112
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/DPD RI/II/2013—2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH JAKARTA 2013

keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

  • Upload
    voduong

  • View
    221

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 37/DPD RI/II/2013—2014

TENTANGRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009

TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

JAKARTA2013

Page 2: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37
Page 3: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1533

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 37/DPD RI/II/2013-2014

TENTANGRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAHDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah harus diselenggarakan secara adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, berkeadilan, dan berkepastian hukum;

b. bahwa pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus diselenggarakan secara nyata dan bertanggungjawab serta disesuaikan dengan perkembangan keadaan perekonomian, ketatanegaraan, tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan, dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat;

c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. bahwa Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun dan mengkaji Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

e. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf d telah dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk mewujudkan keselarasan konsep rancangan undang-undang dimaksud dengan Pancasila, tujuan nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan memuat kesesuaian unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis;

f. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan

Page 4: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1534

Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23A dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014

Tanggal 20 Desember 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.

PERTAMA : Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

KEDUA : Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA terlampir.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINANKetua,

H. IRMAN GUSMAN, S.E., M.B.A.Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 5: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1535

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

BAGIAN KESATUNASKAH AKADEMIK

RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR........ TAHUN..........TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

JAKARTA2013

Page 6: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1536

Page 7: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1537

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis, disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya majemuk seperti Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam pemerintahan, sistem desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing (Kementerian Keuangan, 2003).

Perdebatan mengenai bentuk negara kesatuan versus negara federal di Indonesia muncul kembali seirama dengan gelombang gerakan reformasi sesudah jatuhnya pemerintahan Soeharto. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat maraknya pemikiran untuk memisahkan diri pada berbagai daerah Indonesia, seperti Aceh, Papua, Riau, dan Kalimantan Timur. Mereka yang mendukung gagasan negara federal berpendapat bahwa itu adalah jalan keluar terakhir untuk mempertahankan persatuan Indonesia. Oleh karena itu, bentuk negara federal mungkin merupakan alternatif solusi bagi negara yang dilanda perpecahan ini. Namun, pada kenyataannya di beberapa daerah tuntutan-tuntutan tersebut semakin melunak seiring dengan munculnya gagasan otonomi daerah. Mereka yang mendukung tetap tegaknya NKRI menawarkan suatu formula untuk mengadopsi beberapa unsur positif negara federal ke dalam negara kesatuan. Alasan yang dikemukakan oleh para pakar yang mendukung gagasan ini antara lain: pertama dari sisi geografis, pembagian wilayah antar provinsi di Indonesia sudah hampir final. Kedua, perbaikan pada bentuk negara kesatuan lebih mudah untuk dilakukan daripada mengubahnya menjadi negara federal. Ketiga, transfer pegawai dari pusat ke daerah dan sebaliknya jauh lebih mudah dilakukan di negara kesatuan daripada dalam sistem federal. Keempat, dari sudut cita-cita politik, kohesi perasaan menjadi Indonesia dapat lebih mudah terpelihara dalam bentuk negara kesatuan meskipun pada penerapan awal otonomi daerah saat ini masih terlihat kuatnya perasaan kedaerahan atau provinsialisme (Bhakti, 2004).

Sebenarnya desentralisasi kewenangan itu sudah diterapkan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sejak kekuasaan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda yang diawali pada tanggal 1 Januari 1980, setelah VOC menyerahkan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada pemerintah kerajaan Belanda. Memang sistem kekuasaan dan sistem pemerintahan di Hindia Belanda sat itu bersifat sentralistis. Baru pada tahun 1903 seiring dengan diberlakukannya Desentralisatie Wet 1903 di Hindia Belanda, sistem pemerintahan tersebut divariasikan dalam bentuk desentralisasi kekuasaan. Sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi tersebut, pemerintah Belanda mengangkat bupati dan/atau demang untuk mengkoordinir tugas-tugas pemerintahan kolonial sehari-hari. Demikian pula pada masa pendudukan Jepang, kebijakan desentralisasi tetap diteruskan dengan tujuan untuk memepertahankan kekuasaannya (Paulus, 1979).

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, sistem desentralisasi tetap diterapkan untuk memudahkan koordinasi kekuasaan dan pemerintahan, di samping untuk lebih mengakomodasi keberagaman wilayah Indonesia. Hal tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, tetap menjadi landasan konstitusi pemerintahan Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan pemerintahan desentralistik yang lazim disebut dengan “otonomi daerah” tersebut, baru secara nyata dilaksanakan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintaan Daerah yang telah mengubah sentralisasi pemerintahan ke arah daerah yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Demikian juga halnya berkaitan dengan pendanaan dan pengaturan fungsi keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Idealnya dalam melaksanakan otonomi daerah harus bertumpu pada sumber-sumber pendapatan dari daerah itu sendiri yang disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, sumber-sumber PAD meliputi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Laba BUMD dan Lain-lain PAD. Namun pada kenyataannya, peranan PAD yang didominasi oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap APBD pada tahun 2012 relatif sangat kecil dalam kisaran 15% saja (Kementerian Keuangan, 2011). Sementara ini daerah dalam APBD lebih mengandalkan pada Dana Perimbangan berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) daripada dari PAD. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut, akan menimbulkan kontraproduktif bagi daerah karena hanya mengandalkan dan tergantung pada kucuran dana dari pemerintah pusat saja.

Sementara ini pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan PP Nomor 65 dan 66 Tahun 2001, telah memberikan diskresi kepada Daerah untuk memungut sumber-sumber Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang lebih memadai. Harus diakui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdapat upaya pemerintah untuk memperkuat daerah dalam bidang pemungutan pajak (taxing power).

Page 8: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1538

Namun di sisi lain terdapat beberapa pengaturan yang membelenggu daerah untuk berinovasi dalam mengeksplorasi pajak-pajak spesifik di daerah sebagai sumber pendapatan APBD karena pengaturan jenis pajak dan retribusi yang dipungut oleh daerah bersifat closed list.

Selain itu, pungutan pajak yang harus ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda), berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 harus dilakukan melalui mekanisme pengajuan rancangan Perda terlebih dahulu untuk dievaluasi oleh pemerintah tingkat atas apakah rancangan Perda tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan preventif terhadap Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini adalah merupakan langkah mundur dalam pelaksanakan otonomi daerah. Karena, diskresi daerah menjadi terbelenggu dengan adanya ketentuan bahwa Perda Tentang Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah sebelum dilaksanakan.

Merujuk pada alasan tersebut, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dimana berdasarkan amanat Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945 antara lain mempunyai tugas untuk memberikan pertimbangan berkaitan kebijakan otonomi daerah, bermaksud untuk mengajukan perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang pokok-pokok perubahannya dituangkan dalam naskah akademik ini.

B. Identifikasi MasalahPenggantian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok madani. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah belum sepenuhnya menjamin terwujudnya NKRI yang desentralistis dan mampu menjamin adanya hubungan yang harmonis dan sinergik antar tingkatan dan susunan pemerintahan khususnya dalam bidang perpajakan. Dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah.

Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Disamping itu tidak jelasnya hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah telah menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Akibatnya adalah sulitnya pencapaian target-terget nasional yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat karena masing-masing tingkatan pemerintahan mempunyai target dan prioritasnya sendiri-sendiri. Pada gilirannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sering belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah yang akibat lanjutannya adalah rendahnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional.

Disamping memperjelas konsep desentralisasi dalam kerangka NKRI, revisi juga dilakukan untuk memperjelas berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini belum diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengaturan yang ada selama ini dinilai belum jelas dan memadai sehingga didorong oleh pertimbangan kepentingan elit dan sempit serta pengelolaan aset dan sumber daya di daerah selama ini dinilai belum jelas sehingga cenderung tidak efektif dan tidak mampu menjawab dinamika daerah yang sangat cepat dan kompleks.

Penggantian Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tahun 2009 juga dilakukan untuk menambahkan beberapa pengaturan baru yang selama ini belum tercakup dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun sangat penting untuk mempercepat keberhasilan desentralisasi mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan terkait dengan hubungan antara pemerintah daerah dengan warganya seperti pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara warga dan penyelenggara pelayanan publik belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan berbagai hal tersebut sangat strategis dalam menjamin terwujudnya pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan akuntabel.

Disamping itu terdapat juga kebutuhan untuk mendorong inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauhmana kreativitas bangsa yang bersangkutan untuk selalu mencari alternatif dalam peningkatan kualitas hidupnya. Demikian juga halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemajuan yang dicapai akan sangat dipengaruhi oleh terobosan-terobosan pemikiran yang harus dilakukan pemerintahan

Page 9: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1539

daerah khususnya dalam penyediaan pelayanan publik. Pemerintahan daerah harus didorong untuk memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) yang ada untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu diperlukan payung hukum untuk mendorong dan melindungi pemerintahan daerah yang telah melakukan kegiatan-kegiatan inovatif tanpa dihantui oleh tuntutan hukum. Jangan sampai kegiatan yang inovatif bermuara pada kriminalisasi. Untuk itu diperlukan adanya kriteria yang jelas untuk menentukan bahwa suatu kegiatan masuk dalam rumpun inovasi. Tapi sebaliknya juga jangan penyalahgunaan kekuasaan berlindung dibalik kegiatan yang inovatif.

Atas dasar uraian dalam latar belakang permasalahan di atas, terdapat pokok-pokok perubahan termuat dalam rumusan masalah sebagai berikut:1) Bagaimana pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah agar sesuai dengan makna otonomi

daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

2) Bagaimana pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah agar dalam jangka panjang secara dominan berperan dalam penerimaan APBD?

3) Bagaimana merekonstruksi struktur perpajakan Pusat dan Daerah yang kondusif bagi lingkungan bisnis, namun tetap mampu meningkatkan sumber-sumber penerimaan perpajakan yang tidak distortif.

4) Bagaimana mekanisme pembuatan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah agar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik Fungsi pokok pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

utamanya dibiayai dari pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi bahasan utama dalam naskah akademik ini. Oleh karena itu, sangat tepat apabila dalam bahasan ini digunakan teori Welfare State dan teori Utility sebagai pisau analisis. Alasan penggunaan teori welfare state karena berkaitan dengan asa teori ini yang menghendaki adanya kewajiban pemerintah untuk memberikan kesejahteraan dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat. Kehendak untuk mewujudkan kesejahteraan kepada seluruh rakyat telah dirumuskan oleh founding fathers Indonesia sejak awal berdirinya NKRI. Cita-cita tersebut terumuskan dalam alinea kedua dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan masih relevan dengan berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat hingga saat ini, terutama dalam kaitannya dengan perpajakan dan otonomi daerah.

Selain teori welfare state sebagai grand theory, teori utility juga sangat tepat sebagai penunjang grand theory karena perwujudan kesejahteraan masyarakat tersebut harus betul-betul diarahkan secara efektif dan efisien sesuai dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Berikut ini uraian mengenai teori tersebut.

a) Teori Welfare stateOtto van Bismarck dalam buku Soziale Sicherheit Tahun 1880, mengemukakan prinsip

dasar teori welfare state, yakni bahwa negara/pemerintah bertanggungjawab penuh untuk menyediakan semua kebutuhan rakyatnya dan tidak dapat dilimpahkan kepada siapapun (Abercrombie, 2000). Ditinjau dari sudut ilmu negara, welfare state diklasifikasikan sebagai salah satu tipe negara, yaitu tipe negara kemakmuran (Wohlfaart Staats). Pada tipe negara welfare state tersebut negara mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat. Negara sebagai satu-satunya institusi yang berkewajiban menyelenggarakan kemakmuran rakyat. Negara harus aktif menyelenggarakan kemakmuran warganya untuk kepentingan rakyat.

Negara Indonesia sebagai negara hukum atau rechstaat tidak saja mengutamakan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam arti welfare staat Tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah untuk membentuk manusia Indonesia berdasarkan Pancasila dalam alam masyarakat adil dan makmur (Soeriaatmadja, 1986).

Dari uraian di atas, baik mengenai negara hukum maupun negara kesejahteraan secara eksplisit terkandung makna bahwa negara atau pemerintah mempunyai kewajiban yang mutlak untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Semuanya itu di Indonesia telah tercantum di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai landasan idiil bagi pelaksanaan pemerintahannya. Oleh karena itu, sudah tentu Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila harus mendapatkan penjabarannya di dalam peraturan perundang-undangan mengenai pajak dan retribusi daerah.

b) Teori UtilityDalam pengelolaan pajak, agar sesuai dengan makna pelaksanaan otonomi daerah,

pemanfaatan pajak daerah harus diupayakan untuk meningkatkan pelayanan termasuk kepada sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan retribusi daerah kepada si pembayar retribusi. Apabila pembayar pajak dan retribusi merasakan manfaat atas pembayarannya, diharapkan timbul kesadaran untuk melakukan pembayaran secara sukarela. Di samping itu, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah memang harus mempertimbangkan asa kemanfaatan bagi pemerintah daerah itu sendiri. Secara umum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus dilihat dari dua sisi, yakni sisi hasil guna dan daya guna bagi

Page 10: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1540

pemerintah daerah dan masyarakat daerah bersangkutan.Berkenaan dengan pentingnya asas kemanfaatan dalam pemungutan pajak daerah, baik

bagi pemerintah daerah maupun masyarakat daerah setempat ini, teori utilitas dari Bentham, John Stuart Mill, dan Von Jhering dapat digunakan sebagai rujukan dalam kajian pokok naskah akademik ini. Dari uraian tersebut di atas, teori utility yang menitikberatkan pada asas kemanfaatan, dapat diterapkan dalam menganalisis pembahasan mengenai pungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Sesuai dengan pajak yang penjabarannya dalam sila kelima Pancasila menghendaki kemanfaatan lebih luas bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal tersebut seiring dengan hakikat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih menekankan pelayanan pemerintah daerah kepada rakyatnya.

D. Metodelogi PenelitianPenggantian undang-undang ini dirancang sedemikian rupa agar bersifat problem-based,

partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik dan politik dapat diterima. Bersifat problem-based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah masalah yang dihadapi baik oleh Pemerintah Pusat, daerah, para penyelenggara pemerintahan daerah, dan para pemangku kepentingan lainya terkait dengan penyelenggarakan pemerintahan daerah. Berbagai masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan setelah dikaji secara akademik ternyata bersumber dari ketidakjelasan pengaturan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan peraturan perundangan lainnya Khususnya Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Berbagai masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dorongan untuk melakukan revisi juga muncul dari masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Misalnya, mengenai penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pelayanan publik adalah hal yang sangat strategis dan menjadi isu yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pengaturan yang diperlukan untuk menjawab tantangan yang sekarang dan dimasa mendatang dihadapi oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan undang-undang yang dihasilkan nanti benar-benar mampu menjawab berbagai masalah yang sekarang dihadapi ataupun tantangan yang mungkin terjadi di masa mendatang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Implikasi dari perubahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, adalah diikuti dengan penggantian Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

E. Tahapan Dalam Pembuatan Undang-undangTujuan pembuatan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selain memiliki

daya paksa untuk dipatuhi, di sisi lain masyarakat merasakan bahwa pengaturannya sesuai dengan rasa keadilan dan adanya kepastian. Untuk itu dalam pembuatan undang-undang nanti akan melalui tahapan sebagai berikut:1. Memperoleh masukan best practices dari berbagai negara, baik yang berhasil maupun yang

gagal dalam penerapan regulasi pajak daerah dan retribusi daerah;2. Memperoleh masukan dari daerah, khususnya pengaturan pajak spesifik yang potensiil bagi

daerah;3. Memperoleh masukan dari para pakar dan praktisi pajak daerah dan retribusi daerah;4. Uji Sahih Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah;5. Finalisasi Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah.

Selain itu tidak kalah pentingnya dalam implementasi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sosialisasi kepada stakeholders, yaitu para pejabat pemerintah pusat maupun daerah terkait, masyarakat pembayar pajak dan retribusi termasuk Kadinda dan Asosiasl Pembayar Pajak.

Sebagai tahap awal yaitu pra penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, melalui penyusunan pokok-pokok naskah akademik sebagai arahan dari Naskah Akademik berdasarkan kajian yang komprehensif dan research yang mendalam. Pokok-pokok naskah akademik ini, akan ditindaklanjuti dengan penyusunan Naskah Akademik oleh tim yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Nomor 114 E Tahun 2013, Tanggal 1 Februari 2013.

Page 11: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1541

BAB IIKAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Kajian TeoritisPelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melewati beberapa

fase penting dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional serta memberikan arah yang jelas bagi pembangunan nasional. Fase awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia bergulir pada awal tahun 2000 saat ditetapkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, sampai diubahnya kedua Undang-Undang tersebut menjadi, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan secara adil, proporsional, dan akuntabel sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dana desentralisasi secara efektif dan efisien untuk mendanai kebutuhan pengeluaran yang menjadi kewenangan daerah.

Perjalanan penerapan desentralisasi dari masa ke masa telah memberikan pelajaran penting bahwa sistem yang sentralistis dapat berakibat pada inefficiency dan high cost economy dalam penyediaan pelayanan sektor publik dan penyediaan sarana dan prasarana dalam mengembangkan perekonomian dan iklim investasi. Dengan demikian, diperlukan adanya peran Pemerintah dalam menjaga adanya keseimbangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan keseimbangan fiskal antar daerah.

Pengalaman membuktikan bahwa pengambilan keputusan yang terlalu sentralistis di bidang pelayanan sektor publik dan pengembangan bisnis dan investasi di Indonesia, memberikan kontribusi terhadap rendahnya akuntabilitas, lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya tingkat pengembalian pada proyek-proyek industri, dan terhambatnya pengembangan investasi di daerah. Dengan melakukan ekspansi ekonomi, kebutuhan dan peluang terhadap meningkatnya pelaksanaan desentralisasi menjadi sebuah keharusan. Hal ini terlihat dengan transisi ekonomi yang cukup cepat dilakukan di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan cepatnya transformasi tersebut maka pemerintah menghadapi kendala dalam implementasinya terutama dari kapasitas keuangan negara dan institusi pengelola keuangan negara.

Sejalan dengan makin meningkatnya dana yang ditransfer ke daerah, maka kebijakan pemerintah pusat terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih efektif apabila daerah dapat mengelolanya dengan lebih profesional. Dengan kewenangan yang yang dimiliki daerah dan keleluasaan dalam penggunaan dana transfer, daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Di samping itu koordinasi dan kerjasama antardaerah juga perlu dilakukan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh daerah.

Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat generik dalam institusi pemerintahan daerah. Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu sebagai instrumen menciptakan proses demokratisasi dan instrumen menciptakan kesejahteraan di tingkat lokal, maka kita harus memahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu entitas pemerintahan. Sedikitnya ada 7 elemen dasar yang membangun entitas pemerintahan daerah yaitu:(1) Urusan Pemerintahan: Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adalah “urusan

pemerintahan” yaitu kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya membagi urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan; pusat mengerjakan apa dan daerah mengerjakan apa.

(2) Kelembagaan: Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan daerah. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Untuk konteks Indonesia, ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).

(3) Personil: Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya personil yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi domain daerah. Personil daerah (PNS Daerah) tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.

(4) Keuangan Daerah: Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan daerah adalah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “money follows function”. Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari dana

Page 12: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1542

perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

(5) Perwakilan Daerah: Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyat yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang mewakili rakyat. Pertama yaitu DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum untuk menjalankan fungsi legislatif daerah. Kedua adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif daerah. Dengan demikian kepala daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.

(6) Dalam elemen perwakilan tersebut mengandung berbagai dimensi didalamnya yang bersinggungan dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut adalah bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah; bagaimana hubungan keduanya dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka dalam upaya artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat; pengakomodasian pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.

(7) Pelayanan Publik: Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan daerah adalah “pelayanan publik”. Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya “goods and services” yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah menghasilkan public goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan Akte Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Izin Mendirikan Bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order) dalam masyarakat.

(8) Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan pemerintahan daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal dan pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, faster and simpler) serta akuntabilitas akan menjadi isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(9) Pengawasan: Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah “pengawasan”. Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalah-gunaan kekuasaan sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa “power tends to corrupt and absolute power will corrupt absolutely”. Untuk mencegah hal tersebut maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas pengawasan eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif dan juga pengawasan melekat (built in control).

a. Perkembangan Konsep DesentralisasiDalam empat dasawarsa terakhir, banyak negara melakukan pergeseran skema

sentralisasi kekuasaan politik pada Pemerintah Pusat dan mendorong penerapan desentralisasi yang memberikan kewenangan pemerintahan yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk menjadikan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota lebih tanggap terhadap preferensi masyarakat setempat. Upaya baru desentralisasi sektor publik telah mulai bergulir di seluruh dunia baik di negara-negara berkembang, negara-negara transisi maupun negara-negara maju. Berbeda dengan gagasan desentralisasi yang sebelumnya, upaya desentralisasi dalam era ini berlangsung bersamaan dengan proses demokratisasi.

Kecenderungan beberapa negara untuk memberdayakan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota ini berpotensi mengakibatkan perubahan besar dalam cara penyampaian pelayanan publik. Peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah untuk menanggapi kebutuhan masyarakat yang berbeda satu sama lainnya akan meningkatkan efisiensi pelayanan publik, sehingga muncul harapan bahwa pertumbuhan daerah pasca desentralisasi akan semakin cepat. Walaupun demikian, harus dipahami bahwa desentralisasi dan demokratisasi adalah suatu fenomena yang kompleks dengan berbagai dimensinya, baik dari aspek administratif, ketatanegaraan, fiskal maupun sosial politik. Analisis yang seksama mengenai langkah yang harus diambil sangat dibutuhkan dengan

Page 13: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1543

harapan bahwa pada waktunya nanti akan muncul sebuah sistem hubungan pemerintahan dan hubungan keuangan antara tingkat pemerintahan yang realistis dan berkelanjutan. Singkatnya, desentralisasi berarti memindahkan fungsi fiskal, politik dan administratif dari tingkatan pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, dalam wujud yang dapat berbeda-beda tergantung pada seberapa besar Pemerintah Daerah yang bersangkutan mendapat kebebasan untuk menjalankan fungsinya.Munculnya desentralisasi terutama diakibatkan oleh rasa tidak puasatas sentralisasi perencanaan ekonomi dan para pembaharu yang berusaha melepaskan diri dari genggaman Pemerintah Pusat dan mendorong partisipasi yang lebih luas dari Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Interaksi dengan masyarakat yang lebih dekat, seharusnya memudahkan otoritas daerah untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan oleh karena itu dapat memberikan pelayanan publik dalam bentuk dan tingkatan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (Oates, 1972). Selanjutnya dikatakan bahwa masyarakat akan menjadi lebih bersedia membayar pajak daerah apabila jumlah yang mereka bayarkan sepadan dengan pelayanan yang mereka terima. Sehingga diharapkan bahwa perolehan dari pajak daerah dapat ditingkatkan tanpa menimbulkan gejolak masyarakat yang berlebihan.

Tuntutan demokrasi yang lebih besar dan frustasi yang ditimbulkan karena ketidakmampuan pemerintah pusat dalam memenuhi layanan lokal telah mendorong para politisi untuk mendesentrasilisasikan wewenang dan sumberdaya pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Tuntunan tersebut telah berkembang menjadi tantangan baru dalam praktik tata kelola pemerintahan. Tantangan yang mengemuka dalam pengaturan kebijakan desentralisasi fiskal, menurut White dan Smoke (2001) terdiri dari tiga bagian, yakni :

“The first challenge relate to the design of sound Intergovernmental organizational arrangement. For example, unclear assignments of functions among levels of goverment threaten to side track decentralization reforms in some countries. The second challenge concerns the development of robust financial mechanisms for chanelling money to subnational goverment. In some countries, the failure to allocate sufficient own-source revenues to local goverment could hamper their ability to deliver services, for example. The third challenge relates to accountability of local goverment and the capacity of their management system. Attenuated accountability and weak management-of both financial and human resource-could constraint effective implementation of decentralized function by subnational entity”.

Ketiga tantangan tersebut berkaitan erat dengan penerapan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai bagian penting tata kelola organisasi publik yang lebih baik. Dalam konteks tata kelola organisasi publik, desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang mengkombinasikan pelimpahan wewenang penyelenggaraan fungsi antar tingkat pemerintahan dengan pengelolaan sumber daya fiskal untuk mendanai fungsi-fungsi tersebut. Tata kelola organisasi publik perlu dikedepankan karena selama lebih dari empat dekade, reformasi ekonomi di berbagai belahan dunia umumnya terfokus pada peranan pasar dan mengecilkan pentingnya organisasi sektor publik dalam capain tujuan yang lebih luas seperti stabilitas ekonomi, kesinambungan pertumbuhan dan penyediaan pelayanan dasar secara memadai bagi rakyat di seluruh pelosok wilayah negara.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan tersebut, desentralisasi fiskal menempatkan stabilitas ekonomi, kesinambungan pertumbuhan dan penyediaan pelayanan dasar sebagai elemen kunci yang menjadi perhatiannya dengan meningkatkan efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Praktik internasional memperlihatkan bahwa sejumlah negara seperti India, Filipina, Kolombia, Indonesia dan Brazil telah melimpahkan penyelenggaraan sejumlah pelayanan sektor publik pada pemerintah sub-nasional dalam rangka mengurangi beban pemerintah pusat dan lebih mengandalkan tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang kerapkali kurang termanfaatkan dan belum menggali potensi penerimaannya secara optimal.

Implementasi desentralisasi fiskal tidak saja menjadi persoalan bagi negara yang baru merdeka atau sedang berkembang, tetapi juga bagi negara-negara maju Tentu saja, pendekatan dan derajat masalah yang dihadapi serta orientasi kebijakan yang ditempuh negara maju dengan yang sedang berkembang memiliki perbedaan. Negara-negara maju mereformulasi struktur hubungan antar tingkat pemerintahannya agar lebih serasi dengan keadaan post-welfare state. Sementara negara-negara berkembang memberlakukan desentralisasi untuk mengatasi kemelut tata kelola yang tidak efektif dan tidak efisien, kondisi makroekonomi yang tidak stabil, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak memadai.

Semakin ekstensifnya penerapan desentralisasi ikut mendorong desentralisasi fiskal sebagai salah satu dimensinya menjadi instrumen vital dalam tata-kelola pemerintahan yang baik (governance). Meski demikian, dalam praktik tata kelola pemerintahan nampak bahwa antara fungsi pemerintah dan sumberdaya fiskal yang dilimpahkan kepada entitas

Page 14: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1544

sub-nasional tidaklah selalu selaras. Dalam praktiknya, ketidakseimbangan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan pembelanjaan menjadi salah satu diantara sejumlah masalah yang dihadapi dalam implementasi kebijakan desentralisasi fiskal: masalah tersebut yang juga di hadapi Indonesia dalam hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan.

Desentralisasi merupakan salah satu di antara sejumlah strategi atau desain institusional, yang telah diusulkan sebagai cara untuk mengelola konflik yang muncul dari pluralisme budaya politik (Lopez, 1995). Desentralisasi juga diakui sebagai salah satu aspek penting dari proses transisi dan salah satu kondisi bagi demokratisasi, melibatkan negara-negara transisi dari otoritarianisme ke demokrasi liberal, dan integrasi yang sukses menjadi sebuah komunitas bangsa yang lebih luas. Meskipun kekuatan politik telah sebagian besar mendorong desentralisasi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang dan negara transisi, banyak negara menghadapi tantangan reformasi yang sama, pengalaman desentralisasi mereka jauh dari seragam (Sidik, 2007).

Pemerintah Daerah yang sungguh-sungguh demokratis hanya ada ketika badan-badan yang dipilih secara demokratis memiliki diskresi yang didefinisikan dengan baik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan yang didukung oleh sumber-sumber keuangan mereka dengan dana dari satu atau lebih pajak daerah eksklusif yang disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan masyarakat di mana mereka dapat menentukan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Ini berarti bahwa PEMDA dapat membuat keputusan sendiri dengan bebas terlepas dari kontrol dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu kesejahteraan masyarakat tidak akan maksimal jika semua orang menerima jumlah yang ditentukan secara nasional yang sama terkait dengan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, yang tidak memperhitungkan keanekaragaman dalam preferensi antara yurisdiksi lokal dan kesediaan untuk membayar biaya pelayanan berupa pajak. Kelebihan dari desentralisasi pelayanan dasar menjadi lebih jelas: Pemda memiliki keunggulan informasi dalam mengidentifikasi preferensi masyarakat serta memilih fleksibilitas untuk merespon kondisi lokal. Dengan demikian, Pemda harus menjadi penyedia pelayanan yang paling penting dari pelayanan dasar, terutama untuk penduduk berpenghasilan rendah, dalam rangka meningkatkan pemerataan dalam distribusi prasarana dan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa transfer dana secara adil sumber daya manusia dan fiskal harus menyertai pengalihan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah.

Teorema desentralisasi mengatakan bahwa pengeluaran untuk semua pelayanan harus didesentralisasikan kecuali ada skala ekonomi atau kecuali ada efek spillover yang tidak dapat diperbaiki. Desentralisasi fiskal membuat Pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakat dengan cara menggeser ketergantungan kepada Pemerintah Pusat untuk mengambil keputusan tentang tingkat dan kombinasi pajak dan pengeluaran pemerintah daerah. Desentralisasi memberikan manfaat kepada masyarakat terutama untuk meningkatkan kesejahteraan karena tiga alasan:(1) Jika masyarakat mendapatkan lebih banyak dari apa yang mereka inginkan (misalnya.

Pajak yang lebih rendah atau pengeluaran yang lebih tinggi, kombinasi yang berbeda dari fungsi pengeluaran, dll) kesejahteraan mereka akan ditingkatkan;

(2) Warga akan lebih bersedia membayar pajak jika mereka menerima pelayanan yang menurut mereka memiliki nilai lokal yang mereka butuhkan, karena itu, peningkatan beban pajak yang seimbang dengan pelayanan yang memadai kurang mendapat perlawanan dari masyarakat, daripada yang telah terjadi pada sistem pemerintahan yang lebih terpusat, dan

(3) Desentralisasi menjanjikan tingkat pelayanan yang lebih efisien. Karena pemilih dalam pemilu membayar untuk pelayanan publik di daerah dalam bentuk pajak dan retribusi, mereka merasa bahwa mereka dapat meminta pejabat setempat untuk bertanggung jawab atas pemberian pelayanan pada tingkat kuantitas dan kualitas dikehendaki masyarakat. Masyarakat pemilih tidak puas dengan pelayanan publik, mereka mungkin akan menyingkirkan para pejabat yang melanggar tersebut pada pemilihan umum berikutnya.

Meskipun demikian, desentralisasi tidak menjamin efisiensi pemberian pelayanan yang lebih meningkat, atau hasil-hasil sistem pemberian pelayanan (pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota) yang meningkat. Banyak kondisi, yang sering terabaikan, mempengaruhi keberhasilan proses desentralisasi, termasuk kapasitas manajerial dan teknis lokal, sistem akuntabilitas, kerangka hukum yang jelas dan transparan yang menggambarkan pembagian tanggung jawab antar tingkat pemerintahan dan kebutuhan pendanaan yang cukup untuk melaksanakan mandat dan untuk memenuhi prioritas lokal. Dengan demikian desentralisasi memiliki potensi untuk mentransformasi dan memodernisasi peran Pemerintah yang tidak efektif di dalam masyarakat, tetapi hanya jika kondisi pendukung tertentu terpenuhi.

Page 15: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1545

Desentralisasi yang berhasil mensyaratkan bahwa setiap tanggung jawab baru yang diberikan kepada pemerintahan sub-nasional (provinsi, kabupaten dan kota) disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan, sistem dan prosedur, SDM dan sumber pendapatan. Hal ini juga mensyaratkan bahwa Pemerintah Pusat berperan aktif dalam memperkuat kapasitas Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan secara terus menerus tentang pembagian kewenangan yang tepat antara Pusat, Provinsi dan pemerintah lokal. Kemudian, Provinsi dan Kabupaten/Kota diharapkan secara arif untuk mengambil tanggung jawab lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pelayanan dasar untuk pembangunan manusia yang berkelanjutan.

Walaupun demikian, pendekatan dan pelaksanaan desentralisasi tersebut menunjukkan hasil yang berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Menurut Smoke (2001), terbatasnya keberhasilan ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, proses desentralisasi ditentang atau dilemahkan oleh lembaga-lembaga Pemerintah Pusat yang khawatir akan kehilangan kekuasaan yang menjadi dasar keberadaan mereka. Kedua, sebagian dari inisiatif desentralisasi berasal dari donor, seringkali terlalu ambisius dan tidak mempertimbangkan realitas kelembagaan yang rumit dalam menentukan jangkauan dan kecepatan terjadinya desentralisasi di sebuah negara tertentu. Oates (1999), menyatakan bahwa kajian mengenai desentralisasi seringkali dibahas secara sangat umum dan tidak kritis serta nyaris dilakukan tanpa dukungan bukti empiris. Akibatnya, argumen pendukung desentralisasi seringkali mendapatkan tanggapan pedas dari sejumlah pengamat yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal adalah suatu gagasan yang terlalu dibesar-besarkan (Prud’homme, 1994).

De Mello (2000) meringkas argumen-argumen untuk desentralisasi fiskal seperti berikut ini:(1) Memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mempertimbangkan perbedaan setempat

dalam hal budaya, lingkungan, kekayaan sumber daya alam serta kelembagaan sosial dan ekonomi;

(2) Pilihan dan kebutuhan lokal sebaiknya dipenuhi oleh sumber daya lokal dan bukannya oleh pemerintah nasional. Informasi mengenai pilihan dan kebutuhan lokal ini akan dapat diperoleh secara lebih tepat dan lebih murah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah karena lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga lebih mudah mengidentifikasi masalah-masalah lokal;

(3) Mendekatkan tanggung jawab pembelanjaan dengan sumber pendapatan akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam tindakan pemerintah;

(4) Desentralisasi fiskal akan membantu dalam merampingkan kegiatan sektor publik dan mengembangkan tradisi demokrasi lokal; dan

(5) Dengan mendorong terciptanya efisiensi dalam alokasi sumber daya ekonomi, desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi penyelenggaraan ekonomi makro, mendorong pertumbuhan daerah dan pengentasan kemiskinan baik secara langsung maupun melalui efek spillover.

Walaupun demikian, desentralisasi fiskal juga memiliki berbagai kekurangan. Dari sisi pendapatan, Pemerintah Daerah seringkali tidak mampu menggali sumber daya di wilayahnya sendiri untuk mendanai belanja daerah yang makin meningkat. Pada kasus seperti ini desentralisasi malah meningkatkan tekanan anggaran pada pemerintah daerah yang pada akhirnya akan memperbesar defisit anggaran dan meningkatkan hutang pemerintah daerah. Dengan memperluas kapasitas penggalangan pendapatan Pemerintah Daerah, desentralisasi dapat memperdalam ketidakseimbangan vertikal dalam hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan (de Mello, 2000). Hal ini disebabkan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi seringkali harus berbagi pendapatan mereka dengan pemerintah daerah untuk menjembatani kesenjangan antara pembelanjaan dan pendapatan yang diperoleh secara lokal. Menggunakan skema pembagian pendapatan untuk memperbaiki ketidakseimbangan vertikal dalam hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan harus dipertimbangkan dengan seksama. Umumnya, dana transfer yang diperoleh dari persentase pendapatan Pemerintah Pusat dan dana ini kemudian dibagikan antara Pemerintah Daerah setelah melalui tarik-ulur yang alot antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah sendiri.

Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat yang signifikan dan penguatan PAD relatif kurang memadai (weak local taxing power). Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya, peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya akses pelayanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Page 16: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1546

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi, ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan daerah. Sejalan dengan pemberian otonomi yang luas ke Daerah, melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah” pemerintah juga mendesentralisasikan kewenangan fiskal ke daerah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam mendanai dan mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mengubah pola pengelolaan administrasi pemerintahan dan fiskal di Indonesia yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Implikasi langsung dari kebijakan tersebut adalah kepada daerah diberikan diskresi untuk mengelola belanjanya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah masing-masing. sumber dana dalam APBD dapat dialokasikan untuk mendanai pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan dalam bentuk program dan kegiatan yang terkait dengan peningkatan pelayanan publik, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi daerah.

Desentralisasi adalah istilah dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah dan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut.

Tiada satupun pemerintah dari suatu Negara dengan wilayah yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efektif dan efisien melalui sistem sentralisasi (Bowman & Hampton, 1983). Dari pandangan ini kita dapat melihat urgensi dari kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar Pemerintah Pusat itu sendiri. Apakah pelimpahan ini akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di banyak negara di dunia keempat bentuk tersebut diterapkan oleh Pemerintah Pusat, walaupun salah satu bentuk mungkin mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli & Cheema, 1983).

Baik urusan pemerintahan yang dilimpahkan maupun yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah harus diikuti dengan pemberian sumber-sumber pendanaan yang cukup agar fungsi-fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dapat diselenggarakan dan dicapai secara berhasil guna dan berdayaguna, berdasarkan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan urusan tersebut (money follows function).

Letak, potensi sumber daya manusia dan sumberdaya alam serta kondisi geografis, jumlah penduduk, keterbatasan infrastruktur untuk mencapai tujuan bernegara antara suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakmerataan atau keterbatasan kemampuan keuangan antar daerah yang satu dengan lainnya khususnya untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang telah diserahkan.

Oleh karena itu, selain pemberian sumber keuangan daerah sebagaimana dikemukakan diatas, juga diberikan Dana Perimbangan dari APBN sejalan dengan prinsip pendanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus digunakan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melewati beberapa fase penting dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional serta memberikan arah yang jelas bagi pembangunan nasional. Fase awal pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia bergulir pada awal tahun 2000 saat ditetapkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. saat ini, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan berdasarkan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan secara adil, proporsional, dan akuntabel sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dana desentralisasi secara efektif dan efisien untuk mendanai kebutuhan pengeluaran yang menjadi kewenangan daerah.

Perjalanan penerapan desentralisasi dari masa ke masa telah memberikan pelajaran

Page 17: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1547

penting bahwa sistem yang sentralistis dapat berakibat pada inefficiency dan high cost economy dalam penyediaan pelayanan sektor publik dan penyediaan sarana dan prasarana dalam mengembangkan perekonomian dan iklim investasi. Dengan demikian, diperlukan adanya peran Pemerintah dalam menjaga adanya keseimbangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan keseimbangan fiskal antar daerah.

Pengalaman membuktikan bahwa pengambilan keputusan yang terlalu sentralistis di bidang pelayanan sektor publik dan pengembangan bisnis dan investasi di Indonesia, memberikan kontribusi terhadap rendahnya akuntabilitas, lambatnya proses pembangunan infrastruktur, menurunnya tingkat pengembalian pada proyek-proyek industri, dan terhambatnya pengembangan investasi di daerah. Dengan melakukan ekspansi ekonomi, kebutuhan dan peluang terhadap meningkatnya pelaksanaan desentralisasi menjadi sebuah keharusan. Hal ini terlihat dengan transisi ekonomi yang cukup cepat dilakukan di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan cepatnya transformasi tersebut maka pemerintah menghadapi kendala dalam implementasinya terutama dari kapasitas keuangan negara dan institusi pengelola keuangan negara.

Sejalan dengan makin meningkatnya dana yang ditransfer ke daerah, maka kebijakan pemerintah pusat terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih efektif apabila daerah dapat mengelolanya dengan lebih profesional. Dengan kewenangan yang yang dimiliki daerah dan keleluasaan dalam penggunaan dana transfer, daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Di samping itu koordinasi dan kerjasama antardaerah juga perlu dilakukan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh daerah.

Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek dari semua program yang dilaksanakan pemerintah perlu diminta masukan dan sarannya agar terjadi kesesuaian apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Dengan dimulai era desentralisasi pada tahun 2001, Indonesia beralih dari salah satu negara yang paling terpusat di dunia dalam kepemerintahan, fiskal dan politik menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi. Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota telah mendapat tanggung jawab baru dan telah mengalami peningkatan keuangan yang besar, sebagian diperoleh dari Dana Perimbangan Pemerintah Pusat. Harus diakui beberapa Pemerintah Daerah menghadapi kesulitan yang besar dalam mengelola dan membelanjakan sumber daya mereka secara efisien dan efektif. Beberapa Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota berhasil mengumpulkan cadangan keuangan yang signifikan, meskipun tidak terlalu berlebihan mengingat besarnya kebutuhan investasi untuk penyelenggaraan pelayanan dasar.

Hubungan fiskal antar-pemerintahan berperan penting dalam distribusi fiskal dan dapat berperan dalam mengatasi masalah keadilan sosial. Distribusi sumber daya keuangan berakibat langsung pada disparitas penyediaan pelayanan publik di berbagai jenjang tingkat pemerintahan dan lintas wilayah di berbagai negara.Terdapat variasi yang cukup lebar dari pendapatan pajak pada semua tingkat pemerintahan – tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota Kecamatan dan Desa sehingga perlu dipastikan ada mekanisme yang efektif yang diterapkan dalam sistem fiskal untuk menyeimbangkan belanja pemerintah. Mekanisme redistribusi pendapatan secara vertikal dan horisontal lintas berbagai unit pemerintahan mencakup Dana Perimbangan terdiri dari bagi-hasil pajak dan sumber daya alam, DAU, DAK dan hibah Keuangan. Pada setiap jenjang pemerintah provinsi, kabupaten, kota, kecamatan dan desa, terlihat jumlah belanja untuk pembangunan, perkapita masih kurang memadai penyebarannya bila dibandingkan dengan penyebaran pendapatan per kapita. Hal ini memberikan cukup bukti bahwa distribusi keuangan yang lebih adil dapat dilakukan melalui mekanisme transfer/alokasi, namun efektifitasnya dalam mencapai pemeratan dapat berbeda-beda.

Masalah pemerataan antar daerah harus dikaji dalam konteks desain hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan secara menyeluruh. Sebagai dasar pijakan, alokasi pendapatan harus mengikuti alokasi dari suatu “fungsi” (money follows function). Ini lazimnya dilakukan melalui perubahan peraturan secara bertahap. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, desentralisasi fungsi akan mendorong terjadinya evolusi terkait dengan perubahan preferensi dalam penyediaan layanan publik di daerah, atau perubahan pada teknologi yang mendukung penyediaan layanan masyarakat. Di sisi lain, apakah suatu jenis pajak yang dialokasikan pada suatu tingkat Pemerintahan tertentu pada gilirannya mungkin akan mempengaruhi pertumbuhan anggaran, dan selanjutnya berpengaruh pada fungsinya? Bila pada satu tingkat pemerintahan dialihkan suatu pajak tertentu, misalnya pajak penghasilan orang pribadi, yang akan meningkat seiring berjalannya waktu dengan laju yang lebih tinggi dari PDB, sedangkan pada jenjang pemerintahan yang lain diserahkan kewenangan perpajakan tertentu seperti pajak bumi dan bangunan, yang cenderung stagnan, maka hal ini akan menimbulkan pertanyaan mengenai keseimbangan antara fungsi pemerintahan dan pendapatan.

Namun, meski dilakukan alokasi vertikal yang paling baikpun tidak akan mencegah

Page 18: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1548

adanya daerah dengan basis penghasilan pajak yang tinggi padahal kebutuhan belanjanya rendah, berdampingan dengan suatu daerah yang berbasis penghasilan pajaknya rendah sedangkan kebutuhan belanjanya tinggi. Mengingat bahwa realokasi fungsi dan pendapatan secara berkala telah terbukti sulit bahkan mustahil dilaksanakan di banyak negara, maka transfer antar tingkat pemerintahan telah menjadi sebuah jawaban untuk menyeimbangkan perbedaan tersebut. Jika memang transfer antar tingkat pemerintahan tidak bisa dihindari, maka pertanyaan kunci dari segi politik berikutnya adalah apakah pemerataan distribusi pendapatan harus diterapkan, dan apakah pendekatan pemerataan distribusi pendapatan ini dapat dijustifikasi atas dasar efisiensi dan keadlian? Bila kita melihat hanya dari sisi fiskal saja, penyebab utama terjadinya disparitas kemampuan fiskal antar pemerintah daerah dapat dikategorikan sebagai berikut. (1) Posisi ekonomi dan peluang, peluang pertumbuhan dan pembangunan daerah

dapat sangat berbeda antar daerah. Beberapa daerah mungkin memiliki pendapatan yang tinggi disebabkan oleh posisi geografisnya atau karena sumber daya alamnya; daerah pinggiran/marginal dan daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang dapat dijual, hanya memperoleh pendapatan yang rendah. Akibatnya, kemampuan masing-masing daerah untuk menghasilkan pendapatan dari wilayah hukumnya akan berbeda jauh, dan akan berpengaruh negatif terhadap tersedianya pelayanan publik yang sesuai standar pelayanan minimal. Disparitas ekonomi daerah dapat diperburuk oleh karena bertambahnya keterbukaan ekonomi. Tetapi apa yang harus dilakukan, dan yang lebih penting, adalah pertanyaan berapa biaya akibat dari ini?

(2) Skala ekonomi dalam penyediaan pelayanan publik. Beberapa pemerintah daerah tidak dapat mencapai ambang batas kapasitas pelayanan publik yang memadai, misalnya karena penduduknya jarang (terletak pada lokasi lembah atau daerah terpencil) atau karena penduduknya tersebar pada wilayah yang luas. Dengan demikian jika kita mengakui hak warga masyarakat atas penyediaan pelayanan minimum, maka batas minimum tersebut mungkin dikaitkan dengan mobilitas geografis dari si penerima manfaat (misalnya anak-anak sekolah di pedesaan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai sekolah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan);

(3) Perbedaan dalam biaya per unit dari penyelenggaraan pelayanan publik daerah. Kondisi geografis dan topografis lokal dapat menaikkan biaya penyelenggaraan pelayanan publik di daerah (misalnya jalan, jembatan, terowongan, badan air, saluran air). Lokasi pada daerah pinggiran atau bergunung, akan membuat keadaan menjadi lebih buruk karena tidak adanya skala ekonomi sekaligus biaya per unit juga lebih tinggi.

(4) Preferensi Lokal. Perbedaan posisi fiskal pada pemerintahan yang terdesentralisasi dapat berbeda karena adanya perbedaan preferensi pelayanan publik tertentu, atau preferensi pelayanan publik yang standarnya di atas standar minimum nasional; atau karena adanya pilihan antara retribusi dan pajak, dan pilihan berbagai bentuk pajak daerah. Hal ini pada dasarnya adalah sebuah transfer dan bukan pajak daerah, karena

Pemerintah Daerah tidak mempunyai kontrol atas tarifnya atau dasar pengenaan pajaknya. Selain itu jumlah yang diterima oleh Pemerintah Daerah ditetapkan sepenuhnya oleh undang undang dari pemerintah pusat. Sebaliknya, basis pajak bagi-hasil (di mana Pemerintah Daerah mengenakan pajak tambahan atau “pajak tumpangan” yang menumpang pada basis pajak dari pemerintah pusat) sebenarnya ini adalah pajak daerah dan bukan sebuah transfer. Akan tetapi di negara-negara berkembang dan negara transisi, “pajak tumpangan” semacam ini belum dikenal secara umum. Bagi hasil pajak dan tarifnya sangat beragam di berbagai negara. Pada beberapa negara, pajak berbasis derivasi bagi-hasil merupakan cara Pemerintah Daerah untuk mendapatkan akses kepada basis pajak yang lebih produktif.

Proses desentralisasi harus meningkatkan pelayanan publik karena: (i) efisiensi alokatif lebih besar (menyesuaikan barang publik dengan preferensi lokal), (ii) peningkatan efisiensi produktif (sebagian karena akuntabilitas yang lebih besar, birokrasi kurang, dan pengetahuan yang lebih baik tentang biaya lokal); (iii) pemulihan biaya yang lebih baik (kesediaan yang lebih besar dari warga negara untuk membayar biaya dan pajak untuk peningkatan pelayanan publik), dan (iv) peningkatan kemungkinan bahwa pemerintah akan merespons tuntutan warga setempat dengan mempromosikan kompetisi di antara pemerintah sub-nasional.

A. Penguatan, Pengendalian, Pengawasan Administrasi Pendapatan Daerah dan Manajemen Keuangan Daerah dalam Rangka Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Kebutuhan untuk memiliki marjin pendapatan tambahan merupakan salah satu alasan mengapa Pemerintah Daerah harus diberikan keleluasaan untuk merancang dan memungut

Page 19: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1549

pajak daerah tambahan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Tetapi, harus diakui bahwa tidak mudah menemukan sumber pajak dan bea tambahan yang memenuhi kriteria yang digariskan dalam Undang-Undang dan dalam teori. Di banyak negara sumber pajak semacam ini juga sulit ditemui – bahkan di negara-negara yang memiliki sistem demokrasi daerah yang efektif. Pendekatan yang lebih baik mungkin dengan cara mengalihkan pajak Pemerintah Pusat yang mempunyai potensi perolehan yang cukup besar ke Pemerintah Daerah, dimana daerah yang bersangkutan mendapat kewenangan yang luas untuk menetapkan tarif pajak mereka sendiri. Jangkauan kewenangan ini harus cukup untuk memberikan potensi marjin yang berarti dilihat dari keseluruhan anggaran pendapatan, sehingga daerah dapat memilih antara pelayanan yang lebih baik atau pajak yang lebih rendah. Hal ini juga akan meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah – karena pemerintah yang bersangkutan harus dapat membenarkan tingkatan tarifyang ditetapkan dan tidak sekedar melempar tanggung jawab ke peraturan Pemerintah Pusat. Selain itu kebijakan ini juga akan memberikan dorongan untuk memaksimalkan efisiensi sekaligus mempertahankan kualitas pelayanan dan memuaskan para pemilih di daerah.

Pada saat ini, Pemerintah Provinsi secara relatif belum memiliki kebebasan dalam menentukan tarif obyek pajak Pemerintah Provinsi yang terbesar, sedangkan Pemerintah Daerah dalam prakteknya hanya memiliki kewenangan yang sempit, karena sebagian besar dari obyek pajak ini sudah dikenakan pajak dengan tarif maksimum yang diperbolehkan. Apabila Pemerintah Provinsi memiliki kebebasan untuk menentukan tarif pajak untuk obyek pajak utama mereka, maka Pemerintah Provinsi akan mendapatkan marjin pendapatan yang berarti, karena pajak Provinsi merupakan bagian yang utama dalam Anggaran Pendapatan Provinsi (lebih dari 40%). Masalah wajib pajak yang akan pindah ke daerah lain yang menerapkan tarif pajak yang lebih, hal ini sering digunakan untuk mendukung tarif yang seragam di semua daerah, mungkin hanya sesuatu yang dibesar-besarkan.

Pada tingkat Pemerintah Daerah, proporsi anggaran pendapatan yang diwakili oleh pajak daerah jumlahnya sangat rendah, sehingga pemberian kebebasan menentukan tarif hanya akan berdampak kecil pada pendapatan keseluruhan. Ada tiga prinsip umum yang harus dipertimbangkan dalam mengalihkan wewenang perpajakan ke berbagai tingkatan pemerintahan. Pertama, pajak untuk faktor-faktor yang bergerak dan barang perdagangan yang dapat mempengaruhi efisiensi pasar dalam negeri, harus tetap dikendalikan Pemerintah Pusat. Pengalihan pajak untuk faktor bergerak dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk menerapkan kebijakan mencari keuntungan dengan mengorbankan pihak lain (beggar-thy-neighbour policy) untuk menarik sumber-sumber daya ke daerah mereka. Kedua, pertimbangan terkait dengan rasa keadilan nasional menuntut agar redistribusi pajak progresif tetap dikendalikan oleh Pemerintah Pusat, sehingga mengurangi kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah akan berusaha menarik orang pribadi berpenghasilan tinggi untuk berdiam di daerah mereka dan menolak mereka yang berpenghasilan rendah. Ketiga, wewenang perpajakan seharusnya hanya dialihkan ke daerah yang mampu melakukan pengawasan yang diperlukan sehingga meminimalkan biaya dan menghindari kemungkinan penghindaran pajak. Arahan dan prinsip untuk masa yang akan datang ini akan dibahas lagi pada bab berikut, terutama yang menyangkut kemungkinan pembagian perolehan PPN dimasa yang akan datang.

Pengalaman Indonesia dalam penerapan desentralisasi menunjukkan bahwa salah satu titik terlemah dalam sistem ini adalah minimnya sumber pajak dan retribusi pada tingkat daerah. Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota hanya memperoleh pendapatan yang kecil, baik sebagai bagian dari PDB (sekitar 1,5%) atau sebagai bagian dari pengeluaran mereka sendiri (sekitar 15%). Ketidak-seimbangan ini tidak konsisten dengan teori-teori yang ada dan praktek terbaik. Sebagian besar dari hal ini memiliki sejarah yang panjang dimana hanya ada beberapa Provinsi dan Pemerintah Dearah yang sumber pendapatan asli yang besar. Pemerintah Daerah seyogyanya memiliki kewenangan untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan perolehan pajak, dan mereka harus memiliki tanggung jawab politik dalam mengenakan pajak yang mungkin akan membebani warganya. Alasannya adalah ‘biaya’ politik dari pajak daerah mungkin saja tidak sepadan dengan manfaat politik yang diperoleh. Kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibutuhkan dalam hal ini agar dapat mendorong terciptanya pajak dan beban pengguna di tingkat daerah.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu mendapatkan tambahan satu atau lebih sumber pendapatan daerah dan kebebasan untuk menentukan tarifnya. Cara yang paling mudah adalah mengubah PBB (kecuali PBB pertambangan dan kehutanan) menjadi pajak daerah. Hal ini sudah dilakukan Pemerintah melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 dan PBB secara bertahap akan dialihkan ke tingkatan Pemerintah Daerah yang lebih rendah dan siap untuk melaksanakannya untuk periode antara tahun 2011 sampai tahun 2014. Walaupun demikian, mungkin dapat dipertimbangkan agar Pemerintah Daerah tetap mendapatkan kebebasan untuk menentukan tarifnya di luar rentang sempit yang diperbolehkan dalam Undang-Undang yang baru. Hal yang sama juga diberlakukan untuk BPHTB, yang sudah dialihkan secara penuh ke Pemerintah Daerah sejak 2011. Disini mungkin juga dapat dipertimbangkan pemberian kebebasan dalam menentukan tarif dan NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak).

Page 20: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1550

Ada pendapat yang menyatakan bahwa kebutuhan otonomi daerah dapat dipenuhi dengan memberikan pilihan apakah akan memungut pajak daerah dan menentukan tarifnya, sedangkan administrasi pajak yang diperoleh akan lebih efektif apabila diserahkan kepada tingkatan pemerintahan lainnya atau sebuah badan yang independen. Ada pendapat yang mengatakan bahwa administrasi daerah akan menyebabkan timbulnya kecurigaan mengenai kemampuan daerah untuk melaksanakan fungsi penilaian yang independen, apalagi apabila melibatkan tokoh-tokoh daerah yang berpengaruh. Terhadap pendapat ini, dikatakan bahwa Dinas Pendapatan Daerah yang bertanggung jawab kepada pimpinan eksekutif dan DPRD akan lebih tanggap terhadap pengaduan wajib pajak dari kalangan masyarakat, pihak eksekutif dan anggota DPRD dibandingkan suatu lembaga eksternal. Di negara-negara yang menerapkan satu lembaga pengumpul untuk semua jenis pajak pada berbagai tingkatan Pemerintah, sering ditemukan bahwa Pemerintah Daerahnya sering mengeluh kurangnya akuntabilitas lembaga pengumpul pajak, terutama mengenai tunggakan pajak dan Pemerintah Daerah tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap lembaga pengumpul tersebut. Dalam kasus Indonesia, kebijakan tarif dapat saja diberikan kepada Pemerintah Daerah, atau alternatifnya kebijakan pengalihan tarif dilakukan sebagai pendahuluan sebelum pengalihan penuh fungsi administrasi perpajakan.

Sampai saat ini debat mengenai kebijakan pajak terkait dengan pengalihan pajak Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah hanya mencakup seputar pajak-pajak yang relatif kecil dan baru-baru ini Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru antara lain menetapkan PBB Perkotaan dan Pedesaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah. Dalam naskah akademik ini akan meninjau lebih dalam mengenai kemungkinan pengaturan pembagian pendapatan untuk Pemerintah Daerah yang lebih signifikan.

Dari sudut pandang ekonomi, dorongan bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan basis pajak mereka sendiri dapat sangat berbeda tergantung bagaimana pendapatan dialokasikan pada masing-masing wilayah Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah mungkin menerapkan kebijakan ekonomi dan fiskal yang berbeda sepanjang pendapatan fiskal mereka diperoleh dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di daerahnya, yang menghasilkan PAD yang lebih besar.

B. Penguatan Sistem Perpajakan DaerahSejak otonomi daerah digulirkan tahun 2001, daerah telah diberikan keleluasaan untuk

memungut dan mengelola sendiri sumber-sumber penerimaan yang berasal dari daerahnya. Dengan diundangkannya undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis pajak, yaitu 4 (empat) jenis Pajak Provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak Kabupaten/Kota sesuai dengan tarif pajak maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.

Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang dan menetapkan jenis retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Namun keleluasan tersebut ternyata belum efektif untuk meningkatkan PAD agar dapat mendanai pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut terutama terindikasi dari:

Belum adanya perubahan signifikan terhadap komposisi pendapatan daerah. Pada tahun 2010 dan 2011, kontribusi hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan APBD provinsi/kabupaten/ kota masing-masing adalah 14,2% dan 14,9%. Kondisi tersebut relatif tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2001, dimana kontribusi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap total pendapatan APBD provinsi/kabupaten/kota adalah sebesar 11,9%. Relatif rendahnya peranan pajak dan retribusi daerah tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar daerah masih banyak bergantung pada DAU, DBH, dan DAK sebagai sumber utama penerimaan APBD. sehingga pemberian peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, dalam kenyataannya tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran APBD.

Jenis pajak dan retribusi cenderung kontraproduktif terhadap perekonomian daerah. Hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat serta cenderung merintangi arus barang dan jasa antardaerah. Kondisi tersebut mengakibatkan kegiatan investasi di daerah menjadi tidak berkembang dan perekonomian daerah sangat bergantung pada pada ekspansi belanja APBD.

Rendahnya kepatuhan Daerah dalam menyampaikan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada Pemerintah Pusat. Secara prinsip, ketentuan perpajakan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. untuk memastikan hal tersebut, setiap Perda yang mengatur pajak dan retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk dievaluasi. Namun demikian, masih banyak Daerah yang tidak menyampaikan Perda kepada pemerintah pusat dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Perda yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena undang-undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Pemda yang melanggar ketentuan tersebut.

Page 21: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1551

Masih terbatasnya basis pajak di kabupaten/kota Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada pada saat itu kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.

Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan kurangnya kontrol masyarakat setempat atas penggunaan anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan retribusi. Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Kebutuhan akan hal tersebut diakomodir oleh Pemerintah Pusat dengan dilakukannya perubahan perpajakan di daerah melalui undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam undang-undang tersebut telah diatur ketentuan baru terkait antara lain dengan:1. Perluasan basis pajak dan retribusi yang dapat dikelola oleh daerah Perluasan basis pajak

dan retribusi yang dapat dikelola oleh daerah melalui perluasan terhadap objek pengenaan pajak dan retribusi, pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak daerah, dan penambahan jenis pajak baru. Perluasan objek pengenaan pajak dilakukan terhadap Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. sementara itu, perluasan objek retribusi dilakukan terhadap Retribusi Izin gangguan yang pengenaannya diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah meliputi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang dialihkan pada tahun 2011 dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang dialihkan paling lambat tahun 2014, sementara jenis pajak dan retribusi baru yang dapat dikelola daerah adalah Pajak sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota dan Pajak Rokok sebagai pajak baru bagi provinsi, Retribusi Pelayanan Tera/Tera ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin usaha Perikanan.

3. Ketentuan batas maksimum dan minimum dalam pengenaan tarif pajak daerah, maksud penentuan batas maksimum adalah guna menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. sementara itu, penentuan tarif minimum dimaksudkan untuk menghindari perang tarif pajak antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor. Khusus Pajak Kendaraan Bermotor, kebijakan penetapan tarifnya diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.

4. Dasar Pengenaan Pajak Rokok atas cukai rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif agar Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah melalui penetapan tarif cukai nasional. Penambahan jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Daerah diberikan peluang untuk menambah jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam undang-undang sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Penambahan jenis retribusi tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang akan diatur dengan peraturan pemerintah.

5. Kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.

6. Perubahan mekanisme pengawasan terhadap pungutan daerah dari sistem represif menjadi sistem preventif dan korektif. Setiap Rancangan Perda tentang pajak dan retribusi, sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan pembatalan Perda yang semula berada pada Menteri Dalam Negeri dialihkan kepada Presiden untuk memperkuat dasar hukum pembatalan. selain itu, daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

Page 22: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1552

B. Kebijakan Di Bidang Perpajakan Dan Retribusi DaerahInstrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pemberian

kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Dalam hal ini, kebijakan taxing power kepada daerah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang tersebut merupakan langkah strategis untuk lebih memperkuat kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya dalam rangka membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih ideal. Beberapa kebijakan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, antara lain, adalah:1. Perubahan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list system menjadi

closed-list system. salah satu pertimbangan penerapan closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta meningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang tercantum dalam Undang-Undang.

2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan dan retribusi daerah (local taxing empowerment), melalui beberapa kebijakan, yaitu:a) memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, seperti perluasan

basis Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Retribusi Izin gangguan;

b) menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, seperti Pajak Rokok, Pajak sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi Pelayanan Tera/Tera ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin usaha Perikanan;

c) menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan logam dan Batuan; dan

d) memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah kecuali Pajak Rokok. Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak daerah untuk diberlakukan di daerahnya sepanjang tidak melampaui tarif minimum dan maksimum yang tercantum dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009. Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat mengkompensasi hilangnya penerimaan dari beberapa jenis pungutan daerah sebagai akibat dari adanya perubahan open-list system menjadi closed-list system. Dalam kaitan ini, daerah didorong untuk mengoptimalkan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan landasan hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang potensinya relatif kecil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih pasti, serta kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggungjawab pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam pelaksanaan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. sementara itu, dengan adanya kebijakan earmarking, sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak tersebut.

4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif (berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000) menjadi sistem preventif dan korektif. Setiap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah, sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Kewenangan pembatalan Perda yang semula berada pada Menteri Dalam Negeri dialihkan kepada Presiden dalam rangka memperkuat dasar hukum pembatalan Perda. selain itu, daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, perubahan kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif khususnya bagi Pemerintah Daerah. Dampak positif yang diharapkan, antara lain, Pemerintah Daerah dapat lebih menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness antar daerah untuk lebih menciptakan iklim investasi yang lebih baik di masing-masing daerah, terjalinnya hubungan kemitraan yang lebih baik antara Pemerintah Daerah dengan pengusaha/investor dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab pembangunan karena didukung adanya kejelasan,

Page 23: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1553

kepastian dan kesederhanaan berbagai regulasi yang ada, serta pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat karena didorong dengan sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian.

C. Kebijakan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)Salah satu kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 adalah menaikkan

tarif PBB-KB dari 5 persen menjadi maksimum 10 persen. Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk menerapkan tarif PBB-KB sampai dengan 10 persen yang ditetapkan dalam Perda. Kebijakan lain yang diatur dalam Undang-Undang tersebut adalah tarif PBB-KB untuk bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif PBB-KB untuk kendaraan pribadi. Dengan demikian, pengenaan tarif PBB-KB dapat dilakukan secara diskriminatif baik antar daerah maupun antar jenis kendaraan bermotor.

Pengenaan tarif diskriminatif antara kendaraan bermotor dilakukan dengan memperhatikan aspek kesiapan daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar. Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per liter BBM dapat berbeda antar daerah. Diskriminasi harga tersebut secara tidak langsung juga ditujukan agar Pemerintah Daerah dapat berperan optimal menurunkan konsumsi BBM, memperbaiki moda transporasi umum, mengurangi tingkat kemacetan, mengurangi polusi, meningkatkan produktifitas masyarakat dengan adanya penurunan kemacetan, serta untuk meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Bagi Pemerintah Pusat, kenaikan tarif PBB-KB tersebut untuk jangka panjang akan mengurangi beban subsidi dengan asumsi penggunaan BBM bersubsidi (bensin dan minyak solar) menurun akibat adanya kenaikan harga.

Dalam kondisi tertentu, sesuai Undang-Undang 28 Tahun 2009, Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengintervensi tarif PBB-KB yang telah ditetapkan oleh daerah dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Penetapan tarif oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif PBB-KB tersebut dilakukan dalam hal:1. terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 persen dari asumsi harga minyak dunia

yang ditetapkan dalam undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan. Bila harga minyak dunia sudah kembali normal, Peraturan Presiden dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.

2. diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-Undang 28 Tahun 2009. Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya kemungkinan perbedaan harga BBM antar daerah.

Berdasarkan data yang ada, sampai dengan tanggal 20 Maret 2012, dari 33 Pemerintah Provinsi yang telah menetapkan Perda tentang PBB-KB, sebanyak 14 daerah menetapkan tarif sebesar 5 persen, 13 daerah sebesar 7,5 persen dan 6 daerah sebesar 10 persen. Data daerah yang telah menetapkan Perda tentang PBB-KB selengkapnya dapat dilihat pada sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu menyiapkan sistem, mekanisme serta sarana dan prasarana yang memadai dalam pelaksanaan penjualan BBM serta pendataan terhadap jenis kendaraan umum dan pribadi sebelum dilaksanakannya pemberlakuan kebijakan diskriminasi tarif agar kebijakan tersebut dapat dioptimalkan dalam mengurangi subsidi BBM. Perlu adanya sistem pengawasan terpadu serta penegakan disiplin yang konsisten dalam alur distribusi BBM dari produsen hingga konsumen akhir dalam menghadapi kemungkinan terjadinya black market atau kelangkaan BBM di daerah-daerah tertentu. Perlu dilakukan sosialisasi sebelum diberlakukannya penetapan tarif PBB-KB yang baru, baik yang bersifat seragam maupun apabila dilaksanakan diskriminasi tarif guna mengantisipasi terjadinya gejolak pada masyarakat. selain itu pemberlakuan aturan baru dalam penerapan PBB-KB perlu dilaksanakan pada situasi dan kondisi yang tepat. selanjutnya untuk mengurangi konsumsi BBM yang tidak terkendali, perlu dilakukan perbaikan infrastruktur transportasi yang memadai sekaligus penyediaan alternatif moda transportasi massal yang aman, nyaman, dan terjangkau oleh masyarakat.

D. Pendaerahan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BangunanSerta Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai salah satu bentuk

continuous improvement, Pemerintah secara konsisten memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik bagi masyarakat di daerah. Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran, namun juga melalui desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan berupa perluasan local taxing power. salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

B. Praktek Empiris

Page 24: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1554

A. Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pelayanan Publik

Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa yang harus dilakukan pertama kali adalah pendelegasian tanggung jawab pembelanjaan, disusul oleh pengalihan kewenangan untuk menggalang pendapatan dan ketentuan mengenai pembagian pendapatan dengan Pemerintah Pusat. Sebenarnya ada logika dibalik skema ‘keuangan-mengikuti-fungsi’ (finance-follows-function) ini. Desentralisasi dari sumber pendapatan dan tanggung jawab pembelanjaan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dapat meningkatkan efisiensi pembelanjaan dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan oleh konstituen daerah.

Tetapi sebaliknya juga dapat terjadi bahwa desentralisasi dapat mengakibatkan ketidakadilan dalam penyelenggaraan pelayanan untuk warga negara, tergantung dimana mereka bertempat tinggal, meskipun mereka berasal dari negeri yang sama. Meskipun desentralisasi ini tidak menyebabkan ketidakadilan, pengalihan sumber pendapatan dan dengan adanya perbedaan kekayaan sumber daya alam antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini mungkin sekali akan menyebabkan ketimpangan sumber daya fiskal pada tingkat daerah. Apabila dibiarkan, ketimpangan ini dapat berujung pada rendahnya penyelenggaraan pelayanan masyarakat di daerah yang miskin yang berakibat pada tarif pajak yang lebih tinggi untuk tingkat pelayanan yang sama di daerah tersebut.

Selain itu, ketimpangan dalam penyelenggaraan pelayanan akan mengganggu upaya pengentasan kemiskinan, karena pelayanan masyarakat pada tingkat daerah, misalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar amat penting dalam pemberdayaan kaum miskin. Ketimpangan pada tingkat ini dan kualitas dari pelayanan ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya ketimpangan pada tingkat pendapatan, atau setidaknya menghambat konversi pendapatan di daerah. Selain itu, ketimpangan fiskal yang besar juga mungkin memicu terjadinya migrasi ke daerah yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan pelayanan publik yang lebih baik, meskipun tenaga migran tersebut mungkin akan lebih produktif apabila dipsekerjakan ditempat lain. Akhirnya, ketimpangan yang besar dalam pelayanan publik mungkin dapat menyebabkan keresahan sosial di daerah yang tertinggal dan dapat melemahkan tali persatuan dalam suatu negara.

Lagi pula, sebagian besar fungsi pemerintahan telah membuat komitmen mengenai hasil-hasil dari pelayanan yang dialihkan semuanya atau dialihkan sebagian ke Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sehingga mereka amat memperhatikan mengenai tingkatan dan distribusi sumber daya fiskal (termasuk pembagian pajak) diantara berbagai tingkatan pemerintahan, karena sumber daya inilah yang memungkinkan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelayanan publik secara efisien.

Meskipun Pemerintah menaruh perhatian pada distribusi pelayanan yang relatif merata, belum tentu mereka mengambil tindakan untuk memperbaiki masalah dalam pembagian sumber daya fiskal yang terjadi diantara Pemerintah Daerah; yaitu ketidakseimbangan horizontal antar Pemerintah Daerah. Hal ini dapat terjadi karena dua alasan, pertama pengambil keputusan mungkin berharap terjadinya penyesuaian pasar sehingga di beberapa negara, migrasi dianggap sebagai kekuatan pengimbang yang sama kuatnya mendorong orang untuk berpindah ke daerah yang memberikan pelayanan publik yang paling bermanfaat dengan beban pajak yang dianggap wajar oleh para konstituen. Kedua, adanya pertukaran kebijakan yang dapat dibenarkan dan patut dipertimbangkan: kebijakan pengalihan dana yang agresif mungkin saja akan melemahkan tekad Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk meningkatkan penggalangan dana yang berasal dari sumbernya sendiri – suatu pertukaran jangka pendek yang tidak menekankan perimbangan dalam rangka pembentukan dasar bagi sumber Pendapatan Asli Daerah untuk mengurangi ketidakseimbangan fiskal dimasa depan dan mengurangi ketergantungan pada transfer dana dari pusat.

Tujuan dari kecukupan pendapatan berarti semua tingkatan pemerintahan memiliki akses ke sumber dana yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Secara teknis, hal ini akan sulit untuk menghubungkan setiap fungsi pemerintahan dengan sumber dana yang berkaitan, meskipun idealnya dana harus mengikuti fungsi. Keputusan yang berhubungan dengan dana pada berbagai tingkatan pemerintahan selain melibatkan pertimbangan teknis, juga harus selalu mempertimbangkan aspek politik. Masalah perpajakan dan tanggung jawab pembelanjaan untuk berbagai barang publik dan transfer dana biasanya tidak secara jelas-jelas dicantumkan dalam peraturan perundangan. Masalah pemerintahan (misalnya, sejauh mana suatu masalah akan didesentralisasikan atau akan dibiarkan menjadi urusan Pusat) seringkali tidak jelas dan tidak ditemui uraiannya dalam peraturan perundangan terkait.

Uraian yang umum ditemui adalah kerangka umum untuk pembagian penyelenggaraan pemerintahan, misalnya uraian bahwa kebijakan dan aspek keuangan untuk suatu kegiatan tertentu harus menjadi wewenang pusat, tetapi pelayanannya dapat didesentralisasikan. Kadang-kadang wewenang untuk membuat keputusan juga diberikan ke Pemerintah Daerah, tetapi keputusan yang dibuat harus disetujui oleh Pusat. Dalam prakteknya, lembaga yang mendanai penyelenggaraan pelayanan dan lembaga yang secara fisik melaksanakan pemberian pelayanan

Page 25: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1555

tersebut adalah dua lembaga yang berbeda. Contoh pelayanan sekolah dan rumah sakit dikelola oleh lembaga yang tidak memiliki kuasa apapun atas pendanaannya. Selain itu, sebagian atau semua pelayanan ini diberikan gratis atau pembayaran pelayanan tersebut amat rendah, padahal lembaga yang mendanai belum tentu akan mengurangi dan menambah biayanya sesuai kebutuhannya.

B. Pembagian Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penggalian Sumber-Sumber Keuangan

Proses desentralisasi perpajakan dan pemindahan hak belanja ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah merupakan unsur penting dalam reformasi fiskal, baik di negara maju maupun negara berkembang. Desentralisasi didukung dengan alasan bahwa pemerintah Pusat tidak mungkin dapat memenuhi tuntutan kebutuhan barang dan jasa publik yang secara terus menerus meningkat. Pemerintah Pusat sering gagal meningkatkan efisiensi fiskal, karena Pemerintah Pusat seringkali mengabaikan perbedaan setempat dalam hal budaya, lingkungan dan kekayaan sumber alam, di samping perbedaan dalam faktor ekonomi dan sosial. Mendekatkan Pemerintah ke masyarakat seharusnya akan meningkatkan akuntabilitas dalam pemberian pelayanan dan juga meningkatkan efisiensi dalam alokasi dengan menutup celah antara pengeluaran dan sumber pendapatan.

Dengan meningkatnya efisiensi yang signifikan, maka desentralisasi fiskal juga akan mendorong terjadinya pertumbuhan. Pada saat yang bersamaan, hal ini akan mengurangi biaya operasional dan informasi dalam pemberian pelayanan dan merampingkan kegiatan sektor publik, yang pada akhirnya akan memfasilitasi konsolidasi fiskal dan meningkatkan kinerja ekonomi makro secara keseluruhan. Muncul kekuatiran bahwa, desentralisasi akan memperburuk ketidakseimbangan fiskal dengan adanya bias dalam perumusan kebijakan fiskal yang akan mengancam kestabilan ekonomi makro secara keseluruhan. Bagi negara berkembang tantangan utama dari kebijakan ini adalah bagaimana merancang dan mengembangkan sistem keuangan publik yang sesuai untuk mendanai pelayanan publik secara efektif dan efisien, dan pada saat bersamaan mempertahankan kestabilan ekonomi makro. Masalah utama yang muncul adalah apakah desentralisasi akan mengakibatkan turunnya kemampuan keuangan daerah dan apakah akibat buruk ini akan mempengaruhi posisi keuangan pemerintah Pusat. Hal ini mungkin saja terjadi apabila transfer pembelanjaan ke Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota tidak diimbangi dengan pengurangan secara proporsional mandat pembelanjaan Pemerintah Pusat (Fukusaku, et al, 1999).

Pada satu sisi, pembagian pendapatan memungkinkan Pemerintah Daerah mendanai pembelanjaan yang lebih besar tanpa harus melalui pemindahan basis pajak ke daerahnya, yang prosesnya sendiri sering tidak efisien. Pada sisi lainnya, pengaturan semacam ini mungkin menghambat upaya penggalangan dana pada tingkat daerah dan meningkatkan ketergantungan Pemerintah Daerah pada hibah dan transfer dari Pusat. Pembagian pendapatan dapat menghambat efisiensi dalam pemanfaatan basis pajak Pemerintah Daerah dengan memperdalam ketidakseimbangan vertikal dalam hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan dan memperbesar jarak antara biaya dan manfaat penyelenggaraan sektor publik. Pemerintah Daerah mungkin merasa akan mendapat keuntungan dengan memperkecil basis pajak mereka dan memanfaatkan pembagian pendapatan yang diperoleh secara nasional. Dengan cara ini, mereka meminimalkan biaya desentralisasi yang harus ditanggung oleh wajib pajak daerah.

Di sisi lain, biaya yang harus ditanggung tersebut akan didanai oleh sumber daya bersama yang digalang di tempat lain dalam sistem ekonomi nasional. Pembagian pendapatan mungkin akan mendorong Pemerintah Daerah untuk menggelembungkan anggaran, karena mereka khawatir akan kehilangan bagian dari pembagian pendapatan yang beralih ke daerah saingannya. Pada akhirnya, hal ini akan memicu pemborosan dan berakibat ketidak seimbangan fiskal yang besar dan biaya yang besar. Sehingga pada akhirnya, pembagian pendapatan juga akan mengakibatkan terhambatnya penyesuaian fiskal karena Pemerintah Daerah hampir tidak mendapatkan insentif untuk bertindak mandiri dan bahkan dapat menjadi dorongan yang kuat untuk tidak mengeluarkan biaya apabila beban pengurangan belanja fiskal dapat disebar secara horizontal ke daerah lain di luar perbatasannya dan secara vertikal antara berbagai tingkat pemerintahan (Alesina and Spolare, 1997).

Karena pendapatan yang berasal dari pemerintah setempat umumnya tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran Pemerintah Daerah, maka hampir semua pemerintah mempunyai program transfer dana antar tingkat pemerintahan. Dalam program ini terdapat beberapa tujuan yang diantaranya saling berhubungan, tiga diantaranya merupakan tujuan yang terpenting. Pertama, program ini membantu menutup ketidak seimbangan fiskal Pemerintah Daerah dengan memberikan tambahan pada pendapatan daerah yang minim agar dapat meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah untuk memenuhi kewajibannya. Kedua, transfer dana ini digunakan untuk memenuhi tujuan redistribusi nasional sebagaimana diuraikan di atas dengan membantu menyeimbangkan perbedaan kapasitas fiskal diantara Pemerintah Daerah. Ketiga, pengalihan dana ini digunakan untuk mendorong pembelanjaan lokal atas barang dan jasa tertentu yang bersifat eksternal atau yang dianggap sebagai kebutuhan dasar yang harus

Page 26: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1556

didistribusikan dengan lebih merata, walaupun kemampuan untuk membayarnya terbatas. Sebagian besar sistem transfer dana, bahkan di negara berkembang ditujukan, setidaknya di atas kertas, untuk memenuhi tujuan ini.

Sebagian besar pengeluaran dan pendapatan pemerintah di negara berkembang pada umumnya berada di bawah kendali Pemerintah Pusat, dan hanya menyisakan sedikit kewenangan bagi Pemerintah Daerah. Salah satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari dunia internasional sehubungan dengan reformasi pajak daerah adalah Pemerintah Daerah harus memusatkan perhatian pada beberapa sumber pendapatan daerah saja yang jelas-jelas dapat memberikan hasil yang berarti dan mengurangi perhatian pada basis pajak kecil yang mereka miliki. Peran Pemerintah Pusat yang kuat dalam keuangan publik tidak dapat dihindari dan mungkin dibutuhkan pada periode tertentu pada saat negara sedang membangun untuk meraih kestabilan ekonomi makro, redistribusi dan tujuan alokasi pada saat kapasitas kelembagaan, keuangan dan sumber daya manusia di daerah masih jauh dari kebutuhannya.

Namun baru-baru ini, muncul kesadaran bahwa biaya politik, sosial dan ekonomi dari sistem sentralisasi yang terlalu kuat akan sangat besar. Hampir semua negara saat ini menerapkan upaya-upaya desentralisasi dengan tujuan untuk meningkatkan penyampaian pelayanan pemerintah, meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan mendorong perekonomian daerah. Melalui desentralisasi, dengan semakin bertanggung jawab atas pengeluaran dan pendapatan mereka, maka timbul harapan bahwa hal ini akan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan secara keseluruhan, meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Syarat yang harus dipenuhi sebelum mengalokasikan beban pengeluaran tambahan kepada pemda adalah mengidentifikasi struktur pendapatan utama yang dapat menjadi sumber keuangan yang memadai untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif dan pelayanan masyarakat, sesuai dengan preferensi masyarakat. Dari sisi pendapatan, pemerintah mengandalkan berbagai instrumen untuk meraih tujuan-tujuan stabilisasi, redistribusi dan alokasi. Instrumen pendapatan ini mencakup pajak (misalnya perdagangan, penghasilan, konsumsi dan pajak kekayaan), beban pengguna, properti, perizinan dan berbagai biaya lainnya. Selain berfungsi memberikan pendapatan langsung bagi pemerintah, instrumen ini juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan regulasi dan pengendalian. Agar dapat mencapai tujuan sosial dan ekonomi secara efisien, pemerintah mengalokasikan pendapatan ini ke berbagai tingkatan pemerintahan, sehingga mereka memperoleh penghasilan yang memadai. Khususnya bagi Pemerintah Pusat perolehan pendapatan ini digunakan untuk mengelola stabilitas ekonomi makro dan meraih tujuan-tujuan yang terkait dengan redistribusi, sedangkan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah perolehan ini digunakan untuk meraih efisiensi dalam alokasi dan penyelenggaraan pelayanan publik yang penting.

Proses pengalokasian tanggung jawab pendapatan dan pembelanjaan di antara berbagai tingkatan pemerintah telah menimbulkan suatu dilema tersendiri bagi banyak negara, karena jelas terlihat adanya manfaat yang diperoleh dari memusatkan basis pajak yang paling produktif, di lain pihak meskipun terdapat pengakuan mengenai pentingnya desentralisasi, namun tidak dapat diingkari bahwa desentralisasi menimbulkan biaya sosial dan infrastruktur yang tinggi. Hal ini menimbulkan dua masalah utama, yaitu dengan adanya ketidakseimbangan vertikal dan horizontal, maka tanggung jawab pengeluaran dan pendapatan dibagi secara tidak merata di antara berbagai tingkat pemerintahan. Secara umum, Pemerintah Pusat memiliki dana yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawabnya, sementara Pemerintah Daerah pada umumnya tidak memiliki hal yang sama, hal ini terjadi karena sebagian besar basis pajak yang produktif dikelola dengan efisien dan adil pada tingkat Pemerintah Pusat sementara sebagian besar pelayanan masyarakat dilaksanakan secara lebih efisien pada tingkat daerah.

Kekurangan dana pada tingkat daerah menimbulkan masalah yang dikenal dengan istilah “kesenjangan fiskal”. Adanya ketidakseimbangan horizontal juga menimbulkan ketidakadilan di antara Pemerintah Daerah. Dijumpai daerah yang mempunyai sumber daya yang melebihi kebutuhannya, sementara daerah lainnya tidak memiliki sumber daya yang memadai. Hal ini disebabkan karena lokasi sumber daya yang bersangkutan, ketidakmampuan daerah untuk menggalang pendapatan dari sumber daya ini, perbedaan kebutuhan belanja dan biaya untuk menyelenggarakan pelayanan. Masalah-masalah ini memaksa negara-negara untuk secara hati-hati menganalisa kebutuhan pembelanjaan dan pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan mengembangkan sebuah pilihan kombinasi alokasi pendapatan untuk mengimbangi kesenjangan alami dan ketidakseimbangan yang terjadi karena alasan ekonomi yang rasional.

Pemerintah Daerah di banyak negara mempunyai akses ke berbagai sumber daya fiskal. Wewenang atas sumber daya sangat berbeda satu dengan lainnya, demikian juga hak Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menentukan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab Pemda. Rancang bangun dari otonomi fiskal mempengaruhi perilaku dan menentukan hasilnya misalnya efisiensi sektor publik, pemerataan dalam akses ke sektor publik, atau posisi fiskal dalam jangka panjang. Data untuk membandingkan dan mengkaji struktur

Page 27: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1557

pendapatan negara dan pemerintah daerah akan sangat berguna dalam hal ini. Tetapi terdapat indikator yang menunjukkan tidak efisiennya pendanaan anggaran negara dan daerah. Indikator utama yang digunakan adalah bagian dari perolehan pajak yang dialokasikan ke Pemerintah provinsi, Kabupaten dan Kota, tidak dapat menggambarkan dengan baik pola yang kompleks dan berbelit dari sumber pendapatan mereka. Komposisi perolehan fiskal adalah indikator penting untuk mengukur pengaruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota dan determinan penting bagi keuangan pemerintah dan variabel lainnya, oleh karena itu perlu dikembangkan serangkaian indikator fiskal yang lebih sesuai.

Di lain pihak ada pula Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang tidak memiliki sumber pendapatan sendiri yang memadai, sementara sumber pendapatan sendiri menyumbang sekitar 15% dari rata-rata pendapatan keseluruhan. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang amat besar pada pengalihan dana dari Pemerintah Pusat untuk tujuan pembelanjaan modal. Untuk meningkatkan investasi pada waktu-waktu mendatang, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota membutuhkan akses ke arus keuangan yang lebih besar dan Pemerintah Pusat perlu memperkuat mekanisme pengalihan dananya, terutama yang berbentuk hibah untuk investasi.

Pada tahap awal pembangunan ekonomi dan pembangunan Nasional bangsa Indonesia, pemusatan kekuasaaan dan sumber daya jelas diperlukan untuk mempersatukan bangsa secara politis dan memungkinkan pembangunan ekonomi secara nasional. Indonesia memiliki tradisi yang panjang yang berkaitan dengan sentralisasi, yang dimulai sejak masa pemerintahan kolonial. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, struktur fiskal yang terpusat tetap dipertahankan, dengan salah satu alasan bahwa karena meneruskan warisan kolonial dan alasan-alasan lainnya timbul karena untuk mempertahankan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam satu kesatuan. Sampai tahun 1999 Pemerintah Daerah masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat.

Indonesia, harus berhadapan dengan tantangan desentralisasi saat terjadinya perubahan besar-besaran dalam sistem politik dan ekonominya. Dalam masa satu dasawarsa Indonesia telah mengalami sebuah reformasi kelembagaan dan birokrasi dengan jangkauan yang amat luas. “Letusan Besar” desentralisasi dimulai pada 2001 yang melibatkan pengalihan besar-besaran tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan publik dan mengalihkan dua pertiga pegawai negeri sipil dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dan lebih dari 16.000 fasilitas pelayanan publik ke Pemerintah Daerah. Selain dari mendekatkan pembuat keputusan pelaksanaan pelayanan ke masyarakat, gabungan dari desentralisasi dan ketergantungan yang lebih pada upaya pembangunan yang digerakkan masyarakat telah dapat meredam gerakan separatisme dan konflik regional di Aceh, Papua dan Maluku.

Ketika Indonesia melaksanakan desentralisasi yang lebih substansial pada tahun 2001, pemerintah mengalokasikan sumber daya dalam jumlah yang besar ke daerah-daerah yang miskin dalam upaya mengoreksi ketimpangan antar daerah. Walaupun pengalihan fiskal antar tingkat pemerintahan dapat lebih merata, daerah termiskin dan sebagian besar daerah terpencil di Indonesia telah menerima transfer dana dalam jumlah cukup besar sejak tahun 2001. Desentralisasi telah mengalihkan sebagian tanggung jawab ke tingkat daerah dengan cara pengalihan wewenang dan bukannya fungsi ke pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, fungsi pemerintah yang merupakan kewajiban pemerintah daerah mencakup kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, komunikasi, perhubungan, pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, pertanahan, koperasi, tenaga kerja dan pelayanan infrastruktur. Pemerintah Provinsi akan melakukan koordinasi dan melakukan fungsi yang akan mempengaruhi lebih dari satu Pemerintah Daerah.

Langkah reformasi harus dilaksanakan juga, untuk menciptakan lingkungan yang mendorong dan memberdayakan pemda untuk secara efektif meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah dan penyediaan pelayanan publik. Penguatan legitimasi dan kredibilitas politik lokal akan membuat pemda semakin mampu bekerja sama dengan warganya untuk mobilisasi pendapatan daerah tambahan, yang diperlukan untuk prioritas belanja lokal yang ditetapkan. Selain itu, berbagai reformasi politik dan kelembagaan harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas administrasi pemerintah lokal dan memobilisasi kemauan politik lokal yang diperlukan untuk pengenaan retribusi, mengumpulkan dan menindak ketidakpatuhan. Kombinasi berbagai reformasi tingkat pusat dan daerah ini akan memberikan kerangka untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan daerah.

Dari perspektif teori, pemberian taxing power kepada daerah didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:

In principle, a “totally” subnational tax may be defined as one that satisfies five distinct conditions:(1) Subnational governments can decide whether to levy the tax or not.(2) They can also determine the precise base of the tax.(3) They can decide the tax rate.(4) They administer (assess, collect, enforce) the tax.(5) They get to keep all the revenue they collect. (Bird, 2011)

Sejalan dengan pendapat Richard Bird di atas, Norregaard (1997) menyatakan bahwa:

Page 28: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1558

Taxes assigned to lower level of government may take the form of own taxes (sometimes referred to as tax separation system), define as taxes accruing solely to lower leves of governments, which can determine the rate and in some cases, also have some autonomy to influence the tax base. An alternative system is represented by overlapping taxes (sometimes called piggybacking systems of local taxation) with the same (or almost the same) tax base for the different levels of government, but with the right of each level of government to set its own tax rate on that common base. This is the system of personal income taxes applied in, for example, the Nordic countries. In Canada, the income tax system used by the province involves levying the tax as a percent age of the federal tax revenue accruing within each province. An op posed to tax separation systems, a system of overlapping taxes may involve administrative advantages with regard to assessing the base and to tax collection. This, however, may be at a potential cost of reduced transparency as the tax levied at each level of government may be less easily identifiable for the taxpayers.

Menurut Oates (1999):a) lower levels of government should, as much as possible, rely on benefit taxation of

mobile economic units, including households and mobile factors of production;b) to the extent that non-benefit taxes need to be employed on mobile economic

units, perhaps for redistributive purposes, this should be done at higher levels of governments;

c) to the extent that local governments make use of non benefit taxes, they should employ them on bases that are relatively immobile across local jurisdictions.

Edling (2006) berpendapat:“…The most recent studies show – contrary to the comments made above – that tax compliance or tax morale increase as citizens are granted greater rights of participation, e.g. in the form of referenda or petitions for a referendum. Put another way, the more direct the democracy (i.e. citizens have more rights to participate in politics) the less tax evasion there is. Many authors therefore believe that tax evasion not only reflects the free-rider problem but also represents a deliberate, defensive act against the leviathan where the government has too much freedom in determining the state budget. According to this view, therefore, the way in which public finances are determined has an effect on tax compliance…”

Berdasarkan pemikiran Bird (2011), Norregaard (1997), Oates (1999), dan Edling (2006) pada dasarnya pemerintah daerah harus diberikan kewenangan memungut pajak untuk mendukung kebutuhan pendanaan dalam rangka pemberian pelayanan dasar kepada masyarakat lokal. Pajak daerah idealnya adalah dasar pengenaan pajak, kebijakan tarif, pelaksanaan pemungutan termasuk penegakan hukum dan hasil pemungutannya ditetapkan oleh pemerintah daerah. Karakteristik lainnya dari pajak daerah objek pajak dan basis pajak bersifat immobile dalam lingkungan yurisdiksi pemerintah daerah yang bersangkutan.

Selanjutnya pelaksanaan pemungutan pajak daerah harus memperhatikan aspirasi masyarakat lokal, pengelolaannya dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, berkeadilan, kredibel, dan berkelanjutan. Sejalan dengan pemikiran Bird (2011), Norregaard (1997), dan Oates (1999), dan Edling (2006), Thuronyi (1998) mengemukakan empat kriteria untuk menyusun kebijakan pajak yang baik yakni:

(1) Understandability refers to making the law easier to read and follow;(2) Organization refers to both the internal organization of the law and its coordination

with other tax laws;(3) Effectiveness relates to the law’s to enable the desired policy to be implemented;(4) Integration refers to the consistency of the law with the legal system and drafting style

of the country.

Kebijakan pajak (tax policy) yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang dapat menjadi alat dalam pemilihan kebijakan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pilihan suatu negara mengenai bagaimana menyusun sistem perpajaknya bergantung dari beberapa faktor seperti tingkat pembangunan, kebutuhan dan keinginan untuk meningkatkan pelayanan umum, dan kapasitas untuk mengenakan pajak secara efektif serta pemberdayaan pemerintahan daerah. Diperlukan suatu analisa dengan pendekatan yang multidisiplin, serta berbagai pengetahuan yang beragam dalam mendesain suatu reformasi sistem perpajakan. Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diusulkan, dipertegas perlunya direalisasikan Pajak atas Pencemaran Lingkungan yang justru banyak diimplementasikan di negara maju. Berikut ini dikutip penerapan Pajak Lingkungan Hidup di Denmark.

Page 29: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1559

Pajak Lingkungan Green Taxes (SKAT, 2005) “…Green taxes are taxes that you pay for spending society’s resources. The more resources you spend, the more green taxes you must pay. The idea behind this is to make citizens try to limit their consumption and thus conserve the natural resources. For example, green taxes are levied on petrol, oil, electricity, water and waste. This means that the price of these resources increase, which is the intention. If the price of petrol increases, people will do less driving which will limit the impact on the environment…”

Secara teoritis dan empiris, klasifikasi Pajak Daerah menurut tingkat Otonomi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1: Klasifikasi Pajak Daerah (Local Taxes) Menurut Tingkat Otonomi.High Revenue

AutonomySNG sets tax rate and base Highest degree of own - source revenues. Most

often pertains to fees and charges;SNG sets tax rate only Necessary and sufficient condition for categorization

as “own revenue” (piggybacking, tax base harmonization conformity permitted)

SNG sets tax rate, but only within centrally permissible ranges

A typical practice is to cap the top rate

Tax sharius whereby central/local revenue split can be only changed with consent of SNG

Can result when a local authority collects the tax and remits to the center. (E.g.. China. Jin and Zou, 2003).

Revenue sharing with share determined unilaterally by central authority.

100% control by center; this category is a source of much misspecification of what is a central vs. local revenue (GFS includes this categoiy as a local tax)

No Local Autonomy

Central government sets rate and base of “ SNG revenue”

May accompany political decentralization

Sumber: Diolah dari Laporan OECD 2002.

Teori dan praktek internasional berpendapat bahwa sebagian besar jenis pajak yang tax base -nya bersifat mobile dan menghasilkan sumber-sumber penerimaan yang besar lebih baik dikenakan dan dikelola di tingkat pemerintah pusat. Secara umum, pemerintah di tingkat lebih rendah harus memperoleh pendapatan dari basis-basis pendapatan dengan mobilitas tax base lebih rendah, dan basis pendapatan dengan keterkaitan manfaat yang jelas dengan pelayanan lokal. Namun, sebagian besar pajak potensial harus dialokasikan ke pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah pusat seharusnya berwenang untuk mengelola pengenaan pajak perdagangan internasional, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan perusahaan dan perorangan, dan pajak sumberdaya alam ke pemerintah pusat. Pemda di tingkat provinsi atau negara bagian biasanya mendapatkan alokasi pajak seperti pajak kendaraan bermotor dan, kadang, pajak penjualan ritel serta pajak penghasilan perorangan, sedangkan pemda di tingkat lebih rendah mendapatkan alokasi pajak properti dan pokok pajak lain yang tidak berpindah-pindah. Cukai sering kali diberikan ke semua tingkat pemerintah, dan ke pemda untuk pokok pajak yang mobilitasnya relatif rendah dan kemampuannya kecil untuk dialihkan (misalnya, pengenaan pajak atas hotel, hiburan, restoran dll.). Selain itu, teori dan praktek mendorong semua tingkat pemerintah untuk mengenakan cukai atas konsumsi barang-barang dan jasa yang memiliki karakteristik lokal secara tepat.

Dalam hal pajak properti (PBB dan BPHTB) di Indonesia menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, pemerintah memilih pilihan memindahkan pajak properti perkotaan dan perdesaan dari pajak bagi hasil dengan administrasi bersama, langsung ke pajak asli daerah dengan administrasi sepenuhnya oleh pemda, tapi tetap mempertahankan pajak properti perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebagai pajak bagi hasil pusat. Undang-Undang tersebut memindahkan pajak properti secara seragam ke semua pemda, dengan distrukturisasi sebagai pendapatan asli daerah dengan tanggung jawab administrasi, di mana pemda diberi pilihan untuk melimpahkan/mengalih kerjakan sebagian besar fungsi administratif ke pihak ketiga, jika dianggap tepat.

Di beberapa negara, pajak properti dibuat agak berbeda, bahkan dalam kasus di mana pajak properti dipindahkan ke pemda sebagai pajak lokal. Dalam kasus seperti ini, pemda diberi diskresi tingkat pajak (mungkin dalam batasan) dan sering diskresi untuk memberikan pembebasan pokok pajak, tapi administrasinya dibuat sebagai model administrasi bersama. Model administrasi bersama ini melimpahkan, menurut undang-undang dan peraturan pemerintah, beberapa fungsi administratif tertentu ke beberapa tingkat pemerintah agar bisa memanfaatkan, antara lain, skala ekonomi, kapasitas dan kesetaraan.

Page 30: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1560

Teori dan praktek internasional menyarankan bahwa administrasi pajak properti tidak harus diserahkan seluruhnya ke pemerintah pusat atau daerah tapi, seperti untuk semua fungsi sektor publik, fungsi administratif perlu ’diurai’ dengan menentukan fungsi subadministratif tertentu yang bisa diserahkan dan distruktur berdasarkan pada prinsip seperti skala ekonomi, lingkup ekonomi, kedekatan wajib pajak, akuntabilitas dan kepekaan pemerintah, dan preferensi pemerintah. Penugasan fungsi administratif ini harus didasarkan pada analisis yang cermat mengenai biaya dan manfaat, sambil mempertimbangkan pilihan di semua tingkat pemerintah dan/atau alternatif dari sektor swasta dan pemerintah, dengan perhatian terus-menerus pada kriteria efisiensi dan kesetaraan. Di Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Jamaika, contohnya, banyak fungsi penilaian properti diberikan ke pemerintah pusat atau negara bagian, sedangkan semua fungsi administrasi pajak properti lainnya diberikan ke pemda. Dalam kenyataannya, sebagian besar negara memakai administrasi bersama dalam kadar tertentu untuk fungsi kadaster fiskal, sambil bergantung pada administrasi lokal untuk fungsi perbendaharaan.

Di beberapa negara, pendekatan asimetris mungkin diperlukan, agar beberapa pemda bisa mengelola pajak properti menurut model administrasi lokal dan beberapa pemda lain bisa mengelola pajak properti menurut model administrasi bersama. Ini bisa menjadi pilihan untuk Indonesia agar Pemda bisa memanfaatkan skala ekonomi dan hambatan kapasitas, terutama di daerah yang kurang terurbanisasi, pemda perdesaan, yang memiliki lebih sedikit potensi pendapatan dan kapasitas lokal untuk mengelola pajak properti seluruhnya.

Umumnya negara memberikan kepada pemeritah daerah akses ke pendapatan asli daerah mereka sendiri, melalui sistem ‘daftar terbuka’ atau ‘daftar tertutup.’ Dalam sistem daftar terbuka, pemda diperbolehkan mengenakan pendapatan yang tidak secara khusus disediakan untuk tingkat pemerintah lain, dengan batasan dan patokan umum. Seperti yang diinginkan, pendekatan daftar terbuka ini memberi diskresi luas ke pemda, dengan demikian memungkinkan pemda untuk menerapkan struktur pajak daerah yang baru dan secara bebas mengumpulkan pendapatan mereka sendiri dengan sedikit pembatasan. Dalam sistem daftar tertutup, pemda hanya diperbolehkan mengenakan pajak dan bea pada pokok-pokok pajak yang ditentukan untuk diserahkan ke pemda, dengan demikian membatasi pemda agar tidak mengenakan pajak dan bea pada basis pendapatan lain. Dalam sistem daftar terbuka dan tertutup, negara bisa memberikan beberapa fleksibilitas terbatas untuk mengusulkan pajak dan bea alternatif, yang harus disetujui oleh pemerintah pusat dengan dasar pengecualian.

Sayangnya, pendekatan daftar ’terbuka’, dalam memberikan banyak diskresi lokal, sering kali dilakukan tanpa akuntabilitas dan kontrol yang memadai, akibatnya mendorong munculnya penerapan pajak yang mengganggu dan/atau pajak yang menyimpang yang berdampak buruk pada kesetaraan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk menghindari situasi seperti ini, banyak negara memakai ‘daftar tertutup’ pendapatan daerah yang diperbolehkan, dan pemda bisa memilih dari daftar ini.

Untuk memastikan keberhasilan pencapaian tujuan desentralisasi dengan pendekatan daftar ‘tertutup,’ maka negara harus memastikan pencantuman instrumen pendapatan yang memadai ke dalam daftar ‘tertutup’ terbatas dengan diskresi pemda yang mencukupi, yang berpotensi untuk menghasilkan pendapatan daerah yang stabil dan mempunyai daya apung (misalnya, perpajakan properti, cukai lokal dan pajak usaha). Ini dilakukan di Indonesia yang menerapkan kembali pendekatan daftar ‘tertutup’ sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, kali ini dengan mencantumkan akses lokal ke pajak properti perkotaan dan perdesaan dan ke pajak transfer properti.

Secara tradisional, Indonesia mengikuti pendekatan daftar ‘tertutup,’ termasuk Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 yang disahkan persis sebelum Reformasi Desentralisasi 2001. Namun, Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 ini tidak mencantumkan pajak properti sebagai pilihan pendapatan pemda. Setelah Ledakan Besar reformasi desentralisasi, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang berpindah dari pendekatan ‘daftar tertutup’ ke ‘daftar terbuka’ untuk memberikan lebih banyak diskresi ke pemda, yang mendukung desentralisasi. Namun dalam pendekatan daftar terbuka ini, pemda masih belum diberi akses ke pajak properti karena pajak ini sudah ada sebagai pajak bagi hasil pemerintah pusat. Pendekatan daftar ‘terbuka’ akan menimbulkan semakin banyak pajak yang mengganggu dan menyimpang—karena pemda secara kreatif mencari jalan untuk memperbanyak pendapatan daerah. Untuk menangani masalah yang muncul karena Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, maka pemerintah berpindah kembali ke pendekatan daftar ‘tertutup’ tapi kali ini dengan devolusi pajak properti perkotaan dan perdesaan (PBB-P2) dan pajak transfer properti (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan/BPHTB), dengan demikian pemda untuk pertama kalinya diberi akses ke potensi pendapatan dari perpajakan properti.

Setelah ditentukan, menurut pendekatan daftar ‘terbuka’ atau ‘tertutup,’ instrumen pendapatan daerah yang disediakan dan/atau dipakai harus dirancang dan dilaksanakan untuk memobilisasi pendapatan secara efisien dan adil, sambil memperhatikan kelayakan administratif dan akseptabilitas (kemampuan untuk diterima secara) politis. Walau teori desain pajak dan pelaksanaan pajak bisa diterapkan di semua negara, tapi seni reformasi berada di pengetahuan mengenai cara menyesuaikan teori secara kreatif dengan situasi lokal untuk memastikan

Page 31: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1561

bahwa desain dan strategi sudah tepat untuk mempermudah penyesuaian, pelaksanaan dan keberlanjutan proses reformasi pendapatan.

Dalam konteks teori ini dan praktek penugasan pendapatan, mari kita sekarang mengkaji secara lebih rinci dan mencoba belajar dari pengalaman Indonesia selama 15 tahun terakhir dalam alokasi pendapatan ke tingkat pemda, dengan tekanan pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yang menetapkan sistem ‘tertutup’ untuk penugasan pendapatan, untuk pertama kalinya, yang memberi pemda akses ke pajak properti perkotaan dan perdesaan dan pajak transfer properti. Pemerintah Indonesia sudah lama mengakui pentingnya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk memperkuat otonomi dan akuntabilitas daerah. Sebelum reformasi desentralisasi di tahun 2001, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 untuk memperkuat / merampingkan struktur pendapatan pemda. Segera setelah ’ledakan besar’ reformasi desentralisasi, pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 untuk menangani beberapa keterbatasan yang melekat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1997, dan untuk memberi pemda diskresi lebih besar. Dan yang terkini, pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menggantikan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang telah memberikan pendekatan ‘daftar terbuka’ untuk penugasan pendapatan asli daerah, suatu pendekatan yang memperbolehkan pemda untuk mengenakan pajak/bea baru melalui peraturan daerah, jika sesuai dengan prinsip-prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut dan tidak menolak proses kajian terpisah oleh pemerintah pusat. Walau niatnya baik untuk mendukung proses desentralisasi, sistem daftar terbuka di bawah Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 ini melahirkan semakin banyak pajak lokal yang menambah kerumitan struktur pajak pemda, menimbulkan distorsi ekonomi yang tidak diinginkan pada investasi, keputusan lokasi dan konsumsi, dan pajak yang menggangu karena biaya administrasi menjadi lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan.

Untuk memperbaiki masalah ini, pemerintah memberlakukan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 dengan tujuan yang ditetapkan untuk lebih lanjut mendukung reformasi desentralisasi di Indonesia, dengan jalan:1. Memberdayakan pemerintah daerah dengan jalan memberi otonomi daerah serta

diskresi dengan akuntabilitas. Batas tingkat (rate) pajak dinaikkan, dan pemda diberi diskresi untuk memilih pokok pajak lokal, dengan demikian memperbanyak otonomi daerah dan akuntabilitas ke bawah pada wajib pajak lokal;

2. Meningkatkan potensi otonomi daerah dengan jalan menyediakan akses ke bea dan pajak lokal yang produktif (termasuk pajak properti), menaikkan batas tingkat pajak, memberi kebijakan diskresi tingkat pajak, dan memindahkan administrasi ke provinsi dan kota/kabupaten; dan

3. Meningkatkan efisiensi administrasi pajak daerah dengan jalan menetapkan pendekatan ‘daftar tertutup’ untuk sistem pajak dan bea daerah. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menyederhanakan perpajakan daerah dan membatasi provinsi dan kota/kabupaten hanya pada 16 pajak dan 30 bea, dengan demikian memungkinkan pemda untuk memfokuskan sumberdaya administratif mereka sendiri pada pendapatan daerah utama yang produktif, termasuk perpajakan properti. Undang-Undang ini menetapkan penyediaan sistem insentif pengumpulan yang ditentukan oleh peraturan nasional.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah,dan juga penerimaan dalam bentuk hibah baikyang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.

Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kebijakan mengenai perpajakan daerah dan retribusi daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.

Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Pertama adalah Closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal dan

Page 32: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1562

kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah. Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah:1. Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya

pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2. Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru.

3. Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak pusat, kini dialihkan menjadi pajakkabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.

4. Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

5. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan pulaketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.

6. Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

7. Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah

Page 33: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1563

yang menetapkankebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atauDBH atau restitusi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.

Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutanyang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut dengan pertimbangan,antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2.dan Tabel 3.

Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.

Tabel 2: Jenis Pajak DaerahProvinsi Kabupaten/Kota1) Pajak Kendaraan Bermotor 1) Pajak Hotel

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 2) Pajak Restoran

3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 3) Pajak Hiburan

4) Pajak Air Permukaan 4) Pajak Reklame

5) Pajak Rokok 5) Pajak Penerangan Jalan

6) Pajak Parkir

7) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

8) Pajak Air Tanah

9) Pajak Sarang Burung Walet

10) PBB Perdesaandan Perkotaan

11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Sumber: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Lebih lanjut dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi Raperda sebelum ditetapkan menjadi Perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.

Tabel 3: Jenis Retribusi DaerahJasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu

Retribusi Pelayanan Kesehatan Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah

Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Retribusi Kebersihan Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol

Retribusi KTP dan Akte Capil Retribusi Tempat Pelelangan Retribusi Izin Gangguan

Retribusi Pemakaman /Pengabuan Mayat

Retribusi Terminal Retribusi Izin Trayek

Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum Retribusi Tempat Khusus Parkir Retribusi Izin Usaha Perikanan

Retribusi Pelayanan Dasar Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa

Page 34: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1564

Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

Retribusi Rumah Potong Hewan

Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran

Retribusi Pelayanan Kepelabuhan

Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta

Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga

Retribusi Pelayanan Tera /Tera Ulang Retribusi Penyeberangan di Air

Retribusi Penyedotan Kakus Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah

Retribusi Pengolahan LimbahCair

Retribusi Pelayanan Pendidikan

Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi

Sumber : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak Tahun 2001 sampai dengan 2010, terdapat 13.623 Perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak 13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352 (13 persen) Raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.

Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan atas Perda PDRD tersebut. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:1. Pelanggaran terhadap prosedur penetapan Raperda menjadi Perda adalah berupa penundaan

DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;

2. Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode penyaluran.

Penambahan Jenis Retribusi DaerahJenis retribusi daerah lainnya yang akan ditetapkan adalah Retribusi Perpanjangan Izin

Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penerbitan perpanjangan IMTA merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan cakupan wilayah kerja tenaga kerja. Namun demikian, pada prakteknya pungutan atas penerbitan perpanjangan IMTA dilakukan oleh Pemerintah Pusat (PDRD). Ke depan, dalam rangka menata kembali fungsi dan kewenangan yang lebih akuntabel, Pemerintah Pusat tidak lagi memungut PDRD atas perpanjangan IMTA. sejalan dengan kebijakan tersebut, kewenangan pemungutan perpanjangan IMTA akan diserahkan kepada daerah dan ditetapkan menjadi salah satu jenis retribusi daerah.

Analisis Pendapatan DaerahAnalisis Pendapatan Daerah bertujuan untuk menganalisis komponen Pendapatan Daerah

sebagai sumber penerimaan daerah dalam rangka menutupi kebutuhan belanjanya. Analisis ini penting dalam rangka melihat gambaran kondisi pendapatan daerah pada 524 pemerintah provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang ditinjau dari berbagai sudut pandang.

Dalam melakukan analisis pendapatan, terdapat empat rasio yang akan dilihat secara detail, yaitu rasio pajak (tax ratio), rasio pajak per kapita (tax per capita), ruang fiskal (fiscal space), serta ketergantungan fiskal. Dua rasio pertama menyoroti pajak daerah sebagai sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah penduduk, sedangkan dua rasio terakhir membahas kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya serta kemampuan daerah dalam menghasilkan Pendapatan Daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal.

Page 35: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1565

Tabel 4: Porsi Pemerintah Daerah dalam Total Pendapatan dan Belanja Nasional (%)Porsi PAD Pemda terhadap Porsi Belanja Pemda terhadap

Negara / Tahun Pendapatan Nasional Belanja NasionalNegara Berkembang 1990an 9,3 13,8

Negara Transisi1990an 16,6 26,1

Negara OECD 1990an 19,1 34,4

Indonesia:

1989/90 4,7 16,6

1998/99 5,0 15,8

1999/2000 6,7 16,6

2000 4,6 16,2

2001 5,0 27,3

2002 7,5 36,3

2003 7,6 39,2

2004 7,9 35,2

2005 7,7 31,6

2006 6,0 33,0

2007 7,4 40,9

2008 6,6 36,2

2009 7,2 40,8

2010 7,2 39,4

2011 7,7 39,0

Sumber: Bank Dunia (2012) dan dolah dari data Kementerian Keuangan.

Tabel 5: Pendapatan Pemerintah Daerah 1999/2000 dan 2011 (miliar Rupiah)Item 1999/2000 2011

Total Pendapatan 40.912 100,0% 479. 098 100,0%

PAD Pemda 7.069 17,3% 90.393 18,9%

Pajak Daerah 5.044 12,3% 63.64 13,3%

Retribusi 1.215 3,0% 7.935 1,7%

Pendapatan Aset Yang Dipisahkan 176 0,4% 435 0,9%

Pendapatan Daerah Lainnya 633 1,5% 14.465 3,0%

Dana Perimbangan 31.113 76,0% 327.361 68,3%

DBH 5.437 13,3% 76.358 15,9%

SDO/DAU 16.525 40,4% 225.717 47,1%

Inpres/DAK 8.945 21,9% 25.287 5,3%

Pendapatan Lainnya 206 0,5% 61.344 12,8%

Sumber: Dihitung dari data Kementerian Keuangan.

Rasio Pajak (Tax Ratio)Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah

penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Sementara itu, di tingkat daerah rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki.

PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah. PDRB menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika pertumbuhannya baik akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. Ada 2 jenis perhitungan PDRB yang digunakan di Indonesia, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun dan pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Sementara itu, PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah

Page 36: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1566

barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya dan pada umumnya digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah dari tahun ke tahun. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku.

Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya dengan daerah lain.

a) Agregat Provinsi, Kabupaten dan KotaGrafik 1 menunjukkan rasio pajak agregat provinsi, kabupaten dan kota pada 33 Provinsi seluruh Indonesia. Dari grafik dapat dilihat bahwa provinsi yang mempunyai rasio pajak tertinggi adalah Provinsi Bali yaitu sebesar 3,9%. Tingginya rasio pajak ini karena penerimaan pajak daerah di Provinsi Bali cukup besar dan PDRB-nya tidak terlalu besar. Kontribusi utama penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Bali adalah dari sektor industri pariwisata.

Grafik 1: Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua yaitu sebesar 0,4%. Kondisi ini diakibatkan rendahnya penerimaan pajak daerah di provinsi tersebut. Patut disadari bahwa kewenangan perpajakan daerah yang diberikan kepada daerah memang relatif terbatas. Sumber Pajak Daerah yang cukup dominan bagi daerah memang lebih banyak bias kekotaan, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame dan lain-lain. Untuk itulah, daerah-daerah yang memang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi seperti di Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat, harus sangat jeli untuk melihat peluang, seperti melalui pengembangan potensi wisata yang dapat menghasilkan penerimaan pajak dari hotel dan restoran.

Jika dilihat dari penerimaan pajak daerahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan daerah yang memiliki penerimaan pajak daerah tertinggi. Namun demikian, PDRB Provinsi DKI Jakarta juga yang paling tinggi diantara 33 provinsi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan rasio pajak Provinsi DKI Jakarta menjadi rendah. Berdasarkan data rasio pajak di 33 provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional sebesar 1,39%. Adapun provinsi yang memiliki rasio pajak di atas rata-rata nasional sebanyak 14 provinsi Kerangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan dimensi.

b) Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-ProvinsiGrafik 2 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-

masing wilayah provinsi. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 2,3%.Tingginya rasio tersebut dapat disebabkan tingginya pajak daerah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi tersebut yang berasal dari sektor pariwisata. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah kabupaten kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Riau adalah dari sektor pertambangan yang merupakan sumber penerimaan Negara yang selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.

Page 37: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1567

Grafik 2: Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi

c) Pemerintah ProvinsiSebagaimana terlihat pada Grafik 3, untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia,

rasio pajak tertinggi dicapai oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 2,1%. Tingginya angka tersebut disebabkan tingkat PDRB Provinsi Kalimantan Selatan cukup rendah dan pajak daerah yang cukup tinggi. Sementara itu, rasio pajak terendah dari ke-33 pemerintah provinsi tersebut adalah Pemerintah Provinsi Papua (0,2%). Rendahnya rasio tersebut disebabkan karena penerimaan pajak daerah yang sangat rendah.

Grafik 3: Rasio Pajak Pemerintah Provinsi

Page 38: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1568

BAB IIIEVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN UNDANG-UNDANG TERKAIT

A. Kajian Terhadap Kebijakan dan Peraturan Perundangan PDRDDua belas tahun telah berlalu, pengalihan fungsi ke berbagai tingkatan pemerintahan

masih belum jelas, karena kelemahan dalam undang-undang desentralisasi itu sendiri. Kejelasan dalam pengalihan fungsi amat diperlukan untuk menjamin akuntabilitas pada tingkat daerah. Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 diterbitkan dengan maksud untuk mengatur perubahan hubungan administratif antar tingkat pemerintahan secara signifikan. Dalam undang-undang ini diperkenalkan sistem pemilihan langsung Kepala Pemerintah Daerah dan lebih memberikan kejelasan dalam hal fungsi kewajiban dibanding yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tetapi Peraturan Pemerintah yang mengatur pembagian fungsi-fungsi Pemerintahan ini tidak memiliki status sebagai legalitas yang kuat. Selain itu, Pemerintah Daerah masih harus menghadapi masalah karena undang-undang sektoral dan peraturan-peraturan lain masih mengandung pengertian yang bertentangan terkait dengan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan pada berbagai tingkatan pemerintahan.

Walaupun desentralisasi di Indonesia dilukiskan sebagai “Letusan Besar”, kenyataannya ternyata amat berbeda. Rangkaian reformasi pada awalnya tampak radikal apabila dibandingkan dengan upaya desentralisasi di negara lain, namun setelah reformasi berjalan, tampak jelas bahwa kemajuannya sangat tidak merata dalam berbagai bagian penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi. Selain itu, perkembangannya tidak selalu mulus dan sering terjadi kemunduran dalam Berbagai hal, reformasi yang tidak diterapkan dalam praktek, reformasi dilemahkan oleh mereka yang enggan melepaskan wewenang dan kekuasaannya, dan revisi dalam kerangka kerja yang didorong oleh kepentingan yang sempit dan dianggap oleh banyak orang sebagai suatu kemunduran.

Jumlah Pemerintah Daerah di Indonesia pada periode 2001-2010 meningkat dengan tajam. Pada tahun 1999 terdapat 26 Pemerintah Daerah Provinsi dan 340 Kabupaten dan Kota. Pada tahun 2010 terdapat 530 Pemerintah Daerah yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten, 93 Kota, 5 Kota Administratif dan 1 Kabupaten Administratif. Tanggung jawab yang tidak jelas dan saling tumpang tindih sangat mempengaruhi pelaksanaan pelayanan publik, sementara akuntabilitas dan tranparansi Pemerintah Daerah masih perlu ditingkatkan. Ketimpangan keuangan antar Pemerintah Daerah tetap dijumpai, dan sebagian besar dana dari Pusat yang ditransfer ke Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (37% dari APBN) sebagian besar habis untuk membayar gaji dan biaya administratif lainnya. Sementara itu, pengalihan dana antar tingkat pemerintahan, terutama DAK terus meningkat, pendanaan tidak secara khusus dihubungkan dengan penyediaan sumber daya tambahan untuk program penanaman modal. Hanya sedikit wewenang dalam hal perpajakan atau hak meminjam yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Tidak banyak perubahan sejak 2001, daerah-daerah yang menerima transfer dana dalam jumlah yang tidak memadai dan tidak mampu untuk menggalang sumber daya mereka sendiri untuk mengatasi kesenjangan fiskal yang ada. Dalam sistem keuangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia harus diwujudkan suatu perimbangan yang lebih baik antara pendapatan dari sumber daya sendiri dengan pendapatan yang diperoleh dari pengalihan dana antar tingkat pemerintahan. Idealnya pendapatan Pemerintah Daerah sendiri harus menjadi sumber utama perolehan Pemerintah Daerah di masa depan. Menggalang pendapatan sendiri akan meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah.

Kenyataannya, pada saat ini pendapatan yang digalang sendiri kurang dari 15% dari total APBD Kabupaten dan Kota dan proses transisi berjalan sangat lambat. Dengan alasan tersebut, sampai saat ini pendapatan Pemerintah Daerah yang digalang sendiri belum dapat memegang peranan signifikan seperti yang diharapkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang lebih kaya tampaknya dapat menggalang pendapatan sendiri, terutama untuk membiayai pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan dasar. Meskipun fokus keuangan Pemerintah Daerah terpusat pada dana perimbangan. Ketimpangan yang besar dalam hal pendapatan per kapita dan per kapita pengeluaran untuk pelayanan dasar tetap ditemui di berbagai daerah.

Sistem transfer dana dari Pemerintah Pusat ke daerah yang tidak jelas, sering menjadi halangan bagi Pemerintah Daerah dalam merancang dan menyelenggarakan pelayanan umum, terutama pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sementara itu, reformasi politik yang berlangsung di Indonesia terus mengarah ke desentralisasi, dimana Pemerintah Daerah akan menerima transfer dana desentralisasi yang lebih besar lagi untuk melaksanakan proyek pembangunan dan pelayanan publik yang besar. Proses ini akan mencakup reformasi administratif dan hukum yang dapat memfasilitasi perencanaan pada tingkat daerah terutama untuk dentifikasi peluang dan penggalangan sumber daya eksternal dan internal daerah, termasuk dana cadangan untuk memenuhi tujuan pembangunan masyarakat daerah. Walaupun demikian, proses desentralisasi di Indonesia tidak selalu efektif dalam meningkatkan pelayanan publik yang diseleggarakan oleh Pemerintah Daerah, terutama karena kurangnya pengalihan pendapatan yang sebanding, akses

Page 39: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1569

yang terbatas ke pasar keuangan, minimnya kapasitas administratif di pihak pemerintah daerah. Untuk itu agar desentralisasi di Indonesia dapat mengarah kepada akuntabilitas yang lebih besar dan dapat meningkatkan kemungkinan pelayanan pada kelompok yang dituju, maka kapasitas kelembagaan pada tingkat daerah harus ditingkatkan agar peran serta masyarakat lebih besar dan dapat juga meningkatkan akuntabilitas pihak pembuat kebijakan, penyedia layanan dan pengguna layanan.

Pajak sebagai sumber pendapatan adalah salah satu instrumen yang sangat penting dalam desentralisasi fiskal, karena mencerminkan seberapa besar otoritas pendapatan yang dimiliki suatu tingkat pemerintahan. Selain sebagai sumber pendapatan, pajak juga merupakan instrumen untuk mengelola permintaan dan penawaran barang publik lokal, instrumen untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap publik, dan instrumen untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen/publik setempat.

Penerimaan juga merupakan salah satu refleksi seberapa besar daerah dipercaya dan mempunyai kemampuan mengelola sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai pengeluarannya. Jika –untuk satu atau beberapa alasan– sumber-sumber fiskal yang penting dikonsolidasi dan dikelola di tingkat pusat, maka peran transfer akan menjadi dominan. Sedangkan jika beberapa sumber fiskal yang penting dikelola oleh daerah, maka transfer seharusnya menjadi kurang dominan.

Otoritas pajak masing-masing tingkat pemerintahan, idealnya memiliki kewenangan memungut atau administrasi, kewenangan menentukan tarif, dan kewenangan untuk menentukan jenis dan basis pajak. Dalam kenyataannya tingkat pemerintahan yang paling rendah, hanya diberikan wewenang memungut saja (delegasi).

Kondisi saat ini. Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tarif maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi.

Potensi perpajakan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota mungkin saja tidak semuanya sesuai dengan pengeluaran dan tidak semuanya memenuhi fungsi tanggung jawab pembelanjaan yang sesuai dengan regulasi, karena beberapa dari pajak ini, misalnya yang basisnya bergerak dan pajak bertingkat akan lebih baik apabila diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat untuk menjamin keseragaman. Walaupun demikian, sentralisasi tanggung jawab perpajakan di Indonesia lebih besar dari tingkat yang dapat diterima oleh pertimbangan ekonomi publik. Selain itu, Pemerintah Pusat amat bergantung kepada pajak tidak langsung, seperti misalnya PPN, cukai, pajak perdagangan luar negeri, dan pajak penerimaan migas. Pemerintah Daerah juga hanya memiliki akses terbatas kepada sumber PAD misalnya PKB dan pajak Hotel (tetapi, menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, hanya BPHTB dan PBB untuk obyek daerah pedesaan dan perkotaan dialihkan ke Pemerintah Kabupaten dan Kota). Bahkan dengan basis pajak yang terbatas, Pemerintah Daerah hanya memiliki sedikit kebebasan yang berhubungan dengan penentuan tarif dalam rentang yang terbatas. Dan akhirnya, pengalihan pajak tidak berarti pengalihan kendali atas basis pajak dan tarif pajak sepenuhnya menjadi kewenangan Pemda, Pemerintah Pusat tetap memegang kendali untuk mengontrol Pemerintah Daerah dalam kebijakan pajaknya.

Pendapatan yang berasal dari sumber PAD dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota (sebagai persentase dari keseluruhan sumber daya) hanya berada di kisaran 15% dan 40% dari masing-masing APBD Kab/Kota dan Provinsi. Ketergantungan yang tinggi pada dana perimbangan di Indonesia terus berlanjut dalam beberapa tahun terakhir dan diperkirakan akan berlanjut pada tingkat yang hampir sama pada dekade mendatang,walaupun Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota secara hukum memiliki hak untuk menyusun anggaran dan mengalokasikan pendapatan untuk kategori pengeluaran yang berbeda.

Sebagai solusi atas permasalahan ketidakjelasan taxing power di masa lalu, termasuk terjadinya pengenaan pajak daerah yang distortif dan rendahnya perolehan pajak Pemerintah Daerah, Pemerintah pada tahun 2009, mengubah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Undang-Undang yang baru ini memuat daftar pajak daerah dan restribusi daerah, yang boleh dipungut oleh Daerah (Closed-List) dalam rangka mengurangi beban administratif dalam proses pengkajian dan mencegah praktek perpajakan yang tidak efisien. Undang-Undang ini juga mengalihkan PBB objek pedesaan dan perkotaan dan BPHTB ke Pemerintah Kabupaten/Kota.

Wewenang yang terkandung pada Pemerintah Daerah untuk menciptakan sumber pendapatan mereka sendiri dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-UndangNomor 33 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Kewenangan perpajakan dibagi di antara berbagai tingkat kewenangan pemerintahan yaitu, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pada saat ini, Pemerintah Provinsi diberikan kekuasaan untuk memungut lima jenis pajak yaitu Pajak Kendaran Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Page 40: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1570

Bermotor, Pajak Air dan Cukai Rokok. Sementara itu, Pemerintah Daerah kabupaten/kota berhak memungut sebelas jenis pajak. Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Listrik, Pajak Mineral Non-Metal dan Batu, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan objek Pedesaan dan Perkotaan, dan BPHTB. Semua ini berdasarkanUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.

Merancang kebijakan pendapatan Negara dan Daerah merupakan tantangan yang sulit. Hal ini diawali dengan tantangan untuk memastikan bahwa yurisdiksi daerah tidak memindahkan pendanaan untuk barang publik mereka ke wilayah yang berdekatan untuk mendapatkan manfaat dari pajak yang dapat dipindahkan ke sana. Apabila prosedur semacam ini dimungkinkan, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota akan mendapatkan insentif untuk meningkatkan penyediaan barang publik mereka melebihi tingkat optimal yang akhirnya berujung pada kompetisi pajak antar daerah. Oleh karena itu dari sudut pandang teori normatif, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota hanya harus menerima pengalihan pajak yang dampaknya terbatas pada perbatasan wilayah yang bersangkutan, yaitu pajak yang dapat didentifikasi secara jelas dan memiliki basis wilayah yang relatif stabil.

Langkah awal yang dilakukan untuk memperbaiki struktur keuangan daerah salah satunya adalah dengan menyerahkan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah. Jika ditelaah lebih jauh sebenarnya karakteristik kedua jenis pajak ini merupakan pajak daerah, paling tidak jika dillihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan. Namun demikian, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan, pemberian hasil penerimaan (sharing tax) dan pengelolaan administrasinya masih berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan Undang-Undang 28 Tahun 2009, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan penyerahan ini, BPHTB dan PBB-P2 diharapkan akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah, dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah yang selama ini telah ada.

Beberapa dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan (devolution) BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah, antara lain, pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak tersebut diharapkan akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services), akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Keempat, bahwa berdasarkan praktek di berbagai negara, BPHTB dan PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.

Diserahkannya pemungutan BPHTB dan PBB-P2 kepada daerah, tidak hanya sekedar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, namun juga untuk lebih mengefektifkan pengelolaan BPHTB dan PBB-P2. Pemerintah Daerah tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya dan mengetahui apa yang terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat setempat. singkatnya dengan dialihkannya BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah diharapkan pelayanan kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel.

Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholder tetap terjaga selama masa peralihan, maka proses dalam masa peralihan menjadi hal yang paling penting untuk dipikirkan dan direncanakan secara cermat. Kunci sukses pelaksanaan devolusi BPHTB dan PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah, antara lain adalah: (1) Proses peralihan kewenangan pemungutan BPHTB dan PBB-P2 berjalan lancar dengan

harga (cost) yang minimal, baik untuk pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;

(2) stabilitas penerimaan BPHTB dan PBB-P2 bagi Pemerintah Daerah tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat ditekan seminimal mungkin sehingga daerah tidak banyak kehilangan penerimaan dengan adanya pengalihan tersebut;

(3) Masyarakat sebagai Wajib Pajak tidak merasakan adanya perubahan pelayanan atau bahkan dapat merasakan adanya peningkatan yang signifikan dalam hal kualitas dan kecepatan pelayanan.

Negara yang melaksanakan reformasi unuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial, yang ditujukan untuk mempermudah pertumbuhan ekonomi dan peluang kerja melalui sektor swasta, yang dilengkapi dengan reformasi di sektor publik untuk meningkatkan tata kelola pemerintahaan dan efisiensi penyediaan pelayanan publik sesuai dengan preferensi masyarakat lokal. Reformasi pengelolaan berbagai sektor publik difokuskan pada rekayasa teknis ulang, privatisasi dan desentralisasi pemerintah sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas penyediaan pelayanan publik.

Reformasi desentralisasi yang sedang berjalan difokuskan pada: peningkatan efisiensi dan akuntabilitas penyediaan pelayanan publik, pengembangan distribusi pelayanan dan sumberdaya yang adil ke seluruh bagian dari setiap negeri, dan peningkatan tata kelola yang

Page 41: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1571

lebih responsif dan akuntabel. Dengan membawa keputusan penyediaan pelayanan dasar publik yang lebih dekat kepada masyarakat. Pemerintah berusaha untuk memberdayakan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dalam penentuan prioritas, pelaksanaan dan pemantauan belanja pemerintah untuk mendorong pengelolaan sumberdaya publik yang lebih efisien, akuntabel dan transparan terkait desain dan penyediaan pelayanan publik.

Berbagai reformasi desentralisasi menerapkan kombinasi komponen politik, administratif dan fiskal. Mekanisme akuntabilitas politik, serta kapasitas kelembagaan administratif dan tanggung jawab fiskal dan sumberdaya yang ditetapkan dengan jelas, sangat penting artinya bagi keberhasilan pembangunan. Dari sisi politik, pemerintah daerah harus memiliki mekanisme untuk bersikap responsif terhadap masyarakat lokal. Dari sisi administratif, Pemda harus memiliki kapasitas untuk menyusun perencanaan, anggaran, penyediaan dan akun untuk pelayanan pemerintahan. Dari sisi fiskal, pemda harus memiliki tanggung jawab belanja yang jelas dan pilihan pendapatan, termasuk pendapatan asli daerah yang tepat, akses ke transfer antar pemerintah dan kejelasan pilihan peminjaman subnasional. Komponen politis, administratif dan fiskal ini perlu dirancang, dilaksanakan dan dipadukan untuk menghasilkan kerangka pelaksanaan reformasi desentralisasi yang sukses dan berkelanjutan.

Keberhasilan desentralisasi fiskal tergantung pada empat pilar desentralisasi fiskal secara efektif, yakni: alokasi fungsi ke beberapa tingkat pemerintah, alokasi tanggung jawab pendapatan, desain sistem transfer antar pemerintah, dan kebijakan sistem pinjaman subnasional yang tepat. Di antara para ahli desentralisasi ada kesepakatan bahwa, idealnya, ”keuangan harus mengikuti fungsi (money follow functions),” yang menyiratkan bahwa pemerintah harus menentukan dengan jelas tanggung jawab belanja untuk setiap tingkat pemerintah sebelum menetapkan struktur pembiayaan dan campuran pendapatan dan hibah antar pemerintah dan kemampuan untuk meminjam. Selain itu, beberapa komponen reformasi harus ditentukan urutannya dan dirancang dengan tepat sesuai konteks spesifik negeri untuk memaksimalkan peluang keberhasilan pencapaian tujuan reformasi.

Persyaratan dasar bagi keberhasilan desentralisasi adalah kecukupan sumber pendapatan untuk mendanai tanggung jawab belanja yang dialokasikan ke pemda. Umumnya sumber pendapatan ini berasal dari bea pengguna, pajak lokal, pajak bagi hasil dan transfer antar pemerintah. Campuran struktur pembiayaan dan jumlah yang tepat berbeda-beda di setiap negara dan waktu, tergantung sifat dan cakupan tanggung jawab belanja yang diberikan ke setiap tingkat pemerintah.

Di sebagian besar negara, keuangan desentralisasi didominasi oleh transfer antar tingkat pemerintahan dan bagi hasil pajak/sumber daya alam. Pemda di sebagian besar negara berkembang cenderung bergantung pada 60–80% transfer pendapatan dari pemerintah pusat, sedangkan pendapatan asli daerah (PAD)—yang bisa meliputi bea pengguna dan pajak lokal—cenderung kecil. Menemukan keseimbangan dan struktur transfer pusat dan pendapatan lokal yang tepat, merupakan tantangan utama dalam reformasi desentralisasi.

Transfer antar tingkat pemerintahan dan bagi hasil pajak/ sumber daya alam dan pendapatan asli daerah, masing-masing memainkan peran penting, peran yang lain sama sekali dalam desentralisasi. Transfer antar pemerintah/pajak bagi hasil distruktur untuk menangani ketidakseimbangan fiskal secara vertikal dan horizontal dalam negara. Selain tujuan politik yang kuat, transfer antar pemerintah/pajak bagi hasil bisa dirancang untuk membantu menyeimbangkan kebutuhan pendanaan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, mewujudkan kesetaraan horizontal antar berbagai pemda dengan kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal yang berbeda-beda, meningkatkan penyediaan barang-barang bernilai prioritas nasional, dan mengimbangi limpahan antar yurisdiksi.

Pendapatan asli daerah, walau sering kali kecil, juga sama pentingnya untuk mendukung reformasi desentralisasi melalui peningkatan otonomi daerah, akuntabilitas pemerintahan, kepemilikan dan tanggung jawab, sambil menyediakan sumber penting dana tambahan untuk anggaran daerah.

Yang terakhir, adalah kombinasi pendapatan pemerintah pusat dan pendapatan daerah yang memberikan paket sumberdaya yang diperlukan untuk mendanai pelayanan pemda. Meskipun transfer pemerintah pusat dan bagi hasil pajak / sumber daya alam di mana-mana mengakui pentingya pendapatan asli daerah untuk memastikan pencapaian tujuan desentralisasi, tata kelola pemerintahan yang baik, otonomi dan akuntabilitas. Karena itu pemerintah pusat seyogyanya mencari pilihan-pilihan untuk melaksanakan kebijakan pendapatan daerah dan reformasi administrasi pendapatan daerah untuk meningkatkan mobilisasi pendapatan daerah. Banyak hambatan dalam memobilisasi lebih banyak pendapatan daerah. Hambatan ini timbul karena masalah politik, kelembagaan dan administratif dari pemerintah pusat dan daerah. Karena itu, langkah-langkah reformasi perlu mencantumkan pendekatan yang komprehensif, yang menangani lingkungan politik dan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah.

Langkah reformasi harus memastikan bahwa pemerintah pusat memberikan instrumen pendapatan daerah yang mencukupi dan produktif ke pemda, disertai hambatan akuntabilitas untuk memengaruhi kebijakan pajak dan administrasi pendapatan. Reformasi harus didesain untuk mengurangi campur tangan langsung dan tidak langsung yang berlebihan dari pemerintah

Page 42: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1572

pusat. Reformasi juga harus didesain untuk mengatasi sikap apatis pemerintah pusat terhadap pembentukan keseimbangan yang tepat antara campur tangan dan dukungan pemerintah pusat bagi pemda, yang diperlukan untuk mendorong mobilisasi pendapatan daerah.

Kondisi yang diharapkan. Salah satu masalah penting dalam pajak daerah adalah belum diberikannya sumber pajak yang cukup signifikan untuk dijadikan andalan pendapatan daerah dan instrumen untuk merespon permintaan barang publik lokal dan akuntabilitas terhadap pemilih. Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

Penjabaran strategi. Secara umum, terdapat tiga strategi utama guna memperbaiki kondisi perpajakan daerah saat ini, yaitu harmonisasi pajak pusat dan daerah, optimalisasi perpajakan daerah, dan pengkondisian perpajakan daerah yang tidak distortif terhadap perekonomian.

Hal penting yang harus menjadi perhatian dalam isu perpajakan adalah harmonisasi pajak daerah dan pusat. Karena basis pajak pada dasarnya tidak berubah atau bertambah dengan adanya jenis pajak baru, maka harus dihindari terjadinya pajak ganda (double-taxation) yang disebabkan pusat dan daerah sama- sama memungut pada basis pajak yang sama. Harmonisasi juga berarti baik pusat maupun daerah mempunyai sumber fiskal yang memadai sesuai dengan tugas pembiayaan yang diemban masing-masing. Harmonisasi ini juga tidak terlepas dari kerangka penerimaan total (termasuk transfer) dan pembagian beban belanja pusat-daerah (expenditure assignment). Alokasi kewenangan pajak ke daerah akan mempengaruhi besaran transfer dan juga pembagian beban belanja belanja.

Salah satu jenis pajak yang penting adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang sampai saat ini secara formal dimiliki sepenuhnya oleh pusat. Tetapi beberapa pajak daerah seperti pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, sebenarnya adalah varian dari PPN walaupun secara formal tidak dinamakan sebagai PPN. Dalam jangka panjang, diharapkan ada pembagian jenis PPN yang dimiliki pusat dan yang dimiliki daerah. Pembagian wewenang ini tentunya mempertimbangkan jenis komoditas/jasa yang dipungut PPN-nya, pada tingkat pemerintahan mana pengelolaan PPN ini akan optimal dan bagaimana mekanisme bagi-hasilnya jika ada.

Satu hal yang terkait erat dengan harmonisasi pajak pusat dan daerah adalah Local taxing power yang lebih optimal. Dengan memandang basis pajak secara utuh, maka ada peluang untuk melakukan redefinisi istilah perpajakan yang lebih tepat dan melakukan pengelompokan ulang basis pajak ini untuk kemudian dipetakan pembagian pungutan pajak yang dapat dilakukan pusat, daerah, atau berbagi antara pusat dan daerah. Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah menerapkan sistem opsen untuk PPh. Sistem opsen ini selain sebagai sumber pendapatan, juga dapat menjadi instrumen daerah untuk berkompetisi sekaligus latihan bagi daerah untuk mengelola PPh. Pajak daerah yang baik tidaklah harus banyak jumlahnya, namun yang lebih penting adalah signifikan hasilnya. Kedepan, pajak di daerah tidak perlu banyak tapi yang penting adalah menguatkan perpajakan daerah. Satu hal penting yang harus selalu diingat dalam optimalisasi local taxing power adalah bahwa desain desentralisasi fiskal di Indonesia menghendaki adanya pajak daerah yang mampu memberikan hasil yang signifikan, bukan pajak daerah yang dominan.

Hal penting lainnya adalah menjaga agar pajak daerah tidak distortif terhadap perekonomian daerah. Redesain pajak juga sebaiknya diintegrasikan dengan perbaikan iklim usaha, yaitu simplifikasi perizinan usaha. Saat ini banyak daerah masih menerapkan berbagai pungutan untuk mendapatkan izin usaha. Walaupun makin banyak daerah yang mempunyai Sistem Pelayanan Satu Pintu/Jendela (OSS = One Stop Service), tetapi pada tataran implementasi, masih banyak OSS yang tidak secara signifikan mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perizinan usaha memang dapat diurus melalui satu jendela, tetapi tetap terdapat beberapa jenis perizinan yang diperlukan dan masing-masing membutuhkan biaya.

Pajak Pengelolaan Usaha (business tax) dapat menjadi suatu instrumen yang berperan ganda: sebagai sumber pendapatan daerah, dan sebagai alat untuk menyederhanakan perizinan usaha di daerah tanpa menghilangkan unsur pengawasan dan pelaporan. Investor tidak perlu membayar biaya-biaya perizinan atau perpanjangannya secara terpisah-pisah, cukup melakukan pembayaran dalam satu jenis pajak ini. Daerah juga dapat mendesain tarif pajak ini sehingga tidak memberatkan dunia usaha sekaligus sebagai alat untuk meningkatkan daya saing daerah.

Dengan kenyataan bahwa daerah di Indonesia sangat beragam kemampuan dan kapasitas pemerintahan daerahnya, dalam desain pajak untuk daerah perlu dilakukan dua hal sekaligus: pertama, adanya pre-kondisi minimum untuk menjamin tidak adanya distorsi ekonomi akibat pemberian wewenang pajak tertentu ke daerah, dan kedua, pusat membantu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam pemahaman ekonomi perpajakan dan kemampuan teknis administrasi perpajakan. Adanya pre-kondisi atau prasyarat minimum ini memungkinkan pengalihan pajak ke daerah menjadi tidak seragam dan serentak, tergantung kesiapan daerah masing-masing.

Page 43: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1573

B. Sinkronisasi, Harmonisasi, dan Rencana Aksi Penerapan Peraturan Perundangan PDRDRencana aksi penggantian Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan pada bagian terdahulu, diperlukan penerapan strategi yang komprehensif dalam rangka peningkatan tax-ratio yang mencerminkan upaya perpajakan (tax effort) baik pajak pusat maupun pajak daerah. Guna mendukung penerapan startegi tersebut di atas secara baik, maka dalam jangka yang lebih pendek perlu segera diterapkan beberapa kebijakan sebagai berikut:1. Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan pajak ke

daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.

2. Mempercepat masa transisi pengalihan PBB Objek Perkotaan, Pedesaan dan Perkebunan, dilanjutkan optimalisasi penerimaan PBB P-3 melalui perbaikan administrasi PBB dan BPHTB

3. Menerapkan sistem piggyback (opsen) untuk beberapa jenis pajak tertentu, terutama Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, PPh, PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi.

4. Menerapkan Pajak Wisatawan Asing dan menetapkan Bea Meterai menjadi Pajak Daerah Provinsi.

5. Menerapkan Pajak Warisan dan Hibah sebagai Pajak Daerah kabupaten/kota;6. Merekonstruksi basis pajak-pajak tertentu untuk mendukung pemeliharaan lingkungan

dan ekonomi hijau (green economy) antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.

7. Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak dengan memberikan ceiling tertentu dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.

8. Menyelaraskan penguatan pajak daerah dan retribusi daerah dengan kewajiban belanja daerah sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik dan besaran transfer dari pusat.

9. Membentuk susunan, dan tata kerja Komite Kode Etik10. Membentuk susunan, dan tata kerja Komite Pengawas Perpajakan Daerah.

Perincian ruang lingkup materi muatan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru, disampaikan pada Bab V.

Page 44: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1574

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

BAB IV LANDLOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDISA. Landasan Filosofis

Landasan filosofis dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan suatu rechtidee (cita hukum) yang merupakan konstruksi pikir (ide) yang mengarahkan hukum kepada apa yang dicita-citakan. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar yang tertulis (droit constitution) yang tidak saja memuat pasal-pasal yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tetapi juga harus dimaknai bagaimana prakteknya, bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) serta pokok-pokok pikiran yang bersifat filosofis terutama yang terkandung dalam “Pembukaan” Undang-Undang Dasar tersebut.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) menetapkan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar. Artinya, Presiden merupakan penyelenggara Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab sepenuhnya berada pada Presiden. Dalam Alinea Kedua Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan tugas konstitusional Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah…” melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Selanjutnya dalam pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa… “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”.

Penyelengggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak negara antara lain Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang harus dikelola dalam system pengelolaan keuangan negara dan daerah. Tujuan inilah yang harus menjadi acuan utama dari seluruh gerak langkah yang dijalankan oleh negara dalam arti yang seluas-luasnya. Kemudian dalam kaitannya dengan aspek kesejahteraan juga disebutkan bahwa disebutkan pula kata atau frasa kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pendiri bangsa sadar benar akan hal ini karena kecerdasan adalah merupakan juga bentuk kesejahteraan yang bersifat psikis. Dengan demikian maka lengkaplah makna kesejahteraan ini seperti yang sering disampaikan oleh para bijak dan cendekiawan bahwa kesejahteraan itu bukan saja menyangkut aspek kesejahteraan lahir akan tetapi juga meliputi kesejahteraan batin.

Secara filosofi pembuatan suatu peraturan perundang-undangan adalah untuk menciptakan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, objektivitas, perlindungan hukum terhadap objek yang diatur, dan sebagainya, dalam suatu bidang kehidupan tertentu. Demikian pula upaya dalam rangka penggantian Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Guna menjaga hal di atas berlangsung sesuai dengan keinginan dan cita-cita maka seluruh pemangku kepentingan harus senantiasa menjaga dan selalu melakukan sinkronisasi terhadap landasan di atas agar dalam langkah gerak yang semakin cepat ini negara tidak salah melangkah atau terjadi disorientasi dari kerangka landasan ini.

Pembangunan hukum dalam bentuk penciptaan undang-undang baru, perubahan ataupun penggantian harus terus dilakukan secara terus menerus disesuaikan dengan perkembangan jaman, manakala sebuah ketentuan peraturan perundang undangan dirasa sudah tidak sesuai dengan tuntutan kenegaraan maka terhadap ketentuan perundang undangan tersebut dapat segera diubah dan diperbaiki dengan tetap mengacu dan berorientasi kepada tujuan utama negara yaitu menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Landasan filosofi bagi pembentukan undang apapun adalah makna yang terkandung dalam mukadimah Undang Undang Dasar Tahun 1945 yaitu harus fokus kepada upaya peningkatan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia menyangkut kesejahteraan lahir dan batin.

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan didirikannya negara kesatuan republik Indonesia antara lain adalah mensejahterakan warga negaranya. Kesejahteraan dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan bidang hukum diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan pembangunan menjadi terarah kepada tujuan yang sebelumnya telah ditentukan. Sebagai negara hukum berdasarkan konstitusi maka segala aktivitas kenegaraan harus dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku agar aktivitas berjalan sesuai dengan yang diinginkan dan tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Secara skematis maksud didirikannya negara dan tujuannya dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Tujuan Negara2. Pembangunan merupakan proses pencapaian tujuan

Page 45: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1575

Skema. Negara dan Tujuannya

Berdasarkan skema 2 tersebut di atas jelas memperlihatkan bahwa sampai dengan saat ini satu-satunya cara dalam mencapai tujuan negara adalah melalui pembangunan belum diketemukan cara lainnya selain dengan cara pembangunan. Pembangunan dalam kontek mencapai tujuan negara meliputi pembangunan semua aspek termasuk di dalamnya aspek pembangunan hukum melalui undang-undang. Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah salah satu aspek kecil dari keseluruhan aspek yang sangat besar yang diharapkan dapat menjadi pijakan atau fundamental yang kokoh yang memperkuat dan dapat mengakselerasi percepatan pencapaian tujuan dari negara, khususnya melalui pemberdayaan pemerintahan daerah yang harus ditopang melalui pembagian sumber-sumber pendapatan asli daerah terutama dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pembangunan hukum seperti yang telah dicanangkan baik dalam GBHN maupun dalam RPJMN dan RPJP harus diarahkan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan negara, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan bidang hukum yang memiliki implikasi meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai sistem ketatanegaraan antara lain harus mengubah segala peraturan perundang-undangan yang kurang mendukung upaya pemberian diskresi yang lebih luas kepada Daerah antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Salah satu ciri utama daripada PDRD merupakan beban bagi penerima manfaat atas pelayanan yang diberikan oleh daerah. Dana yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber PDRD dipergunakan untuk menjalankan fungsi penyediaan barang publik yang berskala lokal (local public goods). Pemerintah Daerah memperoleh PDRD yang digunakan untuk menyediakan barang publik, atau dinamakan barang kolektif (social-public goods). PDRD juga merupakan refleksi keadilan ekonomi karena perwujudan redistribusi kesejahteraan (redistribution of wealth), yaitu suatu proses yang memungkinkan transfer kesejahteraan dan pendapatan dari satu individu ke individu lainnya melalui mekanisme-mekanisme sosial. Oleh karena itu, PDRD menjadi penting bagi integrasi tata kelola kenegaraan (state governance), khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan.

Selain itu, PDRD juga merupakan perwujudan kedaulatan ekonomi (economic sovereignty) negara. Kedaulatan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu negara dengan pemerintahan, rakyat dan wilayah yang terbebas dari pengaruh dari negara lain, serta negara mampu menentukan dan mendefinisikan kepentingan-kepentingan nasional tanpa tekanan dari luar. Sumber-sumber PDRD secara empiris memungkinkan negara melalui pemerintah daerah menjalankan pembangunan daerah dengan menggunakan uang sendiri, bukannya dengan utang atau hibah luar negeri. Seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “... dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” maka pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Dengan demikian sumber-sumber penerimaan dari sektor perpajakan dan PDRD adalah instrumen negara untuk mencapai kemerdekaan ekonomi yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.\

Secara garis besar landasan filosofis diterbitkannya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini adalah berdasarkan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan bahwa, “pajak dan pungutan lain yang bersiafat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

B. Landasan SosiologisBerdasarkan berbagai penelitian, Negara Republik Indonesia telah memasuki tingkat

kesejahteraan yang lebih baik, yang dikenal sebagai bangsa berpendapatan menengah dan memiliki tingkat pendidikan semakin tinggi, serta mempunyai kehidupan politik yang semakin demokratis yang rakyatnya punya kesadaran politik semakin tinggi. Dalam kondisi seperti tersebut penduduk Indonesia akan membutuhkan pelayanan publik yang semakin baik, semakin terjangkau dan bermutu tinggi, terutama pelayanan dasar di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan bermutu tinggi, sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik. Untuk mememenuhi kebutuhan

NEGARA

TUJUAN NEGARA

PEMBANGUNAN

Page 46: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1576

pelayanan publik yang setara dengan negara maju lainnya, sangat diperlukan dukungan sumber-sumber penerimaan negara dan daerah termasuk didalamnya sumber-sumber penerimaan yang berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan perekonomian, ketatanegaraan, tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, serta untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik yang berskala lokal yang terbaik sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti, terutama dalam kaitannya dengan perubahan paradigma yang ditandai dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, serta Undang-Undang yang terkait dengan rezim keuangan dan otonomi daerah. Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, antara lain menyatakan pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Hal ini telah membawa konsekuensi perubahan dalam sistem sosial dan ketatanegaraan di Indonesia.

Luas wilayah dan keberagaman adat dan kebiasaan serta potensi ekonomi di Indonesia turut melandasi perubahan di atas. Sebagai negara kepulauan Indonesia telah diikat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, semboyan tersebut dari waktu ke waktu harus terus dijadikan orientasi perjuangan mencapai kesejahteraan yang diinginkan. Kesejahteraan yang diinginkan adalah kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah tanah air dari sabang sampai merauke dan dari pulau Mianggas sampai pulau Rote. Kesejahteraan bukan hanya milik warga Ibu Kota Negara Jakarta, akan tetapi harus menjadi milik bersama agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Preferensi masyarakat Indonesia yang beragam memberikan implikasi pada kebutuhan barang publik yang berskala lokal berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Pada gilirannya pemenuhan permintaan barang publik yang berskala lokal tersebut dalam jangka menengah dan panjang harus dipenuhi dari sumber-sumber penerimaan yang berasal dari masyarakat, terutama bersumber dari PDRD.

Negara kepulauan yang telah menjadi satu kesatuan tersebut walaupun di dalamnya terdapat banyak keanekaragaman budaya, bahasa adat serta kebiasaan memiliki bentuk hak dan tanggung jawab yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin. Upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial harus dialakukan ke seluruh peloksok tanah air dan tidak hanya berfokus pada satu wilayah tertentu agar keadilan sosial yang merata dapat dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia.

Guna mewujudkan hal tersebut maka seluruh pembangunan dalam segala bentuknya harus juga menjangkau seluruh wilayah yang ada. Otonomi dan desentralisasi yang kini sudah bergulir sangat diharapkan menampakkan wujudnya dalam bentuk upaya mewujudkan kesejahteraan. Otonomi dan desentralisasi saat ini adalah capaian terbaru yang harus senantiasa dikembangkan sampai kesejahteraan itu benar nyata terwujud dalam masyarakat Indonesia.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara antara lain berupa penyelenggaraan pelayanan publik dan pemberian izin dalam pengelolan sumber daya alam yang pada gilirannya menimbulkan hak negara/daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik, pemberian izin, dan berbagai penyelenggaraan pemerintahan lainnya yang menimbulkan hak negara dan daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang harus dikelola secara terbuka, bertanggung jawab, sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem PDRD yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan diwujudkan dalam APBN dan APBD.

C. Landasan YuridisDalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan menciptakan sistem

pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang lebih sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang terkait erat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan peraturan terkait lainnya baik langsung maupun tidak langsung dengan PDRD.

Berdasarkan hasil kajian maka terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disarankan untuk diganti dengan tetap mempertahankan

Page 47: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1577

pasal-pasal yang masih relevan, mengganti pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai ditambah dengan hasil kajian yang menemukan formulasi PDRD yang bercirikan harmonisasi struktur perpajakan baik nasional maupun daerah.Pengaturan PDRD harus memiliki landasan yang kuat dalam pemungutan pajak maupun retribusi, berpegang teguh pada prinsip keadilan di bidang perpajakan, membangun kepercayaan masyarakat pada sistem administrasi perpajakan daerah, prinsip proporsionalitas dan kemampuan membayar (ability to pay), prinsip nonretroactivity, mengedepankan hak-hak dan kewajiban wajib pajak dan upaya penguatan aspek legal dalam pengenaan PDRD.

Judul Undang-Undang yang diusulkan adalah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang mengatur PDRD secara komprehensif. Apabila rancangan undang-undang ini telah diundangkan, maka hal ini akan memperkuat sistem otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan mengurusi rumah tangganya masing dengan sumber pendanaan yang memadai, setidaknya lahir sumber pendapatan baru melalui undang-undang yang akan dibuat.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, pertimbangan yuridis diterbitkannya undang-undang PDRD ini, didasarkan pada fakta hukum bahwa peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu melaksanakan amanat konstitusional dalam pengaturan pungutan negara/daerah yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang.

Page 48: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1578

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

A. Sasaran, Arah dan Jangkauan Pengaturan Rancangan Undang-Undang PDRD.Dalam upaya menggantikan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, secara umum sasaran yng hendak dicapai adalah Pemerintah Daerah secara gradual diupayakan mempunyai sumber daya fiskal yang signifikan untuk menunjang tugas otonominya tanpa membuat Pemerintah Pusat menghadapi fiscal space yang makin terbatas, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas perekonomian. Untuk itu upaya menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan merupakan prasyarat mutlak. Pengalihan pajak pusat ke daerah dimaksudkan untuk mengkoreksi vertical imbalance dan tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan APBN.

Salah satu upaya jangka pendek dan menengah dalam rangka memperkuat kapasitas fiskal daerah khusunya kabupaten/kota diupayakan untuk mempercepat masa transisi pengalihan PBB Objek Perkotaan, Pedesaan dan Perkebunan, dilanjutkan optimalisasi penerimaan PBB P-3 melalui perbaikan administrasi PBB dan BPHTB.

Selain itu untuk mencapai keseimbangan fiskal perlu adanya penguatan Pajak Daerah tanpa merusak prinsip efisiensi secara nasional. Penguatan local taxing power harus diupayakan dari waktu ke waktu. Dalam kerangka pemikiran ini Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru mengusulkan penerapan sistem piggyback (opsen) untuk beberapa jenis pajak tertentu, terutama Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, PPh, PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah yang baru juga memperkenalkan penerapan Pajak Wisatawan Asing dan menetapkan Bea Meterai menjadi Pajak Daerah Provinsi.

Penguatan kemampuan fiskal daerah tidak hanya diberikan kepada pemerintah daerah provinsi, juga diberikan kepada perintah daerah kabupaten/kota, melalui penerapan Pajak Warisan dan Hibah sebagai Pajak Daerah kabupaten/kota. Disamping itu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan perluasan basis pajak yang berorientasi pada pemeliharaan/perlindungan lingkungan melalui rekonstruksi basis pajak-pajak tertentu untuk mendukung pemeliharaan lingkungan dan ekonomi hijau (green economy) antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.

Secara umum daerah juga diberikan wewenang menentukan tarif pajak dengan memberikan ceiling tertentu dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi. Dengan penguatan kapasitas fiskal daerah dalam jangka menengah dan panjang yang lebih baik, maka penyelarasan penguatan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, harus diikuti dengan kewajiban belanja daerah sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik dan besaran transfer dari pusat.

Dari aspek pengaturan ketentuan formal, Undang-Undang ini secara eksplisit mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan daerah, terutama yang menyangkut sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan daerah yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang ini dengan sedapat mungkin menerapkan sistem self-asessment untuk pajak daerah dalam jangka menengah dan panjang. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, kesederhanaan, efisiensi dalam administrasi perpajakan dan retribusi daerah, edukasi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan secara suka rela dan tetap memperhatikan upaya peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah dengan meminimalkan distorsi terhadap kegiatan perekonomian, maka perubahan mendasar yang mewarnai Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan pajak ke daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.

2. Mempercepat masa transisi pengalihan PBB Objek Perkotaan, Pedesaan dan Perkebunan, dilanjutkan optimalisasi penerimaan PBB P-3 melalui perbaikan administrasi PBB dan BPHTB

3. Menerapkan sistem piggyback (opsen) untuk beberapa jenis pajak tertentu, terutama Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, PPh, PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi.

4. Menerapkan Pajak Wisatawan Asing dan menetapkan Bea Meterai menjadi Pajak Daerah Provinsi.

5. Menerapkan Pajak Warisan dan Hibah sebagai Pajak Daerah kabupaten/kota;

Page 49: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1579

6. Merekonstruksi basis pajak-pajak tertentu untuk mendukung pemeliharaan lingkungan dan ekonomi hijau (green economy) antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.

7. Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak dengan memberikan ceiling tertentu dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.

8. Menyelaraskan penguatan pajak daerah dan retribusi daerah dengan kewajiban belanja daerah sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik dan besaran transfer dari pusat.

9. Meningkatkan efisiensi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam rangka mendukung APBD.

10. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing perekonomian daerah.;

11. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara lain mengubah putusan keberatan pajak dari Kepala Daerah ke Pengadilan Pajak, mengurangi sanksi administrasi dalam Putusan Keberatan dan Banding apabila permohonan Wajib Pajak Ditolak dari masing-masing sebesar 50% (lima puluh perseratus) dan 100% (seratus per seratus, menjadi masing-masing 25% (dua puluh perseratus) dan 50% (lima puluh perseratus serta mempermudah proses pengajuan Pengembalian Kelebihan Bayar Pajak yang harus diselesaikan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan;

12. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;13. Meningkatkan penerapan prinsip self assessment untuk pajak daerah seperti Pajak

tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi, Pajak Hotel, Pajak Restoran, secara akuntabel dan konsisten; dan

14. Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif;B. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang PDRD.

Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan di atas, maka ruang lingkup materi yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada dasarnya mencakup (1) Ketentuan Umum, yang memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah dan frasa yang berkaitan dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; (2) Materi yang Akan Diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; (3) Keterntuan Sanksi; (4) Ketentuan Peralihan.

a) Ketentuan Umum yang Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Ketentuan Umum yang terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah terdiri atas 81 (delapan puluh satu) konsep dan definisi yang sering diuraikan dalam batang tubuh Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, adalah sebagai berikut:1. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah, Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.

7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundangan.

8. Peraturan Daerah adalah peraturan perundangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

9. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.

Page 50: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1580

10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

11. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

12. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen.

14. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

15. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.

16. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.

17. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.

18. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.

19. Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, yang meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya adalah pajak tambahan atas Cukai Hasil Tembakau, yang meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya.

20. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.21. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait

lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 15 (lima belas).

22. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut

bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

24. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.25. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian

yang dinikmati dengan dipungut bayaran.26. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.27. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya

dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.

28. Pajak Listrik adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

29. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

30. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundangan di bidang mineral dan batubara.

31. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

32. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.33. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.34. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah

Page 51: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1581

permukaan tanah.35. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau

pengusahaan sarang burung walet.36. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap

haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.37. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah pajak

atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan, dan pertambangan.

38. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.

39. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.

40. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

41. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

42. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

43. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan bangunan.

44. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.45. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong

pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

46. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.

47. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

48. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

49. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.

50. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

51. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

52. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

53. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

54. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.

55. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

56. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

57. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah

Page 52: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1582

surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

58. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

59. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

60. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.

61. Putusan Keberatan adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

62. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Putusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

63. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

64. Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP) yang adalah Penerimaan Bukan Pajak yang harus dibayar kepada Pemerintah Daerah Provinsi, kabupaten/kota pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan perundangan yang berlaku;

65. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah bagian dari Penerimaan Daerah Bukan Pajak berupa pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan;

66. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

67. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

68. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

69. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

70. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.

71. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

72. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

73. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.

74. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

75. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat

Page 53: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1583

untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

76. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.

77. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

78. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang disebut dalam Undang-Undang ini.

79. Pajak Hibah dan Warisan adalah pajak yang dikenakan atas hibah dan warisan yang disebut dalam Undang-Undang ini.

80. Pajak Wisatawan Asing adalah pajak yang dikenakan atas wisatawan asing yang disebut dalam Undang-Undang ini.

81. Pajak Pencemaran lingkungan adalah pajak yang dikenakan atas industri yang berdampak pada pencemaran lingkungan hidup sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan.

b) Materi yang Diatur Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahAdapun materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah adalah:1. Jenis Pajak Provinsi sebanyak delapan jenis terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor,

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, Pajak tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi, Pajak Wisatawan Asing, dan Bea Meterai.

2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Listrik, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Warisan dan Hibah, dan Pajak Pencemaran Lingkungan.

3. Selain jenis-jenis pajak daerah yang disebutkan diatas dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:a. bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;b. objek dan dasar pengenaan pajak tidak merupakan pajak ganda dengan jenis

pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat;c. potensinya memadai;d. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;e. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;f. menjaga kelestarian lingkungan.

4. Akan tetapi jenis Pajak sebagaimana disebutkan diatas, dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

5. Mengingat salah satu pilar dalam kebijakan Otonomi Daerah adalah berorientasi pada peningkatan pelayanan publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal, maka untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota, selain daerah kabupaten dan kota diberikan peluang untuk menggali sumber-sumber PAD-nya melalui peningkatan taxing power dan tambahan jenis-jenis penerimaan daerah bukan pajak khusunya retribusi daerah, hasil penerimaan Pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, antara lain:a. hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh perseratus);b. hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada

kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);c. hasil penerimaan Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang

Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);

d. hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus);

Page 54: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1584

e. hasil penerimaan Pajak Tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi diserahkan kepada kabupate/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus);

f. hasil penerimaan Pajak Wisatawan Asing diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus); dan

g. hasil penerimaan Bea Meterai diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus).

6. Undang-undang ini mengatur pokok-pokok perpajakan daerah, yang memberikan arah dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah. Untuk itu pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut penerapan pengenaan jenis-jenis pajak daerah yang menjadi kewenangannya diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:a. nama, objek, dan Subjek Pajak;b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;c. wilayah pemungutan;d. Masa Pajak;e. penetapan;f. tata cara pembayaran dan penagihan;g. kedaluwarsa;h. sanksi administratif; dani. tanggal mulai berlakunya.

7. Ketentuan perpajakan daerah pada dasarnya terdiri atas ketentuan formal dan ketentuan materiil, dalam undang-undang ini selain diatur ketentuan materiil diatur pula ketentuan formal. Dalam undang-undang ini ketentuan formal tersebut pada dasarnya mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No.28 Tahun 1997 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Akan tetapi Undang-Undang ini secara eksplisit mengatur ketentuan formal di bidang perpajakan yang tertuang dalam batang tubuh/pasal-pasal Undang-Undang PDRD.

8. Dalam Rancangan Undang-Undang ini dikembangkan kerangka pemikiran bahwa sumber-sumber penerimaan negara/daerah pada dasarnya berasal dari sektor perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak menyangut Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Retribusi Daerah adalah bagian dari Penerimaan Daerah Bukan Pajak berupa pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

9. Retribusi Daerah dalam Undang-Undang ini tetap digolongkan menjadi tiga golongan yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Secara ringkas Tabel 6 dibawah ini menunjukkan perbandingan jenis Pajak dan Retribusi menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tabel 6: Perbandingan Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menurut Undang-Undang No.

Page 55: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1585

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi1. Pajak Kendaraan Bermotor;

o pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);

o kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

o kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen)

o alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen)

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah

1. Pajak Kendaraan Bermotor;o pertama paling rendah sebesar

1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);

o kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

o kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Potensi penerimaan relatif tetap, karena tidak ada perubahan dasar pengenaan pajak dan tarif pajak.

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;o penyerahan pertama sebesar

20% (dua puluh persen); dano penyerahan kedua dan

seterusnya sebesar 1% (satu persen).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;o penyerahan pertama sebesar

20% (dua puluh persen); dano penyerahan kedua dan

seterusnya sebesar 2% (dua persen).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena tarif pajak kendaraan kedua meningkat dari 1% menjadi 2%.

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;o paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen)o bahan bakar kendaraan

umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;o paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen).o bahan bakar kendaraan umum

dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi

o dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden.

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Tetap

4. Pajak Air Permukaan;o paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

4. Pajak Air Permukaan;o paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Tetap

Page 56: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1586

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi5. Pajak Rokok.

o sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok

5. Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, yang meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya;o ditetapkan sebesar 15% (lima

belas per seratus) dari Cukai yang dikenakan pada obyek Cukai

o disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk provinsi yang mengenakan Pajak Tambahan.

o diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Potensi penerimaan meningkat secara signifikan, yaitu dari maksimum 10% menjadi 15%, dan sekaligus mengoreksi konsepsi Pajak Tambahan (piggyback) yang sebelumnya disebut pajak daerah murni (pajak rokok).

6. Bagi hasil pajak:o PPh-OP (20%) dari

penerimaan PPh-OP dan Pasal 21

6. Pajak tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi;o paling tinggi sebesar 20% (dua

puluh per seratus) dari Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Orang Pribadi yang dikenakan pada obyek PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi

Potensi penerimaan relatif tetap tetapi dalam jangka panjang dimungkinkan untuk menjadi pajak daerah murni. Selama ini dikategorikan sebagai Bagi Hasil Pajak.

7. Pajak Wisatawan Asingo Orang asing yang masuk wilayah

Indonesia yang dibebaskan dari kewajiban memiliki visa sebesar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);

o Orang asing yang memasuki wilayah Indonesia dengan visa kunjungan sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);

o Orang asing yang masuk wilayah Indonesia dengan visa tinggal terbatas sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan

o Orang asing memegang izin tinggal tetap sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).

o disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan bobot daerah tujuan wisata.

Penambahan objek pajak baru yang potensial, terutama di daerah tujuan wisata, seperti Bali, Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepualauan Riau dan NTB.

8. Bea Meterai.o Tarif Bea Meterai dinaikkan

dari Rp.3000,00 menjadi Rp.5.000,00 dan dari Rp.6000,00 menjadi Rp.10.000,00

o dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya sepuluh kali

Pergeseran sumber penerimaan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Daerah Provinsi dan potensi penerimaan Bea Meterai akan meningkat karena adanya penyesuaian tarif sejalan dengan kegiatan perekonomian dan transaksi bisnis yang memerlukan dokumen sebagai alat pembuktian.

Jenis Pajak kabupaten/kota: Jenis Pajak kabupaten/kota:1. Pajak Hotel;

o paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

1. Pajak Hotel;o paling tinggi sebesar 15%

(lima belas perseratus)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Hotel meningkat dari 10% menjadi 15%.

Page 57: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1587

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi2. Pajak Restoran;

o paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

2. Pajak Restoran;o paling tinggi sebesar 15%

(lima belas perseratus)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Restoran meningkat dari 10% menjadi 15%.

3. Pajak Hiburan;o paling tinggi sebesar 35%

(tiga puluh lima persen)o Hiburan berupa pagelaran

busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).

o Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

3. Pajak Hiburan;o paling tinggi sebesar 35%

(tiga puluh lima persen)o Hiburan berupa pagelaran

busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen).

o Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 100%.

4. Pajak Reklame;o paling tinggi sebesar 25%

(dua puluh lima persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

4. Pajak Reklame;o paling tinggi sebesar 25%

(dua puluh lima persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Tetap

5. Pajak Penerangan Jalan;o paling tinggi sebesar 10%

(sepuluh persen)o i n d u s t r i , p e r t a m b a n g a n

minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen)

o yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Listrik ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima perseratus).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

5. Pajak Listrik;o paling tinggi sebesar 15%

(lima belas perseratus)o industri, pertambangan

minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen).

o listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Listrik ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima perseratus).

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pergeseran konsepsi dari kuasi pajak yang kurang adil yaitu, sumber penerimaan PPJ sebagian besar dipergunakan untuk penerangan jalan umum, sedangkan wilayah pemukiman/ perkampungan, kurang mendapatkan manfaat penerangan jalan, bergeser menjadi jenis pajak konsumsi yang dipergunakan untuk mendanai pelayanan dasar masyarakat.Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Listrik meningkat dari 10% menjadi 15%.

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;o paling tinggi sebesar 25%

(dua puluh lima persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;o paling tinggi sebesar 30%

(tiga puluh perseratus)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan meningkat dari paling tinggi 25% menjadi paling tinggi 30%.

7. Pajak Parkir;o paling tinggi sebesar 30%

(tiga puluh persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

7. Pajak Parkir;o paling tinggi sebesar 40%

(empat puluh perseratus)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Pajak Parkir meningkat dari paling tinggi 30% menjadi paling tinggi 40%.

8. Pajak Air Tanah;o paling tinggi sebesar 20%

(dua puluh persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

8. Pajak Air Tanah;o paling tinggi sebesar 20%

(dua puluh persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Tetap

Page 58: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1588

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi9. Pajak Sarang Burung Walet;

o paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

9. Pajak Sarang Burung Walet;o paling tinggi sebesar 15%

(lima belas per seratus)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Potensi penerimaan Relatif bertambah, karena maksimum tarif Pajak Sarang Burung Walet meningkat dari paling tinggi 10% menjadi paling tinggi 15%.

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;o paling tinggi sebesar 0,3%

(nol koma tiga persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan;o NJOP-KP sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0.15% (nol koma satu lima perseratus);

o NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 ditetapkan paling tinggi 0.25% (nol koma dua lima perseratus);

o NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sampai dengan Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah ditetapkan paling tinggi 0.35% (nol koma tiga lima perseratus);

o NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ditetapkan paling tinggi 0.45% (nol koma empat lima perseratus);

o Lapisan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

o yang diterapkan atas NJOP-KP ditetapkan paling tinggi 0.45% (nol koma empat lima perseratus).

Penambahan objek pajak PBB Perkebunan yang sebelumnya merupakan bagi hasil pajak pusat ke daerah. Disamping itu, tarif maksimum ditingkatkan dari 0.3% menjadi 0.45%. Sebagai perbandingan, tarif efektif PBB di berbagai negara berkisar antara 0.2% s/d 2.9% atau tarif efektif rata-rata sekitar 0.7%. Potensi penerimaan PBB-P3 diperkirakan akan meningkat secara signifikan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional.

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;o paling tinggi sebesar 5%

(lima persen)o ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;o paling tinggi sebesar 5% (lima

persen)o ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

Terdapat perubahan NPOP-TKP yang bervariasi sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) wajib pajak dan kebutuhan daerah dalam meningkatkan PAD. Konversi tanah adat untuk menjadi tanah bersertipikat tidak dikenakan BPHTB, dimaksudkan untuk membantu masyarakat tidak mampu untuk mensertipikatkan kepemilikan tanahnya. Hibah dan hibah wasiat dinyatakan sebagai bukan objek BPHTB karena akan dimasukkan sebagai objek pajak warisan dan hibah.

Page 59: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1589

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi12. Besarnya warisan tidak kena

pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta) untuk setiap wajib pajak.o Besarnya hibah tidak kena

pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta) untuk setiap wajib pajak.

o Besarnya warisan tidak kena pajak dan hibah tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

o Perubahan besarnya warisan tidak kena pajak dan hibah tidak kena pajak paling rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

13. Pajak Warisan dan Hibah;o Tarif Pajak Warisan dan Hibah

diterapkan atas perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak paling tinggi sebagai berikut :

o Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 2% (dua per seratus).

o Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak diatas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebesar 3% (tiga per seratus).

o Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak diatas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebesar 5% (lima per seratus).

Penambahan objek pajak baru yang berlaku di berbagai negara, namun warisan/hibah dalam jumlah tertentu tidak dikenakan pajak warisan dan hibah, dimaksudkan untuk melindungi kelompok masyarakat yang berpendatan rendah.

Page 60: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1590

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Rancangan Perubahan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Analisis Dampak Terhadap PAD

Pajak Daerah Provinsi Pajak Daerah Provinsi14. Pajak Pencemaran Lingkungan;

o paling tinggi sebesar 5% (lima perseratus);

o ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Upaya pengendalian eksternalitas terhadap lingkungan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kebijakan, yaitu internalisasi eksternalitas (pengolahan / intenalisasi limbah di lingkungan industri terkait), pembatasan produksi, pengenaan Pajak Pencemaran Lingkungan, atau pelarangan industri tertentu yang mengakibatkan ekternalitas. Bila dipilih alternatif pengenaan Pajak Pencemaran Lingkungan terhadap industri tertentu, maka diberlakukan ketentuan undang-undang ini. Pengenalan Pajak Pencemaran Lingkungan akan berdampak positif bagi kepastian industri yang diizinkan beroperasi, kontrol ekternalitas dapat dilaksanakan, harga produk industri terkait mencerminkan harga yang wajar (marginal social cost = marginal cost) serta pemerintah daerah memperoleh tambahan PAD yang sebagian dapat dipergunakan untuk menciptakan lingkungan yang sehat, berkelanjutan dan menciptakan ekonomi hijau (green economy).

15. Komite Kode Etiko Menteri Dalam Negeri

berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai SKPD yang menangani perpajakan daerah.

o Pegawai SKPD yang menangani perpajakan daerah wajib mematuhi kode etik sebagimana dimaksud pada ayat (1).

o Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai SKPD sebagamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri.

16. Komite Pengawas Perpajakan Daerah:o Menteri Dalam Negeri

membentuk Komite Pengawas Perpajakan Daerah.

o Pembentukan susunan, dan tata kerja Komite Pengawas Perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pembentukan Komite Pengawas Perpajakan Daerah dimaksudkan untuk membangun citra perpajakan daerah yang kredibel, untuk mengawasi perilaku aparat perpajakan daerah dan sekaligus melindungi kepentingan Wajib Pajak daerah atas penyimpangan dan pelanggaran ketentuan perundangan yang dilakukan oleh aparat perpajakan daerah.

Page 61: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1591

BAB VIPenutup

SimpulanBerdasarkan uraian yang dikemukakan pada Bab-Bab terdahulu Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah pada dasarnya mengatur hal-hal sebagai berikut:1. Menguatkan pajak pusat dan daerah secara bersamaan sehingga pengalihan pajak ke

daerah yang siap tidak akan menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.

2. Mempercepat masa transisi pengalihan PBB Objek Perkotaan, Pedesaan dan Perkebunan, dilanjutkan optimalisasi penerimaan PBB P-3 melalui perbaikan administrasi PBB dan BPHTB

3. Menerapkan sistem piggyback (opsen) untuk beberapa jenis pajak tertentu, terutama Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, PPh, PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi.

4. Menerapkan Pajak Wisatawan Asing dan menetapkan Bea Meterai menjadi Pajak Daerah Provinsi.

5. Menerapkan Pajak Warisan dan Hibah sebagai Pajak Daerah kabupaten/kota;6. Merekonstruksi basis pajak-pajak tertentu untuk mendukung pemeliharaan lingkungan

dan ekonomi hijau (green economy) antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.

7. Daerah diberi wewenang menentukan tarif pajak dengan memberikan ceiling tertentu dengan diikuti kebijakan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan atas kinerja pemerintah daerah di bidang pajak dan retribusi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi.

8. Menyelaraskan penguatan pajak daerah dan retribusi daerah dengan kewajiban belanja daerah sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik dan besaran transfer dari pusat.

9. Jenis Pajak Provinsi sebanyak delapan jenis terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, Pajak tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi, Pajak Wisatawan Asing, dan Bea Meterai.

10. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Listrik, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Warisan dan Hibah, dan Pajak Pencemaran Lingkungan.

11. Selain jenis-jenis pajak daerah yang disebutkan diatas dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:a. bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;b. objek dan dasar pengenaan pajak tidak merupakan pajak ganda dengan jenis pajak

yang menjadi kewenangan pemerintah pusat;c. potensinya memadai;d. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;e. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;f. menjaga kelestarian lingkungan.

12. Akan tetapi jenis Pajak sebagaimana disebutkan diatas, dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

13. Salah satu pilar dalam kebijakan Otonomi Daerah adalah berorientasi pada peningkatan pelayanan publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat lokal, yang pada dasarnya terletak di wilayah kabupaten/kota. Untuk itu undang-undang ini selain memberikan tambahan taxing power kepada Pemerintah Kabupaten Dan Kota, juga diperkuat dengan peningkatan bagi hasil Pajak Provinsi ke kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, antara lain:a. hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh perseratus);b. hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada

kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);c. hasil penerimaan Pajak Tambahan (piggyback) Atas Cukai Hasil Tembakau, Yang

Page 62: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1592

meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);

d. hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus);

e. hasil penerimaan Pajak Tambahan (piggyback) atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi diserahkan kepada kabupate/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus);

f. hasil penerimaan Pajak Wisatawan Asing diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus); dan

g. hasil penerimaan Bea Meterai diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh perseratus).

14. Undang-undang ini mengatur pokok-pokok perpajakan daerah, yang memberikan arah dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah. Untuk itu pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut penerapan pengenaan jenis-jenis pajak daerah yang menjadi kewenangannya yang diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:a. nama, objek, dan Subjek Pajak;b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;c. wilayah pemungutan;d. Masa Pajak;e. penetapan;f. tata cara pembayaran dan penagihan;g. kedaluwarsa;h. sanksi administratif; dani. tanggal mulai berlakunya.

15. Ketentuan perpajakan daerah pada dasarnya terdiri atas ketentuan formal dan ketentuan materiil, dalam undang-undang ini selain diatur ketentuan materiil diatur pula ketentuan formal. Dalam undang-undang ini ketentuan formal tersebut pada dasarnya mengacu pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No.28 Tahun 1997 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Akan tetapi Undang-Undang ini secara eksplisit mengatur ketentuan formal di bidang perpajakan yang tertuang dalam batang tubuh/pasal-pasal Undang-Undang PDRD.

16. Dalam Rancangan Undang-Undang ini dikembangkan kerangka pemikiran bahwa sumber-sumber penerimaan negara/daerah pada dasarnya berasal dari sektor perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak menyangkut Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Retribusi Daerah adalah bagian dari Penerimaan Daerah Bukan Pajak berupa pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

17. Retribusi Daerah dalam Undang-Undang ini tetap digolongkan menjadi tiga golongan yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.

Page 63: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1593

Daftar PustakaDaftar Pustaka

Ahmad, Ehtisham., Qiang, G., Tanzi, V. 1995. Reforming China’s Public Finances. International Monetary Fund. Washington.

Arifin P.Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik dan Praktik, Rajawali Pers, Jakarta, 2009;

_____________________, Pola Pikir Hukum (Legal Mindscapes) Definisi Keuangan Negara yang Membangun Praktik Bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengakar (Deep rooted Business Practices), Jakarta, 2010;

Bahl, Roy., Smoke, P. 2003. Restructuring Local Government Finance in Developing Countries. Edward Elgar Publishing. United Kingdom.

Bela, Poetri Mutiara. 2010. Analisis Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor (Studi Earmarking Tax di DKI Jakarta). Jakarta: Universitas Indonesia

Bird, Richard M. 2011. Subnational Taxation In Developing Countries: A Review Of The Literature. Journal of International Commerce, Economics and Policy Vol. 2, No. 1 (2011) 139–161.

______________. 1978. A New Look at Benefits Taxation. In H. C. Recktenwald, ed., Tendences a Long Terme du Sector Public: Secular Trends of the Public Sector. Paris: Editions Cujas.

Bird, Richard M. dan Jun, Joosung. 2005. Earmarking in Theory and Korean Practice. Asian Excise Tax Conference, National University of Singapore.

Buchanan, James M. 1963. The Economics of Earmarked Taxes. Chicago: University of Chicago Press.

Carling, Robert. 2007. Tax Earmarking, Is It Good Practice?. Perspective on Tax Reform (12), CIC Policy Monograph 75.

Edling, Herbert. 2006. Taxes and culture –Tax Reforms for Sustainable Development. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Dag-Hammarskjöld-Weg 1-5.

Giugale, Marcelo M., Lafourcade, O., Nguyen, V.H. 2001. Mexico: A Comprehensive Development Agenda for The New Era. The World Bank. Washington.

Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2008. Grand Desain Desentralisasi Fiskal Indonesia: Menciptakan Alokasi Sumber Daya Nasional yang Efisien Melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Yang Transparan, Akuntabel, dan Berkeadilan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Jackson, Jeremy. Earmarking, Party Politics and Gubernatorial Veto: Theory and Evidence from US States. Washington, D.C: St. Louis Washington University.

Jensen, Leif, Fiscal Design Surveys Across Levels of Government, Tax Policy Studies #7. Paris:Organization for Economic Cooperation & Development (OECD), 2002.

Kiesling, Herbert. 1992. Taxation and Public Goods: A Welfare Economic Critique of Tax Policy Analysis. University of Muchigan. USA.

McCleary, William. 1991. The Earmarking of Goverment Revenue: A Review of Some World Bank Experience.The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1, pp.81-104.

Michael, Joel. 2008. Earmarking State Tax Revenues. St.Paul: Minnesota House of Representatives Research Department.

Oates, W. (1999), “An Essay on Fiscal Federalism”, Journal of Economic Literature, vol. 37, September. 92.

Sidik, Machfud, A New Perspective of Intergovernmental Fiscal Realtions: Lessons from Indonesia’s Experiences. Ripelge, Jakarta, 2007.

SKAT (Otoritas Pajak Denmark), 2005. Tax in Denmark An introduction – for new citizens. SKAT. Denmark.

Swenson, Charles W., Gupta, S., Karayan, J.E., Neff, J. 2004. State and Local Taxation: Principles and Planning. J. Ross Publishing. USA.

Thuronyi, Victor. (1998). Tax Law Design and Legal Drafting. Volume 1. Washington D.C.: International Monetary Fund.

_____________. (1998). Tax Law Design and Legal Drafting. Volume 2. Washington D.C.: International Monetary Fund.

Ter-Minasisan, Teresa. 1997. Fiscal Federalism. International Monetary Fund. Washington.

Page 64: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1594

Page 65: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1595

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

BAGIAN KEDUANASKAH AKADEMIK

RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR........ TAHUN..........TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

JAKARTA2013

Page 66: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1596

Page 67: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1597

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

RANCANGANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN ...

TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009

TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kewenangan pengenaan pajak dan retribusi daerah yang lebih besar kepada pemerintah daerah, tanpa memberikan dampak negatif terhadap perekonomian daerah sejalan dengan perubahan ketentuan perundangan tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, serta untuk lebih memberikan kepastian hukum perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23 A dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262 sebagaimnana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UDANG

NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.

Pasal IBeberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); diubah sehingga berbunyi sebagai berikut sebagai berikut:1. Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 68: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1598

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah, Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.

7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundangan.

8. Peraturan Daerah adalah peraturan perundangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

9. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah

yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

11. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

12. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.

13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen.

14. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

15. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.

16. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.

17. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.18. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air

laut, baik yang berada di laut maupun di darat.19. Pajak Tambahan Atas Cukai Hasil Tembakau adalah pajak tambahan atas Cukai Hasil

Tembakau, yang meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau lainnya.

20. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.21. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya

dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 15 (lima belas).

22. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran,

yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

Page 69: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1599

24. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.25. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang

dinikmati dengan dipungut bayaran.26. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.27. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya

dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.

28. Pajak Listrik adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

29. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

30. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundangan di bidang mineral dan batubara.

31. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.

32. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.33. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.34. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan

tanah.35. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan

sarang burung walet.36. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga,

collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.37. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah pajak atas

bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan, dan pertambangan.

38. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.

39. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.

40. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

41. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

42. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

43. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan bangunan.

44. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.45. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,

dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

46. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.

47. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

48. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

49. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.

50. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

Page 70: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1600

51. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah.

52. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

53. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

54. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.

55. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

56. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

57. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

58. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

59. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

60. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.

61. Putusan Keberatan adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

62. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Putusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

63. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

64. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah bagian dari Penerimaan Daerah Bukan Pajak berupa pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan;

65. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.

67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

69. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau

Page 71: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1601

pemotong retribusi tertentu.70. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi

Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

71. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

72. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.

73. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

74. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

75. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan perpajakan daerah dan retribusi daerah.

76. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang disebut dalam Undang-Undang ini.

77. Pajak Hibah dan Warisan adalah pajak yang dikenakan atas hibah dan warisan yang disebut dalam Undang-Undang ini.

78. Pajak Wisatawan Asing adalah pajak yang dikenakan atas wisatawan asing yang disebut dalam Undang-Undang ini.

79. Pajak Lingkungan adalah pajak yang dikenakan atas industri yang berdampak pada pencemaran lingkungan hidup sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan.

2. Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2(1) Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;d. Pajak Air Permukaan;e. Pajak Tambahan Atas Cukai Hasil Tembakau, yang meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun,

Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya;f. Pajak tambahan atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi;g. Pajak Wisatawan Asing; danh. Bea Meterai.

(2) Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:a. Pajak Hotel;b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame;e. Pajak Listrik;f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;g. Pajak Parkir;h. Pajak Air Tanah;i. Pajak Sarang Burung Walet;j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan;k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;l. Pajak Warisan dan Hibah; danm. Pajak Lingkungan.

(3) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:a. bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;b. objek dan dasar pengenaan pajak tidak merupakan pajak ganc. da dengan jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat;d. potensinya memadai;e. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;f. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan

Page 72: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1602

g. menjaga kelestarian lingkungan.(4) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut apabila

potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(5) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota.

Bagian KeduaPajak Kendaraan Bermotor

Pasal 3(1) Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan

Bermotor.(2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).

(3) Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:a. kereta api;b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan

keamanan negara;c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan

negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan

d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Pasal 4(1) Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau

menguasai Kendaraan Bermotor.(2) Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan

Bermotor.(3) Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa

Badan tersebut.

3. Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5(1) Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok:

a. nilai Jual Kendaraan Bermotor; danb. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran

lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.(2) Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat

berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.

(3) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut:a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan

oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan

b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.

(4) Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor yang diatur dalam Peraturan Daerah.

(5) Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.

(6) Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.

(7) Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;

Page 73: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1603

d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;

e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dang. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang

(PIB).(8) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor:

a. tekanan gardan, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;

b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan

c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder.

(9) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi yang bersangkutan.

(10) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali setiap tahun.

4. Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12(1) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai

berikut:a. penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh perseratus); danb. penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 2% (dua perseratus).

(2) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

5. Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19(1) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh

perseratus).(2) Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum

dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.

(3) Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden.

(4) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

6. Judul Bagian Keenam diubah dan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian KeenamPajak Tambahan Atas Cukai Hasil Tembakau

Pasal 26(1) Pajak Tambahan atas Cukai Hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

No. 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

(2) Pajak Tambahan atas Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 15% (lima belas perseratus) dari Cukai yang dikenakan pada obyek Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Subjek Pajak Tambahan atas Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsumen hasil tembakau.

(4) Wajib Pajak Tambahan atas Cukai Hasil tembakau adalah pengusaha pabrik Hasil Tembakau/produsen dan importir Hasil Tembakau yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.

(5) Pajak Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipungut oleh instansi pemerintah yang memungut cukai bersama dengan Pajak Tambahan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(6) Pajak Tambahan yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk provinsi yang mengenakan Pajak Tambahan.

Page 74: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1604

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Tambahan sebagamana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

7. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 3 (tiga) bagian yakni Bagian Keenam A, Bagian Keenam B, dan Bagian Keenam C berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keenam APajak Tambahan Atas PPh Pasal 21, Dan Orang Pribadi

Pasal 26 A(1) Pajak Tambahan atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi, yang diatur dalam Undang-Undang

No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagiamana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

(2) Pajak Tambahan atas PPh Pasal 21 dan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Orang Pribadi yang dikenakan pada obyek PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Subjek Pajak Tambahan atas PPh Pasal 21 dan Orang Pribadi yang dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(4) Wajib Pajak Tambahan atas PPh Pasal 21 dan Orang Pribadi yang dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

(5) Pajak Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut oleh instansi pemerintah yang memungut PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi;

(6) Pajak Tambahan yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi yang mengenakan Pajak Tambahan sesuai dengan domisili wajib pajak yang bersangkutan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Tambahan sebagamana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagian Keenam BPajak Wisatawan Asing

Pasal 26 B(1) Objek Pajak Wisatawan Asing adalah orang asing yang masuk wilayah Indonesia setelah

mendapat Tanda Masuk.(2) Tanda Masuk diberikan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi kepada orang

asing yang telah memenuhi persyaratan masuk wilayah Indonesia.(3) Tarif Pajak Pajak Wisatawan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai

berikut:a. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia yang dibebaskan dari kewajiban memiliki visa

sebesar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);b. Orang asing yang memasuki wilayah Indonesia dengan visa kunjungan sebesar Rp.

300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah);c. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia dengan visa tinggal terbatas sebesar Rp.

500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dand. Orang asing memegang izin tinggal tetap sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Pajak Wisatawan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut oleh instansi pemerintah yang menangani keimigrasian.

(5) Pajak Wisatawan Asing yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan bobot daerah tujuan wisata.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan, penyetoran Pajak Wisatawan Asing, perubahan tarif pajak dan bobot daerah tujuan wisata sebagamana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam CBea Meterai

Pasal 26 C(1) Dengan nama Bea Meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-

Undang ini. (2) Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud

Page 75: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1605

tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;

b. Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi;

c. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan;

d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya;

e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perseroan Terbatas Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

Pasal 26 D(1) Bea Meterai dikenakan atas dokumen yang berbentuk :

a) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;

b) akta-akta notaris termasuk salinannya;c) akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;d) Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah):

a. yang menyebutkan penerimaan uang;b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dand. yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi

atau diperhitungkan.e) surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari

Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah); danf) efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari

Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).(2) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), angka 1), angka 2), angka 3),

angka 4), angka 5), dan angka 6). dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

(3) Bea Meterai dikenakan sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;danb. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika

digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.(4) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f, yang

mempunyai harga nominal lebih dari Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah), dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) tidak terutang Bea Meterai.

Pasal 26 EDengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya sepuluh kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 D.

Pasal 26 FTidak dikenakan Bea Meterai atas :a. dokumen yang berupa :

1. surat penyimpanan barang;2. konnosemen;3. surat angkutan penumpang dan barang;4. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam

angka 1, angka 2 dan angka 3;5. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;6. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;7. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud

dalam angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan angka 6. b. segala bentuk Ijazah;c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada

kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;

Page 76: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1606

d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan

dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh

bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;h. surat gadai yang diberikan oleh Perseroan Terbatas Pegadaian (Persero);i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.Pasal 26 GSaat terutang Bea Meterai ditentukan dalam hal:a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu

dibuat;c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

Pasal 26 HBea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Pasal 26 I (1) Bentuk, ukuran, warna meterai tempel dan kertas meterai, demikian pula pencetakan,

pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah .

(2) Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :a. menggunakan benda meterai;b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

(3) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.

(4) Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.(5) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun dilakukan

dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada diatas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

(6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

(7) Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.(8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas

kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.

(9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

Pasal 26 J(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 D yang Bea Meterainya tidak atau kurang

dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 300% (tiga ratus perseratus) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

(2) Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

Pasal 26 KDokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian kemudian. Pasal 26 LPemeteraian kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 D ayat (3), Pasal 26 J, dan Pasal 26 K dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 26 M(1) Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, juru sita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-

masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak

atau kurang dibayar;b. melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan

tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;c. membuat salinan,tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterainya

tidak atau kurang dibayar;

Page 77: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1607

d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundangan.

Pasal 26 NKewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-Undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

8. Pasal 27 dihapus.9. Pasal 28 dihapus.10. Pasal 29 dihapus.11. Pasal 30 dihapus.12. Pasal 31 dihapus

13. Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35(1) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 15% (lima belas perseratus).(2) Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

14. Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40(1) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 15% (lima belas perseratus).(2) Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

15. Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima perseratus).(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab

malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 100% (seratus perseratus).

(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus).

(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

16. Diantara Pasal 51 dan Pasal 52, pada Bagian Kesebelas diubah judulnya dan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian KesebelasPajak Listrik

Pasal 52(1) Objek Pajak Listrik adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun

yang diperoleh dari sumber lain.(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh

pembangkit listrik.(3) Dikecualikan dari objek Pajak Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat,

dan perwakilan asing dengan asas timbal balik;c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak

memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dand. penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

17. Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53(1) Subjek Pajak Listrik adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.(2) Wajib Pajak Listrik adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik.(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Listrik adalah penyedia

tenaga listrik.

18. Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 78: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1608

Pasal 54(1) Dasar pengenaan Pajak Listrik adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:

a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;

b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

19. Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55(1) Tarif Pajak Listrik ditetapkan paling tinggi sebesar 15% (lima belas perseratus).(2) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas

alam, tarif Pajak Listrik ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga perseratus).(3) Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Listrik ditetapkan paling tinggi

sebesar 1,5% (satu koma lima perseratus).(4) Tarif Pajak Listrik ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

20. Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56(1) Besaran pokok Pajak Listrik yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.

(2) Pajak Listrik yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik.(3) Hasil penerimaan Pajak Listrik sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan

dan lingkungan pemukiman.

21. Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60(1) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga

puluh perseratus).(2) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

22. Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65(1) Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 40% (empat puluh perseratus).(2) Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

23. Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75(1) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 15% (lima belas perseratus).(2) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

24. Diantara Pasal 76 dan Pasal 77 Bagian Keenambelas judulnya diubah dan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keenam BelasPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan

Pasal 77(1) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah Bumi dan/

atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan dan pertambangan.

(2) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan

emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;b. jalan tol;c. kolam renang;d. pagar mewah;e. tempat olahraga;

Page 79: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1609

f. galangan kapal, dermaga;g. taman mewah;h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dani. menara.

(3) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah objek pajak yang:a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,

kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan

f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(4) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(5) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

25. Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah

orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

26. Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan adalah

NJOP.(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali

untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah.

27. Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 80(1) Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOP-KP) dihitung dengan cara mengurangkan NJOP

sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 ayat (1) dengan NJOP-TKP sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (4);

(2) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) paling tinggi yang diterapkan adalah sebagai berikut: a. NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan Rp.1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah) sebesar 0.15% (nol koma satu lima perseratus);b. NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00 ditetapkan paling tinggi 0.25% (nol koma dua lima perseratus);

c. NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sampai dengan Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah ditetapkan paling tinggi 0.35% (nol koma tiga lima perseratus);

d. NJOP-KP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ditetapkan paling tinggi 0.45% (nol koma empat lima perseratus);

(3) Lapisan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.(4) Perubahan lapisan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Page 80: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1610

(5) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan yang diterapkan atas NJOP-KP ditetapkan paling tinggi 0.45% (nol koma empat lima perseratus).

28. Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85(1) Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas

Tanah dan/atau Bangunan.(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemindahan hak karena:1) jual beli;2) tukar menukar;3) hibah;4) hibah wasiat;5) waris;6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;8) penunjukan pembeli dalam lelang;9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;10) penggabungan usaha;11) peleburan usaha;12) pemekaran usaha; atau13) hadiah.

b. pemberian hak baru karena:1) kelanjutan pelepasan hak; atau2) di luar pelepasan hak.

(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)adalah:a. hak milik;b. hak guna usaha;c. hak guna bangunan;d. hak pakai;e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan.

(4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan

guna kepentingan umum;c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain, baik dengan atau tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dang. warisan, hibah dan hibah wasiat.

29. Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 87(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan

Objek Pajak.(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:

a. jual beli adalah harga transaksi;b. tukar menukar adalah nilai pasar;c. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;d. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;e. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum

tetap adalah nilai pasar;f. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;g. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;h. penggabungan usaha adalah nilai pasar;i. peleburan usaha adalah nilai pasar; j. pemekaran usaha adalah nilai pasar; k. hadiah adalah nilai pasar; dan/ataul. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah

Page 81: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1611

lelang.(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai

dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.

(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

(5) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

30. Diantara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 2 (dua) bagian yakni Bagian Ketujuh Belas dan Bagian Ketujuh Belas B, yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketujuh Belas APajak Warisan dan Hibah

Pasal 93 A(1) Objek Pajak Warisan dan Hibah adalah:

a. Objek Pajak Warisan adalah penyerahan harta peninggalan yang berupa barang tidak bergerak, barang bergerak, surat berharga, simpanan dalam bentuk deposito dan tabungan, bunga, dividen, royalti, premi asuransi hak cipta dan hak kekayaan intelektual dan kekayaan lain yang dapat dinilai dengan uang yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris.

b. Objek Pajak Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat setingkat keatas dan kebawah yang dilakukan oleh pemberi hibah ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup juga.

c. Objek Pajak Hibah Wasiat Objek Pajak Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain baik yang memiliki hubungan darah sederajat atau setingkat keatas dan kebawah, maupun yang tidak ada hubungan kekeluargaan yang dilakukan oleh pemberi hibah wasiat ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah telah meninggal dunia.

(2) Wajib Pajak Warisan dan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ahli waris, penerima hibah dan penerima hibah wasiat.

(3) Yang dikecualikan dari Objek Pajak Warisan dan Hibah adalaha. Yang diterima oleh badan keagamaan, badan sosial yang nyata-nyata tidak mencari

keuntungan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan pemberi hibah;

b. Yang diterima oleh Badan sosial lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

(4) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 93 B(1) Besarnya warisan tidak kena pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.500.000.000,00

(lima ratus juta) untuk setiap wajib pajak.(2) Besarnya hibah tidak kena pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga

ratus juta) untuk setiap wajib pajak.(3) Besarnya warisan tidak kena pajak dan hibah tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.(4) Perubahan besarnya warisan tidak kena pajak dan hibah tidak kena pajak paling rendah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 93 CTarif Pajak Warisan dan Hibah diterapkan atas perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak paling tinggi sebagai berikut :a. Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus

juta rupiah) sebesar 2% (dua perseratus).b. Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak diatas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

sampai dengan Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebesar 3% (tiga perseratus). c. Perolehan warisan dan/atau hibah kena pajak diatas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) sebesar 5% (lima perseratus).

Pasal 93 D(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak

atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak Warisan dan/atau Hibah.

Page 82: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1612

(2) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran Pajak Warisan dan/atau Hibah.

(3) Pemotongan Pajak Warisan dan/atau Hibah sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak penerima Warisan dan/atau Hibah, wajib dilakukan oleh badan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh penerima Warisan dan/atau Hibah.

(4) Ketentuan mengenai kewajiban pejabat dan kewajiban pemotongan Pajak Warisan dan/atau Hibah sebagiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan/atau berdasarkan Peraturan Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

31. Diantara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) bagian yakni Bagian Ketujuh Belas B dan disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 93 E, Pasal 93 F, dan Pasal 93 G yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketujuh Belas BPajak Lingkungan

Pasal 93 E(1) Objek Pajak Lingkungan adalah pajak yang dikenakan terhadap konsumsi energi,

yang berakibat pada terkurasnya sumber daya energi dan industri yang menyebabkan pencemaran lingkungan meliputi konsumsi atas bahan bakar minyak, sumber daya listrik, air laut, air permukaan dan air bawah tanah, eksploitasi sumber daya hutan dan industri yang menyebabkan pencemaran lingkungan.

(2) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Lingkungan sebagai berikut:a. Konsumsi atas bahan bakar minyak;b. Konsumsi sumber daya listrik; danc. Pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah.

Pasal 93 F(1) Dasar pengenaan Pajak Lingkungan adalah sebagai berikut:

a. Nilai konsumsi energi; danb. Nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri tertentu.

(2) Nilai konsumsi energi dan nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor sebagai berikut:

a. jenis energi;b. tujuan pemanfaatan energi;c. volume energi yang dikonsumsi;d. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau

pemanfaatan energi.(3) Nilai konsumsi energi dan nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri

tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor sebagai berikut:

a. lokasi industri;b. jenis industri;c. volume eksternalitas negatif yang diakibatkan oleh kegiatan industri yang bersangkutan;

dand. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri yang

bersangkutan;(4) Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disesuaikan

dengan kondisi masing-masing daerah.(5) Besarnya nilai konsumsi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan

dengan Peraturan Daerah.

Pasal 93 G(1) Tarif Pajak Lingkungan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima perseratus).(2) Tarif Pajak Lingkungan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

32. Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

Page 83: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1613

(1) Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:a. hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh perseratus);b. hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada kabupaten/

kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);c. hasil penerimaan Pajak Tambahan Atas Cukai Hasil Tembakau diserahkan kepada

kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh perseratus);d. hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50%

(lima puluh perseratus);e. hasil penerimaan Pajak Tambahan atas PPh Pasal 21, dan Orang Pribadi diserahkan

kepada kabupate/kota sebesar 80% (delapan puluh perseratus);f. hasil penerimaan Pajak Wisatawan Asing diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar

70% (tujuh puluh perseratus); dang. hasil penerimaan Bea Meterai diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima

puluh perseratus) . (2) Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1

(satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh perseratus).

(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antarkabupaten/kota.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

33. Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan

Pembetulan, Putusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan Perpajakan.

34. Judul Bagian Keempat diubah dan ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian KeempatKeberatan, Banding dan Peninjauan Kembali

Pasal 103(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Pengadilan Pajak atas suatu :

a. SPPT;b. SKPD;c. SKPDKB; d. SKPDKBT; e. SKPDLB;f. SKPDN; dang. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan

perundangan perpajakan daerah.(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan

yang jelas.(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal

surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Pajak atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

35. Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Page 84: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1614

Pasal 104(1) Pengadilan Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak tanggal Surat

Keberatan diterima, harus memberi Putusan atas keberatan yang diajukan.(2) Putusan Pengadilan Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,

menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Pengadilan

Pajak tidak memberi suatu Putusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

36. Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak

terhadap Putusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Pengadilan Pajak pada tingkat pertama.

(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat Putusan keberatan tersebut.

(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

37. Diantara Pasal 105 dan Pasal 106 disipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 105 A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105 APihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung sesuai ketentuan perundangan.

38. Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106(1) Jika pengajuan keberatan, permohonan banding atau permohonan peninjauan kembali

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.

(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

39. Diantara Pasal 106 dan Pasal 107, disipkan 1 (satu) bagian yakni Bagian Keempat A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat APengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pasal 106 A(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

kepada Kepala Daerah disertai dokumen dan bukti yang dipersyaratkan dalam pengajuan Permohonan Kelebihan Pembayaran Pajak.

(2) Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang telah dibayar, jumlah pajak yang seharusnya terutang menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungannya dan dokumen/bukti pendukung lainnya.

(3) Kepala Daerah setelah melakukan penelitian atas Permohonan Pengembalian Pembayaran Pajak sebagamana dimaksud pada ayat (2) wajib menerbitkan Surat Ketetapan Kelebihan Pembayaran selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak diterimanya Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Page 85: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1615

(4) Pegawai SKPD yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya dalam proses pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan.

(5) Tata cara pengajuan Permohonan Pengembalian Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 106 B(1) Kepala Daerah dapat melakukan pemeriksaan setelah dilaksanakannya pengembalian

kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 106 A.(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan

adanya kelebihan pembayaran yang diberikan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan, Kepala Daerah menerbitkan SKPDKB atas jumlah kelebihan pengembalian pembayaran pajak yang tidak seharusnya diterima oleh Wajib Pajak ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya diterima oleh wajib pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.

40. Diantara Pasal 107 dan Pasal 108, disipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 107 A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107 AKetentuan formal di bidang Pajak Daerah yang tidak cukup diatur dalam Undang-Undang ini, mengikuti ketentuan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana diubah tetrakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007.

41. Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108(1) Objek Retribusi adalah:

a. Jasa Umum;b. Jasa Usaha; danc. Perizinan Tertentu.

(2) Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.

(3) Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.

(4) Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.

(5) Golongan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. adalah retribusi yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, disesuaikan dengan kewenangan, dan jasa/pelayanan yang dimiliki Pemerintah Daerah, sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

(6) Golongan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah retribusi yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan disesuaikan dengan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundangan.

(7) Golongan retribusi sebagaimana dimaksud yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan disesuaikan dengan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundangan.

42. Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 152(1) Prinsip atas golongan Retribusi Daerah Jasa Umum dan Retribusi kebutuhan tertentu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut; a. dampak pengenaan terhadap investasi dan kegiatan usaha;b. penghindaran ekonomi biaya tinggi karena adanya beban pengenaan yang berlebihan,

tumpang-tindih pungutan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah;

c. penghindaran rintangan arus barang, jasa, modal, dan mobilitas penduduk antar daerah;d. penghindaran rente ekonomi (rent seeking);e. mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam rangka melindungi kelompok

masyarakat berpendapatan rendah;

Page 86: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1616

f. efektifitas pelayanan yang berkelanjutan; dang. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah Daerah, pengawasan di lapangan,

penegakan hukum, dan penatausahaan.(2) Prinsip penetapan tarif atas jenis Retribusi berdasarkan pilihan pertimbangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah yang menetapkan jenis Retribusi yang bersangkutan.

43. Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 155(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

44. Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157(1) Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh

Gubernur dan DPRD provinsi harus disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penetapan Peraturan Daerah yang dimaksud.

(2) Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota harus disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangan lain yang lebih tinggi.

(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan lain yang lebih tinggi.

(5) Menteri Dalam Negeri dan Gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(6) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan lain yang lebih tinggi, Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat memerintahkan untuk mengadakan perubahan, penyempurnaan atau pembatalan Peraturan Daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah yang bersangkutan.

(7) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan lain yang lebih tinggi, Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat memerintahkan untuk mengadakan perubahan, penyempurnaan atau pembatalan Peraturan Daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah yang bersangkutan.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan, penyempurnaan dan/atau pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), diatur dengan Peraturan Daerah.

45. Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 158(1) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (6)

dan ayat (7), ditetapkan dengan Peraturan Presiden.(2) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

(3) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(4) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(5) membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Page 87: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1617

46. Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 164(1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran

Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.

(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.

(3) Wajib Retribusi yang tidak puas atas keputusan keberatan dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah Surat Keputusan Keberatan Retribusi Daerah diterima.

47. Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 165(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat

mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.(2) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya

permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(3) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.

(5) Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak atau utang Retribusi tersebut.

(6) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.

(7) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.

(8) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

48. Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 171(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas

dasar pencapaian kinerja tertentu.(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.(3) Besarnya insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setinggi-tingginya sebesar 1,5

% (satu koma lima perseratus) dari jumlah penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah yang bersangkutan.

(4) Tata cara pemberian, besaran insentif dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

49. Pasal 172 dan Pasal 173 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 172 A dan Pasal 172 B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 172 A(1) Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai SKPD yang menangani

perpajakan daerah.(2) Pegawai SKPD yang menangani perpajakan daerah wajib mematuhi kode etik sebagimana

dimaksud pada ayat (1).(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai

SKPD sebagamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 172 B

Page 88: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1618

(1) Menteri Dalam Negeri membentuk Komite Pengawas Perpajakan Daerah.(2) Pembentukan susunan, dan tata kerja Komite Pengawas Perpajakan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

50. Pasal 174 dan Pasal 175 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 174 A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 174 A1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal

35 ayat (2) huruf b tanpa izin Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.

51. Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 179(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang masih terutang berdasarkan

Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, masih tetap berlaku sebelum berlakunya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Pajak dan Retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak diatur dalam peraturan daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih dalam jangka waktu selama lima tahun terhitung sejak saat terutang.

(3) Peraturan Daerah tentang Pajak sepanjang yang mengatur Pengajuan Keberatan yang terkait dengan Pasal 119 dan Pasal 120 dinyatakan berlaku paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

(4) Pengadilan Pajak harus menyesuaikan kelembagaan, Majelis Hakim, dukungan sumber daya manusia dan infrastruktur lainnya selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini untuk dapat memutuskan pengajuan keberatan pajak daerah berdasarkan Undang-Undang ini.

(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dapat terpenuhi, Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha yang meliputi wilayah Kabupaten/Kota tempat/domisili Wajib Pajak.

52. Pasal 180 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 180Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai Perdesaan, Perkotaan, dan Perkebunan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait dengan Perkebunan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2015, sepanjang belum ada peraturan daerah tentang pajak bumi dan bangunan yang terkait dengan perkebunan; dan

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.

53. Pasal 181 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 181Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perkebunan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2016.

54. Di antara Pasal 181 dan Pasal 182 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 181 A yang berbunyi sebagai berikut:

Page 89: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1619

Pasal 181 A(1) Semua ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan secara langsung dengan Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.

(2) Semua peraturan perundangan yang berkaitan dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.

(3) Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2009 sampai dengan Tahun Pajak 2015 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.

(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2015 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2018.

55. Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 183Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, :

a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);

b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1985 No. 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3313);

c. Pasal 161 ayat (2) huruf c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4437);

d. Pasal 11 ayat (2) huruf c. dan Pasal 13 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4438); dan

e. Pasal 31 huruf c ayat (1). Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ke-Empat Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4893);

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

56. Pasal 184 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 184Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal IIUndang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015 .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakartapada tanggal …PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Diundangkan di Jakartapada tanggal …MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

Page 90: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1620

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANO…. TAHUN 20…

TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

I. UMUM

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan Undang–Undang. Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Sumber-Sumber keuangan daerah meliputi Dana Transfer, Pendapatan Asli Daerah, dan sumber-sumber lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundangan. Pendapatan Asli Daerah terutama terdiri dari Pajak Daerah dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang di dalamnya termasuk Retribusi Daerah.

Berdasarkan pasal 23A UUD-1945 yang menyatakan bahwa Pajak dan Pungutan Lain yang bersifat memaksa ditetapkan dengan Undang-Undang. Pengenaan Pajak Daerah sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban pada rakyat seperti pajak daerah dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah. Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara lain adalah:a) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya

pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

b) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru.

c) Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, yaitu

Page 91: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1621

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.

d) Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

e) Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang PDRD dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan pulaketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.

f) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.

g) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkankebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/ atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.

Namun demikian, berbagai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam beberapa hal ternyata membatasi daerah untuk berinovasi dalam upaya menggali sumber-sumber penerimaan pajak spesifik di daerah sebagai sumber PAD karena pengaturan jenis pajak dan retribusi yang dipungut oleh daerah bersifat closed-list.

Selain itu, pungutan pajak yang harus ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda), berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 harus dilakukan melalui mekanisme pengajuan rancangan Perda terlebih dahulu untuk dievaluasi oleh pemerintah tingkat atas apakah rancangan Perda tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan yang lebih tinggi. Pengawasan preventif terhadap Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini merupakan langkah mundur dalam pelaksanakan otonomi daerah. Karena, diskresi daerah menjadi terbelenggu dengan adanya ketentuan bahwa Perda Tentang Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah sebelum dilaksanakan.

Dalam upaya meningkatkan sumber-sumber PAD terutama Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, secara umum sasaran yang hendak dicapai adalah Pemerintah Daerah secara gradual diupayakan mempunyai sumber daya fiskal daerah yang cukup signifikan untuk menunjang tugas otonominya tanpa membuat Pemerintah Pusat menghadapi fiscal space yang makin terbatas, terutama untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas perekonomian. Untuk itu upaya penguatan pajak pusat dan daerah secara bersamaan dan terintegrasi harus dikembangkan secara berkelanjutan sesuai dengan dinamika perekonomian kegiatan usaha, dan aspirasi masyarakat. Salah satu pilihan dalam rangka penguatan taxing power pemerintah daerah adalah mengatur pengalihan pajak dan pungutan pusat ke daerah yang tidak menimbulkan ketidakstabilan pada sisi penerimaan anggaran nasional.

Salah satu upaya jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dalam rangka memperkuat kapasitas fiskal daerah khususnya kabupaten/kota diupayakan untuk mempercepat proses pengalihan PBB Objek Perkotaan, Pedesaan yang diikuti dengan pengalihan objek Perkebunan, dilanjutkan dengan optimalisasi penerimaan PBB P-3 tersebut terutama melalui perbaikan administrasi PBB dan BPHTB.

Selain itu untuk mencapai keseimbangan fiskal perlu adanya penguatan Pajak Daerah tanpa mengganggu prinsip efisiensi dalam pengenaan pajak secara nasional. Penguatan local taxing power harus diupayakan dari waktu ke waktu. Dalam kerangka pemikiran ini Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru mengusulkan penerapan sistem piggyback (opsen) untuk beberapa jenis pajak tertentu, terutama Pajak Tambahan Atas Cukai Hasil Tembakau, yang Meliputi Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil Pengolahan

Page 92: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1622

Tembakau Lainnya, PPh Pasal 21, dan PPH Orang Pribadi. Selain itu dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah yang baru juga memperkenalkan penerapan Pajak Wisatawan Asing, menetapkan Bea Meterai menjadi Pajak Daerah Provinsi.

Penguatan kemampuan fiskal daerah tidak hanya diberikan kepada pemerintah daerah provinsi, juga diberikan kepada perintah daerah kabupaten/kota, melalui penerapan Pajak Warisan dan Hibah dan Pajak Lingkungan sebagai Pajak Daerah kabupaten/kota. Di samping itu Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberikan kewenangan perluasan basis pajak yang berorientasi pada pemeliharaan/perlindungan lingkungan melalui rekonstruksi basis pajak-pajak tertentu untuk mendukung pemeliharaan lingkungan dan ekonomi hijau (green economy) antara lain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, dan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.

Secara umum daerah juga diberikan wewenang menentukan tarif pajak dengan memberikan ceiling tertentu dengan terus dilakukan pemantauan atas kinerja perekonomian daerah. Hal ini untuk menghindari adanya ekonomi biaya tinggi. Dengan penguatan kapasitas fiskal daerah dalam jangka menengah dan panjang yang lebih baik, maka penyelarasan penguatan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, harus diikuti dengan peningkatan kualitas kewajiban belanja daerah sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam pelayanan publik dan besaran transfer dari pusat.

Pajak Daerah dan Pajak Nasional merupakan satu kesatuan Perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban mayarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan perpajakan tersebut bersifat holistik dan terintegrasi, sehingga memenuhi salah satu prinsip perpajakan yaitu memberikan beban yang adil kepada masyarakat. Sejalan dengan sistem perpajakan nasional dan daerah yang terintegrasi, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan ini harus dilakukan secara terus-menerus, terutama mengenai dasar pengenaan pajak, tarif pajak, administrasi perpajakan, dan dampak pengenaan pajak terhadap perekonomian nasional dan daerah agar antara Pajak Pusat dan Pajak Daerah saling melengkapi.

Dalam pembentukan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan Undang-Undang lainnya, yaitu:1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara

Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ke-tiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4740);

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189);

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 1Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya multi tafsir, salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga baik Wajib Pajak maupun Wajib Retribusi dan aparatur dalam menjalankan hak dan kewajibannya dapat berjalan dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertibadministrasi. Pengertian ini diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam bidang perpajakan daerah dan retribusi.

Pasal 2Ayat (1)Jenis Pajak Provinsi dalam Undang-Undang ini ditetapkan sebanyak 9 (sembilan) jenis objek, walaupun demikian daerah provinsi dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang ditetapkan sebagai pajak daerah provinsi tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai. Khusus untuk provinsi yang tidak terbagi dalam kabupaten/kota, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk daerah provinsi dan pajak untuk daerah kabupaten dan kota.

Ayat (2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota dalam Undang-Undang ini ditetapkan sebanyak 13 (tiga belas) jenis objek, walaupun demikian daerah kabupaten/kota dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang ditetapkan sebagai pajak daerah kabupaten/kota tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai.

Page 93: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1623

Ayat (3)Undang-Undang ini menetapkan jenis -jenis pajak sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) dan menetapkan kriteria -kriteria untuk jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2). Ayat (3) ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah di masa mendatang yang mengakibatkan pergeseran potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi daerah. Jenis pajak baru yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.Huruf aYang dimaksud dengan kriteria bersifat pajak dan bukan retribusi adalah bahwa pajak yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6.Huruf bYang dimaksud dengan kriteria objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum berarti pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketenteraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.Huruf cYang dimaksud dengan kriteria potensinya memadai berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju p ertumbuhan ekonomi daerah. Huruf dYang dimaksud dengan kriteria tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif berarti pajak tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor.Huruf eYang dimaksud dengan kriteria aspek keadilan antara lain adalah Objek dan Subjek Pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tarif p ajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan Subjek Pajak untuk memikul tambahan beban pajak. Huruf fYang dimaksud dengan kriteria menjaga kelestarian lingkungan adalah bahwa pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah dan masyarakat.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 3Cukup jelas.

Pasal 4Cukup jelas.

Pasal 5Cukup jelas.Pasal 6Cukup jelas.

Pasal 7Cukup jelas.

Pasal 8Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Yang dimaksud dengan ”keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam.Ayat (4)

Page 94: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1624

Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 9Cukup jelas.

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12Cukup jelas.

Pasal 13Cukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Cukup jelas.

Pasal 16Cukup jelas.

Pasal 17Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:a) Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU),

Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen langsung);

b) Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan bermotor. Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antarpenyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas.

Pasal 19Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Pemberlakuan ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan kesiapan Daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar untuk kendaraan umum dengan kendaraan pribadi.

Page 95: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1625

Ayat (3)Penetapan tarif dan mekanisme penentuan harga Bahan Bakar Kendaraan Bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan barang strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.Kenaikan harga minyak akan menambah dana bagi hasil yang berasal dari penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi dalam bentuk dana alokasi umum tambahan

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 20Cukup jelas.

Pasal 21Cukup jelas.Pasal 22Cukup jelas.

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Cukup jelas.

Pasal 25Cukup jelas.

Pasal 26Ayat (1)Yang dimaksud dengan “sigaret” adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.

Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.

Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan.

Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.

Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin.

Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin.

Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.

Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti.

Page 96: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1626

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.Ayat (6)Cukup jelas.

Ayat (7)Cukup jelas.

Pasal 26 ACukup jelas.

Pasal 26 BCukup jelas.

Pasal 26 CCukup jelas.

Pasal 26 DAyat (1)Angka 1)Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan.Angka 2)Cukup jelas.Angka 3)Cukup jelas.Angka 4), Angka 5), dan Angka 6).Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.

Ayat (2)Untuk menunjang otomasi kliring, maka pengenaan Tarif Bea Materai sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu Rupiah) tersebut dengan tidak memperhatikan besarnya harga nominal dari Cek dan Bilyet Giro.Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan kliring, Bank cukup menyediakan 1 (satu) macam bentuk buku Cek dan 1 (satu) macam bentuk buku Bilyet Giro. Ayat (3)Angka 1)Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang. Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian. Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar harga barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraian kemudian.Angka 2)Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai. Misalnya tanda penerimaan uang yang dibuat dengan tujuan untuk keperluan intern organisasi tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan

Page 97: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1627

uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian kemudian terlebih dahulu.Ayat (4)Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f.

Pasal 26 ECukup jelas.

Pasal 26 FHuruf a.1) Cukup jelas.2) Cukup jelas.3) Cukup jelas.4) Cukup jelas.5) Cukup jelas.6) Cukup jelas.7) Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7 ini ialah surat-surat yang tidak

disebut pada angka 1 sampai dengan angka 6 namun karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat-surat yang dimaksud, seperti surat titipan barang, cell gudang, manifest penumpang, maka surat yang demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 32 huruf a ini.

Huruf bTermasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar,tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus dan penataran.Huruf cCukup jelas.Huruf dCukup jelas.Huruf eBank yang dimaksud dalam huruf e ini adalah bank yang ditunjuk, oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk menerima setoran pajak daerah provinsi yang bersangkutan, bea dan cukai.Huruf fCukup jelas. Huruf gCukup jelas. Huruf hCukup jelas. Huruf iCukup jelas.

Pasal 26 GHuruf aSaat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek dan sebagainya.Huruf bSaat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. Huruf cCukup jelas.

Pasal 26 HDalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terutang oleh penerima kuitansi. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.

Page 98: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1628

Pasal 26 IAyat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Di samping itu dengan Peraturan Gubernur Provinsi yang bersangkutan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin teraan, sesuai dengan peraturan perundangan yang ditentukan untuk itu.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya.Ayat (6)Cukup jelas.Ayat (7)Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.Andai kata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi.

Ayat (8)Cukup jelas. Ayat (9)Cukup jelas.

Pasal 26 JCukup jelas.

Pasal 26 KDokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dengan cara pemeteraian kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus perseratus).

Pasal 26 LCukup jelas.

Pasal 26 MCukup jelas.

Pasal 26 NDitinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi.

Pasal 27Hapus.

Pasal 28Hapus.

Page 99: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1629

Pasal 29Hapus.

Pasal 30Hapus.

Pasal 31Hapus.

Pasal 32Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Huruf aCukup jelas.Huruf bPengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.Huruf cCukup jelas.Huruf dCukup jelas.Huruf eCukup jelas.

Pasal 33Cukup jelas.

Pasal 34Cukup jelas.

Pasal 35Cukup jelas.

Pasal 36Cukup jelas.

Pasal 37Cukup jelas.

Pasal 38Cukup jelas.

Pasal 39Cukup jelas.

Pasal 40Cukup jelas.

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42Cukup jelas.

Pasal 43Cukup jelas.

Pasal 44Cukup jelas.

Pasal 45Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)

Page 100: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1630

Cukup jelas.Ayat (3)Yang dimaksud dengan “hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional” adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 47Cukup jelas.

Pasal 48Cukup jelas.

Pasal 49Cukup jelas.

Pasal 50Cukup jelas.

Pasal 51Cukup jelas.

Pasal 52Cukup jelas.

Pasal 53Cukup jelas.

Pasal 54Cukup jelas.

Pasal 55Cukup jelas.

Pasal 56Cukup jelas.

Pasal 57Cukup jelas.

Pasal 58Cukup jelas.

Pasal 59Cukup jelas.

Pasal 60Cukup jelas.

Pasal 61Cukup jelas.

Pasal 62Cukup jelas.

Pasal 63Cukup jelas.

Pasal 64Cukup jelas.

Page 101: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1631

Pasal 65Cukup jelas.

Pasal 66Cukup jelas.

Pasal 67Cukup jelas.

Pasal 68Cukup jelas.

Pasal 69Cukup jelas.

Pasal 70Cukup jelas.

Pasal 71Cukup jelas.

Pasal 72Cukup jelas.

Pasal 73Cukup jelas.

Pasal 74Cukup jelas.

Pasal 75Cukup jelas.

Pasal 76Cukup jelas.

Pasal 77Ayat (1)Yang dimaksud dengan ”kawasan” adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan, tidak termasuk tanah dan bangunan yang dipergunakan/dimanfaatkan untuk perumahan karyawan dan perkantoran perusahaan perhutanan dan pertambangan. Tanah dan bangunan yang dipergunakan/dimanfaatkan untuk perumahan karyawan dan perkantoran perusahaan perhutanan dan pertambangan, tersebut merupakan objek pajak bumi dan bangunan pedesaan atau perkotaan sesuai dengan lokasi objek yang bersangkutan. Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Huruf aCukup jelas.Huruf bYang dimaksud dengan ”tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui terutama dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan laporan keuangan dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Berdasarkan laporan keuangan tersebut surplus dari kegiatan operasional yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut diakumulasikan untuk kegiatan pengembangan sarana dan prasarana yayasan/badan tersebut dan bukan untuk dibagikan pada pengurus/pendiri yayasan/badan tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan per-Undang-Undangan.Huruf cCukup jelas.Huruf dCukup jelas.

Page 102: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1632

Huruf eCukup jelas.Huruf fCukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 78Cukup jelas.

Pasal 79Ayat (1)Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode

penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.

b. nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.

c. nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Ayat (2)Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 80Ayat (1)Contoh:NJOP Tanah dan Bangunan Rp.12. 000.000.000,00NJOP TKP berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan

Rp.15.000.000,00 (-)

NJOP KP = Rp. 11.985.000.000,00

Ayat (2)Contoh:Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan ditetapkan lapisan tarif PBB sebagai berikut:a. NJOP-KP sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sebesar 0.15% (nol koma

satu lima perseratus);b. NJOP-KP diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.

5.000.000.000,00 ditetapkan 0.25% (nol koma dua lima perseratus);c. NJOP-KP diatas Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sampai dengan Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah ditetapkan 0.35% (nol koma tiga lima perseratus);d. NJOP-KP diatas Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ditetapkan 0.45% (nol koma

empat lima perseratus);

Maka perhitungan PBB terutang adalah sebagai berikut:0.15% * Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.1.500.000,000.25% * Rp. 4.000.000.000,00 = Rp.10.000.000,000.35% * Rp. 5.000.000.000,00 = Rp.17.500.000,000.45% * Rp. 1.985.000.000,00 = Rp.8.932.500,00 (+)Jumlah Pajak PBB Terutang: Rp.37.932.500,00

Dalam contoh ini tarif efektif PBB = Rp.37.932.500,00 / Rp.12.000.000.000,00 = 0.3161% atau 3.16 ‰.

Ayat (3)Cuku jelas.

Page 103: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1633

Ayat (4)Cuku jelas.

Ayat (5)Cuku jelas.

Pasal 81Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).Contoh:Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:• Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2;• Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2;• Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;• Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000,00/m2.

Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 = Rp.240.000.000,00

2. NJOP Bangunana. Rumah dan garasi

400 x Rp350.000,00 = Rp.140.000.000,00b. Taman

200 x Rp50.000,00 = Rp.10.000.000,00c. Pagar

(120 x 1,5) x Rp175.000,00 = Rp.31.500.000,00 (+)

Total NJOP Bangunan = Rp181.500.000,00

Total NJOP Bumi dan Bangunan = Rp.421.500.000,00

Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak = Rp.10.000.000,00 (-)

Nilai Jual Objek Kena Pajak = Rp.411.500.000,00

Tarif yang diterapkan sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 89 ayat (2) (0.15%)

PBB Terutang = Rp.617.250,00

Penjelasan:1. Nilai Jual Objek Kena Pajak dapat disesuaikan dengan ketentuan terakhir2. Untuk mengantisipasi seandainya NJOP Bangunan kurang atau lebih kecil dari NJOP Tidak

Kena Pajak

Pasal 82Cukup jelas.

Pasal 83Cukup jelas.Pasal 84Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Penetapan SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan, Perkotaan dan Perkebunan.

Pasal 85Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.

Page 104: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1634

Ayat (4)Huruf a.Cukup jelas.Huruf b.Cukup jelas.Huruf c.Cukup jelas.Huruf d.Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena konversi hak atau perbuatan hukum lain, baik dengan atau tidak adanya perubahan nama antara lain yang berasal dari tanah adat untuk disertifikatkan tidak dikenakan BPHTB berdasarkan Undang-Undang ini. Tujuan dari ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pensertipikatan tanah yang belum bersertipikat, terutama tanah adat.Huruf e.Cukup jelas.Huruf f.Cukup jelas.

Huruf g.Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena warisan, hibah dan hibah wasiat, tidak dikenakan BPHTB menurut Undang-Undang ini karena dikenakan pajak warisan dan hibah berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 86Cukup jelas.

Pasal 87Cukup jelas.

Pasal 88Cukup jelas.

Pasal 89Contoh:Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan denganNilai Perolehan Objek Pajak = Rp65.000.000,00Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp25.000.000,00 (-)Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp40.000.000,00BPHTB Yang Terutang = 5% x Rp40.000.000,00 = Rp2.000.000,00

Pasal 90Cukup jelas.

Pasal 91Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 92Cukup jelas.

Pasal 93Cukup jelas.

Pasal 93 ACukup jelas.

Pasal 93 BCukup jelas.

Pasal 93 CCukup jelas.

Page 105: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1635

Pasal 93 DCukup jelas.

Pasal 93 ECukup jelas.

Pasal 93 FCukup jelas.

Pasal 93 GCukup jelas.

Pasal 94Cukup jelas.

Pasal 95Cukup jelas.

Pasal 96Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadisarana penagihan.

Pasal 97Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.Ayat (1)Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material.

Contoh:1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2013. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2013. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administratif.3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDN.

Page 106: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1636

Huruf aAngka 1)Cukup jelas.Angka 2)Cukup jelas.Angka 3)Yang dimaksud dengan ”penetapan pajak secara jabatan” adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.Huruf bCukup jelas

Huruf cCukup jelasAyat (2)Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.Ayat (3)Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannyasebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus perseratus) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.Ayat (4)Cukup jelasAyat (5)Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya, dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB.Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.Pasal 98Cukup jelas.

Pasal 99Cukup jelas.

Pasal 100Cukup jelas.

Pasal 101Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran SPPT telah diatur dalam ayat (1) dan SPPT tidak tergolong sebagai surat ketetapan/surat keputusan seperti SKPD dst. sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Pasal 102Cukup jelas.

Pasal 103Cukup jelas.

Pasal 104Cukup jelas.

Pasal 105Cukup jelas.

Page 107: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1637

Pasal 105 ACukup jelas.

Pasal 106Cukup jelas.

Pasal 106 ACukup jelas.

Pasal 106 BCukup jelas.

Pasal 107Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2) Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelas.Huruf cCukup jelas. Huruf dCukup jelas.Huruf eYang dimaksud dengan ”kondisi tertentu objek pajak”, antara lain, lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan Wajib Pajak tertentu.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 107 ACukup jelas.

Pasal 108Cukup jelas.

Pasal 109Cukup jelas.

Pasal 110Cukup jelas.

Pasal 111Cukup jelas.

Pasal 112Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.Pasal 113Cukup jelas

Pasal 114Cukup jelas.

Pasal 115Cukup jelas.

Pasal 116Cukup jelas.

Pasal 117Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran SPPT telah diatur dalam ayat (1) dan SPPT tidak tergolong sebagai surat ketetapan/surat keputusan seperti SKPD dst. sebagaimana diatur

Page 108: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1638

dalam ayat (2).

Pasal 118Cukup jelas.

Pasal 119Yang dimaksud dengan “peta” adalah peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, dan peta teknis (struktur).

Pasal 120Cukup jelas.

Pasal 121Cukup jelas.

Pasal 122Cukup jelas.

Pasal 123Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua perseratus) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.

Pasal 124Cukup jelas.

Pasal 125Cukup jelas.

Pasal 126Cukup jelas.

Pasal 127Cukup jelas.

Pasal 128Ayat (1)Pemakaian kekayaan Daerah, antara lain, penyewaan tanah dan bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor.Ayat (2)Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, antara lain, pemancangan tiang listrik/telepon atau penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan umum.

Pasal 129Cukup jelas.

Pasal 130Cukup jelas.

Pasal 131Cukup jelas.

Pasal 132Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 133Cukup jelas.

Pasal 134Cukup jelas.

Page 109: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1639

Pasal 135Cukup jelas.

Pasal 136Cukup jelas.

Pasal 137Ayat (1)Hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau benih tanaman, bibit ternak, dan bibit atau benih ikan.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 139Cukup jelas.

Pasal 140Cukup jelas.

Pasal 141Cukup jelas.

Pasal 142Cukup jelas.

Pasal 143Cukup jelas.

Pasal 144Ayat (1)Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi dapat ditetapkan berdasarkan perseratustase tertentu dari nilai investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor, atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 145Cukup jelas.

Pasal 146Cukup jelas.

Pasal 147Cukup jelas.

Pasal 148Cukup jelas.

Pasal 149Cukup jelas.

Pasal 150Cukup jelas.

Pasal 151Cukup jelas.

Pasal 152Cukup jelas.

Pasal 153Cukup jelas.

Page 110: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1640

Pasal 154Cukup jelas.

Pasal 155Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, maka Peraturan Daerah yang bersangkutan harus ditinjau kembali.

Pasal 156Cukup jelas.

Pasal 157Cukup jelas.

Pasal 158Ayat (1)Hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau benih tanaman, bibit ternak, dan bibit atau benih ikan.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 159Cukup jelas.

Pasal 161Ayat (1)Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses koordinasi.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas.Ayat (6)Cukup jelas.Ayat (7)Cukup jelas.Ayat (8)Cukup jelas.

Pasal 162Cukup jelas.

Pasal 163Cukup jelas.

Pasal 164Ayat (1)Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi dapat ditetapkan berdasarkan perseratustase tertentu dari nilai investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor, atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 165Cukup jelas.

Page 111: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1641

Pasal 166Cukup jelas.

Pasal 167Cukup jelas.

Pasal 168Cukup jelas.

Pasal 169Cukup jelas.

Pasal 170Cukup jelas.

Pasal 171Ayat (1)Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi.Ayat (2)Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi masalah keuangan.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 172Cukup jelas.

Pasal 172 ACukup jelas.

Pasal 172 BAyat (1) Cukup jelas.Ayat (2) Pembentukan Komite Pengawas Perpajakan Daerah dimaksudkan untuk membangun citra perpajakan daerah yang kredibel, untuk mengawasi perilaku aparat perpajakan daerah dan sekaligus melindungi kepentingan Wajib Pajak daerah atas penyimpangan dan pelanggaran ketentuan perundangan yang dilakukan oleh aparat perpajakan daerah.

Pasal 173Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Pasal 174Ayat (1)Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 35 ayat (2) tanpa izin Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 174 ACukup jelas.

Pasal 175Cukup jelas.

Page 112: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 37

1642

Pasal 176Cukup jelas.

Pasal 177Ayat (1)Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya dimaksudkan untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu.Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 178Cukup jelas.

Pasal 179Cukup jelas.

Pasal 180Cukup jelas.

Pasal 181Cukup jelas.

Pasal 181 ACukup jelas.

Pasal 182Cukup jelas.

Pasal 183Cukup jelas.

Pasal 184Cukup jelas.

Pasal 185Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR….