Upload
rahmadhany
View
194
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan tutorial kelompok A3 Pendidikan Dokter UNS angkatan 2011Universitas Sebelas Maret Surakarta2014
Citation preview
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal kehidupan manusia dimulai dengan proses dan fase yang panjang dan
rumit di dalam rahim ibu yang pada akhirnya akan lahir sebagai bayi. Selama dalam
kandungan, bayi harus mempertahankan kehidupan melalui tali pusat. Setelah lahir
pun, bayi harus mampu melewati first golden period agar memiliki kualitas
kehidupan yang baik di masa mendatang sejalan dengan tumbuh-kembangnya.
Kualitas kehidupannya nanti juga ditentukan oleh segala sesuatu yang ada pada ibu
sebelum dan selama kehamilan hingga saat melahirkan.
Seorang ibu G1P0A0 berusia 25 tahun dengan usia kehamilan 38 minggu
melahirkan seorang bayi laki-laki dengan berat 3 kg, panjang 49 cm secra spontan,
warna ketuban keruh, tidak ada mekonium.
Saat bayi lahir didapatkan tidak bernafas, tonus otot kurang baik. Setelah
dilakukan resusitasi sampai dengan pemberian ventilasi tekanan positif, didapatkan
bayi bernafas spontan, tidak ada retraksi, denyut jantung 100x/menit. Skor Apgar 5-
7-10.
Dari anamnesis riwayat kehamilan didapatkan ANC tidak teratur, ketuban
pecah 24 jam, riwayat demam sebelum melahirkan. Catatan kesehatan ibu
menunjukkan bahwa tanda vital normal, pemeriksaan TORCH negatif, HbsAg
negatif, gula darah normal. Selanjutnya bayi dan ibunya dibawa ke ruang perwatan
untuk dirawat gabung dan diberikan ASI oleh ibu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan skenario, didapatkan rumusan masalah segai berikut.
1. Bagaimanakah proses embriologi manusia?
2. Bagaimanakah fisiologi fetus dan neonatus (perbedaan lingkungan intrauterin dan
ekstrauterin)?
3. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan janin dilihat dari
riwayat kesehatan ibu!
4. Bagaimanakah fisiologi pecahnya ketuban dan interpretasi warna air ketuban?
5. Bagaimanakah ciri bayi baru lahir normal, prosedur medis setelah bayi lahir,
prosedur pemeriksaan fisik dan penilaian bayi baru lahir (termasuk skor Apgar)?
6. Bagaimanakah alur resusitasi pada kegawatdaruratan neonatus?
7. Jelaskan mengenai Inisiasi Menyusu Dini (IMD)!
8. Bagaimanakah fisiologi dan manajemen laktasi?
9. Jelaskan mengenai asfiksia neonatorum!
10. Jelaskan mengenai sepsis neonatorum!
C. Tujuan Pembelajaran
Dari rumusan masalah di atas, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan proses embriologi manusia.
2. Menjelaskan fisiologi fetus dan neonatus (perbedaan lingkungan intrauterin dan
ekstrauterin).
3. Menelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan janin dilihat dari
riwayat kesehatan ibu.
4. Menjelaskan fisiologi pecahnya ketuban dan interpretasi warna air ketuban.
5. Menjelaskan ciri bayi baru lahir normal, prosedur medis setelah bayi lahir,
prosedur pemeriksaan fisik dan penilaian bayi baru lahir (termasuk skor Apgar).
6. Menjelaskan alur resusitasi pada kegawatdaruratan neonatus.
7. Menjelaskan mengenai Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
8. Menjelaskan fisiologi dan manajemen laktasi.
9. Menjelaskan tentang asfiksia neonatorum.
10. Menjelaskan tentang sepsis neonatorum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Istilah
ANC adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan
fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan
pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar.
G1P0A0 merupakan singkatan dari riwayat obstetri kehamilan pertama (G adalah
gravid) dimana sebelumnya belum ada riwayat melahirkan (P adalah partus) dan
keguguran (A adalah abortus). G1P0A0 juga dikenal dengan istilah primigravida
(kehamilan pertama).
HbsAg adalah antigen hepatitis B permukaan yang merupakan protein virus yang
pertama muncul setelah infeksi dan bisa digunakan untuk memantau viral clearance.
Ketuban atau amnion adalah cairan bening kekuningan yang mengelilingi bayi belum
lahir (janin) selama kehamilan yang berada dalam kantung ketuban. Volume
terbanyak pada usia kehamilan 34 minggu.
Mekonium berasal dari bahasa Yunani kuno meconium-arion atau seperti opium.
Mekonium adalah substansi mirip tar yang kental dan berwarna kehijauan yang
berada di usus janin selama kehamilan. Mekonium keluar karena refleks vagus
terhadap usus. Peristaltik usus dan relaksasi sphingter ani menyebabkan mekoneum
keluar. Aspirasi air ketuban yang disertai mekonium dapat mengakibatkan gangguan
jalan napas, gangguan sirkulasi setelah lahir, hipoksia intrauterin hingga kematian.
Resusitasi (neonatus) adalah suatu metode yang dilakukan pada keadaan darurat
untuk menyelamatkan jiwa neonatus saat terjadi kegagalan napas secara spontan.
Skor Apgar adalah singkatan dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration
atau dalam bahasa indonesia dapat berarti penampakan (warna tubuh), denyut nadi,
respon refleks, tonus otot dan pernapasan.
TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit
infeksi yaitu Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes. Keempat jenis
penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu
hamil.
Ventilasi tekanan positif adalah adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk
memasukkan sejumlah udara ke dalam paru dengan tekanan positif yang memadai
untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa benapas spontan dan teratur.
B. Proses Embriologi Manusia
Perkembangan embrio merupakan pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup selama masa embrio yang diawali fertilisasi sampai dengan terbentuknya janin
di dalam rahim ibu. Terdapat tiga tahapan fase embrionik yaitu morula, blastula, dan
gastrula.
Morula adalah suatu bentukan sel seperti bola akibat dari pembelahan sel
secara terus menerus. Pada fase ini keberadaan sel satu dengan yang lain sangat
rapat. Blastula adalah bentukan lanjutan dari morula yang terus mengalami
pembelahan yang ditandai dengan mulai adanya perubahan sel dengan mengadakan
pelekukan yang tidak beraturan. Di dalam blastula terdapat cairan blastosol yang
berfungsi meberikan ruang gerak ketika pembelahan terjadi. Gastrula merupakan
bentukan lanjuatan dari blastula yang pelekukan tubuhnya sudah semakin nyata dan
mempunyai lapisan dinding tubuh embrio serta rongga tubuh (Sadler, 2000).
Organ yang dibentuk berasal dari masing-masing lapisan dinding tubuh embrio
pada fase gastrula, yaitu lapisan ektoderm yang akan berdeferensiasi menjadi kluit,
rambut, alat indera, dan sistem saraf; lapisan mesoderm yang akan berdiferensiasi
menjadi otot, rangka, alat reproduksi, alat peredaran darah, dan alat ekskresi; dan
lapisan endoderm yang akan berdiferensiasi menjadi alat pencernaan, kelenjar
pencernaan, dan alat respirasi (Sadler, 2000).
Pada saat embrio berusia 8 minggu, bentuknya sudah mirip dengan manusia
dan mulai terjadi pembentukan genitalia eksterna. Proses sirkulasi melalui plasenta
pun dimulai dan tulang mulai terbentuk. Usia 9 minggu, kepala meliputai separuh
besar fetus, terbentuk muka dan kelopak matu yang baru akan membuka pada usia 28
minggu. Setelah berusia 13-16 minggu, fetus memiliki panjang kira-kira 15 cm (awal
trisemester II). Kulitnya masih transparan, lanugo mulai tumbuh, gerakan mulai aktif
berupa menghisap dan menelan air ketuban. Pada usia ini, sudah terbentuk
mekonium pada usus dan jantung berdenyut 120-150 kali/menit. Usia 17-24 minggu
komponen mata terbentuk penuh begitu pula sidik jari. Seluruh tubuh diliputi oleh
verniks kaseosa (lemak) dan fetus telah memiliki reflekss. Fetus usia 25-28 minggu
(awal trisemester III) terdapat perkembangan otak yang cepat. Sistem saraf
mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka sehingga
kelangsungan hidup pada periode ini sangat sulit bila harus lahir (diterminsai).
Kemudian pada usia 29-32 minggu, apabila bayi dilahirkan kemungkinan untuk
hidup sekitar 50-70% saja. Tulang pada minggu tumbuh-kembang ini terbentuk
sempurna, gerakan napas regular, dan suhu relatif stabil. Minggu ke 33-36, berat
fetus 1500-2500 gram, lanugo mulai berkurang, paru telah matur, apabila lahir tidak
ada kesulitan. Pada minggu ke 38-40 (kehamilan aterm), bayi akan meliputi seluruh
uterus, air ketuban mulai berkurang tetapi masih dalam batas normal (Sadler, 2000).
C. Fisiologi Fetus dan Neonatus
Pernafasan
Pada saat bayi lahir, dinding alveoli disatukan oleh tegangan permukaan cairan
kental yang melapisinya. Diperlukan lebih dari 25 mmHg tekanan negatif untuk
melawan pengaruh tegangan permukaan tersebut dan untuk membuka alveoli untuk
pertama kalinya. Tetapi sekali membuka alveoli, pernapasan selanjutnya dapat di
pengaruhi pergerakan pernapasan yang relatif lemah. Untungnya pernapasan bayi
baru lahir yang pertamakali sangat kuat, biasanya mampu menimbulkan tekanan
negatif sebesar 50 mmHg dalam ruang intrapleura (Behrman,2000).
Pada bayi baru lahir, kekuatan otot–otot pernapasan dan kemampuan diafragma
untuk bergerak, secara langsung mempengaruhi kekuatan setiap inspirasi dan
ekpirasi. Bayi yang baru lahir yang sehat mengatur sendiri usaha bernapas sehingga
mencapai keseimbangan yang tepat antar-oksigen, karbon dioksida, dan kapasitas
residu fungsional. Frekuensi napas pada bayi baru lahir yang normal adalah 40 kali
permenit dengan rentang 30–60 kali permenit ( pernapasan diafragma dan abdomen )
apabila frekuensi secara konsisten lebih dari 60 kali permenit, dengan atau tanpa
cuping hidung, suara dengkur atau retraksi dinding dada, jelas merupakan respon
abnormal pada 2 jam setelah kelahiran (Behrman,2000).
Rangsangan gerakan pernapasan pertama terjadi karena beberapa hal berikut :
1. Tekanan mekanik dari torak sewaktu melalui jalan lahir (stimulasi mekanik)
2. Penurunan PaO2 dan peningkatan PaO2 merangsang kemoreseptor yang terletak
di sinus karotikus (stimulasi mekanik).
3. Rangsangan dingin di daerah muka dan perubahan suhu di salam uterus
( stimulasi sensorik).
4. Reflekss deflasi Hering Breur.
Pernapasan pertama pada bayi normal terjadi dalam waktu 30 menit pertama
sesudah lahir. Usaha bayi pertama kali untuk mempertahankan tekanan alveoli,
selain karena adanya surfaktan, juga karena adanya tarikan nafas dan pengeluaran
napas dengan merintih sehingga udara bisa tertahan di dalam. Cara neonatus
bernapas dengan cara difragmatik dan abdominal, sedangkan untuk frekuensi dan
dalamnya bernapas belum teratur. Apabila surfaktan berkurang, maka alveoli akan
kolaps dan paru-paru kaku sehingga terjadi atelektasis. Dalan kondisi seperti ini
(anoksia), neonatus masih mempertahankan hidupnya karena adanya kelanjutan
metabolisme anaerobik (Behrman,2000).
Faktor-faktor yang berperan pada rangsangan nafas pertama bayi adalah :
1. Hipoksia pada akhir persalinan dan rangsangan fisik lingkungan luar rahim yang
merangsang pusat pernafasan di otak.
2. Tekanan terhadap rongga dada, yang terjadi karena kompresi paru - paru selama
persalinan, yang merangsang masuknya udara ke dalam paru - paru secara
mekanis. Interaksi antara system pernapasan, kardiovaskuler dan susunan saraf
pusat menimbulkan pernapasan yang teratur dan berkesinambungan serta denyut
yang diperlukan untuk kehidupan.
3. Penimbunan karbondioksida (CO2). Setelah bayi lahir, kadar CO2 meningkat
dalam darah dan akan merangsang pernafasan. Berkurangnya O2 akan
mengurangi gerakan pernafasan janin, tetapi sebaliknya kenaikan CO2 akan
menambah frekuensi dan tingkat gerakan pernapasan janin.
4. Perubahan suhu. Keadaan dingin akan merangsang pernapasan (Behrman,2000).
Upaya pernafasan pertama seorang bayi berfungsi untuk mengeluarkan cairan
dalam paru-paru dan mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama
kali. Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat survaktan (lemak
lesitin/sfingomielin) yang cukup dan aliran darah ke paru-paru. Produksi surfaktan
dimulai pada 20 minggu kehamilan, dan jumlahnya meningkat sampai paru-paru
matang (sekitar 30-34 minggu kehamilan). Fungsi surfaktan adalah untuk
mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding
alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan (Behrman,2000).
Tidak adanya surfaktan menyebabkan alveoli kolaps setiap saat akhir
pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan ini
memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan
ini menyebabkan stres pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu (Behrman,2000).
Sirkulasi Darah
Pada fetus sistem sirkulasi berbeda dengan neonatus, dimana darah dari
plasenta berkadar oksigen dan nutrisi tinggi mengalir melalui vena umbilicalis
sinistra masuk ke jaringan hati menuju vena cava inferior. Di hati, sebagian besar
darah mengalir melalui by pass ductus venosus langsung menuju vena cava inferior,
sedangkan sebagian kecil darah yang masuk menyebar ke sinusoid-sinusoid hati
untuk digunakan bagi perkembangan jaringan hati. Vena cava inferior, selain dari
duktus venosus hati, juga menerima darah berkadar oksigen dan nutrisi rendah dari
tubuh bagian posterior dan organ-organ viscera lainnya. Selanjutnya, dari vena cava
inferior darah mengalir masuk ke atrium dextra. Di atrium dextra, akibat tekanan
yang tinggi dari darah plasenta, maka sebagian besar darah langsung masuk ke
atrium sinistra melalui foramen ovale. Sebagian kecil darah dari atrium dextra
bercampur dengan darah berkadar oksigen rendah dari vena cava superior dan
mengalir masuk ke ventrikel dextra. Vena cava superior berfungsi membawa darah
dari daerah kepala dan ekstremitas atas yang berkadar oksigen dan nutrisi rendah
(Herman, 2012).
Di atrium sinistra, darah berkadar oksigen dan nutrisi tinggi dari atrium dextra
bercampur dengan darah berkadar oksigen dan nutrisi rendah dari paru-paru (yang
belum berfungsi pada masa fetal) mengalir masuk ke ventrikel sinistra. Oleh
ventrikel sinistra, sebagian besar darah dari plasenta yang masih berkadar oksigen
dan nutrisi tinggi selanjutnya dipompa menuju ke aorta. Di pangkal aorta terdapat
percabangan arteri coronarius yang menuju jantung untuk perkembangan jantung dan
arteri utama yaitu: truncus brachiocephalicus dan arteria subclavia yang masing-
masing menuju daerah kepala dan tungkai bagian depan. Sementara itu, darah yang
terdapat di ventrikel dextra (dengan kadar oksigen sedang) dipompa menuju paru-
paru, sebagian kecil digunakan untuk perkembangan paru-paru, dan sebagian besar
langsung disalurkan menuju aorta melalui ductus arteriosus. Dapat dimengerti bahwa
karena paru-paru belum berfungsi, maka hanya sebagian kecil darah dari ventrikel
dextra yang dialirkan menuju paru-paru sedangkan sisanya sebagian besar dialirkan
langsung ke aorta (Herman, 2012).
Darah dengan kadar oksigen sedang dari aorta (setelah percabangannya dengan
duktus arteriosus) dialirkan ke tubuh fetus bagian posterior, organ-organ viscera
(seperti ginjal dan usus), ekstremitas inferior, serta sebagian menuju ke plasenta
melalui sepasang arteri umbilicalis (Herman, 2012).
Pada sirkulasi fetal, kadar oksigen, karbon dioksida, nutrisi dan sisa
metabolisme selalu dijaga keseimbangannya secara konstan melalui mekanisme
percampuran darah berkadar oksigen dan nutrisi tinggi yang berasal dari plasenta
dengan darah berkadar oksigen dan nutrisi rendah yang berasal dari berbagai bagian
tubuh fetus (Herman, 2012)
Produksi panas
Bila suhu sekitar turun, ada 3 cara tubuh untuk meninggikan suhu, yaitu
aktifitas otot, shivering dan non shivering thermogenesis. Pada neonatus cara untuk
meninggikan suhu terutama dengan NST, yaitu dengan pembakaran brown fat yang
memberikan lebih banyak energi pergram daripada lemak biasa.
Kelenjar endokrin
Selama dalam uterus fetus mendapatkan hormon dari ibu.pada waktu bayi baru
lahir kadang-kadang hormon tersebut masih berfungsi, misalnya dapat dilihat
pembesaran kelenjar air susu pada bayi laki-laki atau pun perempuan. Kadang dapat
dilihat gejala withdrawal misalnya pengeluaran darah dari vagina yang menyerupai
haid pada bayi perempuan. Kelenjar adrenal pada waktu lahir relatif lebih besar bila
dibandingkan orang dewasa. Kelenjar tiroid sudah sempurna terbentuk sewaktu
lahirdan sudah mulai berfungsi sejak beberapa bulan sebelum lahir (Hassan dan
Alatas, 1985).
Pembentukan sel-sel darah
Eritrosit berinti mulai dibentuk di kantung kuning telur (yolk sac) dan lapisan
mesothel plasenta sekitar minggu ketiga perkembangan fetus. Hal ini akan diikuti
satu minggu kemudian (minggu keempat hingga kelima) dengan pembentukan
eritrosit tidak berinti oleh mesenkim fetus dan juga endothel vasa darah fetus.
Kemudian, pada enam minggu, hepar mulai membentuk sel-sel darah, dan dalam
bulan ketiga, lien dan jaringan limfoid tubuh lainnya juga mulai membentuk sel-sel
darah. Akhirnya, dari sejak kira-kira bulan ketiga, sumsum tulang berangsur-angsur
menjadi sumber utama eritrosit dan kebanyakan leukosit, kecuali pembentukan
limfosit dan sel plasma yang terus berlanjut di jaringan limfoid (Guyton dan Hall,
2007).
Keseimbangan cairan, asam-basa, dan fungsi ren
Ren pada fetus mulai mengekskresi urin selama kehamilan trimester kedua,
dan urin fetus menyumbang sekitar 70—80% cairan amnion. Perkembangan ren
yang abnormal atau kerusakan berat fungsi ren pada fetus akan sangat menurunkan
pembentukan cairan amnion (oligohydramnion) dan dapat mengakibatkan kematian
fetus (Guyton dan Hall, 2007).
Walaupun ren pada fetus membentuk urin, sistem kontrol ren dalam mengatur
keseimbangan volume cairan elektrolit ekstrasel fetus dan khususnya keseimbangan
asam-basa, hampir tidak ada sampai akhir kehidupan fetus dan tidak mencapai
perkembangan sempurna hingga beberapa bulan setelah lahir (Guyton dan Hall,
2007).
Kecepatan asupan dan ekskresi cairan pada bayi baru lahir adalah tujuh kali
lebih besar dari orang dewasa berkaitan dengan berat badannya, yang berarti bahwa
perubahan persentase asupan dan pengaturan yang kecil saja sudah dapat
menyebabkan timbulnya abnormalitas yang cepat (Guyton dan Hall, 2007).
Kecepatan metabolisme pada bayi juga dua kali lebih besar dari orang dewasa
berkaitan dengan massa tubuh, yang berarti bahwa biasanya pembentukan asam dua
kali lebih besar, yang cenderung mengarah pada asidosis bayi. Perkembangan
fungsional ren belum sempurna hingga kira-kira akhir bulan pertama kehidupan.
Sebagai contoh, ren pada neonatus hanya dapat memekatkan urin 1,5 kali osmolalitas
plasma dibandingkan dengan 3—4 kali pada orang dewasa sehingga
mempertimbangkan imaturitas ren, bersama dengan pertukaran cairan yang nyata
pada bayi dan pembentukan asam yang cepat, kita dapat memahami dengan mudah
bahwa di antara masalah yang paling penting pada bayi adalah asidosis, dehidrasi,
dan lebih jarang, kelebihan cairan (overhydrasi) (Guyton dan Hall, 2007).
Sistem saraf
Sebagian besar reflekss pada fetus termasuk medulla spinalis dan bahkan
truncus cerebri terbentuk pada bulan ketiga hingga keempat kehamilan. Namun,
fungsi-fungsi susunan saraf yang mencakup cortex cerebri masih pada tahap
perkembangan awal bahkan pada saat lahir. Tentu saja, mielinisasi beberapa tractus
utama encephalon tersebut menjadi sempurna hanya setelah kira-kira satu tahun
kehidupan postnatal (Guyton dan Hall, 2007).
Fungsi hepar
Selama beberapa hari pertama kehidupan, fungsi hepar pada neonatus mungkin
sedikit kurang, seperti yang ditunjukkan oleh pengaruh di bawah ini (Guyton dan
Hall, 2007).
1. Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat oleh hepar neonatus berlangsung
buruk sehingga hanya menyekresikan sedikit bilirubin selama beberapa hari
pertama kehidupan.
2. Pembentukan protein plasma oleh hepar neonatus mengalami defisiensi sehingga
konsentrasi protein plasma turun menjadi 15—20% kurang dari konsentrasi pada
anak yang lebih tua selama minggu-minggu pertama kehidupan. Kadang-kadang,
konsentrasi protein turun sangat rendah hingga bayi mengalami edema
hipoproteinemia.
3. Fungsi glukoneogenesis hepar secara khusus mengalami defisiensi sehingga kadar
glukosa darah pada neonatus yang tidak diberi makan turun hingga sekitar 30—40
mg/dl (sekitar 40% dari normal), dan bayi harus bergantung terutama pada
simpanan lemak untuk energinya hingga terjadi pemberian makan yang cukup.
4. Hepar neonatus biasanya juga membentuk sangat sedikit faktor-faktor darah yang
dibutuhkan untuk koagulasi darah normal.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Janin Dilihat dari
Riwayat Kesehatan Ibu
1. Faktor Genetik
a. Kualitas dan kuantitas pertumbuhan
b. Kelainan disebabkan kromosom abnormal, seperti syndrom
turner/disgensis gonat, super female, syndrom kleinefelter,
hermafroditismus verus, Down syndrom, syndrom Edwards, dan syndrom
Patau.
2. Faktor Lingkungan
a. Gizi Ibu Pada Waktu Hamil
- Hamil aterm: Tambahan berat badan 10 – 12,5 kg
- 300 kkal/hari atau 1 porsi makanan lebih banyak dari sebelum hamil.
- KMS ibu hamil à mencegah BBLR (morbiditas dan mortalitas tinggi)
b. Radiasi
Tiga prinsip efek biologisnya:
- Kematian sel yang mempangaruhi embryogenesis
- Karsinogenesis
- Efek terhadap generasi selanjutnya dan mutasi gen
c. Obat-Obatan, Toksin, atau Zat-Zat Kimia
Pengaruh obat pada ibu hamil
- Umur kehamilan : Trimester 1 (organogenesis) à obat teratogenikà
keguguran dan cacat bawaan à hati-hati dlm pemberian obat.
- Jumlah obat.
- Waktu dan lama pemberian obat.
d. Hormon Sintetik
1) Agen-Agen androgenik:
- Progestin sintetik à mencegah abortus.
- Progestin etisteron dan nerothisteron à maskulinitas alat kelamin
pada wanita àpembesaran klitoris.
2) Dietilstilbestrol à mencegah abortus.
3) Kontrasepsi oral à estrogen dan progesteron à teratogenik kecil à
jika hamil segera dihentikan KB-nya.
4) Kortison à palatoskisis (pada mencit).
e. Penyakit Ibu Hamil
1) Infeksi
- Menyebabkan abortus, lahir mati dan BBLR.
- Infeksi à Infeksi Janin, gangguan pertumbuhan janin dan cacat
bawaan (TORCH).
- Penyakit lain pada ibu hamil à chagas, varisela, herpes zooster,
hepatitis, siphilis, HIV, dll à penyakit pada janin.
- Vaksinasi Tetanus.
2) Bukan Infeksi
- Keadaan patologis pada ibu hamil: pre-eklamsi, Hiperemesis
gravidarum, penyakit jantung, tumor, anemia, tiroid, DM à tumbuh
kembang janin.
f. Mekanis
- Kelainan posisi janin.
- Kekurangan air ketuban/oligohidramnion à cacat bawaan à talipes,
dislokasi panggul, tortikolis.
- Kesalahan implantasi ovum à gangguan nutrisi à retardasi.
g. Imunitas
- Faktor rhesus/ABO inkomtabilitas à abortus, hidrops fetalis, lahir
mati.
h. Anoksia
- Dapat menyebabkan BBLR.
- Pada hipertensi, serotinus, kehamilan dengan penyakit jantung, ginjal,
asma, DM, paru-paru.
i. Stress
- Kehamilan sebaiknya benar-benar dikehendaki.
- Mempengaruhi janin yang dikandungnya.
j. Endokrin
- Hormon yang berpengaruh pada janin: somatotropin, hormon plasenta à
fungsi nutrisi plasenta.
- Tiroid à defisiensi à gangguan pertumbuhan otak à retardasi mental
Insulin à pertumbuhan janin à pembesaran sel sesudah minggu ke-30.
(Soetrisno, 2014).
3. Ante Natal Care (ANC)
a. Pengertian Ante Natal Care (ANC)
Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan
untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil, hingga
mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI
dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar. Kunjungan Antenatal
Care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan
pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan Antenatal Care
(ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi
ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan
diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau
komplikasi.
b. Tujuan Ante Natal Care (ANC)
Tujuan Umum
1) Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu
dan tumbuh kembang janin.
2) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, maternal dan
sosial ibu dan bayi.
3) Mengenal secara dini adanya komplikasi yang mungkin terjadi
selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan
dan pembedahan.
4) Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat
ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
5) Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian
ASI Eksklusif.
6) Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran
bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.
7) Menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal.
Tujuan Khusus
1) Mengenali dan mengobati penyulit-penyulit yang mungkin diderita
sedini mungkin.
2) Menurunkan angka morbilitas ibu dan anak.
3) Memberikan nasihat-nasihat tentang cara hidup sehari-hari dan
keluarga berencana, kehamilan, persalinan, nifas dan laktasi.
c. Jadwal Pemeriksaan Kehamilan
Kunjungan antenatal untuk pemantauan dan pengawasan
kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali selama kehamilan dalam
waktu sebagai berikut : sampai dengan kehamilan trimester pertama (<14
minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan trimester kedua (14-28
minggu) satu kali kunjungan dan kehamilan trimester ketiga (28-36
minggu dan sesudah minggu ke-36) dua kali kunjung.
d. Pemeriksaan Kehamilan
Dalam masa kehamilan ibu harus memeriksakan kehamilan ke
tenaga kesehatan paling sedikit 4 kali :
1) Trismester I : 1 kali
2) Trismester II : 1 kali
3) Trismester III : 2 kali
e. Pelayanan Antenatal
Pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar pelayanan
antenatal dimulai dengan :
1) Anamnese : meliputi identitas ibu hamil, riwayat kontrasepsi/KB,
kehamilan sebelumnya dan kehamilan sekarang.
2) Pemeriksaan umum : meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus
kebidanan.
3) Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya atas indikasi/diagnosa
4) Pemberian obat-obatan, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan tablet besi
(fe)
5) Penyuluhan tentang gizi, kebersihan, olah raga, pekerjaan dan perilaku
sehari-hari, perawatan payu dara dan air susu ibu, tanda-tanda risiko,
pentingnya pemeriksaan kehamilan dan imunisasi selanjutnya,
persalinan oleh tenaga terlatih, KB setelah melahirkan serta
pentingnya kunjungan pemeriksaan kehamilan ulang.
Kunjungan ibu hamil dilakukan secara berkala yang dibagi menjadi
beberapa tahap, seperti :
a. Kunjungan ibu hamil yang pertama (K1)
Kunjungan K1 adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan
petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan
pelayanan kesehatan trimester I, dimana usia kehamilan 1 sampai 12
minggu.
b. Kunjungan ibu hamil yang keempat (K4)
Kunjungan K4 adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih
dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan
pelayanan kesehatan pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunjungan
antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama masa
kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut :
a. Minimal 1 kali pada trimester I (K1), usia kehamilan 1-12 minggu
b. Minimal 1 kali pada trimester II, usia kehamilan 13-24 minggu
c. Minimal 2 kali pada trimester III, (K3-K4), usia kehamilan > 24 minggu.
Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7 T”
a. (Timbang) berat badan
b. Ukur (Tekanan) darah
c. Ukur (Tinggi) fundus uteri
d. Pemberian imunisasi (Tetanus Toxoid)
e. Pemberian Tablet zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan
f. Tes terhadap penyakit menular sexual
g. Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan (Saifudin, 2002).
f. Pemeriksaan USG
Menurut Wiknjosastro (2007), sebenarnya belum ada keseragaman
mengenai indikasi pemeriksaan USG dalam kehamilan. Di beberapa negara
Eropa, pemeriksaan USG dikerjakan secara rutin sedikitnya 1-2 kali selama
masa kehamilan. Di Amerika Serikat pemeriksaan USG rutin, melainkan atas
indikasi klinis, yaitu bila dalam pemeriksaan klinis dijumpai keadaan yang
meragukan atau mencurigakan adanya kelainan dalam kehamilan.
Pemeriksaan USG selama masa kehamilan merupakan suatu
pemeriksaan standar yang tidak wajib untuk dilakukan ibu hamil. Namun,
peranannya yang cukup penting selama masa kehamilan, tidak bisa
dipungkiri.
Dimulai dari trimester pertama, pemeriksaan dilakukan bertujuan untuk
menentukan lokasi kehamilan, usia gestasi, jumlah janin, dan yang paling
penting adalah penapisan cacat bawaan pertama ataupun kelainan yang
mungkin terjadi . Seperti kita ketahui bersama, bahwa cacat bawaan terjadi
pada masa embryogenesis (kehamilan 0 – 8 minggu), sehingga pemahaman
yang benar tentang tatacara pemeriksaan USG dimulai dari trimester pertama
sangat penting dilakukan (Endjun, 2007).
g. Usia
1) Usia < 20 tahun (terlalu muda untuk hamil)
Yang dimaksud dengan terlalu muda untuk hamil adalah hamil pada
usia <20 tahun. Pada usia <20 tahun secara fisik kondisi rahim dan
panggul belum berkembang optimal, sehingga dapat mengakibatkan risiko
kesakitan dan kematian pada kehamilan dan dapat menyebabkan
pertumbuhan serta perkembangan fisik ibu terhambat.
2) Usia 20 - 35 tahun (usia reproduksi)
Usia ibu sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi. Dalam
kurun waktu reproduksi sehat diketahui bahwa usia yang aman untuk
kehamilan dan persalinan adalah usia 20 - 35 tahun, dimana organ
reproduksi sudah sempurna dalam menjalani fungsinya.
3) Usia > 35 tahun (terlalu tua untuk hamil)
Yang dimaksud dengan terlalu tua adalah hamil diatas usia 35 tahun,
kondisi kesehatan ibu dan fungsi berbagai organ dan sistem tubuh
diantaranya otot, syaraf, endokrin dan reproduksi mulai menurun. Pada
usia lebih dari 35 tahun terjadi penurunan curah jantung yang disebabkan
kontraksi miokardium. Ditambah lagi dengan tekanan darah dan penyakit
lain yang melemahkan kondisi ibu, sehingga dapat mengganggu sirkulasi
darah ke janin yang berisiko meningkatkan komplikasi medis pada
kehamilan, antara lain : keguguran, eklamsia dan perdarahan.
(BKKBN, 2007).
E. Fisiologi Pecahnya Ketuban dan Interpretasi Warna Air Ketuban
Pecahnya ketuban
Persalinan kala 1 dimulai pada waktu serviks membuka karena his :
kontraksi uterus yang teratur, makin lama, makin kuat, makin sering, makin
terasa nyeri, disertai pengeluaran darah-lendir yang tidak lebih banyak daripada
darah haid. Persalinan kala 1 berakhir pada waktu pembukaan serviks telah
lengkap (pada periksa dalam, bibir porsio serviks tidak dapat diraba lagi).
Selaput ketuban biasanya pecah spontan pada saat akhir kala I.
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur. KPD berpengaruh
terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan
permulaan persalinan disebut periode laten = LP = lag period. Makin muda umur
kehamilan makin memanjang LP-nya. Sedangkan lama persalinan lebih pendek
dari biasa, yaitu pada primipara 10 jam dan pada multipara 6 jam. Di samping
itu KPD juga berpengaruh terhadap janin dan ibu.
Pada janin, kemungkinan infeksi intra uterin yang lebih dulu terjadi
(amnionitis, vaskulitis) cukup meninggikan morbiditas dan mortalitas perinatal.
Selain itu apabila dikaitkan dengan kelahiran prematur, tentu saja dapat
menghasilkan bayi dengan nilai apgar yang rendah bahkan bisa sampai
mengalami asfiksia neonaturum serta berat badan lahir yang rendah. Sumber lain
menyatakan bahwa KPD merupakan faktor resiko tambahan yang cukup penting
pada kejadian sepsis streptococcal Group B pada infant. Sedangkan pada ibu,
karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intra partal, apalagi bila
terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis, dan septikemia, serta partus kering. Ibu akan merasa lelah
karena terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan
naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi. Hal-hal tersebut tentu saja
meninggikan angka kematian dan angka morbiditas pada ibu (Sinseng, 2008).
Interpretasi warna air ketuban
Air ketuban yang normal jernih berwarna agak kekuningan, menyelimuti
janin di dalam rahim selama masa kehamilan. Warna air ketuban kehijauan atau
kecoklatan menunjukkan bahwa neonatus telah mengeluarkan mekonium
(kotoran yang terbentuk sebelum lahir, pada keadaan normal keluar setelah lahir
saat pergerakan usus yang pertama kali). Hal ini dapat menjadi petanda bahwa
neonatus dalam keadaan stres. Keadaan hipoksia menyebabkan peristaltik usus
dan relaksasi otot sfingter ani, maka mekonium dapat keluar melalui anus.
Seorang neonatus dapat menghirup cairan tersebut sehingga
mengakibatkan masalah pernapasan yang serius yaitu sindrom aspirasi
mekonium (SAM) yang membutuhkan penanganan yang tepat. Apabila seorang
klinikus melihat mekonium selama proses persalinan, dapat dilakukan
pemberian amnioinfusion bagi ibu dengan harapan dapat mencegah berbagai
komplikasi pada neonatus. Dijumpainya mekonium di dalam air ketuban
meninggalkan bekas atau sejumlah bukti. Apabila mekonium berada selama
empat jam atau lebih di dalam air ketuban, maka dasar kuku (nail bed) janin
akan berwarna dan kalau berada di dalam air ketuban dua puluh empat jam atau
lebih verniks kaseosa akan ikut berwarna. Selaput ketuban dan tali pusat pun
akan berwarna oleh mekonium dalam waktu tiga jam dan makrofag dalam satu
jam.
Cairan yang berwarna merah jambu menunjukkan perdarahan yang baru
terjadi, sedangkan air ketuban yang berwarna seperti anggur menunjukkan
adanya riwayat perdarahan. Tanda warna air ketuban tersebut kemungkinan
trivial tetapi dapat membantu menentukan penyebab yang mungkin (Kosim,
2010).
F. Ciri Bayi Baru Lahir Normal, Prosedur Medis Setelah Bayi Lahir,
Prosedur Pemeriksaan Fisik, dan Penilaian Bayi Baru Lahir
Pemeriksaan bayi perlu dilakukan dalam keadaan telanjang di bawah lampu
yang terang yang berfungsi sebgai pemanas untuk mencegah kehilangan panas.
Tangan serta alat yang digunakan untuk pemeriksaan fisik harus bersih dan
hangat. Pemeriksaan fisik pada BBL dilakukan paling kurang tiga kali, yakni (1)
pada saat lahir, (2) pemeriksaan yang dilakukan dalam 24 jam di ruang
perawatan, dan (3) pemeriksaan pada waktu pulang. Yang harus dicatat pada
pemeriksaan fisik adalah lingkar kepala, berat ,panjang , kelainan fisik yang
ditemukan, frekuensi napas dan nadi, serta keadaan tali pusat.
1. Pemeriksaan di kamar bersalin
a. Menilai adaptasi
Perlu diperiksakan dikamar bersalin agar mengetahui apakah bayi
memerlukan resusitasi atau tidak. Bayi yang mungkin memerlukan
resusitasi adalah bayi dengan pernapasan yang tidak adekuat, tonus otot
kurang, aada mekonium di dalam cairan amnion atau ahir kurang bulan.
Nilai APGAR juga masih dipakai untuk melihat keadaan bayi pada usia 1
menit dan 5 menit.
Cara menentukan nilai APGAR
Tanda 0 1 2
Laju jantung Tidak ada < 100 >100
Usaha bernapas Tidak ada Lambat Menangis kuat
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas
fleksi sedikit
Gerakan aktif
Reflekss Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan
Warna kulit Seluruh tubuh
biru/pucat
Tubuh
kemerahan,
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
kemerahan
Setiap variabel dinilai : 0, 1 dan 2
Nilai tertinggi adalah 10
- Nilai 7-10 menunjukkan bahwa by dalam keadaan baik
- Nilai 4 - 6 menunjukkan bayi mengalami depresi sedang &
membutuhkan tindakan resusitasi
- Nilai 0 – 3 menunjukkan bayi mengalami depresi serius &
membutuhkan resusitasi segera sampai ventilasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai APGAR:
a. Pengaruh obat-obatan
b. Trauma lahir
c. Kelainan bawaan
d. Infeksi
e. Hipoksia
f. Hipovolemia
g. Kelainan premature
Pemeriksaan fisik bayi baru lahir dimulai dari pengukuran berat
badan, panjang badan dan lingkar kepalanya. Bayi baru lahir normal
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
₋ Berat badan 2500 – 4000 gram
₋ Panjang badan 48 – 52 cm
₋ Lingkar kepala 33 – 35 cm
₋ Lingkar dada 30 – 38 cm
Klasifikasi berat badan bayi baru lahir (Manuaba, 2007) :
Bayi dengan berat badan normal : 2.500 – 4.000 gram
Bayi dengan berat badan lebih : > 4.000 gram
Bayi dengan berat badan rendah : < 2.500 gram / 1.500 – 2.500 gram
Bayi dengan berat badan sangat rendah : < 1.500 gram
Bayi dengan berat badan ekstrim rendah : < 1.000 gram
b. Mencari kelainan kongenital
Pada anamnesis perlu ditanyakan apakah ibu menggunakan obat-obat
teratogenik, terkena radiasi atau infeksi virus pada trisemester pertama dan
juga apakah ada kelainan bawaan pada keluarga.disamping itu perlu
diketahui apak ibu menderita penyakt yang dapat mengganggu pertumbuha
janin seperti diabetes melitus, asma bronkial dan sebagainya. Sebelum
memeriksa bayi perlu juga diperiksa cairan amnion, tali pusar dan plasenta.
Pada pemeriksaan cairan amnion perlu diukur volume. Hidramnion
( volume > 2000ml ) sering dihubungkan dengan obstruksi traktus
intestinalis bagian atas, anensefalus, bayi dari ibu diabetes atau eklampsi,
sedangkan oligohidramnion ( volume < 500 ml) dihubungkan dengan
agenesis ginjal bilateral atau sindrom potter.
Pada pemeriksaan tali pusar diperhatikan kesegaran, ada tidaknya
simpul, dan apakah ada dua arteri dan satu vena.
Pada pemeriksaan plasenta diperhatikan adakah perkapuran, nekrosis
dan sebgainya.pada bayi kembar dilihat adanya satu atau dua korion dan
anastomosis vaskular antara kedua korion.
Bayi diperiksa secara menyeluruh baik dari mulut, anus, kelainan
garis tengah, serta jenis kelamin.
Pemeriksaan di ruang rawat
Pemeriksaan ini meliputi :
a. Aktivitas fsik
Keaktifan BBL dinilai dengan melihat posisi dan gerkan tungkai dan
lengan. Pada BBL cukup bulan yang sehat, ekstremitas berada dalam
keadaan fleksi, dengan gerakan tungkai serta lengan aktif dan simetris.
b. Tangisan bayi
Tangisan bayi dapat memberikan keterangan seperti tangisan melengking
mengindikasikan adanya kelainan neurologis, sedangkan tangisan yang
lemah atau merintih terjadi pada bayi yang kesulitan pernapasan.
c. Wajah BBL
Wajah BBL dapat menunjukkan kelainan yang khas seperti sindrom
Down, sindrom Pierre-Robin, sindrom de Lange, dan sebgainya.
d. Keadaan gizi
Dinilai dari berat dan panjang badan serta disesuaikan dengan umur
kehamilan, tebal lapisan sub kutis serta kerutan pada kulit.
e. Pemeriksaan suhu
Suhu tubuh BBL diukur pada aksila. Suhu BBL normal antara 36,5-
37,50C. Suhu meninggi dapat ditemukan pada dehidrasi, gangguan serebral,
infeksi atau kenaikan suhu lingkungan.Apabila ekstremitas dingin dan tubuh
panas emungknan besar disebabkan oleh sepsis.
Pemeriksaan pada waktu memulangkan
Pada waktu memulangkan perlu diperhatikan :
a. Susunan saraf pusat : aktivitas bayi, ketegangan ubun-ubun.
b. Kulit : adanya ikterus, piodermia
c. Jantung : adanya bising yang baru timbul kemudian
d. Abdomen : adanya tumor yang tidak terdeteksi sebelumnya
e. Tali pusat : adanya infeksi
f. Diperhatikan juga apakah bayi sudah pandai menyusu dan ibu sudah
mengerti cara pemberian ASI yang benar.
Pemeriksaan reflekss pada neonatus
Reflekss yang dapat dilihat ialah refleks Moro berupa gerakan seperti
memeluk bila ada rangsangan, misalnya dengn menarik kain tempat ia
berbaring. Refleks isap dapat ditimbulkan dengan meletakkan sesuatu benda
di mulutnya. Refleks rooting, yaitu bayi akan mencari benda yang diletakkan
di sekitar mulutnya dan kemudian akan menghisapnya. Reflekss plantar dan
reflekss ’grasp’ ditimbulkan dengan meletakkan sesuatu benda pada telapak
kaki atau tangan dan akan terjadi gerakan fleksi dari jari-jari (Hassan dan
Alatas, 1985).
Skor Apgar
Skor Apgar merupakan kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi
baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan
keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula memberikan
gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian
secara Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan
mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Cara ini dianggap paling ideal dan
telah banyak digunakan dimana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah: (1)
menghitung frekuensi jantung, (2) melihat usaha bernafas, (3) menilai tonus
otot, (4) menilai reflekss rangsangan, (5) memperhatikan warna kulit. Setiap
kriteria diberi angka tertentu, dan biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir
lengkap, yaitu saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah
dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar satu menit ini
menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai
pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai
setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat
dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 1985).
0 1 2
Appearance
(warna kulit)
Pucat Badan merah,
ekstremitas biru
Seluruh tubuh
kemerah-merahan
Pulse rate
(frekuensi
nadi)
Tidak ada Kurang dari 100 Lebih dari 100
Grimace
(reaksi
rangsangan)
Tidak ada Sedikit gerakan
mimik (grimace)
Batuk/bersin
Activity
(tonus otot)
Tidak ada Ekstremitas sedikit
fleksi
Gerakan aktif
Respiration
(pernapasan)
Tidak ada Lemah/tidak teratur Baik/menangis
Interpretasi nilai apgar:
Vigorous baby / bayi normal: nilai apgar 7-10
Asfiksia sedang-ringan: nilai apgar 4-6
Asfiksia berat: nilai apgar 0-3
(Wahidiyat,2007)
Pemeriksaan Fisik Abdomen Bayi Baru Lahir
Abdomen harus tampak bulat dan bergerak secara bersamaan dengan
gerakan dada saat bernapas. Kaji adanya pembengkakan.
Lakukan pemeriksaan pada tali pusat bertujuan untuk menilai ada
tidaknya kelainan pada tali pusat seperti, ada tidaknya vena dan arteri,
tali simpul pada tali pusat dan lain-lain.
Jika perut sangat cekung kemungkinan terdapat hernia diafragmatika
Abdomen yang membuncit kemungkinan karena hepato-splenomegali
atau tumor lainnya
Jika perut kembung kemungkinan adanya enterokolitis vesikalis,
omfalokel atau ductus omfaloentriskus persisten.
Lakukan Auskultasi adanya bising Usus.
Lakukan perabaan hati, umumnya teraba 2-3 cm di bawah arkus kosta
kanan. Limpa teraba 1 cm di bawah arkus kosta kiri.
Lakukan palpasi ginjal, dengan cara atur posisi terlentang dan tungkai
bayidi lipat agar otot-otot dinding perut dalam keadaan relaksasi, batas
bawah ginjal dapat di raba setinggi umbilikus di antara garis tengah dan
tepi perut bagian ginjal dapat di raba sekitar 2-3 cm. Adanya pembesaran
pada ginjal dapat di sebabkan oleh neoplasma, kelainan bawaan, atau
trombosis vena renalis
Ciri-ciri bayi baru lahir normal:
1. Keadaan umum: bayi sehat tampak kemerah-merahan, aktif, tonus otot
baik, menangis keras, minum baik.
2. Suhu rectal diukur setiap 30 menit sampai suhu tubuh diatas 360 .
3. Tiga hari pertama berat badan akan turun oleh karena bayi mengeluarkan
air kencing dan mekonium, sedangkan cairan yang masuk belum cukup.
Pada hari ke empat berat badan akan naik lagi.
4. Mekonium berwarna hijau tua yang telah berada di saluran pencernaan
sejak berumur 16 minggu, akan mulai keluar dalam waktu 24 jam,
pengeluaran ini akan berlangsung sampai hari ke 2-3. Pada hari ke 4
sampai 5 tinja menjadi coklat kehijauan. Selanjutnya warna tinja
tergantung jenis susu yang diminumnya.
5. Denyut jantung menit pertama 180 kali/menit lalu turun sampai 140
kali/menit – 120 kali/menit pada waktu bayi berumur 30 menit.
6. Pernafasan cepat pada menit-menit pertama (kira-kira 80 kali/menit).
(Wahidiyat, 2007)
G. Alur Resusitasi pada Kegawatdaruratan Neonatus
Penggunaan Oksigen
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup
oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan
selang/pipa oksigen. Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan oksigen
100%. Namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan oksigen
ruangan dengan konsentrasi 21% menurunkan risiko mortalitas dan kejadian
ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) dibanding dengan oksigen 100%. Pemberian
oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang bulan karena dapat merusak
jaringan (Depkes RI, 2008).
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat
sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun
konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali
sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang.
Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk
menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal (American Academy of Pediatrics
dan American Heart Association, 2006).
Macam obat yang diberikan pada resusitasi neonatus
Epinefrin diberikan jika frekuensi denyut jantung tetap < 60/menit, meskipun
telah dilaqkukan kompresi dada yang dikoordinasikan dengan VTP disertai oksigen
100% Larutan Epinefrin 1/10.000, dosis 0,1 – 0,3 ml/kg BB Dalam semprit 1 ml.
Pemberian secara cepat melalui pipa endotrakhea dan vena umbilikalis.
Volume Ekspander, cairan penambah volume darah larutan garam fisiologis,
larutan Ringer Laktat (RL), dan darah O. Dosis yang dianjurkan : 10 ml/kg BB Jalur
yang dianjurkan melalui vena umbilikalis Persiapan : menyiapkan volume yang
sesuai dalam semprit besar Kecepatan pemberian yang dianjurkan = 5 -10 menit.
Natrium bikarbonat diberikan jika dicurigai ada asidosis metabolic berat yang
dibuktikan dengan pemeriksaan analisa gas darah. Diberikan jika paru – paru yang
telah diberikan ventilasi adekuat Larutan 4,2 % ( 0,5 mEq/ml ). Persiapan : volume
yang sesuai dari larutan 4,2 % dalam semprit 10 ml, Kecepatan : perlahan – lahan
tidak melebihi 1 mEq/ kg/menit.
Resusitasi dihentikan bila upaya selama 30 menit terus-menerus hasilnya
berupa:
a. Tidak ada perbaikan atau bertambah buruk.
b. Pernafasan tetap tidak dapat spontan.
c. Frekwensi jantung tidak meningkat, kurang dari 80x/menit.
d. Detak jantung tidak terdengar.
Kekurangan oksigen lebih dari 30 menit mengakibatkan kerusakan jaringan
otak permanent yang akan menimbulkan kecacatan di kemudian hari. Bila tindakan
resusitasi berhasil yang ditandai dengan :
a. Bayi bernafas spontan dan teratur.
b. Warna kulit menjadi kemerahan, maka segera lanjutkan perawatan bayi dengan
asuhan neonatal dasar (Candrawati, 2011).
H. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah bayi diberi kesempatan memulai / inisiasi
menyusu sendiri segera setelah lahir/ dini, dengan membiarkan kontak kulit bayi
dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih, sampai menyusu pertama selesai.
Apabila dalam satu jam tidak ada reaksi menyusu, maka boleh mendekatkan puting
susu tetapi beri kesempatan bayi untuk inisiasi. Inisiasi dini yang kurang tepat adalah
menyorongkan mulut bayi ke puting ibunya untuk disusui segera setelah lahir saat
bayi belum siap minum. Ini bisa mengurangi tingkat keberhasilan inisiasi awal
menyusu. Dalam prosedur ini kontak kulit bayi dengan kulit ibu (Skin to skin) lebih
bermakna dibandingkan dengan proses inisiasi itu sendiri.
Bila diletakkan sendiri di atas perut ibunya, bayi baru lahir yang sehat akan
merangkak ke atas, dengan mendorong kaki, menarik dengan tangan dan
menggerakkan kepalanya hingga menemukan puting susu. Indera penciuman seorang
bayi baru lahir sangat tajam, yang juga membantunya menemukan puting susu
ibunya. Ketika bayi bergerak mencari puting susu, ibu akan memproduksi oksitosin
dalam kadar tinggi. Ini membantu kontraksi otot rahim sehingga rahim menjadi
kencang dan dengan demikian mengurangi perdarahan. Oksitosin juga membuat
payudara ibu mengeluarkan zat kolostrum ketika bayi menemukan puting susu dan
mengisapnya (Aprilia, 2009).
Sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui (ten steps to successful
breastfeeding) yang dikeluarkan oleh WHO/UNICEF adalah:
1. Sarana pelayanan kesehatan mempunyai kebijakan tentang penerapan 10
langkah menuju keberhasilan menyusui dan melarang promosi PASI
2. Sarana pelayanan kesehatan melakukan pelatihan untuk staf sendiri atau lainnya
3. Menyiapkan ibu hamil untuk mengetahui manfaat ASI dan langkah
keberhasilan menyusui. Memberikan konseling apabila ibu penderita infeksi
HIV positif
4. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan,
yang dilakukan diruang bersalin.
Langkah empat ini biasa dikenal dengan Inisiasi Menyusu Dini atau IMD,
WHO dan UNICEF melakukan perubahan interpretasi tahun2007 untuk langkah ini
menjadi: ” Segera setelah lahir, tengkurapkan bayi dengan kulit bayi melekat pada
kulit ibu. Biarkan dalam posisi ini setidaknya selama 1 jam atau sampai menyusu
awal selesai.” Artinya semua bayi seyogyanya mendapat kesempatan untuk memulai
menyusu sendiri segera setelah lahir. Konteks “segera” bearti secepatnya setelah
melahirkan tanpa adanya intervensi lain yang membuat proses IMD menjadi
tertunda. Indikasi dari IMD adalah, bayi dan ibu dalam keadaan stabil bagaimanapun
proses melahirkan yang ibu pilih dengan parameter sesegera mungkin setelah proses
persalinan ibu dan bayi dan bayi dibiarkan kontak kulit dengan minimal proses
kontak kulit adalah 1 jam. Lalu bayi dirawat gabung bersama ibu, tidak dipisahkan
antar keduanya tanpa indikasi medis, sehingga ibu dapat menyusui bayinya semau
bayi.
5. Membantu ibu melakukan teknik menyusui yang benar (posisi peletakan tubuh
bayi dan pelekatan mulut bayi pada payudara)
6. Hanya memberikan ASI saja tanpa minuman pralaktal sejak bayi lahir
7. Melaksanakan rawat gabung ibu dan bayi
8. Melaksanakan pemberian ASI sesering dan semau bayi
9. Tidak memberikan dot/ kempeng.
10. Menindak lanjuti ibu-bayi setelah pulang dari sarana pelayanan kesehatan
Manfaat IMD
1. Membantu stabilisasi pernapasan bayi.
2. Mengendalikan suhu tubuh bayi lebih baik dibandingkan dengan inkubator.
3. Menjaga kolonisasi kuman yang aman untuk bayi dan mencegah infeksi
nosokomial.
4. Lebih cepat menormalkan kadar bilirubin bayi karena pengeluran meconium
lebih cepat sehingga dapat menurkan insidensi ikterus bayi baru lahir.
5. Kontak kulit bayi dengan kulit ibu membuat bayi lebih tenang sehingga didapat
pola tidur yang lebih baik sehingga berat badan bayi cepat meningkat dan lebih
cepat keluar dari rumah sakit.
6. Mengoptimalkan pengeluaran hormon oksitosin dan prolaktin pada ibu.
7. Secara psikologis, dapat menguatkan ikatan batin antara bayi dan ibu.
(Prawirohardjo, 2010)
I. Fisiologi dan Manajemen Laktasi
1. Fisiologi Laktasi
Ketika bayi mengisap, sebenarnya tidak memperoleh susu untuk setengah
menit pertama. Impuls sensorik pertama harus ditransimiskan melalui saraf
sensorik dari putting susu ke medua spinalis kemudian ke hipotalamus, yang
menyebabkan sinya saraf membantu sekresi oksitosin pada saat bersamaan
dengan sekresi prolaktin. Oksitosin akan membuat kontraksi sel mioepitel
sehingga air susu mengalir dari alveoli ke duktus pada tekanan 10-20 mmHg
(Guyton and Hall, 2008).
Hormon yang mempengaruhi pembentukan ASI
Hormon-hormon yang mempengaruhi pembentukan ASI adalah sebagai
berikut :
a. Progesteron
Mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Tingkat progesteron dan
estrogen menurun sesaat setelah melahirkan. Hal ini menstimulasi produksi
secara besar-besaran.
b. Estrogen
Menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Tingkat estrogen
menurun saat melahirkan dan tetap rendah untuk beberapa bulan selama tetap
menyusui. Karena itu, sebaiknya ibu menyusui menghindari KB hormonal
berbasis hormon estrogen, karena dapat mengurangi jumlah produksi ASI.
c. Prolaktin
Berperan dalam membesarnya alveoil dalam kehamilan. Dalam fisiologi
laktasi, prolaktin merupakan suatu hormone yang disekresikan ole glandula
pituitary. Hormone ini memiliki peranan penting untuk memproduksi ASI, kadar
hormone ini meningkat selama kehamilan. Kerja hormone ini dihambat oleh
hormone plasenta. Pristiwa lepas atau keluarnya plasenta pada akhir proses
persalinan akan membuat kadar estrogen dan progesterone berangsur-angsur
menurun sampai tingkat dapat dilepaskan dan diaktifkannya prolaktin.
Peningkatan kadar prolaktin akan menghambat ovulasi dengan kata lain
mempunyai fungsi kontrasepsi. Kadar prolaktin paling tinggi adalah pada malam
hari dan penghentian pertama pemberian air susu dilakukan pada malam hari.
d. Oksitosin
Hormone ini mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat melahirkan
dan setelahnya, seperti halnya juga dalam orgasme. Setelah melahirkan,
oksitosin juga mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk memeras ASI
menuju saluran susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu let-down /
milk ejection reflex.
e. Human placental lactogen (HPL)
Sejak bulan kedua kehamilan, plasenta mengeluarkan banyak HPL, yang
berperan dalam pertumbuhan payudara, puting, dan areola sebelum melahirkan.
Pada bulan kelima dan keenam kehamilan, payudara siap memproduksi ASI.
Namun, ASI bisa juga diproduksi tanpa kehamilan (induced lactation).
(Sherwood,2011)
Hormon lainnya, seperti insulin, tiroksin, dan kortisol, juga terdapat dalam
proses ini, namun peran hormon tersebut belum diketahui. Penanda biokimiawi
mengindikasikan bahwa proses laktogenesis II dimulai sekitar 30-40 jam setelah
melahirkan, tetapi biasanya para ibu baru merasakan payudara penuh sekitar 50-
73 jam (2-3 hari) setelah melahirkan. Artinya, memang produksi ASI sebenarnya
tidak langsung setelah melahirkan (Sherwood,2011).
Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI selama kehamilan
dan beberapa hari pertama setelah melahirkan. Ketika produksi ASI mulai stabil,
sistem kontrol autokrin dimulai. Fase ini dinamakan Laktogenesis III. Pada
tahap ini, apabila ASI banyak dikeluarkan, payudara akan memproduksi ASI
dengan banyak pula. Penelitian berkesimpulan bahwa apabila payudara
dikosongkan secara menyeluruh juga akan meningkatkan taraf produksi ASI.
Dengan demikian, produksi ASI sangat dipengaruhi seberapa sering dan
seberapa baik bayi menghisap, dan juga seberapa sering payudara dikosongkan
(Sherwood,2011).
Produksi ASI yang rendah adalah akibat dari: Kurang sering menyusui
atau memerah payudara dan memijat payudara. Apabila bayi tidak bisa
menghisap ASI secara efektif, hal ini dapat diakibatkan oleh struktur mulut dan
rahang yang kurang baik, teknik perlekatan yang salah, kelainan endokrin ibu
(jarang terjadi), jaringan payudara hipoplastik, kelainan metabolisme atau
pencernaan bayi, sehingga tidak dapat mencerna ASI, serta kurangnya gizi ibu.
Menyusui setiap dua-tiga jam akan menjaga produksi ASI tetap tinggi. Untuk
wanita pada umumnya, menyusui atau memerah ASI delapan kali dalam 24 jam
akan menjaga produksi ASI tetap tinggi pada masa-masa awal menyusui,
khususnya empat bulan pertama. Bukanlah hal yang aneh apabila bayi yang baru
lahir menyusui lebih sering dari itu, karena rata-ratanya adalah 10-12 kali
menyusui tiap 24 jam, atau bahkan 18 kali. Menyusui on-demand adalah
menyusui kapanpun bayi meminta (artinya akan lebih banyak dari rata-rata)
adalah cara terbaik untuk menjaga produksi ASI tetap tinggi dan bayi tetap
kenyang . Tetapi perlu diingat, bahwa sebaiknya menyusui dengan durasi yang
cukup lama setiap kalinya dan tidak terlalu sebentar, sehingga bayi menerima
asupan foremilk dan hindmilk secara seimbang (Sherwood,2011).
Bagaimana payudara menghasilkan ASI, dimulai saat bayi menghisap
payudara dan menstimulasi ujung saraf. Saraf memerintahkan otak untuk
mengeluarkan dua hormone yaitu prolaktin dan oksitosin. Prolaktin merangsang
alveoli, untuk menghasilkan lebih banyak air susu. Oksitosin menyebabkan sel-
sel otot disekitar alveoli berkontraksi, mendorong air susu masuk kesaluran
penyimpanan, dan akhirnya bayi dapat menghisapnya. Semakin bayi menghisap,
semakin banyak susu yang dihasilkan (Sherwood,2011).
Selama kehamilan hormone prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
belum keluar karena pengaruh hormone estrogen yang masih tinggi. Kadar
estrogen dan progesterone akan menurun pada saat hari ke dua atau ke tiga
pasca-persalinan sehingga terjadi sekresi ASI. Pada proses laktasi terdapat dua
refleks yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran yang timbul
akibat perangsangan putting susu dikarenakan hisapan bayi. (Sherwood,2011)
Reflekss prolaktin
Pada akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan untuk
membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas karena aktivitas prolaktin
dihambat oleh esterogen dan progesteron yang kadarnya memang tinggi. Setelah
partus berhubung lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum
maka estrogen dan progesterone sari-at berkurang, ditambah dengan adanya
isapan bayi yang merangsang puting susu dan kalang payudara, akan
merangsang ujung - ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor
mekanik (Sherwood,2011).
Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medulla spinalis
hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor - faktor yang menghambat
sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran faktor - faktor yang
memacu sekresi prolaktin. Faktor - faktor yang memacu sekresi prolaktin akan
merangsang hipofise anterior sehingga keluar prolaktin. Hormone ini
merangsang sel - sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu
(Sherwood,2011).
Kadar prolaktin pada ibu menyusui akan menjadi normal 3 bulan setelah
melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada
peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun pengeluaran ASI tetap
berlangsung. Pada ibu melahirkan tapi tidak menyusui,kadar prolaktin akan
menjadi normal pada minggu ke 2-3. Pada ibu yang menyusui, kadar prolaktin
akan meningka pada keadaan seperti stress atau pengaruh psikis, anestesi ataupu
operasi (Sherwood,2011).
Refleks let down
Bersama dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior, rangsangan
yang berasal dari isapan bayi ada yang dilanjutkan ke hipofise posterior
(neurohipofise) yang kemudian dikeluarkan oksitosin (Sherwood,2011).
Melalui aliran darah, hormone ini diangkat menuju uterus yang dapat
menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ tersebut.
Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat keluar dari alveoli
dan masuk ke system duktus dan selanjutnya menbalir melalui duktus lactiferus
masuk ke mulut bayi (Sherwood,2011).
Faktor - faktor yang meningkatkan let down adalah :
- Melihat bayi
- Mendengarkan suara bayi
- Mencium bayi
- Memikirkan untuk menyusui bayi
Faktor - faktor yang menghambat refleks let down adalah stress, seperti
keadaan bingung / pikiran kacau, takut, dan cemas (Sherwood,2011).
Reflekss yang terjadi pada bayi yang berpengaruh pada masa menyusui:
a. Refleks rooting
Bila bayi baru lahir disentuh pipinya dia akan menoleh ke arah sentuhan.
Bila bibirnya dirangsang atau disentuh dia akan membuka mulut dan berusaha
mencari puting untuk menyusu.
b. Refleks menghisap
Refleks ini terjadi bila ada sesuatu yang meragsang langit-langit dalam
mulut bayi. Untuk dapat merangsang langit-langit bagian belakang areola harus
tertangkap oleh mulut bayi, engan demikian areola dan puting akan tertekan oleh
gusi, lidah bayi serta langit-langit sehingga sinus laktiferus yang terdapat dalam
areola dan berisi ASI tertekan akibatnya adalah air susu diperas ke luar, ke
dalam mulut bayidan ditelan dengan reflekss menelan.
c. Refleks menelan
Refleks ini timbul bila ada cairan di dalam rongga mulut (Siregar, 2011).
2. Manajemen Laktasi
Pengertian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah makanan cair yang secara khusus
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bayi akan berbagai zat gizi yang
diperlukan untuk tumbuh dan berkembang disamping memenuhi kebutuhan
bayi akan energi. Hanya dengan memberi ASI saja tanpa makanan lain, bayi
mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Pedoman menyusui yaitu bayi
dianjurkan mulai disusukan segera setelah lahir. Waktu yang paling baik
adalah jam- jam pertama setelah bayi lahir dan sampai bayi susui sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan bayi sendiri (on demand feeding) yaitu
antara 8-12 kali sehari (Moehyi, 2008).
Manfaat ASI
a. Bagi bayi
ASI dapat membantu memulai kehidupannya dengan baik. Bayi yang
diberi ASI mempunyai kenaikan berat badan yang baik setelah lahir,
pertumbuhan periode perinatal baik, dan mengurangi kemungkinan obesitas.
Selain itu ASI juga mengandung antibodi. Di dalam ASI terdapat 3
mekanisme pembentukan antibodi. Antibodi yang di payudara disebut
mammae associated immunocompetent (MALT). Kekebalan terhadap
penyakit saluran pernafasan didapatkan dari Bronchus associated
immunocompetent (BALT) dan untuk saluran pencernaan didapatkan dari
Gut associated immunocompetent (GALT).
ASI juga mengandung komposisi yang tepat. Terdiri dari proporsi
yang seimbang dan cukup kuantitas semua zat gizi yang diperlukan untuk
kehidupan 6 bulan kedepan.
Fungsi lain untuk mengurangi kejadian karies gigi. Insiden karies gigi
pada bayi yang mendapat susu formula lebih tinggi disbanding yang
mendapat ASI, karena kebiasaan menyusui dengan botol dan dot terutama
pada waktu akan tidur menyebabkan gigi akan lebih lama kontak dengan
susu formula, hal ini menyebabkan asam yang terbentuk akan merusak gigi.
ASI memberi rasa nyaman dan aman pada bayi dan adanya ikatan
antara ibu dan bayi. Kontak kulit ibu ke kulit bayi mengakibatkan
perkembangan psikomotor maupun sosial bayi akan lebih baik.
Pengonsumsian ASI juga membuat bayi terhindar dari alergi. Pada
bayi baru lahir sistem IgE belum sempurna. Pemberian protein asing yang
ditunda sampai umur 6 bulan akan mengurangi kemungkinan alergi.
ASI meningkatkan kecerdasan bagi bayi. Lemak pada ASI adalah
lemak tak jenuh yang mengandung omega 3 untuk pematangan sel otak,
sehingga jaringan otak bayi yang mendapat ASI eksklusif akan tumbuh
optimal.
Pemberian ASI dapat membantu perkembangan rahang dan
merangsang pertumbuhan gigi karena gerakan menghisap mulut bayi pada
payudara.
b. Bagi Ibu
- Aspek kontrasepsi
Hisapan mulut bayi pada putting susu merangsang ujung saraf
sensorik sehingga post anterior hipofise mengeluarkan prolaktin. Prolakti
masuk ke indung telur, menekan produksi esterogen akibatnya tidak ada
ovulasi.
- Aspek kesehatan ibu
Oksitoksin yang keluar membantu involusi uterus dan mencegah
terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penundaan haid dan berkurangnya
perdarahan pasca persalinan mengurangi prevalensi anemia defisiensi besi.
- Aspek penurunan berat badan
Pada saat hamil badan bertambah berat, selain karena ada janin juga
karena ada penimbunan lemak pada tubuh. Cadangan lemak ini disiapkan
untuk sumber tenaga dalam proses produksi ASI. Dengan menyusui, tubuh
akan menghasilkan ASI lebih banyak lagi sehingga timbunan lemak akan
menyusut.
- Aspek psikologis
Ibu akan merasa bangga dan diperlukan.
Komposisi ASI
Kandungan zat gizi dalam ASI tidak dipengaruhi oleh makanan apa
yang dimakan ibu. Apabila kandungan zat gizi dalam makanan ibu tidak
mencukupi, maka untuk memenuhi kandungan zat gizi dalam ASI tubuh
akan mengambil cadangan zat gizi yang ada dalam tubuh ibu. Komposisi
ASI adalah sebagai berikut:
a. Karbohidrat
Karbohidrat dalam ASI berbentuk laktosa (gula susu). Hidrat arang
dalam ASI berperan dalam pertumbuhan sel saraf otak, serta pemberian
energi untuk kerja sel- sel saraf. Di usus, sebagian laktosa diubah menjadi
asam laktat yang berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri yang berbahaya,
serta membantu penyerapan kalsium dan mineral-mineral lain.
b. Protein
Sebagian besar protein yang terdapat dalam ASI adalah
”whey”,”whey” dalam ASI lebih lunak dan mudah dicerna daripada
”whey”dalam PASI. Itulah yang menyebabkan bayi yang diberi PASI sering
menderita susah buang air besar (sembelit) dan diare.
c. Lemak
Lemak dalam ASI lebih mudah dicerna dan diserap oleh bayi. Jenis
lemak dalam ASI mengandung banyak omega-3, omega-6, dan DHA yang
dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel jaringan otak.
d. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap, walaupun kadarnya relatif
rendah tapi bisa mencukupi kebutuhan bayi sampai umur 6 bulan.
e. Vitamin
Apabila makanan yang dikosumsi oleh ibu memadai, berarti semua
vitamin yang diperlukan bayi selama 6 bulan pertama kehidupannya dapat
diperoleh dari ASI.
(Prasetyono, 2009).
Kontraindikasi pemberian ASI
Bayi dengan galaktosemia
Ibu dengan HIV/AIDS yang dapat memberikan susu formula yang
memenuhi syarat AFASS (A=acceptable, F=feasible, A=affordable,
S=sustainable, S=safe)
Ibu dengan penyakit jantung yang apabila menyusui dapat terjadi gagal
jantung
Ibu yang memerlukan terapi dengan obat-obat tertentu, misalnya kemoterapi
Ibu yang memerlukan pemeriksaan dengan obat-obat radioaktif perlu
menghentikan pemberian ASI kepada bayinya selama 5x waktu paruh obat
(Lawrence, 2005).
J. Asfiksia Neonatorum
1. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
2. Klasifikasi asfiksia
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR;
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan
dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada
pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa
sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu
akan menyebabkan asfiksia.
4. Penyebab asfiksia
Asfiksia dalam kehamilan:
a. Penyakit infeksi akut.
b. Penyakit infeksi kronik.
c. Keracunan oleh obat-obat bius.
d. Uremia dan toksemia gravidarum.
e. Anemia berat.
f. Cacat bawaan.
g. Trauma.
Asfiksia dalam persalinan:
a. Kekurangan O2.
Partus lama ( rigid serviks dan atonia/ insersi uteri).
Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu
sirkulasi darah ke plasenta.
Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul.
Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps.
Trauma dari dalam : akibat obat bius.
K. Sepsis Neonatorum
1. Definisi Sepsis Neonatorum
Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru
mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis
Definition Conferences (ISDC) sepsis adalah sindroma klinis dengan adanya
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan
suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis berat, renjatan / syok
septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian. Sepsis ditandai dengan
respon inflamasi sistemik dan bukti infeksi pada bulan pertama kehidupan, berupa
perubahan temperatur tubuh, perubahan jumlah leukosit, takikardi, dan takipnea.
Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau
disfungsi organ atau hipoperfusi organ.neonatorum awitan dini (SAD) dan sepsis
neonatorum awitan lambat (SAL).
2. Etiologi
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization di empat negara berkembang yaitu
Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Penelitian tersebut
mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering ditemukan pada kultur darah
adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli
(18%).
Tabel Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum
3. Faktor risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi
dan lain-lain.
Faktor risiko ibu:
a. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih
dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
b. Infeksi dan demam (lebih dari 38°C) pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup
B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
c. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
d. Kehamilan multipel.
e. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
f. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi:
a. Prematuritas dan berat lahir rendah
b. Asfiksia neonatorum
c. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress
dan trauma pada proses persalinan.
d. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,
pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal. Universitas Sumatera Utara
e. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.
4. Gambaran Klinis
Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Berdasarkan penelitian hanya sekitar
10% bayi yang pada darahnya ditemukan bakteri akan mengalami demam, lebih
banyak yang suhu tubuhnya normal atau malah rendah.
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak
lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia
dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat
(letargi, reflekss hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high
pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular
(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan
respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi
minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih
dan retraksi).
5. Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara yaitu:
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan
umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Penyebab
infeksi adalah virus yang dapat menembus plasenta antara lain:virus rubella,
herpes, sitomegalo, koksaki, influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini
antara lain: malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan
serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi amnionitis dan
korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain
yaitu pada saat persalinan, kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat
terjadi melalui kulit bayi atau port de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi oleh kuman ( misalnya: herpes genetalia, candida albicans,
gonorrhea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah kelahiran,
terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui
alat-alat penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol
minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat melalui luka
umbilikus.
6. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu
dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam
melaksanakan
pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan
komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan
antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman
penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera
diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif
(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut
belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit,
intravenous immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange
transfusion) dan penggunaan sitokin rekombinan (DEPKES, 2007).
III. PENUTUP
A. Simpulan
1. Pada skenario, warna ketuban pasien yang keruh dapat mengindikasikan adanya
infeksi di dalam kandungan, didukung dengan pecahnya ketuban 24 jam dan
riwayat demam sebelum melahirkan menunjukan adanya potensial infeksi atau
sepsis neonaturum.
2. Tindakan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan bayi
baru lahir tidak bernafas, sehingga bayi dapat terhindar dari kematian.
3. Rawat gabung pasca melahirkan sangat penting untuk mendekatkan Ibu dengan
bayi serta bayi dapat sesegera mungkin mendapatkan kolostrum dari ASI.
B. Saran
1. Terkait skenario, sebaiknya seorang Ibu hamil berkunjung ke bidan atau dokter
secara teratur untuk mendapatkan pelayanan ANC, sehingga dapat mengenali dan
menangani penyakit-penyakit yang mungkin dijumpai dalam keamilan,
persalinan, dan nifas.
2. Terkait kegiatan tutorial sebaiknya mahasiswa lebih menguasai materi tutorial,
sehingga seluruh tujuan pembelajaran dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. 2006. Buku
panduan resusitasi neonatus Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia.
Aprilia, Yessie. 2009. Analisis sosialisasi program inisiasi Menyusui Dini dan ASI
Eksklusif kepada bidan di Kabupaten Klaten. Semarang : Universitas Diponegoro
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2007. Hindari Kehamilan 4
Terlalu.
Behrman,dkk.(2000).Ilmu kesehatan Anak Nelson Vol 3.Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan
Asfiksia Neonaturum
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=276&Itemid=142 (Diakses 28
Februari 2014)
Depkes RI & Kesejahteraan Sosial RI. 2002. Manajemen Laktasi. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan.
Depkes RI & Kesejahteraan Sosial RI. 2007. Penatalakasanaan Sepsis Neonatorum.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan.
Endjun, J J, 2007. Panduan Pemeriksaan USG Dasar Obstetri. Dalam: Endjun, Juniadi
Judi. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI.
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Guyton AC, Hall JE. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hassan R., Alatas H. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.
Hidayat, Azis Halimul. 2007. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta:EGC
http://nad.bkkbn.go.id/infoprogram/Documents/4%20terlalu.pdf (Diakses 28 februari
2014)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31055/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31266/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35525/4/Chapter%20II.pdf
http://who.int/reproductive-health/publications/newborn_resus_citation/index.html.
(Diakses 28 Februari 2014)
Kosim, M. Sholeh. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI
Kosim, Sholeh. 2010. Pemeriksaan Kekeruhan Air Ketuban. Sari Pediatri
2010;11(5):379-84.
Lawrence RA, Lawrence RM. 2005. Breastfeeding, A guide for the medical profession.
Edisi 6. Philadelphia: Elsevier Mosby.
Manuaba. Ida, Bagus Gde (2007). Pengantar buku obstetri. EGC : Jakarta.
Moehyi, Sjahmien. 2008. Bayi Sehat & Cerdas – Melalui Gizi dan Makanan Pilihan –
Pedoman Asupan Gizi untuk Bayi dan Balita. Jakarta: Pustaka Mina.
Prasetyono, D.S. 2009. ASI Eksklusif Pengenalan, Praktik dan Kemanfaatan
Kemanfaatannya. Yogyakarta: Diva Press.
Prawirohardjo S. (2010). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Ed. 4, Cet. 3.
Jakarta: PT Bina Pustaka.
Pyrsopoulos, Nikolaos T. 2013. Hepatitis B.
http://emedicine.medscape.com/article/177632-overview - Diakses Februari 2014
Sadler, T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC
Sinseng, Handia. 2008. Perbedaan Nilai Apgar antara Persalinan Normal dengan
Persalinan Riwayat Ketuban Pecah Dini di RSUD Dr. Moewardi. Surakarta: FK
UNS.
Siregar. 2011. Fisiologi Laktasi. Medan: Repository USU
Soetrisno. 2014. Kuliah Tumbuh Kembang Janin. Surakarta: FK UNS
Wahidiyat, Iskandar. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
World Health Organization. 1999. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-
Revision. Geneva.