Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
0
1
LAPORAN KASUS
PSORIASIS PUSTULOSIS GENERALISATA
PADA PENDERITA HEPATITIS C
dr. Ni Luh Putu Ratih Vibriyanti Karna, Sp.KK, FINSDV
dr. Ni Wayan Sulianti Siskadewi
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
2
PENDAHULUAN
Psoriasis merupakan suatu kondisi kulit patologis yang bersifat kronik residif dan
ditandai dengan adanya percepatan pertukaran sel epidermis. Kelainan ini dapat
diklasifikasikan berdasarkan bentuk klinisnya yaitu psoriasis vulgaris, psoriasis
gutata, psoriasis inversa, psoriasis eritroderma, psoriasis pustulosa, sebopsoriasis,
psoriasis popok dan psoriasis linear.1,2,3
Psoriasis pustulosa merupakan salah satu bentuk klinis psoriasis yang ditandai
dengan erupsi pustul yang bersifat steril dengan dasar eritematosa dan terasa nyeri.4
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa yaitu psoriasis pustulosa lokalisata dan
psoriasis putulosa generalisata (PPG). Psoriasis pustulosa generalisata sendiri
mencakup PPG akut, psoriasis pustulosa dalam kehamilan (impetigo herpetiformis),
psoriasis pustulosa bayi dan remaja, psoriasis pustulosa anuler, psoriasis pustulosa
lokalisata (bukan pada tangan dan kaki) sedangkan tipe lokalisata terdiri dari
pustulosa palmoplantar (PPP) dan akropustulosa (akrodermatitis kontinua of
Hallopeau).5 Seluruh varian psoriasis pustulosa memiliki gambaran klinis serupa
yang melibatkan erupsi psutul superfisial, khususnya dengan dasar eritema.6
Sekitar 2-3 juta penduduk atau 1% populasi terjangkit psoriasis di Amerika
Serikat, 2,9% di Denmark, 2% di Inggris dan 0,3% di Cina. Prevalensi wanita sama
dengan pria dan muncul pada segala usia.7 Pada penelitian yang dilakukan di RSUP
Prof. R. D. Kandou Manado pada bulan Januari hingga Desember 2012 didapatkan 5
kasus (10,41%) PPG akut dari total 48 pasien psoriasis.8 Berdasarkan buku register
poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Imunologi Alergi RSUP Sanglah dalam 2
tahun terakhir didapatkan 7 kasus PPG 9
Secara klinis, PPG memiliki kemiripan dengan acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP). Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
histopatologi untuk membedakan PPG dengan AGEP.10,11
Hepatitis C disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C dan akan menyebabkan
terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Penularannya adalah melalui
darah, cairan tubuh, melalui jarum suntik, tansplantasi organ, kecelakaan kerja
(petugas kesehatan) dan hubungan seks. Pada penelitian yang dilakukan di
Universitas Fukuoka di Jepang didapatkan hasil bahwa infeksi virus hepatitis C dapat
3
menginduksi terjadinya psoriasis.12 Cohen et al juga menemukan hubungan antara
infeksi hepatitis C dengan psoriasis dimana didapatkan prevalen hepatitis C pada
pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan prevalen pada kelompok kontrol (1,03
berbanding 0,56).13
Terapi sistemik lini pertama yang umum digunakan pada kasus PPG adalah
metotreksat, namun terapi lain seperti siklosporin, asitretin dilaporkan dapat
memberian respon yang baik. Siklosporin ada inhibitor sel T yang bekerja secara
langsung menghambat fungsi sel T dan interleukin-2. National Psoriasis Foundation
Consencus Conference pada tahun 2009 menyatakan bahwa siklosporin mempunyai
peran yang penting dalam penanganan kasus psoriasis.14
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus yang membahas mengenai PPG pada
penderita hepatitis C yang diterapi menggunakan siklosporin. Laporan kasus ini
dibuat karena PPG termasuk kasus yang jarang dijumpai dan pada laporan kasus ini
akan diuraikan pendekatan untuk penegakkan diagnosis serta penggunaan modalitas
terapi siklosporin pada penderita PPG sehingga diharapkan dapat menambah
pengetahuan kita.
KASUS
Seorang wanita, usia 57 tahun, suku Sunda, warga negara Indonesia, status sudah
menikah dengan nomor RM 17038127 dari RS Wangaya ke UGS RSUP Sanglah
pada tanggal 4 September 2017 dengan diagnosa Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis (AGEP). Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluh timbul bintik -
bintik bernanah sejak 8 hari yang lalu. Awalnya terdapat bercak merah pada leher
kemudian bercak merah tersebut semakin merah dan timbul bintik - bintik bernanah
di atasnya yang kemudian menyebar ke dada, punggung, kedua lengan dan kaki.
Bintik - bintik bernanah timbul mendadak, cepat mneyebar, jumlahnya banyak dan
beberapa bergabung menjadi satu membetuk seperti pulau. Bintik bernanah ini
kemudian beberapa menjadi kering dan megelupas. Pasien juga mengeluhkan rasa
gatal pada bintik bernanah tersebut.
Pasien juga mengatakan rutin meminum obat meloksikam selama satu bulan
karena keluhan nyeri di sendi .
4
Pasien dirawat di RSU Wangaya 9 hari yang lalu karena keluhan demam,
mual, muntah, badan terasa lemas, nyeri otot dan sendi. Selama dirawat pasien diberi
terapi paracetamol 500 mg setiap 8 jam (oral), metil prednisolon 62,5 mg setiap 12
jam (selama 2 hari) kemudian di tappering off menjadi 62,5 mg setiap 24 jam,
seftrikason 1 gr setiap 12 jam selama 3 hari, pantoprazole intravena 40 mg setiap 24
jam dan desoksimetason 0,25%+gentamisin krem 2x per hari. Pasien juga telah
dilakukan tes provokasi obat dan obat yang dicurigai adalah meloxicam.
Adanya nyeri tenggorokan, batuk dan pilek disangkal oleh pasien. Pasien
tidak mengetahui apakah ada gigi berlubang. Riwayat mengoleskan minyak
tradisional disangkal.
Riwayat pengobatan berupa pengolesan minyak tradisional disangkal.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya, pasien juga pernah mengalami keluhan
yang sama seperti ini sejak 5 tahun yang lalu dan sering kambuh. Pasien kemudian
datang berobat ke dokter untuk mengobati penyakitnya dan mendapat pengobatan
berupa salep dan obat minum tapi pasien tidak tahu namanya. Pasien mengatakan
keluhan kulitnya membaik dengan terapi tersebut. Pasien mengatakan tidak pernah
menderita keluhan kulit menebal dan bersisik.
Riwayat penyakit atau keluhan yang sama pada ayah, ibu, saudara kandung,
kakek dan nenek dari pihak ibu maupun ayah, disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita sedang dan
kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan
20x/menit, denyut nadi 84x/menit, suhu aksila 36,9⁰C, BB: 71 kg, TB:160 cm, BMI:
27,7 kg/m2 (overweight). Pada status generalis didapatkan kepala normocephali, pada
pemeriksaan kedua mata tidak tampak anemis dan ikterus. Pemeriksaan telinga,
hidung, tenggorokan tidak ditemukan kelainan dan pada leher tidak ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening.Pemeriksaan thorax,pada jantung didapatkan suara
jantung (S1 dan S2) tunggal, regular, tidak terdapat murmur dan gallop. Pada paru,
suara nafas vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki maupun wheezing. Pada
pemeriksaan abdomen, bising usus dalam batas normal, tidak ditemukan distensi,
tidak ada pembesaran hepar dan lien. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak
ditemukan edema pada kedua tungkai bawah.
5
Status dermatologis pada leher, thoracoabdominal anterior et posterior dan
ekstremitas superior dekstra et sinistra didapatkan efloresensi pustul multipel bentuk
bulat dengan ukuran diameter 0,2-0,3 cm diatas dasar kulit eritema. Makula eritema
multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 1x1 cm-3x4 cm . Erosi multipel,
batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1cm - 1x1,5 cm, beberapa diantaranya
ditutupi oleh skuama putih tipis (Gambar 1a-e). Pada ekstremitas inferior dekstra et
sinistra didapatkan efloresensi pustul multipel, bentuk bulat, ukuran diameter 0,2-0,3
cm beberapa berkonfluen memberikan gambaran lake of pus, ukuran 2x2 cm-3x5 cm
di atas dasar kulit yang eritema. Erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika,
ukuran 1x2 cm -4x5 cm beberapa diantaranya ditutupi oleh skuama putih tipis
(gambar 1f-g)
1A 1C
1B
1D
1E
6
Gambar 1A-F. Tampak pustul multipel ukuran bervariasi diatas dasar kulit yang eritema. Gambar
1G. Tampak pustul multipel yang berkonfluen membentuk gambaran lake of pus
Diagnosis banding pada pasien ini adalah acute generalized exanthematous
pustulosis (AGEP) dan psoriasis pustulosa generalisata. Pemeriksaan penunjang yang
direncanakan antara lain pemeriksaan pulasan gram, darah lengkap, kimia klinik, urin
lengkap dan biopsi jaringan untuk pemeriksaan histopatologi. Hasil pemeriksaan
pulasan gram dari lesi pustul didapatkan leukosit 8-10/lpb tanpa kuman dan dari lesi
erosi didapatkan leukosit 10-15/lpb tanpa kuman. Pemeriksaan darah lengkap pada
tanggal 4 September 2017 didapatkan leukosit 24,60 (4,10-11,00x103/µL); neutrofil
22,86 (2,50-7,50x103/µL); limfosit 0,96 (1,00-4,00x103/µL); monosit 0,74 (0,10-
1,20x103/µL); eosinofil 0,13 (0,00-0,50x103/µL); basofil 0,04 (0,00-0,10x103/µL);
eritrosit 5,60 (4,5-5,9x106/µL); hemoglobin 12 (12-16,0 g/dL); hematokrit 38,05
(36,0-46,0); trombosit 293 (140,0-440,0x103/µL). Pada pemeriksaan kimia klinik
didapatkan SGOT 205,3 (0-27 U/L); SGPT 391,70 (0-34 U/L); albumin 2,7 (3,4-4,8
g/dL); BUN 19 (8-23 mg/dL); kreatinin 1,05 (0,51-0,95 mg/dL); glukosa darah
sewaktu 210 (80-140 mg/dL); natrium 136 (136-145 mmol/L); kalium 4,0 (3,5-5,1
mmol/L). Hasil pemeriksaan urin lengkap, didapatkan pH 7,50 (7,35-7,45); leukosit
negatif (negatif); protein negatif (negatif); glukosa normal (normal); bilirubin negatif
(negatif); eritrosit negatif (negatif); sedimen urin leukosit 1/lp (<6), tidak ditemukan
adanya eritrosit dan silinder; bakteri (+).
1F 1G
7
Pengambilan jaringan kulit (biopsi) di regio cruris sinistra telah dilakukan dan
sedang menunggu hasil.
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis kerja acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) dengan
diagnosis banding psoriasis pustulosis generalisata (PPG). Penatalaksanaan pada
penderita adalah pasien dirawat inap, eliminasi obat yang dicurigai (meloxicam),
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes per menit, metil prednisolon 62,5 mg setiap 24 jam secara
intravena dan cetirizine tablet 10 mg setiap 24 jam per oral. Untuk terapi topikal
diberikan hidrokortison 2,5% krem setiap 12 jam pada lesi kemerahan, dan kompres
terbuka pada lesi erosi basah dan pustul dengan larutan Nacl 0,9% selama 15 menit
3x/hari. Pada keluarga pasien diberikan KIE mengenai penyakit serta pengobatan
yang diberikan.
Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam karena pada pemeriksaan darah
didapatkan peningkatan fungsi hati dan kadar gula darah sewaktu. Pasien didiagnosis
transaminitis et causa suspect viral dan hiperglikemi state et causa suspect stres
hiperglikemi. Tidak ada terapi spesifik dari bagian interna untuk pasien dan
direncanakan untuk pemeriksaan USG abdomen, Hb1AC, HbsAg, anti HCV dan
mengevaluasi kembali SGOT/SGPT setiap 3 hari.
Pasien juga dikonsulkan ke bagian gizi karena terdapat penurunan kadar
albumin. Pasien didiagnosa low intake dan terapi yang diberikan adalah diit 2000
kalori, 90 gr protein, ensure 60 gr 3x sehari dan virgin coconut oil 270 kalori.
PENGAMATAN LANJUTAN I ( Hari ke-7: 11 September 2017)
Pengamatan pada hari ke-11, dari anamnesis lesi baru (pustul) masih timbul, lesi
lama sebagian sudah mengering. Gatal kadang – kadang dirasakan. Tidak ada
demam, nyeri menelan, batuk, pilek, mual serta muntah. Makan dan minum baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita baik dan
kesadarankompos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, suhu aksila
36,5˚C, frekuensi napas 20x/menit. Pemeriksaan status generalis didapatkan dalam
batas normal.
8
Status dermatologi pada thoracoabdominal anterior et posterior, ekstremitas
superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan pustul multipel bentuk bulat dengan
ukuran diameter 0,2-0,3 cm beberapa berkonfluen membentuk gambaran lake of pus
di atas dasar kulit eritema. Makula eritema multipel, batas tegas, bentuk geografika,
ukuran 3x4cm – 6x7 cm. Erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 1x2
cm - 4x5 cm, beberapa diantaranya ditutupi oleh skuama putih tipis (gambar 2A-2F)
2A 2B
2C
2D
9
Gambar 2A-F. tampak makula eritema multipel dengan skuama putih tipis di atasnya
(gambar 2A-2F).
Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 11 September 2017 didapatkan
leukosit 21,56 (4,10-11,00x103/µL); neutrofil 83,16 (2,50-7,50x103/µL); limfosit 2,12
(1,00-4,00x103/µL); monosit 1,36 (0,10-1,20x103/µL); eosinofil 0,05 (0,00-
0,50x103/µL); basofil 0,1 (0,00-0,10x103/µL); eritrosit 4,13 (4,5-5,9x106/µL);
hemoglobin 12 (12-16,0 g/dL); hematokrit 35,11 (36,0-46,0); trombosit 329 (140,0-
440,0x103/µL). Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan SGOT 46,0 (0-27 U/L);
SGPT 233,70 (0-34 U/L); HbA1c 6,3 (4,8-5,9); albumin 2,9 (3,4-4,8 g/dL); HbsAg:
non reaktif; anti HCV: reaktif. Hasil pemeriksaan USG abdomen atas dan bawah,
didapatkan kesan hepar, lien, pancreas, ginjal kanan dan kiri, buli, uterus tidak
tampak kelainan.
Hasil pemeriksaan histopatologi sediaan kulit regio cruris sinistra, tanggal 11
September 2017, nomor PA 3273/PP/2017 didapatkan pada epidermis tampak
subcorneal pustul dengan gambaran spongiform fistel of kogoy. Pada dermis tampak
infiltrat radang PMN neutrofil dan limfosit pada perivaskuler dan interstitil. Saat ini
tidak tampak adanya eosinofil. Kesimpulan : gambaran morfologi sesuai untuk
2F 2E
10
Subcorneal Pustul dengan gambaran Pustule of Kogoy dengan infiltrat PMN neutrofil
dan limfosit tanpa eosinofil dd/Psoriasis Pustulosa Generalisata
.
Gambar 3a. Tampak jaringan epidermis dan dermis. Terdapat pustul subkorneal yang didominasi oleh
infiltrat neutrofil. 3b. Tampak infiltrat neutrofil yang memenuhi jaringan parakeratosis. 3c. Pada
lapisan dermis terdapat infiltrat neutrofil, limfosit.
Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis kerja follow up psoriasis pustulosa generalisata (hari rawat ke-7).
Penatalaksanaan pada penderita antara lain siklosporin 150 mg tiap 12 jam per oral
(hari pertama), metilprednisolon 16 mg tiap 8 mg per oral, cetirizine 10 mg setiap 24
jam per oral, hidrokortison 2,5% krem setiap 12 jam topikal pada lesi kemerahan,
kompres terbuka pada lesi erosi basah dan pustul dengan larutan Nacl 0,9% selama
15 menit 3x/hari, urea 10% krem setiap 12 jam topikal, KIE pada pasien mengenai
penyakit dan pengobatan yang diberikan.
Diagnosis dari bagian interna adalah transaminitis et causa Hepatitis C virus
dan hiperglikemik state et causa stres hiperglikemik. Terapi yang diberikan
hepatoprotektor 1 tablet setiap 24 jam.
Pasien dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut, didapatkan diagnosis kerja
gangren pulpa 14, gangren radiks 13 dan 24. Penatalaksanaan yang diberikan adalah
direncanakan ekstraksi gigi jika kondisi pasien sudah membaik.
PENGAMATAN LANJUTAN II ( Hari ke-9: 13 September2017)
Pengamatan pada hari ke-8, dari anamnesis didapatkan lesi lama sudah mengering,
lesi baru tidak ada, gatal sudah berkurang. Pasien juga tidak mengeluh mual, muntah
dan demam.
3c 3b 3a
11
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran
kompos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 84x/menit, frekuensi napas
20x/menit, suhu aksila 36,5˚C. Pemeriksaan status generalis didapatkan dalam batas
normal.
Status dermatologi pada leher, thoracoabdominal anterior et posterior,
ekstremitas superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan makula hiperpigmentasi
multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 2x5 cm - 6x7cm. Erosi multipel,
batas tegas, bentuk geografika ukuran 1x2 - 4x5 cm dengan skuama putih tipis
diatasnya (gambar 4A-E).
Gambar 4A-E. Tampak makula hiperpigmentasi multipel dengan skuama putih tipis diatasnya
Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 13 September 2017 didapatkan
leukosit 18,37 (4,5-13,50x103/µL); neutrofil 17,23 (2,50-7,50x103/µL); limfosit 0,90
4A
3E 4D
4C 4B
12
(1,00-4,00x103/µL); monosit 0,21 (0,10-1,25x103/µL); eosinofil 0,01 (0,00-
0,50x103/µL); basofil 0,03 (0,00-0,10x103/µL); eritrosit 4,17 (4,5-5,9x106/µL);
hemoglobin 12 (12-16 g/dL); hematokrit 38,12 (36,0-46,0); trombosit 345,90 (140,0-
440,0x103/µL). Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan SGOT 23,9 (11-33 U/L);
SGPT 126,40 (11-50 U/L); albumin 3,1 (3,4-4,8 g/dL); glukosa darah sewaktu 210
(80-140 mg/dL).
Pasien didiagnosis dengan follow up psoriasis pustulosa generalisata (hari
rawat ke 9). Penatalaksanaan pada penderita antara lain siklosporin 150 mg setiap 12
jam per oral (hari ke 3), metilprednisolon tablet 16 mg setiap 8 jam per oral (hari ke
3), cetirizine 10 mg setiap 24 jam per oral, hidrokortison 2,5% krem setiap 12 jam
topikal, urea 10% krem setiap 12 jam topikal, KIE.
Diagnosis dari bagian interna adalah transaminitis et causa Hepatitis C virus
dan hiperglikemik state et causa stres hiperglikemik. Terapi yang diberikan adalah
hepatoprotektor 1 tablet setiap 24 jam.
PEMBAHASAN
Psoriasis putulosa generalisata (PPG) pertama kali dideskripsikan oleh Von
Zumbusch pada tahun 1910. Penyakit ini jarang dijumpai dan merupakan varian
psoriasis yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa.15 Suatu studi
retrospektif yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada periode 1 Januari
2001 hingga 31 Desember 2011 didapatkan sebanyak 21 kasus PPG yang terdiri dari
16 perempuan (76,1%) dan 5 laki - laki (23,8%).16 Prevalensi psoriasis pustulosa di
Jepang adalah 7,46 kasus per 1 juta penduduk. Penyakit ini dapat mengenai semua
ras. Perbandingan kejadian penyakit ini pada laki - laki dan perempuan dewasa
adalah 1:1. Psoriasis pustulosa generalisata lebih sering trejadi pada orang dewasa
dengan onset usia ± 50 tahun.17 Penegakkan diagnosis PPG dilakukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis PPG
berbeda dengan lesi klasik plak pada psoriasis vulgaris. Pada awalnya PPG ditandai
dengan adanya demam yang hilang timbul beberapa hari sebelum muncul erupsi
pustul steril dengan ukuran 2-3 mm diatas dasar kulit yang eritema dan disertai rasa
gatal. Lesi pustul muncul secara tiba - tiba kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan
13
ekstremitas termasuk palmar dan plantar. Pustul yang berkonfluen akan membentuk
gambaran lake of pus serta dapat menunjukkan derajat penyakit yang bertambah
berat. Lesi pustul yang berkonfluen ini mudah pecah dan meninggalkan bekas erosi
sehingga pasien sering mengeluh nyeri. Kemudian pustul akan mengering dan kulit
akan mengelupas sehingga meninggalkan kulit yang tampak mengkilat. Gejala
sistemik yang dapat menyertai yaitu menggigil, gatal terus menerus, sakit kepala,
mual, malaise, otot terasa lemas dan nyeri pada sendi. selain itu PPG juga menyerang
membran mukosa menyebabkan fisura dan eritema pada lidah. Kelainan pada
pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan adalah anemia, leukositosis (berupa
neutrofilia), limfopenia, peningkatan LED, CRP, fungsi hati serta penurunan kadar
albumin, kalsium dan zinc.18,19
Pada kasus didapatkan pasien adalah seorang perempuan berusia 57 tahun dan
dari anamnesis didapatkan muncul bintik - bintik bernanah pada leher yang kemudian
menyebar ke dada, punggung, kedua lengan dan kaki yang disertai rasa gatal.
Sebelum keluhan ini muncul, pasien mengeluh badan terasa lemas, nyeri otot dan
sendi, mual, muntah dan demam. Dari pemeriksaan fisik, pada kepala, punggung,
dada, perut, didapatkan lesi berupa pustul multipel diatas dasar kulit yang eritema,
dimana sebagian besar pustul berkonfluen menjadi bentuk geografika dengan
gambaran lake of pus. Beberapa pustul pecah meninggalkan erosi. Dari hasil
pemeriksaan gram yang berasal dari lesi pustul didapatkan peningkatan leukosit tanpa
adanya kuman. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan beberapa kelainan antara
lain leukositosis, neutrofilia, limfopenia, peningkatan fungsi hati dan penurunan
kadar albumin.
Patogenesis terjadinya PPG masih belum dipahami dengan jelas, namun
inflamasi pada PPG didapatkan lebih prominen dibandingkan pada psoriasis vulgaris.
Keratinosit dan limfosit T pada PPG lebih berperan dalam menimbulkan kelainan
primer bila dibandingkan dengan neutrofil. Pada respon kulit fase akut, bila terdapat
stimulus maka makrofag jaringan (sel dendritik dermis) dan monosit darah maupun
keratinosit, masing - masing melepaskan sitokin primer yaitu IL-1, IL-α dan TNFα.
Stimulus dapat berupa stimulus eksternal seperti trauma kulit maupun stimulus
internal seperti pelepasan sitokin lokal dari sel inflamasi yang juga dapat
14
menginduksi pelepasan IL-1α dan TNFα. Sitokin primer tersebut merupakan sitokin
penanda yang selanjutnya akan melepaskan sitokin sekunder. Interleukin-1 dan TNFα
menstimulasi keratinosit untuk menginduksi CC chemokine ligand (CCL) 20 yang
berinteraksi dengan limfosit T yang positif cutaneous lymphosite-associated antigen
(CLA) untuk mengekspresikan CC chemokine receptor (CCR) 6. Limfosit T ini
diperkirakan terlibat dalam patogenesis psoriasis. Interleukin-1 dan TNFα juga
menstimulasi produksi IL-8 yang berfungsi menarik neutrofil. Apabila terjadi trauma
sel epidermis dapat mencetuskan IL-1 dan TNFα untuk menginduksi IL-8 yang
memediasi infiltrasi neutrofilik. Pada PPG, neutrofil memiliki peranan untuk
menyebabkan reaksi inflamasi akut sementara sitokin inflamasi yang menyebabkan
manifestasi sistemik seperti demam dan menggigil yang merupakan tanda khas
PPG.2,6,20
Psoriasis pustulosa generalisata memiliki beberapa faktor pemicu yaitu
kerentanan genetik, penggunaan terapi topikal yang iritatif seperti coal tar dan
ditranol, infeksi bakteri atau virus, kehamilan, hipokalsemia dan reaksi withdrawal
dari penggunaan kortikosteroid oral, paparan sinar matahari/fototerapi.16,17 Selain itu
faktor emosional, trauma, iklim, merokok, diet dan abses pada gigi, selulitis perianal
dan impetigo. Prevalensi infeksi sebagai pemicu PPG mencapai 44%.. 18,21,22
Pada kasus didapatkan bahwa faktor pemicunya adalah infeksi virus hepatitis
C dan adanya gigi berlubang.
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C.
Virus hepatitis C merupakan virus RNA enveloped positive-stranded dari genus
Hepacivirus dan keluarga Flaviviridae. Penyakit ini merupakan penyebab terpenting
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Infeksi hepatitis C menyerang organ hati
yang akan menyebabkan penyakit kronis. Virus ini ditransmisikan melalui darah atau
selama hemodialisis. Risiko infeksi meningkat pada pekerja kesehatan, pengguna
obat - obatan intravena dan laki - laki homoseksual. Hepatitis C sering berhubungan
dengan kelainan autoimun seperti tiroiditis, immune complex nephritis dan
krioglobulinemia idiopatik. Munculnya infeksi HCV pada kasus psoriasis merupakan
kejadian yang umum dijumpai, khususnya di area dengan endemik hepatitis seperti
Taiwan, Jepang, Brazil, Amerika Tengah dan Italia. Prevalensi hepatitis C pada
15
pasien dengan psoriasis lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi kontrol
yaitu sebesar 18% dan 4%. Hal ini dapat disebabkan oleh produksi sitokin TNF-α
berlebih yang merupakan mediator pada kedua penyakit tersebut. Munculnya kedua
kondisi ini secara bersamaan membutuhkan perhatian khusus dalam proses terapi.
Interferon-α yang merupakan rekomendasi terapi bagi pasien hepatitis C, seringkali
dikaitkan dengan muncul atau memburuknya kondisi psoriasis. Dalam beberapa
tahun terakhir, telah didapatkan bahwa psoriasis yang merupakan penyakit kelainan
imunitas dengan inflamasi sitemik dan tumor necrosis factor (TNF) α memiliki
peranan penting. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al didapatkan jika
terdapat hubungan antara psoriasis dan hepatitis C.13 Pada pasien dengan infeksi
hepatitis C sendiri didapatkan peningkatan kadar TNF α dibandingkan dengan subyek
kontrol sehingga diperkirakan TNF α terlibat dalam patogenesis kerusakan heptosit
pada infeksi hepatitis C kronik.23 Pada infeksi virus hepatitis C akan terjadi reaksi
inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin - sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, TGF-
β1 yang akan mneyebabkan kerusakan hepatosit. Inflamasi sistemik dan tumor
necrosis factor (TNF) α memiliki peranan penting dalam patogenesis psoriasis. Virus
hepatitis C telah dihubungkan dengan terjadinya inflamasi kronik dan kelainan
respon kekebalan tubuh yang dapat menjadi pemicu atau eksaserbasi terjadinya
psoriasis. Pada studi yang dilakukan oleh Chun et al didapatkan bahwa infeksi HCV
dapat meningkatkan regulasi sitokin inflamasi sehingga meningkatkan kerentanan
terjadinya psoriasis. Hal ini terjadi karena pada infeksi hepatitis C akan memicu
produksi dari IFN tipe 1 dari sel plasmasitoid dendritik dan keratinosit. Produksi IFN
ini akan mempengaruhi polarisasi sel T melalui pembentukan Th1 dan Th17 yang
berhubungan dalam proses autoimunitas yang nantinya akan berhubungan dalam
perkembangan penyakit psoriasis 24
Diagnosis banding PPG yang harus dipertimbangkan adalah AGEP. Penyakit
ini merupakan salah satu penyakit dermatosis neutrofilik yang pertama kali
dilaporkan oleh Baker dan Ryan pada tahun 1968. Insiden AGEP bervariasi 1-5
kasus per 1 juta per tahun dengan angka rata - rata kematian hingga 1%-2%.
Prevalensi AGEP tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin maupun usia. Gambaran klinis
AGEP adalah didapatkan onset pustul non folikuler mendadak yang berukuran
16
milimeter, biasanya dimulai pada daerah wajah atau lipatan kulit. Biasanya disertai
rasa gatal, terbakar dan demam serta leukositosis.25 Lesi pustul tersebut tampak
sekitar satu hingga tiga minggu setelah mengkonsumsi obat - obatan seperti β-laktam,
antibiotik makrolid, sefalosporin, antikonvulsan, asetaminofen, obat anti malaria,
prednisolon dosis tinggi dan kalsium kanal bloker. Erupsi cepat menghilang setelah
dilakukan penghentian trehadap obat yang dicurigai (resolusi spontan setelah 1-2
minggu). Hasil laboratorium didapatkan leukositosis dengan neutrofilia, kultur dari
pustul tidak ditemukan bakteri. Patogenesis AGEP diduga berhubungan dengan
gangguan sistem imun pada pelepasan sel Th1.26
Pada pasien terdapat riwayat minum obat meloksikan, parasetamol dan
pantoprazole sebelum muncul lesi pustul di kulit. Setelah itu dilakukan uji provokasi
obat dan obat yang dicurigai adalah meloksikam.
Hasil pemeriksaan histopatologi PPG dan AGEP berbeda. Temuan
histopatologi yang khas untuk PPG adalah adanya spongioform pustules of Kogoj's.
Pustul subkorneal pada PPG memiliki dinding stratum korneum yang tipis. Dapat
juga ditemukan adanya hiperplasia psoriasiform, elongasi rete ridge serta infiltrat
limfosit dan neutrofil.27 Sedangkan pada pemeriksaan histopatologi AGEP ditemukan
adanya pustul spongiform intraepidermal atau subkorneal, edema pada papilari
dermis serta sel - sel infiltrat pada lapisan dermis bagian atas yang didominasi oleh
eosinofil serta vaskulitis leukoklastik pada beberapa kasus.28
Pada kasus didapatkan subkorneal pustul dengan gambaran spongiform fistel
of kogoy. Pada dermis tampak infiltrat radang PMN neutrofil dan limfosit pada
perivaskuler dan interstitil. Saat ini tidak tampak adanya eosinofil. Kesimpulan :
gambaran morfologi sesuai untuk Subcorneal Pustul dengan gambaran Pustule of
Kogoy dengan infiltrat PMN neutrofil dan limfosit tanpa eosinofil dd/Psoriasis
Pustulosa Generalisata
Penatalaksanaan pasien PPG sebaiknya dirawat inap dengan pemantauan ketat
untuk mencegah kehilangan cairan yang berat serta protein, menstabilkan suhu tubuh,
memperbaiki fungsi barier kulit, menghindari komplikasi pada jantung dan ginjal.
Terapi sistemik yang menjadi lini pertama antara lain metotreksat, asitretin atau
siklosporin. Sedangkan untuk lini kedua dapat diberikan terapi biologi anti TNF atau
17
steroid.29 Pada studi yang dilakukan di Jepang, Ozawa dan kawan - kawan
menyatakan bahwa retinoid oral sangat efektif sebesar 84% pada pasien dengan PPG.
Penelitian ini membandingkan dengan penggunaan terapi lain yaitu metotreksat,
siklosporin dan PUVA dimana efektivitasnya pada pasien masing - masing sebesar
76%, 71% dan 46%. Retinoid dinyatakan lebih efektif bila dibandingkan dengan
terapi lini pertama sistemik lainnya. Namun penggunan retinoid harus diperhatikan
akan efek samping yang ditimbulkannya.30
Metotreksat digunakan apabila pada pasien PPG tidak memberikan respon
dengan pemberian retinoid. Beberapa bukti menyatakan penggunaan metotreksat
memberikan hasil sedikit lebih efektif dibandingkan dengan siklosporin.30 Siklosporin
memiliki onset kerja yang cepat sehingga para klinisi menyarankan terapi lini
pertama pada PPG.31 Penggunaan steroid sistemik dikatakan sebaiknya dihindari
sebagai terapi PPG karena dapat menimbulkan perburukan pada gejala psoriasis.
Dikatakan apabila tidak ada pilihan terapi lain yang memungkinkan, steroid sistemik
dapat digunakan sebagai terapi PPG.30
Siklosporin merupakan suatu hydrophobic lipophilic undecapeptide yang diekstrak
dari jamur.32 Siklosporin merupakan salah satu terapi lini pertama yang efektif untuk
PPG yang bekerja dengan menekan secara lansgung sel T helper. Secara umum
produksi sel B sitotoksik juga dihambat oleh siklosporin dengan menghambat sintesis
IL-2 dan menekan produksi interferon. Secara tidak langsung siklosporin dapat
mengganggu aktivitas natural killer cell. Penggunaan siklosporin telah disetujui
untuk kasus psoriasis derajat sedang hingga berat, psoriasis pustulosa generalisata
dewasa, pasien imunokompromise dan pasien pasien psoriasis yang rekalsitran
trehadap pengobatan lainnya.14 Siklosporin dengan dosis 2,5-5 mg/kg BB/hari
umumnya dapat memberikan efek klinis yang signifikan dan lebih cepat dibanding
dengan metotreksat.29 Dosis siklosporin dapat dipertahankan atau ditingkatkan
setelah 4 minggu terapi atau dapat diturunkan 0,5-1 mg/kg BB/hari dengan interval 2-
4 minggu setelah terjadi perbaikan klinis. Siklosporin dalam penggunaan jangka
pendek (8-12 minggu) dapat menyebabkan remisi komplet pada pasien psoriasis 80-
90% dibanding terapi konvensional lini pertama lainnya. 65% pasien psoriasis
pustulosa generalisata berhasil mencapai remisi, dan skor PASI ≥ 75, dengan
18
menggunakan dosis siklosporin 4-5mg/kgBB/hari, dengan masa terapi yang lebih
pendek dibanding menggunakan metotreksat. Siklosporin memiliki onset kerja yang
cepat dibandingkan metotreksat. Berdasarkan beberapa literatur, pemberian
siklosporin dapat menimbulkan efek samping sakit kepala, nefrotoksik,
hiperkolestrolemia, hipertrikosis, gangguan gastrointestinal, peningkatan tekanan
darah, peningkatan resiko keganasan. Evaluasi tekanan darah dan fungsi ginjal
sebaiknya dilakukan teratur selama dalam pengobatan dengan sikosporin. Pemakaian
siklosporin jangka lama (>1tahun) tidak dianjurkan karena menyebabkan
nefrotoksisitas dan meningkatkan risiko keganasan. Antihistamin dapat diberikan
apabila terdapat keluhan gatal.Untuk terapi topikal dapat diberikan steroid topikal,
oleum coccos dan urea 10%.33
Pada kasus pasien diberikan terapi siklosporin 150 mg setiap 12 jam per oral,
metil prednisolon tablet 16 mg, cetirizine tablet 10 mg setiap 24 jam , hidrokortison
2,5% dan urea 10% krem setiap 12 jam topikal.
Pasien dengan PPG dapat mengalami remisi setelah melewati fase akut dalam
waktu beberapa hari hingga minggu setelah erupsi pustul yang timbul pecah.
Kematian pada PPG dapat disebabkan komplikasi seperti eritroderma, gagal jantung
dan infeksi. Relaps pada kasus PPG sering terjadi terutama bila masih terdapat faktor
risiko. Psoriasis pustulosa yang berkembang dari akropustulosis mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan kasus psoriasis pustulosa dengan riwayat
psoriasis sebelumnya atau pada psoriasis pustulosa pada kehamilan.34,35
Pada kasus prognosis adalah dubius, karena meskipun kondisi klinis pasien
membaik setelah pengobatan dan tidak terjadi komplikasi yang mengancam jiwa
namun masih terdapat kemungkinan rekurensi dengan faktor pencetus.
SIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus psoriasis pustulosa generalisata pada seorang wanita
dengan infeksi virus hepatitis C. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang histopatologi. Dari anamnesis didapatkan muncul
lesi bintik - bintik bernanah yang disertai rasa gatal pada area leher, dada, punggung,
kedua lengan dan kaki. Faktor risiko pada pasien ini adalah infeksi virus hepatitis C
19
dan gigi berlubang. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya pustul multipel diatas
dasar kulit yang eritema, sebagian berkonfluen membentuk gambaran lake of pus dan
dari pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran pustul of kogoy. Penatalaksaan
yang diberikan adalah siklosporin 150 mg setiap 12 jam per oral, metil prednisolon
tablet 16 mg setiap 8 jam per oral, cetirizine tablet 10 mg setiap 24 jam per oral ,
hidrokortison 2,5% dan urea 10% krem setiap 12 jam topikal. Prognosis pada pasien
adalah dubius.
DAFTAR PUSTAKA
1. Okoduwa, C., Lambert, W. C., Chen, W. Erythroderma: Review of a Potentially Life-
Threatening Dermatosis. Indian Journal of Dermatology. 2009; 54(1):1-6
2. Gudjonsson, J. E., Elder J. T. Psoriasis. In: Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A.,
Paller A.S., Leffell D.J., Wolf K., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 197-231.
3. Odom, R.B., James, W.D., Berge,r T.G. Psoriasis. In: James, W.D., Berger, T.G.,
Elston, D.M.., editors. Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2006. Hal. 193-201
4. Kucheker, A. B., Pujari, R. R., Kucheker, S. B., Dhole, S. N., Mule, P.M. Psoriasis:
A Comprehensive Review. IJPL. 2011;2(6):857-77
20
5. Griffiths, E., M., Barker, J., N., W., N. Psoriasis. In: Burns, T., Breathnach, S., Cox,
N., Griffiths, C., eds. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Oxford: Blackwell
Science Ltd. 2010.p.20.1-20.60.
6. Benjegerdes, K. E., Hyde, K., Kivelevitch, D., Mansouri, B. Pustular Psoriasis:
Pathophysiology and Current Treatment Perspectives. Dove Press Journal. 2016; 6:
p. 131-44.
7. Johan, R., Hamzah, R. A. Gejala Klinis dan Terapi Psoriasis Pustulosa Generalisata
Tipe Von Zumbuch. Cermin Dunia Kedokteran. 2016; 43 (2): p. 112-17
8. Moningka, A., Kandou, R. T., Niode, N. J. Profil Psoriasis di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Prof. DR. R. D Kandou Manado Periode Januari - Desember 2012.
eCI.2015; 3(2):646-50
9. Anonim. Buku Register Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar:
2013-2015
10. Trautinger, F., Honigsmann, H. Subcorneal Pustular Dermatosis (Sneddon-Wilkinson
Disease). In: Goldsmith. L. A., Katz. S. I., Glichrest. B. A., Paller. A. S., Leffel D. J.,
Wolff. K, Eds. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 3th Ed. New York: Mc
Graw Hill. 2012. p.383-85
11. Kardaun, S. H., Kuiper. H., Fidler, V., Jinkman, M. F. The Histopathological
Spectrum of Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) and Its
Differentiation from Generalized Pustular Psoriasis. J Cutan Pathol. 2010; 37:1220-9
12. Imafuku, S. Profile of Patients with Psoriasis Associated with Hepatitis C Virus
Infection. The Journal of Dermatology. 2013. p.428-433
13. Cohen, D. A., Weitzman, D. Psoriasis Assoiacted with Hepatitis C but Not Hepatitis
B. Dermatology. 2009. p.1-5
14. Capon, F. IL36RN Mutation in Generalized Pustular Psoriasis: Just tip of Iceberg?
Journal of Investigative Dermatology. 2013;133:2503-504
15. Arellano, A.P., Igleslas, L. M. T., Gonzalez, L. C., Pascual, B. G. Generalized
Pustular Psoriasis: Treatment with Etanercept. Med Cutan Iber Lat Am. 2009; 37(5):
p. 224-26.
16. Gayatri, L., Ervianti, E. Studi Retrospektif: Psoriasis Pustulosa Generalisata. BIKK.
2014; 26(1):48-55
17. Coimbra, S., Oliveira, H., Figueiredo, A., Rocha-Pereira, P., Santos-Silva, A.
Psoriasis: Epidemiology, Clinical and Histological Features, Trigerring Factors,
Assesment of Severity and Psychosocial Aspects. In Psoriasis a Systemic Disease.
O'Daly J; 2012.p.69-68
18. Pfohler, C., Muller, C. S., Vogt, T. Psoriasis Vulgaris and Psoriasis Pustulosa –
Epidemiology, Quality of Life, Comorbidities and Treatment. Curr.Rheumatol Rev.
2013; 9(1):2-7.
19. Borges-Costa, J., Silva, R., Filipe, P., Almeida, L.S., Gomes, M.M. Clinical and
Laboratory Features in Acute Generalized Pustular Psoriasis. American Journal of
Clinical Dermatology. 2011; 12(4):271-76.
20. Iizuka, H., Takahashi, H., Ishida-Yamamoto, A. Pathophysiology of Generalized
Pustular Psoriasis. Arch Dermatol Res. 2003; 295: 55-59
21. Alan, S., Gul, U., Tuna, S. All Aspect of Psoriasis. IJMRPS. 2014; 1(5): 32-6
22. Mhajan, R., Handa, S. Pathopphysiology of Psoriasis. Indian Journal of
Dermatology, Venereology and Leprology. 2013; 79(1): 1-9
21
23. Menter, A., Chair, Gottlieb A., Feldman R. Guidelines of Care for The Management
of Psoriasis and Psoriatic Arthritis. American Academy of Dermatology. 2008.p.826-
41
24. Mohamed, E.A., Taha, A.S. Psoriasis; a New Marker for Hepatitis C Among
Egyptian Patients. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci.2015 4(6):761-767
25. Soares de Sousa, A., Papaiordanou, F., Tebcherani, A. J.,Corea de Castro Lara, O. A.,
Marchioro, G. S. S.S. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis x Von
Zumbuch's Pustular Psoriasis. J Cutan Pathol. 2010; 37: 1220-9
26. Shear N. H., Knowles S. R. Cutaneus Reactions to Drugs. In : Goldsmth L. A., Katz
S. I., Gilchrest B. A., Paller A. S., Leffel D. J., Wolff. K. Eds. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine, 3th Ed. New York: Mc Graw Hill. 2012. p.449-57
27. Weedon D. Pustular Psoriasis. In: Skin Pathology. 3rd ed. Philadelphia: Churchill
Livingstone. 2010. p.81-83
28. Weedon D. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis. In: Skin Pathology. 3rd ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone. 2010. p.132
29. Pugashetti, R., De Luca, J., Feldman, S.R. Treatment of Psoriasis. In: Maibach H.I.,
Gorouhi F. editors Evidence Based Dermatology.2nd ed. USA: People’s Medical
Publishing House. 2011; 15:213-228
30. Umezawa, Y., Ozawa, A., Kawasima, T., Shimizu, H., Terui, T., Tagami, H., et al.
Therapeutic Guidelines for the Treatment of Generalized Pustular Psoriasis (GPP)
Based on a Proposed Classification of Disease Severity. Arch Dermatol Res.
2003;295:s43-s54.
31. Xiao, T., Li, B., He, CD., Chen, HD. Juvenile Generalized Pustular Psoriasis. J
Dermatol 2007;34:573-6.
32. Callen, P. J. Immunosuppresive and Immunomodulator Drug. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8thed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 2807-
14.
33. Hazarika, D. Generalized Pustular Psoriasis of Pregnancy Successfully Treated with
Cyclosporine. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2009;75:638.
34. Raghuveer, C., Shivanand, D.R., Rajashekar, N. A. Clinico-Histopathological Study
of Psoriasis. IJSS. 2015;3(7):176-9
35. Lasic D., et al. Acute Generalized Exanthematous Pustulosis as a Side Effect of
Quetiapine. Psychiatria Danubina. 2013; 25(1):84-85