Upload
laura-estelia
View
90
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi 1
BAB I
Pendahuluan 2
BAB II
Anatomi dan Fisiologi 6
BAB III
TUMOR GANAS RONGGA MULUT 28
BAB IV
TUMOR GANAS HIDUNG dan SINONASAL 50
BAB V
TUMOR GANAS NASOFARING 66
BAB VI
TUMOR GANAS LARING 82
BAB VII
TUMOR GANAS TELINGA 88
BAB VIII
KESIMPULAN 100
Daftar pustaka 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah keganasan dibidang THT –KL sangat luas menarik dalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Selain THT kepala dan leher telah menjadi perhatian para
ahli, dua jenis kanker yang paling umum dibidang kepala dan leher adalah kanker rongga
mulut dan kanker orofaring. Rongga mulut dan orofaring, bersama dengan bagian lain dari
kepala dan leher, memberikan kontribusi pada kemampuan untuk mengunyah, menelan,
bernapas, dan berbicara. Rongga mulut termasuk bibir, mukosa bukal , gingival, dua pertiga
bagian depan lidah, dasar mulut di bawah lidah, palatum durum, dan trigonum retromolar .
Orofaring dimulai dimana rongga mulut berhenti. Ini termasuk pallatum mole, dinidng faring
posterior, tonsil dan pangkal lidah. Kanker dimulai ketika sel-sel menjadi abnormal dan
berkembang biak tanpa kendali atau perintah. Sel-sel ini membentuk suatu pertumbuhan
jaringan, yang disebut tumor. Suatu tumor dapat jinak atau ganas. Sel-sel kanker dapat
menyerang jaringan di dekatnya dan menyebar ke bagian lain dari tubuh secara
perkontuinitatum, aliran darah dan sistem limfatik tubuh. Kanker mulut dan oropharyngeal
adalah salah satu jenis utama kanker di daerah kepala dan leher, pengelompokan yang disebut
kanker kepala dan leher. Meskipun kanker mulut dan kanker orofaringeal yang umumnya
digabungkan dengan menggunakan satu kalimat, penting untuk mengidentifikasi lokasi
kanker dimulai karena ada perbedaan perlakuan antara dua lokasi. Lebih dari 90% dari
kanker mulut dan oropharyngeal adalah karsinoma sel skuamosa, yang berarti mulai di sel
epitel skuamosa pada lapisan mulut dan tenggorokan. Walaupun ada perkembangan dalam
mendiagnosa dan terapi, keabnormalan dan kematian yang diakibatkan kanker mulut masih
tinggi dan sudah lama merupakan masalah didunia. Beberapa alasan yang dikemukakan
untuk ini adalah terutama karena kurangnya deteksi dini dan identifikasi pada kelompok
resiko tinggi, serta kegagalan untuk mengontrol lesi primer dan metastase nodus limf
servikal.Pada umumnya, untuk mendeteksi dini proses keganasan dalam mulut dapat
dilakukan dengan melalui anamnese, pemeriksaan klinis dan diperkuat oleh pemeriksaan
tambahan untuk menunjang diagnosis.
Selain Keganasan pada rongga mulut dan orofaring, tumor ganas untuk bagian THT juga
dapat berasa; dari daerah lain sperti Karsinoma Nasofaring. Karsinoma Nasofaring
2
disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang
berperan untuk terjadinya Karsinoma Nasofaring ini adalah faktor makanan seperti
mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar.
Faktor lain adalah non-makanan, seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,
dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya Karsinoma
Nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Ebstein-Barr dapat menyebabkan Karsinoma
Nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protei-protein laten
pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini, sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus didalam sel hospes. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda
(marker) dalam mendiagnosa Karsinoma Nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A,
dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita nasofaring
LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien Karsinoma Nasofaring.
Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli
bahwa EBV DNA didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring dapat dipakai sebagai bio-
marker pada karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara Karsinoma Nasofaring dan
infeksi virus Ebstein-barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari berbagai bagian yang
berbeda di dunia ini. Pada pasien yang Karsinoma Nasofaring dijumpai peninggian titer
antibodi Anti-EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya mengemukakan
keberadaan 3EBV-DNA dan EBNA di dalam sel penderita Karsinoma Nasofaring. Jadi oleh
karena diduga eratnya hubungan antara antibody Anti-EBV dan faktor geetik dengan
terjadinya Karsinoma Nasofaring, maka pada penelitian ini juga melakukan pemeriksaan
serologi yaitu antibodi anti-EBV (EBNA-1) pada pasien-pasien yang telah di diagnosa
menderita Karsinoma Nasofaring melalui pemeriksaan histopatologi sebelumnya dan pasien
yang di periksa ini adalah pasien dengan etnis batak dengan tujuan untuk mengetahui apakah
Karsinoma Nasofaring pada etnis batak juga disebabkan oleh infeksi EBV. Karsinoma
Nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena letaknya sangat
tersembunyi, dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang utnuk berobat.
Biasanya pasien baru datang berobat bila gejala sudah mengganggu dan tumor tersebut telah
mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe servical. Hal ini merupakan
keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek.
Pemeriksaan terhadap Karsinoma Nasofaring ilakukan dengan cara anamnesa penderita
3
dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoscopy, radiologi, histopatologi,
imunohistokimia,
Assay atau disingakat dengan ELISA. Oleh karena beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring dijumpai EBNA-1, maka sebaiknya
pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke Karsinoma Nasofaring dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti-EBV (EBNA-1).
Penderita Karsinoma Nasofaring tersebar diseluruh dunia dan terdapat daerah endemik
di China selatan. Jenis Karsinoma ini merupakan bentuk keganasan ketiga yang dijumpai
pada
pria dengan insidensi di China Selatan berkisar antara 15-50% pertahun. Di Indonesia
Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas dibidang THT. Dan usia
terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas. Prevalensi Karsinoma Nasofaring di
indonesia sebesar 4,7/100.000 per-penduduk per-tahun. Dibagian THT RSUD Dr. Soetomo
(selama tahun 2000-2001) poliklinik onkologi melaporkan penderita baru Karsinoma
Nasofaring berjumlah 623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan perempuan.
Di bagian THT RSUP H. Adam Malik, selama 1991-1996 mendapat kasus 160 tumor ganas,
94 kasus (58,81%) merupakan Karsinoma Nasofaring.
Penyakit-penyakit jaringan lunak rongga mulut telah menjadi perhatian serius oleh para ahli
terutama dengan meningkatnya kasus kematian yang diakibatkan oleh kanker yang ada di
rongga mulut terutama sekali pada negara-negara yang sedang berkembang. Kanker rongga
mulut merupakan kira-kira 5% dari semua keganasan yang terjadi pada kaum pria dan 2%
pada kaum wanita (Lynch,1994). Telah dilaporkan bahwa kanker rongga mulut merupakan
kanker utama di India khususnya di Kerala dimana insiden rata-rata dilaporkan paling tinggi,
sekitar 20% dari seluruh kanker (Balaram dan Meenattoor,1996). Walaupun ada
perkembangan dalam mendiagnosa dan terapi, keabnormalan dan kematian yang diakibatkan
kanker mulut masih tinggi dan sudah lama merupakan masalah didunia. Beberapa alasan
yang dikemukakan untuk ini adalah terutama karena kurangnya deteksi dini dan identifikasi
pada kelompok resiko tinggi, serta kegagalan untuk mengontrol lesi primer dan metastase
nodus limfe servikal (Lynch,1994; Balaram dan Meenattoor,1996). Untuk mengatasi masalah
yang ditimbulkan oleh kanker mulut, WHO telah membuat petunjuk untuk mengendalikan
kanker mulut, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang. Pengendalian
tersebut berdasarkan pada tindakan pencegahan primer dimana prinsip utamanya mengurangi
dan mencegah paparan bahan-bahan yang bersifat karsinogen. Pendekatan kedua adalah
melalui penerapan pencegahan sekunder, yaitu berupa deteksi dini lesi-lesi kanker
4
dan prakanker rongga mulut (Subita,1997). Folson dkk, 1972, memperkirakan bahwa 80%
dari semua kasus kematian akibat kanker rongga mulut dapat dicegah dengan deteksi dini
keganasan dalam mulut (Folson dkk,1972).
Pada umumnya, untuk mendeteksi dini proses keganasan dalam mulut dapat dilakukan
dengan melalui anamnese, pemeriksaan klinis dan diperkuat oleh pemeriksaan tambahan
secara laboratorium. Dalam makalah ini akan dikemukakan langkah-langkah yang dapat
dilakukan oleh dokter gigi untuk mendeteksi dini proses keganasan dalam mulut. Dengan
demikian diharapkan dokter gigi dapat menemukan lesi-lesi yang dicurigai sebagai proses
keganasan lebih awal sehingga prognosis kanker rongga mulut lebih baik.
5
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1. Anatomi dan Fisiologi Telinga
Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 1,2,3,5
2.1.1 Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus)
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat
= Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.
Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh
kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah
mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang
berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan
yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan
mencegah infeksi.
6
Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 1,2,3
2.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )
Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap
bundar (round window) dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.
7
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam
4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak
lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-
depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat
pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria
yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat
dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.
maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat
daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam
telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
Gambar 2.2 : Membran Timpani 1,2,3
Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan
8
makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang
baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba
auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga
menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran
tympani.
2.1.3 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.
9
Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam 1,2,3,5
Koklea
bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya
35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya.
Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam
koklea bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri
dari lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis
membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian
atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat
ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani
berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea
kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan
kedua lamina ini, terbentuk saluran yang dibatasi oleh:
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea
10
saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi
endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria
vaskularis, tempat terbentuknya endolimf.
Gambar 2.4 : Koklea 2,3
Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana
basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari
basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan
frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh
dibagian atas (ujung) dari koklea.
GAMBAR 2.5 : Organ korti 2,3
Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.
Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada
alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang
mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions.
Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan
penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.
Vestibulum
11
Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi
perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan
dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam
vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus.
Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan
perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang
berakhir pada suatu lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os
piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.
Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang
yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada
utrikulus, dinamakan macula utrikuli.
Kanalis semisirkularisanlis
Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu
sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam
perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan
tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).
Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan
tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis
semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung
yang tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan
bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis.
Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.
Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat
sel-sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.
Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis
yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai
organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla
sehingga dapat menutup seluruh ampulla.
2.1.4 Fisiologi pendengaran 1,2,3,4,5
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
12
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4
2.2 Anatomi dan fisiologi hidung
2.2.1 Anatomi hidung
13
Gambar 2.7 : Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar
menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat
dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan,
dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah
adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.6
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks
disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu
dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian
tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan kolumela
dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan
dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela
adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior
dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung.6
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os
internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang,
14
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea
dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.6
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang
letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci
dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.6
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal
terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke
fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum
nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana
mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung
sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina
cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.6
Perdarahan hidung
15
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri
karotis eksterna.
Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang
disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan
mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persyarafan hidung
16
Gambar 2.9 :PersarafanHidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus
memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus
etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis
anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama
arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi
cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari
nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media.
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.
2.2.2 Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel
olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel
17
syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan
melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan.
Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -90% disaring didalam hidung
dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai
jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu,
(5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.7
2.2.3 Sistem Mukosiliar
2.2.3.1. Histologi mukosa6
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri
dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis,
lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.
Gambar2.10 :gambaranhistologimukosahidung
2.2.3.2 Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks
pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel
yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang
menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal
dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan
kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan
18
terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada
tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari dua
mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-
masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan
sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini.. Kemudian
silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery
stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-
olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak,
tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan
bahan elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan diameternya
0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar
bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai
300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.
Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel.
Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel.
Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang
lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng.
2.2.3.3. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua
19
lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut
lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah lapisan superfisial
yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.
Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang
menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi
dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi
di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus.
Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh
gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada
temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan
virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang
perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan
mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau
terhenti sama sekali (Sakakura 1994).
2.2.3.4. Membrana basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di
bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan
fibril retikulin.
2.2.3.5. Lamina propria
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial,
lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina
propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar,
pembuluh darah dan saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu
pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah
20
hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila
mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
2.2.3.6 Transportasi mukosiliar
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada
palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung.
Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia
yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim
(muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat
mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang
berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada
sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior
bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia
dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum
diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting
untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang
terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan
mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus
dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus
seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah
secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan
kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,
sekitar 1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
21
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
2.2.3.7 Pemeriksaan fungsi mukosiliar
Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan
menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut
seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black,
colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum
albumin, teflon, bismuth trioxide.
Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini
telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak
dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau
minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah
mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita
diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita
merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai
merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi mukosiliar atau waktu
sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat di orofaring.
Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan
waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis,
waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai
rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal
pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria.
2.3 Anatomi dan fisiologi tenggorokan
2.3.1 Anatomi Tenggorokan8
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari
faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada
makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak di
depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus
fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara
mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.
22
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole,
dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat garis
tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan
cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang.
Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke
leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah
depan saraf-saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis
melekat pada kelenjar parotis.
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring adalah suatu
kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit
dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus
setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana,ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring,
sedangkan dengan laring dibawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah
berhubungan dengan esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih empat belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring
(hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain. Nasofaring
membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior, adenoid terletak pada
mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius kartilaginosa terdapat didepan
lekukan yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor velipalatini, merupakan otot yang
menegangkan palatum dan membuka tuba eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan tonsila,
arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari arkus faring
posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu menutupnya orofaring
bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.
23
2.3.1.1 Vaskularisasi.8
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama
berasal daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang
palatine superior.
2.3.1.2 Persarafan8
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan
serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang
ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung
oleh cabang n.glossofaringeus.
2.3.1.3 Kelenjar Getah Bening8
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media dan
inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran limfe
inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
2.3.1.4. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid
pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong
rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare,
yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial
dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius. 9
24
Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya
2.3.1.5 Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.9
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan
otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan
n.vagus.9
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat
suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.9
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya.9
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.9
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus.
Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri
dan sisa makanan.9
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
25
tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil
a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.9
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.9
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat
meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.9
2.3.1.6 Laringofaring (hipofaring)9
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral
terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika
dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas
posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid
dan di bawahnya terdapat muara esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga ³ kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa
orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk
omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis
dan ke esofagus.2 Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan
laring pada tindakan laringoskopi langsung.
2.3.2 Fisiologi Tenggorokan
26
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan untuk
artikulasi.8
Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke
faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan
palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang
hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah
aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan
kebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media
dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis
inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya
berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.9
Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring.
Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring.
Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring
dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring
superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum
mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2
macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring
(bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin
kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.9
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi
ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.9
BAB III
27
TUMOR GANAS RONGGA MULUT DAN OROFARING
3.1. Definisi
Kanker mulut dan oropharyngeal adalah salah satu jenis utama kanker di daerah kepala
dan leher, pengelompokan yang disebut kanker kepala dan leher. Meskipun kanker mulut dan
kanker orofaringeal yang umumnya digabungkan dengan menggunakan satu kalimat, penting
untuk mengidentifikasi lokasi kanker dimulai karena ada perbedaan perlakuan antara dua
lokasi.
3.2. Patologi
Karsinoma sel skuamosa timbul sebagai lesi ulseratif dengan ujung yang nekrotik, biasanya
diseskelilingi oleh reaksi radang. Jika tumor tetap sebagai lesi ulseratif, seringkali dikelilingi
daerah leukoplakia jenis pra-maligna. Pada awalnya tumor menyebar sepanjang permukaan
mukosa, akhirnya meluas ke dalam jaringan lunak dibawahnya. Adenokarsinoma terjadi pada
kelenjar liur mayor maupun minor yang terletak pada batas mukosa atau segera pada daerah
submukosa. Klasifikasi tumor-tumor kelenjar liur yang biasa terjadi termasuk :
1. Karsinoma sel asini
2. Karsinoma adenoid kisitik
3. Adenokarsinoma
4. Karsinoma mukoepidermoid
5. Karsinoma yang timbul dalam adenoma pleomorfik
6. Tumor campur ganas
Dapar bermetastasis secara perkontuinitatum, limfogen dan hematogen. Bertentangan
dengan kanker sel skuamosa, yang biasanya ulseratif, adenokarsinoma umumnya submukosa
dengan gambaran massa yang licin, keras, bulat yang mengalami ulserasi hanya pada akhir
perjalanan penyakit atau setelah biopsi. Tampaknya tidak ada hubungan dengan penggunaan
tembakau dan alkohol. Sebenarnya adenokarsinoma dpat terjadi pada berbagai tempat
dimana karsinoma sel skuamosa terjadi, tetapi adenokarsinoma lebih sering terjadi pada
kelenjar liur mayor, pertemuan pallatum molle dan pallatum durum, atau dalam sinun
paranasal atau bagian lidah yang dapat bergerak aktif.
Limfoma ganas dapat terjadi sebagai keganasan primer di kepala dan leher. Limfoma
baiasanya diklasifikasikan hodgkin dan non-hodgkin. Kategorasi limfoma hodgkin dan non-
hodgkin lebih kompleks dan tergantung pada sifat imunologik dan morfologik.
3.3. Faktor resiko
28
Pada umumnya penyebab dari suatu keganasan tidak dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya. Namun ada beberapa penilitian mengemukakan faktor-faktor yang
dapat meningkatkan terjadinya keganasan pada rongga mulut dan oropharyng.
1. Merokok dan mengunyah tembakau
Resiko terajdinya keganasan terkait dengan berapa lama dan berapa banyak
kontak dengan selaput lendir mukosa mulut. Asap tembakau dari rokok, cerutu, atau pipa
dapat menyebabkan kanker dimana saja di mulut atau tenggorokan, serta dapat
menyebabkan kanker dari laring (pita suara), paru-paru, kerongkongan, ginjal, kandung
kemih, dan organ lainnya. Merokok menngunakan pipa adalah risiko sangat signifikan
untuk kanker di daerah bibir yang menyentuh batang pipa. Mengunyah tembakau resiko
tinggi terkait dengan kanker pipi, gusi, dan permukaan bagian dalam bibir.
2. Minum alkohol
Resiko keganasan rongga mulut dan oropharyng meningkat pada perokok dan
minum alkohol.
3. Infeksi Human Pappiloma Virus
Kebanyakan jenis HPV menyebabkan kutil pada berbagai bagian tubuh, tetapi
beberapa tipe HPV (seperti HPV16) terkait dengan tertentu kanker, termasuk kanker
serviks dan kanker oral dan orofaringeal. Infeksi HPV menyebar terutama melalui kontak
seksual (oral seks). Infeksi HPV sering ditemukan pada kanker orofaring (terutama
tonsil) dan jarang pada kanker rongga mulut. Kanker mulut dan orofaringeal berkaitan
dengan infeksi HPV cenderung mengenai pada usia lebih muda dan cenderung perokok
dan peminum alkohol. Infeksi HPV dari mulut dan tenggorokan tidak memiliki gejala,
dan hanya persentase yang sangat kecil menyebabkan kanker oropharyng tanpa disertai
dengan faktor resiko yang lainnya.
4. Terpapar sinar Ultraviolet (UV)
Sinar matahari adalah sumber utama dari sinar UV bagi kebanyakan orang.
Kanker bibir lebih umum pada orang yang memiliki pekerjaan di luar ruangan kontak
yang terlalu lama sinar matahari.
5. Diet rendah gizi
Beberapa studi telah menemukan bahwa diet rendah buah-buahan dan sayuran
adalah terkait dengan peningkatan risiko kanker rongga mulut dan orofaring.
6. Sistim imun yang lemah
Kanker rongga mulut dan oropharyngeal yang lebih umum pada orang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Sistem kekebalan tubuh yang lemah dapat
29
disebabkan oleh penyakit sudah ada sejak lahir, acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS), dan obat-obatan tertentu (seperti yang diberikan setelah transplantasi organ).
7. Jenis kelamin
Kanker oropharyngeal sekitar dua kali lebih umum pada pria daripada wanita. ini
mungkin karena laki-laki lebih cendenrung untuk menggunakan tembakau dan alkohol.
dan dalam beberapa waktu terakhir ini infeksi HPV terkait kanker oropharing terjadi pada
pria muda.
8. Usia
Kanker orofaring biasanya terjadi dalam kurun waktu yang lama untuk
berkembang menjadi suatu keganasan, sehingga tidak umum pada orang muda.
Kebanyakan pertama kali diketahui adanya kanker pada usia lebih dari 55. Terkait
dengan infeksi HPV cenderung menyerang pada usia yang lebih muda.
3.4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat diperkirakan tahun ini 39.400 orang dewasa (27.710 pria dan 11.690
wanita) didiagnosis dengan kanker mulut atau orofaringeal. Diperkirakan bahwa angka
kematiannya 7.900 (5.460 laki-laki dan 2.440 perempuan) dari penyakit ini.
Tingkat kanker mulut dan orofaringeal lebih tinggi dua kali pada laki-laki dari
perempuan. Kanker rongga mulut sebagai kanker yang paling umum di antara pria, mungkin
karena faktor resiko pada laki-laki lebih tinggi.
Jenis yang paling umum untuk kanker pada rongga mulut adalah: lidah sekitar 25%
kasus; tonsil 10% sampai 15%, bibir 10% sampai 15%; kelenjar ludah minor 10% untuk
15%, dan sisanya terjadi pada gusi dan dasar mulut.
3.5. Patosifiologi
Banyak teori yang mengemukakan mengenai terjadinya suatu penyakit keganasan pada
rongga oropharyng. Beberapa faktor risiko, seperti tembakau atau penggunaan alkohol berat,
dapat menyebabkan kerusakan DNA sel-sel yang melapisi bagian dalam mulut dan
tenggorokan.
DNA adalah suatu bahan kimia didalam setiap sel tubuh yang akan membentuk gen,
menunjukkan bahwa sel-sel didalam tubuh berfungsi dengan baik. Beberapa gen memiliki
instruksi untuk mengontrol ketika sel-sel tumbuh dan membelah. Gen yang menstimulasikan
pembelahan sel disebut onkogen. Gen yang memperlambat pembelahan sel atau
menyebabkan sel mati pada waktu yang tepat disebut gen supresor tumor. Ketika tembakau
30
dan alkohol merusak sel-sel yang melapisi mulut dan tenggorokan, sel-sel harus tumbuh lebih
cepat untuk memperbaiki kerusakan ini. Dalam hal ini ada kesempatan gen membuat
kesalahan saat menyalin DNA sehingga menjadi sel kanker. Banyak bahan kimia yang
ditemukan didalam tembakau yang dapat merusak DNA secara langsung.
Alkohol tidak dapat dipastikan dapat merusak DNA secara langsung, namun diyakini
bahwa alkohol membantu banyak bahan kimia lebih mudah masuk ke dalam sel dan merusak
DNA. Kombinasi tembakau dan alkohol menyebabkan kerusakan DNA lebih besar
dibanding tembakau saja. Kerusakan ini dapat menyebabkan onkogen dan gen supresor tumor
mengalami kerusakan, terjadi perubahan DNA yang mengaktifkan onkogen atau
menonaktifkan gen supresor tumor. Sel abnormal terus dihasilkan, membentuk tumor.
Dengan adanya kerusakan tambahan yaitu, infeksi Human Pappiloma Virus,
menyebabkan sel membuat 2 protein, sebagai E6 dan E7. Protein ini membunuh beberapa
gen yang menjaga pertumbuhan sel agar tetap terkendali, sehingga pertumbuhan sel menjadi
tidak terkendali dan menjadi kanker. HPV DNA ditemukan didalam sel-sel tumor, terutama
pada sel pasien non-perokok yang minum sedikit alkohol atau tidak konusmsi alkohol.
Diperkirakan HPV menjadi penyebab kemungkinan kanker.
Beberapa orang mewarisi mutasi DNA dari orang tua sehingga meningkatkan risiko
untuk berkembangkan menjadi kanker tertentu. Namun, hal ini tidak sepenuhnya diyakini
terjadi pada kanker rongga mulut dan kanker oropharing. Beberapa dari kanker dapat
dikaitkan dengan yang lain, seperti faktor resiko yang belum dapat diketahui dengan pasti
ataupun tidak adanya faktor eksternal penyebab mungkin saja terjadi karena mutasi DNA
secara acak di dalam sel.
3.6. Gejala Klinis
Kemungkinan tanda-tanda dan gejala kanker ini dapat mencakup:
• Rasa gatal di mulut (gejala yang paling umum)
• Nyeri pada mulut (juga sangat umum)
• Benjolan atau penebalan di mukosa pipi
• Terdapat bercak (patch) yang putih atau merah pada gusi, lidah, tonsil, atau
lapisan mulut
• Sakit tenggorokan atau perasaan bahwa ada sesuatu yang tersangkut di
tenggorokan
• Kesulitan mengunyah atau menelan
• Kesulitan menggerakkan rahang atau lidah
31
• Mati rasa dari daerah lidah atau mulut lainnya
• Pembengkakan rahang yang menyebabkan perasaan tidak nyaman
• Gigi terasa longgar atau sakit di sekitar gigi atau rahang
• Suara serak
• Terdapat sebuah benjolan atau massa di leher
• Bau mulut yang menetap
• Berat badan menurun.
3.6.1. Kanker pada lidah
Hampir 80% kanker lidah terletak pada 2/3 anterior lidah (umumnya pada tepi lateral dan
bawah lidah) dan 20% pada posterior lidah. Gejala tergantung pada lokasi kanker tersebut.
Bila terletak pada bagian 2/3 anterior lidah, keluhan utamanya adalah timbulnya suatu massa
yang seringkali terasa tidak sakit. Bila timbul pada 1/3 posterior, kanker tersebut selalu tidak
diketahui oleh penderita dan rasa sakit yang dialami biasanya dihubungkan dengan rasa sakit
tenggorokan.Pada stadium awal, secara klinis kanker lidah dapat bermanifestasi dalam
berbagai bentuk, dapat berupa bercak leukoplakia, penebalan, perkembangan eksofitik atau
endofitik bentuk ulkus. Tetapi sebagian besar dalam bentuk ulkus. Tanda yang paling penting
adalah terdapat indurasi yang didapat pada pinggiran ulkus.
3.6.2.Kanker dasar mulut
Kanker pada dasar mulut biasanya dihubungkan dengan penggunaan alkohol dan
tembakau. Pada stadium awal mungkin tidak menimbulkan gejala. Bila lesi berkembang
menimbulkan keluhan adanya gumpalan dalam mulut atau perasaan tidak nyaman. Pada
stadium yang sudah lanjut akan mengalami kesulitan dan nyeri waktu menelan dan timbul
yang disebut hot potato voice pada waktu berbicara dan pada waktu yang sama menghindari
menelan secret yang terkumpul.Secara klinis yang paling sering dijumpai adalah lesi berupa
ulserasi dengan tepi yang timbul dan mengeras yang terletak dekat frenulum lingual. Bentuk
yang lain adalah penebalan mukosa yang kemerah-merahan, nodul yang tidak sakit atau dapat
berasal dari leukoplakia. Pada kanker tahap lanjut dapat terjadi pertumbuhan eksofitik atau
infiltratif.
3.6.3. Kanker pada mukosa pipi
Di negara yang sedang berkembang, kanker pada mukosa pipi dihubungkan dengan
32
kebiasaan mengunyah campuran pinang, daun sirih, kapur dan tembakau yang berkontak
dengan mukosa pipi kiri dan kanan selama beberapa jam.Pada awalnya lesi tidak
menimbulkan simptom, terlihat sebagai suatu daerah eritematus, ulserasi yang kecil, daerah
merah dengan indurasi dan kadang-kadang dihubungkan dengan leukoplakia tipe nodular.
3.6.4. Kanker pada gingiva
Kanker pada gingiva umumnya berasal dari daerah dimana susur tembakau ditempatkan
pada orang-orang yang memiliki kebiasaan ini. Daerah yang terlibat biasanya lebih sering
pada gingiva mandibula daripada gingiva maksila . Lesi awal terlihat sebagai granuloma yang
kecil atau sebagai nodul. Lesi yang lebih lanjut berupa pertumbuhan eksofitik atau
pertumbuhan infiltratif yang lebih dalam. Pertumbuhan eksofitik seperti bunga kol, mudah
berdarah. Pertumbuhan infiltratif biasanya tumbuh invasif pada tulang mandibula dan
menimbulkan desdruktif.
3.6.5. Kanker pada palatum
Pada daerah yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan menghisap rokok. Kanker pada
palatum merupakan kanker rongga mulut yang umum terjadi dari semua kanker mulut.
Perubahan yang terjadi pada mukosa mulut yang dihubungkan dengan menghisap rokok
adalah adanya ulserasi, erosi, daerah nodul dan bercak. Jika lesi terus berkembang mungkin
akan mengisi seluruh palatum. Kanker pada palatum dapat menyebabkan perforasi palatum
dan meluas sampai ke rongga hidung.
3.6.6. Kanker daerah tonsila
Daerah ini meluas dari trigonum retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior
demikian juga dengan fosa tonsilanya sendiri. Tumor yang meluas ke inferior ke dasar lidah
dan ke superior pada pallatum mole. Teraba lesi-lesi kecil dengan palpasi.
3.7. Pemeriksaan
3.7.1. Pemeriksaan fisik
Dua komponen kunci pemeriksaan rongga mulut dan oropharing yaitu inspeksi dan
palpasi dari kedua struktur eksternal dan internal rongga mulut.
Pemeriksaan menyeluruh dilakukan mencakup pemeriksaan kepala, wajah, dan leher
mencari perubahan warna kulit, bengkak, dan simetris atau tidak.
Palpasi pemeriksaan luar kepala secara menyeluruh, termasuk otot temporal, sendi
33
temporomandibular, otot masseter, dan tulang mandibula. Selanjutnya, meraba leher,
termasuk kelenjar parotis dan submandibula, nodul kelenjar getah bening, dan otot-otot leher.
Pemeriksaan internal dilakukan dengan sangat hati-hati untuk melihat setiap daerah yang
bervariasi dari warna merah muda normal yang sehat mukosa. Karsinoma skuamosa hampir
mengenai hamper semua sel rongga mulut dan orofaring didahului oleh perubahan yang
mudah terlihat di mukosa rongga mulut yang paling sering bermanifestasi sebagai merah atau
putih patches. Terdiri dari beberapa tahapan pemeriksaan:
Gambar 3 : pemeriksaan rongga mulut
a. Menarik superior bibir atas, dan memeriksa mukosa dan gingiva.
b. Memanipulasi bibir dengan ibu jari dan indeks jari, merasakan untuk setiap lesi
submukosa
c. Memeriksa mukosa bukal dan posterior gingiva satu sisi dimulai dari commissure bibir
lateral dan kemudian superior.
d. Menarik kembali bibir bawah dan memeriksa mukosa, ruang depan, dan anterior gingiva
e. Selanjutnya, memeriksa seluruh pallatum
f. Tekan lidah dengan spatula lidah saat pasien mengatakan "aaaa”
g. Meminta pasien untuk mengankat lidah ke atap mulut dan memeriksa permukaan ventral
lidah dan dasar mulut (Manuver ini mengangkat langit-langit lunak dan memungkinkan
pandangan yang lebih baik dari tonsil wilayah)
h. Pemeriksaan terkahir menarik lidah keluar dari mulut dan tahan dengan kasa steril dan
memeriksa batas lateral lidah. Palpasi rongga mulut juga penting. sSmua permukaan dari
mukosa bukal, dasar mulut, dan lidah harus teraba. Palpasi tepat adalah dicapai
menggunakan bimanual teknik.
Pemeriksaan fisik lengkap dilakukan didaerah kepala dan leher untuk mengetahui daerah
yang abnormal. Pemeriksaan ini mencakup kelenjar limf dileher, untuk mencari tanda-tanda
keganasan yang sudah metastase ke kelenjar limf sekitar. Karena orofaring adalah jauh di
dalam leher dan beberapa bagian tidak mudah dilihat sehingga diperlukan alat kusus
untuk pemeriksaan . Laringoskopi tidak langsung Pemeriksaan ini menggunakan cermin
diletakkan di bagian belakang mulut untuk melihat keadaan dinding belakang faring serta
kelenjar limf, uvula, arcus faring serta gerakannya, tonsil, pita suara, mukosa pipi, gusi, dan
gigi geligi.
3.7.2. Pemeriksaan penunjang
Laringoskopi langsung
34
Pemeriksaan ini dengan cara memasukkan serat optik fleksibel (disebut endoskop, pipa,
tipis fleksibel dengan cahaya dan lensa terpasang untuk melihat) melalui mulut atau hidung
untuk memeriksa kepala dan daerah leher. Kadang-kadang, endoskopi yang kaku
(tabung berongga dengan lensa cahaya) ditempatkan ke bagian belakang mulut untuk melihat
bagian belakang tenggorokan lebih terinci. Pemeriksaan ini memiliki nama yang berbeda
tergantung pada area tubuh yang diperiksa, seperti laringoskopi (laring), pharyngoscopy
(faring), atau nasopharyngoscopy (nasofaring). Untuk membuat pasien lebih nyaman,
pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan semprotan anestesi untuk mematikan rasa
daerah itu. Jika jaringan terlihat mencurigakan, akan dilakukan biopsi dan dilakukan di ruang
operasi di rumah sakit dengan menggunakan anestesi umum.
Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan dibawah
mikroskop. Dengan biopsi dapat membuat diagnosis pasti. Jenis biopsi dilakukan tergantung
pada lokasi dari kanker. Aspirasi jarum biopsi, sel-sel ditarik menggunakan jarum tipis yang
dimasukkan langsung ke tumor. Sel-sel diperiksa di bawah mikroskop sel-sel kanker.
Biopsi sikat oral
Suatu teknik baru sederhana untuk mendeteksi kanker mulut dengan menggunakan sikat
kecil untuk mengumpulkan sampel sel dari daerah yang mencurigakan. Spesimen tersebut
kemudian dikirim ke laboratorium untuk analisis. Prosedur sikat oral biopsi mudah dan dapat
dilakukan di tempat praktek dengan nyeri sedikit atau tidak ada. Jika kanker ditemukan
menggunakan metode ini, dianjurkan melakukan biopsy untuk mengkonfirmasi hasil.
X-ray
Tes pencitraan menggunakan x-ray, medan magnet, atau zat radioaktif untuk membuat
gambar bagian dalam tubuh. Tes pencitraan ini tidak digunakan untuk mendiagnosa rongga
mulut atau kanker oropharyngeal, tetapi dilakukan untuk beberapa alasan baik sebelum dan
setelah diagnosis kanker, termasuk:
• Untuk membantu mencari tumor jika ada yang dicurigai
• Untuk mengetahui seberapa jauh kanker mungkin telah menyebar
• Untuk membantu menentukan apakah pengobatan telah efektif
• Untuk mencari tanda-tanda kemungkinan kekambuhan kanker setelah pengobatan
Pemeriksaan barium
Pemeriksaan ini umumnya digunakan untuk melihat orofaring dan fungsi menelan.
Pertama pasien diminta untuk menelan barium, sehingga dapat terlihat setiap perubahan
dalam struktur rongga mulut dan tenggorokan dan melihat apakah cairan lewat dengan mudah
35
ke perut. X-ray kemudian digunakan dan dimodifikasi, atau videofluoroscopy, digunakan
untuk menilai fungsi menelan.
Panorex
Disebut juga panorama, x-ray untuk melihat dari rahang atas dan bawah mendeteksi
kerusakan tulang akibat penyebaran kanker, atau untuk mengevaluasi gigi sebelum terapi
radiasi atau kemoterapi.
Computed tomography scan
CT scan menciptakan gambar tiga dimensi bagian dalam tubuh dengan mesin x-ray.
Sebuah komputer kemudian menggabungkan gambar-gambar menjadi tampilan, rinci
cross-sectional yang menunjukkan kelainan apapun atau tumor. Dapat digunaka media
kontras (pewarna khusus) disuntikkan ke pembuluh darah pasien untuk memberikan detail
yang lebih baik. CT scan dapat membantu untuk memutuskan apakah kanker bisa diangkat
dengan operasi dan menentukan apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di
leher atau tulang rahang bawah.
Magnetic Resonance Imaging (MRI )
MRI menggunakan medan magnet, bukan x-ray, untuk menghasilkan gambar rinci dari
tubuh, terutama gambar jaringan lunak, seperti tonsil dan pangkal lidah. Sebuah media
kontras dapat disuntikkan ke pembuluh darah pasien untuk menciptakan gambaran yang lebih
jelas.
USG
USG menggunakan gelombang suara untuk menciptakan gambar dari organ internal. Tes
ini dapat mendeteksi penyebaran kanker ke kelenjar limf di leher.Tomografi emisi
positron scan Sebuah PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan
dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh. Zat ini diserap terutama
oleh organ dan jaringan yang menggunakan energi. Karena kanker cenderung untuk
menggunakan energi secara aktif, menyerap lebih dari zat radioaktif. Scanner kemudian
mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh yang menyerap
radioaktif terbanyak sebagai sel kanker .
3.8.Stadium
Sebuah sietem yang menggambarkan seberapa jauh penyebaran suatu tumor. Sistem yang
paling umum digunakan untuk menggambarkan tingkat kanker rongga mulut dan kanker
oropharyngeal adalah sistem TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC)
TNM untuk menjelaskan 3 informasi:
36
• T menunjukkan ukuran dari tumor primer dan jika ada jaringan rongga mulut atau
orofaring yang telah menyebar(metastasis).
• N menunjukkan penyebaran ke kelenjar limf terdekat
• M menunjukkan kanker telah menyebar (metastasis) ke organ lain dari tubuh.
Angka atau huruf muncul setelah T, N, dan M untuk memberikan informasi tentang masing-
masing faktor:
• Angka 0 sampai 4 menunjukkan tingkat keparahan.
• Huruf X berarti "tidak dapat dinilai" karena informasi ini tidak tersedia.
T kategori untuk kanker bibir, rongga mulut, dan orofaring
• TX : Tumor primer tidak dapat dinilai, informasi tidak diketahui.
• Tis: Karsinoma in situ. Ini berarti kanker tersebut masih dalam epitel (lapisan atas sel
yang melapisi rongga mulut dan orofaring) dan belum berkembang menjadi lapisan yang
lebih dalam.
• T0: Tidak ada bukti tumor primer
• T1: Tumor 2 cm (sekitar ¾ inci) atau lebih kecil
• T2: Tumor lebih besar dari 2 cm, tetapi lebih kecil dari 4 cm (sekitar 1 ½ inci)
• T3: Tumor lebih besar dari 4 cm
• T4a: Tumor tumbuh ke dalam struktur di dekatnya, menyerang organ disekitarnya.
· Untuk kanker rongga mulut: tumor tumbuh ke dalam struktur terdekat, seperti tulan
rahang atau wajah, otot, lebih dalam mengenai lidah, kulit wajah, atau sinus maksilaris.
· Untuk kanker bibir: tumor tumbuh ke dalam tulang di dekatnya, saraf alveolaris inferior,
dasar mulut, atau kulit dagu atau hidung.
· Untuk kanker oropharyngeal: tumor tumbuh ke dalam laring (pita suara), lidah, otot,
atau tulang seperti pterygoideus medial, palatum durum, atau rahang.
• T4b: Tumor telah berkembang melalui struktur terdekat dan ke daerah yang lebih dalam
atau jaringan.
· Tumor tumbuh ke dalam tulang lainnya, seperti dasar pterygoideus dan / atau dasar
tengkorak
(untuk setiap rongga mulut atau kanker orofaringeal).
· Tumor mengelilingi arteri karotid internal (untuk setiap rongga mulut atau orofaringeal
kanker).
· Untuk kanker oropharyngeal: tumor tumbuh ke dalam otot yang disebut otot
pterygoideus lateral.
. Untuk kanker oropharyngeal: tumor tumbuh ke dalam nasofaring.
37
Kategori N
? NX: kelenjar getah bening terdekat tidak dapat dinilai, informasi tidak diketahui
? N0: Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya
? N1: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di salah satu sisi yang sama dari
kepala atau leher sebagai primer tumor; kelenjar getah bening tidak lebih dari 3 cm.
? N2 mencakup 3 subkelompok:
? N2a: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di salah satu sisi yang sama
sebagai tumor primer ; kelenjar getah bening lebih besar dari 3 cm tapi tidak lebih
besar dari 6 cm (sekitar 2 inci)
? N2b: Kanker telah menyebar ke 2 atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang
sama dengan tumor primer, tetapi tidak ada yang lebih besar dari 6 cm
? N2c: Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening pada kedua sisi
leher atau di sisi yang berlawanan dengan tumor primer, tetapi tidak ada yang lebih
besar dari 6 cm
? N3: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening yang lebih besar dari 6 cm
M kategori
? M0: Tidak menyebar jauh
? M1: kanker telah menyebar ke tempat yang jauh di luar wilayah kepala dan leher
(misalnya, paru-paru)
3.8.1. Stadium pengelompokkan
Dokter menetapkan stadium kanker dengan menggabungkan klasifikasi T, N, dan M.
Tahap 0: Menjelaskan karsinoma di situ (Tis), dengan tidak menyebar ke kelenjar getah
bening (N0) atau metastasis jauh (M0).
Stadium I: Menjelaskan tumor kecil (T1), dengan tidak menyebar ke kelenjar getah
bening (N0) dan tidak ada metastasis jauh (M0).
Stadium II: Menjelaskan tumor yang lebih kecil dari 4 cm (T2), dan belum menyebar ke
kelenjar getah bening (N0) atau ke bagian tubuh yang jauh (M0).
Stadium III: Menjelaskan semua tumor lebih besar (T3), dengan tidak menyebar ke
kelenjar getah bening (N0) atau metastasis (M0), serta tumor yang lebih kecil (T1, T2) yang
telah menyebar ke kelenjar getah bening regional (N1), tetapi tidak memiliki tanda metastasis
(M0).
Stadium IVA: Menjelaskan setiap tumor invasif (T4a) dengan baik tanpa keterlibatan
38
kelenjar getah bening (N0) atau hanya menyebar ke nodul tunggal, yang sama-sisi getah
bening
(N1), tetapi tidak ada metastasis (M0). Hal ini juga digunakan untuk setiap tumor (T apapun)
dengan keterlibatan nodul lebih signifikan (N2), tetapi tidak ada metastasis (M0).
Stadium IVB: Menjelaskan setiap tumor (T apapun) dengan keterlibatan nodal yang luas
(N3), tetapi tidak ada metastasis (M0).
Stadium IVC: Menunjukkan ada bukti penyebaran jauh (ada T, setiap N, M1).
3.8.2.Grade tumor berdasarkan pemeriksaan histologi
Pemeriksaan ini bertujuan menggambarkan tumor primer dengan grade, yang ditentukan
dengan menggunakan mikroskop untuk memeriksa jaringan dari tumor (disebut pemeriksaan
histologis). Membandingkan jaringan tumor dengan jaringan normal, dan grade
menggambarkan seberapa dekat sel-sel kanker menyerupai jaringan normal di bawah
mikroskop. Jaringan normal mengandung berbagai jenis sel dikelompokkan bersama-sama,
yang disebut differensiasi sel. Jaringan dari tumor biasanya memiliki sel-sel yang terlihat
lebih mirip satu sama lain (disebut diferensiasi buruk). Umumnya, semakin terdiferensiasi
jaringan, semakin baik prognosisnya. Grade tumor dijelaskan menggunakan huruf "G" dan
nomor.
GX : kelas tidak dapat dievaluasi.
G1 : Sel-sel terlihat lebih seperti jaringan normal (baik dibedakan).
G2 : Sel-sel yang hanya cukup dibedakan.
G3 dan G4 : Sel-sel tidak menyerupai jaringan normal (diferensiasi buruk).
Berulang : kanker berulang adalah kanker yang datang kembali setelah perawatan.Jika ada
kekambuhan, kanker mungkin perlu diklasifikasikan menggunakan sistem
tersebut.
3.9. Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan utama untuk orang dengan kanker oropharyngeal adalah:
- Bedah
- Radiasi
- Kemoterapi
- Target Terapi
Rencana tindakan ini dapat digunakan sendiri atau kombinasi, tergantung pada stadium
dan lokasi tumor. Secara umum, operasi adalah pengobatan pertama untuk kanker rongga
39
mulut dan oropharing , dan mungkin diikuti oleh radiasi atau kemoterapi dan radiasi
gabungan. Kanker orofaringeal biasanya kombinasi kemoterapi dan radiasi.
3.9.1 Pembedahan
Beberapa jenis operasi dapat digunakan untuk mengobati kanker rongga mulut dan
orofaringeal. Tergantung di mana kanker tersebut dan stadium, operasi yang berbeda dapat
digunakan untuk mengangkat kanker. Setelah pembedahan untuk mengangkat kanker, bedah
rekonstruksi dapat digunakan untuk membantu memulihkan penampilan dan fungsi dari
daerah yang terkena kanker.
Prosedur bedah yang paling umum untuk kanker mulut dan oropharyngeal meliputi:
a. Tumor primer operasi.
Tumor dan daerah sekitarnya jaringan yang diangkat untuk mengurangi
kemungkinan bahwa kanker masih ada yang tertinggal.
b. Glossectomy
Adalah pengangkatan sebagian atau seluruh lidah.
c. Mandibulectomy
Jika tumor telah mengenai tulang rahang, tetapi tidak menyebar ke dalam tulang,
maka sebagian atau seluruh tulang rawan diangkat. Jika pada pemeriksaan rahang pada
sinar-x ditemukan pada tulang, maka seluruh tulang rahang diangkat.
d. Maxillectomy
Sebuah operasi yang mengangkat sebagian atau seluruh dari palatum durum, yang
merupakan tulang atap mulut. Prostheses (perangkat buatan), atau lebih baru, penggunaan
flap jaringan lunak dengan dan tanpa tulang dapat dipasang untuk menggantikan.
e. Diseksi leher
Kanker rongga mulut dan orofaring sering menyebar ke kelenjar limf di leher, dan
mungkin diperlukan untuk mengangkat beberapa atau semua kelenjar limf dalam
prosedur bedah.
f. Laryngectomi
Adalah pengangkatan sebgaian atau sleuruhnya dari laring dan pita suara namun
tindakan ini jarang diperlukan untuk pengobatan kanker mulut atau orofaringeal. Laring
sangat penting untuk menelan karena melindungi jalan napas dari makanan dan cairan
masuk trakea atau batang tenggorokan dan mencapai paru-paru, yang dapat menyebabkan
pneumonia. Dapat dilakukan pada tumor besar lidah atau orofaring.
g. Trakeostomi
40
Jika kanker menghalangi tenggorokan atau terlalu besar sehingga mengahalangi
jalan nafas diperlukan tindakan yang disebut trakeostomi dibuat di leher. Trakeostomi
dapat bersifat sementara atau permanen.
Efek samping pembedahan
Semua operasi membawa risiko, termasuk pembekuan darah, infeksi, komplikasi dari
anestesi, dan pneumonia. Risiko ini umumnya rendah tetapi lebih tinggi pada operasi yang
rumit.
Jika operasi tidak terlalu rumit, efek samping mungkin hanya rasa sakit sesudahnya, yang
dapat diobati dengan obat-obatan jika diperlukan. Pembedahan untuk kanker yang besar
atau
sulit dijangkau mungkin sangat rumit, efek samping dapat berupa infeksi, gangguan luka,
masalah dengan makan dan berbicara, atau kematian sangat jarang terjadi selama atau segera
setelah prosedur. Operasi juga dapat berbekas terutama operasi tulang wajah atau rahang.
3.9.2. Terapi radiasi
Terapi radiasi menggunakan energi tinggi sinar-x atau partikel untuk
menghancurkan sel-sel kanker atau lambat tingkat pertumbuhan. Terapi radiasi dapat
digunakan dalam beberapa situasi untuk oral dan kanker orofaringeal:
• Dapat digunakan sebagai pengobatan utama untuk kanker kecil.
• Pasien dengan kanker lebih besar mungkin perlu kedua operasi dan terapi radiasi
atau Kombinasi terapi radiasi dan kemoterapi. Setelah operasi, terapi radiasi
dapat digunakan, baik sendiri atau dengan kemoterapi, sebagai tambahan
(adjuvant) pengobatan untuk mencoba membunuh setiap deposit kecil kanker
yang tidak mungkin telah diangkat selama operasi. Ini dikenal sebagai terapi
radiasi adjuvan.
• Radiasi dapat digunakan (bersama dengan kemoterapi) untuk mencoba untuk
mengecilkan beberapa yang lebih besar kanker sebelum operasi. Hal ini disebut
terapi neoadjuvant. Dalam beberapa kasusu terapi radiasi digunakan pada operasi
yang tidak radikal dan diharapkan untuk membunuh jaringan yang tidak
dioperasi.
• Terapi radiasi juga dapat digunakan untuk meredakan gejala kanker seperti nyeri,
perdarahan, kesulitan menelan, dan masalah yang disebabkan oleh metastase
tulang.
Ada beberapa terapi radiasi
41
a. Terapi radiasi sinar eksternal
Cara yang paling umum untuk memberikan radiasi kanker adalah fokus
sinar radiasi dari luar mesin ke tubuh. Ini dikenal sebagai radiasi sinar eksternal
terapi. Untuk mengurangi risiko efek samping harus hati-hati mengetahui dosis
tepat yang dibutuhkan dan mencapai target dengan hati-hati dan seakurat
mungkin.
Sebelum memulai tindakan perawatan, dilakukan pengukuran berhati-hati
untuk menentukan sudut yang tepat untuk menyinari target orgat radiasi dan dosis
radiasi yang tepat. Terapi radiasi adalah seperti mendapatkan sinar-x, tetapi
radiasi yang kuat. Prosedur terapi tersebut tidak menyakitkan. Setiap kali tindakan
hanya berlangsung beberapa menit. Perawatan biasanya diberikan 5 hari
seminggu selama 6 sampai 7 minggu. Jadwal lain untuk dosis radiasi telah
dipelajari dalam uji klinis.
Hyperfractionation mengacu memberikan dosis total radiasi dalam jumlah
yang besar besar (misalnya, 2 dosis per hari yang lebih kecil daripada 1dosis per
hari yang lebih besar). Fraksinasi dipercepat berarti bahwa perlakuan radiasi
selesai lebih cepat (misalnya, 6 minggu bukan 7 minggu). Jadwal fraksinasi
dipercepat dapat mengurangi resiko kanker datang kembali di organ primer atau
dekat organ tersebut dan dapat menigkatkan kualitas hidup. Kekurangannya
adalah bahwa perawatan yang diberikan memiliki efek samping yang lebih berat.
b. Terapi radiasi konformal tiga dimensi (3D-CRT).
Menggunakan hasil tes imaging seperti MRI dan program komputer
khusus untuk secara tepat mengetahui lokasi kanker. Radiasi sinar tersebut
kemudian dibentuk dan ditujukan pada tumor dari beberapa arah, yang
membuatnya kurang merusak jaringan normal. Secara teori, dengan memberikan
radiasi yang lebih akurat, sehingga dapat mengurangi kerusakan radiasi pada
jaringan normal dibeberapa daerah (seperti saraf, pembuluh darah, dan organ
lainnya) dan mungkin dapat mengobati kanker dengan lebih meningkatkan dosis
radiasi untuk tumor itu sendiri. Studi jangka panjang hasilnya masih diperlukan
untuk mengkonfirmasi ini.
c. Terapi intensitas radiasi termodulasi (IMRT)
Adalah bentuk lanjutan dari terapi 3D-CRT. Terapi ini menggunakan
mesin komputer-driven yang benar-benar bergerak di sekitar pasien seperti
memberikan radiasi. Bertujuan mengenai jaringan di tumor dari beberapa sudut,
42
intensitas (kekuatan) dari mesin dapat disesuaikan untuk meminimalkan dosis
mencapai jaringan normal yang paling sensitif. Hal ini memungkinkan untuk
memberikan dosis yang lebih tinggi ke daerah kanker.
d. Brachytherapy
Cara lain untuk memberikan radiasi adalah dengan menempatkan bahan-
bahan radioaktif langsung ke dalam atau dekat kanker. Metode ini disebut radiasi
internal, radiasi interstisial, atau brachytherapy.
Perjalanan radiasi hanya berjarak sangat pendek, yang membatasi
dampaknya pada jaringan normal terdekat. Brachytherapy tidak sering digunakan
untuk mengobati kanker rongga mulut atau kanker oropharyngeal karena adanya
radiasi eksternal, seperti IMRT.
Berbagai jenis brachytherapy dapat digunakan. Dalam satu bentuk, kateter
berongga (tabung tipis) ditempatkan ke dalam atau sekitar tumor selama
pembedahan dan yang ditempat tersisa untuk beberapa hari sementara pasien tetap
di rumah sakit. Bahan radioaktif tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung
untuk waktu yang singkat setiap hari, mengeluarkan radioaktivitas tingkat rendah
untuk beberapa minggu.
Efek samping terapi radiasi
Radiasi dari daerah mulut dan tenggorokan dapat menyebabkan beberapa efek
samping jangka pendek termasuk:
- Kulit seperti terbakar sinar matahari di kepala dan leher yang perlahan menghilang
- Serak
- Kehilangan indra pengecap
- Kemerahan dan nyeri pada mulut dan tenggorokan
- Kadang-kadang luka terbuka berkembang di mulut dan tenggorokan, sehingga sulit
untuk makan dan minum selama pengobatan.
Radioterapi juga dapat menyebabkan efek samping jangka panjang atau permanen:
- Kerusakan kelenjar ludah
Kerusakan permanen pada kelenjar ludah dapat menyebabkan mulut kering.
Hal ini dapat menyebabkan masalah makan dan menelan. Kurangnya air liur juga
dapat menyebabkan kerusakan gigi (gigi berlubang). Biasanya diperlukan perawatan
ke dokter gigi dan menjaga kebersihan mulut. Pengobatan fluoride juga dapat
membantu sebelum di radioterapi. Teknik seperti IMRT dapat membantu mengurangi
efek samping ini.
43
- Kerusakan pada tulang rahang
Yang ang dikenal sebagai osteoradionecrosis rahang, dapat menyebabkan efek
samping yang serius akibat pengobatan radiasi. Lebih umum terjadi setelah infeksi
gigi, ekstraksi, atau trauma, dan sulit diobati. Gejala utama adalah nyeri pada rahang.
Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan tulang rahang retak dan jika berat
diperlukan terapi pembedahan untuk menagtasinya.
- Kerusakan pada kelenjar pituitary atau tiroid
Jika kelenjar hipofisis atau tiroid terkena radiasi, produksi hormon dapat
menurunkan dari waktu ke waktu. Hal ini dapat menyebabkan masalah dengan
metabolisme yang mungkin perlu dikoreksi dengan obat. Radiasi Efek samping ini
biasanya akan lebih parah pada orang yang mendapatkan kemoterapi pada saat yang
sama. Untuk mengurangi efek samping tersebut diperlukan perawatan sebelum di
radiasi ataupun kemoterapi.
3.9.3. Kemoterapi
Adalah pengobatan dengan menggunakan obat anti kanker yang diberikan ke
dalam vena atau secara oral. Obat ini memasuki aliran darah dan dapat mencapai sel
kanker dan yang telah menyebar ke organ alin. Dapat digunakan dalam situasi yang
3
berbeda:
• Kemoterapi (biasanya dikombinasikan dengan terapi radiasi) dapat digunakan
sebagai pengganti operasi sebagai pengobatan utama untuk beberapa jenis kanker.
• Kemoterapi (dikombinasikan dengan terapi radiasi) dapat diberikan setelah
operasi untuk mencoba membunuh deposit sel kanker yang mungkin masih ada.
Ini dikenal sebagai ajuvan kemoterapi.
• Kemoterapi dapat digunakan (kadang-kadang dengan radiasi) untuk mencoba
untuk mengecilkan beberapa jenis kanker yang lebih besar sebelum operasi. Ini
disebut neoadjuvant atau kemoterapi induksi. Dalam beberapa kasus ini
memungkinkan untuk menggunakan operasi kurang radikal dan menghapus
jaringan yang masih tersisa. Hal ini dapat menyebabkan efek samping yang lebih
sedikit serius dari operasi.
Obat kemo yang paling sering digunakan untuk kanker rongga mulut dan
orofaring adalah:
• Cisplatin
44
• 5-fluorouracil (5-FU)
• Carboplatin
• Paclitaxel
• Docetaxel
• Methotrexate
• Ifosfamid
• Bleomycin
Sebuah obat kemoterapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
obat lain. Seringkali menggabungkan obat dapat membantu mengecilkan tumor yang
lebih baik, tapi akan menyebabkan efek samping yang lebih banyak. Yang paling umum
digunakan kombinasi cisplatin dan 5-FU. Kombinasi ini lebih efektif daripada hanya
menggunakan satu macam obat pada kanker rongga mulut dan orofaring. Hasil yang
lebih baik dengan menambahkan docetaxel. Kemoterapi diberikan dengan beberapa
siklus dengan masing-masing periode isitirahat untuk memungkinkan tubuhpulih
kembali. Setiap siklus kemoterapi biasanya berlangsung selama beberapa minggu.
Kemoterapi sering diberikan bersamaan dengan radiasi (dikenal sebagai kemoradiasi).
Cisplatin biasanya merupakan obat kemoterapi disukai ketika diberikan bersama
dengan radiasi. Beberapa kasus memilih untuk memberikan radiasi dan kemoterapi
sebelum operasi. Namun, efek samping dapat parah. Pada operasi yang tidak radikal
diberikan kemoterapi bersamaan dengan radiasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik
daripada radiasi saja. Tapi pendekatan gabungan sulit bagi orang yang berada dalam
kesehatan yang buruk untuk mentoleransinya.
Efek samping kemoterapi
Kemoterapi adalah obat yang menyerang sel-sel yang membelah dengan cepat. Tetapi,
sel lain didalam tubuh, seperti yang di sumsum tulang, lapisan mulut dan usus, dan folikel
rambut juga terpengaruh. Hal ini dapat menyebabkan efek samping. Efek samping dari
kemoterapi tergantung pada jenis, dosis, dan berapa lama obat diberikan.
Efek samping dapat termasuk:
- Rambut rontok
- Mulut luka
- Kehilangan nafsu makan
- Mual dan muntah
- Diare
- Peningkatan infeksi (karena jumlah rendah sel darah putih berkurang)
45
- Mudah memar atau pendarahan (karena jumlah platelet darah rendah)
- Kelelahan (karena rendahnya jumlah sel darah merah.
Seiring dengan risiko di atas, beberapa efek samping yang terlihat lebih sering dengan
kemoterapi obat-obatan tertentu. Sebagai contoh, 5-FU sering menyebabkan diare. Cisplatin
dapat menyebabkan kerusakan saraf(disebut neuropati), menyebabkan gangguan pendengaran
serta mati rasa dan kesemutan di tangan dan kaki. Hal ini sering kembali normal setelah
pengobatan dihentikan, tetapi dapat bertahan lama bahkan permanen.
Meskipun efek samping yang paling meningkatkan setelah pengobatan dihentikan, beberapa
dapat bertahan lama atau bahkan permanen.
Ada cara untuk mencegah atau mengobati efek samping dari kemoterapi, misalnya, obat
untuk mencegah atau mengobati mual dan muntah.
3.9.4. Targeted terapi
Penelitian terbaru mengenai perubahan didalam sel yang menyebabkan kanker,
mengembangkan obat baru yang secara khusus menargetkan perubahan ini. Target obat kerja
yang berbeda dari obat kemoterapi standar dan efek samping yang rendah. Cetuximab adalah
antibodi monoklonal (buatan manusia versi kekebalan sistem protein) yang menargetkan
reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR), sebuah protein pada permukaan sel-sel
tertentu yang menyebabkan sel tumbuh dan membelah. Sel-sel kanker rongga mulut dan
orofaringeal sering memiliki jumlah EGFR lebih dari normal. Dengan memblokir EGFR,
cetuximab dapat memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel. Cetuximab dapat
dikombinasikan dengan terapi radiasi untuk beberapa jenis kanker tahap awal
Untuk kanker yang lebih parah, mungkin dikombinasikan dengan obat kemoterapi
standar seperti cisplatin, atau dapat digunakan tunggal. Cetuximab diberikan dengan infus ke
dalam vena (IV), biasanya sekali seminggu.
Efek samping jarang namun serius dari cetuximab adalah reaksi alergi selama infus
pertama, yang dapat menyebabkan masalah dengan pernapasan dan tekanan darah rendah,
dapat dicegah dengan pemberian obat sebelumnya. Ada juga masalah kulit seperti jerawat,
ruam pada wajah dan dada selama pengobatan, yang dalam beberapa kasus dapat
menyebabkan infeksi. Efek samping lain mungkin termasuk sakit kepala, kelelahan, demam,
dan diare.
3.9.5. Terapi berdasarkan stadium
Jenis pengobatan tergantung pada lokasi tumor dan seberapa jauh kanker telah
menyebar:
46
Stadium 0 (karsinoma in situ)
Meskipun kanker pada tahap ini belum menjadi invasif (mulai tumbuh menjadi lapisan
yang lebih dalam jaringan), namun dapat menjadi invasive jika tidak diobati. Pengobatan
umum adalah untuk menghapus lapisan atas jaringan bersama dengan margin yang kecil dari
jaringan normal. Ini dikenal sebagai bedah pengupasan atau reseksi. Karsinoma in situ yang
terus datang kembali setelah reseksi mungkin memerlukan terapi radiasi.
Stadium I dan II
Kebanyakan pasien dengan stadium I atau II rongga mulut dan kanker oropharyngeal
dapat berhasil diobati dengan pembedahan atau terapi radiasi. Kedua pendekatan bekerja
sama dengan baik untuk mengobati kanker. Pilihan pengobatan dipengaruhi oleh efek
samping yang diharapkan.
Bibir :
Kanker bibir umumnya diobati dengan operasi, termasuk operasi. Operasi yang luas dan
kombinasi terapi radiasi dapat digunakan jika tumor ternyata lebih besar. Jika diperlukan,
khusus bedah rekonstruksi dapat membantu memperbaiki cacat pada bibir. Radiasi sendiri
juga dapat digunakan sebagai pengobatan pertama. Hal ini biasanya sinar eksternal radiasi,
kadang-kadang bersama dengan brachytherapy. Pembedahan mungkin digunakan jika radiasi
tidak sepenuhnya menghentikan sel tumor. Jika tumor besar, kelenjar limfe di leher dapat
ikut diangkat.
Dasar mulut:
Lebih sering dilakukan operasi karena radiasi dapat menyebabkan kerusakan tulang. Jika
kanker tidak muncul setelah operasi, radiasi dapat ditambahkan. Kanker ini mudah menyebar
ke kelenjar getah bening leher. Bedah (leher ) diseksi mungkin disarankan untuk
mengehentikan sel ini. Biasanya, kelenjar limf dari sisi leher terdekat tumor ikut diangkat
bersama sel tumor.Tetapi jika tumor luas, maka kelenjar limfe pada kedua sisi leher perlu
diangkat.
Lidah :
Operasi lebih disukai untuk tumor kecil dan radiasi untuk yang lebih besar,
terutama jika pengangkatan tumor dapat mengganggu pembicaraan atau menelan. Jika
operasi tidak bisa mengangkat semua kanker, radiasi dapat ditambahkan. Untuk tumor yang
lebih besar, penghapusan leher kelenjar limfe kemungkinan akan direkomendasikan.
Mukosa bukal (pipi):
Kanker ini biasanya dirawat dengan operasi. Radiasi dapat menjadi pilihan lain. Jika
operasi yang digunakan, radiasi dapat ditambahkan. Jika tumor besar, kelenjar limfe leher
47
diangkat juga.
Gusi bawah:
Kanker di gusi bawah biasanya dirawat dengan operasi, yang mungkin termasuk
mengangkat bagian dari (tulang rahang) mandibula. Radiasi bisa ditambahkan jika semua sel
kanker tidak dapat diangkat. Radiasi dapat digunakan sebagai pengobatan utama, tapi itu
membawa risiko kerusakan pada tulang rahang. Pembedahan untuk mengangkat kelenjar
limfe
leher sering disarankan.
Gusi atas dan pallatum durum :
Kanker di gusi bagian atas dan langit-langit (bagian depan atap mulut) juga biasanya
dilakukan operasi. Radiasi dapat ditambahkan jika diperlukan. Kelenjar limf dileher juga
dapat diangkat.
Pangkal lidah:
Radiasi umumnya disukai karena operasi akan menyebabkan masalah dengan berbicara
dan menelan, meskipun operasi digunakan dalam beberapa kasus. Para kelenjar limfe di leher
umumnya perlu diperlakukan juga.
Pallatum molle:
Dengan operai dapat mengganggu bicara dan menelan, sehingga radiasi merupakan
pilhan. Radiasi juga dapat diberikan disekitar kepala dan leher. Jika operasi digunakan
sebagai perawatan pertama, maka kelenjar limfe disekitar leher juga diangkat.
Tonsil:
Operasi dan radiasi (mungkin dikombinasikan dengan kemoterapi) dalam mengobati
kanker tonsil. Jika kanker perlu diobati dengan operasi, biasanya memberikan pengobatan
radiasi terlebih dahulu. Operasi masih merupakan pilihan jika radiasi tidak membuang semua
kanker. Kelenjar limfe dileher dapat diperlakukan dengan cara yang sama - pembedahan atau
radiasi.
Stadium III dan IV
Kanker rongga mulut dan oropharyngeal umumnya memerlukan kombinasi pembedahan
dan radiasi, radiasi dan kemoterapi (atau cetuximab), atau kombinasi dari ketiganya.Pilihan
pengobatan dipengaruhi lokasi kanker, berapa banyak telah menyebar, efek samping, dan
kondisi kesehatan pasien saat ini.Pembedahan biasanya mencakup diseksi leher karena risiko
tinggi kanker menyebar ke kelenjar limfe. Terapi penyinaran seringkali diperlukan setelah
operasi, terutama jika tumor telah menyebar ke kelenjar limfe. Kadang-kadang kemoterapi
diberikan juga, terutama jika kanker telah mengkhawatirkan. Jumlah jaringan yang dibuang
48
selama pembedahan tergantung pada tingkat kanker, dan metode rekonstruksi tergantung luka
saat pembedahan. Tumor primer yang terlalu besar harus diangkat dengan operasi sering
dikombinasikan dengan radiasi, baik sendiri atau dengan kemoterapi (atau cetuximab).
Pemberian kemoterapi sebagai pengobatan pertama sebelum operasi dapat mengecilkan
tumor sehingga operasi dapat dilakukan. dilakukan. Kanker yang telah menyebar ke bagian
lain dari tubuh biasanya diobati dengan kemoterapi, sering bersama dengan cetuximab.
Pengobatan lain seperti radiasi juga dapat digunakan untuk membantu meringankan gejala
dari kanker.Kanker rongga mulut dan orofaringeal berulang
Kanker timbul kembali setelah pengobatan, hal itu disebut kanker berulang. Rekurensi
dapat lokal (di atau dekat tempat yang sama itu dimulai) atau jauh (menyebar ke tulang atau
organ seperti paru-paru). Pilihan pengobatan untuk kanker berulang tergantung pada lokasi
dan ukuran kanker, perawatan apa yang telah digunakan, dan kondisi kesehatan. Jika kanker
datang kembali di daerah yang sama dan terapi radiasi digunakan sebagai yang pertama
pengobatan, maka operasi sebagai pilihan pengobatan berikutnya.
Biasanya, terapi radiasi sinar eksternal tidak dapat diulang dalam waktu yang sama
kecuali dalam kasus tertentu. Namun, brachytherapy sering dapat digunakan untuk
mengendalikan kanker jika telah kembali di tempat yang sama. Jika operasi digunakan
pertama, terapi radiasi, kemoterapi, atau kombinasi dapat dipertimbangkan.
Jika kanker datang kembali di daerah yang jauh, kemoterapi (dan / atau cetuximab)
pilihan untuk pengobatan berikutnya. Hal ini dapat mengecilkan atau memperlambat
pertumbuhan beberapa jenis kanker untuk sementara dan membantu meringankan gejala,
tetapi kanker ini sangat sulit untuk menyembuhkan.
3.10. Prognosis
Tingkat ketahanan hidup untuk kanker mulut dan oropharyngeal sangat bervariasi
tergantung pada lokasi tumor primer, faktor risiko, dan tingkat penyakit. 61 % setelah
didiagnosa kanker ringga mulut dan oropharing kelangsungan hidup secara keseluruhan
adalah lima tahun (persentase orang yang bertahan hidup setidaknya lima tahun setelah
kanker terdeteksi, termasuk mereka yang meninggal akibat penyakit lain) dan 61 % setelah
didiagnosa kanker rongga mulut dan oropharing dapat bertahan hiudo 10 tahun.
BAB IV
TUMOR GANAS HIDUNG DAN SINONASAL
4.1. Tumor Ganas Sinonasal
49
Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang
otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus
maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel
skuamosa (Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002).
4.2. Epidemiologi
Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1% dari
seluruh neoplasma ganas manusia dan 3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala
dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan
dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1 (Bailey, 2006;
Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005).
Insiden tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal (tumor ganas sinonasal)
rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan <0,1/100.000 pada
wanita). Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per
100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina
dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini
ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih
banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi
mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota
besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3% dari
keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring
(Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari
2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis
karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus.
Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India dengan
perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57% banding 0,44%. Insiden pada
tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus
maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada
usia 40-60 tahun (Dhingra, 2007).
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam
puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris,
20-30% di dalam rongga nasal, 10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1%
50
di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus
paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22%
di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis.
Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan kematian dan
kecacatan dalam jumlah yang signifikan (Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky,
2005).
4.3. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga
beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu
kayu, kulit, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap
rokok, makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi
keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi
keganasan (Roezin, 2007; Myers, 1989; D’Errico, Pasian, Baratti, Zanelli, Alfonzo,
Gilardi, 2009).
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras
seperti beech dan oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk
tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali) ini terjadi pada
adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai
timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah
penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga
menjadi faktor resiko tambahan (Roezin, 2007; Myers, 1989; Dhingra, 2007).
4.4. Gambaran Klinis
Tumor nasal dan sinus paranasal dalam keadaan tertentu tidak memberikan
gejala yang tetap. Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak
dijumpai rasa nyeri. Sumbatan nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai
dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat
encer, serosanguinosa atau purulen. Mungkin ditemukan parastesia, anestesia atau
paralisis saraf-saraf otak. Nyeri apabila dijumpai, lebih terasa di malam hari atau
51
bila pasien berbaring. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau gigi palsu
bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah
sebelah atas seperti sisi batang nasal dan daerah kantus medius, penonjolan daerah
pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan
mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik
sehingga diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut
(Bailey, 2006; Ballenger, 1994).
Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula
terdapat gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Isi rongga orbita dapat
terdorong ke berbagai arah dengan akibat timbulnya proptosis dan enoftalmus.
Penonjolan di belakang tepi infraorbital atau tepi supraorbital dapat teraba.
Sumbatan saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang
mengganggu dan ini merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah
pterigoid. Perluasan ke arah nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba
Eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan pendengaran (Ballenger,
1994).
Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah
berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal
bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang terbanyak
adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan sinus paranasal
berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada lokasi primer. Jumlah ini
berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat terapi radiasi pada leher (Bailey,
2006).
4.5. Diagnosis
4.5.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan penekanan pada
regio sinonasal, orbita dan syaraf-syaraf kranial, juga harus dilakukan endoskopi
nasal. Meskipun bukan patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf
infraorbital (V2) atau supraorbital (V3) secara kuat merupakan sangkaan invasi
keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis, kemosis, kelemahan otot
52
ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus gingivobuccal juga
sangkaan adanya tumor sinonasal (Bailey, 2006).
4.5.2. Radiologic Imaging
Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film
menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat
menunjukkan keadaan normal (Bailey, 2006).
Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film
untuk menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film.
Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang
berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan
simtom persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan
pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic
resonance imaging (MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan
kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan
arteri karotid (Bailey, 2006).
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue,
membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI
image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale
dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari
lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak
(Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).
Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala
dan leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah
dengan anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat
luasnya tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan
kepala dan leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada
nasal dan sinus paranasal (Bailey, 2006).
Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan
53
menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon
exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan
atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak
iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi
iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik (Bailey, 2006).
CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor
yang bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma
kistik adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk
dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika
tumor telah menginvasi meningen atau otak (Bailey, 2006).
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang
insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal (Roezin, 2007).
4.6. Tumor Ganas Regio Nasal dan Sinonasal
Tipe histologi utama yang sering ditemukan pada tumor ganas regio nasal
dan sinonasal terdiri dari karsinoma sel skuamosa atau karsinoma epidermoid
(46%), limfoma maligna (14%), adenokarsinoma (13%) terutama berasal dari
kelenjar salivari minor atau disebut juga Schneiderian carcinoma dan melanoma
maligna (9%) (Abecasiset al, 2004; Koss dan Leopold, 2006).
Berikut ini adalah klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus
paranasal menurut WHO:
54
4.6.1. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal
dari epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing
dan non keratinizing. Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus
maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus
sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%) (Barnes
et al, 2005; Dhingra, 2007; Dhingra,
2007; Adams, 1997).
Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri,
parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung
sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi
proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI
didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang
bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal (Barnes
et al, 2005; Joong et al, 2009).
Secara makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic,
fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau
et al, 2005).
indurated, demarcated atau infiltratif (Barnes
4.6.1.1. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi
mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa,
di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah
muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam
sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual.
Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik.
55
Karsinoma ini dinilai berupa diferensiansi baik, sedang atau buruk (Barnes et al,
2005; Wolpoe et al, 2006).
2.7.1.2. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini
dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal
sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau
et al, 2005).
karsinoma neuroendokrin (Barnes
Gambar. 2.2. Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing. Pulau-pulau sel-sel tumor
kohesif menginvasi ke dalam stroma dibawahnya. Permukaan karsinoma in situ terlihat
(Barneset al, 2005).
4.6.2. Undifferentiated Carcinoma
Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan,
sangat agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa
massa yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran
sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran
mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang
bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid.
Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan
memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma
eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan
gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis. Pemeriksaan tambahan
seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi molekuler seringkali
56
diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat membedakan
keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya.
4.6.3. Limfoma Maligna
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural
killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa
limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang
ditemukan di western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia
(Kitamaru et al, 2005).
Dikarakteristikkan dengan infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa
nasal dan sinus paranasal, dengan pemisahan yang luas dan destruksi mukosa
kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell change. Nekrosis koagulatif luas dan
apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding pembuluh darah sering ditemukan
angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-sel limfoma ukurannya
bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-sel memiliki
sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat dilihat
dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat
inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.
Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat
ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik (Barnes et al,
2005).
Gambar 2.3. Nasal NK/T cell lymphoma. A. Mukosa intak dan terlihat sebaran infiltrat
sel-sel limfoma. B. Infiltrat limfoid mukosa merusak kelenjar mukosa hingga tidak
tampak lagi struktur kelenjar (Barneset al, 2005).
4.6.4. Adenokarsinoma
Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
57
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara
40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Simtom primer berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan
deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Myers,
1989; Abecasis et al, 2004).
Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu sessile, papilari
dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak
jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis (Myers, 1989).
Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan
penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).
2.7.5. Melanoma Maligna
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara
makroskopik, massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada
45% kasus. Di dalam kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna
ini adalah daerah posterior septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan
inferior. Tumor menyebar melalui aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul
servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal (Myers, 1989; Dhingra, 2007;
Hansom, 2002).
4.7. Klasifikasi TNM dan Sistem Staging
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru
adalah menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2006 yaitu:
Tumor Primer (T) Sinus maksilaris
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
58
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang (Gambar 2.4)
T2 Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris dan
fossa pterigoid (Gambar 2.5)
T3 Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis (Gambar 2.6)
T4a Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid,
fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal
(Gambar 2.7 A,B)
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus
trigeminal V2, nasofaring atau klivus (Gambar 2.8)
Gambar 2.4. T1 terbatas pada mukosa sinus
maksilaris (Greene, 2006).
Gambar 2.5. T2 menyebabkan erosi dan
destruksi tulang hingga palatum dan atau
meatus media tanpa melibatkan dinding
posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid
(Greene, 2006).
Gambar 2.6. Tumor menginvasi
dinding posterior tulang sinus
maksilaris, jaringan
59
subkutaneus, dinding dasar dan
medial orbita, fossa pterigoid,
sinus etmoidalis (Greene,
2006).
Gambar 2.7. A. T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita.
B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa kribriformis
(Greene, 2006).
Gambar 2.8. Pandangan koronal T4b menunjukkan tumor menginvasi apeks orbita dan
atau dura, otak atau fossa kranial medial (Greene, 2006).
Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang
(Gambar 2.9)
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi
tulang (Gambar 2.10)
T3 Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,
palatum atau fossa kribriformis (Gambar 2.11)
T4a Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung
atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,
sinus sfenoidalis atau frontal (Gambar 2.12)
60
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus
Gambar 2.9. Pada kavum nasi dan sinus
etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai tumor
yang terbatas pada salah satu bagian, dengan
(Greene, 2006).
atau tanpa invasi tulang
Gambar 2.10. T2 didefinisikan sebagai tumor yang menginvasi dua bagian di dalam satu
regio atau meluas hingga melibatkan regio yang berdekatan di dalam daerah
nasoetmoidalis kompleks (kavum nasi dan etmoid) dengan atau tanpa invasi tulang
(Greene, 2006).
Gambar 2.11. Dua pandangan dari T3 menunjukkan tumor menginvasi sinus maksilaris
dan palatum (kiri) dan meluas ke dasar orbita dan fossa kribriformis (kanan)((Greene,
2006).
Gambar 2.12. T4a menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung atau
pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau
(Greene, 2006).
61
frontal
Gambar 2.13. Dua pandangan dari T4b. Pandangan koronal kiri menunjukkan invasi di
dalam apeks orbita dan otak. Kanan, tumor menginvasi klivus
(Greene, 2006).
Kelenjar getah bening regional (N) (Gambar 2.14)
NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral 3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar
ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Gambar 2.14. Klasifikasi kelenjar getah bening regional (N) untuk seluruh keganasan
(Greene, 2006).
kepala dan leher kecuali karsinoma nasofaring dan tiroid
Metastasis Jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
62
M1 Terdapat metastasis jauh (Greene, 2006).
Stadium tumor ganas nasal dan sinus paranasal
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVC Semua T Semua N M1 (Greene, 2006)
4.8. Penatalaksanaan
4.8.1. Pembedahan
4.8.1.1. Drainage/Debridement
Drainage adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dibuka pada pasien
dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi radiasi sebagai
pengobatan primer (Bailey, 2006).
4.8.1.2. Resection
Surgical resection selalu direkomendasikan dengan tujuan kuratif. Palliative
excision dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi
cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi massif, atau untuk
membebaskan penderita dari rasa malu. Pembedahan merupakan penatalaksanaan
63
tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal dengan angka ketahanan hidup
5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).
Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,
intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan material
untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal dan sinus
paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk traditional
open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk melihat tumor dalam
rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal dan sinus maksilaris medial. Frozen
section harus digunakan untuk melihat batas bebas tumor (Bailey, 2006; Zinreich,
2006; Nicolai et al, 2008; Lund et al, 2007; Poetker et al, 2005).
4.8.2. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,
memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah
kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi
pembedahan dapat dicapai dengan dental prosthesis atau reconstructive flap seperti
flap otot temporalis dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau
microvascular free myocutaneous dan cutaneous flap (Bailey, 2006).
2.9.3. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau
sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi
tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang
sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang
pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey,
2006).
2.9.4. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal biasanya paliatif,
penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau
untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Penggunaan cisplatin intrarterial dosis
tinggi dapat digunakan secara bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan
64
karsinoma sinus paranasal. Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien
yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk
dilakukan operasi dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan
kemoterapi (Bailey, 2006).
4.9. Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal, cara tepat dan
akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor
primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas
sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan
hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.
Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor (Roezin, 2007; Nazar et al, 2004).
BAB V
KARSINOMA NASOFARING
65
5.1. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk.Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma
Nasofaring, sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya
adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka
yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor
THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari
suku bangsa lainnya.
5.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di
berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum
berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan
bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut
sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana
tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk
mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan
mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma
nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan
mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di
66
Greenland . Juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan
sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya
di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong,
pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia
terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras
melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma
nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan,
mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
5.3. MANIFESTASI KLINIK
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana
tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
A. Gejala Dini :
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara
tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang
telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
Gambar 3. Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius,yang
bertanda panah adalah tumor
Gejala Hidung :
1. Mimisan
67
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-
ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh penjalaran
tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding pembuluh darah
daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya
di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri.
Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan
nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai
tuberkulosis kelenjar.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga
yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan
tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
68
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai
akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)
tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.
Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk.
5.4. PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit
seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF).
KNF
merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah
cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan KNF, yaitu:
1. adanya infeksi EBV,
2. Faktor lingkungan
3. Genetik
1) Virus Epstein-Barr
10
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
69
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun
demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi
oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati
bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr
yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi
normal
atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga
terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling
berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368
asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon
imun
lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen
pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang
70
terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di
asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
awetkan
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR)
dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.
Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung
11
formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan
cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
5.5. HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan
jaringan
limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett (1965)
membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”
2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium”
3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding
posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi
oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan
thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang
dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel
adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
71
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan
intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat
dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus
Epstein-Barr.
5.6. STADIUM KANKER
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)
T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
Tis – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain).
T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai
saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Nodule
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX - Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6
cm atau lebih kecil.
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih
kecil.
N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah
ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”
N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
N3B – Tumor ditemukan diluar “segitiga leher”
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
72
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .
- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0
- Stadium I : T1 dan N0 dan M0
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0
- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0
- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.
7. Penegakan diagnosis karsinoma nasofaring
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
I. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
II. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
III. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan
bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush),
biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor
nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
• Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
• Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih
73
belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
IV. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
• Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma ). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
• Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma ). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
• Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
• Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
• Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
V. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
• Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
• daerah nasofaring
• Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
• Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
• Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
74
• Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
• Tomogram Lateral daerha nasofaring
• Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b)C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah
jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan
terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan
sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke
jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam
mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah
kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring,
baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria
tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih
akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
• Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
• Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
• Tomogram Lateral daerha nasofaring
• Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
VI. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
KNF ini.
VII. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien
karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah
97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan
terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan,
titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
75
8. Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
• Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
• Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya
menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
- Tipe tumor yang radiosensitif
- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
- Dosis yang optimal.
- Jangka waktu radiasi tepat
- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan
bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi
selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,
“megavoltage”orthovoltage”.
• Sifat Terapi Radiasi
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :
- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional
- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel
tumor.
- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan
ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
76
- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
• Jenis Pemberian Terapi Radiasi
Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :
1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen
implan atau intracavitary barchytherapy.
1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :
- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah
bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection
3. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari
terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.
2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
• Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
• Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker
Kepala Leher
77
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)
untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk
keganasan didaerah kepala dan leher.
• Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I
dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.
Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja
pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus
sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle
nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate
dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara
menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell
cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-
linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan
G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase
S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah
timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap
78
agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
• Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya
bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk
sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat ,
zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :
1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk
sintesis timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan
replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin
mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan
demikian menghambat produksi mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
• Cara Pemberian Kemoterapi
Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :
1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan
dan atau radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan
terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis
hematologi (leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi
dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/
profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan
tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi
utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih
sempurna.
79
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala
leher dibagi menjadi :
o neoadjuvant atau induction chemotherapy
o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
o post definitive chemotherapy.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah
virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi
kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga
pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang
dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
9. Prognosis
80
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh
10. Pencegahan
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih
dini.
BAB VI
TUMOR GANAS LARING
PENDAHULUAN
81
Tumor ganas laring bukanlah hal yang jarang ditemukan di bidang THT.
Sebagai gambaran, diluar negeri tumor ganas laring menempati urutan pertama
dalam urutan keganasan di bidang THT, sedangkan di RSCM menempati urutan 1ketiga setelah karsinoma nasofaring, tumor ganas hidung dan sinus paranasal.
Tumor Ganas laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan, 1,2dengan perbandingan 5 : 1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun.
Etiologi pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa
hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok, 1,3alkohol, sinar radioaktif, polusi udara radiasi leher dan asbestosis.
Untuk menegakkan diagnosa tumor ganas laring masih belum memuaskan,
hal ini disebabkan antara lain karena letaknya dan sulit untuk dicapai sehingga
dijumpai bukan pada stadium awal lagi. Biasanya pasien datang dalam keadaan yang
sudah berat sehingga hasil pengobatan yang diberikan kurang memuaskan. Yang 1,4,5terpenting pada penanggulangan tumor ganas laring ialah diagnosa dini.
Secara umum penatalaksanaan tumor ganas laring adalah dengan
pembedahan, radiasi, sitostatika ataupun kombinasi daripadanya, tergantung
stadium penyakit dan keadaan umum penderita.
ETIOLOGI
Penyebab pasti sampai saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa
hal yang berhubungan erat dengan terjadinya keganasan laring yaitu : rokok,
alkohol, sinar radio aktif, polusi udara, radiasi leher dan asbestosis. Ada peningkatan
resiko terjadinya tumor ganas laring pada pekerja-pekerja yang terpapar dengan 1,3,9,10,11debu kayu.
HISTOPATOLOGI
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas laring,
dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda. Jenis lain yang jarang kita jumpai
2,10
adalah karsinoma anaplastik, pseudosarkoma, adenokarsinoma dan sarkoma.
Karsinoma Verukosa. Adalah satu tumor yang secara histologis
kelihatannya jinak, akan tetapi klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor
ganas laring, lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1.
Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat menimbulkan
82
kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau jauh.
Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan 2,12kontraindikasi. Prognosanya sangat baik. Adenokarsinoma. Angka insidennya 1% dari
seluruh tumor ganas laring.
Sering dari kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis.
Sering bermetastase ke paru-paru dan hepar. two years survival rate-nya sangat
rendah. Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe
regional dan radiasi pasca operasi.
Kondrosarkoma. Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid
70%, tiroid 20% dan aritenoid 10%. Sering pada laki-laki 40 – 60 tahun. Terapi yang
dianjurkan adalah laringektomi total.
KLASIFIKASI
Berdasarkan Union International Centre le Cancer (UICC) 1982, klasifikasi dan
stadium tumor ganas laring terbagi atas :
1. Supraglotis
2. Glotis
3. Subglotis
Yang termasuk supraglotis adalah : permukaan posterior epiglotis yang terletak di
sekitar os hioid, lipatan ariepiglotik, aritenoid, epiglotis yang terletak di bawah os
hioid, pita suara palsu, ventrikel.
Yang termasuk glottis adalah : pita suara asli, komisura anterior dan komisura
posterior.
Yang termasuk subglotis adalah : dinding subglotis.
Klasifikasi dan stadium tumor berdasarkan UICC :
1. Tumor primer (T)
Supra glottis :
T is : tumor insitu
T 0 : tidak jelas adanya tumor primer l
T 1 : tumor terbatas di supra glotis dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada permukaan laring epiglotis, plika ariepiglotika,
ventrikel atau pita suara palsu satu sisi.
T 1b : tumor telah mengenai epiglotis dan meluas ke rongga ventrikel atau
pita suara palsu
83
T 2 : tumor telah meluas ke glotis tanpa fiksasi
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dan / atau adanya infiltrasi
ke dalam.
T 4 : tumor dengan penyebaran langsung sampai ke luar laring.
Glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada pita suara (termasuk komisura anterior dan
posterior) dengan pergerakan normal
T 1a : tumor terbatas pada satu pita suara asli
T 1b : tumor mengenai kedua pita suara
T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan daerah supra glotis
maupun subglotis dengan pergerakan pita suara normal atau
terganggu.
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi dari satu atau ke dua pita
suara
T 4 : tumor dengan perluasan ke luar laring
Sub glotis :
T is : tumor insitu
T 0 : tak jelas adanya tumor primer
T 1 : tumor terbatas pada subglotis
T 1a : tumor terbatas pada satu sisi
T 1b : tumor telah mengenai kedua sisi
T 2 : tumor terbatas di laring dengan perluasan pada satu atau kedua pita
suara asli dengan pergerakan normal atau terganggu
T 3 : tumor terbatas pada laring dengan fiksasi satu atau kedua pita suara
T 4 : tumor dengan kerusakan tulang rawan dan/atau meluas keluar
laring.
2. Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)
N x : kelenjar tidak dapat dinilai
N 0 : secara klinis tidak ada kelenjar.
84
N 1 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter 3 cm
N 2 : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter >3 – <6 cm
atau klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter
6 cm
N 2a : klinis terdapat satu kelenjar homolateral dengan diameter > 3 cm -
6 cm.
N 2b : klinis terdapat kelenjar homolateral multipel dengan diameter 6 cm
N 3 : kelenjar homolateral yang masif, kelenjar bilateral atau kontra lateral
N 3 a : klinis terdapat kelenjar homolateral dengan diameter > 6 cm
N 3 b : klinis terdapat kelenjar bilateral
N 3 c : klinis hanya terdapat kelenjar kontra lateral
3. Metastase jauh (M)
M 0 : tidak ada metastase jauh
M 1 : terdapat metastase jauh
4. Stadium :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1, M0
Stadium IV : T4, N0, M0
Setiap T, N2, M0, setiap T, setiap N , M1
GEJALA DAN TANDA
Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah : Suara serak Sesak nafas dan stridor Rasa
nyeri di tenggorok Disfagia Batuk dan haemoptisis Pembengkakan pada leher
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnese
2. Pemeriksaan THT rutin
3. Laringoskopi direk
4. Radiologi foto polos leher dan dada
85
5. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI
6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti
DIAGNOSA BANDING
Tumor ganas faring dapat dibanding dengan :
1. TBC laring
2. Sifilis laring
3. Tumor jinak laring.
4. Penyakit kronis laring
PENGOBATAN
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu
pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi
I. PEMBEDAHAN
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. LARINGEKTOMI
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. DISEKSI LEHER RADIKAL
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor
supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan
metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
II. RADIOTERAPI
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
86
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara
ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 – 7000 rad.
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan
pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 4500–5000 rad
selama 4–6 minggu diikuti dengan laringektomi total.
III. KEMOTERAPI
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
dan 5 FU 800–1000
paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/mm
REHABILITASI
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa
tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation”.
PROGNOSA
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan
kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma
laring stadium I 90 – 98% stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70% dan stadium
IV 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year
2,7,12
survival rate sebesar 50%.
BAB VII
TUMOR GANAS TELINGA
Etiologi
87
Penyebab yang pasti belum jelas benar. Tersebut sebagai faktor penyebab antara lain iritasi
kronik seperti sinar matahari, infeksi kronik dan sebagainya. Faktor herediter dan usia juga
berperan penting.1,2
Patologi
Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya sebagai berikut:1,2
A. Tumor epitel
1. Tumor ganas epitel permukaan
a. Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor telinga yang paling sering ditemukan. Predileksi
utamanya adalah di liang telinga.Lewis mendapatkan 11 % dari tumor ini telah bermetastasis
ke kelenjar leher pada saat pertama kali pasien datang.
b. Karsinoma sel basal
c. Karsinoma sel basal merupakan karsinoma yang paling sering ditemukan di daun telinga.
Tumor ini bisa meluas dari daun telinga ke telinga tengah, mastoid dan bagian skuamosa
tulang temporal.
2. Tumor ganas epitel kelenjar
Adenokarsinoma
88
Adenokarsinoma dapat berasal dari kelenjar sebasea atau kelenjar serumen di liang telinga
ataupun merupakan penyebaran dari tumor parotis.
B. Tumor mesenkim
Sarkoma
Sarkoma merupakan tumor telinga yang jarang sekali terjadi, lebih sering ditemukan pada
usia muda. Tumor ini bersifat invasifsecara local, cepat membesar, metastasis jauh melalui
aliran darah dan aliran limfe, tetapi tidak mengenai kelenjar limfe regional. 1,2
C. Tumor ganas yang asalnya susah diketahui
Melanoma maligna
Tumor ini bisa merupakan tumor primer di daun telinga, liang telinga ataupun di telinga
tengah. Pada kebanyakan pasien sudah ditemukan pembesaran kelenjar limfe regional
walaupun tumornya masih kecil.1,2
Pola Penyebaran
a. Telinga luar3,4
Karsinoma sel basal liang telinga luar biasanya mulai dari 1/3 luar liang telinga, kemudian
berkembang secara cepat ke perikondrium, akhirnya merusak kartilago menyebar kea rah
telinga tengah dan mastoid.Karsinoma sel skuamosa liang telinga luar dapat tampak seperti
massa polipoid berwarna merah. Tumor bisa berinvasi ke tulang rawan atau tulang atau
menembus membrane timpani ke telinga tengah, mastoid dan kanalis fasialis.
89
Gambar 2.3 Massa berukuran 3,5 x 2,5 cm di daun telinga; secara histopatologi adalah
karsinoma sel basal5
b. Telinga tengah ( kavum timpani, mastoid dan tuba Eustachius )6,7,8
Berbagai jenis tumor jinak dan ganas, dapat berasal dari telinga tengah mastoid dan daerah
sekitarnya, terutama pada liang telinga. Tumor ini dapat dianggap primer, menunujukkan
asalnya dari tulang temporal, atau sekunder yang menunjukkan metastase ke tulang temporal
dari suatu tempat yang jauh, atau menginvasi telinga dari daerah sekitarnya, biasanya kelenjar
parotis.
Tumor Primer
Dari jenis tumor primer, tumor glomus jugularis timpanikum merupakan yang paling lazim
dan paling penting. Tumor berasal dari badan glomus dekat bulbus jugularis pada dasar
telinga tengah atau berasal dari penyebaran saraf di manapun dalam telinga tengah. Secara
histologist tumor serupa dengan tumor korpus karotis atau kemodektoma. Suatu varian ganas
telah dilaporkan namun sangat jarang. Dengan ekspansinya tumor dapat merusak jaringan di
sekitarnya dan menyebabkan gangguan pendengaran dan rasa penuh pada telinga dan pada
beberapa kasus dapat meluas ke basis cranium, menimbulkan komplikasi saraf kranialis dan
intrakranialis. Tumor ini sangat vascular, dan seringkali dapat terlihat sebagai suatu massa
keunguan di dasar telinga tengah lewat membrane timpani yang semitransparan. Kepucatan
yang timbul pada penekanan dengan
90
otoskop pnemotik di sebut tanda Brown. Tumor jinak lain termasuk neurofibroma saraf
fasialis, hemangioma dan osteoma.
Tumor ganas primer pada rongga telinga tengah antara lain : karsinoma sel skuamosa,
rabdomiosarkoma, karsinoma kistik adenoid dan adenokarsinoma.Tumor dapat pula meluas
ke anterior lewat fisura – fisura menuju kelenjar parotis dan fossa pterigomaxillaris.Tumor
ganas telinga tengah yang paling umum pada dewasa adalah karsinoma kistik adenoid dan
adenokarsinoma. Tumor ganas yang paling sering meluas dari liang telinga ke telinga tengah
adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor lain yang berasal dari liang telnga dan meluas ke
telinga tengah (lebih jarang) adalah karsinoma kistik adenoid, melanoma maligna dan sel
basal karsinoma yang ditelantarkan.
Tumor sekunder
Tumor yang berasal dari focus primer yang jauh dan bermetastasis ke telinga tengah, mastoid
dan tulang temporal termasuk adenokarsinoma prostat, karsinoma payudara, hipernefroma
atau karsinoma ginjal, karsinoma bronkus, saluran cerna dan melanoma.
Disamping itu, telinga tengah dan mastoid dapat diinvasi oleh tumor dari daerah sekitar
seperti meningioma, neuroma akustik, glioma, neurilemoma, karsinoma kistik adenoid dan
mukoepidermoid dari kelenjar parotis dan kanker nasofaring yang meluas hingga ke tuba
Eustachius. Keganasan hematologis seperti limfoma maligna dan leukemia sering
menyebabkan tulang temporal hamper selalu memperlihatkan sumsum tulang apeks petrosa
dan juga menginfiltrasi telinga tengah dan tuba Eustachius, menimbulkan gangguan
pendengaran konduktif dan terbentuknya efusi. Pada leukemia berat atau terminal dapat
terjadi perdarahan telinga dalam yang menyebabkan tuli berat mendadak dan gejala – gejala
vestibular.
Gejala Klinis
Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran, dan vertigo bila
labirin vestibular terlibat. Saraf fasialis menjadi lumpuh bila tumor mengerosi dinding kanalis
posterior dan melibatkan saraf tersebut, namun dalam hal ini biasanya terjadi pada akhir
perjalanan penyakit.1,2
91
Tumor ganas daun telinga dapat berupa tumor superficial dengan atau tanpa ulserasi
tergantung jenis tumornya, sehingga mudah dideteksi secara dini. Tumor ganas liang telinga
dan telinga tengah sering terlambat diketahui oleh karena tidak cepat dapat terlihat dan
gejalanya seringkali hanya menyerupai penyakit infeksi oleh karena biasanya penyakit ini
timbul pada telinga yang sebelumnya telah menderita otitis media supuratif kronik. 1,2
Pada keadaan ini otorea yang biasanya purulen berubah menjadi hemorhargik. Nyeri yang
hebat bisa disebabkan oleh otitis eksterna atau otitis media, tetapi bila tumor ganas telinga
disertai nyeri hebat, sangat mungkin disebabkan oelh invasi tumor ke tulang. Paresis fasial
perifer sering terjadi di samping gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan.
Terkenanya n. IX, X, XI dan XII menandakan penyebaran ke basis fosa kranii media dan
menandakan penyakit yang incurable.
c. Telinga dalam9,10
Tumor terpenting dari sistem vestibular adalah schwannoma (acoustic neuroma). Tumor ini
tidak selalu menginvasi vestibulum, tapi dapat juga terjadi pada kasus neurofibromatosis.
Vestibular schwannoma sebagian besar berasal dari glial-neurilemmal junction dari saraf
kranial ke delapan, yang umumnya terletak di antara meatus auditorius interna.Metastase
tumor dapat terjadi ke telinga tengah, namun hal tersebut jarang terjadi.
Klasifikasi
Klasifikasi tumor ganas telinga tidak ditemukan di dalam klasifikasi TNM dari UICC tahun
1987. Goodwin membagi pasien berdasarkan penyebaran ke arah medial menjadi 3 golongan
yang kelihatannya praktis untuk penggunaan klinik:1,2
1 .Golongan 1: tumor yang mengenai konka daun telinga dan / atau bagian tulang rawan liang
telinga.
2 .Golongan 2: tumor mengenai bagian superfisial tulang temporal yaitu bagian tulang dari
liang telinga dan korteks mastoid.
92
2. Golongan 3: tumor sudah mengenai struktur dalam tulang temporal, telinga tengah, kanalis
fasial, basis kranii atau sel mastoid. Ada atau tidaknya pembesaran kelenjar limfe regional
harus diperhatikan secara terpisah.
Gambar 2. 4 Berbagai macam lesi telinga11
93
Diagnosis
Bila mungkin secepatnya dilakukan biopsi dari liang telingaatau dari leher. Otitis eksterna
kronik yang menetap merupakan indikasi pasti untuk biopsi liang telinga.
Gambar 2.5 Morphea type dari karsinoma sel basal daun telinga12
Gambar 2.6 Adenoma telinga tengah12
Gambar 2.7 Vestibular Schwannoma12
Pemeriksaan radiologik memegang peranan yang sangat penting untuk melihat lokasi tumor
dan perluasannya dengan tepat. Tanpa bantuan gambaran radiologi rencana pembedahan
94
dan radioterapi tidak dapat dibuat dengan baik. Politomografi dan CT scan dengan bidang
aksial dan koronal akan dapat membantu diagnosis yang lebih dini dan lebih memperlihatkan
perluasan tumor. Tomogram lateral penting untuk memperlihatkan erosi dinding liang
telinga.
Erosi di dinding tulang yang membatasi telinga tengah dapat dilihat pada potongan koronal
tomogram.
Lokasi dan perluasan tumor ( jaringan lunak ) ke fosa infra temporal dapat dilihat dengan CT
Scan. Venojugulogram dan arteriografi a. karotis kadang – kadang diperlukan untuk melihat
apakah ada infiltrasi tumor ke sinus lateralis dan bulbus jugularis atau ke a. karotis
interna.Ada kalanya terutama bila ada infeksi penunjang, tumor dapat menimbulkan gejala
pengeluaran secret, khususnya secret berdarah.
CT scan
CT scan dengan kontras merupakan uji diagnostik yang paling bermanfaat.
Angiografi dan Venografi
Pada beberapa kasus perlu dilakukan angiografi dan venografi jugular retrograde untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan suplai darah dan derajat tumor.
Pengobatan
Beberapa penulis menganjurkan terapi radiasi untuk tumor ganas telinga, tetapi kondritis
yang disebabkan oleh radiasi dan nekrosis tulang yang terkena radiasi sering kali merupakan
komplikasi yang serius yang sukar untuk diatasi. Disamping itu radiasi juga akan
menimbulkan kesulitan untuk menentukan batas perluasan tumor. Cara pengobatan terbaik
menurut kebanyakan ahli adalah terapi operatif dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh
(“intoto”). Bila perlu dapat diiringi radioterapi.
Bila tumor ditemukan dini, pasien memiliki lebih banyak kesempatan untuk sembuh
dibandingkan bila tumor telah lanjut sehingga memerlukan reseksi tulang temporal, dengan
kemungkinan kelangsungan hidup lebih sempit. Rabdomiosarkoma menyerang anak – anak
95
kecil. Penyakit ini pernah dianggap fatal namun dalam tahun – tahun terakhir telah dilaporkan
kesembuhan dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
Tindakan Operasi
Suatu diagnosis jaringan sudah tentu memerlukan eksplorasi bedah pada tempat tersebut dan
pembedahan merupakan bentuk pengobatan yang lebih disukai pada kebanyakan kasus. Bila
tumor luas sering terdapat indikasi gabungan pembedahan dan radioterapi.
Oleh karena kompleksnya teknik operasi dan letak tumor, serta sulitnya melakukan
rekonstruksi luka operasi, kadang – kadang reseksi yang adekuat dari luas operasi harus
dikompromikan.
1. Tumor ganas daun telinga
Tumor ganas yang masih terbatas pada daun telinga dapat diangkat dengan berbagai macam
cara insisi dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi daun telinga.
2. Tumor ganas liang telinga
Tindakan operasi tumor ganas liang telinga lebih rumit oleh karena letak anatominya yang
berdekatan dengan koklea dan labirin, n. VII serta kaput mandibula.
Tumor ganas liang telinga yang masih terbatas pada bagian membrane (1/3 luar) memerlukan
eksisi luas jaringan lunak diikuti dengan tandur kulit.Tumor ganas yang mengenai bagian
tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan ekstirpasi luas mencakup seluruh liang telinga
beserta membrane timpani dengan memperhatikan usaha untuk mencegah trauma n. VII.
Teknik operasinya disebut reseksi partial tulang temporal.
Cara reseksi partial tulang temporal ialah dengan melakukan mastoidektomi simple untuk
mengidentifikasi n. VII. Kemudian mengangkat seluruh liang telinga dan membrane timpani
secara utuh. Untuk tindakan ini pendekatan dilakukan dari dua arah. Yang pertama di sebelah
atas liang telinga melalui epitimpanum dan ramus zigoma kearah rongga sendi
temporomandibula. Pendekatan kedua dilakukan dengan membuat lubang – lubang kecil di
96
sebelah depan kanalis fasialis dengan bor kecil ke arah resesus fasialis di kavum timpani
untuk mencegah paresis fasial waktu pengangkatan seluruh liang telinga secara luas. Sisa
perlekatan setelah kedua pendekatan operasi itu dilakukan dilepaskan dengan bantuan
osteotom.
Jika pneumatisasi mastoid buruk maka dilakukan pengangkatan liang telinga sedikit demi
sedikit (“piecemeal removal”). Pasca operasi diberikan radiasi, terutama bila diduga ada sisa
– sisa tumor yang tertinggal.
3. Tumor ganas telinga tengah dan mastoid
Bila tumor ganas sudah mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka dilakukan reseksi
tulang temporal subtotal. Pada operasi ini dilakukan pengangkatan seluruh tulang temporal di
sebeah lateral dari meatus akustikus internus, sehingga hanya apeks petrosus yang tertinggal.
Pendekatan dilakukan melalui tiga arah. Pendekatan dari arah superior dengan membuang
sebagian besar tulang skuamosa sehingga tampak dura di daerah itu, kemudian tulang
petrosus dicapai.1,2
Pendekatan dari arah posterior dengan melakukan insisi tulang pada garis vertical tepat di
belakang tulang mastoid untuk membebaskan sinus sigmoid dan sinus lateral. Pendekatan
dari arah anterior dilakukan dengan melakukan insisi pada prosessus zigomatikus, prosessus
kondiloideus mandibula, kemudian ke fosa glenoidea sehingga hampir mencapai a. karotis
dan tampak tuba Eustachius. Kemudian basis prosessus stiloideus dipotong. Jaringan dapat
dilepaskan dengan menempatkan pahat di sebelah medial alur digastrik lalu memotong tulang
ke arah atas.1,2
Bila tumor telah mencapai apeks petrosus, maka dapat dilakukan reseksi total tulang
temporal. Untuk membuang apeks petrosus diperlukan diseksi a. karotis dan melepaskan
apeks petrosus dari dasar tengkorak. Tindakan ini penuh risiko terjadinya trauma a. karotis
dan kebocoran cairan otak yang akan lebih sukar diatasi. Oleh karena tindakan ini
mempunyai komplikasi berbahaya yang tinggi sekali dan prognosisnya tidak lebih baik dari
reseksi subtotal, hanya sedikit ahli yang melakukannya. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa
bila tumor telah mengenai apeks petrosus maka tumor sudah tidak mungkin di operasi
lagi.1,2
97
Radioterapi
Para radioterapis pada umumnya sependapat bahwa segala jenis radioterapi untuk karsinoma
yang telah menginvasi tulang sedikit sekali gunanya. Radioterapi pre – operatif diindikasikan
untuk tumor yang telah menyebar luas dimana telah terjadi penyebaran ke dura. Dosis radiasi
pre operatif tidak melebihi 4000 rad.1,2
Radioterapi pasca operatif diindikasikan untuk pasien yang telah menjalani operasi sebelum
tindakan reseksi tulang temporal. Juga untuk kasus yang pada saat operasi tidak jelas batas
tumornya sehingga tidak bisa terangkat semuanya ataupun pada tumor yang besar walaupun
tepi operasi dianggap bebas tumor. Pemberian radiasi dianjurkan 4 – 6 minggu setelah
tindakan operasi dengan dosis yang tidak melebihi 4500 rad.1,2
Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang sangat lanjut atau kasus yang kambuh setelah
tindakan operasi dengan tujuan untuk mengatasi otore yang banyak, nyeri dan perdarahan.
Tumor yang tidak lagi dapat direseksi memperlihatkan respon dengan radioterapi.1,2
Komplikasi Operasi
Tindakan operasi sering kali harus meninggalkan defek yang luas yang memerlukan tindakan
rekonstruksi yang sulit. Nervus fasial dan telinga sering kali harus dikorbankan sehingga
pasca operasi terjadi paresis fasial dan tuli saraf yang menetap serta vertigo untuk beberapa
minggu.Komplikasi operasi yang paling serius adalah kebocoran cairan otak yang dapat
berlanjut ke arah terjadinya meningitis dan abses otak.6,8,11
Operasi tulang temporal banyak menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang hebat dapat
terjadi bila terdapat trauma pada sinus otak ataupun dari a. karotis interna. Bila terjadi
thrombosis a. karotis interna dapat terjadi hemiplegia.Infeksi pasca operasi sering kali terjadi
terutama akibat lamanya tindakan operasi.Tindakan operasi yang berat ini juga dapat
menimbulkan kematian. Conley mendapatkan angka kematian 27 % akibat tindakan operasi
dan komplikasi pasca operasi.6,8,11
98
Prognosis Prognosis tumor ganas telinga masih buruk. Kemajuan dalam teknik operasi dan radioterapi
belum banyak memperbaiki prognosis.Angka bertahan hidup 5 tahun yang dilaporkan oleh
kebanyakan penyelidik ternyata masih rendah, Lewis 27 %, Conley dan Goodwin 41 %, John 18
% serta Wang 48 %.1,2
99
BAB VIII
KESIMPULAN
Tumor ganas dalam bidang THT memiliki tantangan baik dalam mendiagnosis
maupun mengatasinya. Dalam bidang THT tumor ganas dapat dibagi menjadi tumor ganas
rongga mulut, tumor ganas hidung dan sinonasal, tumor ganas nasofaring, dan tumor ganas
laring. Tumor ganas rongga mulut dapat ditemukan berupa Kanker pada lidah, kanker dasar
mulut, kanker pada mukosa pipi, kanker pada gingiva, kanker pada palatum, kanker daerah
tonsil. Tumor ganas hidung dan sinonasal terdiri karsinoma sel skuamosa, mikroskopik
keratinizing squamous cell carcinoma, undifferentiated carcinoma, limfoma maligna
Adenokarsinoma, melanoma maligna. Adapun tanda dan klasifikasi tumor
Tumor primer (T)
TX tumor primer tidak dapat dievaluasiT0 Tidak ada bukti tumor primerTis Karsinoma in situ (CIS, sel-sel abnormal yang muncul tapi tidak menyebar ke jaringan tetangga, meskipun bukan kanker, CIS dapat menjadi kanker dan kadang-kadang disebut kanker preinvasive)T1, T2, T3, T4 Ukuran dan / atau besarnya tumor primer
Nodul (N)
NX Regional kelenjar getah bening tidak dapat dievaluasiN0 Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening daerahN1, N2, N3 Keterlibatan kelenjar getah bening regional (jumlah kelenjar getah bening dan / atau tingkat penyebaran)
Metastasis (M)
MX metastasis jauh tidak dapat dievaluasiM0 Tidak ada metastasis jauhJauh metastasis M1 hadir
100
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran
Akibat Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok
Kepala & Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
2. Anatomi fisiologi telinga. Available from : http://arispurnomo.com/anatomi-
fisiologi-telinga
3. Telinga : Pendengaran dan sistem vestibular. Available from :
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://
webschoolsolutions.com/patts/systems/ear.htm
4. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit
THT,hal.129.EGC,Jakarta.
5. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-
76.EGC,Jakarta
6. Anatomi dan fisiologi hidung. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21283/4/Chapter%20II.pdf
7. Anatomi dan fisiologi system pernapasan. Available from :
http://fraxawant.wordpress.com/2008/07/16/anatomi-dan-fisiologi-sistem-
pernapasan/
8. Difteri. Available from http://www.scribd.com/doc/44244704/Refrat-Difteri-Sari
9. Difteri tonsil. Available from http://www.scribd.com/doc/36494895/difteri-tonsil
10. Highler A B, Boies Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1997. Edisi 6. Hal 264-71, 322, 429-52.
11. Soepardi E A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2007. Edisi 6. Hal 4-6, 191-3.
12. American Society of Clinical Oncology (ASCO), Oral and Oropharyngeal
Cancer. diunduh dari
http://www.cancer.net/patient/Cancer+Types/Oral+and+Oropharyngeal+Cancer.
December 07, 2011.
13. American Cancer Society, Oral Cavity and Oropharingeal Cancer.
Diunduh dari :
http://www.cancer.org/Cancer/OralCavityandOropharyngealCancer/index.
101
14. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Dalam Soepardi EA, Iskandar N Ed.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Edisi
ke-5. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001. h. 156-62.
15. Spector, Ogura JH. Tumor Laring dan Laringofaring. Dalam. Ballenger JJ, Ed.
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid I. Edisi ke-13. Jakarta
: Binarupa Aksara. 1997. h. 621-77.
16. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A. Short Practice of Otolaryngylogy India
: All Publisher & Disatributor, 1993. h. 335-43.
17. Basyiruddin H. Penanggulangan Karsinoma Laring di Bagian THT RSAPD Gatot
Subroto. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati. Ujung Pandang, 1986. h.
185-93.
18. Mulyarjo. Hasil Pembedahan pada Karsinoma Laring di UPF THT RSUD DR.
Sutomo Surabaya. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati, Batu Malang, 27-
29 Oktober 1996. h. 1075-9.
19. Adam GL., IR, Paparella MW. Fundamental of Otolaryngology. Edisi ke-5 ed.
Philadelphia WB. Saunders, 1978. h. 446-7.
20. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear Nose and Throat diseases, A. Pocket
Reference. Edisi ke-2. New York. Thieme Med. 1994. h. 423-32.
21. Bailey BJ. Early Glottic Carcinoma. Dalam : Bailey BJ. Ed. Head and Neck
Surgery Otolaringology. Vol. 2. ed Philadelphia. JB Lippincot. h. 1313-60.
22. Lawson W, Biller HFM, Suen JY. Cancer of the Larynx. Dalam Myers EN, Suem
JY. Ed. Cancer of the Head and Neck. Churchill Livingstone. h. 533-60.
23. Hanna E, Suen JY. Larynx. Dalam : Closel G, Larson DL, Shah JP, Essential of
Head and Neck Oncology. New York Thieme, 1998. h. 223-39.
24. Hermani B. Abdurrahman H. Tumor laring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007. h. 194-198.
25. Roezin A. Sistem Aliran Limfa Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2007. h. 174-177.
26. Cohen James I. Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. h. 369-376.
102
28. Weisman Robert A. Moe Kris S. Orloff Lisa A. Neoplasms Of The Larynx & Laryngopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi-16. Spain. BC Decker inc. 2003. h. 1255-1292.
29. Charous Steven J. Early Stage Head & Neck Cancer Surgery. Head and Neck Cancer. United States of America. Kluwer Academic Publishers. 2004. h. 85-114.
103