Click here to load reader
Upload
thomas-santosa
View
259
Download
37
Embed Size (px)
DESCRIPTION
agama
Citation preview
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
LAPORAN
EKSPOSURE SEPUTAR KEHIDUPAN PEDAGANG
KAKI LIMA
Kelas : L
Nama anggota kelompok :
Himawan Pamungkas / 2008 910 002
Clarissa Thursina / 2010 130 032
Dwi Kurnia Pradiptasari / 2010 130 057
Ferdinand Willfin Audyanto / 2010 320 040
Jonardi / 2010 320 124
Vidia Ayu Tofany / 2010 330 066
Ruthmaya Napitupulu / 2010 330 271
1 | E k s p o s u r e
PENGANTAR
I. Mengapa Eksposure Dilaksanakan?
Pertama-tama kami ingin mengungkapkan alasan mengapa kami melakukan kegiatan
eksposure ini. Ada beberapa alasan, yaitu bahwa dengan melakukan eksposure ini kami ingin
mengetahui kehidupan di sekeliling kami yang biasanya tidak disentuh, tidak dihiraukan, dan
tidak terpikirkan oleh kami sebelumnya, bagaimana cara mereka hidup dan keseharian
mereka. Karena sebelum melakukan hal ini yang kami ketahui dari mereka hanyalah kami
tahu bahwa hidup mereka tidak semudah orang-orang lainnya.
Bagaimana mereka melibatkan iman dan kepercayaan mereka terhadap eksistensi dan
karya Tuhan dalam hidup mereka. Apakah mereka selama ini dapat bertahan meskipun dalam
kondisi yang kurang menguntungkan karena mereka percaya akan Tuhan. Seberapa besar
iman berkontribusi bagi mereka untuk bertahan dalam sulitnya kehidupan. Kami juga ingin
merasakan dan ikut terlibat dalam pengalaman iman mereka. Kami ingin mengetahui
seberapa besar iman yang mereka punyai memberikan inspirasi dan dorongan dalam hidup
mereka.
Selama ini yang kita ketahui hanyalah bahwa mereka, kaum marginal mengalami
kesusahan dalam hidupnya, tapi kita tidak pernah bertindak untuk membantu, atau setidaknya
menunjukkan simpati dan empati pada mereka. Kita tidak pernah mengetahui bagaimana
mereka harus berjuang untuk bertahan dalam hidup, melawan aspek ekonomi, sosial, dan
budaya yang terus menghimpit dan mengucilkan mereka. Tetapi dengan mengadakan
kegiatan eksposure ini, kelompok kami mencari sesuatu yang dapat kami anut dan teladani
dari mereka para kaum marginal. Iman tidak hanya ada bagi orang yang enak dalam hidup,
tapi orang yang mengalami kesusahan pun, bila sudah percaya akan kebesaran Tuhan, akan
memiliki iman dalam hidupnya, kami ingin mengetahui bagaimana mereka melibatkan iman
dalam setiap aspek kehidupan mereka, terutama saat mereka mengahadapi kenyataan yang
sulit seperti saat sekarang mereka menjadi kaum marjinal.
Selain hal di atas, alasan lain kami melakukan eksposure ini adalah karena kami ingin
melatih kepekaan dan kepedulian sosial kelompok kami. Mungkin kami biasanya hanya
bersikap acuh tak acuh, tidak peduli dengan keadaan sekitar, hanya sekedar tahu bahwa
2 | E k s p o s u r e
mereka adalah kaum marginal, bahwa mereka ada di sekitar kami, tetapi kami tidak berbuat
apapun. Dengan ekposure ini, kami berharap kami bisa lebih lagi berkontribusi untuk mereka,
agar kami juga sadar bahwa kami tidak hidup sendiri saja, kami akan selalu membutuhkan
orang lain. Dengan mendalami kehidupan mereka, dan mendengar cerita-cerita mereka, serta
sedikit melakukan apa yang biasanya mereka lakukan untuk bertahan hidup, kepekaan dan
kepedulian kami dapat dilatih, karena kami jadi mengetahui keadaan mereka yang
sebenarnya.
Dengan adanya kegiatan eksposure ini, kami menjadi tahu bahwa mencari uang dan
penghasilan itu tidak semudah yang dibayangkan. Kami ingin dengan adanya eksposure yang
kami lakukan ini, kami bisa lebih merasakan dan menyadari bahwa berkat dari Tuhan tidak
akan berkesudahan, tapi kita juga harus menggunakan berkat tersebut dengan baik dan tidak
menghambur-hamburkannya. Dengan ini juga kami berharap agar kami bisa lebih hidup
seperti mereka, memanfaatkan dan mengaplikasikan talenta yang kami punya secara
maksimal dan total, dan agar kami bisa seperti mereka, hidup berkecukupan tanpa menjadi
boros tanpa alasan, karena kami telah mengetahui ada orang-orang yang tidak seberuntung
kami, dan betapa sulitnya orang berjuang dalam hidup di jaman sekarang, bagi orang mampu
maupun tidak mampu.
Alasan terakhir adalah dengan melakukan kegiatan eksposure ini kami bisa mencapai
final dalam mata kuliah pengembangan kepribadian, yaitu Pendidikan Agama Katolik.
II. Mengapa Kami Memilih Pedagang Kaki Lima Sebagai Objek Pengamatan?
Alasan kelompok kami adalah karena di sekitar kita ini sudah terlalu banyak
pedangang-pedagang yang berjualan, dan lagi-lagi seperti alasan di atas, selama ini yang kita
ketahui hanyalah barang dagangannya yang kita beli, kita hanya mengenal mereka sebagai
pedagang yang menjual makanan yang kita sukai, tapi kita tidak mengetahui mengapa
sebenarnya mereka berjualan, mengapa jumlah pedagang kaki lima terus bertambahn banyak.
Menjadi dekat dengan mereka secara emosional bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Bagaimana mereka mengimplementasikan iman dan apakah mereka masih menganggap
Tuhan itu adil pada mereka dalam hidup mereka yang berkesusahan dan berprofesi sebagai
pedagang kaki lima. Kami juga ingin mengetahui seberapa besar iman mereka pada Tuhan
menjadi inspirasi dan kekuatan dalam hidup mereka.
3 | E k s p o s u r e
Selain itu, alasan non-religius juga mendasari mengapa kami memilih pedagang kaki
lima sebagai objek pengamatan adalah agar kami bisa lebih menghargai apa yang kami
punyai, apa yang telah kami dapatkan. Bukan dengan maksud ingin membandingkan, tapi
ternyata masih banyak orang di luar sana yang hidupnya tidak seperti kami, yang tidak harus
menghadapi kegetiran hidup bila tidak mendapat uang saku. Dengan mendalami hidup
pedagang kaki lima, kami menjadi tahu bahwa mencari uang itu tidak semudah yang
dibayangkan, kita harus benar-benar berhati-hati dalam mengalokasikannya. Selain itu,
mereka seringkali terdiskriminasi di kalangan-kalangan masyarakat, terutama pemerintah,
karena mereka seringkali mengganggu ketertiban jalan atau lalu lintas.
Kebanyakan dari kami sebagai anak remaja tidak dapat mengontrol diri dalam
menggunakan dan memakai apa yang telah kami punya, dan terus-menerus meminta dan sulit
untuk merasa cukup. Dengan melakukan eksposure ini, kami berharap, sudut pandang dan
cara berpikir kami dapat diubah, bahwa Tuhan selalu memberi anak-anak-Nya rejeki dan
berkat yang cukup dan sesuai untuk kami, jangan pernah merasa bahwa Tuhan itu egois dan
tidak memberi apa yang kita inginkan. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan itu jahat karena
membiarkan orang bersusah payah menjadi pedagang kaki lima untuk mendapatkan uang.
Ingat bahwa Tuhan selalu memberikan apa yang terbaik bagi kita, bukan apa yang kita minta.
Kita harus berusaha untuk mendapatkannya, dan mempergunakannya dengan baik setelah apa
yang diinginkan Tuhan menjadi milik kita benar-benar telah menjadi milik kita.
Dengan melakukan eksposure ini kami berharap agar kami bisa menjadi lebih peka
terhadap lingkungan sosial kami dan membantu bila mampu kepada mereka yang
membutuhkan.
4 | E k s p o s u r e
BAB I
PENGENALAN OBJEK PENGAMATAN
Dalam eksposure ini,yang diamati sebagai objek adalah pedagang kaki lima.Yang
diamati dari pedagang kaki lima tersebut adalah bagaimana kehidupan sehari-hari yang
dijalani oleh mereka mengingat mereka adalah kaum marjinal. Berdasarkan pemikiran para
dosen-dosen di beberapa universitas Indonesia dan aktivis LSM, mereka mendefinisikan
kaum marjinal sebagai “mereka yang datang dari sektor informal, yang sering tidak punya
akses ke kekuasaan, dan yang memiliki pengaruh kecil dalam pembangunan”. Meskipun
demikian, kelompok kerja ini tetap menggunakan istilah “kaum marjinal” dan “kaum miskin
kota” secara bertukaran. Delapan kelompok marjinal dimasukkan dalam penyusunan CDS
terakhir : pedagang kaki lima, komunitas pasar tradisional, pengemudi becak, pemukim liar,
penata parkir, penyandang cacat, pemulung, dan musisi jalanan (pengamen).
(Sumber : http://www.akatiga.org/index.php/artikeldanopini/kemiskinan/112-kelompok-marjinal-di-perkotaan-dinamika-tuntunan-dan-organisasi )
Sebagai negara yang berasakan kerja sama dan gotong royong, kaum marjinal saat ini
juga semakin tidak merasakan hal tersebut berguna bagi kehidupan mereka. Semakin
majunya perkembangan zaman dan intelektual manusia menyebabkan penurunan sifat gotong
royong yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia dahulunya. Saat ini, kebanyakan dari kaum
mampu bangsa Indonesia lebih condong untuk bersikap individualisme. Sikap individualism
ini sering berakibat buruk bagi keadaan kaum marjinal di berbagai tempat. Penguasa-
penguasa pemerintahan, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya tidak lagi memperdulikan
kaum marjinal yang juga memiliki masa depan yang lebih baik bagi kehidupan mereka.
Pada bagian ini, akan disajikan laporan penelitan dari berbagai subjek berbeda namun
memiliki profesi yang sama, yaitu sebagai pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima yang
berhasil kami wawancarai adalah pedagang pisang keju, pedagang gorengan, pedagang
cendol, pedagang bubur, pedagang pisang aroma, dan pedagang bajigur. Lokasi yang
dijadikan tempat eksposure adalah daerah sekitar UNPAR, daerah simpang Dago, daerah
Leuwi Panjang, dan Jalan Buah Batu.
5 | E k s p o s u r e
1. Pedagang Pisang Keju (31 Maret dan 6 April 2011)
Eksposure terhadap pedagang pisang keju dilakukan pada tanggal 31 Maret dan 6
April. Pedagang pisang keju ini bernama Bapak Atep. Saat ini usia beliau sudah 71 tahun,
beliau lahir 2 Januari 1940. Beliau memiliki 1 saudara kandung. Bapak Atep biasa berjualan
di depan STUPA.
Pak Atep mulai tinggal di Bandung sejak tahun 1962, dan memulai usahanya
berjualan pisang keju ini sejak tahun 2000, bersamaan dengan dibukanya gedung FE Unpar.
Beliau diajarkan cara membuat pisang ini oleh orang Jerman dan Amerika. Beliau pernah
merasakan jaman penjajahan Jepang. Pada jaman itu, hampir seluruh anggota keluarganya
meninggal dunia, beliau hanya tinggal dengan saudaranya dibantu dari tetangga-tetangga
sekitarnya. Beliau tidak pernah menginjak bangku sekolah. Beliau juga tidak memiliki cita-
cita.
Penghasilan kotor yang di dapat kira-kira Rp.700.000,- per bulan.Pisang yang
diproduksi : 35-40 kg. Hasil jualan yang di peroleh Pak Atep biasanya dibagi dua dengan
pemilik. Selain berjualan, beliau juga bekerja sebagai penjaga kos-kosan di daerah
Cimbeleuit sejak tahun 1970.
Pak Atep orangnya ramah ke siapa saja, walaupun kita tidak mengenal beliau, beliau
sering menyapa orang yang lewat. Namun yang membuat kami prihatin yaitu beliau
mengalami gangguan pendengaran sehingga membuat beliau suka salah dalam melayani
pesanan pelanggan.
Beliau tidak mempunyai rumah, beliau hanya tinggal di kos-kosan yang beliau urus
bersama dengan keluarganya. Beliau sudah memiliki 4 anak dan 4 cucu, namun yang tinggal
bersama beliau hanya anaknya yang paling kecil, yang masih duduk di bangku sekolah dasar
kelas 5, yang lainnya sudah berkeluarga dan ada yang tinggal dengan saudaranya di Garut.
Kelanjutan hidup beliau tergantung dari penjualan pisang sehari-hari.
Bapak Atep seorang muslim yang taat. Beliau selalu ingat sholat walaupun sibuk
berjualan. Pa Atep percaya akan keberadaan Allah. Menurut beliau, Allah itu adil dan sangat
baik. Beliau merasakan kehadiran Allah yang dilihat dari kehidupan keluarganya yang rukun
dan tentram, serta rejeki yang telah dihasilkannya untuk kehidupannya bersama keluarga.
6 | E k s p o s u r e
2. Pedagang Gorengan (2 dan 3 April 2011)
Eksposure terhadap pedagang gorengan ini dilakukan pada tanggal 2 dan 3 April
2011. Bapak ini bernama Bapak Agus Salimudin.Bapak ini sudah berusia 34 tahun. Beliau
lahir di Cilacap Jawa Tengah. Pak Agus merupakan anak kedua dari empat bersaudara,
ayahnya berprofesi sebagai petani, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga
namun sesekali menjadi buruh cuci pakaian tetangga di sekitarnya, hal ini dilakukan karena
penghasilan yang diperoleh ayahnya sebagai petani tidak mencukupi kehidupan sehari-hari
keluarga.
Pak Agus hanya mengenyam pendidikan dasar, karena alasan ekonomi ia tidak bisa
meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, begitupun dengan kakak sulung serta adik
pertamanya, mereka masing-masing hanya menempuh pendidikan sampai sekolah tingkat
menengah dan sekolah dasar
Pak Agus telah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang berusia 10 tahun dan kini
duduk di kelas 5 sekolah dasar negeri. Anak dan istrinya tinggal di Bandung. Pak Agus
sering mengeluhkan mahalnya biaya sekolah saat ini dan banyak dari kebutuhan sekolah
anaknya yang belum mampu ia penuhi.
Pak Agus tinggal di sebuah kamar kontrakan di daerah sapan, kabupaten Bandung.
Pak Agus telah tinggal di kontrakan ini selama 3 tahun berserta istri dan anaknya. Sehari-hari
Pak Agus berjualan di depan perumahan Bahagia Permai mulai pukul 14.00, istri Pak Agus,
Ibu Salimah, membantu berbelanja bahan untuk berjualan ke pasar pada pagi harinya. Setelah
itu mereka berdua mempersiapkan dagangannya dan kemudian Pak Agus pergi dari
rumahnya sekitar pukul 13.00.
Pak Agus menilai setiap tahunnya hasil dari penjualan gorengan yang ia terima selalu
menurun, hal ini menurutnya dikarenakan oleh harga bahan-bahan pokok yang terus
melambung tinggi sehingga ia terpaksa memangkas jumlah bahan yang ia beli, selain itu
semakin maraknya pedagang yang menjual dagangan serupa merupakan salah satu penyebab
mengapa penghasilan yang ia peroleh tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Kini keluaga Pak Agus sering kekurangan pangan karena ketidakmampuan
untuk membeli bahan-bahan pangan. Selain itu, Pak Agus juga tengah mengalami kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan baju seragam sekolah anaknya.
7 | E k s p o s u r e
Pak Agus pertama kali berprofesi sebagai tukang gorengan sekitar tahun 2004 setelah
pabrik tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan dan melakukan pemberhentian terhadap
semua pekerjanya.Alasan utama Pak Agus memilih berprofesi sebagai pedangang gorengan
karena Pak Agus menilai bahwa pembuatan gorengan sangat sederhana, tidak memerlukan
modal yang besar dan hampir seluruh lapisan masyarakat menyukai gorengan
Pada awalnya Pak Agus melihat temannya yang telah lebih dahulu menjadi pedagang
gorengan dan melihat keuntungan dari usaha ini cukup menjanjikan sehingga ia memutuskan
untuk berdagang gorengan. Pak Agus biasa memulai usahanya pada pukul 14.00, bila
dagangannya sedang ramai maka ia akan pulang sekitar pukul 19.00 namun jika sedang sepi
Pak Agus biasa berdagang hingga pukul 22.00.Dalam sehari rata-rata pendapatan yang di
peroleh Pak Agus adalah Rp 150.000,- hingga Rp 200.000,-. Namun ini bukanlah
penghasilan bersih Pak Agus karena masih akan dipotong untuk pembelian bahan dagangan
berikutnya.
Kendala utama yang dikemukakan oleh Pak Agus adalah masalah modal yang terbatas
sehingga ia belum mampu mengembangkan usahanya. Saat ini penghasilan yang diperoleh
Pak Agus sudah tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, hal ini dapat dilihat
dari seringnya keluarga Pak Agus tidak memperoleh pangan yang layak karena rata-rata
jumlah penghasilan yang fluktuatif, begitu juga harga barang-barang modal yang ada di
pasaran.
Pak Agus beragama islam, dan alasannya memilih agama ini karena agama inilah
yang diajarkan oleh orang tuanya sedari ia kecil, dan menurutnya kebenaran dari agama yang
ia anut cukup dapat dipertanggung jawabkan merujuk pada adanya kitab suci. Selama
berdagang Pak Agus tetep menjalankan kegiatan beragama yaitu shalat lima waktu, Pak Agus
menjalankannya di masjid dekat perumahan tempat ia berjualan. Pak Agus menilai pekerjaan
bukan sebuah hambatan dalam menjalankan kegiatan beragama, Pak Agus meyakini adanya
Allah karena beliau telah mengalami pengalaman iman tertentu yang membuat ia yakin
bahwa Allah itu ada dan selalu memperhatikan manusia tanpa terlewat.Pak Agus menilai
Allah sebagai zat yang agung dan ada dalam diri subjek sendiri sehingga saat Pak Agus
mengalami kesulitan, ia merasa bisa membaginya dan menceritakannya pada Allah pada saat
kegiatan beragamanya dan setelah itu Pak Agus merasakan keringanan dalam masalah yang
ia hadapi.
8 | E k s p o s u r e
Pak Agus merasa selama ini Allah sangat adil terhadapnya meskipun ia berada dalam
kehidupan yang serba tidak kecukupan, karena bagi Pak Agus sesuatu yang lebih penting dari
harta adalah Allah yang selalu melindungi dan sangat baik terhadap keluarganya karena
masih memberikan hidup sedangkan harta akan datang seiring usaha dan niat ia dalam
bekerja.
Pak Agus tidak merasakan sesuatu yang signifikan dalam usaha-usaha yang dilakukan
pemerintah karena pada kenyataanya kehidupannya secara rill tidak menunjukan perubahan
yang brarti atas dampak adanya program-program pemerintah. Pak Agus merasa usaha
pemerintah belum maksimal karena belum mampu menyentuh semua masyarakat marjinal
dan cenderung terpusat di sebuah titik. Seharusnya pemerintah melakukan pendataan yang
lebih efektif selain itu program pemerintah seharusnya tidak hanya membegikan dana Rp
100.000,- namun lebih kepada pembukaan lapangan kerja baru, penyuluhan dan pelatihan
kerja bagi masyarakat marjinal juga pemberian modal usaha, karena menurut Pak Agus
dengan cara ini masyarakat dapat lebih mandiri juga memiliki keterampilan. Pak Agus juga
tidak memiliki kartu keterangan tidak mampu, meskipun subjek telah mengajukan pada
pemerintah setempat namun belum membuahkan hasil.
Pak Agus menilai keadaan ekonomi saat kabinet bersatu jilid pertama ataupun jilid
kedua tidak memiliki dampak positif yang signifikan selain hanya masalah-masalah yang
berpusat pada masalah politik. Pak Agus juga menilai pemerintah kurang konsisten dalam
mengatasi masalah ekonomi masyarakat karena bantuan / program pemerintah tersebut
cenderung tidak merata. Pak Agus sendiri mengharapkan pemerintah bisa membuka peluang
usaha kerja sehingga ia bisa memperoleh penghasilan lebih baik untuk keluarganya.
3. Pedagang Cendol (2 dan 4 April 2011)
Objek yang kami amati pada tanggal 2 dan 4 April 2011 adalah Bapak Nonong,
seorang penjual es cendol dan cingcau. Bapak Nonong berjualan es cendol dan cingcau di
sekitar pasar tradisional simpang Dago. Saat ini, beliau telah berusia 45 tahun. Bapak Nonong
berasal dari Tasikmalaya. Bapak Nonong memiliki empat saudara perempuan. Pak Nonong
merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Kehidupan waktu kecilnya tidak jauh berbeda
dengan kehidupannya sekarang yang hidup dengan keadaan ekonomi pas-pasan. Orangtua
laki-lakinya mulai sakit-sakitan semenjak ia berumur 10 tahun sehingga tidak bisa bekerja
banyak untuk mencari penghasilan. Semasa kecilnya, pak nonong hidup bersama keluarganya
9 | E k s p o s u r e
dengan makanan pas-pasan juga. Mereka makan hanya dengan satu buah ikan asin dan satu
piring nasi untuk dibagi bersama. Akhirnya, setelah Pak Nonong lulus SD, ia tidak mau lagi
melanjutkan sekolahnya hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Pak Nonong beranggapan bahwa
lebih baik ia mencari kerja dibandingkan bersekolah melihat kondisi fisik ayahnya yang tidak
bisa lagi bekerja. Pak Nonong terjun ke lapangan diawali dengan bekerja sebagai pengamen.
Melalui hasil mengamen, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa harus
menyusahkan orangtuanya.
Bapak Nonong memiliki tiga orang anak berjenis kelamin perempuan dan memiliki
istri yang sudah dinikahi selama 25 tahun. Anak pertama sudah menikah dan sudah
memberikannya dua orang cucu.Anak pertama ini menikah di usia 18 tahun dan sekarang
berumur 24 tahun. Suami dari anak pertama ini bekerja sebagai penjaga keamanan di
perpustakaan UNPAD. Namun, kehidupan anak dan cucu pak nonong sebagian masih
ditanggung olehnya.Anak ke-2 pak nonong saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP dan tidak
tahu harus melanjut kemana setelah lulus SMP.Anak ke-3 pak nonong saat ini juga masih
kecil dan duduk di kelas 5 SD. Istri pak nonong juga tidak bekerja.Istrinya hanya bertugas
untuk membantu mengurus anak dan keluarganya.
Pak Nonong tinggal terpisah dengan istrinya.Istri dan anaknya tinggal di tasik.
Sedangkan pak nonong tinggal di bandung, yaitu di daerah sekitar simpang dago. Kata Pak
Nonong, rumahnya di Tasik dulu pernah terkena gempa dan hancur. Namun, hal ini dapat
tertatasi ketika pemerintah memberi bantuan kepada mereka. Di Bandung, Pak Nonong
tinggal sendiri dengan mengontrak sebuah kamar. Kamar tersebut disewa dengan biaya
Rp.800.000,- per tahun. Pak nonong pulang ke Tasik hanya satu bulan sekali. Di sana ia
menetap dalam waktu seminggu.
Pertama kali Pak Nonong bekerja sebagai penjual es cendol semenjak tahun 1986,
yaitu semenjak ia mulai menikah. Motivasi pak Nonong menggeluti pekerjaan ini adalah
untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang saat itu dia sudah menikah dengan istrinya. Rata-
rata pendapatan perminggu pak nonong adalah Rp 350.000. Pendapatan yang didapatkan Pak
Nonong saat ini dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka walaupun ada beberapa hal yang
harus dikorbankan seperti sekolah anak-anaknya. Dalam menjalani pekerjaan, ada beberapa
hambatan yang harus dihadapi oleh Pak Nonong. Pertama, saat bahan-bahan dasar pembuat
es cendol yang harganya semakin naik. Ketika harga bahan mengalami kenaikan harga, Pak
Nonong tidak bisa berbuat apa-apa selain menurunkan keuntungan yang diperolehnya.
10 | E k s p o s u r e
Hambatan yang lain adalah ketika musim hujan, banyak orang yang tidak mau membeli es
cendol. Perasaan dominan yang di rasakan Pak Nonong saat menjalani pekerjaan lebih
banyak sukanya daripada duka. Ia menjalani setiap pekerjaannya dengan ikhlas walaupun
banyak keinginan yang belum tercapai jika hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan
es.
Agama yang dianut Pak Nonong adalah muslim. Pak Nonong sangat percaya akan
keberadaan Tuhan. Menurutnya apa yang dirasakannya saat ini adalah sesuai dengan
rancangan Tuhan. Dia percaya bahwa semuanya itu baik bagi kehidupannya. Sebagai orang
yang memiliki hati nurani, Pak Nonong juga masih memiliki rasa peduli terhadap sesamanya,
ia mau menyisihkan keuntungannya untuk kaum duafa yang hidupnya tidak lebih baik dari
kehidupa. Cara Pak Nonong merespon kehadiran Tuhan adalah dengan sholat.Walaupun Pak
Nonong tidak bisa menjalankan ibadah sholatnya penuh 5 waktu karena kendala harus
bekerja.
Saat ditanya mengenai pandangan terhadap pemerintahan SBY, menurut pak Nonong,
pemerintahan SBY tidak memikirkan rakyat. Mereka lebih mementingkan kepentingan yang
diatas dan tidak memikirkan keadaan mereka. Pak Nonong lebih memilih untuk hidup di
zaman Soeharto. Walaupun otoriter, namun Pak Nonong percaya dengan tindakan otoriter,
masyarakat hidup lebih nyaman dan aman. Pak Nonong mengungkapkan kepada kami, dia
tidak akan memilih SBY lagi sebagai presiden di Pemilu berikutnya. Namun, sebagai warga
negara yang baik, Pak Nonong tetap akan mengikuti Pemilu sebagai bentuk partisipasinya
terhadap negara ini.
Pada hari terakhir saat akan berpamitan dengan Pak Nonong, kami membantu Pak
Nonong untuk mendorong gerobak yang ia gunakan sebagai alat untuk bekerja. Selain itu
kami juga membantu membersihkan gelas dan sendok yang digunakan sebagai wadah untuk
cendol dan cingcau yang dijual oleh Pak Nonong. Tidak lupa kami bertanya kepadanya apa
pesan yang ingin disampaikan kepada kami sebagai mahasiswa yang notabene akan menjadi
generasi penerus bangsa ini. Pak Nonong berkata demikian, ”Saya mah gak tau harus bilang
apa, tapi yang pasti ya kuliah yang benar. Karena kalian dikasih kesempatan untuk kuliah,
tidak seperti keluarga saya yang susah untuk kuliah. Jangan lupa juga, kalau sudah sukses,
ingat orang kecil,bantulah mereka dengan apa yang kalian bisa. Karena kita ini hidup
bersama, jangan egoislah.”
11 | E k s p o s u r e
4. Pedagang Bubur (5 dan 9 April 2011)
Pada tanggal 5 dan 9 April, kami mengadakan eksposure kepada pedagang bubur
bernama Ujang Sumantri. Pak Ujang saat ini berusia 50 tahun. Beliau lahir di Bandung dan
kehidupan masa kecilnya tidak berkecukupan. Tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA.
Pak Ujang sudah berkeluarga dan dikaruniai 2 orang anak. Anak pertama sudah lulus kuliah
D-3, anak kedua hanya tamat SMA. Keduanya bekerja di hotel. Pak Ujang sangat bangga
memiliki anak seperti mereka. Walaupun berasal dari keluarga kurang mampu, namun kedua
anaknya sekarang bisa bekerja lebih baik dari dirinya.
Pak Ujang memulai pekerjaannya tahun 1985. Ia mulai berjualan bubur karena dulu
di-PHK dari pekerjaan sebelumnya karena pabrik bangkrut. Pak Ujang biasanya bekerja dari
pagi hingga sore. Rata-rata pendapatan yang dicapainya bisa mencapai Rp.50.000,-.
Hambatan saat menjalani pekerjaan sehingga masih berada dalam keadaan marjinal adalah
saat sepinya pengunjung yang membeli dagangannya. Dari penghasilannya tersebut, Pak
Ujang bisa menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anaknya. Saat ditanya mengenai
agama, Pak Ujang mengatakan bahwa dia adalah penganut agama Islam. Sebagai umat Islam
yang taat, ia melakukan ritual ibadah dengan melaksanakan sholat lima waktu. Beliau
percaya akan adanya Tuhan karena Tuhan hanya satu. Menurutnya, ia takut untuk melakukan
dosa karena hidup ada yang mengatur dan Tuhan ada setiap saat.
Saat ditanyai mengenai pemerintahan, Pa Ujang menjawab bahwa bagi yang sangat
membutuhkan, usaha pemerintah sudah cukup baik walaupun masih banyak yang perlu
diperbaiki. Bagi Pak Ujang, keadaan ekonomi yang baik adalah ekonomi stabil, sistem kerja
dikembalikan seperti dulu bukan memakai sistem kontrak seperti sekarang. Menurutnya, hasil
kerja SBY itu sangat jelek dan harus dibenahi.
5. Pedagang Pisang Aroma ( 6 dan 9 April)
Bapak Yana adalah seorang penjual pisang yang dibalut dengan tepung, yaitu pisang
Aroma. Pisang ini sudah terkenal dari angkatan demi angkatan mahasiswa di unpar, karena
pisang ini sudah dijual semenjak 20 tahun yang lalu. Semenjak kecil, Bapak Yana selalu
membantu ayahnya untuk berjualan. Lokasi penjualan pisang Aroma ini bertempat di jalan
Menjangan, di depan sebuah rumah, di mana biasanya Bapak Yana menitipkan gerobak
pisangnya bila ia sedang tidak berjualan.
12 | E k s p o s u r e
Karena terkenalnya pisang ini, pemilik-pemilik rumah yang biasanya tidak begitu
menyukai bila ada yang berjualan di depan rumahnya, malah memanggil Bapak Yana untuk
berjualan di depan rumahnya, sehingga Bapak Yana tidak usah membayar biaya sewa untuk
tempat di mna ia berjualan.
Bapak Yana yang sekarang berusia 30 tahun, dulunya sempat bekerja di salah satu
provider di Indonesia yaitu Telkomsel, namun karena omsetnya yang tidak mencukupi,
akhirnya Bapak Yana memutuskan untuk melanjutkan usaha keluarga turun-temurun yaitu
berjualan pisang Aroma. Di Bandung, beliau bertempat tinggal di Jalan Jurang, selain itu ia
juga mempunyai rumah untuk dikontrakkan di Jalan Ranca Bentang nomor 3.
Bapak Yana menjadi sangat ahli dan terampil dalam membuat pisang Aroma karena
semenjak kecil ia sudah membantu ayahnya berjualan, tepatnya semenjak usia 10 tahun.
Sepulang sekolah ia langsung membantu untuk berjualan, setelah jualan hari itu selesai,
Bapak Yana baru mendapat uang saku untuk sekolah untuk besok. Bila bapak Yana tidak
membantu berjualan, maka ia tidak mendapat uang saku.
Dari dulu keluarga bapak Yana mempunyai kemampuan dalam berjualan. Ibu dari
Bapak Yana sudah menjual nasi kuning di daerah atas Unpar semenjak Bapak Yana masih
kecil, dari subuh beliau sudah berjualan, sehingga pada pukul 9 pagi, nasi kuning sudah
habis. Sore hari, ibu dari Bapak Yana mengunjungi gerobak pisang Aroma dan mengobrol
dengan anaknya, hampir semua pelanggan pisang aroma mengenal Ibu Aroma, begitu lah
julukan untuk beliau.
Bapak Yana mempunyai 3 saudara, yaitu saudara perempuan dan saudara laki-laki
yang baru saja lulus SMA. Saudara-saudara Bapak Yana membantu bapak yana untul
berjualan pisang. Karena sebentar lagi rencana nya, beliau akan membuka cabang di jalan
Burangrang. Sebelumnya beliau sudah mempunyai cabang di Jalan Taman Sari, namun tidak
berjalan begitu baik karena orang-orang yang bekerja untuk menjaga jualan Bapak Yana
tidak jujur pada akhirnya.
Bapak Yana menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMA. Dulu saat beliau
masih bersekolah, ia tidak begitu merasakan sulitnya mencari uang, karena beliau bisa
mendapatkan uang saku dengan membantu berjualan. Namun sekarang setelah beliau
menjadi dewasa dan mempunyai keluarga, beliau mulai merasakan susahnya mencari uang.
Beliau sekarang menjadi mandiri.
13 | E k s p o s u r e
Beliau sudah datang ke Jalan Menjangan dari jam 5 subuh untuk menyiapkan barang
dagangannya, jam 7 jualan pun dibuka hingga jam 5 sore. Bila dagangan dalam gerobak tidak
habis dalam sehari, maka dititipkan di warung dengaan harga 600 rupiah. Harga sebuah
pisang Aroma di gerobak adalah 700rupiah. Bapak Yana sangat menjaga kepuasan
konsumennya, ia menitipkan dagangannya di warung, karena pisang tersebut masih dapat
disimpan minimal 3 hari, masih terasa enaknya. Seminggu bila disimpan di dalam kulkas.
Pelanggan Pak Yana tidak hanya berasal dari orang bandung, tapi ada juga orang
Jakarta yang datang untuk membeli pisang aroma. Mereka membeli dalam jumlah yang
banyak, begitu pula orang bandung, mereka suka memesan dari bapak yana untuk acara
arisan, ulang tahun, dan rapat. Bapak Yana mempunyai seorang istri dan 2 orang anak yang
masih kecil-kecil, keduanya laki-laki berusia 1 tahun dan 3 tahun. Sebelum mereka
mempunyai anak, dulu istrinya bekerja di farmasi, namun setelah mereka mempunyai anak,
istrinya berhenti bekerja untuk mengurus anak-anak mereka.
Penghasilan Bapak Yana dari berjualan pisang aroma cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Seandainya pisang tidak habis dijual, Bapak Yana masih bisa membeli
kebutuhan pangan untuk keluarganya. Tapi menurut Bapak Yana berjualan di kota Bandung
pasti laku. Pisang yang ia jual ia dapatkan dari Pasar Sederhana. Dalam sehari ia dapat
menjual 30-40kg pisang. Bila hari itu sedang sepi penjualan, penjualan tersepi yang pernah
dialami pak yana adalah 800 pisang dalam sehari.
Omset yang didapatkan pun tidak menentu untuk setiap harinya, jumlah yang ia buat
pun tidak dapat ditentukan. Pak Yana menggoreng banyak bila saat mulai berjualan, terlihat
ramai pembeli. Hari Minggu Pak Yana tidak berjualan pisang, ia libur, kecuali bila ada
pesanan tertentu, ia akan datang ke tempat berjualan untuk menggoreng pisang sesuai
pesanan, lalu kembali pulang.
Selama Bapak Yana berjualan, hambatan yang ia dapatkan adalah habisnya pisang
sebagai bahan baku dagangannya. Atau seandainya bila pisang tidak habis, pisang yang ada
di pasar masih mentah, bila hal seperti itu terjadi, beliau memilih untuk tidak berjualan dulu
hari itu, karena takut mengecewakan pembeli yang selama ini percaya akan kualitas pisang
aroma Pak Yana. Bapak Yana paling merasakan hambatan-hambatan ini yaitu pada saat hari
raya agung, karena pisang sangat sulit ditemukan. Pisang yang Pak Yana gunakan adalah
pisang ambon.
14 | E k s p o s u r e
Bapak Yana adalah seorang muslim. Ia menyadari keberadaan Tuhan dalam
hidupnya, dan ia berkomunikasi dengan Tuhan dengan menjalankan sholat, meskipun di saat
ia berjualan. Bila waktu sholat telah tiba, ia menitipkan jualannya pada adiknya. Atau dulu,
bila adiknya masih bersekolah, ia menitipkan dagangannya pada orang-orang di sekitar,
tukang parkir, karena mereka sudah terpercaya. Bapak Yana sudah mengenal mereka dari
dulu. Gerobak untuk berjualan pun dari jaman ayahnya terus berada di tempat yang sama
seperti sekarang, tidak pernah dipindah.
Pemerintahan Presiden SBY yang dirasakannya, tidak membantu para pedagang
karena harga-harga semuanya naik menjadi mahal, periode sebelum SBY memimpin tidak
seperti ini. Harga gula sebagai bahan untuk berjualan naik menjadi Rp 11.000,- per kilo, dari
sebelumnya hanya Rp 4.500,- . Selain naiknya harga, janji pemerintah juga dirasakan tidak
berguna karena tidak ditepati. Beliau pernah dijanjikan Rp 5.000.000,- untuk pedagang saat
waktu kampanye sebelum pemilu dilaksanakan, tapi hingga sekarang, beliau belum
mendapatkan itu. Rapat di kelurahan sudah dilakukan, beliau sendiri juga sudah mengajukan
permintaan bantuan, tapi tidak juga mendapatkan. Meskipun dirasakan demikian saat
pemerintahan periode pertama SBY, Bapak Yana masih tetap memilih dan mengikuti pemilu.
6. Pedagang Bajigur (10 April 2011)
Bapak Ana penjual bajigur di depan Unpar sudah mulai berjualan semenjak tahun
1981. Beliau memlih untuk berjualan bajigur karena Beliau tidak memiliki pilihan lain yang
ia pandang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selama di Bandung, beliau tinggal di daerah Geger Manah di rumah yang dikontrak
100rb setiap bulannya. Beliau hanya tinggal sendiri di sana. Bapak Ana tidak dapat
meneruskan pendidikannya, beliau hanya mencapai tingkat SD, itupun tidak sampai selesai.
Hal ini dikarenakan, dulu beliau tinggal di kampung, ia mengatakan bahwa, segala sesuatu
sulit di sana.
Beliau mempunyai seorang istri dan 4 orang anak. Semua anaknya sudah
menyelesaikan SMA, meskipun dalam perjalanan mencapai kelulusan, Bapak Ana kesulitan
dalam memberikan uang saku bagi keempat anaknya. Namun dari hasil berjualan bajigur,
Bapak Ana dapat membelikan seragam dan buku-buku pelajaran bagi anak-anaknya.
15 | E k s p o s u r e
Selain di depan unpar, beliau juga berjualan di sekitar Jalan Ciumbuleuit, termasuk di
belakang unpar, di RS Paru. Beliau bercerita bahwa di sana ia bisa mendapatkan banyak
pembeli di malam hari. Beliau berjualan dari jam 11 siang hingga jam 9 malam. Beliau
menganut agama Islam, ia percaya akan keberadaan Tuhan di dalam hidupnya.
Untuk soal pemerintahan, Bapak Ana sepertinya kurang mengapresiasi sistem politik
yang dijalankan sekarang. Pemerintahan pun spertinya kurang berpihak kepada para
pedagang kaki lima, mereka tidak diberi keringanan dalam membeli bahan-bahan, mereka
pun tidak mendapat BLT (Bantuan Langsung Tunai) seperti yang dijanjikan pemerintah. Baik
di Bandung ataupun di Garut, Bapak Ana tidak mendapat bantuan apapun dari pemerintah.
Sebaliknya, harga-harga melambung naik, semua kebutuhan menjadi mahal saat
pemerintahan Presiden SBY. Bagi Bapak Ana, berjualan bajigur tidak sulit, namun harga
minyak tanah yang mahal membuat ia sulit untuk mendapat keuntungan.
Waktu beliau masih kecil, beliau tidak terpikir akan cita-cita, tidak terpikir akan
menjadi apa dirinya waktu dewasa, hal ini dikarenakan beliau dulunya tinggal di kampung
dan pekerjaannya adalah menemani dan menjaga kambing-kambing.
16 | E k s p o s u r e
BAB II
ANALISA MASALAH
I. Gejala Umum (Akar Masalah)
Dari berbagai pengalaman hidup yang telah kami wawancarai dan jumpai dari
beberapa objek penelitian, kami dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar dari mereka
berada dalam kaum marjinal. Mereka seringkali tersisih di antara masyarakat,
mendapatkan sikap yang kurang wajar dalam menjalankan hidup. Dari pengalaman yang
kami dapatkan, kami seringkali melihat bahwa para pedagang kaki lima seringkali
diremehkan dan dianggap tidak penting keberadaannya. Kita mungkin jarang
menggunakan mata dan pikiran kita mengamati; bagaimana mereka mencari nafkah. Di
sekeliling kita, bahkan di tengah kehidupan masyarakat ilmiah pun menyodorkan realitas
itu. Kita bangga bahkan orgasme bergelut di masyarakat ilmiah, namun kita jarang
berpikir tentang mereka, tentang yang terpojok dalam kehidupan marginal sana;
sumbangsi apa yang tepat untuk meringankan beban hidup mereka. Mereka telah terbiasa
hidup pahit. (http://id.shvoong.com/humanities/1885071-kaum-marginal/)
Umumnya yang menjadikan mereka kaum marjinal karena keterbatasan kemampuan
mereka, yang membuat mereka disisihkan, baik kemampuan finansial maupun yang non-
finansial. Kemampuan finansial tersebut biasa dilihat dari kesanggupan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. Kekurangan kemampuan non-finansial umumnya berupa
kekurangan atau gangguan fisik. Orang yang tidak mampu memenuhi kemampuan
finansial atau non-finansial seringkali disebut miskin, atau berada dalam tingkat
kemiskinan. Dari beberapa sumber, kami memperoleh beberapa pengertian tentang
kemiskinan. Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal
produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan
(pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk
memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f)
informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).
17 | E k s p o s u r e
Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang
ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang.
Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan
kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
(SMERU dalam Suharto dkk, 2004). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada
di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,
yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold).
Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk
dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan
kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).
II. Mengapa Mereka Hidup secara Demikian?
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjadi subjek wawancara kami memiliki beberapa
kesamaan pemikiran tentang kehidupan yang mereka jalani serta harapan selanjutkan untuk
kehidupan yang mereka miliki, dari analisis yang kami lakukan ekspektasi subjek hanya
terorganisasi untuk hal-hal jangka pendek dan alasan pemenuhan kecukupan primer dan jelas
mereka tidak memiliki ekspektasi lebih lanjut menuju arah sebuah investasi baik dalam
bentuk apapun, yang mana kita ketahui investasi adalah salah satu modal utama untuk
melakukan peningkatan dalam segala aspek.
Lebih lanjut, kami melakukan kajian pada masalah ini melalui beberapa aspek yaitu
aspek individual subjek, aspek pemerintah, aspek minimnya pemanfaatan ICT dan aspek
dampak globalisasi, yang mana masing-masing dari aspek ini kami nilai memiliki keterkaitan
yang erat dengan masalah :
1. Aspek Individual Subjek
Dalam aspek ini kami mencoba mengkaji alas an mengapa subjek tidak dapat
meningkatkan taraf hidupnya berdasarkan personal subjek, dari data yang kami peroleh
melalui wawancara dengan 6 subjek PKL, maka kami dapat menarik beberapa point
utama dan universal mengapa mereka masih terjebak dalam taraf kehidupan yang sama :
Kurangnya edukasi, karena seluruh subjek yang kami wawancarai tidak sempat
menempuh pendidikan dengan maksimal atau dapat dikatakan mereka tidak
mendapatkan edukasi dasar 9 tahun yang dicangkan pemerintah dimana pendidikan
18 | E k s p o s u r e
adalah modal dasar seseorang untuk berfikir maju dan mempelajari banyak
informasi yang pada akhirnya membuka pemikiran, menumbuhkan intelektual serta
memacu tumbuhnya kreativitas.
Perlakuan turun-temurun dari keluarga serta proses sosialisasi yang mereka terima
mengenai pendidikan merupakan hal sekunder yang bisa diesampingkan, serta
tentunya kesadaran yang rendah dari keluarga yang terjadi sejak lama mengenai
pentingnya sebuah edukasi yang memadai serta edukasi dapat meningkatkan taraf
kehidupan.
Pemikiran subjek yang telah terfokus pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek
sehingga mempengaruhi kegiatan konsumsi subjek sehari-hari dan membuat
kemungkinan untuk melakukan saving terbatas.
Pemikiran subjek yang telah merasa terpuaskan dengan keadaannya saat ini dan
merasa tidak perlu untuk meningkatkan kehidupan yang mereka miliki.
Tidak memiliki sikap berani untuk mengambil resiko baru,tidak memiliki sikap
kompetitif dan memiliki rasa percaya diri yang rendah menjadikan mereka tidak
dapat beranjak dari taraf kehidupan mereka.
2. Aspek Pemerintah
Dalam aspek ini kami menekankan kajian kepada pemerintah yang menjadi salah
satu alasan mengapa subjek yang kami analisis tidak dapat beranjak dari taraf hidup
mereka.Berdasar data yang kami peroleh, akar masalah ini adalah program pemerintah
yang kurang mengena pada kaum marjinal khususnya kelima subjek kami, Aksi
pemerintah cenderung lebih besar dalam perihal kampanye program dibandingkan
implementasi dari program yang dicanangkan sehingga tidak mampu meningkatkan taraf
hidup masyarakat marjinal, berikut adalah beberapa hal yang kami kaji :
Program pemerintah yang kurang spesifik dan merata sehingga program tidak
terimplementasikan secara maksimal dan tidak mampu menggangkat taraf hidup
kaum marjinal, hal ini dapat dibuktikan dengan masih tertinggalnya pembangunan di
desa-desa disbanding pembangunan di kota-kota besar sehingga mendorong
urbanisasi seperti yang subjek kami lakukan.
Program pemerintah hanya menyelesasikan masalah jangka pendek dan sama sekali
tidak menuntaskan permasalahan masyarakat marjinal, dibuktikan dengan progam
dana BLT (Bantuan Tunai Langsung) yang diberikan pemerintah sebesar
19 | E k s p o s u r e
Rp.100.000 setiap bulannya sama sekali tidak meningkatkan taraf hidup kaum
marjinal dan hanya memenuhi kebutuhan mereka sesaat.
Pemerintah tidak memberikan akses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
marjinal, hal ini dibuktikan dengan minimnya program pemerintah yang berbentuk
pelatihan, penyuluhan usaha atau modal konkrit untuk usaha.
Pemerintah mendidik masyarakat marjinal kearah tidak berkemandirian dan
berkemauan untuk usaha
Pemerintah tidak menyediakan fasilitas serta iklim yang mendukung bagi kaum
marjinal agar mampu meningkatkan taraf hidupnya, contohnya saja harga barang-
barang pokok serta kebutuhan dasar yang terus merangkak naik dan tentu
mempersulit kaum marjinal.
Perhatian pemerintah yang masih minim dan kurang serius terhadap dunia
pendidikan, dibuktikan dengan masih tingginya jumlah anak usia sekolah yang tidak
bersekolah serta masih maraknya fasilitas pendidikan yang kurang memadai.
3. Aspek Minimnya Pemanfaatan ICT
Alasan mendasar kami mengkaji masalah ini melalui aspek ICT adalah
berdasarkan definisi masyarakat marjinal menurut PBB yaitu masyarakat yang terisolir
dari informasi dan akses adalah kaum marjinal, karena menurut PBB dengan terbukanya
akses serta informasi masalah kemiskinan dan kaum marjinal dapat teratasi. Begitupun
dengan subjek analisis kami, mereka mendapat minim akses informasi ICT sehingga
tentu taraf hidup mereka tidak dapat beranjak. Akses ICT yang kami maksud adalah
sebuah akses dimana tidak memerlukan infrastuktur formal untu melakukan kegiatan
khususnya kegiatan usaha, ICT tentu mempermudah baik secara langsung maupun tidak
langsung dari kehidupan subjek, berikut kami uraikan:
Secara tidak langsung, ICT dapat memeberikan akses informasi yang tidak terbatas
juga secara mungkin dapat mengedukasi subjek yang menggunakannya, sehingga
subjek dapat memperoleh input yang memajukan taraf berfikir juga menstimulasi
agar mampu meningkatkan taraf hidup.
Secara langsung, ICT dapat digunakan sebagai lahan untuk menjalankan
bisnis/usaha secara konkrit, dapat kita katakan sebagai bisnis online yang mulai
menjamur dewasa ini, bisnis ini diklaim lebih efektif dan efisien tanpa
membutuhkan banyak rangkaian ekonomi juga infrastruktur.
20 | E k s p o s u r e
Alasan utama mengapa askes diatas belum mampu disentuh oleh subjek adalah
sosialisasi dan pemberdayaan dari pemerintah juga masih minimnya perhatian
pemerintah terhadap bidang ICT yang mampu meningkatkan taraf kehidupan, meskipun
sudah banyak contoh konkrit di dunia bahwa ICT mampu meningkatkan taraf kehidupan
seperti yang terjadi di India beberapa tahun belakangan.
4. Aspek Dampak Globalisasi
Globalisasi yang pada akhirnya menghasilkan iklim global survival of the fittes
juga berdampak bagi kehidupan masyarakat marjinal, selain menghasilkan kesenjangan
social yang semakin memburuk, akses bagi kaum marjinal juga semakin terkekang
dengan munculnya dominasi korporasi multinasional yang memaksa beberapa
perusahaan nasional yang tidak kuat bersaing untuk gulung tikar dan berdampak pada
pemecatan buruh besar-besaran oleh beberapa perusahaan, hal inilah yang mendasari
beberapa subjek kami menjalani profesi sebagai PKL.
Namun di sisi lain globalisasi serta revolusi industry seharusnya mampu membawa
kaum marjinal naik dari taraf mereka saat ini jika diimbangi dengan fair situation and
fair trade,pada dasarnya globalisasi membuka banyak akses namun pemanfaatan terbatas
dari akses ini utamanya oleh pemerintah juga menjadikan kaum marjinal tetap bertahan
di tempatnya.
21 | E k s p o s u r e
BAB III
SOLUSI
Berikut beberapa saran dan solusi kami terhadap masalah PKL yang timbul di
berbagai kota. Dengan mewujudkan nilai positif terhadap keadilan para rakyat kecil ini maka
diharapkan bahwa tujuan negara berupa pembentukan masyarakat Indonesia yang damai,
bersatu dan maju dapat segera terwujud.
1. Aspek Individual Soaial
Secara tertulis kami telah menerangkan diatas bagaimana aspek ini berpengaruh pada
taraf hidup para PKL tersebut. Dan sekarang kami akan mencoba membahas sisi lain dan
solusi dari aspek ini untuk mengurangi semakin menjamurnya SDM kita yang terikat dengan
profesi PKL ini. Dimana aspek individual sosial ini kiranya berasal dari dalam diri subjek
sendiri lah yang menjadi awal permasalahan seseorang menjadi PKL. Dapat kita lihat
berbagai point dalam aspek ini seperti ,kurangnya pendidikan, subjek yang hanya terfokus
pada kebutuhan jangka pendek, maupun sikap yang tidak berani untuk mengambil resiko
baru dalam terobosan hidupnya. Itu merupakan permasalahan-permasalahan dasar yang
kiranya harus diberantas dari pola pikir tiap-tiap individu itu.
Penanaman moral bangsa yang baik kiranya dimulai dari pemikiran tiap-tiap pribadi
yang hidup dalam suatu negara. Penting disini peran kepala negara untuk memberikan
suatu pandangan yang positif, pengaruh yang kuat ,dan ideologi untuk kehidupan yang
lebih baik. Pasalnya para penduduk ‘kelas bawah’ ini yang kerap masih mempunyai pola
pikir yang terkotak-kotak, pola pikir yang sederhana, perlu diberikan suntikan motivasi
untuk mengetahui pentingnya suatu perubahan pola pikir yang baru yang ternyata dapat
menghasilkan kehidupan baru yang lebih layak bagi mereka.
Berbagai penyuluhan dan pusat pusat pemberdayaan pun kiranya dapat menjadi solusi
konkret yang membantu mereka keluar dari paradigma lama yang masih tertinggal.
Mereka yang mengalami perlakuan turun temurun dan lingkungan sosialisasi tidak
sempurna pun kiranya harus kita ‘selamatkan’ ,mereka pun bukan mahkluk yang tidak
berakal budi yang tidak dapat merancang masa depannya. Namun hanya kesempatan lah
yang mereka butuhkan.
22 | E k s p o s u r e
Pendidikan pun menjadi wajib hukumnya dalam memperbaharui aspek individual subjek
dalam membangun pribadi para PKL. Dimana Pasal 31 UUD 45 kita telah dengan jelas
menyebutkan :
(1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari
anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.
Evaluasi panjang pemerintah yang tak pernah usai dalam bidang ini. Untuk
pembangunan dalam bidang pendidikan pemerintah kiranya harus dapat mengalokasikan
dana APBN dan APBD dengan tepat dan tersentuh oleh masyarakat marjinal ini.
2. Aspek Pemerintah
Pemerintah yang menggalakan keberadaan PKL selama ini kiranya juga telah menjadi
faktor bertumbuhnya angka PKL dari tahun ke tahun. Berbagai program pemerintah yang
kurang spesifik dan merata, program pemerintah hanya menyelesasikan masalah jangka
pendek, hingga pemerintah yang tidak memberikan akses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat marjinal, dan pemerintah mendidik masyarakat marjinal kearah tidak
berkemandirian dan berkemauan untuk usaha, adalah kesalahn kesalahan pemerintah yang
kiranya dapat dan harus diperbaiki. Beberapa pandangan kami terhadap hal-hal yang
seharusnya dilakukan pemerintah dalam pemecahan masalah PKL ini secara konkret:
23 | E k s p o s u r e
Pertama, pemerintah jangan hanya menggusur ,namun juga membangun. Penggusuran
yang kerap dilakukan Satpol PP telah menjadi tontonan rakyat kita sehari-hari.
Penggusuran paksa, penghancuran tanpa belas kasihan, dan perusakan adalah 3 hal
yang pasti terlihat dalam aksi pemerintah memberantas para PKL. Padahal ketentuan
hukum tentang hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45 dan Undang-Undang nomor
39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Diantaranya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang.”
Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan; penegakan; dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama
pemerintah.”
Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak miliknya
dengan sewenang-wenang.”
Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi
kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang
wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan serta
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan ketentuan
hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik
itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara waktu, maka hal itu
dilakuakan dengan mengganti kerugian.
Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak.”
Namun disini kami merasa menggusur tanpa membangun adalah suatu solusi yang
sekunder. Pasalnya penggusuran itu kerap tidak membuat jera para PKL, mereka
hanya akan berpindah posisi dan bukan beralih profesi. Seyogyanya pemerintah
memikirkan hal ini, bangun lah terlebih dahulu raga nya untuk membangun badannya.
24 | E k s p o s u r e
Bangun lah para PKL ini yang sekiranya adlah aset SDM kita yang berguna terlebih
dahulu dibanding pembangunan gedung gedung elit di negri ini. Bangun lah para PKL
ini dengan berbagai cara.
Kedua, pendampingan dan pemberdayaan terhadap pedagang khususnya pedagang
kecil ini. Pendampingan yang intensif bagi masyarakat yang minoritas ini juga
merupakan cara mengasah mereka menjadi SDM yang dapat bersaing nantinya. Intern
dalam pendekatan yang bukan berarti hanya mengetahui permasalahannya tanpe suatu
kepastian maupun tindakan yang berarti. M,emberdayakan mereka dalam sektor
sektor yang berskala kecil dulu misalnya seperti dalam koperasi. Berikan mereka
suatu skill yang dapat bersaing dengan orang lain diluar sana. Menjadi tugas
pemerintah kiranya membekali warga negara mereka dengan suatu keahlian khusus
yang nantinya akan berdampak posititf juga untuk negara ini.
Ketiga, bantuan modal dan subsidi tempat berjualan atau lapak bagi pedagang kecil
ini. Banyak juga mungkin diantara mereka yang memiliki kemampuan kualitatif
maupun kuantitatif yang baik namun tersandung masalah mendasar, yaitu biaya.
Modal, sesuatu yang diperlukan para pedagang tentunya baik skala besar, menengah,
maupun kecil layaknya PKL. Kiranya berbagai kredit peminjaman kerakyatan
menjadi sutu penolong mungkin nampaknya bagi para pengusaha kecil ini yang ini
‘banting setir’ ,namun prosedur lah yang sering kali berbenturan dengan keperluan
mereka ini. Disamping pemerintah memberikan pinjaman maupun bantuan secara
langsung, kiranya lakukan lah dengan sepenuh nya, dalam arti mereka sudah dalam
keadaan sulit, jangan dipersulit lagi. Permudah prosedur, perbanyak bantuan, dengan
begitu masyarakat yang berkompetitif akan muncul dalam negeri ini.
Keempat, pelatihan kepada pedagang mengenai manajemen kewirausahaan, dan lain
sebagainya. Pelatihan yang lebih spesifik dari sekedar pendampingan belaka rasanya
perlu ditanamkan untuk para PKL ini. Pemberdayaan dan pembimbingan yang cukup
telah menjadi modal dasar, bantuan dana yang bisa diberikan pemerintah pun telah
menjadi aset berharga, selanjutnya langkah akhir yang kiranya penyempurnaan bagi
PKL ini, yaitu pelatihan. Pelatihan untuk bidang kewirausahaan misalnya, dengan
pembekalan yang telah diberikan, kita percaya wirausaha maupun bidang lain dapat
dikuasai oleh para PKL ini.
3. Aspek Minimnya Pemanfaatan ICT (Information Communication Technology).
25 | E k s p o s u r e
Teknologi yang semakin canggih saat ini menuntut tiap tiap individu menyetarai
kemampuan teknologi tersebut. Kualifikasi kemampuan dalam hal teknologi ini kiranya harus
muali didlirik pemerintah dan digalakan. Berdasarkan masalah ICT ini dapat kita cari
beberapa solusi pendekatannya sebagai berikut:
Membekali tiap tiap pusat pemberdayaan PKL dengan ICT. Mengajarkan,
mengenalkan, dan membekali mereka dengan ICT bukanlah suatu kerugian dalam masa
sekarang ini.
Memperluas jaringan ICT ini sehingga tidak menjadi tabuh dalam masyarakat golongan
bawah layaknya PKL sekali pun. Pusat pembelajaran ICT dengan cuma-Cuma dari
pemerintah akan menimbulkan feedback yang positif dalam dunia bisnis Indonesia
nantinya. Seperti “internet masuk desa” pun merupakan cara tepat untuk masalah ini.
4. Aspek Dampak Globalisasi
Manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja yang sempit di era globalisasi
ini juga menjadi masalah yang perlu kita kaji solusi nya untuk pembenahan para PKL di
berbagai wilayah perkotaan. Strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan di Indonesia
dengan pola industrialisasi yang mana hanya terpusat di daerah perkotaan, sementara
kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di daerah pedesaan merupakan kesalahan
yang tidak terlihat dalam agenda pemerintah nampaknya. Kiranya untuk memerangi
globalisasi ini dan menurunkan tingkat marjinal PKL ,kita butuh beberapa langkah seperti:
Mulai memasuki kegiatan usaha berskala kecil di desa, bertujuan memperluas
kesempatan kerja dan pendapatan perkapita tiap daerah.
Mengorganisir kegiatan usaha baik per wilayah, ibukota, maupun daerah sekalipun agar
dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meminimkan profesi PKL ini.
Membangun fasilitas maupun lembaga-lembaga perbisnisan dan pemberdayaan tenaga
kerja yang didalamnya dapat mendidik dan memberikan lapangan kerja untuk
masyarakat marjinal yang minoritas ini.
Perluasan pasar yang diciptakan oleh kegiatan perdagangan antara satu pihak dan pihak
lain yang dapat memperlancar kondisi ekonomi lokal dan menyediakan lebih banyak
lapangan untuk para pencari kerja.
Dalam membangun kembali maupun menata suatu individu baru memang bukanlah
hal yang mudah, namun inilah tugas kita sebagai bangsa yang merdeka untuk terus membawa
26 | E k s p o s u r e
bangsa ini ke jenjang kehidupan yang lebih baik. Kaum marjinal pun patut merasakan
kemerdekaan ini, mereka patut merasakan kehidupan yang lebih baik.
PENUTUP
I. Refleksi Iman
Dengan adanya kegiatan eksposure ini, kami mendapat banyak pelajaran hidup,
terutama tentang religiusitas iman kami. Fakta yang kami peroleh mengajarkan kepada
27 | E k s p o s u r e
kami bahwa bagaimanapun keadaan kita saat ini, baik sedang beruntung atau malang, kita
harus tetap ingat dan setia kepada Tuhan. Kita harus tetap bersyukur atas segala yang kita
miliki. Janganlah kita menyalahkan Tuhan atas kejadian buruk yang menimpa diri kita.
Kita harus yakin dan percaya, sesuatu yang buruk di mata kita, bukan berarti buruk juga di
mata Tuhan.
Selain itu, seperti kita tahu bahwa iman tanpa perbuatan itu pun merupakan hal yang
sia-sia. Maka dari itu, tidak hanya dengan mengucap syukur kepada Tuhan, kita pun harus
membantu sesama kita yang membutuhkan, tanpa melakukan sikap diskriminasi atau
penyisihan terhadap mereka.
II. Suka-duka dalam Menjalani Eksposure
Banyak kejadian yang menyenangkan kami dalam melakukan kegiatan eksposure
ini. Dengan adanya kegiatan ini, kami menjadi saling mengenal satu sama lain, baik
dengan para objek penelitian maupun dengan anggota kelompok, karena awalnya kami itu
hanya asal kenal dan tahu saja. Kami pun senang dapat membantu para pedagang kaki
lima dalam menjual barang dagangan mereka. Kami banyakmendapatkan pengalaman
hidup yang berharga dengan adanya kegiatan ini.
Adapun hal yang kurang menggembirakan bagi kami dalam menjalankan kegiatan
eksposure ini. Beberapa objek yang kami teliti agak bersifat tertutup dan sulit untuk
diminta dokumentasi, padahal kami sudah dekat secara emosional dengan mereka. kami
pun mengalami kendala waktu dalam mengerjakan kegiatan eksposure ini, karena jadwal
kuliah kami yang berbeda-beda, serta banyaknya tugas yang diberikan oleh fakultas
menjelang Ujian Akhir Semester ini.
Namun, kami lebih banyak merasakan kegembiraannya dalam menjalankan kegiatan
ini, karena kami merasa senang dapat membantu orang lain yang membutuhkan, serta
kami mendapatkan pengalaman hidup yang berharga yang dapat menjadi pelajaran bagi
kami semua.
III. Manfaat bagi Perkembangan Hidup Religiusitas
Manfaat dari kegiatan eksposure ini bagi kehidupan religiusitas kami yaitu kami
menjadi semakin mengimani agama yang kami jalankan masing-masing. Di balik
kesibukan kami yang terkadang membuat kami lupa akan Tuhan, ternyata masih banyak
orang lain yang lebih sibuk dari kami tetap ingat untuk mengucap syukur kepada Tuhan.
28 | E k s p o s u r e
Kami menjadi sadar akan pentingnya mengucap syukur kepada Tuhan dalam segala situasi
yang ada, bukan hanya saat kondisi dimana kami senang atau gembira. Semoga pelajaran
hidup yang kami peroleh dari kegiatan eksposure ini, dapat menjadi bekal bagi kehidupan
kami seterusnya.
LAMPIRAN
Pisang Aroma :
29 | E k s p o s u r e
Beberapa anggota kelompok kami membantu untuk memenuhi pesanan :
Tukang gorengan :
Tukang bajigur :
30 | E k s p o s u r e
Tukang cendol :
Tukang bubur :
31 | E k s p o s u r e