21
149 BAB V Kesimpulan “Fundamentalisme Pasar neoliberal selalu merupakan sebuah doktrin politik yang melayani kepentingan politik kelompok tertentu...” -Joseph E Stiglitz 5.1 Konsistensi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Implementasi kebijakan pendidikan, bukan hanya menjadi hak monopoli institusi pendidikan saja maka implementasi kebijakan sangat kuat dimensinya dengan faktor-faktor politik dan sosial yang datang dari internal dan eksternal. Hal ini lah kemudian yang mendasari implementasi memiliki perbedaan dan kekhasan tersendiri. UGM sendiri memiliki kekhasan yang sangat melekat dan tidak dapat dipisahkan dengan berdirinya bangsa Indonesia maka nilai yang melekat ini memiliki sifat dan tujuan yang dalam pembukaan UUD ’45 dengan nilai UGM. Sehingga sangat mempengaruhi kehidupan penyelenggaraan pendidikan di UGM sebagai sumber inspirasi. Banyaknya para pendiri bangsa yang membersamai berdirinya UGM turut juga memberikan kontribusi-kontribusinya, seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara. Banyaknya tokoh-tokoh juga menandakan berdirinya UGM tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Untuk merespon berbagai masalah, misalnya saja pemilihan tanggal 19 Desember 1949 sebagai berdirinya UGM sebagai penanda eksistensi indonesia setelah ageresi militer Belanda II. Banyaknya pendiri bangsa yang memiliki keragaman dalam ideologi pun memberi warna tersendiri dalam cara pandang pendidikan UGM.

Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

149

BAB V

Kesimpulan

“Fundamentalisme Pasar neoliberal selalu merupakan sebuah doktrin politik yang melayani kepentingan politik kelompok tertentu...”

-Joseph E Stiglitz

5.1 Konsistensi Jati Diri Universitas Gadjah Mada

Implementasi kebijakan pendidikan, bukan hanya menjadi hak monopoli

institusi pendidikan saja maka implementasi kebijakan sangat kuat dimensinya

dengan faktor-faktor politik dan sosial yang datang dari internal dan eksternal. Hal

ini lah kemudian yang mendasari implementasi memiliki perbedaan dan kekhasan

tersendiri. UGM sendiri memiliki kekhasan yang sangat melekat dan tidak dapat

dipisahkan dengan berdirinya bangsa Indonesia maka nilai yang melekat ini

memiliki sifat dan tujuan yang dalam pembukaan UUD ’45 dengan nilai UGM.

Sehingga sangat mempengaruhi kehidupan penyelenggaraan pendidikan di UGM

sebagai sumber inspirasi.

Banyaknya para pendiri bangsa yang membersamai berdirinya UGM turut

juga memberikan kontribusi-kontribusinya, seperti Soekarno, Hatta, dan Ki

Hadjar Dewantara. Banyaknya tokoh-tokoh juga menandakan berdirinya UGM

tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Untuk merespon berbagai masalah,

misalnya saja pemilihan tanggal 19 Desember 1949 sebagai berdirinya UGM

sebagai penanda eksistensi indonesia setelah ageresi militer Belanda II.

Banyaknya pendiri bangsa yang memiliki keragaman dalam ideologi pun memberi

warna tersendiri dalam cara pandang pendidikan UGM.

Page 2: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

150

Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini

terangkum dalam konsep kawolo wargo yang terjabarkan atas enam dasar,

diantaranya: Kerokhanian, Perikemanusiaan, Demokrasi, Kebangsaan, Kerakyatan

dan Kemasyarakatn, dan dibungkus dalam Kekeluargaan. Asas-asas ini kemudian

melahirkan jadi diri UGM sebagai kampus Universitas Nasional, Pancasila,

Kerakyatan, Perjuangan, dan Pusat Kebudayaan. Konsep-konsep ini lah yang

kemudian digunakan UGM sebagai persfektif dalam melihat berbagai hal. Dapat

dilihat bagaimana UGM mencermati dan menafsirkan Undang-Undang

Pendidikan Tinggi. Dengan mengunakan persfektif itu tentu saja UGM memiliki

cara khas yang sedikit berbeda untuk melaksakannya. Misalnya saja, dalam

memaknai otonomi akademik dan non akademik.

Otonomi akademik yang dimaknai UGM untuk dijadikan sebuah lembaga

yang mandiri sebagai penyelenggara satuan pendidikan yang terinspirasi dari

Panca Dharma hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Di mana pendidikan

merupakan kebutuhan fitrah dan kemerdekaan setiap manusia yang harus

diberikan seluas-luasnya bagi kehidupan manusia untuk mencapai dan

mempermudah keberhasilan hidup. Hal ini diwujudkan dalam statuta 1950

disebutkan bahwa Universitas Gadjah Mada dapat mengatur keuangan milik

sendiri, mengatur rumah tangga sendiri, dan kepentingannya sendiri.

Otonomi juga dimaknai setiap insan Gadjah Mada bisa bergerak sendiri

atau merdeka secara intelektual dan berkontribusi, tetapi tidak terpisah

sebagaimana organ tubuh. Dengan tetap bersatunya gerak dengan otonomi

tersebut Universitas Gadjah Mada kemudian mampu mempengaruhi politik,

ekonomi, budaya, pada saat awal kemerdekaan sampai tahun 1960-an, bahkan

Page 3: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

151

sampai saat ini. Konsep otonomi yang dimaksudnya juga, bukan mengartikan

bahwa Universitas Gadjah Mada bukan entitas tersendiri dari negara ini,

melainkan satu kesatuan juga. Maka dengan konsep otonomi yang telah melekat

bukan dijadikan alasan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri tanpa campur

tanga dari pemerintah, tetapi justru berkolaborasi. Hal ini juga yang mendasari

nilai dari status Badan Hukum UGM. Badan Hukum yang dimaknai oleh UGM

adalah bersifat publik bukan bersifat privat, sehingga pendidikan tetap pada

prinsipnya sebagai tanggung jawab negara bukan urusan privat.

Namun, dalam perjalanan UGM sepanjang berstatus PT BHMN

menunjukkan sebuah hal yang paradoks di samping ada upaya untuk

mempertahankan jati dirinya. Upaya mempertahnkan jati dirinya pun tidak serta

merta dapat diimplementasikan dengan mudah. Jalan terjal itu pun datang dari

kepentingan mendesak terkait pendanaan yang sampai hari ini menemui jalan

yang berliku karena tekanan kepenting pasar global yang terus digencarkan

dengan dalih efisiensi, daya saing, dan memberikan keluluasaan untuk ilmu

pengetahuan.

5.2 Keruwetan Implementasi

Dalam mengimplementasi kebijakan UU Dikti banyak sekali keruwetan

yang terjadi. Fenomena seperti benang kusut pun mewarnai pelaksanan di

lapangan. Keruwetan ini berasal dari otonomi yang diberikan kepada Perguruan

tinggi Negeri. Otonomi nonakademik yang diberikan, bukan merupakan respon

dari semangat reformasi pendidikan tinggi, melainkan sebuah mekanisme

privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi. Munculnya ide pembadanhukuman

Page 4: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

152

Pendidikan tinggi di dalam UU Dikti didasarkan pada kerumitan dalam turunnya

anggaran119. Merujuk pada UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, sangat

mencekik Perguruan Tinggi, karena mengakibatkan kegiatan Pendidikan Tinggi

bergantung pada turunnya anggaran dari pemerintah.

Selajutnya, status Badan Hukum yang ada dalam UU Dikti secara tidak

langsung mengambil peran negara dari pendidikan sebuah sebuah konsekuensi

Pasal 7 Ayat (1) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Undang-

undang tersebut lembaga semacam PTN BH tidak lagi memiliki tujuan yang sama

dengan tujuan bernegara. Dengan demikian, secara rasionalitas hukum, tak ada

lagi hubungan dinas publik (openbare dienstbetrekking) PTN-BH dengan

keuangan negara. Ini berarti PTN-BH tidak lagi memperoleh dana dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN hanya untuk mencapai

tujuan bernegara (Dian Puji:2013)120. Secara langsung PTN-BH akan

menggunakan otonominya untuk mendapatkan pendanaan. Salah satunya dengan

cara mendirikan badan usaha komersial atau mendapatkan dana dari pihak ketiga

yang justru akan memengaruhi sifat otonom PTN ke arah komersialisasi dan

menjauhkan tujuan PTN untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sehingga kampus yang mengingnkan otonomi dalam UU Dikti, tetapi

masih mendapatkan subsidi pendidikan secara politik hal ini dilakukan untuk

dapat meredam isu miring pandangan komersil. Namun, dalam pandangan hukum

119

http://kompas.web.id/lihat/9694/2013/05/3019/08/01/Ahli:perguruantinggibadanhukumcipta

kanparadoksrasionalitas.html 120

Dapat dilihat lebih jelas dalam kolom opni kompas 22 Juni 2013 yang berjudul Paradoks

Rasionalitas PTN BH. Dalam tulisan tersebut juga diulas kesalan besar dalam mempersepsikan

makna dari Otonomi nonakademik yang diinginkan oleh segelitir orang yang ingin mewakili

kepentingan kemapanan dari kampus eks- PT BHMN dan sudah tentunya keberadaan

kepentingan asing dalam undang-undangn tersebut.

Page 5: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

153

tentu saja terjadi paradoks of value atau dalam bahasa Dian Puji Paradoks

Rasionalitas. Padahal, badan hukum dengan kekayaan yang dipisahkan dapat

mengatur diri sendiri tanpa tergantung pada sumber kekayaan pendirinya

sebagaimana yang diatur dalam UU Dikti. Badan hukum tanpa kemandirian

berarti status badan hukumnya (rechtsfiguur) hanya khayalan pendirinya (Dian

Puji:2013). PTN BH dituntut mandiri dan dapat menggunakan kekayaan negara

yang dipisahkan, kecuali tanah.

Selain itu, UU Dikti ini akan melegalkan praktik-praktik multi-sistem

kepegawaian yang merugikan pekerja, yang sebenarnya sudah berlangsung secara

ilegal sejak zaman BHMN. Sejak beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN pada

tahun 2000 adalah tumpang tindihnya status kepegawaian yang dialami pekerja

kependidikan. Sebagian besar perguruan tinggi yang menjadi BHMN pada tahun

2000, masih saja mengangkat PNS. Hal ini berakibat hingga saat ini ada berbagai

status pekerja yang dialami oleh pekerja kependidikan, seperti pekerja perguruan

tinggi, PNS, dan pekerja yang tidak memiliki status apapun atau pekerja non-

status. Pasal-pasal ketenagakerjaan yang diatur dalam pasal 69-71 dalam UU

Pendidikan Tinggi ini juga tidak merujuk kepada UU Ketenagakerjaan.

Melainkan, merujuk kepada UU Sistem Pendidikan Nasional.

Dengan kondisi seperti ini, PTN BH harus konsisten dan komitmen

terhadap UU Dikti dengan mempunyai kemandirian pendanaan, tidak

mendapatkan dana APBN, serta seluruh penyelenggara pendidikannya menganut

monoisme status kepegawaian. Dengan demikian, tidak ada dualisme atau bahkan

multiisme status kepegawaian dan keuangan dalam suatu PTN-BH. Namun,

pertanyaannya adalah apakah ada PTN yang mau dan mampu melakukan konsep

Page 6: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

154

badan hukum secara konsisten seperti itu? Pertanyaan ini perlu mengingat kurang

jelasnya keterkaitan pemberian status badan hukum PTN dengan upaya mencapai

tujuan pendidikan. Pada akhirnya, membawa PTN BH kedalam jebakan

administratif komersialisasi pendidikan dan dilema yang bekepanjangan dalam

mengimplementasinya.

5.3 Dilema Perguruan Tinggi

Tidak lengkapnya PP dan Pemendikbud dalam UU Dikti, bukan hanya

menghadirkan keruwetan, tetapi juga dilema bagi UGM. Hal ini pun berakibat

pada terbatasnya gerak karena undang-undang yang belum sempurna. Sehingga

sangat berisiko untuk melakukan pergerakan yang sudah dirancang dalam rencana

strategis UGM 2012-2017. Ditambah ketidakjelasan status UGM yang hybrid

PTN BH dan BLU menjadikan UGM.

Namun, itu semua tidak membuat UGM lancar diam saja, masih ada upaya

untuk mengadvokasi hak-hak yang seharusnya diperoleh lewat perwakilan UGM

di DPT dan peran strategis dari MWA. Bisa jadi gerakan itu dapat melakukan

upaya untuk mem-bypass beberapa hal untuk dilakukan negosiasi.

Tidak sampai di situ saja, persoalan politik anggaran yang tidak

menunjukkan keberpihak terhadap pendidikan menjadi persoalan dan akar dari

dilema yang dialami pendidikan terutama di level perguruan tinggi. Politik

anggaran yang saat ini belum mencapai 20% menjadi catatan tersendiri kenapa

pada akhirnya ini pun menciptakan keruwetan dan dilema perguruan tinggi.

Tercatat dari anggaran 20% pendidikan tahun 2012 sebesar 286, 5 Triliun, yang

masuk ke kemendikbud 57.8 Triliun, ke daerah 186,3 triliun membiayai dinas dan

Page 7: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

155

bangun sekolah, kementrian agama 31,1 Trilun, kementrian lain 4,1 triliun, Bos

22,5 triliun. Dari anggaran kemendikbud 2012 pendidikan tinggi hanya mendapat

28 triliun untuk membiayai 98 PTN. UGM sendiri diberikan jatah 170 Miliyar,

padahal kebutuhan UGM mencapai 2 Triliun, sudah tentu anggaran itu jauh dari

cukup.

Tidak berdaulatnya anggaran pendidikan menyebabkan UGM

membutuhkan dana untuk tidak koleps dalam penyelenggaran pendidikan. Untuk

itu munculah otonomi nonakademik untuk menutupi kekurangan anggaran

tersebut. Kemudian munculah istilah meningkatkan kualitas atau mutu

pendidikan, unit-unit usaha, endowment fund, kuliah mahal, dll. Istilah-istilah itu

sudah tentu akan menjadikan pendidikan tinggi membenarkan isu-isu yang selama

ini dikhawatirkan masyarakat, yakni terjadi komersialisasi, privatisasi, dan

liberalisasi pendidikan.

Dalam sudut pandang tersebut sebetulnya langkah yang dilakukan UGM

semata-mata untuk menghidupkan Universitas dalam menyelenggarakan

pendidikan, tetapi politik anggaran yang tidak mendukung UGM untuk bisa

membiayai dirinya menyebabkan UGM masuk dalam dilema. Politik anggaran

yang tidak berpihak memaksa UGM dan PTN BH lainnya untuk melakukan

tindakan yang sejatinya tidak sesuai filosofi cita-cita negara. Untuk memilih

negara yang kuat dalam membiayai pendidikan sepertinya tidak dapat diharapkan

karena tidak berdaulat dari pengaruh politik eksternal.

Seharusnya dengan sumberdaya Alam yang melimpah memberikan UGM

2 Triliun saja sangat kecil dan mudah. Tetapi, karena penguasaan sumber daya

Page 8: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

156

alam tidak berdaulat sudah menjadi logis pendidikan tinggi diarahkan untuk

dikomersilkan dengan dalih meningkatkan mutu ditengah ketidak berpihakan

negara. Semua itu juga masih diperparah dengan tumbuh sumburnya makelar-

makelar anggaran.

Kondisi itu juga membawa pada ambivalensi UGM. Di mana UGM

menginginkan keberpihakan negara, tetapi di sisi yang lain negara perlahan-lahan

mengurangi perannya dalam anggaran. UGM sebagai kampus yang menjunjung

tinggi cita-cita negara sudah tentu menginginkan negara memliki keberpihakan

terhadap pendidikan. disituasi seperti ini UGM seakan terjebak oleh keadaan yang

memaksa untuk tetap dalam jalur yang mendukung pemerintah sebagai satuan

kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa UGM masih ingin mempertahankan nilai-

nilai jati dirinya dan mengisyafi sebagai sebuah inspirasi untuk menfasirkan

kebijakan dan mengelola pendidikan di universitas. Berikut ini beberapa dilema

dan polemik yang dihadapi UGM dalam melaksanakan UU Dikti, diantaranya

quasi public goods, Prolema Satker, Ujian Masuk dan Pemerataan akses, sampai

persoalan beasiswa mahasiswa yang semuanya itu bermuara dalam bidang

pendanaan.

5.3.1 Quasi Public Goods

Seperti yang diketahui bersama ketika berstatus PT BHMN, UGM telah

memiliki berbagai macam unit-unit usaha. Pada saat ini unit-unit usaha tersebut

juga masih berdiri untuk menyokong kondisi finansial dari UGM. Keberadaan

unit usaha tersebut juga diamini oleh UU Dikti yang mengizinkan peraturan

sebelum UU Dikti ini masih berlaku, seperti PP 153 Tahun 2003 dan PP 66 Tahun

Page 9: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

157

2010. Dengan adanya peraturan tersebut maka UGM seolah-olah dijadikan barang

publik sebagai pelayan pendidikan bagi masyarakat.

Namun, disisi yang berlainan UGM masih harus “dipaksa” untuk mencari

dana secara mandiri karena subsidi pendidikan tidak mencukupi biaya oprasional

kampus. Untuk itu secara tidak langsung maupun langsung adalah dengan jalan

menaikkan pemasukkan lewat jalur masuk mahasiswa, tetapi hal ini pun masih

dibatasi. Ditengah pembatasan pencarian dana dari mahasiswa UGM harus cerdas

dalam mengelola dana. Terjadinya pembatasan pemasukan dari mahasiswa

sebetulnya mematikan UGM121. Hal ini dikarenakan penerimaan dari mahasiswa

menjadi salah satu pemasukan yang paling besar.

Menurut Dr. Didi Achari seharusnya pembatasan ini harus dimaknai

secara bijak dimana pembatasan biaya hanya diberlakukan untuk mahasiswa S1

dan vokasi saja, bukan kepada semua level. Karena jika diberlakukan menyeluruh

pada setiap jenjang yang terjadi malah seperti kredit macet. Akhirnya, pendidikan

disamakan dengan quasi public goods, sebagaimana mekanisme di rumah sakit

yang memiliki kelas 1, 2, 3, atau VIP dan VVIP122. Seharusnya, pendidikan

seharusnya sama rata tidak ada penggolongan yang menyebabkan terbentuknya

kasta pendidikan dan penutupan akses pendidikan.

Menurut Dr. Didi hal seperti itu sah-sah saja, bukan untuk melakukan

privatisasi, tetapi untuk melakukan upaya survival dari minimnya anggaran

negara. Pada saat ini UGM belum mendapatkan dana dari pemerintah dari awal

januari sampai Mei, belum ada anggaran yang turun. Jika tidak ada unit-unit

121

Ibid. 122

Ibid.

Page 10: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

158

usaha, seperti Gama Multi, UGM Samator, UGM SP untuk kampus jakarta,

mungkin UGM sudah tidak bisa menjalankan proses pendidikan123. Jika hanya

mengandalkan dana dari pemerintah maka biasanya BLU mencari dana talangan

berupa hutang dari Bank atau menunggak pada penyelenggara jasa lainnya.

Masalah ini dapat menjalar ke berbagai aspek, seperti: kegiatan mahasiswa, dosen,

riset, bidik misi, dll. Jika kita tidak memiliki dana talangan atau cadangan maka

akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.

Disatu sisi sebtulnya BLU menghadirkan “bonus keuangan” tersendiri,

yakni dengan adanya Integrated finances. Keuangan yang tadinya terpencar-

pencar sendiri-sendiri kini melalui mekanisme ini semua pemasukkan melalui satu

corong saja sehingga lebih mudah melacak dan memastikan pemasukkan dan

pengeluaran UGM.

5.3.2 Problema Satuan Kerja (Satker)

Penghapusan uang pangkal sebagai akibat diberlakukannya UKT di

jenjang S1 dan Vokasi menyebabkan pemasukan UGM menurun. Tetapi,

pemasukan UGM masih tertolong dari S2 dan S3124. Kemudian, datang juga dari

usaha-usaha alternatif berupa kerjasama riset dan proyek-proyek yang diperoleh

dari pusat studi. Pusat studi ditengah kebebasan sering kali tidak menolong

keuangan UGM. Dengan adanya BLU Pusat studi menjelma menjadi salah satu

sumber alternatif penerimaan yang dahulu tidak maksimal sekarang bisa

dimaksimalkan. Namun. BLU juga memiliki masalah, pertama, penentuan tarif

123

Padahal Unit Usaha yang dimiliki UGM saat ini memiliki kontribusi yang sangat kecil dalam

menopang RKAT UGM. Hal ini dapat dilihat lebih jelas dalam laopran RKAT UGM tahun ke tahun

yang juga disajikan dalaam RKAT tahun 2013 124

Opcit. Dr. Didi Achari

Page 11: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

159

yang harus disetujui oleh Kemenkeu karena ranahnya adalah keuangan negara

implikasinya adalah penerimaan, pengunaanya, dan pelaporannya harus mengikuti

peraturan negara sebagai satuan kerja. Menurut Dr. Didi Achari ini tidak cocok

dengan konsep otonomi yang dimaksud oleh UGM. Kedua, sistem penganggaran

harus menunggu anggaran turun yang kadang tidak bisa ditentukan. Akhirnya

menghasilkan keterbatasan pemasukan, ini juga menjadi alasan apabila UGM

tidak bisa berbicara banyak di dunia Internasional125.

Ketiga, Sistem pengangaran negara januari-desember tidak cocok dengan

kalender tahun akademik juni-juni. Dengan UGM mengunakan sistem BLU dalam

keuangan maka ketika masih ada anggaran sisa di akhir tahun maka harus

dikembalikan padahal masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi dengan

anggaran tersebut di awal tahun yang masih dalam kalender akademik126.

Sedangkan, jika mau mengajukan anggaran pada akhir tahun harus membuat

anggaran baru untuk tahun selanjutnya.

5.3.3 Ujian Masuk dan Pemerataan Akses

Polemik ujian masuk sebetulnya, sudah dimulai pada saat diberlakukannya

di perguruan tinggi sejak hadirnya PP 151-153 Tahun 2000 dan baru dilaksanakan

pertama kalinya oleh UGM tahun 2003. Sejak itu pula lah perdebatan isu

komersialisasi lewat jalur ujian mandiri (UM) bergulir. Saat ini UU Dikti pun

tidak terlepas dari persoalan tesebut dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 73

dan 74 tentang penerimaan mahasiswa berdasarkan 3T dan minamal 20% dari

mahasiswa ekonomi lemah. Selain bernuansa komersil UU Dikti juga merupakan

125

Ibid. 126

Ibid

Page 12: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

160

sebuah pelemahan dan diskriminasi terhadap akses pendidikan. Hal ini dapat

dilihat biaya kuliah yang semakin lama semakin mahal dan meningkatnya jumlah

mahasiswa kaya yang masuk perguruan tinggi khususnya UGM ketimbang

mahasiswa golongan ekonomi lemah (Sutaryo:2013).

Dengan begitu, UU Dikti akan semakin mempersulit akses pendidikan

bagi masyarakat, karena tingginya biaya pendidikan. Semangat komersialisasi

pendidikan yang termaktub dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru

yang memungkinkan bentuk penerimaan mahasiswa baru selain ketentuan

nasional. Walaupun ada penerimaan mahasiswa ketentuan nasional nuansa

komersialisasi pendidikan pun belum tentu pudar ditambah lagi ada mekanisme

ujian mandiri. Secara sadar ataupun tidak sadar karena kebutuhan pendaaan dari

subsidi pendidikan perguruan tinggi akan menyeleksi mahasiswa secara ekonomi

dan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan bagi perguruan tinggi dari calon

mahasiswanya.

Menurut data BPS pada tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan

tinggi di Indonesia sebesar 16,35 dan angka partisipasi murni perguruan tinggi

adalah 11,01. Sementara pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru

mencapai 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusian 19-

24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4%. Hal ini merupakan

bukti dari berbagai masalah yang dihadapi rakyat pekerja akibat privatisasi dan

komersialisasi pendidikan, seperti mahalnya biaya sekolah/kuliah, kesejahteraan

tenaga/pekerja kependidikan, kurikulum pendidikan, mahalnya jalur masuk

kuliah, dan lain sebagainya. UGM pada penyelenggaraan penerimaan mahasiswa

baru 2013 pemerintah telah menetapkan penerimaan mahasiswa baru dilakukan

Page 13: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

161

melalui tiga jalur yaitu SNMPTN Undangan dengan kuota 50%, SBMPTN 30%,

dan seleksi mandiri oleh masing-masing perguruan tinggi sebanyak 20%.

Dengan Proporsi seleksi SNMPTN Undangan UGM menyediakan

sebanyak 3.318 kursi atau 50% dari jumlah total yang diterima. Sementara untuk

Ujian Mandiri (UM) UGM, kami akan membuka daya tampung sebesar 1.331

atau 20% sisa jalur yang ada. Daya tampung yang disediakan UGM sesuai dengan

ketentuan penerimaan mahasiswa baru yang diatur oleh pemerintah127.

Dari data yang diperoleh Direktorat Akademik UGM selama enam tahun

terakhir yang menerapkan ujian mandiri dengan proporsi lebih banyak mahasiswa

yang mendominasi pun masih berasal dari Pulau Jawa yang nota bene adalah

daerah dengan pertumbuhan ekonomi positif, sedangkan mahasiswa dari daerah

barat dan timur masih sangat sedikit. Tentu saja ini tidak sesuai dengan semangat

UGM untuk menjadi Universitas nasional. Jadi, jika dikatakan dengan adanya

otonomi non akademik akan menambah luasnya jangkauan penerimaan atau

pemerataan sungguh sebuah pembelaan yang sangat naif.

Tabel 2128

Proporsi Mahasiswa UGM Berdasarkan Asal Daerah

PROPINSI T A H U N

JUMLAH 2007 2008 2009 2010 2011 2012

D.I. ACEH 118 194 190 109 107 57 775

SUMATERA UTARA 388 339 417 339 489 476 2448

SUMATERA BARAT 229 280 182 165 247 224 1327

RIAU 288 402 396 361 371 344 2162

127

http://www.sbmptn.web.id/2013/05/ugm-terima-1997-mahasiswa-jalur-sbmptn.html di

unduh tanggal 10 Juli 2013 128

http://akademik.ugm.ac.id/2012/?menu=statistik&act=asal diunduh tanggal 10 Juli 2013

Page 14: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

162

JAMBI 93 120 133 84 107 108 645

SUMATERA SELATAN

271 298 299 240 306 267 1681

BENGKULU 101 83 99 83 103 98 567

LAMPUNG 231 324 320 295 305 292 1767

KEP.BANGKA BELITUNG

10 20 26 21 21 14 112

BANTEN 349 412 466 522 432 402 2583

D.K.I. JAKARTA 849 983 973 819 847 802 5273

JAWA BARAT 1145 1405 1457 1284 1464 1457 8212

JAWA TENGAH 3460 3562 3650 3652 4210 4487 23021

D.I. YOGYAKARTA 3543 3699 3624 3268 3941 3825 21900

JAWA TIMUR 964 1150 1310 1198 1211 1372 7205

BALI 152 174 168 161 187 177 1019

NUSA TENGGARA BARAT

163 165 210 164 169 156 1027

NUSA TENGGARA TIMUR

133 148 124 111 116 93 725

KALIMANTAN BARAT

142 165 142 104 166 133 852

KALIMANTAN TENGAH

91 121 88 59 61 66 486

KALIMANTAN SELATAN

123 201 145 119 148 120 856

KALIMANTAN TIMUR

318 379 380 341 284 312 2014

GORONTALO 48 92 34 17 20 21 232

SULAWESI UTARA 39 77 63 37 46 47 309

SULAWESI TENGAH 72 89 93 46 78 68 446

SULAWESI SELATAN

191 187 177 137 201 212 1105

SULAWESI TENGGARA

92 117 126 117 102 98 652

MALUKU 104 113 95 61 57 57 487

IRIAN JAYA 85 128 119 45 50 81 508

TIMOR TIMUR 4 15 18 1 0 0 38

MALUKU UTARA 49 61 90 29 34 44 307

Page 15: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

163

IRIAN JAYA TIMUR 19 24 28 28 28 15 142

IRIAN JAYA TENGAH

7 8 19 9 6 11 60

IRIAN JAYA BARAT 24 80 86 26 39 61 316

LUAR NEGERI 132 151 154 129 102 114 782

Sumber: Direktorat Akademik UGM

Adanya ujian mandiri yang diselenggarakan selama periode BHMN yang

diharapkan menjadi pembuka ruang untuk mengajak pun menjadi sangat utopis.

Kesulitan melakukan pemerataan penerimaan mahasiswa pun disebabkan karena

ketimpangan kualitas pendidikan diberbagai daerah khususnya daerah timur

indonesia (Didi Achari:2013). Hal ini dapat di jelaskan lewat data statistik

penerimaan mahasiswa UGM dari periode 2007 sampai 2012 terlihat bahwa

mahasiswa asal pulau jawa sangat mendominasi. Dominasi ini sepertinya sulit

untuk dirubah melihat mekanisme penerimaan yang melihat aspek kognisi dan

penyeleksian ekonomi calon mahasiswa..

Namun di sisi yang lain keterbatan subsidi pemerintah yang tidak bisa

terelakkan dan mekanisme pagu anggaran APBN menjadi problema dan dilema

perguruan tinggi. Misalnya, UGM yang memiliki filosofi dasar pendidikan yang

mengakar, yakni pascasila akan mengalami sebuah dilema luar biasa karena sudah

tentu mekanisme seperti ini bertentangan dengan konsep pancasila.

5.3.4 Beasiswa Mahasiswa Indonesia

Di tengah banyaknya mahasiswa miskin yang kesulitan mengakses

pendidikan seharusnya pemerintah maupun perguruan tinggi meggalakkan

beasiswa. Saat ini beasiswa bidik misi dari pemerintah yang sudah terintegrasi

Page 16: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

164

harusnya diperbesar proporsinya karena saat ini masih sangat kecil sekali129.

Selain itu juga, perguruan tinggi layaknya UGM dan kampus besar lainnya

menyediakan beasiswa juga dimana ikut memperhatikan mahasiswa yang bodoh

tapi miskin dengan begitu perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga yang

mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin signifikan perannya. Misalnya,

mahasiswa meningkat rata-rata 3-4 kali lipat kira2 diperlukan 4,5 jt beasiswa

setahun. Paling tidak membutuhkan beasiswa bidik misi separuhnya saja sekitar

2jt-an beasiswa setahun.

Sedangkan, Bidik misi yang di gawangi oleh pemerintah saat ini hanya

bisa menampung sekitar 70.000 beasiswa setahun itu masih sangat jauh dari

kebutuhannya dan harus dibagi dalam 98 PTN. Untuk itu pemerintah dan

Universitas bekerja sama untuk mendorong perusahan-perusahan melakukan

mekanisme csr-nya untuk beasiswa mahasiswa.

UGM sendiri menyediakan beasiswa dengan mekanisme cross subsidy

saat ini masih juga hanya saja mulai tahun 2013 dibatasi dengan UKT oleh

pemerintah. Menurut Prof. Sofian dengan UKT justru pemerintah me-deregulasi

kebebasan universitas untuk mendorong cross subsidy karena terbentur regulasi.

Seharusnya, justru dengan regulasi pemerintah memberikan ruang yang seluas-

luasnya untuk melakukan cross subsidy, tetapi ini berbeda dengan pandangan

Prof. Dr. Sutaryo yang memiiki konsep peran strategis MWA yang bukan

menerapkan konsep cross subsidy. Karena konsep cross subsidy justru

mengurangi jumlah mahasiswa dari golongan miskin, dengan jalan

129

Opcit Prof. Sofian Effendi

Page 17: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

165

memperbanyak orang kaya yang masuk dengan dalih cross subsidy130. Padahal

cross subsidy yang dimaksud untuk membiayai oprasional kampus karena

semakin sedikitnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Dilema ini pun

membawa perdebatan diantara aktor-aktor pemangku kebijakan di UGM.

5.4 Quo Vadis Pendidikan Tinggi Indonesia

Dalam jebakan administatif dan pasar global dalam UU Dikti membawa

keruwetan dan dilema yang dihadapi oleh PTN BH pada implementasinya. Lalu

hal ini, Membawa kita pada pertanyaan mau dibawa kemana sebenarnya

pendidikan tingggi ke depan?. Arah pendidikan indonesia harus memiliki sebuah

ideologi yang jelas sehingga keberpihakan pun semakin jelas. Seperti kita ketahui

bersama bahwa ideologi pendidikan yang dianut adalah sesuai dengan tujuan

negara ini lahir yang terinspirasi oleh pancasila, yakni mencerdaskan kehidupan

bangsa. Tentu saja, dalam sudut pandang seperti ini UU Dikti dinilai belum

memiliki pandangan yang sama dengan tujuan dan cita-cita bangsa. Untuk itu,

arah pendidikan tinggi kita akan diteropong lewat beberapa isu startegis, antara

lain: pertama, persoalan rumitnya anggaran yang menjadi pokok permasalahan;

kedua, ketidakjelasan sistem yang menyebabkan multi status kepegawaian dan

penerimaan mahasiswa; ketiga, keilmuan dan kontribusi.

Pertama, alasan pemberian status badan hukum pada PTN lebih untuk

menghindari kerumitan pengelolaan keuangan PTN yang menerapkan mekanisme

APBN. Kerumitan ini menghambat penyelenggaraan pendidikan tinggi

melaksanakan Tri Dharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada

130

Opcit Prof. Dr. Sutaryo

Page 18: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

166

masyarakat. Dengan berlakukanya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan

Negara dan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, solusi

kerumitan keuangan negara tidak lagi perlu dengan memberi status badan hukum

bagi PTN. Langkah konkret untuk melakukan perubahan adalah meminta presiden

mengambil kebijakan khusus bagi PTN dalam pengelolaan keuangannya

berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) UU No 17 tahun 2003.

Presiden dapat menetapkan dan membuat keputusan yang bersifat

kebijakan teknis berkaitan dengan APBN, yang khusus diterapkan bagi PTN,

yaitu penerapan pola pengelolaan keuangan lembaga pendidikan (PPK-LP). Pola

ini tidak berorientasi pada bisnis sebagaimana badan layanan umum, juga tidak

kaku seperti APBN, tetapi suatu pola pengelolaan keuangan yang fleksibel-

komplementer. Artinya tidak rumit, akuntabel, dan tidak membebani peserta didik

serta masyarakat (Dian Puji:2013).

Konsep PPK-LP yang di utarakan Dr. Dian Puji merupakan pola yang

serupa dengan pengelolaan keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan. Dengan cara

seperti itu, APBN tetap dapat menjadi sumber pendanaan PTN sebagai bentuk

tanggung jawab pemerintah, PTN tetap independen menjalankan Tri Dharma

perguruan tinggi sekaligus menjamin upaya PTN meningkatkan kualitas

penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, status badan hukum PTN tidak

relevan lagi dalam era reformasi keuangan negara saat ini. Tujuan PTN

dikembalikan lagi pada jalur tujuan ideal yang linear dengan tujuan bernegara,

yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Page 19: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

167

Untuk bisa memantapkan langkah ada baiknya setiap perguruan tinggi

membentuk tim ekonomi yang kuat. Tentu saja timharus di isi orang-orang yang

jujur mengelola. Dengan begitu, anggaran tidak menjadi barang mainan untuk

memperkaya diri sendiri maupun beberapa orang sehingga efesiensi anggaran

terwujud. Dengan efisiensi ini tentu saja akan berdampak pada pemerataan akses

pendidikan, menyediakan pendidikan yang bermutu, dan memberikan jawaban

atas permasalah bangsa131.

Sebagai pelengkap asas berdemokrasi, perlu juga peran mahasiswa dalam

hal ini BEM harus melakukan perannya yang berkolaborasi dengan akademisi-

akademisi perguruan tinggi guna menambah kekuatan rekomendasi politik

anggaran yang dikeluarkan oleh mahasiswa132. Sehingga kedepannya politik

anggaran dapat memprioritaskan pendidikan dan sektor-sektor startegis lain

seperti energi, pangan, dll yang mampu mengangkat derajat bangsa.

Kedua, ketidakjelasan UU Dikti yang memberikan double gender

menyebabkan terjadinya multi sistem kepegawaian yang dialami oleh pekerja

PTN BH akibatnya tumpang tindih status kepegawaian. Seharusnya hal ini tidak

terjadi jika konsisten dengan status Badan Hukumnya tentu saja merujuk kepada

UU Ketenagakerjaan agar sesuai dengan status dari institusi tempat bekerja.

Tumpang tindihnya stautus dapat merugikan pekerja dengan tenjadi Labor Market

Flexibility yang diinginkan oleh para pemilik modal untuk mengontrol secara

penuh para pekerjanya. Artinya, para pekerja di dunia kependidikan pun akan

131

Ibid 132

Ibid

Page 20: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

168

sangat rentan untuk mendapatkan hak-hak normatifnya. Jika konsisten maka hal

itu tentu saja tidak akan terjadi.

Ketiga, minimnya kontribusi yang diberikan universitas terhadap ilmu

pengetahuan menjadi titik kritis tersendiri terhadap dunia pendidikan indonesia.

Perguruan tinggi harusnya berbenah untuk memberikan kontribusi terhadap

pembangunan. Hal ini tentu saja bukan melakukan penelitian proyek berdasarkan

pesanan. Penelitian yang masih minim ini harusnya digiatkan oleh kampus dengan

meberdayakan Dosen-dosen yang saat ini masih minin sekali untuk menghasilkan

karya. Jika memaksakan mahasiswa S1 untuk menulis jurnal dalam watu dekat-

dekat ini sebagaimana yang dilakukan oleh kemendikbud merupakan kebijakan

yang sangat memaksa.

Oleh karena itu, sebagai salah satu pilar penting dari the Triple Helix (Tri

Dharma) perguruan tinggi seharusnya berbenah untuk berkontribusi pada

pembangunan. Perguruan tinggi yang berkualitas tidak hanya menghasilkan

sarjana yang cerdas dan berdaya saing tetapi harus juga berkontribusi pada

peningkatan kesejahteraan bangsa melalui pengetahuan dan budaya yang

dikembangkannya. Dengan konsep PPK LP seharusnya Pemerintah harus

memberikan dukungan yang mecukupi uperguruan tinggi untuk melakukan riset

dalam rangka mendukung kepentingan hajat rakyat indonesia tanpa harus terjebak

dalam lingkaran komersialisasi. Begitu juga bila bekerja sama dengan dunia

industri tentunya bukan berdasarkan pesanan, tetapi kerjasama untuk berupaya

meningkatkan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga amanat UUD 1945

untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa, menuju bangsa yang makmur dan

sejahtera bisa dilakukan.

Page 21: Kesimpulan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/65068/potongan/S1-2013...150 Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini terangkum

169

Selain itu juga, riset memiliki sangkut pautnya dengan sistem kepegawaian

dan promosi dosen di perguruan tinggi yang perlu dibenahi, misalnya dengan

menerapkan sistem berbasis merit. Jadi, bukan karena ingin naik pangkat maka

seorang dosen melaksanakan penelitian, tapi karena ia banyak menghasilkan

publikasi maka pangkatnya dinaikkan. Terkait dengan sistem promosi, remunerasi

dosen tentu harus menjadi perhatian untuk menjaga kualitas dari dosen.