Upload
pakde-yashiki
View
99
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS ICU
I. Identitas pasien
Nama : Tn G
Jenis kelamin : Pria
Umur : 24 tahun
Alamat : Gembongan, Kel. Dayakan, Kec. Secang RT/RW 06/03
Magelang
Tanggal masuk ICU : 6 November 2013, pukul 12.30
II. Primary survey
Airway : terpasang nasal kanul oksigen
Breathing : nafas spontan dengan frekuensi 24 kali/menit
Circulation :Tekanan darah 132/91 mmHg, nadi 105 kali/menit
Disability : GCS 15 (E4V5M6)
Exposure : temperatur axilla 40°C
III. Secondary survey
1. Anamnesis
Keluhan utama
Badan panas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien merasakan badannya panas sejak tiga hari yang lalu,panas muncul
setelah pasien selesai berolah raga lari, panas terjadi terus menerus,tidak
menggigil dan berkeringat,disertai kepala pasien pusing,tidak ada mual
atau pun muntah, buang air kecil pasien normal tidak perih ataupun
panas, buang air besar pasien normal tidak ada diare,kotoran berwarna
kecoklatan,konsistensi padat tidak bercampur darah.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit malaria sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada
Riwayat alergi :
Tidak memiliki alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu.
Riwayat Pekerjaan : pasien sebelumnya pernah ditugaskan ke Papua
sebelum bertugas pasien diberi darplex, setelah pulang dari Papua, pasien
dan 27 orang temannya saat diperiksa terkena malaria.
2. Pemeriksaan fisik umum
Keadaan umum : tampak lemah dan gelisah
Kesadaran : CM
Keadaan gizi : cukup
Kepala leher
o Umum : ekspresi tampak sesak nafas
o Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus +/+, pupil bulat isokor.
Thoraks
o Inspeksi : bentuk dan ukuran dada normal, pergerakan dinding
dada simetris, retraksi ICS (+)
o Palpasi : gerakan dinding dada simetris,
o Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
o Auskultasi :
Pulmo : vesikular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : S1,S2 reguler, murmur (+)
Abdomen
o Inspeksi : tampak perut datar
o Auskultasi : peristaltik normal
o Palpasi : nyeri tekan (+), hepar 1 jari dibawah arcus costae
o Perkusi : tympani
Ekstremitas atas dan bawah
o Akral hangat, edema pada ke empat ekstremetas (+), kulit ikterik,
turgor kulit cukup
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 01/03/2013 pkl 14.30
Jenis Pemeriksaan
Hasil Nilai Rujukan01/03/2013
Hemoglobin 12.4 11-15 g/dlHematokrit 38 36-48 %Eritrosit 4.51 3.5-5.5
juta/µLLeukosit 12.300 4,800-
10,800/ µLTrombosit 214.000 150,000-
400,000/ µLMCV 84.3 80-96 fLMCHC 32.6 32-36 g/dLRDW 15.1 11,5-14,5 %Glucose 54 70-115 mg/dlCholesterol 83 <200 mg/dlTriglyceride 99 <150mg/dlUreum 139 <50mg/dlCreatinine 2.7 <1.3 mg/dlUric Acid 22.3 2.3-8.2 mg/dlSGOT 147 3-35 U/ISGPT 103 8-41 U/IAlbumin 3.7 3.8-5.1 g/dlTotal Protein 6.4 6.6-8.3g/dlBilirubin direct 13.6 <0.25 mg/dlBilirubin total 31.6 <1.1 mg/dl
Rontgent : kesan cardiomegali
USG abdomen : kesan congestive liver
4. DD
Malaria
Demam Thypoid
Dengue Fever
ISK
5. Terapi
- Posisi setengah duduk
- O2 2 liter/mnt
- Nacl/ Asering 10 tpm
- Lasix 8 amp/24 jam i.v
- Dopamin 8 μg/kgBB/menit i.v
- Ranitidine 2x1 i.v
- Cefirom 2x1 i.v
- Syncone 2x1
- Hepatin 2x1
- Q10 plus 2x1
- Pradoxa 2x100
- Plavix 1x1
IV. PERJALANAN PENYAKIT DAN TERAPI DI ICU
01/03/13
Pagi Siang malam
KU
TD
Nadi
RR
Sp O2
Balance Cairan
Gangguan
Airway
Breathing
circulation
Lemah, CM
132/91 mmHg
105 x/menit
24 x/menit
98%
(-)
Hiperventilasi
Hipertensi,
takikardia
Lemah, CM
101/62 mmHg
95 x/menit
22 x/menit
98%
(-)525
(-)
Hiperventilasi
takikardia
Terapi - Posisi setengah duduk
- O2 2 liter/mnt
- Nacl/ Asering 10 tpm
- Lasix 8 amp/24 jam i.v
- Dopamin 8 μg/kgBB/menit i.v
- Ranitidine 2x1 i.v
- Cefiron 2x1 i.v
- Syncore 2x1
- Hepatin 2x1
- Q10 plus 2x1
- Pradaxa 2x100
- Plavix 1x1
- Batasi minum
02/03/13
Pagi Siang malam
KU
TD
Nadi
RR
Sp O2
Balance Cairan
Gangguan
Airway
Breathing
Circulation
Lemah, CM
147/83 mmHg
99 x/menit
24 x/menit
98%
(-)
Hiperventilasi
Hipertensi,
takikardia
Lemah, CM
140/80
111x/menit
23x/menit
98%
(-)
Hiperventilasi
Hipertensi,
takikardia
Lemah, CM
116/81
95x/menit
28x/menit
95%
(+) 455
(-)
Hiperventilasi
Takikardia
Terapi - Posisi setengah duduk
- O2 2 liter/mnt
- Nacl/ Asering 10 tpm
- Lasix 8 amp/24 jam i.v
- Dopamin 8 μg/kgBB/menit i.v
- Ranitidine 2x1 i.v
- Cefpirom 2x1 i.v
- Syncore 2x1
- Hepatin 2x1
- Q10 plus 2x1
- Pradaxa 2x100
- Plavix 1x1
- Captopril 3x25
- Batasi minum
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Heart Failure (HF)
1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah keseluruh jaringan tubuh secara
adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. (Davis
RC,et al,2003).
Pasien dengan HF harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Gejala-gejala (symptoms) dari HF berupa sesak nafas yang spesifik pada
saat istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah dan tak bertenaga.
2. Tanda-tanda (signs) dari HF berupa retensi air seperti kongesti paru, edema
tungkai
3. Objektif, ditemukan abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung.
2. Etiologi
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi
gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung
lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan
masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume
sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi
tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, kontraktilitas, afterload.
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot
jantung.
Kontraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan
kadar kalsium
Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah
jantung berkurang.
3. Patofisiologi
Penurunan kontraksi ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah
arteri yang efektif. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraksi jantung. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload,
dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi
gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator
dan diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung ada
tiga mekanisme primer yang dapat dilihat: 1) meningkatnya aktivitas adrenergic
simpatik, 2) Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin
aldosteron, dan 3) Hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini
mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Kelainan pada kerja
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan
beraktivitas.
Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin
kurang efektif. Menurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan
membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas
adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf
adrenergic jantung dan medulla adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi
akan meningkat untuk menambah curah jantung. Juga terjadi vasokonstriksi
arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya
seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian
peristiwa: 1) penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
2) pelepasan renin dari apparatus jukta glomerulus, 3)interaksi rennin dengan
angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, 4) konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II, 5) Perangsangan sekresi aldosteron dari
kelenjar adrenal, dan 6) retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus
pengumpul.
4. Manifestasi Klinis
Kegagalan ventrikel kiri
Kegagalan ventrikel kiri untuk memompakan darah yang mengandung
oksigen guna memenuhi kebutuhan tubuh berakibat dua hal :
1). Tanda- tanda dan gejala- gejala penurunan cardiac output
2). Kongesti paru- paru
a.Dispnea
Pernafasan yang memerlukan tenaga merupakan gejala dini dari kegagalan
ventrikel. Bisa timbul akibat gangguan pertukaran gas karena cairan di dalam
alveoli. Hal ini bisa menjadi payah karena pergerakan tubuh, misal menaiki
tangga, berjalan mendaki dll. Karena dengan kegiatan tersebut memerlukan
peningkatan oksigen.
b.Orthopnea
Timbul kesukaran bernafas pada waktu berbaring terlentang dan orang harus tidur
pakai sandaran di tempat tidur atau tidur duduk pada sebuah kursi. Bila orang
tidur terlentang ventilasi berkurang dan volume darah pada pembuluh- pembuluh
paru- paru meningkat (Gillespie ND, 2005).
Kegagalan ventrikel kanan
Kegagalan ventrikel kanan terjadi bila bilik ini tidak mampu memompa
melawan tekanan yang naik pada sirkulasi paru- paru. Kegagalan ventrikel kanan
dalam memompakan darah akan mengakibatkan oedema pada ekstrimitas. Pada
hati juga mengalami pembesaran karena berisi cairan intra vaskuler, distensi vena
jugularis, tekanan di dalam sistem portal menjadi begitu tinggi sehingga cairan
didorong melalui pembuluh darah masuk ke rongga perut (acites) akibatnya akan
mendesak diafragma yang akhirnya akan susah untuk bernapas (Necel, 2009).
5. Klasifikasi
Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari HF, berdasarkan
tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan menggunakan kriteria menurut NYHA
(New York Heart Association), sedangkan untuk menekankan pembagian HF
berdasarkan progresivitas kelainan struktural dari jantung dan perkembangan
status fungsional menggunakan kriteria AHA (American Heart Association).
Tabel 1. Klasifikasi menurut AHA dan NYHA
Klasifikasi gagal jantung
menurut ACC/AHA
Tingkatan gagal jantung
berdasarkan struktur dan kerusakan
otot jantung
Klasifikasi fungsional NYHA
Tingkatan berdasarkan gejala
dan aktifitas fisik
Stadium A Kelas I
Memiliki resiko tinggi untuk
berkembang menjadi gagal jantung.
Tidak terdapat gangguan structural
atau fungsional jantung, tidak terdapat
tanda atau gejala
Tidak terdapat batasan dalam
melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
berat menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak napas.
Stadium B
Telah terbentuk penyakit
struktur jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala.
Kelas II
Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktifitas fisik
sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Stadium C
Gagal jantung yang simptomatik
berhubungan dengan penyakit
structural jantung yang mendasari
Kelas III
Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak
Stadium D
Penyakit jantung structural
lanjut serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat
walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal (refrakter)
Kelas IV
Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas
6. Faktor Risiko
Faktor risiko juga dapat digolongkan menjadi 2 kategori lain yang berbeda,
yakni faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang sering ditemukan antara lain kadar
kolesterol darah tinggi, kadar LDL (Low Density Lipoprotein) tinggi, kadar
trigliserida tinggi, hipertensi, diabetes, Indeks Massa Tubuh berlebih, aktivitas
fisik yang kurang, serta merokok (terdapat pada pasien dalam kasus ini). Semua
faktor risiko tadi merupakan faktor risiko yang dapat dikontrol, baik dengan
perubahan gaya hidup maupun medikasi. Sedangkan usia tua, jenis kelamin
wanita dan riwayat penyakit jantung pada keluarga merupakan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi (Camm A.J., Luscher T.F., Serruys P.W., 2009).
7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham, yaitu
didapatkan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada
pada saat yang bersamaan (Sudoyo, et al, 2009).
1) Kriteria mayor:
a. Paroxismal Nocturnal Dyspneu
b. Distensi vena leher
c. Ronkhi paru
d. Kardiomegali pada pemeriksaan radiologi
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
g. Peninggian tekanan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
i. Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
2) Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispneu de effort
d. Hepatomegali & Asites
e. Efusi pleura
f. Takikardi (HR > 120x/menit)
g. Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Kriteria minor diterima bila tidak disebabkan oleh kondisi medis
lain seperti hipertensi pulmoner, penyakit paru kronis, sirosis, asites dan sindrom
nefrotik (Sudoyo, et al, 2009).
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rontgen Thorax
Bisa ditemukan kardiomegali, edema paru dan efusi pleura Tapi
banyak juga pasien CHF tanpa disertai kardiomegali.
2) Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting,
meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi dan kadang
etiologi. Kelainan segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMI
atau Non STEMI). Gelombang Q petanda infark transmural sebelumnya. Adanya
hipertrofi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT yang
memenjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan.
3) Echocardiography
Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting untuk
evaluasi kelainan struktural dan fungsional dari jantung
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut maupun kronik ditujukan
untuk memperbaiki gejala dan prognosis, serta kualitas hidup, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi.
Pendekatan pada pasien gagal jantung antara lain dengan: 1) menentukan
penyakit yang mendasari; 2) mengendalikan faktor-faktor pencetus atau penyulit;
3) menentukan derajat gagal jantung; 4) mengurangi beban jantung ( mengurangi
aktivitas fisik dan berat badan ); 5) memperbaiki kontraktilitas ( fungsi ) miokard;
6) koreksi terhadap retensi garam dan air; 7) mengevaluasi apakah ada
kemungkinan dilakukan koreksi bedah (Fathoni, 2007).
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penatalaksanaan secara non farmakologis dan farmakologis, keduanya
dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan paripurna
penderita gagal jantung.
A. Penatalaksanaan Non Farmakologis
1. Edukasi kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan
yang dapat dilakukan sendiri.
2. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan
pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi
alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita
terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat.
3. Gagal jantung kronis dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi
terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik
pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan
penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis (Fathoni, 2007).
B. Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi gagal jantung terdiri atas : 1) terapi spesifik terhadap kausa yang
mendasari gagal jantung, misalnya revaskularisasi pada PJK atau valve repair
untuk penyakit jantung katup; dan 2) terapi non spesifik terhadap sindroma klinis
gagal jantung.
Adapun dasar-dasar terapi gagal jantung kongestif :
Preload meningkatRestriksi garam, diuretika,
venodilator
Curah jantung rendah, tahanan
vaskuler sistemik meningkatArteriolar dilator/inhibitor ACE
Kontraktilitas menurun Obat inotropik positif
Frekwensi denyut jantung cepat
Fibrilasi atrial
Takikardia sinus
Tingkatkan blok atrio-ventrikular
Perbaiki kemampuan ventrikel kiri
Obat-obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain:
diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors,
betablocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol), digoxin, spironolakton,
vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif
inotropik.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina
serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan
pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri
koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi
keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi
jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian intravena
dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat
dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 µg/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide
adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat
menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena
menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 µg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
µg/kg/menit (Fathoni, 2007).
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100
mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau
vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan
akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
Pemberian dopamin 2 µg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 µg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada
pemberian 5 – 15 µg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan
beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian
dopamin akan merangsang reseptor adrenergik beta 1 dan alfa 2,
menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan
meningkatnya kontraktilitas. Dosis umumnya 2 – 3 µg/kg/mnt, untuk
meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 µg/kg/mnt. .
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,
ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan
mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada
penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrio-ventrikular
derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi
fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan
pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada
penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik (Fathoni, 2007).
10.Prognosis
Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20% dan
pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis. Angka
ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis. Mortalitas
pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IVsebasar lebih dari 50% pada tahun
pertama.
B. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.
2. Patofisiologi
Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama
karena interaksi antara faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya kenaikan
tekanan darah tersebut adalah:
1. Faktor risiko, seperti: diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas, merokok dan
genetis.
2. Sistem saraf simpatis yaitu tonus simpatis dan variasi diurnal.
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi.
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin,
aldosteron.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Tekanan darah menurut JNC 7
Klasifikasi
Tekanan DarahTDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
4. Manifestasi klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala;
meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya
berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak).
Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing,
wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita
hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal, pandangan
menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan
ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan
bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati
hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
5. Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi
seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Menghambat laju penyakit ginjal.
a. Non Farmakologis
menghentikan kebiasaan merokok
Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.
Meningkatkan aktifitas fisik. Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena
hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-
45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
Mengurangi asupan natrium
Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol. Kafein dapat memacu jantung bekerja
lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.
Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi.
b. Farmakologi
Diuretik
a. Golongan tiazid
Golongan ini bekerja dengan menghambat simporter Na-Cl di tubulus distal
ginjal, sehingga meningkatkan eksresi Na+ dan Cl-. Prototipe golongan ini adalah
hidroklorotiazid (HCT). Selain itu juga terdapat bendroflumetazid, indapamid dll
dengan waktu paruh yang berbeda-beda. HCT sendiri memiliki waktu paruh 10-
12 jam. Sampai saat ini tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi.
Umumnya efek hipotensi tiazid baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai
maksimum setelah 2-4 minggu. Efek samping dari tiazid antara lain hipokalemia,
hiponatremia, hipomagnesemia, hiperkalsemia dan hiperurisemia. Tiazid juga
dapat menyebabkan hiperlipidemia, hiperglikemia dan kurang efektif pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.
b. Diuretik kuat/loop diuretic
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle pars asendens dengan menghambat
kotransporter Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Diuretik
kuat digunakan sebagai antihipertensi terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (kreatinin serum >2.5 mg/dL) atau gagal jantung. Termasuk dalam
golongan diuretik kuat adalah furosemid, bumetanid, torasemid dan asam
etakrinat. Efek sampingnya antara lain hipokalemia, hiponatremia,
hipomagnesemia dan hiperkalsiuria.
c. Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium digunakan terutama dalam kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Termasuk dalam golongan ini adalah
amilorid, triamteren, dan spironolakton (antagonis aldosteron). Diuretik hemat
kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan gagal
ginjal atau bila dikombinasi dengan ACE-inhibitor, ARB, β-blocker, AINS atau
suplemen kalium.
Penghambat adrenoreseptor beta (β-blocker)
β-blocker bekerja dengan menghambat reseptor β1 sehingga menimbulkan
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard, menghambat
sekresi renin, mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin (vasodilator). Efek penurunan tekanan darah dapat terlihat
dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai. Dari berbagai β-blocker,
atenolol merupakan obat yang sering dipilih (bersifat kardioselektif). Selain itu
terdapat juga labetolol, karvedilol dll yang umumnya nonselektif. Β-blocker
dikontraindikasikan pada penderita asma bronkial, bradikardia, blokade AV
derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome dan gagal jantung belum stabil. Efek samping
β-blocker antara lain bronkopasme, gangguan sirkulasi perifer, depresi, mimpi
buruk, halusinasi dan gangguan fungsi seksual.
ACE-inhibitor
ACE-inbitor merupakan obat yang bekerja dengan menghambat enzim
angiotensin converting enzyme (ACE) yang dalam keadaan normal bertugas
mengaktifkan angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 yang berperan dalam sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron, di mana aldosteron berfungsi mengkonservasi air
dalam tubuh. Selain itu ACE-inhibitor juga menghambat degradasi bradikinin,
sehingga bradikinin dapat bekerja meningkatkan sintesis EDRF/NO dan
prostasiklin yang merupakan vasodilator. ACE-inhibitor juga diduga menghambat
pembentukan angiotensin II secara lokal di endotel pembuluh darah.
Secara umum ACE-inhibitor dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu 1)
yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril dan 2) prodrug,
contohnya enalapril, kuinapril dan perindopril. ACE-inhibitor efektif untuk
hipertensi ringan hingga berat, hipertensi dengan gagal jantung kongestif,
hipertensi pada diabetes, dislipidemia, obesitas, hipertensi dengan penyakit
jantung koroner, hipertrofik ventrikel kiri dll. Untuk memperkuat efeknya ACE-
inhibitor sering dikombinasikan dengan diuretik, β-blocker atau vasodilator. ACE-
inhibitor dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral
pada ginjal tunggal serta pada ibu hamil. Efek samping yang ditimbulkan antara
lain hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, rash kulit, edema angioneurotik, gagal
ginjal akut, dan proteinuria.
Penghambat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blocker/ARB)
ARB bekerja dengan menghambat efek angiotensin II pada reseptor AT1
(yang terutama terdapat di otot polos pembuluh darah dan otot jantung, selain itu
terdapat juga di ginjal, otak, dan kelenjar adrenal). Efek yang dihambat meliputi:
vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, sekresi vasopresin,
rangsangan haus, stimulasi jantung, serta efek jangka panjang berupa hipertrofik
otot polos pembuluh darah dan miokard. Efek yang ditimbulkan ARB mirip
dengan efek yang ditimbulkan ACE-inhibitor, namun ARB tidak memiliki efek
samping batuk kering dan angioedema. Losartan merupakan prototip dari
golongan ARB, selain itu ada juga valsartan, irbesartan, dll. Efek samping yang
ditimbulkan antara lain hipotensi dan hiperkalemia. Obat ini dikontraindikasikan
pada ibu hamil dan menyusui serta pada pasien dengan stenosis arteri renalis
bilateral atau unilateral pada ginjal tunggal.
Antagonis kalsium/calcium channel blocker
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard, menimbulkan efek relaksasi arteriol dan penurunan
resistensi perifer. Berbagai antagonis kalsium antara lain nifedipin, verapamil,
diltiazem, amlodipin, nikardipin, isradipin, dan felodipin. Golongan dihidropiridin
(seperti nifedipin, nikardipin, dll) bersifat vaskuloselektif , menurunkan resistensi
perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti (efek pada nodus SA dan AV
minimal). Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat
(dosis 10mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit), namun
tidak dianjurkan untuk hiperensi dengan penyakit jantung koroner. Efek samping
antagonis kalsium antara lain iskemia miokard, hipotensi, edema perifer,
bradiaritmia, dll.
Penghambat saraf adrenergic
Penghambat saraf adrenergik meliputi reserpin, guanetidin dan guanadrel.
Reserpin bekerja dengan menghambat uptake dan memecah katekolamin
(epinefrin dan norepinefrin) di ujung vesikel. Efek yang ditimbulkan adalah
penurunan curah jantung dan resistensi perifer. Efek samping reserpin antara lain
depresi mental, penurunan ambang kejang, bradikardia, hipotensi ortostatik, dan
hiperasiditas lambung yang dapat mengeksaserbasi ulkus lambung dll. Sedangkan
guanetidin dan guanadrel bekerja dengan menggeser norepinefrin dari vesikel dan
mendegradasinya, sehingga menurunkan tekanan darah melalui penurunan curah
jantung dan resistensi perifer. Efek samping guanetidin antara lain hipotensi
ortostatik dan diare.
Penghambat adrenoreseptor alpha (α-blocker)
Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula
sehingga menurunkan resistensi perifer. Termasuk ke dalam golongan ini adalah
prazosin, terazosin, bunazosin, dan doksazosin. α-blocker memiliki keunggulan
yaitu efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi perifer. Efek
samping yang ditimbulkan antara lain hipotensi ortostatik, sakit kepala, palpitasi,
edema perifer, mual dll.
Adrenolitik sentral (metildopa dan klonidin)
Metildopa merupakan prodrug dalam susunan saraf pusat yang
menggantikan kedudukan dopa dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir α-
metilnorepinefrin. Efek yang ditimbulkan antara lain mengurangi sinyal simpatis
ke perifer sehingga menurunkan resistensi vaskular tanpa banyak mempengaruhi
frekuensi dan curah jantung. Obat ini efektif bila dikombinasikan dengan diuretik,
dan merupakan pilihan utama untuk pengobatan hipertensi pada ibu hamil karena
terbukti aman bagi janin. Efek samping yang sering adalah sedasi, hipotensi
postural, pusing, mulut kering, sakit kepala, depresi, dll
Klonidin bekerja pada reseptor α-2 di susunan saraf pusat dengan efek
penurunan simpathetic outflow dan menurunkan resistensi perifer dan curah
jantung. Obat ini digunakan sebagai obat kedua atau ketiga jika penurunan
tekanan darah dengan diuretik belum optimal. Efek samping yang sering timbul
antara lain mulut kering, sedasi, dll.
Vasodilator (hidralazin, minoksidil, diazoksid)
Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol melalui
mekanisme yang belum diketahui. Obat ini biasanya digunakan sebagai obat
kedua atau ketiga setelah diuretik dan β-blocker. Efek samping yang timbul antara
lain sakit kepala, mual, hipotensi, takikardia, dll. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien penyakit jantung koroner dan tidak dianjurkan pada pasien usia di
atas 40 tahun.
Minoksidil bekerja dengan membuka kanal kalium ATP-dependent dengan
akibat terjadinya efluks kalium dan hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh
relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi. Efek samping yang timbul
antara lain retensi cairan dan garam, refleks simpatis, hipertrikosis, hiperglikemia
dll. Minoksidil harus diberikan bersama dengan diuretik dan penghambat
adrenergik (biasanya β-blocker) untuk mencegah retensi cairan dan mengontrol
refleks simpatis.
Diazoksid merupakan derivat benzotiazid namun tidak memiliki efek
diuresis. Obat ini bekerja dengan mekanisme mirip minoksidil. Diazoksid
diberikan untuk mengatasi hipertensi darurat, hipertensi maligna, hipertensi
ensefalopati, dan hipertensi berat pada glomerulus akut dan kronik. Efek samping
yang ditimbulkan atntara lain retensi cairan dan hiperglikemia
C. Gagal Ginjal Kronis (GGK) /Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Definisi
Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis
GGKditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73 m2
(National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI)). Hal ini karena penurunan separuh fungsi ginjal tersebut bisa
menimbulkan komplikasi penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dan komplikasi
kardiovaskular.
Batasan penyakit GGK :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan LFG,dengan manifestasi :
a. Kelainan patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal ( komposisi darah atau urin atau kelainan
dalam tes pencitraan )
2. LFG < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama 3 bulan, denganatau tanpa kerusakan ginjal
2. Etiologi
Beberapa tipe berikut ini merupakan penyebab utama kerusakan ginjal yaitu :
Gangguan imunologis : glomerulonefritis, poliartritis nodosa, SLE.
Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) :Hipertensi yang berlangsung lama
dapat mengakibatkan perubahan – perubahan stuktur pada arteriol
diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)
dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini adalah jantung,
otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibataterosklerosis ginjal akibat
hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan
akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris dan
permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara histologi lesi yang
esensial adalah sklerosis arteri arteri kecilserta arteriol yang paling nyata
pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan
kerusakan glomerulusdan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak
Gangguan metabolik : amiloidosis, diabetes mellitus, nefropati diabetik
Gangguan pembuluh darah ginjal : arterisklerosis, nefrosklerosis.
Infeksi : pielonefritis, tuberkulosis
Gangguan tubulus primer : nefrotoksin (analgesik, logam berat)
Obstruksi traktus urinarius :batu ginjal, hipertrofi prostat, konstriksi
uretra
Kelainan kongenital : penyakit polikistik
Obat dan racun – mengkonsumsi obat yang berlebihan atau yang
mengandung racun tertentu dapat menimbulkan masalah pada ginjal.
Selain itu penggunaan obat-obatan terlarang seperti heroin, ganja dapat
juga merusak ginjal.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan terbanyak sebagai
berikut : glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi
(20%), ginjal polikistik (10%).
3. Faktor Resiko
Pasien dengan Diabetes Mellitus atau hipertensi, obesitas atau perokok,
berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes
mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga.
4. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit GGK didasarkan atas dua hal yaitu derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 – umur ) x BB
*
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*perempuan dikalikan 0,85
Ada beberapa klasifikasi dari GGK yang dipublikasikan oleh National
Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya :
Berdasarkan Derajat penyakit Berdasarkan Etiologi
1. 1. Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau meningkat (> 90)
2. LFG menurun ringan (60-89 )
3. LFG menurun sedang (30-59)
4. LFG menurun berat (15-29)
5. Gagal ginjal (< 15 atau dialisis)
1. Penyakit ginjal diabetes ( DM tipe 1 dan
2 )
2. Penyakit ginjal non diabetes
3. Penyakit pada transplantasi
5. Tanda dan Gejala
1. Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner,
perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), Edema periorbital, Friction
rub pericardial, Pembesaran vena leher
2. Dermatologi :Warna kulit abu-abu mengkilat, Kulit kering bersisik, Pruritus,
Ekimosis, Kuku tipis dan rapuh, Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner :Sputum kental, Nafas dangkal, Pernafasan kussmaul.
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan; Nafas berbau ammonia;
Ulserasi dan perdarahan mulut; Konstipasi dan diare, Perdarahan saluran cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, Kelemahan dan keletihan, Konfusi/
perubahan tingkat kesadaran, Disorientasi, Kejang, Rasa panas pada telapak
kaki, Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Kram otot, Kekuatan otot hilang, Kelemahan pada tungkai,
Fraktur tulang, Foot drop.
7. Reproduksi : Amenore, Atrofi testis
8. Sindrom uremia : lemah letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volum cairan, neuropati perifer, uremic frost, perikarditis, kejang, koma.
6. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi
struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai
oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron (RAA) intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi sclerosis dan progresivitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis RAA, sebagian diperantarai oleh Growth
Factor, seperti Transforming Growth Factor B (TGF-B). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap progresivitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas inter
individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstisial. Pada stadium paling dini GGK, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peniingkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai LFG di bawah 30 %,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium
dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi lebih
serius dan memerlukan terapi pengganti ginjal, antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.
Azotemia adalah retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan
insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas
insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun
uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti
anoreksia, malaise, muntah, dan sakit kepala. Uremia tidak hanya mempengaruhi
kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada
fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi,
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi,
dan penyakit tulang metabolik.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada
GGK muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari
permukaan tubuh dan menjadi lebih parah dengan semakin memburuknya fungsi
ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom
apabila tidak ada faktor lain yang memperberatseperti defisiensi besi yang terjadi
pada gagal ginjal.
7. Diagnosis
1) Gambaran klinis
a. Sesuai penyakit yang mendasari DM, infeksi traktus urinarius,
hipertensi,hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES).
b. Sindrom uremia ( lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang sampaikoma.
c. Gejala komplikasi ( hipertensi, anemia, osteodistorfi renal, payah
jantung, asidosismetabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida)
2) Gambaran Laboratoris
a. Penurunan fungsi ginjalPeningkatan kadar ureum kreatinin serum,
penurunan LFG
b. Kelainan biokimiawi darah (penurunan Hb, peningkatan kadar asam
urat,hiper/hipokalemia, hiponatremia, hiper/hipokloremia,
hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis metabolik.)
c. Kelainan urinalisis (proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria)
3) Gambaran Radiologis
a. FPA, bisa tampak radio opak
b. Pielografi intravena (jarang) karena kontras sering tidak bisa
melewatifilter glomerulus, khawatir pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yangsudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad dan retrograd sesuai indikasi
d. USG ginjal, memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
4) Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yg masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Tujuannya
mengetahui etiologi, terapi, prognosis, dan mengevaluasi terapi yg
diberikan.
8. Pencegahan
Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi, pengendalian
gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas
fisik dan pengendalian berat badan.
9. Penatalaksanaan
LFG ≥ 90ml/mnt/1,73m2 terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler.
LFG 60-89 menghambat perburukan fungsi ginjal
LFG 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
<15 terapi pengganti ginjal
a. Terapi spesifik terhadap penyakitnya
Waktu paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan LFG sehingga
pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal masih normal secara
USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Perlu pencatatan kecepatan penurunan LFG, untuk mengetahui kondisi
komorbid. Faktor komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi tidak terkontrol, infeksi tract. urinarius, obstruksi tract urinarius, obat –
obatan nefrotoksik, bahan kontras atau peningkatan penyakit dasarnya.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama : hiperfiltrasi glomerulus, ada 2 cara untuk menguranginya
yaitu ;
- Pembatasan Asupan Protein mulai dilakukan LFG < 60 ml/mnt.Protein
diberikan 0,6 - 0,8/kgBB/hr. Jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hr.
- Terapi farmakologis pemakaian OAH, untuk megurangi hipertensi
intraglomerulus danhipertrofi glomerulus. Beberapa OAH terutama ACEI,
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Terapi non farmakologi :
a.Pembatasan protein :
- Pasien nondialisis 0,6-0,75 gram/kgBB/hr sesuai CCT dan toleransi pasien
- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hr
b. Pengaturan asupan kalori : 35 kal/kgBBideal/hr
c. Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tak jenuh
d. Pengaturan asupan KH : 50-60% dari total kalori
e. Garam NaCl : 2 -3 gr/hr
f. Kalsium : 1400-1600 mg/hr
g. Besi : 10 -18 mg/hr
h. Magnesium : 200 –300 mg/hr
i. Asam folat pasien HD : 5 mg
j. Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml ( insensible water loss )
Terapi farmakologis :
a.Kontrol tekanan darah :
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah
c. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 – 22 mEq/l Kontrol
dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan golongan satin.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Meliputi pengendalian DM, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia dan
terapi kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
- Anemia disebabkan oleh defisiensi eritropoitin, defisiensi besi, kehilangan
darah (perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek
akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi
uremik, proses inflamasi akut atau kronik. evaluasi anemia dimulai saat Hb < 10 g
% atau Ht < 30%, meliputi evaluasi status besi ( kadar besi serum/serum iron ),
kapasitas ikat besi total, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan hemolisis.
Transfusi darah yang tidak cermat Kelebihan cairan tubuh, hiperkalemi,
danpemburukan fungsi ginjal.
Sasaran Hb 11-12 gr/dl
Terapi pengganti ginjal (hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplan ginjal)
stadium 5, LFG < 15 ml/mnt.
Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG).Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat.
Indikasi dialisis adalah :
1.Uremia > 200 mg%
2.Asidosis dengan pH darah < 7,2
3.Hiperkalemia > 7 meq/ liter
4.Kelebihan / retensi cairan dengan taanda gagal jantung / edema paru
5.Klinis uremia, kesadaran menurun ( koma )
Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
10. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresivitas dari GGK
itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya sering
terlambat.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien S, perempuan, 62 tahun ,dirawat dengan diagnosis CHF, congestive
liver, CKD. Pada kasus ini diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
monitoring di ICU.
Pengelolaan pasien di ICU meliputi tindakan resusitasi yang meliputi
dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti : Airway (fungsi jalan napas),
Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak)
dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif.
A. Manajemen Airway
Posisi badan pasien setengah duduk, usahakan kepala-leher-dada pada satu
garis lurus untuk mempertahankan ekstensi.
B. Manajemen Breathing
Pada pasien dipasang nasal kanul oksigen 2 liter/menit. Pemberian Oksigen
melalui kanul hanya mampu memberikan oksigen 24-44%
C. Manajemen Sirkulasi
Berat badan pasien 40kg. Terapi cairan di ICU dalam 24 jam pertama:
Maintanance
4 x 10 = 402 x 10 = 201 x 20 = 20
80 ml/jam
Pasien diberi cairan ringer asetat intravena dikarenakan cairan tersebut
komposisi elektrolit dan tekanan osmotiknya hampir sama dengan plasma.
Pada hari pertama di ICU balance cairan pasien (-)525 ml/hari , pada hari
kedua (+) 455 ml/hari. Itu menunjukan bahwa output lebih banyak dibandingkan
input.
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald E. (2003). Heart Failure and Cor Pulmonal. In: Kasper DL, et al, eds. Harrison’s principles of internal medicine 16th ed, New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division :1367-77.
Camm A.J., Luscher T.F., Serruys P.W., (2009). The ESC Cardiovascular Medicine Second Edition. Oxford University Press, p.110-117.
Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. (2003). ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ, 320:39-42.
Fathoni, Mochammad. (2007). Heart Failure Pathophysiology and Management. Dalam : CatKul IPD Jantung. Forrinsik 04 FKUNS, Surakarta, p.10.
Necel. (2009). Gagal Jantung. Samarinda: Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman; 5-9.
Philip I, Jeremy P.T. (2008). At a Glance Sistem Kardiovaskular. Edisi 3. Jakarta; Penerbit Erlangga; hal. 94-97.
Prince, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses proses penyakit. Ed 6. Jakarta. EGC. Vol 1. pp 576 – 593.
Santoso A, et al. (2007). Gagal Jantung. Available from : http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf
Stefan S, Florian L. (2006). Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal : 218-227.
Sudoyo, et al. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. jil:I. ed:V. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta: .HAL: 1597
Sugeng dan Sitompul. (2003). Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, p.44.