Upload
truongkiet
View
258
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
149
BAB V
Kesimpulan
“Fundamentalisme Pasar neoliberal selalu merupakan sebuah doktrin politik yang melayani kepentingan politik kelompok tertentu...”
-Joseph E Stiglitz
5.1 Konsistensi Jati Diri Universitas Gadjah Mada
Implementasi kebijakan pendidikan, bukan hanya menjadi hak monopoli
institusi pendidikan saja maka implementasi kebijakan sangat kuat dimensinya
dengan faktor-faktor politik dan sosial yang datang dari internal dan eksternal. Hal
ini lah kemudian yang mendasari implementasi memiliki perbedaan dan kekhasan
tersendiri. UGM sendiri memiliki kekhasan yang sangat melekat dan tidak dapat
dipisahkan dengan berdirinya bangsa Indonesia maka nilai yang melekat ini
memiliki sifat dan tujuan yang dalam pembukaan UUD ’45 dengan nilai UGM.
Sehingga sangat mempengaruhi kehidupan penyelenggaraan pendidikan di UGM
sebagai sumber inspirasi.
Banyaknya para pendiri bangsa yang membersamai berdirinya UGM turut
juga memberikan kontribusi-kontribusinya, seperti Soekarno, Hatta, dan Ki
Hadjar Dewantara. Banyaknya tokoh-tokoh juga menandakan berdirinya UGM
tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Untuk merespon berbagai masalah,
misalnya saja pemilihan tanggal 19 Desember 1949 sebagai berdirinya UGM
sebagai penanda eksistensi indonesia setelah ageresi militer Belanda II.
Banyaknya pendiri bangsa yang memiliki keragaman dalam ideologi pun memberi
warna tersendiri dalam cara pandang pendidikan UGM.
150
Nilai-nilai ke-UGM-an sebagai dasar dari penyelenggaran pendidikan ini
terangkum dalam konsep kawolo wargo yang terjabarkan atas enam dasar,
diantaranya: Kerokhanian, Perikemanusiaan, Demokrasi, Kebangsaan, Kerakyatan
dan Kemasyarakatn, dan dibungkus dalam Kekeluargaan. Asas-asas ini kemudian
melahirkan jadi diri UGM sebagai kampus Universitas Nasional, Pancasila,
Kerakyatan, Perjuangan, dan Pusat Kebudayaan. Konsep-konsep ini lah yang
kemudian digunakan UGM sebagai persfektif dalam melihat berbagai hal. Dapat
dilihat bagaimana UGM mencermati dan menafsirkan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi. Dengan mengunakan persfektif itu tentu saja UGM memiliki
cara khas yang sedikit berbeda untuk melaksakannya. Misalnya saja, dalam
memaknai otonomi akademik dan non akademik.
Otonomi akademik yang dimaknai UGM untuk dijadikan sebuah lembaga
yang mandiri sebagai penyelenggara satuan pendidikan yang terinspirasi dari
Panca Dharma hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Di mana pendidikan
merupakan kebutuhan fitrah dan kemerdekaan setiap manusia yang harus
diberikan seluas-luasnya bagi kehidupan manusia untuk mencapai dan
mempermudah keberhasilan hidup. Hal ini diwujudkan dalam statuta 1950
disebutkan bahwa Universitas Gadjah Mada dapat mengatur keuangan milik
sendiri, mengatur rumah tangga sendiri, dan kepentingannya sendiri.
Otonomi juga dimaknai setiap insan Gadjah Mada bisa bergerak sendiri
atau merdeka secara intelektual dan berkontribusi, tetapi tidak terpisah
sebagaimana organ tubuh. Dengan tetap bersatunya gerak dengan otonomi
tersebut Universitas Gadjah Mada kemudian mampu mempengaruhi politik,
ekonomi, budaya, pada saat awal kemerdekaan sampai tahun 1960-an, bahkan
151
sampai saat ini. Konsep otonomi yang dimaksudnya juga, bukan mengartikan
bahwa Universitas Gadjah Mada bukan entitas tersendiri dari negara ini,
melainkan satu kesatuan juga. Maka dengan konsep otonomi yang telah melekat
bukan dijadikan alasan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri tanpa campur
tanga dari pemerintah, tetapi justru berkolaborasi. Hal ini juga yang mendasari
nilai dari status Badan Hukum UGM. Badan Hukum yang dimaknai oleh UGM
adalah bersifat publik bukan bersifat privat, sehingga pendidikan tetap pada
prinsipnya sebagai tanggung jawab negara bukan urusan privat.
Namun, dalam perjalanan UGM sepanjang berstatus PT BHMN
menunjukkan sebuah hal yang paradoks di samping ada upaya untuk
mempertahankan jati dirinya. Upaya mempertahnkan jati dirinya pun tidak serta
merta dapat diimplementasikan dengan mudah. Jalan terjal itu pun datang dari
kepentingan mendesak terkait pendanaan yang sampai hari ini menemui jalan
yang berliku karena tekanan kepenting pasar global yang terus digencarkan
dengan dalih efisiensi, daya saing, dan memberikan keluluasaan untuk ilmu
pengetahuan.
5.2 Keruwetan Implementasi
Dalam mengimplementasi kebijakan UU Dikti banyak sekali keruwetan
yang terjadi. Fenomena seperti benang kusut pun mewarnai pelaksanan di
lapangan. Keruwetan ini berasal dari otonomi yang diberikan kepada Perguruan
tinggi Negeri. Otonomi nonakademik yang diberikan, bukan merupakan respon
dari semangat reformasi pendidikan tinggi, melainkan sebuah mekanisme
privatisasi, liberalisasi, dan komersialisasi. Munculnya ide pembadanhukuman
152
Pendidikan tinggi di dalam UU Dikti didasarkan pada kerumitan dalam turunnya
anggaran119. Merujuk pada UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, sangat
mencekik Perguruan Tinggi, karena mengakibatkan kegiatan Pendidikan Tinggi
bergantung pada turunnya anggaran dari pemerintah.
Selajutnya, status Badan Hukum yang ada dalam UU Dikti secara tidak
langsung mengambil peran negara dari pendidikan sebuah sebuah konsekuensi
Pasal 7 Ayat (1) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Undang-
undang tersebut lembaga semacam PTN BH tidak lagi memiliki tujuan yang sama
dengan tujuan bernegara. Dengan demikian, secara rasionalitas hukum, tak ada
lagi hubungan dinas publik (openbare dienstbetrekking) PTN-BH dengan
keuangan negara. Ini berarti PTN-BH tidak lagi memperoleh dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena APBN hanya untuk mencapai
tujuan bernegara (Dian Puji:2013)120. Secara langsung PTN-BH akan
menggunakan otonominya untuk mendapatkan pendanaan. Salah satunya dengan
cara mendirikan badan usaha komersial atau mendapatkan dana dari pihak ketiga
yang justru akan memengaruhi sifat otonom PTN ke arah komersialisasi dan
menjauhkan tujuan PTN untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sehingga kampus yang mengingnkan otonomi dalam UU Dikti, tetapi
masih mendapatkan subsidi pendidikan secara politik hal ini dilakukan untuk
dapat meredam isu miring pandangan komersil. Namun, dalam pandangan hukum
119
http://kompas.web.id/lihat/9694/2013/05/3019/08/01/Ahli:perguruantinggibadanhukumcipta
kanparadoksrasionalitas.html 120
Dapat dilihat lebih jelas dalam kolom opni kompas 22 Juni 2013 yang berjudul Paradoks
Rasionalitas PTN BH. Dalam tulisan tersebut juga diulas kesalan besar dalam mempersepsikan
makna dari Otonomi nonakademik yang diinginkan oleh segelitir orang yang ingin mewakili
kepentingan kemapanan dari kampus eks- PT BHMN dan sudah tentunya keberadaan
kepentingan asing dalam undang-undangn tersebut.
153
tentu saja terjadi paradoks of value atau dalam bahasa Dian Puji Paradoks
Rasionalitas. Padahal, badan hukum dengan kekayaan yang dipisahkan dapat
mengatur diri sendiri tanpa tergantung pada sumber kekayaan pendirinya
sebagaimana yang diatur dalam UU Dikti. Badan hukum tanpa kemandirian
berarti status badan hukumnya (rechtsfiguur) hanya khayalan pendirinya (Dian
Puji:2013). PTN BH dituntut mandiri dan dapat menggunakan kekayaan negara
yang dipisahkan, kecuali tanah.
Selain itu, UU Dikti ini akan melegalkan praktik-praktik multi-sistem
kepegawaian yang merugikan pekerja, yang sebenarnya sudah berlangsung secara
ilegal sejak zaman BHMN. Sejak beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN pada
tahun 2000 adalah tumpang tindihnya status kepegawaian yang dialami pekerja
kependidikan. Sebagian besar perguruan tinggi yang menjadi BHMN pada tahun
2000, masih saja mengangkat PNS. Hal ini berakibat hingga saat ini ada berbagai
status pekerja yang dialami oleh pekerja kependidikan, seperti pekerja perguruan
tinggi, PNS, dan pekerja yang tidak memiliki status apapun atau pekerja non-
status. Pasal-pasal ketenagakerjaan yang diatur dalam pasal 69-71 dalam UU
Pendidikan Tinggi ini juga tidak merujuk kepada UU Ketenagakerjaan.
Melainkan, merujuk kepada UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan kondisi seperti ini, PTN BH harus konsisten dan komitmen
terhadap UU Dikti dengan mempunyai kemandirian pendanaan, tidak
mendapatkan dana APBN, serta seluruh penyelenggara pendidikannya menganut
monoisme status kepegawaian. Dengan demikian, tidak ada dualisme atau bahkan
multiisme status kepegawaian dan keuangan dalam suatu PTN-BH. Namun,
pertanyaannya adalah apakah ada PTN yang mau dan mampu melakukan konsep
154
badan hukum secara konsisten seperti itu? Pertanyaan ini perlu mengingat kurang
jelasnya keterkaitan pemberian status badan hukum PTN dengan upaya mencapai
tujuan pendidikan. Pada akhirnya, membawa PTN BH kedalam jebakan
administratif komersialisasi pendidikan dan dilema yang bekepanjangan dalam
mengimplementasinya.
5.3 Dilema Perguruan Tinggi
Tidak lengkapnya PP dan Pemendikbud dalam UU Dikti, bukan hanya
menghadirkan keruwetan, tetapi juga dilema bagi UGM. Hal ini pun berakibat
pada terbatasnya gerak karena undang-undang yang belum sempurna. Sehingga
sangat berisiko untuk melakukan pergerakan yang sudah dirancang dalam rencana
strategis UGM 2012-2017. Ditambah ketidakjelasan status UGM yang hybrid
PTN BH dan BLU menjadikan UGM.
Namun, itu semua tidak membuat UGM lancar diam saja, masih ada upaya
untuk mengadvokasi hak-hak yang seharusnya diperoleh lewat perwakilan UGM
di DPT dan peran strategis dari MWA. Bisa jadi gerakan itu dapat melakukan
upaya untuk mem-bypass beberapa hal untuk dilakukan negosiasi.
Tidak sampai di situ saja, persoalan politik anggaran yang tidak
menunjukkan keberpihak terhadap pendidikan menjadi persoalan dan akar dari
dilema yang dialami pendidikan terutama di level perguruan tinggi. Politik
anggaran yang saat ini belum mencapai 20% menjadi catatan tersendiri kenapa
pada akhirnya ini pun menciptakan keruwetan dan dilema perguruan tinggi.
Tercatat dari anggaran 20% pendidikan tahun 2012 sebesar 286, 5 Triliun, yang
masuk ke kemendikbud 57.8 Triliun, ke daerah 186,3 triliun membiayai dinas dan
155
bangun sekolah, kementrian agama 31,1 Trilun, kementrian lain 4,1 triliun, Bos
22,5 triliun. Dari anggaran kemendikbud 2012 pendidikan tinggi hanya mendapat
28 triliun untuk membiayai 98 PTN. UGM sendiri diberikan jatah 170 Miliyar,
padahal kebutuhan UGM mencapai 2 Triliun, sudah tentu anggaran itu jauh dari
cukup.
Tidak berdaulatnya anggaran pendidikan menyebabkan UGM
membutuhkan dana untuk tidak koleps dalam penyelenggaran pendidikan. Untuk
itu munculah otonomi nonakademik untuk menutupi kekurangan anggaran
tersebut. Kemudian munculah istilah meningkatkan kualitas atau mutu
pendidikan, unit-unit usaha, endowment fund, kuliah mahal, dll. Istilah-istilah itu
sudah tentu akan menjadikan pendidikan tinggi membenarkan isu-isu yang selama
ini dikhawatirkan masyarakat, yakni terjadi komersialisasi, privatisasi, dan
liberalisasi pendidikan.
Dalam sudut pandang tersebut sebetulnya langkah yang dilakukan UGM
semata-mata untuk menghidupkan Universitas dalam menyelenggarakan
pendidikan, tetapi politik anggaran yang tidak mendukung UGM untuk bisa
membiayai dirinya menyebabkan UGM masuk dalam dilema. Politik anggaran
yang tidak berpihak memaksa UGM dan PTN BH lainnya untuk melakukan
tindakan yang sejatinya tidak sesuai filosofi cita-cita negara. Untuk memilih
negara yang kuat dalam membiayai pendidikan sepertinya tidak dapat diharapkan
karena tidak berdaulat dari pengaruh politik eksternal.
Seharusnya dengan sumberdaya Alam yang melimpah memberikan UGM
2 Triliun saja sangat kecil dan mudah. Tetapi, karena penguasaan sumber daya
156
alam tidak berdaulat sudah menjadi logis pendidikan tinggi diarahkan untuk
dikomersilkan dengan dalih meningkatkan mutu ditengah ketidak berpihakan
negara. Semua itu juga masih diperparah dengan tumbuh sumburnya makelar-
makelar anggaran.
Kondisi itu juga membawa pada ambivalensi UGM. Di mana UGM
menginginkan keberpihakan negara, tetapi di sisi yang lain negara perlahan-lahan
mengurangi perannya dalam anggaran. UGM sebagai kampus yang menjunjung
tinggi cita-cita negara sudah tentu menginginkan negara memliki keberpihakan
terhadap pendidikan. disituasi seperti ini UGM seakan terjebak oleh keadaan yang
memaksa untuk tetap dalam jalur yang mendukung pemerintah sebagai satuan
kerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa UGM masih ingin mempertahankan nilai-
nilai jati dirinya dan mengisyafi sebagai sebuah inspirasi untuk menfasirkan
kebijakan dan mengelola pendidikan di universitas. Berikut ini beberapa dilema
dan polemik yang dihadapi UGM dalam melaksanakan UU Dikti, diantaranya
quasi public goods, Prolema Satker, Ujian Masuk dan Pemerataan akses, sampai
persoalan beasiswa mahasiswa yang semuanya itu bermuara dalam bidang
pendanaan.
5.3.1 Quasi Public Goods
Seperti yang diketahui bersama ketika berstatus PT BHMN, UGM telah
memiliki berbagai macam unit-unit usaha. Pada saat ini unit-unit usaha tersebut
juga masih berdiri untuk menyokong kondisi finansial dari UGM. Keberadaan
unit usaha tersebut juga diamini oleh UU Dikti yang mengizinkan peraturan
sebelum UU Dikti ini masih berlaku, seperti PP 153 Tahun 2003 dan PP 66 Tahun
157
2010. Dengan adanya peraturan tersebut maka UGM seolah-olah dijadikan barang
publik sebagai pelayan pendidikan bagi masyarakat.
Namun, disisi yang berlainan UGM masih harus “dipaksa” untuk mencari
dana secara mandiri karena subsidi pendidikan tidak mencukupi biaya oprasional
kampus. Untuk itu secara tidak langsung maupun langsung adalah dengan jalan
menaikkan pemasukkan lewat jalur masuk mahasiswa, tetapi hal ini pun masih
dibatasi. Ditengah pembatasan pencarian dana dari mahasiswa UGM harus cerdas
dalam mengelola dana. Terjadinya pembatasan pemasukan dari mahasiswa
sebetulnya mematikan UGM121. Hal ini dikarenakan penerimaan dari mahasiswa
menjadi salah satu pemasukan yang paling besar.
Menurut Dr. Didi Achari seharusnya pembatasan ini harus dimaknai
secara bijak dimana pembatasan biaya hanya diberlakukan untuk mahasiswa S1
dan vokasi saja, bukan kepada semua level. Karena jika diberlakukan menyeluruh
pada setiap jenjang yang terjadi malah seperti kredit macet. Akhirnya, pendidikan
disamakan dengan quasi public goods, sebagaimana mekanisme di rumah sakit
yang memiliki kelas 1, 2, 3, atau VIP dan VVIP122. Seharusnya, pendidikan
seharusnya sama rata tidak ada penggolongan yang menyebabkan terbentuknya
kasta pendidikan dan penutupan akses pendidikan.
Menurut Dr. Didi hal seperti itu sah-sah saja, bukan untuk melakukan
privatisasi, tetapi untuk melakukan upaya survival dari minimnya anggaran
negara. Pada saat ini UGM belum mendapatkan dana dari pemerintah dari awal
januari sampai Mei, belum ada anggaran yang turun. Jika tidak ada unit-unit
121
Ibid. 122
Ibid.
158
usaha, seperti Gama Multi, UGM Samator, UGM SP untuk kampus jakarta,
mungkin UGM sudah tidak bisa menjalankan proses pendidikan123. Jika hanya
mengandalkan dana dari pemerintah maka biasanya BLU mencari dana talangan
berupa hutang dari Bank atau menunggak pada penyelenggara jasa lainnya.
Masalah ini dapat menjalar ke berbagai aspek, seperti: kegiatan mahasiswa, dosen,
riset, bidik misi, dll. Jika kita tidak memiliki dana talangan atau cadangan maka
akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak.
Disatu sisi sebtulnya BLU menghadirkan “bonus keuangan” tersendiri,
yakni dengan adanya Integrated finances. Keuangan yang tadinya terpencar-
pencar sendiri-sendiri kini melalui mekanisme ini semua pemasukkan melalui satu
corong saja sehingga lebih mudah melacak dan memastikan pemasukkan dan
pengeluaran UGM.
5.3.2 Problema Satuan Kerja (Satker)
Penghapusan uang pangkal sebagai akibat diberlakukannya UKT di
jenjang S1 dan Vokasi menyebabkan pemasukan UGM menurun. Tetapi,
pemasukan UGM masih tertolong dari S2 dan S3124. Kemudian, datang juga dari
usaha-usaha alternatif berupa kerjasama riset dan proyek-proyek yang diperoleh
dari pusat studi. Pusat studi ditengah kebebasan sering kali tidak menolong
keuangan UGM. Dengan adanya BLU Pusat studi menjelma menjadi salah satu
sumber alternatif penerimaan yang dahulu tidak maksimal sekarang bisa
dimaksimalkan. Namun. BLU juga memiliki masalah, pertama, penentuan tarif
123
Padahal Unit Usaha yang dimiliki UGM saat ini memiliki kontribusi yang sangat kecil dalam
menopang RKAT UGM. Hal ini dapat dilihat lebih jelas dalam laopran RKAT UGM tahun ke tahun
yang juga disajikan dalaam RKAT tahun 2013 124
Opcit. Dr. Didi Achari
159
yang harus disetujui oleh Kemenkeu karena ranahnya adalah keuangan negara
implikasinya adalah penerimaan, pengunaanya, dan pelaporannya harus mengikuti
peraturan negara sebagai satuan kerja. Menurut Dr. Didi Achari ini tidak cocok
dengan konsep otonomi yang dimaksud oleh UGM. Kedua, sistem penganggaran
harus menunggu anggaran turun yang kadang tidak bisa ditentukan. Akhirnya
menghasilkan keterbatasan pemasukan, ini juga menjadi alasan apabila UGM
tidak bisa berbicara banyak di dunia Internasional125.
Ketiga, Sistem pengangaran negara januari-desember tidak cocok dengan
kalender tahun akademik juni-juni. Dengan UGM mengunakan sistem BLU dalam
keuangan maka ketika masih ada anggaran sisa di akhir tahun maka harus
dikembalikan padahal masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi dengan
anggaran tersebut di awal tahun yang masih dalam kalender akademik126.
Sedangkan, jika mau mengajukan anggaran pada akhir tahun harus membuat
anggaran baru untuk tahun selanjutnya.
5.3.3 Ujian Masuk dan Pemerataan Akses
Polemik ujian masuk sebetulnya, sudah dimulai pada saat diberlakukannya
di perguruan tinggi sejak hadirnya PP 151-153 Tahun 2000 dan baru dilaksanakan
pertama kalinya oleh UGM tahun 2003. Sejak itu pula lah perdebatan isu
komersialisasi lewat jalur ujian mandiri (UM) bergulir. Saat ini UU Dikti pun
tidak terlepas dari persoalan tesebut dapat dilihat dari ketentuan dalam pasal 73
dan 74 tentang penerimaan mahasiswa berdasarkan 3T dan minamal 20% dari
mahasiswa ekonomi lemah. Selain bernuansa komersil UU Dikti juga merupakan
125
Ibid. 126
Ibid
160
sebuah pelemahan dan diskriminasi terhadap akses pendidikan. Hal ini dapat
dilihat biaya kuliah yang semakin lama semakin mahal dan meningkatnya jumlah
mahasiswa kaya yang masuk perguruan tinggi khususnya UGM ketimbang
mahasiswa golongan ekonomi lemah (Sutaryo:2013).
Dengan begitu, UU Dikti akan semakin mempersulit akses pendidikan
bagi masyarakat, karena tingginya biaya pendidikan. Semangat komersialisasi
pendidikan yang termaktub dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru
yang memungkinkan bentuk penerimaan mahasiswa baru selain ketentuan
nasional. Walaupun ada penerimaan mahasiswa ketentuan nasional nuansa
komersialisasi pendidikan pun belum tentu pudar ditambah lagi ada mekanisme
ujian mandiri. Secara sadar ataupun tidak sadar karena kebutuhan pendaaan dari
subsidi pendidikan perguruan tinggi akan menyeleksi mahasiswa secara ekonomi
dan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan bagi perguruan tinggi dari calon
mahasiswanya.
Menurut data BPS pada tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan
tinggi di Indonesia sebesar 16,35 dan angka partisipasi murni perguruan tinggi
adalah 11,01. Sementara pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru
mencapai 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusian 19-
24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4%. Hal ini merupakan
bukti dari berbagai masalah yang dihadapi rakyat pekerja akibat privatisasi dan
komersialisasi pendidikan, seperti mahalnya biaya sekolah/kuliah, kesejahteraan
tenaga/pekerja kependidikan, kurikulum pendidikan, mahalnya jalur masuk
kuliah, dan lain sebagainya. UGM pada penyelenggaraan penerimaan mahasiswa
baru 2013 pemerintah telah menetapkan penerimaan mahasiswa baru dilakukan
161
melalui tiga jalur yaitu SNMPTN Undangan dengan kuota 50%, SBMPTN 30%,
dan seleksi mandiri oleh masing-masing perguruan tinggi sebanyak 20%.
Dengan Proporsi seleksi SNMPTN Undangan UGM menyediakan
sebanyak 3.318 kursi atau 50% dari jumlah total yang diterima. Sementara untuk
Ujian Mandiri (UM) UGM, kami akan membuka daya tampung sebesar 1.331
atau 20% sisa jalur yang ada. Daya tampung yang disediakan UGM sesuai dengan
ketentuan penerimaan mahasiswa baru yang diatur oleh pemerintah127.
Dari data yang diperoleh Direktorat Akademik UGM selama enam tahun
terakhir yang menerapkan ujian mandiri dengan proporsi lebih banyak mahasiswa
yang mendominasi pun masih berasal dari Pulau Jawa yang nota bene adalah
daerah dengan pertumbuhan ekonomi positif, sedangkan mahasiswa dari daerah
barat dan timur masih sangat sedikit. Tentu saja ini tidak sesuai dengan semangat
UGM untuk menjadi Universitas nasional. Jadi, jika dikatakan dengan adanya
otonomi non akademik akan menambah luasnya jangkauan penerimaan atau
pemerataan sungguh sebuah pembelaan yang sangat naif.
Tabel 2128
Proporsi Mahasiswa UGM Berdasarkan Asal Daerah
PROPINSI T A H U N
JUMLAH 2007 2008 2009 2010 2011 2012
D.I. ACEH 118 194 190 109 107 57 775
SUMATERA UTARA 388 339 417 339 489 476 2448
SUMATERA BARAT 229 280 182 165 247 224 1327
RIAU 288 402 396 361 371 344 2162
127
http://www.sbmptn.web.id/2013/05/ugm-terima-1997-mahasiswa-jalur-sbmptn.html di
unduh tanggal 10 Juli 2013 128
http://akademik.ugm.ac.id/2012/?menu=statistik&act=asal diunduh tanggal 10 Juli 2013
162
JAMBI 93 120 133 84 107 108 645
SUMATERA SELATAN
271 298 299 240 306 267 1681
BENGKULU 101 83 99 83 103 98 567
LAMPUNG 231 324 320 295 305 292 1767
KEP.BANGKA BELITUNG
10 20 26 21 21 14 112
BANTEN 349 412 466 522 432 402 2583
D.K.I. JAKARTA 849 983 973 819 847 802 5273
JAWA BARAT 1145 1405 1457 1284 1464 1457 8212
JAWA TENGAH 3460 3562 3650 3652 4210 4487 23021
D.I. YOGYAKARTA 3543 3699 3624 3268 3941 3825 21900
JAWA TIMUR 964 1150 1310 1198 1211 1372 7205
BALI 152 174 168 161 187 177 1019
NUSA TENGGARA BARAT
163 165 210 164 169 156 1027
NUSA TENGGARA TIMUR
133 148 124 111 116 93 725
KALIMANTAN BARAT
142 165 142 104 166 133 852
KALIMANTAN TENGAH
91 121 88 59 61 66 486
KALIMANTAN SELATAN
123 201 145 119 148 120 856
KALIMANTAN TIMUR
318 379 380 341 284 312 2014
GORONTALO 48 92 34 17 20 21 232
SULAWESI UTARA 39 77 63 37 46 47 309
SULAWESI TENGAH 72 89 93 46 78 68 446
SULAWESI SELATAN
191 187 177 137 201 212 1105
SULAWESI TENGGARA
92 117 126 117 102 98 652
MALUKU 104 113 95 61 57 57 487
IRIAN JAYA 85 128 119 45 50 81 508
TIMOR TIMUR 4 15 18 1 0 0 38
MALUKU UTARA 49 61 90 29 34 44 307
163
IRIAN JAYA TIMUR 19 24 28 28 28 15 142
IRIAN JAYA TENGAH
7 8 19 9 6 11 60
IRIAN JAYA BARAT 24 80 86 26 39 61 316
LUAR NEGERI 132 151 154 129 102 114 782
Sumber: Direktorat Akademik UGM
Adanya ujian mandiri yang diselenggarakan selama periode BHMN yang
diharapkan menjadi pembuka ruang untuk mengajak pun menjadi sangat utopis.
Kesulitan melakukan pemerataan penerimaan mahasiswa pun disebabkan karena
ketimpangan kualitas pendidikan diberbagai daerah khususnya daerah timur
indonesia (Didi Achari:2013). Hal ini dapat di jelaskan lewat data statistik
penerimaan mahasiswa UGM dari periode 2007 sampai 2012 terlihat bahwa
mahasiswa asal pulau jawa sangat mendominasi. Dominasi ini sepertinya sulit
untuk dirubah melihat mekanisme penerimaan yang melihat aspek kognisi dan
penyeleksian ekonomi calon mahasiswa..
Namun di sisi yang lain keterbatan subsidi pemerintah yang tidak bisa
terelakkan dan mekanisme pagu anggaran APBN menjadi problema dan dilema
perguruan tinggi. Misalnya, UGM yang memiliki filosofi dasar pendidikan yang
mengakar, yakni pascasila akan mengalami sebuah dilema luar biasa karena sudah
tentu mekanisme seperti ini bertentangan dengan konsep pancasila.
5.3.4 Beasiswa Mahasiswa Indonesia
Di tengah banyaknya mahasiswa miskin yang kesulitan mengakses
pendidikan seharusnya pemerintah maupun perguruan tinggi meggalakkan
beasiswa. Saat ini beasiswa bidik misi dari pemerintah yang sudah terintegrasi
164
harusnya diperbesar proporsinya karena saat ini masih sangat kecil sekali129.
Selain itu juga, perguruan tinggi layaknya UGM dan kampus besar lainnya
menyediakan beasiswa juga dimana ikut memperhatikan mahasiswa yang bodoh
tapi miskin dengan begitu perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga yang
mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin signifikan perannya. Misalnya,
mahasiswa meningkat rata-rata 3-4 kali lipat kira2 diperlukan 4,5 jt beasiswa
setahun. Paling tidak membutuhkan beasiswa bidik misi separuhnya saja sekitar
2jt-an beasiswa setahun.
Sedangkan, Bidik misi yang di gawangi oleh pemerintah saat ini hanya
bisa menampung sekitar 70.000 beasiswa setahun itu masih sangat jauh dari
kebutuhannya dan harus dibagi dalam 98 PTN. Untuk itu pemerintah dan
Universitas bekerja sama untuk mendorong perusahan-perusahan melakukan
mekanisme csr-nya untuk beasiswa mahasiswa.
UGM sendiri menyediakan beasiswa dengan mekanisme cross subsidy
saat ini masih juga hanya saja mulai tahun 2013 dibatasi dengan UKT oleh
pemerintah. Menurut Prof. Sofian dengan UKT justru pemerintah me-deregulasi
kebebasan universitas untuk mendorong cross subsidy karena terbentur regulasi.
Seharusnya, justru dengan regulasi pemerintah memberikan ruang yang seluas-
luasnya untuk melakukan cross subsidy, tetapi ini berbeda dengan pandangan
Prof. Dr. Sutaryo yang memiiki konsep peran strategis MWA yang bukan
menerapkan konsep cross subsidy. Karena konsep cross subsidy justru
mengurangi jumlah mahasiswa dari golongan miskin, dengan jalan
129
Opcit Prof. Sofian Effendi
165
memperbanyak orang kaya yang masuk dengan dalih cross subsidy130. Padahal
cross subsidy yang dimaksud untuk membiayai oprasional kampus karena
semakin sedikitnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Dilema ini pun
membawa perdebatan diantara aktor-aktor pemangku kebijakan di UGM.
5.4 Quo Vadis Pendidikan Tinggi Indonesia
Dalam jebakan administatif dan pasar global dalam UU Dikti membawa
keruwetan dan dilema yang dihadapi oleh PTN BH pada implementasinya. Lalu
hal ini, Membawa kita pada pertanyaan mau dibawa kemana sebenarnya
pendidikan tingggi ke depan?. Arah pendidikan indonesia harus memiliki sebuah
ideologi yang jelas sehingga keberpihakan pun semakin jelas. Seperti kita ketahui
bersama bahwa ideologi pendidikan yang dianut adalah sesuai dengan tujuan
negara ini lahir yang terinspirasi oleh pancasila, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa. Tentu saja, dalam sudut pandang seperti ini UU Dikti dinilai belum
memiliki pandangan yang sama dengan tujuan dan cita-cita bangsa. Untuk itu,
arah pendidikan tinggi kita akan diteropong lewat beberapa isu startegis, antara
lain: pertama, persoalan rumitnya anggaran yang menjadi pokok permasalahan;
kedua, ketidakjelasan sistem yang menyebabkan multi status kepegawaian dan
penerimaan mahasiswa; ketiga, keilmuan dan kontribusi.
Pertama, alasan pemberian status badan hukum pada PTN lebih untuk
menghindari kerumitan pengelolaan keuangan PTN yang menerapkan mekanisme
APBN. Kerumitan ini menghambat penyelenggaraan pendidikan tinggi
melaksanakan Tri Dharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
130
Opcit Prof. Dr. Sutaryo
166
masyarakat. Dengan berlakukanya UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, solusi
kerumitan keuangan negara tidak lagi perlu dengan memberi status badan hukum
bagi PTN. Langkah konkret untuk melakukan perubahan adalah meminta presiden
mengambil kebijakan khusus bagi PTN dalam pengelolaan keuangannya
berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) UU No 17 tahun 2003.
Presiden dapat menetapkan dan membuat keputusan yang bersifat
kebijakan teknis berkaitan dengan APBN, yang khusus diterapkan bagi PTN,
yaitu penerapan pola pengelolaan keuangan lembaga pendidikan (PPK-LP). Pola
ini tidak berorientasi pada bisnis sebagaimana badan layanan umum, juga tidak
kaku seperti APBN, tetapi suatu pola pengelolaan keuangan yang fleksibel-
komplementer. Artinya tidak rumit, akuntabel, dan tidak membebani peserta didik
serta masyarakat (Dian Puji:2013).
Konsep PPK-LP yang di utarakan Dr. Dian Puji merupakan pola yang
serupa dengan pengelolaan keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan. Dengan cara
seperti itu, APBN tetap dapat menjadi sumber pendanaan PTN sebagai bentuk
tanggung jawab pemerintah, PTN tetap independen menjalankan Tri Dharma
perguruan tinggi sekaligus menjamin upaya PTN meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, status badan hukum PTN tidak
relevan lagi dalam era reformasi keuangan negara saat ini. Tujuan PTN
dikembalikan lagi pada jalur tujuan ideal yang linear dengan tujuan bernegara,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
167
Untuk bisa memantapkan langkah ada baiknya setiap perguruan tinggi
membentuk tim ekonomi yang kuat. Tentu saja timharus di isi orang-orang yang
jujur mengelola. Dengan begitu, anggaran tidak menjadi barang mainan untuk
memperkaya diri sendiri maupun beberapa orang sehingga efesiensi anggaran
terwujud. Dengan efisiensi ini tentu saja akan berdampak pada pemerataan akses
pendidikan, menyediakan pendidikan yang bermutu, dan memberikan jawaban
atas permasalah bangsa131.
Sebagai pelengkap asas berdemokrasi, perlu juga peran mahasiswa dalam
hal ini BEM harus melakukan perannya yang berkolaborasi dengan akademisi-
akademisi perguruan tinggi guna menambah kekuatan rekomendasi politik
anggaran yang dikeluarkan oleh mahasiswa132. Sehingga kedepannya politik
anggaran dapat memprioritaskan pendidikan dan sektor-sektor startegis lain
seperti energi, pangan, dll yang mampu mengangkat derajat bangsa.
Kedua, ketidakjelasan UU Dikti yang memberikan double gender
menyebabkan terjadinya multi sistem kepegawaian yang dialami oleh pekerja
PTN BH akibatnya tumpang tindih status kepegawaian. Seharusnya hal ini tidak
terjadi jika konsisten dengan status Badan Hukumnya tentu saja merujuk kepada
UU Ketenagakerjaan agar sesuai dengan status dari institusi tempat bekerja.
Tumpang tindihnya stautus dapat merugikan pekerja dengan tenjadi Labor Market
Flexibility yang diinginkan oleh para pemilik modal untuk mengontrol secara
penuh para pekerjanya. Artinya, para pekerja di dunia kependidikan pun akan
131
Ibid 132
Ibid
168
sangat rentan untuk mendapatkan hak-hak normatifnya. Jika konsisten maka hal
itu tentu saja tidak akan terjadi.
Ketiga, minimnya kontribusi yang diberikan universitas terhadap ilmu
pengetahuan menjadi titik kritis tersendiri terhadap dunia pendidikan indonesia.
Perguruan tinggi harusnya berbenah untuk memberikan kontribusi terhadap
pembangunan. Hal ini tentu saja bukan melakukan penelitian proyek berdasarkan
pesanan. Penelitian yang masih minim ini harusnya digiatkan oleh kampus dengan
meberdayakan Dosen-dosen yang saat ini masih minin sekali untuk menghasilkan
karya. Jika memaksakan mahasiswa S1 untuk menulis jurnal dalam watu dekat-
dekat ini sebagaimana yang dilakukan oleh kemendikbud merupakan kebijakan
yang sangat memaksa.
Oleh karena itu, sebagai salah satu pilar penting dari the Triple Helix (Tri
Dharma) perguruan tinggi seharusnya berbenah untuk berkontribusi pada
pembangunan. Perguruan tinggi yang berkualitas tidak hanya menghasilkan
sarjana yang cerdas dan berdaya saing tetapi harus juga berkontribusi pada
peningkatan kesejahteraan bangsa melalui pengetahuan dan budaya yang
dikembangkannya. Dengan konsep PPK LP seharusnya Pemerintah harus
memberikan dukungan yang mecukupi uperguruan tinggi untuk melakukan riset
dalam rangka mendukung kepentingan hajat rakyat indonesia tanpa harus terjebak
dalam lingkaran komersialisasi. Begitu juga bila bekerja sama dengan dunia
industri tentunya bukan berdasarkan pesanan, tetapi kerjasama untuk berupaya
meningkatkan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga amanat UUD 1945
untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa, menuju bangsa yang makmur dan
sejahtera bisa dilakukan.
169
Selain itu juga, riset memiliki sangkut pautnya dengan sistem kepegawaian
dan promosi dosen di perguruan tinggi yang perlu dibenahi, misalnya dengan
menerapkan sistem berbasis merit. Jadi, bukan karena ingin naik pangkat maka
seorang dosen melaksanakan penelitian, tapi karena ia banyak menghasilkan
publikasi maka pangkatnya dinaikkan. Terkait dengan sistem promosi, remunerasi
dosen tentu harus menjadi perhatian untuk menjaga kualitas dari dosen.