38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau akibat trauma ringan. Pearson menganjurkan istilah mechanobulous sesuai dengan terjadinya bula setelah trauma (1) . Prevalensi EB diperkirakan mencapai 1 : 50.000 kelahiran, sedangkan bentuk EB yang berat diduga 1 : 500.000 populasi per tahun (1) . Insiden Epidermolisis bulosa simpleks (EBS) timbul dalam 1 : 500.000 kelahiran hidup. Rook memperkirakan insiden EB yang autosomal resesif adalah 1 dalam 300.000 kelahiran hidup sedangkan EB bentuk autosomal dominan 1 dalam 50.000 kelahiran hidup. Kasus EB diNorwegia adalah 54 dalam 1 juta kelahiran hidup, di Jepang 7,8 kasus tiap 1 juta kelahiran hidup dan di Kroasia 9,6 kasus tiap 1 juta kelahiran hidup. Di SMF Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya, selama periode tahun 2003-2004, tercatat 3 pasien dengan diagnosis EB (2) . EB berbeda dengan kelompok penyakit vesikobulosa kronik yang non herediter, di antaranya dermatitis herpetiformis Duhring, pemfigoid bulosa, dan pemfigus. Juga berbeda dengan penyakit dermatosis pustular subkornea, familial bernign pemphigus dan herpes 1

LAPSUS EB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

epidemolisis bulosa

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan

secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau akibat trauma ringan. Pearson

menganjurkan istilah mechanobulous sesuai dengan terjadinya bula setelah trauma(1).

Prevalensi EB diperkirakan mencapai 1 : 50.000 kelahiran, sedangkan bentuk EB

yang berat diduga 1 : 500.000 populasi per tahun(1). Insiden Epidermolisis

bulosa simpleks (EBS) timbul dalam 1 : 500.000 kelahiran hidup. Rook

memperkirakan insiden EB yang autosomal resesif adalah 1 dalam 300.000 kelahiran

hidup sedangkan EB bentuk autosomal dominan 1 dalam 50.000 kelahiran hidup.

Kasus EB diNorwegia adalah 54 dalam 1 juta kelahiran hidup, di Jepang 7,8

kasus tiap 1 juta kelahiran hidup dan di Kroasia 9,6 kasus tiap 1 juta kelahiran hidup.

Di SMF Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya, selama periode

tahun 2003-2004, tercatat 3 pasien dengan diagnosis EB(2).

EB berbeda dengan kelompok penyakit vesikobulosa kronik yang non herediter,

di antaranya dermatitis herpetiformis Duhring, pemfigoid bulosa, dan pemfigus. Juga

berbeda dengan penyakit dermatosis pustular subkornea, familial bernign pemphigus

dan herpes gestasiones(1).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terjadinya penyakit dalam keluarga,resesif

autosom (RA) dan dominan autosom (DA), gejala dan tanda klinis serta

pemeriksaan histopatologik untuk melihat letaknya bula terhadap stratum basal(1).

1.2 Rumusan Masalah

Referat ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi dan

patogenesis, gejala klinis dan histopatologi, serta penatalaksanaan epidermolisis

bulosa ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi dan patogenesis, gejala

klinis dan histopatologi, serta penatalaksanaan epidermolisis bulosa

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang

diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau di sebabkan oleh

trauma ringan(1).

Istilah epidermolisis sebenarnya kurang tepat, oleh karena mengandung arti

lisis lapisan epidermis, yaitu terjadinya kegagalan perlekatan epidermis dengan

dermis, namun dengan mikroskop elektron diketahui lisis pada EB dapat terjadi intra

epidermal(3).

2.2. KLASIFIKASI

Mula-mula klasifikasi di buat berdasarkan jaringan parut yang terbentuk

kemudian yaitu E.B nondistrofik (bula terletak diatas stratum basal) dan distrofik

(bula terletak di bawah stratum basal). Dengan perkembangan imunologi dan

pemeriksaan imunohistokimia, klasifikasi lebih rinci di sesuaikan dengan letak

bula terhadap taut dermo-epidermal, yaitu epidermolisis bulosa simpleks

(E.B.S.),E.B. distrofik, dan E.B. junitional, masing-masing memiliki bentuk

variasi (subtipe)1

E.B. simplek

Bentuk yang sering dijumpai, yaitu:

1. E.B.S. lokalisata pada tangan dan kaki (Weber Cockayne)

2. E.B.S. generalisata (Kobner)

3. E.B.S. herpetiformis (Dowling-Meara)

Bentuk E.B.S. yang jarang dijumpai, yaitu:

1. E.B.S. yang disertai atrofi otot

2

2. E.B.S. superfiasial

3. Sindrom Kallin

4. E.B.S disertai pigmentasi “mottled”

5. E.B.S. resesif autosom yang fatal

E.B. junctional

Bentuk varian yang sering dijumpai :

1. Bentuk letal (gravis,Herlitz)

2. Nonletal (mitis, non-Herlitz)

3. E.B. inversa

E.B. distrofik

1. Distrofik (dermolitik) dominan

2. Distrofik resesif generalisata

3. Distrofik resesif lokalisata

4. Bentuk varian

Bauer dan Eriggaman (1979) membagi EB atas Non-Scarring EB dan Scarring

EB. Berdasarkan modifikasi dari Hurwitz S, EB dapat diklasifikasikan berdasarkan

atas hasil pemeriksaan mikroskop elecktron seperti tertera dalam tabel 1 berikut ini(4):

3

4

2.3 TAUT DERMO-EPEDERMAL

Pengetahuan mengenai taut dermo-epedermal sangat penting, sehingga dapat

dipahami mengenai patogenesis terjadinya bula di taut dermo-epidermal, begitu juga

dalam menentukan prognosis dan pengelolaan pasien epidermolisis bulosa. Pewarnaan

imunohistokimia ditujukan untuk kolagen tipe VII dapat dilakukan dengan antibodi LH-

7.2, GB3 untuk laminin 5, sedangkan struktur lainnya dapat dilihat dengan mikroskop

elektron(1).

-

Gambar 1. Susunan Skematis Taut DermoEpidermal(1)

2.4 PATOFISIOLOGI

Sampai sekarang etiologi dan patogenesis EB belum semuanya diketahui.

Beberapa penulis mengemukakan berbagai dugaan patogenesis.1

1. E.B.S diduga terjadi akibat:

a. Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein abnormal yang

sensitif terhadap perubahan suhu. Diduga defisiensi enzim

golactosylhidroxylysyl-glocosyltrans dan gelatinase (enzim degradase

kolagen) menyebabkan EBS.

b. Selain di turunkan secara genetika utosom, diperkirakan 50 % terjadi

5

akibat mutasi pada gen pembentukan keratin terutama keratin 5 (K5) dan

14 (K14) yang terdapat di lapisan epidermis.

c. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin adalah protein yang

terdapat di membran basal pada attachment plague/hemidesmosom yang

berfungsi sebagai penghubung filamen intermediet ke memberan plasma.

Hampir semua tipe EB simpleks diturunkan secara otosomal dominan

kecuali pada EBS with muscular dyetrophy, lethal autosamal recessive EBS dan

kemungkinan EBS lolcalisata tangan dan kaki yang diturunkan secara otosomal

resesif.3 Etiologi penyakit ini terjadi karena adanya mutasi gen keratin.Mutasi

terjadi kurang-lebih 50 % pada kode genetik keratin 5 atau 14 yang merupakan

struktur utama pada lapisan keratin kulit. 5 Beberapa peneliti menyatakan bahwa

terjadi point mutations gen keratin K5 dan K14 pada kromosom 12 dan l7. Lebih

jelas lagi terjadi mis-sense mutasi pada rangkaian asam amino pada kerati K5 dan

K14. Perubahan susunan asam amino ini dapat menyebabkan perubahan struktur

keratin. Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan pembentukan jaringan

filamen intermedia interseluler yang meluas dari inti ke membran plasma yang

menghubungkan struktur hemidesmosom dan desmosom dengan keratinosit basal.

Hal ini dibuktikan dalam penelitian tikus transgenik yang mengalani mutasi kerati

l4, didapakan bula-bula di kulit tikus tersebut seperti pada pasien EBS. Pada

penelitian tersebut di buktikan adanya subtitusi asam amino dapat menyebabkan

rusaknya struktur jaringan filamen keratin interseluler yang

menyebabkankeratinosit basal rapuh sehingga mudah terjadi bula intradermal

karena trauma.Tidak semua pasien EBS mengalami mutasi pada keratin 5 atau

14 namun dapat saja terjadi pada keratin 15 dan 17 yang terdapat juga di basal

keratin. Dengan adanya mutasi pada gen keratin menyebabkan terbentuknya

struktur filament keratin interseluler yang tidak stabil yang mudah rusak karena

trauma ringan pada kulit. Sitolisis keratinosit dan bula inhadermal terjadi

karena abnormalitas keratin.4

6

Pada pasien EBS with muscular dystrophy didapatkan mutasi terjadi pada

kode genetik plectin (PLEC 1) atau HD l, plectin sendiri adalah protein dengan

berat molekul lebih dari 500 kDa yang terdapat dalam cytoskeleton membran

plasma yang terletak pada lapisan dalam hemidesmosom inner plague dan

sarkolema serta sarkomer dari otot.6

Patogenesis terbentuknya bula pada pasien EBS belum diketahui secaca

pasti namun kemungkinan karena adanya kelainan enzimatik struktural, biokimia

dan fungsional serta defek antigenik. Pada umumnya EBS mengalami eksaserbasi

pada musim panas, hal ini kemungkinan terjadi karena mutasi filamen keratin

menyebabkan peningkatan termolabilitas.6

2. E.B. letasis Herlitz terjadi akibat :1

a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachmen plague tidak

berfungsi dengan baik.

b. PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membran abnormal sel

pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk celah di

lamina lusida.

c. Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode laminin S, komponen

anchoring filamen,yaitu protein polipeptida.

d. Pada beberapka asus mutasi, ditemukan itegrin б4 abnormal atau

tidak ada. Integrin tersebut terdapat di hemides-mosom yang

merupakan molekul adesilaminin.

e. Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa-2 (bollous

pemphgoid antogen/BPA-2) dijumpai pada EB junctional ringan yang

disertai atrofi.

3. Sindrom BART mungkin terjadi akibat perlekatan kulit fetus dengan amnion

Yang disebut pita sinomart.

7

4. E.B. distrolik diduga terjadi akibat :1

a. Berkurangnya archoring fibril.

b. Bertambahnya aktivitas kolagenase pada E.B. yang diturunkan secara RA.

c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL74l), komponen utama

anchoring f ibrils, sehingga fungsinya terganggu.

2.5 GEJALA KLINIS DAN HISTOPATOLOGI

Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang

terbentuk yaitu ditempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang

ringan, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih,

kadang-kadang hemoragik, pada penyembuhan perlu diperhatikan, apakah

meninggalkan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa ikut terkena,

demikian pula kuku dapat distrofik. Pada tipe distrofik resesif dapat disertai

retardasi mental dan pertumbuhan, kontraktur, dan pelekatan (fusi) jari-jari

tangan.(1).

1. Epidermolisis Bulosa Simpleks

Pada EBS, bula yang terbentuk terjadi di tempat trauma dan

terletak intraepidermal(1). Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan.

Umumnya timbul vesikel, bula, dan milia di sendi tangan, siku, lutut dan kaki (daerah

predileksiterkena trauma). Berdasarkan kesepakatan Badan Registrasi Epidermolisis

Bulosa Nasional Amerika terdapat 9 tipe EBS, beberapa diantaranya yang sering

dijumpai tercantum di tabel 1 di atas.

a. EBS lokalisata (Weber-Cockayne)

Disebut juga recurrent bullous eruption of the hand and feet. Dapat terjadi

pada anak-anak dan dewasa. Gambaran klinik EBS lokalisata berupa bula berdinding

tebal dan sembuh tanpa pembentukan jaringan parut(7). Bula terbentuk di stratum

spinosum telapak tangan dan kaki, sedangkan kuku jarang terkena. Untuk mukosa dan

gigi tidak terkena. Pembentukannya memerlukan tekanan atau gesekan yangkuat

(ambang rangsang tinggi). Mekanisme bula berhubungan dengan

pembentukan enzim sitolitik dan berkaitan dengan diskeratosis (1).

8

Gambar 2. EBS tipe Weber Cockayne(8)

b. EBS generalisata (Koebner

Umumnya terjadi pada tahun pertama setelah lahir, akibat trauma saat

melewati jalan lahir. Pada perubahan suhu (musim panas), bula dapat timbul

dan disertai hiperhidrosis palmaris dan plantaris. Tempat predileksi pada bayi

adalah occiput, punggung, dan kaki (6). Kuku dapat terkena (20%) yang

mengakibatkan kuku terlepas, tetapi umumnya dapat tumbuh kembali tanpa

distrofik(1). Sedangkan pada anak-anak umumnya terjadi pada tempat-tempat

terkena gesekan pakaian(6).Setelah usia 3 tahun, bula lebih terbatas di

tangan dan kaki, sering disertai hiperhidrosis dan hyperkeratosis(1).

9

Gambar 3. EBS Generalisata(Koebner)(8)

c. EBS herpetiformis (Dowling-Meara)

Gambaran klinis ditandai adanya bula begerombol, terjadi pada saat

lahir atau beberapa saat setelah lahir, dapat disertai keratoderma

plamoplantar danperadangan serta pembentukan milia sementara.

Terkadang timbul bula hemorrhagik di tangan dan kaki. Bula spontan

bergerombol, terdapat pada badan dan ekstremitas(1). Meskipun mukosa mulut

dan kuku dapat terkena, kuku dapat tumbuh kembali, kadang disertai distrofi.

Saat neonatal, dapat menyerupai bentuk distrofik berat atau bentuk junctional,

karena bula yang luas di seluruh badan dan dapat mengancam kehidupan.

Setelah usia 6-7 tahun di palmoplantar berkembang menjadi hiperkeratosis (1).

10

Gambar 4. Epidermolisis Bulosa Simpleks Tipe Dowling-Meara dan gambaran

mikroskop elektronnya pada bayi 18 bulan (8)

d. EBS Ogna

Terjadi pada bayi, ditandai bula serosa atau hemorrhagik di tangan dan

kaki atau dimana saja, sembuh tanpa meninggalkan bekas. Pada EBS

ogna terdapat onikogrifosis pada ibu jari kaki, kecenderungan mengalami

hematom dan secaragenetik berkaitan dengan lokus erythrocyte glutamic

pyruvic transaminase (GPT)(1).

11

e. EBS dengan pigmentasi “mottled”

Satu keluarga di Swedia dengan sifat gen autosomal dominan pernah

dialaporkan menderita EBS, dimana anggota keluarga yang lahir menderita

makula hiper dan hipopigmentasi yang berkurang perlahan. Penelitian

secara ultrastruktural menunjukkan adanya vakuolisasi di lapisan sel basal (8).

f. EBS dengan distrofik otot

Bentuk EBS ini berkaitan dengan penyakit neuromuskular onset

lambat, diturunkan secara autosomal resesif. Disebabkan oleh mutasi dari gen

plektin, dimana penderitanya tidak mempunyai plektin di dalam kulit dan otot.

Distrofi otot progressif dapat terjadi saat anak-anak atau kemudian hari(8).

2. EB tipe junctional

EB junctional merupakan tipe EB dimana pembentukan bula terjadi lamina

lusida di taut dermoepidermal, tipe EB yang paling berat serta mengancam

kehidupan. Diturunkan secara resesif autosom. Pemeriksaan dengan

imunoperoksidase memperlihatkan bula di atas kolagen tipe IV(1).

12

Gambar 5. EB tipe junctional(8)

a. Herlitz

Merupakan bentuk paling berat diantara tipe junctional, ditandai dengan bula-

bulabesar, terutama di bokong, badan dan kepala tanpa meninggalkan sikatriks dan

milia, kecuali bila diikuti infeksi sekunder(1). Hampir 50% pasien meninggal

sebelum usia 2 tahun. Namun sebagian dapat hidup sampai dewasa(1)Tangan dan kaki

tidak terkena, mukosa dapat terkena dan menyebabkan atresia pilorik. Perioral dapat

terbentuk bula, sedangkan bibir tidak terkena, pite suara laring dapat terkena

kemudian. Kuku dapat terkena serta terlepas dan disertai paronikia. Tanda khas :

adanya displasia gigi serta permukaannya berbenjol-benjol (cobblestone

appearance). EB herlitz dapat menyebabkan retardasi mental dan anemia(1).

Gambar 6. Gambaran pasien dengan EBJ Herlitz(8)

b. EB Junctional non-letal (Mitis, non-Herlitz)

Dimulai dengan pembentukan bula serosa atau hemorrhagik saat

lahir dan meninggalkan kulit yang rapuh, tanpa meninggalkan sikatriks

dan milia. Umumnya dapat terjadi alopesia, distrofik kuku, hiperkeratosis

palmoplantar. Mukosa dapat diserang tapi tidak sampai menyebabkan striktur.

13

Pada tipe ini tidakterjadi retardasi mental dan anemia. EB non letal dapat

sembuh dengan bertambahnya umur(1).

c. EB junctional tipe inversa

tejadi pada saat lahir atau pada masa neonatal, klinis mirip pioderma

generalisata, kemudian pembentukan bula lebih banyak di aksila, leher, inguinal, dan

perianal (inversa), kuku mengalami distrofik, gigi displasia, laring dapat terkena

demikian juga pita suara (suara menjadi kasar) (1).

3. EB Distrofik

EB distrofik diklasifikasikan berdasarkan penurunan genetik, yaitu bentuk dominan

dan resesif. Biasanya bentuk resesif merupakan bentuk yang lebih berat. Pada EBD

terjadi dermolisis sehingga nama epidermolisis bulosa menjadi kurang tepat (1).

a. EBD Dominan

secara klinis terlihat bula terutama di bagian dorsal ekstremitas dan

meninggalkan bekas sikatrik, disertai pembentukan milia. Bentuk ini lebih berat

dibandingkan E.B.S. tetapi lebih ringan daripada bentuk E.B.distropik resesif.

Terjadi pada saat lahir atau segera setelah lahir, pada 20 % kasus mukosa

terkena, kongyungtiva dan kornea dapat juga terkena. Kuku terkena pada 80%

kasus, terjadi distrofik atau hancur. Gigi dan rambut tidak terkena. (1). .

Albupapuloid adalah bentuk varian yang dapat terjadi baik pada E.B.

distrofik dominan maupun resesif, Varian ini dapat terjadi pada bayi, tetapi lebih

sering pada masa anak, remaja, atau dewasa. Bentuk karakteristik adalah papul

perifokular agak lunak, berwarna keputih-putihan (ivori-white), lokasinya di

tengkuk dan punggung, serta terjadinya tidak berhubungan dengan pembentukan

bula. (1).

14

Gambar 7. Lutut Pada Pasien Dengan EBDominan(8)

b. EBD Resesif

terbagi atas bentuk ringan lokalisata (mitis), berat (gravis, Hallopea Siemens), atau

bentuk varian inversa. Pada umumnya bentuk E.B. distrofik resesif berat terjadi

pembentukan bula diikuti pembentukan sikatrik,mukosa mengalami gangguan yang

berat. Erosi segera tampak pada saat lahir,bula spontan terjadi terutama ditempat

yang mengalami trauma, misalnya ditangan, kaki, bokong, skapula, muka, oksiput,

siku dan lutut. Bula steril besar-besear serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri,

mirip pada bentuk E.B. etal.Tanda Nikolski positif. Bayi mudah mengalami infeksi

sekunder dan sepsis.Penyembuhan bula disertai sikatriks, hipopigmentasi dan atau

hiperpigmentasi,disertai milia. Sikatriks yang atrofi mirip kertas sigaret. Pada bula

berulang, lama kelamaan kulit menjadi sikatriks hiprsofi. Bila jari-jari tangan yang

luka jarang digerakan untuk waktu yang lama, dapat terjadi perlekatan satu dengan yang

lain sehingga pada penyembuhan dapat mengalami fusi mirip pseudosindaktili, atau

mirip sarung tinju tangan. Posisi tangan dan pergelangan berubah menjadi fleksi dan

kontraktur. Kuku mengalami kerusakan parah degenerasi atau hilang sama sekali.

Mata terkena berupa bleparitis, simbleparon, konyingtivitis, vesikal dan menjadi opak

dan atau keratitis. Suara kasar sampai tidak terdengar, sulit menelan sehingga kekurangan

nutrisi dan dapat meninggal. Bila bayi bertahan dan tumbuh, berat penyakit makin

berkurang, selanjutnya di anjurkan untuk menghindari makanan yang panas,

keras, ukuran besar, apapun yang memungkinkan pembentukan bula di mulut,

faring maupun osefagus. Erupsi gigi biasanya terlambat dan tumbuh dengan bentuk

abnormal. Rambut tumbuh normal, alopesia terjadi akibat sikatrik. Kematian dapat

terjadi saat neonatus atau anak akibat kurang nutrisi, kehilangan cairan, infeksi bakteri

dan sepsis, ataau pneumonia.1

15

Gambar 8. Jari-Jari Tangan Pada EBD Resesif Berat(8)

c. Sindrom yang berkaitan dengan EB distrofik:

- Sindrom Bart

Bula terbentuk di bagian dermal membran basal, menyebabkan erosi di

ekstremitas, intertriginosa, leher dan bokong, sembuh spontan dan

meninggalkan bekas hipopigmentasi(1).

Gambar 9. Hilangnya Kulit Yang Bersifat kongenital di Sebagian Besar Area Lengan

Pada Sindrom Bart(8)

16

- Epidermolisis bulosa akuisita

Bula terbentuk di sub epidermis di bawah membran basal, mengenai

telinga, siku, tangan, lutut, mukosa, dan kuku yang mengalami distrofik(1).

EBA dapat timbul pada usia apapun.tapi biasanya di jumpai pada masa dewasa.

Gambar 10. Gambaran imunofluoresen EB acquisita(8)

- Sindrom Kindler

Mirip dengan poikiloderma progresif, mengenai wajah dan leher disertai

fotosensitifitas. Terjadi pembentukan bula congenital di akral, atrofi yang luas,

sindaktili, hiperkeratosis, dan palmoplantar(1).

- Dermatosis bulosa yang transien

Mungkin terjadi akibat reaksi autoimun saat ibu hamil atau saat neonatus. Bula

terbentuk spontan dan sembuh spontan berhubungan dengan kolagen tipe

VII(1).

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Epidermolisis bulosa mirip dengan beberapa penyakit, diantaranya:

1. Impetigo neonatorum

Merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan

kulit berupa bula hipopion tetapi lokasinya menyeluruh dan dapat disertai demam.

2. Pemfigoid bulosa

Penderita biasanya usia lanjut (>60 tahun). Keadaan umum baik, atau juga

17

Sakit ringan. Sering di sertai rasa gatal, kelainan kulit terutama bula yang

bercampur dengan vesikel, berdinding tegang, terkadang hemoragik, dengan

daerah sekitar kemerahan.Lokasi: Bagian fleksor seperti ketiak dan lipat paha, mulut.

Efloresensi: Bula numular sampai plakat, berisi ciran jernih dengan dinding tegang

yang terkadang hemoragik. Jika bula pecah terlihat daerah erosif numuler hingga

plakat, bentuk tidak teratur.

3. Pemfigus foliaseus

Merupakan penyakit kronik dan remesinya temporer. Penyakit dimulai

dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian pecah

menjadi erosi dan eksudatif. Khas: eritema meyeluruh yang disertai banyak

skuama kasar, dengan bula kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal dan

badan menjadi berbau busuk. Lokasi: Kulit kepala, wajah, dada, dan daerah seboroik

bersifat simetris.Efloresensi: Eritema menyeluruh disekitar skuama kasar, vesikel

atau bula lentikular berdinding kendur hanya sedikit, dengan daerah erosif

generalisata.

4. Dermatitis herpetiformis

Biasanya menyerang penderita usia muda (20-40 tahun). Keluhan gatal dan rasa

terbakar merupakan awal penyakit di ikuti timbulnya lesi kulit berupa macula atau

papula eritem dan keadaan berupa urtika.Lokasi: Tempat predileksi yang khas

adalah kedua siku, lutut, daerah sakral, lengan bagian ekstensor, dapat juga terkena

pada daerah kepala, wajah, badan, dan lipat aksila. Dapat juga mengenai laring

dan selaput lendir yang akan mengalami atrofi, sehingga di dapatkan gejala

enteritis berupa diare dan malabsorbsi pada 20% penderita.Efloresensi: Diatas

makula atau papul timbul vesikel yang mula-mula kecil berdinding tegang

dan tak mudah pecah, berisi cairan jernih pada mulanya dan jarang terjadi bula besar .

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada EB tipe tertentu dapat dilakukan pemeriksaan(1):

1. Pemeriksaan histopatologik dengan mikroskop elektron merupakan baku emas untuk

kepastian diagnosis, seperti pada EBS generalisata (Koebner) dan EB junctional (tipe

Herlitz). Pada EBS generalisata tampak celah di supra basal. Pada tipe herlitz tampak.

bula di lamina lusida di sertai berkurangnya jumlah dan berubahnya struktur

epidesmosom.

2. Dengan diketahui berbagai antigen di taut dermo-epidermal dapat ditentukan

18

klasifikasi tipe EB, penemuan terbaru menerangkan lebih rinci mengenai komposisi

molekular membran basalis .

Gambar 11. Komposisi Molekular Daerah Membran Basalis(1)

Pemeriksaan imunofluoresens dengan pewarnaan antibodi monoklonal terhadap

molekul taut dermoepidermal dapat memastikan tipe EBS.

19

2.8 PERAWATAN DAN PENGOBATAN

Penatalaksaan Umum

a. PerawatanKulit

Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga, orangtua pasien, atau

perawat. Sedapat-dapatnya menghindari trauma dan mengurangi gesekan. Dalam

memilih pakaian dan mainan pilih yang ringan dan lembut. Hindari pengunaan

plester, untuk jari dapat digunakan tubular bandage sehingga mencegah

terjadinya fusi jari-jari.Bula dirawat dengan cara menusuknya dengan jarum

steril dan membiarkan atap bula sebagai pelindung(1).

Pada anak-anak sebaiknya dipilih jenis sepatu kulit yang lunak, hindari sepatu

yang sempit dan upayakan ruang sepatu yang cukup untuk bergerak tanpa

menimbulkan lecet. Kaos kaki dari bahan katun yang dapat menyerap keringat,

pengunaan kaos kaki membantu menghindari trauma akibat gesekan(1).

Suhu lingkungan diusahakan agar cukup dingin karena bula mudah terjadi pada

suhu panas. Bila memungkinkan tempat tidur yang lunak (matras air) dan seprai

yang halus agar terhindar dari gesekan. Perawatan jari tangan harus dilakukan secara

hati-hati, upayakan mencegah terjadinya fusi dan kontraktur dengan mengatur

posisi jari dan sendi(1).

b. Makanan

Sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori tinggi protein dalam bentuk

yang lembut atau cair serta mudah ditelan, terutama bila terdapat luka di mukosa

mulut. Pada bayi penggunaan dot (bottle fed) dapat menimbulkan hanya sedikit

yang tertelan. Pada bayi baru lahir dengan EB berat atau letalis, pemberian

makan melalui nasogastric feeding atau intravena bergantung pada kondisi.

Perlu dipertimbangkan setiap tindakan tersebut dapat merupakan trauma(1)

20

Penatalaksanaan Khusus

- Sistemik

Pemberian kortikosteroid bermanfaat pada kasus yang berat dan fatal

untuk mencegah mutilasi, distrofik, serta life saving. MOYNAHAN

melaporkan pemberikan dosis awal tinggi (140-160 mg prednison/hari) untuk

menyelamatkan kehidupan neonatus, pengobatan dengan pengamatan yang ketat,

dosis diturunkan segera untuk mencegah terjadinya sepsis. Vitamin E dapat

menghambat aktivitas kolagenase atau meransang produksi enzim lain yang dapat

merusak kolagenase.Dosis efektif 600-2000 iu/hari. Pengobatan lain adalah

difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kg BB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari. Obat ini

juga menghambat aktifitas kolagenase. Apabila diperlukan antibiotik sistemik

dapat diberikan (antibiotik tidak diberikan secara rutin)(1).

- Lokal

Sebagai pengobatan topikal dapat digunakan kartikosteroid potensi sedang dan

anti biotik bila terdapat infeksi sekunder dan untuk mencegah perlengketan krusta

dengansprei dan pakaian Glutaraldehyd 5% 3x/hari dapat membantu

mengurangi gesekan pada tangan dan kaki(3).

2.9 PROGSIS

Epidermolisis bulosa simpleks mempunyai prognosis baik, karena EBS dapat

berlangsung terus sepanjang hidup tapi biasanya sesudah 3 tahun hanya tangan dan kaki

yang terkena, akan ada perbaikan pada masa remaja dan akan sembuh tanpa

pembentukan jaringan ikat(1,2,3,6), namun pada bentuk EBS herpetiformis

yangmenyerang neonatal mempunyai prognosis buruk yang dapat mengancam

kehidupan, karena bula yang luas di seluruh badan(1).

Pada EB tipe junctional, prognosis yang dijumpai umumnya buruk, karena

sebagian besar pasien meninggal sebelum usia 2 tahun (tipe herlitz) (1,6). Tipe

herlitz juga dapat menyebabkan retardasi mental dan anemia (1,2), sedangkan untuk

21

tipe EB non letal dapat sembuh dengan bertambahnya umur (1).

22

Pada tipe EB distrofik prognosisnya sulit ditentukan, karena gejala klinisnya lebih

berat dari EB simpleks tetapi lebih ringan dari EB junctional, tetapi khusus pada EB

distrofik resesif kematian dapat terjadi saat neonatus atau anak sudah disertai

komplikasi (1).

23

BAB III

KESIMPULAN

EB merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom,

dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. Diagnosis EB ditegakkan

berdasarkan anamnesis terjadinya penyakit dalam keluarga, resesif autosom dan

dominan autosom, serta gejala dan tanda klinis.

Dalam mendiagnosis EB secara klinis, lokalisasi bula yang terbentuk yaitu di

tempat yang mudah mengalami trauma, walaupun trauma ringan, seperti trauma di jalan

lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik, dan pada

penyembuhan perlu diperhatikan apakah meninggalkan bekas jaringan parut. Sedangkan

dari pemeriksaan penunjang, pemeriksaan histopatologik dengan mikroskop elektron

merupakan baku emas untuk kepastian diagnosis.

EBS mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan kedua tipe EB lainnya karena

dapat sembuh tanpa meninggalkan bekas. EBJ prognosisnya sangat buruk, dan EB

distrofik berada di antara keduanya.

Penatalaksanaan EB terdiri dari umum dan khusus. Penatalaksanaan umum yang

diberikan yaitu menghindari trauma mekanik pada kulit yang dapat menimbulkan

kekambuhan seperti: memakai pakaian dan mainan yang ringan dan lembut, selain itu

juga menghindari penggunaan plester, untuk jari-jari dapat digunakan tubular bandage

sehingga mencegah terjadinya fusi jari-jari. Suhu lingkungan diusahakan cukup dingin

karena bula mudah terjadi pada suhu panas. Bagian yang mengalami erosi diolesi krim

atau salap antibiotik. Perawatan jari tangan harus dilakukan secara hati-hati dan

upayakan mencegah terjadinya fusi dan kontraktur dengan mengatur posisi jari dan

sendi. Makanan yang diberikan adalah makanan yang tinggi kalori tinggi protein dalam

bentuk lembut atau cair serta mudah ditelan, terutama bila terdapat luka di mukosa

mulut.

Penatalaksanaan khusus yaitu dengan pemberian kortikosteroid sistemik

bermanfaat pada kasus berat dan fatal untuk mencegah mutilasi atau distrofik serta life

saving. Vitamin E dan difenihidantoin dapat menghambat aktifitas kolagenase dan

merangsang produksi enzim lain yang dapat merusak kolagenase.

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Boodiardja SA. Epidemolisis bulsa Dalam : Djuanda A, Hamzah M,Boediardjo SA, editor. Ilmu penyrkit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5. Jakarta:Bali Penerbit FKUI, 2009

2. Suyono Y, Suyoso S. Epidermolisis Bulosa Distrofik Resesif Generalisata. Airlangga Periodical of Dermato-Venereology Desember 2005; Vol.17 No.3; 288-96

3. Siregar RS. Epidermolisis Bulosa Dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 2005. 200-1

4. Hurwitz S. Bullous disorders of childhoood. Clinical pediatric dcrmatology, atextbook of skin disordes of Childhood and alolennsceence. Edisi ke-2 Philadelphia, W.B. Sauders. Co 1993 : 432-5,439-41.

5. Atherton DJ. Epidermolysis Bullosa, Dalam : Harper J. Oranje A, Prose N, editor Texbook of Peditric Dermatology London : Blackwell, Scicnce Ltd. 2000,1075-80

6. Marinhovich Herroon GS. Khavari PA. Bauer EA. Hereditary epidarmolysisbullosa Dalam: Fredbeerg IM. Eisen AZ Wolff K, Austen KF , Goldsmith LA.Katz SI et al .. editor Fitzpatrick's dermotolody in general medicine, .. Edisike-5 New York. Mc Graw – Hill, Inc, 1999:690-701.

7. Kariosentono H. Epidermolisis Bulosa Dalam Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000. 141

8. David f,jo. Review Inherited epidermolysis bullosa Departments of Medicine (Dermatology) and Pediatrics Vanderbilt University School of Medicine, and Head, National Epidermolysis Bullosa Registry Nashville, TN, USA2010

25

26

27

28