Upload
others
View
29
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
118
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
KONSEP ISLAMISASI ILMU
Oleh
Faishal
Abstrak
Pada dasarnya, pendidikan Islam tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan, karena sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasional-empiristis, intuitif dan materialistis. Keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Selain iu, Kemunduruan Islam—sebagai akibat dari panetrasi dan dominasi Barat telah mengakibatkan ilmu pengetahuan lepas dari kendali umat Islam dan beralih ke Barat. Keadaan ini menyebabkan—dalam pandangan sebagian intelektual Muslim—ilmu pengetahuan telah termuati ideologi, filosofi dan peradaban Barat, yang dalam banyak hal tidak sejalan dan bahkan berseberangan dengan ideologi dan peradaban Islam. Untuk itu tampillah gagasan pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh Muslim untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai Islam pada ilmu pengetahuan.
Tantangan besar yang dihadapi zaman sekarang, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Lebih jauh, menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan suatu kebingungan metodologis. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan di abad modern secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui “pandangan dunia”, dalam hal ini pandangan dunia peradaban Barat
Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam. Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah Keywords: Islamisasi ilmu, dikotomi, Aplikasi
A. Latar Belakang
Kemajuan peradaban selalu didahului ilmu pengetahuan (sains).
Bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai dan unggul dalam hal
penguasaan ilmu. Kenyataan ini telah dibuktikan dalam sejarah kejayaan islam
antara tahun 132H-656H (750M-1258M) di mana negeri-negeri islam pada
saat itu menunjukan kemampuan didalam bidang ilmu pengetahuan dengan
semangat keilahian yang bersumber dari al quran dan hadits.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
119
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Proses islamisasi yang dilakukan secara besar-besaran terjadi pada masa
sekitar abad kedelapan Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Islamisasi dilakukan dalam bentuk kegiatan penerjemahan
terhadap karya-karya dari Persia atau Iran dan Yunani yang kemudian
pemaknaan karya-karya itu diadaptasikan dengan konteks masyarakat
setempat yang tidak menyimpang dengan ajaran agama Islam pada waktu itu.1
Proses tersebut ditandai dengan kehadiran karya besar Imam Al-Ghazali yang
berjudul Tahafut Al-Falasifah, yang mempersoalkan 20 “ide asing” dalam
pandangan Islam, yang mana “ide asing” itu kerap diambil oleh filosof
Muslim dari pemikiran Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Akhirnya, 20
ide asing bertentangan dengan ajaran Islam itu kemudian dibahas oleh Al-
Ghazali disesuaikan dengan konsep akidah Islam. Upaya tersebut, walaupun
tidak menggunakan istilah islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan sesuai dengan makna islamisasi itu sendiri. Kemudian istilah
“islamisasi” sendiri baru muncul pada tahun 1930-an, sejak Muhammad Iqbal
menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu
pengetahuan. Iqbal sudah menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan
oleh Barat bersifat non-teistik, sehingga dinilai dapat menggoyahkan akidah
umat Islam. Untuk itu, Iqbal menyarankan umat Islam agar mengonversikan
ilmu pengetahuan modern sesuai ajaran Islam. Sayangnya, Iqbal tidak
diketahui melakukan tindak lanjut mengenai ide yang dilontarkannya tersebut.
Belum ada identifikasi yang jelas dan ia juga tidak mengemukakan saran-saran
atau program konseptual atau metodologis upaya untuk mengonversikan
ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh Iqbal.2 Sehingga, sampai saat itu,
belum ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai islamisasi
ilmu pengetahuan.
Selama rentang enam abad betapa hebat perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga mampu melahirkan berbagai tokoh-tokoh handal,
seperti Al-Farazi sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
astrolobe, al-Razi dan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Jabir bin Hayyan
dalam bidang kimia, Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika.3
1 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, hlm. 115.
2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…, hlm. 390.
3 Imam Suprayogo, Quo Vadis Pendidikan Islam, UIN Malang Press, Malang, 2002, hal.252.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
120
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Akan tetapi sangat disayangkan karena beberapa faktor baik internal
maupun eksternal setelah periode ini berakhir, islam justru mengalami
kemunduran. Kendati demikian. Zaman modern tampaknya memberi
kemungkinan baru untuk umat muslim untuk memperluas cakrawala dan
menjadi kreatif kembali. Mereka tiada hanya guna mengagungkan kejayaan
masa lampau. hal yang krusial sekarang adalah bagaimana menggali kembali
etos kerja keilmiahan para ilmuwan muslim terdahulu yang terpadu dengan
semangat ajaran keahlian.
Ilustrasi selintas tentang perkembangan dan tradisi keilmuwan diatas,
diharapkan menjadi cambuk munculnya semangat dan sikap-sikap apresiatif
terhadap warisan klasik islam. Karena itu perlu ditarik benang merah dan apa
relevansinya bagi tantangan zaman kini dan esok dengan tetap komitmen
pada sumber pokok ajaran islam, yaitu al-Quran. Pada hakikatnya tantangan
ke depan umat islam ialah menganalisis kembali secara mendalam kandungan
al-Quran dan hadits itu dari segala aspeknya secara luas dan kreatif. Sehingga
umat islam pada zaman islam sekarang, sebagaimana telah dipraktikan oleh
pendahulu mereka, dengan menggunakan segala bahan yang telah disediakan
oleh pengalaman manusia dalam berbudaya dan berperadapan dapat
berkiprah secara maju dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Seirama
dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan yang dibangun diatas
pondasi kesadaran ilahiyah itu akhirnya mengalami proses sekularisasi. Yakni
paham yang berobsesi ingin memisahkan kegiatan ilmu dengan kegiatan
agama yang berujung pada lepasnya semangat berilmu dari nilai-nilai
transenden keagamaan. Hal ini bisa kita cermati bahwa setiap ilmuwan yang
terobsesi oleh semangat ilmuwan modern (barat). Mereka akan membangun
ilmu itu dari fakta-fakta empiris yang tak ada kaitannya sama sekali dengan
nilai-nilai spiritual. Akhirnya, ilmu yang lahir dan berkembang adalah ilmu
yang bebas sama sekali dari nilai-nilai ketuhanan dan berada dalam wilayah
prifan.4
Dampak yang kemudian terlihat, ilmu pengetahuan dianggap nilai
(bebas nilai) dan penggunaanya tidak ada kaitanya dengan etika. Dampaknya
lebih jauh dari proses deislamisasi,westernisasi dan sekularisasi ini telah
4Ibid., hal. 253.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
121
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
melahirkan dikotomi sistem ilmu dan pendidikan, yaitu sistem modern yang
sekuler dan sistem islam yang berdampak menempatkan umat islam pada
posisi yang morginal dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain,
pengetahuan modern telah menyebabkan alienasi antara wahyu dan akal
dalam diri umat islam.
Pada dasarnya, pendidikan Islam tidak menghendaki adanya dikotomi
keilmuan, karena sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam
menjadi sekularistis, rasional-empiristis, intuitif dan materialistis. Keadaan
tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan
peradaban Islam.
Selain iu, Kemunduruan Islam—sebagai akibat dari panetrasi dan
dominasi Barat telah mengakibatkan ilmu pengetahuan lepas dari kendali
umat Islam dan beralih ke Barat. Keadaan ini menyebabkan—dalam
pandangan sebagian intelektual Muslim—ilmu pengetahuan telah termuati
ideologi, filosofi dan peradaban Barat, yang dalam banyak hal tidak sejalan
dan bahkan berseberangan dengan ideologi dan peradaban Islam. Untuk itu
tampillah gagasan pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh
Muslim untuk mengembalikan ruh dan nilai-nilai Islam pada ilmu
pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, tampaknya perlu dilakukan uji coba
kreativitas dan olah pikir yang cerdas dalam menjawab tantangan dalam
merealisasikan ide dan pemikiran dalam melakukan islamisasi ilmu
pengetahuan yang sudah sangat mengakar dalam setiap lini kehidupan.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep islamisasi ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana aplikasi dan tantangan dalam proses islamisasi ilmu
pengetahuan?
C. Tujuan
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
122
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk mendiskripsikan:
1. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan.
2. Aplikasi dan Tantangan yang dihadapi dalam proses islamisasi ilmu
pengetahuan.
D. Pembahasan
1. Definisi
Islamisasi dapat diartikan sebagai proses pengislaman terhadap hal-hal
yang menyangkut aspek kehidupan manusia, termasuk salah satunya ialah
ilmu pengetahuan. Untuk kata “islamisasi” sendiri dinisbatkan kepada agama
Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhaj-nya oleh Allah melalui wahyu.
Sedangkan ilmu merupakan bagian persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara
atau benda. Jadi Islamisasi ilmu memiliki hubungan erat antara Islam dan
ilmu pengetahuan, atau lebih tepatnya hubungan akal dengan wahyu.5
Sehingga beberapa tokoh kontemporer mendifinisikan islamisasi tidak jauh
dari makna tersebut, diantaranya:
Menurut al-Attas Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu
Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional
(yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap
pemikiran.6 Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut
al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah
melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan
elemen-elemen Islam dan konsepkonsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu
pengetahuan masa kini yang relevan.
Sedangkan al-Faruqi, mengartikan Islamisasi adalah usaha "untuk
mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikirkan kembali argumen
dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan
dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua
5 Heri Sugiono, “Islamisasi Ilmu: Sejarah, Dasar, Pola, dan Strategi” dalam
http://heri11user.blogspot.co.id/ 6 Daud, Wan Mohd Nor Wan, (1998), The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan. Hal. 336
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
123
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam
dan bermanfaat bagi cause (cita-cita)." Fungsi utama gagasan islamisasi ilu
pengetahuan adalah untuk memperbaiki serta membina kembali disiplin
kemanusian, sains sosial, dan sains alam dengan suntikan dasar baru yang
konsisten dengan Islam.7 Lebih riil, al-Faruqi juga menyusun 12 langkah
untuk merealisasikan islmisasi ilmu pengetahuan itu.
Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan di atas
dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun
kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik
dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan al-qur’an dan sunnah
nabi sehingga ummat Islam akan bangkit dan maju menyusul
ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat.
2. Tokoh-tokoh Terkait Islamisasi
Praktek Islamisasi sebenarnya sudaha ada sekitar abad ke-8 masehi,
pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu
ini berlanjut secara besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya
penterjemahan terhadap karya-karya dari Persia dan Yunani yang
kemudian diberikan pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama
Islam. Salah satu karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah
hadirnya karya Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang menonjolkan 20
ide yang asing dalam pandangan Islam yang diambil oleh pemikir Islam
dari falsafah Yunani, beberapa di antara ide tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam yang kemudian dibahas oleh al-Ghazali disesuaikan dengan
konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian tersebut, walaupun tidak
menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi aktivitas yang sudah mereka
lakukan semisal dengan makna Islamisasi.8
Pada era modern ini, ide Islamisasi ilmu pengetahuan dimunculkan
kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran,
pada tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan
7 Omar, M. Nasir, (2005), Gagasan Islamisasi Ilmu, Selangor: Lohprint, hal; 19
8 Hashim, Rosnani, (2005), Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangandan
Arah Tujuan, Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam,INSIST: Jakarta, Thn II
No.6/ Juli-September). Hal;32
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
124
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau
meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal
melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science
(1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi yang muncul
kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.9
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib al-
Attas sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya pada
Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang pertama di Makkah
pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali
mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan,
Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu.
Selain Syed M. Naquib al-Attas, juga muncul tokoh-tokoh lain
seperti Ismail Raji Al- Faruqi dan Sayyed Hussein Nashr dan beberapa
tokoh lainnya. Di bawah ini kami kemukakan sekilas tentang tokoh-tokoh
tersebut:
a. Sayyed Hossein Nasr
Ide tentang islamisasi ilmu (sains) pertama kali dicutuskan oleh
Sayyed Hossein Nasr dalam karyanya The Encounter of Man and Nature
pada tahun 1968. Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat
diperoleh melalui akal semata. Sains Islami hanya dapat diperoleh
melalui intelek (intelect) berasal dari Illahiyah yang terletak di dalam
hati. Jadi kedudukan intelek berada dalam hati atau ruhaniyah yang
juga digunakan sebagai pertimbangan dalam sains Islam. Sedangkan
akal sendiri tidak dapat disebut sebagai intelek sebab pengetahuan dari
akal hanyalah pantulan dari intelek, oleh sebab itu pengetahuan yang
berasal dari akal semata tidak dapat dijadikan ukuran dalam sains
Islami.10
Dalam hal ini, Nasr meletakkan hierarki pengetahuan Islam yang
paling tinggi adalah berasal dari pengetahuan Illahiyah (hati)
sedangkan tingkat dibawahnya adalah pengetahuan yang berasal dari
akal. Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan, ilmu
pengetahuan tidak akan merusak umat manusia, sebab ia dikendalikan
9 Ibid, hal. 32
10 Zainal Habib, Islamisasi Sains. (Malang, UIN Malang Press, 2007), hlm. 23
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
125
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
oleh hati. Beberapa pembatasan ilmu dalam bidang fisik dapat
diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan di bidang
ruhani.
Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang
sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientia-sacra) tetap sebagai jalan
kesatuan utama dengan realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan
disatukan.11 Untuk mewujudkan sains Islami tersebut, Nasr
menggunakan perbandingan dengan apa yang telah diraih Islam pada
zaman keemasannya (abad pertengahan). Menurutnya, pada saat itu
dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh
kecerahan dan dapat menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.
b. Syed M. Naquib al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al Attas (Al-Attas) lahir di Bogor Jawa
Barat, 5 September 1931, dari seorang ayah bernama Syed Ali bin
Abdullah Al Attas dan ibu Syarifah Raqaub Al-Aydarus.12
Pendidikan Al-Attas diawali di pesantren Al Urwatul Wustqo
Sukabumi Jawa Barat sekitar tahun 1945. Pendidikan modern sempat
ia kenyam melalui lingkungan ningrat selama tinggal bersama
pamannya Engku Abdul Aziz di Johor Baru Malaysia.5 Secara
berturut-turut kemudian ia kuliah di University of Malay Singapore
1957-1959. Melanjutkan ke Institute of Islamic Studies di McGill
University Canada dengan konsentrasi keilmuan bidang tasawuf tahun
1962. Bidang teologi dan metafisika ia pelajari di School Oriental and
Africa Studies, University of London, dan meraih gelar Ph.D dengan
disertasi berjudul Mistik hamzah Fansuri; Ilmuwan dan tokoh sufi
kerajaan Islam Aceh Darusslam pada masa keemasanya.d, dengan
predikat cumlaude. Sekembalinya dari London ia menetap di
almamaternya University of Malay Singapore, dan dilantik menjadi
ketua Departemen Kesusateraan dalam kajian melayu (1968-1970).
11
Ibid, hlm. 23 12
Ayahanda Al Attas adalah keturunan ulama dan ahli tasawuf terkenal yaitu Syed Abdullah
bin Muhsin bin Muhammad Al Attas, seorang wali dari jawa yang berpengaruh di kawasan
tanah Arab dan Indonesia. Sementara ibunya juga keturunan keluarga raja Sakapura. Lihat
Ensiklopedia Islam, Ibid, h. 78-79
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
126
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Pada tahun itu juga Al Attas dan kawan-kawannya mendirikan
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Ia menjadi Guru Besar
(Profesor) untuk kajian sastra dan kebudayaan melayu pada tahun
1975 (Al-Attas, 1975). Kemudian dilantik menjadi Dekan Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Melayu di UKM.
c. Ismail Raji Al- Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi (Al-Faruqi) dilahirkan di Jaffa Palestina pada
tanggal 1 Januari 1921. Ketika ia lahir Palestina masih merupakan
bagian dari Arab yakni sebelum pendudukan Israel.13 Pendidikan
pertamanya di sekolah biara College des Freres (St. Joseph) tahun
1926-1936. Kemudian kuliah di American University Beirut untuk
Sarjana Mudanya tahun 1941, dan gelar Master bidang filsafat diraih
padatahun 1949 pada Indiana University dan Harvard University.
Gelar doctor bidang filsafat barat ia peroleh dari Indiana University
Bloomington. Studi ke-Islaman ia tekuni selama empat tahun di
Universitas Al-Azhar Kairo.14
Meskipun latar belakang pendidikannya pada pendidikan Barat dan
dipercaya sebagai dosen di McGill University Montreal Canada tahun
1959, tidak berarti Al Faruqi telah kehilangan identitas keislamannya.
Bahkan sebaliknya, melalui pendidikan barat ia justru terwarnai oleh
system pendidikan yang ada. Kekuatan kepribadian keislamannya
dapat terlihat jelas dari pendapat-pendapatnya, yang mencoba
mengangkat wacana keislaman sebagai topic utama kebangkitan umat
Islam.15 Al Faruqi banyak terlibat dalam perencanaan Program
Pengkajian Islam di beberapa Negara, seperti : Pakistan, Afrika
Selatan, India, Malaysia, Libya, Arab Saudi dan Mesir. Bahkan di
kalangan masyarakat Amerika Serikat ia dikenal sebagai tokoh
intelektual muslim.
13
Lihat Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 158 14
Lihat juga pengantar Ismail Raji Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam,
(Bandung : Mizan, 2001), h. 6. Bandingkan dengan Ensiklopedi Islam, (Jakarta : 1982), h. 334 15
Pendapatnya dapat dicermati dalam karyanya al : Islamization of Knowledge, Tauhid, Islam
dan Kebudayaan, Atlas Budaya islam, dan Hakikat Hijrah.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
127
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
3. Konsep Islamisasi
a. Syed Naquib alAttas
Sayyid Husein Nasr sebagaimana dikutip Khudori Soleh mengatakan
bahwa Islamisasi ilmu termasuk islamisasi budaya adalah upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa
dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Artinya,
Islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara
pikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat
dengan muslim.16
Naquib al-Attas berpendapat bahwa Islamisasi ilmu adalah
upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan
prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan yang
baru sesuai fitrah Islam.17 Dalam pandangan Naquib, islamisasi ilmu
berkenaan dengan ontologis dan epistemologis, terkait dengan
perubahan dan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya
ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep
Islam.18
Jadi, islamisasi ilmu dapat kita simpulkan sebagai upaya
membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu
pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran
intelektual dan kajian rasionanl-empirik atau semangat pengembangan
ilmiah dan filosofis, yang merupakan perwujudan dari sikap concern,
loyal, dan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan nilai-nilai
mendasaryang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Masih konsisten dari problematika yang mereka kaji, al-Attas
menekankan tantangan besar yang dihadapi zaman sekarang, yaitu
ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Lebih jauh,
menurut al-Attas, ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan
suatu kebingungan metodologis. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan
16
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 239. 17
Syed Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka,
Bandung, 1981, hal. 156. 18
Syed Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995,
hal. 45
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
128
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
di abad modern secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan
diproyeksikan melalui “pandangan dunia”, dalam hal ini pandangan
dunia peradaban Barat.19
Menurut al-Attas, jika pemahaman ini merasuk ke dalam
pikiran kaum cendekiawan umat Islam, maka dampak berbahaya akan
sangat luar biasa, al-Attas menyebutnya sebagai de-islamisasi pikiran
umat Islam. Oleh karena itu, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, al-Attas mengajukan gagasan
tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”20 dan memberikan
formulasi awal yang sistematis karena dianggap sebagai prestasi
inovatif dalam pemikiran Islam modern.
Gagasan al-Attas selanjutnya mendapat reaksi dan dukungan
dari berbagai pihak sesama ilmuwan, salah satunya Ismail Raji al-
Faruqi dengan agenda “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”nya.21 Sampai
saat ini, gagasan islamisasi ilmu menjadi visi dan tujuan penting bagi
beberapa institusi Islam, seperti International Institute of Islamic Thought
(IIIT) di Washington DC, Amerika Serikat. International Islamic
University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur Malaysia, Akademi Islam
di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) di Kuala Lumpur.22
b. Al-Faruqi
Islamisasi ilmu lahir dari adanya keprihatinan terhadap
faktabanyaknya umat Islam yang tidak menyaring ilmu-ilmu terutama
yangdatang dari Barat. Menurut al-Faruqi, sebagai penganut agama
Islamyang sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan
danpendidikan, ternyata umat muslim masih belum sungguh-
19
Ibid, hlm. 333 20
Label “masa kini” sengaja diberikan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam
yang berasal dari kebudayaan dan peradaban masa lalu, seperti Yunani dan India, telah
diislamkan. Lihat Ibid, hlm. 335. 21
Terkait ide islamisasi ilmu pengetahuan, Al-Faruqi mengklaim bahwa ide tersebut murni
berasal dari dirinya, sebagaimana yang telah disampaikan pada seminar di Islamabad pada
tahun 1982. Lihat Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan,
Pengembangan Kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa,
2003), hlm. 330. 22
M. Ghufron, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Sejarah, Kontroversi dan
Perkembangannya” dalam http://inpasonline.com/, diakses 21 April 2016.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
129
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
sungguhmemperhatikan orisinalitas dan kualitas ilmu pengetahuan
danpendidikannya. Ketidaksungguhan itu membuat umat
muslimterjerembab ke dalam perangkap sistem ilmu pengetahuan
danpendidikan modern yang cenderung sekuler. Akibatnya,
semakintinggi ilmu pengetahuan dan pendidikan yang didapatkan,
justru umatmuslim semakin jauh dari ajaran agama. Kemajuan yang
mereka capaiini, adalah kemajuan yang semu. Di satu pihak, umat
Islam telahberkenalan dengan peradaban barat modern, tetapi di
pihak lainmereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman
hidup yangbersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Melihat
fenomena demikian,al-Faruqi menganggap bahwa umat Islam seakan
berada dipersimpangan jalan sehingga sulit untuk menentukan pilihan
arah yangtepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil
sikapmendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban
baratmodern. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi
penyebabdari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah
mencapaitingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya
sebagai“malaisme”.23 Hal inilah yang mendorong adanya islamisasi
ilmumenurut Ismail Raji al-Faruqi.
Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Ismail al-Faruqi,
menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek
kewahyuan.24 Walaupun ada perbedaan dalam pola pemetaan konsep
tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan kedua tokoh
tersebut, tetapi ruh yang ditawarkan tentang islamisasi ilmu
pengetahuan kedua tokoh tersebut sama, yakni bagaimana penerapan
ilmu pengetahuan sebagai basis kemajuan umat manusia tidak
dilepaskan dari aspek spiritual yang berlandaskan pada sisi normatif
al-qur’an dan al-Sunah. Sebaliknya, memahami nilai-nilai kewahyuan,
umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa
memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu,
umat Islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena
23
Ismail Raji al-Faruqi, Op.Cit., hal. 11 24
Ismail al-Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada 1 Januari 1921. Dia memperoleh gelar
B.A. dalam bidang filsafat (1941) Lihat Ismail al-Frauqi, Dialog Tiga Agama Besar,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1994, h.7-8.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
130
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
realitasnya, saat ini ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam
menentukan tingkat kemajuan umat manusia.
Dari definisi islamisasi pengetahuan di atas, ada beberapa model
islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era
globalisasi, antara lain: model purifikasi, model modernisasi Islam,
dan model neo-modernisme.
Dengan melihat berbagai pendekatan yang dipakai Al-Faruqi
dalam gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, seperti: (1) penguasaan
khazanah ilmu pengetahuan muslim, (2) penguasaan khazanah ilmu
pengetahuan masa kini, (3) identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu
pengetahuan itu dalam hubungannya dengan ideal Islam, dan (4)
rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras
dengan warisan dan idealitas Islam, maka gagasan Islamisasi keduanya
dapat dikategorikan ke dalam model purifikasi. Pandangan al-Faruqi
berkenaan dengan langkah-langkah dalam Islamisasi Ilmu
pengetahuan, dia mengemukakan ide Islamisasi Ilmunya berlandaskan
pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan
harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa
prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran
metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1) Keesaan Allah.
2) Kesatuan alam semesta.
3) Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan25
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu
tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling
melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan.
Model islamisasi pengetahuan yang muncul pada abad ke-19 dan 20
Masehi ini. Landasan metodologis islamisasi pengetahuannya, menurut Imam
Suprayogo adalah sebagai berikut: Pertama, persoalan-persoalan kontemporer
umat Islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama
yang merupakan hasil interpretasi terhadap al-qur’an. Kedua, apabila dalam
tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer,
25
Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi..., 20
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
131
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
maka harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-qur’an yang
menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis
akan terungkap pesan moral al-qur’an sebenarnya, yang merupakan etika
sosial al-qur’an. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat
Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang bersifat evaluatif dan legitimatif sehingga
memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang
ditanggulangi.26
E. Aplikasi Dalam Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan
khazanah warisan Islam. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan
agar tujuan-tujuan dari islamisasi ilmu pengetahuan dapat tercapai. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12 langkah yang
secara kronologis harus diaplikasikan27
Langkah 1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern : Penguraian Kategoris.
Pada langkah awal ini, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah
menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema.
Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah
buku daras (pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin-disiplin ilmu yang
bersangkutan. Hasil uraian tersebut harus berbentuk kalima-kalimat yang
memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problem dan
tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan.
Langkah 2. Survei Disiplin Ilmu. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu
modern harus disurvei dan ditulis dalam bentuk bagan (skema) mengenai
asal-usul, perkembangan dan pertumbuhan metodologinya, keluasan
cakupannya serta sumbangan pemikiran yang telah diberikan para tokoh
utamanya. Bibliografi keterangan yang memadai dari karya-karya terpenting di
bidang ini harus pula dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing
disiplin. Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pamahaman muslim
26
Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama, h.57. 27
Kuntowijoyo. 2005. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta
Selatan: Teraju. hlm. 1
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
132
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
terhadap berbagai disiplin ilmu modern yang berkembang di Barat, sehingga
mereka benar-benar mengetahui secara detail dan menyeluruh tentang
kekurangan dan kelebihan disiplin-disiplin ilmu tersebut.
Langkah 3. Penguasaan Khasanah Islam. Pada tahap ini, perlu ditemukan
sampai sejauh mana khazanah Islam menyentuh dan membahas objek disiplin
ilmu modern tersebut. Tujuannya agar dapat ditemukan relevansi di antara
khazanah barat dan Islam. Ini penting, karena banyak ilmuan muslim didikan
barat tidak mengenal khazanah Islam sendiri, kemudian mengangap bahwa
khazanah keilmuan Islam tidak membahas disiplin ilmu yang ditekuni.
Padahal, yang terjadi adalah bahwa ia tidak mengenal kategori-kategori
khazanah ilmiah Islam yang digunakan oleh ilmuan Muslim tradisional untuk
mengklasifikasi objek disiplin ilmu yang ditekuninya.
Langkah 4. Penguasaan Khasanah Islam Tahap Analisa. Untuk dapat
memahami cakupan wawasan Islam setiap kata perlu adanya analisa dengan
latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan
berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat memperjelas
berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini tidak bisa
dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan yang
paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok
dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan
relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategis
penelitian dan pendidikan Islam.Tahap ini bertujuan untuk untuk mengenal
lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam dan mendekatkan karya-karya
khazanah Islam kepada para sarjana didikan barat, sehingga diketahui secara
lebih jelas jangkauan gagasannya.
Langkah 5. Penentuan Relevansi Islam Yang Khas Terhadap Disiplin-
Disiplin Ilmu. Pada tahap ini, hakekat disiplin ilmu modern beserta metode
dasar, prinsip, problem, tujuan, hasil capaian dan segala keterbatasannya,
semua dikaitkan dengan khazanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi
khazanah Islam spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara
logis dari sumbangan mereka.Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus dijawab.
(1) Apa yang telah di sumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur`an hingga
kaum modernis saat ini, kepada keseluruhan masalah yang dikaji disiplin-
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
133
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
disiplin ilmu modern? (2) Seberapa besar sumbangan Islam tersebut
dibanding ilmu-ilmu Barat? Sejauh mana tingkat pemenuhan, kekurangan
serta kelebihan khazanah Islam dibanding wawasan dan lingkungan disiplin
ilmu modern?. (3) Jika ada bidang masalah yang sedikit disentuh, atau bahkan
di luar jangkauan khazanah Islam, ke arah mana ilmuan Islam harus mengisi
kekurangan, merumuskan kembali permasalahannya dan memperluas
cakrawala wawasan disiplin ilmu tersebut.
Langkah 6. Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern : Tingkat
Perkembangannya Di Masa Kini. Setelah mendiskripsikan dan menganalisis
berbagai sisi dan relevansi antara khazanah Islam dan Barat, sekarang
melakukan analisa kritis terhadap masing-masing ilmu dilihat dari sudut Islam.
Inilah langkah utama dalam Islamisasi ilmu. Di sini ada beberapa hal yang
harus dijawab. Benarkah disiplin ilmu tersebut telah memenuhi visi
pelopornya? Benarkah ini telah merealisasikan peranannya dalam upaya
mencari kebenaran? Sudahkah disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan
manusia dalam tujuan hidupnya? Sudahkah ilmu tersebut mendukung
pemahaman dan perkembangan pola ciptaan Ilahi yang harus direalisasikan?
Jawaban atas berbagai persoalan ini harus terkumpul dalam bentuk laporan
mengenai tingkat perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari perspektif
Islam[30]. Jawaban-jawaban harus terkumpul dan di pecahkan dengan
perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan Islami.
Langkah 7. Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam : Tingkat
Perkembangannya Dewasa Ini. Yang dimaksud khazanah Islam adalah al
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Namun, ini tidak berarti bahwa kedua
sumber tersebut harus menjadi objek kritik atau penilaian. Status ilahiah al
Quran dan sifat normatif sunnah adalah ajang yang tidak diperdebatkan.
Akan tetapi, interpretasi muslim terhadap keduanya yang historis kontekstual
boleh dipertanyakan, bahkan harus selalu dinilai dan dikritik berdasarkan
prinsip-prinsip dari kedua sumber pokok tersebut.Relevansi pemahaman
manusiawi tentang wahyu Ilahi diberbagai aspek persoalan manusia harus
dikritik dari tiga sudut. (1) Wawasan Islam sejauh yang dapat ditarik dari
sumber-sumber wahyu beserta bentuk kongkretnya dalam sejarah kehidupan
Rasulullah SAW, para sahabat dan keturunanya. (2) Kebutuhan umat manusia
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
134
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
saat ini. (3) Semua disiplin ilmu modern yang diwakili oleh disiplin ilmu
tersebut. Apabila khazanah Islam tidak relevan lagi, harus dilakukan koreksi
terhadapnya dengan usaha-usaha yang sesuai masa kini. Sebaliknya, jika
relevan, khazanah Islam perlu dikembangkan dan disosialisasikan.
Langkah 8. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Islam.
Langkah berikutnya adalah mengadakan survei terhadap berbagai problem
intern di segala bidang. Problem ekonomi, sosial dan politik yang sedang
dihadapi dunia Islam ini sebenarnya tidak berbeda dengan gunung es dari
kelesuhan moral dan intelektual yang terpendam. Untuk bisa mengidentifikasi
semuanya dibutuhkan survei empiris dan analisa kritis secara konprehensif.
Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu harus dimanfaatkan
untuk memecahkan problem umat Islam. Tidak seorang muslimpun boleh
membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan keinginan
intelektulitasnya, lepas dari realitas, harapan dan aspirasi umat Islam.
Langkah 9. Survei Permasalahan Yang Dihadapi Umat Manusia.
Sudah menjadi bagian dari wawasan dan visi Islam bahwa tanggung-jawabnya
yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam saja, tetapi juga
menyangkut kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia dengan segala
hiterogenitasnya, bahkan mencakup seluruh alam semesta (rahmat li al-alamin).
Dalam beberapa hal, umat Islam memang terbelakang dibanding bangsa lain,
tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah umat yang paling potensial dalam
upaya proses integralisasi antara kesejahteraan, religius, etika dan material.
Langkah 10. Analisa Kreatif Dan Sintesa. Setelah memahami dan
menguasai semua disiplin ilmu modern dan disiplin keilmuan Islam
tradisonal, menimbang kelebihan dan kelemahan masing-masing, setelah
menentukan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi pemikiran ilmiah
tertentu pada disiplin-disiplin ilmu modern, mengidentifikasi problem yang
dihadapi umat Islam dalam lintasan sejarah sebagai hamba sekaligus khalifah,
dan setelah memahami permasalahan yang dihadapi dunia, maka saatnya
mencari lompatan kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan
developer peradaban manusia.
Sintesa kreatif yang akurat harus dibuat di antara ilmu-ilmu Islam
tradisional dan disiplin ilmu-ilmu modern untuk dapat mendobrak stagnasi
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
135
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
intelektual selama beberapa abad. Khazanah ilmu-ilmu Islam harus terkait
dengan hasil-hasil ilmu modern dan harus mulai menggerakkan barisan depan
pengetahuan sampai cakrawala lebih jauh dari apa yang bisa diprediksikan
oleh ilmu modern. Sintesa kreatif ini harus mampu memberikan solusi tuntas
bagi permasalahan dunia, di samping permasalahan yang muncul dari harapan
Islam. Apa harapan Islam di setiap bidang kehidupan, dan bagaimana sintesa
baru tersebut menggerakan umat Islam maupun umat manusia ke arah
terwujudnya harapan tersebut. Jika diketahui relevansi ilmuilmu Islam untuk
topik tertentu dan setelah diketahui pula ciri khas permasalahan yang
dihadapi, pilihan mana yang harus diambil.Apa kriteria yang digunakan bahwa
Islam relevan dengan persoalan yang dihadapi. Bagaimana metodenya.
Bagaimana tata kerjanya, alat evaluasi dan pertanggung-jawaban atas teorinya?
Langkah 11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam
Kerangka Islam. Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan
mencapai sepakat tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan
backgraund masing-masing. Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga
kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan.
Secara faktual, umat Islam abad pertengahan mampu menciptakan dinamika
karena Islam bisa menjadi wadah untuk menampung segala macam ide dan
gagasan baru yang mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah.
Berdasarkan wawasan-wawasan baru tentang makna Islam serta
pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna tersebut, maka ditulislah buku-
buku daras untuk perguruan tinggi, dalam semua bidang ilmu. Inilah puncak
dari gerakan islamisasi pengetahuan. Namun, penulisan buku-buku daras ini
sendiri bukan pencapaian final, melainkan justru baru sebagai permulaan dari
sebuah perkembangan peradaban Islam dimasa depan. Buku-buku daras
hanya sebagai pedoman umum bagi perkembangan selanjutnya. Karena itu,
essei-essei yang mencerminkan dobrakan pandangan bagi setiap topik dan
cabang ilmu harus pula ditulis sebagai “wawasan latar belakang” atau “bidang
relevansi” yang dari sana diharapkan akan muncul wawasan baru Islam bagi
masing-masing cabang ilmu modern.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
136
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Langkah 12. Penyebaran ilmu-ilmu yang telah
diislamiskan..Adalah suatu kesiasiaan apabila karya-karya yang berharga
tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau dalam kalangan
terbatas. Maka yang pertama, sudah seharusnya karya yang dibuat
berdasarkan Lillahi Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umat Islam. Yang
kedua, karena produk itu dihasilkan demi Allah SWT dan membawa
wawasan Islam, maka tentu saja yang diharapkan lebih dari sekedar
memberikan informasi. Membuat pembaca menjadi alat untuk maju dan
berjaya dengan nama Allah SWT mencapai apa yang belum dicapai umat
Islam. Yang ketiga, digarapkan hasil dari rencana kerja disajikan disemua
perguruan tinggi Muslim dunia sebagai bacaan wajib di fakultas yang
sesuai.
Selain itu, alat-alat bantu untuk mempercepat program Islamisasi
ilmu pengetahuan, pertama, perlu sering dilakukan seminar dan konferensi
yang melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan
persoalan disekitar pengkotaan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua,
lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan
tulisan pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas,
maka diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat
produk tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan
sekitar praanggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori,
prinsip dan pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut. Selain itu,
dalam pertemuan tersebut harus pula dijajaki sekitar persoalan metode
pengajaran yang diperlukan untuk memahami buku-buku yang dimaksud,
sehingga para staf pengajar dapat terbantu dalam upayanya mencapai
tujuan akhir secara lebih efisien28.
F. Kesimpulan
Oleh karena itu, Gulshami mengelompokkan reaksi intelektual Muslim
tersebut menjadi 4 (empat) aliran besar, yaitu; 1) kelompok yang menolak, 2)
28
Islamisasi-ilmu-pengetahuan?page=all.https://www.kompasiana.com/srimaulida55802df411937355190285d4/Kamis, 20 September 2018.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
137
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
kelompok yang menerima, 3) kelompok yang menyaring, dan 4) kelompok
yang mengkombinasikan.
Kelompok pertama; merupakan kelompok minoritas yang enggan
bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern
bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus
mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan ummat Islam
memiliki sainsnya sendiri.
Kelompok kedua; intelektual Islam yang mengadopsi secara total sains
modern. Mereka menganggap bahwa menguasai sains modern merupakan
sumber utama pencerahan yang sejati dan satu-satunya solusi untuk
melepaskan dunia Islam dari stagnasi.
Kelompok ketiga; sejumlah ilmuan muslim yang mengakui peran sentral
sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains
modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah
keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang
terbagi dua yaitu; 1) pemikir Muslim yang memandang sains modern sebagai
kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu, mereka
menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga
independensi mereka dan melindunginya dari kritisisme kaum orientalis dan
sejumlah intelektual Muslim yang sekuler, dan 2) sejumlah pemikir Muslim
yang berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-
Quran dan Hadits, motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains
modern dengan ajaran Islam, serta berusaha membuktikan bahwa temuan-
temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek
keimanan. Mereka meyakini bahwa hasil temuan yang dicapai oleh sains
modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Quran dan Hadits Nabi.
Kelompok keempat; para filosof Muslim yang membedakan antara
penemuan sains modern dengan pandangan filosofisnya. Karena itu,
meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui
eksperimen dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap
berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatas namakan
sains. Bagi mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan
beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja tidak dapat memberikan
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
138
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
gambaran sempurna tentang realitas. Oleh karena itu, sains harus
dikombinasikan dengan cara pandang dunia Islam agar dapat memperoleh
gambaran komprehensif mengenai realitas itu sendiri.29
Untuk dapat memahami cakupan wawasan Islam setiap kata perlu adanya
analisa dengan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas
dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat
memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini
tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas,
dan yang paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-
masalah pokok dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai
kemungkinan relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi
sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.Tahap ini bertujuan untuk
untuk mengenal lebih jauh tentang konstruksi khazanah Islam dan
mendekatkan karya-karya khazanah Islam kepada para sarjana didikan barat,
sehingga diketahui secara lebih jelas jangkauan gagasannya.
Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern Ke Dalam Kerangka Islam.
Secara operasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat
tentang solusi suatu persoalan, karena perbedaan backgraund masing-masing.
Ini tidak dilarang bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi
lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Secara faktual, umat Islam
abad pertengahan mampu menciptakan dinamika karena Islam bisa menjadi
wadah untuk menampung segala macam ide dan gagasan baru yang
mempresentasikan nilai-nilai Ilahiyah
Dalam rangka mempercepat program Islamisasi ilmu
pengetahuan, pertama, perlu sering dilakukan seminar dan konferensi yang
melibatkan berbagai ahli dalam bidang keilmuan untuk memecahkan
persoalan disekitar pengkotaan antar disiplin ilmu pengetahuan. Kedua,
lokakarya untuk pembinaan staf. Setelah sebuah buku pelajaran dan tulisan
pendahuluan ditulis sesuai dengan aturan 1 sampai 12 di atas, maka
diperlukan staf pengajar yang terlatih. Para ahli yang membuat produk
tersebut harus bertemu para staf pengajar untuk mendiskusikan sekitar
29
Lihat Mehdi Gulshami, “Sikap dan Pandangan Filosofis Muthahhari Terhadap Sains
Modern”, Makalah, disampaikan pada Seminar International Pemikiran Murtadha
Muthahhari, in memoriam: 25 Tahun Syahidnya Sang Ulama Filsuf, (Jakarta, 8 Mei 2004), h.
1 – 2
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
139
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
praanggapan tak tertulis, dampak-dampak tak terduga dari teori, prinsip dan
pemecahan masalah yang dicakup buku tersebut. Selain itu, dalam pertemuan
tersebut harus pula dijajaki sekitar persoalan metode pengajaran yang
diperlukan untuk memahami buku-buku yang dimaksud, sehingga para staf
pengajar dapat terbantu dalam upayanya mencapai tujuan akhir secara lebih
efisien.
Daftar Pustaka
Al-Frauqi, Ismail, Dialog Tiga Agama Besar, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994
Ali, M. Amir, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for The Growth of Muslims. Future: A Journal of Future Ideology that Shapes Today the World Tomorrow
Arifin, M.H., Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), Jakarta : Bumi Aksara. 1996
Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: Rajawali Press, 2011
Baalbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary,Beirut : Dar el-Ilm Lilmalayin,1995, Cet. VII,
Berghout, Abdel Aziz, “Toward Islamic Framework for Worldview Studies: Preliminary Theorization”, Berastagi, 2012.
Kartanegara, Mulyadhi, “Islamization of Knowledge and itsImplementation: A Case Study of Cipsi”, Berastagi, 2012
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005,
Mahzar, Armahedi “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir, dkk (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: MMU, 2005.
Suprayogo, Imam, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. Zainal Abidin Bagir (ed)., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.
Suprayogo, Imam. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. 2008.
Suprayogo, Imam. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. 2009.
Ta’dibi : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Konsep Islamisasi Ilmu
140
Volume VI Nomor 2 Maret-Agustus 2018
P ISSN : 2502-4035
E ISSN : 2354-6301
Suprayogo. Imam, Reorientasi Pendidikan Agama di Universitas Islam. Dalam Menghidupkan Jiwa Ilmu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014.