34
DAFTAR ISI Daftar Isi …………………………………………………........ 1 BAB I : Pendahuluan ………………………………………………… 2 BAB II : Laporan Kasus …………………………………………........ 3 BAB III : Pembahasan ...........………………………………………....... 4 A. Identitas Pasien ……………………………………………. 4 B. Identifikasi Masalah……………............................................ 4 C. Anamnesis Tambahan ……………………………………..... 5 D. Pemeriksaan Fisik ……………………………………........ 6 E. Pemeriksaan Penunjang ………………………………….... 7 F. Diagnosis ……………………………………………….... 8 G.Patofisiologi ……………………………………………….. 9 H. Penatalaksanaan ……………………………………….... 10 I. Prognosis ……………………………………………….... 11 J.Komplikasi ………………………………………………... 12 BAB IV : Tinjauan Pustaka ………………………………………...... 13 BAB V : Kesimpulan ……………………………………………... 23 Daftar Pustaka …………………………………………………................. 24 1

Makalah Ger 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

geriatri trisakti

Citation preview

DAFTAR ISI

Daftar Isi …………………………………………………........ 1

BAB I : Pendahuluan ………………………………………………… 2

BAB II : Laporan Kasus …………………………………………........ 3

BAB III : Pembahasan ...........………………………………………....... 4

A. Identitas Pasien ……………………………………………. 4

B. Identifikasi Masalah……………............................................ 4

C. Anamnesis Tambahan ……………………………………..... 5

D. Pemeriksaan Fisik ……………………………………........ 6

E. Pemeriksaan Penunjang ………………………………….... 7

F. Diagnosis ……………………………………………….... 8

G.Patofisiologi ……………………………………………….. 9

H. Penatalaksanaan ……………………………………….... 10

I. Prognosis ……………………………………………….... 11

J.Komplikasi ………………………………………………... 12

BAB IV : Tinjauan Pustaka ………………………………………...... 13

BAB V : Kesimpulan ……………………………………………... 23

Daftar Pustaka …………………………………………………................. 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

Diskusi kasus pertama Modul Organ Gerontologi Medik berjudul “Tn. Hadi 69

tahun dengan keluhan tidak bisa kencing, perut kembung, kepala pening” terbagi menjadi

dua sesi. Sesi pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 11 Juni 2013 pukul 08.00-10.00

WIB diketuai oleh Ryan Fernandi dan sekretaris Nanda Soraya, serta tutor Prof. dr.

Suharko Karsan, Sp. S, Sp. Kj, bertempat di ruang 206 lantai 2 Fakultas Kedokteran

Trisakti. Lalu dilanjutkan dengan diskusi sesi kedua yang jatuh pada hari Rabu, 12 Juni

2013 pukul 10.00-12.00 WIB dengan diketuai oleh Malvin Christo dan sekretaris Nanda

Soraya, serta tutor Prof. dr. Suharko Karsan, Sp. S, Sp. Kj, bertempat di ruang 206 lantai

2 Fakultas Kedokteran Trisakti.

Berikut merupakan soal serta pembahasan yang mencakup : anamnesis,

pemeriksaan fisik, diagnosis, penatalaksanaan, hingga kepada prognosis pasien tersebut

dijabarkan secara sistematis.

2

BAB II

LAPORAN KASUS

SESI I

Tn. Hadi 69 tahun datang di UGD, dimana anda bertugas dengan keluhan, baru

datang dari Jogja dengan keret api, semalam hingga kini, tidak bisa kencing, perut

kembung, kepala pening.

SESI II

Pada pemeriksaan didapatkan :

- Pasien sadar, gizi cukup, konjungtiva agak anemis, nadi : 80/m, pernafasan :

20/m, tensi : 150/90

- Abdomen : agak membuncit, teraba tumor diatas simfesis hingga pusat fluktuatif

(+), redup, ballotemen (+), bising usus (+)

- Ekstrimitas : pretibial udem (+)

Pemeriksaan LAB :

- HB : 9 %

- Leko : 6000 /ul

- Psa : 10 ng/ml

- Ureum : 50%

Pemeriksaan colok dubur setelah kateterisasi :

- Sfinkter baik

- Mukosa licin dapat digunakan

- Teraba prostat membesar simetris

- Kenyal, permukaan licin, sulcus (+)

- Darah (-)

3

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Hadi

Umur : 69 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : -

Pekerjaan : -

Status Pernikahan : -

3.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Daftar masalah Identifikasi masalah

Tn. Hadi 69 tahun

Baru datang dari jogja dengan kereta api, semalam hingga kini tidak bisa kencing

Perut kembung

Kepala pening

→ pasien lanjut usia

→ BPH

→ batu saluran di saluran kemih (vesicolithiasis, uretrolithiasis)

→urethritis

→ striktur urethra

→ musculus detrusor spastic

→ parkinson

→ retensi urin, konstipasi, dispepsia

→ kurang tidur, mabuk perjalanan, hipertensi, stress akibat tidak bisa kencing

Konjungtiva agak anemis

Tekanan darah 150/90

→ anemia

→ hipertensi grade I menurut JNC 7

4

Abdomen agak membucit

Tumor diatas simfisis-pusat, fluktuasi (+)Redup

Ballotement (+)

Pretibial oedem

→ vesica urinaria penuh karena retensi urin

→ pembesar prostat, kista→ ada massa padat atau cair

→ ada cairan di abdomen

→ retensi urin mengakibatkan pembesaran dari vesica urinaria → menekan vena disekitarnya → tekanan hidrostatik intravena ↑ → darah merembes keluar→ usia pasien yang lanjut→ posisi duduk yang terlalu lama

Hb: 9% (13 – 16%)

PSA: 10ng/ml (<4ng/ml)

Ureum: 50mg% (<40mg%)

→ anemia

→ resiko rendah kanker prostat

→ gangguan fungsi ginjal

3.3 ANAMNESIS TAMBAHAN

Pada hasil anamnesis awal, didapatkan bahwa pasien baru datang dari jogja

dengan kereta api, dan tidak bisa kencing sejak semalam. Adapaun anamnesis tambahan

yang perlu ditanyakan pada pasien, adalah :

Riwayat penyakit sekarang :

- Apakah pasien benar-benar tidak dapat kencing atau hanya sedikit?

- Apakah kejadian ini yang pertama atau sudah pernah sebelumnya?

- Apakah pasien mengalami demam?

- Apakah pasien sering terbangun untuk ke kamar mandi di malam hari?

- Apakah ada nyeri di pinggang?

- Apakah terasa sakit saat berkemih?

- Apakah terdapat trauma sebelumnya?

Riwayat penyakit dahulu :

- Apakah pasien memiliki riwayat penyakit metabolik?

- Apakah pasien pernah menjalani operasi sebelumnya?

- Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan?

5

3.4 PEMERIKSAAN FISIK

Tanda Vital :

Tanda

vital

Hasil

pemeriksaanNilai normal Interpretasi Keterangan

TD 150/90 mmHg 120/80 mmHg MeningkatHipertensi

grade I

Nadi 80x/menit 60-100x/menit Normal Normal

pernafasan 20x/menit 16-20x/menit Normal Normal

Status Lokalis

Kepala : Tidak ada kelainan

Thoraks : Tidak ada kelainan

Abdomen : Agak membuncit, teraba tumor diatas simfesis hingga pusat

fluktuatif (+), redup, ballotemen (+), bising usus (+)

Ekstremitas : Pretibial udem (+)

Pemeriksaan colok dubur setelah kateterisasi :

Sfinkter baik

Mukosa licin dapat digunakan

Teraba prostat membesar simetris

Kenyal, permukaan licin, sulcus (+)

Darah (-)

Berdasarkan status lokalis yang didapat, maka kelompok kami

menginterpretasikan sebagai berikut : abdomen agak membuncit karena vesica urinaria

6

yang penuh, teraba tumor diatas simfesis hingga pusat fluktuatif merupakan tanda dari

pembesaran prostat atau kista, redup menandakan ada massa padat atau cair di abdomen,

ballotemen positif menandakan adanya cairan di abdomen, dan pada ekstremitas

ditemukan pretibial udem yang diakibatkan oleh retensi urin sehingga terjadi pembesaran

dari vesica urinaria yang menekan vena disekitarnya sehingga terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik intravena dan menyebabkan darah merembes keluar dan dapat juga

disebabkan oleh umur pasien yang lanjut, posisi duduk yang terlalu lama (perjalan

dengan kereta api) sehingga menghambat aliran darah balik menuju jantung, maka terjadi

pembendungan pada daerah ekstremitas bawah umumnya dan pada pasien ini didapatkan

pada daerah pretibial. Berdasarkan pemeriksaan colok dubur, didapatkan pembesaran

prostat (Hiperplasia Prostat Benigna/ BPH) tapi belum mengarah pada keganasan.

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Pemeriksaan

laboratorium

Hasil Nilai Normal Interpretasi

Hb 9 g/dl 13 – 18 g/dl ↓

Leukosit 6000/ul 5000 – 10000 / ul N

PSA (prostate spesific antigent)

10 ng/ml 5,4 ng/ml (batas atas) ↑

Ureum 50 % 15 – 40 mg % ↑

Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan hb yang menurun dari hasil normal

yang menandakan adanya anemia , anemia yang didapat pada pasien dimungkinkan dari

asupan yang kurang selama perjalanan ataupun karena adanya penyakit kronis ataupun

terjadinya inflamasi yang dapat menurunkan fe serum yang dipakai sebagai mediator

inflamasi. Pasien juga terdapat PSA yang meningkat, yang mengindikasikan

hiperproduksi dari kelenjar oleh prostat yang dapat mengindikasikan kepada BPH

ataupun karsinoma. Pada pasien juga terdapat peningkatan ureum yang mungkin

dikarenakan obstruksi yang membuat retensi urin sehingga menghambat aliran urin dari

7

ginjal ke arah uretra (yang dapat kita pantau setelah kateterisasi ) ataupun kemungkinan

terjadinya penurunan fungsi ginjal .

3.6 DIAGNOSIS

Berdasarkan anamnesis, anamnesis tambahan yang dilakukan, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang, maka kelompok kami mendiagnosis Tn. Hadi menderita :

1. Hiperplasia Prostat Benigna.

Diagnosis kerja ini ditegakkan berdasarkan keluhan utama Tn. Hadi tidak dapat

berkemih, pada pemeriksaan colok dubur teraba prostat membesar simetris,

kenyal, permukaan licin.

2. Anemia.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan konjuntiva agak anemis dan

pemeriksaan laboratorium HB 9g%

3. Hipertensi Grade 1

Pada pemeriksaan fisik, tensi Tn. Hadi 150/90. Menurut JNC VII tekanan darah

Tn. Hadi termasuk hipertensi Grade I

8

3.7 PATOFISIOLOGI

9

Pasien Tn. Hadi,

69 Tahun (lansia)

Remodelling jaringan pada

kelenjar prostat

Perubahan hormonal

Sindrom Metabolik

Inflamasi

Benign Prostatic Hyperplasia

(BPH)

Tidak bisa BAK

(retensi urin)

Obstruksi

Traktus Urinarius

(Leher vesika

urinaria)

Vesika urinaria

penuh

Pemeriksaan

Fisik :

Abdomen agak

membuncit

Redup

Ballotement (+)

Terjadi peningkatan

intratubular diikuti

peningkatan tekanan

hidrostatik glomeruli

Retensi garam,

urea dan air

Hipertensi

Kepala pening

Kurang tidur

Mabuk

perjalanan

Stress tidak

bisa BAK

AnemiaFiltrasi menurun

Gangguan fungsi

ginjal

Menekan vena

disekitarnya

Tekanan

hidrostatik

intravena >>

Pretibial Udem

Ureum >>

3.8 PENATALAKSANAAN

Non-medikamentosa

Kateterisasi pertama kali dilakukan pada saat pasien datang agar dapat

mengurangi keluhan utama pasien yaitu kesulitan bak dan diharapkan dapat

mengurangi perut pasien yang kembung.

Rawat inap

Tunggu dan awasi

Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,

yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pada tunggu dan

awasi ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan

mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya seperti :

o jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah

makan malam untuk mengurangi nokturia

o kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada

buli-buli (kopi atau cokelat)

o batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung

fenilpropanolamin, dan hindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik)

o kurangi makanan pedas dan asin

o jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta

untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan

keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun

volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada

sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.

Rujuk ke dokter spesialis urologi untuk penanganan lebih lanjut ( bedah sesuai

indikasi).

Medikamentosa

10

Doksazosin 1 – 4 mg 1x/hari

Dipilih obat doksazosin dari  golongan antagonis α1-adrenergik postsinaptik

untuk menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi

tonus leher buli-buli dan uretra dan juga dapat menurunkan keadaan hipertensi

pada pasien.Pemberian obat dapat mencapai masa awitan setelah pemberian

sekitar 2-4 minggu .

Finesteride 5mg 1x/hari

Dipilih obat ini karena dapat bekerja dengan cara menghambat pembentukan

dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α-

redukstase di dalam sel-sel prostat yang dapat menurunkan ukuran prostat dan

juga dapat meningkatkan aliran urin.Tetapi pada pemberian obat ini harus

diperhatikan karena dapat menibulkan efek samping berupa impotensia dan juga

penurunan libido pasien. Pemberian obat dapat mencapai masa awitan setelah

pemberian sekitar 3-6 bulan .

3.9 PROGNOSIS

Ad Vitam : Ad Bonam bila penanganan dilakukan dengan adekuat,

baik terhadap BPH maupun hipertensi yang dialami oleh pasien

Ad Functionam : Dubia Ad Bonam perlu dilakukannya pemeriksaan

terutama pada fungsi ginjal pasien, mengingat ditemukannya peningkatan ureum pada

pasien serta ditemukan adanya hipertensi pada pasien sendiri.

Ad Sanationam : Dubia Ad Malam mungkinnya terjadi relaps pada

pasien, mengingat usia pasien yang sudah lanjut dan adanya perubahan anatomis pada

prostat pasien sendiri

3.10 KOMPLIKASI

11

Terjadinya komplikasi pada pasien BPH sangat jarang pada umumnya. Bila

komplikasi terjadi, terdapat obstruksi saluran kemih sehingga akan mengganggu dari

aliran urin itu sendiri. Komplikasi yang akan terjadi adalah :

1. Adanya sumbatan total pada uretra (terjadi pada retensi urin akut) yang

mengakibatkan ketidakmampuan total pada pasien untuk berkemih. Perlu

dilakukan kateterisasi untuk mendrainase urin dalam vesika urinaria.

2. Dalam jangka panjang, sumbatan sebagian pada aliran urin dari vesika

urinaria sendiri (terjadi pada retensi urin kronik) sehingga terdapat sisa

urin dalam vesika urinaria (post void residual urine) yang bila dibiarkan

mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal.

3. Dapat terjadi infeksi saluran kemih pada pasien. Namun bila terjadi

berulang-ulang dapat mengakibatkan adanya inflamasi jangka panjang

atau infeksi pada prostat (prostatitis).

BAB IV

12

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 PENGERTIAN

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,

memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine,

dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi

sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi

prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya

bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan

disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau

adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh

penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat

yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun

orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang

dominan adalah hiperplasia

4.2 ANATOMI

Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck

dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram

dengan ukuran rata-rata:- Panjang 3.4 cm- Lebar 4.4 cm- Tebal 2.6 cm. Secara

embriologis terdiro dari 5 lobur:- Lobus medius 1 buah- Lobus anterior 1 buah- Lobus

posterior 1 buah- Lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus medius, lobus

anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada penampang

lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak

homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut

kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri

dari:

-Kapsul anatomis

13

-Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler- Jaringan

kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:

Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya

Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai

adenomatus zone

Di sekitar uretra disebut periuretral gland

Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika

seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam

uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada

orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.Sedangkan pada

penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.

Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak

dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan

dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.Apabila jaringan

fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan

cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga

lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen

uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan

kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.

4.3 ETIOLOGI

BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria berumur

lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–85

tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori telah dikemukakan

berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di antaranya 4:

Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a reduktase

dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat.

Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk merangsang

pertumbuhan epitel.

Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel

aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada

14

androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan

menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah

pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF)

dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi

transforming growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti.

Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula

dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena

tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De

Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:

Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan

testosteron dan estrogen.

Ketidakseimbangan endokrin.

Faktor umur / usia lanjut.

Unknown / tidak diketahui secara pasti.

4.5 TANDA DAN GEJALA

Gejala BPH dikenal sebagai lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), yaitu:

Gejala Iritatif :

o sering miksi (frekuensi sering)

o terbangun untuk BAK pada malam hari (Nokruria)

o perasaan ingin BAK yang mendesak (urgensi)

o nyeri pada saat miksi (disuria)

Gejala obstruktif :

o pancaran melemah

o rasa tidak puas setelah BAK

o kalau mau miksi menunggu lama (Hesitancy)

o harus mengedan (straining)

15

o kencing terputus-putus ( intermittency)

o miksi memenjang, akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena

nerflow

4.6 PATOFISIOLOGI

usia

hormon Interaksi stroma – epitel DHT Teori stem cell

hiperplasia prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesikal ↑

Resistensi pada leher buli-buli

otot detrusor menebalFase kompensasi

Detrusor melemah

Dekompensasi detrusor

Tidak mampu berkontraksi

Retensi urin

Hidronefrosis

Disfungsi sel kemih bag. Atas

16

Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu :

Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur) ditemukan

penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm ke

dalam rektum prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum

memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan pengobatan secara

konservatif , misal alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari.

Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol

penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder

inlet dengan muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari

50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk

intervensi operatif.

Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine

lebih dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol

sampai muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila

diperkirakan reseksi tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya

dilakukan operasi terbuka.

Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

prostat menonjol melewati muara ureter.

4.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

Analisa urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat

adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi.

Pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan untuk penyaringan

kanker prostate ( mengukur kadar antigen spesifik prostate atau PSA ).

17

G3 ekskresi urin

Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi

peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostate.

2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan USG untuk menentukan diagnosa dengan tepat, untuk

memperkirakan besarnya prostate, mencari kelainan patologi lain, baik yang

berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH.

Pemeriksaan Rontgen IVP untuk mengetahui adanya penyumbatan aliran air

kemih.

Pemeriksaan dengan endoskopi yang dimasukkan melalui uretra untuk

mengetahui penyebab lainnya dari penyumbatan aliran air kemih.

3. Pemeriksaan colok anus dengan menggunakan jari yang sudah menggunakan

sarung tangan & cairan pelumas untuk menentukan besarnya prostate, benjolan

keras ( menunjukkan kanker ) dan nyeri tekan ( menunjukkan adanya infeksi )

4.8 PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang

ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi

obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai

dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi.

Watchful waiting

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan

penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan

untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak

menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan

terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat

memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi

18

atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang

menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat

influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan

(5) jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang

kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS,

pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi

bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi

yang lain.

Medikamentosa

Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien

memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan

terapi medikamentosa atau terapi lain.Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha

untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2)

mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan adalah:

1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:

a. preparat non selektif: fenoksibenzamin

b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin

c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin

2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride

Antagonis reseptor adrenergik-α

Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat kontraksi otot polos

prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra.

Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama kali

diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.

Namun obat ini menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya

adalah hipotensi postural dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler.

Beberapa golongan obat antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat

yang pendek (short acting) diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari,

dan long acting yaitu, terazosin dan doksazosin yang cukup diberikan sekali sehari. Rata-

rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6

19

poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi.

Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti

terjadinya intoleransi dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan. Dibandingkan

dengan inhibitor 5α reduktase, golongan antagonis adrenergik-α lebih efektif dalam

memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju

pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-α

dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis

adrenergik-α saja. Doksazosin dan terazosin dapat memperbaiki gejala BPH dan

menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi.

Inhibitor 5 α-redukstase

Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati

BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT)

dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α-redukstase di dalam sel-sel prostat.

Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat

hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin,

dan meningkatkan pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6

bulan. Pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun mampu menurunkan volume

prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian retensi urine akut, dan

menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila

volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride, di

antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-

bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari

harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.

Terapi intervensi

Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau

pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah:

pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik

instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi

balon, dan stent uretra.

Pembedahan

20

Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya

adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena BPO, (3)

hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal yang

disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO.

Beberapa guidelines juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada

BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan

perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi

medikamentosa. Terdapat tiga macam teknik pembedahan, yaitu prostatektomi terbuka,

insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra (TURP). Pembedahan

terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm3.

Prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia urine

yang lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP. Prosedur TURP merupakan

90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. TURP lebih sedikit

menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa

pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH

hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Komplikasi dini yang

terjadi pada saat operasi yang paling sering adalah perdarahan. TUIP atau insisi leher

buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil

(kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan

adanya kecurigaan karsinoma prostat. Pengawasan berkala

Semua pasien BPH setelah mendapatkan terapi atau petunjuk watchful waiting perlu

mendapatkan pengawasan berkala (follow up) untuk mengetahui hasil terapi serta

perjalanan penyakitnya sehingga mungkin perlu dilakukan pemilihan terapi lain atau

dilakukan terapi ulang jika dijumpai adanya kegagalan dari terapi itu. Secara rutin

dilakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, atau pengukuran volume residu urine pasca

miksi. Pasien yang menjalani tindakan intervensi perlu dilakukan pemeriksaan kultur

urine untuk melihat kemungkinan penyulit infeksi saluran kemih akibat tindakan itu.

Untuk terapi selanjutnya dapat dirujuk ke spesialis urologi.

21

4.9 KOMPLIKASI

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

Inkontinensia Paradoks

Batu Kandung Kemih

Hematuria

Sistitis

Pielonefritis

Retensi Urin Akut Atau Kronik

Refluks Vesiko-Ureter

Hidroureter

Hidronefrosis

Gagal Ginjal

22

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis yang didapat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

yang sudah dilakukan maka diagnosis yang ditegakan adalah hiperplasia prostat benigna,

anemia, dan hipertensi grade I. Maka penatalaksanaan awal yang dilakukan adalah

kateterisasi pasien yang selanjutnya diikuti dengan non-medikamentosa yaitu merawat

inap pasien, mengedukasi dan merujuknya ke spesialis urologi, sedangkan

medikamentosa diberikan doksazosin dan finesteride. Apabila penanganan adekuat, maka

kemungkinan prognosis yang didapatkan adalah ad vitam bonam, ad fungsionam dubia

ad bonam, dan ad sanationam dubia ad malam. Komplikasi yang mungkin terjadi pada

pasien adalah sumbatan total pada uretra, dalam jangka panjang dapat terjadi sumbatan

pada aliran kemih, dan infeksi saluran kemih.

23

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.

http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/c hp43.asp

2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensus sementara benign prostatic hyperplasia

di Indonesia, 2000

3. ( http : // www.medicastore.com / penyakit/ 557/ pembesaran-prostat-jinak-BPH-

Benign-Prostatic-Hyperplasia-html )

4. Silbernargl S, Lang F. Teks & Atlas Bewarna Patofisiologi. Jakarta : EGC, 2006.

5. Nafrialdi. Antihipertensi. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, editors.

Farmakologi dan Terapi 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.p.354-7.

6. European Association of Urology. European Urology Supplements 8

(2009) : Benign Prostatic Hyperplasia and Its Aetiologies. Available

at : http://www.urosource.com/fileadmin/European_Urology/european_urology/

Briganti%20PF.pdf. Accessed On : June 13th, 2013. 

24