100
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/DPD RI/II/2013—2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK JAKARTA 2013

keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

  • Upload
    hacong

  • View
    231

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 36/DPD RI/II/2013—2014

TENTANGRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

JAKARTA2013

Page 2: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36
Page 3: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1433

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 36/DPD RI/II/2013-2014

TENTANGRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa penyelengggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak negara antara lain Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan negara dan daerah dengan lebih sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tumbuh secara berkelanjutan, stabil, berkeadilan, dan berkepastian hukum;

b. bahwa pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak harus diselenggarakan secara nyata dan bertanggungjawab serta disesuaikan dengan perkembangan keadaan perekonomian, ketatanegaraan, tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan, dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat;

c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. bahwa Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun dan mengkaji Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

e. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf d telah dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk mewujudkan keselarasan konsep rancangan undang-undang dimaksud dengan Pancasila, tujuan nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan memuat kesesuaian unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis;

f. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Page 4: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1434

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22D ayat dan ayat (2), Pasal 23, 23A dan Pasal 23C dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013

MEMUTUSKAN:Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.

PERTAMA : Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai rancangan undang-undang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

KEDUA : Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA terlampir.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, S.E., M.B.A.

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

Page 5: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1435

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

BAGIAN PERTAMANASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN …

TENTANGPERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 1997TENTANG

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

JAKARTA2013

Page 6: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1436

Page 7: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1437

KATA PENGANTAR

Naskah ini merupakan kajian dalam rangka Penyusunan Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Ruang lingkup kegiatan kajian berkaitan dengan rencana penggantian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam kajian tersebut, tidak hanya me-review Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, akan tetapi lebih luas dengan mengkaji, dan mengelaborasi untuk melahirkan ide-ide baru agar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak ini ke depan dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan alternatif yang memiliki sifat sustainable revenues untuk mendanai pembangunan yang juga bersifat sustainable development. Kemunculan ide sustainable revenues akan memperkokoh dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara nyata.

Penyusunan naskah akademik ditujukan antara lain, untuk mengganti Undang-Undang bidang penerimaan negara bukan pajak yang sesuai dengan kondisi objektif yang kini terjadi dan mengantisipasi perkembangan di masa mendatang. Secara keseluruhan penyusunan naskah akademik ini mengacu kepada lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Isi dari naskah akademik ini selain dari hasil kajian, juga terdapat beberapa saran dan masukan dari berbagai kalangan dan narasumber yang khusus diminta untuk memperkaya khasanah kajian ini. Atas kontribusi yang diberikan, kami penyusun mengucapkan terima kasih dan berharap semoga penggantian yang akan dilakukan membawa manfaat yang besar bagi bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai.

Akhirnya kami berharap kajian ini dapat berguna dan memberikan sumbangsih bagi penyempurnaan substansi Undang-Undang bidang penerimaan negara bukan pajak. Kemudian sebagaimana diketahui bahwa kelangsungan penerimaan akan memiliki akibat kepada kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan.

Harapan lain yaitu semoga perubahan pada Undang-Undang ini dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman yang menghendaki dilakukannya perubahan sebagai wujud adaptasi dari perubahan itu sendiri.

Page 8: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1438

BAB 1PENDAHULUAN

Setelah lebih dari satu dasawarsa dijadikan sebagai landasan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak akhirnya harus melalui tahap perubahan yang signifikan (penggantian). Proses tersebut diperkuat dengan telah masuknya penggantian Undang-Undang 20 Tahun 1997 sebagai salah satu Program Legislasi Nasional 2010-2014.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu pilar APBN yang cukup menjanjikan dalam beberapa dasawarsa terakhir. Meskipun masih kalah populer dan tidak sesuperior penerimaan perpajakan, namun capaian realisasi PNBP yang menunjukkan performa positif dalam beberapa dasawarsa terakhir menyiratkan bahwa jenis penerimaan ini menyimpan potensi.

Sebelum digulirkannya reformasi pengelolaan PNBP pada tahun 1997, penatausahaan, pemungutan, dan pertanggungjawaban PNBP belum sepenuhnya mencerminkan tata kelola yang baik. Banyaknya Kementerian/Lembaga (K/L) yang memungut PNBP tanpa dasar hukum, kurang tertibnya penyetoran PNBP dan adanya penggunaan dana PNBP di luar mekanisme APBN, merupakan sebagian potret pengelolaan PNBP yang perlu segera dibenahi.

Perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 1997 (sejak pertama kali Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak diundangkan) adalah pesat dan penuh dinamika. Ruang lingkup potensi saat ini dibatasi hanya terdapat 8 (delapan) jenis, sedangkan sesuai perkembangan jenis PNBP ini adalah sangat memungkinkan bertambah sesuai dengan perkembangan yang terjadi.

Mengetahui mengapa dan bagaimana proses penggantian Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak ini berlangsung merupakan kepentingan banyak stakeholder baik di lingkungan intern Kementerian Keuangan maupun ekstern seperti kementerian/lembaga, BUMN, Pemda, dan masyarakat pada umumnya. Tidak dapat dipungkiri, peranan PNBP sebagai salah satu penerimaan negara di luar pajak dan hibah semakin meningkat sejalan perkembangan waktu. Hal ini terlihat dari pertumbuhan realisasi PNBP yang signifikan selama sepuluh tahun terakhir.

Tidaklah berlebihan rasanya apabila kemudian pemerintah mengatur pengelolaan PNBP dalam sebuah produk legislasi berupa Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Selain bertujuan untuk mengamankan sumber pendapatan negara yang sangat menjanjikan tersebut, kehadiran Undang-Undang PNBP diharapkan mampu menghembuskan angin perubahan di dalam pengelolaan keuangan negara. Hingga kini, tercatat tidak kurang dari 70 K/L yang melaksanakan pungutan negara di luar perpajakan tersebut.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 20 Tahun 1997, pungutan PNBP harus ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP pada K/L. Penetapan besaran tarif antara lain harus memperhatikan aspek keadilan, menjamin pelayanan yang baik kepada masyarakat, dan mempertimbangkan perkembangan dunia usaha. Pungutan PNBP yang tidak berkiblat pada PP tentang jenis dan tarif tersebut dianggap sebagai pungutan liar yang semestinya dapat segera ditertibkan. Secara umum, di dalam penetapan tarif kita mengenai metode official dan self-assessment. Dalam metode yang pertama, kewajiban PNBP ditetapkan oleh Instansi Pemerintah. Sementara itu, metode kedua memberikan kelonggaran bagi wajib bayar untuk menghitung sendiri kewajiban PNBP-nya.

Disadari sepenuhnya bahwa pencapaian target PNBP perlu diiringi dengan upaya optimalisasi penggalian PNBP. Kementerian Keuangan senantiasa mendorong K/L sebagai instansi pemungut dan para wajib bayar PNBP untuk segera menyetor kewajiban PNBP ke Kas Negara. Pada prinsipnya, dana PNBP yang dipungut oleh K/L harus segera dan secepatnya disetor ke Kas Negara. Demikian juga kewajiban PNBP oleh wajib bayar, diharapkan dapat disetor sebelum tanggal jatuh tempo. Instansi pemerintah yang memperoleh ijin penggunaan, dapat mencairkan dana PNBP setelah menyetorkan uang PNBP yang dipungut dari masyarakat ke kas negara.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, Pemerintah juga memberikan sinyal pidana atas pelanggaran dalam pengelolaan PNBP. Sebaliknya, rezim PNBP saat ini juga memberikan hak kepada wajib bayar untuk mengajukan pengembalian pembayaran PNBP baik dalam bentuk kompensasi maupun pengembalian tunai. Bahkan, bagi wajib bayar yang kurang puas dengan penetapan kewajiban PNBP, khususnya untuk PNBP yang dihitung dengan self assessment, dapat mengajukan keberatan.A. Latar Belakang

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, akan membawa akibat perubahan terhadap peraturan perundangan dibawahnya meskipun hal ini tidak mutlak sifatnya. Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak adalah salah satu Undang-Undang yang landasan berpijaknya berubah. Hal ini seperti terlihat dalam diktum mengingat butir 1 dari Undang-Undang No.20 tahun 1997 tentang PNBP mengacu kepada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, demikian juga pada

Page 9: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1439

butir 2 masih mengacu kepada Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1968 (lembaran negara Tahun 1968 Nomor 53). Sejalan dengan hal tersebut di atas lahirnya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan penerimaan negara bukan pajak baik langsung maupun tidak langsung terdapat benang merah di antara berbagai perundangan tersebut. Perundangan tersebut antara lain Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks atau ruang lingkup Undang-Undang 20 Tahun 1997, fakta menunjukan bahwa terhadap Undang-Undang ini tidak pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, artinya bahwa Undang-Undang 20 Tahun 1997 telah dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan regulasi pada saat diundangkan. Kemudian secara substansial bahwa Undang-Undang 20 Tahun 1997 lebih banyak mengatur kedalam birokrasi terutama ditujukan dalam pengeloaan keuangan publik dalam format anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN dari sektor penerimaan negara bukan pajak.

Profile Undang-Undang No.20 Tahun 1997, yang sudah kurang lebih 15 tahun berlaku harus dilakukan review. Hal tersebut mengingat adanya perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945, perubahan dan atau disyahkannya Undang-Undang baru yang terkait dengan Undang-Undang No.20 Tahun 1997 dan adanya tuntutan pada penguatan implementasi otonomi daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa upaya penguatan pada otonomi yang terbaru adalah dengan diundangkannya Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Undang-Undang 28 Tahun 2009 tersebut antara lain melimpahkan antara lain pengelolaan PBB ke daerah yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak.B. Identifikasi Masalah

Sustainabilitas atau keberlangsungan sumber penerimaan dari penerimaan bukan pajak memiliki tingkat keandalan tinggi sejalan berkembangnya ekonomi di masyarakat. Kelangsungan sumber penerimaan tidak datang begitu saja, akan tetapi harus dikelola secara baik dan benar mengikuti ketentuan perundang undangan yang berlaku. Pada permulaan mempersiapkan sumber penerimaan, keberlangsungan harus menjadi kata kunci dalam melakukan persiapan dimaksud. Sehubungan keberlangsungan menjadi kata kunci, maka aspek-aspek yang mendukung ke arah itu harus benar-benar dikaji dan dipelajari dengan seksama, misal apabila pilihan jatuh kepada optimalisasi asset berwujud yang selama ini lebih bersifat idle ini adalah merupakan pilihan tetap dan hampir di semua wilayah ada dan tersedia dengan cukup.

Sejalan dengan perubahan pada peraturan dasar yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maupun pada tingkat Undang-Undang terkait, nampaknya keusangan dari Undang-Undang No.20 Tahun 1997, sulit untuk dibantah. Permasalahan permasalahan yang ada antara lain pada aspek jenis PNBP, terminologi dan istilah yang dipergunakan misal Departemen dan non Departemen, keberadaan PNBP di daerah belum diakomodir.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, identifikasi permasalahan yang ada dan akan dielaborasi adalah :

1. Bagaimanakah cara meningkatkan pendapatan dari sektor penerimaan bukan pajak?2. Apakah peraturan perundangan yang ada masih relevan dengan tuntutan yang ada?3. Pertimbangan apakah yang mendasari perlunya perubahan peraturan non pajak?4. Sasaran apakah yang akan diwujudkan dari perubahan peraturan yang akan dilakukan ?

Dalam naskah akademik ini Penerimaan Bukan Pajak terbagi atas:a. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah penerimaan yang selama berjalan berdasarkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 1997. Dalam perjalanannya Undang-Undang ini tidak banyak mengalami hambatan yang berarti semuanya berjalan seolah olah tidak ada persoalan yang berarti, akan tetapi sesungguhnya pemerintah baik pusat maupun daerah masih merasa aman dengan masih berlimpahnya sumber daya alam berupa batu bara, minyak dan gas serta masih dapat diandalkannya potensi penerimaan dari pajak. Dalam keadaan demikian maka potensi penerimaan selain pajak menjadi kurang diperhatikan sama seperti hal nya pada saat indonesia masih booming dengan minyak bumi dan masih menjadi anggota OPEC, pajak dan penerimaan lainnya belum dipedulikan. Kondisi yang sama saat ini jangan menggunakan pola lama yang kemudian panik yang manaka penerimaan dari minyak bumi berkurang drastis sehingga mulai memikirkan pajak. Kondisi memacu revolusi pembaruan pada undang-undnag bidang perpajakan hingga saat ini.

b. Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP)Penerimaan Daerah Bukan Pajak adalah merupakan sumber penerimaan untuk

daerah selain dari pajak daerah. Penerimaan daerah selain dari pajak daerah memiliki potensi yang cukup besar. Potensi potensi tersebut antara lain daerah-daerah pusat bisnis daerah, wisata, sumberdaya alam, baik di lautan maupun di daratan dan potensi

Page 10: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1440

ini merata diseluruh wilayah tanah air terlebih di Indonesia bagian timur. Potensi tersebut kini idle atau dimanfaatkan oleh pihak pihak lain secara tidak bertanggung jawab. Potensi idle jika dikelola dengan baik maka percepatan kesejahteraan akan terakselerasi dengan sangat signifikan. Kekurangan modal atau kapital akan dapat diatasi dengan landasan perundangan yang jelas dan tegas. Pemda dengan kewenangannya akan melaksanakan amanat undang undang ini dengan penuh kesadaran akan arti penting mensejahterakan masyarakatnya dan dengan penuh tanggungjawab.

Sumber penerimaan negara bukan pajak harus dipelihara agar memberi manfaat secara terus menerus dengan cara mengembangankan polanya dari waktu ke waktu. Pemeliharaan atau pengelolaan yang baik diantaranya dengan membuat blue print optimalisasi asset secara komprehensif untuk batas waktu 100 tahun misalnya. Kurun waktu tersebut dinilai cukup optimis untuk mempertahankan sumber penerimaan yang benar benar dapat diandalkan. Maintenance antara lain dapat dilakuakn dengan cara relokasi fungsi sejalan dengan pola permintaan pelayanan dan kebijakan yang ada dalam pemerintahan. Antisipasi atas perkembangan dalam sebuah blue print yang di rencanakan secara tepat akan dapat menjaga kelangsungan sumber-sumber penerimaan yang sangat penting masa kini dan masa yang akan datang.C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Maksud dari disusunnya naskah akademik ini adalah untuk mengkaji sampai sejauh mana Undang-Undang No.20 Tahun 1997 masih mampu mengakomodir kebutuhan dan tuntutan perkembangan ekonomi, sosial, ketatanegaraan, dan kelembagaan yang berimplikasi pada potensi sumber penerimaan bukan pajak. Tujuan dari kajian ini adalah untuk menghasilkan formulasi baru dari Undang-Undang penerimaan bukan pajak yang mengakomodir kebutuhan dan tuntutan jaman terutama mengakomodir perubahan sistem ketatanegaraan yaitu otonomi daerah.

Ruang lingkup kajian meliputi substansi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yaitu (1) Jenis dan tarif, (2) Pengelolaan, (3) Pemeriksaan, (4) Keberatan, serta (5) Ketentuan pidana, (6) Pengembangan materi, serta hal lain yang terkait dengan substansi materi ini secara keseluruhan. Khusus pengembangan materi terkait dengan sistem ketatanegaraan yang berubah berupa otonomi dan perkembangan lainnya baik di bidang peraturan perundang-undang misal dengan lahirnya PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, maupun bidang kegiatan swasta yang berkaitan dengan pemerintah misal kerjasama operasional (KSO) atau kegiatan optimalisasi asset berwujud maupun asset tidak berwuju melalui mekanisme bangun guna serah atau bangun serah guna. Kesemua perkembangan yang terjadi secara objektif harus diakomodir dalam perundangan yang baru bidang penerimaan bukan pajak. Ke depan diharapkan adanya peningkatgan yang signifikan dari jenis penerimaan ini baik sebagai alternatif, maupun dapat menyamai ataupun dapat melampaui jenis penerimaan lainnya semisal penerimaan pajak maupun hibah.

1. Tujuan PenelitianTujuan penelitian memproyeksikan sejumlah “goal” atau capaian terukur seperti yang telah di rencanakan sebelumnya. Tujuan dari penyusunan naskah akademik ini adalah (1) mengupayakan penggalian sumber penerimaan bukan pajak yang baru, (2) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap ketentuan penerimaan bukan pajak yang selama ini berlaku, terutama ditujukan bagi pembaruan ketentuan yang selama ini berlaku melalui evaluasi yang di lakukan meliputi perkembangan yang terjadi terhadap peraturan lainnya yang terkait (3) memberikan argumentasi dan landasan filosofi yang kuat baik secara politis, sosiologis dan yuridis tentang pentingnya perubahan paradigma penerimaan bukan pajak dilakukan dan Hasil evaluasi kemudian akan dijadikan alasan atau argumentasi tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak. Sasaran yang jelas dan penting dari perubahan ini adalah meningkatnya penerimaan bukan pajak bukan hanya pada pemerintah pusat akan tetapi pada ruang lingkup pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota.Hasil akhir dari kajian dalam naskah akademik ini adalah terciptanya ketentuan baru yang dapat mengakomodir perkembangan dan perubahan yang ada sekaligus dapat meningkatkatkan penerimaan dari sektor penerimaan bukan pajak sebagai sumber penerimaan penting dalam rangka menunjang tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang selama ini sedang giat giatnya dilakukan. Hal lain dari hasil kajian ini adalah untuk mengamankan hasil pembangunan sekaligus pemeliharaan hasil pembangunan yang selama ini sudah dicapai.

2. Kegunaan PenelitianKegunaan dari disusunnya naskah akademik ini adalah menjaga momentum akselerasi pembangunan, khususnya pembangunan pada sektor hukum yang memiliki dampak atau akibat terhadap capaian hasil pembangunan sekaligus memelihara dan mempertahankan ritme pembangunan agar tetap berjalan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman yang semakin cepat berubah. Kemudian kegunaan dari disusunanya naskah akademik ini adalah untuk mengkaji sampai sejauh mana Undang-Undang ini masih mengakomodir kebutuhan dan tuntutan perkembangan jaman yang terjadi, tidak usang (out of date) dan masih relevan untuk

Page 11: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1441

digunakan. Kegunaan lainnya dari kajian ini adalah untuk menghasilkan formulasi baru dari Undang-Undang penerimaan bukan pajak yang mengakomodir kebutuhan dan tuntutan jaman terutama mengakomodir perubahan sistem ketatanegaraan yaitu otonomi daerah, globalisasi dan lain-lain.D. Metodologi

Metode penelitian dan pengkajian yang dipergunakan pada prinsipnya adalah yuridis normatif, disamping metode tersebut di atas digunakan juga metode yuridis sosiologis yaitu metode yang menekankan bahwa dalam penelitian dan kajian tidak hanya melihat hukum secara law in books, akan tetapi melihat hukum dalam implementasinya atau law in action.

Penggantian undang-undang ini juga dirancang sedemikian rupa agar bersifat problem-based, partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik dan politik dapat diterima. Bersifat problem-based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan penggantian Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah masalah yang dihadapi baik oleh Pemerintah Pusat maupun daerah, terkait dengan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang menimbulkan hak yang berupa sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara dan daerah yang lebih sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik yang terbaik sehingga Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu diganti.

Dorongan untuk melakukan penggantian Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak juga muncul dari masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menimbulkan sumber-sumber penerimaan yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997.

Disamping itu beberapa pelayanan publik yang sangat strategis dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan menjadi isu yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat, dalam berbagai hal tidak harus dipungut biaya yang pengaturan sumber pembiayaannya secara tegas merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah. Undang-undang ini juga harus mengatur biaya/tarif pelayanan publik yang selayaknya dibebankan pada penerima pelayanan publik, juga pengaturan pemberian izin atau fasilitas yang diperoleh dari pemerintah pusat/daerah yang seharusnya penerima manfaat atas pemberian izin atau fasilitas tersebut harus membayar kewajiban Penerimaan Bukan Pajak berupa Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak ataupun Penerimaan Daerah Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan perundangan.

Hal tersebut dilakukan terkait dengan sifat kajian yang meluas dan mendalam, yang ditujukan untuk mencari hal-hal baru selain hal-hal yang sudah ada (existing condition) sebelumnya. Guna memberi keyakinan yang memadai terutama dalam hal melihat hukum dalam implementasinya (law in action) dapat dilakukan dengan cara mengunjungi (metoda observasi) terhadap sumber-sumber potensi yang akan digali dalam kajian. Misal dalam optimalilasi asset berwujud (intangible asset) dan optimalisasi asset tidak berwujud (intangible asset) yang sudah ada contohnya tetapi pengaturannya bahwa belum jelas.

Page 12: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1442

BAB IIKAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian TeoritisPembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara jelas dan tegas menyatakan bahwa tujuan didirikannya negara kesatuan Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan bernegara tersebut harus dijadikan dan menjadi landasan dalam membuat peraturan perundang-undangan. Pencapaian tujuan dilakukan dengan cara melakukan pembangunan di segala bidang termasuk didalamnya pembangunan bidang hukum (Undang-Undang) agar arah dan tujuan yang telah ditetapkan tersebut dapat dicapai dengan tepat guna berhasil guna.Dalam teori hukum pembangunan yang dikembangkan oleh Muchtar Kusuhatmadja menyebutkan bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan, proses perubahan dari bodoh menjadi cerdas, dari miskin menjadi sejahtera, dari sedikit pengetahuan menjadi banyak pengetahuan, dari gelap gulita menjadi terang benderang, dari lambat menjadi cepat, dari serba tertutup menjadi serba terbuka, kesemuanya itu harus dikawal oleh peraturan perundang-undangan karena perubahan juga memiliki potensi konflik yang apabila tidak dikelola dengan baik maka konflik tersebut justru akan berpotensi mereduksi hasil-hasil pembangunan itu sendiri yang dicapai setahap demi setahap. Pentahapan pembangunan yang bertahap tetapi berkesinambungan memiliki fungsi alami dan menghindarkan terjadinya culture shock atau kejutan budaya yang cenderung negatif. Pengawalan proses pembangunan dan mengamankan hasil pembangunan harus diarahkan melalui penciptaan hukum yang baru yang sudah memperhitungkan perkembangan budaya baru sebagai akibat terjadinya proses pembangunan yang bermakna perubahan.Pada hakekatnya kewenangan penyusunan peraturan bisa dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi pada umumnya dilakukan oleh negara. Dalam konteks Indonesia DPR bersama pemerintah memiliki kewenangan membentuk undang-undang dan setelah diundangkan mengikat seluruh warga negara. Dalam teori kontrak sosial seperti dikemukakan oleh John Lock, Thomas Hobbes maupun J Jeques Rousseau, mengapa undang-undang mengikat karena pada saat negara didirikan rakyat yang merupakan salah satu syarat berdirinya sebuah negara memberikan kepada negara kewenangan untuk membuat aturan aturan yang akan mengikat dirinya. Dalam konteks perubahan undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka rakyat harus membayar jenis penerimaan ini manakala yang bersangkutan terkait dengan berbagai kegiatan yang berpotensi menjadi subjek sekaligus objek penerimaan negara jenis ini.Dalam sebuah bukunya Roscou Pond menyebutkan law as tool of social engeneering atau hukum adalah alat yang dpat merekayas masyarakat. Dalam pandangan Roscou Pond hukumlah yang dapat mengubah kearah mana masyarakat akan di bawa. Dalam kaitannya dengan penerimaan bukan pajak sesungguhnya secara teoritik masyarakat siap menaati ketentuan bidang ini atau dengan kata lain silahkan negara mengaturnya dari beban yang akan menjadi tanggungan masyarakat tersebut pada akhirnya akan kembali untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Negara dalam kewajibannya memberikan pelayanan umum dan pembangunan tentu dari tahun ke tahun akan terus berubah. Hasil pembangunan tahun ini harus dipelihara tahun berikutnya dan selanjutnya seperti deret tambah. Law as increasing state activity bukan teori hisapana jempol belaka dan memiliki makna konkrit pada sebuah negara, bukankah negara terus berkembang dari waktu ke waktu, setiap tahun dibangun jalan baru, dibangun gedung baru, jembatan baru, imprastruktur baru secara terus menerus karena memang demikian hakekat pembangunan yang berkelanjutan. Pada sisi lain gedung, jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya yang telah dibangun perlu dipertahankan dan dipelihara. Pemeliharaan hasil pembangunan memerlukan pembiayaan agar segala sesuatu yang telah dibangun dapat memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat. Semakin banyak membangun akan semakin banyak biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan. Kebutuhan biaya pemeliharaan idealnya didapat bukan dari pinjaman akan tetapi dari sumber penerimaan yang bersifat sustainable pula. Perlu dielaborasi pola penerimaan yang bersifat sustainable income. Kesinambungan pembangunan akan membawa akibat naiknya biaya pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Sumber penerimaan tertinggi saat ini adalah dari sektor pajak. Pajak merupakan sektor primadona dalam membiayai pembangunan, akan tetapi sektor ini diprediksi akan sampai pada batas jenuh walau tetap bersifat sustainable. Penerimaan sektor bukan pajak memiliki space yang sangat luas dan belum digali secara besar besaran. Pada saat ini jenis dan tarif yang di atur dalam BAB II Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak memuat 7 jenis kelompok penerimaan negara bukan pajak. Ke tujuh jenis penerimaan tersebut yaitu, (1) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, (2) penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya alam, (3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, (4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, (5) penerimaan berdasarkan putusan pengeadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, (6) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah serta (7) penerimaan lainnya yang di atur dalam undang-undang tersendiri.Dari ketujuh jenis penerimaan tersebut di atas, berdasarkan perkembangan yang terjadi masih

Page 13: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1443

terdapat beberapa jenis yang belum terakomodir akan tetapi nyata dan ada dalam praktik empirik pemerintahan sehari hari. Jenis jenis ini merupakan jenis baru yang akan dielaborasi lebih lanjut.

1. Aspek-Aspek yang menjadi Titik Berat dalam Revisi Undang-Undang 20 Tahun 1997

Beberapa isu yang akan diuraikan adalah mencarikan regulasi yang lebih tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada sepanjang proses penggantian Undang-Undang PNBP ini, seperti misalnya ada PNBP yang tidak disetorkan, tidak dilaporkan, disetorkan tapi terlambat, atau disetorkan namun jumlahnya tidak tepat, khususnya pada PNBP SDA yang tergantung pada volatilitas nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, dan variabel-variabel lainnya. Usaha perbaikan dapat dilakukan dengan adanya peningkatan pada fungsi pengawasan. Namun demikian, fungsi pengawasan yang baik hanya dapat terlaksana apabila didahului dengan adanya regulasi yang tepat. Apabila regulasi sudah tepat dan dilaksanakan secara konsisten, baru kita bisa melaksanakan fungsi pengawasan tersebut.Aspek pertama adalah manajemen pengelolaan PNBP yang baik, yaitu mengatur bagaimana hubungan antara fungsi Kementerian Keuangan sebagai Chief Financial Officer dengan kementerian/lembaga, atau hubungan antara Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian/lembaga dalam menjalankan kebijakan publik. Selanjutnya mengupayakan agar seluruh lembaga pemerintah dapat bekerja dengan prinsip good goverannce, transparansi, dan akuntabilitas. Selain itu, perlu ditinjau kembali mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran, dan pertanggungjawabannya, termasuk juga mengenai tarif dan sanksi atas keterlambatan penyetoran. Di dalam merancang penggantian Undang-Undang PNBP ini kami akan melihat bagaimana pengalaman di masa lalu, kondisi sekarang ini, dan juga mengantisipasi tantangan ke depannya.Pengelolaan penerimaan bukan pajak pada kondisi saat ini (existing condition) adalah pada level pemerintah pusat. Sejauh pemantauan dan pengamatan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak sudah dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya. Permasalahan yang ada dalam pengelolaannya secara umum dapat diselesaikan dengan baik, akan tetapi kelemahan yang ada antara lain ketentuan penyetoran masih sering dilanggarn dengan berbagai macam alasan, sesuai perkembangan hasil optimalisasi pemanfaatan asset belum dikelola melalui mekanisme ini. Kedepan permasalan yang akan dikaji dan dibuatkan ketentuannya sehingga undang-undang bisa efektif berjalan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan secara signifikan.Yang dimaksudkan dalam penggantian Undang-Undang 20 Tahun 1997 tentang PNBP adalah mekanisme penggunaan kembali PNBP, sebenarnya ini adalah mengenai insentif, yang salah satu bentuknya bisa berupa izin untuk menggunakan kembali sebagian PNBP. Perlu ditekankan bahwa pada prinsipnya apabila sebagian PNBP digunakan kembali maka penggunannya harus betul-betul tepat, yaitu dalam rangka mendukung tugas-tugas pokok kementerian/lembaga dalam rangka pelayanan publik dan juga untuk menghasilkan PNBP yang optimal.

3. Harmonisasi dengan Berbagai Undang-Undang Sektoral yang Mengatur PNBPTehadap Undang-Undang Sektoral, pada satu sisi dengan adanya Amandemen Undang-Undang 1945 tentunya terjadi banyak perubahan yang menuntut dilakukannya penyesuaian-penyesuaian, selain juga karena adanya Paket Undang-Undang Keuangan Negara. Harmonisasi itu penting, terutama harmonisasi kesetaraan, yaitu menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang serupa, dan harmonisasi dalam segi hukum. Dengan adanya harmonisasi, diupayakan tidak muncul adanya berbagai polemik setelah proses penggantian Undang-Undang PNBP 20 Tahun 1997 ini selesai.Harapan kita adalah: pertama, bagaimana PNBP dapat dikelola secara baik, adil dan sesuai dengan fungsinya, baik itu merupakan fungsi pelayanan pada kementerian/ lembaga maupun fungsi penerimaan sumber daya alam migas dan nonmigas, serta laba BUMN. Kedua, dengan adanya penggantian Undang-Undang PNBP ini kita dapat menyikapi dan menemukan penyelesaian atas berbagai permasalahan dalam pengelolaan PNBP selama ini. Ketiga, tentunya penggantian ditujukan agar ketentuan perundangan yang baru tersebut dapat diimpementasikan dengan baik dan mendukung fungsi governance.Upaya ini adalah untuk menemukan solusi penyelesaian yang baik supaya di masa depan tidak timbul berbagai permasalahan. Lebih jauh lagi, karena hal ini juga terkait dengan fungsi badan layanan umum (BLU), maka sebaiknya diupayakan adanya harmonisasi dengan unit pengelola BLU dan juga unit yang menangani masalah pengelolaan aset, karena sebagaimana diketahui bahwa ketentuannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah. Dengan demikian, kami berharap hal-hal yang diatur di dalam penggantian Undang-Undang 20 Tahun 1997 ini tidak lagi bersifat parsial namun sudah menyeluruh dan komprehensif.

4. Penerimaan Negara Bukan Pajak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan

Page 14: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1444

untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi: politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; moneter misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya; yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; dan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah. Sebagaimana dikemukakan diatas, Urusan Pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerinlah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/Kota.Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi,

Page 15: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1445

dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut, kepada masyarakat akan lebih terjamin. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (man, method and machine) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya anapila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayagua dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya.manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interconnected), saling tergantung (interdependent), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul Daerah terhadap bagian urusanurusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada Daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atas kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut.Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan

Page 16: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1446

potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan. Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat terutama berupa pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur pembagian urusan pemerintahan di masing-masing tingkat pemerintahan. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang secara absolut menjadi kewenangan pemerintah pusat yang terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, ketenagakerjaan dan ketransmigrasian, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, kepemudaan dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, kearsipan, perpustakaan, komunikasi dan informatika, pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan; dan perindustrian. Setiap bidang urusan pemerintahan sebanyak 31 urusan pemerintahan tersebut terdiri dari sub bidang, dan setiap sub bidang terdiri dari sub sub bidang. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pengaturan teknis untuk masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan pemerintahan tersebut diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (3) Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota tersebut memberikan implikasi pada kewenangan pengelolaan PNBP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang sebelumnya merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak beberapa diantaranya akan beralih menjadi Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Berdasarkan fakta empiris tersebut, Undang-Undang No. 20 tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak harus disesuaikan sejalan dengan paradigma baru khusunya dalam kaitannya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah masing-masing menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004. Bahkan kedua undang-undang tersebut sedang dilakukan penggantian oleh pemerintah pusat dan sudah diajukan ke DPR. Dari aspek filosofi pembagian urusan pemerintahan dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diperkirakan terjadi perubahan pembagian urusan pemerintah, yang memberikan implikasi pada perubahan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Perubahan paradigma ini harus diikuti dengan penyesuaian pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam naskah akademik ini diusulkan bahwa perubahan Undang-Undang No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak diubah menjadi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang didalamnya diatur Penerimaan

Page 17: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1447

Negara Bukan Pajakdan Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Penerimaan Daerah Bukan Pajak menyangkut penerimaan bukan pajak provinsi dan penerimaan bukan pajak kabupaten/kota. Perubahan konsepsi ini juga akan melengkapi pengaturan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

5. Perkembangan PNBPPendapatan negara, yang merupakan sumber utama pendanaan APBN, terdiri atas semua penerimaan yang diperoleh dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah. Besaran pendapatan negara tergantung pada sasaran yang dapat dicapai dari masing-masing jenis penerimaan, setelah dengan seksama memperhitungkan perkembangan realisasi dan estimasi dari penerimaan dimaksud pada tahun berjalan. Di samping itu, penerimaan juga mempertimbangkan berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah dan perkembangan indikator ekonomi yang tercermin pada asumsi dasar ekonomi makro, seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan indikator ekonomi makro lainnya.Sejalan dengan upaya optimalisasi pendapatan negara untuk meningkatkan kemandirian dalam pendanaan pembangunan, secara nominal realisasi pendapatan negara dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pendapatan negara pada periode 2007—2011 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 14,4 persen per tahun, berasal dari kontribusi penerimaan perpajakan yang tumbuh rata-rata sebesar 15,5 persen per tahun, kontribusi PNBP yang tumbuh rata-rata sebesar 11,4 persen per tahun, dan penerimaan hibah yang tumbuh rata-rata sebesar 32,6 persen per tahun. Perkembangan dan dinamika kebutuhan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuntut adanya ketersediaan anggaran yang semakin meningkat, sehingga sumber-sumber pendapatan negara harus terus dapat dioptimalkan. Dalam kaitan ini, optimalisasi pendapatan negara akan tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah senantiasa berusaha menempuh berbagai langkah optimalisasi, baik kebijakan (policy measures) maupun administratif (administrative measures) terkait dengan pendapatan negara, di bidang perpajakan dan PNBP.Pendapatan negara pada periode 2007—2011 terus mengalami peningkatan. Dalam periode tersebut, secara nominal pendapatan negara meningkat rata-rata sebesar 14,4 persen per tahun, dari Rp.707,8 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp.1.210,6 triliun pada tahun 2011. Pendapatan negara terdiri atas penerimaan dalam negeri yang memberikan kontribusi rata-rata 99,7 persen dan penerimaan hibah dengan kontribusi rata-rata 0,3 persen.Dalam APBNP 2012, pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp.1.358,2 triliun. Dengan memerhatikan realisasi pada semester I 2012 yang mencapai Rp.593,3 triliun (43,7 persen dari target APBNP 2012), realisasi pendapatan negara dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.1.372,4 triliun (101,0 persen dari target APBNP 2012). Jumlah tersebut terdiri atas perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri sebesar Rp.1.366,4 triliun (100,7 persen dari target APBNP 2012), dan penerimaan hibah sebesar Rp.6,0 triliun (732,6 persen dari target APBNP 2012).

Page 18: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1448

Penerimaan dalam negeri meningkat rata-rata sebesar 14,3 persen dalam periode 2007— 2011. Dalam periode tersebut, penerimaan dalam negeri yang terdiri atas penerimaan perpajakan dan PNBP masing-masing memberikan kontribusi rata-rata sebesar 71,1 persen dan 28,9 persen. Peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan kebijakan di bidang perpajakan dan PNBP yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.Dalam APBNP 2012, penerimaan dalam negeri diperkirakan sebesar Rp.1.357,4 triliun. Dengan memerhatikan realisasinya pada semester I 2012 yang mencapai Rp.592,6 triliun (43,7 persen dari target APBNP 2012), realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.1.366,4 triliun (100,7 persen dari target APBNP 2012). Jumlah tersebut terdiri atas perkiraan realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp.1.021,8 triliun (100,5 persen dari target APBNP 2012) dan PNBP sebesar Rp.344,6 triliun Sebagai salah satu sumber pendapatan negara, PNBP memiliki peranan yang sangat penting dari tahun ke tahun. Dalam struktur APBN, PNBP dikelompokkan menjadi: (a) penerimaan sumber daya alam (SDA) minyak dan gas bumi (migas), serta penerimaan SDA nonmigas, yang meliputi pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi; (b) penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN; (c) PNBP lainnya; dan (d) pendapatan badan layanan umum (BLU).Selama periode 2007—2011, PNBP secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 11,4 persen. Dalam tahun 2011, realisasi PNBP mencapai Rp.331,5 triliun, meningkat sebesar 23,3 persen jika dibandingkan dengan realisasinya pada tahun 2010. Dilihat dari komposisinya, peningkatan realisasi tahun 2011 lebih didorong oleh peningkatan penerimaan SDA migas, yang meningkat 26,7 persen. Hal tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan ICP seiring dengan trend kenaikan harga minyak dunia.Dalam APBNP 2012, PNBP ditargetkan mencapai Rp.341,1 triliun. Dengan memerhatikan realisasinya dalam semester I 2012 yang mencapai Rp.135,8 triliun, realisasi PNBP dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.344,6 triliun (101,0 persen dari target APBNP 2012). Hal tersebut sejalan dengan perkiraan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan lebih tingginya ICP. Dengan perkiraan realisasi tersebut, PNBP akan memberikan kontribusi sebesar 28,9 persen terhadap penerimaan dalam negeri.Dalam tahun-tahun mendatang, PNBP akan lebih dioptimalkan lagi untuk memberikan kontribusi yang lebih sebagai sumber penerimaan dalam negeri. Sementara itu, peranan penerimaan SDA dalam PNBP masih cukup dominan, khususnya dari penerimaan migas. Pemerintah tetap mengupayakan optimalisasi penerimaan dari SDA nonmigas, khususnya dari pertambangan umum. Target PNBP tahun 2013 adalah sebesar Rp.324,3 triliun, didasarkan pada asumsi makro yang ditetapkan, terutama harga minyak, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan produksi/lifting minyak bumi dan gas bumi.

Page 19: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1449

a. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA)Penerimaan SDA, yang terdiri atas penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan penerimaan SDA nonmigas, merupakan sumber utama penerimaan PNBP. Selama 2007—2011, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata sebesar 64,0 persen terhadap total PNBP, dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 12,6 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 68,9 persen, dengan nilai nominal mencapai Rp.224,5 triliun. Dalam APBNP tahun 2012, penerimaan SDA ditargetkan mencapai sebesar Rp.217,2 triliun. Berdasarkan realisasi sampai dengan semester I 2012, realisasi penerimaan SDA di tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.220,2 triliun atau 101,4 persen dari target APBNP 2012.Dalam tahun 2013, penerimaan SDA ditargetkan mencapai Rp.190,7 triliun. Sebagai sumber utama PNBP, penerimaan SDA memberikan kontribusi sebesar 58,8 persen. Sebagian besar penerimaan SDA bersumber dari penerimaan SDA migas, yakni 88,9 persen, dan sisanya sebesar 11,1 persen dari penerimaan SDA nonmigas.

b. Penerimaan SDA MigasPenerimaan SDA migas merupakan sumber utama penerimaan SDA dengan kontribusi rata- rata sebesar 91,9 persen dalam periode 2007—2011. Selama periode tersebut, penerimaan SDA migas mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 11,6 persen. Pencapaian tersebut dipengaruhi oleh fluktuasi ICP dan produksi minyak mentah.Dalam APBNP tahun 2012, penerimaan SDA migas diperkirakan mencapai Rp.198,3 triliun. Penerimaan SDA migas tersebut bersumber dari penerimaan minyak bumi sebesar Rp.150,8 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp.47,5 triliun. Berdasarkan realisasi semester I 2012 yang berjumlah Rp.68,7 triliun, penerimaan SDA migas tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.201,1 triliun atau 101,4 persen dari targetnya. Peningkatan tersebut disebabkan oleh lebih tingginya perkiraan realisasi ICP dan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam tahun 2012. Selain itu, upaya optimalisasi penerimaan migas juga dipengaruhi oleh efisiensi cost recovery dengan menurunkan angka rasio cost recovery terhadap gross revenue dari sektor hulu migas.

Dalam tahun 2013, penerimaan SDA migas ditargetkan sebesar Rp.169,5 triliun. Sumber penerimaan SDA migas tersebut terdiri atas penerimaan minyak bumi sebesar Rp.120,9 triliun dan penerimaan gas bumi sebesar Rp.48,6 triliun. Target penerimaan SDA migas tersebut terutama dipengaruhi oleh harga minyak, lifting minyak dan gas bumi yang dijadikan sebagai dasar perhitungan penerimaan SDA migas, dan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dalam tahun 2013. Beberapa kebijakan yang akan ditempuh, antara lain: (a) pencapaian target lifting minyak mentah dan litfting gas bumi; (b ) efisiensi cost recovery dan mengupayakan penurunan angka rasio cost recovery terhadap gross revenue; dan (c) melakukan secara intensif penagihan atas penjualan hasil migas bagian Pemerintah.Sementara itu, untuk mencapai target lifting migas akan dilakukan beberapa upaya, antara

Page 20: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1450

lain: (a) mendorong optimasi produksi pada lapangan eksisting termasuk penerapan enhanced oil recovery / EOR; (b) melaksanakan percepatan pengembangan lapangan baru dan struktur idle; (c) term and condition yang lebih menarik untuk wilayah kerja yang berada di remote area dan/atau laut dalam; (d) meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyelesaian masalah yang berhubungan dengan regulasi perijinan, dan tumpang tindih lahan dalam rangka peningkatan produksi minyak bumi nasional; serta (e) melaksanakan Inpres Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional.

c. Penerimaan SDA NonmigasPenerimaan SDA nonmigas merupakan PNBP yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam, yang terdiri atas kegiatan di sektor pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Selama periode 2007 —2011, penerimaan SDA nonmigas tumbuh rata-rata 25,8 persen. Penerimaan SDA nonmigas terutama bersumber dari penerimaan pertambangan umum dan kehutanan. Sebagai sumber penerimaan terbesar dalam penerimaan SDA nonmigas, penerimaan pertambangan umum terus mengalami peningkatan. Selama 2007—2011, penerimaan pertambangan umum meningkat rata-rata sebesar 29,2 persen. Dalam APBNP tahun 2012, penerimaan pertambangan umum ditargetkan mencapai Rp.15,3 triliun. Berdasarkan realisasi sampai dengan semester I 2012, penerimaan pertambangan umum pada tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai targetnya. Hal itu dilakukan dengan cara peningkatan pengawasan produksi mineral dan batubara serta pengaturan atas ekspor komoditas mineral dan batubara tertentu.Selanjutnya, penerimaan kehutanan selama 2007—2011 memperlihatkan perkembangan yang cenderung meningkat, dengan rata-rata peningkatan mencapai 11,1 persen. Dalam APBNP tahun 2012, penerimaan kehutanan ditargetkan sebesar Rp.3,1 triliun. Berdasarkan perkembangan realisasi semester I 2012, penerimaan kehutanan tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai targetnya, yang bersumber dari penerimaan dana reboisasi sebesar Rp.1.504,6 miliar, provisi sumber daya hutan (PSDH) sebesar Rp.1.304,9 miliar, Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) sebesar Rp.38,1 miliar, serta penggunaan kawasan hutan sebesar Rp.227,3 miliar.Sebagai salah satu sumber penerimaan SDA nonmigas lainnya, penerimaan perikanan selama 2007—2011 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,1 persen. Faktor utama yang mendukung meningkatnya penerimaan perikanan adalah semakin intensifnya upaya penagihan atas tunggakan-tunggakan kewajiban PNBP pemegang ijin kapal tangkap. Dalam APBNP 2012, penerimaan SDA perikanan ditargetkan mencapai Rp.150 miliar, yang terdiri atas pungutan pengusahaan perikanan (PPP) Rp.9,5 miliar dan pungutan hasil perikanan (PHP) Rp.140,5 miliar. Berdasarkan realisasi semester I 2012, penerimaan SDA perikanan pada tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai targetnya. Hal tersebut dicapai melalui kebijakan peningkatan budidaya perikanan, peningkatan kemampuan armada perikanan dalam negeri untuk menggantikan kapal asing, serta peningkatan pelayanan perijinan (mobile unit) dan administrasi penagihan.Selanjutnya, penerimaan pertambangan panas bumi bersumber dari setoran atas bagian Pemerintah sebesar 34 persen dari penerimaan bersih usaha kegiatan (net operating income/ NOI) pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran perpajakan dan pungutan lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Kegiatan usaha pertambangan panas bumi diutamakan untuk mendukung program Pemerintah dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan diharapkan dalam masa mendatang akan memberikan kontribusi yang lebih besar mengingat Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang besar. Dalam APBNP 2012, penerimaan pertambangan panas bumi ditargetkan akan mencapai Rp.0,4 triliun. Rencana Penerimaan SDA nonmigas dalam tahun 2013, yang terdiri atas penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi direncanakan mencapai Rp.21,2 triliun. Penerimaan pertambangan umum masih mendominasi penerimaan SDA nonmigas dengan kontribusi mencapai 78,5 persen. Dalam tahun 2013, penerimaan pertambangan umum, direncanakan sebesar Rp.16,6 triliun. Penerimaan tersebut bersumber dari penerimaan iuran tetap sebesar Rp.0,7 triliun dan penerimaan royalti sebesar Rp.15,9 triliun. Target penerimaan tersebut telah memperhitungkan pemberlakuan domestic market obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri yang terus meningkat.

Page 21: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1451

Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pertambangan umum, Pemerintah akan menempuh beberapa kebijakan, antara lain: (a) peningkatan produksi komoditas mineral dan batubara; (b) peningkatan nilai tambah mineral melalui upaya peningkatan nilai tambah bahan galian tambang; (c) penerapan jenis dan tarif PNBP yang berlaku untuk kegiatan pertambangan; (d) peningkatan pembinaan dan pengawasan mineral dan batubara, antara lain peningkatan pengawas an produksi dan pemasaran mineral dan batubara serta inventarisasi dan penyusunan produksi mineral dan batubara nasional; dan (e) inventarisasi dan verifikasi potensi PNBP pertambangan umum.Penerimaan kehutanan dalam tahun 2013 direncanakan mencapai Rp.4,1 triliun. Penerimaan kehutanan bersumber dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) sebesar Rp.12,6 miliar, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp.1,9 triliun, dana reboisasi sebesar Rp.1,8 triliun, dan penggunaan kawasan hutan sebesar Rp.295,2 miliar. Besaran target penerimaan kehutanan dalam tahun 2013 terutama didorong oleh peningkatan penerimaan PSDH sejalan dengan meningkatnya hasil hutan. Target tersebut telah mempertimbangkan dampak dari kebijakan penghentian pemberian IHPH baru.Pemerintah akan terus berupaya meningkatkan penerimaan kehutanan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan, antara lain: (a) pengembangan sistem penatausahaan hasil hutan (PUHH) berbasis teknologi informasi; (b) peningkatan produksi dan diversifikasi usaha hutan alam; (c) penerbitan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu - hutan alam dan/atau restorasi ekosistem (IUPHHK-HA/ RE) pada areal bekas tebangan (logged over area / LOA); dan (d) penambahan luas areal pencadangan ijin usaha pemanfaatan hutan tanaman.Penerimaan perikanan dalam tahun 2013 direncanakan mencapai Rp.0,15 triliun (0,05 persen dari total PNBP), yang bersumber dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), termasuk di dalamnya Pungutan Perikanan Asing (PPA), dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Meskipun penerimaan perikanan dalam PNBP relatif sangat kecil, peranan sektor perikanan dalam perkonomian nasional diharapkan dapat terus meningkat. Peranan tersebut tercermin dari meningkatnya kegiatan ekonomi di sentra-sentra kegiatan nelayan di pelabuhan perikanan dan pasar ikan, kegiatan perikanan di sentra-sentra budidaya, dan kegiatan pengolahan ikan, serta penerimaan daerah melalui retribusi bidang kelautan dan perikanan.Kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan perikanan yaitu: (a) peningkatan pelayanan dan penertiban perijinan usaha; (b) peningkat an pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan; (c) peningkatan fasilitas sarana dan prasarana pelayanan; (d) penyesuaian tarif PNBP yang lebih memberikan kepastian bagi wajib bayar/pengguna jasa sektor kelautan dan perikanan; (e) penyesuaian Harga Patokan Ikan (HPI); dan (f) peningkatan jaminan usaha sektor kelautan dan perikanan.Penerimaan SDA pertambangan panas bumi dalam tahun 2013 ditargetkan akan mencapai

Page 22: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1452

Rp.0,3 triliun. Upaya yang akan ditempuh dalam mengoptimalkan penerimaan pertambangan panas bumi adalah dengan pemberlakuan Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) bagi pengusaha panas bumi yang ijin, kuasa, atau kontraknya ditandatangani sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi. Upaya lain yang akan ditempuh adalah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, penyusunan dan penyempurnaan ketentuan peraturan, dan memberikan dukungan kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk investasi di sektor panas bumi.

d. Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMNSelama periode 2007—2011, kinerja badan usaha milik negara (BUMN) terus menunjukkan perkembangan yang positif, baik dari sisi aktiva, ekuitas, pendapatan dan laba, serta kapitalisasi BUMN terbuka. Selama periode tersebut, total aktiva BUMN tumbuh rata-rata 14 persen, ekuitas tumbuh rata-rata 11 persen, sedangkan pendapatan dan laba masing- masing tumbuh rata-rata 14 persen dan 22 persen. Sementara itu, data kapitalisasi BUMN terbuka di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan nilai kapitalisasi pasar dari 18 BUMN per 30 Desember 2011 mencapai Rp.814,4 triliun atau 23,0 persen dari total nilai kapitalisasi pasar BEI. Sebagian BUMN bahkan mencatatkan prestasinya dalam “Forbes Global 2000” Tahun 2012, yaitu: Bank BRI, Bank Mandiri, PT Telkom, Bank BNI, PT Perusahaan Gas Negara, dan PT Semen Gresik. Secara keseluruhan, sampai dengan Januari 2012, terdapat 141 BUMN, terdiri atas 14 BUMN berbentuk Perum, 109 BUMN berbentuk Persero, dan 18 BUMN yang merupakan Perseroan Terbuka. Selain itu, negara juga mempunyai kepemilikan saham minoritas pada 15 perseroan terbatas. Sejalan dengan semakin meningkatnya kinerja BUMN, kontribusi BUMN terhadap APBN terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,9 persen. Dari jumlah tersebut, 20,4 persen berasal dari penerimaan dividen, 78,8 persen berasal dari penerimaan perpajakan, dan 0,8 persen berasal dari privatisasi. Selama periode 2007—2011, penerimaan Pemerintah atas laba BUMN meningkat rata-rata sebesar 5,0 persen per tahun. Penerimaan tertinggi terjadi pada tahun 2010, yang mencapai Rp.30,1 triliun atau 15,5 persen terhadap total PNBP. Tingginya penerimaan Pemerintah atas laba BUMN pada tahun 2010 tersebut terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas pertambangan di pasar global sehingga meningkatkan laba BUMN sektor pertambangan.Dalam APBNP 2012, penerimaan laba BUMN ditargetkan sebesar Rp.30,8 triliun. Penerimaan dividen BUMN di tahun 2012 didasarkan pada kenaikan realisasi laba tahun buku 2011 dan kenaikan harga komoditas pertambangan di pasar internasional sehingga omzet bisnis BUMN sektor pertambangan diperkirakan juga meningkat. Dalam tahun 2013, bagian Pemerintah atas laba BUMN ditargetkan mencapai Rp.32,6 triliun. Target tersebut berasal dari tingginya perkiraan laba tahun buku 2012 sejalan semakin membaiknya kinerja sejumlah BUMN. Untuk mengoptimalkan penerimaan tersebut, Pemerintah akan menempuh beberapa kebijakan sebagai berikut: (a) pay out ratio (POR) 0 persen s.d 25 persen untuk BUMN sektor kehutanan, asuransi, dan BUMN dengan akumulasi rugi; (b) POR 5 persen s.d 55 persen untuk BUMN laba tanpa akumulasi rugi; (c) POR 40 persen s.d 45 persen untuk PT. Pertamina; (d) POR 30 persen untuk PT. PLN; dan (e) tidak menarik dividen untuk BUMN laba yang mengalami kesulitan cash flow. Disamping itu, BUMN juga diharapkan dapat melakukan optimalisasi investasi (capital expenditure) BUMN, terutama dari penyisihan laba yang ditahan, untuk meningkatkan kinerjanya.

e. PNBP LainnyaSumber utama PNBP lainnya berasal dari jasa pelayanan yang diberikan oleh kementerian negara/lembaga (K/L) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing K/L. Secara garis besar, PNBP lainnya terbagi dalam beberapa jenis penerimaan, antara lain: (a) pendapatan dari pengelolaan barang milik negara (BMN) serta pendapatan dari penjualan; (b) pendapatan jasa; (c) pendapatan bunga; (d) pendapatan kejaksaan dan peradilan; (e) pendapatan pendidikan; (f) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (g) pendapatan iuran dan denda; serta (h) pendapatan lain-lain.Selama periode tahun 2007—2011, PNBP lainnya meningkat rata-rata sebesar 11,2 persen. Selama periode tersebut, pendapatan penjualan dan sewa (sekarang pendapatan dari pengelolaan barang milik negara (BMN) serta pendapatan dari penjualan), serta pendapatan jasa mengalami peningkatan tertinggi, yaitu mencapai rata-rata 50,4 persen dan 24,7 persen.Dalam rangka optimalisasi PNBP K/L, pada tahun 2012 akan dilakukan upaya, antara lain: (a) meningkatkan pelayanan dan memperbaiki administrasi PNBP K/L; (b) melakukan penyempurnaan beberapa peraturan terkait dengan jenis dan tarif PNBP K/L; dan (c) melakukan monitoring, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan pengelolaan PNBP K/L. Dengan berbagai kebijakan tersebut, PNBP lainnya dalam tahun 2012 diperkirakan dapat mencapai Rp.73,2 triliun. Perkiraan tersebut lebih tinggi Rp.0,4 triliun atau 100,6 persen dari target dalam APBNP 2012.Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat tujuh K/L yang memberikan kontribusi terbesar dalam PNBP lainnya. Ketujuh K/L tersebut adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kemendikbud), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kementerian

Page 23: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1453

Perhubungan (Kemenhub). Selama 2007 —2011, PNBP Kementerian Komunikasi dan Informatika mengalami I peningkatan rata-rata sebesar 21,2 persen. Dalam APBNP 2012, PNBP Kemenkominfo ditargetkan sebesar Rp.10,1 triliun. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya yaitu: Pertama, menyiapkan regulasi baru untuk mempercepat pembukaan peluang baru di bidang pemanfaatan frekuensi. Kedua, mengkaji secara komprehensif mengenai formula dan besaran variabel baru dalam pengenaan biaya hak penggunaan (BHP) pada alokasi pita frekuensi tertentu. Ketiga, membenahi dan updating sistem database. Keempat, melakukan otomatisasi/modernisasi proses perijinan. Kelima, meningkatkan intensifikasi penagihan PNBP kepada pengguna spektrum frekuensi, vendor alat/perangkat telekomunikasi, dan penyelenggara telekomunikasi. Keenam, meningkatkan pelaksanaan pencocokan dan penelitian pembayaran BHP telekomunikasi dengan melibatkan auditor BPKP sebagai pendamping. Ketujuh, melaksanakan sosialisasi secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi. Kedelapan, melakukan penegakan hukum terhadap penyelenggara telekomunikasi, pos, dan penyiaran yang tidak memiliki ijin penyelenggaraan, serta terhadap pengguna frekuensi yang tidak memiliki ijin. Kesembilan, menyederhanakan proses perijinan; dan Kesepuluh, meningkatkan kompetensi pengelola PNBP agar berdaya guna dan berhasil guna.

Sementara itu, PNBP Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) selama periode 2007—2011 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dengan rata-

Page 24: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1454

rata pertumbuhan sebesar negatif 9,6 persen. Dalam APBNP tahun 2012, PNBP Kemendikbud ditargetkan sebesar Rp.1,9 triliun. Untuk mencapai target tersebut, akan dilakukan upaya-upaya antara lain: (a) melakukan sosialisasi Pengelolaan Keuangan BLU kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN); (b) melakukan pembinaan pengelolaan PNBP di PTN; (c) menyelesaikan temuan yang berkaitan dengan penggunaan langsung PNBP dengan BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal Kemendikbud, dan aparat penegak hukum; (d) memberikan usulan bagi upaya penyempurnaan ketentuan dan peraturan PNBP bagi PTN; dan (e) tidak menaikkan uang kuliah. PNBP Kementerian Kesehatan selama periode 2007—2011 mengalami pertumbuhan negatif rata-rata sebesar 39,6 persen. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan pola pengelolaan rumah sakit Pemerintah menjadi BLU.Dalam APBNP 2012, PNBP Kemenkes ditargetkan mencapai Rp.0,2 triliun. Untuk mencapai target tersebut, akan dilakukan upaya-upaya antara lain: (a) peningkatan mutu pelayanan dan kualitas SDM; (b) peningkatan sarana/prasarana kesehatan yang terintegrasi sesuai standar; (c) peningkatan cost recovery rumah sakit menuju kemandirian komputerisasi administrasi keuangan; dan (d) pengembangan model pelayanan kesehatan yang aman, bermanfaat, dan bermutu.Selama 2007—2011, PNBP Polri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,1 persen. Sementara itu, target PNBP Polri dalam APBNP 2012 adalah sebesar Rp.4,6 triliun. Untuk mencapai target tersebut, akan dilakukan upaya-upaya, antara lain: (a) melaksanakan pelayanan SSB (SIM, STNK, dan BPKB) serta pelayanan lainnya dengan cepat, tepat, mudah, murah, humanis, dan transparan, dengan target utama perpanjangan SIM dan STNK 15 menit serta bebas calo pada seluruh pelayanan; (b) mengintensifkan operasi penegakan hukum dan ketertiban lalu lintas guna menjaring masyarakat yang belum taat/sadar hukum; (c) mewujudkan akses transparansi online melalui pelayanan sistem informasi SSB secara online; (d) menyelenggarakan fasilitas pelayanan mobile perijinan surat keterangan lapor diri (SKLD); (e) meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan fungsional lantas; dan (f) menegakkan hukum bagi setiap pelanggar lalu lintas di jalan guna memberikan kepastian hukum dan mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.Selama periode 2007—2011, PNBP Kementerian Hukum dan HAM mengalami peningkatan rata-rata sebesar 23,6 persen, dengan faktor utama yang memengaruhi adalah peningkatan penerimaan keimigrasian dan pelayanan jasa hukum. Dalam APBNP tahun 2012, PNBP Kementerian Hukum dan HAM ditargetkan sebesar Rp.2,2 triliun. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya, antara lain: (a) meningkatkan pelayanan melalui penambahan kantor imigrasi; (b) menambah jumlah tempat pemeriksaan imigrasi dengan visa kunjungan saat kedatangan (VKSK); (c) mengembangkan perangkat teknologi di bidang keimigrasian; dan (d) meningkatkan otomatisasi sistem pelayanan hak kekayaan intelektual.Dalam periode 2007—2011, PNBP BPN mengalami peningkatan rata-rata sebesar 12,9 persen. Dalam APBNP 2012, PNBP BPN ditargetkan sebesar Rp.1,7 triliun. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah akan melakukan berbagai upaya, seperti: (a) menerapkan model pelayanan jemput bola pada masyarakat dengan Kantor Pertanahan Bergerak Pelayanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita); (b) meningkatkan kapasitas kemampuan pelayanan dengan penambahan petugas ukur dan pendataan data yuridis, termasuk melibatkan surveyor berlisensi; serta (c) menyesuaikan tarif pelayanan PNBP sesuai dengan PP Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif dan Jenis PNBP yang berlaku pada BPN.PNBP Kementerian Perhubungan selama 2007—2011 mengalami peningkatan ratarata sebesar 30,7 persen. Dalam APBNP 2012, PNBP Kementerian Perhubungan ditargetkan sebesar Rp.0,7 triliun. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah akan melakukan upaya antara lain: (a) mengoptimalkan pemanfaatan sarana penghasil PNBP; (b) meningkatkan kualitas dan kapasitas kegiatan penelitian; serta (c) meningkatkan kerjasama, koordinasi, dan sosialisasi baik dengan user, konsumen, maupun seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan PNBP sektor perhubungan.PNBP lainnya dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.77,6 triliun. Target tersebut sebagian besar berasal dari kontribusi PNBP K/L atas jasa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Di antara seluruh K/L yang berkontribusi terhadap PNBP lainnya, terdapat tujuh K/L yang berkontribusi paling besar, yaitu: (a) Kementerian Komunikasi dan Informasi, (b) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , (c) Kementerian Kesehatan , (d) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (e) Kementerian Hukum dan HAM, (f) Badan Pertanahan Nasional, dan (g) Kementerian Perhubungan.PNBP Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.9,7 triliun. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut antara lain: (a) melaksanakan penagihan PNBP secara intensif kepada penyelenggara telekomunikasi dan pengguna spektrum frekuensi radio yang bekerja sama dengan BPKP untuk mengaudit wajib bayar; (b) menegakkan hukum terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dan pengguna frekuensi radio; dan (c) melakukan otomasi/modernisasi proses perijinan sehingga mempercepat dan mempermudah proses pelayanan publik. PNBP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.2,0 triliun. Untuk menjamin tercapainya target tersebut, Pemerintah akan berupaya untuk:

Page 25: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1455

(a) melaksanakan sistem anggaran yang bersifat transparan dan akuntabel serta berbasis pada aktifitas (activity based budgeting); (b) optimalisasi aset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan nilai tambah lembaga sesuai visi, misi, dan tujuan pendidikan tinggi; (c ) tidak ada kenaikan tarif uang kuliah / SPP untuk perguruan tinggi negeri; (d) menggunakan tarif uang kuliah tunggal untuk perguruan tinggi negeri mulai tahun 2013, yaitu tarif dihitung berdasarkan harga satuan dari semua komponen yang terkait dengan proses pembelajaran di perguruan tinggi; (e) menyediakan bantuan operasional perguruan tinggi negeri oleh Pemerintah; serta (f) sumbangan murni yang tidak terkait dengan penerimaan mahasiswa baru dari masyarakat dapat diterima oleh perguruan tinggi negeri. PNBP Kementerian Kesehatan dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.0,3 triliun . Dengan tidak mengesampingkan tugas utama melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, target tersebut akan dicapai melalui upaya-upaya: (a) meningkatkan ketertiban pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP; (b) meningkatkan mutu pelayanan secara berkelanjutan sesuai dengan yang dipersyaratkan; dan (c) meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi.PNBP Polri dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.4,8 triliun. Target tersebut akan dioptimalkan melalui upaya-upaya, antara lain: (a) memperkuat Polres sebagai unit pelayanan terdepan polantas yang meliputi pelayanan samsat, satpas, pelayanan BPKB dan pelayanan kecelakaan, serta mendekatkan akses pelayanan kepada masyarakat; (b) meningkatkan kemampuan SDM Polri melalui pendidikan dan pelatihan teknis, dan fungsional lalu lintas; (c) membangun jaringan online samsat di seluruh Polda dalam rangka online system national traffic management center (NTMC); (d) menyiapkan pembangunan traffic management centre (TMC) di wilayah yang terintegrasi dari tingkat Mabes Polri sampai dengan tingkat Polres, dalam rangka mewujudkan keamanan keselamatan ketertiban dan kelancaran lalu lintas (kamseltibcar); (e) menyelenggarakan kegiatan open government information (OGI) dalam rangka keterbukaan informasi terhadap pelayanan publik di bidang SIM, BPKB, STNK dan TNKB (SBST), antara lain dengan mengikuti kompetensi pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit kerja presiden bidang pengawasan dan pengendalian pembangunan (UKP4); (f) mencukupi kebutuhan blanko/formulir dalam rangka penyelenggaraan pelayanan di bidang fungsi lalu lintas dan fungsi intelijen keamanan (intelkam) dan mencukupi biaya listrik , telepon satuan pelayanan administrasi (satpas) serta honor petugas pelaksana kegiatan PNBP; serta (g) memperluas pelayanan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) sampai dengan tingkat polsek (kecamatan) sebagai ujung tombak pelayanan Polri kepada masyarakat. PNBP Kementerian Hukum dan HAM dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.2,4 triliun. Target tersebut akan dicapai melalui upaya-upaya: (a) menerapkan elektronik kartu ijin tinggal terbatas (E-KITAS) dan elektronik kartu ijin tinggal tetap (E-KITAP); (b) mengembangkan sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIN) secara berkelanjutan; (c) membangun sistem intelijen keimigrasian; (d) membina dan mengelola PNBP di bidang keimigrasian; (e) meningkatkan jumlah layanan hak kekayaan intelektual secara online; dan (f) mengusulkan peningkatan jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM.PNBP Badan Pertanahan Nasional dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.1,6 triliun. Upaya untuk mencapai target tersebut akan dilakukan antara lain melalui: (a) membangun kepercayaan masyarakat pada BPN (trust building) melalui sosialisasi tarif kepengurusan tanah di media cetak; (b) meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran serta sertifikasi tanah secara menyeluruh; (c) memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; (d) menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah korban bencana alam dan daerah konflik; serta (e) membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (SIMTANAS) dan sistem pengaman dokumen pertanahan di seluruh Indonesia.PNBP Kementerian Perhubungan dalam tahun 2013 direncanakan sebesar Rp.0,7 triliun. Untuk mencapai target tersebut, beberapa upaya akan dilakukan, di antaranya: (a) memperbaiki keselamatan dan kualitas pelayanan lalu lintas angkutan sungai danau penyeberangan (LLASDP); (b) melaksanakan pengujian kendaraan bermotor sesuai Standar Euro-2 untuk mobil penumpang berkategori bahan bakar bensin dan sepeda motor; (c) investasi terkait sarana dan prasarana pelayanan publik; (d) memberikan kepastian usaha di bidang angkutan laut untuk membina dan memberdayakan ekonomi kepulauan Indonesia, melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional guna menjamin kontinuitas arus barang; (e) menciptakan iklim usaha yang sehat untuk melindungi kelangsungan hidup dan pengembangan usaha pelayaran, termasuk pembinaan usaha-usaha tradisional dan golongan ekonomi lemah; (f) intensifikasi PNBP dengan cara meningkatkan penagihan terhadap wajib bayar; (g) meninjau kembali tarif pelayanan jasa dalam PP 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas PNBP Kementerian Perhubungan; dan (h) ekstensifikasi PNBP dengan cara mengoptimalkan aset/BMN dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana.

Page 26: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1456

f. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU)Sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, salah satu tujuan didirikannya BLU adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendapatan BLU sangat dipengaruhi oleh volume kegiatan pelayanan, tarif atas kegiatan pelayanan yang dilaksanakan dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kualitas pelayanan yang diberikan, serta administrasi pengelolaan BLU.Dalam periode 2007—2011, pendapatan BLU terus mengalami peningkatan, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 75,3 persen. Pencapaian penda patan BLU tersebut dipengaruhi oleh semakin banyaknya satker yang menjadi BLU. Pada tahun 2007, BLU dilaksanakan oleh sembilan K/L yang bergerak di bidang layanan barang/jasa dan pembiayaan. Sementara itu, pada tahun 2012, BLU dilaksanakan oleh 19 K/L yang bergerak di bidang kesehatan, pembiayaan, telekomunikasi, pendidikan, teknologi, pengelolaan kawasan, dan lainlain. Target pendapatan BLU dalam APBNP tahun 2012 adalah sebesar Rp.20,4 triliun.Untuk mendukung pencapaian target tersebut, upaya yang dilakukan adalah meningkatkan pelayanan publik melalui peningkatan kualitas SDM, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan BLU, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan instansi Pemerintah.Dalam tahun 2013 pendapatan BLU diperkirakan sebesar Rp.23,4 triliun. Hal tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah satker pada K/L yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU untuk meningkatkan kualitas pelayanan K/L tersebut.

Pola pengelolaan keuangan BLU banyak didominasi oleh satker yang melayani bidang pendidikan dan kesehatan. Sebagian besar pendapatan BLU pada tahun 2013 berasal dari pendapatan jasa pelayanan pendidikan yang direncanakan sebesar Rp.11,5 triliun, dan jasa pelayanan rumah sakit yang diperkirakan mencapai Rp.5,8 triliun. Selain itu, pendapatan dari jasa penyelenggaraan telekomunikasi direncanakan mencapai Rp.1,7 triliun, sedangkan pendapatan dari BLU lainnya sebesar Rp.4,4 triliun.

Page 27: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1457

g. Penerimaan HibahRealisasi penerimaan hibah selama tahun 2007—2011 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 32,6 persen. Dalam APBNP 2012, penerimaan hibah ditargetkan sebesar Rp0,8 triliun. Berdasarkan realisasi semester I 2012, penerimaan hibah pada tahun 2012 diperkirakan melampaui targetnya. Faktor yang memengaruhi realisasi penerimaan hibah antara lain kebijakan Pemerintah untuk mempermudah lembaga donor dalam memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia, yaitu bahwa hibah dapat disalurkan melalui mekanisme hibah terencana maupun hibah langsung. Selain itu, realisasi hibah dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah dalam penerapan sistem akuntansi hibah dan mekanisme pengelolaan hibah, dalam hal ini, K/L penerima hibah diwajibkan untuk mencatatkan semua penerimaan hibah dalam APBN.B. Kajian Terhadap Asas dan PrinsipAsas dalam pembentukan peraturan peraturan perundang undangan sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan adalah menyangkut (1) adanya kejelasan tujuan, (2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (3) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan (4) dapat dilaksanakan dan (5) kedayagunaan dan kehasilgunaan.Berdasarkan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Pasal 5 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Sehubungan dengan hal tersebut maka tujuan yang hendak dicapai dalam kajian ini adalah membentuk Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor bukan pajak.Terkait dengan penjelasan ayat (2), bahwa kajian atau penyusunan naskah akademik ini merupakan kegiatan dari DPD Dewan Perwakilan Daerah yang dilakukan oleh tim yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Nomor 276A/Tahun 2012 tanggal 1 Juni 2012 tentang Tim Ahli Penyelenggaraan Kegiatan Penyusunan Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Sehubungan dengan hal tersebut maka klausul dalam ayat (2) ini telah terpenuhi.Selanjutnya kalusul ayat (3) yang menyebutkan tentang kesesuaian antara jenis, heirarki dan materi muatan, merupakan substansi yang akan dikaji dan sekaligus dilakukan pemilahan sesuai kebutuhan substansi yang merupakan materi pada jenjang Undang-Undang. Ayat (4) mengenai asas bahwa Undang-Undang yang dibentuk dapat dilaksanakan adalah merupakan jaminan dari hasil kajian ini bahwa Undang-Undang yang akan dilahirkan dapat dilaksanakan karena pada hakekatnya Undang-Undang baru yang akan dibentuk nanti merupakan penyempurnaan dan perluasan dari Undang-Undang yang sebelumnya ada dan dinilai sudah ketinggalan jaman (out of date) serta sudah tidak mengakomodasi tuntutan perkembangan jaman yang aktual dewasa ini, dan terakhir yang menyangkut ayat (5) terkait dengan kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah merupakan sasaran utama yang hendak diwujudkan melalui kajian dalam naskah

Page 28: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1458

akademik ini yang disusun berdasarkan hasil kajian dengan menggunakan metode ilmiah adalah merupakan jaminan akan adanya kedayagunaan dan kehasilgunaan dari Undang-Undang yang akan dibentuk.Dalam kaitannya dengan lembaga pembentukan rancangan Undang-Undang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 45 Ayat (2) kewenangan DPD adalah mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan (1) otonomi daerah (2) hubungan pusat dan daerah (3) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah (4) pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan (5) perimbangan keuangan pusat dan daerah. Khusus kaitan dengan penerimaan bukan pajak yang sedang dikaji memasukan penerimaan daerah bukan pajak, dengan demikian maka setidaknya kajian menyangkut masalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara keseluruhan kajian ini terkait pada 4 dar 5 unsur yang ada dan berlaku secara normatif.E. Kajian Praktek PNBPPraktek penerimaan negara bukan pajak yang selama berjalan (existing condition) berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 pada prinsipnya berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan terdapat beberapa perkembangan yang menggembirakan dalam upaya meningkatkan penerimaan melalui pembentukan Undang-Undang yang baru misalnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang secara operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Dalam PP 42 tersebut dicantumkan biaya pembuatan sertifikat jaminan fidusia berkisar antara Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Dengan dimunculkannya jaminan fidusia akan memunculkan penambahan potensi PNBP melalui sektor ini, bahkan beberapa jenis dan tarif kini sedang dalam proses penetapan PP nya antara lain untuk jenis dan tarif yang berlaku di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Perkembangan yang menggembirakan tersebut nampaknya masih dalam kontek ruang lingkup bagi penerimaan pemerintah pusat karena dasar hukum yang merupakan landasan diberlakukannya fidusia adalah Undang-Undang nomor 20 Tahun 1997 yang masih menganut rezim penerimaan pemerintah pusat. F. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem PNBP yang BaruPengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada kondisi saat ini (existing condition) adalah pada level pemerintah pusat. Sejauh pemantauan dan pengamatan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak sudah dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya. Permasalahan yang ada dalam pengelolaannya secara umum dapat diselesaikan dengan baik, akan tetapi kelemahan yang ada antara lain ketentuan penyetoran masih sering dilanggarn dengan berbagai macam alasan, sesuai perkembangan hasil optimalisasi pemanfaatan asset belum dikelola melalui mekanisme ini. Kedepan permasalan yang akan dikaji dan dibuatkan ketentuannya sehingga undang-undang bisa efektif berjalan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan secara signifikan. Sejalan dengan perubahan pada sistem ketatanegaraan.

1. Aspek-Aspek yang menjadi Titik Berat dalam Penggantian Undang-Undang 20 Tahun 1997

Beberapa isu yang akan diuraikan adalah mencarikan regulasi yang lebih tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada sepanjang proses penggantian Undang-Undang PNBP ini, seperti misalnya ada PNBP yang tidak disetorkan, tidak dilaporkan, disetorkan tapi terlambat, atau disetorkan namun jumlahnya tidak tepat, khususnya pada PNBP SDA yang tergantung pada volatilitas nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, dan variabelvariabel lainnya. Usaha perbaikan dapat dilakukan dengan adanya peningkatan pada fungsi pengawasan. Namun demikian, fungsi pengawasan yang baik hanya dapat terlaksana apabila didahului dengan adanya regulasi yang tepat. Apabila regulasi sudah tepat dan dilaksanakan secara konsisten, baru kita bisa melaksanakan fungsi pengawasan tersebut.Aspek pertama adalah manajemen pengelolaan PNBP yang baik, yaitu mengatur bagaimana hubungan antara fungsi Kementerian Keuangan sebagai Chief Financial Officer dengan kementerian/lembaga, atau hubungan antara Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian/lembaga dalam menjalankan kebijakan publik. Selanjutnya mengupayakan agar seluruh lembaga pemerintah dapat bekerja dengan prinsip good goverannce, transparansi, dan akuntabilitas. Selain itu, perlu ditinjau kembali mekanisme penganggaran PNBP, penyetoran, dan pertanggungjawabannya, termasuk juga mengenai tarif dan sanksi atas keterlambatan penyetoran. Di dalam merancang penggantian Undang-Undang PNBP ini kami akan melihat bagaimana pengalaman di masa lalu, kondisi sekarang ini, dan juga mengantisipasi tantangan ke depannya.Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak pada kondisi saat ini (existing condition) adalah pada level pemerintah pusat. Sejauh pemantauan dan pengamatan yang dilakukan terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak sudah dapat

Page 29: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1459

berjalan sesuai dengan ketentuannya. Permasalahan yang ada dalam pengelolaannya secara umum dapat diselesaikan dengan baik, akan tetapi kelemahan yang ada antara lain ketentuan penyetoran masih sering dilanggarn dengan berbagai macam alasan, sesuai perkembangan hasil optimalisasi pemanfaatan asset belum dikelola melalui mekanisme ini. Kedepan permasalan yang akan dikaji dan dibuatkan ketentuannya sehingga uu bisa efektif berjalan yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan secara signifikan.Yang dimaksudkan dalam penggantian Undang-Undang 20 Tahun 1997 tentang PNBP adalah mekanisme penggunaan kembali PNBP, sebenarnya ini adalah mengenai insentif, yang salah satu bentuknya bisa berupa izin untuk menggunakan kembali sebagian PNBP. Perlu ditekankan bahwa pada prinsipnya apabila sebagian PNBP digunakan kembali maka penggunannya harus betul-betul tepat, yaitu dalam rangka mendukung tugas-tugas pokok kementerian/lembaga dalam rangka pelayanan publik dan juga untuk menghasilkan PNBP yang optimal.

a. PemeriksaanPemeriksaan dalam teori ilmu manajemen adalah aspek terakhir setelah, perencanaan, pengorganisasian atau pembagian tugas, dan pelaksanaan. Aspek pemeriksaan adalah aspek terakhir dalam keseluruhan proses manajemen yang sangat penting. Dikatakan sangat penting karena pada pemeriksaan inilah akan terlihat tingkat keberhasilan dan reliabilitas dari sistem pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pernannya membangun bangsa dan negara.Dalam konteks Penerimaan Negara Bukan Pajak, sesuai dengan Undang-undang nomor 20 tahun1997, instansi yang yang beerwenang melakukan pemeriksaan adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang selanjutnya disebut BPKP. Pemeriksaan BPKP terhadap Wajib Bayar PNBP yang menghitung sendiri kewajibannya dapat dilakukan apabila berdasarkan pemantauan instansi pemerintah. telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan ketentuan pembayaran dan atau penyetoran PNBP terutang. Selain itu pemeriksaan juga dapat dilakukan berdasarkan laporan pihak ketiga. Baik dari aparat pemerintah. LSM dan masyarakat. Terakhir pemeriksaan dapat pula dimintakan oleh Wajib Bayar PNBP apabila terjadi kelebihan pembayaran PNBP.Pemeriksaan kepada Wajib Bayar PNBP dilakukan untuk menguji kepatuhan atas pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP. Pimpinan instansi pemerintah wajib menatausahakan hasil pemeriksaan, dan apabila ada dugaan tindak pidana yang terungkap dari pemeriksaan terhadap Wajib Bayar, Pemeriksa akan merekomendasikan kepada pimpinan instansi pemerintah yang bersangkutan untuk menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

h. Keberatan dan GugatanKeberatan dan Gugatan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah keberatan atas penetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Proses pengajuan keberatan oleh wajib bayar melalui mekanisme sesuai ketentuan yang berlaku. Keberatan dan Gugatan terjadi apabila terdapat perbedaan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Wajib Bayar PNBP dan hasil perhitungan yang dilakukan atau ditetapkan oleh instansi pemerintah. Dalam hal terjadi perbedaan tersebut, Wajib Bayar PNBP diberi kesempatan mengajukan keberatan dan gugatan kepada instansi pemerintah yang bersangkutan. Prinsip dasar dari pengajuan keberatan dan gugatan tadi adalah bahwa Wajib Bayar yang dimungkinkan mengajukan keberatan dan gugatan adalah Wajib Bayar PNBP yang menghitung sendiri kewajiban PNBP-nya dan keberatan dan gugatan tadi diajukan setelah dilakukannya pembayaran kewajiban dan gugatan PNBP sesuai dengan yang dihitung/ditetapkan oleh instasi pemerintah termaksud. Dalam hal Keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya. Apabila terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Bial Wajib Bayar tidak setuju terhadap Keputusan Keberatan, Wajib Bayar dapat mengajukan Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian Keberatan dan Gugatan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.

i. Ketentuan PidanaPenerimaan negara bukan pajak pada hakekatnya sama dengan penerimaan lainnya. Penerimaan ini wajib dikelola secara baik dan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Segala jenis pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku akan membawa konsekuensi pidana sesuai pelanggaran yang dilakukan.Penerimaan negara bukan pajak pada hakekatnya sama dengan penerimaan lainnya. Penerimaan ini wajib dikelola secara baik dan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Segala jenis pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku akan membawa konsekuensi pidana sesuai pelanggaran yang

Page 30: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1460

dilakukan. Pelanggaran dimaksud kebayakan terjadi setelah adanya pemeriksaan dari instansi pemeriksa. Sejauh ini pelanggaran yang pada umumnya terjadi dapat dikelompokkan menjadi: (a) Pungutan dilakukan tanpa dasar hukum (b) PNBP tidak langsung disetorkan seluruhnya ke kas Negara. dan (c) Sebagian/seluruh penerimaan PNBP digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran tanpa melalui mekanisme APBN. Selain ketiga hal tersebut, pelanggaran terkait PNBP dapat pula dilakukan oleh Wajib Bayar PNBP, yaitu keterlambatan atau kekurangan setor oleh Wajib Bayar dari jumlah yang ditetapkan oleh instansi pemerintah yang bersangkutan.

j. Pelaporan dan PertanggungjawabanPelaporan dan pertanggungjawaban merupakan bagian penting dari akhir pemanfaatan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam laporan dan pertanggungjawaban akan diketahui sejauh mana kegunaan dan kemanfaatannya dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Pelaporan baik pada sisi penerimaan maupun pada sisi penggunaannya harus dilaporkan secara periodik sesuai ketentuan yang berlaku. Kurun waktu laporan secara rutin dan teratur dilakukan setaip bulan, triwulan, smester dan tahunan. Pertanggungjawaban secara komprhensif dilakukan pada akhir tahun anggaran sebagai akhir dari proses pelaksanaan anggaran.

Page 31: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1461

BAB IIIEVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT

BAB III SI DAN ANALISIS ERATURAN PERUNDANGA. Evaluasi Terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 1997Tinjauan aspek teoritis ini diarahkan kepada atau guna mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak. Salah satu dari sekian banyak potensi sumber penerimaan adalah potensi dari optimalisasi asset yang berkinerja tertinggi dan terbaik untuk meningkatkan pendapatan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam perspektif teoritis terkait dengan asset kita mengenal istilah HBU analisys atau The Higest and Best Use analisys (HBU) yang memiliki pengertian sebuah pola analisis bagi penggunaan aset secara maksimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi negara (Sugiama, 2012). Analisis didasarkan pada tahap pertama menyangkuta aspek manajemen aset harus baik, tranparan dan akuntabel, kedua menyusun rencana optimalisasi aset secara baik dan benar terutama terhadap aset yang idle, ketiga melakukan analisis pola HBU. Dalam analisis ini akan dihasilkan tentang kemungkinan optimalisasi aset secara fisik (physically possible), setelah dimungkinkan aset tersebut untuk dilakukan optimalisasi maka tahap berikutnya akan dilihat dan dikaji dari perspektif hukum (legally permissable), apakah secara legal aset tersebut sudah memadai untuk dilakukan optimalisasi terhadapnya, contoh kasus yang hangat saat ini dibicarakan adalah aset Hambalang untuk wisma atlet dan Buol untuk kebun sawit.Setelah ketiga aspek tersebut dikaji tahap berikutnya ditinjau dari aspek keuangannya (financially feasible), layak tidak, memiliki nilai ekonomi tinggi atau tidak dan baru setelah tinjauan terhadap ketiga aspek penting di atas akan dianalisis dari segi produktivitas yang harus maksimal (maximum productivity). Kajian aspek teoritis akan memberikan informasi kepada manajemen dan stakeholders tentang nilai ekonomi sebuah aset yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Sampai hari ini, mungkin masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. PNBP merupakan salah satu sumber penerimaan negara diluar pajak dan bea cukai yang jika ditilik kontribusinya bagi penerimaan APBN, tiap tahun mengalami peningkatan signifikan. Beberapa tahun terakhir, kontribusi PNBP terhadap APBN sekitar 30% dari Pendapatan Negara dan Hibah, sehingga mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional.

Peranan penting dimaksud antara lain :1. Mengoptimalkan penerimaan yang berasal dari kekayaan Negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat sesuai dengan isi dan semangat pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Memperkuat basis penerimaan dalam negeri;3. Meningkatkan disiplin dan tertib anggaran, agar semua PNBP dikelola dalam sistim APBN

dan harus terlebih dahulu disetorkan ke Kas Negara;4. Meningkatkan peranan PNBP dalam APBN dengan senantiasa mempertimbangkan

kewajiban Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pelayanan umum dan penyelenggaraan pembangunan.

Mengapa perlu dikenakan pungutan? Pertanyaan ini sering muncul dalam benak kita. Ada dua hal penting yang mendasari pengenaan pungutan tersebut, yaitu:

1. Keterbatasan kemampuan APBN, sehingga biaya operasional yang dimiliki Pemerintah yang diperlukan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak sepenuhnya dapat di danai APBN.

2. Pungutan dilakukan Pemerintah sebagai upaya melakukan pengaturan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Disinilah pengaturan Pemerintah diperlukan dengan menerbitkan ketentuan tentang ijin dan tarif. Ijin tersebut mengenai besar kapalnya, jumlah tangkapannya serta jenis ikan tangkapannya. Atau dengan kata lain, pengaturan tentang pemanfaatannya.

Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat dan daerah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Sampai saat ini, mungkin masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang Penerimnan Negara Bukan Pajak. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya protes yang disampaikan masyarakat apabila dikenakan pungutan terhadap pelayanan yang mereka terima dari Pemerintah Pusat dan Daerah. Terlehih, tidak semua pelayanan Pemerintah kepada masyarakat dikenakan pungutan. Hanya pelayanan-pelayanan tertentu saja yang dikenakan pungutan yang masuk kategori PNBP. Hal ini terkadang membingungkan masyarakat.G. PNBP Sebelum Undang-Undang No. 20 Tahun 1997Penerimaan negara bukan pajak antara lain terdiri dari penerimaan negara dari departemen/lembaga pemerintah non departemen (istilah departemen dan non departemen sekarang diubah menjadi Kementerian Negara/Lembaga) yang diperoleh dari pelayanan jasa yang diberikan kepada masyarakat, penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN yang diperoleh dari penyertaan modal pemerintah pada BUMN dan penerimaan laba bersih minyak jika nilai jual

Page 32: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1462

BBM dalam negeri melampaui biaya penyediaannya.Upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari departemen/lembaga pemerintah non departemen antara lain dilakukan melalui penyempurnaan administrasi pengelolaan, yang meliputi tata cara penyetoran dan intensifikasi pemungutan, serta pengawasan. Sedangkan upaya peningkatan penerimaan yang bersumber dari bagian pemerintah atas laba BUMN, antara lain dilakukan dengan peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN melalui langkah-langkah restrukturisasi BUMN meliputi perubahan status hukum, kerjasama operasi dan kontrak manajemen, konsolidasi, merjer, pemecahan badan usaha ke arah yang lebih mantap, penjualan saham, baik secara langsung maupun melalui pasar modal, serta pembentukan perusahaan patungan.Sasaran pembangunan keuangan dalam PJP II adalah meningkatnya tabungan nasional yang meliputi tabungan pemerintah dan tabungan masyarakat. Tabungan pemerintah meningkat dalam kerangka kebijaksanaan fiskal yang tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang yang dinamls untuk menjamin pemerataan pembangunan yang semakin meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis. Untuk mencapai sasaran tersebut, ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan bukan pajak, mengoptimalkan pengeluaran rutin, serta meningkatkan efektivitas pengeluaran pembangunan.Di bidang penerimaan negara, kebijakan pengelolaan keuangan negara diarahkan untuk menggali penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam khususnya penerimaan pajak dengan tanpa mengabaikan peluang-peluang yang terbuka untuk meningkatkan penerimaan migas. Dalam perkembangannya, PNBP perlu dikelola secara baik dan benar, untuk itu diperlukan suatu undang-undang yang dapat mengatur masyarakat selaku Wajib Bayar dan Pemerintah selaku pengelola PNBP yang melayani masyarakat.Sebelum diterbitkannya Undang Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, belum ada undang-undang yang mengatur tentang PNBP. Pada saat itu Pemerintah melalui departemen/lembaga pemerintah non departemen melakukan pemungutan kepada masyarakat berdasarkan tarifyang ditetapkan oleh Menteri Teknis dengan persetujuan Menteri Keuangan. PNBP yang diperoleh tidak seluruhnya disetorkan ke kas negara, sebagian ada yang disimpan dalam rekening bendahara departemen/lembaga pemerintah non departemen yang bersangkutan, sehingga tidak tercatat dalam APBN. Melihat ruang lingkup PNBP, maka PNBP yang dirumuskan dalam Undang-undang PNBP meliputi segala penerimaan Pemerintah Pusat diluar penerimaan perpajakan di atas. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan perumusan Undang-Undang PNBP adalah :• Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan

melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetorannya ke Kas Negara.

• Kepastian hukum dan keadilan masyarakat dalam berpartisipasi pada pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP.

• Menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan investasi di seluruh Indonesia;

• Menunjang terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.

H. PNBP Setelah Undang-Undang No. 20 Tahun 1997.Lebih dari satu dekade Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 diberlakukan, dan kehadiran undang-undang ini diharapkan mampu membantu bangsa ini menuju kemandirian dalam pembiayaan Negara melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP. Sasaran yang diharapkan diluncurkannya Undang-Undang PNBP, selain tertib administrasi dan penyetoran PNBP ke Kas Negara, juga memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan agar dapat menikmati manfaat dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP. Pada akhirnya pelaksanaan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 ini diarahkan pada upaya menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam pembangunan. Parameter yang ingin dicapai antara lain peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh pelosok tanah air. Jika sebelum Undang-Undang PNBP masih banyak ditemukan rekening antara di beberapa departemen/lembaga pemerintah non departemen, maka setelah Undang-Undang PNBP, Menteri Keuangan mulai melakukan penertiban rekening yang ada di seluruh departemen/lembaga pemerintah non departemen, dan menginstruksikan agar seluruh pungutan PNBP disetorkan ke Kas Negara.Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997, pengelompokan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi:• penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;• penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;• penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;• penerimaan dari kegiaatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;

Page 33: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1463

• penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;

• penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;• penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri. jenis-jenis PNBP tersebut

lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 20 Tahun 1997, telah diterbitkan beberapa Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dimaksud yaitu :• Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran PNBP;• Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP Yang

Bersumber dari Kegiatan Tertentu;• Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara PenyampaianRencanadan

Laporan realisasi PNBP;• Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan PNBP;• Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran,

dan Penyetoran PNBP Terutang;• Peraturan Pemerintah No. 34Tahun 2010 tentang pengajuan dan penyelesaian Keberatan

atasPenetapan PNBP Yang Terutang. • Selain Peraturan Pemerintah tersebut di atas, telah diterbitkan beberapa peraturan tentang

Tarif Atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing K/L.I. PNBP Setelah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan NegaraTerbitnya undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara membawa perubahan dalam pengelolaan keuangan Negara. Selama ini dalam pengelolaan keuangan Negara masih digunakan ketentuan perundangan ada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 yaitu Indische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1925 No. 448 yang diubah dengan Undang-Undang No9 tahun 1968. Dengan ditetapkannya undang-undang No. 17 Tahun 2003 maka ICW) Stbl. 1925 No. 448 tidak berlaku lagi. Perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan yang diatur dalam undang-undang ini antara lain meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan Negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan Negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Negara, pendelegasian kekuasaan presiden kepada Menteri Keuangan dan Meneri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD dan lain sebagainya.APBN merupakan wujud pengelolaan Keuangan Negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Dalam APBN pendapatan Negara terdiri dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Dengan demikian Hibah sudah tidak termasuk lagi dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak, namun telah berdiri sendiri sebagai sumber pendapatan dalam APBN. Belanja Negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan penyusunannya dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenisbelanja.Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan Negara, pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka dan bertanggung jawab sesuai aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam pengelolaan Keuangan Negara perlu diterapkan asas-asas antara lain :• akuntabilitas berorientasi pada hasil;• profesionalitas;• proporsionalitas;• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara;• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Anggaran merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Sebelum terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan ini scniula bertujuan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam pelaksanaannya menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran.Dengan berkiblat kepada negara maju, rencana pembangunan lima tahunan dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Oleh karena itu dibutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistim penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran jangka Menengah (KP)M). Selain itu mekanisme pembahasan anggaran di DPR/DPRD, termasukpembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan K/L. APBN ditetapkan secara rinci dengan Undang-Undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden

Page 34: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1464

sebagai pedoman bagi K/L dalam pelaksanaan anggaran. Laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah juga harus memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, maka pengelolaan keuangan Negara tidak lagi mengacu kepada Indische Comptabiliteitswet (ICW) Stbl. 1925 No. 448 yang diubah dengan Undang-Undang No 9 tahun 1968. Dengan demikian Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP juga harus diganti dan disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Kehadiran Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membawa dampak perubahan pada klasifikasi penerimaan negara. Hibah yang semula dikelompokkan ke dalam salah satu jenis PNBP, menjadi kelompok penerimaan negara tersendiri. Dengan demikian, hibah tidak kita jumpai lagi sebagai salah satu jenis PNBP dalam APBN. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 2 Tahun 2010 tentang Perubahan APBN TA 2010, membagi PNBP ke dalam empat kelompok besar yaitu:a. Penerimaan sumber daya alam: Dalam kelompok ini, kita mengenal pendapatan sumber

daya alam (SDA) migas dan non-migas. Pendapatan SDA migas merupakan pendapatan yang diperoleh dari bagian bersih pemerintah atas kerjasama pengelolaan sektor hulu migas. Pendapatan SDA nonmigas dikenal dengan beberapa pendapatan sektoral yang cukup populis yaitu; pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.

b. Pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Pendapatan ini merupakan imbalan kepada pemerintah pusat selaku pemegang saham BUMN (return on equity) yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih (pay-out ratio). Tidak kurang dari 70 BUMN yang menjadi kontributor dividen secara reguler setiap tahunnya, dimana Pertamina menjadi superior di atas BUMN lainnya. Di dalam APBN, pendapatan ini diklasifikasikan kedalam kelompok perbankan dan non-perbankan.

c. PNBP lainnya: Pada prinsipnya, PNBP lainnya meliputi berbagai jenis pendapatan yang dipungut oleh Kementerian Negara/Lembaga atas produk layanan yang diberikan kepada masyarakat. Termasuk di dalam kelompok ini adalah pendapatan atas pengurusan SIM, STNK, dan surat nikah sebagaimana contoh di atas. Pungutan yang dilakukan oleh instansi pemerintah tersebut dilakukan atas dasar Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP pada K/L tertentu. Tidak kurang dari sepuluh ribu jenis dan tarif PNBP yang dikenakan secara sah oleh instansi pemerintah.

d. Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU): Seperti PNBP lainnya, pendapatan BLU diperoleh atas produk layanan instansi pemerintah yang diberikan kepada masyarakat. Bedanya, pendapatan yang diperoleh melalui mekanisme BLU ini dapat langsung digunakan oleh instansi yang bersangkutan. Selain itu, jenisdan tarif PNBP BLU tidak ditetapkan melalui PP melainkan Peraturan Menteri Keuangan.

Selanjutnya, guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang antara lain memperjelas jenis PNBP yang dapat dibagihasilkan kepada pemerintah daerah, keempat kelompok besar PNBP dalam APBN tersebut dirinci ke dalam jenis pendapatan per-akun hingga 6 digit. Rincian PNBP per MAP tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar yang mencakup lebih dari seratus akun pendapatan. Realisasi PNBP yang dilaporkan di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) didukung dengan rincian penerimaan per MAP. Tabel 1-3 berikut ini merupakan ikhtisar MAPPNBP.

lkhtisar Mata Anggaran Penerimaan (MAP) PNBPdalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Latar Belakang Penggantian Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP.422 Pendapatan bagian laba BUMN 4221 Bagian Pemerintah atas laba BUMN42211 Pendapatan laba BUMN perbankan 42212 Pendapatan laba BUMN non perbankan 423 Pendapatan PNBP lainnya 4231 Pendapatan dari pengelolaan BMN (pemanfaatan dan pemindahtanganan) serta pendapatan dari penjualan 42311 Pendapatan penjualan hasil produksi/sitaan 423111 Pendapatan penjualan hasil pertanian, kehutanan, dan perkebunan 423112 Pendapatan penjualan hasil peternakan dan perikanan423113 Pendapatan penjualan hasil tambang

Page 35: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1465

423114 Pendapatan penjualan hasil sitaan/rampasan dan harta peninggalan423116 Pendapatan penjualan informasi, penerbitan, film, survey, pemetaan, dan hasil cetakan

lainnya 423117 Pendapatan penjualan dokumen-dokumen pelelangan423119 Pendapatan penjualan lainnya 42312 Pendapatan dari Pemindahtanganan BMN 423121 Pendapatan penjualan rumah, gedung, bangunan, dan tanah 423122 Pendapatan dan penjualan Peralatan dan Mesin 423129 Pendapatan dari Pemindahtanganan BMN lainnya42313 Pendapatan Penjualan dari kegiatan hulu migas 423132 Pendapatan minyak mentah (DMO)423139 Pendapatan Lainnya dari kegiatan Hulu Migas42314 Pendapatan dari Pemanfaatan BMN 423141 Pendapatan sewa tanah, gedung, dan bangunan 423142 Pendapatan sewa peralatan dan mesin423143 Pendapatan sewa jalan, irigasi, dan jaringan 423145 Pendapatan dari KSP Peralatan dan Mesin 423149 Pendapatan sewa dari pemanfaatan BMN lainnya4232 Pendapatan jasa42321 Pendapatan jasa I 423211 Pendapatan rumah sakit dan instansi kesehatan lainnya 423212 Pendapatan tempat hiburan/taman/museum dan pungutan usaha pariwisata alam

(PUPA) 423213 Pendapatan surat keterangan, visa, dan paspor423214 Pendapatan hak dan perijinan423215 Pendapatan sensor/karantina, pengawasan/pemeriksaan423216 Pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan, jasa informasi, jasa pelatihan, jasa

teknologi, pendapatan BPN, pendapatan DJBC 423217 Pendapatan jasa Kantor Urusan Agama 423218 Pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan, dan kenavigasian 423219 Pendapatan Pelayanan Pertanahan 42322 Pendapatan jasa II423221 Pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro) 423225 Pendapatan biaya penagihan pajak negara dengan surat paksa 423227 Pendapatan bea lelang 423228 Pendapatan biaya pengurusan piutang dan lelang negara 423229 Pendapatan registrasi dokter dan dokter gigi42323 Pendapatan jasa luar negeri423231 Pendapatan dari pemberian surat perjalanan Republik Indonesia423232 Pendapatan dari jasa pengurusan dokumen konsuler423239 Pendapatan rutin lainnya dari luar negeri 42325 Pendapatan atas pengelolaan rekening tunggal perbendaharaan (treasury single

account) dan/ atau jasa penempatan uang negara 423251 Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA 423252 Pendapatan atas Penempatan Uang Negara pada Bank Umum 423253 Pendapatan dari pelaksanaan treasury national pooling 423254 Pendapatan dari penempatan uang negara di Bank Indonesia 42326 Pendapatan Jasa Kepolisian I 423261 Pendapatan surat izin mengemudi (SIM)

Page 36: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1466

423262 Pendapatan surat tanda nomor kendaraan (STNK)423263 Pendapatan surat tanda coba kendaraan (STCK) 423264 Pendapatan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) 423265 Pendapatan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) 423266 Pendapatan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator 423267 Pendapatan penerbitan surat izin senjata api dan bahan peledak 42328 Pendapatan Jasa Kepolisian II 423281 Pendapatan penerbitan surat mutasi kendaraan ke luar daerah 423282 Pendapatan penerbitan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) 423283 Pendapatan penerbitan surat keterangan lapor diri423285 Pendapatan denda pelanggaran lalu lintas 42329 Pendapatan jasa lainnya423291 Pendapatan jasa lainnya 4233 Pendapatan bunga 42331 Pendapatan bunga423313 Pendapatan bunga dari piutang dan penerusan pinjaman 42333 Pendapatan Premium atas Obligasi Negara 423331 Pendapatan Premium Obligasi Negara Dalam Negeri/Rupiah4234 Pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi 42341 Pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi423411 Pendapatan legalisasi tanda tangan 423412 Pendapatan pengesahan surat di bawah tangan423413 Pendapatan uang meja (leges) dan upah pada panitera badan pengadilan (peradilan) 423414 Pendapatan hasil denda dan sebagainya 423415 Pendapatan ongkos perkara 423416 Pendapatan Penjualan Hasil Lelang Tindak Pidana Korupsi 423419 Pendapatan kejaksaan dan peradilan lainnya 4235 Pendapatan pendidikan 42351 Pendapatan pendidikan 423511 Pendapatan uang pendidikan 423512 Pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan 423513 Pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik423519 Pendapatan pendidikan lainnya 4236 Pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi 42361 Pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi 423611 Pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan 423612 Pendapatan gratifikasi yang ditetapkan KPK menjadi milik negara423614 Pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan di

pengadilan 4237 Pendapatan iuran dan denda 42371 Pendapatan iuran Badan Usaha 423711Pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan penyediaan dan pendistribusian BBM 423712 Pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan usaha pengangkutan gas bumi

melalui pipa 42373 Pendapatan dari perlindungan hutan dan konservasi alam 423731 Pendapatan iuran menangkap/ mengambil/mengangkut satwa liar/

mengambil/mengangkut tumbuhan 423732 Pungutan izin pengusahaan pariwisata alam (PIPPA)

Page 37: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1467

423735 Pungutan masuk obyek wisata alam 423736 Iuran hasil usaha pengusahaan pariwisata alam (IHUPA) 42375 Pendapatan denda 423751 Pendapatan Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan 423752 Pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah 423755 Pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha 4239 Pendapatan lain-lain42391 Pendapatan dari penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu 423911 Penerimaan kembali belanja pegawai pusat TAYL 423912 Penerimaan kembali belanja pensiun TAYL 423913 Penerimaan kembali belanja lainnya rupiah murni TAYL 423915 Penerimaan kembali belanja lainnya Hibah TAYL 423919 Penerimaan kembali belanja lainnya TAYL 42392 Pendapatan pelunasan piutang 423921 Pendapatan pelunasan piutang non-bendahara 423922 Pendapatan pelunasan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara

(masuk TP/TGR) 42399 Pendapatan lain-lain 423991 Penerimaan kembali persekot/ uang muka gaji423992 Penerimaan Premi Penjaminan Perbankan Nasional 423999 Pendapatan anggaran lain-lain 424 Pendapatan badan layanan umum 4241 Pendapatan jasa layanan umum 42411 Pendapatan penyediaan barang dan jasa kepada masyarakat 424111 Pendapatan jasa pelayanan rumah sakit 424112 Pendapatan jasa pelayanan pendidikan 424113 Pendapatan jasa pelayanan tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan, dan

teknologi 424116 Pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi 424117 Pendapatan jasa layanan pemasaran 424118 Pendapatan Penyediaan Barang 424119 Pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa lainnya 42412 Pendapatan dan pengelolaan wilayah/kawasan tertentu 424121 Pendapatan Pengelolaan Kawasan Otorita 424129 Pendapatan dan pengelolaan kawasan lainnya 42413 Pengelolaan dana khusus untuk masyarakat 424133 pendapatan program modal ventura424134 Pendapatan program dana bergulir sektoral424135 Pendapatan program dana bergulir syariah 424136 Pendapatan investasi 424139 Pendapatan Pengelolaan Dana Khusus lainnya4243 Pendapatan hasil kerja sama BLU 42431 Pendapatan hasil kerja sama BLU 424311 Pendapatan hasil kerja sama perorangan 424312 Pendapatan hasil kerja sama lembaga/badan usaha 424313 Pendapatan hasil kerja sama pemerintah daerah 4249 Pendapatan BLU Lainnya42491 Pendapatan BLU Lainnya

Page 38: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1468

424911 Pendapatan jasa layanan perbankan BLU Sumber: Kemeterian Keuangan 2012.Dalam periode 2005 s.d. 2009 kebijakan anggaran belanja pemerintah pusat disusun dan dilaksanakan serta dipertanggungjawabkan dalam kerangka pembaharuan keuangan negara. Pembaharuan tersebut memiliki tiga pilar, yaitu: (i) penganggaran terpadu (unified budget), (ii) penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan (iii) kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework).Penganggaran terpadu, mulai tahun anggaran 2005 pemerintah menyatukaii tiga clokumen anggaran menjadi satu saja yang disebut DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran). Dalam DIPA ini terdapat tiga sumber pendanaan kegiatan suatu satker pemerintah yaitu, rupiah murni (pajak dan non pajak seperti pendapatan migas yang diperlakukan sebagai sumber dana bagi seluruh kegiatan pemerintah), pinjaman dan hibah luar negeri (PIILN) clan PNBP. Pada era sebelumnya dokumen anggaran (perencanaan pemerintah yang dikaitkan dengan besaran biayanya) terdiri dari dokumen pengganggaran untuk kegiatan rutin disebut Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan dokumen penganggaran untuk kegiatan pembangunan disebut Daftar Isian Pembangunan (DIP), serta dokumen pengganggaran yang disebut sebagai DIK Suplemen (DIK-S). Kegiatan yang tercantum dalam DIK dan DIP sumber dananya berasal dari rupiah murni (dari pajak negara dan PNBP yang diberlakukan sebagai sumber dana seperti pajak). Khusus Kegiatan yang tercantum dalam DIP selain dibiayai dari rupiah murni, sebagian kegiatan pembangunan dibiayai dari PHLN. Adapun kegiatan yang tercantum dalam D1K-S dananya berasal dari PNBP (swadana, dari satker untuk satker tersebut). Penyatuan tiga jenis dokumen anggaran ini diharapkan akan mendorong efisiensi pembiayaan suatu kegiatan pemerintah karena dapat terhindar dari duplikasi pembiayaan. Sebagai contoh, sebelum penyatuan dokumen anggaran, pengeluaran untuk biaya perjalanan dinas, bisa dialokasikan dalam DIK maupun DIP. Hal ini dapat menyulitkan akuntabilitas pemanfaatan dana tersebut dan membuka peluang untuk terjadinya penyelewengan pemanfaatan dana. Berbeda apabila dana tersebut dialokasikan padasatu jenisdokumen anggaran. Jika pada era sebelum tahun 2005, pengalokasian anggaran berdasar kebutuhan K/L, maka dengan Undang-undang Keuangan Negara penganggaran berubah menjadi penganggaran yang berbasis pada keluaran (output). Dengan dasar ini, kegiatan yang mendapat alokasi anggaran adalah kegiatan yang memberikan hasil yang nyata, terukur dan memberi dampak sesuai tujuan kegiatan, program dan fungsi anggaran pada umumnya. Meskipun terjadi perubahan basis penganggaran, penganggaran yang bersumber dari PNBP tidak mengalami perubahan. Hal ini karena sejak diterbitkannya Undang-Undang No.20 tahun 1997 tentang PNBP, pengganggaran telah disusun berdasarkan output dan outcomes. Dalam pasal 8 Undang-Undang No.20 tahun 1997 disebutkan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Penganggaran PNBP kembali kepada instansi penghasil PNBP karena digunakan kembali untuk meiayani masyarakat. Skema tersebut dapat dipahami karena PNBP dihasilkan karena adanya pelayanan. Jika PNBP tidak digunakan kembali kepada pelanyanan atau instansi penghasil PNBP, maka kelangsungan pelayanan tersebutsulitdijaga kualitasmaupun kuantitasnya. jadi jelas bahwa penganggaran kegiatan yang bersumber dari PNBP berbasis kinerja karena memiliki output dan outcomes tertentu. Output tersebut berupa pelayanan PNBP oleh instansi yang menghasilkan PNBP. Hasil yang diharapkan berupa terwujudnya visi misi instansi yang melakukan pelayanan dengan memungut PNBP dari masyarakat tersebut.Dalam upaya untuk menjamin pcndanaan kegiatan di beberapa tahun ke depan sampai kegiatan tersebut selesai, dalam perencanaan pembangunan menengah (lima tahunan) seluruh K/L membuat penganggaran dalam jangka menengah (lima tahun). Beikaitan dengan kerangka pengeluaran jangka menengah, kegiatan yang bersumber dari PNBP juga melakukan penganggaran jangka menengah yaitu perencanaan penerimaan sampai beberapa tahun kedepan mulai 2009 s.d. 2014 sebagai bagian perencanaan strategis K/L. Dengan demikian, regime PNBP saat ini secara umum telah sejalan dengan reformasi keuangan negara meskipun memerlukan penyempurnaan,Apabila kita lihat dari jangka waktunya, Undang-Undang PNBP ini memang sudah berlaku cukup lama, yaitu sekitar 14 tahun. Berdasarkan hasil evaluasi, memang ditemukan cukup banyak hal yang harus disesuaikan dengan perkembangan situasi aktual dan tantangan-tantangan di masa depan. Selain itu, dari sisi hukum sudah banyak perkembangan yang terjadi, seperti Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, diterbitkannya Paket Undang-Undang Keuangan Negara, lahirnya Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang no 20 tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang no 32 dan 33 tahun 2004, masing-masing tentang Pemerintah Daerah dan Pembagian Keuangan antara Pemerintahan Pusat ddan Pemerintahan Daerah. Seluruh ketentuan perundangan tersebut bersifat dinamis, dan bersentuhan dengan basis Undang-Undang 20 Tahun 1997 tentang PNBP yang berkenaan dengan penerimaan SDA, laba BUMN, dan kementerian/lembaga, dan

Page 39: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1469

pembagian kewenangan hukum antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pembagian hasil pajak dan non pajak antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga dalam perjalanannya banyak hal yang harus dibenahi atau diperbaiki. Penggantian adalah langkah yang paling tepat untuk mengharmonisasikan dan menyesuaikan regulasi PNBP serta dalam rangka mengantisipasi kebijakan PNBP ke depan. Tantangan-tantangan sepanjang 14 tahun pengelolaan PNBP berdasarkan Undang-Undang 20 Tahun 1997 ini setidaknya ada empat, yaitu: (1) mengoptimalkan potensi-potensi PNBP, (2) mendukung kebijakan fiskal yang sustainsble, (3) peningkatan kinerja BUMN, dan (4) peningkatan kualitas pelayanan kementerian/lembaga. Memang tidak semua pelayanan umum harus dikenakan biaya atau tarif, namun demikian kita tetap harus memegang prinsip kewajaran dan keadilan. Apabila dikenakan tarif pelayanan dan pengelolaan potensi PNBP tentunya harus tetap berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut.J. Jenis Dan Tarif PNBPPNBP memiliki potensi yang cukup besar sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Sebagaimana pajak, upaya peningkatan penerimaan negara dari PNBP dapat dilakukan dengan ekstensifikasi dan/atau intensifikasi PNBP. Ekstensifikasi dilakukan dengan inventarisasi potensi jenis PNBP, sedangkan intensifikasi antara lain dilakukan dengan optimalisasi pemungutan PNBP dan review besaran tarif PNBP.Jenis dan tarif yang di atur dalam BAB II memuat 7 jenis kelompok penerimaan negara bukan pajak. Ke tujuh jenis penerimaan tersebut yaitu, (1) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah, (2) penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya alam, (3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negar yang dipisahkan, (4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan pemerintah, (5) penerimaan berdasarkan putusan pengeadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi, (6) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah serta (7) penerimaan lainnya yang di atur dalam undang-undang tersendiri.Terlepas dari upaya elaborasi di atas, kiranya dalam pembagian jenis-jenis PNBP perlu dibedakan antara PNBP yang penyelenggaraannya perlu adanya biaya yang dikeluarkan Pemerintah dan PNBP yang tidak mengharuskan adanya biaya dari Pemerintah. Contoh yang memerlukan biaya dari Pemerintah misalnya pemberian SIM sedangkan yang tidak memerlukan biaya dari Pemerintah misalnya pemanfaatan sumber daya alam. Pembedaan ini menjadi penting terkait dengan tarif yang akan dikenakan pada masing-masing jenis penerimaan tersebut. Dengan pembedaan tersebut diharapkan agar diperoleh penetapan tarif yang wajar atas jenis penerimaan yang berbeda tersebut. Selanjutnya, dalam kaitan penerapan tarif atas pemanfaatan sumber daya alam, kiranya perlu dilakukan pembagian lebih lanjut jenis sumber daya alam yang non renewable, misalnya sumber daya alam dari sektor pertambangan dan sumber daya alam yang renewable misalnya sumber daya alam dari sektor kehutanan (meski perlu waktu lama, penghutanan kembali secara teoritis adalah dimungkinkan).Salah satu ketentuan dalam Undang-Undang PNBP menyatakan bahwa tarif atas jenis ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur jenis dan tarif PNBP (Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP), Selain itu, sesuai Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang PNBP tarif PNBP yang diatur dalam Undang-Undang atau PP, harus memperhatikan beberapa aspek penting yaitu:1. dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya;2. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang

bersangkutan; dan3. aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

Mengapa penetapan tarif PNBP harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat? Hal ini lentu tidak terlepas dari penman Pemerintah sebagai pelaksana amanat rakyatyang tentunya tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Penetapan tarif PNBP yang terlalu rendah akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar atau bahkan matinya pasar dari industri pelayanan yang serupa dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah, misalnya jasa pengujian sampel. Dan sebaliknya pula apabila tarif PNBP ditetapkan terlalu tinggi, masyarakat pengguna layanan PNBP akan merasa keberatan pada saat melakukan pembayaran dan bahkan akan berdampak pada kenaikan biaya produksi barang yang pada akhirnya harga jual akan melambung tinggi. Hal ini dapat terjadi pada jenis PNBP yang berupa jasa sertifikasi produk yang merupakan bagian dari syarat edar suatu produk.Aspek selanjutnya yang harus dipenuhi dalam penetapan tarif PNBP berkaitan dengan biaya penyelenggaraan dari PNBP itu sendiri. Meskipun tarif PNBP harus memperhatikan dampak pengenaannya terhadap masyarakat, bukan berarti tarif PNBP ditetapkan dengan tanpa mempertimbangkan biaya penyelenggaraannya sama sekali. Bagaimanapun juga, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya untuk membiayai kegiatan pelayanan yang menghasilkan PNBP dimaksud. Biaya penyelenggaraan di sini terbatas hanya biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan PNBP dan tidaktermasuk biaya-biaya lain yang dikeluarkan instansi Pemerintah yang tidak berkaitan langsung dengan PNBP. Namun, perlu digarisbawahi bahwa biaya penyelenggaraan bukanlah satu-satunya acuan dalam penetapan tarif PNBP sehingga biaya

Page 40: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1470

penyelenggaraannya tidak secara otomatis menjadi besaran tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat pengguna layanan.Koridor terakhir yang harus dipenuhi adalah aspek keadilan. Hal ini tentu sudah merupakan suatu kaidah yang wajar dalam suatu negara yang mengusung keadilan sosial sebagai salah satu sila dalam dasar negara. Keadilan dalam penerapan suatu tarif PNBP dapat berbentuk dengan penerapan tarif yang berbeda-beda untuk kelompok pengguna yang berbeda. Sebagai contoh, untuk pengguna layanan pengujian sampel yang berasa) dari kalangan mahasiswa, diberikan tarif diskon sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif yang berlaku untuk masyarakat umum. Pembedaan tarif ini wajar mengingat mahasiswa belum memiliki penghasilan sendiri dan mereka juga merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan.Memperhatikan ketentuan perundangan tersebut di atas, penetapan tarif atas jenis PNBP membutuhkan analisis dan pertimbangan yang cermat sebelum ditetapkan dalam ketentuan perundangan termasuk melakukan sosialisasi kepada pihak terkait. Hal ini petiu dilakukan agar pembebanan biaya atas jasa (pengaturan dan pelayanan) yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat masih dalam skala kewajaran. Selain itu, tarif yang ditetapkan masih dapat memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha masyarakat.Berkaitan dengan aspek tersebut, pendekatan yang dilakukan dalam penentuan besaran tarif PNBP yang ditetapkan dalam Undang-Undang atau PP dapat dibedakan dalam tiga kelompok utama, yaitu:1. Pendekatan Zero or Cost Minus Tarif

Di dalam pendekatan ini, tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat adalah nol (gratis) atau lebih rendah dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tarif (bersifat subsidi) seperti ini umumnya diberikan pada jasa pelayanan publik yang merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Kebutuhan mendasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan.

2. Pendekatan Just Cost TarifMetode Just Cost Tarif merupakan cara penentuan tarif PNBP dengan menyamakan antara tarif dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tarif seperti ini umumnya dikenakan atas jasa pelayanan publik yang bukan merupakan kebutuhan dasar masyarakat dan/atau pemanfaatan aset pemerintah antara lain laboratorium uji mutu dan gedung/balai pertemuan.

3. Pendekatan Cost Plus TarifCara yang ketiga yakni bahwa tarif PNBP yang dikenakan kepada masyarakat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penyelenggaraan atau penyediaan jasa (dalam rangka melaksanakan kegiatan pengaturan dan pelayanan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengenaan tarif seperti ini umumnya dikenakan atas jasa pengaturan dan pelayanan publik tertenru dimana masyarakat memperoleh manfaat yang besar dari jasa yang diberikan dan/atau untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam. Sebagai contoh pengenaan tarif PNBP di bidang pertambangan iimum dan kehutanan.

K. Pengajuan serta Penetapan Jenis dan Tarif PNBPBerdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, setiap Kementerian/Lembaga yang mempunyai PNBP barns memiiiki peraturan perundangan (minimal Peraturan Pemerintab/PP) tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada masing-masing Kementerian/Lembaga. PP tersebnt digunakan sebagai dasar penmngutan atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Adapun proses penelapan tarif dan jenis PNHP pada Kementerian/ Lembaga seeara iiinum dapat diuraikan sebagai berikut:1. Pimpinan kementerian/lembaga (Instansi Pemerintah) menyampaikan usulan tarif atas

jenis PNBP yang berlaku pada kementerian/lembaga yang bersangkutan kepada Menteri Keuangan.

2. Selanjutnya usulan besaran tarif tersebut dibahas oleb Kementerian Keuangan bersama dengan kementerian/lembaga yang bersangkutan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Sekretariat Negara untuk mendapatkan justifikasi atas tarif yang diusulkan. Selain itu, pembahasan juga bertujuan untuk mempelajari dampak atas pengenaan tarif tersebut terhadap kementerian/lembaga dan masyarakat serta memastikan pelayanan (jenis PNBP) yang diberikan merupakan kewenangan kementerian/lembaga yang bersangkutan.

3. Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian/lembaga hasil pembahasan, disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM melalui surat Menteri Keuangan.

4. Kementerian Hukum dan HAM melakukan harmonisasi dan pembulatan terhadap RPP dimaksud, untuk selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk diproses lebih lanjut.

5. Menteri Keuangan menyampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi PP.6. Setelah PP ditetapkan dan diundangkan, Kementerian/Lembaga wajib memungut dan

menyetorkan PNBP yang diperolehnya ke Kas Negara sesuai dengan tarif dalam PP.

Page 41: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1471

Setelah berbagai macam jenis dan tarif PNBP ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, tarif PNBP diklasifikasikan ke dalam kelompok-kelompok besar untuk memudahkan analisis dan menyusun ketentuan teknis pelaksanaanya. Secara umum, tarif PNBP dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu (1) tarif dalam bentuk nominal tertentu; (2) tarif dalam bentuk formula (termasuk juga dalam bentuk advalorem/persentase);dan (3) tarif dalam bentuk kontrak. Contoh penerapan tarif dalam bentuk nominal tertentu misalnya tarif diklat 3 hari untuk tingkat Kepala Daerah pada Kementerian Dalam Dalam Negeri adalah sebesar Rp2.650.000 per orang sesuai Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Dalam Negeri.Contoh penerapan tarif dalam bentuk formula dapat kita lihat pada tarif PNBP yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, yaitu tarif Biaya Hak Penggunaan (BHP) Spektrum Frekuensi Radio untuk Izin Stasiun Radio (ISR) sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika dihitung dengan formula sebagai berikut:

Keterangan:HDLP : Harga Dasar Lebar Pita;HDDP : Harga Dasar Daya Pancar;b : lebar pita frekuensi yang digunnkan (bandwith);p : besar daya pancar keluaran antena (E1RP)lb : Indeks biaya pendudukan pita lebar;Ip : Indeks biaya daya pancar

Contoh lain penerapan tarif dalam bentuk formula yang berupa persentase juga dapat dilihat pada Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti tarif untuk pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi ditetapkan sebesar 0,50% dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi pertahun buku.Tarif PNBP dalam bentuk kontrak antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jems PNBP yang Berlaku pada Departemen Perdagangan, yaitu tarifatas jenis PNBP yang berupa jasa pelatihan kerjasama baik organisasi nas.onal maupun intenasional serta jasa informasi perusahaan ditetapkan sebesar nilai nominal yang tercantum dalam kontrak kerjasama.L. Evaluasi Tarif PNBPPasal 3Undang-Undang No.20 tahun 1997 menyatakan bahwa tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan Jenis PNBP yang bersangkutan dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ketentuan undang-undang tersebut memberi amanat agar dilakukan evaluasi secara kontinyu untuk memastikan bahwa PNBP tidak mengakibatkan dampak yang kontra produktif bagi kepentingan masyarakat dan perekonomian.Demi melaksanakan amanat tersebut, DJA setiap tahun melaksanakan keg.atan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PNBP bersama K/L Dalam melaksanakan kegiatan tersebut dipilih beberapa K/L (misalnya 2 s.d. 6 K/L dari 40 K/L yang melakukan kegiatan yang bersumber dan PNBP) untuk dilakukan evaluasi pelaksanaan PNBPnya. Salah satu evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi terhadap besaran tarif PNBP yang berlaku. Pada umumnya tarif yang ditetapkan dalam PP Jenis dan tarif PNBP masih cukup untuk membiayai kegiatan setelah tiga sampai dengan lima tahun.Jika tidak terdapat jenis PNBP yang baru K/L mengganti PP Jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L karena penyesuaian tarif lama karena tarif lama sudah tidak cukup untuk membiayai kegiatan pelayanan karena inflasi atau karena adanya peningkatan kualitas layanan.Evaluasi tarif harus dilakukan pada saat pembahasan usulan jenis dan tarif PNBP K/L. Besarnya tarif PNBP bisa dibuat dalam tiga kondisi. 1. sebesar biaya yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan tersebut atau sebagai cost

recovery. Tarif jenis ini yang paling banyak dilakukan, karena pada dasarnya layanan instansi pemerintah tidak mencari keuntungan. Layanan PNBP merupakan partisipasi masyarakat untuk menunjang kegiatan pemerintah karena Keuangan Negara yang tidak memungkinkan membiayai layanan tersebut.

2. jika masyarakat tidak mampu membayar sebesar biaya yang dibutuhkan untuk pelayanan, maka tarif PNBP ditetapkan kurang dari cost recovery, atau cost minus. Dengan ini berarti pemerintah memberi subsidi dalam pelayanan tersebut. Tarif cost minus tidak salah, karena yang penting adalah tercapainya visi dan misi K/L yang memberikan layanan tersebut, bukan penerimaan negara yang besar.

3. jika layanan tersebut memiliki manfaat yang besar bagi yang menerima layanan dan dia

Page 42: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1472

memiliki kemampuan bayar yang besar maka tarif dapat ditetapkan lebih dari biaya yang dikeluarkan untuk layanan tersebut.

Pilihan apapun dari tiga macam tarif tersebut tetap didasarkan pada kaidah pasal 3 Undang-Undang no. 20 tahun 1997,yaitu:

a. harus memperhatikan dampak pengenaannya pada masyarakat dan kegiatan usahanya. Misalnya, dengan adanya tarif tersebut hendaknya tidak menghambat dunia usaha, misalnya untuk berbagai perijinan dan pengujian sebelum usaha bisnis dimulai atau suatu produkdipasarkan.

b. tarif PNBP harus memperhatikan biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang bersangkutan. Ini dimasudkan agar kelangsungan (kontinuitas) layanan dapat terjaga dan layanan yang semakin meluas tidak menjadi beban keuangan negara semakin besar.

c. tarif PNBP harus memperhatikan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Hal ini diterapkan pada satu jenis layanan yang sama tetapi diberikan harga yang berbeda karena kemampuan bayar yang berbeda. Misalnya, terhadap mahasiswa/pelajar, masyarakat kurang mampu, usaha kecil menengah diberikan tarif lebih rendah dari pada tarif yang diberikan kepada masyarakat umum.

M. Ijin Penggunaan PNBPa. Konsep Earmarked Budget.

Earmarking merupakan salah satu pendekatan dalam bidang pengelolaan keuangan publik. khususnya di bidang penganggaran. Istilah earmarking dalam konteks pengelolaan keuangan publik didefiniskan sebagai suatu kondisi dimana sumber pendapatan negara tertentu dialokasikan kepada kegiatan atau pelayanan publik tertentu. Earmarking sering dikaitkan dalam konteks perpajakan, sehingga kemudian muncul dan populer istilah earmarked taxes. Salah seorang ahli ekonomi yang pertama kali mendalami pendekatan earmarking adalah James M. Buchanan dari Virginia University. Salah satu karya tulisnya adalah The Economics of Earmarked Taxes, yang dimuat dalam The Journal of Political Economy Vol. 71, No. 5, Tahun 1963. Menurut Buchanan, earmarking is practice of designating or dedicating specific revenue to the financing of specific public service atau pendekatan earmarked merupakan kebijakan untuk mendesain suatu pendapatan tertentu menjadi sumber pendanaan bagi kegiatan pelayanan umum yang juga tertentu. Berbagai literatur menjelaskan bahwa tujuan pendekatan earmarking adalah menjamin dan melindungi program-program prioritas tertentu dari pergeseran anggaran oleh program prioritas lain. Selain itu pendekatan earmarking juga bertujuan mengurangi inefisiensi dan mencegah korupsi. Namun demikian, banyak ekonom yang skeptis terhadap pendekatan earmarking. Mereka menilai sulit untuk merencanakan sumber dana dan mengalokasikan belanjanya secara tepat tanpa membutuhkan proses administrasi yang panjang.Berdasarkan penelitian William McCJeary, peneliti World Bank, pendekatan earmarking telah diimplementasikan pada beberapa negara di dunia dengan model yang berbeda-beda. Turki dan Colombia adalah dua contoh negara yang menggunakan pendekatan earmarking secara luas pada hampir semua sector pemerintahannya.Dalam teori kebijakan publik, efisiensi penggunaan anggaran bagi pemerintah adalah hal yang penting. Untuk merealisasikan efisiensi, para ekonom berpendapat tentang adanya earmarking pada suatu penerimaan dan pengeluarannya. Pada intinya earmarking adalah kebijakan pemerintah dalam menggunakan anggaran yang sumber penerimaan maupun program pengeluarannya akan secara spesifik ditentukan. Berbagai negara di dunia menggunakan earmarking untuk tujuan yang bermacam-macam, antar negara satu dengan negara lain tidaklah sama. Dari fenomena yang demikian, sangat sulit untuk menentukan negara mana yang sukses atau gagal dalam memberlakukan earmarking. Sebagai contoh, dalam pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan tol, di negara Ghana merupakan negara yang terbilang sukses dalam menerapkan earmarking ini. Alasannya, dana yang digunakan untuk membangun jalan tol adalah satu hal yang penting untuk pendistribusian dana pada masyarakat, dan selalu meningkat tajam pendanaan tersebut dalam beberapa waktu. Berbeda di negara lain, Mali, Afrika Tengah, Zaire, dan Kolombia, merupakan negara yang gagal dalam menerapkan earmarking. Ketidakefisienan anggaran dalam hal ini terjadi di negara-negara tersebut (McCleary, 1991). Hal ini memang menjadi salah satu ancaman yang berat dalam penerapan earmarking, selain beberapa ancaman lain seperti: sulitnya meningkatkan penerimaan yang diearmark, kurang mendukung terhadap perubahan kebijakan, dan lain-lain.Di Indonesia, penerapan earmarking sebenarnya sudah dilakukan, namun dalam bentuk yang kurang populer. Anggaran pendidikan yang sudah diplotkan sebesar 20% adalah salah satu bukti penerapan earmarking di Indonesia. Meski sudah lama diterapkannya earmarking tersebut, nampaknya kesuksesan dari penerapan earmarking ini patut dipertanyakan. Pertama, penerapan earmarking untuk kasus dana pendidikan sesungguhnya membuat anggaran menjadi kurang fleksibel. Dalam kasus di Jawa Timur, anggaran pendidikan yang dimiliki pemerintah provinsi

Page 43: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1473

sangatlah berlimpah, hingga akhirnya pemerintah provinsi kesulitan dalam mengalokasikan anggaran tersebut. Sebab, dalam hal ini kebutuhan pendidikan di Jawa Timur sudah mencukupi.Kedua, tidak adanya monitoring dan evaluasi dari pemerintah pusat atas alokasi dan kebutuhan dana membuat earmarking dinilai mudah untuk disalahgunakan. Dalam kasus Jawa Timur, dengan anggaran yang melimpah tersebut, bisa saja anggaran earmarking untuk pendidikan yang tidak terserap secara keseluruhan akan dialokasikan untuk pembelian Surat Utang Negara (SUN). Dengan demikian proses pembangunan akan menjadi terhambat, sekali lagi karena tidak fleksibelnya earmarking dan kurang dukungan dari monitoring dan evaluasi dari pemerintah pusat. Melihat fakta yang sudah dijelaskan tersebut, maka akan sangat penting untuk menentukan earmarking mana yang paling sesuai diterapkan di Indonesia. Dengan diterapkannnya earmarking yang paling sesuai dengan keadaan ekonomi maupun sosial lainnya di Indonesia maka diharapkan akan menciptakan efisiensi penggunaan anggaran yang lebih bermanfaat bagi publik.Pertimbangan Aspek-aspek Dalam Penerapan Earmarking di Indonesia:

a. Aspek LegalBerdasarkan pada ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2006, DBH PPh Pasal 21 dan DBH PPh Pasal 25/29 WPOP DN adalah sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOP DN yang diserahkan kepada daerah tersebut dibagi dengan imbangan, 60 persen untuk kabupaten/kota dan 40 persen untuk provinsi. Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 serta Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2006, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar 90 persen dari penerimaan PBB (termasuk biaya pemungutan 9 persen), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat, yang seluruhnya dikembalikan lagi kepada daerah. Selanjutnya, berdasarkan pada ketentuan Pasal 12 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 serta Pasal 7 PP Nomor 55 Tahun 2006, bagian daerah atas BPHTB ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaan BPHTB, sedangkan sisanya sebesar 20 persen merupakan bagian Pemerintah Pusat yang dikembalikan lagi kepada Pemerintah Daerah.

k. Asas manfaatHal ini sangat terkait dengan penerapan prinsip manfaat yang akan dirasakan masyarakat dari penerapan earmarking tax. Adanya manfaat yang dirasakan langsung akan menimbulkan kepuasan bagi masyarakat. Karena masyarakat yang membayar pajak, sudah seharusnya masyarakat pula yang menerima manfaatnya. Selain itu ketika manfaat telah dirasakan oleh masyarakat, hal ini akan menimbulkan suatu sikap moral bagi masyarakat. Sikap moral ini akan tergambar dari kepatuhan masyarakat yang dilakukan secara tidak sadar. Dengan ketaatan tersebut, diharapkan akan mengurangi resistensi dari masyarakat. Selain itu dengan semakin taatnya masyarakat dalam membayar pajak, maka penerimaan Pajak juga akan meningkat. Dampaknya juga akan mengakibatkan semakin besar nominal dari earmarking tax yang akan didapat.

l. EksternalitasPengenaan pajak muncul salah satu akibatnya adalah dikarenakan adanya eksternalitas negatif yang muncul. Untuk memberikan kompensasi yang adil dan merata maka pemerintah dengan wewenangnya akan mengeluarakan suatu peraturan atau undang-undang terkait dengan antisipasi dari dampak eksternalitas negatif yang muncul.Dalam hal pajak dapat menghasilkan kompensasi akibat munculnya eksternalitas negatif dapat diberikan contoh adalah munculnya undang-undang No 28 tahun 2009 tentang Pajak kendaraan bermotor yang diterapkan di DKI Jakarta dikenakan earmark tax sebesar 10% untuk pembangunan infrastruktur. Masyarakat yang tidak memiliki kendaraan bermotor tetapi terkena dampak eksternalitas negatif dari polusi yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor dapat menikmati kompensasi yaitu sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih memadahi. Misalnya, dibangunnya taman kota, angkutan masal yang lebih baik, penerangan jalan yang memadahi, dan sebagainya.

m. Jenis-Jenis Penerimaan Yang Dapat Diterapkan Earmarking Di IndonesiaPenerapan earmaking tax di Indonesia sebenarnya telah dilakukan tetapi penerapan earmaking masih berada di level pemerintahan provinsi yakni melalui pajak kendaraan bermotor (PKB). Namun, untuk tingkat nasional penerapan earmaking masih belum diterapkan di tahun-tahun sebelumnya. Jika melihat perkembangan penerimaan negara yang berasal dari pajak, sebenarnya penerimaan pajak negara sudah banyak yang dapat di earmarking, dimana kemungkinan pajak-pajak nasional yang dapat diearmaking dan menurut jenis earmark nya (McCleary) yaitu sebagai berikut :

1. Earmarking tipe A (penerimaan spesifik, pengeluaran spesifik)Untuk tipe earmaking A, pajak nasional yang dapat digunakan untuk earmarking yaitu pajak PPh minyak bumi dan PPH gas alam. Dimana berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan diperlakukan pajak penghasilan di bidang hulu minyak dan gas bumi, pengeluaran kembali dari pajak PPH minyak bumi yang dapat dilakukan berdasarkan peraturan pemerintah tersebut yaitu pengeluaran proyek

Page 44: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1474

yang diantaranya berupa pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan survei sistematik (Pasal 5 ayat 2 b).Pajak PPh minyak bumi dan PPh gas alam dapat digunakan untuk earmarking, dikarenakan pajak ini dapat memenuhi beberapa landasan latar belakang earmarking yang dibuat oleh McCleary terutama poin eksternalitas. Seperti diketahui bahwa dengan adanya pengeluaran proyek yang diantaranya berupa pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan survei sistematik (Pasal 5 ayat 2 b), maka eksternalitas-eksternalitas yang ditimbulkan oleh obyek penghasil PPh minyak bumi dan PPh gas alam baik yang negatif maupun positif dapat teratasi karena nantinya marginal social benefit dan marginal sosial cost akan sama. Selain itu, dengan adanya pengeluaran yang berupa pembangunan fasilitas produksi maka berarti hal ini akan bermanfaat untuk mempermudah kegiatan pertambangan sehingga jika kegiatan pertambangan meningkat maka penghasilan dari PPh minyak bumi dan PPh gas alam akan meningkat.

2. Earmarking tipe B (penerimaan spesifik, pengeluaran umum)Untuk tipe earmaking B, pajak nasional yang dapat digunakan untuk earmarking yaitu pajak PPh 21. Dimana terdapat 3 regulasi yang berkaitan dengan PPH 21 yang nantinya dapat digunakan untuk earmarking yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor: KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000. Dimana berdasarkan dari ketiga regulasi tersebut nantinya PPH 21 digunakan untuk melaksanakan jaminan sosial, sehingga jika nantinya obyek pajak terdapat masalah (kecelakaan, meninggal dunia) maka telah terdapat dana jaminan sosial untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.Pajak 21 yang nantinya digunakan untuk earmarking pengeluaran jaminan sosial, juga telah memenuhi beberapa landasan latar belakang earmarking yang dibuat oleh McCleary terutama pada poin eksternalitas. Seperti diketahui bahwa dengan adanya jaminan sosial, maka eksternalitas yang mungkin dapat ditimbulkan yaitu eksternalitas positif, dimana dengan adanya jaminan sosial ini berarti para obyek pajak PPh 21 keselamatan kerjanya akan terjamin, selain itu para pekerja akan dapat bantuan keuangan ketika terjadi masalah kecelakaan maupun meninggal dunia.

n. Earmarking tipe C (penerimaan umum, pengeluaran spesifik)Untuk tipe earmaking C, pajak nasional yang dapat digunakan untuk earmarking yaitu jumlah total penerimaan negara yang berasal dari pajak, yang nantinya jumlah total penerimaan pajak ini digunakan untuk belanja pendidikan sebesar 20% dari APBN, hal ini sesuai dengan 3 regulasi yang menetapkan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 4, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pasal 49 ayat 1, dan Putusan Mahkamah Konstitusi 20 Februari 2008.Dimana jika dilihat dari landasan yang dipakai untuk earmarking, jumlah total penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai belanja pendidikan juga telah memenuhi beberapa persyaratan, misalnya pada eksternalitas, dimana dengan adanya aloaksi khusus untuk belanja pendidikan berarti hal ini dapat meningkatkan eksternal positif seperti jaminan pembelajaran lebih terjamin. Sedangkan poin yang lainnya yang dapat dilihat yaitu return to scale, dimana untuk poin ini diperlukan suatu kebijakan yang baru untuk membatasi daerah-daerah yang telah mencapai target pendidikan sehingga dana pendidikan dapat digunakan untuk mendanai belanja-belanja lainnya yang nantinya memiliki dampak positif.

o. Earmarking tipe D (penerimaan umum, pengeluaran umum)Untuk tipe earmaking D, pajak nasional yang dapat digunakan untuk earmarking yaitu pajak bumi dan bangunan. Dimana berdasarkan Peraturan Pemerintah no 55 pasal 5 dan pasal 6 tahun 2006, pengeluaran dari pajak bumi dan bangunan yaitu berupa dana sharing dengan pemerintah level dibawahnya sehingga nantinya hasil dana sharing tersebut dapat digunakan oleh masing-masing level pemerintah sesuai dengan keperluannya masing-masing.Pajak bumi bangunan juga dapat digunakan untuk earmarking, dikarenakan pajak ini dapat memenuhi beberapa landasan latar belakang earmarking yang dibuat oleh McCleary terutama poin eksternalitas dan public sector financial constraints. Seperti diketahui bahwa dengan adanya dana sharing, maka eksternalitas yang dapat ditimbulkan yaitu eksternalitas positif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan adanya dana sharing maka berarti dapat meningkatkan pendapatan pemerintah daerah sehingga mampu mendanai kebutuhan dana untuk menjalankan program-program yang telah dibuat. Sedangkan untuk public sector financial constraints, dengan adanya dana sharing ini maka public sector financial contraints dapat meningkat, karena dengan dana sharing terdapat dana tambahan dari pemerintah pusat.

6. Manfaat Dan Kerugian Berdasarkan Penerapan Earmarking Berdasarkan Jenis Penerimaan Dan Belanja

Manfaat dan kerugian penerimaan dan belanja jika diterapkan earmaking yang sesuai dengan pada sub bab jenis penerimaan dan belanja yang di earmarking di Indoensia yakni:a. Penerimaan yang di earmarking Untuk penerimaan yang di earmaking, manfaat yang akan diterima yaitu:a. Penerimaan yang diterima akan jelas penggunaannyab. Dengan adanya earmaking penerimaan maka nantinya penerimaan-penerimaan yang di

peroleh dapat mempermudah penggunannya, karena penggunaannya yang jelas maka

Page 45: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1475

nantinya dapat memberikan kekonsistensi pada penerimaan yang akan diperoleh di tahun sebelumnya.

Sedangkan kerugian dari earmaking dari penerimaan yaitu:a. Penerimaan yang ada tidak dapat digunakan untuk belanja yang lainb. Dengan adanya penerimaan yang sudah di earmarking maka penerimaan ini tidak dapat

dialokasikan ke pengeluaran-pengeluaran yang lain karena sudah ditetapkan.p. Belanja yang di earmarking Untuk belanja yang di earmaking, manfaat yang akan diterima yaitu:a. Adanya kestabilan pendanaan Dengan adanya belanja di earmarking maka dana-dana yang digunakan untuk belanja

maka akan terjamin. Karena dana-dana yang digunakan sudah memiliki ketentuan yang jelas di dalam proporsinya.

Sedangkan kerugian dari belanja yang di earmarking yaitu:a. Alokasi dana belanja tidak tepat Kerugian yang akan di terima dengan adanya belanja yang di earmaking yang pertama

mungkin alokasi dana belanja yang tidak tepat, dimana hal ini dikarenakan perhitungan proporsi yang tidak tepat.

b. Pengalokasian yang tidak flexibel Pengalokasian yang tidak flexibel, menjadi kerugian di dalam belanja yang di earmaking

dikarenakan belanja yang di earmaking sudah memiliki proporsi dana yang tetap di masing-masing belanja.

q. Pendekatan Earmarking dalam Pengelolaan PNBPDi Indonesia, pendekatan earmarking kurang dikenal dibandingkan misalnya dengan pendekatan unified budget. Salah satu penyebabnya karena pendekatan earmarking, tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan perundangundangan. Berbeda dengan pendekatan lain seperti performance based budgeting, unified budget dan medium term expenditure framework yang disebutkan secara jelas dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Banyak orang tidak menyadari bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dikelola menggunakan pendekatan earmarking. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, disebutkan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu oleh instansi yang bersangkutan. Secara tersirat, pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tersebut merupakan penegasan aturan penerapan pendekatan earmarking dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari PNBP. Penerapan pendekatan earmarking di Indonesia sering dipertentangkan dengan pendekatan dalam sistem penganggaran umum atau general fund budget. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendekatan dalam sistem penganggaran umum adalah unified budget. Pro dan kontra kedua pendekatan ini telah menjadi bahan diskusi panjang para ekonom. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan pendekatan earmarking dalam sistem penganggaran umum yang menggunakan pendekatan unified budget. Dalam sistem penganggaran umum, pendapatan negara dihimpun dari sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang yaitu penerimaan pajak, penerimaan hibah dan PNBP. Pendapatan negara tersebut dianggarakan sesuai dengan prioritas nasional pemerintah dan program/kegiatan yang diusulkan oleh masing-masing Kementerian Negara/Lembaga. Dalam pendekatan earmarking, sebagian pendapatan negara yang bersumber dari PNBP, dianggarkan untuk membiayai kegiatan tertentu sesuai dengan prioritas dari unit kerja yang menghasilkan PNBP tersebut. Terdapat 4 (empat) unsur penting dari pendekatan earmarking dalam pengelolaan PNBP yaitu (1) PNBP fungsional (2) Ijin penggunaan dana yang bersumber dari PNBP (3) Kegiatan tertentu (4) Satuan Kerja (Satker) tertentu. Apabila salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi maka pendekatan earmarking dalam pengelolaan PNBP tidakdapat dilaksanakan. PNBP fungsional merupakan jenis PNBP yang dihasilkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi Satker Kementerian Negara/Lembaga khususnya dalam bidang pelayanan masyarakat PNBP fungsional dapat juga diartikan sebagai jenis PNBP selain jenis PNBP yang berlaku umum pada Satker K/L. Jenis PNBP yang berlaku umum pada Satker K/L adalah penerimaan hasil penjulan barang, penerimaan hasil penyewaan barang, penerimaan hasil penyimpanan uang negara, penerimaan hasil denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah dan penerimaan hasil penjualan dokumen lelang.Ijin penggunaan dana yang bersumber dari PNBP adalah ijin prinsip penggunaan penggunaan dana yang bersumber dari PNBP fungsional. Ijin prinsip ini merupakan diskresi Menteri Keuangan selaku Chief Financial Officer. Dana yang bersumber dari PNBP fungsional tersebut selanjutnya dianggarkan untuk membiayai kegiatan tertentu pada Satker K/L yang menghasilkan PNBP fungsional tersebut. Salah satu ciri khas yang membedakan pendekatan earmarking di Indonesia dengan di negara lain adalah adanya unsur Satker K/L tertentu. Dalam pendekatan earmarking di Indonesia, Satker K/L tertentu menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi agar pendekatan earmarking dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, dana yang bersumber dari PNBP fungsional tersebut, tidak dapat digunakan apabila Satker K/L yang akan melaksanakan kegiatan tersebut bukan satker K/L yang menghasilkan PNBP yang bersangkutan.

Page 46: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1476

Model pendekatan earmarking pengelolaan PNBP tersebut, berbeda dengan praktek penerapan pendekatan earmarking di beberapa negara lain. Pendekatan earmarking di beberapa Negara lain tidak mempermasalahkan Satker K/L mana yang akan melaksanakan kegiatan tertentu. Dalam pendekatan earmarking pengelolaan PNBP di Indonesia, hanya Satker K/L yang menghasilkan PNBP tersebut, yang dapat menggunakan dana yang bersumber dari PNBP.

r. Pendekatan Earmarking di Negara LainPendekatan earmarking telah diterapkan di beberapa negara di dunia dengan berbagai model. Variasi pendekatan earmarking tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe. Penggolongan setiap tipe berdasarkan jenis penerimaan (sumber dana) dan jenis pengeluaran (pengguna akhir). Di beberapa negara, pendekatan earmarking umumnya diterapkan terhadap penerimaan perpajakan (taxes). Sedangkan di Indonesia, pendekatan earmarking diterapkan pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (non taxes). Hal ini tidak terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang belum mapan, sehingga masih mengenakan pungutan (non tax) terhadap masyarakat. Berdasarkan penelitian World Bank tersebut, Turki dan Colombia merupakan dua negara yang menerapkan pendekatan earmarking secara luas dibandingkan dengan penerapan pada pendekatan earmarking negara-negara lain di dunia. Turki merupakan Negara yang menerapkan pendekatan earmarking secara luas dan dilaksanakan secara off budget. Sedangkan Colombia adalah Negara yang menerapkan pendekatan earmarking secara luas namun hampir seluruhnya masih on budget. Pendekatan earmarking di Turki merupakan contoh negara yang telah sangat lama dan berpengalaman menerapkan pendekatan earmarking. Namun demikian, penerapan earmarking di Turki, bukan merupakan contoh penerapan pendekatan earmarking yang disarankan oleh para ekonom. Bukan saja karena secara umum dilakukan secara off budget, namun juga karena penerapannya yang dinilai terlalu meluas. Menurut hasil penelitian World Bank, hampir semua sumber pendapatan negara di Turki diterapkan pendekatan earmarking.Beberapa akibat serius dari penerapan model pendekatan earmarking di Turki antara lain adalah (1) pemerintah pusat hanya memiliki sedikit diskresi untuk meningkatkan sumber pendapatan negara (2) karena pemerintah pusat lemah, maka potensi pertentangan antar kebijakan sektoral pemerintahan menjadi sangat tinggi (3) potensi besar adanya salah alokasi sumber daya.

Variasi Pendekatan Earmarking

Tipe Penerimaan(Revenue)

Pengeluaran(Expenditure) Contoh

A Pajak atau non pajak tertentu Pengguna akhir tertentu

Pajak BBM dan PNBP atas kendaraan bermotor untuk investasi jalan raya dan keamanan sosial. Dana sosial untuk pengangguran.

B Pajak atau non pajak tertentu Pengguna akhir umum

Pajak tembakau, alkohol dan perjudian untuk program sektor sosial. Pajak dan royalti dari Migas untuk pembangunan sektor keuangan.

C Pajak umum Pengguna akhirtertentu

Persentase dari total pendapatan Negara untuk pendidikan. Bagian penerimaan (revenue sharing) untuk kegiatan tertentu.

D Pajak umum Pengguna akhirumum Bagian penerimaan (revenue sharing).

Sumber: William McCleary, The World Bank Research Observer Vol. 6 No.l (Jan 1991).N. Penggunaan Dana PNBP dan Pelayanan PublikIdealnya, seluruh pelayanan publik yang diberikan Pemerintah, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan lainnya diberikan secara gratis kepada masyarakat. Pajak yang telah dikenakan oleh Pemerintah kepada masyarakat digunakan untuk membiayai pelayanan publik tersebut. Kondisi demikian telah dilakukan di beberapa negara maju.Pengenaan PNBP atas pelayanan publik yang diberikan Pemerintah dilakukan karena kemampuan keuangan Pemerintah belum mencukupi untuk membiayai semua pelayanan publik. Setiap tahunnya Pemerintah harus menyediakan dana yang besar untuk membayar hutang-hutang yang jatuh tempo, subsidi, gaji pegawai negeri, membiayai pembangunan infrastruktur, dan pengeluaran-pengeluaran rutin lainnya.Pengan dana APBN yang terbatas, Pemerintah mengenakan PNBP terhadap beberapa pelayanan publik untuk membiayai kegiatan pelayanan publik tersebut. Pengenaan PNBP dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan masyarakat, sehingga diharapkan tidak memberatkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari Pemerintah. Pengenaan PNBP harus ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini agar PNBP yang dipungut memiliki dasar hukum dan masyarakat dapat mengetahui besaran tarif yang harus dibayar terhadap suatu layanan tertentu.Tidak semua kegiatan pelayanan publik dapat dikenakan PNBP, atau dengan kata lain terdapat beberapa kegiatan yang tidak dapat dikenakan PNBP, seperti: 1. Kegiatan pelayanan yang seluruh biaya operasionalnya telah didanai secara penuh dalam

APBN, misalnya pelayanan penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) oleh Direktorat

Page 47: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1477

Jenderal Pajak dan pelayanan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);

2. Kegiatan pelayanan yang merupakan kewajiban Pemerintah untuk membiayainya sesuai dengan amanat Undang-undang, misal: pelayanan Kementerian Sosial terhadap anak-anak terlantar, tunanetra, dan lansia;

3. Kegiatan pelayanan yang ditetapkan berdasarkan kebijakan, misalnya bebas visa.

Untuk memberikan kepastian adanya dana yang tersedia untuk membiayai pelayanan publik tersebut. Undang-undang nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP telah memberikan payung hukum bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan yang dapat dibiayai dari dana PNBP yaitu: Penelitian dan pengembangan teknologi, Pelayanan kesehatan, Pendidikan dan pelatihan, Penegakan hukum, Pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, dan Pelestarian sumber daya alam.Kegiatan-kegiatan operasional dalam rangka pelayanan publik yang tidak dibiayai (belum terpenuhi) dari dana rupiah murni, dapat dibiayai dari dana PNBP. Sebagai contoh, PNBP yang dihasilkan dari layanan kesehatan dapat digunakan untuk membiayai pengadaan obat, pengadaan alat-alat kesehatan, dan biaya operasional lainnya dalam rangka pelayanan kesehatan. Yang tidak dapat dibiayai sebagai contoh: pengadaan kendaraan dinas pejabat. Dengan penggunaan dana PNBP yang sesuai dengan ketentuan, diharapkan kualitas pelayanan publik yang diberikan akan meningkat. Meningkatnya kualitas pelayanan antara Iain bisa dilihat dari: waktu pelayanan yang lebih cepat, fasilitas yang lebih baik, kualitas SDM yang kompeten, dan lain lain.O. Pengajuan dan Persetujuan IjinDana PNBP pada prinsipnya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan yang menghasilkan PNBP itu sendiri sebagaimana amanat Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan PNBP yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian alokasi pembiayaan kegiatan tertentu yangberkaitan dengan jenis PNBP. Dana yang dapat diaiokasikan adalah dana dari jenis PNBP yang berkaitan dengan kegiatan tertentu tersebut Dana dimaksud hanya dapat digunakan oleh instansi atau unit yang menghasilkan PNBPyang bersangkutan. Penggunaan PNBP tersebut dilakukan secara selektif dan tetap harus memenuhi terlebih dahulu ketentuan bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke’Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN. Namun, yang perlu digarisbawahi, Kementerian/Lembaga baru dapat menggunakan dana PNBP tersebut setelah mendapat persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dari Menteri Keuangan.Oleh karena itu, sebelum dapat “menikmati” sebagian kue PNBP, alangkah baiknya kita pahami terlebih dahulu tata cara yang harus dilakukan agar dapat memperoleh persetujuan penggunaan sebagian dana PNBP dari Menteri Keuangan yang nota bene merupakan password untuk kue PNBP. Sebagaimana penyusunan RPP tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan penetapan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana PNBP telah diatur dalam SOP Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran. Berdasarkan SOP dimaksud, tata cara pengajuan dan penetapan KMK dimaksud adalah sebagai berikut:1. Pimpinan Kementerian/Lembaga menyampaikan usulan penggunaan sebagian dana PNBP

kepada Menteri Keuangan dengan dilengkapi proposal sesuai outline yang antara lain berisi: I. Latar belakang;II. Tujuan penggunaan dana PNBP;III. Tugas dan fungsi;IV. Rincian Anggaran Biaya (RAB);V. Kesesuaian RAB dengan tugas dan fungsi;

VI. Target dan realisasi PNBP (apabila ada);VII. Perkiraan Penerimaan 3Tahun yang akan datang;VIII. Output dan outcome

2. Selanjutnya usulan penggunaan dana PNBP tersebut dibahas bersama oleh wakil dari Kementerian Keuangan (dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran) dan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan untuk mendapatkan justifikasi atas usulan penggunaan beserta kegiatan yang di Berdasarkan hasil pembahasan, Direktorat Jenderal Anggaran c.q.

3. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan analisis kelayakan atas usulan penggunaan PNBP. Analisis dilakukan untuk memastikan kegiatan yang diusulkan untuk dibiayai merupakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, tidak adanya duplikasi pembiayaan serta berkaitan langsung dengan pelayanan yang menghasilkan PNBP. Selain itu, analisis juga dilakukan untuk menilai kelayakan besaran satuan dan volume yang digunakan agar sesuai dengan standar biaya yang berlaku. usulkan untuk dibiayai dari dana PNBP.

4. Selanjutnya, Direktur Jenderal Anggaran mengusulkan kegiatan yang akan dibiayai beserta

Page 48: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1478

besaran dana (persentase) hasil analisis tersebut kepada Menteri Keuangan. 5. Menteri Keuangan menetapkan KMK tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana

PNBP yang Berlaku pada Kementerian/Lembaga yang memuat unit yang mendapatkan ijin beserta sumber PNBP, besaran persentase PNBP yang dapat digunakan serta kegiatan yang dapat dibiayai dari PNBP pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

6. Pimpinan Kementerian/Lembaga menerima KMK tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian Dana PNBP yang Berlaku pada Kementerian/Lembaga dan selanjutnya unit yang bersangkutan dapat menggunakan sebagian dana PNBP setelah PNBP disetorkan ke Kas Negara dan telah tercantum dalam dokumen anggarannya.

P. Pemungutan dan Penyetoran PNBPa. Waktu Pemungutan dan Penyetoran

Pemungutan PNBP merupakan lini terdepan dari salah satu upaya pemerintah mendanai kegiatannya. Pada prinsipnya, ditinjau dari sisi waktu pemungutan, Pemerintah menerapkan dua prinsip dalam pemungutan PNBP yaitu prinsip Pra Bayar dan Pasca Bayar.i. Prinsip Pra Bayar Apabila anda mengurus SIM, maka kita diharuskan melunasi biaya pembuatan SIM

sebelum kita mengikuti tahapan selanjutnya, mulai dari tahap ujian hingga pencetakan SIM. Ini berarti penyerahan uang terjadi sebelum penyerahan barang atau jasa. Inilah contoh pemungutan PNBP dengan prinsip ‘prabayar’.

Cara “prabayar” ini umumnya diterapkan pada jenis-jenis PNBP yang tarifnya telah ditetapkan besarannya, atau dikenal dengan sebutan official assessment. Beberapa contoh lain yang menerapkan prinsip “prabayar” di atas diantaranya adalah pemungutan tiket masuk pada museum, monumen, kebun raya, atau fasilitas lain milik instansi pemerintah, serta penyewaan gedung pertemuan milik instansi pemerintah.

Dengan demikian, prinsip Pra Bayar menekankan pada (1) penetapan besaran tarifyang dilakukan oleh pemerintah (official assessment), dan (2) Masyarakat membayar PNBP sebelum memperoleh barang atau jasa dari Pemerintah.

ii. Prinsip Pasca Bayar Apabila anda makan di restoran, maka anda dapat makan sepuasnya, dan baru membayarnya

setelah selesai. Bahkan dalam layanan lainnya, kita cukup memesan lewat telepon, dan membayarnya ketika barang tersebut tiba di tempat kita, atau lazim dikenal dengan istilah cash on delivery (COD). Itu adalah gambaran dari skema “pascabayar” dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pemungutan PNBP, prinsip ‘pasca bayar’, juga dipergunakan, namun dalam penerapan yang berbeda. Contoh yang paling sederhana dari skema tersebut adalah pemungutan PNBP yang berasal dari royalti pertambangan. Pengusaha pertambangan dapat mengambil dan menikmati hasil tambangnya terlebih dahulu, baru kemudian membayar kewajiban PNBP. Prinsip ‘pascabayar’ umumnya diberiakukan pada PNBP yang dihitung sendiri oleh wajib bayar, atau self assessment dengan didasarkan pada rumus dan peraturan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, prinsip pasca bayar dalam pemungutan PNBP menekankan pada (1) penetapan besaran tariff di hitung sendiri oleh wajib bayar (self assessment), dan (2) PNBP dibayarkan setelah wajib bayar memanfaatkan barang dan jasa Pemerintah

Q. Penyelesaian Piutang PNBP yang MacetPengertian piutang negara dapat ditemukan pada dua uhdangundang, pertama pada Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan satu lagi pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara Piutang Negara dijelaskan sebagai jumlah uangyang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Sedangkan pada Undang-Undang tentang PUPN, piutang negara diartikan masih termasuk piutang-piutang yang dimiliki badan-badan milik negara yang dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh Negara. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menagih dan mengelola piutang Negara, termasuk piutang yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak dapat diselesaikan secara tepat waktu.

a. Pengurusan Piutang Negara Oleh K/LPada prinsipnya Piutang Negara apapun bentuknya harus dapat diselesaikan oleh instansi atau badan yang mengelola piutang itu sendiri. Piutang yang terjadi wajib dikelola dengan baik agar bias tertagih tepat waktu. Bila tidak mungkin tertagih dikarenakan penanggung utangnya (debitur-nya) tidak bersedia atau termasuk penanggung utang yang “nakal” maka instansi itu wajib menyerahkan penagihannya kepada PUPN. Piutang pajak. kepabeanan dan cukai juga merupakan piutang negara, tetapi karena penyelesaiannya diatur secara tersendiri oleh Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan

Page 49: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1479

Surat Paksa. maka piutang tersebut tidak ditagih oleh PUPN melainkan ditagih berdasarkan undang-undang tersebut.

s. Pengurusan Piutang Negara oleh PUPNBagaimana menagih piutang negara yang berasal dari PNBP? Apabila piutang jenis ini tidak dapat diselesaikan secara tepat pada waktunya maka berdasarkan Undang-Undang akan menjadi tugas PUPN untuk mengurus/menagihnya. PUPN melakukan pengurusan piutang negara bertujuan mempercepat pengembalian kekayaan negara. Sedianya pengurusan itu dilakukan dengan melaksanakan tindakan hukum, terutama terhadap “wajib bayar” yang nakal atau karena tindakannya yang secara terang-terangan menimbulkan kerugian negara.PUPN dalam melaksanakan kegiatannya menjunjung tinggi kepastian hukum, adil, transparan, memperhatikan kepentingan umum, hati-hati dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendukung pelaksanaan tugasnya tersebut, PUPN diberi kewenangan secara khusus yang disebut dengan istilah “parate eksekusi”. Kewenangan tersebut dilakukan dalam bentuk penerbitan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim pada peradilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in krachtvan gewijsde).Hal ini menjadi berbeda dengan proses penagihan yang ditempuh melalui Lembaga Peradilan. Jalur tempuh ini memerlukan waktu yang relatif cukup lama, dapat melalui pengadilan tingkat pertama hingga kemungkinan ke tingkat Banding, Kasasi maupun sampai kepada Peninjauan Kembali. Dalam menyelesaikan piutang negara, PUPN/DJKN menempuh prosedur khusus (Lex Specialis) yaitu prosedur pengurusan piutang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya PUPN dan/atau DJKN juga memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang lainnya.Dalam struktur organisasinya, PUPN terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang. Secara exofficio Ketua PUPN Pusat adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Keuangan yang membidangi tugas pengurusan Piutang Negara, yaitu Dirjen Kekayaan Negara. Anggota PUPN Pusat terdiri dari unsur pejabat pada Kementerian Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian RI, dan PUPN Cabang yang berada diseluruh Indonesia. Secara ex-officio Ketua PUPN Cabang adalah Kepala Kanwil DjKN atau Kepala KPKNL yang berkedudukan di Ibu kota Provinsi, sedangkan anggota-anggotanya berasal dari unsur Pemerintah Daerah, Kepolisian Daerah dan Kejaksaan Tinggi. Dalam mengurus piutang negara, kepastian hukum sangat dijunjung tinggi. Ini berarti piutang negara yang dapat diurus PUPN harus memenuhi syarat hukum, yaitu piutang itu ada dan besarnya dapat dipastikan secara hukum. Debitor dan pemilik piutang/kreditor harus diperlakukan secara adil. Informasi yang transparan namun terjaga kerahasiaanya memberikan kemudahan akses bagi stakeholder untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Setiap perkembangan hasil pengurusan diberitahukan kepada kreditor maupun debitornya. Azas kepentingan umum diterapkan bahwa dalam melakukan proses pengurusan senantiasa memperhatikan aspek-aspek sosial dan kepentingan umum. Sejauh mungkin dihindari timbulnya keresahan sosial dan terganggunya kondisi lingkungan. Azas kehati-hatian dikedepankan (prudent) agar tidak menimbulkan masalah baru. Azas akuntabilitas dijalankan agar setiap langkah proses pengurusan secara hukum dan administrative dapat dipertanggungjawabkan. Ringkasnya, rangkaian pengurusan piutang oleh PUPN dimulai dari penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) kepada kreditor, untuk kemudian dilakukan pemanggiIan kepada debitor. Debitor dipanggil dengan panggilan pertama ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara (kantor Pelayanan) untuk didengar keterangannya. Jika tidak datang juga, akan dilakukan panggilan terakhir, agar mendapat kesempatan untuk menyampaikan sanggahannya dan membuktikan prestasi yang telah dilakukan dalam penyelesaian kewajibannya tersebut.Apabila setelah dilakukan pemanggilan, namun Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitor tidak dapat dibuat, maka PUPN Cabang secara sepihak dapat segera menetapkan jumlah kewajibannya dengan menerbitkan Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). Langkah selanjutnya adalah menerbitkan Keputusan berupa Surat Paksa yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berisi perintah untuk membayar utangnya secara sekaligus. Tindakan hukum tersebut dijalankan dengan melakukan penagihan sekaligus menyampaikan Surat Paksa, Penyitaan Barang Jaminan/dan atau harta kekayaan lain, dan melelang barang yang disita. Bagi penanggung utang “nakal” namun tidak beriktikad baik, dapat dikenakan tindakan pencegahan ke luar wilayah RI, bahkan dapat dikenakan Paksa Badan. Menurut Penjelasan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 Surat Paksa mempunyai kekuatan seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap yang tidak dapat dimintakan banding. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan lebih rinci prosedur pengurusan piutang negara sesuai PMK Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 88/PMK.06/2009.

Page 50: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1480

t. Wawancara dengan wajib bayarWawancara dengan wajib bayar/debitor memberikan kesempatan kepada debitor untuk didengar pendapatnya. Hal ini merupakan hak bagi wajib bayar untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran utangnya kepada negara, serta cara-cara yang diajukan daiam penyelesaian utangnya tersebut. Bila sah dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, tentunya bukti-bukti tersebut digunakan oleh PUPN untuk memperbaiki data tentang adanya dan besarnya piutang negara atas nama wajib bayar yang bersangkutan.

u. Pernyataan Bersama (PB)PB dibuat apabila berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab diketahui bahwa debitor mengakui dan sepakat dengan jumlah utang, serta sanggup menyelesaikan utang dalam jangka waktu yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan pengurusan piutang Negara dilakukan secara khusus melalui tahapan:i. Pembuatan pengakuan utang, kesepakatan cara dan jangka waktu penyelesaian utang,

dan sanksi bila debitor wanprestasi. Tahapan ini merupakan bagian upaya due process of law yang didasarkan pada azas kesetaraan antara kewenangan PUPN dan hak debitor.

ii. Pembuatan grosse acte yang dapat langsung dieksekusi bila debitor tidak melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama. Selain itu, mengingat Pernyataan Bersama membuat pengakuan dan pengukuhan utang debitor dan karenanya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs).

iii. Pelaksanaan eksekusi bila debitor benar-benar wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama.

Dengan adanya syarat “kata sepakat” antara Ketua PUPN Cabang dan debitor, maka pengurusan piutang negara secara khusus, melalui pembuatan PB ini tidak menyalahi hakekat bahwa segala sengketa perdata harus diputuskan oleh Pengadilan. Dengan demikian, apabila debitor wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama, dan debitor telah diberikan peringatan namun tetap tidak bersedia memenuhi kewajibannya, maka PUPN berhak untuk melakukan tindakan hukum. Tindakan tersebut berupa penagihan dengan surat paksa, penyitaan dan pelelangan harta kekayaan debitor, dan bilamana perlu dilakukan penyanderaan/paksa badan terhadap diri debitor.Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal (penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah yang merupakan pihak berpiutang” Dari segi hukum, Pernyataan Bersama dapat juga diartikan sebagai akta pembaharuan utang terutama yang menyangkut jumlah utang.

v. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN)Bila Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, maka pengurusan piutang negara tidak dapat diteruskan, sehingga pada gilirannya penyelesaian piutang negara menjadi berlarut-larut dan tidak akan pernah terselesaikan. Untuk mengatasi hal itu, PUPN diberi kewenangan yang bersifatse pihak untuk menerbitkan Surat PJPN. Ketentuan tentang kewenangan pembuatan PJPN tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yang bunyinya, “Menteri Keuangan menetapkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan peraturan ini”. Produk hukum PUPN tersebut telah dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah Agung, antara lain Nomor 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 dan Nomor 1267/k/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986. Dapat disimpulkan bahwa, PJPN akan diterbitkan oleh PUPN apabila: i. Debitor/penjamin utang menghilang, tidak diketahui alamatnya, atau Debitor/penjamin

utang tidak hadir memenuhi panggilan terakhir dan/atau pengumuman panggilan; atau ii. Debitor/penjamin utang hadir memenuhi panggilan, panggilan terakhir, atau pengumuman

panggilan, namun tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya tanpa alasan yang sah.

PJPN yang diterbitkan oleh PUPN Cabang tersebut memuat ketetapan tentang adanya dan besarnya piutang negara yang harus dilunasi Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, berikut Biad PPN yang harus dibayar, yang dapat segera ditindak lanjuti dengan Surat Paksa dan Penyitaan.

w. Penagihan Sekaligus dengan Penyampaian Surat Paksa.Berdasarkan PjPN, PUPN menagih debitor/penjamin utang secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP). Tahap pengurusan ini dilaksanakan sebagai berikut:i. PUPN menerbitkan SP, yang berisi perintah kepada debitor/penjamin utang untuk melunasi

kewajibannya dalam jangka waktu 1x24 jam sejak SP diberitahukan; danii. Juru Sita Piutang Negara memberitahukan SP tersebut kepada debitor/penjamin utang,

dengan membuat Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.x. Penyitaan

Penyitaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Debitor/penjamin utang termasuk

Page 51: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1481

harta kekayaan yang tersimpan di bank, saham, surat berharga, dan lain-lain, yang dilakukan oleh PUPN dan merupakan tindakan hukum lanjutan setelah perintah untuk membayar sejumlah uang tertentu, yang tertuang dalam Surat Paksa, tidak ditaati oleh debitor/penjamin, utang.

y. Pelelangan Barang SitaanPenjualan barang sitaan melalui lelang dilakukan jika debitor tidak menyelesaikan seluruh utangnya kepada negara walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan Iain miliknya telah disita. Pelelangan tersebut dilaksanakan oleh KPKNL berdasarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN. Pelaksanaan lelang barang sitaan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lelang. Dasar hukum utama adalah Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189 jo. Stb. 1908 Nomor 190 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan lelang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007, didahului dengan pengumuman lelang pada surat kabar harian yang beredar di kota tempat kedudukan KPKNL yang bersangkutan. Cara penawaran lelang akan ditentukan pada saat pelaksanaan lelang, namun demikian cara penawaran yang diutamakan adalah penawaran secara lisan terbuka harga penawaran semakin meninggi. Sebelum lelang berlangsung, Kepala KPKNL selaku anggota PUPN Cabang teriebih dahulu menetapkan nilai limit barang yang akan dilelang dengan berpedoman kepada hasil penilaian. Hasil bersih lelang yang diperoleh akan diperhitungkan sebagai penyelesaian kewajiban. Sebanyak 100/110 bagian dari hasil bersih lelang tersebut diserahkan kepada Penyerah Piutang dan 10/110 bagian sisanya diperhitungkan sebagai pembayaran Biad PPN dan disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

z. Berbagai Upaya Hukum yang Merupakan Kewenangan PUPN/DJKN dalam Melaksanakan Pengurusan piutang Negara.

I. Pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa KPKNL terhadap keberadaan debitor dan harta kekayaan lain milik penanggung/penjamin utang.

II. Pencegahan bepergian ke luar wilayah RI bagi penanggung/penjamin utang. Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, diatur mengenai wewenang dan tanggung jawab melakukan pencegahan ke luar wilayah RI sepanjang menyangkut piutang negara adalah Menteri Keuangan.

III. Paksa Badan atau penyanderaan terhadap, debitor dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, jaksa Agung dan KAPOLRI diatur mengenai kewenangan dan tata cara pelaksanaan Paksa Badan dalam rangka pengurusan piutang negara oleh PUPN.

IV. Pemanfaatan barang jaminan untuk penyelesaian utang, dapat dilakukan kegiatan penyewaan/kontrak atas barang jaminan utang yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang. Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa barang jaminan.

V. Persetujuan dan Penolakan Pemberian keringanan penyelesaian utang sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 128/PMK.06/2007 dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah DJKN atau Kepala KPKNL. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak tidak mengatur mengenai adanya pemberian keringanan utang. Yang diatur adalah memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang PNBP, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.

Dalam Pasal 25 ayat (2), Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang APBN 2010 diamanatkan agar Menteri Keuangan membuat pengaturan mengenai penyelesaian piutang instansi pemerintah yang dikelola/diurus oleh PUPN. Ketentuan tersebut di tuangkan dalam PMK Nomor 60/PMK.06/2009 bahwa piutang yang berasal dari UMKM sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan piutang yang berasal dari eks BPPN Menengah yang telah diurus oleh PUPN dapat diselesaikan oleh debitor dengan diberikan keringanan penyelesaian utang. PMK ini hanya berlaku hinga 31 Desember 2010, dan mekanisme penyelesaiannya diatur sebagai berikut:

a) Permohonan diajukan paling lambat tanggal 1 Desember 2010 kepada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

b) Penanggung Hutang yang telah diberikan persetujuan pemberian keringanan harus melunasi kewajibannya paling lambat 1 (satu) bulan sejak surat persetujuan ditetapkan, kecuali dalam hal:

• permohonan yang disampaikan pada tanggal 1 Desember 2010, pelunasan dilakukan paling lambat tanggal 20 Desember 2010.

• barang jaminan telah diumumkan untuk dilelang, pelunasan dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan lelang.

Page 52: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1482

aa. Penetapan Piutang Sementara Belum dapat ditagih (PSBDT)Dalam hal PUPN/DJKN telah melakukan pengurusan Piutang Negara/Daerah secara optimal, namun masih terdapat sisa utang yang belum diselesaikan, PUPN dapat menetapkan bahwa pengurusan piutang tersebut untuk sementara waktu dihentikan. PUPN akan menerbitkan surat Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT).Piutang yang dapat dikategorikan sebagai piutang yang telah diurus optimal oleh PUPN adalah piutang yang:

1) debitornya tidak mempunyai kemampuan lagf untuk menyelesaikan utangnya; dan2) barang jaminan tidak ada, telah dicairkan, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis, atau

bermasalah hukum sehingga sulit diselesaikan.

Penyelesaian PNBP yang macet sebagaimana di uraikan di atas masih berdasarkan Undang-Undang No. 2 tahun 1949 tentang Panitia Urusan Piutang Negara perlu disesuaikan dengan paradigma baru, supaya Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Untuk itu itu Undang-Undang No. 49 tahun 1960 harus segera di amandemen.

Page 53: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1483

BAB IVLANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Landasan FilosofisPenyelengggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak negara antara lain Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dikelola dalam system pengelolaan keuangan negara dan daerah. Tujuan inilah yang harus menjadi acuan utama dari seluruh gerak langkah yang dijalankan oleh negara dalam arti yang seluas-luasnya. Kemudian dalam kaitannya dengan aspek kesejahteraan juga disebutkan bahwa disebutkan pula kata atau frasa kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pendiri bangsa sadar benar akan hal ini karena kecerdasan adalah merupakan juga bentuk kesejahteraan yang bersifat psikis. Dengan demikian maka lengkaplah makna kesejahteraan ini seperti yang sering disampaikan oleh para bijak dan cendekiawan bahwa kesejahteraan itu bukan saja menyangkut aspek kesejahteraan lahir akan tetapi juga meliputi kesejahteraan batin. Guna menjaga hal di atas berlangsung sesuai dengan keinginan dan cita-cita maka seluruh pemangku kepentingan harus senantiasa menjaga dan selalu melakukan sinkronisasi terhadap landasan di atas agar dalam langkah gerak yang semakin cepat ini negara tidak salah melangkah atau terjadi disorientasi dari kerangka landasan ini. Pembangunan hukum dalam bentuk penciptaan undang-undang baru, perubahan ataupun penggantian harus terus dilakukan secara terus menerus disesuaikan dengan perkembangan jaman, manakal sebuha ketentuan peraturan perundang undangan dirasa sudah tidak sesuai dengan tuntutan kenegaraan maka terhadapo ketentuan perundang undangan tersebut dapat segera diubah dan diperbaiki dengan tetap mengacu dan berorientasi kepada tujuan utama negara yaitu menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Landasan filosofi bagi pembentukan undang apapun adalah makna yang terkandung dalam mukadimah undang undang dasar tahun 1945 yaitu harus fokus kepada upaya peningkatan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia menyangkut kesejahteraan lahir dan batin.Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan didirikannya negara kesatuan republik Indonesia antara lain adalah mensejahterakan warga negaranya. Kesejahteraan dicapai dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan bidang hukum diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan pembangunan menjadi terarah kepada tujuan yang sebelumnya telah ditentukan. Sebagai negara hukum berdasarkan konstitusi maka segala aktivitas kenegaraan harus dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku agar aktivitas berjalan sesuai dengan yang diinginkan dan tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Secara skematis maksud didirikannya negara dan tujuannya dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Tujuan Negara2. Pembangunan merupakan proses pencapaian tujuan

Skema 2. Negara dan Tujuannya

Berdasarkan skema 2 tersebut di atas jelas memperlihatkan bahwa sampai dengan saat ini satu-satunya cara dalam mencapai tujuan negara adalah melalui pembangunan belum diketemukan cara lainnya selain dengan cara pembangunan. Pembangunan dalam kontek mencapai tujuan negara meliputi pembangunan semua aspek termasuk di dalmnya aspek pembangunan hukum melalui undang-undang. Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah salah satu aspek kecil dari keseluruhan aspek yang sangat besar yang diharapkan dapat menjadi pijakan atau fundamental yang kokoh yang memperkuat dan dapat mengakselerasi percepatan pencapaian tujuan dari negara. Pembangunan hukum seperti yang telah dicanangkan baik dalam GBHN maupun dalam RPJMN dan RPJP harus diarahkan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan negara, terutama diarahkan untuk mensejahterakan. Pembangunan bidang hukum yang memiliki implikasi mensejahterakan sesuai kontek kekinian dari sistem ketatanegaraan antara lain harus merubah segala peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada nya antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak.Salah satu ciri utama Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan beban bagi penerima manfaat atas pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah. Dana yang diperoleh pemerintah/daerah dari sumber-sumber PNBP dipergunakan untuk menjalankan fungsi penyediaan barang publik

NEGARA

TUJUAN NEGARA

PEMBANGUNAN

Page 54: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1484

(public goods). Pemerintah atau Pemerintah Daerah memperoleh PNBP yang digunakan untuk menyediakan barang publik, atau dinamakan barang kolektif (social-public goods). PNBP juga merupakan refleksi keadilan ekonomi karena perwujudan redistribusi kesejahteraan (redistribution of wealth), yaitu suatu proses yang memungkinkan transfer kesejahteraan dan pendapatan dari satu individu ke individu lainnya melalui mekanisme-mekanisme sosial. Oleh karena itu, PNBP menjadi penting bagi integrasi tata kelola kenegaraan (state governance), khususnya di bidang ekonomi dan pembangunan. Selain itu, PNBP juga merupakan perwujudan kedaulatan ekonomi (economic sovereignty) negara. Kedaulatan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana suatu negara dengan pemerintahan, rakyat dan wilayah yang terbebas dari pengaruh dari negara lain, serta negara mampu menentukan dan mendefinisikan kepentingan- kepentingan nasional tanpa tekanan dari luar. Sumber-sumber PNBP secara empiris memungkinkan negara menjalankan perekonomian dan pembangunan dengan menggunakan uang sendiri selain dari sumber-sumber penerimaan sektor perpajakan, bukannya dengan utang atau hibah luar negeri. Seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “... dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” maka pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Dengan demikian sumber-sumber penerimaan dari sektor perpajakan dan PNBP adalah instrumen negara untuk mencapai kemerdekaan ekonomi yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.\Secara garis besar landasan filosofis diterbitkannya Undang-Undang Penerimaan Negara bukan Pajak ini adalah berdasarkan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan bahwa, “pajak dan pungutan lain yang bersiafat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.R. Landasan SosiologisUndang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan perekonomian, ketatanegaraan, tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, serta untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik yang terbaik sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti, terutama dalam kaitannya dengan perubahan paradigma yang ditandai dengan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang yang terkait dengan rezim keuangan dan otonomi daerah. Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengusung antara lain otonomi, telah membawa konsekuensi perubahan dalam sistem sosial dan ketatanegaraan di Indonesia. Kini Indonesia mengenal isitilah baru hubungan pusat dan daerah dalam berbagai aspek kehidupan ketatanegaraan. Salah satu hal yang perlu di atur dalam kaitan hubungan pusat dan daerah adalah mengenai pengelolaan keuangan. Pusat mengambil penghasilan dari daerah, kemudian pusat mengembalikannya lagi ke daerah, dalam kaitan hubungan ini seringkali terjadi benturan kebutuhan daerah merasa kucuran dari pusat tidak memadai.Luas wilayah dan keberagaman adat dan kebiasaan serta potensi ekonomi di Indonesia turut melandasi perubahan di atas. Sebagai negara kepulauan Indonesia telah diikat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, semboyan tersebut dari waktu ke waktu harus terus dijadikan orientasi perjuangan mencapai kesejahteraan yang diinginkan. Kesejahteraan yang diinginkan adalah kesejahteraan yang merata di seluruh wilayah tanah air dari sabang sampai merauke dan dari pulau mianggas sampai pulau Rote. Kesejahteraan bukan hanya milik warga Ibu Kota Negara Jakarta, akan tetapi harus menjadi milik bersama agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara kepulauan yang telah menjadi satu kesatuan tersebut walaupun di dalamnya terdapat banyak keanekaragaman budaya, bahasa adat serta kebiasaan memiliki bentuk hak dan tanggung jawab yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin. Upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial harus dialakukan ke seluruh peloksok tanah air dan tidak hanya berfokus pada satu wilayah tertentu agar keadilan sosial yang merata dapat dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia. Guna mewujudkan hal tersebut maka seluruh pembangunan dalam segala bentuknya harus juga menjangkau seluruh wilayah yang ada. Otonomi dan desentralisasi yang kini sudah bergulir sangat diharapkan menampakan wujudnya dalam bentuk upaya mewujudkan keselahteraan. Otonomi dan desentralisasi saat ini adalah capaian terbaru yang harus senantiasa dikembangkan sampai kesejahteraan itu benar nyata terwujud dalam masyarakat Indonesia.Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat tersebut mengandung makna bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara antara lain berupa penyelenggaraan pelayanan publik dan pemberian izin dalam pengelolan sumber daya alam yang pada gilirannya menimbulkan hak negara/daerah berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik, pemberian izin, dan berbagai penyelenggaraan pemerintahan lainnya yang menimbulkan hak negara dan

Page 55: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1485

daerah berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dikelola secara terbuka, bertanggung jawab, sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan diwujudkan dalam APBN dan APBD.S. Landasan YuridisDalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan menciptakan sistem pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang lebih sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terkait erat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan peraturan terkait lainnya baik langsung maupun tidak langsung dengan penerimaan negara bukan pajak. Substansi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagian bisa dipertahankan dan sebagain lainnya diubah serta ditambah dengan peneriman bukan pajak daerah. Penerimaan Daerah Bukan Pajak merupakan pengembangan baru dari hasil kajian yang dilakukan.Berdasarkan hasil kajian maka terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disarankan untuk diubah dengan tetap mempertahankan pasal-pasal yang masih relevan, mengganti pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai (out of date) ditambah dengan hasil kajian yang menemukan formulasi penerimaan daerah bukan pajak.Judul Undang-Undang yang diusulkan adalah Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengatur penerimaan bukan pajak pemerintah pusat dan penerimaan daerah bukan pajak. Pada saat ini daerah, baik propinsi maupuan kabupaten dan kota terkait dengan penerimaan negara bukan pajak hanya sebatas bagian dari dana bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam yang dikelola pemerintah pusat. Kedepan dengan undang yang baru ini maka penerimaan bukan pajak ini bukan saja dari bagi hasil yang dikelola pemerintah pusat akan tetapi daerah pun memiliki penerimaan bukan pajak sendiri. Jika hal ini telah diundangkan maka sumber penerimaan daerah bertambah satu yaitu penerimaan daerah bukan pajak. Berdasarkan hasil kajian maka terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disarankan untuk diubah dengan tetap mempertahankan pasal-pasal yang masih relevan, mengganti pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai (out of date) ditambah dengan hasil kajian yang menemukan formulasi Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Judul Undang-Undang baru yang diusulkan adalah Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak dan penerimaan daerah bukan pajak. Keberadaan Penerimaan Daerah Bukan Pajak direkomendasikan untuk, pertama memperkuat sistem otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan mengurusi rumah tangganya masing dengan sumber pembiayaan yang memadai, setidaknya lahir sumber pendapatan baru melalui uu yang akan dibuat, yang kedua memberikan kedudukan hukum yang pasti dan jelas sehingga dapat terjamin keberlangsungannya, tidak seperti sekarang penerimaan dari pajak daerah dan penerimaan retribusi daerah dan diluar pajak daerah dan retribusi daerah dikatagorikan sebagai penerimaan lainnya. Penerimaan lainnya adalah merupakan bentuk kefakuman pemikiran dengan mengacu kepada teori residu atau teori sisa, padahal penerimaan lainnya apabila dikaji lebih mendalam disana tersimpan potensi penerimaan yang sangat mungkin melebihi dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Berdasarkan hasil observasi, asset-asset idle banyak tersebar di seluruh wilayah tanah air dan beradadi tempat tempat strategis yang memiliki nilai ekonomis.Berdasarkan uraian tersebut diatas, pertimbangan yuridis diterbitkannya undang-undang Penerimaan Bukan Pajak ini, didasarkan pada fakta hukum bahwa peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 dan Peraturan Pelaksanaanya dinilai belum memadai untuk secara komprehensif melaksanakan amanat konstitusional dalam pengaturan pungutan negara/daerah yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang.

Page 56: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1486

BAB VJANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

UNDANG-UNDANGBAB V JANATURAN DAN UNDANG-UNDANGA. Ketentuan UmumJangkauan yang akan dicapai dari ketentuan baru ini adalah terakumulasinya penerimaan melalui sistem dan mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak pada bagian I dan penerimaan daerah bukan pajak bagian II. Mengingat pentingya sistem penerimaan baru ini, maka Undang-Undang baru yang akan dibuat nanti harus memiliki jangkauan jauh ke depan agar tidak cepat usang, implementatif dan bebas dari uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena Undang-Undang sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945.Mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUndang-Undang-X/2012 tanggal 13 Nopember 2012 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dianggap bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 33 artinya menyangkut asset negara yang harus sebesar besarnya kemakmuran rakyat di seluruh wilayah NKRI.Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki korelasi yang kuat dengan konsep baru yang diusung dalam naskah akademik ini, Tahun 1997 Indonesia belum masuk ke era otonomi, sehingga menjadi logis dan masuk akal apabila Undang-Undang yang dihasilkan masih memiliki semangat sentralistis, sedangkan era tahun 2004 yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Indonesia langsung memasuki era otonomi dengan adanya berbagai pengalihan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pengalihan kewenangan membawa konsekuensi pengalihan sumber-sumber penerimaan agar otonomi dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.Undang-Undang baru yang akan dibuat melalui kajian naskah akademik ini akan memperkuat pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dengan sejumlah kewenangan baru yang dalam kontek kajian ini adalah Penerimaan Daerah Bukan Pajak provinsi, Penerimaan Daerah Bukan Pajak kabupaten dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak kota. Berdasarkan kewenangan baru ini selain akan memperkuat otonomi daerah juga akan memperjelas kedudukan hukum dari penerimaan lainnya yang ada dalam terminologi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah. Penerimaan lainnya menganut teori-teori sisa, artinya kalau kategori penerimaan tidak masuk ke dalam pajak daerah atau retribusi daerah maka akan dimasukan ke penerimaan lainnya. Penerimaan lainnya memiliki kelemahan dari aspek hukum karena pertama diragukan keberlangsungannya atau kontinuitasnya, kedua kinerjanya rendah yaitu boleh ada boleh tidak. Penerimaan bukan pajak khusunya Penerimaan Daerah Bukan Pajak akan memperkokoh kedudukan hukumnya, menjamin keberlangsungannya dan sekaligus akan memiliki posisi hukum yang sama dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam keadaan demikian maka sektor penerimaan ini menjadi sektor penerimaan yang dapat diandalkan seperti halnya sektor pajak daerah dan retribusi daerah di kemudian hari, terlebih sejak adanya preseden akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas.Dalam rancangan undang-undang perubahan Undang-Undang No.20 Tahun 1997 ini, dipertimbangkan bahwa penggolongan penerimaan bukan pajak berdasarkan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah menyesuaikan ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tersebut, penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang secara absolut menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi: politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; moneter misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya; yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang,

Page 57: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1487

Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; dan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interconnected), saling tergantung (interdependent), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul Daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada Daerah.Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.Berdasarkan konsepsi yang dianut Undang-Undang. No 32 tahun 2004 tersebut, maka pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang tersebut ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat secara absolut, meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama.Diluar urusan pemerintahan yang secara absolut menjadi kewengangan pemerintah pusat, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menetapkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent dalam artian fungsi-fungsi pemerintahan tertentu menjadi kewenangan pemerintah

Page 58: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1488

pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang didasarkan kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Dengan mempertimbangkan perubahan paradigma amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar-1945 dan berbagai peraturan perundangan sebagaimana dikemukakan diatas maka, perubahan Undang-Undang No. 20 tahun 1997 dirumuskan menjadi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya muatan undang-undang ini akan terdiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP). Konsep dan definisi yang terkait dengan rumusan rancangan undang-undang ini diatur dalam Ketentuan Umum yaitu:1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PNBP adalah seluruh

penerimaan Pemerintah Pusat dan Pendapatan Asli Daerah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

2. Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PPBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

3. Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PDBP adalah seluruh pendapatan asli daerah yang tidak berasal dari pajak daerah.

4. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia baik yang terdapat di atas, ruang angkasa, di permukaan, maupun di dalam perut bumi dikuasai oleh Negara.

5. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial-politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

6. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Kepala Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsurpenyelenggara Pemerintahan Daerah.

10. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah kota.

11. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

13. Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

14. Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah satuan kerja yang terdapat di lingkungan Pemerintah Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi.

15. Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas negara.16. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Pemerintah Daerah provinsi,

kabupaten/kota.17. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri

Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

18. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

Page 59: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1489

19. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

20. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

21. Utang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

22. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

23. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.

24. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.

25. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

26. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

27. Badan Layanan Umum Daerah adalah satuan kerja Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

28. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.

T. Materi Muatan Arah pengaturan dan Ruang lingkup kajian meliputi substansi Rancangan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebaga pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yaitu (1) Penerimaan Negara Bukan Pajak, (2) Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Selanjutnya, Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak jenis dan tarif-nya dikelompokkan menjadi sepuluh kelompok yaitu: (1) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; (2) penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; (3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; (4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; (5) penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, pendapatan kejaksaan, gratifikasi, uang sitaan hasil korupsi dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (6) penerimaan dari iuran dan denda; (7) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; (8) penerimaan pendidikan; (9) penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. (10) setoran surplus atau kontribusi badan layanan umum (BLU) dan /atau badan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum dan /atau badan lainnya yang bersangkutan.Kecuali jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang ditetapkan dengan undang-undang, jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok diatas akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penerimaan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah meliputi: (1) bunga dan atau jasa giro dana pemerintah pusat pada bank sentral; (2) pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka rekening tunggal perbendaharaan (treasury single account, TSA); (3) pendapatan atas penempatan uang negara pada bank umum; (4) pendapatan dari pelaksanaan treasury national pooling; (5) pendapatan bunga dari piutang dan pengusahaan pinjaman; (6) pendapatan premium obligasi negara dalam negeri/Rupiah.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam meliputi: (1) bagian negara dan bonus di luar kewajiban perpajakan yang berasal dari kontrak kerjasama antara menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap; (2) iuran tetap, iuran eksplorasi dan eksploitasi, dan bagian negara dari setiap kontrak kerjasama antara

Page 60: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1490

kuasa pertambangan yang mewakili negara untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap; (3).izin usaha pertambangan pertambangan mineral dan batubara (UIP), izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara (IUPK), iuran tetap di bidang pertambangan pertambangan mineral dan batubara (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) bidang pertambangan mineral dan batubara, iuran produksi bidang pertambangan mineral dan batubara, kompensasi data informasi di bidang pertambangan mineral dan batubara, dan pendapatan pemerintah pusat lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara; (4) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari pertambangan panas bumi yang terdiri dari setoran bagian pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi. (5) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari kehutanan meliputi iuran hak pengusahaan hutan alam dan hutan industri (IHPH), provisi sumber daya hutan (SDH), dana reboisasi (DR), dan pendapatan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan; (6) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari perikanan yang meliputi penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak bersumber dari penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan meliputi: (1) bagian pemerintah pusat atas laba BUMN Perbankan; (2) bagian pemerintah pusat atas laba BUMN Non-Perbankan; (3) hasil penjualan saham pemerintah. Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak bersumber dari penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah meliputi: (1) pendapatan rumah sakit dan instansi kesehatan lainnya; (2) pendapatan tempat hiburan/taman/museum dan pungutan usaha pariwisata alam; (3) pendapatan surat keterangan, visa, dan paspor; (4) pendapatan hak dan perijinan; (5) pendapatan sensor/karantina, pengawasan/pemeriksaan; (6) pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan, jasa informasi, jasa pelatihan, jasa teknologi, pendapatan Badan Pertanahan Nasional, pendapatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; (7) pendapatan jasa Kantor Urusan Agama; (8) pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan, dan kenavigasian; (9) pendapatan Pelayanan Pertanahan; (10) pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro); (11) pendapatan biaya penagihan pajak negara dengan surat paksa; (12) pendapatan bea lelang; (13) pendapatan biaya pengurusan piutang dan lelang negara; (14) pendapatan registrasi dokter dan dokter gigi; (15) pendapatan jasa luar negeri; (16) pendapatan dari pemberian surat perjalanan Republik Indonesia; (17) pendapatan dari jasa pengurusan dokumen konsuler; (18) pendapatan rutin lainnya dari luar negeri; (19) pendapatan Jasa Kepolisian; (20) pendapatan Surat Izin Mengemudi (SIM); (21) pendapatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK); (22) pendapatan Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK); (23) pendapatan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB); (24) pendapatan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB); (25) pendapatan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator; (26) pendapatan penerbitan surat izin senjata api dan bahan peledak; (27) pendapatan penerbitan surat mutasi kendaraan ke luar daerah; (28) pendapatan denda pelanggaran lalu lintas; dan (29) pendapatan jasa kepolisian lainnya..Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, pendapatan kejaksaan, gratifikasi, uang sitaan hasil korupsi dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi meliputi: (1) pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi; (2) pendapatan legalisasi tanda tangan; (3) pendapatan pengesahan surat di bawah tangan; (4) pendapatan uang meja (leges) dan upah pada panitera badan pengadilan (peradilan); (5) pendapatan hasil denda dan sebagainya; (6) pendapatan ongkos perkara; (7) pendapatan Penjualan Hasil Lelang Tindak Pidana Korupsi; (8) pendapatan kejaksaan dan peradilan lainnya; (9) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; (10) pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan; (11) pendapatan gratifikasi yang ditetapkan KPK menjadi milik negara; dan (12) pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan di pengadilan.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber penerimaan dari iuran dan denda meliputi: (1) pendapatan iuran dan denda; (2) pendapatan iuran Badan Usaha; (3) pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan penyediaan dan pendistribusian BBM; (4) pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa; (5) pendapatan dari perlindungan hutan dan konservasi alam; (6) pendapatan iuran menangkap/ mengambil/mengangkut satwa liar/mengambil/mengangkut tumbuhan; (7) pungutan izin Pengusahaan Pariwisata Alam (PIPPA); (8) pungutan masuk obyek wisata alam; (9) Iuran Hasil Usaha Pengusahaan Pariwisata Alam (IHUPA); (10) pendapatan Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan; (11) pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah; dan (12) pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak bersumber dari penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah meliputi: (1) hibah dan/atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah; (2) hibah dalam bentuk natura yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber penerimaan pendidikan meliputi: (1)

Page 61: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1491

pendapatan pendidikan; (2) pendapatan uang pendidikan; (3) pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan; (4) pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik; (5) pendapatan pendidikan lainnya.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri meliputi: (1) pendapatan penjualan hasil produksi/sitaan; (2) pendapatan penjualan hasil pertanian, kehutanan, dan perkebunan; (3) pendapatan penjualan hasil peternakan dan perikanan; (4) pendapatan penjualan hasil tambang; (5) pendapatan penjualan hasil sitaan/rampasan dan harta peninggalan; (6) pendapatan penjualan informasi, penerbitan, film, survey, pemetaan, dan hasil cetakan lainnya; (7) pendapatan penjualan dokumen-dokumen pelelangan; (8) pendapatan penjualan lainnya; (9) pendapatan dari pemindahtanganan Barang Milik Negara (BMN); (10) pendapatan dan penjualan Peralatan dan Mesin; (11) pendapatan dari Pemindahtanganan BMN lainnya; (12) pendapatan Penjualan dari kegiatan hulu migas; (13) pendapatan minyak mentah; (14) pendapatan Lainnya dari kegiatan Hulu Migas; (15) pendapatan dari Pemanfaatan Barang Milik Negara; (16) pendapatan sewa peralatan dan mesin; (17) pendapatan sewa jalan, irigasi, dan jaringan; (18) pendapatan dari Kerjasama Pemanfaatan Peralatan dan Mesin; (19) pendapatan sewa dari pemanfaatan Barang Milik Negara lainnya; (20) pendapatan dari penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu; (21) penerimaan kembali belanja pegawai pusat tahun anggaran yang lalu; (22) penerimaan kembali belanja pensiun tahun anggaran yang lalu; (23) penerimaan kembali belanja lainnya rupiah murni tahun anggaran yang lalu; (24) penerimaan kembali belanja lainnya Hibah tahun anggaran yang lalu; (25) penerimaan kembali belanja lainnya tahun anggaran yang lalu; (26) pendapatan pelunasan piutang; (27) pendapatan pelunasan piutang non-bendahara; (28) pendapatan pelunasan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara (tuntutan ganti rugi); (29) penerimaan kembali persekot/ uang muka gaji; (30) penerimaan Premi Penjaminan Perbankan Nasional; dan (31) pendapatan lain-lain dan pendapatan anggaran lain- lain.Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersumber dari setoran surplus atau kontribusi badan layanan umum (BLU) dan /atau badan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum dan /atau badan lainnya yang bersangkutan meliputi: (1) pendapatan jasa layanan umum; (2) pendapatan penyediaan barang dan jasa kepada masyarakat; (3) pendapatan jasa pelayanan rumah sakit; (4) pendapatan jasa pelayanan pendidikan; (5) pendapatan jasa pelayanan tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan, dan teknologi; (6) pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi; (7) pendapatan jasa layanan pemasaran; (8) pendapatan Penyediaan Barang; (9) pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa lainnya; (10) pendapatan dan pengelolaan wilayah/kawasan tertentu; (11) pendapatan Pengelolaan Kawasan Otorita; (12) pendapatan dan pengelolaan kawasan lainnya; (13) pengelolaan dana khusus untuk masyarakat; (14) pendapatan program modal ventura; (15) pendapatan program dana bergulir sektoral; (16) pendapatan program dana bergulir syariah; (17) pendapatan investasi; (18) pendapatan Pengelolaan Dana Khusus lainnya; (19) pendapatan hasil kerja sama BLU; (20) pendapatan hasil kerja sama perorangan; (21) pendapatan hasil kerja sama lembaga/badan usaha; (22) pendapatan hasil kerja sama Pemerintah Daerah; (23) pendapatan BLU Lainnya; (24) pendapatan jasa layanan perbankan BLU.U. Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak (PPBP)

1. Tarif Jenis Penerimaan Pemerintah Bukan PajakTarif atas jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan dan kemampuan masyarakat dan kegiatan dunia usaha, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, meminimalkan distorsi ekonomi terhadap obyek yang dikenakan pungutan terutama terhadap Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersifat charges yang mengakibatkan hambatan terhadap investasi, ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih pungutan antar instansi di tingkat pusat maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berakibat merintangi arus barang, jasa, modal dan mobilitas penduduk antardaerah serta upaya penghindaran rente ekonomi (rent seeking) sehubungan dengan jenis Penerimaan Bukan Pajak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dasar penetapan tarif Penerimaan Bukan Pajak juga harus mempertimbangakan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat, efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut dan keberlanjutan pelayanan yang bersangkutan. Tarif atas jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersangkutan.

7. Pengelolaan Penerimaan Pemerintah Bukan PajakSemua Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak secepatnya harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara, yang dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak harus disetor seluruhnya ke Kas Negara pada waktunya,

Page 62: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1492

dan kementerian/lembaga yang diberikan tugas untuk mengelola Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak tersebut dilarang untuk menggunakan secara langsung untuk membiayai pengeluaran dalam rangka pemungutan penerimaan tersebut. Disamping itu, apabila diperoleh suatu komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara adalah hak negara. Sebagian dana dari suatu jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak tersebut oleh kementerian atau lembaga non-kekmenterian yang bersangkutan, yaitu kegiatan: (1) penelitian dan pengembangan teknologi; (2) pelayanan kesehatan; (3) pendidikan dan pelatihan; (4) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; (5) badan layanan umum yang dibentuk untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang ditentukan dengan cara: (1) ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Non-Kementerian; atau (2) dihitung sendiri oleh Wajib Bayar. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterimanya Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak, Wajib Bayar dapat meminta rincian Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak yang terutang kepada Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang menerbitkan Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak yang bersangkutan. Atas Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak tersebut, Wajib Bayar dapat menolak sama-sekali atau menyetujui sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang bersangkutan. Penolakan atau persetujuan sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak, dilaksanakan melalui pembahasan akhir hasil pemeriksaan.Penetapan jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang oleh Instansi Pemerintah terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak bersangkutan. Ketentuan kedaluwarsa tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak.Wajib Bayar membayar jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Kementerian/Lembaga Non-Kementerian atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.

8. Pembukuan Dan PemeriksaanWajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak, wajib menyelenggarakan pembukuan. Wajib Bayar dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan bagi Wajib Bayar badan atau orang pribadi dengan kriteria tertentu yang diatur oleh menteri/kepala lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan. Kewajiban pembukuan dan pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan wajib bayar yang sebenarnya. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri/kepala lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan.Terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak, atas permintaan kementerian/lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang. Terhadap kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk, atas permintaan Menteri dapat dilakukan pemeriksaan khusus oleh instansi yang berwenang. Permintaan Kementerian/Lembaga non-kementerian untuk pemeriksaan didasarkan pada: (1) hasil pemantauan kementerian/lembaga non-kementerian terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan; (2) laporan dari pihak ketiga; atau; (3) permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang; Dalam rangka pemeriksaan, kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak sebagai pihak yang diperiksa wajib: (1) memperlihatkan dan atau meminjamkan, catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang; (2) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan membantu kelancaran pemeriksaan; dan atau; (3) memberikan keterangan yang diperlukan. Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi dan keterangan lain, wajib dipenuhi oleh wajib bayar paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. Dalam hal wajib bayar tidak memenuhi ketentuan sehingga tidak dapat dihitung besarnya kewajiban pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak, kewajiban pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak tersebut dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan perundangan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang bersangkutan. Dalam hal pejabat kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk tidak melakukan kewajiban, dikenakan sanksi sesuai

Page 63: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1493

dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.Dalam hal diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan, pihak lain yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa. Dalam hal pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang diperlukan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Hasil pemeriksaan terhadap kementerian/lembaga non-kementerian disampaikan kepada Menteri Keuangan, dan Menteri Keuangan memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada menteri/kepala lembaga non-kementerian yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut. Hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak disampaikan kepada Instansi Pemerintah untuk penetapan jumlah terutang Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak Wajib Bayar yang bersangkutan.Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak terdapat kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang, Wajib Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang, jumlah kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

9. Keberatan dan GugatanWajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang dalam bahasa Indonesia kepada kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya hasil pembahasan akhir pemeriksaan. Dalam hal Wajib Bayar mengajukan keberatan, Wajib Bayar wajib melunasi kewajiban pembayaran Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Bayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan. Kementerian/lembaga non-kementerian melakukan penelitian atas keberatan yang diajukan setelah surat keberatan diterima secara lengkap. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 9 (sembilan bulan) bulan setelah surat keberatan diterima secara lengkap, kementerian/lembaga non-kementerian mengeluarkan penetapan atas keberatan. Penetapan atas keberatan merupakan penetapan yang bersifat final.Apabila jangka waktu telah lewat, dan kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk tidak memberi suatu penetapan, keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan. Dalam hal keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran terhadap jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan, Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Dalam hal keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya. Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Dalam hal Keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya. Apabila terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Bila Wajib Bayar tidak setuju terhadap Keputusan Keberatan, Wajib Bayar dapat mengajukan Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian Keberatan dan Gugatan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.

Page 64: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1494

10. Ketentuan PidanaWajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak, yang karena kealpaannya: (1) tidak menyampaikan laporan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang; atau (2) menyampaikan laporan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Pemerintah, dipidana dengan pidana kurungan paling sedikit 6 (enam) bulan dan denda paling banyak sebesar 1 (satu) kali jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang. Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang terbukti dengan sengaja: (1) tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang; (2) tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; (3) tidak menyampaikan laporan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang; atau; (4) menyampaikan laporan Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang Terutang. Ancaman pidana dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.Pihak lain wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).V. Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP)

1. Jenis, Rincian Obyek Dan Kriteria Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Objek, Golongan, dan Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP) yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, disesuaikan dengan kewenangan, dan jasa/pelayanan yang dimiliki pemerintah daerah, sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Rincian penggolongan, objek, jenis dan tarif Penerimaan Daerah Bukan Pajak, diatur dalam undang-undang yang mengatur retribusi daerah dan peraturan perundangan lainnya. Dasar penetapan tarif Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang memiliki karakteristik dan berorientasi pelayanan dan perizinan tertentu harus mempertimbangkan dampak pembebanan Penerimaan Daerah Bukan Pajak tersebut terhadap hambatan investasi, mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih antara pungutan antar instansi di tingkat pusat maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berakibat merintangi arus barang, jasa, dan mobilitas sumber daya manusia antardaerah serta upaya penghindaran rente ekonomi (rent seeking) sehubungan dengan jenis Penerimaan Bukan Pajak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangkutan.Karakteristik Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak (PDBP) dapat dikelompokkan menjadi: (1) Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, disesuaikan dengan kewenangan, dan jasa/pelayanan yang dimiliki pemerintah daerah, sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. (2) Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan disesuaikan dengan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundangan. (3) Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan disesuaikan dengan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundangan. Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh tingkat pengembalian biaya layanan dan keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan pelayanan yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, efektifitas pengendalian atas pelayanan yang diberikan serta keberlanjutan pelayanan yang bersangkutan. Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan

Page 65: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1495

hukum, penatausahaan, dampak negatif dari pelaksanaan pemberian izin (eksternatitas negatif) dan upaya penghindaran rente ekonomi (rent seeking). Tarif PDBP ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. Penetapan tarif ditetapkan dengan peraturan pemerintah.Adapun kelompok Penerimaan Daerah Bukan Pajak meliputi: (1) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah Daerah; (2) penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah; (3) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; (4) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah; (5) penerimaan dari iuran dan denda; (6) penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah Daerah; (7) penerimaan pendidikan; (8) penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. (9) setoran surplus atau kontribusi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan/atau badan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah daerah yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum daerah dan /atau badan lainnya yang bersangkutan.Kecuali jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang terkait, jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Daerah Bukan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Penerimaan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah daerah meliputi: (1) bunga dan atau jasa giro dana pemerintah daerah pada bank yang ditunjuk sebagai pemegang kas daerah; (2) pendapatan atas penempatan uang daerah pada bank umum; (3) pendapatan bunga dari piutang dan pengusahaan pinjaman; (4) pendapatan premium obligasi daerah dalam negeri/Rupiah;Penerimaan Daerah Bukan Pajak bersumber dari penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam meliputi: (1) bagian daerah dan bonus di luar kewajiban perpajakan yang berasal dari kontrak kerjasama antara menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap; (2) iuran tetap, iuaran eksplorasi dan eksploitasi, dan bagian daerah dari setiap kontrak kerjasama antara kuasa pertambangan yang mewakili daerah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap; (3) izin usaha pertambangan pertambangan mineral dan batubara (UIP), izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara (IUPK), iuran tetap di bidang pertambangan pertambangan mineral dan batubara (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) bidang pertambangan mineral dan batubara, iuran produksi bidang pertambangan mineral dan batubara, kompensasi data informasi di bidang pertambangan mineral dan batubara, dan pendapatan pemerintah daerah lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara; (4) Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang berasal dari pertambangan panas bumi yang terdiri dari setoran bagian pemerintah daerah, iuran tetap dan iuran produksi. (5) Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang menjadi bagian Pemerintah Daerah yang berasal dari kehutanan meliputi iuran hak pengusahaan hutan alam dan hutan industri (IHPH), provisi sumber daya hutan (SDH), dana reboisasi (DR), dan pendapatan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan; (6) Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang menjadi bagian Pemerintah Daerah yang berasal dari perikanan yang meliputi penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan meliputi: (1) bagian pemerintah daerah atas laba BUMD Perbankan; (2) bagian pemerintah daerah atas laba BUMD Non-Perbankan; (3) hasil penjualan saham pemerintah daerah, dari saham yang dimiliki oleh pemerintah daerah dari BUMD atau perseroan terbatas lainnya. Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah meliputi: (1) pendapatan rumah sakit daerah dan unit pelayanan kesehatan lainnya; (2) pendapatan tempat hiburan/taman/museum dan pungutan usaha pariwisata alam (PUPA) yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (3) pendapatan hak dan perijinan, yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (4) pendapatan sensor/karantina, pengawasan/pemeriksaan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (5) pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan, jasa informasi, jasa pelatihan, jasa teknologi, satuan kerja pemerintah daerah (SKPD); (6) pendapatan Pelayanan Pertanahan SKPD; (7) pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro) ; (8) pendapatan jasa lainnya SKPD.Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber penerimaan dari iuran dan denda meliputi: (1) pendapatan iuran dan denda; (2) pendapatan iuran Badan Usaha; (3) pendapatan dari perlindungan hutan dan konservasi alam yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (4) pendapatan iuran menangkap/ mengambil/mengangkut satwa liar/mengambil/mengangkut tumbuhan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (5) pungutan izin pengusahaan pariwisata alam (PIPPA) yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (6). pungutan masuk obyek wisata alam yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (7) iuran hasil usaha pengusahaan pariwisata alam

Page 66: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1496

(IHUPA) yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (8) pendapatan denda; (9) pendapatan Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (10) pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah daerah; Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah Daerah meliputi: (1) hibah dan/atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak pemerintah daerah; (2) hibah dalam bentuk natura yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber penerimaan pendidikan SKPD meliputi: (1) pendapatan pendidikan; (2) pendapatan uang pendidikan; (3) pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan; (4) pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik; (5) pendapatan pendidikan lainnya.Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersumber dari penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri yang menjadi kewenangan pemerintah daerah berdasarkan azas desentralisasi meliputi: (1) pendapatan penjualan hasil produksi/sitaan (2) pendapatan penjualan hasil pertanian, kehutanan, dan perkebunan (3) pendapatan penjualan hasil peternakan dan perikanan; (4) pendapatan penjualan hasil tambang; (5) pendapatan penjualan informasi, penerbitan, film, survey, pemetaan, dan hasil cetakan lainnya; (6) pendapatan penjualan dokumen-dokumen pelelangan; (7) pendapatan penjualan lainnya; (8) pendapatan dari Pemindahtanganan Badan Milik Daerah (BMD); (9) pendapatan penjualan rumah, gedung, bangunan, dan tanah milik daerah; (10) pendapatan dan penjualan Peralatan dan Mesin; (11) pendapatan dari Pemindahtanganan BMD lainnya; (12) pendapatan dari Pemanfaatan BMD; (13) pendapatan sewa tanah, gedung, dan bangunan milik daerah; (14) pendapatan sewa peralatan dan mesin milik daerah; (15) pendapatan sewa jalan, irigasi, dan jaringan milik daerah; (16) pendapatan sewa dari pemanfaatan BMD lainnya; (17) pendapatan dari penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu (18) penerimaan kembali belanja pegawai pemerintah daerah tahun anggaran yang lalu (TAYL); (19) penerimaan kembali belanja lainnya Hibah TAYL; (20) penerimaan kembali belanja lainnya TAYL; (21) pendapatan pelunasan piutang daerah; (22) pendapatan pelunasan piutang daerah non-bendahara; (23) pendapatan pelunasan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pemerintah daerah (tuntutan ganti rugi, TGR); (24) penerimaan kembali persekot/ uang muka gaji; (25) pendapatan lain-lain dan pendapatan anggaran lain-lain yang tertuang dalam APBD.Penerimaan Daerah Bukan Pajak yaitu setoran surplus atau kontribusi badan layanan umum daerah (BLUD) dan /atau badan lainnya yang dibentuk oleh pemerintah daerah yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum dan /atau badan lainnya yang bersangkutan meliputi: (1) pendapatan jasa layanan umum daerah; (2) pendapatan penyediaan barang dan jasa pemerintah daerah kepada masyarakat; (3) pendapatan jasa pelayanan rumah sakit daerah; (4) pendapatan jasa pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh SKPD; (5) pendapatan jasa pelayanan tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan, dan teknologi yang diselenggarakan oleh SKPD; (6) pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi, yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (7) pendapatan jasa layanan pemasaran yang dilaksanakan oleh SKPD; (8) pendapatan Penyediaan Barang yang dilaksanakan oleh SKPD; (9) pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa lainnya yang dilaksanakan oleh SKPD; (10) pendapatan dan pengelolaan wilayah/kawasan tertentu yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (11) pendapatan dan pengelolaan kawasan lainnya yang menjadi kewenangan pemerintah daerah; (12) pengelolaan dana khusus untuk masyarakat yang dilaksanakan oleh SKPD; (13) pendapatan investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; (14) pendapatan Pengelolaan Dana Khusus lainnya; (15) pendapatan hasil kerja sama BLUD; (16) pendapatan hasil kerja sama BLUD; (17) pendapatan hasil kerja sama perorangan; (18) pendapatan hasil kerja sama lembaga/badan usaha; (19) pendapatan hasil kerja sama pemerintah daerah ; (20) pendapatan BLUD Lainnya; (21) pendapatan BLUD Lainnya; (22) pendapatan jasa layanan perbankan BLUD.Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok ditetapkan dengan Peraturan Daerah, yang diamanatkan oleh undang-undang. Jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Daerah Bukan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.Adapun dasar penetapan tarif atas jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan dan kemampuan masyarakat dan kegiatan dunia usaha, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, meminimalkan distorsi ekonomi terhadap obyek yang dikenakan pungutan terutama terhadap Penerimaan Bukan Pajak yang bersifat charges yang mengakibatkan hambatan terhadap investasi, ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih antara pungutan antar instansi di tingkat pusat maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berakibat merintangi arus barang, jasa, modal dan mobilitas penduduk antardaerah serta upaya penghindaran rente ekonomi (rent seeking) sehubungan dengan jenis Penerimaan Bukan Pajak baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dasar penetapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak juga harus mempertimbangakan aspek keadilan dalam pengenaan beban

Page 67: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1497

kepada masyarakat, efektivitas pengendalian atas pelayanan, keberlanjutan pelayanan yang bersangkutan, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, serta penatausahaan Penerimaan Daerah Bukan Pajak tersebut. Tarif atas jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak ditetapkan dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan daerah yang menetapkan jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersangkutan.

11. Pengelolaan Penerimaan Daerah Bukan PajakSemua Penerimaan Daerah Bukan Pajak secepatnya harus disetor ke Rekening Kas Daerah. Semua Penerimaan Daerah Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya. Penerimaan Daerah Bukan Pajak harus disetor seluruhnya ke Kas Daerah pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah daerah. Penerimaan SKPD tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran. Penerimaan berupa komisi, potongan, atau pun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh pemerintah daerah adalah hak daerah.Penerimaan Daerah Bukan Pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak tersebut oleh SKPD yang bersangkutan. Kegiatan tertentu tersebut meliputi: (1) penelitian dan pengembangan teknologi; (2) pelayanan kesehatan; (3) pendidikan dan pelatihan; (4) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; (4) badan layanan umum daerah yang dibentuk untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Penerimaan Daerah Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterimanya Surat Ketetapan Penerimaan Daerah Bukan Pajak, Wajib Bayar dapat meminta rincian Surat Ketetapan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang terutang kepada SKPD yang menerbitkan Surat Ketetapan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersangkutan. Atas Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak, Wajib Bayar dapat menolak sama-sekali atau menyetujui sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak yang diterbitkan oleh SKPD yang bersangkutan. Penolakan atau persetujuan sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak, dilaksanakan melalui pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Penetapan jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang oleh SKPD terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Penerimaan Daerah Bukan Pajak bersangkutan. Ketentuan kedaluwarsa tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Wajib Bayar membayar jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKPD atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan penundaan pembayaran, dan penyetoran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang diatur dengan Peraturan Daerah. SKPD yang ditunjuk, dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak, wajib mengadakan pencatatan yang dapat menyajikan keterangan yang cukup untuk dijadikan dasar penghitungan Penerimaan Daerah Bukan Pajak. Pencatatan wajib diselenggarakan di Indonesia dalam satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia. Buku, catatan dan dokumen lainnya yang menjadi dasar perhitungan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun. Wajib bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak dapat menyelenggarakan pencatatan dalam satuan mata uang asing dan bahasa asing setelah mendapat persetujuan kepala daerah.

12. Pembukuan Dan Pemeriksaan Penerimaan Daerah Bukan PajakWajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak, wajib menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Bayar badan atau orang pribadi dengan kriteria tertentu yang diatur oleh SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan. Pembukuan dan pencatatan harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan wajib bayar yang sebenarnya. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,satuan mata uang Rupiah atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan. Terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas permintaan SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.Terhadap SKPD yang ditunjuk atas permintaan Kepala Daerah dapat dilakukan pemeriksaan

Page 68: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1498

khusus oleh instansi yang berwenang. Permintaan SKPD untuk pemeriksaan didasarkan pada: (1) hasil pemantauan SKPD terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan; (2) laporan dari pihak ketiga; atau (3) permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang. Dalam rangka pemeriksaan, SKPD yang ditunjuk dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak sebagai pihak yang diperiksa wajib: (1) memperlihatkan dan atau meminjamkan, catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang; (2) memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan membantu kelancaran pemeriksaan; (3) memberikan keterangan yang diperlukan; (3) Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh wajib bayar paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. Dalam hal wajib bayar tidak memenuhi ketentuan sehingga tidak dapat dihitung besarnya kewajiban pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak, kewajiban pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak tersebut dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan perundangan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersangkutan.Dalam hal pejabat SKPD yang ditunjuk tidak melakukan kewajiban dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan, pihak lain yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa. Dalam hal pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang diperlukan harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.Hasil pemeriksaan terhadap SKPD disampaikan kepada Kepala Daerah, dan Kepala Daerah memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada SKPD yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut. Hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk Penerimaan Daerah Bukan Pajak disampaikan kepada SKPD untuk penetapan jumlah terutang Penerimaan Daerah Bukan Pajak Wajib Bayar yang bersangkutan.Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak terdapat kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang, Wajib Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut.Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang, jumlah kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya. Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban pembukuan dan pemeriksaan diatur dengan Peraturan Daerah.

13. Keberatan Terhadap Pengenaan Penerimaan Daerah Bukan PajakWajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang dalam bahasa Indonesia kepada SKPD yang ditunjuk dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya hasil pembahasan akhir pemeriksaan.diterimanya keputusan penetapan kewajiban pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Bayar mengajukan keberatan, Wajib Bayar wajib melunasi kewajiban pembayaran Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Bayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan. SKPD melakukan penelitian atas keberatan yang diajukan setelah surat keberatan diterima secara lengkap. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan setelah surat keberatan diterima secara lengkap, SKPD mengeluarkan penetapan atas keberatan. Penetapan atas keberatan merupakan penetapan yang bersifat final. Apabila jangka waktu telah lewat, dan SKPD yang ditunjuk tidak memberi suatu penetapan, keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan.Dalam hal keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran terhadap jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan, Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Dalam hal keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan, kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran

Page 69: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1499

dikembalikan kepada Wajib Bayar bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran. Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Daerah.

14. Ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak, yang karena kealpaannya yaitu: (1) tidak menyampaikan laporan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang; (2) menyampaikan laporan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan pemerintah daerah, dipidana dengan pidana kurungan paling sedikit 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang.Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang terbukti dengan sengaja: (1) tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang; (2) tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar. (3) tidak menyampaikan laporan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang; (4) menyampaikan laporan Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan pendapatan daerah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang Terutang.Ancaman pidana dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang Penerimaan Daerah Bukan Pajak sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan. Pihak lain yang wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

15. Jenis, Rincian Objek Dan Kewenangan Pemungutan Penerimaan Daerah Bukan Pajak Provinsi, Kabupaten Dan Kota.

Pembagian kewenangan pemungutan jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan dan jasa /pelayanan yang diperlukan oleh daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Pembagian kewenangan pemungutan jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan umum, untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Pembagian kewenangan pemungutan jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu, untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

Page 70: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1500

BAB VIPENUTUP

UTUPA. KesimpulanSubstansi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagian dapat dipertahankan dan sebagain lainnya diubah serta ditambah dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Daerah Bukan Pajak merupakan pengembangan baru dari hasil kajian yang dilakukan dalam laporan ini.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Secara teoritik untuk meningkatkan penerimaan bukan pajak (non tax) adalah dengan meningkatkan tarif dan memperluas basis penerimaan bukan pajak. Terkait dengan upaya tersebut di atas sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Dasar-1945 Pasal 1 ayat (3) yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka sebelum meningkatkan tarif dan memperluas basis pengenaan penerimaan bukan pajak, maka harus terlebih dahulu membuat ketentuan perundang-undangannya agar perubahan yang terjadi dapat berjalan dengan baik. Hal ini seperti disebutkan dalam teori hukum pembangunan yang menyebutkan bahwa hukum (Undang-Undang) sebagai sarana pembaharuan masyarakat, termasuk didalamnya pembaharuan bidang dalam bidang undang-undang penerimaan bukan pajak. Hal ini sesuai pula dengan teori yang mengatakan bahwa tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan terus meningkat dari tahun ke tahun atau law is increasing state activity. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak telah ketinggalan jaman dan sudah tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan jika dibandingkan dengan tuntutan peningkatan penerimaan negara yang dapat menunjang pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berkesinambungan.

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak telah ketinggalan jaman, sudah tidak sesuai dengan paradigma desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang berkembang, dan sudah tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan jika dibandingkan dengan tuntutan peningkatan penerimaan negara yang dapat menunjang pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berkesinambungan. Hal ini ditandai dengan amandemen Undang-Undang Dasar-45 ke-IV, berbagai undang-undang di bidang keuangan dan hubungan pusat dan daerah terutama Undang-Undang No.17/2003 tentang keuangan Negara, Undang-Undang No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3. Berdasarkan pada kesimpulan butir 2 di atas maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sasaran yang akan dicapai adalah adanya penerimaan yang bersifat berkelanjutan atau sustainable revenue untuk mendanai pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development meliputi seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sehingga akumulasi penerimaannyapun bukan hanya pusat saja akan tetapi daerah juga memerlukan pembiayaan yang cukup besar yang berasal dari sustainable revenue sehingga dengan sistem dan mekanisme Undang-Undang Peneriman Bukan Pajak yang baru yang bersifat sustainable atau berkelanjutan akan memberikan kepastian adanya sumber pendanaan pembangunan yang berpola recycle untuk seluruh wilayah NKRI.

W. SaranBerdasarkan hasil kajian maka terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak disarankan untuk diubah dengan tetap mempertahankan pasal-pasal yang masih relevan, mengganti pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai (out of date) ditambah dengan hasil kajian yang menemukan formulasi Penerimaan Daerah Bukan Pajak.Saran yang dapat disampaikan antara lain adalah :1. Diperlukan pemilahan bahan mana atau materi muatan mana yang menjadi substansi

undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun peraturan daerah sebagai rujukan dalam penyusunan peraturan dimaksud.

2. Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak ini dapat dimasukkan ke dalam prioritas program legislasi nasional (PROLEGNAS) mengingat perannya yang sangat strategis dalam membiayai tugas tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang akan meningkat pada tahun tahun yang akan datang.

3. Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai landasan operasional dan Peraturan Daerah Provinsi Kabupaten/Kota dapat dilakukan secara bersama sama dan bertahap mengingat Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak ini berlaku juga bagi daerah provinsi dan kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

4. Agar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru dapat diimplementasikan, pembuatan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah pada lingkup pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dapat segera dipersiapkan dalam 1 (satu) atau 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak ini diundangkan. Hal ini agar proses sosialisasi dan internalisasi dapat berjalan dengan baik.

Page 71: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1501

DAFTAR PUSTAKA

1.Buku.Arifin P.Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Teori, Kritik dan Praktik,

Rajawali Pers, Jakarta, 2009;Bela, Poetri Mutiara. 2010. Analisis Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor (Studi

Earmarking Tax di DKI Jakarta). Jakarta: Universitas IndonesiaBuchanan, James M. 1963. The Economics of Earmarked Taxes. Chicago: University of Chicago

Press.Carling, Robert. 2007. Tax Earmarking, Is It Good Practice?. Perspective on Tax Reform (12), CIC

Policy Monograph 75. Jackson, Jeremy. Earmarking, Party Politics and Gubernatorial Veto: Theory and Evidence from

US States. Washington, D.C: St. Louis Washington University. Junaidi Soewartojo, Manajemen Keuangan Negara, LAN, Jakarta, 2000;----------Kapita Selekta Keuangan Negara, Suatu Tinjauan Yuridis, Universitas Taruma Negara,

UPT Penerbitan, Jakarta, 1996;Kementrian Keuangan, 2010: Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. Republik IndonesiaM. Bird, Ricard, dan Jun, Joosung. 2005. Earmarking in Theory and Korean Practice. Asian Excise

Tax Conference, National University of Singapore.M. Bird, Richard. 1978. A New Look at Benefits Taxation. In H. C. Recktenwald, ed., Tendences a

Long Terme du Sector Public: Secular Trends of the Public Sector. Paris: Editions Cujas.McCleary, William. 1991. The Earmarking of Goverment Revenue: A Review of Some World

Bank Experience.The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1, pp.81-104.Michael, Joel. 2008. Earmarking State Tax Revenues. St.Paul: Minnesota House of Representatives

Research Department. Muhammad Handry Imansyah, Krisis Keuangan di Indonesia, Dapakah diramalkan?, PT.Elex

Media Komputindo, Jakarta, 2002;Muhammad Saidi, Hukum Keuangan Negara Edisi Revisi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2008;Muji Estiningsih, Fungsi Pengawasan DPRD, Tinjauan Kritis Pengelolaan Keuangan Daerah

Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005;

Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986;

Republik Indonesia, 2012. Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2013, Jakarta.

Sidik, Machfud, A New Perspective of Intergovernmental Fiscal Realtions: Lessons from Indonesia’s Experiences. Ripelge, Jakarta, 2007.

2.Jurnal/Penelitian/Makalah.A.Gima Sugiama, Tinjauan Teoritis Manajemen Asset, Optimalisasi Aset Berkinerja Tertinggi dan

Terbaik Untuk Meningkatkan Pendapatan, Makalah, Bandung, 2012Arifin P.Soeria Atmadja, Pola Pikir Hukum (Legal Mindscapes) Definisi Keuangan Negara yang

Membangun Praktik Bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengakar (Deep rooted Business Practices), Jakarta, 2010;

Mulyanto, Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kawasan Subosuka Wonosraten Provinsi Jawa Tengah.

3.InternetAlamendah’s Blog, Jumlah Pulau Indonesia Belum Pasti, http://wwwalamendah.

worldpress.com, 11/09/2012;Elvan Deni Sutrisno, Mengancam NKRI, Penjualan 2 Pulau Indonesia Harus Digagalkan,

detiknews, 11/09/2012, 09.22, http://news.detik.com/read2012/09/05;Hartono,Solhan, Fungsi Regulasi Dalam Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Studi Kasus

di Pemerintah Kota Semarang, http://eprints.undip.ac.id, 24/07/2012;Pepi Nugraha, Daftar Pulau Indonesia yang Sudah Dijual, http://wwwtopx.com, 11-

09/2012; 4.Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan negara bukan pajak;Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Page 72: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1502

Pusat dan Pemerintah Daerah;Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara;Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban

Keuangan negara;

5.Peraturan Pemerintah.Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pusat Investasi Pemerintah;Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

umum;Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah;Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan,

Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara;Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara;Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah;

Page 73: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1503

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa penyelengggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan

bernegara menimbulkan hak negara antara lain Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan negara dan daerah;

b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan menciptakan sistem pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang lebih sederhana, adil, transparan, dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan perekonomian, ketatanegaraan, tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, serta untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam memberikan pelayanan publik yang terbaik sehingga Undang-Undang tersebut perlu diganti;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22D ayat dan ayat (2), Pasal 23, 23A dan Pasal 23C dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125);

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126);

Page 74: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1504

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIADAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat dan Pendapatan Asli Daerah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

2. Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PPBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

3. Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang selanjutnya disebut PDBP adalah seluruh pendapatan asli daerah yang tidak berasal dari pajak daerah.

4. Sumber Daya Alam adalah segala kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia baik yang terdapat di atas, ruang angkasa, di permukaan, maupun di dalam perut bumi dikuasai oleh Negara.

5. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial-politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

6. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

9. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsurpenyelenggara Pemerintahan Daerah.

10. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

11. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.

12. Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

13. Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah satuan kerja yang terdapat di lingkungan Pemerintah Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi.

14. Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas Negara.15. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten/

kota.16. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan

selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

Page 75: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1505

17. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

18. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

19. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

20. Utang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

21. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

22. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.

23. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.

24. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

25. Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

26. Badan Layanan Umum Daerah adalah satuan kerja Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

27. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan.

BAB IIPPBP

Bagian Kesatu

Jenis dan Tarif PPBP

Pasal 2(1) Kelompok PPBP meliputi:

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, pendapatan kejaksaan, gratifikasi, uang sitaan

hasil korupsi dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;f. penerimaan dari iuran dan denda;g. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;h. penerimaan pendidikan; i. penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri; dan j. setoran surplus atau kontribusi badan layanan umum (BLU) dan/atau badan lainnya yang

dibentuk oleh pemerintah pusat yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum dan/atau badan lainnya yang bersangkutan.

(2) Kecuali jenis PPBP yang ditetapkan dalam Undang-undang, jenis PPBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Page 76: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1506

(3) Jenis PPBP yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a meliputi: a. bunga dan/atau jasa giro dana pemerintah pusat pada bank sentral;b. pendapatan atas penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dalam rangka rekening tunggal

perbendaharaan;c. pendapatan atas penempatan uang negara pada bank umum;d. pendapatan dari pelaksanaan treasury national pooling;e. pendapatan bunga dari piutang dan pengusahaan pinjaman; danf. pendapatan premium obligasi negara dalam negeri/Rupiah.

Pasal 4PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi: a. bonus di luar kewajiban perpajakan yang berasal dari kontrak kerjasama antara penyelenggara

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap;

b. iuran tetap, iuran eksplorasi, eksploitasi, dan setiap kontrak kerjasama antara kuasa pertambangan yang mewakili Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap;

c. izin usaha pertambangan pertambangan mineral dan batubara (UIP), izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara (IUPK), iuran tetap di bidang pertambangan-pertambangan mineral dan batubara (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) bidang pertambangan mineral dan batubara, iuran produksi bidang pertambangan mineral dan batubara, kompensasi data informasi di bidang pertambangan mineral dan batubara, dan pendapatan pemerintah pusat lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara;

d. yang berasal dari pertambangan panas bumi yang terdiri dari setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi;

e. yang berasal dari kehutanan meliputi iuran hak pengusahaan hutan alam dan hutan industri (IHPH), provisi sumber daya hutan (SDH), dana reboisasi (DR), dan pendapatan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan; dan

f. yang berasal dari perikanan yang meliputi penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.

Pasal 5PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c meliputi:a. bagian pemerintah pusat atas laba BUMN Perbankan;b. bagian pemerintah pusat atas laba BUMN Non-Perbankan; danc. hasil penjualan saham pemerintah.

Pasal 6PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d meliputi: a. pendapatan rumah sakit dan instansi kesehatan lainnya;b. pendapatan tempat hiburan/taman/museum dan pungutan usaha pariwisata alam;c. pendapatan surat keterangan, visa, dan paspor;d. pendapatan hak dan perijinan;e. pendapatan sensor/karantina, pengawasan/pemeriksaan;f. pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan, jasa informasi, jasa pelatihan, jasa teknologi, pendapatan

Badan Pertanahan Nasional, pendapatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;g. pendapatan jasa Kantor Urusan Agama;h. pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan, dan kenavigasian;

Page 77: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1507

i. pendapatan Pelayanan Pertanahan;j. pendapatan jasa lembaga keuangan (jasa giro);k. pendapatan biaya penagihan pajak negara dengan surat paksa;l. pendapatan bea lelang;m. pendapatan biaya pengurusan piutang dan lelang negara;n. pendapatan registrasi dokter dan dokter gigi;o. pendapatan jasa luar negeri;p. pendapatan dari pemberian surat perjalanan Republik Indonesia;q. pendapatan dari jasa pengurusan dokumen konsuler;r. pendapatan rutin lainnya dari luar negeri;s. pendapatan Jasa Kepolisian;t. pendapatan Surat Izin Mengemudi (SIM);u. pendapatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK);v. pendapatan Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK);w. pendapatan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB);x. pendapatan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB);y. pendapatan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator;z. pendapatan penerbitan surat izin senjata api dan bahan peledak;aa. pendapatan penerbitan surat mutasi kendaraan ke luar daerah;ab. pendapatan denda pelanggaran lalu lintas; danac. pendapatan jasa kepolisian lainnya.

Pasal 7PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e meliputi: a. pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi;b. pendapatan legalisasi tanda tangan; c. pendapatan pengesahan surat di bawah tangan;d. pendapatan uang meja (leges) dan upah pada panitera badan pengadilan (peradilan); e. pendapatan hasil denda dan sebagainya; f. pendapatan ongkos perkara;g. pendapatan Penjualan Hasil Lelang Tindak Pidana Korupsi; h. pendapatan kejaksaan dan peradilan lainnya;i. pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi; j. pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan;k. pendapatan gratifikasi yang ditetapkan KPK menjadi milik negara; danl. pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi yang ditetapkan di pengadilan.

Pasal 8PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f meliputi:a. pendapatan iuran dan denda;b. pendapatan iuran Badan Usaha;c. pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan penyediaan dan pendistribusian BBM;d. pendapatan iuran badan usaha dari kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa;e. pendapatan dari perlindungan hutan dan konservasi alam;f. pendapatan iuran menangkap/ mengambil/mengangkut satwa liar/mengambil/mengangkut

tumbuhan;g. pungutan izin Pengusahaan Pariwisata Alam (PIPPA);

Page 78: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1508

h. pungutan masuk obyek wisata alam;i. Iuran Hasil Usaha Pengusahaan Pariwisata Alam (IHUPA);j. pendapatan Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan;k. pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah; danl. pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha.

Pasal 9PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g meliputi: a. hibah dan/atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi

hak pemerintah; danb. hibah dalam bentuk natura yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat.

Pasal 10PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h meliputi:a. pendapatan uang pendidikan, yang diselenggarakan oleh kementerian dan lembaga non-

kementerian;b. pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan;c. pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik; dand. pendapatan pendidikan lainnya.

Pasal 11PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i meliputi: a. pendapatan penjualan hasil produksi/sitaan; b. pendapatan penjualan hasil pertanian, kehutanan, dan perkebunan; c. pendapatan penjualan hasil peternakan dan perikanan;d. pendapatan penjualan hasil tambang;e. pendapatan penjualan hasil sitaan/rampasan dan harta peninggalan;f. pendapatan penjualan informasi, penerbitan, film, survey, pemetaan, dan hasil cetakan lainnya; g. pendapatan penjualan dokumen-dokumen pelelangan;h. pendapatan penjualan lainnya;i. pendapatan dari pemindahtanganan Barang Milik Negara (BMN); j. pendapatan dan penjualan Peralatan dan Mesin; k. pendapatan dari Pemindahtanganan BMN lainnya;l. pendapatan Penjualan dari kegiatan hulu migas; m. pendapatan minyak mentah;n. pendapatan lainnya dari kegiatan Hulu Migas;o. pendapatan dari Pemanfaatan Barang Milik Negara;p. pendapatan sewa peralatan dan mesin;q. pendapatan sewa jalan, irigasi, dan jaringan; r. pendapatan dari Kerjasama Pemanfaatan Peralatan dan Mesin;s. pendapatan sewa dari pemanfaatan Barang Milik Negara lainnya;t. pendapatan dari penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu; u. penerimaan kembali belanja pegawai pusat tahun anggaran yang lalu;v. penerimaan kembali belanja pensiun tahun anggaran yang lalu; w. penerimaan kembali belanja lainnya rupiah murni tahun anggaran yang lalu; x. penerimaan kembali belanja lainnya Hibah tahun anggaran yang lalu;y. penerimaan kembali belanja lainnya tahun anggaran yang lalu; z. pendapatan pelunasan piutang;

Page 79: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1509

aa. pendapatan pelunasan piutang non-bendahara; ab. pendapatan pelunasan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara (tuntutan ganti rugi); ac. penerimaan kembali persekot/ uang muka gaji;ad. penerimaan Premi Penjaminan Perbankan Nasional; danae. pendapatan lain-lain dan pendapatan anggaran lain- lain.

Pasal 12PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf j meliputi:a. pendapatan jasa layanan umum;b. pendapatan penyediaan barang dan jasa kepada masyarakat;c. pendapatan jasa pelayanan rumah sakit;d. pendapatan jasa pelayanan pendidikan;e. pendapatan jasa pelayanan tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan, dan teknologi;f. pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi;g. pendapatan jasa layanan pemasaran;h. pendapatan Penyediaan Barang;i. pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa lainnya;j. pendapatan dan pengelolaan wilayah/kawasan tertentu;k. pendapatan Pengelolaan Kawasan Otorita;l. pendapatan dan pengelolaan kawasan lainnya;m. pengelolaan dana khusus untuk masyarakat;n. pendapatan program modal ventura;o. pendapatan program dana bergulir sektoral;p. pendapatan program dana bergulir syariah;q. pendapatan investasi;r. pendapatan Pengelolaan Dana Khusus lainnya;s. pendapatan hasil kerja sama BLU;t. pendapatan hasil kerja sama perorangan;u. pendapatan hasil kerja sama lembaga/badan usaha;v. pendapatan hasil kerja sama Pemerintah Daerah;w. pendapatan BLU Lainnya; danx. pendapatan jasa layanan perbankan BLU.

Pasal 13(1) Tarif atas jenis PPBP ditetapkan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;

a. dampak pengenaan terhadap investasi dan kegiatan usaha;b. penghindaran ekonomi biaya tinggi karena adanya beban pengenaan yang berlebihan,

tumpang-tindih pungutan antar instansi dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;c. penghindaran rintangan arus barang, jasa, modal, dan mobilitas penduduk antar daerah;d. penghindaran rente ekonomi;e. mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam rangka melindungi kelompok masyarakat

berpendapatan rendah;f. efektifitas pelayanan yang berkelanjutan; dang. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah, pengawasan di lapangan, penegakan hukum,

dan penatausahaan. (2) Penetapan tarif atas jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak berdasarkan pilihan pertimbangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis PPBP yang bersangkutan.

Page 80: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1510

BAB IIIPENGELOLAAN PPBP

Pasal 14

(1) Semua PPBP secepatnya harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.(2) Semua PPBP dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 15(1) Setiap Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang mempunyai sumber pendapatan pemerintah

sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya.

(2) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) wajib disetor seluruhnya ke Kas Negara pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(3) Penerimaan kementerian/lembaga tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.(4) Penerimaan berupa komisi, potongan, atau pun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau

pengadaan barang dan/atau jasa oleh negara adalah hak negara.

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimakasud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenakan sangksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pasal 16(1) Dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, sebagian

dana dari suatu jenis PPBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PPBP tersebut oleh kementerian atau lembaga non-kekmenterian yang bersangkutan.

(2) Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:a. penelitian dan pengembangan teknologi;b. pelayanan kesehatan;c. pendidikan dan pelatihan;d. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dane. badan layanan umum yang dibentuk untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dalam

rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan PPBP sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Jumlah PPBP yang Terutang ditentukan dengan cara:a. ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Non-Kementerian; atau b. dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.

(2) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterimanya Surat Ketetapan PPBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Wajib Bayar dapat meminta rincian Surat Ketetapan PPBP yang terutang kepada Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang menerbitkan Surat Ketetapan PPBP yang bersangkutan.

(3) Atas Surat Ketetapan PPBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Bayar dapat menolak sama-sekali atau menyetujui sebagian dari jumlah Surat Ketetapan PPBP yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga Non-Kementerian yang bersangkutan.

(4) Penolakan atau persetujuan sebagian dari jumlah Surat Ketetapan PPBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan melalui pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

(5) Jenis PPBP yang jumlah terutangnya ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18(1) Penetapan jumlah PPBP yang Terutang oleh Instansi Pemerintah terhadap Wajib Bayar untuk jenis

PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya PPBP bersangkutan.

Page 81: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1511

(2) Ketentuan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PPBP.

Pasal 19

(1) Wajib Bayar membayar jumlah PPBP yang Terutang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

(2) Kementerian/Lembaga Non-Kementerianatas permohonan Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran PPBP yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan penundaan pembayaran, dan penyetoran PPBP yang Terutang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21(1) Kementerian/lembaga non-Kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

ayat (1), dan Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib mengadakan pencatatan yang dapat menyajikan keterangan yang cukup untuk dijadikan dasar penghitungan PPBP.

(2) Pencatatan wajib diselenggarakan di Indonesia dalam satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia.

(3) Buku, catatan dan dokumen lainnya yang menjadi dasar perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.

(4) Wajib bayar untuk jenis PPBP dapat menyelenggarakan pencatatan dalam satuan mata uang asing dan bahasa asing setelah mendapat persetujuan menteri keuangan.

BAB IVPEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 22

(1) Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Bayar badan atau orang pribadi dengan kriteria tertentu yang diatur oleh menteri/kepala lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan.

(3) Pembukuan dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan wajib bayar yang sebenarnya.

(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri/kepala lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut PPBP yang bersangkutan.

(5) Terhadap Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) atas permintaan kementerian/lembaga non-kementerian yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.

(6) Terhadap kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atas permintaan Menteri dapat dilakukan pemeriksaan khusus oleh instansi yang berwenang.

Page 82: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1512

(7) Permintaan Kementerian/Lembaga non-kementerian untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didasarkan pada:a. hasil pemantauan kementerian/lembaga non-kementerian terhadap Wajib Bayar yang

bersangkutan;b. laporan dari pihak ketiga; atauc. permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran PPBP yang Terutang.

(8) Dalam rangka pemeriksaan, kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) sebagai pihak yang diperiksa wajib:a. memperlihatkan dan atau meminjamkan, catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan

serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran PPBP yang Terutang;b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan

membantu kelancaran pemeriksaan; dan atauc. memberikan keterangan yang diperlukan.

(9) Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi dan keterangan lain sebagai yang dimaksud pada ayat (8), wajib dipenuhi oleh wajib bayar paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

(10) Dalam hal wajib bayar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sehingga tidak dapat dihitung besarnya kewajiban pembayaran PPBP, kewajiban pembayaran PPBP tersebut dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan perundangan PPBP yang bersangkutan.

(11) Dalam hal pejabat kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Dalam hal diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan, pihak lain yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa.

(2) Dalam hal pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri.

Pasal 24

(1) Hasil pemeriksaan terhadap kementerian/lembaga non-kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8) disampaikan kepada Menteri, dan Menteri memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada menteri/kepala lembaga non-kementerian yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut.

(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8) terhadap Wajib Bayar untuk PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) disampaikan kepada Instansi Pemerintah untuk penetapan jumlah terutang PPBP Wajib Bayar yang bersangkutan.

Pasal 25(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdapat kekurangan pembayaran jumlah PPBP yang Terutang, Wajib Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut.

(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdapat kelebihan pembayaran jumlah PPBP yang Terutang, jumlah kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah PPBP yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(3) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(4) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Page 83: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1513

Pasal 26Ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban pembukuan dan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VKEBERATAN DAN GUGATAN

Pasal 27(1) Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Huruf a dapat

mengajukan Keberatan secara tertulis atas penetapan jumlah PPBP yang Terutang dalam bahasa Indonesia kepada kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya hasil pembahasan akhir pemeriksaan.

(2) Dalam hal Wajib Bayar mengajukan Keberatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar wajib melunasi kewajiban pembayaran PPBP yang terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Bayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan.

(3) Kementerian/lembaga non-kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelitian atas Keberatan yang diajukan setelah Surat Keberatan diterima secara lengkap.

(4) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan setelah Surat Keberatan diterima secara lengkap, kementerian/lembaga non-kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan atas Keberatan.

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat, dan kementerian/lembaga non-kementerian yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberi suatu penetapan, Keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan.

(6) Dalam hal Keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran terhadap jumlah PPBP yang Terutang yang tercantum dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(7) Dalam hal Keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah PPBP yang Terutang yang tercantum dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah PPBP yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(8) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(9) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(10) Dalam hal wajib bayar tidak setuju terhadap Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengajukan Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian Keberatan dan Gugatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI PDBP

Bagian KeduaObyek, Golongan dan Prinsip dan Sasaran Penetapan

Tarif PDBP

Pasal 28(1) PDBP bersumber dari:

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah Daerah;b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah;

Page 84: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1514

c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan;d. penerimaan dari kegiatan pelayanan tertentu yang dilaksanakan Pemerintah Daerah;e. penerimaan dari iuran dan denda;f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah Daerah;g. penerimaan pendidikan;h. penerimaan lainnya yang diatur dalam peraturan perundangan tersendiri; i. setoran surplus atau kontribusi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan/atau badan lainnya

yang dibentuk oleh pemerintah daerah yang kekayaanya tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan badan layanan umum daerah dan /atau badan lainnya yang bersangkutan; dan

j. retribusi daerah.(2) Jenis PDBP yang belum tercakup dalam kelompok PDBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

Penerimaan PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a meliputi: a. bunga dan atau jasa giro dana Pemerintah Daerah pada bank yang ditunjuk sebagai pemegang

kas daerah;b. pendapatan atas penempatan uang daerah pada bank umum;c. pendapatan bunga dari piutang dan pengusahaan pinjaman; dand. pendapatan premium obligasi daerah dalam negeri/Rupiah.

Pasal 30PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b meliputi:a. bagian Daerah dan bonus di luar kewajiban perpajakan yang berasal dari kontrak kerjasama antara

menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap;

b. bagian Daerah dari iuran tetap, iuran eksplorasi dan eksploitasi, dan bagian daerah dari setiap kontrak kerjasama antara kuasa pertambangan yang mewakili Daerah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap;

c. bagian Daerah dari izin usaha pertambangan pertambangan mineral dan batubara (UIP), izin usaha pertambangan eksplorasi pertambangan mineral dan batubara (IUPK), iuran tetap di bidang pertambangan pertambangan mineral dan batubara (land rent), iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) bidang pertambangan mineral dan batubara, iuran produksi bidang pertambangan mineral dan batubara, kompensasi data informasi di bidang pertambangan mineral dan batubara, dan pendapatan Pemerintah Daerah lainnya yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara;

d. PDBP yang berasal dari pertambangan panas bumi yang terdiri dari setoran bagian Pemerintah Daerah, iuran tetap dan iuran produksi.

e. PDBP yang menjadi bagian Pemerintah Daerah yang berasal dari kehutanan meliputi iuran hak pengusahaan hutan alam dan hutan industri (IHPH), provisi sumber daya hutan (SDH), dana reboisasi (DR), dan pendapatan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan; dan

f. PDBP yang menjadi bagian Pemerintah Daerah yang berasal dari perikanan yang meliputi penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.

Pasal 31

PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c meliputi: a. bagian Pemerintah Daerah atas laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perbankan;b. bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD Non-Perbankan;c. hasil penjualan saham Pemerintah Daerah, dari saham yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dari

BUMD atau perseroan terbatas lainnya.

Page 85: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1515

Pasal 32PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf d meliputi: a. pendapatan tempat hiburan/taman/museum dan pungutan usaha pariwisata alam (PUPA) yang

menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;b. pendapatan hak dan perijinan, yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, selain yang diatur

dalam ketentuan peraturan perundangan retribusi;c. pendapatan sensor/karantina, pengawasan/pemeriksaan yang menjadi kewenangan Pemerintah

Daerah;d. pendapatan jasa tenaga, jasa pekerjaan, jasa informasi, jasa pelatihan, jasa teknologi, satuan kerja

Pemerintah Daerah (SKPD);

e. pendapatan Pelayanan Pertanahan SKPD; danf. pendapatan jasa lainnya SKPD.

Pasal 33PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e meliputi:a. pendapatan iuran dan denda yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;b. pendapatan dari perlindungan hutan dan konservasi alam yang menjadi kewenangan Pemerintah

Daerah;

c. pendapatan iuran menangkap/ mengambil/mengangkut satwa mengambil/mengangkut tumbuhan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;

d. pungutan izin pengusahaan pariwisata alam (PIPPA) yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;

e. pungutan masuk obyek wisata alam yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;

f. iuran hasil usaha pengusahaan pariwisata alam (IHUPA) yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;

g. pendapatan Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah; dan

h. pendapatan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan Pemerintah Daerah.

Pasal 34PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf f meliputi: a. hibah dan/atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang

menjadi hak Pemerintah Daerah; danb. hibah dalam bentuk natura yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana

alam atau wabah penyakit yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.

Pasal 35

PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf g meliputi:a. pendapatan uang pendidikan;b. pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan;

c. pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik dan;d. pendapatan pendidikan dan pelatihan lainnya.

Pasal 36PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf h meliputi: a. pendapatan penjualan hasil pertanian, kehutanan, dan perkebunan; b. pendapatan penjualan hasil peternakan dan perikanan;c. pendapatan penjualan informasi, penerbitan, film, survey, pemetaan, dan hasil cetakan lainnya;

Page 86: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1516

d. pendapatan penjualan dokumen-dokumen pelelangan;e. pendapatan penjualan lainnya; f. pendapatan dari Pemindahtanganan Barang Milik Daerah (BMD);g. pendapatan penjualan rumah, gedung, bangunan, dan tanah milik daerah;h. pendapatan dan penjualan Peralatan dan Mesin; i. pendapatan dari Pemanfaatan BMD;j. pendapatan sewa tanah, gedung, dan bangunan milik daerah;k. pendapatan sewa peralatan dan mesin milik daerah;l. pendapatan sewa jalan, irigasi, dan jaringan milik daerah;m. pendapatan sewa dari pemanfaatan BMD lainnya;n. pendapatan dari penerimaan kembali tahun anggaran yang lalu; o. penerimaan kembali belanja pegawai Pemerintah Daerah tahun anggaran yang lalu;p. penerimaan kembali belanja lainnya Hibah tahun anggaran yang lalu q. penerimaan kembali belanja lainnya tahun anggaran yang lalu; r. pendapatan pelunasan piutang daerah;s. pendapatan pelunasan piutang daerah non-bendahara; t. pendapatan pelunasan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh Pemerintah Daerah (tuntutan

ganti rugi, TGR);u. penerimaan kembali persekot/ uang muka gaji; danv. pendapatan lain-lain dan pendapatan anggaran lain-lain yang tertuang dalam APBD.

Pasal 37PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf i meliputi:a. pendapatan jasa layanan umum daerah;b. pendapatan penyediaan barang dan jasa Pemerintah Daerah kepada masyarakat;c. pendapatan jasa pelayanan tenaga, pekerjaan, informasi, pelatihan, dan teknologi yang

diselenggarakan oleh SKPD;d. pendapatan jasa penyelenggaraan telekomunikasi, yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;e. pendapatan jasa layanan pemasaran yang dilaksanakan oleh SKPD;

f. pendapatan Penyediaan Barang yang dilaksanakan oleh SKPD;g. pendapatan jasa penyediaan barang dan jasa lainnya yang dilaksanakan oleh SKPD;h. pendapatan dan pengelolaan wilayah/kawasan tertentu yang menjadi kewenangan Pemerintah

Daerah;i. pendapatan dan pengelolaan kawasan lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah;j. pengelolaan dana khusus untuk masyarakat yang dilaksanakan oleh SKPD;k. pendapatan investasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;l. pendapatan Pengelolaan Dana Khusus lainnya;m. pendapatan hasil kerja sama BLUD;n. pendapatan hasil kerja sama dengan perorangan;o. pendapatan hasil kerja sama dengan lembaga/badan usaha;p. pendapatan BLUD lainnya.

Pasal 38Jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j meliputi:(1) Jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pasar serta dapat dinikmati oleh orang

pribadi atau badan, disesuaikan dengan kewenangan, dan jasa/pelayanan yang dimiliki Pemerintah Daerah, sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Page 87: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1517

(2) Jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan disesuaikan dengan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundangan.

(3) Jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan disesuaikan dengan kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundangan.

(4) Rincian penggolongan, objek, jenis dan tarif PDBP, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam undang-undang yang mengatur retribusi daerah dan peraturan perundangan lainnya.

Pasal 39(1) Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang

memiliki karakteristik dan berorientasi pasar, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh tingkat pengembalian biaya layanan dan keuntungan yang layak.

(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

(3) Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan pelayanan yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, efektifitas pengendalian atas pelayanan yang diberikan serta keberlanjutan pelayanan yang bersangkutan.

(4) Prinsip dan sasaran dalam penentuan tarif PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dampak negatif dari pelaksanaan pemberian izin (eksternatitas negatif) dan upaya penghindaran rente ekonomi (rent seeking).

(5) Tarif PDBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.

(6) Penetapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 40(1) Tarif atas jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditetapkan dengan mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut; a. dampak pengenaan terhadap investasi dan kegiatan usaha;b. penghindaran ekonomi biaya tinggi karena adanya beban pengenaan yang berlebihan,

tumpang-tindih pungutan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah;

c. penghindaran rintangan arus barang, jasa, modal, dan mobilitas penduduk antar daerah;

d. penghindaran rente ekonomi (rent seeking);e. mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam rangka melindungi kelompok masyarakat

berpendapatan rendah;f. efektifitas pelayanan yang berkelanjutan; dang. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah Daerah, pengawasan di lapangan, penegakan

hukum, dan penatausahaan.

(2) Penetapan tarif atas jenis PDBP berdasarkan pilihan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah yang menetapkan jenis PDBP yang bersangkutan.

BAB VI

PENGELOLAAN PDBP

Pasal 41(1) Semua PDBP secepatnya harus disetor ke Rekening Kas Daerah.(2) Semua PDBP dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Page 88: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1518

Pasal 42(1) Setiap SKPD yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan perolehan pendapatan

yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya.(2) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetor seluruhnya ke Kas Daerah pada

waktunya yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah.(3) Penerimaan SKPD tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.

Pasal 43(1) Dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sebagian

dana dari suatu jenis PDBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PDBP tersebut oleh SKPD yang bersangkutan.

(2) Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:a. penelitian dan pengembangan teknologi;

b. pelayanan kesehatan;c. pendidikan dan pelatihan;d. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dane. badan layanan umum daerah yang dibentuk untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat

dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan PDBP sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 44(1) Jumlah PDBP yang Terutang ditentukan dengan cara:

a. ditetapkan oleh SKPD; atau b. dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.

(2) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak diterimanya Surat Ketetapan PDBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Wajib Bayar dapat meminta rincian Surat Ketetapan PDBP yang terutang kepada SKPD yang menerbitkan Surat Ketetapan PDBP yang bersangkutan.

(3) Atas Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Bayar dapat menolak sama-sekali atau menyetujui sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak yang diterbitkan oleh SKPD yang bersangkutan.

(4) Penolakan atau persetujuan sebagian dari jumlah Surat Ketetapan Penerimaan Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan melalui pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

(5) Jenis PDBP yang jumlah terutangnya ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 45

(1) Penetapan jumlah PDBP yang Terutang oleh SKPD terhadap Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) menjadi kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya PDBP bersangkutan.

(2) Ketentuan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PDBP.

Pasal 46

(1) Wajib Bayar membayar jumlah PDBP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(2) SKPD atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran PDBP yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan.

Pasal 47

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan penundaan pembayaran, dan penyetoran PDBP yang Terutang diatur dengan Peraturan Daerah.

Page 89: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1519

Pasal 48(1) SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat(1), dan Wajib Bayar untuk jenis

PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), wajib mengadakan pencatatan yang dapat menyajikan keterangan yang cukup untuk dijadikan dasar penghitungan PDBP.

(2) Pencatatan wajib diselenggarakan di Indonesia dalam satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam Bahasa Indonesia.

(3) Buku, catatan dan dokumen lainnya yang menjadi dasar perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.

(4) Wajib bayar untuk jenis PDBP dapat menyelenggarakan pencatatan dalam satuan mata uang asing dan bahasa asing setelah mendapat persetujuan Kepala Daerah.

BAB VIIPEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 49(1) Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), wajib

menyelenggarakan pembukuan.(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Bayar badan atau orang pribadi dengan kriteria tertentu yang diatur oleh SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut PDBP yang bersangkutan.

(3) Pembukuan dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan wajib bayar yang sebenarnya.

(4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,satuan mata uang Rupiah atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut PDBP yang bersangkutan.

(5) Terhadap Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) atas permintaan SKPD yang berwenang menagih dan/atau memungut penerimaan bukan pajak yang bersangkutan dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.

(6) Terhadap SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atas permintaan Kepala Daerah dapat dilakukan pemeriksaan khusus oleh instansi yang berwenang.

(7) Permintaan SKPD untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didasarkan pada:a. hasil pemantauan SKPD terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan;

b. laporan dari pihak ketiga; atauc. permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran PDBP yang Terutang

(8) Dalam rangka pemeriksaan, SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) sebagai pihak yang diperiksa wajib:a. memperlihatkan dan atau meminjamkan, catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan

serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran PDBP yang Terutang;b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan

membantu kelancaran pemeriksaan; dan atauc. memberikan keterangan yang diperlukan.

(9) Buku, catatan, dan dokumen serta data, informasi dan keterangan lain sebagai yang dimaksud pada ayat (8), wajib dipenuhi oleh wajib bayar paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

(10) Dalam hal wajib bayar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sehingga tidak dapat dihitung besarnya kewajiban pembayaran PDBP, kewajiban pembayaran PDBP tersebut dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan perundangan PDBP yang bersangkutan.

(11) Dalam hal pejabat SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 90: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1520

Pasal 50(1) Dalam hal diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan, pihak lain

yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa.

(2) Dalam hal pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 51(1) Hasil pemeriksaan terhadap SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (8) disampaikan

kepada Kepala Daerah, dan Kepala Daerah memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada SKPD yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut.

(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (8) terhadap Wajib Bayar untuk PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) disampaikan kepada SKPD untuk penetapan jumlah terutang PDBP Wajib Bayar yang bersangkutan.

Pasal 52

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) terdapat kekurangan pembayaran jumlah PDBP yang Terutang, Wajib Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut.

(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) terdapat kelebihan pembayaran jumlah PDBP yang Terutang, jumlah kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah PDBP yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(3) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(4) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 53

Ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban pembukuan dan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB VIIIKEBERATAN DAN GUGATAN

Pasal 54(1) Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dapat mengajukan

Keberatan secara tertulis atas penetapan jumlah PDBP yang Terutang dalam bahasa Indonesia kepada SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya hasil pembahasan akhir pemeriksaan, diterimanya keputusan penetapan kewajiban pembayaran PDBP yang bersangkutan.

(2) Dalam hal Wajib Bayar mengajukan keberatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar wajib melunasi kewajiban pembayaran PDBP yang terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Bayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan.

(3) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelitian atas keberatan yang diajukan setelah Surat Keberatan diterima secara lengkap.

(4) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan setelah surat keberatan diterima secara lengkap, SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan atas Keberatan.

Page 91: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1521

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat, dan SKPD yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberi suatu penetapan, Keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan.

(6) Dalam hal Keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran terhadap jumlah PDBP yang Terutang yang tercantum dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(7) Dalam hal Keberatan dikabulkan dan ternyata terdapat kelebihan pembayaran jumlah PDBP yang Terutang yang tercantum dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah PDBP yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(8) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(9) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua perseratus) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(10) Dalam hal wajib bayar tidak setuju terhadap Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengajukan Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian Keberatan dan Gugatan diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB IX

JENIS, RINCIAN OBJEK DAN KEWENANGANPEMUNGUTAN PENERIMAAN DAERAH BUKAN

PAJAK PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA

Pasal 55(1) Pembagian urusan pemerintahan terkait dengan pemungutan jenis PDBP yang memiliki

karakteristik dan berorientasi pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf j, dan Pasal 39 ayat (1), untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang menjadi kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

(2) Pembagian urusan pemerintahan yang terkait dengan pemungutan jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 39 ayat (3), untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

(3) Pembagian urusan pemerintahan yang terkait dengan pemungutan jenis PDBP yang memiliki karakteristik dan berorientasi pada perizinan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (4), untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

BAB XKETENTUAN PIDANA

Pasal 56(1) Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), yang karena

kealpaannya:a. tidak menyampaikan laporan PPBP yang Terutang; ataub. menyampaikan laporan PPBP yang Terutang tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau

melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah PPBP yang Terutang.

Page 92: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1522

Pasal 57(1) Wajib Bayar untuk jenis PPBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang terbukti dengan

sengaja:a. tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah PPBP yang Terutang;b. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada waktu

pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

c. tidak menyampaikan laporan PPBP yang Terutang; ataud. menyampaikan laporan PPBP yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau

melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah PPBP yang Terutang.

(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang PPBP sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.

Pasal 58Pihak lain yang menurut Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 59Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), yang karena kealpaannya:a. tidak menyampaikan laporan PDBP yang Terutang; atau sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Pemerintah Daerah, dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah PDBP yang Terutang.

Pasal 60(1) Wajib Bayar untuk jenis PDBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) yang terbukti dengan

sengaja:a. tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah PDBP yang Terutang;b. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada

waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.

c. tidak menyampaikan laporan PDBP yang Terutang; ataud. menyampaikan laporan PDBP yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau

melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan pendapatan daerah, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah PDBP yang Terutang.

(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang PDBP sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.

Pasal 61Pihak lain yang menurut Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 93: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1523

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 62(1) Semua ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan secara langsung dengan dengan

Undang-Undang ini wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini.

(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 63

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal …2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd …Diundangkan di Jakarta pada tanggal …2013MENTERI… REPUBLIK INDONESIA Ttd…

Page 94: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1524

PENJELASANATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN 2013TENTANG

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAKI. Umum

Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-empat, menegaskan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa dan untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”.

Dalam upaya mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, telah terjadi perubahan paradigma pungutan dalam mendanai belanja APBN/APBD. Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam pendanaan tugas kenegaraan dan pembangunan serta mewujudkan kepastian hukum, rasa keadilan bagi masyarakat, dan memperkuat prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik sesuai best practices dalam pengelolaan keuangan yang tertuang dalam APBN/APBD, dalam rangka mewujudkan good governance. Sehubungan dengan hal tersebut, pungutan PNBP tidak boleh lagi didasarkan pada peraturan perundang-undangan selain oleh ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Acuan terhadap undang-undang ini kemungkinan besar tidak betul karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan namanya isinya tentunya tidak mengatur pemungutan PNBP.

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan Negara baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun oleh Pemerintah Daerah di luar penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan Pemerintah yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Objek Kehutanan dan Pertambangan, Bea Meterai, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan dan penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari Pajak Daerah yaitu, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok dan Pajak kabupaten/kota yang terdiri dari, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Selain itu, penerimaan Negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian PNBP yang dirumuskan dalam Undang-undang ini mencakup segala penerimaan pemerintah pusat dan Penerimaan Asli Daerah di luar penerimaan perpajakan tersebut.

Ketentuan perundang-undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan PNBP yang berlaku selama ini khususnya Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang PNBP meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan suatu pungutan Negara/Daerah yang baik dan berkepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga mengakibatkan kekurangtertiban dan kerumitan dalam pengelolaan PNBP. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk membentuk Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagai pengganti Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. PNBP merupakan salah satu pilar APBN cukup menjanjikan dalam beberapa dasawarsa terakhir, meskipun capaian penerimaannya masih dibawah penerimaan perpajakan, namun prospek PNBP menunjukkan kinerja yang baik dalam beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa PNBP merupakan salah-satu sumber penerimaan negara/daerah yang stabil dan berkelanjutan sebagai pendukung APBN/APBD.

Undang-Undang PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat dan daerah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Khusus untuk sumber-sumber Penerimaan Daerah Bukan Pajak termasuk retribusi daerah yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sampai saat ini, masih banyak masyarakat yang belum memahami tentang PNBP. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya protes yang disampaikan masyarakat apabila dikenakan pungutan terhadap pelayanan yang mereka terima baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Terlebih, tidak semua pelayanan Pemerintah kepada masyarakat dikenakan pungutan. Hanya pelayanan-pelayanan tertentu saja yang dikenakan pungutan yang masuk kategori PNBP. Hal ini terkadang membingungkan masyarakat.

Selain keenam urusan pemerintahan tersebut, bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangannanya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Untuk mewujudkan pembagian kewengangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota, maka berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disusunlah kriteria yang meliputi

Page 95: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1525

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Hal tersebut tentunya akan membawa dampak perubahan kebijakaan mengenai kewenangan dalam pungutan Penerimaaan Negara Bukan Pajak, atau setidaknya perlu dilakukan pengaturan besarnya porsi PNBP untuk pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut karena ketentuan PNBP yang berlaku selama ini yaitu Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 adalah atas dasar sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang menganut sistem “sentralistik” sudah tidak sesuai dengan situasi sekarang dan tantangan di masa depan.

Pasca perubahan UUD Tahun 1945, telah membawa akibat perubahan terhadap peraturan perundangan dibawahnya meskipun hal ini tidak mutlak sifatnya. UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP adalah salah satu UU yang landasan berpijaknya berubah. Hal ini seperti terlihat dalam diktum mengingat butir 1 dari UU No.20 tahun 1997 tentang PNBP mengacu kedalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945, demikian juga pada butir 2 masih mengacu kepada Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 1968 (lembaran negara Tahun 1968 Nomor 53). Sejalan dengan hal tersebut di atas lahirnya beberapa undang-undang yang berkaitan dengan PNBP baik langsung maupun tidak langsung terdapat benang merah di antara berbagai perundangan tersebut. Perundangan tersebut antara lain UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dengan berpegang teguh pada prinsip meningkatkan kepastian hukum dan keadilan menciptakan sistem pengelolaan PNBP yang lebih sederhana, adil, transparan, akuntabel, berwawasan lingkungan, mampu mewujudkan sistem PNBP yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, maka arah dan tujuan perumusan Undang-Undang PNBP adalah:a. menuju kemandirian bangsa dalam pendanaan belanja APBN/APBD melalui optimalisasi sumber-

sumber PNBP dan ketertiban administrasi pengelolaan PNBP serta penyetoran PNBP ke Kas Negara/ Daerah;

b. lebih memberikan kepastian hukum, rasa keadilan bagi masyarakat, dan memperkuat prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang baik sesuai best practices dalam pengelolaan keuangan yang tertuang dalam APBN/APBD, dalam rangka mewujudkan good governance;

c. mengutamakan landasan peraturan perundangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan PNBP baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat guna meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta guna meningkatkan iklim usaha yang lebih kondusif dan kompetitif dalam bidang usaha;

d. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;

e. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan;

f. mengoptimalkan penerimaan yang berasal dari kekayaan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan isi dan semangat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

g. memperkuat basis penerimaan dalam negeri;h. meningkatkan disiplin dan tertib anggaran, agar semua PNBP dikelola dalam sistem APBN/APBD

dan harus terlebih dahulu disetorkan ke Kas Negara/Daerah;i. meningkatkan peranan PNBP baik dalam APBN maupun dalam APBD dengan senantiasa

mempertimbangkan kewajiban Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan pelayanan umum, pengendalian, pengawasan, penghindaran rente ekonomi (rent seeking), kegiatan eksploitasi kekayaan negara khususnya sumber daya alam melalui perizinan dan penyelenggaraan pembangunan; dan

j. dalam rangka pengelolaan PNBP dipertimbangkan pembagian urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan pusat, daerah provinsi, kabupaten dan kota berdasar prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi secara proporsional; dan

k. dalam menyelenggarakan PNBP harus berazaskan keterbukaan, profesionalitas, integritas, akuntabilitas, dan berorientasi pada kepentingan umum.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup JelasPasal 2Ayat (1)Kelompok Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak dalam Pasal ini mengakomodir berbagai sumber Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak yang tertuang dalam APBN, berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku. Ayat (1) huruf a.Bersumber dari Penerimaan Pemerintah dari penempatan dana pemerintah pada lembaga keuangan, perbankan, dan bukan perbankan, termasuk pendapatan premium obligasi negara dalam negeri/rupiah.Ayat (1) huruf b.Cukup Jelas.

Page 96: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1526

Ayat (1) huruf c.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf d.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf e.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf f.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf g.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf h.Penerimaan pendidikan pada ayat ini adalah segala penerimaan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga kementerian yang memungut biaya pendidikan berdasarkan peraturan perundangan.Ayat (1) huruf i.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf j.Cukup Jelas.Ayat (2)Pemerintah Pusat dapat menetapkan jenis-jenis PNBP selain yang ditetapkan dengan undang-undang, yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Pemerintah.

Ayat (3)Cukup Jelas

Pasal 3Huruf a.Cukup JelasHuruf b.Yang dimaksud dengan treasury single account (TSA) adalah sebuah rekening tunggal perbendaharaan (TSA) yang merupakan instrumen penting untuk mengkonsolidasikan dan mengelola sumber-sumber penerimaan pemerintah, sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan rekening kas negara dan meminimalkan biaya pengelolaan rekening kas negara. Di negara-negara dengan pengaturan perbankan yang terfragmentasi, pembentukan TSA harus mendapat prioritas dalam agenda reformasi pengelolaan keuangan negara. Hal ini telah dirintis dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.Huruf c.Cukup JelasHuruf d.Yang dimaksud dengan treasury national pooling adalah sistem yang digunakan untuk mengetahui posisi saldo konsolidasi dari seluruh rekening bendahara pengeluaran yang terdapat pada seluruh Kantor Cabang Bank Umum yang bersangkutan tanpa harus melakukan perpindahan dana antar rekening. Dalam pengelolaan treasury national pooling saldo seluruh Rekening Bendahara Pengeluaran di Bank Umum pada setiap akhir hari dikonsolidasikan dengan menggunakan treasury national pooling.

Huruf d. Cukup JelasHuruf e.Cukup Jelas

Pasal 4Cukup Jelas

Pasal 5Cukup Jelas

Pasal 6Huruf a.Yang dimaksud Instansi Pemerintah adalah Kementerian dan Lembaga Non-Kementerian.Huruf cc.Yang dimaksud dengan pendapatan jasa kepolisian lainnya adalah pelayanan instansi kepolisian lainnya yang dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, tidak termasuk penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan penerbitan surat keterangan lapor diri, yang menurut undang-undang ini tidak dikenakan biaya.

Pasal 7Cukup Jelas

Pasal 8Cukup Jelas

Pasal 9Huruf a.

Page 97: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1527

Cukup JelasHuruf b.Yang dimaksud dengan keadaan darurat antara lain bencana alam dan wabah penyakit yang diterapkan oleh pemerintah.

Pasal 10Pendapatan pendidikan yang bersumber dari penyelenggaraan pendidikan oleh kementerian dan lembaga negara non-kementerian yang masih dikenakan biaya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 11Cukup JelasPasal 12Cukup JelasPasal 13Ayat (1)Cukup JelasAyat (2)Kebijakan tarif atas jenis Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak, yang ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang terkait, harus mengikuti pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (1) undang-undang ini. Pilihan beberapa dasar pertimbangan yang harus diacu meliputi:a. dampak pengenaan terhadap investasi dan kegiatan usaha;b. penghindaran ekonomi biaya tinggi karena adanya beban pengenaan yang berlebihan, tumpang-tindih pungutan

antar instansi dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;c. penghindaran rintangan arus barang, jasa, modal, dan mobilitas penduduk antar daerah;d. penghindaran rente ekonomi (rent seeking);e. mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam rangka melindungi kelompok masyarakat berpendapatan

rendah;f. efektifitas pelayanan yang berkelanjutan; dang. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, dan penatausahaan.

Pasal 14Ayat (1)Yang dimaksud Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.Ayat (2)Cukup Jelas

Pasal 15Cukup Jelas

Pasal 16Cukup Jelas

Pasal 17Ayat (1)Cukup JelasAyat (2)Pemberian hak kepada wajib bayar untuk meminta rincian surat ketetapan PNBP dimaksudkan sebagai asas keterbukaan dalam pemungutan penerimaan PNBP.Ayat (3)Cukup JelasAyat (4)Cukup JelasAyat (5)Cukup JelasPasal 18Cukup Jelas

Pasal 19Cukup Jelas

Pasal 20Cukup Jelas

Pasal 21Cukup Jelas

Pasal 22Cukup Jelas

Pasal 23Ayat (1)

Page 98: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1528

Yang dimaksud dengan pihak lain pada ayat ini, antara lain, bank, akuntan publik, penilai (appraiser), notaris dan profesi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan Wajib Bayar. Ayat (2)Cukup Jelas

Pasal 24Cukup Jelas

Pasal 25Cukup Jelas

Pasal 26Cukup Jelas

Pasal 27Cukup Jelas

Pasal 28Ayat (1)Kelompok Penerimaan Daerah Bukan Pajak dalam Pasal ini mengakomodir berbagai sumber Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang tertuang dalam APBD, berdasarkan ketentuan perundangan. Ayat (1) huruf a.Bersumber dari Penerimaan Daerah dari penempatan dana pemerintah daerah pada lembaga keuangan, perbankan, dan bukan perbankan.Ayat (1) huruf b.Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pelaksanaanya antara lain diatur Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, termasuk didalamnya pembagian urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya alam antara lain kehutanan, dan energi dan sumber daya mineral. Urusan pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka tugas desentralisasasi yang menimbulkan hak pemerintah daerah berupa penerimaan daerah akan menjadi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam yang diatur dalam pasal ini. Ayat (1) huruf c.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf d.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf e.Cukup Jelas.Ayat (1) huruf f.Cukup JelasAyat (1) huruf g.Penerimaan pendidikan pada ayat ini adalah segala penerimaan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan oleh SKPD yang memungut biaya pendidikan berdasarkan peraturan perundangan, meliputi pendapatan uang pendidikan, pendapatan uang ujian masuk, kenaikan tingkat, dan akhir pendidikan, pendapatan uang ujian untuk menjalankan praktik, dan pendapatan pendidikan dan pelatihan lainnya.Ayat (1) huruf h.Cukup JelasAyat (1) huruf i.Cukup JelasAyat (1) huruf j.Yang dimaksud Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah bagian dari Penerimaan Daerah Bukan Pajak berupa pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan sesuai dengan ketentuan perundangan. Saat ini ketentuan perundangan yang mengatur retribusi daerah adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pasal 29Cukup Jelas

Pasal 30Cukup Jelas

Pasal 31Cukup Jelas

Pasal 32Cukup Jelas

Pasal 33Cukup Jelas

Pasal 34

Page 99: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1529

Cukup Jelas

Pasal 35Cukup Jelas

Pasal 36Cukup Jelas

Psal 37Cukup Jelas

Psal 38Cukup Jelas

Pasal 39Cukup Jelas

Pasal 40Ayat (1)Cukup JelasAyat (2)Dasar pertimbangan penetapan tarif Penerimaan Daerah Bukan Pajak secara tegas harus mencantumkan pilihan beberapa kebijakan penetapan tarif Penerimaan Daerah Bukan Pajak yang digariskan pada ayat (1) yaitu:a. dampak pengenaan terhadap investasi dan kegiatan usaha;b. penghindaran ekonomi biaya tinggi karena adanya beban pengenaan yang berlebihan, tumpang-tindih pungutan

antar instansi dan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;c. penghindaran rintangan arus barang, jasa, modal, dan mobilitas penduduk antar daerah;d. penghindaran rente ekonomi (rent seeking);e. mempertimbangkan aspek keadilan, terutama dalam rangka melindungi kelompok masyarakat berpendapatan

rendah;f. efektifitas pelayanan yang berkelanjutan; dang. biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, dan penatausahaan.

Pasal 41Cukup Jelas

Pasal 42Cukup Jelas

Pasal 43Cukup Jelas

Pasal 44Cukup Jelas

Pasal 45Cukup Jelas

Pasal 46Cukup Jelas

Pasal 47Cukup Jelas

Pasal 48Cukup Jelas

Pasal 49Cukup Jelas

Pasal 50Cukup Jelas

Pasal 51Cukup Jelas

Pasal 52Cukup Jelas

Pasal 53Cukup Jelas

Page 100: keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 36

1530

Pasal 54Cukup Jelas

Pasal 55Pembagian urusan pemerintahan yang terkait dengan pemungutan jenis PDBP antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota harus mengacu pada pembagian urusan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pelaksanaanya.

Pasal 56Cukup Jelas

Pasal 57Cukup Jelas

Pasal 58Cukup Jelas

Pasal 59Cukup Jelas

Pasal 60Cukup Jelas

Pasal 61Cukup Jelas

Pasal 62Cukup Jelas

Pasal 63Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR…