Upload
gzz-ripp
View
101
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
free to download
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin
meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global.1
Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan
dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan
prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi
pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami
peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan
sebagian besar tidak menyadari hal ini.2
Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi:
identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna.
Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus,
hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal,
infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID,
antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.2
Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang dan
terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular
dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.2
CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim medis,
pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap
pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki
kualitas hidup penderita.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga
abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit di atas garis pinggang. Ginjal
mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin, menahan
bahan – bahan tertentu dan mengeliminasi bahan – bahan yang tidak diperlukan ke dalam
urin. Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang
dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Setiap nefron terdiri
dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan
fungsional berkaitan erat.
Bagian dominan pada komponen vaskuler adalah glomerulus, suatu berkas kapiler
berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya.
Sedangkan komponen tubulus dari setiap neuron adalah suatu saluran berongga berisi cairan
yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel. Cairan yang sudah terfiltrasi di glomerulus, yang
komposisinya nyaris identik dengan plasma, kemudian mengalir ke komponen tubulus
nefron, tempat cairan tersebut dimodifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang
mengubahnya menjadi urin.
Keadaan dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume
dan komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat
irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal dapat dihancurkan
sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya cadangan fungsi ginjal, 25% dari
jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan semua fungsi regulatorik dan eksretorik
ginjal. Namun dengan kurang dari 25% jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi
ginjal akan tampak. (1)
2
2.2 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai
dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). (2)
2.3 Kriteria (2)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
2.4 Klasifikasi (2)
3
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :
2.5 Etiologi (3)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan
tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-
organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata.
Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang
jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat
menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :
4
1. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik
2. Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.
3. Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu.
Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke
ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.
4. Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
5. Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula
prostat pada pria dan refluks ureter.
6. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
7. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin,
Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga
berakibat pada kerusakan ginjal.
8. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
9. Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan
heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.
2.6 Faktor Resiko
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan
populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African Americans,
Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians. (4)
2.7 Epidemiologi (2)
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
5
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.
2.8 Anatomi Ginjal (1)
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga
abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang. Setiap
ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing masuk dan
keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis.
Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin
yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis) yang
terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin
disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas
medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua
ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung
kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung
berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah – ubah
status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung
kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar
ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh.
Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin
mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik
yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan
nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah luar yang tampak
granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga – segitiga
bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron
terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural
dan fungsional berkaitan erat.
6
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
a. Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi pembuluh –
pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler glomerulus
b. Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah
yang melewatinya
c. Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan
glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam tubuh yang mendapat darah
dari kapiler
d. Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler yang
kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi jaringan
ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler – kapiler
peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis, tempat
darah meninggalkan ginjal Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga
berisis cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :
Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan
cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku) atau berbelit si
sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang difiltrasi dari kapsula
bowman
Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars desendens
lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars assendens berjalan kembali
ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya
sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan
arteriol eferen. Dititk ini sel – sel tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi
membentuk aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan
penting dalam mengatur fungsi ginjal.
7
Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung henle dan
mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul
Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang berlainan.
Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan yang
kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang
dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks
merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron
korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula
terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke
dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung
vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan
lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung
henle dan vasa rekta berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam
berbagai konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.
8
2.9 Fisiologi Ginjal (1)
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
1. filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula
Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding
kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan
lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki
lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus
kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara
glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan
glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein plasma yang
lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori – pori diatas, pori – pori
tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil.
Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan pritein
plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein
plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin
yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang
seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit
antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi
cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula
bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah
di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong
cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan
9
konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan
tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju
filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh
otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena
tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika
tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk
menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya
dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat
disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR
akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran
darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis
ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR
akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi
dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari
untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR
115 ml/menit untuk wanita.
2. reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus (lumen
tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung
untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif karena sel – sel
tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino
dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium
dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus
distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa
henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal
melalui transpor pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :
Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa
ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi untuk
mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi. 10
Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan direabsorpsi secara aktif
ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di
lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang
direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan
penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
Reabsorpsi Air
Air secara apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari H2O yang
difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H2O
sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol
vasopressin.
Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan
gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang
direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na
Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi
pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars
assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul
Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya
di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak
mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus
pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.
Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam
plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus
kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi
kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi
sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke
dalam urin.
11
3. sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion
organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang
tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai
keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal.
Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol
sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga
proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma
yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi,
akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan
sebagai urin.
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk
mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-,
Ca++, Mg++, SO4=, PO4
= dan H+
Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran
12
ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O
Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh.
Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat – zat sisa tersebut
bersifat toksik, terutama bagi otak
Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada makanan,
pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam
tubuh
Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel
darah merah
Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting
dalam proses konservasi garam oleh ginjal
Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya
2.10 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal
ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.
Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan
pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami
peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan
peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau
End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi
13
ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
1. Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi
eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan
anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan
diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering
menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan
mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan
normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek
inhibisi eritropoiesis
2. Sesak nafas
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air → volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)→ volume cairan
berlebihan→ ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer→LVH→
peningkatan tekanan atrium kiri→ peningkatan tekanan vena pulmonalis
→peningkatan tekanan di kapiler paru→ edema paru→ sesak nafas
3. Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar
bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal
ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah
nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin.
Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah
kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat
14
menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah
satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul
karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi
keparahan asidosis
4. Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
5. Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal
sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
6. Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah
(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan
kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan
nyeri
7. Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida
natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila
fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis
akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan
akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia
ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.
8. Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat
banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat
akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut.
Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-
turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
9. Hipokalsemia
15
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma
tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi
mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan
konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya
melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma
meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di
plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap
berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar
paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut. Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan
kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini
memperberat keadaan hipokalsemia
10. Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion
hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan
kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan
menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan
berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas
saluran cerna dan kelainan mental.
11. Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal
16
pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular
berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa
mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti
albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu
dengan sindrom nefrotik.
12. Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada
GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi
akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan
menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi
ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal,
maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi
traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor
uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral
adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma
uremikum.
2.11 Diagnosis
Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka
lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi
(uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang
melibatkan kelainan berbagai organ seperti :
1. Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik
2. Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
3. Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi
menurun, insomnia, gelisah
4. Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
5. Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya 17
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi
seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di
bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal. (2)
Gambaran Laboratorium (2)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria
Gambaran Radiologis (2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
18
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal (2)
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi
yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan
darah, gagal nafas, dan obesitas.
2.12 Komplikasi (2)
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
4. Kelainan hematologi (anemia)
5. Osteodistrofi renal
6. Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
7. tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik
2.13 Penatalaksanaan(2)
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. 19
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
a. Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat,
sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
pemberian diet tinggi protein pada penderita gagal ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
b. Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
(ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi :
Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum
iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari
sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll.
Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran
hemoglobin adalah 11 – 12 g/dl.
Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
Mengatasi hiperfosfatemia :
a. Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
20
b. Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida, garam
magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan calcium acetate
c. Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi
fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam
calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu
juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi
kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 – 800
ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium
dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat – obat
yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan
sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah
dan derajat edema yang terjadi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
2.14 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala
sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)
21
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.I
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Pekerjaan : PNS
Alamat : Desa Krajan, Selo Godek, Wetan, Pajarakan
Tanggal MRS : 6 Januari 2014
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama :Sesak Nafas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengatakan sesak nafas mulai 1 hari yang lalu,tiba-tiba saja pasien
sesak,padahal pasien sedang tidak melakukan suatu aktifitas,berlangsung sepanjang hari
dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan akan semakin memberat dalam posisi tidur,
dan sedikit membaik bila pasien duduk bersandar. Sesak nafas juga dirasakan bertambah
berat saat pasien beraktivitas, sehingga selama keluhan muncul pasien berusaha untuk
duduk bersandar.
Pasien juga mengalami batuk berdahak yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak
nafas. Batuk dirasakan bertambah berat bila pasien sedang sesak dan agak membaik
setelah keluhan sesak berkurang. Batuk tidak disertai dengan panas badan maupun
berkeringat di malam hari.
Tiga hari SMRS , pasien mengalami muntah dengan frekuensi 3kali/hari.Muntah
bersamaan dengan batuk,tidak terdapat darah dan kadang disertai dengan perasaan mual.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang bagian belakang yang tembus ke depan
terutama pada pinggang bagian kanan.
Selain itu pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak. Kedua kaki tersebut
bengkak secara bersamaan. Bengkak pada kedua kaki tidak disertai oleh rasa nyeri
maupun kesemutan, hanya saja kedua kakinya dirasakan pasien lebih lemah bila
23
digunakan untuk berjalan. Bengkak dikatakan tidak berkurang dengan beristirahat.
BAB tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi dan konsistensi. Adanya BAB
yang mengandung darah atau BAB kehitaman disangkal oleh pasien. BAK mengalami
perubahan mulai dari jumlah nya yang sedikit sekali,dikatakan oleh pasien dalam sehari
BAK kira-kira hanya 1 gelas tetapi warna nya masih kuning.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan bahwa sebelumnya sudah pernah seperti ini, dan pasien
mengatakan kalau dirinya memiliki penyakit gagal ginjal dan sudah pernah melakukan
hemodialysis sebanyak 9x,yang dilakukan di rumah sakit malang setiap 2x dalam
seminggu. Pasien mengetahui dirinya memiliki penyakit gagal ginjal sejak kurang lebih 2
bulan yang lalu.Pasien melakukan hemodialysis terakhir tiga hari yang lalu.
Pasien memiliki hipertensi sejak 5 tahun yang lalu,dan sering kontrol kedokter secara
teratur. Pasien juga memiliki riwayat penyakit diabetes meilitus dan sering kontrol serta
teratur minum obat , Pasien tidak pernah merasa kesemutan pada tangan dan kaki selama
menderita penyakit diabetes meilitus tetapi pasien merasakan pandangan pada kedua mata
nya mulai terganggu.
Riwayat penyakit lain seperti penyakit asma, jantung dan alergi obat atau makanan
disangkal oleh pasien
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Tidak
ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal, hipertensi, jantung, asma, maupun
diabetes mellitus.
Riwayat Sosial dan Personal
Sehari-hari pasien berprofesi sebagai PNS. Pasien mengaku jarang meluangkan waktu
secara khusus untuk berolahraga. Pasien tidak merokok maupun minum minuman
beralkohol.
24
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Tanda-Tanda Vital:
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 143/95 mmHg
Nadi : 100 kali/menit
Respirasi : 37kali/menit
Suhu aksila : 36,5oC
Berat badan : 71 kg
b. Pemeriksaan Umum
Mata : A/I/C/D : +/-/-/+
THT :
Telinga : Sekret -/- , Hiperemis -/-
Hidung : Sekret (-) , Hiperemis (-) , Nafas cuping hidung (+)
Mulut : Mukosa bibir kering (-) , Sianosis (-)
Lidah : Papil atrofi (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T2 , faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks :
Cor : Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : Tidak teraba iktus kordis
Perkusi : Batas atas jantung : ICS II kiri
Batas kanan jantung : PSL kanan
Batas Kiri jantung : MCL kiri
Auskultasi : S1S2 tunggal, Reguler, murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi dada sub costa (+)
Palpasi : Vokal fremitus normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : 25
Abdomen
:
Inspeksi : Meteorismus (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Nyeri ketok sudut costo vertebral +/+
Pekusi : Redup
Ekstremitas :
Akral hangat +/+
+/+
Edema -/-
+/+
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap (6/1/2014)
Parameter Result Unit Remark Reference range
GDA 203 Mg/dl High <140
HB 7,3 g/dl Low L:13-18
Lekosit 10.460 /cmm Normal 4000-11000
PCV 23 % Low L:40-50
Trombosit 354.000 /cmm Normal 150rb-450rb
Alkali Fosfatase 176 U/I High 60-170
Bil.Direct 0,29 Mg/dl Normal <0.5
Bil.Total 0,70 Mg/dl Normal <1
SGOT 53 U/I High <31
SGPT 85 U/I High <31
BUN 16.7 Mg/dl Normal 10-20
Creatinin 1 Mg/dl Normal 0.5-1.7
Uric Acid 8.9
3.5 DIAGNOSIS KERJA
26
vesikuler + + , ronki - - wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -
CKD stage V
Diabetes Mellitus tipe 2
Anemia Penyakit kronis
3.6 TERAPI
MRS
nfus NaCL 0,9%
asal 4 lpm
Inj. Ranitidin 2 x 1
Drip Aminophilin 3 x 1
Pro transfusi PRC 1 bag/hari
3.7 MONITORING
Keluhan dan tanda vital
Balance cairan
Darah Lengkap
3.8 PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
3.9 KIE
Keadaan pasien saat ini dan rencana penatalaksanaan
Rencana tindakan hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal pasien yang sudah
rusak.
Upaya mencegah perburukan kondisi ginjal secara cepat dengan pengaturan diet
tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam.
Pentingnya kepatuhan pengobatan penyakit dasar maupun komplikasi CKD.
3.10 FOLLOW UP
27
1. Tanggal 7/01/14
S : - Sesak (+)
- Bengkak pada kedua kaki
- Mual (+)
- Muntah (-)
- Pusing (+)
- Makan/Minum normal
- BAK sedikit
- BAB normal
O :
KU : Cukup
Kes : CM
TD : 140/80 mmHg S : 36,5oC
N : 102 x/m RR : 35 x/m
K/L : A/I/C/D : +/-/-/+
Pem.KGB (-)
Thorax : Simetris kanan kiri
Retraksi subcostal (+)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-
Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Meteorismus (+)
Nyeri tekan (-)
Flank test +/+
Hepar tak teraba, Lien tak teraba
Ext : Akral hangat +/+
+/+
Edema -/-
+/+
A : CKD Stage V
P : - Diet TKRP
- Inj. Furosemide 1-1-0
- Amlodipine 5mg
- Asam folat 3x1
- Besok hemodialysis
28
2. Tanggal 8/01/14
S : - Sesak (+)
- Bengkak pada kedua kaki
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Pusing sudah berkurang
- Makan/Minum normal
- BAK masih sedikit
- BAB normal
O :
KU : Cukup
Kes : CM
TD : 130/90 mmHg S : 36,3oC
N : 100 x/m RR : 32 x/m
K/L : A/I/C/D : +/-/-/+
Pem.KGB (-)
Thorax : Simetris kanan kiri
Retraksi subcostal (+)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-
Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Meteorismus (+)
Nyeri tekan (-)
Flank test +/+
Hepar tak teraba, Lien tak teraba
Ext : Akral hangat +/+
+/+
Edema -/-
+/+
Hasil Lab 8/1/2014 :
29
Parameter Result Unit Remark Reference range
HB 8.6 g/dl Low L:13-18
Lekosit 9.790 /cmm Normal 4000-11000
PCV 26 % Low L:40-50
Trombosit 349.000 /cmm Normal 150rb-450rb
A : CKD Stage V
P : - Diet TKRP
- Inj. Furosemide 1-1-0
- Amlodipine 5mg
- Asam folat 3x1
3. Tanggal 9/01/14
S : - Sesak (-)
- Bengkak pada kedua kaki
- Mual (-)
- Muntah (-)
- Pusing (-)
- Makan/Minum normal
- BAK masih sedikit
- BAB normal
O :
KU : Cukup
Kes : CM
TD : 130/90 mmHg S : 37,2oC
N : 98 x/m RR : 22 x/m
K/L : A/I/C/D : +/-/-/-
Pem.KGB (-)
Thorax : Simetris kanan kiri
Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-
Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)
Abdomen : Meteorismus (-)
Nyeri tekan (-)
Flank test +/+30
Hepar tak teraba, Lien tak teraba
Ext : Akral hangat +/+
+/+
Edema -/-
+/+
A : CKD Stage V
P : - Diet TKRP
- Inj. Furosemide 1-1-0
- Amlodipine 5mg
- Asam folat 3x1
BAB IV
PEMBAHASAN
31
The National Kidney Foundation- Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative
(NKF-K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi selama
tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis atau
petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73m 2 selama tiga
bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang
ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan
klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila
nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.3
Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus
urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)
gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara
lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).4
Pada kasus ini, pasien laki-laki, 43 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 1 hari yang
lalu, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau beraktivitas, namun agak membaik
dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang
muncul bersamaan dengan keluhan sesak. Tiga hari SMRS , pasien mengalami muntah
dengan frekuensi 3kali/hari.Muntah bersamaan dengan batuk,tidak terdapat darah dan
kadang disertai dengan perasaan mual. Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang bagian
belakang yang tembus ke depan terutama pada pinggang bagian kanan.Pasien mengeluh
kedua kakinya bengkak secara bersamaan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes
melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain
(13,65%).4
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit diabetes meilitus dan sering
kontrol serta teratur minum obat. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun 32
yang lalu, Riwayat penyakit lain seperti penyakit asma, jantung dan alergi obat atau
makanan disangkal oleh pasien
Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3)
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang
meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.4
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya
peningkatan GDA (203 mg/dl), penurunan HB (7,3 g/dl), penurunan PCV (23%)
sedangkan pada pemeriksaan LFT didapatkan peningkatan alkali fosfatase (176 U/I),
peningkatan SGOT (53 U/I), peningkatan SGPT (85 U/I) dan pada pemeriksaan RFT
didapatkan BUN (16,7 mg/dl) dan creatinin (1,0 mg/dl) dalam batas normal, serta
didapatkan peningkatan UA (8,9). Sedangkan pemeriksaan analisis gas darah dan
urinalisis tidak dilakukan.
Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi
intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen bisa tampak adanya
batu radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan
ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi
dikerjakan bila ada indikasi.4
Pada pasien ini pemeriksaan radiologis tidak dilakukan,baik itu foto polos
abdomen, pielografi intravena, ultrasonografi, serta renografi.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini
didiagnosis dengan CKD Stage V karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien
sebelum nya memang mempunyai riwayat gagal ginjal dan sudah secara rutin melakukan
hemodialis, sedangkan secara klinis dijumpai gejala/tanda klasik CKD yaitu edema,
anemia, hipertensi dan diabetes meilitus,
Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, (2)
33
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
(3) memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4)
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes,
hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
(anemia, osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4
Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi
pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi
ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan hemodialisis yang dikerjakan
pada pasien-pasien CKD dengan LFG < 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan
salah satu dari keadaan berikut: (1) adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis
yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah <
7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.4
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi
kegagalan fungsi ginjal. Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi
pengganti ginjal berupa hemodialisis.
Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia pada
CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya fungsi ginjal.
Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah: defisiensi besi,
kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran cerna atau hematuria), massa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang
meliputi evaluasi terhadap status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya hemolisis.4
Pada kasus ini, pasien mengalami anemia sedang (Hb 7,3 gr/dL) Penyebab anemia
masih ditelusuri, dimana salah satu pemeriksaan penunjang yang direncanakan ialah
pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk menyingkirkan kemungkinan
defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada pasien ini
34
Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL
dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian
tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan
perburukan fungsi ginjal.4
Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 1 kolf. Yang
diberikan saat menjalani hemodialisis. Setelah mendapatkan 1 kali tranfusi terjadi
kenaikan kadar hemoglobin.
Hipertensi merupakan salah satu temuan klinis lain yang juga sering dijumpai
pada CKD. 3 Pada kasus ini, pasien didapatkan dengan hipertensi stage I.
Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat
perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler.
Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian
obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker
(ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD
karena keduanya mengurangi hipertensi glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1)
menurunkan tekanan darah sistemik dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan
(2) meningkatkan permeabilitas membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin
fibrogenik. ARB mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE
inhibitor (seperti batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal,
maka biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon positif
terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.3
Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Amlodipine yang termasuk salah
satu anti hipertensi golongan calcium channel bloker.
Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah
edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan
penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2)
edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung. Edema paru renal secara
klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler sebagai akibat dari
kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan bentuk edema
paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler
paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan 35
edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan
komplikasi dari kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat
kardiomiopati hipertensif, anemik, maupun uremikum.5
Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah fluid
overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler
paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. 5Adanya cairan yang mengisi
ruang alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler
paru. Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada
pemeriksaan fisik, serta gambaran foto thorax yang mengarah pada kesan suatu edema
paru.6 Pada kasus ini, pasien mengeluh sesak nafas dan batu berdahak, tetapi ditemukan
rhonki.
Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL)
antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang
masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah jumlah urin per hari.4
Pada pasien ini juga seharusnya dilakukan pengaturan cairan masuk, guna
mencegah volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang
telah terjadi sebelumnya.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan
pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/menit/1,73m2. Jumlah protein yang dianjurkan ialah 0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana
0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya merupakan protein dengan nilai biologis tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3
gr/hari) juga dianjurkan sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus
sebagai terapi nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4
Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen yang
banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal
dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) 36
dan kalsium asetat. 4
Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya
prevalensi faktor risiko “tradisional” dan non “tradisional”. 3 Peningkatan kadar
homosistein merupakan salah satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada
pasien CKD. Adapun mekanisme peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas.
Homosistein berperan dalam memicu proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1)
menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh darah, (2) merangsang aktivasi trombosit,
(3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat dalam kaskade pembekuan darah, seperti
menurunkan aktivitas anti thrombin, menghambat aktivitas kofaktor trombomodulin dan
aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan faktor XII, mengganggu sekresi
faktor von Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis prostasiklin.7
Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu
substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini, pasien
diberikan terapi asam folat.
37
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit
ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan
atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat progresif dan
irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia.
Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG.
Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala
komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi
ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan
utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu
pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan
dengan manifestasi klinis yang muncul. Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi
penyakit dengan tepat, serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal
diharapkan akan membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan
kualitas hidup pasien.
38
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.
39
40