40

KERTAS POSISI118.97.55.131/.../uploads/2018/09/KERTAS-POSISI_Final-1.pdf · 2019. 9. 25. · Kertas posisi ini dirumuskan dengan tujuan sebagai berikut. 1. Menjawab ketiga pokok persoalan

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • KERTAS POSISI

    PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL

    PENYIARAN:

    KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN

    MULTIPLEKSING

    DEWAN PENGAWAS

    LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

    (LPP RRI) JAKARTA

    2018

  • PENGANTAR

    Eksistensi Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (Public Service

    Broadcasting) merupakan keniscayaan di negara demokrasi yang bertujuan

    merawat kebhinekaan, konektivitas informasi dan menjalankan fungsi edukasi

    untuk mencerdaskan bangsa sesuai dengan tujuan nasional. Sebagai lembaga

    milik negara, LPP memerlukan regulasi yang mampu memperkuat

    eksistensinya.

    Rancangan perubahan Undang-Undang (RUU) No. 32/2002 tentang Penyiaran,

    telah dimulai sejak Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 hingga saat

    ini belum selesai. Perubahan undang-undang tersebut diharapkan dapat

    menyempurnakan UU No. 32/2002, terutama dalam menyikapi kejelasan

    kelembagaan LPP dan perkembangan teknologi digital. Terdapat tiga isu

    krusial yang mengemuka selama proses pembahasan rancangan perubahan

    undang-undang yang mempengaruhi keberadaan LPP RRI, yakni (1)

    kelembagaan RRI (2) model pengelolaan multiplex dan (3) isu Lembaga

    Penyiaran Khusus.

    Saat ini, ada wacana agar pemerintah mengeluarkan Perppu sebagai pengganti

    UU Penyiaran Nomor 32/2002. Perppu tersebut diharapkan menjadi penguatan

    untuk LPP, dan tidak mendegradasi posisi RRI sebagai Badan Layanan Umum

    (BLU). Oleh karena itu, kami merasa penting untuk menyusun kertas posisi

    dalam menyikapi ketiga isu krusial tersebut. Ada tiga tujuan utama

    penyusunan Kertas Posisi ini. Pertama, mengartikulasikan aspirasi RRI terkait

    dengan proses perubahan UU Penyiaran agar menjamin dan memperkuat

    eksistensi Lembaga Penyiaran Publik. Kedua, menyamakan persepsi dan sikap

    para pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap perlunya memperkokoh

    LPP di Indonesia dalam rangka merawat kebhinekaan, konektivitas informasi

    dan menjalankan fungsi edukasi untuk mencerdaskan bangsa sesuai dengan

    tujuan nasional. Ketiga, menyajikan hasil kajian bagi pengambil keputusan

    sehingga memiliki dasar yang kuat dalam perumusan kebijakan.

    Kertas posisi ini merupakan representasi pandangan dan sikap LPP RRI

    terkait tiga isu tersebut. Oleh karena itu, kami berharap agar DPR dan

    Pemerintah mempertimbangkan kertas posisi ini dalam menyusun draf

    undang-undang ataupun PERPPU. Selain itu, kami juga berharap agar

    substansi kertas posisi ini dapat dibaca oleh seluruh masyarakat Indonesia baik

    dari kalangan akademisi, pengamat, aktivis, mahasiswa, pelajar, dan elemen

    masyarakat lainnya agar mengetahui betapa pentingnya keberadaan lembaga

    penyiaran publik.

  • Pandangan LPP RRI ini kiranya dapat menjadi salah satu pijakan bagi usaha

    kita untuk memperkuat keberadaan LPP RRI sebagai pilar demokrasi di

    Indonesia. Ini karena lembaga penyiaran publik yang kuat dan bisa dipercaya

    akan mampu menjadi ‘penopang’ utama demokrasi berdasarkan prinsip-prinsip

    universal Lembaga Penyiaran Publik. Dalam konteks Indonesia, keberadaan

    LPP yang kuat menjadi semakin mendesak terutama karena beragamannya

    masyarakat Indonesia baik ditinjau dari sisi budaya (bahasa, adat-istiadat),

    agama, dan juga pandangan-pandangan politik. Dalam kondisi ini, dibutuhkan

    suatu Lembaga Penyiaran Publik yang kuat, yang mampu menaungi pluralitas

    tersebut.

    Jakarta, 20 Mei 2018

    Ketua Dewan Pengawas LPP RRI

    Mistam, S.Sos.,M.Si

  • DAFTAR ISI

    PENGANTAR

    BAB I. PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang 1

    B. Rumusan Masalah 2

    C. Tujuan 3

    D. Kegunaan 3

    E. Metode 3

    BAB II. KAJIAN TEORI: 5

    URGENSI LPP DALAM SISTEM DEMOKRASI

    A. Landasan Filosofi 6

    B. Pengertian, Prinsip, dan Fungsi Penyiaran Publik 7

    C. LPP Sebagai Ruang Publik Deliberatif 9

    BAB III. TIGA ISU KRUSIAL: 11

    TANTANGAN BAGI KEBERADAAN LPP

    A. Model Pengelolaan Multiplex 11

    B. Lembaga Penyiaran Khusus 16

    C. Isu BLU untuk RRI dan TVRI 19

    BAB IV. PENUTUP 25

    A. Simpulan 25

    B. Rekomendasi 26

    DAFTAR PUSTAKA 29

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    BAB I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Proses legislasi Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran untuk

    menggantikan UU No. 32/2002 tentang Penyiaran sudah berlangsung

    selama dua periode legislatif dan belum terselesaikan hingga saat ini. Hal

    ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pilihan model

    pengelolaan multiplex antara model single mux (pengelolaan multiplex

    sepenuhnya oleh negara) dan model multi mux (pengelolaan multiplex

    melibatkan swasta).

    Berlarut-larutnya pembahasan RUU Penyiaran berimplikasi terhadap

    penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, terutama masalah migrasi analog

    ke digital. Hal Ini karena Indonesia sebagai bagian dari anggota ITU

    (International Telecommunication Union) terikat dengan kesepakatan untuk

    menjalankan digitalisasi penyiaran terestrial yang seharusnya sudah

    terlaksana paling lambat Juni 2015.

    Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen

    Kominfo) telah menetapkan bahwa pada 2018 merupakan tahap akhir

    proses migrasi dari analog ke digital (fully digital) di seluruh Indonesia.

    Adapun Analog Swicthed Off (ASO) dijawalkan tercapai pada 2020 (lihat

    Buku Putih Digitalisasi Penyiaran TV, Kemen Kominfo, 2009). Namun,

    sampai kwartal pertama 2018, proses migrasi tersebut belum dapat dimulai

    karena terkendala oleh regulasi. Undang-undang Nomor 32/2002 tentang

    Penyiaran meskipun dipandang demokratis, tetapi belum mengakomodasi

    sistem penyiaran digital. UU Penyiaran No. 32/2002 masih bersifat analog.

    Upaya Pemerintah untuk memulai program digitalisasi televisi pernah

    dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan

    Informatika No. 22/2011, tetapi Permen tersebut dibatalkan oleh Mahkamah

    Agung (MA) karena tidak memiliki payung hukum. Perubahan UU

    Penyiaran 2002 sebagai inisiatif DPR diharapkan akan memecahkan

    persoalan tersebut sehingga ketika proses perumusan draf RUU Penyiaran

    tidak kunjung selesai menimbulkan persoalan karena menghambat

    digitalisasi penyiaran di Indonesia berdasarkan kesepakatan ITU. Oleh

    karena itu, tidak mengherankan jika ada wacana agar

    pemerintah mengeluarkan PERPPU seandainya perubahan undang-undang

    belum bisa dilesaikan dalam waktu dekat.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Perbedaan pilihan pengelolaan multiplex hanya satu diantara beberapa

    persoalan yang muncul selama pembahasan perubahan undang-undang

    ataupun PERPPU. Persoalan lain adalah munculnya wacana Lembaga

    Penyiaran Khusus (PLKh) dalam draf perubahan Undang-Undang

    Penyiaran. Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) diperuntukkan bagi

    kementerian/lembaga negara ataupun partai politik. Artinya,

    kementerian/lembaga-lembaga pemerintahan dan partai politik akan

    diizinkan untuk memiliki lembaga penyiaran tersendiri.

    Terkait kelembagaan, Pemerintah berwacana menjadikan RRI dan TVRI

    sebagai Badan Layanan Umum (BLU) meskipun Komisi 1 DPR RI dalam

    prolegnas telah sepakat untuk menjadikan Radio dan Televisi Republik

    Indonesia (RTRI) sebagai lembaga negara yang independen. Niatan

    pemerintah untuk menjadikan RRI dan TVRI sebagai BLU semakin kuat

    sehubungan dengan munculnya pemikiran untuk menerbitkan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) bidang penyiaran jika

    proses legislasi mengalami kemacetan (Kompas, 18 Mei 2018). Ini karena

    substansi Perppu sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah, dan proses

    penyusunannya tidak berlangsung secara terbuka seperti undang-undang.

    Berdasarkan latar belakang tersebut, Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran

    Publik Radio Republik Indonesia (Dewas LPP RRI) memandang penting

    untuk melakukan kajian secara mendalam terhadap tiga isu sebagaimana

    dipaparkan di atas dalam bentuk kertas posisi (position paper). Kertas posisi

    ini diharapkan dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan

    pengambil keputusan dalam merancang dan merumuskan sistem penyiaran

    di Indonesia, terutama terkait dengan lembaga penyiaran publik.

    B. Rumusan Masalah

    Guna memudahkan proses kerja, kiranya perlu dirumuskan permasalahan.

    Adapun rumusan permasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

    1. Apakah BLU menjadi alternatif kelembagaan yang tepat bagi LPP

    RRI?

    2. Apakah BLU sesuai dengan visi LPP RRI untuk menjadi lembaga

    penyiaran yang terpercaya dan mendunia? Seberapa kuat BLU dapat

    menjamin independensi RRI sebagai lembaga penyiaran publik?

    3. Model pengelolaan multiplex manakah yang tepat untuk diterapkan di

    Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi Republik Indonesia: single

    mux ataukah multi mux?

    4. Apa implikasi kehadiran LPKh dalam sistem demokrasi yang tengah

    dibangun oleh Bangsa Indonesia, termasuk implikasinya bagi LPP RRI

    dan LPP TVRI? Lalu, bagaimana bentuk kelembagaannya jika benar-

    benar dibentuk LPKh?

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    C. Tujuan

    Kertas posisi ini dirumuskan dengan tujuan sebagai berikut.

    1. Menjawab ketiga pokok persoalan sebagaimana dipaparkan di atas

    melalui kajian yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

    2. Mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan RRI yang oleh UU No.

    32/2002 dinyatakan sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP)

    independen sehingga harus tetap dijamin dan diperkuat dalam UU

    Penyiaran baru.

    3. Menyediakan bahan referensi bagi para pemangku kepentingan

    terutama terkait dengan pengelolaan multipleks dalam sistem

    penyiaran digital, keberadaan LPKh, dan kelembagaan RRI (RTRI).

    D. Kegunaan

    Adapun manfaat adanya kertas posisi ini adalah sebagai berikut.

    1. Menjadi rujukan dalam pembentukan persepsi yang sama antara DPR,

    Pemerintah, LPP RRI, masyarakat sipil, maupun pemangku

    kepentingan (stakeholders) lainnya mengenai model pengelolaan

    multiplex, isu LPKh dalam RUU Penyiaran, dan wacana pembentukan

    BLU untuk RRI/TVRI.

    2. Sebagai panduan dalam pembentukan kesamaan pandangan dan sikap

    seluruh insan LPP RRI mengenai pentingnya mengawal proses

    legislasi RUU Penyiaran agar sesuai dengan kepentingan RRI sebagai

    LPP dan untuk kepentingan NKRI serta untuk memperkuat demokrasi

    di Indonesia.

    3. Sebagai dasar pijakan perjuangan UU Penyiaran baru yang sesuai

    dengan aspirasi masyarakat dan para angkasawan RRI.

    E. Metode

    Untuk merumuskan kertas posisi ini, digunakan beragam metode

    (triangulasi), yang mencakup kajian-kajian pustaka, kajian tekstual yuridis,

    dan diskusi intensif terbatas dengan beberapa narasumber yang menguasai

    bidang tersebut. Diskusi-diskusi itu telah dilakukan oleh RRI dengan

    berbagai kesempatan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi publik.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    BAB II. KAJIAN TEORI:URGENSI LPP DALAM

    SISTEM DEMOKRASI

    Keberadaan lembaga penyiaran publik dalam sistem demokrasi sangat penting,

    dan bahkan menjadi suatu keharusan. Sistem demokrasi membutuhkan berita

    dan informasi yang akurat, mencerahkan, dan objektif. Hal ini tidak bisa

    dipenuhi dengan baik oleh lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran

    pemerintah (goverment broadcasting) (Seneviratne, 2006).

    Lembaga penyiaran swasta menempatkan penonton sebagai konsumen, bukan

    sebagai warga negara (Croteau dan Hoyness, 2006). Oleh karena itu, lembaga

    penyiaran swasta hampir selalu melayani kelompok yang bisa membayar

    dengan lebih baik sehingga tidak mungkin muncul kesetaraan dalam layanan.

    Singkatnya, menurut Kellner (1990), lembaga penyiaran swasta cenderung

    ditentukan oleh the logic of accumulation and exclusion (Hidayat, 2002).

    Akibatnya, cenderung mengangkat isu-isu yang tidak bertentangan dengan

    kepentingan korporasi dalam konteks akumulasi modal. Di Indonesia, beberapa

    studi menunjukkan bahwa lembaga penyiaran swasta digunakan oleh

    pemiliknya untuk kepentingan politik praktis (Rianto dkk, 2014) sehingga

    menciptakan produk jurnalisme yang tidak objektif dan bias (Wicaksono dkk,

    2015; Siregar dkk, 2014; Masduki dkk, 2014; Heychael dan Dona, 2014).

    Lembaga penyiaran pemerintah (goverment broadcasting), di sisi lain, mungkin

    akan bertindak sebagai penjamin kepentingan publik, tetapi kepentingan itu

    didefinisikan oleh pemerintah (Seneveratne, 2006). Hal ini membuat lembaga

    penyiaran pemerintah lebih sering melayani kepentingan kekuasaan daripada

    kepentingan publik. Pada masa Orde Baru, misalnya, lembaga penyiaran

    pemerintah digunakan untuk melayani dan melanggengkan kekuasaan dengan

    cara membiaskan berita dan informasi (Lihat Sudibyo, 2004; Kitley, 2001). Oleh

    karenanya, pada saat itu lembaga penyiaran pemerintah tidak bisa dipercaya

    untuk menampilkan informasi yang benar, jujur, dan akurat, yang semata-

    mata diorientasikan untuk kepentingan publik.

    Uraian berikut akan memaparkan keberadaan lembaga penyiaran publik baik

    ditinjau secara filosofis dan teori lembaga penyiaran publik, termasuk di

    dalamnnya kajian mengenai hakikat dan fungsi lembaga penyiaran publik.

    Paparan ini dimaksudkan untuk memberikan penjernihan secara teori konsep

    lembaga penyiaran publik dalam sistem demokrasi yang dalam konteks

    Indonesia belum banyak dipahami. Padahal, keberadaan LPP sangat strategis

    dalam sistem demokrasi.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    A. Landasan Filosofi

    Dalam perspektif konstitusi negara, keberadaan LPP adalah ‘sarana’ yang

    harus disediakan oleh negara sebagaimana pembangunan infrastruktur,

    pembangunan sarana pendidikan ataupun kesehatan, dalam rangka meraih

    tujuan negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

    Ada empat tujuan didirikannya negara Indonesia, yakni melindungi segenap

    Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

    memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

    ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

    perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, kehadiran LPP

    penting bagi negara untuk mewujudkan tujuan negara, terutama dalam

    kerangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan

    bangsa.

    Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) memberikan jaminan hak-hak

    berkomunikasi warga negara melalui Pasal 28 E dan F. Pasal 28 E ayat (3)

    menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

    berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” sedangkan Pasal 28F

    menyatakan, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

    informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta

    berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

    menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang

    tersedia.”

    Pasal 28 E dengan jelas memberikan jaminan bagi kebebasan berpendapat

    setiap warga negara. Kebebasan, dalam hal ini, bersifat eksistensial (bebas

    untuk) dan sosial (bebas dari) (lihat Rianto, 2017; Berlin, 2004; Magnis-

    Suzeno, 1987). Agar masyarakat terjamin haknya dalam mengeluarkan

    pendapat maka negara harus menghilangkan hambatan-hambatan untuk

    berlakunya kebebasan itu atau mempromosikan saluran-saluran yang

    memungkinkan warga negara mendapatkan kebebasan tersebut. Salah satu

    upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan saluran media yang

    tidak terikat pada kepentingan komersial dan kekuasaan. Lembaga

    penyiaran komersial akan memberikan keistimewaan kepada pemilik modal

    (lihat Herman dan Chomsky, 1988), sedangkan lembaga penyiaran

    pemerintah memberikan keistimewaan kepada elit politik dan pemerintah.

    Jika lembaga penyiaran swasta menjadikan masyarakat sebagai konsumen,

    maka lembaga penyiaran pemerintah menjadikan masyarakat sebagai

    sasaran propaganda. Keduanya, pada akhirnya, menghambat kebebasan

    berpendapat karena menciptakan ketimpangan dalam akses dan

    menghambat masyarakat pada umumnya, kelompok-kelompok kepentingan,

    dan partai politik untuk menyuarakan pendapatnya. Di sinilah, lembaga

    penyiaran publik menjadi sangat relevan karena orientasi kepublikannya,

    yang tidak terikat pada kepentingan modal dan kekuasaan. Ini sesuai pasal

    4 PP No.12 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Indonesia (LPP RRI) bahwa RRI mempunyai tugas memberikan pelayanan

    informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta

    melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan

    masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau

    seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Seturut dengan Pasal 28E, Pasal 28F menegaskan hak berkomunikasi warga

    negara untuk mengembangkan kehidupan sosialnya. Dalam perspektif masa

    kini, keberadaan Pasal 28F ini merupakan lompatan penting jauh ke depan

    karena menempatkan komunikasi dan informasi sebagai bagian penting tak

    terpisahkan dari proses perkembangan manusia. Dengan kata lain,

    komunikasi ditempatkan sebagai kebutuhan pokok yang sama pentingnya

    dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan di mana kegagalan dalam

    pemenuhannya akan menghambat perkembangan manusia. Oleh karena itu,

    tugas negara adalah menjamin bahwa warga negara bisa mendapatkan

    informasi yang objektif, akurat, dan mencerdaskan. Tugas negara tersebut

    hanya mungkin dilaksanakan jika keberadaan lembaga penyiaran publik

    terjamin dan kuat.

    B. Pengertian, Prinsip, dan Fungsi Penyiaran Publik

    Lembaga penyiaran publik adalah organisasi penyiaran publik yang

    berbicara kepada setiap orang sebagai warga negara, dan bukannya sebagai

    konsumen (lihat Gazali, 2002). Para broadcaster lembaga penyiaran publik

    mendorong akses dan partisipasi dalam kehidupan publik (Monitoring

    Report, 2005). Mereka mengembangkan pengetahuan, memperluas

    cakrawala, dan menyediakan pemahaman yang lebih baik bagi warga negara

    mengenai diri mereka melalui pemahaman yang baik atas dunia dan

    lainnya. Lembaga layanan siaran publik mempunyai kewajiban yang

    didasarkan pada tiga prinsip utama, yakni: (1) kebijakan program siaran

    yang disesuaikan dengan public service broadcasting; (2) informasi yang

    akurat dan imparsial; serta (3) akses universal (Monitoring Report,

    2005). Broadcasting Research Unit BBC merumuskan prinsip-prinsip

    universal lembaga penyiaran publik sebagai berikut.

    1. Bisa diakses secara universal (secara geografis)

    2. Daya tarik universal, yakni memenuhi kepentingan dan selera

    khalayak

    3. Memberikan perhatian lebih kepada minoritas

    4. Memberikan kontribusi pada pembentukan dan penguatan identitas

    nasional dan komunitas

    5. Menjaga jarak dari berbagai kepentingan (vested interest)

    6. Pendanaan bersumber dari publik melalui iuran siaran (lisence fee)

    7. Mengutamakan kualitas program siaran dibandingkan kuantitas

    8. Menyediakan pedoman yang memberikan kebebasan kepada para

    pembuat program (programme makers).

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Di negara-negara demokrasi, public service broadcasting diperlukan untuk

    melakukan hal-hal berikut.

    1. Siaran yang independen, akurat, imparsial, berimbang, dan

    menyajikan berita maupun informasi yang objektif.

    2. Mendorong keberagaman program dan sudut pandang

    3. Menyiarkan siaran berita tertentu secara proporsional

    4. Mengutamakan penyiaran budaya, artistik, mendidik, kelompok

    minoritas, agama, program siaran anak-anak dan hiburan

    5. Memromosikan budaya dan nilai-nilai lokal

    6. Memproduksi dan menyiarkan program yang relevan untuk semua

    wilayah negara

    7. Menyediakan siaran gratis untuk pengumuman-pengumuman

    kepentingan publik seperti kesehatan, keselamatan berkendara/lalu

    lintas, dan pesan-pesan penting dari otoritas negara (Monitoring

    Report, 2005).

    Agar lembaga penyiaran publik dapat memenuhi perannya maka harus

    independen dari negara. Independensi itu mencakup tiga hal pokok, yakni

    sebagai berikut (Monitoring Report, 2005).

    1. Independensi dalam hal keuangan

    Pembiayaan sangat menentukan independensi lembaga penyiaran

    publik. Subsidi dari negara dilihat sebagai model yang tidak menjamin

    independensi lembaga penyiaran publik dan menciptakan

    ketergantungan. Iuran (license fee), di sisi lain, dianggap sebagai model

    ideal pembiayaan lembaga penyiaran publik sejauh terdapat

    transpransi dan akuntabilitas dalam menggunakan dana publik. Iuran

    dibayarkan oleh para pemilik radio dan televisi, dan lebih menjamin

    independensi lembaga penyiaran publik. Namun, iuran sering

    menimbulkan pertanyaan ketika bentuk-bentuk iuran tidak disertai

    standar kualitas yang tinggi, program siaran yang terlalu umum, dan

    tidak berbeda dengan lembaga penyiaran swasta.

    2. Independensi dalam manajemen

    Manajemen lembaga penyiaran publik seharusnya bebas dari

    intervensi politik dan pemerintahan karena hal itu akan mengganggu

    independensi. Pemilihan para pengelola lembaga penyiaran publik

    sering kali dilemahkan oleh pertengkaran politik, dan, sebagai

    hasilnya, kecurigaan terhadap intervensi politik sangat tinggi. Oleh

    karena itu, jika lembaga penyiaran publik ingin independen, maka

    seyogianya ia independen dalam pengelolaan dan tidak mendapatkan

    tekanan atau intervensi dari kekuatan politik yang mengganggu upaya

    untuk mencapai tujuan lembaga penyiaran publik yang independen.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    3. Independensi dalam kebijakan redaksional.

    Independensi dalam kebijakan redaksional sangat terkait erat dengan

    independensi dalam hal keuangan dan manajemen. Tanpa pembiayaan

    yang memungkinkan lembaga penyiaran publik melaksanakan

    investigasi, dan laporan berita yang mendalam, dan menghasilkan

    program-program berkualitas tinggi, atau struktur manajemen yang

    dijamin kebal terhadap tekanan-tekanan dari luar, independensi

    editorial tidak akan dapat diraih (Monitoring Report, 2005). Para

    broadcaster lembaga penyiaran publik biasanya beroperasi dengan

    suatu standar editorial dan petunjuk produksi yang ditujukan untuk

    memastikan program siaran berkualitas tinggi, akurat, dan berita

    yang tidak bias. Standar ini dilengkapi dengan mekanisme pengaturan

    sendiri dan kode etik.

    C. LPP Sebagai Ruang Publik Deliberatif

    Demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi

    secara demokratis (Hardiman, 2009a). Dalam proses pembentukan opini

    seluruh gagasan atau opini saling “beradu” sehingga masing-masing pihak

    mengajukan klaim dan argumentasi rasional. Ujung dari perdebatan itu

    adalah terciptanya konsensus. Inilah demokrasi deliberatif yang

    dibayangkan oleh Jurgen Habermas. Dalam konteks Indonesia, diskusi

    diliberatif yang diharapkan akan memunculkan konsensus pada dasarnya

    adalah musyawarah mufakat. Dengan demikian, lembaga penyiaran publik

    tidak saja mampu mendorong diskusi yang rasional dan nalar, tetapi juga

    mampu membangun identitas ke-Indonesia-an dengan menekankan prinsip-

    prinsip musyawarah mufakat dalam proses pengambilan keputusan.

    Proses deliberatif atau musyawarah mufakat akan terjadi jika ada ruang

    publik yang bebas dari intervensi kekuasaan politik (partai dan negara) dan

    ekonomi (keuntungan) (Hardiman, 2009a). Ruang publik yang bebas dari

    kepentingan politik dan ekonomi itu memungkinkan setiap warga negara

    (citizen) mendiskusikan persoalan-persoalan publik secara rasional, tanpa

    takut mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Jika ini terjadi maka

    akan memperkokoh integritas masyarakat dan negara. Ini karena rasio,

    moral, dan demokrasi berhubungan timbal balik secara setara dalam

    komunikasi diskursif mengenai kehidupan bersama secara politis

    (Hardiman, 2009b).

    Lembaga penyiaran publik menyediakan ruang publik deliberatif dengan

    memberikan akses kepada seluruh warga negara secara setara (equal). Ini

    sangat mungkin dilakukan karena lembaga penyiaran publik tidak terikat

    pada tujuan komersial perusahaan ataupun tujuan politik kekuasaan.

    Muppidi (2006) mengemukakan bahwa di tengah dominasi perusahaan

    transnasional dan menurunnya kapasitas negara bangsa, lembaga

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    penyiaran publik mempunyai kapasitas untuk bertindak sebagai watchdog

    komunitas dan menyediakan forum untuk publik aktif dan berpartisipasi.

    Lembaga penyiaran publik menghadirkan suara-suara dan sudut pandang

    yang berbeda dalam mendiskusikan masalah-masalah bersama. Hal itulah

    yang kemudian menjadi cikal bakal bagi terwujudnya demokrasi deliberatif

    sebagaimana dibayangkan oleh Jurgen Habermas (Hardiman, 2009b).

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    BAB III. TIGA ISU KRUSIAL: TANTANGAN

    BAGI KEBERADAAN LPP

    Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam kertas posisi ini, terdapat tiga hal

    yang hendak dibahas secara mendalam. Ketiga isu tersebut adalah (1) Bentuk

    kelembagaan LPP RRI (2) model pengelolaan multiplex dalam digitalisasi

    penyiaran terestrial, (3) keberadaan Lembaga Penyiaran Khusus, Bab ini akan

    memaparkan sudut pandang RRI dalam melihat ketiga isu penting tersebut.

    Paparan dilakukan berdasarkan data hasil kajian atas dokumen terkait seperti

    Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan produk regulasi lainnya. Selain

    itu, fakta empiris di lapangan juga menjadi bahan untuk melakukan kajian.

    Adapun rujukan yang digunakan untuk memudahkan permasalahan ini adalah

    konseptualisasi mengenai penyiaran publik secara universal. Hasil kajian

    selengkapnya disajikan di bawah ini.

    A. Model Pengelolaan Multiplex

    Digitalisasi penyiaran terestrial melahirkan model bisnis yang memiliki

    karakteristik berbeda dengan sistem penyiaran analog. Ini membawa

    konskuensi pada perlunya model penyelenggaraan penyiaran yang berbeda

    dibandingkan dengan sistem analog, yakni dilakukannya pemisahan antara

    penyelenggara isi siaran (content provider) dengan penyelenggara saluran

    (channel provider) atau yang lebih dikenal dengan istilah penyelenggara

    multiplex. Namun, gagasan untuk memisahkan kedua jenis penyelenggara

    ini tidak mudah karena adanya tarik-menarik berbagai pihak yang

    dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dan ekonomi.

    Terkait dengan permasalahan pengelolaan multiplex, bagian ini

    dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan “model pengelola multiplex

    manakah yang tepat untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan amanat

    Undang-Undang Republik Indonesia: single mux ataukah multi mux?

    Selanjutnya, model mana yang lebih mendukung sistem demokrasi di

    Indonesia?. Disamping itu, di era digitalisasi penyiaran, Indonesia

    diharapkan tidak hanya sekedar sebagai pengguna produk-produk teknologi

    penyiaran digital buatan luar negeri, tapi juga mampu memproduksi sendiri

    alat-alat tehnologi penyiaran digital, sehingga Indonesia tidak hanya

    sebagai negara tujuan pasar produk luar negeri.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    1. Model Bisnis Sistem Penyiaran Digital

    Migrasi dari penyiaran televisi analog ke penyiaran televisi digital

    terestrial membawa konskuensi pada perubahan model bisnis

    penyiaran. Jika dalam model analog sebuah stasiun penyiaran diberi

    kewenangan untuk mengelola aspek isi siaran sekaligus teknologi

    penyebarluasannya (frekuensi), maka pada model digital dipilah

    menjadi dua, yakni (1) penyelenggara program (content povider), dan (2)

    penyelenggara saluran/jaringan penyebarluasan program (channel

    provider) atau yang lebih populer disebut multipleker (lihat Wibawa

    dkk, 2010; lihat juga Buku Putih Digitalisasi Penyiaran, 2009).

    Penyelenggara program bisa diisi oleh siapa saja yang mampu

    menyediakan isi siaran. Lembaga penyiaran yang sudah ada saat ini

    dengan sendirinya dapat menjadi penyelenggara program. Demikian

    pula, rumah-rumah produksi (production houses) dapat bermigrasi

    menjadi penyelenggara program/konten. Syarat utama yang harus

    dimiliki oleh penyelenggara isi siaran (content) adalah kemampuan

    memproduksi program-program yang berkualitas sehingga mampu

    bersaing di pasaran. Sementara itu, untuk proses penyiarannya,

    penyelenggara content harus bekerja sama dengan penyelenggara

    saluran atau multiplexer dengan sewa/membeli saluran. Ini berbeda

    dengan penyelenggara multiplex. Untuk menjadi penyelenggara

    multiplex, pihak yang bersangkutan harus memiliki modal finansial

    yang besar karena bertanggung jawab atas penyediaan infrastruktur

    teknologi pemancarluasan. Oleh karena itu, tidak semua lembaga

    penyiaran yang ada saat ini dapat menjadi penyelenggara multiplex. Ini

    karena untuk dapat menjadi penyelenggara multiplex persyaratan yang

    dibutuhkan tidak hanya kemampuan finansial, melainkan juga harus

    ada mandat dari negara mengingat frekuensi merupakan kekayaan

    alam yang dimiliki oleh negara dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, meskipun suatu pihak

    memenuhi kecakapan dan modal finansial besar, tetapi jika negara tidak

    memberikan mandat maka yang bersangkutan tidak dapat menjadi

    penyelenggara multiplex.

    Secara konstitusional, pemegang mandat untuk pengelolaan frekuensi

    adalah negara. Dalam wacana digitalisasi penyiaran, pengelolaan

    multipleks ini dibedakan atas dua bentuk, yakni single mux dan multi

    mux. Jika dalam pengelolaan multiplex pihak negara menanganinya

    sendiri tanpa melibatkan pihak lain (swasta) maka disebut menerapkan

    model single mux atau pengelola tunggal. Namun, apabila pengelolaan

    multiplex tidak hanya ditangani oleh negara, melainkan juga

    melibatkan pihak swasta, maka disebut model multi mux.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Sejauh ini, tidak ada ketentuan internasional yang mengikat bahwa

    suatu negara harus menerapkan jenis pengelolaan multiplex secara

    single mux atau multi mux. Di sejumlah negara maju, Eropa misalnya,

    lebih banyak menerapkan model multi mux. Di Jerman, Perancis, dan

    beberapa negara lain menggunakan model pengelolaan multi mux.

    Penunjukkan pengelola multimux ini dilakukan oleh regulator

    independen–sejenis Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)–yang dilakukan

    dengan kriteria ketat dan transparan (lihat Rianto dkk, 2012). Di

    Perancis, misalnya, penunjukkan penyelenggara multiplex dilakukan

    oleh Conseil Superieur de l’Audiovisuel (CSA). Lembaga ini melakukan

    seleksi yang sangat ketat terhadap pengajuan izin siaran digital.

    Pengelola multipleks diselenggarakan oleh operator multipleks

    ditetapkan atau ditunjuk oleh broadcaster yang ada dalam kelompok

    multipleks tersebut. Sementara di Inggris, pengelola multipleks dengan

    penyelenggara siaran terpisah (Rianto dkk, 2012: 125-126).

    Pertanyaannya kemudian, untuk Indonesia, model manakah yang ideal

    apakah menggunakan single mux ataukah multi mux?

    Untuk menentukan pilihan tersebut, ada dua faktor utama yang harus

    menjadi bahan pertimbangan. Pertama, konstitusi (UUD NRI 1945).

    Dalam hal ini, bagaimana konstitusi memberi amanat pengelolaan

    sumber daya alam yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Kedua, daya

    dukungnya atas demokratisasi penyiaran yang telah berjalan. Pilihan

    atas model yang mana pun pada prinsipnya harus mampu mendukung

    sistem demokrasi di Indonesia. Artinya, para pembuat undang-undang

    (penyiaran) harus mampu melihat ke depan, yakni sistem mana yang

    dapat menjamin terlaksananya demokrasi di Indonesia secara

    substansial?

    2. Amanat Konstitusi

    Pasal 33 UUD NRI 1945 telah mengamanatkan pengelolaan kekayaan

    negara. Pasal 33 ayat (2) menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang

    penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak

    dikuasai oleh negara.” Sementara itu, pasal 33 ayat (3) menyatakan,

    “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

    dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran

    rakyat.”

    Berdasarkan pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) di atas, para pendiri bangsa

    telah meletakkan dasar pemikiran demokrasi ekonomi sebagai upaya

    untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem

    demokrasi ekonomi, peran negara dibutuhkan, dan tidak akan

    melepaskan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Persoalannya apakah

    frekuensi masuk kategori kekayaan alam dan merupakan cabang

    produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

    banyak sesuai dengan maksud Pasal 33 ataukah tidak?

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Dalam sistem ekonomi modern, frekuensi merupakan kekayaan alam

    yang dapat menghasilkan triliyunan rupiah per tahun. Oleh karena itu,

    pengelolaan frekuensi seyogianya berada di tangan negara agar

    memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

    Dengan merujuk Pricewaterhouse Coopers (PwC), The Jakarta Post

    daring (4 Agustus 2017) melaporkan bahwa televisi akan tetap menjadi

    media iklan paling utama hingga 2021. Televisi akan menyedot sekitar

    53.8% pada 2021 naik dibandingkan 2016 sebesar 53.26%. Itu belum

    termasuk belanja iklan radio. Padahal, pada 2017, menurut laporan AC

    Nielsen, total belanja iklan mencapai 145 triliun, dan pemerintah (dalam

    hal ini Kementerian Kesehatan) menjadi salah satu lembaga dengan

    total belanja iklan terbesar, yakni 702 milyar. Ini menunjukkan betapa

    besarnya nilai ekonomi frekuensi siaran di Indonesia. Oleh karena itu,

    frekuensi untuk penyelenggaraan siaran sangat jelas merupakan cabang

    produksi yang penting bagi negara bukan hanya nilai ekonomisnya, tapi

    juga kemampuannya dalam mempengaruhi pembentukan opini publik,

    membentuk karakter dan budaya bangsa, dan kesejahteraan dalam

    bentuk perasaan gembira, nyaman, dan aman. Apabila frekuensi yang

    jumlahnya terbatas tersebut digunakan untuk menyajikan isi siaran

    yang tidak mendidik, tidak mencerahkan, tidak menyajikan informasi

    yang akurat dan objektif dengan sendirinya akan menjauhkan

    kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, tujuan negara

    sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang

    diantaranya adalah memajukan kesejahteraan umum dan

    mencerdaskan kehidupan bangsa sulit terwujud. Oleh karena itu,

    mengingat penyelenggaraan penyiaran televisi digital secara terestrial

    masih menggunakan frekuensi sebagai kekayaan alam, maka dengan

    sendirinya ketentuan yang dibuat untuk itu tunduk pada amanat Pasal

    33 konstitusi kita. Dengan demikian, pengelolaan multiplex sudah

    seharusnya menggunakan model single mux yang operasionalisasi bisa

    diserahkan kepada Lembaga Penyiaran Publik.

    3. Kegagalan Pasar

    Secara empiris, praktik penyelenggaraan penyiaran swasta selama 15

    tahun masa berlakunya UU Penyiaran No.32/2002 gagal mewujudkan

    demokratisasi penyiaran yang ditandai adanya keberagaman

    kepemilikan (diversity of ownership), keberagaman isi siaran (diversity

    of content), dan keberagaman suara (diversity of Voices). Jagat siaran

    televisi Indonesia pada akhirnya hanya dikuasai oleh sejumlah televisi

    swasta Jakarta yang kepemilikannya ada di tangan beberapa orang

    (lihat Nugroho dkk, 2012). Amanat UU 32/2002 untuk mewujudkan

    Sistem Siaran Berjaringan (SSJ) gagal dilaksanakan sehingga semakin

    memperkokoh dominasi televisi swasta Jakarta atas

    Indonesia (Armando, 2011). Setiap tahunnya, lebih dari 50% anggaran

    iklan mengalir deras hanya ke televisi siaran Jakarta, sementara

    sisanya baru dikucurkan untuk berbagai jenis media lainnya. Selain itu,

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    televisi swasta Jakarta juga masih mendapatkan rembesan APBN dari

    instansi pemerintahan yang melakukan blocking time maupun iklan

    layanan masyarakat untuk sosialisasi program pembangunan.

    Kegagalan mewujudkan demokratisasi penyiaran selama 15 tahun

    terakhir jangan sampai terulang pada era digitalisasi. Upaya mencegah

    terulangnya pengalaman pahit tersebut akan dapat terwujud jika

    dilakukan pemisahan antara penyelenggara program dengan

    penyelenggara multiplex. Hal itu berarti pilihan atas model pengelola

    multiplex yang paling tepat adalah single mux. Pilihan ini dimaksudkan

    untuk memutus mata rantai keruwetan tata kelola penyiaran di

    Indonesia akibat tidak ditegakkannya UU 32/2002 sehingga

    memberikan kemanjaan pada televisi swasta Jakarta.

    Praktik penyelenggaraan penyiaran selama 15 tahun terakhir

    membuktikan bahwa dominasi penyiaran swasta ternyata tidak cukup

    mendukung proses terwujudnya demokrasi secara substansial, gagalnya

    mewujudkan demokratisasi penyiaran karena gagal mewujudkan

    diversity of ownershif, diversity of content, dan diversity of voices. Oleh

    sebab itu, pilihan model single mux akan sangat sesuai dengan spirit

    demokratisasi penyiaran. Pilihan itu tidak menutup kemungkinan

    bahwa suatu ketika nanti, jika sistem penyiaran sudah tertata dengan

    baik, maka pilihan model pengelola multiplex dapat ditinjau kembali

    sesuai dengan kebutuhan zaman.

    4. Pengelolaan Multiplex sebagai Sumber Pembiayaan LPP

    Pembiayaan melalui APBN yang diberikan kepada RRI dan TVRI masih

    jauh dari ideal guna membiayai lembaga penyiaran publik yang kuat.

    Negara sering kesulitan karena APBN yang terbatas di tengah

    kebutuhan pembangunan yang besar. Oleh karena itu, penerapan model

    single mux oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) akan menjadi solusi

    untuk mengatasi problem pembiayaan LPP. Apabila proses bisnis

    penyelenggara saluran ditangani oleh LPP, maka seluruh pemasukan

    yang diperolehnya akan menjadi sumber pembiayaan LPP sehingga

    tidak tergantung sepenuhnya pada APBN. Bahkan, dalam jangka

    panjang, RRI (RTRI) akan independen dari sisi keuangan, dan ini akan

    berdampak positif bagi independensi LPP.

    5. Monopoli Negara bagi Sumber Daya Langka Sah

    Secara yuridis, terdapat peraturan perundangan yang memberikan

    kewenangan tunggal kepada negara untuk menjadi penyelenggara

    layanan publik, terutama jika berkaitan dengan hal-hal yang sangat

    strategis dan vital. Misalnya, dalam hal penyelenggaraan pelayanan

    navigasi penerbangan, negara memberikan kewenangan tunggal kepada

    Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia

    (LPPNPI). Kewenangan tersebut diatur melalui UU No.1/2009 dan PP

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    No. 77/2012. Kewenangan yang diberikan negara kepada LPPNPI

    tersebut dapat menjadi rujukan untuk menetapkan kebijakan bahwa

    dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran televisi terestrial sebaiknya

    menerapkan model pengelola single mux.

    B. Lembaga Penyiaran Khusus

    Draf RUU Penyiaran yang dirumuskan oleh Komisi I DPR RI memunculkan

    niatan untuk membentuk Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) yang dapat

    dimiliki oleh lembaga-lembaga negara ataupun partai politik. Ini telah

    menimbulkan polemik di masyarakat sipil, terutama yang menolak

    kehadiran LPKh.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khusus berarti khas, tidak

    umum, atau istimewa. Dengan demikian, penyebutan lembaga penyiaran

    khusus dalam draf RUU tidaklah tepat. Ini karena lembaga penyiaran yang

    didirikan dan dimiliki oleh kementerian, pemerintah daerah, dan atau juga

    partai politik tidaklah istimewa atau luar biasa. Sebaliknya, ia hanyalah

    bagian dari lembaga penyiaran pemerintah atau bentuk lain dari lembaga

    penyiaran partisan ketika didimiliki oleh partai politik.

    Lembaga penyiaran pemerintah adalah lembaga penyiaran yang didirikan

    oleh pemerintah, untuk menjalankan visi dan misi yang ditetapkan oleh

    pemerintah dengan peran supervisi atau evaluasi terdapat pada, atau

    dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah, atau oleh departemen/institusi

    tertentu yang ditunjuknya yang merupakan bagian struktural dari

    pemerintah tersebut (Gazali, 2002). Dengan demikian, jika LPKh

    merupakan unit penyelenggara penyiaran lembaga pemerintahan, maka

    dapat dikatakan sebagai lembaga penyiaran pemerintah. Jika ini terjadi,

    maka kita akan kembali pada era Orde Baru dimana pemerintah akan

    mengendalikan lembaga penyiaran. Jika LPKh diperuntukkan untuk partai

    politik, maka akan menyalahi prinsip-prinsip universal penggunaan

    frekuensi publik (public domain). Secara umum, disepakati bahwa oleh

    karena menggunakan public domain maka penggunaan frekuensi harus

    demi kepentingan masyarakat dan bukan demi kepentingan kelompok dan

    lebih-lebih kepentingan politik praktis dalam bentuk propaganda. Di luar

    kedua keberatan ini, ada beberapa persoalan lain terkait dengan lembaga

    penyiaran khusus, yakni kecenderungan LPKh menjadi media partisan,

    landasan normatif, integrasi pengelolaan informasi publik dan bentuk

    kelembagaan.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    1. Bahaya Media Partisan

    Media partisan dikhawatirkan bisa mereduksi demokratisasi di

    Indonesia dan akan mengurangi kadar profesionalisme media

    penyiaran. Pertama menurunnya profesionalisme jurnalis media

    penyiaran karena loyalitas jurnalis tidak lagi kepada publik, melainkan

    pada partai politik. Kebenaran karenanya bukan menjadi tujuan utama

    dalam praktik jurnalisme, melainkan lebih menekankan keperpihakan

    kepada partai politik yang didukungnya. Kedua, pembelahan media

    penyiaran pada akhirnya turut memicu pembelahan sosial. Ini terjadi

    karena media massa mampu membangun opini publik dan

    memengaruhi persepsi masyarakat. Jika media dibiarkan partisan dan

    mengejar kepentingan-kepentingan politiknya sendiri, maka akan

    membahayakan masyarakat karena media akan cenderung bertindak

    sebagai pemicu atas perbedaan yang ada, bukan sebagai media solutif

    atas permasalahan yang muncul di tengah masyarakat. Oleh karena itu,

    gagasan untuk membentuk Lembaga Penyiaran Khusus (LPKh) pada

    draf RUU Penyiaran yang dihasilkan oleh Komisi I DPR RI, seyogianya

    dipertimbangkan kembali. Gagasan tersebut telah memancing

    timbulnya polemik antara para perumus draf RUU Penyiaran dengan

    masyarakat sipil. Kelompok penentang mengkhawatirkan bahwa LPKh

    akan berpotensi menjadi alat pemecah belah bangsa, menjadi pemicu

    timbulnya disintegrasi bangsa.

    Keberadaan lembaga penyiaran khusus yang bisa diselenggarakan oleh

    partai politik bagaimanapun harus dipikirkan kembali terutama demi

    alasan-alasan integrasi sosial. Seperti telah diingatkan oleh para ahli

    politik, negara-negara dengan warga negara yang heterogen akan jauh

    lebih sulit menjaga integrasi sosialnya dibandingkan dengan negara-

    negara homogen (lihat Oommen, 2009). Jika dibiarkan partisan, maka

    media akan menjadi katalis (pemercepat) atas pembelahan sosial

    (disintegrasi) yang terjadi sebagai akibat perbedaan pandangan politik,

    terutama negara yang sangat heterogen seperti Indonesia.

    2. Tidak Memiliki Landasan Normatif

    Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks lembaga penyiaran

    khusus adalah apa landasan normatifnya sehingga lembaga penyiaran

    khusus harus dimunculkan dalam sistem penyiaran yang baru? Apakah

    lembaga yang ada sekarang ini tidak mencukupi untuk memberikan

    informasi kepada masyarakat? Dengan kata lain, apakah keberadaan

    Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan

    Lembaga Penyiaran Swasta tidak mencukupi lagi untuk digunakan

    menyampaikan berita dan informasi sehingga partai politik dan

    pemerintah harus mempunyai lembaga penyiaran sendiri?

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Berdasarkan UU Penyiaran No. 32/2002, lanskap media penyiaran

    dibagi menjadi tiga jenis, yakni lembaga penyiaran publik (RRI dan

    TVRI), lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran swasta.

    Untuk lembaga penyiaran publik, RRI mempunyai 97 stasiun

    penyiaran, 222 stasiun relay, dan 37 stasiun diantara hadir di wilayah

    tertinggal, terdepan, dan terluar (Dewan Pengawas LPP RRI, 2017) yang

    mampu menjangkau kurang lebih 80% wilayah Indonesia. TVRI, di sisi

    lain, hingga tahun 2011, mempunyai 28 stasiun daerah dan mampu

    menjangkau 62% penduduk Indonesia (Rianto dkk, 2014: 61). Ini belum

    termasuk lembaga penyiaran publik lokal. Jika ditambah dengan

    lembaga penyiaran swasta baik radio dan televisi yang berjumlah lebih

    dari 1000 di seluruh Indonesia, dan lembaga penyiaran komunitas yang

    berjumlah kurang lebih 30 televisi komunitas dan tidak kurang dari 600

    radio komunitas dengan 150 diantaranya telah mempunyai Izin

    Penyiaran Prinsip (IPP) dan 10 izin tetap (Rianto dkk, 2014). Dengan

    demikian, secara normatif, tidak ada alasan kemendesakkan yang cukup

    untuk diadakannya lembaga pemyiaran khusus. Persoalan yang harus

    diselesaikan oleh pemerintah dan juga partai politik adalah bagaimana

    mengelola informasi publik sebaik-baiknya sehingga informasi bisa

    tersampaikan melalui media yang ada kepada masyarakat dengan baik?

    Apalagi jika digitalisasi penyiaran sudah berlangsung penuh, baik

    untuk televisi maupun radio, maka akan banyak kanal yang tersedia

    dan memungkinkan lembaga penyiaran publik membuka aneka kanal

    program spesifik seperti kanal pemerintah, kanal parlemen, kanal

    parpol, dan sebagainya.

    3. Tidak Terintegrasinya Pengelolaan Komunikasi dan Informasi Publik

    Keberadaan lembaga penyiaran khusus dalam draf undang-undang

    dapat dikatakan contradictio interminis bagi demokrasi. Ini karena

    hanya di negara otoriter dimana pemerintah mempunyai lembaga

    penyiaran yang diorientasikan sebagai sarana propaganda seperti Orde

    Baru. Oleh karena itu, keberadaan lembaga penyiaran pemerintah

    menjadi paradoks bagi demokrasi, dan merupakan kemunduran bagi

    reformasi Indonesia. Ini karena dengan membuka ruang bagi

    kepemilikan media pemerintah maka sistem penyiaran menjadi kembali

    ke sistem penyiaran Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru, pemerintah

    mempunyai lembaga penyiaran RRI dan TVRI di tingkat pusat, dan

    Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD), maka berdasarkan draf

    RUU Penyiaran setiap lembaga pemerintah bisa memiliki lembaga

    penyiaran. Kepemilikan lembaga penyiaran oleh lembaga-lembaga

    pemerintah di pusat bukan hanya menciptakan inefisiensi anggaran,

    tetapi justru akan menciptakan ketidakharmonisan dan tidak

    terintegrasinya pengelolaan komunikasi dan informasi publik.

    Pemborosan akan berlangsung secara masif.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Selama ini, saluran komunikasi pemerintah sebenarnya telah

    dijalankan oleh lembaga penyiaran publik. Di negara demokrasi seperti

    India, lembaga penyiaran publik mempunyai saluran khusus untuk

    pemerintah maupun parlemen. Dengan demikian, keberadaan lembaga

    penyiaran khusus tidak memiliki landasan normatif yang cukup karena

    keberadaan lembaga penyiaran swasta dan publik serta komunitas

    mestinya sudah cukup menjadi saluran informasi. Dengan demikian,

    daripada melahirkan LPKh, lebih baik memperkuat eksistensi lembaga

    penyiaran publik.

    4. Masalah Bentuk Kelembagaan

    Persoalan lain yang tidak kalah penting sehubungan dengan gagasan

    untuk membentuk LPKh adalah mengenai bentuk kelembagaannya.

    Mengingat LPKh tidak hanya dimiliki oleh lembaga pemerintah, tetapi

    juga partai politik maka bentuk kelembagaan akan menjadi masalah.

    Jika LPKh yang dimiliki oleh kementerian/lembaga bentuk

    kelembagaannya adalah lembaga negara, bagaimana dengan LPKh

    yang dimiliki partai politik? Apakah mungkin ia menjadi lembaga

    negara? Norma hukum di Indonesia tidak memungkinkan satu jenis

    lembaga penyiaran memiliki bentuk kelembagaan lebih dari satu jenis.

    Dengan demikian, kalau LPKh benar-benar diwujudkan justru akan

    menimbulkan ketidakpastian hukum.

    C. Isu BLU untuk RRI dan TVRI

    Selama proses penyusunan draf RUU Penyiaran dan draf RUU Radio

    Televisi Republik Indonesia (RTRI), sebenarnya tidak muncul perdebatan

    mengenai jenis badan hukum Badan Layanan Umum (BLU) untuk LPP RRI.

    Isu mengenai bentuk kelembagaan BLU untuk LPP RRI mengemuka dalam

    beberapa forum ilmiah seperti seminar (Presentasi Menkominfo, 14-09-2017)

    diskusi publik dan diskusi terpimpin (FGD), baik di Jakarta maupun di

    daerah.

    Dalam perspektif yang lebih luas, urgensi penerbitan Perppu digunakan

    untuk menyelamatkan Indonesia di forum internasional, terkait dengan

    Analog Switched Off (ASO). Negara-negara yang tergabung dalam

    International Telecommunication Union (ITU) telah menandatangani

    kesepakatan untuk migrasi dari sistem penyiaran televisi analog ke

    digital dan harus tuntas pada 17 Juni 2015.

    Dalam roadmap yang disusun oleh Kemen Kominfo, pada 2018, Indonesia

    harus sudah masuk tahap digitalisasi penuh (fully digital). Namun, karena

    UU Penyiaran yang baru belum juga terbit, maka proses migrasi dari analog

    ke digital belum dapat dilakukan. Keterlambatan mewujudkan proses

    migrasi dari analog ke digital akan menyudutkan Pemerintah Indonesia di

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    dunia internasional. Oleh karena itu, ketika proses perumusan RUU

    Penyiaran berlarut-larut dan belum juga selesai hingga saat ini, Pemerintah

    ingin menyelamatkan proses digitalisasi itu dengan menerbitkan Perppu

    Penyiaran. Dengan demikian, diharapkan digitalisasi penyiaran akan segera

    bisa diwujudkan sehingga Indonesia tidak dianggap melanggar kesepakatan

    yang sudah disepakati dalam ITU. Namun, di sisi lain, oleh karena Perpu

    diterbitkan oleh pemerintah, maka besar kemungkinan Pemerintah akan

    merealisasikan wacana menjadikan lembaga penyiaran publik RRI sebagai

    Badan Layanan Umum (BLU).

    Pilihan bentuk kelembagaan BLU pada dasarnya dilatarbelakangi kehendak

    untuk memecahkan salah satu persoalan yang dihadapi lembaga penyiaran

    publik di Indonesia. Selama ini, pengelolaan keuangan di LPP RRI tidak

    fleksibel sesuai dengan kebutuhan lembaga penyiaran profesional karena

    bentuk kelembagaan LPP RRI tidak dikenali dalam sistem keuangan.

    Dengan menjadikan LPP RRI sebagai BLU, diharapkan pengelolaan

    keuangan akan menjadi lebih fleksibel. Namun, permasalahan yang

    dihadapi LPP RRI tidak sekadar masalah keuangan, tetapi yang jauh lebih

    penting adalah mempertahankan independensi penyiaran. Bagaimanapun

    status BLU akan menyulitkan LPP RRI dalam menegakkan

    independensinya sebagai lembaga penyiaran publik karena kendali berada

    di bawah Menteri atau pimpinan lembaga.

    1. Kerugian Menjadi BLU

    Jika RRI menjadi BLU, akan menimbulkan setidaknya tiga persoalan

    yang merugikan lembaga ini. Pertama, terancamnya independensi RRI

    sebagai lembaga penyiaran publik. Amanah reformasi yang mewujud

    dalam UU Penyiaran No. 32/2002 menegaskan bahwa RRI adalah

    lembaga penyiaran publik, dan, dengan demikian, bersifat independen.

    Sifat independen ini sangat penting agar RRI menjadi instrument

    negara dalam merawat kebhinekaan, konektivitas informasi dan

    menjalankan fungsi edukasi untuk mencerdaskan bangsa. Oleh karena

    itu, jika RRI menjadi BLU, independensi akan sulit ditegakkan karena

    BLU merupakan subordinasi kementerian.

    Kedua, status BLU akan menghambat transformasi di LPP RRI. Selama

    ini, LPP RRI sudah melakukan upaya-upaya transformatif termasuk

    dalam pengelolaan anggaran. Sejak 2012, LPP RRI telah mendapatkan

    kode mata anggaran tersendiri dalam APBN, dan telah meningkatkan

    akuntablitas penggunaan anggaran. Masalah yang dihadapi LPP RRI

    saat ini adalah pada keberlangsungan tenaga kerja PNS yang terus

    menyusut, yang sebenarnya bisa diselesaikan jika ada good will

    pemerintah, utamanya Kemen Kominfo.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Ketiga, Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari 17.508

    pulau, lebih dari 200 suku bangsa, ratusan bahasa daerah – bahkan

    ribuan jenis dialek, keragaman budaya, dan kepentingan politik.

    Kesemuanya itu membutuhkan peran media yang independen untuk

    dapat menyatukan beragam suara (diversity of voices). Apabila RRI

    kemudian menjadi BLU hal itu berarti ada di bawah suatu

    kementerian/lembaga. Ini akan menghalangi upaya RRI untuk menjaga

    keberagaman suara (diversity of voices).

    2. BLU Tak ubahnya UPT

    Apabila kelembagaan LPP RRI berubah bentuk menjadi BLU, hal itu

    dapat dikatakan sebagai langkah mundur dan bertentangan dengan

    semangat demokrasi. Gerakan reformasi yang muncul pada 1998 salah

    satu agenda utamanya adalah demokratisasi, termasuk di dalamnya

    demokrasasi media. Oleh karenanya, baik UU No. 40/1999 tentang Pers,

    dan UU No.32/2002 tentang Penyiaran secara signifikan membalik

    paradigma otoritarian yang berlaku sebelumnya menjadi demokrasi.

    UU Penyiaran 2002 kemudian melahirkan empat jenis lembaga

    penyiaran, yakni (1) Lembaga Penyiaran Publik yang berorientasi pada

    pemenuhan hak-hak warga negara, (2) Lembaga Penyiaran Komunitas

    yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga komunitas, (3)

    Lembaga Penyiaran Swasta bebas akses atau free to air, dan (4)

    Lembaga Penyiaran Swasta berbasis langganan. Jenis pertama dan

    kedua dapat dikatakan sebagai kelompok penyiaran publik, sedangkan

    jenis ketiga dan keempat masuk kelompok penyiaran swasta.

    Kehadiran lembaga penyiaran publik dalam UU 32/2002 merupakan

    terobosan dan gerakan mendukung demokratisasi. Meskipun proses

    awal pelaksanaan UU 32/2002 khususnya terkait dengan lembaga

    penyiaran publik menghadapi banyak kendala, tetapi sebenarnya saat

    ini sudah memasuki tahap penguatan. Praktik-praktik terbaik (best

    practices) yang berhasil diwujudkan oleh RRI dalam hal politik

    anggaran, tata kelola aset, tata kelola SDM, dan program siaran

    merupakan bukti bahwa proses penguatan eksistensi LPP RRI sedang

    terjadi dan telah mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga terkait di

    lingkungan pemerintahan maupun internasional, dikarenakan posisi

    LPP RRI saat ini berada di bawah dan bertanggung jawab langsung

    kepada Presiden sebagai kepala negara, dan secara substantif

    bertanggung jawab kepada publik melalui DPR RI.

    Menurut UU 32/2002, status LPP adalah sebagai lembaga negara yang

    independen, netral, dan tidak komersial. Sebagai lembaga yang

    independen, posisi RRI sangat kuat. Dengan demikian, LPP RRI

    mendapat kesempatan tersendiri untuk melakukan Rapat Dengar

    Pendapat (RDP) dengan DPR RI sebagai wujud pengakuan atas

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    kemandirian kelembagaan RRI. Dalam hal penganggaran, LPP RRI

    melalui proses tri lateral meeting antara LPP RRI, Bappenas dan

    Kementerian Keuangan. Posisi seperti itu kelak akan hilang ketika

    berubah menjadi BLU karena BLU sebagaimana diatur dalam

    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2005 dan kemudian diubah

    dengan PP Nomor 74/2012 adalah instansi di lingkungan Pemerintah

    yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat

    berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa

    mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan

    kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

    BLU dapat dibentuk oleh kementerian, lembaga negara, pemerintah

    provinsi, pemerintah kabupaten/kota guna menunjang efektivitas dan

    efisiensi dalam penyelenggaraan layanan publik yang menjadi domain

    dari lembaga yang membentuknya. Dengan demikian, secara

    kelembagaan, BLU berada di bawah kendali instansi yang

    membentuknya. BLU dapat dibubarkan sewaktu-waktu karena dasar

    hukum pembentukannya bukan undang-undang. Kondisi ini tidak

    memungkinkan RRI dapat melaksanakan prinsip-prinsip penyiaran

    publik terutama dalam kaitan dengan prinsip independensi, netralitas,

    dan objektivitas. Status BLU tidak memungkinkan bagi RRI untuk

    mewujudkan visinya menjadi lembaga penyiaran yang terpercaya dan

    berkelas dunia.

    3. Pengalaman Masa Lalu

    Ketika kelembagaan LPP RRI akan diubah menjadi BLU, sebenarnya

    mengulang pengalaman masa lalu selama LPP RRI menjadi Unit

    Pelaksana Teknik (UPT) dari Departemen Penerangan (Deppen) pada

    periode 1974-1999. Sebagai UPT, kedudukan dan posisi tawar RRI

    menjadi lemah karena secara redaksional berada di bawah kontrol

    Menteri Penerangan. Untuk mengendalikan kebijakan redaksional RRI

    pada waktu itu, Menteri cukup memilih orang-orang untuk ditempatkan

    pada posisi puncak RRI. Dengan sendirinya, pimpinan puncak akan

    menunjuk orang-orang di bawahnya untuk menduduki struktur kepala

    di masing-masing stasiun RRI, begitu seterusnya.

    Selain tidak independen secara redaksional, posisi UPT menyebabkan

    alokasi anggaran menjadi sangat terbatas. Ketika RRI pada posisi UPT

    Deppen, alokasi anggaran siaran tidak cukup memadai karena

    keputusan penganggaran berada di pucuk pimpinan Deppen. Dengan

    posisi sebagai BLU yang pada dasarnya sama dengan UPT, akan

    menyebabkan politik anggaran menjadi tidak kuat lagi. Dengan kata

    lain, RRI akan semakin jauh visinya untuk menjadikan dirinya sebagai

    lembaga penyiaran publik yang terpercaya dan mendunia.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    4. BLU dalam Perspekstif Rezim Keuangan

    Jika dicermati secara seksama, maka PP Nomor 23/2005 tentang

    Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan telah diubah dengan

    PP Nomor 74/2012. Hal itu terlihat dari undang-undang yang dirujuk

    untuk lahirnya PP tentang BLU, yakni Undang-Undang Nomor 17/2003

    tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang

    Perbendaharaan Negara. Dengan demikian, apabila BLU menjadi

    pilihan bagi bentuk kelembagaan LPP RRI maka hal itu tidak sesuai

    dengan amanat Undang-Undang Penyiaran No 32/2002 dan tidak sesuai

    dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Ini karena RRI sebagai

    lembaga penyiaran publik secara substansial masuk dalam kelompok

    politik, pertahanan, dan keamanan yang penilaian kinerjanya tidak

    semata-mata dilihat dari aspek perolehan keuangan negara. Bahkan,

    jauh lebih penting, yang dilihat adalah pelaksanaan fungsi pelayanan di

    bidang berita/informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan kontrol

    sosial berdasarkan prinsip-prinsip penyiaran publik. Semua itu

    merupakan bentuk tanggung jawab sosial dari sebuah media penyiaran.

    Pada kenyataannya, upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip

    penyiaran publik sering kali harus berbenturan dengan semangat BLU

    yang lebih menekankan pada aspek pendapatan keuangan negara

    (revenue). Sementara tugas utama RRI yang tercantum dalam UU

    Penyiaran Nomor 32/2002 adalah memberikan pelayanan publik di

    bidang informasi, pendidikan, hiburan dan pelestarian budaya serta

    untuk kontrol dan perekat sosial. Oleh karena itu, menjadikan BLU

    sebagai bentuk kelembagaan RRI bertentangan dengan prinsip-prinsip

    penyiaran publik karena LPP RRI bukan sebagai institusi bisnis yang

    bertugas untuk mencari sumber pendapatan negara. Padahal, dengan

    kondisi eksisting LPP RRI sekarang ini dimana pengelolaan penerimaan

    uang negara sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun

    2015 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), LPP RRI tetap

    dapat mengelola uang negara yang berasal dari PNBP atau APBN.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    BAB IV. PENUTUP

    A. Simpulan

    Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada Bab I sampai dengan Bab

    III dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

    1. Dalam sistem negara yang demokratis, eksistensi Lembaga Penyiaran

    Publik sangat penting karena berfungi untuk memenuhi hak

    konstitusional dalam rangka merawat kebhinekaan, konektivitas

    informasi dan menjalankan fungsi edukasi untuk mencerdaskan bangsa

    melalui LPP. Tugas lembaga penyiaran publik dalam sistem demokrasi

    adalah menjadi ruang publik untuk tercapainya kesepakatan bersama

    dalam kehidupan berbangsa. Keberadaan penyiaran publik menjadi

    sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur, pembangunan

    bidang pendidikan, informasi dan hiburan untuk mewujudkan tujuan

    negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

    2. Migrasi dari penyelenggaraan penyiaran analog ke sistem penyiaran

    televisi digital terestrial selain karena konsekuensi logis dari

    perkembangan teknologi, juga merupakan mandat dari International

    Telecommunication Union (ITU). Dalam sistem penyiaran digital,

    berlaku model bisnis yang memisahkan antara penyelenggara

    program/isi (content provider) dengan penyelenggara saluran atau

    multiplex. Dalam hal penyelenggara multiplex, terbuka peluang untuk

    menggunakan model single mux yaitu kanal frekuensi digital dikelola

    sepenuhnya oleh negara, atau sistem multi mux yang pengelolaannya

    melibatkan negara dan pihak swasta. Meskipun di banyak negara ada

    pula yang menerapkan model multi mux, tetapi dalam konteks

    Indonesia pilihan yang paling tepat sesuai amanat konstitusi Pasal 33

    UUD 1945 adalah model single mux. Model single mux bukan bentuk

    monopoli karena pengelolaan kanal frekuensi yang merupakan ranah

    publik dan terbatas, akan dikelola oleh negara digunakan sebesar-

    besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sementara itu model multi mux

    justru berpotensi terjadinya monopoli pengelolaan kanal frekuensi

    karena hanya para pengusaha bermodal besar yang akan dapat

    menguasai kanal frekuensi. Disamping itu di era digitalisasi penyiaran

    nanti Indonesia diharapkan tidak hanya sekedar sebagai pengguna

    produk-produk teknologi penyiaran digital buatan luar negeri, tapi juga

    mampu memproduksi sendiri alat-alat tehnologi penyiaran digital,

    sehingga Indonesia tidak hanya sebagai negara tujuan pasar produk

    luar negeri.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    3. Gagasan legislator yang dituangkan dalam draf RUU Penyiaran

    pengganti UU No. 32/2002 mengenai Lembaga Penyiaran Khusus

    (LPKh) tidak relevan bagi demokrasi. Secara paradigmatik, keberadaan

    LPKh bertentangan dengan semangat demokrasi, dan menimbulkan

    masalah seperti persoalan kelembagaan, kecenderungan menjadi

    partisan, inefisiensi frekuensi, pemborosan uang negara karena

    menyangkut inrfastruktur teknologi siaran dan SDM, dan berpotensi

    menimbulkan disintegrasi bangsa.

    4. Guna mewujudkan fungsi penyiaran publik yang sangat strategis,

    dibutuhkan dukungan kelembagaan yang sesuai, yakni sebagai lembaga

    negara yang independen. Oleh karena itu, gagasan untuk menjadikan

    BLU sebagai bentuk kelembagaan bagi RRI (juga TVRI) merupakan

    langkah mundur demokrasi, dan menurunkan kedudukan RRI dari

    lembaga independen menjadi perpanjangan tangan suatu

    kementerian/lembaga. Pilihan kelembagaan BLU tampaknya lebih

    dilatarbelakangi keinginan untuk memecahkan persoalan aspek

    pengelolaan keuangan yang selama ini dianggap tidak sesuai dengan

    kepentingan industri penyiaran. Sementara itu, aspek lain yang tidak

    kalah penting seperti SDM dan tata kelola lembaga penyiaran pada

    umumnya kurang diperhitungkan. Sehubungan dengan itu, gagasan

    untuk menjadikan RRI dan TVRI sebagai BLU harus ditolak karena

    tidak sesuai dengan semangat demokrasi penyiaran.

    B. Rekomendasi

    Bertitik tolak dari simpulan tersebut, maka dapat disampaikan rekomendasi

    sebagai berikut.

    1. Keberadaan lembaga penyiaran publik harus dijamin dan diperkuat

    oleh undang-undang khusus yang mengatur tentang hal itu, dan

    karenanya kehadiran UU RTRI harus menjadi momentum bagi

    penguatan lembaga penyiaran publik sebagai mandate negara untuk

    pembentukan LPP melalui UU yang bersifat Lex specialist.

    2. Pelaksanaan digitalisasi penyiaran terestrial harus menggunakan

    model single mux. Ini karena model single mux sesuai dengan konstitusi

    pasal 33 UUD 45, yaitu ranah publik yang sifatnya terbatas yang harus

    dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Disamping itu, LPP bisa menjadi representasi negara untuk

    menyelenggarakan multipleksing dan perolehan keuangan negara

    melalui digital deviden sehingga dapat untuk membiayai LPP.

    Pembiayaan LPP melalui digital deviden yang notabene adalah APBN

    non rupiah murni bisa berdampak terhadap menguatnya independensi

    LPP.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    3. Lembaga Penyiaran Khusus seharusnya tidak ada dalam sistem negara

    demokrasi. Kebutuhan lembaga penyiaran khusus seperti program

    pendidikan politik warga, ataupun sosialisasi kebijakan mestinya dapat

    dikanalisasi oleh Lembaga Penyiaran Publik. Oleh karena itu,

    dibandingkan dengan memunculkan lembaga penyiaran khusus yang

    cenderung bermasalah maka jauh lebih baik memperkuat lembaga

    penyiaran publik. Jika lembaga penyiaran publik kuat dan dipercaya

    oleh masyarakat, maka negara akan jauh lebih mudah dalam

    menyosialisasikan beragam kebijakan.

    4. Kelembagaan LPP RRI dalam bentuk BLU tidak menjamin

    independensi RRI baik independensi dalam hal keuangan, manajemen,

    SDM dan redaksional. Oleh sebab itu, BLU seharusnya tidak dipilih

    sebagai bentuk kelembagaan LPP.

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    DAFTAR PUSTAKA

    Berlin, Isaiah (2004). Empat Esai Kebebasan. Terjemahan A. Zaim Rofiqi,

    Jakarta: Freedom Institute, LP3ES

    Chomsky, Noam dan Edward S. Herman. (1988). Manufacturing Consent: The

    Political Economy of Mass Media. New York: Pantheon Books.

    Gazali, Effendi (2002). Penyiaran Alternatif tapi Mutlak, Sebuah Acuan tentang

    Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Penerbit Jurusan Ilmu

    Komunikasi FISIP UI

    Croteau, David dan William Hoynes (2006). The Business of Media: Corporate

    Media and Public Interest, second edition, Thousand Oaks, London, dan

    New Delhi: Pine Forge Press

    Hardiman, Fransisko Budi (2009a). Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara

    Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas.

    Yogyakarta: Kanisius

    Hardiman, Fransisko Budi (2009b). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,

    Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jurgen Habermas.

    Yogyakarta: Kanisius

    Heychael, Muhamad dan Holy Rafika Dhona (2014). “Independensi Televisi

    Menjelang Pemilu 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik

    Pemilik.” Jurnal Dewan Pers Edisi No. 09, Juli 2014

    Dedy N. Hidayat (2002). “Neoliberalisme dan Market Dictatorship dalam

    Industri Penyiaran: Argumen bagi Lembaga Penyiaran Publik”. Dalam

    Effendy Gazali (ed.). Penyiaran Alternatif, tetapi Mutlak: Sebuah Acuan

    tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu

    Komunikasi FISIP UI

    Kitley, Philip (2001). Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Terjemahan

    Bambang Agung dkk. Jakarta: ISAI

    Magnis-Suseno, Frans (1987). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat

    Moral, Yogyakarta: Kanisius

    Masduki, A Darmanto, Muzayin Nazaruddin, Budhi Hermanto (2014). “Pemilu

    2014 dan Konglomerasi Media Nasional Analisis Terhadap

    Kecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media Nasional Di Indonesia.”

    Jurnal Dewan Pers Edisi No. 09, Juli 2014

  • PANDANGAN LPP RRI DALAM TIGA ISU KRUSIAL PENYIARAN: KELEMBAGAAN RRI (RTRI), LPKh, DAN MULTIPLEKSING

    Nugroho, Yanuar, Dinita Andriani Putri, dan Shita Laksmi (2012). Mapping the

    Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia: Jakarta:

    CIPG-Ford Foundation

    Oommen, T.K. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas:

    Mendamaikan Persaingan Identitas, terjemahan Munabari Fahleza,

    Yogyakarta: Kreasi Wacana

    Rianto, Puji (2017). Etika Profesi Komunikasi. Yogyakarta: Universitas Islam

    Indonesia

    Rianto, Puji; Bayu Wahyono, Iwan Awaluddin Yusuf, dkk (2012). Digitalisasi

    Televisi di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa

    Rianto, Puji; Rahayu, Iwan Awaluddin Yusuf, dkk (2014). Kepemilikan Media

    dan Intervensi Siaran: Perampasan Hak Publik, Dominasi, dan Bahaya

    Media di Tangan Segelintir Orang, Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa

    Seneviratne, Kalinga (2006). “Definition and History of Public Service

    Broadcasting”. Dalam Indrajit Banerjee dan Kalinga Seneveratne (eds.).

    Public Service Broadcasting in the Age of Globalization, Singapore:

    AMIC

    Siregar, Amir Effendi, Rahayu, Puji Rianto, Wisnu Martha Adiputra (2014).

    “Menakar Independensi Dan Netralitas Jurnalisme Dan Media Di

    Indonesia” Jurnal Dewan Pers Edisi No. 09, Juli 2014

    Sudibyo, Agus (2004). Ekonomi Politik Penyiaran. Jakarta: ISAI-LKiS

    Wicaksono, Anugrah Pambudi, Bonaventura Satya Graha, Darmanto, dkk

    (2015). Media Terpenjara: Bayang-bayang Pemilik dalam Pemberitaan

    Pemilu 2014. Yogyakarta: MPM-Yayasan Tifa

  • Jakarta, 31 Juli 2018

    DEWAN PENGAWAS LPP RRI TANDA TANGAN

    1

    Mistam, S.Sos, Msi.

    Ketua

    2

    Dr. Frederik Ndolu

    Anggota

    3

    Hasto Kuncoro, SH.

    Anggota

    4

    Tantri Relatami, S.Sos.

    Anggota

    5

    Dra. Dwi Hernuningsih, M.Si

    Anggota