Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
156
KEPASTIAN HUKUM TENTANG PERIZINAN KEGIATAN HULU
MINYAK DAN GAS BUMI TERKAIT PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA
Rusydi Arlond Bakar
Abstract
In many public discuss, published in some media, the regulatory of natural sources is under serenity,
which is characterized by numerous licenses activity for several porpoises the same of working area, giving an
impact on the legal certainty of licensed.
This dissertation research is expected to provide , a, to know the implementation impact of the upstream oil
and gas activities in the field that is appointed by Minister of Energy and Mineral Resources as the authority of
oil and gas in Indonesia based on National reg no 22 of the 2001 related to several act sector regulation, b, to
find out the Couse of the overlapping of permits related to upstream oil and gas activities in the field, c, to find
alternative solution in the form of suggestion on constraint , concerning matters pertaining to arrange the
Government legal permit of upstream oil and gas activities in order to provide legal certainty in the upstream
oil and gas business license in Indonesia.
This research is conducted by normative research method by reviewing all applicable laws and
regulations related to upstream oil and gas activities, and conducting the sample test in order to enrich the
results of the research by observing facts about the current situation in the region of the Indonesian law.
Conclusion of the research are : a, Implication of licensing for upstream oil and Gas activities through the
signing of the PSC ( Production Sharing Contract) which is set under the law number 22 Year 2001 on oil and
Gas very vulnerable to the ocurated of duplication of permit in a similar working area, and legal implications
encountered in the types of sector regulations that also effect on the upstream oil and gas activities there are
approximately 87 other types of sector regulations that also effect on the upstream oil and gas activities must be
also comp the by the investors., even though they have been signing the PSC . Lots of regulations that apply in
work area which was not coordinated, cause of the overlapping of license in the same work area both fellow
actors oil and gas activities as well as activities in other sectors so that the trigger of conflict of interest of the
same time there is not yet regulation at the level of law.
Regulating the scaled priority of utilization, so this condition encourages the creation of duplication of
permits permissions granted to contractors of natural resources activity I n the same area. Current
license of upstream oil and gas activities is a non systemik permit since all licensed from other sectors haven’t
confirmed in the licensed given through the production hiring contract , all of those have an impact on the
emergence of legal uncertainty in the field.
Keywords ; legal permit, upstream oil and gas activities, production sharing contract
157
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Eksploitasi Minyak Bumi menurut
Benny Lubiantara 1 bahwa untuk pertama
kalinya tahun 1885 di daerah Telaga Said ,
Langkat, Sumatera, ditemukan minyak
secara komersial oleh A. Z Zilijker.
Penemuan potensi minyak tersebut
dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda
dengan cara izin pengelolaan kegiatan hulu
minyak dan gas bumi kepada beberapa
perusahaan asing. Sementara dalam
literature lain, Metta Dharsamaputera2
memberikan informasi bahwa Bataafsche
Petroleum Maatschapij yang disingkat BPM
merupakan anak perusahaan Royal Dutch
Shell yang mengelola tambang temuan
Aelko Zylker. tersebut.
Dengan penemuan dan beroperasinya
Royal Dutch Shell dalam kegiatan
pertambangan minyak di Indonesia pada era
tersebut pemerintah kolonial menggunakan
momentum tersebut untuk mendirikan
perusahaan minyak Belanda Royal Shell
pada tahun 1890, sehingga akibat terjadinya
ekspansi, kegiatan eksplorasi dan dan
eksploitasi mebuat pemerintah Belanda
memberlakukan undang-undang pemerintah
Hindia Belanda yang dikenal dengan
Indische Mijn wet
disingkat dengan IMW. Peraturan ini
menjadi dasar hukum diberlakukan nya
konsesi minyak yang dikenal dengan nama
Konsesi Kontrak 5A.
Indische Mijn Wet adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk mengelola pertambangan
bahan galian mineral yang bernilai ekonomi
1 Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek
Komersial Kontrak MIGAS, Gramedia Widiasarana,
Jakarta, 2012, hal 39 2 Metta Dharmasaputra, Wajah Baru industri Migas
Indonesia, Kata Data, Jakarta, hal 117
tinggi dan strategis seperti logam, batubara,
permata dan minyak bumi.
Sebagaimana dapat dilihat pada pasal 5 a
IMW yang berbunyi sebagai berikut:
a. Pemerintah Hndia Belanda mempunyai
kewenangan untuk melakukan
penyeldikan dan eksploitasi.
b. Penyelidikan dan eksploitasi itu dapat
dilakukan sendiri dan mengadakan
kontrak dengan perusahaan minyak
dalam bentuk kontrak 5A atau lazim
disebut dengan system konsesi.3
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, Indonesia menjadi negara
yang berdaulat sehingga sejak kemerdekaan
tersebut dirancang beberapa pemikiran
pengendalain pertambangan yang
disesuaikan dengan maksud didirikannya
bangasa Negara Indonesia.
Berdasarkan semangat tersebut pendiri
bangsa ini telah meletakkan landasan
konstitusional yang mengatur maksud dan
tujuan pengelolaan sumber daya alam
diwilayah kesatuan Negara Republik
Indonesia melalui pasal 33 Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang merumuskan
sebagai berikut dalam ayat ( 3) :„Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”
Dalam konsep pengelolaan tata ruang,
M Daud Silalahi4 menyatakan bahwa
implementasi pasal 33 UUD-RI 1945
memberikan kewenangan pada negara untuk
mengatur peruntukkan penggunaan
persediaan dan pemeliharaan bumi air dan
ruang angkasa termasuk pula terhadap
perbuatan hukum antara orang dengan
3 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hal 23 4 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam
Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT
Alumni, Bandung, 2001, hal 79
158
bumi air dan ruang angkasa hal ini sesuai
dijelaskan oleh pasal 33 ayat 3 UUD -RI
!945.
Kewenangan negara yang diberikan oleh
Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI tahun
1945 yang implemantasinya ditegaskan
melalui Pasal 2 Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 memberikan
pemahaman bagi pengambil kebijakan
bahwa negra berperan dalam 4 (empat) hal
yaitu :
1. Tindakan pengurusan ( bestuurdad),
negara berwenang mencabut dan
memberikan perizinan (verguning) ,
lisensi dan konsesi.
2. Tindakan pengatura ( regeleendaad)
melalui kewenangan legislasi DPR (
dewan Perwakilan Rakyat) ,
Pemerintah dan regulasi pemerintah.
3. Tindakan pengelolaan (
beherersdaad) dengan kepemilikan
saham ( share holding) dan atau
keterlibatan dalam manajemen
BUMN ( Badan Usaha Milik
Negara) serta,
4. Tindakan pengawasan, pengendalian
dan pengawasan atas penguasaan
sumber daya alam
Dilakukan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.
Dengan landasan konstitusional
tersebut diatas yaitu pasal 33 UUD RI dapat
dipahami bahwa semua pengelolaan dan
kebijakan yang akan diterapkan pada
pengelolaan sumber daya alam Indonesia
termasuk kegiata usaha hulu Minyak dan
Gas Bumi harus berorientasi pada
kepentingan rakyat.
Pada periode kepemimpinan Ibnu
Sutowo selaku Direkur Utama Pertamiba
yang mengelola kontrak karya terhadap
kegiatan hulu minyak dan gas bumi di
Indonesia merasa perlu bersikap untuk
memperkenalkan pada pengelola kegiatan
hulu minyak dan gas bumi melalui kontrak
hasil bagi produksi minyak. Menurut Benny
Lubiantara5, pada kontrak bagi hasil
tersebut, Pemerintah bukan hanya menerima
hasil penjualan dari hasil produksi minyak
tetapi juga mempunyai kewenangan
manajemen dalam pengelolaan hasil
produksi minyak dan gas bumi. Sehingga
dibuatlah ketentuan untuk memberlakukan
pola bagi hasil yang dikenal dengan pola
PSC ( Production Sharing Contract).
Pembahasan yang dilakukan dalam
penelitian ini secara konsepsional dibatasi
pada keadaan yang berlaku saat ini
mengingat banyaknya peraturan perundang-
undangan yang berkaitan saat ini dengan
kegiatan hulu minyak dan gas bumi di
lapangan yang fokusnya pada tiga
parameter, yaitu, pertama, apa lingkup
kegiatan yang diberikan, ke dua, bagaimana
negara memberikan kewenangan tersebut ,
ke tiga, bagaimana negara mengawasi
kewenangan yang diberikan tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang
mengatur kegiatan hulu minayk dan gas
bumi adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas bumi beserta semua
peraturan-peraturan pemerintah yang
mengikuti dan menjadi acuan teknis
operasionil atas pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tesebut.
Dalam menentukan siapa yang ditunjuk
sebagai pelakukegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi pada suatu wilayah kerja
kegiatan menueur undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 Pasal 12 Penawaran wilayah
kerja sebagaimana dimaksud :
ayat (1) dilakukan oleh Menteri. Ayat(3)
Menteri menetapkan badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang diberi wewenang
melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan
5 Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek
Komersial Kontrak Migas, , Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2012, hal 44-49
159
eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2). Pada pasal 4 ayat
(2) Peraturan pemerintah nomor 35 Tahun
2004 menyatakan bahwa Penawaran
Wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat berupa penawaran melalui lelang
atau penawaran langsung.
Secara teknis hal mana juga diatur
implementasinya , Pasal 6 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2004
merupakan ketentuan tentang kegiatan usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi memberikan
ketentuan bahwa Menteri menetapkan
pelaku usaha sector tersebut pada suatu
wilayah kerja melalui penawaran langsung
atau melalui lelang yang dirumuskan
sebagai berikut :Menteri menetapkan badan
usaha atau bentuk usaha tetap sebagai
kontraktor yang diberi wewenang
melakukan kegiatan usaha Hulu pada
wilayah kerja sebagaimana dimaksud pasal
2 ayat (1).
Pelaksanaan pengawasan terhadap
ditaatinya semua ketentuan pertauran yang
berlaku di Indonesia dilaksanakan oleh
badan pelaksana yang diatur oleh pasal 44
Undang-Undang Nomor 22 Tahun2001
tentang Minyak dan Gas Bumi jo Bab IX
Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 35
tahun 2004 Tentang kegiatanUsaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan
bahwa :
(1) Pembinaan terhadap kegiatan usaha hulu
dilakukan oleh Pemerintah yang
dilaksanakan oleh Menteri
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi :
a.Penyelenggaraan urusan pemerintah
dibidang kegiatan Usaha Hulu;
b,Penetapan kebijakan mengenai
kegiatan usaha hulu berdasarkan
cadangan dan potensi sumber daya
minyak dan gas bumi yang dimiliki,
kemampuan produksi kebutuhan Bahan
bakar Minyak dan Gas Bumi dalam
negeri, penguasaan teknologi, aspek
lingkungan dan pelestarian lingkungan
hidup; kemampuan nasional dan
kebijakan pembangunan.;
(3).Tanggung jawab kegiatan
pengawasan atas pekerjaan dan
pelaksanaan kegiatan usaha hulu
terhadap ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada
Menteri;
(4).Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan
dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja
Sama antara Badan Pelaksana dan Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.;
5.Badan Pelaksana melakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6)Dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5), Badan
Pelaksana berwenang menandatangani
Kontrak lain yang terkait dengan
Kontrak Kerja Sama;
(7)Pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5), dilakukan oleh Badan
Pelaksana melalui pengendalian
manajemen atas pelaksanaan Kontrak
Kerja Sama.
Namun pada pasal 41 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi menyatakan bahwa
Tanggung jawab kegiatan pengawasan atas
pekerjaan dan pelaksanaan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi terhadap ditaatinya
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku berada pada departemen yang
bidang tugas dan kewenangannya meliputi
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dan
departemen lain yang terkait.
Pengaturan yang melibatkan
kewenangan pengawasan pada banyak pihak
, sementara nilai investasi dalam kegiatan
sumur hulu minyak dan gas bumi
merupakan nilai yang cukup besar, oleh
160
karenanya potensi faktor Tarik menarik
kepentingan di lapangan yang disebabkan
banyaknya pengaturan sectoral yang
bersinggungan dengan kegiatan hulu minyak
dan gas bumi di lapangan akan menjadi
potensi timbulnya ketidak pastian perizinan
kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang
dipayungi oleh kontrak bagi hasil yang
ditetapkan oleh Menteri Energi Sumber
Daya Mineral.
Akibat dari keadaan pengaturan yang
demikian , para pelaksana kegiatan hulu
minyak dan gas bumi dalam implementasi di
lapangan sering menghadapi berbagai
masalah baik ditemuinya duplikasi perizinan
, dulikasi penguasaan lahan dan berlarutnya
waktu pengurusan izin sectoral yang harus
diselesaikan, terjadinya konflik
pemanfaatan kawasan dan atau lahan yang
mempunyai izin dalam kepentingan lain di
lapangan.
B. Rumusan masalah
Banyaknya masalah yang harus
dijawab terhadap terciptanya kepastian
hukum pada proses kegaiatn usaha
pertambangan , peneliti hanya membatasi
pada hal sebagai berikut :
1. Bagaimana akibat implementasi
Perizinan kegiatan Hulu Minyak dan gas
Bumi yang diatur berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 terkait
banyaknya peraturan perundsng-
undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Mengapa terjadi tumpang tindih dalam
penerbitan perizinan pada suatu wilayah
kerja/lapangan kegiatan hulu minyak dan
gas bumi di Indonesia.
3. Bagaimana kepastian hukum I perizinan
pengelolaan kegiatan huluminyak dan
gas bumi dengan banyaknya ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Bab II.
Metode Penelitian
Penelitian akan dilakukan dengan
menggunakan metode normatif mengingat
banyaknya peraturan perundang-undangan
yang saat ini menjadi acuan kelancaran
kegiatan operasional usaha pertambangan
minyak dan gas bumi di Indonesia. Namun
sebagaimana dirumuskan dalam
permasalahan terdapat ketidak pastian
hukum atas suatu perjinan kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi ( Migas) yang
dimiliki oleh kegiatan pertambangan hulu
minyak dan gas bumi.
Bab III
Kerangka teori
A.Teori yang berkaitan dengan
kewenangan.
Masalah kewenangan merupakan
suatu persoalan yang akan memberikan
pengaruh pada berlangsungnya suatu
kebijakan karena dengan kewenangan yang
dimiliki akan selalu diikuti oleh beberapa
langkah implementasi kewenangan tersebut,
sehingga hal ini akan menimbulkan
kebijakan-kebijakan yang akan memberikan
pengaruh pada tindak operasionil yang
berkaitan dengan kebijakan tersebut. Teori
kewenangan dalam konteks pemerintahan
bertujuan menciptakan terwujudnya
pelaksanaan hukum publik secara baik
sehingga diharapkan dapat memenuhi asas
umum penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang baik.
Menurut Sirajudin Didik Sukriono,
Didik, Winardi6 , bahwa penertiban tindakan
perizinan dan berbagai pelayanan publik
pada masyarakat merupakan pekerjaan
administrasi yang berhubungan dengan
rakyat, sehingga pelanggaran dan
penyalahgunaan semua ketentuan tersebut
akan berdampak pada kemashalatan orang
6 Sirajuddin, Sukriono, Didik, Winardi, Hukum
Pelayanan Publik, Setara Press, Malang, 2012, hal 35
161
banyak. Menurut HD Stout yang dirangkum
oleh H. Salim dan Erlies Septiana Nurbani7
menyatakan bahwa : Kewenangan adalah
aturan-aturan yang
berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh
subjek hukum publik didalam publik.
Pandangan HD Stout ini,dijelaskan oleh
Aminuddin Ilmar : Wewenang merupakan
suatu pengertian yang berasal dari organisasi
pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subjek
hukum publik didalam hukum publik.8
Dalam pemahamam HD Stout,
kewenangan tersebutmengandung tiga
element pokok , yaitu :
a. Adanya aturan hukum
b. Adanya elemen pemerintah
c. Adanya sifat hubungan hukum
Peneliti berpendapat bahwa kewenangan
sesungguhnya timbul karena adanya hukum
yang diterapkan melalui seperangkat
perundang-undangan , adanya pemerintah
yang mempunyai hak mengatur serta adanya
hubungan hukum atas kegiatan sosial
kemasyarakatan ,sesungguhnya penerapan
dan pelaksanaan kewenangan Pemerintah
merupakan wujud kemampuan dari
pelaksaan hukum tertulis yang diberlakukan
dalam public yang dikenal sebagai hukum
positip
B. Teori Kepastian Hukum
Teori ini digunakan dalam meneliti
permasalahan karena semua kegiatan hulu
minyak dan gas bumi merupakan kegiatan
yang beresiko investasi besar, sebagaimana
dituangkan dalam Undang Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ,
dijelaskan oleh Salim H.S. Budi Sutrisno ,
7 H Salim dan Erlis Septani, Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian thesis dan Disertasi, Rajawali Press,
Jakarta,2013, hal 183 8 Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan,
Predenamedia Group, Jakarta, 2012, hal 103
bahwa kegiatan investasi harus dipayungi
dalam hal :
a. Kepastian hukum
b. Transparansi
c. Tidak membeda-bedakan investor
Memberikan perlakuan yang sama kepada
investor dalam dan luar negeri.
Kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi merupakan kegiatan penanaman modal
yang bersifat investasi besar dan sangat
perlu pemerintah memperhatikan kepastian
hukum yang menyangku iklim investasi
tersebut. Tujuan hukum adalah keadilan
dan kemanfaatan, maka masalah kepastian
hukum adalah salah satu pras yarat yang
harus diupayakan agar manfaat dan keadilan
dapat dijamin oleh adanya hukum . Fachmi 9
mengutip Jeremy Bentham menyatakan
bahwa tujuan hukum adalah kepastian
hukum dan keadilan.
Bahkan Bentham menambahkan
termasuk untuk mewujudkan perdamaian
dan kebahagiaan ( peace and
happiness).Sumber nafkah,
kemakmuran,kesetaraan dan rasa aman,
semakin sempurna keempat tujuan tersebut,
makin besar kebahagiaan sosial keseluruhan
, khususnya kebahagiaan yang tergantung
pada hukum . Keadilan adalah suatu yang
abstrak bahkan sulit diatur oleh alat ukur
apapun dengan apa yang dinamakan “rasa
keadilan masyarakat. oleh Bentham, peneliti
juga memberikan pendapat dari pandangan
J.M Otto 10
yang menyatakan bahwa :
“ Legal certainty is an important concept in
legal doctrine. It refers to the predictability f
rules that apply in a certain case as well as
9 Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal
Demi Hukum, , PT Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011,
hal 293. 10
Jan Michael Otto, Toward and Analytical
Framework Real Legal Certainty and Its explanatory
Factors from The book : Implementation of Law in
he People’s Republic of China, di edit oleh Jianfu
Chen, Yuwen Li & J. M. Otto printed in Netherlands
Pages.
162
to the legal interpretation an application of
such rules by the judiciary and other law
enforcement authorities. In this sense, legal
certainty has a strict legal meaning. In
developing and transitional countries the
lack of legal certainty is often perceived as a
major problem. But the greater problem
is that, even if there where a formal legal
certainty, it would often remain highly
unlikely that government institutions and
individuals would pay much attention to it.
Under such condition, citizens do not benefit
much just from legal certainty. What they
need is real legal certainty . Real legal
certainty, then, may be defined as the
chances that in a given situation :
- There are clear , consistent and
accessible legal rules, issued or
acknowledged by or on behalf of the
state.
- The government institutions apply
these rules consistently and
themselves comply with them
- Most citizens in principle confirm to
such rules
- In the course of dispute settlement,
independent and impartial judges
apply such rules consistently, and
- Their judicial decisions are actually
put into practice
Real legal certainty thus presupposes a
society and a state that are strongly oriented
toward a legal system and a legal system
that has succeed in being the major
normative frame of reference and
maintaining a high degree of autonomy
toward both state and society. The notion of
real certainty broken down into the
abovementioned components, may constitute
a helpful instrument in the study of
implementation of law.
Dengan mengambil pandangan para
ahli tersebut, kepastian hukum
sesungguhnya merupakan konsep penting
dalam doktrin hukum.
C. Analisa Ekonomi Terhadap Hukum
Perkembangan ekonomi akan
memberikan pengaruh kepada
perkembangan hukum sebagaimana
dinyatakan oleh Richard Allen Posner11
memberikan pertimbangan pada suatu
kbijakan ekonomi yang mengarah pada
efisensi dan efektifitas yang dikenal dengan
Wealth maximation theory of justice yang
menyatakan bahwa :
“ The economic value of something is
How much some one is willing to pay for
it
Posner mendefinisikan efiesnsi dengan
mengatakan :…” the term efficiency,
when used as in this book to denote that
allocation of resources in which value is
maximated”
Pendapat nya lebih lanjut, Posner
menginginkan suatu kebijakan dalam
meutus suatu perkara dalam kegiatan
ekonomi. Dalam hal ini ilmu ekonomi
digunakan sebagai ilmu bantu atau sebagai
alat atau sarana untuk memahami dan
memecahlkan persoalan hukum. Disini lahr
pendekatan economic analysis of law yang
akan memberikan dampak pada rasa
keadilan .
Posner 12
berpendapat agar ahli hukum
tidak berhenti pada hak-hak normative,
tetapi mulai dengan pendekatan kuantitatif,
statistik. Analisis ekonomi akan amat
membantu dalam upaya pembahasan
hukum. Investasi dilakukan oleh sutau
kegiatan usaha dimanapun dan dalam bentuk
apapun dan bertujuan untuk memperoleh
hasil nilai (value) , sehingga proses yang
dilakukan dikelola sedemikian rupa d
dengan pada nilai, efisensi proses dibawah
naungan kepastian hukum sehingga
diharapkan hasil yang diperoleh optima dari
kegiatan investasi optimal.
11
Richard Allen Posner, Economic Analysis of Law,
Fith Edition A Division of Aspen Publishers, New
York, hal 12-13 12
ibid
163
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembahasan untuk mengetahui
bagaimana dampak implementasi
pengaturan tentang perizinan kegiatan usaha
pengelolaan hulu minyak dak dan gas bumi
yang diatur sesuai Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
bumi adalah pertama-tama menginventarisir
seluruh peraturan yang telah menjadi hukum
positip dan masih berlaku di wilayah hukum
Republik Indonesia dan berkaitan langsung
dengan kegiatan hulu minyak dan gas bumi
di Indonesia. Namun mempertimbangkan
besarnya lingkup regulasi yang terkait serta
keterbatasan waktu penelitin, focus
pembahasan lebih diarahkan pada keadaan
yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi.
A. Kegiatan Hulu Minyak dan gas Bumi
dalam Perspektif Pengaturan
Sesuai hierarkhi tingkat perundang-
undanagn yang ada , peraturan yang
mengatur kegiatan hulu minyak dan gas
bumi diatur oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas bumi yang terdiri dari 14
bab dan diurai menjadi 67 Pasal yang
keseluruhan isinya memberikan pengaturan
yang dimulai dari azas dan tujuan
pengelolaan kegiatan hulu minyak dan gas
bumi.
Pada pelaksanaan operasional yang
lebih teknis dalam mengatur tata kelola
kegiatan hulu minyak dan gas bumi
pemerintah telah menerbitkan
(1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 35 Tahun 2004 Tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
.
Pelaksanaan proses seleksi pelaksanaan
kegiatan hulu minyak dan gas bumi ,
pemerintah melalui Kementerian Energi dan
Sumber daya Mineral telah menerbitkan
pula Peraturan nomor 29 Tahun 2017
kontraktor dalam mengelola suatu wilayah
kerja menerbitkan
(2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor : 040 tahun 2006
Tentang Cara Penetapan dan penawaran Wi
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor {
35 Tahun 2008 Tentang Tata cara Penetapan
dan Penawaran Wilayah kerja Kerja Minyak
dan Gas Bumi, dan
(3) Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 2602
K/23/MEM/2006 tentang Penetapan
Wilayah Kerja Minyak dan gas Bumi,
Bentuk Kontrak Kerja Sama dan Ketentuan
Pokok Kerja Sama ( term and Condition )
serta mekanisme Penawaran Wilayah kerja
dalam penawaran Wilayah Kerja Minyak
dan gas Bumi yang telah disempurnakan
dengan
(4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Wilayah Kerja Minyak
dan Gas Bumi, sehingga seluruh eraturan
perundang-undangan tersebut sampai saat
ini menjadi payung yang sangat penting
sebagai acuan pengelolaan kegiatan hulu
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia.
Sesuai perkembangan terakhir
khusunya tentang survey umum untuk
mencari wilayah kerja saat ini telah
diterbitkan suatu peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral (
ESDM)_Republik Indonesia sesuai dengan
Peraturan Meneteri ESDM Nomor 29 tahun
2017 tentang Perizinan Pada kegiatan
Usaha Minyak dan Gas Bumi . Yang
dimaksud izin survey didefiniskan sesuai
dengan butir 13 (tiga belas) Bab 1 Ketentyan
Umum yang menyatakan bahwa
: “ Izin survey adalah izin yang diberikan
kepada Pemegang Izin untuk melakukan
survey umum di wilayah terbuka Minyak
dan gas Bumi atau Survey ke luar wilayah
kerja Minyak dan Gas Bumi.”
164
Pada peraturan menter tersebut sesuai
Pasal 4 ayat 1, menyatakan bahwa :
Izin survey sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a , Peraturan Menteri ESDM
Nomor 29 tahun 2017 meliputi kegiatan
a. Survey Umum Minyak dan gas
Konvensional
b. Survey Umum Migas non Konvensional
c. Survey keluar wilayah kerja Minyak dan
Gas Bumi Konvensional
d. Survey keluar wilayah kerja Minyak dan
Gas Bumi Non Konvensional
Sesuai definisi seperti yang diuraikan
pada butir 4 Bab 1 Ketentuan Umum
Peraturan Menteri ESDM Nomor 29 tahun
2017 tentang Perizinan Pada kegiatan
Usaha Minyak dan Gas Bumi tentang
Perizinan Pada kegiatan Usaha Minyak dan
Gas Bumi, menerangkan bahwa :
“ Survey umum adalah kegiatan lapangan
yang meliputi pengumpulan data, analisi,
dan penyajian data yang berhubungan
dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber
daya minyak dan gas bumi di luar wilayah
kerja”
Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa
Peraturan Menteri ESDM Nomor
29 tahun 2017 tentang Perizinan Pada
kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi tidak
menyentuh penyederhanaan kompleksitas
pelaksanaan perizinan untuk pelaku kegiatan
hulu minyak dan gas bumi sebagaimana
diatur oleh Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 21 tentang Minyak dan Gas Bumi jo
Pasal 6 Peraturan Pemerintah nomor 35
Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hulu Minyak
dan Gas Bumi .
B. Implikasi Terhadap Pelaksanaan
Kewenangan /Perizinan .
Analisa implikasi terhadap peraturan
regulasi perizinan kegiatan hulu minyak dan
gas bumi yang diawali penentuan lokasi
wilayah kerja dan dilanjutkan dengan cara
pemberian kewenangan kepada para pelaku
kegiatan hulu minyak dan gas bumi tersebut
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perizinan kegiatan hulu minyak dan
gas bumi dipayungi oleh Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2001 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi, namu dalam tahap pelaksanaan di
lapangan terdapat lebih kurang 87 ( delapan
puluh tujuh ) peraturan sektor lain yang juga
harus diselesaikan oleh para pelaku usaha
kegiatan hulu minyak dan gas bumi
walaupun telah memiliki perizinan induk
dari Menteri ESDM melalui production
sharing contract ( kontrak karya.
2. Pemberian kewenangan diberikan oleh
pemerintah kepada pelaku kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi melalui
proses lelang maupun melalui penawaran
langsung yang diusulkan oleh para
pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi ,
ditetapkan oleh Menteri ESDM meliputi
suatu wilayah tertentu dengan cara
ditandatanganinya suatu perjanjian kerja
sama yang dikenal dengan nama
Kontrak Bagi hasil.
3. Lingkup perizinan /kewenangan yang
diberikan hanya berupa payung hukum
dimulainya kegiatan hulu minyak dan gas
bumi sehingga tidak bersifat sistemik
terhadap semua perizinan yang diperlukan,
dan kewenangan tersebut baru dimulai dari
tahap awal yang disebut eksplorasii melalui
kontrak bagi hasil. Kontrak tersebut tunduk
pada semua peraturan perundang-undangan
di Indonesia sehingga semua perizinan
sectoral harus diikuiti oleh pelaku kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi.
4. Banyak sekali regulasi/peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada
masing-masing sektor dibawah satu
kementerian diluar bidang migas, namun
sangat berpengaruh
Hasil analisa tentang implikasi
peraturan perizinan kegiatan hulu minyak
165
dan gas bumi mendorong timbulnya
beberapa persoalan tumpeng tindih
perizinan, baik yang terkait pada kegiatan
hulu minyak dan gas bumi, juga terhadap
penduduk lokal yang mempunyai kegiatan
tersendiri di Kawasan atau daerah yang
sesungguhnya telah menjadi Kawasan kerja
suatu kegiatan huu menjadi penyebab
terjadinya konflik tumpeng tindih kegiatan
pada suatu wilayah kerja sama , baik konflik
dengan penduduk lokal, konflik antara
badan usaha yang sama sama mepunyai
perizinan pada wilayah kerja tersebut,
namun jenis kegiatan berbeda.
Sehingga bentuk dan sifat konflik yang
terjadi dikelompokkan menjadi 3 ( tiga )
kelompok : pertama, antara pelaku kegiatan
usaha hulu minyak dan gas bumi, ke dua,
terkait dengan pelaku usagha lain , dan , ke
tiga, termasuk pula dengan instansi
pemerintah yang mempunyai aturan menurut
kewenangan masing-masing departemen
dinas terkait.
Contoh , adalah kasus yang
menimbulkan konflik akibat adanya
kebijakan pemerintah yang bersifat
pengaturan tentang kebijakan lokasi
Kawasan kehutanan yang berpengauh pada
perizinan kegiatan hulu minyak dan gas
bumi, sebagaimana informasi yang
diperoleh dari Rudi Rubiandini13
, yaitu pada
lokasi wilayah kerja PT Chevron Pacific
Indonesia, di lokasi wilayah Rokan dan Blok
Siak, Provisni Riau. Awalnya pelaku
kegiatan usaha usaha minyak dan gas bumi
telah mempunyai kontrak bagi
hasil , tiba-tiba dilokasi tersebut ditetapkan
sebagai lokasi perhutanan, sehingga
menimbulkan konflik. Berdasarkan sumber
data SKK Mihgas Juli tahun 2013
dijelaskan sebagai berikut :
1. PT Chevron Pacific Indonesia telah
beroperasi sejak tahun 1950 an di
wilayah kerja Rokan dan Siak Blok.
13
Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas, Cynthia
Press, Jakarta, 2013, hal 45
2. Pada tahun1986 dikeluarkan penetapan
Kawasan Suaka Margasatwa dan Tata
Guna Kawasan Hutan (TGKH) Provinsi
Riau oleh Menteri Kehutanan dengan
SK No 173/KPTS_II/1986, tanggal 16
Juni 1986.
3. Banyak fasilitas operasi dan produksi
sudah di bangun dan dipergunakan jauh
sebelum penetapan Kawasan Hutan.
4. Merujuk pada Undang-Undang nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan , maka
semua kegiatan Migas di dalam
Kawasan hutan harus mendapat izin dari
Menteri Kehutanan.
5. Adanya pembentukan BP2T ( Badan
Pelayanan periznan Terpadu ) Provinsi
Riau yang mulai berlaku sejak tahun
2009
6. Pemekaran wilayah kabupaten dan Kota
di Provinsi Riau
Kondisi tersebut diatas terlihat bahwa
posisi aturan Penatapan Kawasan Suaka
Margasatwa dan Tata Guna Kawasan Hutan
Provinsi Riau oleh Menteri Kehutanan
melalui Sk Nomor 173KPTS-II tanggal 16
Juli 1986, diterbitkan setelah PT Chevron
Pacific Indonesia memperoleh perizinan
kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi,
namun sesuai ketentuan Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999tentang Kehutanan
,semua kegiatan yangberada didalam
Kawasan hutan harus memperoleh kembali
perizinan dari Menteri Kehutanan, sehingga
hal ini menunjukkan ketidak sinkronan
aturan yang telah dibuat dengan aturan yang
menyusulnya.
C. Implementasi tentang Kepastian
Hukum
Contoh kasus diatas dapat ditarik
tiada kepastian hukum pada regulasi dan
aspek pembinaan dan pengawasan terjadinya
konflik. Sebagai berikut :
a. Banyak sekali regulasi/aturan
perundang-undangan yang berlaku pada
masing-masing sector dibawah suatu
166
kementerian diluar bidang MIGAS,
namun sangat berpengaruh namun
sangat berpengaruh pada pelaksanaan
kegiatan hulu minyak dan gas bumi
dilapangan, baik dalam kegiatan
eksplorasi maupun pada kegiatan
eksploitasi , sehinga menciptakan
kompleksiats tersendiri dalam
penyelesain perizinan yang diperlukan.
b. Pelaksanaan kewenangan pengawasan
terhadap dipatuhinya masing-masing
regulasi tersebut berada pada masing-
masing kementerian terkait, sehingga
pelaksanaan pengawasan kegiatan hulu
minyak dan gas bumi berada pada
banyak pihak yang akhirnya berdampak
pada keadaan pengawasan yang tumpeng
tindih dan tidak fokus.
c. Tidak ada badan hukum negara saat ini
yang berkewenangan untuk melakukan
sublimasi perizinan ataupun sinkronisasi
perizinan terhadap kegiatan hulu minyak
dan gas bumi , baik dalam wilayah
bidang Energi Sumber Daya Mineral
maupun terhadap bidang-bidang pada
sector diluar minyak dan gas bumi ,
mengngat banyak nya perizinan yang
diperlukan oleh para pelaku kegiatan
hulu minyak dan gas bumi.
d. Production Sharing Contract ( Kontrak
bagi Hasil ) yang dimiliki sebagai paying
hukum perizinan kegiatan hulu minyak
dan gas bumi tidak menjamin
terpenuhinya semua syarat perizinan
mengingat masih perlu proses
pengurusan peizinan tersendiri.sehingga
berdampak negative pada kelancaran
kegiatan operasi lapangan, karena butuh
proses perizinan khusus sebelum operasi
walaupun telah memiliki kontrak
tersebut.
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
1. Banyaknya regulasi/aturan perundang-
undangan yang berlaku dalam suatu wilayah
kerja dan tidak terkoordinasi dengan baik
menimbulkan penyebab banyaknya terjadi
tumpang tindih perizinan disuatu wilayah
kerja, baik sesama pelaku usaha minyak dan
gas bumi maupun kegiatan sektor usaha
lainnya , sehingga memberikan peluang
terjadinya konflik kepentingan.. Pada saat
bersamaan belum ada peraturan setingkat
perundang-undangan yang mengatur skala
prioritas pemanfaatan sumber daya alam,
sehingga keadaan ini mendorong terciotanya
duplikasi perizinan yang diberikan kepada
pelaku usaha pengelolaan suber daya alam
pada suatu wilayah kerja yang sama.
1. Perizinan kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi saat ini merupakan perizinan
yang tidak sistemik, karena banyak
perizinan dari sektor lainnya belum
dipastikan posisi penyelesaiannya pada
perizinan yang diberikan pada kontrak
bagi hasil.
B. Saran
1. Pemerintah Bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia sebagai
Lembaga legislasi mempertimbangkan
untuk merevisi pengaturan periziann
kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi di Indonesia. Sebagaimana telah
diatur sesuai Undang-Undang onmor
22 tahun 2001 Tentang Minyak dan gas
Bumi, terutama agar sifat perizinan yang
diberikan menjamin terciptanya
kepastian hukum dalam implementasi
kegiatan hulu minyak dan gas bumi
dilapangan.
Inkracht MH UB vol2 no 2 2018
167
Kepustakaan
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Predenamedia Group, Jakarta, 2012.
Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak MIGAS, Gramedia
Widiasarana, Jakarta, 2012.
Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum, , PT Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2011.
H Salim dan Erlis Septani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Thesis dan Disertasi,
Rajawali Press, Jakarta,2013.
Jan Michael Otto, Toward and Analytical Framework Real Legal Certainty and Its
explanatory Factors from The book : Implementation of Law in the People’sRepublic of
China, di edit oleh Jianfu Chen, Yuwen Li & J. M. Otto printed in Netherlands Pages
Metta Dharmasaputra, Wajah Baru industri Migas Indonesia, Kata Data, Jakarta,.
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2001.
Richard Allen Posner, Economic Analysis of Law, Fourth Edition A Division of Aspen
Publishers, New York.