12
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /DPD RI/I/2013-2014 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL JAKARTA 2013

keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 14

Embed Size (px)

Citation preview

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /DPD RI/I/2013-2014

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANGSISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

JAKARTA2013

803

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /DPD RI/I/2013-2014

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIAATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANGSISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan melaksanakan ketentuan Pasal 223 serta Pasal 224 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPD perlu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang tertentu;

b. bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan dalam rangka memberikan kepastian pelindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5243);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun 2007-2009;

804

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-5Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 tanggal 1 Oktober 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DPD RI ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL.

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

KEDUA : Isi dan rincian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 1 Oktober 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

805

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 /DPD RI/I/2013-2014 TENTANG

HASIL PENGAWASANDEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG KEGIATAN PENGAWASAN Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara untuk memberikan kepastian

pelindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan dalam Pasal 28H dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Ayat (3) Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sedangkan ayat (2) Pasal 34 UUD NRI menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Jaminan Sosial Nasional diatur dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang menganut tiga (3) asas (kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial); sembilan (9) prinsip (kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilita,; kepesertaan bersifat wajib, amanat, dan hasil pengelolaan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta; dan lima (5) program (jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian). Dengan program ini diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Dengan akan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada tanggal 1 Januari 2014, semestinya banyak hal yang telah disiapkan secara matang sehingga ketika dilaksanakan per satu Januari 2014 kendala-kendala teknis maupun nonteknis tidak mengganggu jalannya program jaminan sosial tersebut. Akan tetapi, hingga mendekati akhir tahun 2013 ini, masih ditemukan berbagai permasalahan menyangkut penyelenggaraan jaminan sosial tersebut, seperti masih belum terbitnya sejumlah peraturan pelaksana sebagai petunjuk teknis operasionalisasi SJSN.

Minimnya peraturan pelaksana berimplikasi pada tertundanya upaya peleburan sejumlah jaminan sosial yang dimiliki oleh pemerintah. Seperti yang dialami oleh Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan (Askes), ketiadaan regulasi terkait kelembagaan, dan tata kelola BPJS Kesehatan turut menghambat PT Askes dalam menyusun peraturan atau pedoman BPJS Kesehatan yang lebih teknis. Pemerintah baru menerbitkan dua peraturan pelaksana yang terkait teknis pelaksanaan program yaitu (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.

Selain peraturan pelaksana yang masih minim, besaran iuran dan kepesertaan masih

806

menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Polemik mengenai berapa besaran iuran yang ditanggung pemerintah masih belum selesai. Begitu juga data masyarakat miskin (maskin) menyangkut besaran dan kategorisasi maskin juga masih belum jelas.

Sementara itu, di pihak lain, beberapa pemerintah daerah (pemda) telah menerapkan sejumlah program guna mematangkan persiapan program jaminan sosial nasional tersebut (universal coverage). Program daerah tersebut dilaksanakan untuk menutupi kelemahan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas) yang tidak dapat menampung seluruh maskin yang ada di daerah-daerah. Program yang dijalankan dengan menggunakan anggaran daerah (APBD) ini cukup sukses memberikan layanan kesehatan dasar bagi maskin. Dengan berlakunya Jaminan Sosial Nasional, keberlangsungan jamkesda dalam menjamin kesehatan maskin di daerah dikhawatirkan tidak akan berlanjut karena akan tumpang tindih dengan program jaminan kesehatan nasional.

Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang baik juga masih belum terpenuhi. Ketersediaan tenaga kesehatan terutama dokter, perawat, dan bidan masih belum tercukupi untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama di daerah terpencil. Begitu juga ketersediaan puskesmas yang memiliki fasilitas rawat inap pun masih belum cukup. Hal itu akan mengganggu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat miskin sehingga cita-cita UU SJSN untuk memberikan layanan paripurna bagi seluruh rakyat Indonesia sulit terwujud.

Kondisi di atas menjadi dasar bagi Komite III DPD RI untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU SJSN sebagaimana diamanatkan Pasal 22D UUD RI bahwa Dewan Perwakilan Daerah RI memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, selain pertimbangan dan legislasi.

B. FOKUS DAN SIGNIFIKANSI KEGIATAN PENGAWASAN

Fokus kegiatan diarahkan pada pengawasan UU SJSN, khususnya menyangkut efektivitas dan permasalahannya di lapangan dengan melakukan kunjungan langsung ke 33 Provinsi (daerah pemilihan Anggota Komite III DPD RI), sedangkan signifikansi kegiatan pengawasan adalah tampak sebagai berikut:

(1) pengawasan pelaksanaan UU SJSN yang dilakukan DPD RI merupakan bagian implementasi kewenangan DPD RI yang diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 224 ayat (1) huruf e, sedangkan alat kelengkapan yang melakukan pengawasan adalah Komite III sesuai dengan Peraturan DPD RI Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib; dan

(2) jaminan sosial merupakan program negara yang bertujuan untuk memberikan kepastian pelindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan dalam Pasal 28H dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

C. LANDASAN YURIDIS 1. Pasal 22D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 224 ayat (1) huruf e;

3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 4. Peraturan DPD RI Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;5. Peraturan DPD RI Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengawasan DPD RI;

807

BAB IIPELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

A. SUBJEK DAN OBJEK PENGAWASAN

Pengawasan dilakukan atas pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan telah diterbitkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai badan negara yang menyelenggarakan SJSN secara nasional sehingga jaminan sosial yang selama ini diselenggarakan oleh Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes beralih ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 60 dan Pasal 62 UU BPJS menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan akan berjalan pada tanggal 1 Januari 2014. Artinya, seluruh pengelolaan jaminan sosial yang selama ini dijalankan oleh badan negara akan dijalankan oleh BPJS Kesehatan untuk Jaminan Kesehatan dan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk Jaminan Ketenagakerjaan.

Adapun objek yang diawasi adalah pemerintah, pemda, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial milik pemerintah (Jamsostek, Taspen, dan Askes) dan objek yang diawasi berhubungan dengan persiapan dalam menyelenggarakan Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 yang terdiri atas:

(1) peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam UU SJSN;(2) proses transformasi kelembagaan baik dari sisi sumberdaya manusia maupun

infrastruktur;(3) besaran iuran dan Kkepersertaan; (4) sarana dan prasarana penunjang di daerah, khususnya pada fasilitas kesehatan;

serta(5) integrasi program jaminan sosial yang dikelola Pemda dengan BPJS Kesehatan

dan BPJS Ketenagakerjaan.

B. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASANPengawasan terhadap pelaksanaan UU SJSN dilakukan dengan metode:1. observasi, 2. wawancara dan kuesioner, 3. telaah data dan informasi.

C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN PENGAWASAN1. WAKTU DAN TEMPAT KUNJUNGAN PENGAWASANAnggota Komite III DPD dalam pelaksanaan pengawasan atas UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN melakukan kunjungan pengawasan di masing-masing daerah pemilihan di 33 Provinsi

2. BENTUK KEGIATAN Kegiatan Komite III DPD RI dalam melakukan pengawasan atas UU Nomor

40 tahun 2004 tentang SJSN, selain melakukan kunjungan ke daerah, komite III juga melakukan kegiatan sebagai berikut :

(1) rapat kerja dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tanggal 13 Maret 2013;

(2) rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Perseroan ASKES dan Perseroan TASPEN tanggal 7 Mei 2013;

(3) rapat kerja dengan Kementerian Sosial Republik Indonesia tanggal 11 Juni 2013;(4) kunjungan kerja ke daerah tanggal 24-27 Juni 2013; dan(5) finalisasi hasil pengawasan tanggal 3-4 September 2013.

Waktu pelaksanaan pengawasan dimulai dari tanggal 13 Maret 2013 yang ditandai dengan Rapat Kerja bersama Kementerian Kesehatan RI. Pengawasan berakhir tanggal 4 September 2013 yang ditandai dengan berakhirnya finalisasi laporan hasil pengawasan UU SJSN. Lokasi pengawasan ada di Jakarta sebagai ibu kota negara dan di daerah yang terdiri atas tiga puluh tiga (33) provinsi.

808

BAB IIITEMUAN MENONJOL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL

Temuan penting terhadap pengawasan pelaksanaan UU SJSN terangkum sebagai berikut.

1. Belum Terbitnya Sejumlah Peraturan Pelaksana Undang-Undang SJSN mengamanatkan dua puluh satu peraturan pelaksanaan

untuk menerapkan SJSN yang terdiri atas sebelas (11) peraturan pemerintah dan sepuluh (10) peraturan presiden. Sebelas peraturan pemerintah (PP) mengatur (i) penerima bantuan iuran (Pasal 14); (ii) iuran wajib peserta (Pasal 17); (iii) manfaat uang tunai, hak ahli waris, kompensasi, dan pelayanan medis (Pasal 33); (iv) iuran jaminan kecelakaan kerja (Pasal 34); (v) manfaat jaminan hari tua (Pasal 37); (vi) besarnya iuran jaminan hari tua (Pasal 38); (vii) besarnya iuran jaminan pensiun untuk peserta penerima upah (Pasal 42); (viii) besarnya manfaat jaminan kematian (Pasal 45); (ix) iuran jaminan kematian (Pasal 46); (x) tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial (Pasal 47); dan (xi) pembentukan cadangan teknis (Pasal 50).

Sepuluh peraturan presiden (perpres) mengatur (i) susunan organisasi dan tata kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional (Pasal 10); (ii) tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (Pasal 12); (iii) kepesertaan dan iuran (Pasal 13); (iv) kepesertaan jaminan kesehatan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (Pasal 21); (v) pelayanan kesehatan dan urun biaya (Pasal 22); (vi) kompensasi (Pasal 23); (vii) jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS (Pasal 26); (viii) besarnya iuran untuk peserta penerima upah (Pasal 27); (ix) iuran tambahan (Pasal 28); dan (x) manfaat jaminan pensiun (Pasal 41).

Di samping itu, BPJS yang dilahirkan dengan Undang-Undang (UU BPJS) juga menuntut sejumlah peraturan pelaksanaan sebagai regulasi teknis penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS. Delapan PP dan tujuh perpres serta satu keputusan presiden yang belum diterbitkan terkait BPJS itu sendiri. Jika jumlah tersebut ditotal, ada tiga puluh lima (35) peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan. Dengan jumlah peraturan pelaksanaan yang belum terbit sebanyak itu, pelaksanaan SJSN oleh BPJS dikhawatirkan akan mengalami banyak persoalan, terutama terlambatnya waktu pelaksanaan dari jadwal yang sudah ditetapkan, yaitu 1 januari 2014.

2. Transformasi Kelembagaan Pasal 5 ayat (2) UU SJSN menyatakan bahwa sejak berlakunya UU SJSN, badan

penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Transfromasi kelembagaan dilakukan terhadap Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri menjadi BPJS Kesehatan dan mengurusi jaminan kesehatan (JK), sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mengurusi jaminan kecelakaan jerja (JK), jaminan kematian (jakem), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pensiun (JP).

Proses transformasi secara otomatis akan mengubah sistem dan mekanisme operasional yang juga berkaitan dengan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang dimiliki. Apabila ditambah dengan kondisi seperti yang dipaparkan di atas, yaitu terdapat 35 peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan, proses transformasi tersebut akan terhambat karena belum terkoordinasikannya pola pengelolaan yang beragam dari badan pengelola jaminan sosial yang ada. .

Direktur Utama Askes, Fachmi Idris, dalam RDPU dengan Komite III DPDRI tanggal 7 Mei 2013 menyatakan bahwa ketiadaan aturan mengenai kelembagaan dan tata kelola BPJS, besaran iuran, pengesahan Laporan Posisi Keuangan Pembuka BPJS Kesehatan, dan Laporan Posisi Keuangan Pembuka Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menghambat Askes dalam mentransformasikan diri menjadi BPJS Kesehatan.

Permasalahan lain yang dihadapi Askes dalam bertrasnformasi adalah (1) penyelesaian terhadap piutang eks Askes Komersial, (2) aset tetap yang bermasalah, (3) persediaan alat kesehatan, serta (4) pengalihan aset dan liabilitas Askes ke BPJS Kesehatan. Pemisahan aset dan liabilitas antara milik DJS atau milik BPJS akan menurunkan nilai aset yang dimiliki BPJS sehingga menganggu investasi.

Sebagai pengelola BPJS Kesehatan, potensi penolakan dari badan pengelola lain untuk mengalihkan pengelolaan kepada Askes juga belum dapat diatasi, seperti potensi penolakan Jamsostek terhadap pengalihan jaminan kesehatan tenaga kerja kepada Askes; permintaan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) agar BPJS Kesehatan memanfaatkan Lembaga Farmasi (LAVIAL) sebelum menandatangi kerja sama; adanya permintaan

809

pelayanan khusus/tertentu terkait dengan layanan forensik bagi polisi; serta adanya keinginan kelas perawatan khusus (VIP) bagi perwira tinggi.

3. Kepesertaan Masyarakat Miskin (Maskin)Data kepesertaan maskin masih menjadi polemik. Pemanfaatan data maskin yang

berbeda-beda antara satu lembaga dan lembaga yang lainmenunjukkan belum adanya standar yang baku terkait maskin. Seperti data maskin yang digunakan untuk jamkesmas berbeda-beda, Jamkesmas 2010 menggunakan data dari program Pendataan Sosial Ekonomi (PSE-05) tahun 2005 yang berjumlah 76,4 juta jiwa. Data PSE-05 tersebut juga digunakan sebagai dasar jumlah maskin oleh DJSN BPJS. Sementara itu, Program Jamkesmas 2011 menggunakan data dari Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS-08) yang berjumlah 60,4 juta jiwa.

Untuk Program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menggunakan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berjumlah 62 juta orang, sedangkan data TNP2K tahun 2011 berjumlah 96,7 juta jiwa tidak digunakan. Data dari Badan Pusat Statisik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah maskin sampai dengan Maret 2013 adalah 28,07 juta jiwa. Baik data maskin yang berasal dari PPLS maupun yang berasal dari BPS tidak digunakan dalam Program Jaminan Sosial Nasional yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Pemerintah memutuskan jumlah maskin yang akan digunakan dalam BPJS hanya 86,4 juta jiwa sebagaimana yang disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI tanggal 10 Juli 2013 yang dihadiri oleh Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar, Menteri Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Askes, serta Kementerian PPN/Bappenas.

Di samping itu, masih adanya perusahaan yang nakal dan tidak bersedia membayar jaminan sosial ketenagakerjaan menyebabkan tidak tercatatnya tenaga kerja tersebut sebagai peserta Jamsostek sehingga menambah daftar panjang penduduk yang tidak mendapat jaminan sosial. Hasil pengawasan Komite III DPDRI di Kota Makassar, Sulawesi Selatan menemukan bahwa 6.000 perusahaan yang menyerap lebih dari 110.000 tenaga kerja, hanya 70.000 tenaga kerja yang terdaftar di Jamsostek.

4. PembiayaanBesaran iuran sangat bervariasi karena cara pengumpulannya beragam. Misalnya,

Askes mengumpulkan iuran dana hanya dari PNS dengan besaran iuran 2% dari gaji atau pensiun yang diterima (PP No. 28 Tahun 2003); Jamsostek mengumpulkan iuran hanya dari tenaga kerja yang bekerja di sektor swasta dengan besaran iuran 3% bagi yang lajang dan 6% bagi yang sudah berkeluarga (PP 53 Tahun 2012); Asabri mengumpulkan dana hanya dari TNI/Polri yang besarannya 3,25% dari penghasilan peserta setiap bulannya (Keppres No.8 Tahun 1977); dan Taspen mengumpulkan iuran dari PNS yang sudah pensiun sebesar 4,75% dari pensiun yang diterima (PP No. 25 Tahun 1981).

Dengan adanya BPJS, besaran iuran dan tata cara pemungutan iuran dapat diseragamkan sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses jaminan sosial. Kondisi ideal tersebut belum bisa terwujud karena sampai saat ini PP yang mengatur besaran iuran dan tata cara pemungutan belum diterbitkan walaupun pemerintah sudah menginformasikan bahwa besaran iuran adalah Rp19.225,00, tetapi belum diiringi dengan aturan legal dalam bentuk PP.

5. Ketersediaan Fasilitas KesehatanPasal 22 UU SJSN menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan bersifat

pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan, sedangkan Pasal 23 UU SJSN menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerja sama dengan BPJS. Sementara itu, bagi daerah yang belum menyediakan fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna mencukupi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS wajib memberikan kompensasi.

Pengawasan Komite III DPD RI menemukan bahwa hampir seluruh daerah belum memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai. Begitu juga dengan ketersediaan fasilitas rawat inap dan fasilitas untuk melahirkan di Puskesmas, tenaga kesehatan khususnya dokter (dokter umum, gigi, dan spesialis), tenaga keperawatan (perawat dan bidan), serta tenaga penunjang lainnya juga belum memadai, baik untuk rumah sakit maupun puskesmas. Selain itu, banyaknya rumah sakit umum di tingkat kabupaten/kota yang berklasifikasi kelas C juga turut mempengaruhi kesiapan pemerintah dalam menjalankan program jaminan sosial kesehatan secara nasional. Hal ini tentuakan mengurangi nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari jaminan kesehatan itu sendiri.

Pengawasan yang dilakukan Komite III DPD RI juga menemukan bahwa masih

810

adanya rumah sakit (pemerintah dan swasta) yang menolak dalam melayani pasien, khususnya pasien Jamkesmas. Pada umumnya penolakan rumah sakit tersebut menggunakan alasan keterbatasan kamar untuk rawat inap bagi pasien Jamkesmas dan lambatnya pencairan klaim rumah sakit oleh pemerintah atas pasien Jamkesmas. Di sisi lain, tidak adanya ketiadaan sistem pelayanan yang berjenjang menyebabkan banyaknya pasien yang seharusnya dapat ditangani puskesmas malah memilih langsung ke rumah sakit sehingga rumah sakit kesulitan dalam melayani karena melebihi kapasitas dan kemampuannya. Dengan demikian, perlu dipikirkan kesiapan sistem dan komitmen semua pihak dalam melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin.

6. Integrasi Program Jaminan Sosial Daerah (Jamkesda/Jamkesta) dengan Program Jaminan Sosial Nasional

Terbitnya UU SJSN memunculkan inovasi daerah dalam program-program jaminan sosial, khususnya kesehatan, sebagai bentuk kesiapan daerah dalam menjalankan program Jaminan Sosial Nasional sebagaimana tertuang dalam UU SJSN tersebut.

Hasil Kunjungan kerja Komite III menemukan bahwa hampir seluruh daerah menerapkan sistem jaminan sosial kesehatan daerah (jamkesda/jamkesta) yang didanai dari APBD. Program Jamkesda/Jamkesta menggunakan dana yang bersumber dari APBD dengan besaran iuran yang ditanggung Pemda dan bervariasi jumlahnya sesuai dengan kemampuan daerah. Sasarannya adalah masyarakat miskin yang belum tertampung dalam Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan payung hukum peraturan setingkat peraturan kepala daerah (peraturan gubernur/bupati/wali kota), Program Jamkesda/Jamkesta dianggap cukup suskes dalam melayani kesehatan maskin yang belum mempunyai asuransi kesehatan.

Lahirnya BPJS yang akan beroperasi mulai tanggal 1 Januari 2014 menjadikan seluruh program jaminan sosial yang ada, baik kesehatan maupun tenaga kerja dikelola oleh BPJS. Sampai saat ini, belum ada aturan atau regulasi yang mengatur proses integrasi Program Jamkesda/Jamkesta dengan Program Jaminan Sosial Nasional tersebut, bahkan di dalam UU SJSN, perihal peran daerah tidak diatur sama sekali, kecuali pada Pasal 22 dan Pasal 23 mengenai kompensasi bagi masyarakat yang meggunakan fasilitas kesehatan daerah yang belum memadai.

Hasil pengawasan Komite III DPD RI tanggal 24-27 Juni 2013 juga terungkap bahwa daerah tidak keberatan dengan akan dikelolanya jaminan sosial secara nasional melalui BPJS yang didanai dengan APBN, tetapi daerah juga masih menginginkan adanya Program Jamkesda/Jamkesta. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi nasional yang mengatur jamkesda/jamkesta dengan jaminan sosial nasional dari segi kepesertaan, pendanaan, besaran iuran yang ditanggung, dan lembaga yang mengelola. Dengan pembagian peran yang jelas, manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, khsususnya yang belum mendapatkan jaminan sosial.

7. Minimnya SosialisasiPemerintah menargetkan bahwa tanggal 1 Januari 2014 BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan sudah akan berjalan dan bulan November 2013 seluruh aturan teknis yang menunjang operasional BPJS telah rampung. Hasil pengawasan yang dilakukan Komite III DPD RI menemukan bahwa masih ada masyarakat, rumah sakit, dan pemerintah daerah yang belum memahami jaminan sosial nasional yang diselenggarakan oleh BPJS, siapa yang berhak menerima, mekanisme pendaftaran, pendanaan, dan kapan dilaksanakan. Kondisi itu semakin melengkapi kekhawatiran ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan jaminan sosial berskala nasional tepat pada 1 Januari 2014 sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 60 dan Pasal 62 UU BPJS sebagai turunan UU SJSN.

811

BAB IIISIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. RekomendasiBerdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan di atas, Komite III DPD RI

merekomendasikan hal-hal berikut kepada pemerintah:(1) Segera menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

sebagaimana amanat dalam UU SJSN dan UU BPJS dalam waktu singkat.(2) Meningkatkan koordinasi secara lebih intensif dan berkesinambungan dengan

berbagai kementerian/lembaga/badan dalam kerangka mempercepat proses transformasi Askes, Jamsostek, Asabri, dan Taspen ke dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

(3) Menetapkan standardisasi penentuan yang baku berkenaan dengan pendataan masyarakat miskin sebagai basis sasaran pelayanan dalam BPJS.

(4) Melakukan koordinasi secara optimal dengan pemerintah daerah berkenaan dengan (a) ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan; (b) peningkatan jumlah dan kelengkapan sarana prasarana serta sumber daya manusia di puskesmas; (c) pembuatan sistem standar pelayanan yang berjenjang berbasis rujukan antara puskesmas dan rumah sakit; (d) validasi pendataan masyarakat miskin; dan (e) pengintegrasian Program Jamkesda/Jamkesta dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diimplementasikan oleh BPJS.

(5) Menetapkan besarnya iuran/pembiayaan (premi) secara proporsional, baik peserta jaminan sosial nasional yang ditanggung pemerintah maupun yang tidak ditanggung pemerintah (membayar iuran/premi sendiri).

(6) Melakukan sosialisasi secara optimal dan intensif terhadap seluruh ketentuan UU SJSN, UU BPJS, dan peraturan perundang-undangan yang lain secara menyeluruh kepada masyarakat, rumah sakit, dan pemerintah daerah.

II. PenutupDemikian pengawasan DPD RI atas pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengawasan ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban konstitusional dan kewenangan DPD RI.

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR HEMAS

Wakil Ketua,

DR. LAODE IDA

812