Upload
praktikumsusu
View
40
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ricotta CheeseQueso Blanco Cheese
Citation preview
KEJU
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU
Disusun Oleh :
Nama : Agata Meiliawati
NIM : 13.70.0039
Kelompok : B4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
20161. TOPIK DAN TUJUAN PRAKTIKUM
1.1. Topik Praktikum
Praktikum Teknologi Pengolahan Susu dengan topik mengenai “Keju” ini dilaksanakan
di Laboratorium Rekayasa Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Unika
Soegijapranata. Praktikum keju kloter B dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 21 Mei
2016 pukul 09.00 WIB sampai selesai. Asisten dosen yang bertanggung jawab dalam
praktikum keju ini adalah Rr. Panulu P. M. Sebelum dimulainya kegiatan praktikum,
asisten dosen memberikan penjelasan dan pengarahan singkat terhadap materi dan
metode pembuatan keju. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan keju ini adalah
susu sapi segar, susu full cream cair, dan susu skim cair. Keju yang dibuat pada
praktikum ini ada 2 jenis yaitu ricotta cheese dan queso blanco cheese. Pembuatan
kedua jenis keju ini dilakukan oleh masing-masing kelompok. Bahan baku susu yang
digunakan berbeda-beda untuk tiap kelompok, yaitu susu sapi segar 750 ml oleh
kelompok B1, susu full cream 750 ml oleh kelompok B2, susu skim cair 750 ml oelh
kelompok B3, susu skim + susu full cream 1:1 (375 ml : 375 ml) oleh kelompok B4,
dan susu skim + susu full cream 1:2 (250 ml : 500 ml) oleh kelompok B5. Pembuatan
keju diawali dengan memanaskan susu lalu ditambahkan asam serta garam sehingga
terbentuk gumpalan keju. Perbedaan dua jenis keju ini terletak pada konsentrasi asam
dan waktu pembentukan curd. Pengamatan yang dilakukan meliputi karakteristik fisik
dan sensori keju yang dihasilkan. Praktikum diakhiri dengan kuis, untuk melihat
kemampuan praktikan dalam memahami materi praktikum yang telah dilakukan.
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui prinsip pembuatan soft
cheese yang berdasarkan pada koagulasi dengan menggunakan kombinasi asam dan
panas, serta untuk mengetahui pengaruh variasi jenis susu terhadap kualitas soft cheese
yang dihasilkan.
2. HASIL PENGAMATAN
2.1 Ricotta Cheese
Hasil pengamatan keju berjenis Ricotta Cheese dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Ricotta Cheese
Kel. Bahan pH Tekstur Warna Aroma RasaB1 Susu sapi segar 5 + + + ++++B2 Susu full cream cair 5,5 + + +++ ++B3 Susu skim cair 5,5 ++ +++ + +++B4 Susu skim + full cream (1:1) 6 +++ ++ ++++ ++++B5 Susu skim + full cream (1:2) 5,5 + + + +++Keterangan:Warna: Rasa:+ : putih + : tidak asin++ : putih kekuningan ++ : kurang asin+++ : kuning +++ : asin++++ : sangat kuning ++++ : sangat asin
Aroma: Tekstur:+ : tidak beraroma + : cair++ : aroma susu ++ : kurang lembut+++ : aroma keju +++ : lembut++++ : sangat beraroma keju ++++ : keras
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa jenis bahan susu yang digunakan dalam pembuatan
keju ricotta berbeda-beda untuk tiap kelompoknya, begitu pula dengan hasil yang
diperoleh. Pada kelompok B1 menggunakan bahan susu sapi segar dihasilkan keju
dengan pH terendah yaitu 5, tekstur cair, warna putih, tidak beraroma, dan rasanya
sangat asin. Pada kelompok B2 menggunakan bahan susu full cream cair dihasilkan
keju dengan pH 5,5, tekstur cair, warna putih, aroma keju, dan rasanya kurang asin.
Pada kelompok B3 menggunakan bahan susu skim cair dihasilkan keju dengan pH 5,5,
tekstur kurang lembut, warna kuning, tidak beraroma, dan rasanya asin. Pada kelompok
B4 menggunakan bahan kombinasi susu skim+susu full cream (1:1) dihasilkan keju
dengan pH tertinggi yaitu 6, tekstur lembut, warna putih kekuningan, sangat beraroma
keju, dan rasanya sangat asin. Pada kelompok B5 menggunakan bahan kombinasi susu
skim+susu full cream (1:2) dihasilkan keju dengan pH 5,5, tekstur cair, warna putih,
tidak beraroma, dan rasanya asin.
2.2 Queso Blanco Cheese
Tabel 2. Hasil Pengamatan Queso Blanco Cheese
Kel Bahan pH Tekstur Warna Aroma RasaB1 Susu sapi segar 5,5 +++ + + +++B2 Susu full cream cair 6 +++ ++ ++++ ++++B3 Susu skim cair 6 +++ ++ ++++ +++B4 Susu skim + full cream (1:1) 5,5 ++ ++ +++ ++B5 Susu skim + full cream (1:2) 6 +++ ++ +++ ++Keterangan:Warna: Rasa:+ : putih + : tidak asin++ : putih kekuningan ++ : kurang asin+++ : kuning +++ : asin++++ : sangat kuning ++++ : sangat asin
Aroma: Tekstur:+ : tidak beraroma + : cair++ : aroma susu ++ : kurang lembut+++ : aroma keju +++ : lembut++++ : sangat beraroma keju ++++ : keras
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa jenis bahan susu yang digunakan dalam pembuatan
keju queso blanco berbeda-beda untuk tiap kelompoknya, begitu pula dengan hasil yang
diperoleh. Pada kelompok B1 menggunakan bahan susu sapi segar dihasilkan keju
dengan pH 5,5, tekstur lembut, warna putih, tidak beraroma, dan rasanya asin. Pada
kelompok B2 menggunakan bahan susu full cream cair dihasilkan keju dengan pH 6,
tekstur lembut, warna putih kekuningan, sangat beraroma keju, dan rasanya sangat asin.
Pada kelompok B3 menggunakan bahan susu skim cair dihasilkan keju dengan pH 6,
tekstur lembut, warna putih kekuningan, sangat beraroma keju, dan rasanya asin. Pada
kelompok B4 menggunakan bahan kombinasi susu skim+susu full cream (1:1)
dihasilkan keju dengan pH 5,5, tekstur kurang lembut, warna putih kekuningan,
beraroma keju, dan rasanya kurang asin. Pada kelompok B5 menggunakan bahan
kombinasi susu skim+susu full cream (1:2) dihasilkan keju dengan pH 6, tekstur
lembut, warna putih kekuningan, beraroma keju, dan rasanya kurang asin.
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini yang dilakukan adalah pembuatan keju. Menurut Potter (1978) keju
merupakan produk hasil olahan susu yang terbuat dari curd susu sapi ataupun susu
hewan lainnya. Mulyani et al. (2009) menambahkan keju merupakan produk hasil
olahan susu yang mempunyai kandungan protein yang tinggi. Oleh karena itu keju dapat
memberikan dampak positif bagi kesehatan dan dari segi ekonomis dapat meningkatkan
nilai jual susu. Rahman et al. (1992) mengungkapkan prinsip pembuatan keju yaitu
dengan cara menggumpalkan kasein susu, susu krim, atau susu yang diperkaya dengan
krim.
Keju yang dibuat dalam praktikum ini antara lain keju ricotta dan keju queso blanco.
Menurut teori Fox et al. (2004), keju ricotta merupakan keju khas dari Italia yang
terbuat dari susu sapi segar (whole milk) dengan kadar air tidak lebih dari 80%, dan
kandungan lemak susu lebih dari 11%, sedangkan keju riccota yang terbuat dari susu
skim mengandung kadar air yang tidak lebih dari 82,5%, dan kandungan lemak susu
kurang dari 1%. Keju ricotta dari susu segar mempunyai ciri-ciri, yaitu berwarna putih
susu, bertekstur lembut, creamy, sedikit beraroma karamel, dan rasanya manis. Martins
et al. (2010) menambahkan bahwa umumnya keju ricotta mempunyai kadar air yang
tinggi dan mempunyai pH kisaran 5. Hal tersebut yang memungkinkan keju ini mudah
untuk ditumbuhi mikroorganisme sehingga tidak bisa bertahan dalam jangka waktu
yang lama. Farkey & Vedamuthu (2002) menambahkan bahwa pH dari keju ricotta
antara 5,6 – 6. Komposisi dari keju ricotta ini meliputi laktosa 3,5%, lemak 2,5%,
protein 16%, abu 1%, dan total padatan 20-23%.
Menurut teori Zonis (2007), keju queso blanco merupakan keju khas Amerika Selatan
yang dibuat dengan teknik peningkatan keasaman secara langsung, tanpa adanya
penambahan kultur maupun rennet, kemudian diletakkan dalam blok. Perlakuan ini
menyebabkan tekstur keju queso blanco menjadi kuat, halus, elastis, dan tidak mudah
berubah ketika dipanaskan. Pengasaman dilakukan hingga pH curd mencapai 4,6-4,7.
Komposisi keju queso blanco, antara lain kadar air 50-56%, protein 21-25%, lemak 15-
20%, kadar garam 2-2,5%, dan laktosa 2,5-2,7% Apabila dibandingkan antara kedua
jenis keju, keju ricotta memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada keju queso blanco.
Keju ricotta dan keju queso blanco termasuk ke dalam jenis keju segar
(fresh/unripened). Menurut Irvine (1982), keju segar merupakan keju yang tidak
melalui proses pematangan, sehingga keju jenis ini memiliki karakteristik seperti krim,
berasa netral dan tidak begitu asin. Keju segar mengandung air yang tinggi yaitu sekitar
70% sehingga tidak bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Farkey &
Vedamuthu (2002), keju lunak (soft cheese) memiliki kadar air yang tinggi, yaitu sekitar
50-80%. Sehingga dapat dikatakan bahwa keju ricotta dan keju queso blanco termasuk
ke dalam jenis keju lunak. Keju lunak ini mempunyai karakteristik tekstur yang khas
dan konsistensi yang lembut sehingga dapat ditekan dengan tangan. Pembuatan keju
lunak menggunakan asam yang ditambahkan dalam konsentrasi rendah, dan tidak
melibatkan proses fermentasi oleh bakteri maupun jamur. Dalam hal ini, jenis keju
dapat dibedakan berdasarkan berdasarkan metode pembuatannya. Keju lunak dibuat
dengan penambahan asam yang tidak terlalu tinggi dan kondisi temperatur minimal,
sementara keju keras dibuat dengan penambahan asam dan kondisi temperatur yang
tinggi.
Prinsip pembuatan keju adalah dengan kombinasi antara asam dan panas untuk
mengkoagulasikan protein susu yang disebut kasein. Kasein merupakan protein susu
yang digumpalkan saat proses pembuatan keju, jika suhu yang digunakan tidak tepat
maka akan merusak kasein susu, dan tentu akan berpengaruh terhadap kualitas keju
yang dihasilkan (Rahmawati et al., 2014). Hal tersebut menurut Koswara (2009),
merupakan tahapan terpenting ketika memproduksi keju. Sesaat setelah susu
dipanaskan, dapat dilakukan penambahan asam. Asam ini akan membuat terbentuknya
agregat kasein susu. Pengasaman akan mengubah laktosa menjadi asam laktat dan dapat
menghasilkan konsistensi serta kematangan keju. Proses tersebut dapat ditingkatkan
dengan adanya panas dan pengadukan hingga terjadi pemisahan curd dan whey. Proses
pengasaman yang dilakukan dengan proses pemanasan akan membentuk suatu gel.
Proses pemisahan whey akan terjadi ketika gelled atau cotted milk tetap terjadi selama
waktu tertentu (Walstra et al., 2006). Jadi intinya, adanya kombinasi antara pemanasan
dan pengasaman, maka akan terjadi denaturasi dan pemutusan ikatan disulfida protein
susu yang menyebabkan terjadinya presipitasi dan terbentuklah curd. Menurut
Sumarmono & Suhartati (2014) teknik menggumpalkan kasein susu melalui
pengasaman secara langsung selain menggunakan asam organik dapat juga dengan
memanfaatkan ekstrak buah lokal seperti nanas, belimbing, wuluh, maupun jeruk nipis.
Hal ini dapat mengurangi penggunaan asam cuka dan dapat meningkatkan yield serta
karakteristik rasa keju lunak yang lebih menarik.
Jenis bahan susu yang digunakan dalam pembuatan keju ricotta maupun keju queso
blanco dalam praktikum ini berbeda-beda untuk tiap kelompoknya. Bahan-bahan susu
tersebut, yaitu susu sapi segar 750 ml oleh kelompok B1, susu full cream 750 ml oleh
kelompok B2, susu skim cair 750 ml oelh kelompok B3, susu skim + susu full cream
1:1 (375 ml : 375 ml) oleh kelompok B4, dan susu skim + susu full cream 1:2 (250 ml :
500 ml) oleh kelompok B5. Menurut Saleh (2004), komposisi susu sapi segar meliputi
laktosa 4,9%, lemak 3,8%, protein 3,5%, dan mineral 0,73%. Menurut Agarwal et al.
(2006), susu full cream merupakan susu yang mengandung lemak tinggi dengan
komposisi total padatan susu sekitar 12,70%., sementara susu skim merupakan susu
yang mengandung lemak rendah dengan komposisi total padatan sekita 9,15%. Keju
yang dihasilkan dari bahan susu full cream mengandung air sebanyak 36-38%,
sedangkan keju dari bahan susu skim mengandung air sebanyak 42-25%. Menurut Yanti
(2003), keju yang dibuat dengan kombinasi susu full cream dengan susu skim memiliki
tujuan untuk mendapatkan kadar lemak yang diinginkan, di mana susu yang dicampur
dengan susu skim menyebabkan kandungan lemak turun dan susu yang dicampur
dengan susu full cream menyebabkan kandungan lemak naik.
Dalam praktikum ini pembuatan keju ricotta maupun keju queso blanco diawali dengan
mempasteurisasi susu sebanyak 750 ml sesuai dengan bahan yang digunakan masing-
masing kelompok. Untuk jenis keju ricotta, pasteurisasi dilakukan pada suhu 72oC
selama 15 detik. Sementara untuk jenis keju queso blanco, pasteurisasi dilakukan pada
suhu 80oC selama 2 menit. Pasteurisasi susu merupakan perlakuan pemanasan dengan
tujuan untuk membunuh bakteri patogen maupun perusak. Selain itu, pasteurisasi dapat
menghasilkan produk akhir keju yang seragam. Pada umumnya keju lunak seperti keju
ricotta dan keju queso blanco ini langsung dikonsumsi tanpa penyimpanan terlebih
dahulu, sehingga adanya proses pemanasan pasteurisasi sangat penting dilakukan untuk
menghindari resiko kontaminasi mikroorganisme. Suhu optimum pasteurisasi adalah
72oC selama 15 detik. Suhu ini menurut Rahmawati et al. (2014) merupakan cara
pasteurisasi dengan High Temperature Short Time (HTST) pasteurisasi pada suhu tinggi
72oC selama 15 detik. Pada keju queso blanco, digunakan suhu pasteurisasi yang lebih
tinggi yaitu 80oC. Metode ini sesuai dengan Ellis (2010), di mana pembuatan keju jenis
queso blanco, dilakukan pasteurisasi pada suhu ±185°F atau 85°C. Proses pemanasan
dengan suhu tinggi tersebut bertujuan untuk membantu proses denaturasi protein di
awal sehingga memudahkan proses koagulasi saat tahap penambahan asam. Buckle et
al. (1987) menambahkan, pemanasan dengan pasteurisasi akan menyebabkan denaturasi
sifat-sifat protein whey dan perubahan kasein yang memberi konsistensi yang lebih baik
dan lebih seragam pada produk akhir.
Setelah mencapai suhu dan waktu pasteurisasi, maka penambahan asam cuka dapat
dilakukan. Untuk jenis keju ricotta, penambahan asam cuka sebanyak 7,5 ml dan diaduk
perlahan selama 1 menit. Sementara untuk jenis keju queso blanco, penambahan asam
cuka sebanyak 10 ml yang telah diencerkan dengan air minum sebanyak 5 ml diawal
proses. Penambahan asam seperti cuka dalam praktikum ini sudah sesuai dengan yang
dikemukakan Irvine & Hill (1985) di mana pengasaman dapat dilakukan dengan
penambahan air perasan lemon, asam cuka, asam tartrat, atau kultur bakteri
Streptococcus lactis. Menurut Rahman et al. (1992), penambahan asam bertujuan untuk
mengkoagulasi kasein susu, dengan menangkap banyak lemak, serta sebagian laktosa,
air, dan mineral. Selain itu menurut Murti (2003), penambahan asam juga berfungsi
untuk memberikan cita rasa asam yang enak pada keju dengan peningkatan derajat
keasaman hingga 1%. Pada pembuatan keju queso blanco, dilakukan pengenceran cuka
terlebih dahulu. Hal ini bertujuan supaya keju queso blanco yang dihasilkan memiliki
curd yang kecil dan bertekstur lembut. Didukung oleh Soeparno (1992) bahwa apabila
asam yang ditambahkan dalam konsentrasi yang tinggi, maka kemungkinan terjadi
proses koagulasi protein yang tidak sempurna dan menyebabkan curd berukuran besar
dan bertekstur kasar. Pada proses pengasaman hendaknya dilakukan secara perlahan-
lahan supaya pembentukan curd menghasilkan bentuk yang homogen dan merata di
seluruh bagian susu.
Setelah itu, baik keju ricotta maupun keju queso blanco ditambahkan 15 gram garam
dan curd segera terbentuk, lalu diaduk kembali. Menurut Irvine & Hill (1985),
penambahan garam bertujuan untuk proses dehidrasi atau sineresis lebih lanjut dari sisa
whey yang masih ada, menghasilkan curd yang padat, menurunkan drajat keasaman,
mencegah pertumbuhan bakteri (sebagai pengawet), dan berkontribusi terhadap rasa
keju. Tambahan menurut Foster et al. (1961), garam yang ditambahkan akan membantu
proses pengeluaran protein whey dari koagulan, mengatur tingkat keasaman dan kadar
air keju, berperan dalam menentukan proses pematangan dan citarasa keju yang
dihasilkan. Selain itu menurut Rehm et al. (1995) garam difungsikan untuk
meningkatkan hidrasi protein susu yang membentuk emulsifikasi lemak sehingga
membuat tekstur keju yang dihasilkan halus.
Susu selanjutnya ditutup dengan menggunakan kain saring dan dilakukan pemeraman
untuk kedua jenis keju dengan waktu pemeraman yang berbeda. Untuk jenis keju
ricotta, pemeraman dilakukan selama 2 jam. Sementara untuk jenis keju queso blanco,
pemeraman dilakukan hanya selama 10 menit saja. Penutupan dengan kain saring dan
pemeraman baik dalam waktu 2 jam maupun 10 menit bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi asam untuk bereaksi dengan protein susu, supaya proses koagulasi
berlangsung dengan baik. Novidia (2003) menambahkan, dengan memberikan waktu
maka akan didapatkan substansi gel yang dinamakan curd, sejumlah besar air, dan
susbtansi terlarut yang disebut whey. Waktu pemeraman keju queso blanco yang hanya
10 menit menurut Sumarmono & Suhartati (2012) didasarkan dari pengertian keju
queso blanco sendiri yang merupakan keju lunak dan tidak memerlukan pemeraman
yang lama sehingga dapat dikonsumsi secara langsung. Waktu pemeraman keju queso
blanco yang lebih singkat dari keju ricotta ini dapat menyebabkan tekstur dari keju
queso blanco lebih lembut dari keju ricotta. Sementara menurut Koswara (2009) untuk
keju ricotta pemeraman yang lebih lama yaitu 2 jam bertujuan untuk membentuk secara
optimal karakteristik khas keju ricotta.
Curd yang telah terbentuk dari kedua jenis keju, kemudian disaring dan diperas untuk
memisahkan whey dan curd. Penyaringan dan pemerasan dengan kain saring yang
dilakukan setelah pemeraman bertujuan untuk memisahkan curd dan whey dengan
menghilangkan sebagian besar air dalam keju. Diusahakan supaya kadar air dalam keju
menjadi minimal, karena jika kadar air masih terlalu banyak maka akan memicu
pertumbuhan mikroba dan mempercepat proses kerusakan keju. Keju yang terbentuk
diambil sebagian untuk diukur pH dengan kertas lakmus. Setelah itu baru diamati
karakteristik fisik dan sensori dari kedua jenis keju yang dihasilkan. Metode pembuatan
keju ini sudah sesuai dengan pendapat dari Irvine & Hill (1985) di mana prinsip dasar
pembuatan keju meliputi pasteurisasi susu, penambahan asam, penggumpalan,
pemisahan curd dan whey, pengolahan curd, dan pematangan keju. Dalam praktikum
pembuatan keju dilakukan secara lebih sederhana tanpa adanya proses pengolahan curd
dan pematangan keju.
3.1. Analisa Hasil Pengamatan
3.1.1. Parameter pH
Hasil pengamatan dari parameter pH keju ricotta (tabel 1) diketahui bahwa rentang pH
yang dihasilkan oleh keju ricotta antara 5-6. Hasil ini cukup sesuai dengan teori dari
Farkey & Vedamuthu (2002) bahwa pH dari keju ricotta antara 5,6 – 6. Komposisi susu
dan jenis asam yang ditambahkan dapat mempengaruhi komposisi produk akhir keju.
Kelompok B1 didapatkan pH yang sedikit lebih rendah dibawah yang seharusnya. Hal
ini mungkin disebabkan oleh karena penambahan asam cuka yang terlalu banyak,
sehingga mengkibatkan pH keju sedikit lebih asam. Selain itu, juga bisa terjadi karena
panelis salah memperkirakan nilai pH dengan menggunakan kertas lakmus.
Pada pengamatan parameter pH keju queso blanco (tabel 2) diketahui bahwa rentang pH
yang dihasilkan oleh keju queso blanco antara 5,5-6. Hal ini tidak sesuai dengan teori
menurut Farkey & Vedamuthu (2002) bahwa pH dari Queso Blanco berkisar antara 4,6-
4,7. Penyimpangan ini mungkin terjadi karena pengenceran yang dilakukan tidak tepat
ukurannya oleh penambahan air yang terlalu banyak atau takaran asam cuka yang
kurang dari 10 ml. Selain itu, juga bisa terjadi karena panelis salah memperkirakan nilai
pH dengan menggunakan kertas lakmus
3.1.2. Parameter Tekstur
Hasil pengamatan dari parameter tekstur keju ricotta (tabel 1) diketahui bahwa tekstur
keju pada kelompok B1, B2, dan B5 adalah cair. Hal ini menurut Irvine & Hill (1985)
permasalahan tersebut terdapat di tahap pemanasan dengan pasteurisasi. Pasteurisasi
yang berlebih akan menghasilkan tekstur yang terlalu lembut bahkan menjadi cair,
karena pengaruh suhu tinggi dan waktu yang lama. Selain itu, penyimpangan ini dapat
dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam susu yang digunakan. Eskin (1990)
menambahkan beberapa hal yang dapat menyebabkan keju bertekstur cair dan kurang
lembut, salah satunya adalah proses koagulasi protein susu yang tidak optimal akibat
kurang optimalnya proses pemanasan di mana penguapan air menjadi tidak maksimal.
Suhu optimum pasteurisasi dalam pembuatan keju ricotta adalah 72oC selama 15 detik.
Oleh sebab itu, apabila proses pasteurisasi yang berlebih atau tidak optimal dapat
menyebabkan penyimpangan tekstur dari yang seharusnya. Selain itu, pada kelompok
B3 dihasilkan tekstur kurang lembut. Hasil ini tidak sesuai dengan teori dari Agarwal et
al. (2006) di mana semakin banyak kandungan lemak susu, maka keju akan semakin
lembut. Seharusnya kelompok B2 dihasilkan tekstur keju yang lembut karena terbuat
dari susu full cream dengan kandungan lemak tinggi. Penyimpangan ini kemungkinan
terjadi karena penilaian dilakukan oleh satu orang panelis, sehingga didapatkan
penilaian yang bersifat subjektif. Lain halnya pada kelompok B4 dihasilkan tekstur
lembut. Menurut Yanti (2003), apabila digunakan perbandingan komposisi susu yang
tepat akan dihasikan terkstur keju yang lembut. Teori ini sesuai dengan hasil keju pada
kelompok B4 dengan perbandingan bahan susu skim dan full cream 1:1.
Pada pengamatan parameter tekstur keju queso blanco (tabel 2) diketahui bahwa tekstur
keju pada kelompok B1, B2, B3, dan B5 dihasilkan keju bertekstur lembut, namun B4
dihasilkan keju yang kurang lembut. Hasil ini kurang sesuai dengan teori menurut Yanti
(2003), di mana apabila digunakan perbandingan komposisi susu yang tepat akan
dihasikan terkstur keju yang lembut. Penyimpangan ini kemungkinan terjadi karena
penilaian dilakukan oleh satu orang panelis, sehingga didapatkan penilaian yang bersifat
subjektif. Apabila dibandingkan tekstur antara keju ricotta dan keju queso blanco
didapatkan hasil di mana keju queso blanco mempunyai tekstur yang rata-rata lebih
lembut dibandingkan keju ricotta. Hal ini menurut Sumarmono & Suhartati (2012)
waktu pemeraman keju queso blanco yang hanya 10 menit didasarkan dari pengertian
keju queso blanco sendiri yang merupakan keju lunak dan tidak memerlukan
pemeraman yang lama sehingga dapat dikonsumsi secara langsung. Waktu pemeraman
keju queso blanco yang lebih singkat dari keju ricotta ini dapat menyebabkan tekstur
dari keju queso blanco lebih lembut dari keju ricotta. Didukung oleh pernyataan dari
Arinda et al. (2013) di mana waktu penyimpanan akan berpengaruh terhadap kadar air
keju lunak. Semakin lama waktu penyimpanan, maka kadar air akan meningkat namun
secara lambat. Peningkatan kadar air secara lambat menyebabkan kekerasan keju
menurun secara lambat pula.
3.1.3. Parameter Warna
Hasil pengamatan dari parameter warna keju ricotta (tabel 1) diketahui bahwa warna
keju pada kelompok B1, B2, dan B5 dihasilkan keju yang berwarna putih. Hasil ini
telah sesuai dengan teori di mana karakteristik keju ricotta adalah keju berwarna putih
susu. Didukung oleh teori dari Novidia (2003) di mana bila semakin tinggi kadar lemak,
maka warna yang dihasilkan akan semakin putih, dan hal ini terlihat dari kelompok B2
dan B5 yang menggunakan susu full cream, dan kelompok B1 yang menggunakan susu
utuh. Pada kelompok B3 dihasilkan warna kuning, dan B4 dihasilkan warna putih
kekuningan. Hasil ini kurang sesuai dari teori Novidia (2003) yang mengatakan bahwa
bila kandungan lemak rendah, maka akan dihasilkan warna keju yang pucat. Perbedaan
warna yang dihasilkan ini dapat disebabkan karena komposisi susu yang berbeda-beda
(Bennion & Hughes, 1975). Menurut pendapat Saleh (2004), warna keju yang bervariasi
dikarenakan perbedaan bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat, dan
bahan pembentuk warna dari susu. Warna kuning yang ada kemungkinan terjadi apabila
di dalam susu terdapat pigmen karoten yang dipengaruhi oleh asal susu. Faktor lain juga
dapat disebabkan karena proses pembuatan keju yang kurang tepat dan penilaian
dilakukan oleh satu orang panelis, sehingga didapatkan penilaian yang bersifat subjektif.
Pada pengamatan parameter warna keju queso blanco (tabel 2) diketahui bahwa warna
keju pada kelompok B2 – B5 dihasilkan warna keju yang putih kekuningan. Hasil ini
kurang sesuai dengan teori Novidia (2003) di mana bila semakin tinggi kadar lemak,
maka warna yang dihasilkan akan semakin putih. Seharusnya kelompok B2 dan B5
yang menggunakan susu full cream akan menghasilkan warna yang cenderung putih
seperti kelompok B1 yang dihasilkan keju yang berwarna putih. Ketidaksesuaian ini
dapat terjadi karena proses pemasakan yang lama dengan adanya butterfat yang
terkandung dalam susu. Hal ini akan membuat keju yang dihasilkan cenderung
berwarna putih kekuningan atau bahkan kuning. Namun bila dibandingkan dengan teori
USDA (2008) bahwa keju queso blanco rata-rata memiliki warna creamy white atau
putih kekuningan, berarti hasil tersebut dianggap sudah sesuai.
3.1.4. Parameter Aroma
Hasil pengamatan dari parameter aroma keju ricotta (tabel 1) diketahui bahwa keju pada
kelompok B1, B3, dan B5 tidak beraroma. Pada kelompok B2 keju yang dihasilkan
memiliki aroma keju, dan kelompok B4 keju yang dihasilkan memiliki aroma keju yang
lebih kuat (sangat beraroma keju). Hasil ini telah sesuai dengan teori Bennion & Hughes
(1975) di mana bila kandungan lemak susu yang tinggi akan menghasilkan keju yang
beraroma keju. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka akan semakin kuat aroma
keju yang terbentuk.
Pada pengamatan parameter aroma keju queso blanco (tabel 2) diketahui bahwa keju
pada kelompok B2 dan B3 sangat beraroma keju, pada kelompok B4 dan B5 keju yang
dihasilkan beraroma keju, dan pada kelompok B1 keju yang dihasilkan tidak beraroma.
Menurut Bennion & Hughes (1975) bila kandungan lemak susu yang tinggi akan
menghasilkan keju yang beraroma keju. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka
akan semakin kuat aroma keju yang terbentuk. Teori tersebut sesuai pada kelompok B2,
B4, dan B5 yang menggunakan bahan susu dengan kandungan lemak tinggi. Namun
teori tersebut tidak sesuai dengan kelompok B3. Seharusnya kelompok B3 keju
yangdihasilkan aromanya tidak lebih kuat dari aroma keju B1. Penyimpangan ini
kemungkinan terjadi karena susu mengalami perubahan baik secara fisik maupun
kimiawi selama proses pengolahan. Perubahan yang terjadi seperti fermentasi laktosa
menjadi asam laktat, asam asetat, asam propionat, dan karbondioksida yang dihasilkan
yang dapat mempengaruhi flavor atau aroma dari keju, sehingga didapatkan aroma keju
yang lebih kuat dari seharusnya (Eskin, 1990). Selain itu, penyimpangan dari kelompok
B1 yang tidak beraroma kemungkinan disebabkan karena penilaian dilakukan oleh satu
orang panelis, sehingga didapatkan penilaian yang bersifat subjektif.
3.1.5. Parameter Rasa
Hasil pengamatan dari parameter rasa keju ricotta (tabel 1) diketahui bahwa keju pada
kelompok B1 dan B4 berasa sangat asin. Pada kelompok B3 dan B5 dihasilkan keju
yang berasa asin, dan kelompok B2 dihasilkan keju yang kurang asin. Berdasarkan teori
dari Novidia (2003), semakin tinggi kandungan lemak dalam susu, maka aroma dan rasa
yang dihasilkan akan semakin menarik. Teori ini berlaku pada kelompok B1, B4, dan
B5 yang menggunakan bahan susu dengan kandungan lemak tinggi sehingga rata-rata
dihasilkan rasa yang asin. Namun teori tersebut tidak berlaku untuk kelompok B2 dan
B3, seharusnya kelompok B2 dengan kandungan lemak tinggi dihasilkan rasa yang asin,
dan kelompok B3 seharusnya tidak dihasilkan rasa yang asin karena rendahnya
kandungan lemak susu. Penyimpangan ini kemungkinan terjadi karena penilaian
dilakukan oleh satu orang panelis, sehingga didapatkan penilaian yang bersifat subjektif.
Pada pengamatan parameter rasa keju queso blanco (tabel 2) diketahui bahwa keju pada
kelompok B2 berasa sangat asin. Pada kelompok B1 dan B3 keju yang dihasilkan berasa
asin, serta kelompok B4 dan B5 dihasilkan rasa yang kurang asin. Berdasarkan teori
dari Novidia (2003), semakin tinggi kandungan lemak dalam susu, maka aroma dan rasa
yang dihasilkan akan semakin menarik. Teori ini berlaku pada kelompok B1 dan B2
yang menggunakan bahan susu dengan kandungan lemak tinggi, namun teori tidak
berlaku pada kelompok B3 dan B5. Seharusnya kelompok B5 dengan lemak susu tinggi
dihasilkan keju yang berasa lebih asin dibandingkan kelompok B3. Penyimpangan ini
kemungkinan terjadi karena penilaian dilakukan oleh satu orang panelis, sehingga
didapatkan penilaian yang bersifat subjektif. Apabila dibandingkan rasa antara keju
ricotta dengan keju queso blanco, maka dapat diketahui bahwa keju ricotta rata-rata
menghasilkan banyak keju yang berasa asin hingga sangat asin. Menurut Carr (1992),
rasa dan aroma yang dihasilkan dari keju tergantung dari lamanya pemeraman keju.
Semakin lama waktu pemeraman, maka aroma dan rasa yang dihasilkan keju akan
semakin kuat. Hal ini terlihat dari metode pembuatan keju ricotta yang membutuhkan
waktu pemeraman lebih lama yaitu 2 jam dibandingkan dengan keju queso blanco yang
hanya 10 menit saja.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi jenis dan variasi keju, yaitu derajat
keasaman susu selama proses pembuatan curd, suhu, kelembaban, lama waktu
pematangan keju, jenis mikroorganisme, dan komposisi susu yang digunakan dalam
pembuatan keju. Kondisi penyimpanan keju terutama suhu dan kelembaban sebaiknya
dikontrol dengan suhu rendah dan kelembaban tinggi. Proses pematangan keju
diperlukan untuk dapat menghasilkan keju yang berkualitas baik. Komposisi susu
terutama dalam hal kandungan lemak akan berpengaruh terhadap karakteristik keju
yang dihasilkan. Apabila komposisi susu yang digunakan mengandung kadar lemak
yang tinggi, maka keju yang dihasilkan akan bertekstur lembut, beraroma harum, dan
berwarna menarik. Namun apabila komposisi susu yang digunakan mengandung kadar
lemak yang rendah, maka keju yang dihasilkan akan bertekstur keras dan berwarna
pucat. (Novidia, 2003). Menurut pernyataan Geantaresa & Supriyanti (2010), belum
tentu keju yang memiliki kandungan lemak rendah berkualitas jelek. Keju dengan lemak
rendah khususnya yang terbuat dari susu skim dapat dikonsumsi oleh orang diet yang
hanya mengonsumsi makanan rendah lemak. Biarpun rasanya tidak segurih keju dengan
lemak tinggi, namun peran dari keju rendah lemak ini dapat membantu menjaga
kesehatan orang yang mengonsumsinya. Menurut Dhuol & Hamid (2013), proses
penyimpanan keju akan berpengaruh terhadap pH, total lemak dan protein. pH akan
semakin meningkat sejalan dengan lamanya waktu penyimpanan, namun kandungan
lemak dan protein akan menurun.
4. KESIMPULAN
Keju ricotta dan keju queso blanco termasuk ke dalam jenis keju lunak.
Keju lunak dibuat dengan penambahan asam yang tidak terlalu tinggi dan
kondisi temperatur minimal.
Prinsip pembuatan keju dengan kombinasi antara asam dan panas untuk
mengkoagulasikan protein susu yang disebut kasein.
Komposisi susu dan jenis asam yang ditambahkan dapat mempengaruhi
komposisi produk akhir keju.
Semakin banyak kandungan lemak susu, maka keju akan semakin lembut.
Tekstur keju queso blanco mempunyai tekstur yang rata-rata lebih lembut
dibandingkan keju ricotta.
Karakteristik keju ricotta adalah keju berwarna putih susu.
Karakteristik keju queso blanco rata-rata memiliki warna creamy white atau
putih kekuningan
Bila semakin tinggi kadar lemak maka warna yang dihasilkan akan semakin
putih, dan bila kandungan lemak rendah maka akan dihasilkan warna keju yang
pucat.
Perbedaan warna dapat disebabkan karena komposisi susu yang berbeda-beda,
perbedaan bangsa ternak, jenis pakan, jumlah lemak, bahan padat, dan bahan
pembentuk warna dari susu.
Semakin tinggi kandungan lemak dalam susu, maka aroma dan rasa yang
dihasilkan akan semakin menarik.
Rasa dan aroma yang dihasilkan dari keju tergantung dari lamanya pemeraman
keju.
Semarang, 30 Mei 2016Praktikan, NIM Asisten DosenKelompok B4 - Rr. Panulu P. M
Agata Meiliawati13.70.0039
5. DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, S., J. R. Powers; B. G. Swanson, S. Chen, and S. Clark. (2006). Cheese pH, Protein Concentration, and Formation of Calcium Lactate Crystals. Journal Dairy Sci. Vol. 89 (11) : 4144-4155.
Arinda, A. F., J. Sumarmono, dan M. Sulistyowati. (2013), Pengaruh Bahan Pengasam dan Kondisi Susu Sapi terhadap Hasil/Rendemen, Keasaman, Kadar Air dan Ketegaran Keji Tipe Mozarella. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(2): 455-462.
Bennion, M and O. Hughes. (1975). Introductory Foods. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wooton. (1987). Food Science. UI Press. Jakarta.
Carr, S. (1992). Pocket Cheese Book. Mitchell Beazley Publishers. New York.
Dhuol, K. R. R. and O. I. A. Hamid. (2013). Physicochemical and Sensory Characteristics of White Soft Cheese Made From Different Levels of Cassava Powder. International journal of Current Research and Academic Review. Vol. 1, No. 4: 1-12.
Ellis, J. (2010). What is Queso Blanco?. http://www.wisegeek.com/what-is-queso-blanco.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2016, pukul 05.59 WIB.
Eskin, N. A. M. (1990). Biochemistry of Foods 2nd Edition. Academic Press, Inc. California.
Farkey, N. Y. and E. R. Vedamuthu (2002). Microbiology of Soft Cheeses. Di dalam Robinson, R. K. (Ed.). Dairy Microbiology Handbook: The Microbiology of Milk and Milk Products 3rd Ed. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Foster, E. M., F. E. Nelson, M. L. Snede, and R. D. Doetch. (1961). Dairy Microbiology. Prentice-Hall, Inc. New York.
Fox, P. F., Paul L. H, McSweeney, T. M. Cogan, and T. P. Guine. (2004). Cheese, Chemistry, Physics, and Microbiology 3rd Edition Volume 2 Major cheese group. Elsevier Academic Press.
Geantaresa, E. dan F. M. T. Supriyanti. (2010). Pemanfaatan Ekstrak Kasar Papain sebagai Koagulan pada Pembuatan Keju Cottage Menggunakan Bakteri
Streptococcus thermophillus, Lactococcus lactis, dan Leuconostoc mesentroides. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. Vol. 1, No. 1: 38-43.
Irvine, D. M. (1982). Cheddar Cheese. Departement Agriculture & Food. Toronto.
Irvine, D. M. and A. R. Hill. (1985). Cheese Technology. Pergamon. Oxford.
Koswara, S. (2009). Teknologi Pengolahan Susu. eBookPangan.com. Diakses pada tanggal 29 Mei 2016, pukul 06.08 WIB.
Mulyani, S., A. Azizah, dan A. M. Legowo. (2009). Profil Kolesterol, Kadar Protein, dan Tekstur Keju menggunakan Mucor meihei sebagai Sumber Koagulan. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan : 516-523.
Murti, T. W. (2003). Cocok untuk Segala Usia. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. http://www.living-foods.com/articles/rawvscooked.html. Diakses tanggal 29 Mei 2016, pukul 06.03 WIB.
Novidia, E. (2003). Keju, Produk Olahan Susu yang Kaya Nutrisi. Harian Pikiran Rakyat Minggu. Jakarta.
Potter, N. (1978). Food Science 3rd Edition. CBS Publishers & Distributors. New Delhi.
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahaju, Suliantari, dan C. C. Nurwitri. (1992). Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmawati, D., J. Sumarmono, dan K. Widayaka. (2014). Pengaruh Metode Pasteurisasi dan Jenis Starter yang Berbeda Terhadap pH, Kadar Air, dan Total Solid Keju Lunak Susu Kambing Peranakan Ettawa. Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 1, No. 9: 46-51.
Rehm, H. J., G. Reed, A. Puhler, and P. Stadler. (1995). Biotechnology Second, Completely Revised Edition. VCH Verlagsgesellschaft mbH, D-69451. New York.
Saleh, E. (2004). Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. USU Digital Library. http://library.usu.ac.id./download/fp/ternak-eniza2.pdf. Diakses tanggal 29 Mei 2016, pukul 05.55 WIB.
Sumarmono, J. dan F. M. Suhartati. (2014). Yield dan Komposisi Keju Lunak Dari Susu Sapi yang Dibuat Dengan Teknik Direct Acidification Menggunakan Ekstrak Buah Lokal. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1, No. 3.
USDA. (2008). Commercial Item Description Cheese, Queso Blanco. http://www.ams.usda.gov/AMSv1.0/getfile?dDocName=STELDEV3006741. Diakses tanggal 25 Mei 2016, pukul 06.11 WIB.
Walstra, P., J. T. M. Wouters, T. J. Geurts. (2006). Dairy Science and Technology Second Edition. CRC Press. New York.
Yanti. (2003). Celoteh Keju A-Z. http://jalankenangan.net/celoteh/?p=156. Diakses tanggal 29 Mei 2016, pukul 05.59 WIB.
Zonis, S. (2007). Fresh Cheese: Cultures of Confusion. The Nibble, Lifestyle Direct, Inc. New York.
6. LAMPIRAN
6.1. Foto Queso Blanco Cheese
Queso Blanco B1 Queso Blanco B2 Queso Blanco B3
Queso Blanco B4 Queso Blanco B5
6.2. Foto Ricotta Cheese
Ricotta B1 Ricotta B2 Ricotta B3
Ricotta B4 Ricotta B5
6.3. Laporan Sementara