67
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis). Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis. Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya secara jelas (Ardizzone, 2003). Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006). 1

Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penyakit pada usus halus

Citation preview

Page 1: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang

dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease)

dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).

Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan

semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan

lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain

berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit

seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian

akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.

Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus

besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu

inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya

secara jelas (Ardizzone, 2003).

Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor

genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita

pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006).

Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit crohn dan

kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak

usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak

kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn

1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1.

Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena

itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut

khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting

untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di usia

lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis

ulseratif, mampu melakukan tindakan asuhan keperawatannya dan mampu

menginformasikan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif.

1

Page 2: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi dari enteritis regional?

1.2.2 Bagaimana etiologi dari enteritis regional?

1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis dari enteritis regional?

1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari enteritis regional?

1.2.5 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari enteritis regional?

1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan dari enteritis regional?

1.2.7 Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh enteritis regional?

1.2.8 Apa definisi dari kolitis ulseratif?

1.2.9 Bagaimana etiologi dari kolitis ulseratif?

1.2.10 Bagaimana manifestasi klinis dari kolitis ulseratif?

1.2.11 Bagaimana patofisiologi dari kolitis ulseratif?

1.2.12 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari kolitis ulseratif?

1.2.13 Bagaimana penatalaksanaan dari kolitis ulseratif?

1.2.14 Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh kolitis ulseratif?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan

penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.1.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi penyakit

enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.1.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi penyakit

enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.1.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis

penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.1.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi penyakit

kolitis ulseratif

1.1.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi penyakit

kolitis ulseratif

2

Page 3: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

1.1.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi penyakit

enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.1.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang

terhadap pasien dengan penyakit kolitis ulseratif

1.1.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan medis

terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.1.2.9 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi penyakit

enteritis regional dan kolitis ulseratif

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat TeoriMengetahui definisi etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, dan

penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan

kolitis ulseratif.1.4.2 Manfaat PraktisSebagai calon perawat mampu memahami

patofisiologi pada pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis

ulseratif.BAB IITINJAUAN PUSTAKAAnatomi Sistem Pencernaan

2.1.1 Mulut

Mulut adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ

aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga vestibulum (bukal)

terletak di antara gigi dan, bibir dan pipi sebagai batas luarnya.

Batas-batas mulut adalah:

Atas : palatum durum dan molle,

Bawah : mandibula, lidah dan struktur lain pada dasar mulut,

Lateral : pipi,

Depan : bibir,

Belakang : lubang menuju faring.

2.1.2 Faring

Faring adalah tabung fibromuskular yang melekat pada dasar tengkorak di

atas dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Faring terdiri dari tiga

bagian, nasofaring dan orofaring. Laringofaring ada di belakang epiglotis dan

laring dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Makanan melewati

orofaring dan laringofaring masuk ke dalam esofagus.

3

Page 4: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

2.1.3 Esofagus

Esofagus adalah tabung muskular dengan panjang sekitar 25 cm dan

berdiameter 0,5 cm.

Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan ke bawah leher

dan toraks dan kemudian melalui crus sinistra diafragma memasuki lambung.

Di bagian depannya adalah:

Trakea dan kelenjar tiroid,

Jantung,

Diafragma.

Di bagian belakangnya:

Columna vertebralis.

Pada setiap sisi adalah:

Paru dan pleura.

Arcus aorta terletak pada sisi kiri esofagus dan aorta descendens awalnya

terletak pada sisi kiri dan kemudian lewat di belakangnya, sehingga terletak di

antara esofagus dan columna vertebralis.

Esofagus sedikit menyempit pada:

a. Ujung atas esofagus

b. Tempat bronkus menyilang esofagus

c. Tempat esofagus melewati diafragma

Komposisi

a. Lapisan dalam membran mukosa

b. Lapisan submukosa yang tebal, mengandung kelenjar mukus

c. Lapisan otot serat longitudinal dan sirkular

d. Lapisan fibrosa di bagian luar

Bolus memasuki sepertiga bagian atas esofagus kurang dari satu detik dan di

dorong ke bawah melewati sisanya oleh kontraksi seperti cincin otot esofagus.

Bolus yang lembab dan lunak mencapai pintu masuk lambung dalam beberapa

detik, tetapi bolus yang kering mungkin harus didorong oleh gelombang sekunder,

yang dapat terasa nyeri.

2.1.4 Lambung

4

Page 5: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah makanan di

dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, respirasi, dan

postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung sangat bervariasi.

Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri atas

abdomen.

Lambung memiliki:

a. Permukaan anterior dan posterior

b. Curvatura minor pada sisi kanan

c. Curvatura mayor pada sisi kiri

d. Orificium cardia tempat esofagus bergabung

e. Fundus: kubah di atas tingkat orificium cardia, normal diisi oleh gelembung

udara

f. Corpus: bagian terbesar lambung

g. Canalis pyloricus: tabung sempit di bawah corpus

h. Lubang pylorus: ke dalam bagian pertama duodenum

2.1.5 Usus Halus

Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileo-kolika, tempat

bersambung usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi

oleh usus besar. Usus halus dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:

1. Duodenum

Merupakan bagian pertama usus halus yang memiliki panjang 25 cm,

bentuknya seperti sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas.

Isisnya adalah alkali. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam

duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau

ampula Vateri, 10 cm dari pilorus.

2. Yeyenum

Letaknya 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya

3. Ileum

Letaknya 3/5 akhir.

2.1.5.1. Lapisan Usus Halus

5

Page 6: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Struktur usus halus, dindingnya terdiri dari 4 lapisan yang sama

dengan lambung, yaitu:

1. Dinding lapisan luar (serosa).

Yaitu peritoneum yang membalut usus dengan erat.

2. Dinding lapisan berotot

Terdiri atas 2 lapis serabut, yaitu:

a. Lapisan luar terdiri atas serabut longitudinal

b. Lapisan tebal terdiri atas serabut sirkuler.

Diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh limfe dan

plexus saraf.

3. Dinding submukosa

Terdapat antara otot sirkuler dan lapisan terdalam yang merupakan

perbatasannya. Dinding ini terdiri atas jaringan areolar dan berisi banyak

pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus saraf yang disebut

plexus Meissner. Di dalam duodenum terdapat beberapa kelenjar

khasyang dikenal sebagai kelenjar Brunner. Kelemnjar-kelenjar ini

adalah jenis kelenjar tandan yang mengeluarkan sekret cairan kental

alakai yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh

isi lambung yang asam.

Dinding submukosa dan mukos

Dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut dengan mukosa

muskhularis. Serabut-serabut berasal dari dari sini naik Vili dengan

berkontraksi membantu mengososngkan semua lakteal.

4. Dinding mukosa dalam

Dinding ini yang menyelpauti sebelah dalamnya, disusun berupa

kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes. Lipatan inin

menambah luasnya ermukaan sekresi dan absorpsi. Dengan ini juga

dihalangi agar isinya tidak terlalu cepat berjalan melalui usus. Dengan

demikian memberi kesempatan lebih lama pada getah pencernaan untuk

bekerja terhadap makanan. Lapisan mukosa ini berisi banyak lipatan

Lieberkuhn yang bermuara diatas permukaan di tengah-tengah vili.

6

Page 7: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Lipatan Liberkuhn ini berupa kelenjar sederhana yang diselaputi

epitelium silinder. Epitelium ini bersambung menutupi vili.

Gb. 1Kedudukan usus halus dalam perbandingan terhadap kolon

Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk

banyak leukosit. Terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut

kelenjarsoliter. Di dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula itu.

Mereka membentuk tumpukan kelenjar Peyer dan dapat berisi 20 sampai

30 kelenjar soliter yang panjangnya 1 cm sampai bereapa sentimeter.

Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan

tempat peradangan pada demam usu (tifoid). Permukaan valvulae

koniventes tampak seperti beludru empuk karena adanya tajuk-tajuk

serupa bulu halus yang disebut vili.

7

Page 8: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Gb. 2. Struktur sebuah vilus

2.1.5.2. Gerakan Usus Halus

Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengarbsorpsi khime dari

lambung yang dijalankan oleh serangkaian gerak peristaltik yang cepat.

Terdapat dua jenis gerakan lain, seperti berkut:

1. Gerakan segemental

Adalah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karea

diikat dengan gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan

isi yang cair ini sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk

digesti dan absorpsi. Kemudian segmen yang berisis itu hilang untuk

timbul lebih jauh lagi dalam usus tadi.

2. Gerakan pendulum atau ayunan

Gerakan ini menyebabkan isi usus bercampur. Dua cairan pencerna

masuk duodenum melalui saluran-salurannya yaitu empedu melalui hati

dan getah pankreas dari pankreas.

8

Page 9: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Gb. 3. Bagian-bagian usus halus. (A) Bagian duodenum dan jejenum. (B) Vili. (C)

Potongan pada villus memperlihatkan jaring-jaring kapilar, lakteal, dan hubungan

antar kelenjar usus.

Ada tiga spesialisasi struktural yang memperluas permukaan absorptif usus

halus sampai kurang lebih 600 kali, yaitu:

1. Plicae circulares adalah lipatan sirkular membran mukosa yang

permanen dan besar. Lipatan ini hampir secara keseluruhan mengitari

lumen.

2. Vili adalah jutaan tonjolan menyerupai jari tingginya 0,2 mm- 1,0 mm

yang memanjang ke lumen dari permukaan mukosa . Vili hanya

ditemukn paadcausus halus, setiap vilus mengandung jaring-jaring

kapilar dan pemuluh limfe yng disebut lakteal.

3. Mikrovili adalah lipatan-lipatan menonjol kecil pada membran sel yang

muncul pada tepi yang berhadapan dengan sel-sel epitel

2.1.5.3. Kelenjar Usus Halus

9

Page 10: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

1. Kelenjar-kelenjar usus (kripta Liebrkuhn) tertanam dalam mukosa dan

membuka diantara basis-basis vili. Kelenjar ini mensekresi hormon dan

enzim.

a. Enzim yang dibentuk oleh sel-sel epitel dibutuhkan untuk

melengkapi digesti.

b. Hormon-hormon yang mempengaruhi sekresi dan motilitas salauran

pencernan antara lain:

2. Kelenjar penghasil mucus

Sel gobet terletak dalam epitelium di sepanjang usus halus. Sel ini

memproduksi mukus pelindung.

3. Kelenjar Brunner terletak dalam submukosa duodenum. Kelenjar ini

memproduksi mukus untuk melindungi mukosa duodenum terhadap

kimus asam dan cairan lambung yang masuk ke pilorus melalui

lambung.

4. Kelenjar enteroendokrin menghasilakn hormon-hormon gastrointestinal.

2.1.5.4. Jaringan limfatik

Leukosit dan nodulus limfe ada di keseluruhan usus halus untuk

melindungi dinding usus terhadap invasi benda asing. Agregasi nodulus

limfe yang disebut bercak Peyer terdaoat dalam ileum.

2.1.5.5. Fungsi usus halus

1. Mengakhiri proses pencernaan makanan yang dimulai dari mulut dan di

lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim pankreas

serta dibantu oleh empedu dalam hati.

2. Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.

2.1.6. Usus Besar

Panjang usus besar bervariasi, berkisar sekitar 150 cm. Dapat dibedakan dari

usus halus dengan ukurannya yang lebih besar dan adanya taenia coli dan

appendices epiploicae. Taenia coli adalah 3 pita serat otot longitudinal pada bagian

10

Page 11: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

luar colon dan memendek daripada seluruh dinding usus menyebabkan gambaran

sakulasi atau berkerut. Appendiks dan rectum tidak memiliki taenia coli.

Appendices epiploicae adalah umbai peritoneum yang mengandung lemak pada

permukaan caccum.

1. Caecum

Caecum adalah kantong lebar, terletak pada fossa iliaca dextra. Ileum

memasuki sisi kirinya pada lubang ileosekal, celah oval yang dikontrol oleh

sfingter otot. Appendiks membuka ke dalam caecum di bawah lubang

ileosekal. Caecum berlanjut ke atas sebagai colon ascendens.

2. Appendiks

Appendiks adalah tonjolan seperti cacing dengan panjang sampai 18 cm

dan membuka pada caecum pada sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal.

Appendiks memiliki lumen yang sempit. Lapisan submukosanya mengandung

banyak jaringan limfe.

Appendiks berhubungan dengan mesenterium ileum oleh mesenterium

pendek berbentuk segitiga yang di dalamnya berjalan pembuluh darah dan

pembuluh limfe appendicular.

3. Colon ascendens

Colon ascendens membentang dari caecum pada fossa iliaca dextra ke

sisi kanan abdomen sampai flexura colica dextra di bawah lobus hepatis

dexter.

4. Colon transversum

Pada flexura colica dextra colon membelok ke kiri dengan tajam dan

menyilang abdomen sebagai colon transversum dalam lengkungan yang dapat

menggantung lebih rendah daripada umbilikus, dan naik pada sisi kiri berakhir

pada flexura colica sinistra di bawah lien.

5. Colon descendens

Pada flexura colica sinistra, colon membelok kembali berjalan ke bawah

pada sisi kiri abdomen sampai tepi pelvis, tempat colon berlanjut sebagai

colon sigmoid.

6. Colon sigmoid (pelvicus)

11

Page 12: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Colon sigmoid memiliki beberapa lengkungan di dalam pelvis dan

berakhir pada sisi yang berlawanan dengan pertengahan sacrum tempatnya

berhubungan dengan rectum.

7. Rectum

Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dan mendapat namanya karena

berbentuk lurus atau hampir lurus. Rectum dimulai pada pertengahan sacrum

dan berakhir pada canalis analis.

2.1 Inflamasi Usus Halus

Penyakit inflamasi usus termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Keduanya

ini merupakan kondisi penyakit otoimun dengan penyebab yang tidak diketahui, disertai

aktivasi sitokin pro-inflamatori yang menyebabkan jaringan parut dan inflamasi jaringan.

Kedua gangguan ini sangat dipengaruhi genetik dan diperparah dengan stres.

Membedakan kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn mungkin sulit dilakukan;

pada 10% kasus tidak dibuat diagnosis diferensial. Etiologi kedua penyakit ini tidak

diketahui meskipun penelitian sekarang memusatkan perhatiannya pada penyebab

genetik, imunologi, diet, dan infeksi.

Kemungkinan ada hubungan antara spondilitis ankilosis dan histokompatibilitas

antigen leukosit manusia (HLA-B27) dengan penyakit inflamasi usus. Kolitis ulseratif

dan penyakit Crohn memiliki gejala awal serupa, seperti diare, perdarahan dari rektum,

nyeri abdomen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak-anak

pada mulanya tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu,

anoreksia, demam, dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal. Kedua

kondisi tersebut ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Dapat timbul manifestasi

ekstrakolon, seperti masalah sendi, kondisi-kondisi hepatobilier, ruam kulit, dan iritasi

pada mata. Meskipun insidensi puncak penyakit inflamasi usus ini terjadi antara usia 15

dan 25 tahun, 15% dari semua kasus terjadi pada usia 15 tahun atau lebih muda.

Prognosis penyakit ini bergantung pada faktor-faktor berikut:

1. Usia pada saat awitan dan kecepatan awitannya

2. Respons terhadap pengobatan

3. Tingkat keparahan

12

Page 13: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang

terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa

superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan

ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan

lemak, yang memberi tampilan usus “pipa timah” akibat penyempitan usus itu sendiri.

Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang sembarang

bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang dinding usus

bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek “melompat-lompat”,

yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fisura,

fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada kira-kira 50% kasus.

2.2.1. Enteritis Regional (Crohn’s Disease)

1. Definisi Enteritis Regional

Penyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik

yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada

bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling umum ditemukan

pada usus halus (ileum terminal) (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang

dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan

efek “melompat-lompat”, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh

jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula, dan penebalan dinding usus.

Walaupun banyak persamaan antara kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, ada

juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan klinis dan distribusi

penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris

dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di

antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa

terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran

pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009).

Inflamasi pada penyakit Crohn timbul sebagai lesi granulomatosa

berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus

yang terkena. Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal.

Pada inflamasi kronis, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi

kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat

gizi akan terganggu. Jika penyakit terlokalisasi terutama di kolon,

13

Page 14: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

keseimbangan air dan elektrolit dapat terganggu. Saluran atau fistula abnormal

kadang-kadang terbentuk antara bagian saluran cerna dan antara saluran GI

dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini dapat menyebabkan

malabsorbsi dan infeksi.

Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara pro-

inflamasi dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus enteritis regional

melibatkan usus halus, khususnya ileum terminal. Presentasi karakteristik

enteristik regional adalah sakit perut dan diare, yang mungkin menjadi rumit

oleh fistula usus, obstruksi, atau keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang

sulit diprediksi dan mempunyai tingkat remisi jangka panjang (Aufses, 2001).

Pada tahun 1932, Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer mendeskripsikan

penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan memengaruhi saluran

gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian didokumentasikan bahwa

enteritis regional bisa melibatkan bagian mana pun dari saluran gastrointestinal

(Thoreson, 2007).

Gb. 4. Penyakit Crohn pada ileum dengan penyempitan segmen yang iregular

(tanda panah)

2. Etiologi

Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara pasti.

Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, penyakit

14

Page 15: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta

menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian

besar ahli terlibat dalam patogenesis enteritis regional (Wu, 2009).

Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada enteritis

regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan

penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel

mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip yang

kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan memiliki

kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). Pengaruh lingkungan

seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada enteritis

regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko rendah untuk

pengenbangan enteritis regional dan berbanding terbalik dengan terjadinya

risiko kolitis ulseratif (Thoreson, 2007). Kemungkinan infeksi seperti

Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria mempunyai

keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa

radang dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber

infeksi (Van Heel, 2001). Interleukin dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-

alpha) juga terlibat dalam proses enteritis regional. Enteritis regional ini

ditandai oleh pola respons imun selular T-helper tipe-1 yang mengarah pada

produksi interleukin 12 (IL-12), TNF, dan interferon gamma (IFN-gamma).

TNF telah ditunjukkan untuk memainkan peran penting dalam peradangan

pada penyakit ini. Peningkatan produksi TNF oleh makrofag pada pasien

dengan enteritis regional menyebabkan peningkatan konsentrasi TNF pada

tinja, darah, dan mukosa (Wu, 2009).

3. Manifestasi Klinis

Di antara anak-anak penderita penyakit Crohn, gejala permulaan paling

sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi dapat juga

melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita ileitis terminal

saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis granulomatosa). Penyakit Crohn

jarang dijumpai pada umur 1 tahun pertama. Seperti pada kolitis ulserativa,

penyakit Crohn cenderung mempunyai distribusi umur bimodal dengan

puncak pertama mulai pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011).

15

Page 16: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Penyakit Crohn dapat muncul dalam beberapa bentuk; manifestasinya

cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat, derajat radangnya, dan

adanya komplikasi seperti striktura atau fistula. Anak dengan ileokolitis khas

menderita nyeri abdomen dengan kram dan diare, kadang-kadang dengan

darah. Ileitis dapat muncul dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja.

Kolitis Crohn dapat disertai dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan

mendadak ingin buang kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung

lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa.

Demam, malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan

dengan keterlambatan pematangan tulang dan keterlambatan perkembangan

seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2 tahun sebelumnya dan

setidak-tidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada

kolitis ulserativa. Anak dapat datang dengan gagal tumbuh sebagai satu-

satunya manifestasi penyakit Crohn. Retardasi pertumbuhan disertai dengan

penurunan massa badan tetapi tidak disertai pengurangan lemak badan;

kehilangan protein melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh

meningkat. Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan

kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai = tags, fistula,

abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin disertai dengan muntah

berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus halus parsial, biasanya akibat

penyempitan lumen usus karena radang atau striktura, dapat menyebabkan

gejala-gejala nyeri abdomen dengan kram (terutama waktu makan),

borborigmi, dan kembung abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai

apabila anak merasakan gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak

degukan (gurgling) isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter

akibat perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada

penyakit Crohn.

Manifestasi klinis penyakit Crohn menurut Diane, 2000 sebagai berikut:

1. Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda nyeri

abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan defekasi.

2. Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini.

16

Page 17: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

3. Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk

mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat

badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.

4. Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak

nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan

makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang

mengalami inflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk

abses intraabdominal dan anal.

5. Terjadi demam dan leukositosis.

6. Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi.

4. Patofisiologi

Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan diikuti

dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang sel-sel inflamasi

dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk granuloma.

Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk ke dalam

mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam

bentuk abses yang dalam, menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan

atrofi dari usus besar. Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk

penumpukan vili di usus kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan

sering terlihat (Thoreson, 2007).

Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema dari

mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan

dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat

menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal di

atas mukosa yang meradang. Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah

sehat (Thoreson, 2007).

Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh dinding)

membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada

awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait.

Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering reversibel setelah mendapat

agen antiinflamasi. Pada proses lanjut, halangan menjadi kronis akibat jaringan

parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis

17

Page 18: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang

menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang

menembus serosa, mikroperforasi, pembentukan abses, adhesi, dan

malabsorbsi. Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal,

atau enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga

melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya (Wu, 2009).

Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen menetap

dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi pada 90% pasien.

Jaringan parut dan pembentukan granuloma memengaruhi kemampuan usus

untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen yang

terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram.

Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga nyeri kram

terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung

untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan

sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah

penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu,

pembentukan ulkus di lapisan membran usus dan di tempat terjadinya

inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke

kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis.

Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi

sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini

dapat mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa

kekurangan gizi. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan

malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air besar

dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut lemak, dan

batu ginjal. Malabsorpsi lemak, dengan penangkap kalsium, dapat

mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan menyebabkan pembentukan

batu ginjal (Chen, 2007).

5. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan laboratorium

18

Page 19: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk

peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan

malabsorpsi vitamin B12 atau folat.

b. Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia, hipokalsemia,

hipomagnesemia, dan hipoprothrombinemia mungkin mencerminkan

malabsorpsi.

c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau

pengobatan steroid.

d. Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan

orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas penyakit. Laju endap

darah/eritrosit sedimentation rate (ESR) dianggap lebih bermanfaat

dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada kolitis ileitis.

2. Pemeriksaan radiografik

a. Studi kontras barium

Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan

tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat

menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam

evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi

fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema

submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin

tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi

oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam

pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).

b. Computed tomography scan

CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti

fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal

(Mackalski, 2006).

c. Magnetic resonance imaging

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT

scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air

19

Page 20: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis

darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis

enteritis regional (Chen, 2007).

3. Pemeriksaan Ultrasonography

Ultrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan

tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran

kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap

sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu

dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk

komplikasi (Wu, 2009).

4. Pemeriksaan Kolonoskopi

Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu

kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon.

Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu

dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam

pelaksanaan surveilans kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan

memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis.

Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi

bedah untuk mengevaluasi anatomosis dan memprediksi kemungkinan

kambuh klinis, serta respons terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski,

2006).

5. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sangat

membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat terapeutik pada

pasien dengan striktur kolangitis sklerosa (Wu, 2009).

6. Penatalaksanaan Medis

1. Penurunan respons diare :

a. Pemberian antidiare

b. Pemberian diet rendah lemak

20

Page 21: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg),

dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125 mg)

d. Antiinflamasi

2. Terapi medikamentosa

Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik yang

parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam kondisi

mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-60

mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah resmi

tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu).

Berikan juga Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta

Fe, asam folat, dan vitamin B12. Pada pasien yang kambuh setelah

pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid tidak

diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi serius, seperti

nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak, diabetes, dan hipertensi.

3. Terapi imunosupresi

Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil

maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6-

mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya risiko

supresi sumsum tulang.

4. Terapi bedah

Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis regional

untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi medis

gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara

berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus

diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi

fistula enterovesicular, enterocutaneous, cologastric, dan fistula

coloduodenal.

Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus.

Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu

21

Page 22: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun

tindakan ini tidak bertujuan kuratif.

5. Diet

Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen

serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta

menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek

asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa

kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien

dengan gejala obstruksi.

Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi

laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen

kalsium mungkin diperlukan.

Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk

merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200

kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi

pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal.

Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut :

a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan

kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak

preoperatif).

b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi

usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek.

7. Komplikasi

a. Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)

b. Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut

dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh

c. Perforasi usus dan pembentukan abses

d. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)

e. Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada kolitis

ulseratif)

22

Page 23: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

f. Hemoragi

g. Abses hati dan penyakit hati

8. WOC Enteritis Regional

23

Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor

psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OAINS

Respon peningkatan progresifitas enteritis regional

Enteritis regional

Jaringan parut dan pembentukan granumola

Malabsorpsi

Penyempitan lumen intestinal

Respons psikologis

Gangguan gastrointestinal

Gangguan transportasi makanan

Mual, muntah, kembung,

diare, anoreksia

Kecemasan Pemenuhan Informasi Nyeri

Asupan nutrisi tidak adekuat. Penurunan berat badan. Output

cairan berlebih

Kekuatan jaringan

pascabedah

Page 24: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

24

Pembentukan fistula

enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal,

atau enterokutaneo

us

Penurunan absorpsi

nutrisi dan asam folat

Intervensi bedah total

kolektomi dan ileostomi

Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit

Frekuensi BAB

meningkat

Diare

Perdarahan

Kram abdomen

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan Ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit

Preoperatif Pascaoperatif

Respons psikologis

Misinterpretasi perawatan

dan penatalaksana

an pengobatan

Kecemasan Pemenuhan Informasi

Port de entree

pascabedah

Risiko infeksi

Penurunan kemampuan batuk efektifAktual/risiko ketidakefektifan

bersihan jalan napas

Kekurangan volume cairan

Rasa perih di daerah anus ketika BAB

Resiko gangguan Integritas kulit

Page 25: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

2.2.2 Penyakit Kolitis Ulseratif

1. Definisi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan

submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit

(Greenberg, 1988; Wong, 1996; Behrman & Nelson, 1996).

Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak

diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis

(Yasmin Asih dkk, 1998).

Kolitis ulseratif adalah suatu kondisi yang menyebabkan inflamasi dan

ulserasi pada lapisan kolon dan rektum. Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap

cedera atau iritasi dan juga dapat menyebabkan kemerahan, bengkak dan nyeri.

Luka kecil terbuka, atau borok, tersebar pada permukaan lapisan kolon dan rektum

bisa membunuh sel-sel yang melapisi sehingga menimbulkan perdarahan dan

nanah. Ketika lapisan terjadi peradangan akan memproduksi ekstra mukus,

merangsang usus besar untuk mempercepat pengosongan sehingga mengakibatkan

diare. Peradangan biasanya dimulai di rektum dan usus besar bagian bawah, tetapi

dapat mempengaruhi seluruh bagian usus besar. Kolitis ulseratif adalah salah satu

dari dua penyakit utama Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan dideskripsikan

sebagai kondisi kronis.

2. Epidemiologi

Prevalensi Jenis Kelamin

Kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama besar, dari

sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada

wanita.

Onset Usia

Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada

anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul

ketika orang berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi

antara usia 15-40 tahun tahun.

Prevalensi Geografis dan Ras

25

Page 26: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif paling sering terjadi pada orang kulit putih keturunan Eropa

(Ras Kaukasia), terutama yang berasal dari Yahudi Ashkenazi. Hal ini terlihat lebih

umum di antara orang-orang yang telah tinggal selama beberapa generasi di Eropa

Timur dan Rusia. Kondisi ini juga umum pada orang kulit hitam tetapi jarang pada

keturunan Asia. Alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi di daerah perkotaan dan

di negara-negara maju di Utara Eropa Barat dan Amerika dibandingkan dengan

daerah pedesaan tidak diketahui. Namun telah terlihat bahwa prevalensi dan

insidensi mulai meningkat di negara berkembang.

3. Klasifikasi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan bagian kolon

dan beratnya peradangan. Jenis yang paling terbatas melibatkan hanya rektum yaitu

proctitis, untuk yang paling luas melibatkan seluruh usus besar yaitu pancolitis.

Sekitar dua orang dari sepuluh penderita kolitis ulseratif mengalami perluasan

sampai usus besar setelah 10 tahun.

1. Proctitis

Merupakan inflamasi yang terbatas pada rektum. Pada penderita proctitis

cenderung ditemukan gejala utama lebih ringan yaitu perdarahan merah terang

yang bisa bercampur dengan lendir. Penderita mungkin mengalami diare, atau

memiliki tinja yang normal dan bahkan mungkin mendapatkan sembelit. Jika

pada peradangan parah, akan terasa nyeri rektum dan perasaan mendesak untuk

buru-buru ke toilet, tetapi yang keluar hanya angin. Selain itu, kulit di sekitar

anus juga bisa mengalami iritasi.

2. Proctosigmoiditis

Jenis kolitis ulseratif yang mempengaruhi rektum dan kolon sigmoid. Seperti

proctitis, gejala yang ditemukan yaitu perdarahan dan rasa urgensi.

3. Kolitis Distal (Left-side Colitis)

Pada kolitis distal terjadi peradangan dimulai di rektum dan terus ke sisi

kiri usus besar, kolon sigmoid, kolon desendens sampai dengan lentur lienalis.

Gejala termasuk diare dengan darah dan lendir, kehilangan nafsu makan,

penurunan berat badan dan sakit parah di sisi kiri perut. Frekuensi diare

cenderung lebih sedikit yaitu kurang dari 6 kali sehari.

4. Extensive dan Pancolitis (Total Colitis)

26

Page 27: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Pankolitis merupakan inflamasi dari proksimal ke lentur lienalis, biasanya

sampai dengan usus buntu. Ketika kolitis ulseratif mempengaruhi sebagian

besar kolon, akan menyebabkan frekuensi diare yang sangat sering dengan

darah dan lendir. Jika peradangan parah penderita bisa mengalami diare 20 kali

sehari, dan bisa mengarah pada dehidrasi. Gejala lain yang dijumpai seperti

sakit perut (parah), kram, demam, dan penurunan berat badan. Sangat jarang

ketika peradangan parah, gas dapat terjebak dalam usus besar menyebabkan

bengkak, dikenal sebagai megakolon toksik. Megakolon toksik menyebabkan

demam tinggi, rasa sakit dan nyeri di perut.

Gambar Klasifikasi Kolitis Ulseratif

4. Etiologi Kolitis Ulseratif

Penyebab pasti dari kolitis ulseratif masih idiopatik, namun hal ini dianggap

sebagai penyakit autoimun. Dalam kondisi normal sistem kekebalan tubuh bekerja

untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi dan infasi mikroba. Pada gangguan

autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuhnya sendiri. Ada

miliaran bakteri berbahaya terdapat di usus. Pada penyakit radang usus seperti

penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sistem kekebalan tubuh menyerang bakteri

berbahaya di dalam usus besar dan berbalik menyerang jaringan usus besar,

sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi atau radang.

Faktor yang berkontribusi pada patogenesis kolitis ulseratif yaitu faktor

genetik, interaksi dengan lingkungan, faktor-faktor lain seperti hubungan dengan

paparan untuk infeksi pada periode perinatal atau kehidupan awal, kebalikannya

27

Page 28: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

hubungan dengan menyusui, administrasi non steroid anti-inflamasi obat, dan

inversi hubungan dengan usus buntu sebelum usia 20 tahun.

Penyebab mengapa sistem kekebalan tubuh bertindak seperti itu masih belum

jelas. Beberapa hipotesis mengenai penyebab kolitis ulseratif meliputi:

1. Sistem Imunologik

Setelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh tidak lantas

menjadi nonaktif. Sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif mengarah ke

peradangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh

sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi oleh miliaran

bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan manifestasi

dari hipotesis autoimun dibalik penyebab kolitis ulseratif.

Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA

(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA

tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan

dengan alel HLA-DR2, pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung

menjadi HLA-DR4 positif.

2. Faktor Genetik

Terdapat studi populasi yang mengungkapkan bahwa setidaknya 1 dari 6

orang dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi

seperti ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian

masyarakat dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena.

Faktor resiko pada orang kulit putih keturunan Eropa terutama yang berasal dari

komunitas Yahudi Ashkenazi lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit

hitam dan orang keturunan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi

genetik terhadap perkembangan penyakit. Para peneliti telah mengidentifikasi

beberapa gen yang tampaknya bisa memprediksi apakah seseorang akan terkena

kolitis ulseratif, tetapi mekanisme secara tepat belum diketahui.

3. Faktor Lingkungan

Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di

bagian utara Eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan

hubungan kolitis ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polusi

udara, diet dan kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini

28

Page 29: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

sangat berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode

diet kebarat-baratan bisa menjadi kunci untuk penyebab dari kolitis ulseratif.

Selain itu, anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang semakin bebas

kuman gagal terkena mikroba yang diperlukan yang membantu dalam

memperkuat sistem kekebalan tubuh. Ini disebut hipotesis kebersihan dan

menunjukkan mengapa mereka yang tinggal di negara berkembang dan negara

miskin dengan standar kebersihan yang lebih rendah relatif lebih kecil

kemungkinannya untuk mengembangkan kolitis ulseratif. Bersama dengan

hipotesis lain seperti penggunaan kontrasepsi oral, infeksi mikobakteri atipikal

dll belum terbukti meningkatkan risiko khususnya kolitis ulseratif.

Merokok adalah faktor lingkungan yang penting. Kolitis ulseratif lebih

umum di kalangan mantan perokok dan non perokok, sementara penyakit Crohn

lebih umum di kalangan perokok. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan

resiko penyakit kolitis ulseratif diantara perokok dibandingkan dengan bukan

perokok. Analisis meta menunjukkan resiko penyakit kolitis ulseratif pada

perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan bukan perokok.

4. Faktor Infeksi

Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus

menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk

menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh

diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang

dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih

harus dikonfirmasi.

5. Faktor Psikologik

Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.

Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,

sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang

anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus

memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap

stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.

5. Manifestasi Klinis

29

Page 30: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Gejala klinis kolitis ulseratif dapat diamati dari berbagai gangguan

yang diakibatkan dari penyakit tersebut. Gejala utama adalah diare dan

ditemukan darah yang berwarna merah terang pada feses dengan frekuensi

sering (antara 4 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah, akibat adanya

iritasi rektum yang meradang. Gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum

berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan.

Proktitis ditandai dengan gejala tenesmu, urgensi dan feses lembek

bercampur darah serta lendir. Hal sebaliknya terjadi pada kolitis sisi kiri atau

pankolitis, pada kondisi tersebut dapat ditemukan diare berdarah dan sakit perut

secara bermakna. Sebagian besar pasien akan datang dengan riwayat gejala

selama beberapa minggu, dan maka dari itu kegagalan pertumbuhan jauh lebih

sedikit terjadi dibandingkan dengan penyakit Crohn. Tingkat keterlibatan

mukosa kolon dan tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan manifestasi

klinis dari kolitis ulseratif.

Tanda dan gejala kolitis ulseratif

Kolon Sistemik

Perdarahan rektum

Diare

Tenesmus

Inkontinensia fekal

Kram perut bagian bawah

Nyeri pada saat defekasi nyeri

hilang setelah defekasi

Iritasi peritoneum

Kelelahan

Demam

Anoreksia

Ketidakseimbangan elektrolit

Penurunan berat badan (kehilangan

berat badan 5-10 kg dalam 2 bulan)

Takikardia

Anemia

Peningkatan LED

Leukositosis

Flatulensi

Retardasi pertumbuhan

Tingkatan gangguan pada kolon berhubungan dengan manifestasi klinik

dari kolitis ulseratif.

Ringan (mild) Sedang-berat Fulminan

30

Page 31: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

(moderate/severe)

Buang air besar 4 kali

per hari

Adanya darah dalam

feses setiap hari

Tidak ada gejala

sistemik

Buang air besar ≥ 5

kali per hari

Adanya darah dalam

feses setiap hari

Dengan atau tanpa

gangguan sistemik

Perdarahan lebih jelas

tiap hari

Demam lebih dari 38º C

Takikardi

Hemoglobin ≤ 8 gr/dl

Serum albumin ≤ 3,0

gr/dl

Perbandingan penyakit inflamasi usus antara kolitis ulseratif dengan

penyakit crohn

Karakteristik Klitif Ulseratif Penyakit Crohn

Perdarahan usus

Diare

Nyeri abdomen

Anoreksia

Penurunan berat badan

Retardasi pertumbuhan

Lesi anal dan perianal

Fistula dan striktur

Umum, ringan sampai berat

Sering berat

Jarang

Ringan sampai sedang

Ringan sampai sedang

Biasanya ringan

Jarang

Jarang

Tidak umum, ringan sampai

berat

Ringan sampai berat

Umum

Mungkin berat

Mungkin berat

Umum

Umum

6. Patofisiologi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan

pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat,

submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding

kolon juga terpengaruh. Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau

megakolon toksis, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta

dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis

dikaitkan dengan pembentukkan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada

31

Page 32: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko peningkatan prekanker

kolon, yaitu berupa karsinoma insitu atau dispalsia.

Secara anatomis sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga

mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang

tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya

terpengaruh. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superficial kolon dan

dikarekteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan

deskuamasasi atau pengelupasan epithelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai

akibat ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuiti lesi

yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai

seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi

muscular dan deposit lemak.

Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian

proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma

dan eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelanjar

ikut meradang dan terjadi abses-abses di kripta-kripta Lieberkuhn.

Kemudian terdapat destruksi kelenjar-kelenjar dan ulserasi pada epitel.

Makroskopis mukosa kelihatan hiperemis secara difus pada keadaan yang ringan dan

kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat. Dinding usus bisa menjadi

tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.

Pada waktu penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan

sehingga menyerupai suatu polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun,

usus akan menjadi lebih pendek, sering timbul penyempitan lumen, walaupun

striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita, proses radang hanya terdapat

pada rektum.

Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang

merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian

kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini

akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat

tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi

kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal,

pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan

rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat

32

Page 33: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang

reversible.

Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan

abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang

menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan

kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi

perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.

Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding

kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam

mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa

(tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih

lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga

menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.

Proses alteratif ulseratif superfisialis dan granulasi yang diikuti oleh reepitelisasi

bisa menyebabkan tonjolan yang membentuk polip peradangan (pseudopolip), yang

tidak neoplastik. penyakit yang berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina

muskularis mukosa dan bila disertai oleh fibrosis pasca peradangan, terjadi

pemendekan kolon serta mengakibatkan terjadinya megakolon.

7. Pemeriksaan Penunjang

Kolitis ulseratif bisa sulit untuk didiagnosis karena gejala yang mirip dengan

gangguan usus lainnya dan penyakit Crohn. Perbedaan penyakit Crohn dan kolitis

ulseratif bahwa pada penyakit Crohn menyebabkan peradangan lebih dalam di dinding

usus dan dapat terjadi di bagian lain dari sistem pencernaan, termasuk usus halus,

mulut, kerongkongan.

Pasien yang diduga kolitis ulseratif dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan

riwayat medis pada angkah pertama dalam mendiagnosis, selanjutnya diikuti oleh satu

atau lebih tes dan prosedur.

3.7.1 Riwayat medis

Perjalanan tanda dan gejala, onset usia, keparahan gejala,

kemungkinan pemicu flare up yang diperoleh. Riwayat keluarga

dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota keluarga yang pernah

mengalami kolitis ulseratif.

33

Page 34: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

3.7.2 Pemeriksaan fisik

Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik pasien. Kesehatan

umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan

manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan

nyeri abdomen.

3.7.3 Tes darah

Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Tes darah

rutin membantu untuk mendeteksi anemia yang dapat menjadi indikasi

adanya perdarahan di kolon atau rektum, atau untuk mengetahui jumlah sel

darah putih yang tinggi (tanda peradangan di suatu tempat di tubuh). Ada dua

tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate

(ESR) dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan

peradangan, merupakan tes non spesifik namun dan dapat memberikan hasil

positif jika ada infeksi dalam tubuh.

3.7.4 Antibody markers and in-depth blood tests

Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem

kekebalan tubuh sebagai bagian dari proses peradangan. Pengujian meliputi

Perinuklear Anti-neutrofil Antibodies (pANCA) dan Anti-Saccharomyces

Cerevisiae Antibodi (ASCA). Antibodi ini disebut biomarker. Banyak pasien

dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA dalam darah mereka

sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk memiliki

ASCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam

beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi

mungkin positif pada pasien tanpa penyakit kolitis ulseratif.

3.7.5 Tes tinja

Petugas medis akan memberikan pasien wadah untuk menampung dan

menyimpan tinja. Sampel dikirim ke laboratorium untuk analisis. Sampel

juga memungkinkan petugas medis untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi

pada kolon atau rektum yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.

3.7.6 Sinar X barium enema

Suatu larutan Barium diberikan kepada pasien untuk diminum sebelum

sinar X abdomen dilakukan. Senyawa radio-opak akan muncul di sinar-X,

garis-garis besar dinding usus dapat terlihat dengan jelas. Barium enema

34

Page 35: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan.  Dengan barium enema

dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan

kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal,

pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus. Hal ini dapat membantu dalam

diagnosis.

3.7.7 Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi

Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa

kolitis ulseratif. Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan

luasnya peradangan usus. Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam

rektum dan seluruh usus besar, sementara sigmoidoskopi fleksibel digunakan

untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih rendah. Ini

melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan

kamera pada ujungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang

menyakitkan dan dilakukan dengan sedasi . Biasanya diperlukan waktu

sekitar 15 menit sampai setengah jam untuk menyelesaikan.

Gambar-gambar dari dinding usus ditransmisikan ke komputer, dokter

bisa melihat bagian dalam dinding usus. Sigmoidoscope ini hanya mampu

melihat rektum dan bagian bawah usus besar sementara kolonoskopi meliputi

seluruh usus sampai persimpangan ileocecal. Tes ini melayani tujuan lain

mengesampingkan kondisi usus lain dengan gejala serupa termasuk kanker

usus.

Tes lain yang serupa adalah EGD (Esophagogastroduodenoscopy)

yang menggunakan prinsip yang sama untuk memeriksa lapisan

kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam

mengesampingkan penyakit Crohn karena kondisi ini dapat mempengaruhi

saluran pencernaan bagian atas juga. Kapsul enteroscopy menggunakan

kapsul kecil dengan sensor dan kamera yang diambil sebagai pil dan yang

mentransmisikan gambar dari dalam usus.

ERCP (Endoscopic retrograde cholangiopancreatography) adalah tes

lain yang meneliti saluran empedu di hati dan saluran pankreas. Hal ini

membantu untuk menyingkirkan primary sclerosing cholangitis (PSC) yang

terlihat pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif.

3.7.8 CT scan

35

Page 36: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi komplikasi kolitis ulseratif

termasuk abses, fistula, dan penyumbatan usus. Ini juga dapat membantu

mendiagnosa kanker usus.

Temuan-temuan kolitis ulseratif dapat diperoleh dari pemeriksaan endoskopi

atau radiologi kolon, pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi lebih sensitif

untuk penyakit ringan dan memberikan peluang untuk sekaligus melakukan biopsy.

Evaluasi ultrasonografi ketebalan usus merupakan pemeriksaan yang dapat

diandalkan, merupakan modalitas pencitraan non invasif untuk diagnostik dan follow-

up klinis pasien IBD. Penggunaan kombinasi kalprotectin feses, ASCA/PANCA, dan

pengukuran ultrasonografi dinding adalah strategi pengambilan keputusan klinis yang

berguna. Jika hasil tes positif, pasien kemudian akan menjalani evalusai lengkap.

Derajat kolitis ulseratif berdasarkan pemeriksaan endoskopi.

1. Tahap 0: kapal mukosa sedikit tertekuk, pucat

2. Tahap 1: eritema, sedikit granularitas

3. Tahap 2: individu ulserasi, tidak ada kapal terlihat, perdarahan spontan

4. Tahap 3: ulserasi lebih besar, perdarahan spontan, edema mukosa

Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari

haustras; pada tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra.

Lebih dalam borok dapat merusak mukosa, yang menyebabkan pengembangan

ulserasi khas. Evaluasi dengan kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis

kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas dan beratnya persentasi kolitis ulseratif.

Prosedur pemeriksaan sigmoidoskopi dapat membantu untuk menemukan

adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan kolon, saat disentuh

dapat juga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema pada stadium

dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus yang

berisi barium berbulu.

36

Page 37: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Gambar jenis Sigmoidoscopy

8. Penatalaksanaan Medis

Terapi obat

Pengobatan untuk kolitis ulseratif tergantung pada beratnya penyakit.

Masing-masing individu memiliki pengalaman kolitis ulseratif yang berbeda,

sehingga pengobatan disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat

adalah untuk mendorong dan mempertahankan remisi, serta meningkatkan

kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa jenis obat-obatan yang tersedia.

a. Aminosalicylates

Kelas obat yang mengandung Asam 5-aminosalicyclic (5-ASA),

membantu mengontrol peradangan. Sulfasalazine adalah kombinasi dari

sulfapyridine dan 5-ASA. Komponen sulfapyridine membawa antiinflamasi 5-

ASA ke usus. Namun, sulfapyridine dapat menyebabkan efek samping seperti

mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen yang lain dari 5-ASA

seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa yang

berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orang-

orang yang tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara

oral, melalui enema, atau supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon.

Kebanyakan pasien kolitis ulseratif tingkat mild atau moderate diberikan

kelompok obat ini. Kelas obat ini juga digunakan dalam kasus kekambuhan.

b. Kortikosteroid

Kelas obat seperti prednisone, methylprednisone dan hidrokortisone juga

mengurangi peradangan. Kelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif

yang memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5-

ASA. Kortikosteroid juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral ,

intravena, melalui enema, atau dalam supositoria tergantung pada lokasi

37

Page 38: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping seperti kenaikan berat badan,

jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati, kehilangan massa

tulang dan resiko infeksi. Kelas obat ini tidak direkomendasikan untuk

penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk

penggunaan jangka pendek.

c. Immunomodulators

Kelas obat seperti azathioprine dan 6-mercapto-purine (6-MP)

mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Obat

ini digunakan untuk pasien yang tidak merespon 5-ASAs atau kortikosteroid

atau ketergantungan pada kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secara

oral, namun bereaksi secara lambat sehingga bisa memakan waktu hingga 6

bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang memakai obat ini harus

dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis, berkurangnya

jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. Siklosporin A dapat

digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe

kolitis ulseratif pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena.

Obat lainnya bisa diberikan untuk menimbulkan efek rileks pasien atau

untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau infeksi. Beberapa orang memiliki

remisi (periode ketika gejala hilang) selama berbulan-bulan atau bahkan

bertahun-tahun. Namun, sebagian sesar gejala pasien kembali.

Tabel obat yang dapat membantu meringankan gejala.

38

Page 39: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

39

Page 40: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Pembedahan

Gejala kolitis ulseratif yang cukup parah mengakibatkan seseorang harus

dirawat di rumah sakit. Misalnya, seseorang mengalami perdarahan berat atau

diare berat sehingga dehidrasi. Dalam kasus tersebut harus ditangani untuk

menghentikan diare dan kehilangan darah, cairan, dan garam mineral. Pasien

mungkin perlu diet khusus, makan melalui pembuluh darah, obat-obatan, atau

pembedahan.

Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk

dilakukan pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif,

penyakit parah, pecahnya kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan

merekomendasikan pemotongan kolon jika penatalaksanaan medis gagal atau jika

efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam kesehatan pasien.

Pembedahan untuk mengangkat kolon dan rektum, dikenal sebagai

proctocolektomy, diantaranya sebagai berikut:

a. Ileostomy

Ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel

di ileum. Feses dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma.

Stroma terletak di bagian abdomen dekstra bawah.

b. Ileoanal Anastomosis

Pull-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan

usus normal karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli

bedah mengangkat kolon dan rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar

rektum. Ahli bedah kemudian menempelkan ileum ke dalam rektum dan anus,

40

Page 41: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

menciptakan sebuah kantong. Feses atau kotoran disimpan dalam kantong dan

melewati melalui anus dengan cara biasa. Frekuensi buang air besar mungkin

lebih  sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan

kantong (pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.

Tindakan operasi dilakukan sesuai tingkat keparahan penyakit dan

kebutuhan pasien, harapan, dan gaya hidup. Pasien dihadapkan pada

keputusan ini sehingga sebelumnya harus mendapatkan informasi sebanyak

mungkin dengan berbicara dengan dokter, kepada perawat menangani pasien

operasi usus besar (enterostomal therapists).

9. Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: perforasi usus yang

terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama

pada kolitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan resiko

terjadinya kanker karena Inflammatory Bowel Disease lebih kurang 13%

(Djojoningrat, 2006).

Kolitis ulseratif dapat menyebabkan masalah di luar usus. Beberapa penderita

mendapatkan kondisi lain, terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan kulit. Kolitis

ulseratif juga dapat mempengaruhi tulang, mulut, ginjal, hati, dan sirkulasi darah.

10. WOC Kolitis Ulseratif

41

Faktor imunitas, faktor predisposisi genetik, faktor

lingkungan, faktor infeksi, faktor psikologik

Kolitis ulseratif

Page 42: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan

yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang

mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema,

hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi

42

Merangsang reseptor nyeri

Tukak tersebar

Lesi pada mukosa ususInfeksi kuman

Adanya gangguan fungsi mukosa

Pengeluaran neurotransmitter

Mengeluarkan toksin

Pembentukan abses

Gangguan keseimbangan

floral usus

Bakteri usus meningkat

Kekurangan volume cairan

Persepsi nyeri

Nyeri Asam lambung meningkat

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Mual muntah tidak nafsu makan penurunan berat

badan

Abses pecah

Stadium lanjut

Iritasi pada mukosa

Frekuensi BAB

meningkat

Tahap kronik

Cemas, takut,

gelisah

Ansietas

Permeabilitas usus

meningkat

Absorbsi berkurang

Gangguan metabolisme cairan dan elektrolit

Diare

Perdarahan

Anemia

Rasa perih di daerah anus ketika BAB

Resiko gangguan Integritas kulit

Badan Lemas (5L)Intoleransi aktivitas

Page 43: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus “pipa timah” akibat

penyempitan usus itu sendiri.

Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang

sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang

dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek

“melompat-lompat”, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang

normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada

kira-kira 50% kasus.

3.2 Saran

Menurut kelompok kami, untuk menurunkan resiko gangguan pada usus, pasien

yang menderita gangguan sistem pencernaan seperti enteritis regional dan kolitis

ulseratif hendaknya melakukan terapi medis maupun non-medis secara kontinyu,

melakukan pola gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, diet teratur sesuai dengan

kebutuhan, menjaga kestabilan emosional dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku saku keperawatan pediatri. Jakarta: EGC

Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan

pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC

43

Page 44: Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku saku untuk Brunner dan

Suddarth. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.

Jakarta: Salemba Medika

Kliegman, Robert M., dkk. 1999. Nelson textbook of pediatrics. Jakarta: EGC

Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC

Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga

Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC

Ariestine, Dina Aprillia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik, dan

Patogenesa

Sodikin. 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier (hal.252-255, hal.260-

263). Jakarta: Salemba Medika

Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri (hal. 279-280). Jakarta: EGC.

Ulcerative Colitis Edition 7. National Association for Colitis and Crohn’s Disease (NACC).

2011

44