Upload
majalah-frasa
View
270
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Edisi 7 Tahun Pertama
Citation preview
FrasaE d i s i 7 Ta h u n p E r Ta m a | m a j a l a h d i g i Ta l | m i n g g u, 30 d E s E m b E r 2012
Cerpen agung Yuli Th | puisi indra Ks, Ekohm abiyasa, syafrizal sahrun dan berto Tukan | Cerpen Teenlit Elsa malinda | puisi Teenlit bobby indra pulungan, ria dwi sutriani, Choyron baba muda dan laura rafti | Fiksimini makmur hm |
puisimini jumardi, lilis susanti dan mawaidi d. masArt Cover: Internet
kekaburan kritikdan FEnomEna pEnulis pEmula
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Pemimpin Umum : Makmur HMPemimpin Redaksi : M Asqalani eNeSTeWakil Pemipin Redaksi : Delvi AdriTim Redaksi : Jhody M Adrowi Makmur HM M Asqalani eNeSTe Delvi Adri Yohana Nia Nurul Syahara Putu Gede Pradipta Design Tata Letak : Makmur HM Sekretaris Redaksi : Jhody M Adrowi
m a j a l a h d i g i T a lFrasa
Assalamualaikum dan salam hangat Frasa
untuk kita semua...
Kritik sastra akhir-akhir ini memang sering diper-bincangkan, baik itu di kalangan elite sastra mau-pun para pemula. Aro-gansi kritikus sastra yang seringkali melambungkan nama-nama penyair senior memang acapkali mem-buat gerah penyair pemula dan pada akhirnya semakin redup kepenyairannya dan secara otomatis terhenti lah pengkaderan kepenyairan di Indonesia.
Tulisan Beni Setia dalam ‘Demistifikasi Kritik’ demiki-an menyadarkan kita pada fenomena kritik sastra yang tanpa karakter. Sampai gemasnya melihat fenom-ena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai sebuah arogansi elite sas-tra yang begitu determi-natif dalam pengukuan
dan kualifikasi kepenyairan seorang penyair.
Hal itu juga yang memaksa MSD Frasa untuk mengangkat tema ‘Keka-buran Kritik dan Fenomena Penulis Pemula’ pada edisi kali ini.
Pada rubrik Sastra Dun-ia kali ini MSD Frasa ber-bagi tulisan mengenai ‘Kri-tik Marxist Dalam Sastra’, rubrik Sastra Indonesia ada ‘Omong-Omong Sastra : Mempertahankan Tradisi Sil-aturahmi dan Berkarya’ dan rubrik Sastra Religi memuat ‘Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra’.
Petrichor* karya Agung Yuli TH menghiasi rubrik Cerpen dan masih banyak lagi karya-karya tulis yang begitu segar dan sangat sayang untuk dilewatkan.
Terakhir, redaksi ucapkan:Selamat membaca!
redaksi
Redaksi menerima tulisan yang bersifat orisinil dan belum pernah diterbitkan
di media manapun. Tulisan berupa karya sastra yang terbit akan dibuku-
kan setiap edisi akhir tahun.email: [email protected]
TariF iKlan Full Colour pEr Edisi1/4 halaman: Rp150,000 1/2 Halaman: Rp300,000 1 Halaman: Rp500,000 Iklan Sosial: Mulai Rp30,000 - Rp100,000
alamaT rEdaKsi / KonTaK Email: [email protected] Phone: 0852 6536 9405 Blog: http://majalahfrasa.blogspot.com/
hal
2 salam
PemimPin Redaksi mSD Frasa, muhammad Asqalani eneSTe (dilingkari) saat menghadiri sebuah acara di Sragen beber-apa waktu lalu.
Frasa Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
3daFTar isi
halaman 6utama: Kekaburan Kritik dan Fenomena penulis pemula
halaman 10Kritik marxist dalam sastra
halaman 12omong-omong sastra : mempertahankan Tradisi silaturahmi dan berkarya
halaman 14reorientasi nilai religius dalam Karya sastra
halaman 18Komunitas: Komunitas Tanpa nama (Kontan) dalam Kacamata anggota
halaman 20Cerpen agung Yuli Th: petrichor*
halaman 22-25puisi indra Ks, Ekohm abiyasa, syafrizal sahrun dan berto Tukan
halaman 26sastradukasi: penghalusan bahasa
halaman 28lentera budaya: Kuntakha Khaja niti, Kitab rujukan utama Falsafah
hidup orang lampung
halaman 30Cerpen Teenlit Elsa malinda: merah
halaman 32-33puisi Teenlit bobby indra pulungan, ria dwi sutriani, Choyron baba
muda dan laura rafti
halaman 34Fiksimini makmur hm: Koluptol
halaman 35puisimini jumardi, lilis susanti dan mawaidi d. mas
halaman 36inspiring: Taufiq ismail, bercita-cita jadi sastrawan sejak belia
hal
4 nEXT issuE
Frasa Edisi 6 Tahun I [Selasa, 26 November 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
jiKa Nusantara ini adalah kampung, maka sastra Indonesia adalah ‘sastra kampung’. Penempatan Indonesia sebagai bagian dari Kampung Nusantara, cukup tepat mengingat makin terpuruknya bangsa ini menjadi under-dog negara-negara adidaya, terutama AS. Dalam ekonomi kita didekte oleh IMF, dalam politik kita didekte oleh AS, dalam kebu-dayaan kita didekte oleh Hollywood, dalam pemikiran sastra banyak di antara kita yang bernafas di ketiak Derrida dan Faucoul.***
mEngubah paradigma “sasTra Kampung(an)”
oleh: ahmadun Yosi herfanda
hal
5CornEr
Frasa Edisi 6 Tahun I [Selasa, 26 November 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Pesan melalui:http://minangkabauonline.com/buku
Karya muhammad Asqalani eneSTe
harga Rp40.000,-
telah terbit!Tangisan Kanal Anakanak nakal
(125 Puisi Pendek)
spEsiFiKasi buKu
Sajak-sajak Muhammad Asqalani eNeSTe mengingatkan pada Presiden Penyair (Sutarji). Di balik diksi yang terkesan nyeleneh dan aneh tersimpan makna yang begitu dalam. Ia juga sangat lihai memasukkan kata-kata asing seh-ingga semakin kokoh diksi dan maknanya.
Judul: Tangisan Kanal Anakanak Nakal (125 Puisi Pendek)(Hardcover)ISBN 978-602-17023-6-9Hal. xiv+133Ukuran: 5.6 x 7,7 inchBISAC: Antologi Puisi
hal
6 uTama
KEKaburan KriTiK dan FEnomEna pEnulis pEmula
oleh: sutejo
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Bagaimanakah potret kritik sastra kita dewasa ini? Tampaknya kritik sastra kita masih centang perenang, belum mempunyai sosok pribadi yang jelas.
Beni Setia, pernah melontarkan tulisan ‘’Demistifikasi Kritik’’. Pemikiran Beni Setia demikian menyadarkan kita pada fenomena kritik sastra yang tanpa
karakter. Sampai gemasnya penyair Bandung ini (kini tinggal di Caruban Jawa Timur-red) melihat fenomena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai
sebuah arogansi elite sastra yang begitu determinatif dalam pengukuan dan kualifikasi kepenyairan seorang penyair.
hal
7uTama
Sebuah tombak dengan arsitektur kokoh terban-gun Indonesia kecil yang terkotak-kotak. Sastra uni-versal dan konstektual, puisi gelap dan puisi terang (komunikatif?), penyair kota dan daerah, penyair ibu kota dan penyair pedalaman. Akankah tembok-tem-bok yang muncul demikian, yang membagi dunia sastra menjadi dua –mungkin saling bertentangan- adalah upaya untuk melindungi ideologi individu dan komuna kolektif masing-masing? Dalam pan-dangan Beni Setia, kearifan kasusastraan itu tak men-genal pusat dan daerah, tak mengenal sastrawan ibu kota dan sastrawan pedesaan, dan juga tak mau tahu karya yang adiluhung dan picisan. Bagi kearifan kasusastraan, setiap karya adalah karya, setiap karya sastra adalah karya sastra.
Sampai saat ini, manakala kita memperbin-cangkan teori dan kritik sastra, keadaannya men-jadi demikian kompleks dan menarik. Bagaima-na seorang Arif Budiman dan Ariel Haryanto mengetengahkan paham kontekstual sastra sehingga menjadi sebuah perdebatan panjang di tahun 1984? Di satu pihak didengungkan sas-trawan yang membumi. Sehingga karya sastra yang dihasilkan haruslah mencerminkan konteks sosi-ologisnya. Karenanya, karya sastra tidak akan sep-erti coca-cola yang dapat berlaku kapan saja dan di mana saja. Sedangkan di pihak lain didengungkan karya sastra yang adiluhung, yang mempunyai uni-versalitas tersendiri, yang mempunyai nilai estetis yang dapat diterima oleh lapisan pembaca dalam berbagai kurun waktu.
Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan wawancara Yos Rizal dengan pastor puisi Sutardji Calzoum Bachry. Meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun puisi gelap sempat mengundang gairah yang beru-jung dengan ledekan-ledekan, apologis, maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus Ahmad Y. Herfan-da, yang memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap.
Referensi yang lama berkembang ternyata bukan saja dalam kasus hibah Bapindo. Tapi juga dalam dunia sastra. Referensi itu bersanding den-gan kedudukan penyair mapan sebagai legitimator. Sehingga hampir bisa dipastikan manakala muncul kumpulan cerpen atau puisi, di situ pula terdapat ‘’referensi’’ dari elite sastra. Mereka sebagai ‘’kritikus’’ yang merefensi atau mencocoki dan mengantarkan pembaca pada satu nilai estetis yang ditawarkan-nya. Kritikus yang demikian barangkali akan mam-pu menginstrumalisisr antara apresiasi pembaca dengan sebuah karya sastra. Namun persoalannya: kritikus sastra yang ‘’rendah hati’’, yang melempar-
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan wawancara Yos rizal dengan pastor puisi sutardji
Calzoum bachry. meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun
puisi gelap sempat mengundang gairah yang berujung dengan ledekan-ledekan,
apologis, maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus ahmad Y. herfanda, yang
memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap.
hal
8 uTama
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
kan ‘’kejujuran ‘’ esetetis tidaklah banyak. Bahkan ada yang menyindir bahwa kritikus sastra kita cend-erung destruktif. Misalnya saja, istilah Afrizal Malna terhadap fenomena kritik Sutardji Calzoum Bahcry, yang cenderung memberikan penyerangan. Seh-ingga sastrawan Misran Hadi dalam sebuah wawan-caranya pernah mengaku bahwasanya dia berhenti menyair karena kritik penyerangan yang dilaku-kan Sutardji yang mengatakannya bahwa puisinya jelek-jelek.
Tak mengherankan kalau sastrawan kawakan, A.A Navis, berkomentar terhadap keberadaan teori dan kritik sastra yang cenderung merusak terutama bagi seorang pemula. Padahal, jika kita mau jujur yang bagaimanakah sosok kri-tik sastra kita sebenarnya, belumlah jelas sosok jati dirinya. Sehingga Budi Darma pernah menyebut bahwasanya kritik sastra kita centang perenang. Tanpa sosok pribadi (lihat Horison edisi November 1992, No. 11/XXVII). Atau bagaimana bergeloranya pencarian kritik sastra yang relevan untuk mem-bedah karya sastra yang khas Indonesia, seperti Seminar Susastra Indo-nesia di Universitas Bung Hatta tanggal 23 s/d 26 Maret 1988.
Tembok kritik sastra yang dibangun kritikus sastra belakangan jus-tru mengesankan keangkuhan dunia sastra. Yang tidak semua orang boleh omong sastra. Tak pelak, jika karya sastra di sebagian pandangan terkesan: teraleanasi dari masyarakatnya. Bagaimanakah Umar Yunus yang begitu angker dengan teori-teori Baratnya? Demikian juga dengan Andreas Hard-jana. Kita tidak lagi menemukan sosok kritikus sep-erti HB.Jassin yang begitu rajin, yang benar-benara menjembatani pembaca dengan karya sastra. Leb-ih dari itu, mengenalkan pada penyairnya, sampai
sejauh mana perjalanan peta sastra kita bergerak.Kalau di kalangan penyair dan elite sastra send-
iri demikian kompleks dan rumitnya persoalan itu, maka dapat dibayangkan dampaknya pada penyair pemula atau pada pembaca dalam menangkap kompleksitas kehidupan sastra kita secara makro.
Sehingga tak mengherankan, jika banyak para pemula gagal menapaki dunia sastra. Padahal, pemula, ibarat tunas-tunas muda membutuhkan siraman sejuk untuk mendewasakan pertumbuhan
dan perkembangannya. Karena itu tentu bagi pemula dituntut mem-punyai stamina tahan banting yang akan men-gantarkannya pada dun-ia sastra, atau sekadar ‘’dunia sastra.’’ Karena itu bagi pemula perlu disa-dari beberapa fenomena berkaitan dengan dunia sastra kita.
Pertama, karena penyebaran sastra kita banyak berhutang budi pada media mas-sa (khususnya koran), maka langkah pertama seorang pemula harus menembus keredaksian budaya media massa yang tentu mempunyai ideologi estetis sendiri. Dan fenomena sastra koran dengan segala ihwalnya beberapa min-ggu lalu sempat menjadi pembicaraan terutama di Republika. Menyang-kut digugatnya adanya kolusi antara sastrawan
dengan redaksi, adanya norma estetis redaksi yang tidak jelas, sampai isu bagaimana media koran khususnya telah menjadi semacam tempat pemba-tisan sastrawan. Namun isu demikian ditepis oleh Aan Kawisar, redaksi Horison, yang mengatakan, ‘’Tidak ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan, yang ada layak muat’’. Atau adanya gejala dominasi sas-trawan pusat, yang kemudian juga dibantah oleh Efix Mulyadi redaktur budaya Kompas dan Djadjat Sudrajat redaktur budaya Media Indonesia.
pertama, karena penyebaran sastra kita banyak berhutang budi pada media
massa (khususnya koran), maka langkah pertama seorang pemula harus menembus
keredaksian budaya media massa yang tentu mempunyai ideologi estetis sendiri.
dan fenomena sastra koran dengan segala ihwalnya beberapa minggu lalu
sempat menjadi pembicaraan terutama di republika. menyangkut digugatnya
adanya kolusi antara sastrawan dengan redaksi, adanya norma estetis redaksi yang
tidak jelas, sampai isu bagaimana media koran khususnya telah menjadi semacam
tempat pembatisan sastrawan. namun isu demikian ditepis oleh aan Kawisar,
redaksi horison, yang mengatakan, ‘’Tidak ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan,
yang ada layak muat’’. atau adanya gejala dominasi sastrawan pusat, yang kemudian juga dibantah oleh Efix mulyadi redaktur
budaya Kompas dan djadjat sudrajat redaktur budaya media indonesia.
hal
9uTama
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan pada mitos dan tembok komunikasi sastra, penyair pem-ula dan penyair mapan, seniman pedalaman dan seniman kota, dan seterusnya. Fenomena demiki-an sesungguhnya memprihatinkan. Bagaimana pengadilan Redi Panuju yang mendeskripsikan fenomena pembacaan puisi ‘’Semangat Tanjung Perak’’ pada akhir tahun 1992, terhadap penyair pedalaman misalnya, yang mengatakan begini: ‘’…sistem RAPBN yang orientasinya hanya pada pem-erataan, berbuat tanpa menimbang kualitasnya, saya kuatir hanya mela-hirkan ‘’permasalahan penyair’ dengan kualitas yang rendah. Malam itu telah betapa hanya den-gan konsep ‘kesempatan’ saja (tok) telah melahir-kan penyair-penyair ple-setan, istilah teman yang duduk di depan saya, penyair tiban’’. Demikian elegankah kepenyairan seorang Redi Panuju?
Di samping harus ber-hadapan dengan para penyair mapan, penyair pemula dalam bertarung di media massa mereka juga harus berhadapan dengan para sastrawan mapan yang sampai saat ini masih produktif. Nama-nama seperti Putu Wijaya, Umar Kayam, Satyagraha Hoerip, Nil-son Nadeak, Sori Siregar, sekadar untuk menyebut beberapa contoh. Belum keberadaan kritikus sastra yang secara eksklusif determinatif akan mengukuhkan dan memberikan pengakuan terhadap sebuah karya. Dan ini, jelas mimpi buruk bagi pemula.
Jangankan seorang pemula, seorang sastrawan, dramawan, sutradara, teaterawan terkenal saja, Putu Wijaya, terengah-engah dengan potret kritik sastra kita. Dan ini, terjadi ketika aspek historis dan sosiologis tiba-tiba menjadi ‘’norma estetis’’ terh-adap pengakuan terhadap sebuah karya sastra. Bagaimana Dr. Daniel Dakidae, tiba-tiba menobat-
kan ‘’Para Priyayi’’ sebagai karya yang monumental karena nuansa historis dan sosiologisnya, setelah ‘’Bumi Manusia’’-nya Pramudya Ananta Toer, dan ‘’Burung-burung Manyar’’-nya YB Mangun Wijaya?
Kritik sastra yang ada kini tidaklah menjangkau wilayah dalam peta yang ada, begitu tulis Putu Wijaya dalam suratnya yang dikirim kepada HB Jas-sin dari Jepang, kemudian dimuat dalam Horison edisi Maret 1993, Nomor 3/XXVII/76. Tambahnya, dalam seperti itu, mudah sekali muncul kesesatan
yang tak terselesaikan. Akhirnya tak terasa ter-jadi penjungkirbalikkan nilai… apa sebenarnya sasaran sastra itu? Bagamana cara /per-timbangan kita untuk menentukan karya sas-tra itu baik? Bagaimana kita meningkatkan diri kita kalau tidak tahu ukurannya? Begitu-lah wajah kritik sastra kita yang tanpa sosok pribadi. Penuh dengan tembok-tembok untuk melindungi egoisme komunalnya. Penuh rel-ativias estetis. Sehingga banyak lapisan yang mengharapkan kritik sastra itu harus akomo-datif, bukan tersegmen-tasi oleh kepentingan individu dan sebuah kepentingan kolektif.
Yang pada ujung-nya keadaan demikian bukan iklim positif bagi calon para pemula.
Fenomena demikian mengingatkan kita betapa centang perenang kehidupan sastra dan kritik kita. Sehingga berbagai kecenderungan bisa muncul dalam berbagai bentuknya. Mudah-mudahan iklim sastra demikian bukanlah faktor berarti bagi penu-lis-penulis pemula, tapi cambuk yang senantiasa membangkitkan semangat tulis yang tak pernah habis.(www.sastra-indonesia.com)
*) Pengajar Sastra di Lingkungan Kopertis VII Sura-baya, tingggal di Ponorogo.
Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan pada mitos dan tembok komunikasi sastra,
penyair pemula dan penyair mapan, seniman pedalaman dan seniman kota,
dan seterusnya. Fenomena demikian sesungguhnya memprihatinkan.
bagaimana pengadilan redi panuju yang mendeskripsikan fenomena pembacaan
puisi ‘’semangat Tanjung perak’’ pada akhir tahun 1992, terhadap penyair
pedalaman misalnya, yang mengatakan begini: ‘’…sistem rapbn yang orienta-sinya hanya pada pemerataan, berbuat
tanpa menimbang kualitasnya, saya kuatir hanya melahirkan ‘’permasalahan penyair’
dengan kualitas yang rendah. malam itu telah betapa hanya dengan konsep
‘kesempatan’ saja (tok) telah melahirkan penyair-penyair plesetan, istilah teman
yang duduk di depan saya, penyair tiban’’. demikian elegankah kepenyairan seorang
redi panuju?
sasTra dunia
KriTiK Sastra Marxist dalam kesusasteraan mempunyai sejarah yang panjang. Kritik teori Marxist ini berawal dari tiga teks besar dan
terkenal. Dua diantaranya terdapat dalam surat-surat pujian dari Engels dan ketiga terdapat dalam esei pendek yang ditulis oleh Lenin, (Steiner 1967).
Ajaran Marxis sendiri berawal dari pemikiran Karl Marx dan Frederick Engels. Pada tahun 1848 kedua tokoh pemuda Jerman yang revolusioner ini men-geluarkan pernyataan-pernyataan umum menge-nai kebudayaan yang besar sekali pengaruhnya kemudian terhadap sejarah pemikiran manusia. Pikiran mereka itu terbit dalam suatu dokumen yang dikenal dengan Manifesto Komunis. Karl Marx sendiri sebelumnya sudah menulis sebuah buku yang berjudul Das Kapital yang akhirnya diselesai-kan oleh Engels.
Dua tema pokok dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels yang mula-mula adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam hubungan-nya dengan konsep ideologi ini dijelaskan bahwa
semua pikiran yang berbeda-beda, baik yang ber-sifat falsafah, ekonomi, dan historis, menampilkan tak lebih dari suatu perspektif yang berkaitan den-gan posisi kelas pengarang.
Marx dan Engels juga menyadari bahwa pem-bagian kerja memegang peranan penting dalam kehidupan sosial. Hal itu disebabkan oleh perkem-bangan perdagangan dan industri; adanya kelom-pok masyarakat yang bergeser dari taraf produksi material ke taraf produksi mental. Pembagian kerja ini menghasilkan sebuah teori murni seperti halnya filsafat, teologi dan secara tersirat sastra dan seni. Di bawah kekuasaan ekonomi kapitalisme, sastra semakin lama semakin dianggap sebagai barang industri.
Dalam tulisan Eagleton, (1977:3) dijelaskan bah-wa Marx sesungguhnya terpengaruh oleh dialek-tika filsafat Hegel dalam memandang seni. Namun menurut Eagleton, kemurnian pikiran Marx tidak terdapat dalam pendekatan sastra, melainkan terle-tak pada pemahaman yang revolusioner terhadap
Kritik marxist dalam sastra
hal
10
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
oleh: sastri sunarti
sasTra duniasejarah itu sendiri.
Dalam suatu laporannya, Marx menjelaskan ten-tang Base ‘dasar’ dan Superstructur‘superstruktur’. Superstruktur yaitu ideologi dan politik yang bertum-pu pada ‘dasar’ (hubungan-hubungan soiso-ekono-mi). Marx menjelaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu kenyataan bebas, melainkan kebudayaan itu tidak terpisahkan dari kondisi-kondisi kesejarahan. Di dalam kesejarahan itu, manusia menciptakan hidup kebendaannya. Hubungan-hubungan antara pen-guasaan, penindasan, atau ekploitasi yang menguasai tata sosial dan ekonomi dari suatu fase sejarah manu-sia akan ikut menentukan seluruh kehidupan kebu-dayaan masyarakatnya.
Dalam Ideologi Jerman (1846), Marx dan Engels berbicara pula mengenai moralitas, agama, dan fil-safat sebagai momok-momok yang dibentuk dalam otak manusia yang merupakan refleks dan gema dari proses kehidupan yang nyata. Dalam serangka-ian surat-surat terkenal (1890), Engels menekankan bahwa ia dan Marx selalu memandang aspek per-ekonomian masyarakat sebagai akhir dari aspek-aspek lain. Jadi, seni menurut pandangan Marxis merupakan bagian dari superstruktur dari ling-kungan sosial. Dengan demikian, menurut Marxis, untuk memahami sastra berarti memahami seluruh proses sosial.
Status kesusasteraan yang khusus, diakui oleh Marx dalam sebuah bagian terkenal dalam bukunya Grun-drisse.Di dalamnya ia menjelaskan tentang ketidak-cocokan yang nyata antara perkembangan ekonomi dan kesenian. Ia menganggap bahwa tragedi Yunani sebagai puncak dari perkembangan kesusasteraan dan tragedi itu bersamaan waktunya dengan sistem kemasyarakatan dan sebuah bentuk ideologi; yang tidak lagi sahih bagi masyarakat modern.
Dalam pembicaraan mengenai sebuah lakon Shakespeare, Timono of Athens, Marx mengata-kan bahwa uang tidak hanya mengontrol manusia tetapi juga merupakan lambang keterpencilan manusia dari dirinya sendiri dan masyarakat. Marx memuji Shakespeare yang telah menggambar-kan esensi uang sebagai suatu yang berada di luar manusia, mengatur tindakannya, dan merupakan sesuatu yang diciptakan manusia agar dapat digu-nakan.
Gagasan Marx bukan merupakan hal yang pent-ing dalam pengembangan sosiologi sastra. Tulisan -tulisan Engelslah yang banyak manfaaatnya bagi pengembangan pendekatan itu. Ada dua pokok penting dalam pikiran Engels yaitu pertama men-genai sastra. Tendensi politik penulis haruslah disa-jikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pan-dangan si penulis, semakin bermutulah karya sastra
yang ditulisnya. Ideologi politik bukanlah merupak-an masalah utama bagi si seniman. Oleh karenanya karya sastra akan menjadi lebih baik apabila ia ber-hasil membuat ideologi itu tetap tersembunyi.
Pokok kedua dalam gagasan pikiran Engels leb-ih bersifat dogmatis. Ia menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang repre-sentatif dalam karya-karyanya. Hal itu disebab-kan oleh adanya pengertian realisme yang meli-puti reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula.
Bapak realisme sosial di Uni Sovyet itu sendiri adalah Maxim Gorky yang sangat berhasil meng-gambarkan realisme dalam karyanya berjudul Ibu dan Anak yang dianggap sukses menerapkan aja-ran realisme sosial di USSR. Namun, sebagai kritikus Marxis yang besar adalah George Lukacs, seorang Hongaria.
Karya-karya Lukacs terutama menyoroti masalah-masalah realisme, walaupun pandangan-nya kemudian banyak bersinggungan dengan paham realisme sosialis resmi. Pada usia 25 tahun, Lukacs merampungkan naskah bukunya yang set-ebal 1000 halaman yang berjudul Soul and Form yakni tentang perkembangan drama modern. Pada tahun 1918 ia bergabung dengan Partai Komunis Hongaria. Tulisan-tulisannya mulai dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sezaman. tulisan-tulisan-nya dalam periode Marxis banyak bicara tentang masalah filsafat, seperti alienasi, fetishism, reifikasi yang menjadi sumbangan penting bagi teori Marx-is tentang kesadaran, ideologi, dan kebudayaan. Karya Lukacs yang penting dari kurun ini adalah History and Class Consciusnessyang terbit 1923.
Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Eropa Barat. Ia mengatakan bahwa modernisme hanya mampu melihat manusia sebagai makhluk putus asa yang terasing, bahwa modernisme sengaja mengingkari kenyataan seutuh-utuhnya, bahwa mod-ernisme merupakan gerakan artistik yang steril.
Dalam bidang seni dan sastra, Lukacs bicara men-genai bentuk (form) yang dianggap sangat menon-jol dan berpengaruh. Sistem kapitalis menurutnya menciptakan pemisahan bidang-bidang kehidupan begitu parahnya dan pemujaan terhadap komodi-tas yang membutakan manusia dari jatidirinya. Dalam Studies in European Realism dan Historical Novel, ia melihat fungsi itu dipenuhi dalam karya-karya penulis realis seperti Shakespeare, Balzac, Tol-stoy dan seniman Yunani kuno. Lukacs sangat ter-pengaruh oleh pikiran Thomas Mann.
bErsambung...
hal
11
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
omong-omong sastra : mempertahankan Tradisi silaturahmi dan berkarya
oleh: m. raudah jambak
Berdasarkan persoalan itu kembali Omong-omong sastra (OOS) diaktifkan kembali. Mengingat usianya yang tidak bisa dikatakan muda lagi (beran-jak 35 tahun), OOS merevitalisasi kembali perso-alan-persoalan sastra yang memang tidak akan per-nah selesai.
Saripuddin lubis pernah menyinggung bahwa Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.
Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu
muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Lang-kat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.
Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang meru-pakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indo-nesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki per-ingkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.
Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-
sasTra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman refer-ensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya. Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanu-siaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.
hal
12 sasTra indonEsia
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tengge-lam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional. Dan akhirnya, Saripuddin lubis menu-turkan bahwa duaribuan kebangkitan sastrawan teru-tama dari yang muda-muda, mulai merambah belan-tara sastra Indonesia.
35 Tahun Omong-Omong Sastra Sumatera UtaraDarwis Rifai Harahap ada menuliskan bahwa di
abad serba digital ini, bahwa banyak penulis-penu-lis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana Sam-suri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam puluh lima tahun.
Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah mengh-adap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar, Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran budaya surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?
Persis seperti yang diungkapkan Darwis Rifai Harahap, penulis menangkap sinyal-sinyal harapan. Bagaimana karya sastra sastrawan muda dapat ber-tahan menembus zaman. Tidak mudah berpuas diri dengan apa yang dihasilkan. Pun tidak langsung tinggi hati dengan satu dua karya yang dilahirkan.
Sastrawan harus terus menyimpan ‘kegelisahan’. Sastrawan harus melahirkan ‘kegelisahan’ itu. Oleh sebab itu, maka OOS yang beranjak 35 tahun ini harus dipertahankan. Ia hadir tidak hanya sebagai ‘rumah’ nostalgia masa lalu, tetapi juga tempat pembelaja-ran kualitas dan kuantitas karya, serta pengasahan mental. Hal ini penting, sebab seperti yang pernah tetulis bahwa karya menyatakan kita kita ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, tetapi kesombongan akan menghancurkannya perlahan.
Terkadang ada yang berfikiran picik, menga-takan bahwa sastra bukan untuk diomongkan, dipertengkarkan, atau kesabaran menikmati segala hidangan nostalgia. Atau segelintir yang lain men-gatakan bahwa belajar tidak harus di Komunitas OOS. Semua terserah kita. Kita adalah makhluk yang bebas. Tetapi, sebagai sebuah kekayaan OOS yang beranjak 35 tahun ini harus kita pertahankan,
walaupun kekisruhan pernah terjadi beberapa kali kepemimpinan.
Jujur, bahwa sampai sekarang komunitas OOS Sumatera Utara yang masih bertahan sampai seka-rang di Indonesia, bahkan dunia, mengingat usian-ya. Melahirkan banyak sastrawan kawakan, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.
Sekarang, bagaimana kita menjadikan OOS adalah milik semua sastrawan, seniman, maupun budayawan Sumatera Utara, bukan milik segelintir orang yang memang kebetulan termasuk sebagai penggagas OOS ini sebelumnya.
Mengingat Herman Ks, NA. Hadian, Rusli A. Malem, Awaluddin Ahmad, Z. Pangaduan Lubis, dll, yang telah berjuang ikut mengharumkan kejayaan sastra Sumatera Utara, maka wajarlah kiranya kita sedikit rendah hati untuk sama-sama peduli seka-ligus ikut andil dengan keberadaan OOS ini tanpa harus mengingat segelintir orang yang sempat ‘menodai’ OOS Sumatera Utara ini.
Dengan berbiaknya komunitas sastra saat ini, seperti KSI (komunitas sastra indonesia) medan, LABSAS, Komunitas Home Poetry, Komunitas Rumah Kata, KOMPAK, KONTAN, KOMISI, juga sebe-lumnya ada FKS, Kedai Sastra Kecil, dll, wajarlah kiranya yang kesemuanya itu saling berbagi ilmu, berbagi wawasan, termasuk saling bersilaturahmi di Omong-Omong Sastra Sumatera Utara.
Juga diakui, tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan walaupun matahari mati berkali-kali ia akan tetap lahir esok pagi. Indah memang kalau kita saling berbagi. Seperti sebuah keluarga ada orangtua yang mengayomi, juga saudara-saudara saling berbagi kasihsayang, walau pertengkaran abang-adik, juga orang tua dan anak, maupun suami-istri, toh tetap tidak akan pernah berhenti, justru itu adalah kekayaan yang harus ada dalam setiap sisi kehidupan.undangan oos di rumah idris sirEgar
Akhirnya, sebagai konsep pembelajaran, setelah ‘pertengkaran’ YS. Rat dan Wika, maka selanjutnya ‘perseteruan’ Hidayat Banjar dan Intan HS, juga ‘kecurigaan’ Yulhasni dengan Wahyu Wiji Astuti kita teruskan mungkin akan disusul oleh Rina mahfuzah dan Azhari untuk pertemuan OOS ke depan. Dan setelah di rumah Hasan Al Banna, maka ‘perseter-uan’ Hidayat banjar dan Intan HS akan kita ‘ram-pungkan, di rumah Idris Siregar tanggal 6 Februari 2011, di tanjuung morawa. Sekaligus mengundang seluruh ninik-mamak, handai-taulan sastrawan, seniman, budayawan, mungkin juga wartawan sebagai saudara untuk ‘melerai’ segala ‘perseteruan’ itu.***(www.sastra-indonesia.com)
hal
13sasTra indonEsia
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
14 sasTra rEligi
reorientasi nilai religius dalam Karya sastra
oleh: ahmad s rumi
Kajian tentang religius dalam kesusas-traan Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru
dalam memformulasikan pengertian religiusi-tas. Kekeliruan yang paling mendasar ialah bah-wa religiusitas sering dibedakan dari agama, sehingga religius dianggap sebagai representa-si sikap orang tidak beragama. Padahal apabila dikaji lebih mendalam, religus sangat koheren dengan agama, keduanya sama-sama berori-entasi pada tindakan penghayatan yang intens terhadap yang Maha Tunggal, yang di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan).
Sesungguhnya pembicaraan mengenai reli-giusitas berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang uni-versal dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kri-tik terhadap kualitas keberagamaan seseorang
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
15sasTra rEligi
di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya.
Sebagai suatu kritik, religiusitas dimaksud-kan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama makin intens. Moljanto dan Sunardi (1990: 208) menyatakan bahwa makin orang religius, hidup orang itu makin nyata (real) atau merasa makin ada dengan hidupnya sendiri. Bagi orang yang beragama, intensitas itu tidak dapat dipisahkan dari keber-hasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Religiusitas disebut sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada di dalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa (Mangunwijaya 1981: 11-15).
Karya sastra sebagai struktur yang kom-pleks, yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan patut kita gali untuk diambil manfaatnya. Sebe-lum kita menggalinya, terlebih dahulu kita har-us mengetahui kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra. Atmosuwito (1987-124) mengemukakan kriteria-kriteria religius sebuah karya sastra: (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada sang pencipta, (2) kehidupan yang penuh kemuliaan, (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, (4) perasaan berdosa, (5) perasaan takut, dan (6) mengakui kebesaran Tuhan. Ada juga kriteria religiusitas sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikber-atkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan.
Jenis ajaran religius itu sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup semua persoalan hidup dan kehidupan, selu-ruh persoalan yang mencakup harkat dan mar-tabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan dapat dibedakan men-jadi: persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, persoalan hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan per-soalan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Tema sebagai ide pokok yang men-dasari sebuah cerita sangat menentukan apakah sebuah cerita itu bersifat religus
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
jenis ajaran religius itu sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup
semua persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia. secara garis besar
persoalan hidup dan kehidupan dapat dibedakan menjadi: persoalan hubungan
manusia dengan diri sendiri, persoalan hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan persoalan
hubungan manusia dengan Tuhannya.
hal
16 sasTra rEligiatau tidak, karena tema ditentukan terlebih dahulu sebelum pengarang tersebut membuat cerita. Menu-rut Aminuddin (1995: 91), tema merupakan ide yang mendasari sesuatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memapar-kan fiksi yang diciptakannya.
Penokohan atau perwatakan dapat dijadikan cerita untuk menentukan apakah karya sastra itu bernilai religus atau tidak, yaitu dengan cara menelusurinya lewat: tuturan pen-garang terhadap karakteristik pelakunya, gambarann yang diberikan pengarangnya lewat gambaran lingkungan kehidu-pannya maupun caranya berpakaian, menunjukkan bagaima-na perilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara ten-tang dirinya sendiri, memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi ter-hadapnya dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
Pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh, cerita yang bersifat ‘memberi tahu’ atau memudah-kan pembaca untuk memahaminya. Nilai religius yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu diuraikan secara langsung (eksplisit). Dalam hal ini pengarang tampak menggurui pembaca. Secara langsung memberikan nasihat atau petuahnya. hal ini dimaksudkan agar pembaca tidak ter-lalu sulit menafsirkan sendiri dengan hasil yang belum tentu pas dengan yang dimaksud oleh pengarang.
Latar (setting) karya sastra juga dapat menunjukkan religiusitasnya. Latar suatu karya sastra yang bernilai reli-gi adalah seluruh keterangan mengenai tempat (ruang), waktu, dan suasana, sebagai lokasi dan situasi di sekitar tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut, menggambar-kan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-amsalah religi atau keagamaan. Begitu juga gaya (style). Gaya berarti cara seseorang pengarang mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalamannya melalui karya sastra yang ditulisnya. Gaya seorang penga-rang dapat diamati melalui bahasa karyanya. Gaya diben-tuk oleh pilihan kata (diksi), ungkapan dan simbol. Gaya bahasa pengarang dalam sebuah novel atau puisi religius, memperlihatkan kepada kita unsur-unsur religiusitasnya dalam pilihan kata yang dipakainya. Misalnya dalam karya: Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, Mustofa Bisrih, Dzawawi Imron, Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Jamal D Rahman, Ahmadun Yosi Herfanda, Abdul Wahid BS, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subanudin Alwih, Soni Farid Maulana, Luk-man A Sya, Hamdi Salad, Ahmad Nurullah, Helvy Tiana Rosa, dan Mathori A Elwa.
Pada karya sastra kita juga akan menemukan pesan apa yang hendak disampaikan pangarang. Jika dalam suatu karya
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
17sasTra rEligi
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
fiksi mengundang dan menawarkan pesan religius, banyak sekali jenis dan wujud ajaran religi yang dapat kita renungkan dan amalkan. Sebuah karya sastra, baik itu roman, novel atau puisi, sering terdapat lebih dari satu pesan reli-gus yang disampaikan, belum lagi dari segi jum-lah maupun jenisnya. Jenis dan wujud pesan religius yang terdapat dalam suatu karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan minat pengarang yang bersangkutan.
Jenis hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci ke dalam detail-detail wujud yang lebih khusus. Sebuah novel atau puisi tentu saja dapat mengandung lebih satu persoalan hidup sekaligus. Dari segi tertentu fiksi dapat dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk menyampai-kan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang sesuatu hal, gagasan, moral, atau amanat. Dalam pengertian ini, karya sastra pun dapat dipandang seba-gai sarana komunikasi. Namun, dibandingkan dengan sarana komunikasi yang lain, baik yang lisan maupun tulisan, karya sastra merupakan salah satu wujud karya seni yang sebagian besar mengembangkan tujuan estetik, tentu-nya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampaikan pesan-pesan religius.
Nurgiantoro (1995: 36) mengungkapkan bahwa secara umum dapat dikatakan bentuk penyampaian nilai dalam fiksi mungkin ber-sifat langsung atau tidak langsung. Pesan reli-gius yang disampaikan secara tidak langsung, biasanya tersirat dalam cerita dan berpadu dengan unsur cerita yang lainnya secara kohe-rensif. Dalam menyampaikan pengarang tidak melakukan secara serta merata, lewat siratan dan terserah pembaca dalam menafsirkannya. Pembaca dapat merenungkannya dan meng-hayatinya secara intensif.
Teknik penyampaian secara tidak lang-sung menampilkan peristiwa-peristiwa, konf-lik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa-peristiwa, baik yang terlibat dalam laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut nilai religius dis-ampaikan.
Pada dasarnya karya sastra adalah wujud represntasi dunia dalam bentuk lambang (kebahasaan). Karena itu, karya sastra merupa-
kan salah satu media yang dapat menjadi salah satu sumber pengalaman estetik yang pada gilirannya akan mengantarkan seseorang untuk men-capai pengalaman reli-gius. Salah satu cara yang dapat dilakukan manusia untuk meraih pengalaman religius adalah dengan menin-gkatkan kepekaannya menangkap simbol atau lambang yang ada di sekelilingnya. Dengan menangkap simbol dan lambang-
lambang itu, manusia akan memperoleh pen-galaman estetik, dan pengalaman estetik itulah yang akan mengarahkan atau membangkitkan pengalaman religius.
Bertolak dari pernyataan di atas, pemahaman terhadap religiusitas dalam karya sastra menja-di sangat begitu penting, tidak terkecuali reli-giusitas dalam kesusastraan Indonesia. Hal ini bukan hanya karena alasan untuk memperoleh pengetahuan tentang religiusitas sastra (Indo-nesia), melainkan juga karena secara pragmatis sebagai suatu gerakan mencari dimensi yang hilang dari religi. Religiusitas merupakan suatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembi-naan dan pendewasaan mental manusia-ma-nusia yang saat ironi dinilai telah mengalami reduksi akibat merebaknya paham rasionalisme dan Materialisme.***(www.publiksastra.net)
*) Penyair dan Esais Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Bandung.
nurgiantoro (1995: 36) mengungkapkan bahwa secara umum dapat dikatakan bentuk penyampaian nilai dalam fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak
langsung. pesan religius yang disampaikan secara tidak langsung, biasanya tersirat dalam cerita dan berpadu dengan unsur
cerita yang lainnya secara koherensif. dalam menyampaikan pengarang tidak melakukan
secara serta merata, lewat siratan dan terserah pembaca dalam menafsirkannya.
pembaca dapat merenungkannya dan menghayatinya secara intensif.
Gila! mungkin kata ini layak dilekatkan dalam komunitas ini. Bagaimana tidak, komunitas ini baru terbentuk di awal bulan Agustus
2010 dan hanya beranggotakan sepuluh orang yang semuanya mahasiswa stambuk 2010 (maha-siswa baru) Unimed. Namun, walau terbilang baru karya para anggota telah tembus di beberapa surat kabar, seperti Medan Bisnis, Analisa dan Was-pada. Inilah terobosan sekaligus kenekadan para mahasiswa yang berprinsip kedewasaan bukan hanya ditentukan dari segi usia, tetapi juga dari segi kematangan berpikirnya. Tetapi kegilaan mer-eka layak kita beri apresiasi. Sebab, keyakinan dan kepercayaan para anggotanya, komunitas ini akan mampu bersaing dalam dunia sastra.
Komunitas Tanpa Nama (Kontan). Ya, inilah nama yang akhirnya di tabalkan untuk kami, meski tanpa
nama. Merupakan komu-nitas yang menampung imaji-imaji kata bagi semua pencinta kata yang lalu merangkainya menjadi sesuatu yang indah. Kami lahir dari rahim pikir punggawa sastra pada 09 Agustus
2010.Walau berusia muda, namun eksistensi dari para penguhuniya telah diapresiasi beberapa media massa, antara lain; Harian Medan Bisnis, Harian Anal-isa, serta Harian Waspada dan sudah ada beberapa karya yang termaktub di beberapa buku antara lain Antologi puisi "Cahaya", Antologi puisi "Kanvas Sas-tra", antologi cerpen "Mah'yang" dan cerita fiksi 300 kata dalam buku "Kampung Horas". “Bumi Indonesia Kami Tercinta” dan baru-baru ini seorang penggagas kontan, Sartika Sari membagi kisah indahnya di Bali, lagi-lagi karena karyanya yang mewakili mahasiswa se-Sumatera Utara. Tidak hanya Sartika Sari, masih ada penggagas dan penghuni di dalamnya yang menghasilkan karya. Ya! Rudiansayah Siregar misal-nya, berulangkali keluar kota karena prestasi meme-nangkan lomba kepenulisan, tanpa biaya sepeser-pun. Winda Sriana saat ini masih berada di Suaraba-ya lagi-lagi bukan karena urusan keluarga melainkan juara menulis esai berbudaya. Berjiwa dengan Kata, Bermakna dengan Karya dan Berkomunitas dengan Keluarga merupakan semboyan yang mendarahdag-ing dalam jiwa-jiwa penghuninya.
Ini satu nama yang tidak asing lagi dalam dunia literasi , SARTIKA SARI. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed ini lahir di Medan pada tanggal
KomuniTashal
18
Penulis: Azizah nur Fitriana
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Komunitas Tanpa nama (KonTan) dalam kacamata Anggota
KOnTAn saat foto bersama sebelum penampilan baca puisi menyambut mahasiswa sastra indonesia mandailing. memakai ulos sebagai ciri khas medan.
BeBeRAPA anggota Kontan saat membacakan puisi.
KomuniTas hal
19
Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa Frasa
1 juni 1992. Saat ini ia bergiat di Komunitas Tanpa Nama. Pernah menjuarai beberapa Perlombaan seperti: Juara I Lomba Puisi Penyair Kota Medan tahun 2010, Juara Harapan III Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian Medan, Juara II Lomba Cipta Pui-si Komunitas Penulis Anak Kampus, Juara favorit Lomba Baca Puisi Rumah Kata, Juara III Lomba Baca Puisi Berpasangan, Juara III Lomba Baca Puisi LKK Unimed, Juara I Lomba Menulis Feature UKM Kreatif Unimed). Sejumlah karyanya (Puisi, Cerpen, Artikel, Cerita Anak) terbit di Media Cetak seperti Waspada, Medan Bisnis, Analisa, Jurnal Medan, Suara Pemba-ruan dan Sinar Harapan. Adapun beberapa karya lainnya telah termaktub dalam Antologi: Cahaya, puisi 53 penyair (Labsas, 2011), Kanvas Sastra,
antologi puisi Mahasiswa Sumatera Utara (Garputa-la, 2011), Kepadamu Pahlawanku, antologi puisi (Bergerak Sastra, 2011), Double Spirit, antologi pui-si (Hasfa Publisher, 2011) dan Dear Love For Kids, antologi cerita anak (Hasfa Publisher, 2011). Selain itu, berkesempatan ia diundang dalam The Second Jakarta International Literray Festival (JilFest).
Ini merupakan kegiatan yang acapkali dilakukan para anggota, pembacaan puisi, musikalisasi puisi atau bahkan pertunjukan puisi. Ah rasanya sudah menjadi kegiatan sehari-hari.***
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unimed. Tercatat seba-gai anggota aktif Komunitas Tanpa Nama (KONTAN).
AnggOTA Kontan saat diundang mengisi acara PAmB Unimed 2012 (Penerimaan Akademik mahasiswa Baru).
KOnTAn saat berbincang sastra atau sharing serta saling memberi masukan.
AnggOTA Kontan angkatan i.
AnggOTA Kontan menyempatkan diri berpose usai pengumuman perlombaan baca puisi di Taman Budaya
Sumatera Utara.
hal
20 CErpEn: agung Yuli Th
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
petrichor*
hal
21
Hujan dan hutan Willow, suasana dan tempat yang sama dimana dia pernah membawaku kemari dua tahun yang lalu. Sampai saat ini, kenangan itu tetap saja bermusim semi dalam ingatanku, meskipun terkadang hati terasa diterpa salju ketika mengingatnya.
Mungkin karena kudengar ‘nyanyian’ hujan, sebuah kerinduan memaksaku mengunjungi hutan ini. Ada yang harus kutuju, di ujung bukit sana; sebuah pohon Willow yang paling besar diantara yang lain disini. Dulu, pada dada pohon itu pernah terbentuk ukiran; sebuah garis berbentuk hati den-gan dua ukiran nama di dalamnya. Namaku dan namanya.
Ingin kuraba lagi salah satu nama yang ada di dalam garis tersebut. Rainzell.
***“Apakah ‘itu’ adalah bentuk ukiran dari perasaan
yang tidak bisa kau ungkap secara verbal?” tan-yaku dengan nada menggoda saat pertama kali ia menunjukkan ukiran tersebut padaku. Dia hanya menjawabnya dengan senyuman. Ya, senyuman, sebuah kebiasaan cueknya yang manis jika ia malas menjawab pertanyaanku.
Senyumnya di hutan ini masih saja hidup.Tentang senyuman, ia pernah berkata
padaku, “senyum adalah sebuah sihir yang mengantarkan kebahagiaan pada hati.” Aku bisa melihat dunia baru dan memiliki harapan yang manis dalam hidupku, saat ia membawa-kan senyumnya padaku dengan sekotak cincin. Hutan ini saksinya.
Sejak saat dia membawaku pada hutan itu, set-iap purnama yang kulihat seperti lingkaran madu. Enam purnama berlalu, doa-doa harapan selalu kupanjatkan menanti purnama yang ketujuh, malam dimana kami akan mengikatkan benang suci pada lembaran hidup kami. Hingga saat sehar-usnya purnama itu muncul, mendung telah lebih
dulu menyembunyikannya dariku. Aku sangat risau. Tetapi dia terlihat tenang. Sangat tenang.
“Ketika tanganmu kosong karena kehilangan, relahkanlah. Percayalah bahwa tuhan akan akan mengisi tanganmu yang kosong dengan pemberi-an-Nya yang lebih indah,” kata Rainzell.
Kata-kata darinya tersebut masih terngiang dalam kepalaku. Sambil tersenyum ia mengatakan-nya kepadaku—saat itu: Saat dimana terakhir kali aku melihatnya menutup mata. Saat waktu mem-buat hujan turun terasa sangat lambat. Dan sebuah kecelakaan telah menjadi jawaban dari kejadian tersebut.
***“Rainzell, namamu adalah hujan,” batinku, saat
meraba ukiran nama pada batang pohon tua itu. Hujan kini telah redah, petrichor telah meme-
luk hutan Willow; meninggalkan aroma wanginya yang basah di antara daun-daun dan rerumputan di hutan ini. Sama halnya dengan dirinya yang menin-ggalkan kenangan dan kisah harum padaku.
*** Rumah,
13 November 2012
*Petrichor: senyawa yang menghasilkan bau wangi yang khas pada tanah, ilalang, dan rerumputan set-elah hujan turun.
*Agung Yuli TH, lahir di Lamongan, Juli 1988. Pecinta music rock yang menyukai ketenangan.
Saat ini aktif bergeliat di Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) Tuban. Untuk bisa menghubungi penulis bisa dilakukan via email dengan nama azhoulee@
yahoo.com atau lewat akun facebook dengan nama Agung Zhou-lee.
CErpEn
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Hujan memiliki kemampuan menghipnotis manusia untuk meresonansi ingatan masa lalu. Tanpa bisa mendapatkan bukti ilmiah, para ilmuan hanya bisa menyimpulkan; di dalam hujan ada lagu yang hanya bisa di dengar oleh mereka yang rindu.
petrichor*
hal
22 puisi indra Ks
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
laron
pada rumah sebentuk goa kau menjelma laron dengan sayap yang mulai sempurna
lalu terbang kepakkan isyarat matangnya usiamencari pasangan dalam kesunyian semestaberharap percintaan paling rahasiaantara adam-hawa
saat takdir mempertemukannyaranggaslah sepasang sayapmereka pun menanam birahiberanak pinak di bawah tanah
Banyumas, 23112012
gula merah
tungku yang selalu berjelaga dari sisa malamsampai senja di retina matamumembawa lelah di sekujur tubuh pada usia yang tak lagi muda
serupa pendaki bukit batukau terus merangkak walau langit tumpahkanbutiran-butiran hujan
“semoga petir tak turun ke bumi,” hanya doamu pada langit yang retaksementara tetesan keringat yang kau kumpulkankian terbakar seperti warna senja
Banyumas, 20102012
Waktu Kuldi
lidahku kian terbenam di bibirmulalu menjelma ronggeng penumbuh nafsupada riuh tetabuhan calung
dua tiga butiran kancing lepasdan lima saudara memaksa masuklalu bemain-main di dua coklatmuyang mulai batu
sehelai kain terjatuh di lantaidua gelombang padat seperti menantangpejantan di puncak mendunglalu hujan pun turun basahi jeram jantungmu
tak puas sampai di situsehelai kain lagi-lagi jatuhtinggalkan tanah basah yang ditumbuhi rerumputan
pada sebidang segitiga sama sisidan perlahan menurun lewati ujung kaki
tak sungkan kumasuki lobang di pangkal pahayang menganga dalam imajinasiku
Banyumas, 21112012
Indra KS, lahir di desa Tanggeran pada 5 Oktober 1989. Tulisannya baru terpublikasikan di Riau Pos,
Satelit Post, Minggu Pagi, dan Majalah ANCAS. Puisi-puisinya juga tergabung dalam antologi : Jembatan
Sajadah (UmaHaju Publisher, 2012), Ayat-ayat Ramadhan (AGP: 2012), dan lain-lain. Saat ini ter-catat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadi-yah Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair
Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK). Bertempat tinggal di Desa Tanggeran, RT. 06 RW. 01, Kec. Somagede,
Kab. Banyumas, Jawa Tengah 53193.
hal
23 EKohm abiYasa puisi
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
malam seorang pejalan jauh
malam adalah tempat persinggahankepala dalam hatidalam simpang perjalananberartikah engkau disisikuseberapa
malam adalah tempat ceritakepalan dalam renunganketika siang adalah buangbuang katasenyum itu memudarkiasan yang memendarsemu belakatahukah engkau, sesakit apa hati?tentang gelisah
pada malam pertanyaanpertanyaanmengekal dalam kolom abadi langittersimpan rapat untuk jejak kesekiandan pagi yang membutakan
malam adalah rupa asap beterbangandupa seorang pejalan jauh yang kelelahanmenanti hujan makna dalam ladang jiwa yang gelisah
Jakal KM 14 Jogja, 19 September 2012
malam Kesekian
malam kesekiankembali menautkan rindu dan kenangandalam kota tua dan sejarah prasasti abjadseperti kota kelahirankufenomena dan penuh cerita
malam kesekian pulanaluri rindu memanggilmanggil namamu
Jakal KM 14 Jogja, 07 Oktober 2012
Ekohm Abiyasa, Penikmat sastra terutama puisi. Karya-karyanya dipublikasikan di Solopos, Suara
Merdeka. Puisinya termaktub dalam antologi ber-sama Requiem bagi Rocker (TBJT, 2012), Ukara Geni
- Wuyung Ketundhung (Pawon Sastra Solo, 2012), Satu Kata - Istimewa (Ombak Yogyakarta, 2012), Dari
Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012).
hal
24 puisi sYaFrizal sahrun
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Kunjungi saja aku lewat doa
aku memang telah pergimelintasi satu pemikiran dan pemikiran laindari satu rasa ke rasa lainnyadari satu kecupan hingga pendurhakaan
oh ya, lihatlah tampangku di tembok sanatembok tinggi yang kau susun dari kerangka-kerangka manusia masa laluyang dindingnya kau cat dengan darah orang-orang masa datangdi situlah tampangku kau pajang empat lengan sebagai bingkai
engkau pernah melukisku bukan?saat aku termenung di dalam kepalamumembelai-belai otakmu karena aku jenuh jadi batu
berikanlah aku senyummu yang seterus terang pungguk pada rembulanjangan kau selipkan diantaranya sembilu, duri atau belatijangan bunuh aku lagi
sebab itupulalah aku pergibukan untuk menjauhtapi untuk memekapmu lebih lekapkepergian tak sekedar keluar
aku tahu, kau selalu mencarikuselalu memanggil-manggil namakutapi sayang, sudah kukatakan aku telah pergikunjungi saja aku lewat doajika rindu telah menderamaka aku akan muncul dari segenap tiada.
Percut, 2012Komunitas Home Poetrydoa para pelupa
ingatkanlah kami kepada ruang yang telah kosongsebelumnya isi telah kami hirup dipusara kedatan-ganketika hujan satu-satu menyentuh bubung hati kami
ingatkanlahterkadang kami lupa akan rasa yang terlalu meng-
godasetelah rasa yang menggoda lainnya bertandang ke kuduk kami
kami ini maha pelupabahkan maha berkata suka yang padahal kami tak paham tentang makna
ingatkanlah kamisetelah mencicipi isiuntuk segera mencuci bentukagar ruang dapur hati kami tak berantakan seperti rumah-rumah para pemalas
teruslah goda kami dengan masa lalulecut kami dengan harapan yang ada di masa datangkami adalah makhluk maha pelupajangan biarkan kami berleha-lehadi tubuh para perawan yang melahirkan kepuasan semudan pada akhirnya kami terkulai dalam penyesalan
maafkan kamiterkadang kami suka mencuri-curi waktu untuk memakimukami suka mengendap-endap menelanjangimuuntuk sekedar berolok-olok bahwa kebebasan ada-lah tujuan kehidupanyang sebenarnya kebabasan tak pernah kami dapat dari kepura-puaraan
4 November 2012Komunitas Home Poetry
Syafrizal Sahrun. Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Berdomisili di desa kelahiran. Mem-
peroleh gelar sarjana dari UISU dan sekarang tengah mengikuti PPs di UMN. Beberapa karya puisi dan esai sastra di muat pada koran Waspada, Analisa, Medan
Bisnis, Mimbar Umum, Haluan Kepri, Lampung Post dan Majalah Horison. Puisinya juga di muat pada
Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi
puisi Menguak Tabir. Bekerja sebagai guru dan dosen. Bergiat di komunitas Home Poetry, KAKTUS
UISU dan Komunitas Insan Sastra Indonesia (KOMISI).
hal
25 bErTo TuKan puisi
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Ketika pagi, Kala menyerah tigapuisihadir di pagigigil“sehelaicelana yang hilangsemalamciumancinta di detikdetikmautjugaanne yang lapar; berlaridengankudanya” —makakitaberandai katawaktu yang malumengungkaprindu— lalutigalaguberbisik di sisirlangit“samasepertikematian di danauKuda yang Terke-kang;Lucy in The Sky mengecup Kierkegaard atauWake Up di sarapanCommandante Marcos,lantasperseteruantari di secangkir kopi” —makakitamenghukum nadamembunuhamadeus yang terlampaujenius— kinitinggaltiga film di epilog ngantukyang banal melombakanbutir air di kaca”mimpiangka 23, Dada membuncahElfrida,danjanganlupakanketakberdandanan Monica Bel-luciIrrevesible” —maka… maka…. maka…..makaragukankukukukudandandanlubanghitam di ujungpucukdaunsadarkenangtakperludibunuh pun puladiungkap— tamuhariiniadalahkemalangan yang terlampaudinimengetukpintudengan nada kresendoditingkaptanpacahaya, jamudiasebatangrokokdansetengahgelas kopi pahitsambilmenantiradiasi sinyaltelekomunikasisambilmenanti denting waktu yang hantusambilmenanti kata katamengambilcutiabadi sajaksajak siang bolong PukulSepuluhSeorangpenyairpernahlelahmenulispuisikarena taklagiadakeindahandibumi. Diatakcintapuisi.Diatakcintabumi.
Bisikkupadakekasihyangtengahmerintih. hiduptetapsajahidupbumitetapsajabumikeindahanbukandarahkehidupankejelekanbukannadikehidupandanmakapuisiadalahnafaskehidupan PukulSepuluh Lima BelasAda orang aryapesakitan.JauhsebelumiabercintadengankudatakmampumenerimakenyataanKetikamenulissebuahkisahMakakisahnyamenjelmaistanaindahSunyidansepiDi cerukotakterdalamnya AkupernahjaditetangganyaItuduluKetikasaputangankupakaimembungkuskelereng Sungguhtakadarumah di kepalaTanpabatu, pasir, semen,KauharusbeliituDi toko material terdekatYang takberalamat di kepalamu PukulSepuluhTigaPuluhKatakatakatanyatakpastiKatakatakatanyaselalulabilKatakatakatanyamembawajejakpurbaKatakatakatanyatakpernahcantikbercerminKatakatakatanya Lantaskitalihatiapergi, hilang, danmenjadikatakata TakadakepurbaandalamnamanyaKarenainitahunduaribuan. PukulSepuluhEmpatlimaSeseorang terperuk dalam nadaketika lewat di depan penjajak dvd bajakan.
Berto Tukan adalah mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta. Selain puisi, menulis cerpen dan essei. Salah satu cerpennya tergabung dalam antologi Bob Mar-ley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809 (Gramedia,
2009). Sedangkan puisinya tergabung dalam Antolo-gi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan
2010. Kini, aktif mengelolah jurnal Problem Filsafat yang mencakup perbincangan filsafat, budaya, dan
seni, selain bergiat di Remotivi.
hal
26 sasTraduKasi
bahasa itu penting. Memilih kata-kata yang pas, sopan, halus dan enak didengar menjadi sangat penting ketika harus berurusan den-
gan orang lain dalam soal apapun. Ketika tidak ada penguasaan yang komplit dalam soal bahasa, maka yang dialami pasti kegagalan. Apalagi orang yang menekuni profesi sebagai diplomat, penggunaan bahasa yang tepat sangat penting dan menentukan keberhasilan dalam mengemban tugasn negara.
Dalam bahasa Indonesia ada yang disebut eufumismus. Maksudnya, penghalusan bahasa. Misalnya kalimat “orang itu gila”. Dihaluskan dalam kalimat “orang itu lemah pikiran”. Sebenarnya sama saja, apa yang disebut gila dan lemah pikiran, hanya lemah pikiran lebih halus dan enak didengar.
Ketika zaman Orba, sering dipakai kata diamank-an. Misalnya, ada yang ditangkap pemerintah, keti-ka dikonfiramsi pers, maka dikatakan pula bahwa orang itu diamankan, tidak dikatakan ditangkap.
pEnghalusan bahasa
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
oleh: usman hasan
hal
27sasTraduKasi
Padahal sudah babak belur dipukuli didalam sel, masih dikatakan diamankan.
Demikian ketika terjadi kelaparan ratusan orang di Papua, pemerintah mengatakan bahwa yang ter-jadi di Papua bukan kelaparan, tapi gizi buruk. Gizi buruk itu bisa terjadi, salah satunya disebabkan sering menahan lapar, sedangkan menahan lapar hampir tidak ada bedanya dengan kelaparan. Sami mawon, kata orang Jawa.
Eufimismus penting dalam komunikasi. Pemer-intah Soekarno sangat berhasil dalam soal yang satu ini. Ketika menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, maka dihimbaulah kepada mereka yang mengangkat senjata melawan saudara sebangsa dan setanah air, Dengan bahasa halus “kembalilah ke pangkuan ibu pertiwi”. Diplomasi bahasa yang dilakukan oleh Soekarno berhasil. Pihak Permesta kemudian mau keluar dari hutan meletakan sen-jata.
Misalnya, dihimbau kepada Permesta supaya menyerah, hampir dapat dipastikan tidak akan dipedulikan, malahan kemungkinan akan bertam-bah melawan. Terlalu kasar dan tidak elok di pen-dengaran. Dengan memakai bahasa “kembalilah kepangkuan ibu pertiwi” terasa pas dan pas di tel-inga. Walaupun tidak ada bedanya yang dimaksud menyerah dengan kembali ke pangkuan ibu per-tiwi.
Iklan dagang menjadi salah satu contoh dima-na kata-kata yang dususun begitu rupa kemudian diiklankan di koran atau televisi menjadi sangat penting. Pada saat perusahaan dagang memilih kata-kata yang pas dan komunikatif dengan publik, maka berapapun biaya iklan yang dikeluarkan pasti akan kembali berlipat ganda dengan laris terjual-nya produk dagang.
Tapi, ketika salah memilih kata-kata yang tepat, bukan keuntungan yang diraih, justru caci maki dan protes dari banyak pihak yang diterima.
Contohnya, ketika iklan bir ditayangkan di tele-visi kemudian mendapat protes keras publik uta-manya tokoh-tokoh agama. Pasalnya, perusahan Bir memasang iklan “jadilah orang modern dengan minum bir”.
Komunikasi yang tidak menguntungkan, justru banyak menimbulkan masalah. Maksudnya hendak menarik konsumen, tapi melakukan komunikkasi tanpa mengkaji dari sisi budaya, agama dan pan-dangan hidup masyarakat.***(www.jendelasas-tra.com)
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
dalam bahasa indonesia ada yang disebut eufumismus. maksudnya, penghalusan
bahasa. misalnya kalimat “orang itu gila”. dihaluskan dalam kalimat “orang itu lemah pikiran”. sebenarnya sama saja, apa yang
disebut gila dan lemah pikiran, hanya lemah pikiran lebih halus dan enak didengar.
hal
28 lEnTEra budaYa
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
KUnTAKhA KhAJA niTi
Kitab RujuKan utama FalsaFah hidup ORang lampung
KunTaKha Khaja Niti merupakan Rujukan Utama falsafah hidup ulun / orang lampung yang secara garis besar membahas 5 (lima)
pokok hidup antara lain :Pi'il PesenggikhiMalu melakukan pekerjaan hina
menurut agama serta memiliki harga diri . Segala sesuatu yangmenyangkut harga diri, prilaku dan sikap hidup yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik danmartabat secara pribadi maupun kelompok yang senantiasa dipertahan
Sakai SambaianGotong Royong, Tolong-meno-
long, bahu membahu, dan saling memberi sesuatu yang diperlukanbagi pihak lain.
Nemui NyimahSaling mengunjungi untuk bersi-laturahmi serta ramah menerima tamu. Bermurah hati dan ramahtamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam kelompoknya maupun terh-adap siapa sajayang berhubungan dengan dengan masyarakat lampung
Nengah NyampukhTata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesediaan membuka diri dalam pergaulan masyarakatumum dan pengetahuan luas.
hal
29lEnTEra budaYa
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa
Bejuluk AdokTata ketentuan pokok yang selalu diikuti dan diwariskan turun temurun dari zaman dahulu.Mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya
Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian perta-ma ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain.
Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab terse-but memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undan-gan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditu-lis dengan sistematis.
Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga perso-alan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung.
Bab II memuat sejarah.Bab III menyebutkan pen-
jelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasat-mata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan keten-tuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab aki-bat suatu perbuatan disebut jugul muda.
Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III. Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII. Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri. Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah. Bab XI memba-has tentang utang. Bab XII tentang gadai dan upah. Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap. Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit per-soalan. Bab XV membicarakan tentang perjanjian.
Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII mem-bahas tentang utang piutang. Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal.
Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berpera-hu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perem-puan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga huku-man yang melanggar peraturan tersebut.(www.budaya-indonesia.org)
hal
30 TEEnliT CErpEn
Merah. Warna berani. Warna kesu-kaanku sejak aku menge-nalnya. Warna yang bisa membuatku bergairah untuk men-jalani hidupku yang sangat nyaman ini. Aku cewek berun-tung yang selama ini tak pernah men-galami suatu permasala-han yang sangat pelik. Aku memiliki apa yang diharapkan oleh semua perempuan. Cerdas, cantik, ramah serta memi-liki orang tua yang kaya. Meskipun aku tak per-nah mau menghabiskan uang orang tuaku untuk berfoya-foya. Sangat tak penting menurutku. Hal itulah yang membuatku selalu bersyukur.
Tak pernah aku berjumpa dengan lelaki sep-erti dia sebelumnya. Ali, cowok biasa tapi sangat menarik perhatianku. Entah kenapa aku ingin selalu
dekat dengan dirinya, meskipun hanya sebagai teman. Kami teman
sekelas di SMA Bakti. Ali anak yang keras kepala dan berbakat dalam
olahraga, khususnya futsal. Aku sering menonton Ali ketika ia bertanding. Entahlah perasaanku ini dibilang apa. Tapi aku bahagia ketika ia menyatakan cinta di hari
ulang tahunku, tiga hari lalu. Bagiku dia merupakan hadiah
terindah.“Wah, yang baru jadian
nih! Jangan lupa, ya, makan-makannya ditunggu lho, Ocha. Hehehe,” ujar Vita usil.
Aku hanya terse-nyum, malu. “Apaan sih? Yang ada itu, kamu doakan
aku sama Ali supaya langgeng.” Aku berharap selamanya
kami akan terus bersama.
Bagaimanapun aku merasa, jika suatu saat nanti datang masalah besar dian-tara kami, kami akan menyelesaikannya dengan dewasa dan memiliki akhir yang bahagia. Aaah, aku terlalu berharap.
***
“Cha, kamu mau kita hari ini jalan kema-na?” tanya Ali seraya
menyodorkan segelas jus mangga kesukaanku. Saat ini kami sedang menikmati soto ayam di salah satu kantin sekolah. Udara Balikpapan yang panas membuatku gerah. Meski flu mendera, aku tetap ingin meminum minuman yang dingin.
Aku membuka mata. Menatap cahaya mentari pagi yang cerah hingga menembus tirai jendela. Cahaya mentari membuatku bersyukur masih bisa hidup hari ini. Warna merah yang menyelimuti dinding kamar selalu dapat menyemangatiku. Dan seketika aku tersadar, aku harus siap menghadapi tantangan yang telah menanti di setiap langkah, meskipun aku tahu tak akan ada tantangan yang dapat membuatku pusing tujuh keliling selama ini.
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
oleh: Elsa malinda
Merah
hal
31TEEnliT CErpEn
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa
“Ehmmm, karokean aja, yok!” Aku sangat suka menyanyi.
“Oke, deh. Tapi kamu flu seperti itu, aku kha-watir kamu tambah sakit. Sebaiknya hari ini kamu istirahat. Aku pasti akan ke rumahmu nanti sore, jad karokeannya nanti saja, tunggu kamu sembuh.” Ali menampakkan wajah cemas. Aku mengangguk. Tiba-tiba Ali menukar jus mangga dengan sebotol air mineral biasa miliknya. Rupanya dia tak suka jika aku meminum minuman dingin saat kondisi tubuhku tak mendukung seperti ini. Ali cowok per-hatian. Itulah yang membuatnya istimewa.
Cinta memang aneh. Aku mulai merasa lebih baik setelah Ali datang ke rumah tadi sore. Yaah, setidaknya sakit kepalaku mereda. Aku merasa beruntung karena Ali memilihku untuk menjadi pacarnya. Meskipun ada tembok besar yang men-ghalangi kami.
Hari Minggu pagi. Aku dan Ali jogging bersama di Lapangan Merdeka. Tempat olahraga paling asyik dan dilengkapi dengan berbagai macam kuliner Indonesia. Usai jogging, kami berhenti di salah satu tenda yang menjual lontong sayur kesu-kaan kami berdua.
*** Lima belas menit lalu aku dihubungi seseorang.
Seseorang yang menjadi bagian terpenting dalam hidup Ali. Seseorang yang akan Ali cintai selama-lamanya. Seseorang yang melahirkan Ali delapan belas tahun lalu. Seseorang yang Ali panggil “Ibu”.
Ya, beliau menghubungiku dan menyuruhku untuk menjauhi putra sulungnya yang sangat ber-harga baginya. Ali yang telah ia banggakan, ternyata telah membuat keputusan yang membuat perih hati. Hubungan kami ditentang pihak keluarga Ali. Kelu-arga Ali tidak menyetujui hubungan antara aku dan dia yang disebabkan oleh perbedaan dasar hidup. Perbedaan kepercayaan. Meskipun masih berstatus pacaran, tetap saja ditentang habis-habisan. Ditam-bah lagi dengan keadaan keluarganya yang sangat taat beragama sehingga tak bisa menerima kehad-iranku di hidup Ali.
“Maafin aku, Cha. Aku yang ceroboh. Saat itu Ibu melihat foto kamu yang kusimpan di lemari. Aku pikir Ibu tak akan pernah menemukannya. Dan sejak itu aku harus menceritakan semua tentang kamu, termasuk status dan perbedaan di antara kita. Aku terlalu mencintaimu. Aku nggak sanggup putus denganmu. Aku janji, bakal keluar dari agama aku dan masalah perbedaan itu tidak akan mengganggu kita lagi. Aku janji, Cha.” Ali memberikan penjelasan mengapa ibunya sampai menghubungiku. Tangan Ali dengan lembut men-gusap rambutku. Aku juga mencintai Ali. Setelah
setahun kujalani ini semua, aku terlalu berharap untuk hal yang tak mungkin terjadi.
“Aku yang harus minta maaf. Aku memang bukan cewek yang tepat untukmu, Ali. Aku yakin kamu bakal menemukan cewek yang sangat mencintaimu suatu hari nanti. Jangan paksakan hubungan ini, aku nggak mau buat ibumu kecewa. Aku rela melepasmu karena itu sebagai bukti aku memang sayang sama kamu. Selamat tinggal, Ali.” Aku segera berlari menuju angkutan kota yang dipenuhi penumpang. Untung saja hari ini hari terakhir ujian nasional. Aku butuh waktu untuk melupakan semua kenangan kami. Tak kuasa aku menahan air mata yang menetes satu per satu. Tanpa dia, aku rapuh.
Tangisku tak bisa berhenti. Dipikiranku hanya ada Ali dan semua yang pernah kulewati bersa-manya. Aku tak menyangka jika masalah percin-taan bisa menjadi sepelik ini. Itulah cinta, bisa sangat menyakitkan apabila kita tidak bisa bersa-ma dengan orang yang kita cintai. Aku menyadari ini semua adalah kesalahanku. Jika aku tahu akhir dari cerita cinta ini, aku tidak akan pernah mau masuk kedalam hidupnya. Membuatnya mencin-taiku merupakan kesalahan terbesar. Aku berusaha untuk menghilang dari kehidupannya. Aku memu-tuskan semua kontak dengan Ali dalam bentuk apapun, termasuk memutuskan untuk melanjut-kan kuliah di Jepang. Itu semua kulakukan agar Ali tak mengingatku lagi dan bisa survive.
***Dulu aku gadis yang sangat bersemangat. Kini,
sejak Ali bukan milikku lagi, aku menjadi pemu-rung dan sering mengurung diri di kamar. Semua sahabat dan keluarga selalu memberi semangat. Tetap saja tak ada yang berhasil membuatku terse-nyum bahagia. Tiba-tiba aku memerhatikan warna merah dinding kamarku. Merah, warna darah. Aku terluka dan sakit. Sakit karena cinta. Tapi merah juga berarti berani. Berani melewati tantangan dalam hidup dan berani bangkit dari keterpuru-kan. Aku terpuruk, tapi bukan berarti untuk sela-manya. Aku terluka, tapi bukan berarti tidak bisa bangkit. Aku harus bangkit. Ya, sudah waktunya bagiku untuk berpikir dewasa dalam menyikapi ini semua. Merah, warnaku. Yang selalu bisa mem-buatku bersemangat kembali dalam keadaan apapun.
Balikpapan, Mei 2011
Elsa Malinda, lahir di Balikpapan, 18 Maret 1994. Karya-karyanya pernah dimuat di Kaltim Pos dan Majalah
Imut
hal
32 TEEnliT puisi
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
beranjak pergi
Pagi-pagi kau berlariMengelilingi lapangan bola kakiHujan terik kau tak peduliKau terus mencariMencari...teman nasi
Kini tunas pucuk ubiKan terus meninggiYang ditinggal si cerdikYang suka memetik
Asqalani = Pucuk Ubi...
Bobby Indra Pulungan. Mahasisa Ilmu Pemerin-tahan (UIR). Menyukai puisi sejak MAN. Baginya puisi
untuk dimengerti.
menggorek batin
embun bertasbihmembasahi dedaunan pohon puisipohon sunyi menanam benih ditanah nalurituhan...Jika hanya sepucuk asa dalam tasbihkudaun - daun kering yang teronggok bila naluri berkata tasbih dalam renungkumerajut asamenggorek batin bagai halilintar menyambar aku terdiam puisi sunyi bersama pohon-pohondari benih yang tertanamhanya jiwa yang damai selalu ku jaga
pekanbaru, 12 november 2012
Ria Dwi Sutriani, Mahasiswi semester 3 Pend. B. Ing-gris Univeritas Islam Riau. Belelajar bersastra di Com-
munity Pena Terbang (COMPETER). Pernah meraih Juara 2 Lomba Cipta Puisi atas puisinya berjudul
“ Bersama buku-buku aku menangis” pada Milad ke-19 AKLaMASI UIR. Juara Harapan I Lomba Guru
Sayap Favorite (GSF) di COMPETER Dunia Nyata.
hal
33TEEnliT puisi
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Thariqat ilalang
Embun bertasbihMembasahi daundahan pohon puisiPohon diriSunyi menanam benih di tanah naluriTuhanAkuMaujud ilalangPada tiap sembahyang labuhMenyembahMuMenganut syari’at anginMerangkum bacaan yang bingungBersilompat mengkhatam raka’atDari baqa ke fanaFana ke baqaBaqa ke fanaFana ke fanaFana ke salamTuhanAkuMaujud ilalangHingga menjejak 26 tahun lebihNuju kematianSembahyangkuMenganut syari’at anginSungkurku limbungSekedar condong kosongSetahap di bawah ruku’Atau sebatas menjungkalSerendah takabburTak-tak lantas-tuntasMenyentuh hampar tanah kehambaanMencumbu hakikat sujudMerajah AhadMuDi alir darah puisi.
TuhanBegini ini sembahyangkuPun hanya untukMu.
Pondokkidul, 12112012
Choyron Baba Muda. Selain suka PUSING; Puisi Singkat, ia juga menyukai komunikasi mengendap-
endam dan diam-diam. Tinggal di Cilacap.
rindu di Tanah usai
Angin menggugurkan daun-daun rindudi tanah cinta usaimencekik leher hatidengan tarian bayangTangan-tangan kenangan menari lemah gemulai
Rasa meretak ngiluterberai kakuAir kalbu menggrogoti sango no kokoro*Karang mengerang…Rapuh Menjulang… Pekanbaru, 30 juli 2012 catatan: * diambil dari bahasa Jepang berarti karang hati
Laura Rafti, kelahiran Kuala Gading 9 April 1991. Belajar tulis di Community Pena Terbang (COMPE-
TER). Juara 3 lomba cipta puisi di Community Pena Terbang, Juara 3 lomba cipta puisi bersempena
dengan “Milad UIR 50 thn”. Puisinya terbit di laman Metro Riau, Koran Cyber dan Al-bratva Blog. Puisinya
termaktub juga dalam Antologi “ Seikat Darah Ukh-wan dalam Mae Kematianku”
hal
34 FiKsimini maKmur hm
“Mama, kalo adek udah becal mau jadi koluptol ya?” kata adik temanku. Usianya masih mengeja abjad dan angkaangka. Belum mengerti pecahan seribu dan seratus ribu. Tapi kreatif, menurutku. Ia bisa mengenal katakata yang sering ditayangkan di beritaberita televisi dengan cepat.
“Ma, kalo adek udah jadi koluptol, telus duit adek banyak, adek mau beli penjala ya?” sambungnya. Si Mama tersenyum. Temanku cuek. Aku terbahakba-hak. Tibatiba sekelompok lelaki datang. Beberapa orang berseragam polisi. Beberapa orang lagi ber-seragam KPK. “Selamat sore, buk, ini surat penang-
kapan suami anda,” kata salah seorang dari mereka. Semua mendadak diam.
Dan…“Holeeeee… Papa jadi beli penjala!!!”
***
Makmur HMPenulis yang sebentar lagi mati, tapi masih saja menco-
ba merangkai mimpimimpi yang belum terpenuhi, menata citacita dengan setetes tinta dan cinta pada dunia sastra.
KOLUPTOL
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
35puisimini
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa
hooooaFh
Dinding kamarku retakBekas gempa malam tadiDalam mimpiku
baraKu rEdup
Datang angin mengipas baraApi menyala membakar nilaDimakan drakulaBerkepala duaAh aku jadi gilaHa ha ha ha
JuMARDI, Bergiat di Alenia I FLP Pekanbaru. Banyak jenis tulisan telah dicobanya dan ber-
hasil menggait beberapa media.
judi
MainkanPutarSekeliling berputarputarTutupSenyum congkak berhamburan.
Pekanbaru, 18 Nov 2012
LILIS SuSAnTI, kelahiran Pasir Pengarayan 09/Okt/’92. “menulis itu bagai menelusur hutan rimba. Semuanya menakjubkan!”
riYadah nYala lilin: Bebek eNeSTe
Aku mau malam iniTak ada bulanApalagi cahayaLampulampu
2012
MAwAIDI D. MAS, Menulis Cerpen dan Puisi. Sesekali bertinta dgn Esai & Resensi. Maha-siswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
hal
36 inspiring
Bercita-cita Jadi Sastrawan Sejak Belia
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
Taufiq Ismail
hal
37inspiring
TauFiq ismail adalah seorang sastrawan senior Indonesia yang dibesarkan di Pekalongan dalam keluarga guru dan wartawan. Karena pengaruh
lingkungan, profesi sebagai guru dan wartawan itu pun juga pernah dilakoninya.
Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD di Yogyakarta, kemudian masa SMP kembali ke Bukittingi. Setelah itu ia melanjutkan SMA di Bogor, dan dengan pilihan sendiri Taufiq memilih jurusan kedokteran hewan di bangku kuliah karena ia ingin memiliki bisnis peternakan untuk menafkahi cita-cita kesusastraannya. Meskipun berhasil menamatkan kuliahnya, akan tetapi Taufiq gagal untuk memiliki sebuah usaha ternak yang pernah ia rencanakan. Pen-didikan singkat lain yang Taufiq tempuh adalah Ameri-can Field Service International School, International Writing Program di University of Iowa, dan di Faculty of Languange and Literature, Mesir.
Sejak kecil, Taufiq sudah suka membaca dan bercita-cita jadi sastrawan ketika masih SMA. Sajak pertamanya bahkan berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah. Sampai saat ini, Taufiq telah menghasilkan puluhan sajak dan puisi, serta beberapa karya terje-mahan. Karya-karya Taufiq pun telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, misalnya Arab, Inggris, Jepang, Jer-man, dan Perancis.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisin-ya di berbagai tempat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membaca-kan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Ia bahkan sempat menulis puisi ketika kasus video Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari beredar. Dibidang musik, Taufik juga mahir menciptakan lagu. Ia bersama Bimbo, Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap menja-lin kerjasama di bidang musik tahun 1974.
Karena menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia sempat batal dikirim untuk studi lanjutan ke Univer-sitas Kentucky dan Florida. Hal itu menyebabkan Tau-fiq dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
Taufiq dilahirkan di Bukittinggi dan menghabiskan masa SD
di Yogyakarta, kemudian masa SMP kembali ke Bukittingi.
Setelah itu ia melanjutkan SMA di Bogor, dan dengan pilihan
sendiri Taufiq memilih jurusan kedokteran hewan di bangku kuliah karena ia ingin memiliki
bisnis peternakan untuk menafkahi cita-cita kesusas-
traannya.
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa
hal
38 inspiring
Namun bagaimanapun, kenyataan terse-but tidak membuatnya putus asa dan berhenti berkarya.
pEndidiKanSekolah Rakyat (Yogyakarta)SMP (Bukittinggi)SMA (Bogor)Fakultas Kedokteran Hewan IPB (tamat 1963)American Field Service International School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS (1956-1957)International Writing Program, Univer-sity of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat
(1971–1972 dan 1991–1992)Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir (1993)
KarirKetua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961)Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962)Asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indo-nesia Bogor dan IPB (1961-1964)Guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962)Guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965)Kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970Bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia mendirikan majalah sastra Horison (1966)Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)Pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM)Pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968)Sekretaris Pelaksana DKJPj. Direktur TIMRektor LPKJ (1968–1978)Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1984-1986)Sekretaris PII Cabang PekalonganPengurus perpustakaan PII, Pekalon-gan (1954-1956)Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina
Antarbudaya (1985)Tahun 1974–1976 ter-pilih sebagai anggota Dewan Penyantun
Board of Trustees AFS International, New York
Manajer Hubungan Luar PT Uni-lever Indonesia (1978-1990)
Anggota Badan Pertimbangan Bahasa,
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
hal
39inspiring
Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pus-taka Aktif sebagai redaktur senior majalah Horison
pEnghargaanKarya:Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)Benteng, Litera (1966)Buku Tamu Musium Perjuangan, Dew-an Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972)Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljan-to), Mizan (1995)Ketika Kata Ketika Warna, Yayasan Ananda (1995)Seulawah-Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara bekerjasama den-gan Pemerintah D.I Aceh (1995)Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (1998)Dari Fansuri ke Handayani, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)Horison Sastra Indonesia, Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2002)Karya Terjemahan:Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam ( d a r i
buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)Penulisan Karya Sastra dari Pusat Baha-sa (1994)Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999)D o c t o r Honoris Causa dari Uni-ver- sitas Negeri Yog-
yakarta (2003)( w w w . p r o f i l .
merdeka.com)
Frasa Edisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]Frasa
hal
40 X-CoVEr
FrasaEdisi 7 Tahun I [Minggu, 30 Desember 2012]
baCa dan doWnload majalah Frasa dihttp://www.majalahfrasa.blogspot.com/
Kirim KarYa anda [email protected]