Upload
farida-dyah
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN EKSPRESI ESTROGEN RECEPTOR (ER) TERHADAP STAGING T (TNM)
PADA PASIEN KANKER PAYUDARA (CA-MAMMAE) DI RUMAH SAKIT SAIFUL
ANWAR MALANG PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2012
Karyono Mintaroem*, Dian Hasanah**, Rosandy Febrianto***
Abstrak
Seiring dengan kemajuan ilmu dan bukti-bukti yang berkembang secara global, estrogen receptor (ER) kini menjadi salah satu standard baku yang harus diperiksa sebelum dilakukannya pemilihan terapi terhadap pasien kanker payudara (ca-mammae). Pasien ca-mammae dengan status ER(+) akan memiliki respon yang baik terhadap terapi hormonal seperti tamoxifen. Ekspresi ER dapat dilihat dan dihitung melalui pemeriksaan imunohistokimia, yang saat ini masih belum mampu dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi ER terhadap staging T pasien ca-mammae, sehingga diharapkan dapat ditemukannya suatu parameter baru dalam penentuan status ER yang murah, sederhana dan mudah diterapkan. Penelitian ini bersifat cross sectional studi yang dilakukan terhadap 187 data rekam medis pasien ca-mammae yang telah dilakukan pemeriksaan imunohistokimia di RSSA Malang pada periode Januari 2010 Desember 2012. Analisa statistik yang dilakukan pada penelitian ini antara lain menggunakan uji Chi Square dan uji korelasi (Contingency Coefficient, Phi, Cramers, dan Spearman). Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan korelasi positif lemah antara variabel ekspresi ER (positif atau negatif) dengan staging T pada pasien ca-mammae (P=0,048; r=0,202-0,206; N=187). Juga terdapat hubungan korelasi negatif sangat lemah antara status ekspresi ER berdasarkan sensitivitasnya terhadap terapi tamoxifen dengan staging T pada pasien ca-mammae (P=0,024; r=-0,184; N=151). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat korelasi lemah antara ekspresi ER terhadap staging T (TNM) pasien ca-mammae di Rumah Sakit Saiful Anwar periode Januari 2010 - Desember 2012. Kata Kunci : Ca-Mammae, estrogen receptor (ER), staging T, sensitivitas terhadap
tamoxifen.
Abstract
Along with the progress of science and the development of global evidence, recently, estrogen receptor (ER) becomes a gold standard that must be examined prior to the selection of therapies for breast cancer patients. Patients of ca-mammae with the existence of these receptors are more likely to respond positively to hormonal therapy such as tamoxifen. ER expressions can be observed and counted through immunohistochemistry assessment that still has not been affordable for most of the Indonesian people. This study aimed to determine the association of ER expressions and T staging in breast cancer patients, thus we expected to found a new, cheaper, simpler, and easier method to determine ER status. This cross-sectional study was conducted by investigating medical record from 187 breast cancer patients with immunohistochemistry at Saiful Anwar Hospital Malang from January 2010 to December 2012. The statistical analyses used in this study are Chi Square Test and correlation tests (Contingency Coefficient, Phi, Cramers, and Spearman). The result of this study showed that there was a weak correlation between the ER expressions and T staging in breast cancer patients (P=0,048; r=0,202-0,206; N=187). There was also weak negative correlation between ER expressions based on its sensitivity to tamoxifen and T staging in breast cancer patients (P=0,024; r=-0,184; N=151). Based on the result, it can be concluded that there was a weak correlation between ER expressions
and T staging (TNM) in breast cancer patients at Saiful Anwar Hospital Malang from January 2010 to December 2012. Key Word : Ca-Mammae, estrogen receptor (ER), T staging, sensitivity to tamoxifen
* Laboratorium Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
** Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
*** Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
PENDAHULUAN
Penyakit kanker masih menjadi
penyebab utama kematian di seluruh
dunia saat ini. Berdasarkan WHO,
diperkirakan sekitar 84 juta orang akan
meninggal karena kanker dalam kurun
waktu tahun 2005 sampai 2015 bila tanpa
dilakukan intervensi.1 Diperkirakan angka
kematian akibat kanker akan meningkat
secara signifikan selama tahun-tahun
mendatang dan akan mencapai sekitar 12
juta kematian per tahun di seluruh dunia
pada tahun 2030.2 Kecenderungan ini
bahkan lebih mencolok di Asia dimana
jumlah kematian per tahun pada tahun
2002 sebesar 3,5 juta diperkirakan
meningkat menjadi 8,1 juta pada tahun
2020.3 Dan kanker payudara merupakan
salah satu contoh kanker yang menjadi
perhatian dunia saat ini karena tingkat
insiden kanker tersebut yang sangat
tinggi.4
Kanker payudara (ca-mammae)
atau breast cancer adalah neoplasma
maligna yang berasal dari jaringan epitel
payudara. Kanker ini merupakan
carcinoma yang paling sering terjadi pada
perempuan, dengan estimasi jumlah
sekitar 22% dari seluruh kanker yang
diderita oleh perempuan.5 Kanker
payudara menjadi penyebab utama
kematian perempuan oleh karena
carcinoma. Kejadiannya diperkirakan
mencapai 1.000.000 kasus setiap
tahunnya di seluruh dunia. Insiden kanker
payudara di negara Amerika Serikat
mencapai 100.000 kasus baru yang
terdiagnosis setiap tahunnya, dan sekitar
30.000 diantaranya meninggal karena
penyakit ini.6 Insiden kanker di Indonesia
sendiri belum dapat diketahui secara
pasti, disebabkan karena belum adanya
registrasi kanker berbasis populasi yang
dilaksanakan. Berdasarkan data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2007, kanker payudara menempati urutan
pertama pada pasien rawat inap di seluruh
RS di Indonesia (16,85%), dan disusul
dengan kanker leher rahim (11,78%).7 Hal
ini didukung dengan data yang diperoleh
Globocan, IARC pada tahun 2008, bahwa
didapatkan estimasi insidens kanker
payudara di Indonesia sebesar 36,2 per
100.000 perempuan, sedangkan angka
kematian mencapai 18,6 per 100.000
perempuan.8 Jumlah tersebut merupakan
angka kejadian dan kematian kanker
payudara tertinggi yang diderita oleh
wanita Indonesia.
Kanker payudara menjadi salah
satu masalah utama pada kesehatan
perempuan di dunia, terutama bagi negara
berkembang yang mempunyai sumber
daya terbatas seperti di Indonesia.
Penyebab utama meningkatnya kanker
payudara di negara berkembang adalah
karena kurangnya program penapisan
yang efektif dengan tujuan untuk
mendeteksi keadaan sebelum kanker
maupun kanker pada stadium dini
termasuk pengobatannya sebelum proses
invasif yang lebih lanjut.7
Hal ini dapat dilihat dari proses
diagnosis klinis pada kanker payudara di
Indonesia. Diagnosis klinis tumor
payudara ditentukan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang
bertujuan untuk memberi keterangan
tambahan serta menentukan tindakan
definitif. Beberapa pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan
imunohistokimia merupakan salah satu
Gold Standard Diagnostic Tools kanker
payudara. Pemeriksaan ini mendeteksi
hormon reseptor (ER, PR, dan HER-
2/neu), cathepsin-D serta p53 yang
nantinya akan digunakan dalam pemilihan
modalitas terapi kanker payudara.9
Di negara-negara berkembang
seperti Amerika dan Eropa, pemeriksaan
imunohistokimia sudah menjadi
pemeriksaan penunjang yang wajib
dilakukan pada setiap penderita kanker
payudara.10 Tetapi hal ini sangat bertolak
belakang dengan apa yang terjadi di
Indonesia. Di Indonesia, pemeriksaan
imunohistokimia sangat jarang dilakukan
karena mempunyai banyak kelemahan.
Untuk melakukan pemeriksaan
imunohistokimia pasien harus
mengeluarkan biaya yang jauh lebih
banyak. Selain itu, pada pemeriksaan ini
juga dibutuhkan seorang tenaga ahli
dalam pengoperasian maupun dalam
pembacaan hasil pemeriksaan. Dan yang
terakhir, karena dua hal tersebut diatas
pemeriksaan imunohistokima ini hanya
dapat dilakukan di rumah sakit tertentu di
kota-kota besar di Indonesia.
Karena sangat pentingnya
pendeteksian ekspresi hormon reseptor
untuk pemilihan modalitas terapi kanker
payudara, maka diperlukan suatu metode
parameter yang murah, sederhana, dan
mudah untuk diterapkan dalam
pendeteksian hormon reseptor pada suatu
kanker payudara tersebut. Atas
pertimbangan diatas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan
ekspresi hormon reseptor yaitu Estrogen
Reseptor (ER) terhadap perkembangan
tumor primer atau staging T (TNM) pada
kanker payudara (ca mammae). Dan
diharapkan perkembangan tumor primer
atau staging T (TNM) menjadi suatu
parameter dalam menentukan ekspresi
hormon reseptor khususnya Estrogen
Reseptor (ER), sehingga dapat
memudahkan pemilihan modalitas terapi
kanker payudara. Selain itu, pasien bebas
terbebani dari biaya yang harus
dikeluarkan untuk melakukan
pemeriksaan immunohistokimia yang
selama ini dirasa cukup mahal oleh
masyarakat Indonesia.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitik, yaitu berupa laporan
khusus yang didapatkan berdasarkan
studi observasional, dengan fokus
penelitian pada hubungan ekspresi
estrogen reseptor (ER) terhadap
perkembangan tumor primer atau staging
T (TNM) kanker payudara di Instalasi
Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Saiful
Anwar Malang. Penelitian ini dilakukan
dengan melakukan pencatatan data
sekunder pada semua penderita kanker
payudara yang telah dilakukan
pemeriksaan immunohistokimia dan
pencatatan staging T kanker ataupun
ukuran kanker secara macros beserta
keterangan invasinya, yang nantinya akan
dikorelasikan dengan ekspresi estrogen
reseptor (ER), mulai periode Januari 2010
sampai dengan Desember 2012.
Besar Sample. Seluruh penderita kanker
payudara yang telah dilakukan
pemeriksaan imunohistokimia, serta
dilakukan pencatatan prosentase ekspresi
ER dan staging T kanker ataupun ukuran
kanker secara makroskopik beserta
keterangan invasinya di Instalasi Patologi
Anatomi Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar
Malang periode Januari 2010 sampai
dengan Desember 2012, yaitu yang
berjumlah 187 pasien.
Variabel Penelitian. Sesuai dengan
tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka
variabel yang diteliti dalam penelitian ini
adalah staging T kanker payudara sebagai
variabel tergantung, dan sebagai variabel
bebasnya adalah jumlah ekspresi
estrogen reseptor (ER) pada pemeriksaan
imunohistokimia kanker payudara di
Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit
dr. Saiful Anwar Malang, pada periode
Januari 2010 sampai dengan Desember
2012.
Analisis Data. Dilakukan dalam dua
pemprosesan data, dimana kedua
pemprosesan data tersebut dilakukan
penjabaran hasil distribusi kedua variabel
dengan menggunakan analisa statistika
Crosstabs. Sedangkan untuk uji
hipotesisnya sendiri digunakan berbagai
metode analisa data yang berbeda-beda
sesuai dengan tujuan analisa data dan
jenis variabelnya masing-masing, seperti
Chi Square Test, maupun penggunaan uji
korelasi Contingency Coefficient, Phi,
Cramers V dan Spearman Test. Dalam
penelitian ini, keseluruhan analisa data
dan pemprosesan data dilakukan dengan
menggunakan SPSS 17.0 for Windows
XP.11
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan Klasifikasi ER(+) dan ER(-
). Pada proses ini didapatkan dua jenis
variabel kategorikal yang berbeda, yaitu
ordinal (staging T) dan nominal (ada atau
tidaknya ER). Oleh karena itu, dilakukan
beberapa macam uji korelasi yang
berbeda, antara lain adalah Contingency
Coefficient, Phi, dan Cramers V. Selain
itu, dilakukan Chi Square Test untuk
menentukan apakah ada hubungan
diantara variabel yang diteliti. Serta
dilakukan juga uji deskripsi statistik
dengan menggunakan Crosstabs Test
untuk penggolongan data pasien
berdasarkan variabel-variabel yang telah
dipilih dalam penelitian.
Chi Square Test. Nilai P Value pada Chi
Square Test yang didapatkan adalah
0,048 (
sensitivitas ekspresi estrogen reseptor
(ER) terhadap terapi tamoxifen). Dalam
cara pengelompokan ini ER dikategorikan
dalam 3 macam kelompok, yaitu kelompok
yang berespon rendah terhadap tamoxifen
(negatif (-), dan + 10-25%), kelompok
yang berespon sedang terhadap
tamoxifen (+ 26-50%), dan kelompok yang
berespon tinggi terhadap terapi tamoxifen
(+ >50%).10 Sedangkan untuk variabel
staging T ca-mammae digolongkan ke
dalam 4 kelompok, yaitu T1 (ukuran
kanker 2cm), T2 (ukuran kanker >2cm,
tetapi 5cm), T3 (ukuran kanker >5cm),
dan T4 (segala ukuran kanker yang
menginvasi jaringan sekitar payudara baik
dinding dada maupun kulit terluar)12.
Dalam pemprosesan data ini, pertama kali
dilakukan uji deskripsi statistik dengan
menggunakan Crosstabs Test untuk
penggolongan data pasien berdasarkan
variabel-variabel yang telah dipilih dalam
penelitian.
Uji Korelasi Non-Parametrik (Spearman
Test). Didapatkan nilai signifikansi (P
value) sebesar 0,024 ( 50%
mekanisme yang dapat dijelaskan adalah
estrogen dapat meningkatkan proliferasi
dan pertumbuhan sel-sel khusus dalam
tubuh yang berperan dalam
perkembangan sebagian besar
karakteristik kelamin sekunder wanita.13,14
Estrogen juga memiliki kemampuan untuk
memodulasi secara langsung ekspresi
dari cell-cycle regulatory genes (nuclear
proto-oncogenes) seperti c-myc dan EGF-
R/c-erbB-2 melalui jalur growth factor
receptor. Estrogen dapat meningkatkan
produksi protease seperti pro-cathepsin D,
sehingga membuat sel tumor semakin
invasif.15 Sedangkan estrogen reseptor
(ER) adalah suatu molekul protein yang
merupakan tempat melekatnya dan
bekerjanya hormon estrogen pada suatu
target jaringan tersebut. Estrogen receptor
(ER) tersebar di dalam sel, yang
berkontribusi pada aksi estrogen secara
keseluruhan. ER terletak di dalam
nukleus, sitoplasma dan mitokondria. Di
dalam nukleus, estrogen berinteraksi
dengan ER sehingga menimbulkan
kaskade aktivitas regulator transkripsi gen.
Sehingga mempengaruhi perilaku sel atau
jaringan yang terlibat, seperti aktivitas
proliferasi yang berlebihan.16 Maka secara
tidak langsung ER dapat kita gunakan
sebagai prognostik diagnostik tools dan
juga sebagai pemilihan modalitas terapi
pada ca-mammae.
Hasil distribusi data status ER
(positif dan negatif) dengan staging T
(TNM) pada pasien penderita ca-mammae
yang telah dianalisis menggunakan
Crosstabs Test menunjukkan bahwa
sebanyak 136 (72,73%) pasien didiagnosa
dengan ekspresi ER(+), dan 51 (27,27%)
pasien dengan ekspresi ER (-). Jumlah
distribusi ada atau tidaknya ekspresi ER
tersebut relatif sama dengan distribusi
data pasien ca-mammae pada penelitian-
penelitian sebelumnya, dimana ekspresi
ER(+) dijumpai lebih banyak daripada
ER(-). Menurut penelitian Pourzand et al.
(2011), dari jumlah sampel sebanyak 105
pasien dengan diagnosis ca-mammae
yang dikumpulkan, 57 (54,3%) pasien
memiliki status ER(+) dan 48 (45,7%)
pasien memiliki status ER (-).17
Sedangkan dalam Simon (2011)
disampaikan bahwa sekitar 75% kanker
payudara (ca-mammae) adalah ER(+).18
Demikian pula sama halnya dengan
distribusi pasien berdasarkan staging T
yang telah dianalisis menggunakan
Crosstabs Test. Dapat kita ketahui
bersama bahwa ternyata staging T2
mendominasi jumlah persebaran pasien
ca-mammae di RSSA pada periode
Januari 2010 samapai dengan Desember
2012. Dari 187 jumlah pasien ca-
mammae, 24 kasus (12,8%) dimasukkan
ke dalam kategori staging T1, staging T2
berjumlah 88 kasus (47,1%), staging T3
berjumlah 38 kasus (20,3%), dan staging
T4 berjumlah 37 kasus (19,8%). Hal ini
juga ditemukan pada penelitian Pourzand
et al. (2011), yang menyatakan bahwa
staging T2 merupakan staging yang
mendominasi penderita ca-mammae.17
Sebanyak 105 sampel penelitian yang
diperoleh Pourzand et al. (2011),
sebanyak 25 kasus (23,8%) dikategorikan
ke dalam T1, staging T2 sebanyak 48
kasus (45,7%), staging T3 sebanyak 22
kasus (21%), dan yang terakhir, staging
T4 sebanyak 10 kasus (9,5%).17
Dengan berbekal pada
pengetahuan tentang aktivitas hormon
estrogen dan estrogen reseptor yang
dapat membentuk suatu estrogen respon
elements yang mempunyai pengaruh
terhadap akivitas proliferasi yang
berlebihan serta pengetahuan tentang
klasifikasi kanker berdasarkan staging T-
nya, maka peneliti berusaha untuk
mencari hubungan diantara keduanya
supaya pada akhirnya dapat ditemukan
suatu parameter baru dalam penentuan
status ER yang murah, sederhana, dan
mudah diaplikasikan. Penelitian yang
dilakukan oleh Mirunalini et al. (2010)
secara tidak langsung mendukung hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini.
Mirunalini et al. (2010) menyatakan bahwa
adanya estrogen reseptor secara
signifikan berasosiasi dengan adanya
aktivasi estrogen response elements yang
merupakan faktor terjadinya proliferasi
dan pertumbuhan.19 Pada penelitian
Pourzand et al. (2011) dan dalam
pemprosesan data berdasarkan ada atau
tidaknya ER ini peneliti mendapatkan
kecenderungan bahwa peningkatan status
ER(+) berbanding lurus dengan
peningkatan staging T yang dimulai dari
staging T1, dan meningkat secara pesat
pada staging T2, kemudian mengalami
penurunan pada staging T3 dan T4.17
Tetapi penurunan tersebut tidak lebih
rendah dari jumlah pada staging T1. Hal
ini bisa terjadi karena penggolongan data
ER yang dirasa kurang tepat, artinya
penggolongan berdasarkan ER(+) dan
ER(-) saja belum cukup, tetapi harus ada
kategori lain yang harus dipertimbangkan
dalam penggolongannya, misalnya
penggolongan ER(+) dan ER(-) disertai
dengan tingkat intensitas pewarnaan
reseptor sehingga didapatkan data yang
lebih akurat pada penggolongan tersebut.
Dari 187 kasus yang telah
memenuhi kriteria inklusi pada
pemprosesan data yang pertama,
didapatkan 151 kasus yang memenuhi
kriteria inklusi untuk pemprosesan data
kedua, yaitu berdasarkan kategori
sensitivitas terhadap terapi tamoxifen.
Tamoxifen merupakan suatu terapi
homonal antiestrogen yang bertujuan
untuk menghentikan aksi hormon estrogen
dalam proses proliferasi sel kanker
payudara dengan mekanisme blokade
estrogen reseptor pada jaringan payudara.
Tamoxifen tergolong di dalam selective
estrogen receptor modulators (SERMs),
yang mekanisme kerjanya memiliki tingkat
selektifitas dalam memblokade ER pada
target jaringan yang berbeda-beda.
Seperti contoh, suatu SERM memblokade
ER pada sel payudara, tetapi mengaktifasi
ER pada sel endometrium. Dengan kata
lain, SERM ini menghambat proliferasi sel
payudara, tetapi menstimulasi proliferasi
sel endometrium.20,21
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini,
peneliti dapat menyimpulkan bahwa
ekspresi estrogen reseptor (ER) memiliki
hubungan yang lemah dengan staging T
(dalam TNM) pada pasien ca-mammae,
sehingga hasil-hasil yang didapat dari
penelitian ini sepenuhnya belum dapat
dipertimbangkan sebagai penentuan
status ER di luar prosedur pemeriksaan
immunohistokimia dalam upaya pemilihan
modalitas terapi pada ca-mammae.
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan menggunakan
cakupan sampel yang lebih luas
lagi. Harapannya adalah faktor
risiko seperti genetik dan gaya
hidup dapat lebih bervariasi dan
dapat lebih merepresentasikan
populasi yang lebih luas.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan menggunakan
pengklasifikasian ER yang lebih
baku, terstruktur dan mempunyai
standard global maupun lokal.
Harapannya adalah didapatkannya
suatu data yang bagus dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Diharapkan tim Instalasi Patologi
Anatomi dan juga tim klinisi dari
bagian yang lain dapat
bekerjasama dengan baik untuk
melengkapi data rekam medis
imunohistokimia pasien ca-
mammae, baik rekam medis
pasien yang telah disebutkan
sebelumnya, maupun data rekam
medis pasien yang akan diisi
setelah penelitian ini selesai
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yulvitrawasih, 2011, Hari Kanker
Sedunia 2011, (Online),
(http://www.rsi.co.id/index.php?opti
on=com_content&view=article&id=
268:periksa-payudara-
sendiri&catid=5:artikel-
kesehatan&Itemid=6, diakses 10
November 2011).
2. LHS. 2009. Data WHO 2008:
Epidemiologi Kanker di Dunia,
(Online),
(http://www.kalbefarma.com/?mn=
news&tipe=detail&detail=20027,
diakses 22 Desember 2011).
3. Jemal, Ahmedin, Freddie Bray,
Melissa M. Center, Jacques
Ferlay, Elizabeth Ward & David
Forman. 2011. Global Cancer
Statistics. CA: A Cancer Journal
for Clinicians; 61:69-90.
4. McPherson, K., Steel CM., Dixon
JM.. 2000. ABC of Breast Disease:
Breast Cancer-Epidemiology, Risk
Factor, and Genetics. British
Medical Journal, (321):624-628.
5. Ellis, I. O., S.J Schniit, X. Sastre-
Garau, G. Bussolati, V. Eusebi,
J.L. Peterse, K. Mukai, L. Tabar, J.
Jacquemier, & C.J. Cornelisse.
2011. Invasive Breast Carcinoma.
Dalam Tavassoli, Fattaneh A. &
Peter Devilee (Eds.), The WHO
Classification: Pathology &
Genetics, Tumours of the Breast
and Female Genital Organs. Lyon:
IARC.
6. Rosai, Juan. 2011. Breast. Dalam
Rosai & Ackermans, Surgical
Pathology: Tenth Edition, Volume
2. Amsterdam: Elsevier.
7. Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
nomor 796 tahun 2010 Tentang
Pedoman Teknis Pengendalian
Kanker Payudara dan Kanker
Leher Rahim. 2010. Jakarta:
Menteri Kesehatan.
8. IARC. 2008. Globocan 2008 Fast
Stats: Indonesia, (Online),
(http://globocan.iarc.fr/factsheet.as
p, diakses 29 Desember 2011).
9. Ramli, Muchlis, Azamris,
Burmansyah, Djoko Dlidir, Djoko
Handojo, Drajat R. Suardi, Eddy H.
Tanggo, I.B. Tjakra W. Manuaba,
Idral Darwis, Teguh Aryandono,
Zafiral Azdi Albar. 2003. Kanker
Payudara. Dalam Protokol
PERABOI 2003: Protokol
Penatalaksanaan Kanker
Payudara. Jakarta.
10. Jasani, Bharat, Anthony Douglas-
Jones, Anthony Rhodes, Susan
Wozniak, Peter J. Barrett-Lee,
Julia Gee & Robert Nicholson.
2006. Measurement of Estrogen
Receptor Status by
Immunocytochemistry in Paraffin
Wax Section. Dalam Susan A.
Brooks & Adrian Harris (Eds.),
Breast Cancer Research
Protocols: Methods in Molecular
Medicine. Totowa: Humana Press
Inc.. p. 127-146.
11. Dahlan, Sopiyudin. 2009. Seri
Evidence Based Medicine (Seri 1):
Statistika untuk Kedokteran dan
Kesehatan Deskriptif, Bivariat,
dan Multivariat Dilengkapi Aplikasi
dengna Menggunakan SPSS.
Jakarta Selatan: Salemba Medika.
12. American Joint Committee on
Cancer. 2010. Breast. Dalam
AJCC Cancer Staging Manual:
Seventh Edition. New York:
Springer. p. 347-369.
13. Britt, K., Razavi Y., Hawthorne S.,
& Risbridger G.. 2011. Estrogen
Receptor Subtype Expression
Mediates Breast Cancer Risk Via
Breast Epithelial Cell Proliferation.
Endocrine Reviews, 32(3):1-64.
14. Guyton, AC., & Hall JE.. 2006.
Textbook of Medical Physiology:
Eleventh Edition. Philadelphia:
Elsevier.
15. Ray, A., & Mitra AB.. 2003.
Estrogen and Breast Cancer.
Indian Council of Medical
Research Bulletin, 2(33):14-24.
16. Levin, Ellis R.. 2005. Integration of
the Extranuclear and Nuclear
Actions of Estrogen. Mol
Endocrinol, 19(8): 1951-1959.
17. Pourzand, Ali, M. Bassir A.
Fakhree, Shahryar Hashemzadeh,
Monireh Halimi & Amir Daryani.
2011. Hormone Receptor Status in
Breast Cancer and its Relation to
Age and Other Prognostic Factors.
Breast Cancer: Basic and Clinical
Research 2011. Libertas
Academica Ltd, 5: 87-92
18. Simon, Harvey. 2011. Breast
Cancer. New York Times, (Online).
(health.nytimes.com/health/guides/
disease/breast-
cancer/prognosis.html, diakses 17
Februari 2013).
19. Mirunalini, S., G. Dhamodharan, K.
Karthishwaran & G. Sugunadevi.
2010. Correlation of Estrogen and
Progesterone Receptors Status
with the Grade and Type of Breast
Cancer. Research Journal of
Agriculture and Biological
Sciences, 6(3): 199-203.
20. Wax, Arnold. 2011. Hormon
Treatments for Breast Cancer,
(Online).(www.webmd.com/breast-
cancer/hormone-treatments-facts,
diakses 17 Februari 2013).
21. Martin, Laura J.. 2012. Stage II
Breast Cancer Treatment Options,
(Online),(www.webmd.com/breast-
cancer/stage-2-treatment-options,
diakses 17 Februari 2013).