64
1 KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH DI INDONESIA Oleh : Syahrul Mustofa, S.H.,M.H Perdebatan mengenai keberadaan Peraturan Daerah di Indonesia, telah menjadi perhatian dan perdebatan yang panjang. Hal ini, seiring dengan meningkatkan kuantitas dan keragaman materi perda dan berbagai produk hukum daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Perdebatan tersebut meliputi ; Pertama, kedudukan perda yang masuk dalam hirarakhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, padahal sebelumnya dalam sejarah perda tidak pernah masuk dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Kedua; meningkatnya “Perda Bermasalah”. Ketiga ; mekanisme dan bentuk pembatalan perda bermasalah, serta lembaga yang berwenang untuk membatalkan perda. Dalam beberapa tahun terakhir, kita juga menyaksikan disejumlah daerah mengalami gejolak sosial yang dipicu hadirnya perda bermasalah. Disisi lain, muncul ressitensi dari daerah terhadap putusan pembatalan perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Atas dasar itulah, sebelum dibahas lebih jauh mengenai judicial review Mahkamah Agung (MA) pada bagian pertama ini, saya akan membahas mengenai konsepsi peraturan daerah. Pembahasan ini akan

Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kedudukan perda di indonesia

Citation preview

Page 1: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

1

KEBERADAAN DAN KEDUDUKAN PERATURAN

DAERAH DI INDONESIA

Oleh : Syahrul Mustofa, S.H.,M.H

Perdebatan mengenai keberadaan Peraturan Daerah di Indonesia,

telah menjadi perhatian dan perdebatan yang panjang. Hal ini, seiring

dengan meningkatkan kuantitas dan keragaman materi perda dan

berbagai produk hukum daerah sejak diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Perdebatan tersebut meliputi ; Pertama, kedudukan perda yang

masuk dalam hirarakhi peraturan perundang-undangan di Indonesia,

padahal sebelumnya dalam sejarah perda tidak pernah masuk dalam

hirarkhi peraturan perundang-undangan. Kedua; meningkatnya “Perda

Bermasalah”. Ketiga ; mekanisme dan bentuk pembatalan perda

bermasalah, serta lembaga yang berwenang untuk membatalkan perda.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita juga menyaksikan disejumlah

daerah mengalami gejolak sosial yang dipicu hadirnya perda bermasalah.

Disisi lain, muncul ressitensi dari daerah terhadap putusan pembatalan

perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Atas dasar itulah, sebelum dibahas lebih jauh mengenai judicial

review Mahkamah Agung (MA) pada bagian pertama ini, saya akan

membahas mengenai konsepsi peraturan daerah. Pembahasan ini akan

Page 2: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

2

difokuskan landasan pembentukan perda, ruang lingkup dan jangkauan

materi peraturan yang dapat diatur dalam perda, kedudukan perda dalam

hirarkhi peraturan perundang-undangan, peran dan fungsi peraturan

daerah, prinsip-prinsip dalam proses dan materi perumusan perda serta

tahapan pembentukannya.

A. Kewenangan Daerah Otonom dan Ruang Lingkup Perda

Sejarah penyelanggaraan otonomi daerah di Indonesia telah

mengalami pasang surut dan telah beberapa kali Undang-Undang

Tentang Pemerintahan Daerah mengalami perubahan. Praktek otonomi

yang ada sekarang, sebenarnya telah diterapkan pada masa sebelumnya.

Secara historis, sebelum Republik Indonesia lahir, sesungguhnya pola

pendelegasian wewenang atau desentralisasi (otonomi) sudah

dipraktekkan dalam sistem pemerintahan daerah. Namun, dari beberapa

undang-undang yang telah diberlakukan selalu menuai kegagalan.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

adalah usaha desentralisasi yang kesepuluh untuk mencapai tujuan

otonomi daerah. Berikut kronologis upaya desentralisasi dalam bentuk

peraturan/perundang-undangan:

Tahun Bentuk Peraturan

Materi

1903 Desentralisatie Wet Tahun 1903

Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisatie Wet

Page 3: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

3

Tahun 1903.

1922 Pada tahun 1922 Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan untuk memberikan otonomi lebih besar kepada daerah untuk menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitasnya

1942 Pada tahun 1942. Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang, yang memerintah sampai dengan tahun 1945

1945 Undang Undang Nomor 1 Tahun

1945

Undang-Undang ini diterbitkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945

1948 Undang Undang Nomor 22 Tahun

1948

Undang-Undang 22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan

1957 Undang Undang Nomor 1 Tahun

1957

Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan UU 22/1948 pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi

1959 Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6

Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD

1965 Undang Undang Nomor 18 tahun

1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom

1974 UU Nomor 5 Tahun 1974

Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam prakteknya, prinsip dekonsentrasi

Page 4: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

4

yang lebih dominan

1999 UU NO 22/99 dan UU no 25/1999

Perundangan ini secara prinsip mengubah secara radikal hubungan pusat daerah, besarnya kewenangan daerah, dan perimbangan keuangan yang diatur secara khusus dalam UU no 25 99 sebagai buah reformasi 1999

2004 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun

2004

Perundangan ini menyempurnakan Undang-undang sebelumnya (UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999), karena pada masa berlakunya Undang-undang tersebut masih banyak terjadi persoalan dan banyak hal yang belum dicakup, seperti Pilkada Langsung

Penerapan otonomi daerah, merupakan salah satu upaya para

founding fathers negeri ini yang telah jauh dipikirkan sebelumnya. Oleh

karena itu, Secara konstitusional, sebelum perubahan UUD 1945 maupun

setelah perubahan UUD 1945. Daerah diberikan kewenangan untuk

membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Kentuan

diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD-RI 1945 (pasca perubahan) yang

berbunyi : Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan.

Berdasarkan konstitusi diatas, kemudian ditetapkanlah Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini

memberikan otonomi luas kepada daerah dengan tujuan untuk

mempercepat kesejahteraan masyarakat, dalam konteks itu daerah perlu

Page 5: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

5

meningkatkan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan

harus menerapkan prinsip demokrasi, pemerataan , keadilan serta

akomodatif terhadap kekhususan serta potensi dan keanekaragaman yang

dimiliki daerah dengan tetap berpegang pada sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Semangat penyarahan otonomi yang luas, bukan berarti

membebaskan lembaga legislatif dan eksekutif di daerah berbuat

semaunya dalam menetapkan perda. Meraka harus mengacu pada tujuan

otonomi daerah, yakni; percepatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan

inilah yang harus menjadi semangat utama yang harus dimiliki lembaga

legislatif dan eksekutif daerah dalam pembentukan perda.

Secara yuridis, ruang lingkup materi peraturan daerah telah diatur

dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa Materi

Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

kondisi khusus daerah serta pengaturan lebih lanjut peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Artinya, materi muatan perda dibatasi, yakni ; (a) untuk

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; (b)

menampung kondisi khusus daerah ; (c) pengaturan lebih lanjut peraturan

Page 6: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

6

perundang-undangan yang lebih tinggi (derivasi) atas undang-undang

diatasnya.

Namun, sayangnya aturan ini tidak mengatur lebih jauh mengenai ;

pertama, materi muatan apasajakah yang dibutuhkan untuk

penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, dan ; kedua, kriteria khusus

mengenai kondisi khusus daerah. Apakah menyangkut adat-istiadat,

kondisi geografis, potensi wilayah dan sebagainya. Akibatnya terjadi

pemahaman yang beragam (multitafsir) setiap daerah dan sarat dengan

kepentingan (interest) masing-masing level pemerintahan daerah yang

kemudian pada akhirnya menimbulkan potensi konflik kewenangan

maupun kepentingan antar level pemerintahan.

Pembatasan mengenai materi peraturan daerah, pada dasarnya

juga diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 18 ayat (1)

huruf d, ketetapan ini menegaskan bahwa keberadaan Peraturan Daerah

(Perda) sebagai upaya memperkuat kebijakan otonomi daerah. Persoalan

yang dihadapi sama halnya dengan ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004, yakni; tidak memberikan kejelasan mengenai

pedoman atau standar dan kriteria maupun cakupan materi apasaja yang

dibutuhkan bagi daerah dalam rangka penguatan kebijakan otonomi

daerah. Apakah penetapan Perda Pajak dan Retribusi dalam rangka

peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan bagian dari

kerangka penguatan kebijakan otonomi daerah ataukah justeru menjadi

faktor penghambat penguatan kebijakan otonomi daerah. Persoalan ini

Page 7: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

7

menjadi masalah yang cukup krusial, karena kepentingan, kebutuhan dan

cara pandang memahami otonomi daerah antar level pemerintahan yang

berbeda-beda.

Secara lebih rinci, memang pembatasan materi Perda yang boleh

ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sejauh ini, mengacu pada ketentuan

dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, beberapa pasal menyebut mengenai materi muatan Perda. Pasal

10 menentukan bahwa:

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan

yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan

Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri;

b. Pertahanan;

c. Keamanan;

d. Yustisi;

Page 8: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

8

e. Moneter dan fiskal nasional; dan

f. Agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri

atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah

atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau

Pemerintahan Desa.

(5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan

pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:

a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan

pemerintahan;

b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada

Gubernur selaku wakil Pemerintah; dan

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan

daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan

asas tugas pembantuan.

Ketentuan Pasal 10 di atas merupakan materi muatan umum untuk

Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (Pemerintah Pusat) yang

meliputi 6 hal tersebut. Selain sisa dari 6 hal di atas, materi muatan Perda

dapat ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah

kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat

menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa;

pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Page 9: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

9

Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada Pemerintahan

Daerah/atau Pemerintahan Desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Sulit untuk menentukan atau memastikan bahwa sisa dari yang 6

hal di atas menjadi seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini

dikarenakan ketentuan Pasal 10 ayat (5) masih membuka kemungkinan

adanya kewenangan urusan Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut.

Meskipun, dalam Pasal 11 sampai Pasal 18 membuat rincian mengenai

urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah, meliputi urusan

wajib dan urusan pilihan pemerintah Daerah (Provinsi dan Kab/Kota).

Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai urusan wajib yang merupakan

atau menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, yakni meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya

manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah

termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan mengenai urusan pilihan diatur dalam ayat (2)

dikatakan bahwa “ Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan

meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi

Page 10: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

10

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,

kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.

Dari ketentuan diatas, baik urusan wajib maupun urusan pilihan

yang menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi terlihat sangatlah luas

dan dapat ditafsirkan secara beragam dan luas oleh masing-masing

pemerintahan provinsi. Misalnya, terkait dengan perencanaan,

pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang atau pelayanan bidang

pertanahan. Begitupun halnya dengan urusan pilihan, tidak ada kejelasan

atau pedoman sebagai alat ukur untuk menilai urusan pemerintahan yang

secara nyata ada tersebut seperti apakah indikasinya, apakah ada dalam

pengertian secara fisik atau non fisik dan selama ini tidak ada mekanisme

verifikasi yang jelas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi

atas urusan pilihan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Provinsi untuk

memastikan apakah memang benar-benar ada urusan pilihan tersebut

ataukah hanya ada diatas meja kerja birokrasi.

Kondisi ini juga terjadi pada level Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota. Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota meliputi urusan

wajib dan urusan pilihan. Dalam pasal 14 dikatakan bahwa :

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal;

Page 11: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

11

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Sedangkan mengenai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang

bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan

berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Permasalahan yang dihadapi juga sama halnya dengan pemerintahan

Provinsi.

Meski dalam aturan diatas, mengatur mengenai urusan wajib dan

urusan pillihan bagi pemerintahan daerah namun rincian yang ditentukan,

dalam prakteknya selama ini ternyata masih membuka penambahan

urusan pemerintahan di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan

lainnya (wajib atau pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan”, yang dikenal dengan ketentuan delegasian. Disamping itu,

ternyata ada beberapa pasal yang secara jelas menyebutkan bahwa

urusan pemerintahan daerah diatur dengan Perda, misalnya Pasal 158,

Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan Pasal 200. Artinya, terkait dengan

kewenangan urusan pemerintahan di daerah tidak terbatas pada urusan

wajib dan urusan pilihan sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Secara teoritis dan pengalaman selama ini, ada dua cara dalam

penyerahan berbagai bagian dari bidang-bidang pemerintahan kepada

daerah otonom1. Pertama, cara penyerahan kewenangan berbagai

bagian dari bidang-bidang pemerintahan di rinci. Yakni berbagai bagian

dari bidang-bidang pemerintahan yang dirinci kemudian diserahkan

kepada daerah otonom dengan produk hukum, sedangkan berbagai

bagian dari diluar rincian atau yang tersisa menjadi kompetensi

1 Bhenyamin Hoessein, Memperkuat Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam

Penyelenggaraan/Penyediaan Prasarana Wilayah, Makalah disampaikan pada Lokakarya “merumuskan Format Kerjasama Pemerintah dan LSM di Bidang Pembangunan Prasarana Wilayah Dalam persfektif Otonomi Daerah” yang diselenggarakan LP3ES, pada tanggal 4 Oktober 2000

Page 12: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

12

pemerintah, dan daerah otonom tidak diperkenankan untuk melaksanakan

kewenangan dalam bidang pemerintahan dan/atau bagian-bagian dari

bidang pemerintahan yang belum atau tidak menjadi kompetensinya.

Metode desentralisasi dengan rincian seperti ini kita kenal pada

masa berlakunya UU.No.5 tahun 1974. Namun, metode ini memiliki

kelemahan, antara lain ; (a) berpotensi terjadi penyeragaman isi otonomi

daerah pada seluruh wilayah Indonesia; (b) Proses desentralisasi yang

berlangsung akan birokratis (dan memerlukan waktu yang panjang untuk

dapat direalisasikan oleh daerah otonom. (c) Pembagian kewenangan

yang luas akan lebih besar atau dominan dimiliki oleh Pempus

dibandingkan dengan Pemprov dan Pemkab/Pemkot ; (d) berpotensi

terjadi pengekangan terhadap daerah otonom yang berkemampuan untuk

berprakarsa menyelenggarakan bagian-bagian dari bidang pemerintahan

yang lebih baik; (e) kesulitan untuk dapat menyusun strategi yang jelas

dalam bidang pemerintahan yang dapat diselenggarakan secara

desentralisasi.

Metode penyerahan kewenangan yang kedua adalah dengan

penyerahan kewenangan berbagai bagian dari bidang-bidang

pemerintahan dengan urusan-urusan umum yang disebut “open end

arrangement”. Artinya, pemerintah Pusat membuka diri dan menyerahkan

rincian kewenangan tersebut kepada daerah untuk merincikan apa yang

menjadi kewenanganya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Secara prinsipil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menerapkan

metode open end arragemnent.

Kendati konsep ini relative cukup memadai, namun masih terdapat

adanya peluang dimana antar level pemerintahan saling merebut

kewenangan yang bersifat strategis, saling melempar tanggungjawab

terhadap urusan bidang yang tidak bersifat strategis.

Otonomi daerah memang bukanlah berarti bahwa seluruh

kewenangan atau bidang-bidang pemerintahan harus berada di daerah,

Page 13: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

13

melainkan hanya bidang-bidang tertentu saja yang bersifat lokalitas.

Sesuai dengan konsep “local government”, berbagai bagian dari bidang-

bidang pemerintahan yang ditangai Kabupaten/kota tentunya yang

bersifat lokalitas dan tidak bersifat nasional2. Sejauh ini, memang berbagai

bagian dari bidang-bidang pemerintahan yang menjadi kompetensi

Kabupaten/Kota sesungguhnya merupakan sisa dari berbagai bagian dari

bidang-bidang pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah Pusat

dan Propinsi. Dengan kata lain, residuary function berada di tangan

Kabupaten/kota.

Namun, sejauh ini belum ada undang- undang khusus yang

mengatur tentang hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan

(pusat dan daerah). Padahal, kewenangan pemerintahan merupakan

dasar utama untuk setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap

tingkat pemerintahan. Tanpa adanya dasar kewenangan yang sah, maka

berbagai tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap

tingkat pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan

yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikategorikan sebagai

pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. Oleh

sebab itu diperlukan adanya aturan khusus yang mengatur mengenai

hubungan kewenangan antar pemerintahan.

Pengaturan mengenai kewenangan pemerintahan tersebut penting,

karena pada prinsipnya kewenangan pemerintahan daerah secara umum

berasal dari atribusi, delegasi dan mandat serta tugas pembantuan

(medebewind). Secara prinispil, cara memperoleh kewenangan tersebut

memiliki implikasi terhadap derajat kewenangan itu sendiri. Sebagai

contoh, kewenangan delegasi akan menentukan level pemerintahan yang

lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah

(delegans). Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan

mandat dapat digambarkan bagaimana berbagai level pemerintahan

2 Ibid, Bhenyami Hossein, hal 7

Page 14: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

14

tersebut mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda

antara satu level pemerintahan dengan level pemerintahan lainnya.

Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara

berbagai level pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat

menciptakan perbedaan ruang lingkup kekuasaan dan tanggungjawab

di antara mereka.

Pengaturan mengenai prosedur, tata cara, kewenangan dan hal-hal

lain-lainnya tentang distribusi, atribusi dan delegasi kewenangan,

termasuk tugas pembantuan, pada dasarnya adalah untuk menata

hubungan hukum dan kekuasaan, baik yang bersifat statis maupun

dinamis, dari berbagai level pemerintahan yang ada. Hubungan hukum

dimaksud adalah berdasarkan prinsip harmonisasi dan sinkronisasi di

antara level-level pemerintahan yang ada sehingga tidak menciptakan

benturan kepentingan di antara pembuat dan pelaksana kewenangan,

baik di tingkat nasional, regional maupun lokal sehingga integrasi dan

sinergi di antara pembuat dan pelaksana kewenangan yang ada di

berbagai level pemerintahan yang ada dapat mengatur secara baik

koordinasi dan evaluasi dari hubungan kewenangan yang terjadi di antara

para pembuat dan pelaksana kewenangan tersebut.

Secara umum, bila dilihat materi terkait dengan undang-undang

nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata lebih

berfokus pada organisasi pemerintahan daerah. Undang-undang ini

mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari Pemerintah

Daerah dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai suatu organisasi

pemerintahan di tingkat lokal dan mempunyai hubungan yang dekat

dengan masyarakat sebagai konstituennya. Misalnya, tentang

kewenangan daerah sebagai daerah otonom, urusan wajib dan urusan

pilihan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, perangkat

organisasi pemerintahan daerah.

Meskipun dalam UU 32/2004 menegaskan kembali kedudukan

daerah otonom sebagai bagian integral dari negara kesatuan Indonesia

Page 15: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

15

dan daerah otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan

kewajiban mandiri, sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan

tetapi kedudukan (pemerintahan) daerah otonom adalah melaksanakan

berbagai kewenangan pemerintahan yang telah didesentralisakan oleh

Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan tersebut tetap berada di

tangan Pemerintah Pusat. Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan

daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan negara secara

keseluruhan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa undang-undang 32/2004

merupakan undang-undang yang mengatur tentang organisasi

pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi pemerintahan negara

kesatuan secara keseluruhan atau merupakan undang-undang yang

mengatur bagaimana suatu organisasi pemerintahan negara dijalankan

berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di daerah masing-masing.

Pengaturan mengenai Tata Hubungan Pusat dan Daerah

diharapkan nantinya akan menjadi pelengkap (complementary),

khususnya yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah daerah, memberikan kejelasan mengenai hubungan

kewenangan antara (pemerintah) nasional atau pusat dengan

(pemerintah) daerah, dan kewenangan antar daerah otonom di Indonesia

atau semacam software untuk menata hubungan kewenangan pusat dan

daerah, berkaitan dengan norma, prosedur dan aturan umum hubungan

kewenangan, sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

merupakan hardware, yang berbentuk antara lain organisasi dan para

pejabat pelaksana dari hubungan kewenangan tersebut.

Hirarkhi Peraturan Perundang-Undangan dan Kedudukan Perda

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 perundang-

undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga

Page 16: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

16

negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka peraturan perundang-undangan

bersifat umum-abstrak, yang dicirikan unsur-unsur antara lain; peraturan

tertulis, dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan

mengikat secara umum. Secara lebih spesisik produk hukum yang disebut

dengan peraturan perundang-undangan adalah bentuk tertulis, lembaga

atau pejabat yang membentuk; (tidak terbatas badan legislatif) dan sifat

mengikat umum aturan hukum. Jadi, mengacu pada pengertian tersebut,

maka patokan untuk menentukan produk hukum yang disebut dengan

peraturan perundang-undangan adalah bentuk tertulis, lembaga atau

pejabat yang membentuk; (tidak terbatas badan legislatif) dan sifat

mengikat umum aturan hukum.

Dalam kamus hukum Subekti, undang-undang sendiri diartikan

sebagai peraturan atau produk legislatif yang tertinggi yang dibentuk

bersama-sama oleh Presiden dan DPR3. Pengertian ini pada prinsipnya

sama dengan pengertian legislation (legislasi) yang diberikan oleh Black

Law Dictionary yaitu suatu produk hukum yang dibentuk oleh badan

legislatif. Perda dibentuk oleh Kepala Daerah bersama DPRD, karena ini

dapat dikategorikan sebagai produk hukum peraturan perundang-

undangan, namun sifat dan daya berakunya bersifat lokalistik. Konsep

tersebut jelas bahwa produk hukum yang namanya perundang-undangan

(legislasi) adalah produk aturan hukum yang melibatkan badan legislatif

di dalam pembentukannya.

Dalam ajaran Mostesquieu (pemisahan kekuasaan) kekuasaan

membentuk undang-undang adalah kekuasaan legislatif, karena itu

(hanya) ada pada badan (organ) legislatif (badan pembentuk undang-

undang). Badan (organ) eksekutif tidak mempunyai kekuasaan

membentuk undang-undang.4 Dalam sistem Amerika Serikat, Presiden

3 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita Jakarta, 1972, h. 99. 4 Amerika Serikat, The Constitution of the United States 1789, Pasal 1 ayat (1) : “All Legislatif powers here in granted shall be rested a Congress of the United States, which shall consisit of a senate and House of Representatives” Lihat Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen

Page 17: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

17

diberi hak untuk menolak mengesahkan undang-undang yang telah

disetujui Congress yang disebut hak veto. Tetapi, hak veto ini dapat

dikesampingkan dengan cara pemungutan suara ulang atas rancangan

undang-undang yang telah disetujui congress. Apabila dalam

pemungutan suara ulang disetujui dua pertiga atau lebih anggota

congress, veto Presiden tidak berlaku dan rancangan undang-undang

tersebut akan menjadi undang-undang tanpa disahkan Presiden.5

Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), tugas

pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang

yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif negara

kesejahteraan, pemerintah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan

kepentingan umum atau mengupayakan kesejahteraan sosial dengan

diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat

dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum. Bersamaan dengan

kewenangan untuk campur tangan tersebut, pemerintah juga diberikan

kewenangan untuk membuat dan menggunakan peraturan perundang-

undangan. Dengan kata lain, pemerintah juga memiliki kewenangan

dalam bidang legislasi. Mengapa kewenangan legislasi ini diberikan kepada

pemerintah, padahal berdasarkan paham trias politika (pemisahan

kekuasaan) kewenangan legislasi ini hanya dimiliki oleh lembaga

legislatif?.

Konsep pemisahan kekuasaan, khusus yang berkaitan dengan

fungsi eksekutif hanya sebagai pelaksana UU tanpa kewenangan membuat

peraturan perundang-undangan, seiring dengan perkembangan tugas

negara dan pemerintahan, bukan saja kehilangan relevansinya, tetapi

dalam praktik juga menemui banyak kendala. Hal ini dikarenakan badan

legislatif, jira mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tidak membentuk

segala jenis peraturan perundang-undangan, melainkan terbatas pada UU

dan Perda. Jenis peraturan perundang-undangan lain dibuat oleh

Hukum dan HAM, Terjemahan Konstitusi Negara Asing, (Jakarta: Depkeh & HAM, 2004), hal. 1. 5 Amerika Serikat, The Constitution of the United States, Pasal 1 ayat (7).

Page 18: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

18

administrasi negara. Selain itu, yang berjalan selama ini kewenangan

legislasi bagi pemerintah pada dasarnya berasal dari undang-undang,

yang berarti melalui persetujuan parlemen.

Dengan demikian, istilah peraturan perundang-undangan dapat

diartikan sebagai apa yang disebut oleh Buys6 sebagai wet in materiele

zijn, yaitu undang-undang yang memuat algemeen bindende voorschriften

(aturan-aturan yang mengikat umum). Bukan dalam pengertian wet in

formele zijn di mana DPR harus ikut membuatnya. Dengan demikian

pengertian peraturan perundang-undangan penekanannya pada sifat

mengikat umum dari aturan hukum itu, bukan pada badan atau pejabat

yang membentuknya.

Dalam praktek, tiada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang

secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan.

Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang menyebutkan

bahwa “perundang-undangan yang lebih rendah tidak bertentangan

dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya”7. Secara

hukum memang tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan

perundang-undangan, walaupun sistem hukum itu tidak terbatas pada

system perundang-undangan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa

tidak diatur?.

Pertama, system hukum positif tidak hanya berupa peraturan

perundang-undangan, melainkan juga meliputi hukum-hukum tidak

tertulis (yurisprudensi, hukum adat dan hukum kebiasaan).

Kedua, kaidah hukum tidak tertulis dapat juga dipergunakan

untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya, walaupun

tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Di

Inggiris, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

(delegated legislation) dapat diuji terhadap “common law” dan prinsip-

prinsip umum, seperti (bias, ultra vires, dll). Di Belanda, peraturan atau 6 Djokosutono, Hukum Tata Negara, dihimpun Harun Al Rasid, Ghalia Ind, Jkt, 1982, h. 47. 7 Sanny Kalsoem, “Pembaharuan Terib Peraturan Perundang-Undangan”, Makalah dipublikasikan dan didownload di htpp:// www.legalitas.org.

Page 19: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

19

keputusan administrasi negara dapat diuji terhadap asas-asas umum

penyelenggaraan administrasi negara yang baik (beginselen van behoorlijk

bestuur)8.

Secara teoritis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat

dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai “Stufenbau des Rechts”

atau “The hierarchy of Law” yang berintikan, bahwa “kaidah hukum

merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang lebih rendah

bersumber dari kaidah hukum yang lebih”9.

Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Rechts, maka harus

dihubungkan dengan ajaran Hans Kelsen tentang “Reine Rechtslehre atau

The pure theory of law (teori hukum murni) dan bahwa hukum itu tidak

lain dari kehendak penguasa (command of the souvereign).10 Menurut

teori hukum murni “hukum tidak lain dari system hukum positif yang

dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan perundang-

undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-kaidah yang

terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus (individual norm).

Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah

hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan

mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui

pemerintah atau pengadilan dalam negara.11

Karena tidak mungkin menempatkan putusan hakim dalam tata

urutan, maka pengertian Stufenbau des Rechts adalah tata urutan

peraturan perudang-undangan (kaidah umum). Menurut teori hukum

murni, bahwa objek kajian hukum (legal science) hanyalah mengenai isi

hukum positif. Sedangkan mengenai baik atau buruk suatu kaidah yang

mencerminkan system nilai tertentu, masalah tujuan hukum dan lain-lain,

8 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 202. 9 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Ruseel, New York, 1973, hlm. 123. 10

4 . Ibid, hlm. 302 11

Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 1.

Page 20: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

20

bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan objek filsafat.

Pandangan ini bertalian dengan paham “legal positivism”.

Beranjak dari hal tersebut diatas, kita dapat menelusuri kapam tata

urutan perundang-undangan diberlakukan di Indonesia. Pada masa Hindia

Belanda, bentuk-bentuk peraturan yang dikenal meliputi: (i) Undang-

Undang Dasar Kerajaan Belanda, (ii) Undang-Undang Belanda atau ‘wet’,

(iii) Ordonantie yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal

Hindia Belanda bersama-sama dengan Dewan Rakyat (Volksraad) di

Jakarta sesuai Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, (iv) Regerings

Verordening atau RV, yaitu Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh

Gubernur Jenderal untuk melaksanakan Undang-Undang atau ‘wet’, dan

(v) Peraturan daerah swatantra ataupun daerah swapraja12. Namun, pada

masa itu bentuk-bentuk peraturan belum disusun secara hierarkhis.

Setelah Indonesia merdeka mulai diperkenalkan bentuk-bentuk

peraturan baru, tetapi dalam prakteknya belum teratur karena suasana

belum memungkinkan untuk menertibkan bentuk-bentuk peraturan yang

dibuat. Di masa-masa awal kemerdekaan, kadang-kadang nota-nota

dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan

sebagai peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil

Presiden mengeluarkan Maklumat yang sangat terkenal yang isinya

membatasi tugas dan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang

ketika itu sangat berperan sebagai lembaga legislatif, tetapi maklumat itu

dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian sebagai Maklumat No.x

tertanggal 16 Oktober 194513.

Pada masa awal kemerdekaan, berlakunya UUD 1945 bentuk

peraturan perundang-undangan yang dikenal adalah Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan

Pemerintah. Dalam penjelasan juga disebutkan bahwa UUD adalah bentuk

konstitusi yang tertulis. Di samping yang tertulis itu masih ada pengertian

12 Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hal. 54-55. 13 Op.,Cit hal 3

Page 21: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

21

konstitusi yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum

masyarakat. Kemudian, pada masa Konstitusi RIS yang berlaku mulai

tanggal 27 Desember 1949, merubah bentuk-bentuk peraturan tersebut

menjadi Undang-Undang Federal, Undang-Undang Darurat, dan Peraturan

Pemerintah. Bentuk-bentuk peraturan tersebut mengalami perubahan

ketika pada masa berlakunya UUDS yang berlaku mulai tanggal 17

Agustus 1950, penyebutannya berubah menjadi Undang-Undang, Undang-

Undang Darurat, dan Peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain, dari

ketiga konstitusi ini, kita mengenal adanya Undang-Undang Dasar,

Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Undang-Undang Darurat, dan

Peraturan Pemerintah. Namun, konsep tentang tata urutan peraturan

perundang-undangan sebagaimana yang diajarkan oleh Hans Kelsen

belum digunakan.

Oleh karena beberapa bentuk peraturan (termasuk UUD) yang

termaktub dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti

tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk lain yang

lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali

ke UUD 1945, maka berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959

tertanggal 20 Agustus 1959 yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa di samping bentuk-bentuk

peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dipandang perlu

dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu:

1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli

1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945.

2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk

melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang

dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan

Presiden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan

Page 22: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

22

Pemerintah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD

1945.

4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau

meresmikan pengangkatan-pengangkatan.

5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh

kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen

pemerintahan, masing-masing untuk mengatur sesuatu hal dan

untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-

pengangkatan.

Bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di atas, ternyata

menimbulkan kekacauan antara satu bentuk dengan bentuk peraturan

yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan

adalah Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang menimbulkan

ekses dimana-mana. Hal ini dikarenakan banyak materi yang seharusnya

diatur dalam UU, justru diatur dengan Penetapan Presiden ataupun

Peraturan Presiden. Sementara, banyak di antara penetapan dan

peraturan itu yang isinya menyimpang dari amanat UUD 1945.

Pada masa ini konsepsi mengenai penetapan yang bersifat

administratif berupa pengangkatan-pengangkatan yang berisi putusan-

putusan yang bersifat ‘beschikking’ mulai dibedakan dengan putusan yang

berbentuk mengatur (regeling). Istilah Keputusan Presiden ataupun

Keputusan Menteri secara khusus dikaitkan dengan jenis putusan yang

bersifat administraftif.

Bila ditilik dari aspek kesejarahan, maka pada masa Hindia

Belanda maupun pada Masa Orde Lama sesungguhnya yang baru diatur

adalah mengenai bentuk-bentuk dari peraturan, sementara jenis dan tata

urutan peraturan perundang-undangan (hirarkhi) pada prinsipnya belum

pernah dituangkan atau ditetapkan secara sistamtis dan komprehensif. Hal

ini tercermin dari berbagai produk peraturan yang ditetapkan pada masa

ini. Misalnua dalam UU No.1/1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan

Page 23: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

23

Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (dikeluarkan

berdasarkan UUD 1945) dan UU No.2/1950, ternyata hanyalah

Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran

Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan

Mengumumkan dan Mulai Berlakunya UU Federal dan Peraturan

Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal (dikeluarkan berdasarkan

KRIS 1949)14.

Demikian pula dalam Surat Presiden kepada DPR No.2262/HK/59

tanggal 20 Agustus 1959 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, dan

Surat Presiden kepada DPR No.2775/HK/59 tanggal 22 September 1959

tentang Contoh-Contoh Peraturan Negara, serta Surat Presiden kepada

DPR No.3639/HK/59 tanggal 26 Nopember 1959 tentang Penjelasan Atas

Bentuk Peraturan Negara, jenis peraturan perundang-undangan yang

disebutkan dalam Surat-surat tersebut pun tidak ditata secara hirarkis

seperti sekarang ini 15.

Oleh sebab itulah, pada masa-masa awal kemerdekaan berbagai

masalah terkait dengan peraturan perundang-undangan seringkali muncul,

karena ketidakjelasan kewenangan, bentuk dan materi, serta tata urutan

peraturan perundangan-undangan, tidaklah mengherankan jika Wakil

Presiden kemudian melampaui batas kewenangannya, seperti

mengeluarkan Maklumat untuk membatasi tugas dan fungsi Komite

Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang ketika itu berperan sebagai

lembaga legislatif (Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945).

14 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) ditetapkan dengan Keppres RIS No.48 tanggal 31 Januari 1950 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara No.50-3 yang diundangkan pada tanggal 6 Pebruari 1950. Penulis lebih senang menuliskannya dengan KRIS 1949, karena terbentuknya Republik Indonesia Serikat adalah tahun 1949. Dengan menggunakan istilah/nama KRIS 1949 menurut Penulis untuk membedakannya dengan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, yang menggantikan KRIS 1949, karena kita kembali kepada bentuk negara kesatuan bukan negara federal lagi. UUD Sementara ini Penulis sebut UUDS 1950. 15 Machmud Aziz, Jenis dan Tata Susunan/Urutan (Hierakhi) Peraturan Perundang-Undangan Menurut UUD-RI dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan, Makalah di publikasikan di www.legalitas.org.

Page 24: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

24

Setelah tumbangnya pemerintahan orde lama pada tahun 1966,

dalam rangka penataan kembali bentuk-bentuk peraturan perundang-

undangan tersebut dengan maksud mengadakan pemurnian terhadap

pelaksanaan UUD 1945, maka pada tahun 1966 dikeluarkan Ketetapan

MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk

Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945. Ketetapan MPRS

tersebut menugaskan Pemerintah untuk bersama-sama dengan DPR

melaksanakan peninjauan kembali produk-produk legislatif, baik yang

berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang,

ataupun Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.

Pada tanggal 9 Juni 1966 DPR-GR mengeluarkan memorandum

yang diberi judul Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR ini kemudian dalam Sidang

MPRS Tahun 1966 (20 Juni – 5 Juli 1966) diangkat menjadi Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor

XX/MPRS/1966 (disingkat TAP MPRS No.XX/MPRS/1966). Pada masa inilah

baru diatur mengenai bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia yang disusun secara hirarkis. Adapun Tata

urutan, yang diatur adalah sebagai berikut :

1. UUD 1945;

2. Ketetapan MPR (TAP MPR);

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

(Perpu);

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden;

Page 25: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

25

6. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti :

- Peraturan Menteri;

- Instruksi Menteri;

- dan lain-lainnya.

Dengan telah diaturnya jenis peraturan perundang-undangan

secara hierarkis, maka kekuatan hukum dari masing-masing peraturan

perundang-undangan akan sangat ditentukan dari hierarki tersebut. Oleh

sebab itu, pengetahuan mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-

undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-

undangan karena :

a. setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus

dapat ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-

undangan tertentu yang menjadi landasan atau dasarnya

(landasan yuridis);

b. tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan

landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan

perundang-undangan, melainkan hanya peraturan perundang-

undangan yang sederajat atau lebih tinggi yang dapat

mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan sederajat

atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah tidak dapat dijadikan dasar peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan

betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan

perundang-undangan;

c. pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip

bahwa peraturan perundang-undangan yang sederajat atau

yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan perundang-

undangan yang sederajat atau lebih rendah. Prinsip ini

mengandung beberapa hal :

Page 26: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

26

1) pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada

hanya mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-

undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi;

2) dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang sederajat lainnya, maka berlaku peraturan

perundang-undangan yang terbaru dan peraturan

perundang-undangan yang lama dianggap telah

dikesampingkan (lex posterior derogat priori);

3) dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi tingkatnya bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya;

d. dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang

mengatur bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-

undangan yang mengatur bidang umum yang berkaitan

dengan bidang khusus tersebut dikesampingkan (lex specialis

derogat lex generalis).

e. pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis

peraturan perundang-undangan kaitannya dengan materi

muatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan

undang-undang adalah berbeda dengan materi muatan

peraturan presiden. Materi muatan biasanya tergantung dari

delegasian atau atribusian peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi atau sederajat.

Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk

peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan. Konsekuensi

penting dari asas-asas (prinsip-prinsip) di atas, maka harus diadakan

mekanisme yang menjaga dan menjamin agar prinsip tersebut tidak

disimpangi atau dilanggar. Mekanismenya, yaitu ada system pengujian

Page 27: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

27

secara yudicial atas setiap peraturan perundang-undangan, atau kebijakan

maupun tindakan pemerintah lainnya, terhadap peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi, yaitu UUD.

Tanpa konsekuensi tersebut, maka tata urutan tidak akan berarti.

Salah satu argumentasi Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung

Amerika Serikat tahun 1803 membatalkan “Judiciary Act 1791”, karena

“bertentangan dengan UUD sebagai supreme law of the land”. Secara

teoritis, UUD 1945 memberi peluang pengujian secara yudisial (yudicial

review), karena tidak ada ketentuan yang menyatakan, bahwa UU tidak

dapat diganggu gugat, seperti dalam Pasal 95 ayat (2) UUD S 1950 dan

Pasal 130 ayat (2) KRIS. Anomali baru di atur dalam Tap. No.

III/MPR/2000 yang menyatakan, bahwa “hak menguji undang-undang ada

pada MPR”. Penguyjian terhadap peraturan perundang-undangan

merupakan persoalan hukum, bukan persoalan politik, karena itu tidak

tepat hak penguji undang-undang ini diberikan kepada MPR. Apabila

demikian, maka sadar atau tidak sadar, ini berarti masih dianut “asas

undang-undang tidak dapat diganggu gugat”.

Sebenarnya dalam teori hukum tata negara, tidak ada organ negara

yang secara hukum lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap organ negara

mempunyai kedudukan dan wewenang sesuai dengan aturan hukum yang

mengaturnya. Sebagai lingkungan jabatan, organ negara memiliki sendiri-

sendiri lingkungan wewenang yang ditentukan oleh hukum, bukan oleh

hubungan hirarki antara organ itu dengan organ lainnya.

Secara prinspil, pada hakekatnya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966

dimaksudkan untuk menertibkan kekacauan system peraturan perundang-

undangan yang terjadi di masa Orde Lama, baik yang bertalian dengan

Page 28: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

28

kewenangan, macam, isi, maupun tata cara pembuatannya (selain

berbagai peraturan perundang-undangan, ada bentuk-bentuk lain yang

berasal dari Dekrit, yaitu “Penpres” dan “Perpres”). Namun, TAP MPRS

tersebut ternyata masih banyak mengandung berbagai kekurangan,

antara lain : (a) ketetapan MPRS ini hanya mengatur susunan peraturan

perundang-undangan tingkat pusat, sedangkan Peraturan Daerah (Perda)

tidak dimasukkan. Padahal Perda merupakan sub system peraturan

perundang-undangan. Perda tunduk pada salah satu asas umum, yaitu

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. (b) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan,

ketetapan ini memasukkan pula keputusan-keputusan yang tidak

tergolong peraturan perundang-undangan, seperti Instruksi Presiden

(Inpres). Inpres berisi ketentuan konkrit yang harus dilaksanakan atau

tidak dilakukan oleh penjabat administrasi negara. (c) dalam praktek,

ketetapan MPR tidak selamanya berbentuk peraturan perundang-

undangan. Misalnya Ketetapan MPR tentang Pengangkatan Presiden dan

Wakil Presiden. Ketetapan semacam ini bukan peraturan perundang-

undangan, karena mengatur sesuatu yang konkrit dan individual

(einmalig). Dalam hukum administrasi negara, digolongkan sebagai

“beschikking”. (d) Keputusan Presiden (Kepres) mengenai pengakatan

pejabat bukan merupakan peraturan perundang-undangan.

Beberapa kelemahan diatas dapat dimafhumi karena TAP MPRS

diatas disusun dalam keadaan yang mendesak dan dalam transisional.

Pemerintah Orde Baru yang bertekad untuk melakukan penyempurnaan

ternyata hingga berakhir, ternyata tidak merubah ketetapan tersebut.

Bahkan, kekacauan dalam sistem perundang-undangan pun tetap

berlangsung pada masa itu, banyak peraturan kebijakan (policy rules,

beleidsregels) yang bersumber pada asas kekebasan bertindak (freis

ermessen, beoonderlingsvrijeheid) dibuat oleh Pemerintah Orde Baru

tanpa memperhatikan tertib peraturan perundang-undangan, asas umum

Page 29: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

29

penyelenggaraan administrasi negara yang baik dan wajar (algemen

beginselen van behoorlijk berstuur atau the geneleral principle of good

administration) atau dengan kata lain banyak terjadi penyimpangan

kekuasaan (abuse of power)16.

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru yang dimulai dengan

berhentinya Presiden Soeharto tanggal 21 Juli 1998, dilanjutkan dengan

Sidang Istimewa (SI) MPR pada tahun yang sama. Pada Sidang Tahunan

MPR tahun 2000, MPR menetapkan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai

pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Jenis dan tata urutan (susunan)

peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 2 TAP MPR No.

III/MPR/2000 adalah17:

1. UUD-RI;

2. Ketetapan (TAP) MPR;

3. Undang-Undang (UU);

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);

16 Contoh kasus seperti Kasus BLBI bersumber dari Aturan Kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres), Kasus Mobil Nasional yang bersumber dari Kepres, Kenaikan harga BBM yang bersumber dari Perpres. 17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata perundang-undangan dirartikan sebagai " yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang. Adapun kata, " undang-undang diartikan " ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif dsb) disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dsb) ditandatangani oleh kepala negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat" Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan " wettelijke regelingen ". Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari "algemene verorderingen". Menurut A. Hamid SA, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan "wettelijke regelingen" maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena didalamnya tidak termasuk " wetten " ( undang-undang ) dan AmVB diterjemahkan dengan "peraturan pemerintah" yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang dibuat d Hindia Belanda. Apabila "peraturan perundang-undangan" merupakan terjemahan "dari algemene verorderingen, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet) , peraturan pemerintah (AmVB) , dan Ordonansi-ordonansi. Dalam Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Lihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Page 30: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

30

5. Peraturan Pemerintah (PP);

6. Keputusan Presiden (Keppres); dan

7. Peraturan Daerah (Perda).

Menindaklanjuti amanat dari Pasal 22A Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, maka pada tanggal 22

juni 2004 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan (disingkat UUP3). Undang-Undang ini

dibentuk dalam rangka :

1. untuk mendukung salah satu syarat dalam rangka

pembangunan hukum nasional yakni adanya cara dan

metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua

lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-

undangan.

2. untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses

pembentukan peraturan perundang-undangan.

3. mengganti ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan

peraturan perundang-undangan termasuk tehnik

penyusunannya yang ada selama ini, yang diatur secara

tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa

kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka

agar sesuai dengan perkembangan hukum ketatanegaraan

Republik Indonesia, pasca amandemen Undang-Undang

Dasar 1945. Ketentuan-ketentuan yang ada tersebut termuat

pada :

Page 31: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

31

1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie,

yang disingkat AB (Stb. 1847 : 23) yang mengatur

ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-

undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, ketentuan AB

tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan

nasional.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang

Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang

Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang

ini merupakan Undang-Undang dari Negara Bagian

Republik Indonesia Yogyakarta.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang

Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang

Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia

Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan,

dan Mulai berlakunya Undang-Undang Federal dan

Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang

Federal.

Selain dalam Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang

Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang

dan Peraturan Pemerintah ;

b. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234

Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi

Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen

Kehakiman ke Sekretariat Negara;

Page 32: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

32

c. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang dan Rancangan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia;

d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188

Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang;

e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan

Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,

dan Rancangan Keputusan Presiden;

Dalam undang-undang ini hierakhi peraturan perundang-undangan

diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut;

1. UUD Negara Republik Indonesia, Tahun 1945.

2. UU/Perpu.

3. Peraturan Pemerintah (PP).

4. Peraturan Presiden (Perpres).

5. Peraturan Daerah (Perda) yang meliputi :

- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh DPRD provinsi

bersama gubernur.

- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD

kabupaten/kota bersama bupati/walikota.

Page 33: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

33

- Peraturan Desa/peraturan setingkat, dibuat oleh Badan

Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan

Kepala Desa atau nama lainnya.

UUP3 menempatkan sumber hukum dari segala sumber hukum

negara adalah Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari

segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila

sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa

dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila.

Sedangkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar

negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan

perundang-undangan di bawah UUD. Dengan demikian, semua peraturan

perundang-undangan harus bersumber pada UUD 1945 dan tidak boleh

bertentangan dengan UUD 1945.

Kendatipun demikian, bila dibandingkan, hirarkhi peraturan

perundang-undangan yang diatur dalam TAP MPR No III/MPR/2000

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka terdapat perbedaan

dan pergeseran, mulai dari istilah, seperti UUD-RI dengan UUD Negara

Republik Indonesia, Tahun 1945, hingga tata urutan, berikut ini adalah

perbandingan nya:

Tabel : perbandingan Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan dalam TAP

MPR No.III/MPR/2000 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Jenis Perundang- TAP MPR Undang-Undang Nomor

Page 34: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

34

undangan No.III/MPR/2000 10 Tahun 2004 TAP MPR Diatur dan berada pada

nomor kedua Tidak dimasukkan dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan

Perpu Diatur namun berada pada nomor urut keempat setelah undang-undang

Diatur namun berada pada posisi nomor dua sejajar dengan undang-undang

Peraturan Presiden

Tidak diatur dan tidak dimasukkan kedalam hirakhi perundang-undangan

Diatur dan dimasukkan kedalam hirarkhi perundang-undangan, berada pada nomor keempat

Keputusan Presiden

Dimasukkan kedalam hirakhi perundang-undangan

Tidak dimasukkan dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan

Sumber : data diolah dari TAP MPR No.III/MPR/2000 dan UU.No.10 Tahun 2004

Dari gambaran diatas, terlihat beberapa kelemahan ; pertama,

adanya inkonsistensi dalam meletakkan tata urutan peraturan perundang-

undangan dalam TAP MPR No III/MPR/2000 dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004. Misalnya, terkait dengan kedudukan Perpu. Dalam

TAP MPR No.III/MPR/2000 Perpu berada pada nomor keempat dibawah

Undang-Undang sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004, Perpu berada pada nomor 2 sederajat dengan Undang-Undang.

Kondisi ini tentu saja berimplikasi terhadap mekanisme penyelesaian

sengketa judicial review oleh Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah

Agung dalam menguji peraturan perundang-undangan dibawah, jika

mengacu pada kedua aturan tersebut diatas, tentu akan berbeda.

Kedua, belum adanya kejelasan pembedaan antara putusan-

putusan yang bersifat mengatur (regeling) dan putusan-putusan yang

bersifat penetapan administratif (beschikking). Misalnya, terkait dengan

Peraturan Presiden (regeling) dan Keputusan Presiden (beshkking). Meski

kedua peraturan ini sama-sama dibuat oleh Presiden, namun penempatan

urutannya berbeda. Secara teoritis, putusan yang bersifat administratif

Page 35: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

35

(beschikking) selama ini lebih kepada pengaturan yang sifatnya individual

dan konkrit, tidak berisi pengaturan terhadap kepentingan umum (publik),

karena itu tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-

undangan. Namun, dalam TAP MPR No III/MPR/2000 masuk dalam tata

urutan perundang-undangan. Sebaliknya, Perpes Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004, justeru Pepres yang dimasukkan sedangkan Kepres tidak

masuk dalam bentuk tata urut peraturan perundang-undangan.

Dalam praktek, selain bentuk-bentuk peraturan yang bersifat

mengatur, memang ada pula bentuk-bentuk peraturan yang disebut

dengan ‘beleidsregels’ (policy rules) atau peraturan kebijakan. Bentuk

peraturan kebijakan ini memang dapat juga disebut peraturan, tetapi

dasarnya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’ dalam rangka

prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’, yaitu prinsip

kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai

tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum.

Berdasarkan prinsip ini, sudah seyogyanya suatu pemerintahan itu

diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas dalam usahanya

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, yang tidak selalu atau bahkan

tidak mungkin ditentukan secara rinci dalam bentuk peraturan-peraturan

yang kaku. Inilah yang pada mulanya menjadi dasar pembenar sehingga

muncul Keputusan-Keputusan Presiden yang turut mengatur, meskipun

bukan dalam arti ‘regeling’ (public regulation). Akan tetapi, agar konsisten

dan konsekwen mengikuti sistematika pemisahan kekuasaan legislatif dan

eksekutif secara tegas, kiranya prinsip ‘freis ermessen’ tidak digunakan

sepanjang menyangkut pembuatan peraturan dalam arti teknis. Prinsip

kebebasan bertindak itu cukup diimplementasikan dalam bentuk Instruksi

Presiden ataupun Keputusan-Keputusan yang tidak diperlakukan sebagai

peraturan.

Ketiga, TAP MPR No III/MPR/2000 tidak memasukkan Peraturan

Menteri dalam tata urutan perundang-undangan. Padahal, peraturan

menteri sebelumnya dan selama ini banyak dikeluarkan sebagai pedoman

Page 36: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

36

bagi Pemerintahan Daerah atau pelaksanaan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Disamping Peraturan Menteri beberapa jenis

peraturan perundang-undangan lain tidak ditempatkan adalah :

a. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat

pseudowetgeving);

b. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan

(regeling);

c. Peraturan Bank Indonesia;

d. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat

pengaturan regeling;

e. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan

(regeling), yang didasarkan pada kewenangan

derivatif/delegatif yang diberikan oleh Presiden,

UU/PP.

Oleh sebab itulah, muncul banyak permasalahan antara lain adalah

dimanakah Kedudukan peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh

lembaga tinggi negara seperti BPK dan MA akan ditempatkan, apakah

sederajat dengan Menteri, Bank Indonesia, dan bahkan dengan Badan,

Lembaga dan Komisi? Apakah Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan

Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

Pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan Keputusan Presiden, dan

bahkan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah Propinsi,

Peraturan Daerah Kabupaten, dan bahkan Peraturan Desa? Bagaimana

Keputusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sesuatu perkara kasasi

tidak boleh bertentangan semua ketentuan peraturan yang tingkatannya

di bawah Undang-Undang? Padahal, sesuai dengan asas kebebasan

hakim, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, putusan

hakim itu dapat saja bertentangan dengan Undang-Undang.

Page 37: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

37

Jika mengacu pada asas-asas peraturan perundang-undangan,

maka peraturan atau keputuasan yang dibuat oleh lembaga negara

tingkat Pusat yang berlaku pada seluruh wilayah Republik Indonesia

tentunya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan peraturan

perundang-undangan tingkat Daerah yang hanya bersifat lokal/regional.

Oleh karena jika ditempatkan di bawah Perda, pertama, akan

bertentangan dengan asas hierarki peraturan perundang-undangan.

Kedua akan bertentangan dengan asas wilayah berlakunya peraturan

perundang-undangan.

Keempat, Kedudukan Peraturan Daerah yang di dalamnya

tercakup Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan

Peraturan Desa seakan-akan memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-

sama Peraturan Daerah yang dalam tata urutan tersebut ditentukan

berada dalam tata urutan ketujuh.

Secara teoritik dan dalam prakteknya selama bahwa setiap

lembaga/pejabat negara tertentu dapat diberikan kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan baik oleh UUD maupun UU.

Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga atau pejabat itu

dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan

delegatif/derivatif. Kewenangan atributif dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah kewenangan asli (orisinil) yang diciptakan –

sebelumnya tidak ada – oleh UUD atau UU yang diberikan kepada

lembaga atau pejabat tertentu.

Sedangkan kewenangan derivatif/delegatif adalah kewenangan

yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada pejabat atau

lembaga tertentu dibawahnya, untuk mengatur lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif.

Sebagai contoh kewenangan atributif misalnya adalah UU No. 4 Tahun

200 Tentang Mehkamah Agung, Mahkamah Agung memiliki kewenangan

Page 38: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

38

untuk menguji dan membatalkan peraturan perundang-undangan

dibawah.

Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul “Menyongsong

Fajar Otonomi Daerah” menyatakan: “Peraturan Daerah sebagai bentuk

peraturan perundang-undangan tingkat daerah hanya terbatas mengatur

hal-hal dibidang administrasi negara, tidak dibidang ketatanegaraan.

Peraturan daerah bersifat administratiefrechtelijk, tidak bersifat

staatsrechtelijk karena hanya berfungsi mengatur kekuasaan daerah

otonomi dibidang administrasi Negara”18.

Dalam kaitannya dengan pengertian administrasi Negara, Philipus

M Hadjon dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”

(Introduction to the Indonesian Administative Law) setelah mengkaji

secara mendalam dan tajam dari berbagai sumber baik asing maupun

Indonesia, berkesimpulan bahwa administrasi (negara) dalam hukum

administrasi Negara hanya meliputi lapangan bestuur (lapangan kegiatan

Negara di luar wetgeving dan rechspraak). Dengan demikian dapat

diartikan administrasi (negara) adalah kegiatan negara dalam bidang

pemerintahan (eksekutif). Berbeda dengan pengertian administrasi Negara

dalam ilmu administrasi negara yang meliputi seluruh kegiatan Negara

(legislative, eksekutif dan yudisial)19.

Berangkat dari keberadaan Perda sebagai pelaksanaan otonomi

yang hanya menyelenggarakan tugas-tugas administrasi Negara

(pemerintahan), bahwa dalam rangka desentralisasi yang diwujudkan

dalam bentuk otonomi delegasi wewenang kepada daerah hanyalah dalam

bidang pemerintahan (eksekutif) tidak dalam bidang legislative dan

yudisial. Seperti yang dikatakan Bagir Manan, hubungan pusat dan

daerah dalam sistem otonomi pada dasarnya hanya menyangkut 18 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) UII Yogyakarta, 2001, h. 105. 19 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law) Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta, 1993, hal. 5.

Page 39: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

39

hubungan dibidang penyelenggaraan administrasi Negara20. Selanjutnya

dikatakan meskipun kepada daerah (otonomi) diberi wewenang mengatur

sehingga perlu diadakan DPRD sebagai kekuasaan legislative daerah, tidak

akan menghapus dasar hubungan pusat dengan daerah yang terbatas

dibidang administrasi negara21. Dengan pendapat tersebut yang

didelegasikan oleh pemerintah kepada Daerah dalam rangka otonomi

adalah masalah pemerintahan (eksekutif) tidak dalam bidang legislative

dan yudisial. Karena Perda pada hakekatnya hanyalah dalam rangka

menyelenggarakan pemerintahan otonomi (eksekutif), maka substansinya

mengacu pada undang-undang yang mengatur tentang otonomi yaitu

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sejalan dengan itu penulis berpendapat bahwa meskipun daerah

(otonomi) diberi wewenang mengatur urusannya berdasarkan konstitusi

maupun UU, dan Perda ditetapkan oleh Pemda dan DPRD (parlemen)

daerah. Namun, Perda tidak dapat mengalahkan Peraturan yang dibuat

oleh Mahkamah Agung maupun Lembaga Tinggi Negara lainnya.

Mencermati Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 7

sebagaimana diatas, memang seakan-akan jenis peraturan perundang-

undangan bersifat limitatif, hanya berjumlah 5 (lima) yaitu Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Hal ini berarti di

luar dari kelima jenis tersebut sepertinya bukan dikategorikan sebagai

peraturan perundang-undangan.

Namun demikian dalam Pasal 7 ayat (4) dan dalam Penjelasanya

disebutkan bahwa“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam

ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis

20 Bagir Manan, Opt.,Cit, hlm 105 21 Ibid

Page 40: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

40

Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga,

atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau

pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Dari ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut, jika ditafsirkan secara

gramatikal, berdasarkan interpretasi dan logika hukum, serta

memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,

maka jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7

tidak bersifat limitatif. Artinya, di samping 5 (lima) jenis peraturan

perundang-undangan yang telah disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 7

ayat (1), terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang selama

ini secara faktual ada dan itu tersirat dalam rumusan Pasal 7 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Jenis peraturan perundang-

undangan lain yang tidak ditempatkan pada Pasal 7 ayat (1) antara lain

adalah :

1. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat

pseudowetgeving);

2. Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);

3. Peraturan Bank Indonesia;

4. Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan

(regeling);

b. Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan (regeling) yang

didasarkan pada kewenangan delegatif yang diberikan oleh

Presiden, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian maka jenis dan bentuk aturan hukum dalam

ketentuan Pasal 7 tersebut secara kuantifikasi berjumlah 21 bentuk aturan

hukum yang meliputi:

Page 41: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

41

1. UUD RI Tahun 1945;

2. UU;

3. PP;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah;

6. Peraturan MPR;

7. Peraturan DPR;

8. Peraturan DPD;

9. Peraturan BPK;

10. Peraturan MA;

11. Peraturan MK;

12. Peraturan Gubernur Bank Indonesia;

13. Peraturan Menteri;

14. Peraturan Kepala Badan;

15. Peraturan Komisi;

16. Peraturan DPRD Provinsi;

17. Peraturan Gubernur;

18. Peraturan DPRD Kabupaten;

19. Peraturan Bupati;

20. Peraturan Walikota;

21. Peraturan Desa.

Namun, permasalahannya adalah dimanakah penempatan

kedudukan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh masing-

masing lembaga tersebut, ketidakjelasan hirarkhi inilah dapat

menimbulkan persoalan, khususnya terkait dengan kekuatan hukum dari

massing-masing jenis peraturan tersebut. Apalagi bentuk aturan hukum

yang diatur tidak dipilah dalam kelompok-kelompok (kualifikasi)

wewenang aturan hukum, baik dari lembaga yang berwenang membentuk

aturan hukum maupun sumber wewenang aturan hukum.

Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Daerah

Page 42: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

42

Secara umum asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan (Perda) yang baik adalah meliputi :

i. kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak

dicapai);

ii. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis

peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh

lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan

yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh

lembaga/pejabat yang tidak berwenang);

iii. kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-

benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis

peraturan perundang-undangannya);

iv. dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan

Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridis, maupun sosiologis);

v. kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-

undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara);

vi. kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan

perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya); dan

Page 43: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

43

vii. keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan

pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses

pembuatan peraturan perundang-undangan).

Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana diatas,

dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah prinsip dalam proses

penyusunan Perda. Kedua, adalah prinsip dalam perumusan susbtansi

peraturan daerah.

Prinsip Dasar Proses Penyusunan Peraturan Daerah

Secara umum proses penyusunan Peraturan Daerah yang baik

adalah mengacu pada konsep nilai tata kelola pemerintahan yang baik

(good governance). Peraturan Daerah yang baik haruslah didasarkan

kepada kepentingan, kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakatnya

dan memperhatikan ketentuan sebagai berikut22:

(1) Menghindari pemberian kewenangan yang berlebihan.

(2) Menghindari pengaturan dan persyaratan yang tidak perlu,

berlebihan, dan sulit diterapkan.

(3) Mengakomodasi ketetapan yang bersifat transparan,

akuntabel, dan melewati proses pengambilan keputusan

yang benar.

(4) Melibatkan tokoh masyarakat setempat.

(5) Menyelenggarakan proses pelibatan publik yang luas, dan

(6) Meningkatkan efektivitas mekanisme penegakan hukum.

22 Modul Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, “Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan (Legal Drafting)”, diterbitkan oleh Departeman Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara, ADB-Loan, Jakarta, Juni 2007.

Page 44: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

44

Prinsip-prinsip dalam poses pembuatan peraturan perundang-

undangan setidaknya mengacu pada transparansi/keterbukaan,

partisipasi, koordinasi, dan keterpaduan.

Transparansi/keterbukaan.

Proses yang transparan memberikan kepada masyarakat: (1) informasi

tentang akan ditetapkannya suatu kebijakan, dan (2) peluang bagi

masyarakat untuk memberikan masukan dan melakukan pengawasan

terhadap pemerintah. Hal penting dalam proses pengambilan keputusan

adalah bahwa kegiatan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk

dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah secara

langsung. Proses yang transparan haruslah mampu meniadakan batas

antara pemerintah dan non pemerintah.

Partisipasi. Partisipasi mendorong: (1) terciptanya komunikasi publik

untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap proses

pengambilan keputusan pemerintah, dan (2) keterbukaan informasi

pemerintah yang lebih baik untuk kemudian menyediakan gagasan baru

dalam memperluas pemahaman komprehensif terhadap suatu isu.20

Partisipasi mengurangi kemungkinan terjadinya konflik dalam menerapkan

suatu keputusan dan mendukung penerapan akuntabilitas, serta

mendorong publik untuk mengamati apa yang dilakukan oleh pemerintah.

Partisipasi publik tercermin dalam: (1) kesempatan untuk melakukan

kajian terhadap rancangan keputusan; (2) kesempatan untuk memberikan

masukan; dan (3) tanggapan terhadap masukan publik dari pengambil

keputusan, dalam hal ini pemerintah.

Koordinasi dan Keterpaduan. Koordinasi dan keterpaduan/integrasi

berkaitan dengan hubungan antara pemerintah dan organisasi dalam

pemerintah - menyediakan mekanisme yang melibatkan instansi lain

dalam pengambilan keputusan secara utuh. Keterpaduan memerlukan

kombinasi yang harmonis antara wawasan dan aksi koordinasi, menekan

Page 45: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

45

konflik, membatasi ketidakefektivan, dan yang terpenting membatasi

jumlah produk hukum.

B. Prinsip Dasar Perumusan Substansi

Pada aspek Substansi peraturan perundang-undangan, seyogyanya

peraturan daerah menguraikan materi muatan dengan mengikuti prinsip-

prinsip kepastian hukum, fleksibilitas administrasi, akurasi secara ilmiah,

sosial-ekonomi, kegunaan, kejelasan, dan pendanaan berkelanjutan.

Akurasi Ilmiah dan Pertimbangan Sosial-Ekonomi. Setiap peraturan

daerah hendaknya disusun berdasarkan kajian keilmuan di dalamnya.

Suatu peraturan tidak bersifat normatif semata, melainkan juga harus

mencerminkan isu dan permasalahan sebenarnya, berikut strategi

pemecahan yang dibutuhkan masyarakat. Untuk dapat memastikan

kebutuhan yang sebenarnya dari para pemangku kepentingan, suatu

kajian akademis terhadap peraturan yang tengah dirancang atau

ditetapkan perlu dilakukan, dengan menekankan pertimbangan ilmiah,

sosial, dan ekonomi di dalamnya.

Pendanaan Berkelanjutan. Pendanaan berkelanjutan mengacu pada

pendanaan yang cukup untuk mengimplementasikan suatu peraturan.

Pada sebagian besar wilayah, pendanaan digunakan untuk keperluan

administrasi dan operasional, dan hanya sebagian kecil yang digunakan

untuk pelaksanaan program dan pembangunan, kecuali apabila ada

alokasi khusus. Keterbatasan kemampuan dalam mendukung pendanaan

merupakan salah satu alasan utama lemahnya penegakan hukum di

Indonesia.23

23

21 Ibid. dapat dilihat juga pada Asian Development Bank, “Draft Country Governance Assessment Report”, Indonesia.

Jakarta. 2002.

Page 46: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

46

Kejelasan. Peraturan dapat diterima untuk kemudian dilaksanakan

dengan baik hanya apabila memiliki kejelasan dan dapat dicerna oleh

masyarakat. Kejelasan mengacu pada bagaimana suatu peraturan

dirumuskan dan masyarakat mengerti akan kandungan yang terdapat di

dalamnya.

Selain asas sebagaimana diatas, , Peraturan Perundang-undangan

tertentu dapat, berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan. Asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman

tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga

tak bersalah

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara

lain: asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Menurut Maria Farida, Berbagai cara dapat ditempuh agar

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dicapai.

Selain berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-

undangan, , peningkatan kualitas pembentukan peraturan perundang-

undangan di Indonesia dapat juga dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai

berikut24:

1. Kajian yang memadai.

24 Maria Farida Indrati,” Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia”, Makalah, tersedia di http:www.legalitas. org, ditulis oleh legalitas pada 27 June 2007.

Page 47: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

47

Secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

haruslah dilandasi dengan kajian yang memadai terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan:

a. urgensi dan tujuan pengaturan;

b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan

d. jangkauan serta arah pengaturan.

Salah satunya adalah dengan melakukan penyusunan Naskah Akademik

(academic draft)mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan

perda, yang merumuskan antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis,

yuridis, pokok dan lingkup materi yang diatur. Namun, Undang-Undang

No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

tidak menyebutkan tentang perlunya suatu naskah akademis.

Penyusunan naskah akademis akan sangat membantu para pihak yang

memerlukan, terutama bagi perancang peraturan perundang-undangan,

naskah akademik dapat merupakan batu pijakan dalam pembentukan

peraturan daerah, namun demikian seharusnya hal tersebut dilakukan

sebelum draft awal rancangan peraturan daerah dirumuskan dan bukan

sesudahnya.

2. Pemahaman tentang materi muatan peraturan perundang-

undangan

Kajian yang memadai dalam uraian di atas diperlukan untuk melakukan

penelusuran yang cukup tentang materi muatan yang menyangkut

permasalahan yang akan diatur, sehingga dapat menentukan jenis

peraturan yang mana sesuai dengan materi muatannya. Hal ini perlu

dikemukakan oleh karena dari kebiasaan yang berlaku, para pihak telah

Page 48: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

48

lebih dahulu memilih dan menentukan jenis peraturan perundang-

undangan yang akan dibentuk, dan menetapkan jumlah anggarannya,

baru membuat suatu kajian untuk mencari pembenarannya. Mengenai

materi muatan peraturan perundang-undnagan tersebut telah diatur

dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 10 Th. 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga hal

tersebut memudahkan para pembentuk peraturan perundang-undangan.

3. Pemahaman tentang asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dilakukan

apabila adanya pemahaman yang baik tentang asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik. Sesuai ketentuan Pasal 5

Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik adalah adanya: kejelasan tujuan, kelembagaan atau

organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,

dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaaan, kejelasan

rumusan, dan keterbukaan. Selain itu, dalam Pasal 6 Undang-Undang No.

10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dirumuskan bahwa, (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan

mengandung asas; pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,

kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan

kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian

hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; (2)

Peraturan perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai

dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

4. Peran serta masyarakat

Page 49: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

49

Jean Jacques Rousseau (1712-178) dalam Du Contract Social undang-

undang adalah suatu kehendak umum (volonté génerale), sehingga

adresanya selalu umum. Suatu undang-undang yang terwujud dari

kehendak umum, akan menciptakan suatu tujuan umum, yakni

kepentingan umum. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat tertentu

dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum,

sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu

harus dianggap tidak adil. Undang-undang itu harus dibentuk oleh

kehendak umum (volonté génerale), dimana dalam hal ini seluruh rakyat

secara langsung mengambil bagian dalam pembentukan aturan

masyarakat tanpa perantara wakil-wakilnya, sedangkan menurut

Rousseau, yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari

individu-individu di dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang

dibentuk oleh individu-individu itu, dan yang mempunyai kehendak,

kehendak mana diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui

perjanjian masyarakat. Sesuai dengan pendapat di atas, dan sebagai

pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menganut faham

kedaulatan rakyat, saat ini peran serta masyarakat dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan (khususnya dalam rangka penyiapan atau

pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah)

telah pula dirumuskan dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Th. 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Peran serta

masyarakat dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

undang-undang dan rancangan peraturan daerah tersebut, saat ini biasa

dilakukan dengan menyelenggarakan rapat dengar pendapat, penyerapan

aspirasi masyarakat, diskusi-diskusi dalam skala kecil atau skala besar,

jajak pendapat, dan cara-cara lainnya.

5. Harmonisasi dan sinkronisasi

Page 50: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

50

Peraturan perundang-undangan yang baik adalah, apabila

ketentuan-ketentuan di dalamnya merupakan rumusan-rumusan yang

selaras, serasi, dan sesuai dengan berbagai macam peraturan perundang-

undangan lainnya, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-

undangan yang setingkat (yang bersifat horisontal) maupun antara

peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi (yang

bersifat vertikal atau hierarkhis). Hal-hal inilah yang seringkali

dimaksudkan dengan suatu sinkronisasi dan harmonisasi dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dituliskan

bahwa kata “sinkron” diartikan sebagai a. sesuatu yang terjadi atau

berlaku pada waktu yang sama atau serentak; b. sejalan, sejajar, sesuai,

atau selaras (dengan). Kata “sinkronisasi” diartikan sebagai a. perihal

menyinkronkan, menyerentakkan, atau penyesuaian. Kata “harmonis”

diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni, atau

sekata; sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai pengharmonisan,

atau upaya mencari keselarasan.

Dengan demikian pengertian ”sinkronisasi dan harmonisas” dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat diartikan sebagai

suatu upaya atau suatu kegiatan untuk menyelaraskan (membuat

selaras), dan menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan

perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain,

baik yang bersifat sejajar (horisontal) atau bersifat hierarkhis (vertikal).

Untuk mendapatkan suatu peraturan perundang-undangan yang

baik, maka sinkronisasi dan harmonisasi tidak hanya dilakukan dengan

menyesuaikan dan menyelaraskan berbagai pengertian dan kalimat yang

ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi dan

harmonisasi dalam pembentukan perundang-undangan harus pula

memperhatikan pada latar belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang

Page 51: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

51

mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.

Sebagai suatu contoh, apabila suatu peraturan perundang-undangan yang

mempunyai latar belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi oleh

sistem yang individualis, tentu akan sangat sukar diselaraskan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain yang mempunyai latar

belakang, dan konsep berfikir, serta dipengaruhi oleh sistem

kekeluargaan.

6. Pemakaian bahasa yang tepat

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik juga mempunyai

hubungan yang sangat erat dengan ragam dan corak bahasa, serta asal-

usul dari kata-kata yang dipakai dalam perumusan peraturan perundang-

undangan tersebut. Salah satu contoh yang saat ini sering dijumpai dalam

kehidupan ketatanegaraan di Indonesia adalah pemakaian istilah “sistem

presidensiil”, “sistem presidensial”, atau “sistem presidentil”, dari ketiga

istilah tersebut manakah yang harus dipergunakan? Istilah “presidensiil”

saat ini biasa dipakai oleh mereka yang terbiasa dengan berbahasa

Belanda dan merupakan terjemahan dari istilah “presidentieel”, dan istilah

“presidensial” biasa dipakai oleh mereka yang terbiasa berbahasa Inggris

dan merupakan terjemahan dari istilah “presidential”, sedangkan dalam

kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan dengan istilah “presidensial” dan

“presidentil”. Dari ketiga istilah tersebut, para pembentuk peraturan

perundang-undangan harus menentukan istilah mana yang akan dipakai,

dan hal itu tentu harus memperhatikan istilah yang dipakai dalam

peraturan perundang-undangan yang lainnya.

7. Substansi Peraturan Perundang-undangan.

Page 52: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

52

Pemahaman tentang substansi dari peraturan perundang-undangan yang

akan dibentuk merupakan suatu syarat yang paling menentukan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pada dasarnya

tidak setiap perancang peraturan perundang-undangan harus mengetahui

secara baik dan tepat tentang substansi dalam setiap peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan. Sebagai contoh, seorang ahli

yang menekuni bidang perekonomian tidak akan memahami seluruh

permasalahan yang berhubungan dengan perekonomian, demikian juga

seorang ahli yang menekuni bidang hukum pidana tidak dapat dituntut

untuk mengetahui juga hal-hal yang tergolong dalam bidang hukum tata

negara.

Pemahaman tentang substansi suatu peraturan perundang-undangan

biasanya lebih dipahami oleh lembaga-lembaga teknis yang menangani

bidang-bidang yang bersangkutan, sehingga pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik selalu memerlukan campur tangan dari

berbagai pihak yang erat kaitannya dengan substansi yang akan

dirumuskan dan diatur.Pemahaman yang baik tentang substansi suatu

peraturan perundang-undangan dapat diharapkan sebagai penunjang

terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik Oleh karena

peraturan perundang-undangan selalu bersumber dan/atau berdasar pada

kewenangan atribusi dan delegasi, maka pemahaman tentang substansi

suatu peraturan perundang-undangan yang satu dengan substansi

peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan, biasanya diketahui

dan dimiliki oleh lembaga-lembaga datau pejabat-pejabat yang erat

kaitannya dengan peraturan perundang-undangan tersebut.

Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah

Tahapan pembentukan peraturan daerah dilakukan dengan :

1. Perencanaan.

Page 53: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

53

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu

Program Legislasi Daerah. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUP3 mengenai

Program Legislasi Daerah merupakan landasan yuridis bagi dibentuknya

mekanisme koordinasi baik antara instansi di lingkungan Pemerintah

Daerah dalam penyusunan Peraturan Daerah maupun antara Pemerintah

Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Khusus untuk Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah pentingnya kedudukan alat perlengkapan

Dewan seperti Badan Legislasi DPRD sangat penting, karena badan inilah

yang diharapkan dapat menampung aspirasi baik yang berasal dari komisi-

komisi, fraksi-fraksi, maupun dari masyarakat berkaitan dengan masalah

peraturan daerah.

2. Persiapan pembentukan Perda.

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan

rakyat daerah (DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/DPRDKota) atau berasal

dari gubernur atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten atau kota. Rancangan peraturan

daerah yang berasal dari inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh anggota,

komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat

daerah yang khusus menangani bidang legislasi. Selanjutnya Raperda

inisiatif DPRD ini disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat

daerah kepada gubernur atau bupati/walikota. Agar rancangan peraturan

daerah diketahui oleh halayak ramai dan masyarakat dapat memberikan

masukan sehubungan dengan ketentuan Pasal 139 ayat (1) Undang-

Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

masyarakat berhak memberikan masukan lisan atau tulisan dalam rangka

penyiapan atau pembahasan Raperda, maka rancangan peraturan daerah

yang berasal dari DPRD harus disebarluaskan yang pelaksanaannya

dilakukan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah. Salah satu

wujud nyata berupa peran DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) Undang-Undang

Page 54: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

54

tentang Peraturan Daerah bahwa apabila dalam satu masa sidang,

gubernur atau bupati/walikota dan DPRD menyampaikan Raperda

mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah Raperda yang

disampaikan oleh DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan oleh

gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk

dipersandingkan.

3. Pembahasan Raperda di DPRD.

Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama

gubernur atau bupati/walikota. Dalam pembahasan ini gubernur atau

bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan

pengambilan keputusan. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui

tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat

komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang

legislasi dan rapat paripurna. Pada tahap pembahasan ini apabila DPRD

atau gubernur atau bupati/walikota akan menarik kembali Raperda yang

diajukan, maka harus berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan

gubernur atau bupati/walikota.

4. Penetapan.

Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur

atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur

atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling

lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Agar

segera ada kepastian hukum, penetapan Raperda oleh gubernur atau

bupati/walikota ditentukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak

Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan gubernur atau bupati/walikota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UUP3 dan Pasal 144 ayat (3)

Page 55: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

55

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, apabila

Raperda tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda disetujui bersama

maka Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib

diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah.

5. Pengundangan dan Penyebarluasan.

Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah agar

memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus diundangkan

dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Sekretaris

Daerah. Dengan diundangkannya Peraturan Daerah dalam lembaran resmi

(Lembaran Daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui. Fiksi

hukum yang mengatakan bahwa dengan telah diundangkannya peraturan

daerah dalam Lembaran Daerah maka setiap orang dianggap telah

mengetahui hukum bagi Indonesia yang secara fakta geografis terdiri dari

17.000 pulau lebih dalam satu wilayah yang sangat luas perlu ada upaya

penyebarluasan. Pasal 52 UUP3 dan Pasal 147 ayat (3) Undang-Undang

No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan Pemerintah

Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan

dalam Lembaran Daerah. Penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar

khalayak ramai mengetahui isi serta maksud yang terkandung dalam

Peraturan Daerah. Penyebarluasan dilakukan melalui media elektronik

seperti TVRI, RRI, stasiun daerah, atau media cetak di daerah yang

bersangkutan.

Page 56: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

56

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Curriculum Vitaee

Data Pribadi / Personal Details Nama / Name : Syahrul Mustofa,

SH.,M.H Alamat / Address : RT 01 RW 02 Desa Sekongkang Atas Kec. Sekongkang, KSB-NTB Nomor Telepon / Phone : 085253830001 fax 0372-81848 Email : [email protected] Jenis Kelamin / Gender : Laki-Laki/Male Tanggal Kelahiran / Date of Birth : Tangerang, 15 Nop 1978 Status Marital / Marital Status : Menikah Warga Negara / Nationality : Indonesia Agama / Religion : Islam Pekerjaan/Job : Advokat/Pengacara (Lawyer) (Syahrul Mustofa, SH.,MH & Associate) Nama Organisasi Advokat :Perhimpunan Advokat Indonesia

(PERADI) Riwayat Pendidikan Educational and Professional Qualification Pendidikan Formal : Formal Education:

1. Pasca Sarjana (S2) Ilmu Hukum-Konsentrasi Hukum Pemerintahan

Daerah, Universitas Mataram, Lulus Tahun 2009

2. Sarjana (S1) Ilmu Hukum-Konsentrasi Hukum Tata Negara,

Universitas Mataram, Lulus Tahun 2002

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 2 (SMAN 2) Tangerang, Lulus

Tahun 1996

4. Sekolah Menengah Pertama (SMP), PGRI Batu Ceper, Tangerang

Lulus Tahun 1993

5. Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darussalam I Batu Sari-Tangerang,

Lulus Tahun 1990.

Pendidikan Informal : Informal Education:

1. Pelatihan Tehnology Of Parcipatoris (TOP), di selenggarakan oleh

The Asia Foundation-DFID, Hotel Santika-Jakarta, 2010;

2. Pelatihan Gender Analysis Budget, diselenggarakan oleh The Asia

Foundation, Hotel-Santika, Jakarta, 2009;

Page 57: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

57

3. Pelatihan Analisis Anggaran dan Advokasi Anggaran Publik,

diselenggarakan oleh Seknas Fitra Jakarta, Hotel Niko, Jakarta

Tahun 2009

4. Traning, Legal Aid Service of Agrarian Reform, KPA-YLBHI,

Jakarta, 2009

5. Training, “Prinsip-prinsip Konvensi PBB menentang korupsi (UNCAC)”, Patnership for Governance Reform Indonesia, Surabaya, 2007

6. Traning, Pencegahan Gratifikasi di Daerah, KPK, Mataram, 2007 7. Traning, Investigasi dan Penelitian Hukum Jejaring KY, Komisi

Yudisial RI, Jakarta, 2006 8. Pendidikan Fasilitator Perdamaian (Early Warning System and

Early Respon System untuk pencegahan dan penanganan konflik

komunitas), diselenggarakan oleh Institute Titian Perdamaian

(ITP)-Jakarta bekerjasama dengan NZAID, Febuari s.d. desember

tahun 2006 di Bogor.

9. Training, Legal Drafting, Departemen Hukum dan HAM - Asia Law, Jakarta, 2005

10. Pendidikan Advokat, diselenggarakan oleh Univ.Mataram

kerjasama dengan IPHI-Mataram, tahun 2005

11. Pelatihan Legislative Drafting (Penyusunan Peraturan Perundang-

Undangan) diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

Indonesia (PSHK) Jakarta, Tahun 2003.

12. Pelatihan Investigasi Korupsi, diselenggarakan oleh Indonesia

Corruption Watch, jakarta Tahun 2003

13. Pelatihan Investigasi Korupsi, diselenggarakan oleh Solidaritas

Masyarakat Transparansi Nusa Tenggara Barat (SOMASI NTB,

2003

14. Strategi Planing Membangun Organisasi Massa, The Asia Foundation, Mataram, 2003

15. Pelatihan Advokasi diselenggarakan Yayasan Koslata, Tahun 1998

16. Mengiktui berbagai Seminar, Workshop, Lokakarya dan lain-lain.

Riwayat Pengalaman Kerja Summary of Working Experience

1. Staf Ahli DPRD Kabupaten Sumbawa Barat 2010 s.d. sekarang ;

2. Konsultan Hukum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) LKP-Sumbawa

Barat, 2010 s.d. sekarang

3. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa

Barat, Ketua Divisi Hukum periode 2004-2009.

4. Direktur Yayasan Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat

(LEGITIMID KSB) 2006 s.d. sekarang

Page 58: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

58

5. Pendiri Lembaga Bantuan Hukum-Nusa Tenggara Barat (LBH-

NTB), 2006 s.d sekarang

6. Konsultanprogram Comunity Development PT, NNT Program

Pengembangan Ekonomi Masyarakat, tahun 2003-2004 (6 bulan

efektif).

7. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Kabupaten

Sumbawa Barat (STIH-M), tahun 2008 s.d. 2010

8. Peneliti The Asia Foundation untuk program Indonesia Rapid

Decentralization Appraisal (IRDA)-The Asia Foundation, 2001-

2003

9. Badan Pekerja-Solidaritas Masyarakat Nusa Tenggara Barat

(SOMASI NTB), Koordinator Divisi Hukum dan Pemerintahan,

tahun 1998 s.d. 2004

10. Dewan Pendiri Lembaga Advokasi Rakyat Untuk Demokrasi

(LARDES) Kabupaten Sumbawa, tahun 2003

11. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Nusa Tenggara Barat,

Koordinator Divisi Pemantauan, Tahun 1999 s.d. 2000.

12. Wartawan TABLOID KILAS, tahun 1999 ;

13. Freelance/konstributor Radio Elshinta-Jakarta, tahun 2003

Riwayat Pengalaman Organisasi : Exprerience of Organization :

1. Koordinator Pergerakan Indonesia (PI) Nusa Tenggara Barat, 2003

2. Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa-Wahana Mahasiswa Pengabdi

Masyarakat (UKM-WMPM) Universitas Mataram, Tahun 1999.

3. Ketua Divisi Propaganda dan Agitasi, Forum Komunikasi

Mahasiswa Mataram (FKMM) 1997-1999.

4. Ketua Buletin Keadilan, Fakultas Hukum Universitas Mataram,

Tahun 2000.

5. Anggota Dewan Pengurus Daerah Muhammadiyah KSB &

Sekretaris Muhammadiyah Center KSB.

6. Wakil Ketua Partai Golkar DPD Kabupaten Sumbawa Barat, 2010-

2015.

7. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam indonesia

8. Dll.

Riwayat Pengalaman dalam menangani perkara/kasus : Experience handling cases/case

Page 59: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

59

No Perkara Posisi Keterangan 1 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil

Bupati Kabupaten Sumbawa Barat, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta.

Tergugat Menang

2 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Utara, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta

Tergugat menang

3 Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok tengah, Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi-Jakarta

Penggugat Kalah

4 Kasus Dugaan Ijazah Palsu Bupati Sumbawa Barat di Pengadilan Tata Nsaha Negara-Mataram

Tergugat Kalah

5 Kasus Perdata (Sengketa Tanah), Mantan Sekretaris Daerah KSB (H.Amrullah Ali) di Pengadilan Negeri Sumbawa

Tergugat Menang (eksepsi diterima)

6 Kasus Perdata (Sengketa Tanah), Asisten I KSB (Ir.H.M.Saleh) di Pengadilan Negeri Sumbawa

Tergugat Menang (eksepsi diterima)

7 Kasus Pidana dugaan money politik, Ketua Partai Demokrat KSB, anggota DPRD KSB, Achmad S.Ag.Msi

Tedakwa Menang (Putusan Bebas) jaksa ajukan kasasi

Karya-Karya ( Buku) yang telah di publikasikan : Works (Book) which has been published:

No Judul Buku Tahun dan penerbit Cover Buku 1 Mencabut Akar

Korupsi (Panduan Untuk Pemberantasan Korupsi)

Cetakan pertama tahun 2001 Diterbitkan oleh SOMASI NTB atas dukungan USAID dan The Asia Foundation

2 Mencabut Akar Korupsi

Cetakan kedua tahun 2003, tebal 157 halaman Diterbitkan oleh

Page 60: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

3 Meretas Jalan Demokrasi Lokal : Pergeseran Peta Politik Sumbawa Barat, tebal 326 hal

4

Pilkada Langsung Sebuah Demokrasi Lokal

5 Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga,

SOMASI NTB atas dukungan USAID dan The Asia Foundation

Jalan

Lokal : Pergeseran Peta

Barat, tebal 326

Diterbitkan LEGITIMID kerjasama dengan Bappeda KSB Tahun 2007

Diterbitkan Tahun 2006, Oleh LEGITIMID Bekerjasama dengan KPU KSB

Pembangunan Berbasis Rukun

diterbitkan oleh LEGITIMID bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Pemda KSB, tahun 2006, tebal 84 hal

60

Page 61: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

61

6 Scalling-up Pendidikan Gratis

diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Yayasan Tifa Foundation dan Bappeda tahun 2011, tebal 258 hal

7 Kesehatan Gratis Yang Mahal

diterbitkan oleh Yayasan Tifa Foundation tahun 2011, tebal 258 hal

8 Korupsi,

Konspirasi dan Pengegakkan Hukum

Diterbitkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara Barat, Tahun 2009, tebal 252

9 Pengelolaan Zakat di KSB

Diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Bappeda KSB, 2011

Page 62: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

62

10 Pelimpahan Kewenangan Bupati ke Camat Sebagai usaha mendekatkan pelayanan publik)

Diterbitkan oleh Legitimid bekerjasama dengan Bappeda KSB, 2011

11 Partisipasi dan obsesi

Cetakan Pertama, tahun 2002, Diterbitkan LP3ES, Mataram

12 Inovasi Best Practices Kabupaten Sumbawa Barat

Di terbitkan LEGITIMID Tahun 2009 Tebal 56 hal

Riwayat Pengalaman Penelitian dan Pengkajian Experience Research and Assessment Penelitian/kajian yang telah dilakukan antara lain adalah : No Judul

Studi/Penelitian Tahun Mitra

1 Indonesia Rapid Appraisal wilayah kabupaten Sumbawa

2001-2003

The asia foundation

2 Pola Korupsi di Pedesaan (10 desa) 2002 Ford foundation 3 Studi Pola Korupsi APBD di 4

kabupaten 2003 Ford foundation

4 Studi Kritis Kontrak Karya PT. Newmont Nusa Tenggara

2006 LBH-NTB

5 Studi Evaluasi Pemilihan Kepala Desa 2006 Pemda KSB 6 Studi Pemetaan Konflik di Kabupaten

Sumbawa Barat 2006 UNDP

7 Studi Dinamika politik desa 2006 Pemda KSB 8 Studi Sejarah Pembentukan Kabupaten

Sumbawa Barat 2006 Bappeda KSB

9 Studi Dinamika Sejarah Pilkada Langsung

2006 Bappeda KSB

10 Survey Kesehatan Ibu dan Anak 2006 GTZ 11 Studi membongkar jaringan mafia

penjualan telur penyu 2006 PT.NNT

12 Studi Dampak Ekonomi dan Perubahan Sosial Masy Tambang

2007 Pemda KSB

13 Studi Pengembangan pariwisata desa berbasis masyarakat

2007 Mandiri

Page 63: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

63

14 Kajian Konsep Pembangunan Berbasis Rukun Tetangga

2007 Pemda KSB

15 Kajian Konsep Sistem Informasi Orang Susah

2007 Pemda KSB

16 Kajian Konsep kedudukan dan peran RT, dulu dan sekarang

2007 The Asia Foundation dan Pemda KSB

17 Kajian Konsep Kader Pemberdayaan Masyarakat

2007 The Asia Foundation dan Pemda KSB

18 Studi peta konflik di wilayah lingkar tambang (10 desa)

2008 UNDP dan ITP Jakarta

19 Studi Local Budget Indexs dan Local Budget Social

2009 The Asia Foundation

20 Studi Pembentukan BUMDES 2009 Pemda KSB dan The Asia

Fouundation 21 Studi penyusunan RPJM Desa 2009 Pemda KSB 22 Studi Pembiayaan Sistem Kesehatan

gratis 2009 Pemda KSB

23 Studi Evaluasi penyelenggaraan pendidikan gratis

2009 The Asia foundation

24 Pemetaan peran Ormas Islam di KSB 2009 The Asia foundation

25 Studi pengembangan desa model di KSB 2009 Bappeda KSB 26 Studi Pelayanan Publik 2009 Bappeda KSB 27 Studi APBDES 2009 The Asia

Foundation 28 Evaluasi Kebijakan dan Implementasi

ADD 2010 Pemda KSB

29 Evaluasi dan penyusunan Renstra PBRT 2010-2015

2010 Dinas BPM dan Pemdes

30 Evaluasi kebijakan kesehatan gratis 2010 31 Studi APBB 2005-2010 (Local budget

Indeks 2010) 2010 Seknas Fitra dan

TAF 32 Indeks Kepuasan masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan 2010 Bappeda dan

Dikes 33 Indeks kepuasan masyarakat terhadap

pelayanan pendidikan 2010 The Asia

Foundation 34 Evalausi dana CSR PT.NNT 2010 Pemda KSB 35 Riset EWS daerah tambang 2009 Tifa Foundation

dan LBH NTB 36 Survey Jalan 2010 The Asia

Foundation 37 IKM Kesehatan 2011 Tifa Foundation 39 IKM Pendidikan 2011 Tifa Foundation 40 Studi dampak rokok 2010 Bappeda KSB 41 Pemetaan LSM Sumbawa Barat 2011 Bakesbanglinmas

Page 64: Konsepsi Penyusunan Perda Di Indonesia

64

KSB 42 Studi Penyusunan Naskah Akademik

dan Raperda kesehatan 2011 Tifa Foundation

43 Studi penyusunan naskah akademik dan raperda pendidikan

2011 Tifa Foundation

Keahlian selain Advokat Expertise in addition to the Advocate

Keahlian lain selaian sebagai Advokat/Pengacara adalah ; 1. Perancangan Peraturan Perundang-undangan (penyusunan

peraturan daerah)

2. Analisis APBD/Keuangan Daerah

3. Menulis Opini dan Buku

4. Fasilitasi Pendidikan Orang Dewasa

5. Investigasi kasus korupsi

6. Early Warning System dan Early Respon untuk konflik sosial

7. NGO

Demikian Daftar Riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya sebagai bahan pertimbangan. Sekongkang, 22 Desember 2011 Hormat saya SYAHRUL MUSTOFA, S.H.,M.H