Upload
riya-effendy
View
107
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jhh
Citation preview
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik
dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa
bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang
pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang
wanita kira-kira delapan kali lenih banyak dari pria. Penyakit ini sering kali berawal pada
akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di amerika serikat , penyakit ini menyerang
wanita kulit hitam tiga kali lebih sering dari pada wanita kulit putih. Jika penyakit ini baru
muncul pada usia diatas 60 tahun, biaanya akan lebih mudah untuk diatasi.
Semula lupus eritematosus sistemik digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada
sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang menyerupai kupu-
kupu, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi. Gambaran ini menyerupai
gigitan serigala (lupus dalam bahasa latin yang berarti serigala). Lupus diskoid adalah nama
yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan
kulit.
SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan penyambung difus yang
etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, artritis
reumatoid, dan sindrom sjogren. Gangguan-gangguan ini sering kali memiliki gejala-gejala
yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil secara bersamaan,
sehingga diagnosis menjadi sulit untuk ditegakkan secara akurat. SLE dapt bervariasi dari
satu gangguan ringan sampai sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan.
Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau
hanpir remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Identifikasi awal dan
penatalaksanaan SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari SLE biasanya dapat membingungkan, terutama pada awalnya.
Gejala yang paling sering adalah atritis simetris atau atralgia, gangguan ini dapat ditemukan
pada sekitar 90% dari seluruh kasus, sering kali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang
paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu,
lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena jarang
bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodula subkutan juga jarang ditemukan pada
penyakit lupus eritematosus sistemik.
Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat
badan yang biasanya timbul pada masa awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan
penyakit ini. Keletihan dan rasa lelah bisa timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan
yang ditimbulkan oleh SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada pipi, leher, dan
anggota gerak, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari penderita SLE memiliki ruam khas
berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul
alopesia (rambut rontok), yang mana kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya
dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga, dapat terjadi ulserasi pada mukosa nulut dan
nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronis dari SLE. SLE
juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau
perikardium.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% pemderita SLE. Beberapa kasus dapat
sangat berat sehingga dapat terjadi ganggren pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua
ukuran arteria dan vena.
Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi antinuklear (anti-DNA) melekat pada
antigennya (asam deoksiribonukleat, atau DNA) dan diendapkan pada glomerulus ginjal.
Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik
pada penderita SLE. Komplemen terfiksasi pada komplek imun ini, dan proses peradangan
dimulai. Akibatmya terjadi peradanngan ginjal, kerusakanm jaringan dan pembentukan
jaringan parut.
Kira-kira 65% dari penderita SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya. Tetapi
hanya 20% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan pemeriksaan
adanya protein dan sel darah merahatau silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan
diagnosis pasti mkungkin perlu dilakukan biopsi ginjal.
SLE juga dapat ,meyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang
ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan
saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat sering
berkaitan dengan bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat patal.
DIAGNOSIS
The american rheumatism association telah mengembangkan kriteria untuk memilah
SLE, adanya empat atau lebih dari ke-11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup
untuk menegakkan diagnosa.
1. Ruam di daerah malar
2. Ruam diskoid
3. Foto sensitivitas
4. Ulkus mulut
5. Artritis (tidak erosif, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer)
6. Serositis : pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan pada ginjal: proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari, atau adanya
silinder selular.
8. Gangguan neurologik: kejang-kejang atau psikosis
9. Gangguan darah: anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau trombositopenia
10. Gangguan imunologik: sel-sel lupus erimatosus (LE) positif, anti-DNA, anti-Sm, atau
suatu ujicoba serologik positif palsu untuk sifilis
11. Antibodi antinuklear
LUPUS ERITEMATOSUS KARENA OBAT
Ada sejumlah obat yang dapaat menginduksi penyakit SLE pada orang-orang yang
peka. Sindrom ini memberikan gejala-gejala yang hampir menyerupai gejala-gejala SLE,
termasuk uji antinuklear antibodi (ANA) yang positif, tetapi jarang menyerang ginjal dan
sistem saraf pusat. Gejala-gejala SLE yang timbul akan menghilang dalam waktu beberapa
minggu setelah obat yang menyebabkannya dihentikan. Hasil pemeriksaan ANA akan
kembali menjadi negatif dalam waktu beberapa bulan kemudian. Hidralazin dan prokainamid
adalah dua dari kelompok obat-obatan yabg paring sering menimbulkan gangguan ini. Selain
itu ada juga beberapa obat yang mampumenimbulkan ANA positif, misalnya penisilamin,
isoniazid, klorpromazim dan obat-obatan anti konvulsan seperti barbiturat, fenitoid,
etosuksimid, metsuksimid, dan primidon. Beberapa obat dapat menyebabkan eksaserbasi SLE
pada penderita yang sebelumnya berada dalam keadaan remisi. Kelompok ini mencakup
sulfonamid, penisilin, dan kontraseptif oral.
UJI LABORATORIUM
Antibodi antinuklear positif pada lebih dari 95% penderita SLE. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui akan adanya antibodi yang mampu menghancurkaninti dari sael-
sael tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguma untuk mengevaluasi pola
dari ANA dan antibodi yang spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat
yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding untukmengetahui tipe
ANA spesifik saat ini sudah dapat di lakukan, dan pemeriksaan ini berguna untuk
membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lain. Antibodi terhadap DNA untai ganda
(dsDNA) , merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat juga
menyebabkan ANA positif, tetapi antibodi anti-DNA jarang ditemukan kecuali SLE.
Laju endap darah pada penderita SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik
untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit.
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai
sampai sekarang adalah uji faktor lupus eritematosus. Sel LE dibentuk dengan merusak
beberapa sel darah putih penderita sehingga sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan
nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh sael
darah putih normal yang masih ada. Sel LE mudah dikenali. Faktor ini biasanya dapat
ditunjukkan dalam perjalanan penyakit apabila pemeriksaan cukup sering dilakukan. Sel LE
dapat ditemukan pada gangguan sistemik lain dari penyakit golongan reumatik yang juga
diperantarai oleh imunitas.
Air kemih diperiksa untuk mengetahui adanya protein, sel darah putih, sel darah
merah, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk
memantau perkembangan penyakit ini.
PENALATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita SLE bersifat multifaset dan meliputi penyuluhan, terafi
obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini
tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa dari seorang wanita.
Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan
penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak. Kehamilan
dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya pada wanita yang memiliki
kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk mengendalikan penyakit
ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakakan bayi dalam kandungan.
Metode kontraseptif tidak boleh dengan memakai obat-obatan oral, karena kontraseptif oral
dapat memperberat SLE. Alat yang dimasukkan dalam kandungan dapat menjadi suatu
masalah bagi wanita yang mendapatkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik, karena
adanya potensi menimbulkan infeksi.
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat anti radang
nonsteroid (AINS), kortikosteroid, anti malaria, dan imunosupresif. Pemilihan obat yang
sesuai tergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. AINS dipakai untuk
mengatasi atritis dan artralgia. Aspirin lebih jarang dipakai karena memiliki insidens
hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada
kulit, hati dan ginjal. Sehingga pemberiannya harus dipantau dengan seksama.
Pemberian anti malaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dengan dosis
tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk
memantau pemakaian dosis. Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasa dipakai ketika (1)
diagnosis pasti sudah ditegakkan, (2) adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa, (3)
kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak
memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping, dan
(4) tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma.
Serangan akut SLE, terutama pada mereka yang juga memiliki nefritis interstisial,
diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu yang sangat singkat. Dosis obat-
obatan ini biasa dikurangi setelah beberpa minggu. Baik SLE dan kortikosteroid sistemik
dapat menimbulkan perubahan tingkah laku dan akan sulit untuk dibedakan.
Pengobatan yang masih bersifat eksperimen untuk penderita SLE termasuk
penyinaran limfoid total untuk mengubah sistem imunitas, dan pertukaran plasma untuk
mengurangi konsentrasi antibodi intravaskular, kompleks imun, dan mebiator peradangan
lainnya.
Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari terkena sinar
ultraviolet. Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet
secara normal akan bersifat antigenik, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena
sinar. Penderita SLE harus dianjurkan untuk memakai payung, topi, dan baju lengan panjang
apabila keluar rumah. Untuk anak remaja, mengikuti nasihat ini mungkin akan sulit. Tabir
surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet. Tabir
matahari ini harus dipakai setelah berenang atau setelah berolah raga berat. Penderita juga
harus diberi daftar obat-obatan yang dapat menimbulkan serangan penyakit, agar timbulnya
penyakit akibat pemakaian obat-obatan ini dapat dicegah.
PROGNOSIS
Prognosis untuk SLE bervariasi dan tergantung pada keparahan gejala, organ-organ
yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,
penatalaksanaannya ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh
mana gejala-gejala ini dapat diatasi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi ALLAH SWT serta atas berkat rahmat dan karunia-Nya
jualah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas kelompok ini yang berjudul “
LUPUS ERITEMATOSUS ”.
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah KMB III. Saya sadar bahwa apa yang
kami buat ini masih ada banyak kekurangannya, untuk itu kritik yang membangun dan saran
dari semua pihak sangat kami harapkan.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesainya tugas ini. Semoga apa yang kami buat ini bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi si pembuat sendiri. AMIN.
Sampit, April 2007
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Price , A sylvia. Lorraine M. Wilson. 1995 . PATOFISIOLOGI Konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Burnside – Mc Glynn . 1995. Diagnosis Fisik. Edisi 17. Jakarta EGC.