Upload
syakti-sriyansyah
View
173
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tinjauan Kurikulum dan Dasar Penyusunannya dengan latar belakang pendidikaan di Amerika
Citation preview
KURIKULUM
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Menyelesaikan
Mata Kuliah Landasan Pedagogik (PS701) yang diampu oleh
Dr. Ocih Setiasih, M. Pd.
Syakti Perdana Sriyansyah
Nim. 1302448
Program Studi Pendidikan Fisika
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung
2014
KURIKULUM 14
th Chapter Report
Penulis: Syakti Perdana Sriyansyah
Copyright2014 oleh Syakti Perdana Sriyansyah
All right reserved
Hak penerbitan pada Syakti P. Sriyansyah
Cetakan I, Januari 2014
Diterbitkan oleh Syakti P. Sriyahsyah
Jl.Pak Gatot V No. KPAD 10H RT 01/RW 02
Geger Kalong, Bandung, 40153
Telp. +6281917130062
email: [email protected]
Desain sampul: Syada
2013 by Syakti Perdana S.
Indonesia University of Education
Postgraduate School
Department of Physics
Bandung
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, makalah yang berjudul KURIKULUM 14th Chapter Report
dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
sebagian dari syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Landasan Pedagogik
(PS701) yang diampu oleh Dr. Ocih Setiasih, M.Pd. pada Program Studi
Pendidikan Fisika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tugas
mandiri ini mengulas tentang pengorganisasian kurikulum yang mengambil latar
pendidikan di Amerika Serikat. Pembahasan kurikulum ini juga mengulas tentang
perjalanan kurikulum di Indonesia ditinjau dari perspektif yang sama seperti yang
dijelaskan pada pengorganisasian kurikulum di Amerika.
Teriring ucapan terima kasih kepada Dr. Ocih Setiasih, M.Pd. yang
telah membimbing dengan sabar selama perkuliahan, rekan-rekan mahasiswa
fisika pascasarjana angkatan 2013, dan semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya tugas ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari tugas ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tulisan berikutnya. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk semua pihak. Amiin.
Bandung, 1 Januari 2014
Penulis,
Syakti Perdana Sriyansyah
Nim. 1302448
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
ISI ........................................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Deskripsi Umum ...................................................................................... 1
B. FokusUraian ............................................................................................. 2
BAB II PENYUSUNAN KURIKULUM
A. Kurikulum Berpusat padaMata Pelajaran ................................................ 3
B. Kurikulum Berpusat pada Siswa .............................................................. 8
C. Kurikulum: Sebuah Ulasan ..................................................................... 12
BAB III PEMBAHASAN DAN SIMPULAN
A. Pembahasan ............................................................................................. 15
B. Simpulan ................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 23
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Umum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005). Kurikulum sebagai
rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh
aspek kegiatan penyelenggaraan pendidikan. Mengingat arti pentingnya peranan
kurikulum dalam pendidikan, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa
dilakukan tanpa memiliki dasar penyusunan yang jelas.
Penyusunan kurikulum dapat ditinjau dari dua perspektif, satu
menekankan pada pelajaran yang diajarkan dan yang lainnya menekankan pada
siswa. Perspektif pertama meninjau kurikulum sebagai sebuah kesatuan isi atau
mata pelajaran yang mengarahkan pada suatu prestasi atau sebuah hasil.
Perspektif kedua mendefinisikan kurikulum berdasarkan kebutuhan dan minat
siswa. Perspektif ini lebih berkaitan dengan proses bagaimana siswa membangun
kemampuannya sendiri untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Kedua perspektif yang akan diuraikan secara jelas dalam makalah ini
mengambil latar belakang kurikulum pendidikan di Amerika Serikat. Beberapa
pendekatan yang digunakan dalam menyusun kurikulum pada masing-masing
perspektif juga akan dipaparkan dengan jelas beserta alasan yang mendukung atau
menolak penggunaan dari masing-masing pendekatan tersebut. Pada bagian akhir
makalah ini, orientasi penyusunan kurikulum yang digunakan di Amerika akan
dijadikan acuan untuk melihat lebih jauh fakta perkembangan kurikulum di
Indonesia, dari massa kemerdekaan sampai dengan kurikulum 2013 sekarang.
Penulis mengambil kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai bahan
perbandingan untuk melihat orientasi penyusunan kurikulum yang digunakan di
Indonesia.
2
Uraian tentang penyusunan kurikulum ini merupakan bagian dari tema
utama yang membahas tentang fondasi kurikulum. Pada bab 13 sebelumnya, telah
dijelaskan tentang perubahan tujuan pendidikan Amerika sebagai bentuk adaptasi
dan kebutuhan dari masyarakat yang dinamis. Uraian dalam makalah ini sebagai
lanjutan dari materi bab 13 tersebut, dimana apabila tujuan pendidikan sebuah
Negara berubah, maka konsekuensinya adalah diperlukan orientasi penyusunan
kurikulum yang sesuai dengan tujuan perubahan tersebut. Orientasi inilah yang
dijadikan pedoman dalam menyusun kurikulum dengan menggunakan berbagai
macam pendekatan.
B. Fokus Uraian
Uraian dalam makalah ini akan memfokuskan pada masalah berikut:
1. Bagaimana orientasi pendekatan yang digunakan oleh Amerika dalam
menyusun kurikulum pendidikan?
2. Bagaimana tinjauan orientasi pendekatan kurikulum di Indonesia dari masa ke
masa dilihat dari dua perspektif penyusunan kurikulum di Amerika?
3
BAB II
PENYUSUNAN KURIKULUM
Kita dapat melihat berbagai tipe penyusunan kurikulum di sekolah-sekolah
di Amerika dari dua sudut pandang. Salah satu menekankan kepada subjek yang
diajarkan; sudut pandang lainnya menekankan kepada siswa. Sudut pandang yang
pertama memandang kurikulum sebagai suatu kumpulan isi (konten), atau materi
pelajaran, untuk mencapai hasil prestasi atau produk tertentu. Yang kedua
mendefinisikan kurikulum dalam hubungannya dengan kebutuhan dan minat
siswa; inilah yang paling berkaitan dengan prosesdengan kata lain, bagaimana
siswa mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan baru.
Beberapa sekolah menggunakan pendekatan yang murni berpusat pada mata
pelajaran (subject-centered) atau murni berpusat pada siswa (student-centered)
dalam pengembangan kurikulum sekolah dan proses belajar-mengajar. Kita dapat
menemukan bahwa meskipun sebagian besar guru cenderung menekankan pada
satu pendekatan daripada pendekatan lainnya, mereka menggabungkan kedua
pilihan tersebut dalam pembuatan keputusan yang mereka buat secara
professional mengenai apa yang terjadi di kelas.
A. Kurikulum yang Berpusat Mata Pelajaran
Mata pelajaran merupakan yang paling lama dan biasanya paling banyak
digunakan sebagai kerangka penyusunan kurikulum. Mata pelajaran adalah
pendekatan yang melekat secara mendalam terutama karena ini tidak
menyusahkan. Meskipun di sekolah dasar, dimana terdapat sebuah kelas yang
diampu sendiri oleh guru, juga memaksa guru untuk melakukan generalisasi,
kurikulum biasanya disusun berdasarkan mata pelajaran atau disilpin akademik.
Penganjur kurikulum berbasis mata pelajaran beralasan bahwa mata
pelajaran menyajikan dasar pemikiran logis untuk menyusun dan menafsirkan
informasi, guru-guru juga dilatih sebagai spesialis mata pelajaran, dan buku teks
serta bahan ajar lain biasanya disusun berdasarkan mata pelajaran. Para kritikus
mengakui bahwa kurikulum berbasis mata pelajaran seringkali merupakan suatu
4
kumpulan fakta dan konsep yang dipelajari secara tertutup. Mereka melihat
kurikulum jenis ini sebagai sebuah penurunan penekanan terhadap pengalaman-
pengalaman hidup kontemporer dan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dan
minat siswa. Dalam kurikulum berbasis mata pelajaran, para kritikus beralasan
bahwa guru adalah penguasa dan mendominasi percakapan di kelas serta hanya
memberikan sedikit kesempatan bagi siswa untuk memberi masukan.
Berikut ini akan dibahas beberapa variasi pendekatan dalam kurikulum
yang berpusat pada mata pelajaran, seperti pendekatan subject-area, back to
basics, dan kurikulum inti (core curriculum). Banyak sekolah dan guru
menggabungkan pendekatan-pendekatan ini dengan menggunakan lebih dari satu
pendekatan.
A.1 Pendekatan Kurikulum Area Mata Pelajaran
Pendekatan area mata pelajaran (subject-area approach) adalah bentuk
yang paling luas digunakan dalam penyusunan kurikulum. Pendekatan yang telah
berdiri lama ini berakar pada tujuh seni liberal klasik dari Yunanni dan Roma: tata
bahasa, retorika, dialektika, aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Meskipun
telah ada lebih dari satu abad, kelompok mata pelajaran tersebut masih cocok
digunakan hingga hari ini. Sebagai siswa, dulu kita kemungkinan besar
diperkenalkan kepada aljabar dan tata bahasa Inggris, membaca dan
menulis, sama baiknya dengan geografi dan sejarah dalam satu bentuk atau
bentuk lainnya.
Kurikulum area mata pelajaran modern memperlakukan mata pelajaran
sebagai suatu pengetahuan yang terspesialisasi dan secara luas merupakan
kumpulan pengetahuan. Mata pelajaran bermakna sebagai dasar yang dipandang
esensial untuk seluruh siswa; ini biasanya mencakup tiga Rs di level dasar dan
bahasa Inggris, sejarah, sains, dan matematika di level menengah. Mata pelajaran
khusus lainnya mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk pekerjaan
atau profesi khusus - contoh, matematika bisnis dan fisika. Pada akhirnya,
pemilihan konten mata pelajaran membuka tawaran pilihan untuk siswa,
seringkali dikhususkan untuk minat dan kebutuhan siswa.
5
Mata pelajaran eksploratori (Exploratory Subject) adalah mata pelajaran
yang boleh dipilih siswa dari sebuah daftar rangkaian mata pelajaran yang
didesain cocok dengan gaya belajar, kemampuan, dan minat. Kelas ini dapat
mencakup mata pelajaran seperti tari, teknologi, penulisan kreatif, dan drama,
mengizinkan sekolah memberikan ragam tawaran dan memberikan siswa
kesempatan untuk mengeksplorasi topik yang mungkin menstimulasi minat siswa
diluar mata pelajaran tradisional. Mereka seringkali muncul paling banyak di
kurikulum sekolah menengah dan akhir sekolah dasar. Sekolah-sekolah yang
memasukkan mata pelajaran eksploratori dalam kurikulumnya, cenderung lebih
terlihat berkembang daripada sekolah-sekolah yang masih menerapkan mata
pelajaran akademik tradisional.
A.2 Pengaruh Perennialist dan Essentialist terhadap Kurikulum.
Dua teori yang merupakan dasar pemusatan mata pelajaran adalah
perennialism dan essentialism. Berdasar pada tujuan utama pendidikan, yaitu
menanamkan intelektulitas, maka perennialist mengkonsentrasikan kurikulum
mereka pada tiga Rs, Latin, tata bahasa, retorika, dan logika pada level dasar, serta
menambahkan pelajaran sastra di level menengah. Asumsi dari kurikulum yang
dipengaruhi perennialist, mengacu pada pendapat Robert M.Hutchins, yang
mengatakan bahwa yang terbaik dari masa lalusesuatu yang dinamakan
pelajaran permanen, atau klasikmasih tetap valid untuk masa kini karena mereka
mampu menjawab pertanyaan dasar yang relevan sepanjang waktu.
Essentialist percaya bahwa kurikulum sekolah dasar seharusnya berisi tiga
Rs dan kurikulum sekolah menengah atas terdiri dari lima atau enam disiplin ilmu
utama: Bahasa Inggris (tata bahasa, literatur, dan menulis), matematika, sains,
sejarah, bahasa asing, dan geografi. Pengikut kurikulum yang dipengaruhi
essentialist percaya mata pelajaran-mata pelajaran ini merupakan cara terbaik
menyusun informasi dan menjaga ledakan pengetahuan masa kini. Mereka
beralasan bahwa adalah terdapat informasi yang esensial yang telah dipelajari
orang dewasa dan harus diberikan kepada anak-anak. Siswa membutuhkan suatu
6
dasar pengetahuan akademikpengetahuan esensialuntuk menemukan ide-ide
baru dan mengatasi tantangan yang akan menghadang mereka di masa depan.
Essentialism berbagi gagasan dengan perennialism bahwa seharusnya
kurikulum berfokus pada pelatihan intelektual yang tepat, pelatihan yang mungkin
hanya melalui pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Baik penganut
perennialisme dan essensialisme menganjurkan untuk meritokrasi pendidikan.
Mereka menetapkan standar akademik yang tinggi dan suatu sistem yang ketat
dalam kenaikan tingkat dan tes untuk membantu sekolah memilah siswa
berdasarkan kemampuan. Saat ini terdapat banyak sekolah yang menekankan pada
beragam aspek dari kurikulum perennialisme dan essensialisme.
A.3 Pendekatan Kurikulum Back-to-Basics.
Pada 1980-an, banyak pendidik dan orang awam menyebut kurikulum
back-to-basic. Seperti pengaruh kurikulum esensialis, back-to-basic memberi
penekanan yang berat pada membaca, menulis, dan matematika. Apa yang disebut
dengan mata pelajaran yang padatbahasa Inggris, sejarah, sains, dan
matematikadiwajibkan untuk semua jenjang kelas, dan penganjur back-to-basic
bahkan lebih menentang daripada esensialis dalam hal mencoba memperluas
kurikulum melalui dasar yang kuat ini; pilihan-pilihan tidak dianjurkan. Para
kritikus pendekatan ini khawatir bahwa memfokuskan pada dasar akan menahan
kreativitas siswa dan memangkas domain lain dari pembelajaran, mendukung
konformitas dan ketergantngan terhadap kekuasaan.
Para penganjur back-to-basics menitikberatkan pada kebutuhan untuk
mencapai standar minimal. Komponen utama dari back-to-basic ditandai dengan
tes kompetensi minimum (minimum competency tests). Tes ini diimplementasikan
pada mayoritas negara bagian pada rentang waktu tersebut di Amerika. Tes ini
bertujuan untuk mengetahui ketercapaian keterampilan minimal yang wajib
dimiliki siswa untuk lulus dari sekolah menengah atas. Para penganjur
memandang bahwa tes semacam itu akan lebih memvalidasi lulusan sekolah
tinggi diploma dan sekolah menengah atas, sehingga siswa akan memiliki satu set
keterampilan minimal yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Hasil tes
7
kompetensi minimum ini akan menjadi sebuah tolak ukur penilaian keberhasilan
sekolah secara luas.
Pendekatan Kurikulum Inti (core curriculum)
Pentingnya mata pelajaran dasar dalam kurikulum juga dinyatakan dengan
istilah kurikulum inti. Sayangnya, setelah Perang Dunia II, istilah ini digunakan
untuk menggambarkan dua pendekatan berbeda untuk menyusun kurikulum.
Pendekatan pertama, yang akan kita sebut kurikulum inti, meraih
popularitas dalam 1930-an dan 1940-an dan memiliki pengaruh terbesar pada
tingkat sekolah menengah pertama. Dalam pendekatan ini, siswa mempelajari
pelajaran dalam suatu cara yang terintegrasi, biasanya melalui pembelajaran isu
atau tema sosial-personal yang memiliki irisan antar mata pelajaran (sebagai
contoh, suatu pengujian interdisipliner dari suatu masalah lingkungan lokal). Guru
menyusun langkah-langkah pembelajaran dalam suatu cara yang interdisipliner,
menunjukkan bagaimana berbagai mata pelajaran terkait satu sama lain.
Pendekatan ini, sering disusun dalam satu waktu yang berkelanjutan, kadang-
kadang terdiri dari dua atau tiga periode dari hari sekolah, menggunakan
penyelesaian masalah sebagai metode utama dari pengajaran dan menghubungkan
pada teori pendidikan.
Pendekatan kedua, sebaliknya, lahir pada peralihan bentuk pendidikan
1980-an dan merefleksikan teori esensialisme yang lebih konservatif. Dalam versi
ini, apa yang kita sebut kurikulum inti baru atau pendekatan mata pelajaran
inti (core subjects approach), siswa mempelajari suatu kumpulan mata pelajaran
wajibmata pelajaran yang dinggap sebagai pusat pendidikan bagi seluruh siswa.
Sebagaimana diuraikan dalam Bab 13 Perubahan Tujuan Pendidikan Amerika,
pendorong kurikulum inti adalah pemberitaan tentang pembaharuan Negara
dalam Resiko. Siswa dipandang tidak cukup memadai untuk mempersiapkan
hidup setelah lulus sekolah, apakah itu di perguruan tinggi atau di dunia kerja.
Berita mengkritisi kurikulum gaya kafetaria, dimana siswa lebih menyukai
makanan penutup atau makanan pembuka (yang merupakan pembelajaran yang
lebih tidak kaku) daripada yang mendalam, mata pelajaran inti. Pengulangan dari
8
defisiensi ini adalah sebuah peningkatan pelajaran wajib untuk kelulusan. Mata
pelajaran pilihan kurang ditekankan, dan mata pelajaran wajibmatematika,
sejarah, Bahasa Inggris, dan sainsharus diwajibkan dalam rangka menjamin
siswa mencapai pengetahuan penting untuk sukses dalam kelulusan.
Pendekatan kurikulum inti baru telah mendapat kritik yang sama yang
ditujukan pada kurikulum back-to-basics. Hari ini, lebih banyak siswa berniat
melanjutkan ke perguruan tinggi, namun sebuat penelitian terkini mengusulkan
bahwa versi kontemporer dari kurikulum inti tradisional ini gagal untuk
memenuhi persiapan siswa SMA menuju perguruan tinggi. Siswa mungkin
mengambil sejumlah mata pelajaran dengan tepat di sekolah namun kualitas dari
kurikulum inti harus ditingkatkan untuk memberikan siswa suatu kesempatan
untuk sukses, apakah diperguruan tinggi ataupun di pekerjaan.
Kritik lainnya masih akan menyanggah kurikulum inti ini, dengan hanya
berfokus pada mata pelajaran dan konten, mengabaikan sebuah komponen penting
dari pendidikansiswa. Bagian selanjutnya, akan menguji pendekatan-pendekatan
dan teori-teori yang meletakkan pemikiran mengenai siswa sebagai pusat
kurikulum.
B. Kurikulum Berpusat pada Siswa
Bertolak belakang secara langsung dengan kurikulum berpusat mata
pelajaran, berbagai tipe kurikulum berpusat siswa menekankan pada minat dan
kebutuhan siswa, mencakup aspek afektif pembelajaran. Pada kondisi ekstrimnya,
pendekatan berpusat siswa berakar pada filosofi Jean Jacques Rousseau, yang
menganjurkan ekspresi diri pada masa anak-anak. Secara implisit dalam filosofi
Rousseau dijelaskan bahwa perlu untuk membiarkan anak dengan peralatan
mereka sendiri, memberikan mereka esensi kreativitas dan kebebasan untuk
berkembang.
Pendidikan progresif memberikan daya pendorong menuju kurikulum
berpusat siswa. Para pendidik progresif percaya bahwa ketika minat dan
kebutuhan siswa dimasukkan ke dalam kurikulum, siswa pada hakikatnya akan
termotivasi dan pembelajaran akan lebih sukses. Ini tidak berarti bahwa siswa
9
akan mendikte kurikulum. Tetapi, satu kritik untuk kurikulum berpusat siswa
adalah bahwa mereka kadang-kadang melupakan konten akademik yang penting.
John Dewey, seorang pimpinan penganjur kurikulum berpusat pada siswa,
mencoba membuat suatu kurikulum yang menyeimbangkan mata pelajaran
dengan minat dan kebutuhan siswa. Sejak awal 1902, dia menunjukkan
kegagalan. Siswa bukanlah seekor hewan yang patuh pada fakta atau pun titik
mula, pusat, dan akhir dan kegiatan sekolah. Dewey mencoba menekankan
kebutuhan akan keseimbangan ketika mengkreasikan kurikulum yang akan
mempersiapkan anak untuk dunia demokratis yang modern.
Setidaknya terdapat lima pendekatan utama untuk menyusun kurikulum
berpusat pada siswa yang telah diidentifikasi: pendekatan berpusat kegiatan
(activity-centered approach), kurikulum relevan (relevant curriculum),
pendekatan humanistic (the humanictic approach), sekolah gratis atau alternatif
(alternative or free scholls), dan kurikulum berpusat nilai (values-centered
curricula).
B.1 Pendekatan Berpusat Kegiatan.
Peralihan menuju kurikulum berpusat kegiatan telah memberi pengaruh
yang kuat pada sekolah dasar umum. William Kilpatrick, satu dari kolega Dewey,
adalah pemimpin tertua. Berkebalikan dengan Dewey, Kilpatrick percaya bahwa
guru tidak dapat mengantisipasi minat dan kebutuhan siswa, yang membuat
semua rencana awal kurikulum menjadi tidak mungkin. Jadi, dia menilai
kurikulum sekolah tradisional sebagai sesuatu yang terpisah dan tak terhubung
dengan masalah-masalah di kehidupan nyata.
B.2 Kurikulum Relevan.
Sejak 1930-an, beberapa pembaharu paham progresif mengeluhkan
kurikulum sekolah tradisional telah menjadi tidak relevan. Kurikulum telah gagal
menyesuaikan dengan perubahan sosial dan oleh karena menekankan pada
keterampilan dan pengetahuan yang tidak berkaitan dengan masyarakat
demokratis modern yang tengah dilanda krisis. Tahun 1960-an dan 1970-an
memperlihatkan suatu pembaharuan berkaitan dengan kurikulum relevan, tetapi
10
dengan penekanan yang berbeda. Kritikus menyatakan bahwa kurikulum
harusnya lebih sedikit merefleksikan kondisi perubahan sosial dan lebih banyak
menjadi relevan untuk kebutuhan dan minat personal siswa.
Pendukung pendekatan ini mengusulkan bahwa kurikulum ini akan
menghasilkan keuntungan terbaik bagi siswa. Para pendidik
mengimplementasikan pendekatan ini dalam beberapa cara: (1) individualisasi
pengajaran melalui suatu metode pembelajaran seperti inkuiri bebas dan proyek
khusus; (2) meninjau kembali pelajaran yang ada dan mengembangkan pelajaran
baru pada topik tertentu yang diperhatikan siswa seperti proteksi lingkungan,
kecanduan obat-obatan, kemiskinan, dan intoleransi; (3) menyediakan alternatif
pendidikan (seperti mata pelajaran pilihan dan kelas terbuka) yang memberikan
lebih banyak kebebasan memilih dan memenuhi kebutuhan siswa dalam keadaan
khusus, seperti tunawisma; dan (4) memperluas kurikulum di luar dinding
sekolah, seperti melalui proyek pelayanan komunitas dan perjalanan ke daerah.
B.3 Pendekatan Kurikulum Humanistik
Suatu pendekatan kurikulum humanistik menekankan hasil afektif,
yang menunjukkan sikap dan emosi, sebagai tambahan hasil kognitif. Kurikulum
ini mengikutsertakan hasil kerja dari para psikolog seperti Abraham Maslow, Carl
Rogers, dan Arthur Combs. Penganjur kurikulum humanistik berpendapat bahwa
kurikulum sekolah kontemporer telah gagal dengan sangat buruk, bahwa guru dan
siswa diputuskan untuk menekan perilaku kognitif dan untuk mengontrol siswa,
bukan untuk kebaikan siswa tetapi untuk keuntungan orang dewasa. Pendidik
humanistik menekankan lebih dari proses afektif; mereka mencari domain yang
lebih tinggi dari spiritual, kesadaran, estetika, dan moral. Mereka menekankan
lebih banyak hubungan bermakna antara siswa dan guru, kebebasan dan
pengarahan diri siswa, dan penerimaan yang lebih besar terhadap diri dan orang
lain. Peran guru dari pendekatan humanistik akan membantu siswa
menanggulangi kebutuhan psikologis mereka, untuk mengembangkan lingkungan
kelas yang positif yang membantu perkembangan penghargaan diri, dan untuk
11
memfasilitasi pemahaman diri di antara siswa dalam rangka membuat
kemungkinan pembelajaran yang lebih efektif.
B.4 Program Sekolah Alternatif atau Gratis.
Kita kemungkinan akan menemukan program kurikulum berpusat siswa di
sekolah alternatif atau gratis, seringkali private atau institusi percobaan, beberapa
diatur oleh orang tua dan guru yang tidak puas dengan sekolah umum. Sekolah-
sekolah ini memiliki ciri khas dimana lebih banyak kebebasan siswa, kelas yang
ribut, dan lingkungan belajar, seringkali tidak terstruktur, dimana siswa bebas
mengeksplorasi minat mereka. Sebagian besar berpikir radikal dan anti
pembangunan, meskipun banyak ide mereka yang berakar pada kepopuleran
doktrin progresivisme kurikulum berpusat siswa.
B.5 Kurikulum Berpusat Nilai.
Suatu kurikulum berpusat nilailebih dikenal sebagai pendidikan
karaktermenempati penekanan khusus pada pengembangan moral dan etika.
Pendidikan karakter mengajukan pendapat bahwa jumlah pertumbuhan anak-anak
adalah menunjukkan perilaku dan sikap bermasalah dan untuk alasan ini,
program-program untuk untuk saling menghargai dalam kelas adalah perlu.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menerapkan program pendidikan
karakter di sekolah. Misalnya, sekolah memberikan penghargaan kepada siswa
yang menunjukkan karakter positif, menuliskan profil siswa yang berkarakter
dalam buletin sekolah, dan memberikan pelajaran dan teladan tentang bagaimana
sikap saling menghargai. Selain itu, juga dengan menunjukkan karakter positif
dalam pergaulan di sekolah seperti disiplin, menghargai, dan jujur.
Beberapa yang menolak untuk pendidikan karakter beralasan bahwa
program yang dikembangkan untuk sekolah tersebut secara sederhana dapat
dipandang sebagai indoktrinasi. Siswa justru dilatih keras bagaimana cara untuk
beretika bukannya dididik untuk dapat berpikir kritis tentang bagaimana menjadi
beretika. Terkadang, program sekolah berkarakter dilandasi oleh insentif,
sehingga siswa termotivasi untuk memperoleh penghargaan dibanding dengan
berperilaku seharusnya sesuai etika. Alasan lainnya juga menyatakan bahwa
12
program karakter dalam kurikulum tidak efektif dan mengalihkan waktu dari misi
akademik sekolah seharusnya.
C. Kurikulum : Sebuah Ulasan
Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran dan kebutuhan siswa
memang keduanya saling bertolak belakang, tapi dalam pelaksanaanya banyak
sekolah yang berada di antara keduanya. Menjaga keseimbangan antara materi
pelajaran dan kebutuhan siswa, antara perkembangan dimensi kognitif dan afektif.
Keputusan tentang apa yang seharusnya diajarkan dan bagaimana
kurikulum disusun akan dipengaruhi oleh orientasi filosofis sistem suatu sekolah.
Banyak sekolah tradisional yang menganut filosofi perenialis dan essensialis
menerapkan kurikulum berpusat pada materi pelajaran. Sedangkan sekolah yang
lebih menuju pendidikan progresif cenderung menggunakan pendekatan berpusat
pada siswa. Berikut disajikan ringkasan pendekatan yang digunakan dalam
penyusunan kurikulum, teori dan filosofi yang mendasari, penekanan konten, dan
penekanan pengajarannya dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1. Ringkasan pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kurikulum
Pendekatan
Kurikulum
Kesesuaian Teori
atau Filosofi Penekanan Konten
Penekanan
Pengajaran
Berpusat Pada Mata Pelajaran (Subject-Centered)
Area Pelajaran
(Subject-area)
Perennialism,
essentialism
Tiga Rs; akademik,
vokasional, dan mata
pelajaran pilihan
Pengetahuan,
konsep, dan
prinsip;
pengetahuan
khusus
Parennialist Perennialism
Tiga Rs; seni bebas;
klasik; nilai abadi;
kekakuan akademik
Ingatan di luar
kepala;
pengetahuan
khusus;
pelajaran mental
13
Tabel 1. Ringkasan pendekatan dalam penyusunan kurikulum (lanjutan)
Pendekatan
Kurikulum
Kesesuaian Teori
atau Filosofi Penekanan Konten
Penekanan
Pengajaran
Essentialist Essentialism
Tiga Rs; seni bebas
dan sains; mata
pelajaran akademik;
keunggulan
akademik
Konsep dan
prinsip;
penyelesaian
masalah;
keterampilan
penting
Back-to-basics Essentialism Tiga Rs; mata
pelajaran akademik
Pengetahuan dan
keterampilan
spesifik; latihan;
pencapaian
penilaian atau
kompetensi akhir
Kurikulum inti
baru (mata
pelajaran inti)
core subject
Perennialism,
essentialism
Kurikulum umum
untuk seluruh siswa;
fokus pada
akademik
Pengetahuan
umum,
keterampilan dan
konsep intelektual;
isu nilai dan moral
Berpusat Siswa (Student-Centered)
Berpusat
Kegiatan Progressivism
Kebutuhan dan
minat siswa;
kegiatan siswa;
aktivitas komunitas
sekolah
Aktif, lingkungan
percobaan; metode
proyek; kehidupan
efektif
Relevan
Progressivism,
social
reconstructionism
Pengalaman dan
kegiatan siswa;
kebutuhan
Masalah sosial dan
personal; berpikir
reflektif
Humanistik
Progressivism,
social
reconstructionism,
existentialism
Introspeksi; pilihan;
proses afektif
Pembelajaran
individual dan
kelompok;
fleksibel, artistik,
metode psikologis;
realisasi diri
Sekolah
alternatif atau
bebas
Progressivism
Kebutuhan dan
minat siswa;
pengalaman siswa
Orientasi bermain;
ekspresi kreatif;
lingkungan belajar
bebas
14
Tabel 1. Ringkasan pendekatan dalam penyusunan kurikulum (lanjutan)
Pendekatan
Kurikulum
Kesesuaian Teori
atau Filosofi Penekanan Konten
Penekanan
Pengajaran
Berpusat nilai
(pendidikan
karakter)
Social
reconstructionism,
existentialism
Nilai
demokratis,nilai
etis dan maral;
nilai lintas
budaya dan nilai
universal; pilihan
dan kebebasan
Perasaan, sikap,
dan emosi;
berpikir eksistensi,
pembuatan
keputusan
Terlepas dari apakah suatu kurikulum berpusat pada pelajaran atau siswa,
proses pengembangan kurikulum melibatkan (1) menilai kebutuhan dan
kapabilitas seluruh siswa, dan (2) memilih atau membuat materi dan kegiatan
pembelajaran yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan
kurikulum harus memperhatikan seluruh aspek yang mendukung pendidikan dan
juga mempertimbangkan aspek yang dapat merusak tujuan pendidikan. Salahs
satu isu yang patut diperhatikan dalam pengembangan kurikulum adalah tentang
ketentuan sensor.
Ketentuan sensor ini sangatlah penting, mengingat pada era sekang ini
hampir di setiap materi pembelajaran berisi pesan politik maupun ekonomi,
gender, seksualitas, dan kekerasan. Hal ini menunjukkan arti pentingnya
ketentuan sensor yang harus diberlakukan pada seluruh materi pembelajaran,
termasuk salah satunya yang berpengaruh adalah buku teks. Buku teks ini dapat
langsung dipergunakan oleh siswa. Apabila muatan yang terkandung dalam buku
teks tidak disensor terlebih dahulu, dan di dalamnya terdapat konten yang tidak
seharusnya diketahui oleh siswa, maka akan menjadi masalah yang serius.
Kejadian ini pernah terjadi di Indonesia, dimana terdapat muatan yang
mengandung unsur pornografi dalam buku teks yang digunakan oleh siswa. Hal
ini tentu saja mengundang reaksi dari seluruh pihak. Tidak adanya ketentuan
sensor sebelumnya dan pengawasan yang lemah menjadi penyebab hal ini dapat
terjadi.
15
BAB III
PEMBAHASAN DAN SIMPULAN
A. Pembahasan
Berdasarkan uraian sebelumnya, secara garis besar orientasi penyusunan
kurikulum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kurikulum yang berorientasi pada
pelajaran dan kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan dan minat siswa.
Kurikulum yang berpusat pada pelajaran menggunakan filosofis perenialis dan
esensialis sebagai dasar, sedangkan kurikulum yang berpusat pada siswa
menggunakan filosofis progresif. Keduanya tentu akan mempengaruhi cara
menyelenggarakan pendidikan di suatu sistem pendidikan.
Apabila diperhatikan, kedua orientasi penyusunan ini sangat bertolak
belakang namun keduanya pada dasarnya menekankan pada tujuan yang sama
dengan cara pencapaian yang berbeda, yaitu sama-sama menginginkan agar siswa
memiliki suatu pengetahuan minimal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupannya, baik di dunia kerja maupun bermasyarakat
Kurikulum berpusat pada pelajaran meraih ini dengan jalan telah menentukan
terlebih dahulu pelajaran-pelajaran yang mesti dipelajari siswa dan pelajaran ini
dipandang sangat esensial yang mesti dimiliki oleh siswa. Kurikulum jenis ini
memandang bahwa cara logis untuk menyampaikan pengetahuan kepada siswa
adalah dengan menyajikannya berdasarkan mata pelajaran. Siswa dianggap telah
memiliki bekal pengetahuan yang cukup setelah lulus dari sekolah apabila
mempelajari pelajaran yang esensial ini dan siap menjalani kehidupan masyarakat
yang dinamis.
Berlainan dengan itu, kurikulum berpusat pada siswa justru langsung
menekankan pada apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh siswa dan mengarahkan
kemana minat dan bakat siswa secara langsung. Orientasi ini menitikberatkan
pada siswa sebagai pembelajar aktif dimana dengan mengikutsertakan minat
siswa dalam pembelajaran maka siswa akan lebih termotivasi untuk belajar.
16
Pelajaran yang harus dipelajari dipandang adalah yang kontekstual dan apa yang
mereka lebih butuhkan.
Kedua orientasi penyusunan kurikulum ini memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Kurikulum berpusat pada pelajaran terlihat lebih
mengutamakan konten akademik pada aspek kognitif sedangkan yang berpusat
pada siswa menekankan aspek afektif, padahal idealnya kedua aspek tersebut
harus ada dalam suatu pembelajaran. Ketika lebih menekankan pada aspek
kognitif akan nampak bahwa kurikulum hanya dipenuhi muatan konten dimana
guru lebih mendominasi pelajaran, sedangkan ketika menekankan pada aspek
afektif dimana siswa dianggap sebagai pembelajar aktif justru kadang hal ini
mengurangi muatan konten akademiknya. Berdasarkan tinjauan tersebut, maka
dalam proses pelaksanaannya di sekolah, terkadang guru menerapkan keduanya
dalam proses pembelajaran. Sekalipun memang kurikulum yang sedang
digunakan adalah menekankan pada salah satu orientasi, baik pelajaran maupun
siswa.
Hal yang menarik adalah berkaitan dengan standar asesmen pada
kurikulum berpusat pada pelajaran dan pendidikan karakter pada kurikulum
berpusat pada siswa. Untuk mengetahui ketercapaian dan kualitas siswa yang
dihasilkan, pada kurikulum berpusat pada mata pelajaran dipandang perlu untuk
melakukan ujian kualifikasi akhir dengan standar yang telah ditentukan
sebelumnya sebagai syarat lulus dari sekolah. Hal ini sama dengan isu ujian akhir
nasional (UAN) yang masih saja dibahas sampai sekarang. Kalau kita perhatikan,
kurikulum yang berpusat pada pelajaran lebih menekankan aspek kognitif,
sehingga ujian kualifikasi akhirnya lebih mengacu pada hasil bukan menilai
proses. Isu ini menjadi perbincangan menarik di semua kalangan.
Pihak yang mendukung berpendapat bahwa ujian akhir perlu karena (1)
untuk melihat apakah pembelajaran di kelas sudah mampu mengajarkan konten
inti pada siswa, (2) untuk menghasilkan keluaran sumber daya manusia yang
berkualitas dan dapat diterima di dunia kerja, (3) ujian akhir juga dapat
menunjukkan akuntabilitas performa dan kinerja dari sebuah sekolah, (4) dengan
meningkatnya akuntabilitas, siswa akan memperoleh pendidikan yang semakin
17
berkualitas, dan (5) dari data hasil ujian yang diperoleh, pendidik dapat
mengetahui letak masalah pendidikan secara keseluruhan, kebijakan akan dirubah
berdasarkan pertimbangan tersebut, dan kurikulum dapat didesain ulang untuk
mengatasi masalah yang dihadapi.
Bertolak belakang dengan itu, pihak yang menetang menilai bahwa ujian
akhir itu (1) berat dan butuh biaya banyak untuk dilakukan sementara tidak
membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kualitas pendidikan,
(2) tidak adil bila harus menyamakan tes antara siswa sekolah kualitas tinggi
dengan siswa sekolah yang kualitas rendah, ketika mereka tida lulus maka tentu
ini telah merusak prospek pendidikan mereka selanjutnya, (3) terdapat penurunan
pada fleksibilitas tawaran kurikulum di sekolah tinggi karena siswa hanya fokus
pada pelajaran yang diujikan saja, (4) menambah kesulitan yang harus dihadapi
siswa untuk memperoleh kelulusan dan tidak jarang membuatnya semakin merasa
takut, dan (5) kebanyakan guru telah mengetahui dimana letak kesulitan yang
dihadapi oleh siswa selama ujian, sehingga guru dapat mengajarkan tes tersebut
kemudian untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa . Dengan demikian, data
yang diperoleh dari ujian tersebut tidak berarti.
Bukan hanya masalah ujian akhir saja, pendidikan berkarakter pun
sebenarnya telah jadi perbincangan di Amerika, seperti halnya di Indonesia. Ada
yang mendukung dan ada juga yang menentang. Pihak yang mendukung
memandang bahwa semakin meningkatnya jumlah pertumbuhan anak justru
menunjukkan sikap dan perilaku bermasalah. Selain itu, dipandang bahwa
masalah-masalah yang cenderung timbul dalam masyarakat global berhubungan
erat dengan karakter dari manusianya, seperti keserakahan, korupsi, dan narkoba.
Dari sudut pandang inilah dinilai perlunya suatu pendidikan karakter. Sedangkan
pihak yang menentang adanya pendidikan karakter ini menilai bahwa program
karakter yang dikembangkan secara sederhana dapat dipandang sebagai
indoktrinasi. Siswa justru dilatih keras bagaimana cara untuk beretika bukannya
dididik untuk dapat berpikir kritis tentang bagaimana menjadi beretika.
Terkadang, program sekolah berkarakter dilandasi oleh insentif, sehingga siswa
termotivasi untuk memperoleh penghargaan dibanding dengan berperilaku
18
seharusnya sesuai etika. Alasan lainnya juga menyatakan bahwa program karakter
dalam kurikulum tidak efektif dan mengalihkan waktu dari misi akademik sekolah
seharusnya.
Memang tidak dapat dipungkiri masalah-masalah tersebut di atas muncul
di dunia pendidikan. Justru hal itulah yang semakin menuntut eksistensi dan
esensi dari pendidikan. Banyak pihak yang mendukung dan tidak sedikit yang
menolak, tetapi semua pihak berharap pendidikan yang terbaik untuk semua.
Apabila dilihat dari masa ke masa, sejarah perkembangan kurikulum
Indonesia menunjukkan hal yang hampir sama bahkan problematika yang sama
dengan perkembangan kurikulum di Amerika. Hal ini mungkin menjelaskan
bahwa kurikulum di Indonesia dibangun dengan mengacu pada kurikulum
Amerika. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Perubahan tersebut merupakan
konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,
ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum
sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis
sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila
dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta
pendekatan dalam merealisasikannya.
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana
Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih
dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya
meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh
dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana
kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan
maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi ini. Kurikulum ini dapat dipandang sebagai
pendekatan berpusat pada siswa karena yang menjadi orientasi pendidikan pada
19
saat itu adalah siswa, dimana siswa dipandang sangat membutuhkan suatu
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia
mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran
Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan
nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa
setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan pada tahun 1952 ini,
pemerintah mulai menggunakan orientasi pendekatan berpusat pelajaran (subject-
area approach) dalam menyusun kurikulum. Usai tahun 1952, menjelang tahun
1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali
ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964
yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada
jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana,
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (kerajinan
tangan), dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu
dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan,
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk
membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Sampai pada
perkembangan kurikulum 1968, secara garis besar pemerintah masih
menggunakan orientasi pendekatan yang berpusat pada siswa dengan pendekatan
pendidikan karakter. Namun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa sepenuhnya
berorientasi pada karakter siswa, orientasi pada pelajaran juga masuk ke dalam
20
pertimbangan penyusunan kurikulum tersebut, hanya saja yang lebih
diprioritaskan saat itu adalah kebutuhan dalam rangka membangun karakter
pribadi rakyat Indonesia yang baik dan siap menghadapi tantangan untuk mengisi
kemerdekaan.
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan
pendekatan-pendekatan, di antaranya: (1) Berorientasi pada tujuan, menganut
pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan
yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif; (2)
menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu; (3)
menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah
kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam
bentuk tingkah laku siswa; dan (4) dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan
menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum
1975 oleh kurikulum 1984. Kurikulum 1984 masih sama dengan kurikulum 1975
yang berpuast pada mata pelajaran. Kurikulum ini memiliki ciri-ciri, antara lain:
(1) berorientasi kepada tujuan instruksional; (2) pendekatan pengajarannya
berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA;(3) materi
pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral; (4) menanamkan
pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan; (5) materi disajikan
berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa; dan (6) menggunakan
pendekatan keterampilan proses.
Pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola
pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang
memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim
Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di
sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup
banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode
21
tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak. Oleh karena itu,
muncullah kurikulum 1994 sebagai pengganti kurikulum 1984.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 Ciri yang
menonjol pada kurikulum ini adalah pembelajaran di sekolah lebih menekankan
materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem
kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat
kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran
sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. Selama
dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama
sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content
oriented), di antaranya: (1) beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya
mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran; (2) materi
pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan
aplikasi kehidupan sehari-hari. Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya
pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk
menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu
diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan kurikulum
dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian
dengan tingkat perkembangan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum 1994
dan suplemen 1994 secara jelas menggunakan pendekatan berpusat pada
pelajaran.
Baru pada perkembangan berikutnya, pemerintah mengganti pendekatan
yang digunakan dalam menyusun kurikulum, yaitu menggunakan pendekatan
berpusat pada siswa. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagi menjadi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (versi 2002 dan 2004). Pendidikan berbasis
kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan
(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar kinerja yang telah
ditetapkan. Pada perkembangan kurikulum selanjutnya, kurikulum berbasis
kompetensi ini diganti dengan kurikulum 2006 yang disebut kurikulum tingkat
22
satuan pendidikan. Secara substansial, esensi isi dan arah pengembangan
pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tetap masih
bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya
sebuah materi pelajaran). Perkembangan kurikulum selanjutnya sampai dengan
kurikulum 2013 tetap berorientasi pada kebutuhan siswa. Tetapi, hal ini seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa sekalipun suatu sistem menekankan pada
penggunaan salah satu dari dua pendekatan kurikulum yang ada, baik berpusat
pada pelajaran maupun pada siswa, tetap dalam pelaksanaannya guru senantiasa
menggunakan keduanya dalam pengambilan keputusan secara profesional.
B. Simpulan
Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran dan kebutuhan siswa
memang keduanya saling bertolak belakang, tapi dalam pelaksanaanya banyak
sekolah yang berada di antara keduanya. Menjaga keseimbangan antara materi
pelajaran dan kebutuhan siswa, antara perkembangan dimensi kognitif dan afektif.
Apabila segala perubahan kurikulum di Indonesia dicermati dan dipelajari, banyak
hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dan pengalaman dalam perjalanan hidup
bangsa Indonesia untuk membangun sumber daya manusia yang diharapkannya
pada setiap periode tertentu. Sekaligus, hal itu juga dapat menjadi bahan atau
informasi yang berharga dalam merancang kurikulum di masa-masa akan datang.
Keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan suatu kurikulum akan
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Meskipun
kurikulum sudah dirancang sebaik mungkin, namun di dalam pelaksanaannya
akan tergantung kepada kemampuan para kepala sekolah dan guru untuk
menjabarkannya lebih lanjut di tingkat sekolah dan kelas. Selain itu juga,
implementasi kurikulum akan sangat tergantung kepada dukungan para birokrasi
dan pembina pendidikan di lapangan dengan kebijakan-kebijakan operasionalnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ornstein, A.C., Levine, D.U, Gutek, G.L. 2011. Foundation of Education.
Belmont: Wadsworth.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Somantrie, H. 2010. Perkembangan kurikulum sekolah menengah di Indonesia
(Suatu perspektif historis dari masa ke masa). Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional Balitbang Pusat Kurikulum.
Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.