Upload
syahrul-mustofashmh
View
415
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kedudukan perda di indonesia
Citation preview
1
KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN PERATURAN
DAERAH DI INDONESIA
Oleh : Syahrul Mustofa, S.H.,M.H
Perdebatan mengenai keberadaan Peraturan Daerah di Indonesia,
telah menjadi perhatian dan perdebatan yang panjang. Hal ini, seiring
dengan meningkatkan kuantitas dan keragaman materi perda dan
berbagai produk hukum daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perdebatan tersebut meliputi ; Pertama, kedudukan perda yang
masuk dalam hirarakhi peraturan perundang-undangan di Indonesia,
padahal sebelumnya dalam sejarah perda tidak pernah masuk dalam
hirarkhi peraturan perundang-undangan. Kedua; meningkatnya “Perda
Bermasalah”. Ketiga ; mekanisme dan bentuk pembatalan perda
bermasalah, serta lembaga yang berwenang untuk membatalkan perda.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita juga menyaksikan disejumlah
daerah mengalami gejolak sosial yang dipicu hadirnya perda bermasalah.
Disisi lain, muncul ressitensi dari daerah terhadap putusan pembatalan
perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Atas dasar itulah, sebelum dibahas lebih jauh mengenai judicial
review Mahkamah Agung (MA) pada bagian pertama ini, saya akan
membahas mengenai konsepsi peraturan daerah. Pembahasan ini akan
2
difokuskan landasan pembentukan perda, ruang lingkup dan jangkauan
materi peraturan yang dapat diatur dalam perda, kedudukan perda dalam
hirarkhi peraturan perundang-undangan, peran dan fungsi peraturan
daerah, prinsip-prinsip dalam proses dan materi perumusan perda serta
tahapan pembentukannya.
A. Kewenangan Daerah Otonom dan Ruang Lingkup Perda
Sejarah penyelanggaraan otonomi daerah di Indonesia telah
mengalami pasang surut dan telah beberapa kali Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan. Praktek otonomi
yang ada sekarang, sebenarnya telah diterapkan pada masa sebelumnya.
Secara historis, sebelum Republik Indonesia lahir, sesungguhnya pola
pendelegasian wewenang atau desentralisasi (otonomi) sudah
dipraktekkan dalam sistem pemerintahan daerah. Namun, dari beberapa
undang-undang yang telah diberlakukan selalu menuai kegagalan.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
adalah usaha desentralisasi yang kesepuluh untuk mencapai tujuan
otonomi daerah. Berikut kronologis upaya desentralisasi dalam bentuk
peraturan/perundang-undangan:
Tahun Bentuk Peraturan
Materi
1903 Desentralisatie Wet Tahun 1903
Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisatie Wet
3
Tahun 1903.
1922 Pada tahun 1922 Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah untuk menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitasnya
1942 Pada tahun 1942. Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang, yang memerintah sampai dengan tahun 1945
1945 Undang Undang Nomor 1 Tahun
1945
Undang-Undang ini diterbitkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945
1948 Undang Undang Nomor 22 Tahun
1948
Undang-Undang 22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan
1957 Undang Undang Nomor 1 Tahun
1957
Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan UU 22/1948 pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi
1959 Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6
Tahun 1959
Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD
1965 Undang Undang Nomor 18 tahun
1965
Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom
1974 UU Nomor 5 Tahun 1974
Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam prakteknya, prinsip dekonsentrasi
4
yang lebih dominan
1999 UU NO 22/99 dan UU no 25/1999
Perundangan ini secara prinsip mengubah secara radikal hubungan pusat daerah, besarnya kewenangan daerah, dan perimbangan keuangan yang diatur secara khusus dalam UU no 25 99 sebagai buah reformasi 1999
2004 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun
2004
Perundangan ini menyempurnakan Undang-undang sebelumnya (UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999), karena pada masa berlakunya Undang-undang tersebut masih banyak terjadi persoalan dan banyak hal yang belum dicakup, seperti Pilkada Langsung
Penerapan otonomi daerah, merupakan salah satu upaya para
founding fathers negeri ini yang telah jauh dipikirkan sebelumnya. Oleh
karena itu, Secara konstitusional, sebelum perubahan UUD 1945 maupun
setelah perubahan UUD 1945. Daerah diberikan kewenangan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Kentuan
diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD-RI 1945 (pasca perubahan) yang
berbunyi : Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Berdasarkan konstitusi diatas, kemudian ditetapkanlah Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
memberikan otonomi luas kepada daerah dengan tujuan untuk
mempercepat kesejahteraan masyarakat, dalam konteks itu daerah perlu
5
meningkatkan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan
harus menerapkan prinsip demokrasi, pemerataan , keadilan serta
akomodatif terhadap kekhususan serta potensi dan keanekaragaman yang
dimiliki daerah dengan tetap berpegang pada sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Semangat penyarahan otonomi yang luas, bukan berarti
membebaskan lembaga legislatif dan eksekutif di daerah berbuat
semaunya dalam menetapkan perda. Meraka harus mengacu pada tujuan
otonomi daerah, yakni; percepatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan
inilah yang harus menjadi semangat utama yang harus dimiliki lembaga
legislatif dan eksekutif daerah dalam pembentukan perda.
Secara yuridis, ruang lingkup materi peraturan daerah telah diatur
dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa Materi
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Artinya, materi muatan perda dibatasi, yakni ; (a) untuk
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; (b)
menampung kondisi khusus daerah ; (c) pengaturan lebih lanjut peraturan
6
perundang-undangan yang lebih tinggi (derivasi) atas undang-undang
diatasnya.
Namun, sayangnya aturan ini tidak mengatur lebih jauh mengenai ;
pertama, materi muatan apasajakah yang dibutuhkan untuk
penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, dan ; kedua, kriteria khusus
mengenai kondisi khusus daerah. Apakah menyangkut adat-istiadat,
kondisi geografis, potensi wilayah dan sebagainya. Akibatnya terjadi
pemahaman yang beragam (multitafsir) setiap daerah dan sarat dengan
kepentingan (interest) masing-masing level pemerintahan daerah yang
kemudian pada akhirnya menimbulkan potensi konflik kewenangan
maupun kepentingan antar level pemerintahan.
Pembatasan mengenai materi peraturan daerah, pada dasarnya
juga diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 18 ayat (1)
huruf d, ketetapan ini menegaskan bahwa keberadaan Peraturan Daerah
(Perda) sebagai upaya memperkuat kebijakan otonomi daerah. Persoalan
yang dihadapi sama halnya dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, yakni; tidak memberikan kejelasan mengenai
pedoman atau standar dan kriteria maupun cakupan materi apasaja yang
dibutuhkan bagi daerah dalam rangka penguatan kebijakan otonomi
daerah. Apakah penetapan Perda Pajak dan Retribusi dalam rangka
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan bagian dari
kerangka penguatan kebijakan otonomi daerah ataukah justeru menjadi
faktor penghambat penguatan kebijakan otonomi daerah. Persoalan ini
7
menjadi masalah yang cukup krusial, karena kepentingan, kebutuhan dan
cara pandang memahami otonomi daerah antar level pemerintahan yang
berbeda-beda.
Secara lebih rinci, memang pembatasan materi Perda yang boleh
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sejauh ini, mengacu pada ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, beberapa pasal menyebut mengenai materi muatan Perda. Pasal
10 menentukan bahwa:
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
8
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah
atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau
Pemerintahan Desa.
(5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan
pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan
asas tugas pembantuan.
Ketentuan Pasal 10 di atas merupakan materi muatan umum untuk
Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (Pemerintah Pusat) yang
meliputi 6 hal tersebut. Selain sisa dari 6 hal di atas, materi muatan Perda
dapat ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah
kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa;
pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
9
Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada Pemerintahan
Daerah/atau Pemerintahan Desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Sulit untuk menentukan atau memastikan bahwa sisa dari yang 6
hal di atas menjadi seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini
dikarenakan ketentuan Pasal 10 ayat (5) masih membuka kemungkinan
adanya kewenangan urusan Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut.
Meskipun, dalam Pasal 11 sampai Pasal 18 membuat rincian mengenai
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan pemerintah Daerah (Provinsi dan Kab/Kota).
Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai urusan wajib yang merupakan
atau menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, yakni meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan mengenai urusan pilihan diatur dalam ayat (2)
dikatakan bahwa “ Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
10
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.
Dari ketentuan diatas, baik urusan wajib maupun urusan pilihan
yang menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi terlihat sangatlah luas
dan dapat ditafsirkan secara beragam dan luas oleh masing-masing
pemerintahan provinsi. Misalnya, terkait dengan perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang atau pelayanan bidang
pertanahan. Begitupun halnya dengan urusan pilihan, tidak ada kejelasan
atau pedoman sebagai alat ukur untuk menilai urusan pemerintahan yang
secara nyata ada tersebut seperti apakah indikasinya, apakah ada dalam
pengertian secara fisik atau non fisik dan selama ini tidak ada mekanisme
verifikasi yang jelas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi
atas urusan pilihan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Provinsi untuk
memastikan apakah memang benar-benar ada urusan pilihan tersebut
ataukah hanya ada diatas meja kerja birokrasi.
Kondisi ini juga terjadi pada level Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan. Dalam pasal 14 dikatakan bahwa :
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal;
11
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan mengenai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang
bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Permasalahan yang dihadapi juga sama halnya dengan pemerintahan
Provinsi.
Meski dalam aturan diatas, mengatur mengenai urusan wajib dan
urusan pillihan bagi pemerintahan daerah namun rincian yang ditentukan,
dalam prakteknya selama ini ternyata masih membuka penambahan
urusan pemerintahan di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan
lainnya (wajib atau pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan”, yang dikenal dengan ketentuan delegasian. Disamping itu,
ternyata ada beberapa pasal yang secara jelas menyebutkan bahwa
urusan pemerintahan daerah diatur dengan Perda, misalnya Pasal 158,
Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan Pasal 200. Artinya, terkait dengan
kewenangan urusan pemerintahan di daerah tidak terbatas pada urusan
wajib dan urusan pilihan sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Secara teoritis dan pengalaman selama ini, ada dua cara dalam
penyerahan berbagai bagian dari bidang-bidang pemerintahan kepada
daerah otonom1. Pertama, cara penyerahan kewenangan berbagai
bagian dari bidang-bidang pemerintahan di rinci. Yakni berbagai bagian
dari bidang-bidang pemerintahan yang dirinci kemudian diserahkan
kepada daerah otonom dengan produk hukum, sedangkan berbagai
bagian dari diluar rincian atau yang tersisa menjadi kompetensi
1 Bhenyamin Hoessein, Memperkuat Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam
Penyelenggaraan/Penyediaan Prasarana Wilayah, Makalah disampaikan pada Lokakarya “merumuskan Format Kerjasama Pemerintah dan LSM di Bidang Pembangunan Prasarana Wilayah Dalam persfektif Otonomi Daerah” yang diselenggarakan LP3ES, pada tanggal 4 Oktober 2000
12
pemerintah, dan daerah otonom tidak diperkenankan untuk melaksanakan
kewenangan dalam bidang pemerintahan dan/atau bagian-bagian dari
bidang pemerintahan yang belum atau tidak menjadi kompetensinya.
Metode desentralisasi dengan rincian seperti ini kita kenal pada
masa berlakunya UU.No.5 tahun 1974. Namun, metode ini memiliki
kelemahan, antara lain ; (a) berpotensi terjadi penyeragaman isi otonomi
daerah pada seluruh wilayah Indonesia; (b) Proses desentralisasi yang
berlangsung akan birokratis (dan memerlukan waktu yang panjang untuk
dapat direalisasikan oleh daerah otonom. (c) Pembagian kewenangan
yang luas akan lebih besar atau dominan dimiliki oleh Pempus
dibandingkan dengan Pemprov dan Pemkab/Pemkot ; (d) berpotensi
terjadi pengekangan terhadap daerah otonom yang berkemampuan untuk
berprakarsa menyelenggarakan bagian-bagian dari bidang pemerintahan
yang lebih baik; (e) kesulitan untuk dapat menyusun strategi yang jelas
dalam bidang pemerintahan yang dapat diselenggarakan secara
desentralisasi.
Metode penyerahan kewenangan yang kedua adalah dengan
penyerahan kewenangan berbagai bagian dari bidang-bidang
pemerintahan dengan urusan-urusan umum yang disebut “open end
arrangement”. Artinya, pemerintah Pusat membuka diri dan menyerahkan
rincian kewenangan tersebut kepada daerah untuk merincikan apa yang
menjadi kewenanganya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Secara prinsipil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan
metode open end arragemnent.
Kendati konsep ini relative cukup memadai, namun masih terdapat
adanya peluang dimana antar level pemerintahan saling merebut
kewenangan yang bersifat strategis, saling melempar tanggungjawab
terhadap urusan bidang yang tidak bersifat strategis.
Otonomi daerah memang bukanlah berarti bahwa seluruh
kewenangan atau bidang-bidang pemerintahan harus berada di daerah,
13
melainkan hanya bidang-bidang tertentu saja yang bersifat lokalitas.
Sesuai dengan konsep “local government”, berbagai bagian dari bidang-
bidang pemerintahan yang ditangai Kabupaten/kota tentunya yang
bersifat lokalitas dan tidak bersifat nasional2. Sejauh ini, memang berbagai
bagian dari bidang-bidang pemerintahan yang menjadi kompetensi
Kabupaten/Kota sesungguhnya merupakan sisa dari berbagai bagian dari
bidang-bidang pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah Pusat
dan Propinsi. Dengan kata lain, residuary function berada di tangan
Kabupaten/kota.
Namun, sejauh ini belum ada undang- undang khusus yang
mengatur tentang hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan
(pusat dan daerah). Padahal, kewenangan pemerintahan merupakan
dasar utama untuk setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap
tingkat pemerintahan. Tanpa adanya dasar kewenangan yang sah, maka
berbagai tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap
tingkat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. Oleh
sebab itu diperlukan adanya aturan khusus yang mengatur mengenai
hubungan kewenangan antar pemerintahan.
Pengaturan mengenai kewenangan pemerintahan tersebut penting,
karena pada prinsipnya kewenangan pemerintahan daerah secara umum
berasal dari atribusi, delegasi dan mandat serta tugas pembantuan
(medebewind). Secara prinispil, cara memperoleh kewenangan tersebut
memiliki implikasi terhadap derajat kewenangan itu sendiri. Sebagai
contoh, kewenangan delegasi akan menentukan level pemerintahan yang
lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah
(delegans). Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan
mandat dapat digambarkan bagaimana berbagai level pemerintahan
2 Ibid, Bhenyami Hossein, hal 7
14
tersebut mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda
antara satu level pemerintahan dengan level pemerintahan lainnya.
Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara
berbagai level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat
menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab
di antara mereka.
Pengaturan mengenai prosedur, tata cara, kewenangan dan hal-hal
lain-lainnya tentang distribusi, atribusi dan delegasi kewenangan,
termasuk tugas pembantuan, pada dasarnya adalah untuk menata
hubungan hukum dan kekuasaan, baik yang bersifat statis maupun
dinamis, dari berbagai level pemerintahan yang ada. Hubungan hukum
dimaksud adalah berdasarkan prinsip harmonisasi dan sinkronisasi di
antara level-level pemerintahan yang ada sehingga tidak menciptakan
benturan kepentingan di antara pembuat dan pelaksana kewenangan,
baik di tingkat nasional, regional maupun lokal sehingga integrasi dan
sinergi di antara pembuat dan pelaksana kewenangan yang ada di
berbagai level pemerintahan yang ada dapat mengatur secara baik
koordinasi dan evaluasi dari hubungan kewenangan yang terjadi di antara
para pembuat dan pelaksana kewenangan tersebut.
Secara umum, bila dilihat materi terkait dengan undang-undang
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata lebih
berfokus pada organisasi pemerintahan daerah. Undang-undang ini
mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai suatu organisasi
pemerintahan di tingkat lokal dan mempunyai hubungan yang dekat
dengan masyarakat sebagai konstituennya. Misalnya, tentang
kewenangan daerah sebagai daerah otonom, urusan wajib dan urusan
pilihan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, perangkat
organisasi pemerintahan daerah.
Meskipun dalam UU 32/2004 menegaskan kembali kedudukan
daerah otonom sebagai bagian integral dari negara kesatuan Indonesia
15
dan daerah otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan
kewajiban mandiri, sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan
tetapi kedudukan (pemerintahan) daerah otonom adalah melaksanakan
berbagai kewenangan pemerintahan yang telah didesentralisakan oleh
Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan tersebut tetap berada di
tangan Pemerintah Pusat. Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan
daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan negara secara
keseluruhan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa undang-undang 32/2004
merupakan undang-undang yang mengatur tentang organisasi
pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi pemerintahan negara
kesatuan secara keseluruhan atau merupakan undang-undang yang
mengatur bagaimana suatu organisasi pemerintahan negara dijalankan
berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di daerah masing-masing.
Pengaturan mengenai Tata Hubungan Pusat dan Daerah
diharapkan nantinya akan menjadi pelengkap (complementary),
khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah, memberikan kejelasan mengenai hubungan
kewenangan antara (pemerintah) nasional atau pusat dengan
(pemerintah) daerah, dan kewenangan antar daerah otonom di Indonesia
atau semacam software untuk menata hubungan kewenangan pusat dan
daerah, berkaitan dengan norma, prosedur dan aturan umum hubungan
kewenangan, sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
merupakan hardware, yang berbentuk antara lain organisasi dan para
pejabat pelaksana dari hubungan kewenangan tersebut.
Hirarkhi Peraturan Perundang-Undangan dan Kedudukan Perda
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 perundang-
undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga
16
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka peraturan perundang-undangan
bersifat umum-abstrak, yang dicirikan unsur-unsur antara lain; peraturan
tertulis, dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan
mengikat secara umum. Secara lebih spesisik produk hukum yang disebut
dengan peraturan perundang-undangan adalah bentuk tertulis, lembaga
atau pejabat yang membentuk; (tidak terbatas badan legislatif) dan sifat
mengikat umum aturan hukum. Jadi, mengacu pada pengertian tersebut,
maka patokan untuk menentukan produk hukum yang disebut dengan
peraturan perundang-undangan adalah bentuk tertulis, lembaga atau
pejabat yang membentuk; (tidak terbatas badan legislatif) dan sifat
mengikat umum aturan hukum.
Dalam kamus hukum Subekti, undang-undang sendiri diartikan
sebagai peraturan atau produk legislatif yang tertinggi yang dibentuk
bersama-sama oleh Presiden dan DPR3. Pengertian ini pada prinsipnya
sama dengan pengertian legislation (legislasi) yang diberikan oleh Black
Law Dictionary yaitu suatu produk hukum yang dibentuk oleh badan
legislatif. Perda dibentuk oleh Kepala Daerah bersama DPRD, karena ini
dapat dikategorikan sebagai produk hukum peraturan perundang-
undangan, namun sifat dan daya berakunya bersifat lokalistik. Konsep
tersebut jelas bahwa produk hukum yang namanya perundang-undangan
(legislasi) adalah produk aturan hukum yang melibatkan badan legislatif
di dalam pembentukannya.
Dalam ajaran Mostesquieu (pemisahan kekuasaan) kekuasaan
membentuk undang-undang adalah kekuasaan legislatif, karena itu
(hanya) ada pada badan (organ) legislatif (badan pembentuk undang-
undang). Badan (organ) eksekutif tidak mempunyai kekuasaan
membentuk undang-undang.4 Dalam sistem Amerika Serikat, Presiden
3 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita Jakarta, 1972, h. 99. 4 Amerika Serikat, The Constitution of the United States 1789, Pasal 1 ayat (1) : “All Legislatif powers here in granted shall be rested a Congress of the United States, which shall consisit of a senate and House of Representatives” Lihat Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen
17
diberi hak untuk menolak mengesahkan undang-undang yang telah
disetujui Congress yang disebut hak veto. Tetapi, hak veto ini dapat
dikesampingkan dengan cara pemungutan suara ulang atas rancangan
undang-undang yang telah disetujui congress. Apabila dalam
pemungutan suara ulang disetujui dua pertiga atau lebih anggota
congress, veto Presiden tidak berlaku dan rancangan undang-undang
tersebut akan menjadi undang-undang tanpa disahkan Presiden.5
Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), tugas
pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang
yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif negara
kesejahteraan, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan
kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial dengan
diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat
dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan
kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberikan
kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, pemerintah juga memiliki kewenangan
dalam bidang legislasi. Mengapa kewenangan legislasi ini diberikan kepada
pemerintah, padahal berdasarkan paham trias politika (pemisahan
kekuasaan) kewenangan legislasi ini hanya dimiliki oleh lembaga
legislatif?.
Konsep pemisahan kekuasaan, khusus yang berkaitan dengan
fungsi eksekutif hanya sebagai pelaksana UU tanpa kewenangan membuat
peraturan perundang-undangan, seiring dengan perkembangan tugas
negara dan pemerintahan, bukan saja kehilangan relevansinya, tetapi
dalam praktik juga menemui banyak kendala. Hal ini dikarenakan badan
legislatif, jira mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tidak membentuk
segala jenis peraturan perundang-undangan, melainkan terbatas pada UU
dan Perda. Jenis peraturan perundang-undangan lain dibuat oleh
Hukum dan HAM, Terjemahan Konstitusi Negara Asing, (Jakarta: Depkeh & HAM, 2004), hal. 1. 5 Amerika Serikat, The Constitution of the United States, Pasal 1 ayat (7).
18
administrasi negara. Selain itu, yang berjalan selama ini kewenangan
legislasi bagi pemerintah pada dasarnya berasal dari undang-undang,
yang berarti melalui persetujuan parlemen.
Dengan demikian, istilah peraturan perundang-undangan dapat
diartikan sebagai apa yang disebut oleh Buys6 sebagai wet in materiele
zijn, yaitu undang-undang yang memuat algemeen bindende voorschriften
(aturan-aturan yang mengikat umum). Bukan dalam pengertian wet in
formele zijn di mana DPR harus ikut membuatnya. Dengan demikian
pengertian peraturan perundang-undangan penekanannya pada sifat
mengikat umum dari aturan hukum itu, bukan pada badan atau pejabat
yang membentuknya.
Dalam praktek, tiada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang
secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan.
Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang menyebutkan
bahwa “perundang-undangan yang lebih rendah tidak bertentangan
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya”7. Secara
hukum memang tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan
perundang-undangan, walaupun sistem hukum itu tidak terbatas pada
system perundang-undangan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa
tidak diatur?.
Pertama, system hukum positif tidak hanya berupa peraturan
perundang-undangan, melainkan juga meliputi hukum-hukum tidak
tertulis (yurisprudensi, hukum adat dan hukum kebiasaan).
Kedua, kaidah hukum tidak tertulis dapat juga dipergunakan
untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya, walaupun
tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Di
Inggiris, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
(delegated legislation) dapat diuji terhadap “common law” dan prinsip-
prinsip umum, seperti (bias, ultra vires, dll). Di Belanda, peraturan atau 6 Djokosutono, Hukum Tata Negara, dihimpun Harun Al Rasid, Ghalia Ind, Jkt, 1982, h. 47. 7 Sanny Kalsoem, “Pembaharuan Terib Peraturan Perundang-Undangan”, Makalah dipublikasikan dan didownload di htpp:// www.legalitas.org.
19
keputusan administrasi negara dapat diuji terhadap asas-asas umum
penyelenggaraan administrasi negara yang baik (beginselen van behoorlijk
bestuur)8.
Secara teoritis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat
dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai “Stufenbau des Rechts”
atau “The hierarchy of Law” yang berintikan, bahwa “kaidah hukum
merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang lebih rendah
bersumber dari kaidah hukum yang lebih”9.
Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Rechts, maka harus
dihubungkan dengan ajaran Hans Kelsen tentang “Reine Rechtslehre atau
The pure theory of law (teori hukum murni) dan bahwa hukum itu tidak
lain dari kehendak penguasa (command of the souvereign).10 Menurut
teori hukum murni “hukum tidak lain dari system hukum positif yang
dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan perundang-
undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-kaidah yang
terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus (individual norm).
Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah
hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam negara.11
Karena tidak mungkin menempatkan putusan hakim dalam tata
urutan, maka pengertian Stufenbau des Rechts adalah tata urutan
peraturan perudang-undangan (kaidah umum). Menurut teori hukum
murni, bahwa objek kajian hukum (legal science) hanyalah mengenai isi
hukum positif. Sedangkan mengenai baik atau buruk suatu kaidah yang
mencerminkan system nilai tertentu, masalah tujuan hukum dan lain-lain,
8 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 202. 9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Ruseel, New York, 1973, hlm. 123. 10
4 . Ibid, hlm. 302 11
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 1.
20
bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan objek filsafat.
Pandangan ini bertalian dengan paham “legal positivism”.
Beranjak dari hal tersebut diatas, kita dapat menelusuri kapam tata
urutan perundang-undangan diberlakukan di Indonesia. Pada masa Hindia
Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal meliputi: (i) Undang-
Undang Dasar Kerajaan Belanda, (ii) Undang-Undang Belanda atau ‘wet’,
(iii) Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal
Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat (Volksraad) di
Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, (iv) Regerings
Verordening atau RV, yaitu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh
Gubernur Jenderal untuk melaksanakan Undang-Undang atau ‘wet’, dan
(v) Peraturan daerah swatantra ataupun daerah swapraja12. Namun, pada
masa itu bentuk-bentuk peraturan belum disusun secara hierarkhis.
Setelah Indonesia merdeka mulai diperkenalkan bentuk-bentuk
peraturan baru, tetapi dalam prakteknya belum teratur karena suasana
belum memungkinkan untuk menertibkan bentuk-bentuk peraturan yang
dibuat. Di masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota
dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan
sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil
Presiden mengeluarkan Maklumat yang sangat terkenal yang isinya
membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
ketika itu sangat berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu
dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x
tertanggal 16 Oktober 194513.
Pada masa awal kemerdekaan, berlakunya UUD 1945 bentuk
peraturan perundang-undangan yang dikenal adalah Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan
Pemerintah. Dalam penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk
konstitusi yang tertulis. Di samping yang tertulis itu masih ada pengertian
12 Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hal. 54-55. 13 Op.,Cit hal 3
21
konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat. Kemudian, pada masa Konstitusi RIS yang berlaku mulai
tanggal 27 Desember 1949, merubah bentuk-bentuk peraturan tersebut
menjadi Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan
Pemerintah. Bentuk-bentuk peraturan tersebut mengalami perubahan
ketika pada masa berlakunya UUDS yang berlaku mulai tanggal 17
Agustus 1950, penyebutannya berubah menjadi Undang-Undang, Undang-
Undang Darurat, dan Peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain, dari
ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat, dan
Peraturan Pemerintah. Namun, konsep tentang tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang diajarkan oleh Hans Kelsen
belum digunakan.
Oleh karena beberapa bentuk peraturan (termasuk UUD) yang
termaktub dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti
tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang
lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali
ke UUD 1945, maka berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959
tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dipandang perlu
dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:
1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli
1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945.
2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang
dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan
Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan
22
Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD
1945.
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau
meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh
kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen
pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan
untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-
pengangkatan.
Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, ternyata
menimbulkan kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan
yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan
adalah Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang menimbulkan
ekses dimana-mana. Hal ini dikarenakan banyak materi yang seharusnya
diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun
Peraturan Presiden. Sementara, banyak di antara penetapan dan
peraturan itu yang isinya menyimpang dari amanat UUD 1945.
Pada masa ini konsepsi mengenai penetapan yang bersifat
administratif berupa pengangkatan-pengangkatan yang berisi putusan-
putusan yang bersifat ‘beschikking’ mulai dibedakan dengan putusan yang
berbentuk mengatur (regeling). Istilah Keputusan Presiden ataupun
Keputusan Menteri secara khusus dikaitkan dengan jenis putusan yang
bersifat administraftif.
Bila ditilik dari aspek kesejarahan, maka pada masa Hindia
Belanda maupun pada Masa Orde Lama sesungguhnya yang baru diatur
adalah mengenai bentuk-bentuk dari peraturan, sementara jenis dan tata
urutan peraturan perundang-undangan (hirarkhi) pada prinsipnya belum
pernah dituangkan atau ditetapkan secara sistamtis dan komprehensif. Hal
ini tercermin dari berbagai produk peraturan yang ditetapkan pada masa
ini. Misalnua dalam UU No.1/1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan
23
Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (dikeluarkan
berdasarkan UUD 1945) dan UU No.2/1950, ternyata hanyalah
Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran
Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan
Mengumumkan dan Mulai Berlakunya UU Federal dan Peraturan
Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (dikeluarkan berdasarkan
KRIS 1949)14.
Demikian pula dalam Surat Presiden kepada DPR No.2262/HK/59
tanggal 20 Agustus 1959 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, dan
Surat Presiden kepada DPR No.2775/HK/59 tanggal 22 September 1959
tentang Contoh-Contoh Peraturan Negara, serta Surat Presiden kepada
DPR No.3639/HK/59 tanggal 26 Nopember 1959 tentang Penjelasan Atas
Bentuk Peraturan Negara, jenis peraturan perundang-undangan yang
disebutkan dalam Surat-surat tersebut pun tidak ditata secara hirarkis
seperti sekarang ini 15.
Oleh sebab itulah, pada masa-masa awal kemerdekaan berbagai
masalah terkait dengan peraturan perundang-undangan seringkali muncul,
karena ketidakjelasan kewenangan, bentuk dan materi, serta tata urutan
peraturan perundangan-undangan, tidaklah mengherankan jika Wakil
Presiden kemudian melampaui batas kewenangannya, seperti
mengeluarkan Maklumat untuk membatasi tugas dan fungsi Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ketika itu berperan sebagai
lembaga legislatif (Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945).
14 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) ditetapkan dengan Keppres RIS No.48 tanggal 31 Januari 1950 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara No.50-3 yang diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950. Penulis lebih senang menuliskannya dengan KRIS 1949, karena terbentuknya Republik Indonesia Serikat adalah tahun 1949. Dengan menggunakan istilah/nama KRIS 1949 menurut Penulis untuk membedakannya dengan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, yang menggantikan KRIS 1949, karena kita kembali kepada bentuk negara kesatuan bukan negara federal lagi. UUD Sementara ini Penulis sebut UUDS 1950. 15 Machmud Aziz, Jenis dan Tata Susunan/Urutan (Hierakhi) Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD-RI dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan, Makalah di publikasikan di www.legalitas.org.
24
Setelah tumbangnya pemerintahan orde lama pada tahun 1966,
dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan perundang-
undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap
pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan
MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk
Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. Ketetapan MPRS
tersebut menugaskan Pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR
melaksanakan peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang
berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang,
ataupun Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Pada tanggal 9 Juni 1966 DPR-GR mengeluarkan memorandum
yang diberi judul Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR ini kemudian dalam Sidang
MPRS Tahun 1966 (20 Juni – 5 Juli 1966) diangkat menjadi Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XX/MPRS/1966 (disingkat TAP MPRS No.XX/MPRS/1966). Pada masa inilah
baru diatur mengenai bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia yang disusun secara hirarkis. Adapun Tata
urutan, yang diatur adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR (TAP MPR);
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
25
6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti :
- Peraturan Menteri;
- Instruksi Menteri;
- dan lain-lainnya.
Dengan telah diaturnya jenis peraturan perundang-undangan
secara hierarkis, maka kekuatan hukum dari masing-masing peraturan
perundang-undangan akan sangat ditentukan dari hierarki tersebut. Oleh
sebab itu, pengetahuan mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-
undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-
undangan karena :
a. setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
dapat ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-
undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya
(landasan yuridis);
b. tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan
landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan
perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-
undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat
mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat
atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak dapat dijadikan dasar peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan
betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan
perundang-undangan;
c. pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip
bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-
undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini
mengandung beberapa hal :
26
1) pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada
hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi;
2) dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang terbaru dan peraturan
perundang-undangan yang lama dianggap telah
dikesampingkan (lex posterior derogat priori);
3) dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya;
d. dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang
mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-
undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan
dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis
derogat lex generalis).
e. pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan kaitannya dengan materi
muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan
undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan
peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari
delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau sederajat.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk
peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan. Konsekuensi
penting dari asas-asas (prinsip-prinsip) di atas, maka harus diadakan
mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak
disimpangi atau dilanggar. Mekanismenya, yaitu ada system pengujian
27
secara yudicial atas setiap peraturan perundang-undangan, atau kebijakan
maupun tindakan pemerintah lainnya, terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi, yaitu UUD.
Tanpa konsekuensi tersebut, maka tata urutan tidak akan berarti.
Salah satu argumentasi Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung
Amerika Serikat tahun 1803 membatalkan “Judiciary Act 1791”, karena
“bertentangan dengan UUD sebagai supreme law of the land”. Secara
teoritis, UUD 1945 memberi peluang pengujian secara yudisial (yudicial
review), karena tidak ada ketentuan yang menyatakan, bahwa UU tidak
dapat diganggu gugat, seperti dalam Pasal 95 ayat (2) UUD S 1950 dan
Pasal 130 ayat (2) KRIS. Anomali baru di atur dalam Tap. No.
III/MPR/2000 yang menyatakan, bahwa “hak menguji undang-undang ada
pada MPR”. Penguyjian terhadap peraturan perundang-undangan
merupakan persoalan hukum, bukan persoalan politik, karena itu tidak
tepat hak penguji undang-undang ini diberikan kepada MPR. Apabila
demikian, maka sadar atau tidak sadar, ini berarti masih dianut “asas
undang-undang tidak dapat diganggu gugat”.
Sebenarnya dalam teori hukum tata negara, tidak ada organ negara
yang secara hukum lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap organ negara
mempunyai kedudukan dan wewenang sesuai dengan aturan hukum yang
mengaturnya. Sebagai lingkungan jabatan, organ negara memiliki sendiri-
sendiri lingkungan wewenang yang ditentukan oleh hukum, bukan oleh
hubungan hirarki antara organ itu dengan organ lainnya.
Secara prinspil, pada hakekatnya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
dimaksudkan untuk menertibkan kekacauan system peraturan perundang-
undangan yang terjadi di masa Orde Lama, baik yang bertalian dengan
28
kewenangan, macam, isi, maupun tata cara pembuatannya (selain
berbagai peraturan perundang-undangan, ada bentuk-bentuk lain yang
berasal dari Dekrit, yaitu “Penpres” dan “Perpres”). Namun, TAP MPRS
tersebut ternyata masih banyak mengandung berbagai kekurangan,
antara lain : (a) ketetapan MPRS ini hanya mengatur susunan peraturan
perundang-undangan tingkat pusat, sedangkan Peraturan Daerah (Perda)
tidak dimasukkan. Padahal Perda merupakan sub system peraturan
perundang-undangan. Perda tunduk pada salah satu asas umum, yaitu
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. (b) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan,
ketetapan ini memasukkan pula keputusan-keputusan yang tidak
tergolong peraturan perundang-undangan, seperti Instruksi Presiden
(Inpres). Inpres berisi ketentuan konkrit yang harus dilaksanakan atau
tidak dilakukan oleh penjabat administrasi negara. (c) dalam praktek,
ketetapan MPR tidak selamanya berbentuk peraturan perundang-
undangan. Misalnya Ketetapan MPR tentang Pengangkatan Presiden dan
Wakil Presiden. Ketetapan semacam ini bukan peraturan perundang-
undangan, karena mengatur sesuatu yang konkrit dan individual
(einmalig). Dalam hukum administrasi negara, digolongkan sebagai
“beschikking”. (d) Keputusan Presiden (Kepres) mengenai pengakatan
pejabat bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
Beberapa kelemahan diatas dapat dimafhumi karena TAP MPRS
diatas disusun dalam keadaan yang mendesak dan dalam transisional.
Pemerintah Orde Baru yang bertekad untuk melakukan penyempurnaan
ternyata hingga berakhir, ternyata tidak merubah ketetapan tersebut.
Bahkan, kekacauan dalam sistem perundang-undangan pun tetap
berlangsung pada masa itu, banyak peraturan kebijakan (policy rules,
beleidsregels) yang bersumber pada asas kekebasan bertindak (freis
ermessen, beoonderlingsvrijeheid) dibuat oleh Pemerintah Orde Baru
tanpa memperhatikan tertib peraturan perundang-undangan, asas umum
29
penyelenggaraan administrasi negara yang baik dan wajar (algemen
beginselen van behoorlijk berstuur atau the geneleral principle of good
administration) atau dengan kata lain banyak terjadi penyimpangan
kekuasaan (abuse of power)16.
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan
berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Juli 1998, dilanjutkan dengan
Sidang Istimewa (SI) MPR pada tahun yang sama. Pada Sidang Tahunan
MPR tahun 2000, MPR menetapkan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai
pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 2 TAP MPR No.
III/MPR/2000 adalah17:
1. UUD-RI;
2. Ketetapan (TAP) MPR;
3. Undang-Undang (UU);
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
16 Contoh kasus seperti Kasus BLBI bersumber dari Aturan Kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres), Kasus Mobil Nasional yang bersumber dari Kepres, Kenaikan harga BBM yang bersumber dari Perpres. 17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata perundang-undangan dirartikan sebagai " yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang. Adapun kata, " undang-undang diartikan " ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif dsb) disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dsb) ditandatangani oleh kepala negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat" Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan " wettelijke regelingen ". Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari "algemene verorderingen". Menurut A. Hamid SA, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan "wettelijke regelingen" maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena didalamnya tidak termasuk " wetten " ( undang-undang ) dan AmVB diterjemahkan dengan "peraturan pemerintah" yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang dibuat d Hindia Belanda. Apabila "peraturan perundang-undangan" merupakan terjemahan "dari algemene verorderingen, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet) , peraturan pemerintah (AmVB) , dan Ordonansi-ordonansi. Dalam Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
30
5. Peraturan Pemerintah (PP);
6. Keputusan Presiden (Keppres); dan
7. Peraturan Daerah (Perda).
Menindaklanjuti amanat dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, maka pada tanggal 22
juni 2004 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (disingkat UUP3). Undang-Undang ini
dibentuk dalam rangka :
1. untuk mendukung salah satu syarat dalam rangka
pembangunan hukum nasional yakni adanya cara dan
metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
2. untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
3. mengganti ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan
peraturan perundang-undangan termasuk tehnik
penyusunannya yang ada selama ini, yang diatur secara
tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa
kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka
agar sesuai dengan perkembangan hukum ketatanegaraan
Republik Indonesia, pasca amandemen Undang-Undang
Dasar 1945. Ketentuan-ketentuan yang ada tersebut termuat
pada :
31
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie,
yang disingkat AB (Stb. 1847 : 23) yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-
undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, ketentuan AB
tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan
nasional.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang
ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian
Republik Indonesia Yogyakarta.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia
Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan,
dan Mulai berlakunya Undang-Undang Federal dan
Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang
Federal.
Selain dalam Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan :
a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah ;
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234
Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi
Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen
Kehakiman ke Sekretariat Negara;
32
c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188
Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang;
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Keputusan Presiden;
Dalam undang-undang ini hierakhi peraturan perundang-undangan
diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut;
1. UUD Negara Republik Indonesia, Tahun 1945.
2. UU/Perpu.
3. Peraturan Pemerintah (PP).
4. Peraturan Presiden (Perpres).
5. Peraturan Daerah (Perda) yang meliputi :
- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi
bersama gubernur.
- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD
kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
33
- Peraturan Desa/peraturan setingkat, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan
Kepala Desa atau nama lainnya.
UUP3 menempatkan sumber hukum dari segala sumber hukum
negara adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa
dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.
Sedangkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar
negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah UUD. Dengan demikian, semua peraturan
perundang-undangan harus bersumber pada UUD 1945 dan tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.
Kendatipun demikian, bila dibandingkan, hirarkhi peraturan
perundang-undangan yang diatur dalam TAP MPR No III/MPR/2000
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka terdapat perbedaan
dan pergeseran, mulai dari istilah, seperti UUD-RI dengan UUD Negara
Republik Indonesia, Tahun 1945, hingga tata urutan, berikut ini adalah
perbandingan nya:
Tabel : perbandingan Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan dalam TAP
MPR No.III/MPR/2000 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Jenis Perundang- TAP MPR Undang-Undang Nomor
34
undangan No.III/MPR/2000 10 Tahun 2004 TAP MPR Diatur dan berada pada
nomor kedua Tidak dimasukkan dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan
Perpu Diatur namun berada pada nomor urut keempat setelah undang-undang
Diatur namun berada pada posisi nomor dua sejajar dengan undang-undang
Peraturan Presiden
Tidak diatur dan tidak dimasukkan kedalam hirakhi perundang-undangan
Diatur dan dimasukkan kedalam hirarkhi perundang-undangan, berada pada nomor keempat
Keputusan Presiden
Dimasukkan kedalam hirakhi perundang-undangan
Tidak dimasukkan dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan
Sumber : data diolah dari TAP MPR No.III/MPR/2000 dan UU.No.10 Tahun 2004
Dari gambaran diatas, terlihat beberapa kelemahan ; pertama,
adanya inkonsistensi dalam meletakkan tata urutan peraturan perundang-
undangan dalam TAP MPR No III/MPR/2000 dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Misalnya, terkait dengan kedudukan Perpu. Dalam
TAP MPR No.III/MPR/2000 Perpu berada pada nomor keempat dibawah
Undang-Undang sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, Perpu berada pada nomor 2 sederajat dengan Undang-Undang.
Kondisi ini tentu saja berimplikasi terhadap mekanisme penyelesaian
sengketa judicial review oleh Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah
Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah, jika
mengacu pada kedua aturan tersebut diatas, tentu akan berbeda.
Kedua, belum adanya kejelasan pembedaan antara putusan-
putusan yang bersifat mengatur (regeling) dan putusan-putusan yang
bersifat penetapan administratif (beschikking). Misalnya, terkait dengan
Peraturan Presiden (regeling) dan Keputusan Presiden (beshkking). Meski
kedua peraturan ini sama-sama dibuat oleh Presiden, namun penempatan
urutannya berbeda. Secara teoritis, putusan yang bersifat administratif
35
(beschikking) selama ini lebih kepada pengaturan yang sifatnya individual
dan konkrit, tidak berisi pengaturan terhadap kepentingan umum (publik),
karena itu tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-
undangan. Namun, dalam TAP MPR No III/MPR/2000 masuk dalam tata
urutan perundang-undangan. Sebaliknya, Perpes Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004, justeru Pepres yang dimasukkan sedangkan Kepres tidak
masuk dalam bentuk tata urut peraturan perundang-undangan.
Dalam praktek, selain bentuk-bentuk peraturan yang bersifat
mengatur, memang ada pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut
dengan ‘beleidsregels’ (policy rules) atau peraturan kebijakan. Bentuk
peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi
dasarnya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’ dalam rangka
prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’, yaitu prinsip
kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai
tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum.
Berdasarkan prinsip ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu
diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan
tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan
yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga
muncul Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun
bukan dalam arti ‘regeling’ (public regulation). Akan tetapi, agar konsisten
dan konsekwen mengikuti sistematika pemisahan kekuasaan legislatif dan
eksekutif secara tegas, kiranya prinsip ‘freis ermessen’ tidak digunakan
sepanjang menyangkut pembuatan peraturan dalam arti teknis. Prinsip
kebebasan bertindak itu cukup diimplementasikan dalam bentuk Instruksi
Presiden ataupun Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai
peraturan.
Ketiga, TAP MPR No III/MPR/2000 tidak memasukkan Peraturan
Menteri dalam tata urutan perundang-undangan. Padahal, peraturan
menteri sebelumnya dan selama ini banyak dikeluarkan sebagai pedoman
36
bagi Pemerintahan Daerah atau pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Disamping Peraturan Menteri beberapa jenis
peraturan perundang-undangan lain tidak ditempatkan adalah :
a. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat
pseudowetgeving);
b. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan
(regeling);
c. Peraturan Bank Indonesia;
d. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat
pengaturan regeling;
e. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan
(regeling), yang didasarkan pada kewenangan
derivatif/delegatif yang diberikan oleh Presiden,
UU/PP.
Oleh sebab itulah, muncul banyak permasalahan antara lain adalah
dimanakah Kedudukan peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh
lembaga tinggi negara seperti BPK dan MA akan ditempatkan, apakah
sederajat dengan Menteri, Bank Indonesia, dan bahkan dengan Badan,
Lembaga dan Komisi? Apakah Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan Keputusan Presiden, dan
bahkan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Propinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten, dan bahkan Peraturan Desa? Bagaimana
Keputusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sesuatu perkara kasasi
tidak boleh bertentangan semua ketentuan peraturan yang tingkatannya
di bawah Undang-Undang? Padahal, sesuai dengan asas kebebasan
hakim, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, putusan
hakim itu dapat saja bertentangan dengan Undang-Undang.
37
Jika mengacu pada asas-asas peraturan perundang-undangan,
maka peraturan atau keputuasan yang dibuat oleh lembaga negara
tingkat Pusat yang berlaku pada seluruh wilayah Republik Indonesia
tentunya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan peraturan
perundang-undangan tingkat Daerah yang hanya bersifat lokal/regional.
Oleh karena jika ditempatkan di bawah Perda, pertama, akan
bertentangan dengan asas hierarki peraturan perundang-undangan.
Kedua akan bertentangan dengan asas wilayah berlakunya peraturan
perundang-undangan.
Keempat, Kedudukan Peraturan Daerah yang di dalamnya
tercakup Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan
Peraturan Desa seakan-akan memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-
sama Peraturan Daerah yang dalam tata urutan tersebut ditentukan
berada dalam tata urutan ketujuh.
Secara teoritik dan dalam prakteknya selama bahwa setiap
lembaga/pejabat negara tertentu dapat diberikan kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh UUD maupun UU.
Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu
dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan
delegatif/derivatif. Kewenangan atributif dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah kewenangan asli (orisinil) yang diciptakan –
sebelumnya tidak ada – oleh UUD atau UU yang diberikan kepada
lembaga atau pejabat tertentu.
Sedangkan kewenangan derivatif/delegatif adalah kewenangan
yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada pejabat atau
lembaga tertentu dibawahnya, untuk mengatur lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif.
Sebagai contoh kewenangan atributif misalnya adalah UU No. 4 Tahun
200 Tentang Mehkamah Agung, Mahkamah Agung memiliki kewenangan
38
untuk menguji dan membatalkan peraturan perundang-undangan
dibawah.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul “Menyongsong
Fajar Otonomi Daerah” menyatakan: “Peraturan Daerah sebagai bentuk
peraturan perundang-undangan tingkat daerah hanya terbatas mengatur
hal-hal dibidang administrasi negara, tidak dibidang ketatanegaraan.
Peraturan daerah bersifat administratiefrechtelijk, tidak bersifat
staatsrechtelijk karena hanya berfungsi mengatur kekuasaan daerah
otonomi dibidang administrasi Negara”18.
Dalam kaitannya dengan pengertian administrasi Negara, Philipus
M Hadjon dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”
(Introduction to the Indonesian Administative Law) setelah mengkaji
secara mendalam dan tajam dari berbagai sumber baik asing maupun
Indonesia, berkesimpulan bahwa administrasi (negara) dalam hukum
administrasi Negara hanya meliputi lapangan bestuur (lapangan kegiatan
Negara di luar wetgeving dan rechspraak). Dengan demikian dapat
diartikan administrasi (negara) adalah kegiatan negara dalam bidang
pemerintahan (eksekutif). Berbeda dengan pengertian administrasi Negara
dalam ilmu administrasi negara yang meliputi seluruh kegiatan Negara
(legislative, eksekutif dan yudisial)19.
Berangkat dari keberadaan Perda sebagai pelaksanaan otonomi
yang hanya menyelenggarakan tugas-tugas administrasi Negara
(pemerintahan), bahwa dalam rangka desentralisasi yang diwujudkan
dalam bentuk otonomi delegasi wewenang kepada daerah hanyalah dalam
bidang pemerintahan (eksekutif) tidak dalam bidang legislative dan
yudisial. Seperti yang dikatakan Bagir Manan, hubungan pusat dan
daerah dalam sistem otonomi pada dasarnya hanya menyangkut 18 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) UII Yogyakarta, 2001, h. 105. 19 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law) Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta, 1993, hal. 5.
39
hubungan dibidang penyelenggaraan administrasi Negara20. Selanjutnya
dikatakan meskipun kepada daerah (otonomi) diberi wewenang mengatur
sehingga perlu diadakan DPRD sebagai kekuasaan legislative daerah, tidak
akan menghapus dasar hubungan pusat dengan daerah yang terbatas
dibidang administrasi negara21. Dengan pendapat tersebut yang
didelegasikan oleh pemerintah kepada Daerah dalam rangka otonomi
adalah masalah pemerintahan (eksekutif) tidak dalam bidang legislative
dan yudisial. Karena Perda pada hakekatnya hanyalah dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan otonomi (eksekutif), maka substansinya
mengacu pada undang-undang yang mengatur tentang otonomi yaitu
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sejalan dengan itu penulis berpendapat bahwa meskipun daerah
(otonomi) diberi wewenang mengatur urusannya berdasarkan konstitusi
maupun UU, dan Perda ditetapkan oleh Pemda dan DPRD (parlemen)
daerah. Namun, Perda tidak dapat mengalahkan Peraturan yang dibuat
oleh Mahkamah Agung maupun Lembaga Tinggi Negara lainnya.
Mencermati Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7
sebagaimana diatas, memang seakan-akan jenis peraturan perundang-
undangan bersifat limitatif, hanya berjumlah 5 (lima) yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Hal ini berarti di
luar dari kelima jenis tersebut sepertinya bukan dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan.
Namun demikian dalam Pasal 7 ayat (4) dan dalam Penjelasanya
disebutkan bahwa“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam
ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
20 Bagir Manan, Opt.,Cit, hlm 105 21 Ibid
40
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
Dari ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut, jika ditafsirkan secara
gramatikal, berdasarkan interpretasi dan logika hukum, serta
memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7
tidak bersifat limitatif. Artinya, di samping 5 (lima) jenis peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7
ayat (1), terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama
ini secara faktual ada dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Jenis peraturan perundang-
undangan lain yang tidak ditempatkan pada Pasal 7 ayat (1) antara lain
adalah :
1. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat
pseudowetgeving);
2. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);
3. Peraturan Bank Indonesia;
4. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan
(regeling);
b. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) yang
didasarkan pada kewenangan delegatif yang diberikan oleh
Presiden, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian maka jenis dan bentuk aturan hukum dalam
ketentuan Pasal 7 tersebut secara kuantifikasi berjumlah 21 bentuk aturan
hukum yang meliputi:
41
1. UUD RI Tahun 1945;
2. UU;
3. PP;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah;
6. Peraturan MPR;
7. Peraturan DPR;
8. Peraturan DPD;
9. Peraturan BPK;
10. Peraturan MA;
11. Peraturan MK;
12. Peraturan Gubernur Bank Indonesia;
13. Peraturan Menteri;
14. Peraturan Kepala Badan;
15. Peraturan Komisi;
16. Peraturan DPRD Provinsi;
17. Peraturan Gubernur;
18. Peraturan DPRD Kabupaten;
19. Peraturan Bupati;
20. Peraturan Walikota;
21. Peraturan Desa.
Namun, permasalahannya adalah dimanakah penempatan
kedudukan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh masing-
masing lembaga tersebut, ketidakjelasan hirarkhi inilah dapat
menimbulkan persoalan, khususnya terkait dengan kekuatan hukum dari
massing-masing jenis peraturan tersebut. Apalagi bentuk aturan hukum
yang diatur tidak dipilah dalam kelompok-kelompok (kualifikasi)
wewenang aturan hukum, baik dari lembaga yang berwenang membentuk
aturan hukum maupun sumber wewenang aturan hukum.
Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Daerah
42
Secara umum asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan (Perda) yang baik adalah meliputi :
i. kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai);
ii. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang);
iii. kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis
peraturan perundang-undangannya);
iv. dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis);
v. kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara);
vi. kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya); dan
43
vii. keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan).
Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana diatas,
dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah prinsip dalam proses
penyusunan Perda. Kedua, adalah prinsip dalam perumusan susbtansi
peraturan daerah.
Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Secara umum proses penyusunan Peraturan Daerah yang baik
adalah mengacu pada konsep nilai tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance). Peraturan Daerah yang baik haruslah didasarkan
kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakatnya
dan memperhatikan ketentuan sebagai berikut22:
(1) Menghindari pemberian kewenangan yang berlebihan.
(2) Menghindari pengaturan dan persyaratan yang tidak perlu,
berlebihan, dan sulit diterapkan.
(3) Mengakomodasi ketetapan yang bersifat transparan,
akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan
yang benar.
(4) Melibatkan tokoh masyarakat setempat.
(5) Menyelenggarakan proses pelibatan publik yang luas, dan
(6) Meningkatkan efektivitas mekanisme penegakan hukum.
22 Modul Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, “Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Legal Drafting)”, diterbitkan oleh Departeman Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara, ADB-Loan, Jakarta, Juni 2007.
44
Prinsip-prinsip dalam poses pembuatan peraturan perundang-
undangan setidaknya mengacu pada transparansi/keterbukaan,
partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan.
Transparansi/keterbukaan.
Proses yang transparan memberikan kepada masyarakat: (1) informasi
tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2) peluang bagi
masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan
terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan
adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk
dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara
langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas
antara pemerintah dan non pemerintah.
Partisipasi. Partisipasi mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses
pengambilan keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi
pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru
dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu.20
Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya konflik dalam menerapkan
suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta
mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan
kajian terhadap rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan
masukan; dan (3) tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil
keputusan, dalam hal ini pemerintah.
Koordinasi dan Keterpaduan. Koordinasi dan keterpaduan/integrasi
berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam
pemerintah - menyediakan mekanisme yang melibatkan instansi lain
dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan
kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan
45
konflik, membatasi ketidakefektivan, dan yang terpenting membatasi
jumlah produk hukum.
B. Prinsip Dasar Perumusan Substansi
Pada aspek Substansi peraturan perundang-undangan, seyogyanya
peraturan daerah menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-
prinsip kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah,
sosial-ekonomi, kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan.
Akurasi Ilmiah dan Pertimbangan Sosial-Ekonomi. Setiap peraturan
daerah hendaknya disusun berdasarkan kajian keilmuan di dalamnya.
Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga harus
mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi
pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan
kebutuhan yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu
kajian akademis terhadap peraturan yang tengah dirancang atau
ditetapkan perlu dilakukan, dengan menekankan pertimbangan ilmiah,
sosial, dan ekonomi di dalamnya.
Pendanaan Berkelanjutan. Pendanaan berkelanjutan mengacu pada
pendanaan yang cukup untuk mengimplementasikan suatu peraturan.
Pada sebagian besar wilayah, pendanaan digunakan untuk keperluan
administrasi dan operasional, dan hanya sebagian kecil yang digunakan
untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada
alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan
merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di
Indonesia.23
23
21 Ibid. dapat dilihat juga pada Asian Development Bank, “Draft Country Governance Assessment Report”, Indonesia.
Jakarta. 2002.
46
Kejelasan. Peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan
dengan baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh
masyarakat. Kejelasan mengacu pada bagaimana suatu peraturan
dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang terdapat di
dalamnya.
Selain asas sebagaimana diatas, , Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan. Asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga
tak bersalah
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara
lain: asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Menurut Maria Farida, Berbagai cara dapat ditempuh agar
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dicapai.
Selain berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-
undangan, , peningkatan kualitas pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dapat juga dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai
berikut24:
1. Kajian yang memadai.
24 Maria Farida Indrati,” Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia”, Makalah, tersedia di http:www.legalitas. org, ditulis oleh legalitas pada 27 June 2007.
47
Secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
haruslah dilandasi dengan kajian yang memadai terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan:
a. urgensi dan tujuan pengaturan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d. jangkauan serta arah pengaturan.
Salah satunya adalah dengan melakukan penyusunan Naskah Akademik
(academic draft)mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan
perda, yang merumuskan antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis,
yuridis, pokok dan lingkup materi yang diatur. Namun, Undang-Undang
No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
tidak menyebutkan tentang perlunya suatu naskah akademis.
Penyusunan naskah akademis akan sangat membantu para pihak yang
memerlukan, terutama bagi perancang peraturan perundang-undangan,
naskah akademik dapat merupakan batu pijakan dalam pembentukan
peraturan daerah, namun demikian seharusnya hal tersebut dilakukan
sebelum draft awal rancangan peraturan daerah dirumuskan dan bukan
sesudahnya.
2. Pemahaman tentang materi muatan peraturan perundang-
undangan
Kajian yang memadai dalam uraian di atas diperlukan untuk melakukan
penelusuran yang cukup tentang materi muatan yang menyangkut
permasalahan yang akan diatur, sehingga dapat menentukan jenis
peraturan yang mana sesuai dengan materi muatannya. Hal ini perlu
dikemukakan oleh karena dari kebiasaan yang berlaku, para pihak telah
48
lebih dahulu memilih dan menentukan jenis peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, dan menetapkan jumlah anggarannya,
baru membuat suatu kajian untuk mencari pembenarannya. Mengenai
materi muatan peraturan perundang-undnagan tersebut telah diatur
dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 10 Th. 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga hal
tersebut memudahkan para pembentuk peraturan perundang-undangan.
3. Pemahaman tentang asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dilakukan
apabila adanya pemahaman yang baik tentang asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Sesuai ketentuan Pasal 5
Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik adalah adanya: kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaaan, kejelasan
rumusan, dan keterbukaan. Selain itu, dalam Pasal 6 Undang-Undang No.
10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dirumuskan bahwa, (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas; pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; (2)
Peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
4. Peran serta masyarakat
49
Jean Jacques Rousseau (1712-178) dalam Du Contract Social undang-
undang adalah suatu kehendak umum (volonté génerale), sehingga
adresanya selalu umum. Suatu undang-undang yang terwujud dari
kehendak umum, akan menciptakan suatu tujuan umum, yakni
kepentingan umum. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat tertentu
dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum,
sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu
harus dianggap tidak adil. Undang-undang itu harus dibentuk oleh
kehendak umum (volonté génerale), dimana dalam hal ini seluruh rakyat
secara langsung mengambil bagian dalam pembentukan aturan
masyarakat tanpa perantara wakil-wakilnya, sedangkan menurut
Rousseau, yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari
individu-individu di dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang
dibentuk oleh individu-individu itu, dan yang mempunyai kehendak,
kehendak mana diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui
perjanjian masyarakat. Sesuai dengan pendapat di atas, dan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menganut faham
kedaulatan rakyat, saat ini peran serta masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan (khususnya dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah)
telah pula dirumuskan dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Th. 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Peran serta
masyarakat dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah tersebut, saat ini biasa
dilakukan dengan menyelenggarakan rapat dengar pendapat, penyerapan
aspirasi masyarakat, diskusi-diskusi dalam skala kecil atau skala besar,
jajak pendapat, dan cara-cara lainnya.
5. Harmonisasi dan sinkronisasi
50
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah, apabila
ketentuan-ketentuan di dalamnya merupakan rumusan-rumusan yang
selaras, serasi, dan sesuai dengan berbagai macam peraturan perundang-
undangan lainnya, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-
undangan yang setingkat (yang bersifat horisontal) maupun antara
peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi (yang
bersifat vertikal atau hierarkhis). Hal-hal inilah yang seringkali
dimaksudkan dengan suatu sinkronisasi dan harmonisasi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dituliskan
bahwa kata “sinkron” diartikan sebagai a. sesuatu yang terjadi atau
berlaku pada waktu yang sama atau serentak; b. sejalan, sejajar, sesuai,
atau selaras (dengan). Kata “sinkronisasi” diartikan sebagai a. perihal
menyinkronkan, menyerentakkan, atau penyesuaian. Kata “harmonis”
diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni, atau
sekata; sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai pengharmonisan,
atau upaya mencari keselarasan.
Dengan demikian pengertian ”sinkronisasi dan harmonisas” dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat diartikan sebagai
suatu upaya atau suatu kegiatan untuk menyelaraskan (membuat
selaras), dan menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
baik yang bersifat sejajar (horisontal) atau bersifat hierarkhis (vertikal).
Untuk mendapatkan suatu peraturan perundang-undangan yang
baik, maka sinkronisasi dan harmonisasi tidak hanya dilakukan dengan
menyesuaikan dan menyelaraskan berbagai pengertian dan kalimat yang
ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi dan
harmonisasi dalam pembentukan perundang-undangan harus pula
memperhatikan pada latar belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang
51
mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Sebagai suatu contoh, apabila suatu peraturan perundang-undangan yang
mempunyai latar belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi oleh
sistem yang individualis, tentu akan sangat sukar diselaraskan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain yang mempunyai latar
belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan.
6. Pemakaian bahasa yang tepat
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik juga mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan ragam dan corak bahasa, serta asal-
usul dari kata-kata yang dipakai dalam perumusan peraturan perundang-
undangan tersebut. Salah satu contoh yang saat ini sering dijumpai dalam
kehidupan ketatanegaraan di Indonesia adalah pemakaian istilah “sistem
presidensiil”, “sistem presidensial”, atau “sistem presidentil”, dari ketiga
istilah tersebut manakah yang harus dipergunakan? Istilah “presidensiil”
saat ini biasa dipakai oleh mereka yang terbiasa dengan berbahasa
Belanda dan merupakan terjemahan dari istilah “presidentieel”, dan istilah
“presidensial” biasa dipakai oleh mereka yang terbiasa berbahasa Inggris
dan merupakan terjemahan dari istilah “presidential”, sedangkan dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan dengan istilah “presidensial” dan
“presidentil”. Dari ketiga istilah tersebut, para pembentuk peraturan
perundang-undangan harus menentukan istilah mana yang akan dipakai,
dan hal itu tentu harus memperhatikan istilah yang dipakai dalam
peraturan perundang-undangan yang lainnya.
7. Substansi Peraturan Perundang-undangan.
52
Pemahaman tentang substansi dari peraturan perundang-undangan yang
akan dibentuk merupakan suatu syarat yang paling menentukan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pada dasarnya
tidak setiap perancang peraturan perundang-undangan harus mengetahui
secara baik dan tepat tentang substansi dalam setiap peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang ahli
yang menekuni bidang perekonomian tidak akan memahami seluruh
permasalahan yang berhubungan dengan perekonomian, demikian juga
seorang ahli yang menekuni bidang hukum pidana tidak dapat dituntut
untuk mengetahui juga hal-hal yang tergolong dalam bidang hukum tata
negara.
Pemahaman tentang substansi suatu peraturan perundang-undangan
biasanya lebih dipahami oleh lembaga-lembaga teknis yang menangani
bidang-bidang yang bersangkutan, sehingga pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik selalu memerlukan campur tangan dari
berbagai pihak yang erat kaitannya dengan substansi yang akan
dirumuskan dan diatur.Pemahaman yang baik tentang substansi suatu
peraturan perundang-undangan dapat diharapkan sebagai penunjang
terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik Oleh karena
peraturan perundang-undangan selalu bersumber dan/atau berdasar pada
kewenangan atribusi dan delegasi, maka pemahaman tentang substansi
suatu peraturan perundang-undangan yang satu dengan substansi
peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan, biasanya diketahui
dan dimiliki oleh lembaga-lembaga datau pejabat-pejabat yang erat
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah
Tahapan pembentukan peraturan daerah dilakukan dengan :
1. Perencanaan.
53
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu
Program Legislasi Daerah. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUP3 mengenai
Program Legislasi Daerah merupakan landasan yuridis bagi dibentuknya
mekanisme koordinasi baik antara instansi di lingkungan Pemerintah
Daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah maupun antara Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Khusus untuk Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah pentingnya kedudukan alat perlengkapan
Dewan seperti Badan Legislasi DPRD sangat penting, karena badan inilah
yang diharapkan dapat menampung aspirasi baik yang berasal dari komisi-
komisi, fraksi-fraksi, maupun dari masyarakat berkaitan dengan masalah
peraturan daerah.
2. Persiapan pembentukan Perda.
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan
rakyat daerah (DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/DPRDKota) atau berasal
dari gubernur atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten atau kota. Rancangan peraturan
daerah yang berasal dari inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat
daerah yang khusus menangani bidang legislasi. Selanjutnya Raperda
inisiatif DPRD ini disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat
daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. Agar rancangan peraturan
daerah diketahui oleh halayak ramai dan masyarakat dapat memberikan
masukan sehubungan dengan ketentuan Pasal 139 ayat (1) Undang-
Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tulisan dalam rangka
penyiapan atau pembahasan Raperda, maka rancangan peraturan daerah
yang berasal dari DPRD harus disebarluaskan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. Salah satu
wujud nyata berupa peran DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) Undang-Undang
54
tentang Peraturan Daerah bahwa apabila dalam satu masa sidang,
gubernur atau bupati/walikota dan DPRD menyampaikan Raperda
mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang
disampaikan oleh DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan oleh
gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.
3. Pembahasan Raperda di DPRD.
Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama
gubernur atau bupati/walikota. Dalam pembahasan ini gubernur atau
bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan
pengambilan keputusan. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan ini apabila DPRD
atau gubernur atau bupati/walikota akan menarik kembali Raperda yang
diajukan, maka harus berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan
gubernur atau bupati/walikota.
4. Penetapan.
Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur
atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur
atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.
Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Agar
segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh gubernur atau
bupati/walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3)
55
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, apabila
Raperda tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama
maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah.
5. Pengundangan dan Penyebarluasan.
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar
memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan
dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris
Daerah. Dengan diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi
(Lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui. Fiksi
hukum yang mengatakan bahwa dengan telah diundangkannya peraturan
daerah dalam Lembaran Daerah maka setiap orang dianggap telah
mengetahui hukum bagi Indonesia yang secara fakta geografis terdiri dari
17.000 pulau lebih dalam satu wilayah yang sangat luas perlu ada upaya
penyebarluasan. Pasal 52 UUP3 dan Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pemerintah
Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar
khalayak ramai mengetahui isi serta maksud yang terkandung dalam
Peraturan Daerah. Penyebarluasan dilakukan melalui media elektronik
seperti TVRI, RRI, stasiun daerah, atau media cetak di daerah yang
bersangkutan.
56
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Curriculum Vitaee
Data Pribadi / Personal Details Nama / Name : Syahrul Mustofa,
SH.,M.H Alamat / Address : RT 01 RW 02 Desa Sekongkang Atas Kec. Sekongkang, KSB-NTB Nomor Telepon / Phone : 085253830001 fax 0372-81848 Email : [email protected] Jenis Kelamin / Gender : Laki-Laki/Male Tanggal Kelahiran / Date of Birth : Tangerang, 15 Nop 1978 Status Marital / Marital Status : Menikah Warga Negara / Nationality : Indonesia Agama / Religion : Islam Pekerjaan/Job : Advokat/Pengacara (Lawyer) (Syahrul Mustofa, SH.,MH & Associate) Nama Organisasi Advokat :Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) Riwayat Pendidikan Educational and Professional Qualification Pendidikan Formal : Formal Education:
1. Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum-Konsentrasi Hukum Pemerintahan
Daerah, Universitas Mataram, Lulus Tahun 2009
2. Sarjana (S1) Ilmu Hukum-Konsentrasi Hukum Tata Negara,
Universitas Mataram, Lulus Tahun 2002
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 2 (SMAN 2) Tangerang, Lulus
Tahun 1996
4. Sekolah Menengah Pertama (SMP), PGRI Batu Ceper, Tangerang
Lulus Tahun 1993
5. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darussalam I Batu Sari-Tangerang,
Lulus Tahun 1990.
Pendidikan Informal : Informal Education:
1. Pelatihan Tehnology Of Parcipatoris (TOP), di selenggarakan oleh
The Asia Foundation-DFID, Hotel Santika-Jakarta, 2010;
2. Pelatihan Gender Analysis Budget, diselenggarakan oleh The Asia
Foundation, Hotel-Santika, Jakarta, 2009;
57
3. Pelatihan Analisis Anggaran dan Advokasi Anggaran Publik,
diselenggarakan oleh Seknas Fitra Jakarta, Hotel Niko, Jakarta
Tahun 2009
4. Traning, Legal Aid Service of Agrarian Reform, KPA-YLBHI,
Jakarta, 2009
5. Training, “Prinsip-prinsip Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC)”, Patnership for Governance Reform Indonesia, Surabaya, 2007
6. Traning, Pencegahan Gratifikasi di Daerah, KPK, Mataram, 2007 7. Traning, Investigasi dan Penelitian Hukum Jejaring KY, Komisi
Yudisial RI, Jakarta, 2006 8. Pendidikan Fasilitator Perdamaian (Early Warning System and
Early Respon System untuk pencegahan dan penanganan konflik
komunitas), diselenggarakan oleh Institute Titian Perdamaian
(ITP)-Jakarta bekerjasama dengan NZAID, Febuari s.d. desember
tahun 2006 di Bogor.
9. Training, Legal Drafting, Departemen Hukum dan HAM - Asia Law, Jakarta, 2005
10. Pendidikan Advokat, diselenggarakan oleh Univ.Mataram
kerjasama dengan IPHI-Mataram, tahun 2005
11. Pelatihan Legislative Drafting (Penyusunan Peraturan Perundang-
Undangan) diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) Jakarta, Tahun 2003.
12. Pelatihan Investigasi Korupsi, diselenggarakan oleh Indonesia
Corruption Watch, jakarta Tahun 2003
13. Pelatihan Investigasi Korupsi, diselenggarakan oleh Solidaritas
Masyarakat Transparansi Nusa Tenggara Barat (SOMASI NTB,
2003
14. Strategi Planing Membangun Organisasi Massa, The Asia Foundation, Mataram, 2003
15. Pelatihan Advokasi diselenggarakan Yayasan Koslata, Tahun 1998
16. Mengiktui berbagai Seminar, Workshop, Lokakarya dan lain-lain.
Riwayat Pengalaman Kerja Summary of Working Experience
1. Staf Ahli DPRD Kabupaten Sumbawa Barat 2010 s.d. sekarang ;
2. Konsultan Hukum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) LKP-Sumbawa
Barat, 2010 s.d. sekarang
3. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa
Barat, Ketua Divisi Hukum periode 2004-2009.
4. Direktur Yayasan Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat
(LEGITIMID KSB) 2006 s.d. sekarang
58
5. Pendiri Lembaga Bantuan Hukum-Nusa Tenggara Barat (LBH-
NTB), 2006 s.d sekarang
6. Konsultanprogram Comunity Development PT, NNT Program
Pengembangan Ekonomi Masyarakat, tahun 2003-2004 (6 bulan
efektif).
7. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kabupaten
Sumbawa Barat (STIH-M), tahun 2008 s.d. 2010
8. Peneliti The Asia Foundation untuk program Indonesia Rapid
Decentralization Appraisal (IRDA)-The Asia Foundation, 2001-
2003
9. Badan Pekerja-Solidaritas Masyarakat Nusa Tenggara Barat
(SOMASI NTB), Koordinator Divisi Hukum dan Pemerintahan,
tahun 1998 s.d. 2004
10. Dewan Pendiri Lembaga Advokasi Rakyat Untuk Demokrasi
(LARDES) Kabupaten Sumbawa, tahun 2003
11. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Nusa Tenggara Barat,
Koordinator Divisi Pemantauan, Tahun 1999 s.d. 2000.
12. Wartawan TABLOID KILAS, tahun 1999 ;
13. Freelance/konstributor Radio Elshinta-Jakarta, tahun 2003
Riwayat Pengalaman Organisasi : Exprerience of Organization :
1. Koordinator Pergerakan Indonesia (PI) Nusa Tenggara Barat, 2003
2. Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa-Wahana Mahasiswa Pengabdi
Masyarakat (UKM-WMPM) Universitas Mataram, Tahun 1999.
3. Ketua Divisi Propaganda dan Agitasi, Forum Komunikasi
Mahasiswa Mataram (FKMM) 1997-1999.
4. Ketua Buletin Keadilan, Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Tahun 2000.
5. Anggota Dewan Pengurus Daerah Muhammadiyah KSB &
Sekretaris Muhammadiyah Center KSB.
6. Wakil Ketua Partai Golkar DPD Kabupaten Sumbawa Barat, 2010-
2015.
7. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam indonesia
8. Dll.
Riwayat Pengalaman dalam menangani perkara/kasus : Experience handling cases/case
59
No Perkara Posisi Keterangan 1 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Kabupaten Sumbawa Barat, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta.
Tergugat Menang
2 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Utara, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta
Tergugat menang
3 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok tengah, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta
Penggugat Kalah
4 Kasus Dugaan Ijazah Palsu Bupati Sumbawa Barat di Pengadilan Tata Nsaha Negara-Mataram
Tergugat Kalah
5 Kasus Perdata (Sengketa Tanah), Mantan Sekretaris Daerah KSB (H.Amrullah Ali) di Pengadilan Negeri Sumbawa
Tergugat Menang (eksepsi diterima)
6 Kasus Perdata (Sengketa Tanah), Asisten I KSB (Ir.H.M.Saleh) di Pengadilan Negeri Sumbawa
Tergugat Menang (eksepsi diterima)
7 Kasus Pidana dugaan money politik, Ketua Partai Demokrat KSB, anggota DPRD KSB, Achmad S.Ag.Msi
Tedakwa Menang (Putusan Bebas) jaksa ajukan kasasi
Karya-Karya ( Buku) yang telah di publikasikan : Works (Book) which has been published:
No Judul Buku Tahun dan penerbit Cover Buku 1 Mencabut Akar
Korupsi (Panduan Untuk Pemberantasan Korupsi)
Cetakan pertama tahun 2001 Diterbitkan oleh SOMASI NTB atas dukungan USAID dan The Asia Foundation
2 Mencabut Akar Korupsi
Cetakan kedua tahun 2003, tebal 157 halaman Diterbitkan oleh
3 Meretas Jalan Demokrasi Lokal : Pergeseran Peta Politik Sumbawa Barat, tebal 326 hal
4
Pilkada Langsung Sebuah Demokrasi Lokal
5 Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga,
SOMASI NTB atas dukungan USAID dan The Asia Foundation
Jalan
Lokal : Pergeseran Peta
Barat, tebal 326
Diterbitkan LEGITIMID kerjasama dengan Bappeda KSB Tahun 2007
Diterbitkan Tahun 2006, Oleh LEGITIMID Bekerjasama dengan KPU KSB
Pembangunan Berbasis Rukun
diterbitkan oleh LEGITIMID bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Pemda KSB, tahun 2006, tebal 84 hal
60
61
6 Scalling-up Pendidikan Gratis
diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Yayasan Tifa Foundation dan Bappeda tahun 2011, tebal 258 hal
7 Kesehatan Gratis Yang Mahal
diterbitkan oleh Yayasan Tifa Foundation tahun 2011, tebal 258 hal
8 Korupsi,
Konspirasi dan Pengegakkan Hukum
Diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara Barat, Tahun 2009, tebal 252
9 Pengelolaan Zakat di KSB
Diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Bappeda KSB, 2011
62
10 Pelimpahan Kewenangan Bupati ke Camat Sebagai usaha mendekatkan pelayanan publik)
Diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Bappeda KSB, 2011
11 Partisipasi dan obsesi
Cetakan Pertama, tahun 2002, Diterbitkan LP3ES, Mataram
12 Inovasi Best Practices Kabupaten Sumbawa Barat
Di terbitkan LEGITIMID Tahun 2009 Tebal 56 hal
Riwayat Pengalaman Penelitian dan Pengkajian Experience Research and Assessment Penelitian/kajian yang telah dilakukan antara lain adalah : No Judul
Studi/Penelitian Tahun Mitra
1 Indonesia Rapid Appraisal wilayah kabupaten Sumbawa
2001-2003
The asia foundation
2 Pola Korupsi di Pedesaan (10 desa) 2002 Ford foundation 3 Studi Pola Korupsi APBD di 4
kabupaten 2003 Ford foundation
4 Studi Kritis Kontrak Karya PT. Newmont Nusa Tenggara
2006 LBH-NTB
5 Studi Evaluasi Pemilihan Kepala Desa 2006 Pemda KSB 6 Studi Pemetaan Konflik di Kabupaten
Sumbawa Barat 2006 UNDP
7 Studi Dinamika politik desa 2006 Pemda KSB 8 Studi Sejarah Pembentukan Kabupaten
Sumbawa Barat 2006 Bappeda KSB
9 Studi Dinamika Sejarah Pilkada Langsung
2006 Bappeda KSB
10 Survey Kesehatan Ibu dan Anak 2006 GTZ 11 Studi membongkar jaringan mafia
penjualan telur penyu 2006 PT.NNT
12 Studi Dampak Ekonomi dan Perubahan Sosial Masy Tambang
2007 Pemda KSB
13 Studi Pengembangan pariwisata desa berbasis masyarakat
2007 Mandiri
63
14 Kajian Konsep Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga
2007 Pemda KSB
15 Kajian Konsep Sistem Informasi Orang Susah
2007 Pemda KSB
16 Kajian Konsep kedudukan dan peran RT, dulu dan sekarang
2007 The Asia Foundation dan Pemda KSB
17 Kajian Konsep Kader Pemberdayaan Masyarakat
2007 The Asia Foundation dan Pemda KSB
18 Studi peta konflik di wilayah lingkar tambang (10 desa)
2008 UNDP dan ITP Jakarta
19 Studi Local Budget Indexs dan Local Budget Social
2009 The Asia Foundation
20 Studi Pembentukan BUMDES 2009 Pemda KSB dan The Asia
Fouundation 21 Studi penyusunan RPJM Desa 2009 Pemda KSB 22 Studi Pembiayaan Sistem Kesehatan
gratis 2009 Pemda KSB
23 Studi Evaluasi penyelenggaraan pendidikan gratis
2009 The Asia foundation
24 Pemetaan peran Ormas Islam di KSB 2009 The Asia foundation
25 Studi pengembangan desa model di KSB 2009 Bappeda KSB 26 Studi Pelayanan Publik 2009 Bappeda KSB 27 Studi APBDES 2009 The Asia
Foundation 28 Evaluasi Kebijakan dan Implementasi
ADD 2010 Pemda KSB
29 Evaluasi dan penyusunan Renstra PBRT 2010-2015
2010 Dinas BPM dan Pemdes
30 Evaluasi kebijakan kesehatan gratis 2010 31 Studi APBB 2005-2010 (Local budget
Indeks 2010) 2010 Seknas Fitra dan
TAF 32 Indeks Kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan 2010 Bappeda dan
Dikes 33 Indeks kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan pendidikan 2010 The Asia
Foundation 34 Evalausi dana CSR PT.NNT 2010 Pemda KSB 35 Riset EWS daerah tambang 2009 Tifa Foundation
dan LBH NTB 36 Survey Jalan 2010 The Asia
Foundation 37 IKM Kesehatan 2011 Tifa Foundation 39 IKM Pendidikan 2011 Tifa Foundation 40 Studi dampak rokok 2010 Bappeda KSB 41 Pemetaan LSM Sumbawa Barat 2011 Bakesbanglinmas
64
KSB 42 Studi Penyusunan Naskah Akademik
dan Raperda kesehatan 2011 Tifa Foundation
43 Studi penyusunan naskah akademik dan raperda pendidikan
2011 Tifa Foundation
Keahlian selain Advokat Expertise in addition to the Advocate
Keahlian lain selaian sebagai Advokat/Pengacara adalah ; 1. Perancangan Peraturan Perundang-undangan (penyusunan
peraturan daerah)
2. Analisis APBD/Keuangan Daerah
3. Menulis Opini dan Buku
4. Fasilitasi Pendidikan Orang Dewasa
5. Investigasi kasus korupsi
6. Early Warning System dan Early Respon untuk konflik sosial
7. NGO
Demikian Daftar Riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya sebagai bahan pertimbangan. Sekongkang, 22 Desember 2011 Hormat saya SYAHRUL MUSTOFA, S.H.,M.H