Upload
others
View
41
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAMAN JUDUL
KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH (Studi Komparasi antara Imam Syafi’i
dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah)
SKRIPSI
Oleh :
DENDI FEBRIANSYAH SPM.152159
Dosen Pembimbing :
Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag DIAN MUSTIKA, S.HI., MA
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ii
ABSTRAK
Dendi Febriansyah, SPM.152129, Kedudukan Nasab Anak Di Luar Nikah (Studi Komparasi Antara Imam Syafi‟i Dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah). Status Nasab anak luar nikah masih beragam. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa anak di luar nikah tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya sedangkan Imam Ibnu Qayyim berpendapat bahwa anak di luar nikah boleh dinasabkan kepada ayah biologisnya. Dalam masalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil analisa penulis menunjukkan bahwa Imam Syafii berpendapat bahwa pemutusan hubungan nasab anak dengan laki-laki zina dan menisbatkannya kepada ibu dan keluarga ibunya dikarenakan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa anak di luar nikah ialah ajnabiyah atau orang asing dan tidak bisa dinasabkan kepada ayah bilogisnya. Sedangkan menurut pendapat Ibnu Qayyim yang mana beliau mengqiyaskan nasab sama seperti ikatan mahram yang mana tidak bisa terputus dengan ayah biologisnya, dengan syarat ayah biologis anak tersebut(pelaku zinah) mengakui itu sebagai anaknya. Kata Kunci: Nasab, Anak di luar Nikah.
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dendi Febriansyah
NIM : SPM.152129
Jurusan/Kosentrasi : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syari‟ah
Alamat :Desa Rantau Benar, Kecamatan Remah Mendalu,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang berjudul
Kedudukan Nasab Anak di Luar Nikah (Studi komparasi Antara Imam Syafi‟i dan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) adalah hasil karya pribadi yang tidak mengandung
plagiarisme dan tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis orang lain,
kecuali kutipan yang telah disebutkan sumbernya sesuai ketentuan yang
dibenarkan secara ilmiah.
Apabila pernyataan ini tidak benar, maka penulis siap
mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku dan ketentuan
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, termasuk pencabutan gelar yang saya
peroleh dari skripsi ini.
Jambi, Oktober 2019 Yang menyatakan,
DENDI FEBRIANSYAH NIM: SPM.152129
iv
Jambi, Oktober 2019 Pembimbing I : Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag Pembimbing II : DIAN MUSTIKA, S.HI., MA Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi
Jl. Jambi- Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren
Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Di- JAMBI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Assalamualaikum wr wb. Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi
saudara Dendi Febriansyah, Nim: Spm.152129 yang berjudul: Kedudukan Nasab Anak di Luar Nikah (Studi komparasi Antara
Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) Telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna
melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa. Wassalamualaikum wr wb. Pembimbing I Pembimbing II Dr. A.A. Miftah, M.Ag Dian Mustika, S.HI.,MA NIP.19731125 199603 1 001 NIP. 19830622 201101 2 012
v
vi
MOTTO
ِيٱََوُهوََ اَفََجَعلَهََُلَۡهآءَِٱَخلََقَِنَوَََّلذ َوََكَنََربَُّكَقَِديٗراََۥبَََشٗ ٥٤ََنََسٗباََوِصۡهٗراَۗ
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu
(punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari
perkawinan) dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa (QS. Al-Furqan: 54)
vii
KATA PENGANTAR
ََِِمۡسِب ٱلرذِحيمََِٱلرذِنَٰمۡحَٱّللذ
Assalamu’alaikum, Wr,Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam
penulisan skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Di samping itu tidak lupa pula
sholawat serta salam penulis sampaikan pada junjungan nabi Muhammad SAW
yang telah memberi kita petunjuk dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang
terang benderang, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, yang disinari iman dan
islam.
Dalam penulisan skripsi ini penulis akui tidak sedikit hambatan dan
rintangan yang dilalui namun berkat dukungan dari berbagai pihak akhirnya
skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berharap semoga dapat bermanfaat
khususnya bagi diri penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca serta
memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, pemerintahan serta
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
viii
1. Bapak Prof. Dr. Suaidi Asy‟ari MA.,Ph.D selaku Rektor UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, lc. M. HI,. Ph.D selaku Wakil Dekan I Fakultas
Syariah bidang Akademik.
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, M.HI selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah
bidang Administrasi Umum, Keuangan dan Perencanaan.
5. Ibu Dr. Yuliatin, M. HI selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah bidang
Kemahasiswaan dan Kerja Sama.
6. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI dan Bapak Yudi Armansyah, M.Hum selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Sayariah UIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
7. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini
8. Ibu Dian Mustika, S.HI., MA. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini.
9. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, staf, karyawan/i dilingkungan Fakultas
Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan
pelayanan dan bantuan serta bimbingannya selama perkuliahan.
10. Pimpinan pustaka serta karyawan/i UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
x
PERSEMBAHAN
ََِِمۡسِب ٱلرذِحيمََِٱلرذِنَٰمۡحَٱّللذ
Skripsi ini penulis persembahkan khusus untuk ibunda tercinta NurAini
dan ayahanda tersayang Suharto yang telah bersabar, tulus dan iklhas
membesarkan, membimbing, mendidik hingga dewasa, serta menyekolahkan
ananda sampai keperguruan tinggi ini. Kalianlah kekuatan untukku, yang menjadi
penyemangat di setiap langkah kakiku, yang rela membanting tulang tidak pernah
mengenal kata lelah demi sebuah cita-cita dan masa depan ananda. Tiada kata
yang seindah yang paling bermakna untuk disampaikan kecuali permohonan yang
amat sangat kepada Allah SWT agar mereka diberi balasan yang setimpal atas
segala pengorbanan mereka berikan untuk mendidik anak-anaknya sampai saat
ini.
Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adik tersayang Nur Indah
Elviana yang telah memberikan dan dukungan dan motivasi dalam perjalanan
kuliah ini. Terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak membatu saya
dalam pembutan karya ilmiah ini, semoga kita semua menjadi orang-orang yang
bermanfaat bagi manusia lainnya. Aamiin.
Dengan mengucapkan alhamdulilah atas nikmat-nikmat yang telah
diberikan Allah SWT. Selangkah menuju rasa syukur. Saya berharap skripsi yang
tersaji menemani pembaca ini juga adalah rasa syukur saya kepada Allah SWT
atas nikmat iman, ruh, nikmat ilmu, akal sehat dan nikmat jasmani dan rohani
semoga Allah SWT memberikan taufik dan hidayahnya selalu. Aamiin.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................. ii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ......................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iv
MOTTO ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusaan Masalah ............................................................................ 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 4
D. Kerangka Teori .................................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 17
F. Metode Penelitian ............................................................................ 18
BAB II BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH .................................................................................. 23
A. Imam Syafi‟i .................................................................................... 23
1. Biografi Imam Syafi‟i ............................................................... 23
2. Latar Belakang Sosial Dan Politik ............................................ 26
3. Guru-Guru Imam Syafi‟i .......................................................... 28
4. Dasar-Dasar Imam Syafi‟i ........................................................ 29
5. Karya-Karya Imam Syafi‟i ....................................................... 29
B. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah .................................................................. 32
1. Biografi Ibnu Qayyim ............................................................... 32
2. Perjalanan Keilmuan ................................................................. 34
3. Mazhab Ibnu Qayyim ............................................................... 35
4. Guru-Guru Ibnu Qayyim .......................................................... 36
xii
5. Murid-murid Ibnu Qayyim ....................................................... 37
6. Karya-karya Ibnu Qayyim ........................................................... 38
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH ............................................................. 40
A. Pengertian Nasab ............................................................................. 40
B. Pengertian Anak di Luar Nikah ....................................................... 44
C. Kedudukan Anak di Luar Nikah ...................................................... 47
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANLISIS PENELITIAN ................... 51
A. Pandangan dan Argumentasi Imam Syafi‟i tentang Nasab Anak di luar Nikah ........................................................................................ 51
1. Al-Qur‟an .................................................................................. 54
2. Hadis ......................................................................................... 55
B. Pandangan dan Argumentasi Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tentang Nasab Anak di luar Nikah ................................................................ 58
BAB V PENUTUP ................................................................................... 70
A. Kesimpulan ..................................................................................... 70
B. Saran ............................................................................................... 71
C. Kata Penutup .................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 73
CURRICULUM VITAE ......................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran seorang anak di dalam rumah tangga adalah hal yang sangat
diinginkan. Anak merupakan penyambung keturunan, di mana keturunan yang sah
yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara, dan sah menurut agama
tentunya yang diharapkan. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati,
tetapi juga akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala
orang tuanya mendidiknya menjadi anak yang saleh.
Status anak dalam hukum keluarga dapat dikelompokkan menjadi dua
macam,1 yaitu anak yang sah dan anak luar kawin. Adapun anak yang sah itu
diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42 yang berbunyi “Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.”2 Sedangkan anak luar kawin diatur dalam Undang- undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 43 (1) “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”3
Anak yang lahir di luar nikah selain diperlakukan secara tidak adil dan
mendapat stigma negative dari masyarakat, anak tersebut tidak memperoleh hak
apapun dari pihak bapak biologisnya, sehingga membuat posisinya sebagai anak
yang lahir di luar nikah harus menanggung akibat hukum dari perbuatan orang
tuanya yang berdampak terhadap kesejahteraan hidupnya.
1 . Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1982), hlm. 145. 2 Pasal 42 UU N0.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 3 Pasal 43 Ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
Adapun kasus yang paling fenomenal di Indonesia yaitu kasus yang
dialami oleh Machicha Muchtar, bahwasanya pihaknya mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi agar nasab anak atau status keperdataan anaknya
dapat dinasabkan kepada ayahnya. Setelah uji materi tentang permohonan yang
diajukan oleh pihak Machicha Muchtar ke Mahkamah Konstitusi. Diputuskan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menghadirkan keputusan baru, bahwa
status anak luar nikah nasabnya mengikuti ayah biologis, hal ini disebutkan dalam
putusannya yang mengubah isi dari pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 nomor 1, yang menyatakan Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/alat bukti
lainmenurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, anak yang dilahirkan di luar nikah
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alak bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.4 Putusan
Mahkamah Konstitusi ini didasarkan atas keadilan, bahwa manusia di hadapan
4 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010, hlm. 37
3
hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Jadi anak yang dihasilkan di
luar perkawinan dan anak sah mempunyai porsi yang sama di dalam hukum.5
Putusan Mahkamah Konstitusi di atas berbeda dalam pandangan hukum
Islam, ulama sepakat bahwa anak luar nikah tidak memiliki hubungan nasab atau
keperdataan antara dirinya dengan ayahnya, yang ada ialah hubungan nasab antara
anak dengan ibunya. Karena, syara‟ menetapkan anak dari hasil hubungan yang
tidak sah dibangsakan kepada ibunya. Untuk itu, dapat dipahami bahwa ulama
telah sepakat anak di luar nikah tidak memiliki keterikatan nasab dengan laki-laki
yang menyebabkan kelahirannya. Konsekuensi dari terputusnya nasab tersebut
berimplikasi pula pada terputusnya keperdataan anak dengan laki-laki tersebut
(ayah biologis).
Sama halnya dengan jumhur ulama, imam Syafi‟i juga berpandangan
bahwa anak luar merupakan ajnabiyyah (orang asing) yang sama sekali tidak
dinasabkan kepada bapak biologisnya, bahkan dihalalkan bagi bapak biologisnya
untuk menikahi anak yang lahir apabila perempuan, dengan dalil bahwa tercabut
seluruh hukum yang berkenaan dengan adanya nasab bagi anak yang lahir di luar
nikah, seperti kewarisan dan sebagainya.6
Sedangkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, di mana beliau
menyatakan bahwa status anak di luar memiliki hubungan Nasab. Namun, dalam
kondisi lain bahwa anak tidak ditetapkan hubungannya dengan laki-laki pezina
terkait dengan warisan dan nafkah. Dalam arti bahwa anak zina adalah mahram
dan memiliki hubungan nasab bagi ayahnya karena sebagai anak, namun bukanlah
5 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010, hlm. 4. 6 Muhammad bin Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugniy al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
1997), juz 3, hlm. 233.
4
anak dalam artian sebagai seorang ahli waris layaknya anak kandung (anak yang
sah menurut hukum).7
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian lebih lanjut terkait persoalan tersebut dalam bentuk karya ilmiah
(skripsi) dengan judul “KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH
(Studi Komparasi antara Imam Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah)”.
B. Rumusaan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i tentang kedudukan
Nasab anak di luar nikah?
2. Bagaimana Pandangan dan argumentasi Ibnu Qayyim tentang kedudukan
Nasab anak di luar nikah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai oleh
peneliti. Tujuan penelitian ini penulis klasifikasikan kedalam
7 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamin, ed. In, Panduan
Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hlm. 856.
5
1. Untuk mengetahui apa pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i tentang
kedudukan anak di luar nikah.
2. Untuk mengetahui apa Pandangan dan argumentasi Ibnu Qayyim tentang
kedudukan nasab anak di luar nikah.
Dan sifat kedua yaitu khusus, dari penelitian yang penulis lakukan ini
merupakan syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S.1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
2. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
a. Secara akademisi dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya dan
kepada pembaca umumnya dalam hal ini berkenaan dengan pandangan
Mazhab Syafi‟i tentang kedudukan nasab anak di luar nikah dan putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan nasab anak di luar nikah.
b. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat melengkapi salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan tulisan dapat
diharapkan bisa menambah perbendaharaan referensi kepustakaan di
Fakultas Syariah dan bagi mahasiswa yang mengkaji permasalahan tentang
kedudukan nasab anak di luar nikah.
c. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil putusan terkait topik penelitian
penulis.
6
D. Kerangka Teori
1. Cara Memahami Nash-Nash Hukum
Dalam pandangan ulama Syafi‟iyah, cara memahami nash atau dilalah di
bagi menjadi dua macam, yaitu: dilalah manthuq dan dilalah mafhum:
a. Manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan ulama Syafi‟iyah adalah:
ٕر ًذك ٗ حكى ان النة انهفظ في يحم انُطق عه
“Penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut yang disebut dalam lafaz itu”
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “sesuatu
hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman
secara “mantuq”.8
Secara garis besar dilalah manthuq dibagi menjadi dua yaitu:9
1) Manthuq Syarikh (Jelas)
Adalah Manthuq yang penunjukannya itu timbul dari wadh‟iyah
muthabiqiyah dan wadh‟iyah tadhamminiyah. Menurut syafiiyah yang dimaksud
dengan Manthuq sharikh ini adalah apa yang dimaksud dengan dilalah ibarah.
2) Manthuq ghairu syarikh (Tidak Jelas)
Adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari wadh‟iyah iltizhamiyah,
Manthuq ghairu sharikh terbagi kedalam dua macam yaitu:
(a) Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara
8 Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm.
144. 9 Ibid. Hlm. 147.
7
Dilalah manthuq ghairu syarikh yang penunjukannya dimaksud
oleh pembicara ada dua macam yaitu:
a. Dilalah itidha‟ adalah dilalah yang dalam suatu ucapan ada suatu
makna yan sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan
bahwa orasng akan mudah mengetahuinya, namun dari susuna
ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan iotu dirasa
tidak benar kecuali yang tidak disebutkan itu dinyatakan.
Misalnya dalam suratv yusuf ayat 82:
ٌَ َ ٴَس ٕ ذِبُ َِٰ ِتف نَ َ ٴَنِ ََٓفو ََز ۡنِتيِيأ قَب لَه َُف فِ ٴَۡن ِي ََٓف ِتف فِ ُ ةَ ۡنِتيِي ُك ةَ ِم ۡن رَز
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar"
Secara nyata ungkapan tersebut terasa ada yang kurang , karena
mana mungkin kita bertanya pada kampung, yang bukan mahluk
hidup maka perlu dihadirkan suatu kata yaitu penduduk, yang
sebelumnya kampung menjadi penduduk kampung yang dapat
ditanya dan memberi jawaban.
b. Dilalah ima‟ adalah penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk
seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‟illat untuk hukuman
tersebut, maka pernyataan itu tidak ada artinya. Jadi dilalah ima‟
secara sederhana dapat diartikan sebagai petunjuk yang
mengisyaratkan sesuatu. Misalnya sabda Rasulullah kepada seorang
arab pedesaan yang melaporkan pada beliau bahwa ia telah bergaul;
8
dengan istrinya pada siang Bulan Rhamadan, maka nabi berkata
”maka merdekakanlah hamba sahaya”
Disebutkan suatu kejadian yaitu ”mencampuri istri pada siang bulan
rhamadan” dihubungkan pada ucapan nabi “memerdekakan hamba
sahaya” memberi syarata bahwa kejadian itulah yang menjadi illat
untuk hukum yang disebutkan.
(b) Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara
Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukannya tidak
ditunjukkan oleh pembicara hanya terbatas pada suatu bentuk “dilalah
isyarah” yang dalam pandangan hanafiah juga disebut dengan dilalah
isyarah atau isyarah nashm
b. Mafhum
Dilalah mafhum adalah: Penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas
berlakunya hukum yang sisebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.
Atau dalam definisi yang lebih sederhana: Apa yang dapat dipahami dari lafaz
bukan menurut yang dibicarakan.10
Contohnya, firman Allah dalam surat al-Isra‟ 23:
اًل ْٕ ًَُٓف بَ م نِت ٴَبُ ًَُْف َْٓز ُْ َٴاَل تَ ًَُٓف قُفٍّ م نِت َكزِةًًف فَََل تَرُJangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
10 Hartomo .Ushul Al-Fiqh Al-Islami.(Surabaya: Bumi Aksara, 1965), hlm.150.
9
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan
kata-kata kasar atau ”uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat yang disebutkan
itu, juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat)
dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang
menyakiti orang tua.
Dari pengertian di atas maka Mafhum dapat dibagi dua yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang lafadznya bahwa hukum yang
tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutka dalam lafadz. Dari segi
kekuatan berlakunya pada apa yang tidak disebutkan maka mafhum muwafaqah
terbagi dua yaitu:
(1) Mafhum Aulawi
Mafhum aulawi. Yaitu berlakuynya hukum pada suatu peristiwa yang tidak
disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya
hukum yang diberlakukan pada lafadz. Kekuatan itu ditinjau dari segi alasan
berlakunya hukum pada manthuqnya.
(2) Mafhum Musawi
Mafhum musawi, yaitu berlakunya hukum pada suatu peristiwa yang tidak
disebutkan dalam manthuq.
b. Mafhum Mukhalafah
10
Yaitu mafhum yang lafazdnya menunjukan bahwa hukum yang tidak
disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum mukhalafah
terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:11
(1)Mafhum sifat (pemahaman dengan sifat)
(2)Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
(3)Mafhum syarat (pemahaman dengan syarat)
(4)Mafhum „Adad (pemahaman dengan bilangan)
(5)Mafhum Al-laqab (pemahaman dengan julukan)
2. Cara memahami Illat Hukum
1. Defenisi Illat
Illat dalam bahasa arab berarti penyakit. Disebut demikian karena ia dapat
merubah kondisi sesuatu dari keadaan asalnya,misalnya dari keadaan kuat
menjadi lemah. Di dalam bahasa arab, kata illat sepadan dengan kata sebab.
Dalam istilah ushul fikih, kata illat berarti sifat yang menandakan suatu hukum
bukan dengannya, atau sifat yang jelas tetap dan mendapatkan keterangan dari
dalil sebagai kaitan suatu hukum. Illat juga terkadang disebut sebagai makna
hukum.
Al- Illat ( yaitu sebab atau sifat yang sama antara asal dan far‟un) yaitu
keadaan yang dijadikan dasar dari ketentuan hukum asal. Berdasarkan wujudnya
keadaan itu pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal mengenai
hukumnya.12
11 Ibid. hlm. 156. 12 Abdul Wahhab Khallaf, Masadir al-Tasyri al-Islami,(Kuwait: Matba‟ al-Nasir,1972),
Cet. III; hlm. 25.
11
2. Syarat-Syarat Illat
Untuk illat hukum dapat berlaku dapat diperlukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi, di antaranya yaitu:13
a. Illat suatu hukum haruslah jelas dan tidak samar-samar, seperti
misalnya sifat memabukkan pada pengharaman arak, sifat tersebut
adalah nyata sehingga segala minuman yang memabukkan
dikategorikan sebagai arak.
b. Illat suatu hukum haruslah tetap, yaitu tidak berubah oleh kondisi
pelaku, waktu atau tempat.
c. Illat suatu hukum tidak berlaku terbatas pada tempat hukum itu
sendiri.
d. Illat suatu hukum haruslah pasti, baik ditunjukkan dalil secara qhat‟I
maupun zanni.
e. Illat suatu hukum haruslah bersifat konstan, yaitu menunjukkan
keberadaan hukum yang dikandungannya di saat ia juga berada.
3. Metode Menetapkan Illat
Tidak semua hukum syar‟i memiliki illat dalam penetapannya, demikian
pula tidak semua hukum syar‟i yang memiliki illat dapat diketahui secara mudah
dan langsung, sehingga dibutuhkan metode yang tepat untuk menetapkan illat
suatu hukum syar‟i.
Para ulama ushil fiqh menjelaskan metode –metode penetapan Illat
hukum, yaitu:
13 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Mustasfa min „Ilmil Usul, (Medina: Islamic University), hlm. 703-705.
12
a) Penetapan secara nash atau tekstual
Jadi apabila nash dalam Al-Qur‟an dan sunnah telah menunjukkan
bahwa illat hukum adalah sifat ini (misalnya) maka sifat itu adalah illat
berdasarkan nash dan disebut illat menunjukkan bahwa sifat itu sebagai illat
terkandung yang telah di nash. Dan qiyas atas dasar itu, pada hakikatnya
adalah menerapkan nash. Nash yang menunjukkan bahwa sifat itu sebagai
illat terkandung secara isyarat dan tidak jelas.
Jadi secara jelas yaitu adalah lafal nash kepada keillatan menurut
susunan bahasa. seperti yang terdapat dalam nash illat begini, atau sebab
begini, atau karena begini. Apabila lafal yang menunujukkan atas keillatan
dalam nash itu tidak mencakup selain yang jelas dan pasti.
b) Ijma‟
Ijma‟ adalah, Apabila suatu masalah disepakati hukumnya oleh para
ulama dimasa itu.
c) Isyarat dalil
Salah satu firman Allah dalam Al-Qur‟an surah Albaqarah ayat 233
Sebagai berikut:
ِّفِۚ ُِيَّ ثِٱۡلوَعُۡس َّكِۡسَْتُ ُِيَّ ُۥ زِشۡقُ َ ِْد لَ ْۡلُ عَلَى ٱۡلَو َّ “dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf”14
Dipahami melalui dalil di atas bahwa nafkah dan pakaian ibu
merupakan tanggung jawab suami. Namun dipahami dari isyarat dalil,
bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya
14 Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 2002), hlm.
13
karena anaknya itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil
mengambil atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah todak dituntut
mengganti, karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.
d) Al-munasabah
Kata al-Munasabah berarti kesesuaian. Yang dimaksud dengan
metode ini adalah penetapan illat hukum berdasar pada kesesuaiannya
dengan akal pikiran sejauh terbebas dari penghalang.15 Namun
dimaksudkan dalam pembahasan disini yakni sifat nyata yang terdapat
pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang
dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu
kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudharatan.
e) Al-dawran
Secara bahasa al-Dawran adalah berarti perputaran. Sedangkan
sebagian ulama menamakannya al-Tardu wal „aksu atau kepastian dan
kebalikan.Yang dimaksud dengan metode al-Dawran dalam penetapan
illat hukum adalah penunujukan illat berdasarkan pada perputaran hukum
dengan sifat yang dikandungnya bahkan menjadi sebabnya. Sifat yang
selalu ada secara pasti bersama dengan suatu hukum syar‟i sehingga jika ia
tidak ada maka hukum pun tidak berlaku. Menurut Jumhur ulama usul
fiqh, kepastian illat hukum yang ditetapkan menurut metode ini adalah
15 Muhammad bin Ali al-Syaukani, Irsyad Al Fuhul ila Tahqiqil Haqqi min „Imil Ushul,
jilid 2 (Kairo: Maktaba‟atul Madani, 1992), Cet. I, hlm. 182.
14
bersifat zanni, sedangkan menurut sebagian kelompok sebagian
Mu‟tazilah, kepastiannya adalah bersifat qat‟i atau pasti.16
f) Al-sabru Wa al Taqsin
Al-Sabru dalam bahasa arab berarti pengujian, sedangkan al Taqsin
berarti pembagian. Pengujian seluruh sifat yang ada dapat memakai
metode mulazamah „aqliyah, yaitu pemustahilan akal pikiran terhadap
sesuatu yang bertentangan dengan perkara yang seharusnya, atau metode
tanqihul manath menurut Imam al-Razi, yaitu menegaskan perbedaan-
perbedaan antara hukum asal dan hukum cabang kecuali sifat yang
dimiliki bersama oleh keduanya dan memiliki pengaruh yang sesuai
dengan penetapan hukum.
4. Pemahaman terhadap Maslahat
Secara terminologi, terdapat bebarapa definisi maslahat yang
dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruhnya mengandung esensi yang sama.
Menurut Imam al-Ghazali pada prinsipnya maslahat adalah mengambil manfaat
dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara‟.
Maslahat menurut para ahli ushul fiqh dapat dibagai menurut sudut
pandang tertentu. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para
ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
(a) Maslahat al-Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan
kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan
tersebut adalah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
16 Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Usulil Ahkam, Juz 3 (Beirut: al- Maktabah
al-Islami, 1402H), Cet. 2, hlm. 299.
15
memelihara keturunan dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini
disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
(b) Maslahah al-Jajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam
menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) yang berbentuk
keringanan untuk mempertaruhkan dan memelihara kebutuhan mendasar
manusia. Kemaslahatan ini dapat menghindarkan manusia dari kesulitan
dalam hidupnya, misalnya adanya rukhsah dalam shalat dan jual beli pesanan
(bay al-salam). Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam
eksistensi kelima pokok, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi
mukallaf.
(c) Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap
berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Kemaslahatan dalam kelompok ini menunjang peningkatan martabat
seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan
kepatutan, misalnya dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah sunat.
Pembedaan ketiga kemaslahatan ini untuk menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dalam peringkat dharuriyyat harus
lebih didahulukan daripada kemaslahatan dalam peringkat hajiyyah dan peringkat
tahsiniyah. Kemaslahatan dalam peringkat hajiyyat harus lebih didahulukan
daripada kemaslahatan dalam peringkat tahsiniyyat. Dilihat dari segi keberadaan
maslahat menurut syara‟ terbagai kepada:
(a) Maslahah al-Mu‟tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara‟.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
16
kemaslahatan tersebut. Misalnya tentang hukuman qishash yang tercantum di
dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178 dan pembebasan hukuman
terhadap pencuri yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ma‟idah ayat 38.
Kemaslahatan mu‟tabarah dapat dijadikan landasan hukum.
(b) Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya ditolak oleh
syara‟, karena bertentangan dengan ketentuan syara‟. Misalnya fatwa al-Laits
ibn Sa‟ad yang menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi
seorang raja (penguasa Spanyol) yang melakukan persetubuhan dengan
istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Menurut al-Laits ibn Sa‟ad, bagi
seorang raja, keharusan memerdekakan budak sebagai sanksi hukum tidak
akan mampu memberikan dampak positif sehingga ia tidak menghormati
bulan Ramadhan dan menjalankan ibadah puasa. Hal ini karena mudahnya
seorang raja memerdekakan budak karena kondisi kehidupannya yang serba
mewah. Karena itu keharusan berpuasa sebagai sanksi pada urutan kedua
sebagaimana yang ditegaskan oleh nash harus dilakukan pelaksanaannya
karena dapat mewujudkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum. Hal ini
menjadi sebab berkembangnya pendapat tentang penerapan hukum secara
berurutan (tertib) atau takhyir (memilih) dari ketetapan hukuman tersebut
(c) Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak
didukung syara‟ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak oleh syara‟ secara
rinci. Maslahat ini dibutuhkan oleh situasi akibat ada hal-hal yang mendatang
sesudah putus wahyu dan syara‟ tidak menetapkan hukumnya dan tidak pula
membatalkannya, ini dinamakan maslahat umum yang tidak diatur dalam
17
nash. Misalnya membuat penjara, peraturan lalu lintas, pencatatan
perkawinan sehingga apabila perkawinan tidak dicatatkan maka tidak
diterima gugatan perkawinan tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti mengadakan suatu kajian kepustakaan peneliti akhirnya
menemukan beberapa karya tulis hasil penelitian yang memiliki bahasan yang
hampir sama dengan yang akan peneliti teliti. Penelitian-penelitian tersebut antara
lain adalah:
Pertama, penelitian yang disusun oleh Rini Wulandari (Mahasiswa di
Jurusan Al-Ahwal al-Syaksiyyah Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung)
mengatakan dalam skripsinya yang berjudul “Status Nasab Anak Di Luar Nikah
menurut Mazhab Hanafi dan implikasinya terhadap anak-anak”, hasil penelitian
adalah menurut Mazhab Hanafi bahwa anak di luar nikah adalah anak yang lahir
dari kurang enam bulan setelah adanya akad nikah. Adapun status anak di luar
nikah adalah sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, karena
Mazhab Hanafi menganggap adanya nasab secara hakiki, maka nasab hakiki
kepada bapak biologisnya adalah tsabit, sehingga anak tersebut diharamkan untuk
dinikahi bapak biologisnya.17
Kedua, penelitian yang disusun oleh Ahmad Nur Khozin (Mahasiswa di
Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Purwokerto) mengatakan
dalam skripsinya yang berjudul “Kedudukan Anak di Luar Nikah Menurut MUI
(Majelis Ulama Indonesia) Nomor 11 Tahun 2012”, hasil penelitiannya adalah
17 Rini Wulandari, Status Nasab Anak di Luar Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Dampak Implikasinya terhadap Anak, (Lampung: Skripsi, 2018).
18
hanya menjelaskan status anak di luar nikah menurut Fatwa MUI nomor 11 Tahun
2012 dan Dari penelitian ini juga disimpulkan bahwasanya pencatatan perkawinan
adalah merupakan kewajiban administrasi, anak yang dilahirkan dari perkawinan
sirri disebut anak luar kawin, Anak yang lahir harus dilindungi, karena dalam
hukum Islam anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa
orang tuanya, sekalipun ia dilahirkan sebagai akibat perbuatan zina, bagi pezina
atau ayah biologisnya berkewajiban mengayomi, memberikan pendidikan,
memberi nafkah, menjamin kesehatan, dan menjamin kelangsungan hidup anak.,
namun tidak menjelaskan kedudukan anak di luar nikah menurut Mazhab Syafi‟i
dan Keputusan Mahkamah Konstitusi.18
Ketiga, penelitian yang disusun oleh M. Anshari mengatakan dalam
jurnalnya yang berjudul “Kedudukan Anak dalam Persepektif Hukum Islam dan
Hukum Nasional”, hasil penelitianya menjelaskan tentang kedudukan anak dalam
persepektif hukum Islam dan hukum nasional namun tidak menjelaskan
kedudukan anak di luar nikah menurut mazhab Syafi‟i dan keputusan Mahkamah
Konstitusi.19
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan judul yang ingin diteliti maka jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif dengan teknik analisis yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-
18 Ahmad Nur Khozin, Kedudukan Anak di Luar Nikah menurut Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012, (Purwokerto: Skripsi, 2016).
19 M. Anshari, Kedudukan Anak dalam Persepektif Hukum Islam dan Nasional, (2014).
19
konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan
kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-
undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.20
Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan
akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.
Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan.21
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian
kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library reserch)
adalah pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam
materi yang terdapat di ruang perpustakaan, yaitu tentang data-data tertulis
seperti buku, Al-qur‟an, hadis, dll.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif analitis yaitu suatu penelitian yang meliputi
proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Dalam penelitian
ini akan dijelaskan tentang konsep status nasab anak di luar nikah perspektif
20 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.
129. 21 Ibid, hlm. 5.
20
Mazhab Syafi‟i dan putusan Mahkamah Konstitusi untuk kemudian
membandingkan pemikiran keduanya.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu
jenis data yang menguraikan beberapa pendapat, konsep, atau teori yang
menggambarkan atau menyajikan masalah yang berkaitan dengan Kedudukan
Nasab Anak Di luar Nikah menurut pandangan Mazhab Syafi‟i dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi.
sumber data adalah tempat sumber dari mana data itu diperoleh. Adapun
sumber dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yaitu sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer adalah data pokok penulisan yang diambil dari
kitab-kitab Mazhab Syafi‟i, Putusan Mahkamah konstitusi.
2. Bahan hukum skunder adalah data yang tidak berkaitan langsung dengan
sumbernya yang asli. Dengan demikian data sekunder adalah sebagai
pelengkap. Pada data ini penulis berusaha mencari sumber lain atau karya-
karya dan buku-buku lainnya yang berhubungan dan yang ada kaitannya
dengan masalah yang diteliti.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan proposal skripsi ini dilakukan
dengan cara riset perpustakaan (library research) yaitu riset yang digunakan
dengan membaca buku, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Dalam riset perpustakaan ini pengumpulan data yang ditemukan
21
dari berbagai macam buku yang ada hubungannya dengan hukum islam sesuai
dengan judul penelitian.
5. Metode Analisis Data
Di dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode komparasi
(perbandingan). Data-data yang terkumpul di analisis dengan cara
membandingkan di antara keduanya. Metode komparatif adalah metode
membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, atau penelitian yang
dilakukan dengan mengkaji beberapa fenomena-fenomena sosial, sehingga
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan pendapat.22
6. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini agar tidak memperluas
objek kajian dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi
ini merujuk pada teknik penulisan yang disepakati pada Fakultas Syariah UIN
STS Jambi. Penelitian ini terbagi kepda lima bab, di setiap babnya terdiri dari sub-
sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan tersendiri,
tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Adapun
sistematika penulisannya sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini
memaparkan, latar belakang masalah, rumusan masalah. Batasan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.
Bab II, berisikan tentang biografi Imam Syafi‟i dan sejarah terbentuknya
Mahkamah Konstitusi.
22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 6.
22
Bab III, gambaran umum tentang, pengertian anak di luar nikah,
kedudukan anak di luar nikah, dan hak anak di luar nikah.
Bab IV, pembahasan dan hasil penelitian yaitu memaparkan bagaimana
pandangan dan argumentasi mazhab Syafi‟i tentang nasab anak di luar nikah, dan
bagaimana argumentasi mahkamah konstitusi tentang nasab anak di luar nikah.
Bab V, merupakan penutup, berisikan tentang kesimpulan akhir dari
penelitian dan saran penulis.
23
BAB II
BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
A. Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„abbas ibn
Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal-
Muthalib ibn Abd Manaf.23 Lahir di Ghazzah , Syam (masuk wilayah Palestina)
pada Tahun 150 H/767 M. kemudian dibawa ibunya ke Makkah, yang tidak lain
merupakan tanah leluhurnya. Syafi‟i keciltumbuh berkembang di kota itu sebagai
seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam Syafi‟i
adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang yang
berbudi luhur.24
Imam Syafi‟i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal Al-Qur‟an
dalam umur yang masih sangat muda (9 Tahun) dan umur 10 tahun sudah hafal
kitab Al-muwattha‟ karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan untuk
menghafal Hadist. Imam Syafi‟idengan jalan mendengarkan para gurunya,
kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk
menghindari pengaruh bahasa „Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada
saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.
23 Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I
Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm. 355. 24
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 6
24
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari
pengaruh „Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke
Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang
fasih. Sepuluh Tahun lamanya Imam Syafi‟i tinggal di Badiyah itu, mempelajari
Syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli di bidang syair yang digubah golongan
Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan
mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi‟i menghafal Al-Qur‟an,
menghafal hadist, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam
mengendarai kuda dan meneliti penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-
penduduk kota.25
Imam Syafi‟i belajar pada ulama fiqh dan ulama hadist yang ada di
Makkah, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan
yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Khalid Al-Zanji, menganjurkan
supaya Imam Syafi‟i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh
kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena baginya ilmu
bagaikan lautan yang tiada bertepi.26
Sampai padanya kabar bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu
Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal dimana-mana dan
mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu hadist. Imam Syafi‟i ingin pergi
belajar kepadanya, akan tetapi sebelum berangkat ke Madinah ia lebih dahulu
menghafal Al-muwattha‟ karya Imam Malik yang Sudah berkembang pada masa
25 Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I
Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm.357-360 26
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28.
25
itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa
surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian untuk
mendalami fiqih di samping mempelajari Al-muwattha‟. Imam Syafi‟i
mengadakah mudarasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan
Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi‟i telah
mencapai usian dewasa dan matang.27
Di antara hal-hal yang secara serius diperhatikan imam Syafi‟i adalah
tentang metode pemahaman Al-Qur‟an dan sunnah atau metode istinbath (Ushul
Fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan
kaidah-kaidahnya, namum belum ada kaidah-kaidah yamh tersusum dalam sebuah
buku sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum
Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi‟i tampil berperan menyusun
sebuah buku ushul Fiqih. Idenya didukung pula dengan adanya permintaan dari
seorang ahli hadist bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar
Imam Syafi‟i menyusun metodelogi istinbath.28
Imam Syafi‟i di sampimg mengusai bidang al-Kitab, ilmu balaghah, ilmu
fiqih, ilmu berdebat juga dikenal sebagai muhaddist. Orang-orang memberikan
gelar kepadanya Nahir al-Hadist. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila didatangi
seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar meminta
fatwa kepada Imam Syafi‟i. ujarnyabertanyalah kepda pemuda itu.29
27 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481. 28 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 29. 29
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2003), hlm. 233.
26
Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk
mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah,
bermunadadharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.
Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan
akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih sebagai kota
terakhir sebagai tempat tinggalnya untuk mengajarkan Al-Qur‟an dan Sunnah
kepada khalayak ramai. Jika kumpulam Fatwa fatwa beliau di Baghdad disebut
dengan qaul qadim, maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir disebut dengan
qaul jadid.30
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Semua masalah kami tidak pernah
pernah terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai akhirnya kami bertemu
dengan Imam Syafi‟i sungguh, dia orang yang paling paham dengan kitabullah
dan As-sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadist dan para
ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan Mazhabnya,
kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukan
baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Imam Syafi‟i bagai mentari bagi dunia,
dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada orang yang mampu
menggantikan posisinya.31
2. Latar Belakang Sosial Dan Politik
Imam Syafi‟i pada msiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada masa
dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa
30 Ibid, hlm. 232.
31 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:
Almahira, 2010), hlm. 10.
27
Abbas memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana
masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan bani Abbas
semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa
itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi
ilmu dari filsafat yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat
muslim juga sedang semarak.32
Kota-kota Islam di masa itu sedikit demi sedikit mulai di masuki unsur-
unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.
Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban
Islam. Kota tersebut di penuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis
bangsa. Kaum muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan
ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka
sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang
dalam.33
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak
timbul aneka problema social. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak
muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang di sebabkan oleh
interaksi social antara sesame masyarakatnya di mana masing-masing ras
mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari
32 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syafi‟i Hayatuhu wa Ashuru wa Fikruhu Arauhu wa
Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad rivai Utsman, “Imam al-Syafi‟i Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005), hlm. 84.
33 Ibid., hlm. 84
28
interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya
dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.34
Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap
permasalahan yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori
permasalahan ringan maupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang
terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran orang faqih sehingga ia dapat
menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.
Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan
menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian membrikan kaidah-
kaidah umum untuk masalah-masalah furu‟ yang berbeda.35
3. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i menerima ilmu fiqih dan hadist dari banyak guru yang
masing-masing mempunyai manhaj serta tinggal di tempat berjauhan antara satu
dan lainnya. Imam Syafi‟i menerima ilmu dari ulama Makkah, ulama Madinah,
ulama Irak dan ulama Yaman.
Ulama Makkah yang menjadi guru Imam Syafi‟i antara lain: Sufyan ibnu
Uyainah, Muslim ibn khalid Az-zamzi, Said ibn Salim al-Kaddah, Dawud ibn
abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Aziz ibn Abi Dawud.36
Ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik ibn Annas, Ibrahim
ibn Saad al-Anshari, Abdul Aziz ibn Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim ibn Abi
34 Ibid., hlm. 85 35
Ibid., hlm. 86 36
Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ila Mazahib al-Arba‟ah, (Kairo: Dar As-Salam, Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 21
29
Yahya al-Aslami, Muhammad ibn Said Ibn Abi Fuadik, Abdullah ibn Nafi‟ teman
Ibnu Abi Za‟ab.37
Ulama Baghdad yang menjadi gurunya, ialah: Waki‟ ibn Jarrah, Abdul
Wahab ibn Abdul Majid Ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad ibn Usamah al-Kufi,
Ismail ibn Ulayah. Dia juga menerima ilmu dari Muhammad ibn Al-Hasan yaitu
dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung daripadanya.38
4. Dasar-Dasar Imam Syafi’i
Dasar mazhabnya: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas. Beliau tidak
mengambil istihsan sebagai dasar mazhabnya, menolak maslahah mursalah dan
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan, “Barangsiapa yang
telah melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat”. Penduduk Baghdad
mengatakan, “Imam Syafi‟i adalah nashirusunnah, Kitab Al-hujjah yang
merupakan mazhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak: Ahmad bin
Hambal, Abu tsaur, Za‟farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi‟i. Sementara Kitab
Al-umm sebagai mazhab yang baru diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir: Al-
Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi‟ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi‟i mengatakan
tentang mazhabnya, “Jika sebuah hadist shahih bertentangan dengan perkataanku,
maka ia adalah mazhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok”.
5. Karya-Karya Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i banyak menulis kitab-kitab. Sebagiannya ditulis sendiri lalu
dibacakannya kepada orang-orang, atau mereka yang membacakan kepadanya.
37 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997), hlm.480-481 38
Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ila Mazahib al-Arba‟ah, (Kairo: Dar As-Salam, Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 21
30
Sebagian didektekannya. Sangat sulit untuk menghitung kitab-kitabnya, karena
banyak yang sudah hilang. Ia menulis di Makkah, Baghdad, dan Mesir.39 Buku-
bukunya yang ada di tangan para ulama saat ini adalah yang ditulisnya di Mesir.
Diantara kitabnya yang paling terkenal dan banyak memuat pemikiran-pemikiran
beliau adalah:
1) Kitab al-Umm
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang
terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitabal-Umm diantaranya
adalah: Al-Musnad, berisi sad Imam Syafi‟i dalam hadist-hadist Nabi dan juga
untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi‟i, Khilafu Malik,
berisi bantahan-bantahanya terhadap Imam Malik gurunya, Al-Radd „Ala
Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap madzhab ulama Madinah
dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, al-khilafu Ali wa
Ibn mas‟ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu
Hanifah dan ulama Irak dengan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas‟ud,
Sair al-Auza‟i, berisi pembelaanya atas Imam al-Auza‟i dari serangan abu Yusuf,
Ikhtilaf al-Hadits, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi‟i atas hadis-hadis
yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak sendiri, Jima‟
al-„Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi‟i terhadap Sunnah Nabi SAW.
2) Kita ar-Risalah
Kitab Ar-Risalah adalah karya monumental Imam Syafi‟i yang dikenal
sebagai kitab pertama dalam Ushul fiqih, didalamnya banyak membahas rumusan-
39 Ar-Risalah Imam Syafi‟i, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8
31
rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis. Kitab ini merupakan karya Imam
Syafi‟i atas permintaan Abdurrahman Bin Mahdi yang berkaitan dengan
penjelasan makna-makna Al-Qur‟an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma‟
dan penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam Al-Qur‟an dan sunnah. Dan
juga atas dorongan Ali bin Maldini agar Imam Syafi‟i memenuhi permintaan
Abdurrahman bin Al-Mahdi.40 Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi‟i
menulis Kitab Ar-Risalah ini.
Menurut pendapat yang unggul dan dipilih oleh Ahmad Muhammad
Syakir, kitab Ar-Risalah ini ditulis oleh Imam Syafi‟i pada saat beliau berada di
Makkah. Menurut Fakhurrazi dalam manaqib Asy-Syafi‟i, kitab Ar-Risalah ini
ditulis pada saat Imam Syafi‟i berada di Baghdad. Meskipun belum dapat
dipastikan dimanakah Imam Syafi‟i menulis kitab ini, keduanya sama-sama
memuat pengetahuan yang luas.41
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/ 1974 M) ahli hukum islam
berkembangsaan Mesir, menyatakan buku iyu (Ar-Risalah) disusun ketika Imam
Syafi‟i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada
di Makkah. Imam Syafi‟i menyebut bukunya dengan al-Kitab (Kitab atau Buku)
atau Kitabi (kitabku), yang kemudian lebih dikenal dengan Ar-Risalah yang
berarti “sepuncuk surat” karena buku itu merupakan surat Imam Syafi‟i kepada
Abdurrahman Bin Mahdi. Kitab Ar-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan
Ar-risalah al-Qadimah (Risalah Lama).42
40 Ar-Risalah Imam Syafi‟i, terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 13 41
Ar-Risalah Imam Syafi‟i, terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 14 42
Syaikh Ahmad Farid, Min A;lam As-Salaf, Terjemahan. Masturi Irhamdan Asmu‟I Taman, “60 Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2006) hlm. 361.
32
Dinamakan demikian, karena didalamnya termuat pikiran Imam Syafi‟i
sebelum pindah ke Mesir . Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam
rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal
dengan istilah Ar-risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul fiqih
sepakat menyatakan bahwa kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i merupakan kitab
pertama yang memuat masalah-masalah Ushul fiqih secara lebih sempurna dan
sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih
sebagai disiplin ilmu.43 Imam Syafi‟i wafat pada malam jum‟at dan dikebumikan
setelah shalat Ashar hari itu, pada bulan Rajab 204 H. yang bertepatan pada
tanggal 29 Rajab 204 H. atau 19 Januari 820 M.44
B. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
1. Biografi Ibnu Qayyim
Nama lengkap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah Abu Abdillah
Syamsuddin, Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa‟ad bin Huraiz bin
Makiy Zainudin az-Zar‟i ad-Dimasyqi al-Hambali. Adapun sebutan populer beliau
adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Ia lahir tepat pada tanggal 7 Shafar tahun 691
H, atau pada tanggal 4 Februari 1292 M yaitu di Damaskus, Suriah.45 Beliau wafat
pada malam Kamis, 13 Rajab ketika adzan Isya tahun 751 H. Dengan demikian,
usianya genap 60 tahun. Ia dishalatkan di Masjid Jami‟ Umawi, selepas shalat
Dzuhur, kemudian di Masjid Jami‟ Jarah. Ibnu Katsir berkata, “Penguburan
43 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 30. 44 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 4, 2003), hlm.
234. 45
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet. 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 291.
33
jenazahnya sangat ramai, disaksikan oleh para qadhi‟, tokoh dan orang-orang
shalih baik dari kalangan elit maupun awwam. Orang-orang berdesakan untuk
memikul kerandanya”. Ia dimakamkan di Damaskus di Pemakaman Bab Shagir,
berdampingan dengan ibunya.
Beliau merupakan anak dari Abi Bakar bin Ayyub bin Sa‟ad. Buku-buku
biografi sepakat bahwa ia lahir 691 H. Shafadi, muridnya menyebutkan secara
rinci tentang hari dan bulan kelahirannya. Ia lahir pada 7 Shafar tahun 691 H.
Keterangan yang sama disampaikan pula oleh Ibnu Taghri Bardi, Dawudi dan
Suyuthi. Di kalangan para ulama dahulu maupun kontemporer, Imam besar ini
populer dengan sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Sebagian ulama
menyingkatnya dengan hanya menyebut Ibnu Qayyim. Sebutan terakhir lebih
populer di kalangan ulama kontemporer. Sebab populernya nama ini adalah
karena ayahanda beliau, Imam Syaikh Abu Bakar bin Ayyub Az-Zar`i, beberapa
lama menjabat sebagai qayyim (kepala) Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus.
Ayahnya dikenal dengan sebutan “Qayyim Al-Jauziyah” (Kepala Madrasah Al-
Jauziyah). Anak-anak dan keturunannya pun dikenal dengan sebutan tersebut.
Salah seorang dari mereka dipanggil dengan sebutan “Ibnu Qayyim Al-Jauziyah”.
Maka dari itu, ia bukan satu-satunya yang mendapat sebutan ini. Hanya saja,
ketika sebutan ini disampaikan secara mutlak, maka beliaulah rahimahullah yang
dimaksud, karena sebutan ini nyaris telah menyatu dengan namanya.46
Ia tumbuh di sebuah keluarga yang kental dengan keilmuan, keagamaan,
wira‟i, dan keshalihan. Ayahnya Abu Bakar bin Ayyub Az-Zar`i adalah Qayyim
46
Abdillah F. Hasan, Tokoh-tokoh Mashur Dunia Islam (Surabaya: Jawara, 2004), hlm. 290.
34
(kepala) Madrasah Al-Jauziyah. Beliau seorang syaikh terpandang, wira‟i, dan
ahli ibadah. Seorang yang ahli di bidang ilmu faraid, dari beliau sang putra,
Syamsudin Ibnu Qayyim rahimahullah menimba ilmu faraid ini. Adiknya,
Zainudin Abu Faraj Abdurrahman bin Abi Bakar, berusia dua tahun lebih muda.
Kebanyakan guru adiknya sama dengan gurunya, adiknya ini seorang imam yang
diikuti. Kepadanya Ibnu Rajab dan beberapa ulama lain berguru, ia wafat pada
tahun 769 H. Keponakannya Imadudin Abul Fida` Isma`il bin Zainudin
Abdurrahman, salah seorang ulama yang terpandang, ia memiliki sebagian besar
literatur pamannya, yaitu Syamsudin Ibnu Qayyim,wafat tahun 799 H.
2. Perjalanan Keilmuan
Ibnu Qayyim menuntut ilmu kepada Abul Abbas Ahmad Abdurrahman
Al-Maqdisi sejak usia dini. Ibnu Qayyim telah meriwayatkan dari gurunya
tersebut beberapa kisah tafsir mimpi dalam Zadul Ma`ad.47 Kemudian ia berkata;
“Beginilah keadaan guru kami dan keahlian beliau dalam ilmu tafsir mimpi. Saya
pernah medengar beberapa bagian tentang tafsir mimpi darinya, akan tetapi saya
belum berkesempatan membaca di hadapan beliau tentang ilmu ini, dikarenakan
ketika itu saya masih kanak-kanak dan beliau keburu wafat, semoga Allah
melimpahkan rahmat kepada beliau”.
Terkait dengan perjalanan Ibnu Qayyim dalam menuntut ilmu, Bakar Abu
Zaid mengatakan: “Bagaimanapun, jika perjalanan menuntut Ilmu Ibnu Qayyim
tidak dikenal luas, maka ia memiliki alasannya,Ibnu Qayyim hidup di suatu masa
di mana ilmu-ilmu keislaman telah disusun dan disebarluaskan di berbagai
47
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 1992 ), hlm. 199.
35
penjuru dunia. Damaskus pada masa itu termasuk salah satu kawasan yang
dikenal kaya dengan ilmu pengetahuan. Damaskus merupakan kiblat dan
persinggahan perjalanan para ulama. Ia menjadi impian semua penuntut ilmu dan
orang-orang yang ingin memuaskan dahaga ilmu. Maka tidak mengherankan jika
perjalanan menuntut ilmu Ibnu Qayyim tidak populer. Bagaimana mungkin ia
pergi menuntut ilmu sedangkan kondisi Damaskus di bidang ilmu pengetahuan
seperti itu. Terlebih, Syaikhul Islam, yaitu Syaikh Abul Abbas Ahmad bin
Taimiyah rahimahullah justru datang ke kota tersebut. Manusia yang paling
beruntung adalah yang didatangi rizkinya di depan pintu rumahnya.
3. Mazhab Ibnu Qayyim
Ibnu Qayyim dalam berbagai biografi mengenainya, disebutkan bahwa ia
bermazhab Hanbali, sebagaimana para guru dan muridnya. Namun yang ia
lakukan adalah mengikuti pendapat yang didukung oleh dalil dan membuang
fanatisme madzhab yang tercela. Bagaimana mungkin ia fanatik kepada suatu
madzhab sedangkan ia membenci taqlid dan selalu mengingatkan dan
menghimbau orang-orang yang bertaqlid untuk mempelajari ilmu. Ia berbicara
panjang lebar tentang hukum ijtihad dan taqlid di dalam bukunya I`lamul
Muwaqqi`in lebih dari seratus halaman.
Sejauh ini, penulis tidak menemukan kedudukan Ibnu Qayyim dalam
tingkatan para mujtahid, apakah ia masuk dalam tingkatan mujtahid atau tidak.
Wahbah Zuhaili menyebutkan ada enam tingkatan mujtahid, yaitu mujtahid
mutlak mustaqil, mujtahid mutlak ghairu mustaqil, mujatahid muqayyad,
36
mujtahid takhrij, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa.48 Dalam enam tingkatan
tersebut, tidak disebutkan posisi Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Namun, di sini
Ibnu Qayyim adalah tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hanbali.
Meskipun Ibnu Qayyim adalah tokoh dalam mazhab Hanbali, penulis tidak
menemukan referensi yang menjelaskan Ibnu Qayyiim masuk dalam salah satu
tingkatan mujtahid tersebut.
Corak pemikiran Ibnu Qayyim lebih cenderung ahlul hadis. Karena, dalam
menetapkan hukum beliau lebih melihat dan merujuk kepada dalil naqli. Berbeda
dengan ulama yang bercorak ahlul ra‟yi, yang lebih mementingkah rasio. Ibnu
Qayyim bukanlah seorang ulama yang berfikiran ekstrim dalam menerima atau
menolak pendapat maupun mazhab, beliau adalah pemikir moderat yang
mengakui kebesaran imam-imam mazhab, namun selalu berusaha mencari
kebenaran dari dalil-dalil yang mereka pakai.
Ibnu Qayyim membedakan tentang pengetahuan disiplin suatu mazhab
dengan taqlid. Beliau menghidupkan kembali al-sunah yang mulai ditinggalkan.
Secara umum, antara Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan gurunya Ibnu Taimiyah tidak
terdapat perbedaan dalam kerangka berpikirnya, yaitu kerangka berfikir dalam
Mazhab Hanbali yang ahlul hadis. Ibnu Qayyim lebih cenderung kepada performa
yang moderat dalam pemikirannya.
4. Guru-Guru Ibnu Qayyim
Ibnu Qayyim memiliki banyak guru. Hal itu karena semangatnya yang
tinggi dalam menuntut ilmu. Di antara guru-gurunya adalah Ayahnya, Abu Bakar
48 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ed. In, Fiqih Islam; Pengantar Ilmu
Fiqih, Tokoh-Tokoh Mazhab Fiqih, Niat, Thaharah, Shalat, (terj: Andul Hayyie a-Kattani, dkk), jilid 1, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 44-46.
37
bin Ayyub Az-Zar`i, Abu Bakar Ahmad bin Abdudaim Al-Maqdisi, wafat pada
tahun 718 H, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, wafat tahun 728 H, Abul Abbas Ahmad bin Abdurrahman Asy-Syihab
Al-`Abir, wafat tahun 697 H, Ismail bin Muhammad Al-Fara` Al-Harrani,
Syaikhul Hanabilah, wafat tahun 729 H, Ismail Yusuf bin Maktum Al-Qaisi Asy-
Syafi`i, wafat tahun 716 H, Ayub bin Ni`mah Al-Kahal An-Nablusi Ad-Dimasyqi,
wafat tahun 730 H, Sulaiman bin Hamzah bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisi
Al-Hanbali, Ahli Hadits dan Qadhi besar Syam, wafat tahun 715 H, Syarafuddin
Abdullah bin Abdul Halim bin Taimiyah An-Numairi, saudara Syaikhul Islam,
wafat tahun 727 H, Isa bin Abdurrahman Al-Mutha`im, Ahli Hadits di zamannya,
wafat tahun 709 H, Fatimah binti Syaikh Ibrahim bin Mahmud Al-Bathaihi Al-
Ba`li, seorang wanita ahli hadits, wafat tahun 711 H, Badr Ibnu Jama‟ah:
Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah Al-Kanani Asy-Syafi`i, seorang Imam yang
termasyhur dan memiliki banyak karya tulis, wafat tahun 733 H, dan masih
banyak lagi yang lainnya.
5. Murid-murid Ibnu Qayyim
Banyak orang yang berguru kepadanya karena keimaman, keutamaan serta
keilmuannya yang kemudian menjadi ulama muktabar, di antaranya yaitu
putranya Ibrahim, Burhanuddin bin Muhammad bin Abu Bakar Az-Zar`i, ia
seorang yang sangat cerdas luar biasa, wafat tahun 756 H, Ibnu Katsir atau Ismail
Imaduddin Abul Fida‟ bin Umar bin Katsir al-Quraisyi Asy-Syafi‟i, seorang imam
dan hafizh yang termasyhur, wafat tahun 774 H. Ibnu Rajab atau Abdurrahman
bin Ahmad Al-Hanbali, penulis banyak buku yang bermanfaat, wafat tahun 795
38
H, As-Subki, adz-Dzahabi, Ibnu Abdil Hadi, An-Nablusi, Al-Fairuz Abadi,
Muhammad bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Quraisyi Al-Muqari At-Tilmisani,
wafat tahun 759 H, dan masik banyak lainnya.M. Ali Hasan menyebutkan murid-
muridnya yang paling terkenal ada enam orang, yaitu:
1) Ibnu Rajab (tokoh fikih dari mazhab Hanbali)
2) Ibnu Katsir (Mufassir dan Muhaddis)
3) Burhan bin Qayyiim dan Syarifuddin bin Qayyim (putra Ibnu Qayyim al-
Jauziyah yang ahli dalam bidang fikih)
4) Muhammad bin Ahmad bin Usman bin Qaimaz az-Zahabi at-Turkmani asy-
Syafi‟i (muhaddis)
5) Ibnu Abd. Hadi bin Qudamah al-Maqdisi as-Salihi al-Hanbali (tokoh Fikih
Hanbali)
6) Abu Thahir Muhammad bin Ya‟qub al-Fairuzzabadi (tokoh fikih).
6. Karya-karya Ibnu Qayyim
Terdapat banyak karya tulis yang dibuat oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Paling tidak, dalam dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa karnyanya, yaitu
kitab Ijtimā‟ al-Juyūsy al-Islāmiyah, I‟lām al-Muwāqi„īn „an Rabb al-„Ālamīn,
Ighāṡah al-Laḥfān min Masyāyidi asy-Syaiṭān, Amṡal al-Qur‟ān, At-Tibyān fī
Aqsām al-Qur‟ān, Tuhfah al-Maudūd fī Aḥkām al-Maulūd, At-Tafsīr al-Qayyim,
Tahdzīb Mukhtaṣar Sunan Abi Daud, Jalā‟u al-Afhām fī aṣ-Ṣalat wa as-Salām
„alā Khair al-Anām, Hadi al-Arwah ilā Bilād al-Afrah, Ad-Da‟ wa ad-Dawā‟,
39
Rauḍah al-Muhibbin wa Naẓah al-Musytaqīn, Zād al-Ma‟ād fī Hadyi Khair al-
‟Ibād, dan kitab Nikāḥul Muhrim.49
49 Ibid.,hlm.293.
40
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN NASAB ANAK DI
LUAR NIKAH
A. Pengertian Nasab
Kata nasab secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu –نَسْبا يَنِْسُب
berarti memberikan ciri-ciri dan نََسَب الَر ُجلُ apabila terdapat kalimat -نََسبَ
menyebutkan keterunannya. Di samping itu bentuk jamak nasab adalah ansab
sebagaimana Allah (Q.S. Al. Mu‟minun(23):101) :
َْى ََل ٌَتَسَبٓءَلُ َّ هَئِٖر ْۡ َ ٌ ُِۡن َ ٌ ٍۡ َة ثَ ِْز فَََلٓ أًَسَب ً ٱلصُّ فَإَِذا ًُفَِخ فِ
Apabila sangkakala ditiup maka maka tidaklah lagi ada pertalian nasab
di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling
bertanya.50
Kedua, kata nasab juga disebutkan dalam Surah Al-Furqan (25) ayat 54
sebagai berikut.
َّكَبَى زَثَُّك قَدٌِٗس َِّصِٗۡسۗا ُۥ ًَسَجٗب َ هَِي ٱۡلوَبِٓء ثَشَٗسا فَجَعَلَ َْ ٱلَِّري خَلََق ُ ُ َّ
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu
Maha Kuasa.51
al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa kata
ِْسُ الصِ dan الٌََستُ keduanya bersifat umum yang mencakup hubungan kerabat di
50
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2002), hlm. 346
51 Ibid, hlm. 366
41
antara manusia. Dalam hal ini secara hal ini secara lebih jelas Ibnu-Arabi
sebagaimana yang dikutip oleh Al-Qurthubi menjelaskan bahwa nasab sebuah
istilah yang menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum
seorang wanita atas dasar ketentuan syariat, jika melakukannya dengan cara
maksiat, hal itu tidak lebih dari sekedar reproduksi biasa, nukan merupakan nasab
yang benar, sehingga tidak bisa masuk dalam kandungan ayat tahrim, maksudnya
tidak ada pengaruh dalam hubungan haram dan tidak haram untuk menikah, juga
tidak adanya kewajiban „iddah, sehingga seorang wanita yang hamil bukan karena
nikah, melainkan dalam kasus married by accident, maka untuk menikah tidak
perlu menunggu anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata nasab secara
bahsa berarti keturunan atau kerabat. Bahkan secara tegas Su‟di Abu Habib
mengatakan bahwa arti kata nasab sama dengan kerabat. Namun demikian baik
kata keturunan, kerabat, maupun nasab sendiri pada kenyataanya telah menjadi
bahasa Indonesia resmi dan telah diakui.52
Nasab yang telah menjadi bahasa Indonesia dan telah masuk dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia itu diartikan sebagai keturunan (terutama dari pihak
bapak) atau pertalian keluarga.53Hampir sama dengan defenisi terakhir ini, dalam
Ensiklopedia Islam, nasab di diartikan sebagai keturunan atau kerabat, yaitu
pertalian keluarga melalui akad nikah perkawinan yang sah.54
52 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, edisi.2,cet.2, (Jakarta:
Amzah, 2013), hlm, 22-25. 53 Kamus Besar Bahasa Indoneisa Digital 54 Ensiklopedia Islam, hlm.13.
42
Dengan adanya batasan bahwa nasab merupakan pertalian keluarga
melalui perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Islam
di atas, tampaknya akan menimbulkan masalah tersendiri, sebab menurut konsep
fiqih, anak yang lahir menurut pernikahan yang fasid dan melalui hubungan badan
secara syubhat tetap menyebabkan timbulnya hubungan nasab anak kepada ayah
kandungnya. Demikian juga rumusan defenisi menurut uraian yang terdapat
dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Di sana disebutkan bahwa nasab adalah
pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari
suatu pernikahan yang sah. Tampaknya kedua defenisi ini harus diubah atau
setidaknya diberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut sebab dalam hukum Islam,
nasab dapat dibentuk melalui nikad fasid atau nikah yang syarat dan rukunnya
kurang sempurna atau nikah yang status hukumnya status hukumnya
diperselisihkan para ulama, seperti nikah kontrak atauy nikah mut‟ah.
Adapun pengertian nasab secara terminologi tampaknya tidak dapat
dipisahkan dengan pengertian secara etimologi di atas, yaitu keturunan atau
kerabat. Dalam Ensiklopedia Indonesia, nasab didefenisikan sebagai keturunan
ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas
(bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan
seterusnya), maupun kesamping (saudara, paman, bibi, dan lain-lain).55
Adapun pengertian nasab secara syara‟ ialah sebagai berikut, keadaan
hukum yang disandarkan antara seorang dengan orang lain yang mana orang
tersebut terlepas dari seorang Rahim seorang wanita yang terikat dalam ikatan
55 Ensiklopedia Indonesia, hlm. 2337.
43
suami istri maupun ikatan kepemilikan yang sah di mana, baik ikatan suami istri
maupun akad kepemilikan itu diakui kebenarannya atau mirip dengan diakui
kebenarannya. Ketetapan ini dihubungkan kepada seorang yang melalui
spermanya itu terjadi. Pada dasarnya defenisi syara‟ ini sudah mencakup dan
mewakili semua aspek yang ada di dalamnya.
Lebih lanjut, nasab juga bisa didefenisikan sebagai pertalian kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Dalam kamus
istilah fiqh, nasab adalah keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak
menerima harta warisan karena pertalian darah atau keturunan. Dalam kamus
istilah Agama, kata nasab dalam Al-Qur‟an sebagai keturunan dan kekeluargaan.56
Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa nasab secara terminologi
adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke
bawah, maupun ke samping yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari
perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan secara syubhat.
Namun demikian karena ternyata permasalahan nasab ini dapat ditetapkan bukan
hanya melalui perkawinan dan hubungan badan secara syubhat, khususnya
menyangkut nasab hamba sahaya seperti pada zaman dahulu, maka dalam
pembahasannya membutuhkan berbagai macam aspek yang ada kaitannya dengan
masalah ini termasuk dalam hal cara menetapkan nasab melalui pengakuan dan
bahkan dengan cara-cara lain.
56
Dian Mustika, dkk, Nalar Fiqh (Forum Kajian Hukum Keluarga), (UIN STS Jambi, Volume. 17, No 1, Juni 2017), hlm.3-4.
44
B. Pengertian Anak di Luar Nikah
Dalam kamus bahasa Indonesia dikemukakan bahwa anak luar nikah
adalah anak yang dilahrikan oleh seorang perempuan dan perempuan itu tidak
berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya
menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.57
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil hubungan kelamin luar
nikah. Dalam hukum islam anak tersebut dapat dianggap anak luar nikah adalah:58
1. anak zina adalah anak yamh lahir dari hasil hubungan kelamin tanpa
pernikahan, karena perbuatan yang dilakukan orang yang menyebabkan
kelahiran anak tersebut.
2. Anak mu‟anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang istri akan tetapi
keberadaan anak itu dibantah oleh suami sebagai anaknya dan menuduh
istrinya telah berbuat zina dengan pria lain dengan cara melakukan sumpah
li‟an terhadap isterinya.
3. Anak syubhat adalah anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang
digauli dengan cara syubhat. Syubhat dalam hal ini, menurut jawad
Mughniyyah yaitu seorang laki-laki menggauli seorang wanita yang haram
atasnya karena tidak tahu dengan keharaman itu.
Istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”,
berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata, sebab
dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari
57 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 80. 58
Dian Mustika, dkk, Nalar Fiqh (Forum Kajian Hukum Keluarga), (UIN STS Jambi, Volume. 17, No 1, Juni 2017), hlm. 10-11.
45
hubungan dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, dimana
salah seorang atau kedua-duanya terikat suatu perkawinan dengan orang lain.
Oleh karena itu, anak di luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah
anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang
tidak diartikan sebagai anak zina.
Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka
yang dimaksudkan dengan “anak zina” dalam pembahasan ini adalah anak yang
janin/pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, sebagai dari perbuatan zina.
Penetapan asal-usul anak dalam prespektif hukum Islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan
mahram (nasab) antara anak dan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap
anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi
ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut
dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya dapat nasab
dengan ibunya.59
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 102 tidak merinci batas minimal dan
maksimal bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sah
59
H. Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: prenada Media, 2004), hlm. 276.
46
tidaknya anak yang dilahirkan istrinya, akan tetapi Al-Qur‟an memberikan
petunjuk jelas dalam masalah ini.
Batas minimal bayi dalam kandungan adalah 6 bulan dihitung dari saat
akad nikah dilangsungkan. Ketentuan ini diambil dari Firman Allah SWT (QS.
Al-Aḥqāf :15) dan (QS. Luqmān : 14).:
َْى َشًِۡساِۚ … ُۥ ثَلََٰثُ َ ُۥ َّفَِصَٰلُ َ َحوۡلُ َّ …Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan(dua
setengah tahun)…60
… َُ ُٖۡي َّفَِصَٰلُ َّ ًٌُۡب عَلَىَٰ َّ ُۥ َ هُّ َُ أُ ٍۡيِ َحوَلَۡت َه ً عَب ۥ فِ
…ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun61
kedua ayat tersebut, Oleh Ibn Abbas dan disetujui para ulama, ditafsirkan
bahwa ayat pertama menunjukan bahwa tenggang waktu mengandung dan
menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah
bayi disusukan secara sempurna