Krisis Ekonomi Indo

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    KRISIS MONETER INDONESIA :SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN* )

    Lepi T. Tarmidi **)

    K risis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telahberlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yaknilumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutupdan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnyadisebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagaimusibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi sepertikegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparahselama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan danperistiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dankelanjutannya.

    Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa laludipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalahpertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguranrelatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neracaberjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masihcukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel.Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangandomestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomitidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dankurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalamjumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam danadari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadijuga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masihmampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datangbadai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada,yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yangdatang mengancam.

    *) Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judulKrisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, Jakarta, 10 Juni 1998.

    **) Lepi T. Tarmidi : Wakil Kepala Pusat Kajian APEC, Universitas Indonesia, email : [email protected]

  • 2Buletin E

    konomi Moneter dan Perbankan, M

    aret 1999

    INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997

    1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

    Pertumbuhan ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65Tingkat inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60Neraca pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021 Neraca perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964 Neraca berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103 Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845 Pemerintah (neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102 Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78 PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta) 8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427(bulan impor nonmigas c&f) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5Debt-service ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0Nilai tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65APBN* (Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456

    * Tahun anggaranSumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia;

    World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998

  • 3Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollarAS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managedfloating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian BankIndonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilaitukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiahkemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadisekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.

    Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya

    Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama inilemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utangswasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektorrupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yangmengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjanganini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yangmendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utangswasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar ASini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesiatidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomimikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisisakan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahangempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebablainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.

    Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisisfinansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yangpertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhirutang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan

    1 Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian mencari keseimbangan jangkapanjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsungsejak akhir tahun 1997.

  • 4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintahmenangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dankeengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalahketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatanPresiden Soeharto pada waktu itu.

    Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yangberkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangattajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbedamenurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dariberbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:

    1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebasberapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezimdevisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekeningvalas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri,sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.

    2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikanpendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat darikenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lamamakin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti jugaproteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah danproduk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yangkualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspormenjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued inisangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkannilai tukar yang nyata.

    3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek danmenengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersediacukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkanjuga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasiutang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yangsangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapatahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang

  • 5Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karenatelah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiahterus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalamrupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah.Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelariandana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkanpengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehinggamemberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakinbesar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan olehpemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadaputang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintahdengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luarnegeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatugejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2 , di mana pengusahaberamai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudahjenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidakmemperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikutbersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasikeadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri jugaikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.

    Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipunmasalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capitaloutflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok danbunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luarnegeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeripemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat bunganyarelatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.

    Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaandiperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintahUS$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge(Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmatiselisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22), misalnya

    2 Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan dirinya sendiri tanpa mengetahuiapa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-kan apotik, membukatambak udang, membangun realestat dan kondomium.

    3 Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.

  • 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambahbesar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambahlagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilairupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.

    Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyakyang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri danuntuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan sehinggajauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yangdilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidakmenghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel, resortpariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9;IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidakmenghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikitsekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luarnegeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailanddan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari krisisdi Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga terjadiinvestasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai mencaridollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge(World Bank, 1998, hal. 1.4).

    4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenalsebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisayang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkandengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendirisudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini jugameminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnyamengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karenatidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapimereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagiandari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalamjumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS denganpengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itumereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1).

    Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antaraMaret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudianmenyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research

  • 7Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkaitdi kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 daripersetujuan IMF 15 Januari 1998).

    5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pitabatas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah danmengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelasdan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masihberlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisismenimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untukmemberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).

    6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspordan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiahyang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murahdibandingkan dengan produk dalam negeri.

    7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatifstabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan WorldBank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri denganluar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besardengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabilsekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalirmasuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, danamodal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat bungayang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletakpada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).

    8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yangdijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatandengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia jugamenunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaanperekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yangmenjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari pinjamanIMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akanmencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan

  • 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyakpihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telahmempertajam dan memperpanjang krisis.

    9. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidaksemata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistimperbankan untuk bermain.

    10.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbumembeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungandari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadapdollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumidan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannyake luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negerikarena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank,1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukanterhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamananharta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dankegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaanmereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.

    11. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadapdollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga matauang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang negara-negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timurmeningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasidan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalikmenguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollarAS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.(Ehrke: 2).

    Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahanyang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahunmasih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkanperekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumberekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu yangmenguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaanyang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran danayang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan

  • 9Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luarnegeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektorriil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahisektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.

    Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalamjangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar ASmelambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan untukmengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat dalamdan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiahpada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosialdan politik.

    Program Reformasi Ekonomi IMF

    Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karenapemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategipemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang,yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihanekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintahIndonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, SecondSupplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni,kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.

    Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:1. Penyehatan sektor keuangan;2. Kebijakan fiskal;3. Kebijakan moneter;4. Penyesuaian struktural.

    Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkansegera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannyatelah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuaikemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesiasendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF,1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih

  • 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain inidikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-programyang diprasyaratkan IMF.

    Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyaruntuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailandhanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyardari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea.

    Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihakIndonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasikedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yangditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dankurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:

    A. Kebijakan makro-ekonomi- Kebijakan fiskal- Kebijakan moneter dan nilai tukar

    B. Restrukturisasi sektor keuangan- Program restrukturisasi bank- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

    C. Reformasi struktural- Perdagangan luar negeri dan investasi- Deregulasi dan swastanisasi- Social safety net- Lingkungan hidup.

    Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum padatanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupanmemorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masukadalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaanmasing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural. Strategiyang akan dilaksanakan adalah:1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien

    dan berdaya saing;

  • 11Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor

    bisa bangkit kembali.

    Ke tujuh appendix adalah masing-masing:1. Kebijakan moneter dan suku bunga2. Pembangunan sektor perbankan3. Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah4. Reformasi BUMN dan swastanisasi5. Reformasi struktural6. Restrukturisasi utang swasta7. Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.

    Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta danjumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/Kepala Bappenas menegaskan bahwa Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakanuntuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman,rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukupdevisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri (Kompas, 6 Mei1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baruakan terlaksana awal bulan September ini.

    Kritik Terhadap IMF

    Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menanganikrisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam,padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMFterlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet danSachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiganegara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasaipermasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan programpenyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanyasurplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanjanegara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus

  • 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baruuntuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terusdipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutupanggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%.Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yangbesar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapioleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukarrupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahanutamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.

    J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yangteramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensimenyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yangdinamakan konsensus Washington, yaitu negara pengutang lazimnya harusmendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluaskesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwapencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintahAS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akanmenunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).

    Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknyamasih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkanpenerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaransurplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingindicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalahpeningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada programyang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorongekspor non-migas. (Nasution: 27-28).

    Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagaimengatakan bahwa IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan.Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan danvisi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada faktakonkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasimanusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti DewanDirektur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan. Demikianpun halnyadengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).

    Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidakmemperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF

  • 13Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakandana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganutkebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkanefektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.(Sri Mulyani: 72). Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasaldari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsilender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan,juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal (Sri Mulyani: 72).

    Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistimperbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yangamburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan initidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, BankIndonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakatberamai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing danpemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasionalyang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal15 Januari 1998).

    Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalahsejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomiyang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan AmerikaSerikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara majulainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelahmencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalamjarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untukmenjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terusmerosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahapkedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambahjarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihanekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkanmemperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yangmenjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahanyang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lainpihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkanbantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutanreformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara padamundurnya Presiden Soeharto.

  • 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uangketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF(lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnyatidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembalinilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkanpermasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebihdahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau,dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yangdidukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negarasahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapatdicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektorriil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka denganmenggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.

    Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikankesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tandakekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas danberjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar danmenstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilihprogram IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilannilai tukar pada tingkat yang wajar.

    Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMFdan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dariIMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadapmasalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi strukturalyang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligussecara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakatdalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapanpada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakanreformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelamdiombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapidisuruh belajar berenang dahulu.

    Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasardan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementarapemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak

  • 15Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasarandalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaanini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidakterjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dannilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangkapendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurniankebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihatinti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatandalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadiduri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing?Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politikdan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara mencurigakanmengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahundidengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintahIndonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).

    Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajakdan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalamjangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBMdan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudahbenar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silangsehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah danmelalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunansubsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringankeselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinyakerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakahpemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggukeresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan denganIMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secaramendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisadiberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh pendudukberpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekaranghampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen).Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalamanggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan

  • 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besaryang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakanyang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dandari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasarnilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen,sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelumterjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidaksebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnyaakan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipatsesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya.

    Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinyakrisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapayang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorbanmengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnyamenaikkan harga BBM dan tarif listrik.

    Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modalasing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluangyang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikanhingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dariperusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public.Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagibank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasaiperdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTAdan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dariketerbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomidan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalahanti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintahmenyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil?Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipanpesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya denganmenggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).

    Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya denganprogram stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).

    Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karenaIMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor

  • 17Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMFbisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.

    Dampak dari Krisis

    Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kursnilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan denganpendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turunditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagiansektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secaraumum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luarnegeri dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik, perusahaantutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban utangyang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang modalmenjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi yangtinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported inflation4 ,tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisadipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yangwajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali danharga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipuntidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.

    Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar negeridan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akanlebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendahmeningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang berbasispertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai tukarrupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalahperbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam rupiahmendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula, kopidan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidakterjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipunpenerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor dalamvalas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya karenatahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami depresiasi

    4 Suatu inflasi dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di negara pengekspornya naik,dan ini tidak terjadi.

  • 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas.Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada kesulitanlain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan keadaansosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan pesananbarangnya ke negara lain.

    Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 inijumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu dilancarkanprogram-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiahyang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurangkarena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkatinflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanyamaka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara drastis.

    Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masihlebih besar dari dampak positifnya.

    Prospek Ekonomi Indonesia

    Prospek ekonomi untuk beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akanditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan Maret1999 lalu, pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan negatifsebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah inidiperkirakan pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisisbelum juga menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan berlangsung,sulit untuk diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalahbantuan IMF dan donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar rupiah terhadapdollar AS pada tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri,keamanan yang mantap, suasana politik dan sosial yang stabil.

    Tapi sekali krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), makaperbaikan ini diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar untukpembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehinggayang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.

    Saran-Saran

    Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukankebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia

  • 19Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaanmasyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata (bandingkan jugaStiglitz). Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untukmengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar ASdalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utangswasta dengan penjadwalan ulang (Kompas, 9 April 1998).

    Penulis menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkanpurchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yangbisa menjamin ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistim ini, harga barang-barangproduksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnyasehingga bisa berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadimahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh masyarakat,impor secara otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri, berobat diluar negeri, kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya gandum),dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan jugabisa hidup kembali.

    Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masukke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dariluar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri karenabiaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih tinggidan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama krisisdi masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas bisadipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang olehkekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankannasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.

    Bank Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah denganempat kebijakan utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuatsistim perbankan, memperbaiki governance, dan menjaga stabilitas fiskal dan moneterselama masa transisi (World Bank, 1998, p. 2.2).

    Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepadapencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah,pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalamjangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).

    Beberapa saran dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalahsebagai berikut:

  • 20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    1. Karena Indonesia telah menanda-tangani persetujuan program reformasi strukturalekonomi dengan IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan konsekuen,terlebih lagi karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor lainnyayang jumlahnya sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasisektor riil dan keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomiIndonesia. Makin cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makincepat juga dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana membayarutang bantuan darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping utang-utangpemerintah dan swasta yang ada.

    Namun pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harusbertindak proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri danmenolak program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia.

    2. Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan kepercayaanmasyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program reformasi. Denganadanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF, diharapkan akan terjadi arusbalik devisa dan masuknya modal luar negeri.

    3. Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayarancicilan pokok dan bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh iniIndonesia memang selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepatwaktu, yang juga selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalamkeadaan krisis yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktupembayaran kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebabParis Club adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untukmembantu negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayarankembali utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara sedangberkembang yang memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa bernapasuntuk memperkuat posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun 1998/99jumlah pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya mencapai US$7.560 juta, sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450 juta. Jumlah ini sangatberarti untuk memperkuat cadangan devisa negara. Seandainya Indonesia tidak menerimabantuan barupun, maka masih ada selisih positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yangbisa dihemat. Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa bebanutang tidak menjadi bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya sajayang lebih panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila Jepanghanya mau membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa bebanutang termasuk pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar.Penjadwalan kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyak

  • 21Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    membantu meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakinterpuruknya nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja negarayang harus ditutup. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapaikesepakatan, bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya saja.

    4. Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued ketikaregim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikitundervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsangproduksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari denganmemperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak lebihrendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisaditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta dalamrupiah dapat ditekan sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik danpakan ternak, harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuksembako dan pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapatbekerja kembali, jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan keamanansosial tidak lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestikdan luar negeri dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggiuntuk menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan dayasaing produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dariluar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal,yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masihcukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai halyang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh dayaupaya dan pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya.

    Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakanproteksi produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barangdalam negeri aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dansebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyaknegara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar matauang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukangagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuan-pertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif.

    6. Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para kreditoruntuk meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh TimPenanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt RestructuringAgency (INDRA).

  • 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    7. Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisamemulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.

    8. Untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di dalamnegeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi didukungoleh cadangan devisa pemerintah yang semakin membesar.

    9. Menghalangi kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan mempelajarikemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa melepas prinsipregim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF, misalnya transfer pribadidibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000. Selanjutnya tidak memberi peluang untukmemperdagangkan rupiah atau menaruh deposito Rupiah di luar negeri. Deposito valashanya boleh di bank-bank devisa dalam negeri dan tidak boleh ditempatkan di luar.Krugman juga menganjurkan memungut pajak atas dana yang masuk dan membuatperaturan yang menghambat pengiriman dana ke luar (lihat Wessel dan Davis, hal. 16).

    Daftar Kepustakaan

    Anwar, Moh. Arsjad. 1997. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Poladan Potensi, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru PembangunanIndonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48.

    Bank Indonesia. 1998. Financial Crisis in Indonesia, Jakarta, August.

    Bello, W. 1998. Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis, saduran, Jakarta:Kompas, 1 September, hal. 3.

    Ehrke, M.1998. Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen undAuswirkungen der Asienkrise, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.

    Fischer, S. 1998a. IMF dan Krisis Asia, Kompas, Jakarta, 6 April.

    ________. 1998b. Peranan IMF Saat Krisis, Kompas, Jakarta, 8 April.

    ________. 1998c. The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF, Washington,D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.

    Greenwood, J. 1997. The Lessons of Asias Currency Crisis, Hong Kong: The AsianWall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.

    Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi (Makro)Ekonomi, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap TatananMasa Depan Indonesia, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April.

  • 23Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    Hartcher, P., C. Ryan. 1998. The IMF Turns Off the Tap, Australian Financial Review,May 21.

    Hollinger, W.C. 1996. Economic Policy under President Soeharto: Indonesias Twenty-FiveYear Record, the United States-Indonesia Society.

    IMF. 1997. IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia, Washington, D.C., PressRelease No. 97/50, November 5.

    IMF. 1997. IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia, Press Release No. 97/50,November 5.

    IMF. 1998. World Economic Outlook, Washington, D.C., May.

    IMF. 1999. Indonesia, Supplemetary Memorandum of Economic and Financial Policies,Fourth Review Under the Extended Arrangement, March 16.

    IMF Research Department Staff. 1997. Capital Flow Sustainability and SpeculativeCurrency Attacks, Finance and Development, Washington, D.C.: World Bank, December, hal.8-11.

    IMF Staff. 1998. The Asian Crisis: Causes and Cures, Washington, D.C.: Finance &Development, Vol. 35 No. 2, June, pp.18-21.

    IMF Cairkan Semilyar Dollar AS, Jakarta: Kompas, 6 Mei 1998.

    IMF Mulai Sadar Transparensi, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1998, hal. 9.

    Indonesia - IMF Agreement on Economic Reforms, January 15, 1998.

    Indonesia - Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies,Jakarta, April 10, 1998.

    Institute of Developing Economies (IDE). 1997. 1998 Economic Outlook for East Asia,Tokyo, December 9.

    Kitamura, K.; T. Tanaka (editors). 1997. Examining Asias Tigers, Nine EconomiesChallenging Common Structural Problems, Tokyo: Institute of Developing Economies, IDE SpotSurvey.

    Korea Letter of Intent, February 7, 1998,

    Krause, L.B. 1994. The Pacific Century: Myth or Reality?, the 1994 Panglaykim MemorialLecture, Jakarta: CSIS.

  • 24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    Krugman, P. 1994. The Myth of Asias Miracle, Foreign Affairs, November/December,hal. 62-77.

    _________. 1997. Currency Crisis.

    _________. 1998a. What Happened to Asia, The Economist, January. Dimuat di Kompasdengan judul Di Balik Terjadinya Krisis Keuangan Asia, 27 Januari, hal. 17.

    __________. 1998b. Saatnya Dipertimbangkan Solusi Alternatif, Jakarta: Kompas,28 Agustus, hal. 3.

    Montes, M.F. 1998. The Currency Crisis in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, 3rd updatedreprint.

    Nasution, Anwar. 1997. Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia,makalah pada 1997 Economics Conference, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.

    Radelet, S., J. Sachs. 1998. Why Not Let the Banks Own the Debtor Firms?, TheSunday Times, Singapore, July 26, p. 28-29.

    RI-IMF Hasilkan Memorandum Tambahan, Jakarta: Kompas, 9 April 1998.

    Saran Ali Wardhana untuk Atasi Krisis, Ada yang Harus Dilakukan dan yang HarusDihindari, Jakarta: Kompas, 26 Agustus 1998, hal. 3.

    Schuman, M., N. Cho. 1997. South Korea, IMF Agree on Bailout; Economy Is Slated forRapid Change, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 4.

    Sender, H.1997. Whats a Fund for?, Hong Kong: Far Eastern Economic Review,September 25, hal. 140-2.

    Soros, G. 1998. The Crisis of Global Capitalism, Hong Kong: The Asian Wall StreetJournal, September 16.

    Stiglitz, J. 1998. Restoring the Asian Miracle, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal,February 2, hal. 8.

    Sri Mulyani Indrawati. 1998. Kesepakatan Ketiga, Gatra, No. 25 Tahun IV, Jakarta, 9Mei, hal. 72-3.

    Tarmidi, L.T. 1998a. APEC dan Krisis Moneter di Kawasan Asia Timur, majalahGlobal, Jakarta, No. 5, hal. 31-38.

    ___________. 1998b. Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, pidato pengukuhanGuru Besar Madya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni.

  • 25Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

    ___________. 1998c. APEC and the Monetary Crisis in East Asia, paper presentedat the APEC Study Centre Consortium Conference, Bangi, Malaysia, August 11-13.

    Thailand Letter of Intent, February 24, 1998.

    Utang Swasta Sekitar 64 Milyar Dollar AS, Jakarta: Kompas, 2 Mei 1998.

    Wessel, D., B. Davis. 1998. Crisis Crusaders, Would-Be Keyneses Debate How toFight Global Woes, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 28, hal. 1, 16.

    Wessel, D., D. McDermott, G. Ip. 1997. Money Trail: Who Ruptured the Rupiah,Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 31, hal. 1, 22.

    World Bank. 1994. Indonesia: Stability, Growth and Equity in Repelita VI, May 27.

    __________. 1996. Indonesia, Dimensions of Growth, Report No. 15383-IND, May 7.

    __________. 1997. Indonesia, Sustaining High Growth with Equity, Report No. 16433-IND, May 30.

    __________. 1998. Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update, draft Report, July 2.

  • 31Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

    KONSEP CROSS-GUARANTEEDALAM PROGRAM PENJAMINAN

    DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

    Maulana Ibrahim dan Agusman * )

    Tulisan ini mencoba mengetengahkan salah satu bentuk pikiran alternatif dalam programpenjaminan yang dikenal dengan konsep Cross-Guarantee. Sangat berbeda dengan konsep-konseplainnya dalam program penjaminan, konsep ini sangat progresif dalam hal mempercayakanpenyelenggaraan penjaminan kepada mekanisme pasar dan meniadakan intervensi pemerintah,sehingga mengarah sepenuhnya pada swastanisasi baik penyelenggaraan penjaminan maupunpelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank yang menyertainya.

    Sebagai suatu konsep yang ditujukan untuk mengatasi berbagai kelemahan deposit insurancescheme yang berlaku sekarang ini, maka konsep Cross-Guarantee menekankan pentingnya penggunaanpendekatan risk-sensitive analysis dalam penetapan besarnya premi. Konsep ini juga mengupayakanadanya perlakuan yang sama untuk bank-bank besar dan bank-bank kecil dalam memper-olehpenjaminan. Pendekatan Too-Big-To-Fail (TBTF) yang sejak beberapa waktu terakhir telahmenimbulkan inkonsistensi dalam proses penjaminan diharapkan dapat dihilangkan oleh konsep ini.

    Apabila diterapkan sepenuhnya, konsep Cross-Guarantee juga akan mengakibatkan perubahanyang sangat mendasar terhadap seluruh pola dan praktek penjaminan dan pengawasan bank yangsudah dijalankan selama ini. Dengan merujuk pada ide yang dilontarkan Bert Ely tentang Cross-Guarantee, dalam tulisan ini akan didalami prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam konseptersebut beserta pengaruhnya terhadap pola penjaminan dan pengawasan bank, sekaligus mempelajarikemungkinan penerapannya di Indonesia.

    *) Maulana Ibrahim : Kepala Urusan Pengawasan Bank 2, Bank IndonesiaAgusman : Pengawas Bank, Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia

  • 32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    Pendahuluan

    P rogram penjaminan merupakan salah satu kebijaksanaan yang diambil pemerintahuntuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasionalyang sempat terganggu karena parahnya krisis ekonomi dan keuangan yangdihadapi Indonesia sejak paroh kedua tahun 1997. Ditinjau dari karakteristiknya, skimprogram penjaminan yang dipilih pemerintah tersebut ternyata lebih bersifat blanket guarantee(penjaminan menyeluruh).

    Sulit untuk memungkiri bahwa skim penjaminan pemerintah yang bersifat menyeluruhitu akan sangat memberatkan keuangan pemerintah, khususnya karena tidak sebandingnyanilai premi dengan cakupan penjaminan disamping adanya peluang untuk melakukanmoral hazard. Untuk tindakan darurat1 , hal tersebut barangkali masih dapat diterima, namununtuk jangka panjang tampaknya perlu dicari alternatif lain yang memungkinkanterselenggaranya program penjaminan yang efisien dan efektif. Dalam hubungan ini,Kusumaningtuti (1999)2 misalnya, telah mencoba mengkaji kemungkinan penggantianketentuan blanket guarantee tersebut dengan deposit protection scheme.

    Pencarian kemungkinan alternatif lain program penjaminan merupakan hal yangperlu dilakukan secara terus menerus. Di Amerika Serikat sendiripun upaya pencariantersebut masih tetap dilakukan meskipun program penjaminannya dianggap telah jauhlebih maju dan mapan. Dalam Konferensi mengenai Bank Structure and Competition yangbaru-baru ini diadakan oleh Federal Reserve Bank of Chicago, Bert Ely3 , seorang pakardeposit insurance telah mengemukakan konsep Cross-Guarantee sebagai salah satu alternatif.Tulisan ini mencoba mengetengahkan pikiran-pikiran Bert Ely mengenai konsep Cross-Guarantee tersebut, serta mencoba mempelajari kemungkinan penerapannya di Indonesia.

    Latar Belakang Konsep Cross-Guarantee

    Konsep Cross-Guarantee muncul antara lain karena adanya berbagai kritik danketidakpuasan terhadap skim penjaminan yang diterapkan pada Federal Deposit InsuranceCorporation (FDIC) di Amerika Serikat. Kritikan tersebut perlu ditanggapi karena FDIC

    1 Menurut V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, tindakan darurat (emergency measures) yang dilakukan banksentral dapat berupa pemberian fasilitas lender of last resort, intervensi terhadap bank-bank/lembaga keuanganbermasalah dan pembentukan deposit insurance. Untuk mendalami masalah ini lebih lanjut lihat tulisan merekaberdua dalam Banking Crises: Cases and Issues, Editor: V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, InternationalMonetary Fund, Washington, D.C., 1991.

    2 Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya dengan Deposit ProtectionScheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3, Desember 1998.

    3 Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam The 35th Annual Conference onBank Structure and Competition, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei 1999.

  • 33Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

    sekarang ini menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode-periodesebelumnya4 .

    Salah satu hal yang memperoleh kritikan adalah mengenai ruang lingkup penjaminanFDIC yang cenderung agak kurang konsisten sehubungan dengan penerapan pendekatanToo-Big-To-Fail (TBTF). Sebagaimana diketahui, pada dasarnya yang dijamin oleh FDICadalah dana pihak ketiga (deposits) maksimum sebesar USD.100.000,- sedangkan non-depositsliabilities seperti pinjaman yang diterima, komitmen dan kewajiban off-balance sheet sertakewajiban antar bank di atas USD.100.000 tidak dijamin. Namun dalam hal suatu bankdinilai TBTF maka seluruh pos kewajibannya akan dijamin, termasuk juga pos pinjamansubordinasi.

    Meskipun penerapan asas TBTF sangat dimungkinkan berdasarkan konsep ReformasiDeposit Insurance (deposit insurance reforms) yang disetujui Kongres Amerika Serikat danberlaku sejak setelah tahun 1988, akan tetapi tetap saja ada kritik bahwa perlakuan khusustersebut dapat menimbulkan diskriminasi diantara sesama bank, khususnya bagi bank-bank yang Too-Small-To-Safe (TSTS), sehingga pada gilirannya dapat merugikan masyarakatpenyimpan dana.

    Kritikan berikutnya yang sering ditujukan kepada FDIC adalah berkenaan denganpenetapan premi yang harus dibayar oleh bank-bank yang ikut penjaminan. Perhitunganpremi oleh FDIC dinilai kurang mencerminkan risiko yang harus ditanggungnya.Sebagaimana layaknya perusahaan asuransi, seharusnya semakin besar risiko yangditanggung semakin besar premi, dan sebaliknya5 . Namun dalam prakteknya prinsip tersebutternyata tidak diterapkan karena dua alasan pokok berikut ini. Pertama, pendapatan daripenanaman dana oleh FDIC jauh melebihi biaya-biaya operasionalnya. Dengan kata lain,laba yang diperoleh FDIC cukup besar sehingga ketergantungan pada premi menjadi semakinlebih berkurang. Alasan kedua adalah karena jumlah dana yang ditanamkan oleh FDICtelah melebihi ketentuan minimum Reserve Ratio (RR) perbankan sebesar 1,25%. Oleh karenaitu, tampaknya hanya dalam FDIC mengalami kerugian dan deposit growth menekan RR dibawah 1,25% barulah premi akan dinaikkan.

    Disamping itu premi yang dikenakan oleh FDIC sekarang ini juga dinilai terlaluberlebihan (overcharging) untuk bank-bank yang sehat dan terlalu kecil (undercharging) untukbank-bank yang bermasalah, sehingga menimbulkan cross-subsidies, yaitu bank-bank yang

    4 Adanya risiko yang lebih besar tersebut antara lain dikemukakan oleh Jin-Chuan Duan, Arthur F. Moreau danC.W.Sealey dalam Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications,Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.

    5 Ide agar FDIC menetapkan premi sebagaimana layaknya perusahaan asuransi swasta mula-mula sekali dilontarkanoleh Merton (1977). Hal ini diungkap dalam tulisan Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, Deposit InsurancePricing and Social Welfare, Journal of Banking & Finance, No.18, Tahun 1994, hal. 531-552.

  • 34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Hal ini erat kaitannya denganbelum diterapkannya secara penuh prinsip risk-sensitive premium sebagaimana yangdipersyaratkan oleh Section 302 FDICIA6 serta penggunaan alat ukur risiko yang belumsesuai. Sekarang ini FDIC menggunakan 2 (dua) alat ukur risiko yaitu Capital Levels danCAMEL Rating, namun pendekatan ini dinilai kurang ideal dalam perhitungan premi.Menurut Bert Ely, seharusnya alat ukur yang digunakan adalah leading indicators of bankingrisks seperti risk mismatches, rapid growth, weak internal controls dan execessive exposure to emergingspeculative bubbles.

    Kritikan lainnya adalah mengenai masih terbukanya peluang untuk melakukan moralhazard dalam sistem yang berlaku sekarang. Hal ini terjadi karena pada satu pihak FDICmemiliki kekuasaan besar dalam penentuan premi, sedangkan pihak lain yaitu birokrasipemerintah (regulator) berkewajiban untuk meminimumkan kerugian FDIC dan mencegahkegagalan bank (bank failures). Struktur seperti ini ternyata dapat mengakibatkan terjadinyaregulatory moral hazard pada tingkat pembuat ketentuan, dan potensial untuk berubah menjadireal moral hazard pada tingkat FDIC. Contoh yang paling baru dari fenomena regulatory moralhazard ini adalah dalam hal kegagalan BestBank di Boulder, Colorado pada bulan Juli 1998.

    Karakteristik Sistem Cross-Guarantee dalam Penjaminan

    Terlepas dari berbagai kritik terhadap skim penjaminan FDIC sebagaimanadikemukakan di atas, secara implisit konsep Cross-Guarantee sebenarnya sudah melekatpada FDIC, meskipun belum seutuhnya. Melalui premi yang mereka bayar, bank-bank yangikut program penjaminan FDIC pada hakekatnya saling menjamin satu-sama lain, karenamasing-masing bank-bank yang dijamin (insured banks) pada akhirnya menjadi pihak yangbertanggung jawab terhadap semua kerugian yang terjadi apabila ada bank-bank yangmengalami kegagalan usaha (failed banks). Mekanisme Cross-Guarantee ini memilikikemiripan dengan mekanisme yang berlaku pada Standby Letter of Credits, khususnyadalam hal terdapat multiple participant.

    Penerapan konsep Cross-Guarantee dalam program penjaminan memer-lukanperubahan mendasar terhadap skim penjaminan dan pola pengawasan bank yang sedangberjalan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mencakup aspek penyelenggara, lembagapenjamin, ruang-lingkup penjaminan, bentuk kontribusi dari bank yang dijamin, sumberpembayaran klaim, pelaksana pengawasan bank, ketentuan perbankan, lembaga lain yangterlibat dan lain-lain. Pada Lampiran-1 disajikan perbandingan antara Cross-Guaranteedengan skim penjaminan deposit insurance konvensional untuk masing-masing aspek tersebut.

    6 FDICIA singkatan dari FDIC Improvement Act. Menurut George G.Kaufman, apabila diterapkan secara penuhmaka ketentuan yang tercakup dalam FDICIA dapat efektif menurunkan moral hazard. Selanjutnya lihat GeorgeG.Kaufman, FDICIA and Bank Capital dalam Journal of Banking & Finance, No.19, Tahun 1995, hal.721-722.

  • 35Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

    Agar konsep Cross-Guarantee tersebut dapat diimplementasikan dalam praktek makaperlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Setiap bank diberi kebebasan untuk menentukan sendiri penjaminnya (direct guarantor-nya). Bank yang dijamin (insured bank) selanjutnya akan melakukan pembicaraan dengandirect guarantor-nya untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang akan dituangkandalam bentuk perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract). Perjanjian ini akanberfungsi sebagai pengganti ketentuan perbankan yang berlaku sekarang. Dengandemikian, akan terjadi pergeseran dari government regulation and deposit insurance kepadacontractual regulation and guarantees (swasta).

    b. Apabila direct guarantor gagal memenuhi kewajibannya maka guarantor dari direct guarantortersebut harus bertanggungjawab. Secara bersama-sama para direct guarantor akanmembentuk suatu sindikat direct guarantor (lihat Lampiran-2). Selanjutnya, secara accrualaccounting setiap direct guarantor akan langsung mengakui dan mencatat kerugian sebesarshare yang harus ditanggungnya apabila bank yang dijaminnya mengalami kegagalanusaha. Direct guarantor akan melakukan pembayaran dengan menggunakan general funds(cadangan umum) yang merupakan salah satu unsur modalnya. Dengan cara ini, seluruhkerugian karena bangkrutnya suatu bank akan langsung diserap oleh modal bank-bankyang ada dalam sistem perbankan suatu negara. Jumlah modal yang tersedia untukmenyerap kerugian juga akan semakin besar dan semua itu terjadi atas dasar komitmensukarela (committed voluntarily).

    c. Untuk memastikan bahwa bank-bank yang dijamin mematuhi cross-guarantee contractmaka sebuah perusahaan swasta yang disebut syndicate agent akan disewa. Syndicateagent ini selanjutnya akan menggantikan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yangada sekarang. Penunjukan syndicate agent ini dilakukan secara terbuka sehingga akanmendorong adanya kompetisi yang sehat dan efisiensi.

    d. Sebuah lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC) harusdibentuk. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan bahwa perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) yang disepakati para pihak telah sesuai dengan aturan penyebaranrisiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya.

    Perlu kiranya dikemukakan bahwa aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule)merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Cross-Guarantee. Aturan ini mencakuphal-hal sebagai berikut:

    Setiap penjamin (guarantor) harus dijamin oleh penjamin-penjamin lainnya dalam suatusistem cross-guarantee, minimal untuk menyelesaikan kewajiban cross-guarantee darisetiap penjamin. Dengan demikian setiap dolar kerugian pasti akan dapat diselesaikanoleh bank-bank yang berada dalam himpunan para penjamin (the universe of guarantors).

  • 36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    Setiap perjanjian penjaminan (cross guarantee contracts) harus menyebutkan jumlahminimum para penjamin dan persentase risiko yang ditanggung mereka masing-masing.

    Setiap penjamin bertanggungjawab sebatas jumlah risiko cross-guarantee yangditanggungnya, baik untuk setiap bank maupun secara aggregat. Secara aggregat, setiapbank penjamin tidak diperkenankan menerima pendapatan dari premi7 dalam setahunmelebihi 3 (tiga) persen dari total modalnya.

    Untuk memastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu bank mengalami kegagalanusaha karena menjadi penjamin maka perlu diberlakukan suatu standard stop-loss rule,yang menyatakan bahwa apabila satu penjamin mengalami kerugian cross-guaranteemelebihi lima kali premi yang diperolehnya dalam setahun maka kewajiban cross-guarantee-nya harus dialihkan kepada direct guarantor-nya.

    Manfaat Swastanisasi Penjaminan melalui Cross-Guarantee

    Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, penerapan konsep Cross-Guarantee akan menimbulkan pergeseran peranan dari pemerintah kepada pihak swastadalam melakukan penjaminan serta pengaturan dan pengawasan bank. Oleh karena itu,agar dapat terlaksana dengan baik, Cross-Guarantee memerlukan peran aktif dari pihakswasta untuk mewujudkan suatu skim penjaminan yang diarahkan oleh kekuatan pasar(market-driven cross-guarantee). Skim penjaminan berbasiskan pasar tersebut diharapkan dapatmengeliminir intervensi dari pemerintah, sehingga penjaminan akan terlaksana secaraefisien dan efektif. Karena adanya kebebasan dalam proses merumuskan mekanismepenjaminan untuk setiap bank, maka konsep Cross-Guarantee dipandang lebih berorientasike depan dibandingkan dengan konsep penjaminan (FDIC) yang berlaku sekarang.

    Semangat untuk melakukan privatisasi penjaminan melalui Cross-Guarantee jelasterlihat sejak awal penentuan bank penjamin (direct guarantor) yang dilakukan secara sukarela(voluntary) dan demokratis. Demikian pula penentuan perjanjian penjaminan (cross-guaranteecontract) sepenuhnya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu insuredbanks dan direct guarantor-nya. Yang perlu dijaga adalah agar perjanjian dimaksud sudahmemperhitungkan premi atas dasar sensitivitas terhadap risiko (risk-sensitive premium),memenuhi aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnyayang dianggap penting oleh para pihak. Sebagai aturan yang akan menggantikan prudentialregulation maka perjanjian penjaminan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menampungprinsip kehati-hatian.

    7 Dalam hal ini premi merupakan proxy terbaik dari cross-guarantee risk.

  • 37Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

    Dengan swastanisasi penjaminan dan pengawasan bank maka nantinya tidak akanada lagi fenomena satu ketentuan yang berlaku untuk semua (one-size-must-fit-all governmentregulation) yang selama ini merupakan salah satu kelemahan inheren dari ketentuanperbankan yang dibuat pemerintah. Dalam praktek selama ini sering ditemukan adanyabeberapa ketentuan yang sulit diterapkan karena bersifat terlalu umum dan kurangmempertimbangkan karakteristik individual bank. Atas dasar konsep Cross-Guarantee ini,insured banks dapat membuat berbagai ketentuan yang mengatur dirinya secara spesifikberdasarkan kesepakatan dengan direct guarantor-nya.

    Konsep Cross-Guarantee juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagiinsured banks untuk berdiskusi dan bernegosiasi dengan direct guarantor-nya untuk segalahal termasuk mengenai masa depan bank tersebut. Hal ini pada gilirannya akan membuatstrategi business dan perencanaan bank menjadi semakin tajam dan terarah. Pada pihaklain, kegiatan kontrol atau pengawasan akan semakin lebih ketat karena langsung dilakukanoleh kekuatan pasar. Apabila suatu bank memperoleh penilaian yang jelek dari pasar makayang akan menanggung akibatnya bukan hanya bank yang bersangkutan saja, tetapi jugamenjalar kepada bank yang menjadi direct guarantor. Hal-hal tersebut akan membuatpersaingan dalam industri perbankan akan semakin ketat dan mendorong efisiensi besar-besaran dalam sektor keuangan.

    Persaingan sehat juga akan terjadi diantara sesama syndicate agent yang akan berfungsisebagai pengganti pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Karena kemungkinanakan banyak perusahaan syndicate agent yang muncul maka direct guarantor diberikeleluasaan dalam menentukan syndicate agent yang mereka pilih. Hal ini pada gilirannyadapat mendorong kompetisi yang sehat diantara sesama perusahaan syndicate agent danmendorong efisiensi pekerjaan penjaminan.

    Manfaat berikutnya dari konsep Cross-Guarantee dapat ditinjau dari segi ruanglingkup penjaminannya. Tanpa memandang besar kecilnya suatu bank, mereka akan dijaminsebagaimana layaknya bank-bank lainnya, asal bank-bank tersebut dapat menemukan directguarantor-nya. Oleh karena itu, pendekatan TBTF menjadi tidak relevan sama sekali dalamkonsep Cross-Guarantee. Dengan menggunakan konsep Cross-Guarantee, maka transaksi-transaksi non-funding obligations seperti account payment, unexpired leases dan kewajiban yangmuncul karena tuntutan hukum akan dapat ikut dijamin. Kewajiban yang tidak dapat dijaminhanyalah pinjaman subordinasi karena memiliki karakteristik campuran (hybrid) hutangdengan modal. Sama halnya dengan program penjaminan biasa, maka dalam cross-guarantee, unsur modal juga tidak dijamin8 .

    8 Pengecualian hanya terjadi dalam hal TBTF, karena ada kemungkinan pinjaman subordinasinya juga akan ikutdibayar, tergantung pada bobot permasalahan bank yang TBTF tersebut.

  • 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999

    Manfaat lainnya dari konsep Cross-Guarantee adalah adanya kesempatan untukmelakukan penyesuaian secara cepat terhadap perhitungan premi berdasarkan kekuatanpasar. Perhitungan tersebut akan mencerminkan risk-sensitivity dari bank yang dijamindan diharapkan dapat disesuaikan segera baik secara bulanan atau mingguan. Dalam halini besarnya premi dapat langsung dibicarakan oleh masing-masing bank dengan directguarantor-nya. Dengan adanya kemungkinan untuk melakukan perhitungan premiberdasarkan kecenderungan pasar tersebut maka cross-subsidies yang inheren dalam skimpenjaminan yang ada sekarang diharapkan akan dapat dihilangkan.

    Pengaruh terhadap Pasar Antar Bank dan Sistem Pembayaran

    Cross-guarantee dapat menghilangkan counterparty risk yang selama ini melekat dalamtransaksi antar bank (lihat Lampiran-3). Sistem Kliring akan terbebas dari risiko tidakdibayarnya tagihan antar bank karena adanya jaminan bahwa direct guarantor masing-masingbank pada akhirnya akan bertanggungjawab sesuai perjanjian penjaminan (cross-guaranteecontract) yang mereka sepakati. Hal ini pada gilirannya memungkinkan terselenggaranyasuatu Sistem Pembayaran yang bebas risiko (risk-free basis).

    Penggunaan konsep Cross-Guarantee ini juga dapat mendorong penggunaan secaraluas net settlement procedures dalam Sistem Pembayaran. Bagi bank sentral hal ini akan sangatmenguntungkan karena net settlement procedures tersebut dapat lebih efisien dari real-timegross settlement .

    Kemungkinan Penerapan Konsep Cross-Guarantee di Indonesia

    Skim penjaminan yang sekarang ini diterapkan di Indonesia masih mengandungberbagai kelemahan baik pada tingkat konsep maupun pada tingkat pelaksanaan. Padatingkat konsep, karena bersifat blanket guarantee (jaminan menyeluruh) maka skim tersebutdapat mengakibatkan beban yang sangat berat bagi keuangan pemerintah, padahalkemampuan keuangan pemerintah sendiri sudah sangat terbatas. Disamping itu peluanguntuk moral hazard juga besar karena unsur keadilan yang kurang terpenuhi yang tercerminantara lain dari gejala cross-subsidies dimana bank-bank yang sehat membayar kewajibanbank-bank yang tidak sehat. Pada tingkat pelaksanaan, terdapat pula indikasi bahwa dalampraktek tidak seluruh aspek penjaminan dapat terlaksana. Sebagai contoh, untukmelaksanakan penjaminan transaksi off-balance sheet derivatives perlu ada bukti-buktibahwa transaksi itu genuine, sesuatu yang sangat sulit dibuktikan kecuali oleh perbankansendiri.

    Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep Cross-Guarantee tampaknyadapat menjadi salah satu alternatif jalan keluar, karena hakekat persoalan penjaminandikembalikan secara utuh kepada pelaku pasar sendiri yaitu antara bank-bank yang

  • 39Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia

    bertransaksi, sehingga mereka perlu saling menjamin dan saling menjaga kestabilan sistemperbankan. Namun demikian perlu kiranya diingat agar pemilihan konsep Cross-Guaranteetersebut hendaknya tidak terlepas dari tujuan utama dari program penjaminan, yaitu untukmencegah kegagalan pasar perbankan (banking market failure) dan untuk membangkitkankembali kepercayaan masyarakat serta menghentikan bank runs9 .

    Meskipun dapat dipandang sebagai salah satu alternatif jalan keluar, penerapankonsep Cross-Guarantee di Indonesia dapat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang promungkin lebih didasarkan atas adanya peluang besar untuk meringankan beban keuanganpemerintah, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Sementara itu, yang kontra lebihmelihat dari sisi kesiapan perbankan dan kalangan pemerintahan kita dalam menerapkankonsep dimaksud. Hal yang terakhir ini tampaknya ada benarnya juga karena untuk sampaipada konsep Cross-Guarantee perlu dijawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikutini:

    Apakah bank-bank di Indonesia sudah sedem