Majalah_jurnal Rosandy Febrianto (0910710117)

Embed Size (px)

Citation preview

  • HUBUNGAN EKSPRESI ESTROGEN RECEPTOR (ER) TERHADAP STAGING T (TNM)

    PADA PASIEN KANKER PAYUDARA (CA-MAMMAE) DI RUMAH SAKIT SAIFUL

    ANWAR MALANG PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2012

    Karyono Mintaroem*, Dian Hasanah**, Rosandy Febrianto***

    Abstrak

    Seiring dengan kemajuan ilmu dan bukti-bukti yang berkembang secara global, estrogen receptor (ER) kini menjadi salah satu standard baku yang harus diperiksa sebelum dilakukannya pemilihan terapi terhadap pasien kanker payudara (ca-mammae). Pasien ca-mammae dengan status ER(+) akan memiliki respon yang baik terhadap terapi hormonal seperti tamoxifen. Ekspresi ER dapat dilihat dan dihitung melalui pemeriksaan imunohistokimia, yang saat ini masih belum mampu dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi ER terhadap staging T pasien ca-mammae, sehingga diharapkan dapat ditemukannya suatu parameter baru dalam penentuan status ER yang murah, sederhana dan mudah diterapkan. Penelitian ini bersifat cross sectional studi yang dilakukan terhadap 187 data rekam medis pasien ca-mammae yang telah dilakukan pemeriksaan imunohistokimia di RSSA Malang pada periode Januari 2010 Desember 2012. Analisa statistik yang dilakukan pada penelitian ini antara lain menggunakan uji Chi Square dan uji korelasi (Contingency Coefficient, Phi, Cramers, dan Spearman). Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan korelasi positif lemah antara variabel ekspresi ER (positif atau negatif) dengan staging T pada pasien ca-mammae (P=0,048; r=0,202-0,206; N=187). Juga terdapat hubungan korelasi negatif sangat lemah antara status ekspresi ER berdasarkan sensitivitasnya terhadap terapi tamoxifen dengan staging T pada pasien ca-mammae (P=0,024; r=-0,184; N=151). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat korelasi lemah antara ekspresi ER terhadap staging T (TNM) pasien ca-mammae di Rumah Sakit Saiful Anwar periode Januari 2010 - Desember 2012. Kata Kunci : Ca-Mammae, estrogen receptor (ER), staging T, sensitivitas terhadap

    tamoxifen.

    Abstract

    Along with the progress of science and the development of global evidence, recently, estrogen receptor (ER) becomes a gold standard that must be examined prior to the selection of therapies for breast cancer patients. Patients of ca-mammae with the existence of these receptors are more likely to respond positively to hormonal therapy such as tamoxifen. ER expressions can be observed and counted through immunohistochemistry assessment that still has not been affordable for most of the Indonesian people. This study aimed to determine the association of ER expressions and T staging in breast cancer patients, thus we expected to found a new, cheaper, simpler, and easier method to determine ER status. This cross-sectional study was conducted by investigating medical record from 187 breast cancer patients with immunohistochemistry at Saiful Anwar Hospital Malang from January 2010 to December 2012. The statistical analyses used in this study are Chi Square Test and correlation tests (Contingency Coefficient, Phi, Cramers, and Spearman). The result of this study showed that there was a weak correlation between the ER expressions and T staging in breast cancer patients (P=0,048; r=0,202-0,206; N=187). There was also weak negative correlation between ER expressions based on its sensitivity to tamoxifen and T staging in breast cancer patients (P=0,024; r=-0,184; N=151). Based on the result, it can be concluded that there was a weak correlation between ER expressions

  • and T staging (TNM) in breast cancer patients at Saiful Anwar Hospital Malang from January 2010 to December 2012. Key Word : Ca-Mammae, estrogen receptor (ER), T staging, sensitivity to tamoxifen

    * Laboratorium Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    ** Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    *** Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    PENDAHULUAN

    Penyakit kanker masih menjadi

    penyebab utama kematian di seluruh

    dunia saat ini. Berdasarkan WHO,

    diperkirakan sekitar 84 juta orang akan

    meninggal karena kanker dalam kurun

    waktu tahun 2005 sampai 2015 bila tanpa

    dilakukan intervensi.1 Diperkirakan angka

    kematian akibat kanker akan meningkat

    secara signifikan selama tahun-tahun

    mendatang dan akan mencapai sekitar 12

    juta kematian per tahun di seluruh dunia

    pada tahun 2030.2 Kecenderungan ini

    bahkan lebih mencolok di Asia dimana

    jumlah kematian per tahun pada tahun

    2002 sebesar 3,5 juta diperkirakan

    meningkat menjadi 8,1 juta pada tahun

    2020.3 Dan kanker payudara merupakan

    salah satu contoh kanker yang menjadi

    perhatian dunia saat ini karena tingkat

    insiden kanker tersebut yang sangat

    tinggi.4

    Kanker payudara (ca-mammae)

    atau breast cancer adalah neoplasma

    maligna yang berasal dari jaringan epitel

    payudara. Kanker ini merupakan

    carcinoma yang paling sering terjadi pada

    perempuan, dengan estimasi jumlah

    sekitar 22% dari seluruh kanker yang

    diderita oleh perempuan.5 Kanker

    payudara menjadi penyebab utama

    kematian perempuan oleh karena

    carcinoma. Kejadiannya diperkirakan

    mencapai 1.000.000 kasus setiap

    tahunnya di seluruh dunia. Insiden kanker

    payudara di negara Amerika Serikat

    mencapai 100.000 kasus baru yang

    terdiagnosis setiap tahunnya, dan sekitar

    30.000 diantaranya meninggal karena

    penyakit ini.6 Insiden kanker di Indonesia

    sendiri belum dapat diketahui secara

    pasti, disebabkan karena belum adanya

    registrasi kanker berbasis populasi yang

    dilaksanakan. Berdasarkan data Sistem

    Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun

    2007, kanker payudara menempati urutan

    pertama pada pasien rawat inap di seluruh

    RS di Indonesia (16,85%), dan disusul

    dengan kanker leher rahim (11,78%).7 Hal

    ini didukung dengan data yang diperoleh

    Globocan, IARC pada tahun 2008, bahwa

    didapatkan estimasi insidens kanker

    payudara di Indonesia sebesar 36,2 per

    100.000 perempuan, sedangkan angka

    kematian mencapai 18,6 per 100.000

    perempuan.8 Jumlah tersebut merupakan

  • angka kejadian dan kematian kanker

    payudara tertinggi yang diderita oleh

    wanita Indonesia.

    Kanker payudara menjadi salah

    satu masalah utama pada kesehatan

    perempuan di dunia, terutama bagi negara

    berkembang yang mempunyai sumber

    daya terbatas seperti di Indonesia.

    Penyebab utama meningkatnya kanker

    payudara di negara berkembang adalah

    karena kurangnya program penapisan

    yang efektif dengan tujuan untuk

    mendeteksi keadaan sebelum kanker

    maupun kanker pada stadium dini

    termasuk pengobatannya sebelum proses

    invasif yang lebih lanjut.7

    Hal ini dapat dilihat dari proses

    diagnosis klinis pada kanker payudara di

    Indonesia. Diagnosis klinis tumor

    payudara ditentukan dari anamnesa,

    pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

    penunjang. Pemeriksaan penunjang

    bertujuan untuk memberi keterangan

    tambahan serta menentukan tindakan

    definitif. Beberapa pemeriksaan

    penunjang seperti pemeriksaan

    imunohistokimia merupakan salah satu

    Gold Standard Diagnostic Tools kanker

    payudara. Pemeriksaan ini mendeteksi

    hormon reseptor (ER, PR, dan HER-

    2/neu), cathepsin-D serta p53 yang

    nantinya akan digunakan dalam pemilihan

    modalitas terapi kanker payudara.9

    Di negara-negara berkembang

    seperti Amerika dan Eropa, pemeriksaan

    imunohistokimia sudah menjadi

    pemeriksaan penunjang yang wajib

    dilakukan pada setiap penderita kanker

    payudara.10 Tetapi hal ini sangat bertolak

    belakang dengan apa yang terjadi di

    Indonesia. Di Indonesia, pemeriksaan

    imunohistokimia sangat jarang dilakukan

    karena mempunyai banyak kelemahan.

    Untuk melakukan pemeriksaan

    imunohistokimia pasien harus

    mengeluarkan biaya yang jauh lebih

    banyak. Selain itu, pada pemeriksaan ini

    juga dibutuhkan seorang tenaga ahli

    dalam pengoperasian maupun dalam

    pembacaan hasil pemeriksaan. Dan yang

    terakhir, karena dua hal tersebut diatas

    pemeriksaan imunohistokima ini hanya

    dapat dilakukan di rumah sakit tertentu di

    kota-kota besar di Indonesia.

    Karena sangat pentingnya

    pendeteksian ekspresi hormon reseptor

    untuk pemilihan modalitas terapi kanker

    payudara, maka diperlukan suatu metode

    parameter yang murah, sederhana, dan

    mudah untuk diterapkan dalam

    pendeteksian hormon reseptor pada suatu

    kanker payudara tersebut. Atas

    pertimbangan diatas, maka penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui hubungan

    ekspresi hormon reseptor yaitu Estrogen

    Reseptor (ER) terhadap perkembangan

    tumor primer atau staging T (TNM) pada

    kanker payudara (ca mammae). Dan

    diharapkan perkembangan tumor primer

    atau staging T (TNM) menjadi suatu

    parameter dalam menentukan ekspresi

    hormon reseptor khususnya Estrogen

    Reseptor (ER), sehingga dapat

    memudahkan pemilihan modalitas terapi

  • kanker payudara. Selain itu, pasien bebas

    terbebani dari biaya yang harus

    dikeluarkan untuk melakukan

    pemeriksaan immunohistokimia yang

    selama ini dirasa cukup mahal oleh

    masyarakat Indonesia.

    METODE PENELITIAN

    Desain Penelitian. Desain yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah

    deskriptif analitik, yaitu berupa laporan

    khusus yang didapatkan berdasarkan

    studi observasional, dengan fokus

    penelitian pada hubungan ekspresi

    estrogen reseptor (ER) terhadap

    perkembangan tumor primer atau staging

    T (TNM) kanker payudara di Instalasi

    Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Saiful

    Anwar Malang. Penelitian ini dilakukan

    dengan melakukan pencatatan data

    sekunder pada semua penderita kanker

    payudara yang telah dilakukan

    pemeriksaan immunohistokimia dan

    pencatatan staging T kanker ataupun

    ukuran kanker secara macros beserta

    keterangan invasinya, yang nantinya akan

    dikorelasikan dengan ekspresi estrogen

    reseptor (ER), mulai periode Januari 2010

    sampai dengan Desember 2012.

    Besar Sample. Seluruh penderita kanker

    payudara yang telah dilakukan

    pemeriksaan imunohistokimia, serta

    dilakukan pencatatan prosentase ekspresi

    ER dan staging T kanker ataupun ukuran

    kanker secara makroskopik beserta

    keterangan invasinya di Instalasi Patologi

    Anatomi Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar

    Malang periode Januari 2010 sampai

    dengan Desember 2012, yaitu yang

    berjumlah 187 pasien.

    Variabel Penelitian. Sesuai dengan

    tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka

    variabel yang diteliti dalam penelitian ini

    adalah staging T kanker payudara sebagai

    variabel tergantung, dan sebagai variabel

    bebasnya adalah jumlah ekspresi

    estrogen reseptor (ER) pada pemeriksaan

    imunohistokimia kanker payudara di

    Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit

    dr. Saiful Anwar Malang, pada periode

    Januari 2010 sampai dengan Desember

    2012.

    Analisis Data. Dilakukan dalam dua

    pemprosesan data, dimana kedua

    pemprosesan data tersebut dilakukan

    penjabaran hasil distribusi kedua variabel

    dengan menggunakan analisa statistika

    Crosstabs. Sedangkan untuk uji

    hipotesisnya sendiri digunakan berbagai

    metode analisa data yang berbeda-beda

    sesuai dengan tujuan analisa data dan

    jenis variabelnya masing-masing, seperti

    Chi Square Test, maupun penggunaan uji

    korelasi Contingency Coefficient, Phi,

    Cramers V dan Spearman Test. Dalam

    penelitian ini, keseluruhan analisa data

    dan pemprosesan data dilakukan dengan

    menggunakan SPSS 17.0 for Windows

    XP.11

    HASIL PENELITIAN

    Berdasarkan Klasifikasi ER(+) dan ER(-

    ). Pada proses ini didapatkan dua jenis

    variabel kategorikal yang berbeda, yaitu

  • ordinal (staging T) dan nominal (ada atau

    tidaknya ER). Oleh karena itu, dilakukan

    beberapa macam uji korelasi yang

    berbeda, antara lain adalah Contingency

    Coefficient, Phi, dan Cramers V. Selain

    itu, dilakukan Chi Square Test untuk

    menentukan apakah ada hubungan

    diantara variabel yang diteliti. Serta

    dilakukan juga uji deskripsi statistik

    dengan menggunakan Crosstabs Test

    untuk penggolongan data pasien

    berdasarkan variabel-variabel yang telah

    dipilih dalam penelitian.

    Chi Square Test. Nilai P Value pada Chi

    Square Test yang didapatkan adalah

    0,048 (

  • sensitivitas ekspresi estrogen reseptor

    (ER) terhadap terapi tamoxifen). Dalam

    cara pengelompokan ini ER dikategorikan

    dalam 3 macam kelompok, yaitu kelompok

    yang berespon rendah terhadap tamoxifen

    (negatif (-), dan + 10-25%), kelompok

    yang berespon sedang terhadap

    tamoxifen (+ 26-50%), dan kelompok yang

    berespon tinggi terhadap terapi tamoxifen

    (+ >50%).10 Sedangkan untuk variabel

    staging T ca-mammae digolongkan ke

    dalam 4 kelompok, yaitu T1 (ukuran

    kanker 2cm), T2 (ukuran kanker >2cm,

    tetapi 5cm), T3 (ukuran kanker >5cm),

    dan T4 (segala ukuran kanker yang

    menginvasi jaringan sekitar payudara baik

    dinding dada maupun kulit terluar)12.

    Dalam pemprosesan data ini, pertama kali

    dilakukan uji deskripsi statistik dengan

    menggunakan Crosstabs Test untuk

    penggolongan data pasien berdasarkan

    variabel-variabel yang telah dipilih dalam

    penelitian.

    Uji Korelasi Non-Parametrik (Spearman

    Test). Didapatkan nilai signifikansi (P

    value) sebesar 0,024 ( 50%

  • mekanisme yang dapat dijelaskan adalah

    estrogen dapat meningkatkan proliferasi

    dan pertumbuhan sel-sel khusus dalam

    tubuh yang berperan dalam

    perkembangan sebagian besar

    karakteristik kelamin sekunder wanita.13,14

    Estrogen juga memiliki kemampuan untuk

    memodulasi secara langsung ekspresi

    dari cell-cycle regulatory genes (nuclear

    proto-oncogenes) seperti c-myc dan EGF-

    R/c-erbB-2 melalui jalur growth factor

    receptor. Estrogen dapat meningkatkan

    produksi protease seperti pro-cathepsin D,

    sehingga membuat sel tumor semakin

    invasif.15 Sedangkan estrogen reseptor

    (ER) adalah suatu molekul protein yang

    merupakan tempat melekatnya dan

    bekerjanya hormon estrogen pada suatu

    target jaringan tersebut. Estrogen receptor

    (ER) tersebar di dalam sel, yang

    berkontribusi pada aksi estrogen secara

    keseluruhan. ER terletak di dalam

    nukleus, sitoplasma dan mitokondria. Di

    dalam nukleus, estrogen berinteraksi

    dengan ER sehingga menimbulkan

    kaskade aktivitas regulator transkripsi gen.

    Sehingga mempengaruhi perilaku sel atau

    jaringan yang terlibat, seperti aktivitas

    proliferasi yang berlebihan.16 Maka secara

    tidak langsung ER dapat kita gunakan

    sebagai prognostik diagnostik tools dan

    juga sebagai pemilihan modalitas terapi

    pada ca-mammae.

    Hasil distribusi data status ER

    (positif dan negatif) dengan staging T

    (TNM) pada pasien penderita ca-mammae

    yang telah dianalisis menggunakan

    Crosstabs Test menunjukkan bahwa

    sebanyak 136 (72,73%) pasien didiagnosa

    dengan ekspresi ER(+), dan 51 (27,27%)

    pasien dengan ekspresi ER (-). Jumlah

    distribusi ada atau tidaknya ekspresi ER

    tersebut relatif sama dengan distribusi

    data pasien ca-mammae pada penelitian-

    penelitian sebelumnya, dimana ekspresi

    ER(+) dijumpai lebih banyak daripada

    ER(-). Menurut penelitian Pourzand et al.

    (2011), dari jumlah sampel sebanyak 105

    pasien dengan diagnosis ca-mammae

    yang dikumpulkan, 57 (54,3%) pasien

    memiliki status ER(+) dan 48 (45,7%)

    pasien memiliki status ER (-).17

    Sedangkan dalam Simon (2011)

    disampaikan bahwa sekitar 75% kanker

    payudara (ca-mammae) adalah ER(+).18

    Demikian pula sama halnya dengan

    distribusi pasien berdasarkan staging T

    yang telah dianalisis menggunakan

    Crosstabs Test. Dapat kita ketahui

    bersama bahwa ternyata staging T2

    mendominasi jumlah persebaran pasien

    ca-mammae di RSSA pada periode

    Januari 2010 samapai dengan Desember

    2012. Dari 187 jumlah pasien ca-

    mammae, 24 kasus (12,8%) dimasukkan

    ke dalam kategori staging T1, staging T2

    berjumlah 88 kasus (47,1%), staging T3

    berjumlah 38 kasus (20,3%), dan staging

    T4 berjumlah 37 kasus (19,8%). Hal ini

    juga ditemukan pada penelitian Pourzand

    et al. (2011), yang menyatakan bahwa

    staging T2 merupakan staging yang

    mendominasi penderita ca-mammae.17

    Sebanyak 105 sampel penelitian yang

  • diperoleh Pourzand et al. (2011),

    sebanyak 25 kasus (23,8%) dikategorikan

    ke dalam T1, staging T2 sebanyak 48

    kasus (45,7%), staging T3 sebanyak 22

    kasus (21%), dan yang terakhir, staging

    T4 sebanyak 10 kasus (9,5%).17

    Dengan berbekal pada

    pengetahuan tentang aktivitas hormon

    estrogen dan estrogen reseptor yang

    dapat membentuk suatu estrogen respon

    elements yang mempunyai pengaruh

    terhadap akivitas proliferasi yang

    berlebihan serta pengetahuan tentang

    klasifikasi kanker berdasarkan staging T-

    nya, maka peneliti berusaha untuk

    mencari hubungan diantara keduanya

    supaya pada akhirnya dapat ditemukan

    suatu parameter baru dalam penentuan

    status ER yang murah, sederhana, dan

    mudah diaplikasikan. Penelitian yang

    dilakukan oleh Mirunalini et al. (2010)

    secara tidak langsung mendukung hasil

    yang diperoleh dalam penelitian ini.

    Mirunalini et al. (2010) menyatakan bahwa

    adanya estrogen reseptor secara

    signifikan berasosiasi dengan adanya

    aktivasi estrogen response elements yang

    merupakan faktor terjadinya proliferasi

    dan pertumbuhan.19 Pada penelitian

    Pourzand et al. (2011) dan dalam

    pemprosesan data berdasarkan ada atau

    tidaknya ER ini peneliti mendapatkan

    kecenderungan bahwa peningkatan status

    ER(+) berbanding lurus dengan

    peningkatan staging T yang dimulai dari

    staging T1, dan meningkat secara pesat

    pada staging T2, kemudian mengalami

    penurunan pada staging T3 dan T4.17

    Tetapi penurunan tersebut tidak lebih

    rendah dari jumlah pada staging T1. Hal

    ini bisa terjadi karena penggolongan data

    ER yang dirasa kurang tepat, artinya

    penggolongan berdasarkan ER(+) dan

    ER(-) saja belum cukup, tetapi harus ada

    kategori lain yang harus dipertimbangkan

    dalam penggolongannya, misalnya

    penggolongan ER(+) dan ER(-) disertai

    dengan tingkat intensitas pewarnaan

    reseptor sehingga didapatkan data yang

    lebih akurat pada penggolongan tersebut.

    Dari 187 kasus yang telah

    memenuhi kriteria inklusi pada

    pemprosesan data yang pertama,

    didapatkan 151 kasus yang memenuhi

    kriteria inklusi untuk pemprosesan data

    kedua, yaitu berdasarkan kategori

    sensitivitas terhadap terapi tamoxifen.

    Tamoxifen merupakan suatu terapi

    homonal antiestrogen yang bertujuan

    untuk menghentikan aksi hormon estrogen

    dalam proses proliferasi sel kanker

    payudara dengan mekanisme blokade

    estrogen reseptor pada jaringan payudara.

    Tamoxifen tergolong di dalam selective

    estrogen receptor modulators (SERMs),

    yang mekanisme kerjanya memiliki tingkat

    selektifitas dalam memblokade ER pada

    target jaringan yang berbeda-beda.

    Seperti contoh, suatu SERM memblokade

    ER pada sel payudara, tetapi mengaktifasi

    ER pada sel endometrium. Dengan kata

    lain, SERM ini menghambat proliferasi sel

    payudara, tetapi menstimulasi proliferasi

    sel endometrium.20,21

  • KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian ini,

    peneliti dapat menyimpulkan bahwa

    ekspresi estrogen reseptor (ER) memiliki

    hubungan yang lemah dengan staging T

    (dalam TNM) pada pasien ca-mammae,

    sehingga hasil-hasil yang didapat dari

    penelitian ini sepenuhnya belum dapat

    dipertimbangkan sebagai penentuan

    status ER di luar prosedur pemeriksaan

    immunohistokimia dalam upaya pemilihan

    modalitas terapi pada ca-mammae.

    SARAN

    1. Perlu dilakukan penelitian lebih

    lanjut dengan menggunakan

    cakupan sampel yang lebih luas

    lagi. Harapannya adalah faktor

    risiko seperti genetik dan gaya

    hidup dapat lebih bervariasi dan

    dapat lebih merepresentasikan

    populasi yang lebih luas.

    2. Perlu dilakukan penelitian lebih

    lanjut dengan menggunakan

    pengklasifikasian ER yang lebih

    baku, terstruktur dan mempunyai

    standard global maupun lokal.

    Harapannya adalah didapatkannya

    suatu data yang bagus dan dapat

    dipertanggungjawabkan.

    3. Diharapkan tim Instalasi Patologi

    Anatomi dan juga tim klinisi dari

    bagian yang lain dapat

    bekerjasama dengan baik untuk

    melengkapi data rekam medis

    imunohistokimia pasien ca-

    mammae, baik rekam medis

    pasien yang telah disebutkan

    sebelumnya, maupun data rekam

    medis pasien yang akan diisi

    setelah penelitian ini selesai

    dilakukan.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Yulvitrawasih, 2011, Hari Kanker

    Sedunia 2011, (Online),

    (http://www.rsi.co.id/index.php?opti

    on=com_content&view=article&id=

    268:periksa-payudara-

    sendiri&catid=5:artikel-

    kesehatan&Itemid=6, diakses 10

    November 2011).

    2. LHS. 2009. Data WHO 2008:

    Epidemiologi Kanker di Dunia,

    (Online),

    (http://www.kalbefarma.com/?mn=

    news&tipe=detail&detail=20027,

    diakses 22 Desember 2011).

    3. Jemal, Ahmedin, Freddie Bray,

    Melissa M. Center, Jacques

    Ferlay, Elizabeth Ward & David

    Forman. 2011. Global Cancer

    Statistics. CA: A Cancer Journal

    for Clinicians; 61:69-90.

    4. McPherson, K., Steel CM., Dixon

    JM.. 2000. ABC of Breast Disease:

    Breast Cancer-Epidemiology, Risk

    Factor, and Genetics. British

    Medical Journal, (321):624-628.

    5. Ellis, I. O., S.J Schniit, X. Sastre-

    Garau, G. Bussolati, V. Eusebi,

    J.L. Peterse, K. Mukai, L. Tabar, J.

    Jacquemier, & C.J. Cornelisse.

    2011. Invasive Breast Carcinoma.

  • Dalam Tavassoli, Fattaneh A. &

    Peter Devilee (Eds.), The WHO

    Classification: Pathology &

    Genetics, Tumours of the Breast

    and Female Genital Organs. Lyon:

    IARC.

    6. Rosai, Juan. 2011. Breast. Dalam

    Rosai & Ackermans, Surgical

    Pathology: Tenth Edition, Volume

    2. Amsterdam: Elsevier.

    7. Surat Keputusan Menteri

    Kesehatan Republik Indonesia

    nomor 796 tahun 2010 Tentang

    Pedoman Teknis Pengendalian

    Kanker Payudara dan Kanker

    Leher Rahim. 2010. Jakarta:

    Menteri Kesehatan.

    8. IARC. 2008. Globocan 2008 Fast

    Stats: Indonesia, (Online),

    (http://globocan.iarc.fr/factsheet.as

    p, diakses 29 Desember 2011).

    9. Ramli, Muchlis, Azamris,

    Burmansyah, Djoko Dlidir, Djoko

    Handojo, Drajat R. Suardi, Eddy H.

    Tanggo, I.B. Tjakra W. Manuaba,

    Idral Darwis, Teguh Aryandono,

    Zafiral Azdi Albar. 2003. Kanker

    Payudara. Dalam Protokol

    PERABOI 2003: Protokol

    Penatalaksanaan Kanker

    Payudara. Jakarta.

    10. Jasani, Bharat, Anthony Douglas-

    Jones, Anthony Rhodes, Susan

    Wozniak, Peter J. Barrett-Lee,

    Julia Gee & Robert Nicholson.

    2006. Measurement of Estrogen

    Receptor Status by

    Immunocytochemistry in Paraffin

    Wax Section. Dalam Susan A.

    Brooks & Adrian Harris (Eds.),

    Breast Cancer Research

    Protocols: Methods in Molecular

    Medicine. Totowa: Humana Press

    Inc.. p. 127-146.

    11. Dahlan, Sopiyudin. 2009. Seri

    Evidence Based Medicine (Seri 1):

    Statistika untuk Kedokteran dan

    Kesehatan Deskriptif, Bivariat,

    dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi

    dengna Menggunakan SPSS.

    Jakarta Selatan: Salemba Medika.

    12. American Joint Committee on

    Cancer. 2010. Breast. Dalam

    AJCC Cancer Staging Manual:

    Seventh Edition. New York:

    Springer. p. 347-369.

    13. Britt, K., Razavi Y., Hawthorne S.,

    & Risbridger G.. 2011. Estrogen

    Receptor Subtype Expression

    Mediates Breast Cancer Risk Via

    Breast Epithelial Cell Proliferation.

    Endocrine Reviews, 32(3):1-64.

    14. Guyton, AC., & Hall JE.. 2006.

    Textbook of Medical Physiology:

    Eleventh Edition. Philadelphia:

    Elsevier.

    15. Ray, A., & Mitra AB.. 2003.

    Estrogen and Breast Cancer.

    Indian Council of Medical

    Research Bulletin, 2(33):14-24.

    16. Levin, Ellis R.. 2005. Integration of

    the Extranuclear and Nuclear

    Actions of Estrogen. Mol

    Endocrinol, 19(8): 1951-1959.

  • 17. Pourzand, Ali, M. Bassir A.

    Fakhree, Shahryar Hashemzadeh,

    Monireh Halimi & Amir Daryani.

    2011. Hormone Receptor Status in

    Breast Cancer and its Relation to

    Age and Other Prognostic Factors.

    Breast Cancer: Basic and Clinical

    Research 2011. Libertas

    Academica Ltd, 5: 87-92

    18. Simon, Harvey. 2011. Breast

    Cancer. New York Times, (Online).

    (health.nytimes.com/health/guides/

    disease/breast-

    cancer/prognosis.html, diakses 17

    Februari 2013).

    19. Mirunalini, S., G. Dhamodharan, K.

    Karthishwaran & G. Sugunadevi.

    2010. Correlation of Estrogen and

    Progesterone Receptors Status

    with the Grade and Type of Breast

    Cancer. Research Journal of

    Agriculture and Biological

    Sciences, 6(3): 199-203.

    20. Wax, Arnold. 2011. Hormon

    Treatments for Breast Cancer,

    (Online).(www.webmd.com/breast-

    cancer/hormone-treatments-facts,

    diakses 17 Februari 2013).

    21. Martin, Laura J.. 2012. Stage II

    Breast Cancer Treatment Options,

    (Online),(www.webmd.com/breast-

    cancer/stage-2-treatment-options,

    diakses 17 Februari 2013).