Upload
yulius-andi-ruslim
View
40
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kpd
Citation preview
Ketuban Pecah Dini
Pendahuluan
Ketuban pecah dini (PROM) merupakan istilah yang digunakan untuk pasien dengan usia gestasi
lebih dari 37 minggu dan datang dengan keluhan ketubanpecah sebelum persalinan dimulai.
Ketuban pecah dini preterm (PPROM) merupakan ketuban pecah sebelum usia gestasi 37
minggu. Ketuban pecah dini spontan (SPROM) merupakan ketuban pecah setelah atau saat
persalinan dimulai. Ketuban pecah memanjang merupakan semua ketuban pecah yang terjadi
lebih dari 24 jam dan sebelum persalinan dimulai.9
Pada aterm, kematian sel terencana dan aktivasi enzim katabolik, seperti kolagenase dan gaya
mekanik, dapat menyebabkan ketuban pecah. PPROM kemungkinan terjadi karena mekanisme
yang sama dan aktivasi perjalanan mekanisme ini secara dini. Namun, PROM dini juga
dihubungkan dengan proses patologis yang mendasari, kebanyakan karena inflamasi dan/atau
infeksi dari ketuban. Faktor klinis yang berhubungan dengan PPROM meliputi rendahnya status
sosioekonomi, rendahnya indeks massa tubuh, merokok, riwayat kehamilan preterm, infeksi
traktus urinarius, perdarahan per vaginam setiap saat dalam kehamilan, cerclage, dan
amniosintesis.1
Delapan puluh lima persen morbiditas dan mortalitas neonatus merupakan akibat dari
prematuritas. PPROM berhubungan dengan 30-40% kelahiran preterm dan merupakan penyebab
utama kelahiran preterm yang teridentifikasi. PPROM mempersulit 3% dari semua kehamilan
dan terjadi pada sekitar 150.000 kehamilan per tahun di Amerika. Ketika PPROM terjadi diluar
aterm, resiko morbiditas dan mortalitas yang signifikan ditemukan pada kedua fetus dan ibu.
Oleh karena itu, dokter yang merawat wanita hamil dengan kehamilan yang dipersulit PPROM
memainkan peran yang penting dalam penatalaksanaan dan perlu untuk mengenal komplikasi
potensial dan intervensi yang mungkin untuk meminimalkan resiko dan memaksimalkan
kemungkinan hasil yang diharapkan.1,2,3
Ketuban Pecah Dini Preterm
Ketuban pecah dini preterm (PPROM) yang terjadi dari usia gestasi 24-37 minggu lebih susah
ditangani dibandingkan ketuban pecah dini pada aterm. Beberapa isu perlu dipertimbangkan
dalam memformulasikan rencana penatalaksanaan. Prematuritas merupakan resiko primer untuk
fetus, sedamgkan morbiditas infeksi dan komplikasinya merupakan resiko maternal yang primer.
Semua perencanaan dalam menangani PPROM selain aterm harus melibatkan keluarga dan tim
medis yang menjaga kehamilan, termasuk tim medis neonatal dan maternal. PPROM harusnya
hanya dijaga di tempat yang memiliki fasilitas NICU dan mampu menjaga neonatus. Karena
kebanyakan kehamilan PPROM melahirkan dalam seminggu dari ketuban pecah, transfer ibu
hamil ke fasilitas yang memiliki kualifikasi harus dilakukan segera dan harus difasilitasi segera
setelah diagnosis.9
Mayoritas wanita berhasil melakukan persalinan aktif dan melahirkan segera setelah PPROM.
Dengan terapi yang mencukupi dan penanganan konservatif, sekitar 50% dari seluruh kehamilan
melahirkan di minggu yang sama dengan pecahnya ketuban. Namun, sangat sedikit wanita yang
mempertahankan kehamilan lebih dari 3-4 minggu setelah PPROM. Ini merupakan informasi
yang penting untuk wanita hamil yang mempertimbangkan untuk menunggu kelahiran tanpa
memperhatikan viabilitas.1
Penambalan spontan dari membran kadang dapat terjadi (<10% dari semua kasus), kebanyakan
setelah PPROM yang telah terjadi setelah amniosintesis; namun, ini merupakan pengecualian
dibandingkan peraturan.9
Beberapa kontroversi yang timbul dalam hal pendekatan atau penanganan medis terbaik pada
ketuban pecah dini diluar aterm. Penanganan menunggu kelahiran dan segera melahirkan
merupakan pilihan yang potensial pada pasien demikian, dan setiap pilihan memiliki keuntungan
dan kerugian tersendiri. Dengan perawatan yang seperlunya, resiko maternal dari tindakan
menunggu kelahiran umumnya dipercaya minimal dan keuntungan neonatal yang jelas diperoleh
dengan menurunkan resiko prematuritas.9
Kontroversi terdapat dalam hal seperti intervensi seperti pemberian steroid untuk mempercepat
pematangan paru, antibiotik, dan tokolitik.9
DIAGNOSIS KETUBAN PECAH DINI PRETERM
Deteksi Ketuban Pecah
Wanita hamil harus diberitahu untuk waspada terhadap bocornya cairan dari vagina selama
periode antepartum dan segera melaporkan kejadian segera. Ketuban pecah penting dalam tiga
hal. Pertama, jika bagian presentasi tidak terfiksasi pada pelvis, kemungkinan prolaps dan
kompresi tali pusat sangat meningkat. Kedua, persalinan biasanya segera mulai jika kehamilan
sudah atau hampir cukup bulan. Ketiga, jika persalinan tertunda sampai 24 jam atau lebih setelah
ketuban pecah, infeksi intrauteri lebih mungkin terjadi.8
Menggunakan pemeriksaan spekulum steril, diagnosis konklusif dari ketuban pecah ditegakkan
ketika cairan amnion terlihat tergenang pada forniks posterior atau cairan beningkeluar dari
kanalis servikalis (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000). Walaupun
beberapa tes diagnostik telah direkomendasikan untuk mendeteksi ketuban pecah, tidak ada yang
secara keseluruhan terpercaya. Jika diagnosis masih tidak pasti, metode lain meliputi percobaan
kadar pH cairan vagina. pH sekret vagina normalnya berkisar antara 4,5 dan 5,5, dimana cairan
amnion biasanya 7 sampai 7,5. Penggunaan indikator nitrazine untuk diagnosis ketuban pecah
adalah suatu metode yang simpel dan cukup terpercaya. Kertas percobaan dipenuhi dengan
pewarnaan, dan reaksi warna diinterpretasikan dengan membandingkannya dengan tabel warna
standar. pH diatas 6,5 konsisten dengan ketuban pecah. Hasil tes positif-palsu akan terjadi
dengan adanya darah, semen, atau vaginosis bakterialis dan hasil tes negatif-palsu ketika cairan
untuk analisis kurang banyak (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000).8
Tes lain telah digunakan sebagai marker untuk ketuban pecah. Arborisasi atau ferning dari cairan
vagina menunjukkan suatu amnion dibandingkan cairan serviks. Jika terdapat, cairan amnion
mengalami kristalisasi membentuk pola seperti kipas akibat konsentrasi relatif dari natrium
klorida, protein, dan karbohidrat dalam cairan. Deteksi alfa-fetoprotein pada lumen vault vagina
telah digunakan untuk mengidentifikasi cairan amnion (Yamada dan kolega, 1998). Identifikasi
yang tidak sama datang dari berbagai injeksi pewarnaan, termasuk biru Evans, biru metilen,
carmine indigo, atau fluoresin dalam kantung ketuban via amniosintesis trans abdominal.8
PENATALAKSANAAN KETUBAN PECAH DINI PRETERM
Wanita yang sudah teridentifikasi beresiko untuk melahirkan preterm dan wanita yang memiliki
tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi kandidat untuk sejumlah intervensi yang
bertujuan untuk meningkatkan hasil neonatus. Dengan tidak adanya indikasi maternal atau fetus
yang menjamin induksi persalinan, intervensi-intervensi ditujukan untuk menunda kelahiran
preterm. Walaupun banyak intervensi yang dibahas di bawah ini, tidak semuanya
direkomendasikan. Beberapa menghasilkan perbaikan yang terbatas, dan ada juga yang belum
terbukti. Banyak intervensi dilakukan untuk menunda kelahiran menjalani peninjauan
berkelanjutan dari American College of Obstetricians and Gynecologists (1995, 1998a, 1998b,
2001, 2002).8
Ketepatan dalam mendiagnosis ketuban pecah preterm adalah sangat penting. Riwayat keluarnya
cairan melalui vagina, baik secara terus menerus atau mendadak banyak, harus dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum steril untuk melihat cairan amnion yang tergenang pada vagina,
cairan jernih dari kanalis servikalis, atau keduanya. Konfirmasi pecahnya ketuban biasanya
disertai dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menghitung volume cairan amnion;
mengidentifikasi bagian presentasi; dan jika tidak ditentukan sebelumnya, untuk memperkirakan
usia gestasional.8
Penanganan dapat mempengaruhi persalinan atau menunggu persalinan spontan. Dapat juga
diperlukan untuk mempertimbangkan pemberian antimikroba, kortikosteroid, atau keduanya.8
Evaluasi awal dari PPROM harus meliputi pemeriksaan spekulum steril untuk melihat ketuban
yang pecah. Kultur serviks termasuk Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae dan
kultur-kultur anogenital untuk Streptococcus agalactiae harus dilakukan. Awalnya, tanda-tanda
vital ibu harus diperiksa dan monitoring fetus berkelanjutan harus dilakukan untuk menentukan
status fetus. Pemeriksaan ultrasonografi dari usia gestasi, berat fetus, presentasi fetus, dan indeks
cairan amnion harus dilakukan. Pemeriksaan digital dari serviks dengan PPROM menunjukkan
mempersingkat latensi dan meningkatkan resiko infeksi tanpa memberikan informasi klinis
tambahan yang berguna.9
Pada keadaan tertentu, dapat diindikasikan kelahiran segera bayi dengan PPROM. Keadaan ini
meliputi korioamnionitis, persalinan maju, distres fetus, dan abruptio plasenta dengan keadaan
fetus yang tidak meyakinkan. Jika maturitas paru-paru fetus telah diperiksa dengan baik
amniosintesis ataupun pengambilan cairan vagina, kelahiran harus difasilitasi. Pada fetus bukan
presentasi kepala dengan dilatasi serviks (lebih atau sama dengan 3 cm), resiko prolaps tali pusat
juga dapat melebihi keuntungan dari menunggu kelahiran dan kelahiran harus dipertimbangkan.
Jika setelah evaluasi awal dari ibu dan fetus, keduanya dinyatakan stabil secara klinis, tindakan
menunggu kelahiran dalam penanganan PPROM dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki
keadaan fetus. Resiko primer maternal dengan tindakan menunggu kelahiran pada PPROM
adalah infeksi. Keadaan ini meliputi korioamnionitis (13-60%), endometritis (2-13%), sepsis
(<1%), dan kematian maternal (1-2 kasus per 1000). Komplikasi yang berhubungan dengan
plasenta meliputi abruptio (4-12%) dan plasenta tertahan atau perdarahan post partum
memerlukan kuretase uterus (12%).2
Resiko dan keuntungan potensial dari menunggu kelahiran harus didiskusikan dengan pasien dan
keluarganyam dan surat tanda setuju tindakan harus diperoleh. Status maternal dan fetal perlu
untuk direevaluasi setiap hari, dan keamanan dan keuntungan potensial dari menunggu kelahiran
harus dinilai kembali. Jika kondisi masih tetap stabil, fetus yang imatur dapat mendapatkan
keuntungan dari tindakan menunggu kelahiran, walau hanya jangka waktu yang singkat, untuk
memberikan kesempatan untuk pemberian steroid dan antibiotik. Sekali maturitas telah tercapai,
keuntungan dari menunggu kelahiran pada PPROM menjadi tidaklah jelas dan resiko infeksi
melebihi keuntungan potensial yang ada.
Amniosintesis dapat memberikan informasi mengenai ketepatan maturitas paru-paru dan
kebenaran diagnosis dari ketuban pecah dini dan infeksi. Namun, pada kebanyakan kasus
PPROM, jumlah cairan sedikit; oleh karena itu, amniosintesis harus dilakukan hanya oleh
individu yang berpengalaman melakukan amniosintesis yang sulit, dan resiko yang potensial
untuk komlikasi fetus dan keperluan untuk segera dilahirkan harus didiskusikan dengan pasien
sebelum melakukan amniosintesis.
Perjalanan Alamiah Ketuban Pecah Preterm
Cox dan kolega (1988) menggambarkan hasil persalinan 298 wanita yang melahirkan setelah
ketuban pecah spontan antara kehamilan 24 dan 34 minggu. Walaupun komplikasi ini
teridentifikasi hanya 1,7 persen dari kehamilan, hasil ini memberikan kontribusi 20 persen dari
seluruh kematian perinatal. Saat mereka mempresentasikan, 75 persen wanita sudah dalam
persalinan, 5 persen melahirkan karena komplikasi lain, dan 10 persen melahirkan dalam 48 jam.
Hanya dalam 7 persen yang melahirkan setelah ketuban pecah selama 48 jam atau lebih. Subgrup
yang terakhir ini, namun, tampak mendapat keuntungan dari tertundanya kelahiran, karena tidak
ditemukan adanya kematian neonatal. Hal ini berbeda dengan angka kematian neonatal sebesar
80 per 1000 kelahiran baru yang dilahirkan dalam 48 jam ketuban pecah. Nelson dan kolega
(1994) melaporkan hasil yang sama. Periode waktu dari ketuban pecah preterm sampai
melahirkan berbanding terbalik dengan usia kehamilan ketika ketuban pecah (Carroll dan
kolega, 1995). Seperti terlihat pada Gambar 1, sangat sedikit hari yang diperoleh ketika ketuban
pecah pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester kedua.8
Gambar 1. Hubungan interval waktu antara ketuban pecah preterm dan melahirkan pada 172
kehamilan. (persegi=yang bertahan hidup; bulat=kematian akibat prematuritas;
segitiga=kematian akibat hipoplasia pulmoner)
Hospitalisasi
Kebanyakan klinisi memasukkan wanita dengan ketuban pecah dini preterm ke rumah sakit.
Pertimbangan mengenai besar biaya lamanya berada di rumah sakit biasanya menjadi
perdebatan, karena kebanyakan wanita memasuki persalinan dalam satu minggu atau kurang
setelah ketuban pecah. Carlan dan kolega (1993) secara acak menentukan 67 wanita hamil
dengan ketuban pecah untuk dirawat di rumah atau di rumah sakit. Tidak ada keuntungan
ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dan lama ibu dirawat di rumah sakit
berkurang 50 persen pada wanita yang dirawat di rumah (14 berbanding 7 hari). Secara penting,
investigator menekankan bahwa studi ini terlalu kecil untuk menyimpulkan bahwa perawatan di
rumah aman.8
Pengawasan Maternal dan Fetal
Setelah suatu periode awal monitoring berkelanjutan dari denyut jantung janin dan kontraksi
uterus (24-48 jam), jika penemuan mengarah kepada pengawasan kembali, maka pasien mungkin
merupakan kandidat untuk penanganan menunggu kelahiran. Pasien harus dirawat di kamar
bersalin untuk tirah baring. Karena tirah baring dalam kehamilan berhubungan dengan
peningkatan resiko trombosis vena dalam, maka harus diberikan profilaksis untuk mengurangi
resiko ini. Monitoring fetal harus dilakukan paling tidak satu kali sehari. Jika bukti kompresi tali
pusat dengan variabel sedang sampai berat sering terjadi, monitoring berkelanjutan harus
kembali dilakukan. Tanda-tanda vital maternal perlu dimonitor secara ketat. Takikardia dan
demam keduanya merupakan tanda ke arah korioamnionitis dan memerlukan evaluasi yang hati-
hati untuk menentukan adanya infeksi intraamniotik, dimana kelahiran dan inisiasi antibiotik
spektrum luas harus segera diberikan.8
Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengukur indeks cairan amnion dan perkembangan dan
kesejahteraan fetus harus digunakan untuk memastikan perlunya dilanjutkan tindakan menunggu
kelahiran. Walaupun oligohidramnion, didefinisikan dengan indeks cairan amnion yang kurang
dari 2 cm, dihubungkan dengan latensi jangka pendek dan korioamnionitis, oligohidramnion
sendiri bukan merupakan indikasi kelahiran bila pengawasan lain masih meyakinkan. Hitung
jumlah sel darah putih tidak memprediksikan hasil dan tidak perlu dimonitor selain untuk
mendukung curiga korioamnionitis klinis.8
Pemeriksaan serviks digital harus dihindari.4 Pada presentasi selain kepala, terutama dengan
dilatasi serviks, monitoring berkelanjutan harus dipikirkan untuk menghindari kelalaian dalam
mendiagnosa prolaps plasenta.8
Infeksi intra-amniotik menandakan perlunya kelahiran segera. Dokter harus memiliki ambang
batas yang rendah dalam mendiagnosa infeksi pada pasien dengan PPROM karena bukti yang
ada dengan jelas menunjukkan hasil yang buruk pada neonatus yang terinfeksi dibandingkan
dengan neonatus yang sama tanpa terinfeksi.8
PPROM pada Trimester Kedua
PPROM sebelum fetal viabel merupakan problem unik yang sering sulit ditangani. Resiko
maternal yang mayor adalah infeksi, dinamakan korioamnionitis. Morbiditas mayor pada fetus
dengan ketuban pecah pada trimester kedua adalah hipoplasia pulmoner yang mematikan dari
oligohidramnion yang panjang, berat, dan dini.
Dengan terapi yang diperlukan dan penanganan konservatif, sekitar 50% dari seluruh kehamilan
melahirkan satu minggu berikutnya setelah PPROM.1 Ketika PPROM terjadi sebelum usia
gestasi 20 minggu, kemungkinan untuk mencapai viabilitas kurang dari 5% dan ditemukan
resiko hipoplasia pulmoner akibat oligohidramnion dan perkembangan terlambat dari struktur
alveolar dan cabang trakeobronkial.
Resiko infeksi meningkat dengan durasi PPROM. Penanganan rawat jalan PPROM sebelum
viabilitas diperlukan pada pasien yang terinformasi dengan baik dan teredukasi. Pasien perlu
diinformasikan mengenai tanda bahaya yang mengindikasikan perlunya evaluasi segera. Tanda-
tanda ini meliputi demam, nyeri abdomen, flek dari vagina, sekret vagina yang berbau busuk,
dan denyut jantung yang cepat. Wanita hamil harus memonitor temperatur mereka di rumah
paling tidak 3 kali sehari dan melaporkan setiap peningkatan diatas 100,4°F (38°C). Pemeriksaan
rutin diperlukan untuk memastikan keselamatan maternal. Pasien harus diedukasi mengenai
tanda bahaya dari infeksi intra-amniotik, dan harus mengukur temperaturnya 3 kali sehari di
rumah. Setelah viabilitas dicapai, penanganan rawat inap harus dipertimbangkan.
PPROM pada trimester tengah (13-26 minggu) memiliki prognosis yang buruk. Tindakan
menunggu kelahiran mungkin diperlukan pada pasien tertentu yang diberi informasi dan
diedukasi dengan baik mengenai resiko dan prognosis buruk terhadap neonatus. Melahirkan juga
perlu ketika ibu mengkhawatirkan resikonya sendiri, terutama ketika PPROM terjadi sebelum
usia gestasi 20 minggu. Abortus inkomplit mungkin merupakan istilah yang tepat untuk kondisi
ini, sebagai produk dari konsepsi (cairan amnion) telah keluar melalui serviks yang terbuka dan
kedalam vagina pada kasus ini.
Ketahanan bervariasi dengan usia gestasi saat diagnosis (dari 12% saat terdiagnosa 16-19
minggu, sampai sebesar 60% pada 25-26 minggu).10 Sampai viabilitas, keselamatan maternal
harus menjadi pertimbangan utama.
Induksi Persalinan
Sebelum pertengahan 1970-an, persalinan biasanya dilakukan pada pasien dengan ketuban pecah
preterm karena ketakutan terjadinya infeksi. Dua percobaan acak membandingkan induksi
persalinan dengan menunggu kelahiran pada kehamilan yang demikian. Mercer dan kolega
(1993) secara acak memilih 83 wanita dengan kehamilan antara 32 dan 36 minggu untuk
menjalani persalinan atau menunggu kelahiran. Maturitas paru-paru didokumentasikan pada
seluruh kasus. Persalinan intensional mengurangi angka ibu yang dirawat di rumah sakit dan
mengurangi angka infeksi pada kedua ibu dan neonatus. Cox dan Leveno (1995) secara sama
membagi 129 wanita dengan kehamilan antara 30 dan 34 minggu. Satu kematian fetus akibat
sepsis pada kehamilan yang ditangani secara konvensional. Terdapat tiga kematian neonatus
antara kelahiran yang direncanakan; dua akibat sepsis dan satu akibat hipoplasia pulmoner. Oleh
karena itu, tidak ada pendekatan penanganan yang terbukti lebih superior.8
Menunggu Kelahiran
Walaupun banyak literatur yang mengobservasi untuk menunggu kelahiran pada ketuban pecah
preterm, tokolisis telah digunakan pada beberapa studi. Pada suatu studi acak, yang memberikan
tokolitik atau menunggu kelahiran pada wanita dengan ketuban pecah dini, penulis
menyimpulkan bahwa intervensi aktif tidak meningkatkan hasil perinatal (Garite dan kolega,
1981, 1987; Nelson dan kolega, 1985).8
Peninjauan lain dengan menunggu kelahiran meliputi penggunaan pemeriksaan serviks digital
dan cerclage. Alexander dan kolega (2000) membandingkan temuan pada wanita antara 24 dan
32 minggu yang ditunggu kelahirannya yang dilakukan satu atau dua pemeriksaan serviks digital
dengan wanita yang tidak dilakukan pemeriksaan demikian. Wanita yang dilakukan pemeriksaan
memiliki interval ruptur sampai kelahiran selama 3 hari dibandingkan 5 hari pada yang tidak
diperiksa. Perbedaan ini tidak memperburuk hasil ibu atau neonatus. McErlath dan kolega (2002)
mempelajari 114 wanita dengan cerclage yang kemudian mengalami ketuban pecah sebelum 34
minggu. Mereka digabungkan dengan 288 kontrol yang tidak mendapatkan cerclage. Hasil
kehamilan sama pada kedua kelompok, walaupun penanganan demikian masih kontroversial.8
Resiko dari Menunggu Kelahiran
Resiko ibu dan fetal bervariasi dengan usia kehamilan saat ketuban pecah dan termasuk
konsekuensi infeksi uterus dan sepsis. Ketika mengusahakan untuk menunggu kelahiran sebelum
25 minggu, pertimbangan tambahan diberikan pada resiko fetus oligohidramnion dengan
hasilnya hipoplasia pulmoner dan deformitas kompresi ekstrimitas. Morales dan Tally (1993)
menangani 94 kehamilan tunggal dengan ketuban pecah sebelum kehamilan 25 minggu dengan
cara menunggu kelahiran. Mereka menemukan bahwa 41 persen bayi bertahan hidup sampai usia
1 tahun, namun, hanya 27 persen yang normal secara neurologis. Rata-rata waktu yang diperoleh
adalah 11 hari. Hasil yang sama dikemukakan oleh Farooqi (1998) dan Winn (2000) dan
koleganya.8
Volume cairan amnion yang tersisa setelah pecah tampaknya memiliki kepentingan prognostik
pada kehamilan sebelum 26 minggu. Hadi dan kolega (1994) mendeskripsikan 178 kehamilan
dengan ketuban pecah antara 20 dan 25 minggu. Pada 40 persen wanita, terjadi oligohidramnion
yang ditentukan dengan tidak adanya kantung cairan sebesar 2 cm atau lebih. Sebenarnya semua
wanita melahirkan sebelum 25 minggu, sedangkan 85 persen dengan jumlah cairan amnion yang
cukup melahirkan pada trimester ketiga. Carroll dan kolega (1995) tidak menemukan kasus
dengan hipoplasia pulmoner pada fetus yang lahir setelah 24 minggu atau lebih, menandakan
bahwa 23 minggu atau kurang merupakan ambang batas perkembangan hipoplasia pulmoner.8
Faktor resiko lain juga telah dievaluasi. Latensi berkepanjangan setelah ketuban pecah tidak
berhubungan dengan peningkatan insidens kerusakan neurologis fetus (McElrath dan kolega,
2003). Pada neonatus yang lahir dari wanita dengan lesi herpes aktif yang ditunggu kelahirannya,
resiko morbiditas infeksius tampak diperburuk dengan resiko yang berhubungan dengan
kelahiran preterm (Major dan kolega, 2003).8
Korioamnionitis Klinis
Jika tidak terdapat hasil perinatal yang buruk dari lilitan atau prolaps tali pusat atau dari abrupsio
plasenta, kebanyakan penulis, dengan sedikit pengecualian, menemukan ketuban pecah
berkelanjutan berhubungan dengan peningkatan morbiditas infeksius (Ho dan kolega, 2003). Jika
korioamnionitis didiagnosa, dilakukan usaha untuk mulai melakukan kelahiran, dianjurkan
sebaiknya melalui vagina. Demam merupakan indikator satu-satunya yang dapat dipercaya untuk
diagnosis ini. Temperatur 38°C atau lebih bersamaan dengan ketuban pecah menandakan infeksi.
Leukositosis maternal sendiri belum dipercaya oleh kebanyakan investigator. Selama menunggu
kelahiran, monitoring untuk takikardi maternal atau fetal yang dialami, nyeri pada uterus, dan
sekret vagina yang bau harus dilakukan.8
Dengan korioamnionitis, morbiditas fetus dan neonatus meningkat secara substansial. Alexander
dan kolega (1998) melakukan studi pada 1367 neonatus dengan berat lahir sangat rendah yang
dibawa ke Parkland Hospital. Sekitar 7 persen dilahirkan dari wanita dengan korioamnionitis
yang jelasm dan hasilnya dibandingkan dengan neonatus yang tidak mengalami infeksi.
Neonatus pada kelompok terinfeksi memiliki insidens sepsis, respiratory distress syndrome,
kejang onset dini, perdarahan intraventrikuler, dan leukomalasia periventrikuler. Investigator
menyimpulkan bahwa neonatus dengan berat badan sangat rendah ini lebih rentan terhadap
kerusakan neurologis yang disebabkan oleh korioamnionitis.8
Terdapat bukti lain bahwa neonatus sangat kecil yang terkena infeksi intrauterina memiliki
resiko yang meningkat. Yoon dan kolega (2000) menemukan bahwa infeksi intra-amnion pada
neonatus preterm berhubungan dengan peningkatan cerebral palsy pada usia 3 tahun. Petrova
dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta janin tunggal hidup dari 1995 sampai 1997
yang terdapat dalam database National Center for Health Statistics berhubungan dengan
kematian bayi lahir. Selama persalinan, 1,6 persen dari semua wanita demam, dan ini merupakan
tanda yang kuat adanya kematian yang berhubungan dengan infeksi pada neonatus preterm dan
term. Bullard dan kolega (2002) melaporkan hasil yang sama.8
Maturasi Pulmoner yang Dipercepat
Berbagai kejadian klinis – beberapa ditentukan dengan baik dan yang lain tidak – yang sekalian
direncanakan untuk mempercepat produksi surfaktan fetus (Gluck, 1979). Ini meliputi penyakit
ginjal kronis atau jantung, kelainan hipertensif, adiksi heroin, restriksi pertumbuhan fetus, infark
plasenta, korioamnionitis, dan ketuban pecah dini. Walaupun pandangan ini menjadi pegangan
secara luas selama beberapa tahun, observasi yang selanjutnya tidak mendukung hubungan ini
(Hallak dan Bottoms, 1993; Owen dan kolega, 1990).8
Terapi Antimikroba
Patogenesis mikrobial yang dikemukakan untuk persalinan preterm spontan atau ketuban pecah
telah membuat investigator untuk memberikan berbagai antimikroba dalam usaha untuk
mencegah kelahiran. Mercer dan Arheart (1995) mengaji kembali 13 percobaan acak yang
dilakukan untuk mengevaluasi antimikroba dibandingkan dengan pengobatan placebo untuk
wanita dengan ketuban pecah sebelum 35 minggu. Metaanalisis mengindikasikan bahwa hanya 3
dari 10 hasil yang mungkin menguntungkan: Lebih sedikit wanita mengalami korioamnionitis,
lebih sedikit neonatus mengalami sepsis, dan kehamilan lebih sering diperpanjang selama 7 hari
pada wanita dengan terapi antimikroba. Ketahanan hidup neonatus, namun, tidak terpengaruh,
termasuk insidens dari necrotizing enterocolitis (NEC), distres pernafasan, atau perdarahan
intrakranial.8
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai isu ini, NICHD Maternal-Fetal Medicine Units Network
mendesain suatu percobaan untuk mempelajari penanganan menunggu kelahiran bergabung
dengan 7 hari pengobatan dengan baik ampisilin ataupun amoksisilin ditambah eritromisin, atau
plasebo. Wanita dengan ketuban pecah antara 24 dan 32 minggu. Tanpa pemberian tokolitik
ataupun kortikosteroid. Wanita dengan pengobatan antimikroba secara signifikan memiliki lebih
sedikit neonatus dengan yang respiratory distress syndrome, NEC, dan efek samping gabungan
(Mercer dan kolega, 1997). Periode laten secara signifikan lebih lama; 50 persen wanita yang
diberikan regimen antimikroba masih belum melahirkan setelah 7 hari pengobatan dibandingkan
dengan 25 persen yang diberi plasebo. Juga terdapat perpanjangan persalinan yang signifikan
selama 14 dan 21 hari. Kolonisasi streptokokus grup B pada servikovaginal tidak mempengaruhi
hasil.8
Studi yang lebih baru memeriksa efektivitas pengobatan dengan jangka waktu yang lebih pendek
dan kombinasi antimikroba lainnya. Pengobatan tiga hari dibandingkan regimen 7 hari baik
ampisilin atau ampisilin-sulbaktam ternyata sama efektif dalam hal hasil perinatal (Lewis dan
kolega, 2003; Segel dan kolega, 2003). Sama juga, eritromisin dibandingkan plasebo
menunjukkan keuntungan neonatus yang signifikan. Namun, regimen amoksisilin-klavulanat
tidak direkomendasikan, karena hubungannya dengan peningkatan insidens NEC (Kenyon dan
kolega, 2001a).8
Terapi antimikroba yang lebih lama pada kehamilan yang demikian memiliki konsekuensi yang
tidak diinginkan. Carroll dan kolega (1996) dan Mercer dan kolega (1999) memperingati bahwa
terapi demikian berpotensial meningkatkan resiko resistensi bakteri tertentu. Stoll dan kolega
(2002) mempelajari 5447 neonatus dengan berat dari 400 sampai 1500 g dan lahir dari 1998
sampai 2000 pada pusat dari Neonatal Research Network. Ini dibandingkan dengan 7606
neonatus dengan berat yang sama dari 1991 sampai 1993. Angka keseluruhan sepsis onset dini
tidak berubah. Namun, sepsis streptokokus grup B menurun dari grup 1991-1993 dibandingkan
dengan grup 1998-2000 (5,9 menjadi 1,7 per 1000 kelahiran), sedangkan sepsis E.coli meningkat
(3,2 menjadi 6,8 per 1000 kelahiran). Hampir 80 persen koliform yang diisolasi dari kohort yang
lebih baru adalah resisten ampisilin. Neonatus dengan sepsis onset awal lebih cenderung untuk
meninggal, terutama jika mereka terinfeksi koliform.8
Memperbaiki Ketuban
Penggunaan spons gelatin untuk sumbatan serviks dideskripsika oleh O’Brien dan kolega (2002)
pada 15 wanita dengan ketuban pecah pada awal trimester kedua. Teknik ini masih dalam
investigasi.8
Penanganan yang direkomendasikan untuk ketuban pecah preterm di Parkland Hospital
dan University of Alabama di Birmingham8
Setelah konfirmasi ketuban pecah, dilakukan langkah berikut ini:
1. Dilatasi dan pendataran serviks diperkirakan secara visual ketika melakukan pemeriksaan
spekulum steril
2. Untuk kehamilan kurang dari 34 minggu, jika tidak terdapat indikasi ibu atau fetus untuk
melahirkan, wanita hamil dan fetusnya awalnya diobservasi di kamar bersalin.
Antimikroba parenteral spektrum luas mulai diberikan untuk mencegah korioamnionitis.
Denyut jantung janin dan aktivitas uterus dimonitor untuk kompresi tali pusat, kelemahan
fetus, dan persalinan dini.
3. Untuk kehamilan kurang dari 32 minggu, diberikan betametason (dua dosis 12 mg
intramuskuler dengan selang waktu 24 jam) atau deksametason (5 mg intramuskuler
setiap 12 jam selama empat dosis).
4. Jika keadaan fetus terjamin, dan persalinan tidak terjadi, wanita hamil biasanya
dipindahkan ke unit antepartum dan diobservasi untuk persalinan, infeksi, atau bahaya
fetus. Kami tidak menggunakan monitoring fetus berkelanjutan.
5. Untuk kehamilan 34 minggu atau lebih, jika persalinan tidak berlangsung spontan, maka
induksi dengan oksitosin intravena kecuali terdapat kontraindikasi. Kelahiran Cesar
dilakukan atas indikasi biasanya, termasuk kegagalan induksi persalinan.
6. Ketika persalinan atau induksi, antimikroba parenteral diberikan untuk mencegah infeksi
streptokokus grup B.