring dan hasil filtrat direbus sampai
mendidih dan ditambah bumbu-bumbu yang telah dihaluskan seperti 50 gram bawang
putih, 50 gram garam dan 50 gram butir gula jawa). Kemudian setelah mendidih
ditunggu hingga agak dingin lalu dilakukan penyaringan kedua. Setelah itu, dilakukan
pengamatan sensoris meliputi warna, rasa, aroma serta salinitas yang menggunakan
hand refractometer.
Penghancuran bahan baku untuk menghancurkan secara mekanis kepala dan ekor ikan
sehingga lebih mudah bercampur dengan bahan-bahan lain (Lay, 1994). Selain itu,
dapat memperluas permukaan bahan sehingga volume bahan semakin meningkat dan
kemampuan melepas komponen flavor juga semakin besar (Saleh et al, 1996). Tujuan
penyaringan pertama adalah untuk mendapatkan jumlah filtrate yang maksimal.
Sedangkan penyaringan kedua dilakukan ntuk mebebaskan filtart dari pengotor yang
tidak diinginkan. Tujuan perebusan adalah untuk membunuh mikroorganisme akibat
kontaminasi selama fermentasi dan penyaringan, serta untuk melarutkan bumbu-bumbu,
meningkatkan cita rasa, menguapkan air dan mengentalkan kecap ikan (Moeljanto,
1992).
Penambahan bawang putih untuk memberikan aroma dan rasa pada kecap, selain itu
dapat juga sebagai pengawet karena terkandung zat allicin yang dapat bersifat
antimikrobia. Tujuan penambahan garam adalah untuk pengawet, memberikan rasa asin
dan menguatkan rasa. Efek pengawetan dapat terjadi karena Aw dan kelarutan oksigen
turun, serta keseimbangan ionic sel mikroorganisme terganggu karena teradi
peningkatan proton dalam sel (Desroisier, 1977). Penambahan gula jawa adalah untuk
memberikan rasa lembut pada kecap, mengurangi rasa asin yang berlebihan, meberikan
cita rasa, aroma dan warna pada kecap (Kasmidjo, 1990).
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain maka warna kecap yang terbentuk akan
semakin coklat karena protein akan menjadi semakin banyak dan bereaksi sehingga
timbul reaksi Maillard yang membentuk warna coklat. Hasil yang didapat sesuai, karena
kelompok A6 dengan konsentrasi enzim papain 2,5% menghasilkan warna yang lebih
5
coklat. Menurut Petrucci (1992), pemasakan dengan suhu tinggi dan waktu yang lama
dapat mengubah warna cairan menjadi lebih pekat dan gelap. Proses fermentasi kecap
ikan dapat meningkatkan derajat brix atau jumlah padatan terlarut, peningkatan
kandungan nitrogen total dan perubahan warna menjadi semakin coklat (Astawan &
Astawan, 1988).
Untuk parameter rasa, seharusnya kelompok A1 yang memiliki rasa paling tidak asin
sedangkan kelompok A6 yang paling asin. Semakin banyak enzim yang ditambahkan
akan meningkatkan hidrolisi protein ikan sehingga rasa ikan pada kecap ikan menjadi
lebih lemah karena adanya asam glutamat (Armstrong, 1995). Selain itu, rasa kecap
juga dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang digunakan, dan aktivitas bakteri brine
fermentation seperti bakteri Lactobacillus delbruckii yang menghasilkan asam organik
seperti asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat yang dapat
mempengaruhi cita rasa, warna, dan umur simpan (Astawan & Astawan, 1991). Suhu
yang semakin tinggi dan semakin lama waktu pemanasan maka kecap ikan akan
menjadi kental dan konsentrasi garam meningkat sehingga menjadi asin (Afrianto &
Liviawaty, 1989).
Sedangkan untuk parameter aroma semua kelompok mendapatkan hasil yang sama.
Seharusnya semakin banyak enzim yang ditambahkan maka aroma kecap ikan akan
semakin tidak tajam (Afrianto & Liviawaty, 1989). Enzim protease dapat memecah
protein menjadi molekul yang lebih sederhana yang mengandung nitrogen seperti
kadaverin, putresin, arginin, histidin dan ammonia. Senyawa-senyawa tersebut adalah
komponen penyusun flavor yang menghasilkan asam glutamat. Semakin banyak enzim
protease yang ditambahkan maka semakin banyak protein yang terhidrolisis menjadi
senyawa sederhana dengan kandungan N dan memberi flavor yang kuat pada kecap ikan
dan flavor amis dari ikan dapat ditutupi (Torota et al, 1995). Penambahan bumbu pada
kecap ikan dapat mempengaruhi flavor spesifik kecap (Kasmidjo, 1990). Pengujian
sensoris sangat terbatas pada indera manusia sehingga kadang hasil yang didapatkan
kurang akurat.
6
Hasil salinitas yang didapat oleh tiap kelompok berfluktuasi. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan dalam pengenceram sehingga hasil salinitas yang siperoleh juga
berbeda-beda. Refraktometer merupakan alat untuk mengukur indeks bias suatu
medium, baik yang zat cair, padat, maupun gas (Shadily et al, 1984). Semakin tinggi
konsentrasi enzim akan menghasilkan salinitas kecap ikan yang semakin rendah
(Astawan & Astawan, 1991). Kondisi fermentasi menentukan keberhasilan fermentasi
kecap ikan. Pada suhu yang tinggi protein alami yang tahan teradap proteolitis dari
enzim papain akan mendegradasi kolagen sehingga terjadi perubahan keempukan dan
residu serabut jaringan ikat. Pada suhu 50-70oC enzim protease seperti papain akan
aktif.
Pada jurnal yang berjudul “Chemical and sensory changes associated Yu-lu
fermentation process – A traditional Chinese fish sauce” oleh Jiang et al (2007) dapat
diketahui di negara China, kecap ikan yang sering disebut dengan yu-lu terbuat melalui
fermentasi tradisional dengan penambahan garam sebanyak 1:3 yang sering dikonsumsi
sebagai bumbu untuk memasak. Kecap ikan terbentuk dari hasil fermentasi enzim dalam
ikan, bakteri halotoleran dan mikroorganisme halofilik. Hidrolisi protein dapat
menghasilkan asam amino bebas, peptida, dan ammonia. Konsentrasi garam yang tinggi
dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme pathogen dan menghasilkan rasa
dan aroma yang diinginkan. Yu-lu sendiri mengandung asam amino esensial, vitamin
dan mineral yang menjadi sumber protein utama untuk proses diet. Proses fermentasi
dapat meningkatkan total nitrogen terlarut, peptida larut TCA, formaldehid nitrogen,
jumlah asam titratable dan konsentrasi asam amino bebas dari kecap ikan sehingga
meningkatkan nilai gizi produk. Temperatur inkubasi yang tinggi pada tahap akhir
fermentasi dapat mengembangkan rasa dan mempercepat proses fermentasi.
Jurnal kedua yang berjudul “Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce
(Nam-pla) in Thailand” oleh Tanasupawat et al (2009) dapat diketahui bahwa bakteri
yang sangat halofilik dapat hidup dalam lingkungan asin seperti danau garam, danau
soda, penggaraman, minyak mentah garam surya dan produk protein dengan kapasitas
untuk menyeimbangkan tekanan osmotik lingkungan dan melawan denaturasi garam.
Bakteri halofilik seperti Lentibacillus, Filobacillus, Tetragenococcus,
7
Chromohalobacter mampu tumbuh pada berbagai konsentrasi garam dan dapat tumbuh
optimal pada media yang mengandung NaCl 15%.
Pada jurnal yang berjudul “Microbiological Characterization of Budu, an Indigenous
Malaysian Fish Sauce” oleh Yuen et al (2009) dapat diketahui bahwa kecap ikan
merupakan produk cair yang melalui proses fermentasi dari bahan ikan dalam wadah
tertutup pada suhu tropis. Sebutan kecap ikan berbeda-beda pada setiap negara, di
Thailand disebut nampla, di Indonesia disebut bakasang, di China disebut yu-lu, di
Filipina disebut patis, di Burma disebut ngapi, di Jepang disebut shotshuru, di India dan
Pakistan disebut Colombo-lumre, di Korea disebut aekjeot, dan di Malaysia disebut
budu. Selama proses fermentasi dapat terbentuk larutan yang kaya dengan protein hasil
dari pencernaan dan enzim mikroba. Proses fermentasi kecap ikan biasanya
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat memastikan larutan hasil produksi karena
bergantung pada mikroorganisme. Mikroorganisme dapat mendegradasi protein dan
mengembangkan rasa dan aroma pada produk akhir. Bakteri yang sering terlibat dalam
pembentukan kecap asin dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu bakteri yang
menghasilkan enzim proteolitik seperti Bacillus sp, Pseudomonas sp, Micrococcus sp,
Staphylococcus sp, Halococcus sp, Halobacterium salinarum dan Halobacterium
cutirulum serta bakteri yang mengembangkan rasa dan aroma kecap ikan seperti
Bacillus sp dan Staphylococcus sp.
Kemudian pada jurnal yang berjudul “Seasonal effects on the physicochemical
characteristics of fish sauce made from capelin (Mallotus villosus)” oleh Hjalmarsson et
al (2007) dapat diketahui bahwa kecap ikan merupakan cairan jernih berwarna coklat
jernih yang memiliki karakteristik rasa dan aroma yang khas. Kualitas kecap ikan
tergantung pada kandungan total nitrogen, warna, aroma serta rasa. Kandungan garam
yang tinggi dapat menutupi factor rasa lain. Peningkatan suhu fermentasi dapat
mempersingkat waktu fermentasi dan mengurangi konsentrasi garam yang dibutuhkan
untuk memproduksi protein. Kandungan garam yang dikurangi dapat meningkatkan
fermentasi dan nilai gizi serta mengurangi kandungan natrium.
8
Dan pada jurnal terakhir yang berjudul “Occurrence of Biogenic Animes and Amines
Degrading Bacteria in Fish Sauce” oleh Zaman et al (2010) dapat diketahui bahwa pada
produk fermentasi biasanya terdapat kandungan amina biogenik memiliki berat molekul
senyawa nitrogen yang rendah karena hasil dekarboksilasi asam amino dari mikroba.
Adanya hal tersebut dapat mengakibatkan efek toksik pada konsumen seperti hipertensi,
sakit kepala, diare, ruam dan peradangan. Kandungan amina biogenik pada kecap ikan
terdiri dari histamin, putresin, kadaverina, dan tyramin. Histamin merupakan amina
paling aktif yang dapat menyebabkan masalah keracunan pada makanan. Selain itu,
putresin dan kadaverina dapat meningkatkan toksisitas dari histamin. Mikroorganisme
yang memiliki aktivitas amina oksidase digunakan untuk mencegah atau mengurangi
kandungan amina biogenik dalam produk makanan fermentasi.
3. KESIMPULAN
Kecap ikan terbuat dari hidrolisa ikan yang menghasilkan cairan coklat jernih.
Ikan memiliki nilai protein tinggi serta kandungan lemaknya yang rendah.
Kandungan gizi utama dalam kecap ikan merupakan protein terhidrolisa, senyawa
nitrogen terlarut serta mineral dalam bentuk garam, terutama natrium, kalsium dan
iodium.
Kecap ikan dapat dibuat dengan fermentasi garam dan fermentasi enzimatis.
Fermentasi kecap ikan dengan garam melibatkan bakteri halofilik.
Fermentasi kecap ikan secara enzimatis menggunakan penambahan enzim protease.
Waktu yang dibutuhkan fermentasi enzimatis kecap ikan relatif singkat dengan nilai
protein tinggi, namun aroma dan cita rasanya kurang disukai.
Enzim protease dapat menguraikan protein menjadi peptida, pepton, serta asam
amino yang akan saling berinteraksi sehingga muncul rasa yang khas.
Tujuan penghancuran untuk meningkatkan efektivitas ekstraksi flavor kecap ikan.
Perebusan dilakukan untuk membunuh mikroorganisme dari kontaminasi pada saat
proses fermentasi terjadi dan pada proses penyaringan.
Penyaringan pertama dilakukan supaya jumlah filtrat yang diambil dapat maksimal.
Penyaringan kedua bertujuan untuk memisahkan pengotor dari kecap ikan.
Penambahan bumbu berfungsi untuk menambah aroma dan cita rasa kecap ikan.
Garam ditambahkan untuk memberi rasa asin, efek pengawetan serta dapat
menguatkan rasa.
Penambahan gula jawa dilakukan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan,
memberikan rasa lembut pada kecap, serta memberikan pengaruh pada cita rasa,
aroma serta warna produk.
Penambahan bawang putih dilakukan untuk menambah aroma dan cita rasa kecap.
Selain itu bawang putih juga berfungsi sebagai pengawet alami.
Aktivitas enzim proteolitik pada ikan membentuk cairan berwarna coklat.
Aroma dan rasa kecap ikan ditimbulkan karena adanya hidrolisa protein.
Semakin banyak penambahan enzim papain menyebabkan warna kecap ikan
semakin coklat, rasa lemah, salinitas rendah, serta aroma semakin tajam.
Aktivitas enzim papain dapat terganggu akibat suhu tinggi.
9
10
Lama waktu pemanasan, suhu pemanasan, dan penambahan bumbu mempengaruhi
warna, rasa, dan aroma kecap ikan.
Semarang, 28 September 2014 Asisten Dosen,
- Yuni Rusiana
Vania Christina S.
12.70.0106
4. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Desroisier, N. W. (1977). The Technology of Food Preservation. AVI Publishing Company. Connecticut.
Hariyono, I; Yeap S.E; Kok T.N; dan Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation.J Pri Ind 32: 19-29 2005/06. Singapore.
Hjalmarsson, G.H; Park, J.W; Kristbergsson, K. (2007). Seasonal effects on the physicochemical characteristics of fish sauce made from capelin (Mallotus villosus). Food Chemistry 103 (2007) 495-504.
Irawan, A. (1995). Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri dan Usaha Perikanan dan Mengomersilkan Hasil Sampingnya. Penerbit Aneka. Solo.
Jiang, J; Zeng, Q.X; Zhu, Z.W.; Zhang, L.Y. (2007). Chemical and sensory changes associated Yu-lu fermentation process – A traditional Chinese fish sauce. Food Chemistry 104 (2007) 1629-1634.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.
Lisdiana & W.Soemadi. (1997). Budidaya Nanas: Pengantar dan Pemasaran. CV Aneka. Solo.
11
12
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muhidi, D. ( 1999 ). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta.
Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 - 795 (2009).
Shadily, Hasan. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
Tanasupawat, S; Namwong, S; Kudo, T; Itoh, T. (2009). Identification of Halophilic Bacteria from Fish Sauce (Nam-pla) in Thailand. Journal of Culture Collections. Volume 6, 2008-2009, pp 69-75.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Winarno, F.G. (1995). Enzim Pangan. Gramedia. Jakarta.
Yuen, S.K; Yee, C.F; Anton, A. (2009). Microbiological Characterization of Budu, an Indigenous Malaysian Fish Sauce. BORNEO SCIENCE 24: MARCH 2009.
Zaman, M.Z; Bakar, F.A; Selamat, J; Bakar, J. (2010). Occurrence of Biogenic Animes and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce. Czech J. Food Sci. 28 : 440-449.
5. LAMPIRAN
5.1. Foto
5.2. Perhitungan
Rumus :
Salinitas = hasil pengukuran
1000 x 100%
Kelompok A1
Salinitas = 30
1000 x 100%
= 3%
Kelompok A2
Salinitas = 28
1000 x 100%
= 2,8%
Kelompok A3
Salinitas = 33
1000 x 100%
= 3,3%
Kelompok A4
Salinitas = 35
1000 x 100%
= 3,5%
Kelompok A5
Salinitas = 28
1000 x 100%
= 2,8%
Kelompok A6
Salinitas = 33
1000 x 100%
= 3,3%
5.3. Laporan Sementara
13