Upload
arrahmi-amir
View
54
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
Data Pasien
Tanggal Pemeriksaan : 4 Desember 2012
Np. Medrek : 120xxxxx
Nama : Tn. A S
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Bandung
Masuk RSHS : 4 Desember 2012
Anamnesis
Keluhan Utama : Panas badan
Anamnesis Khusus :
Sejak 2 minggu lalu pasien mengeluh panas badan terus-menerus. Panas
badan berkurang dengan obat penurun panas, namun kemudian kambuh kembali.
Pasien juga mengeluhkan terdapat sariawan pada lidah dan pipi bagian dalam. Pasien
merasa badannya lemas, cepat merasa lelah dan pandangan berkunang-kunang bila
bangun dari duduk/jongkok ke berdiri. Mencret dengan frekuensi kurang lebih 1-2x
sehari, encer, berlendir, dan ada darah.
1
Pasien diketahui menderita B 20 sejak 5 tahun yang lalu, kontrol teratur di
poliklinik Teratai sampai 1 tahun yang lalu. Namun, pasien tidak pernah kontrol lagi
sejak 1 tahun lalu karena merasa sudah sembuh, dan berhenti mengonsumsi obat.
Riwayat penyakit TB sejak 5 tahun lalu, terapi selama 6 bulan di poliklinik
DOTS dan sudah dinyatakan sembuh.
Tanda Vital
Kesadaran : CM
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : febris (38,3oC)
Kepala : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, mukosa bibir kering,
bercak-bercak putih di rongga mulut (+)
Leher : JVP 5+2 cm H2O, KGB tidak teraba
Thorax : Bentuk dan gerak simetris, batas paru-hepar InterCostal Space V
kanan, pergerakan 2 cm.
COR : Ictus cordis tidak tampak, teraba di intercostal space V (mid
clavicularis), tidak kuat angkat, thrill (-), batas kanan linea sternalis
dextra, kiri intercostal space V, (mid clavicularis), batas atas
intercostal space III. Bunyi jantung S1, S2 (-), S3(-)
Pulmo : Vocal Fremitus (VF) kiri=kanan normal, perkusi sonor
kiri=kanan, VBS kiri=kanan, Vocal Resonansi (VR) kiri=kanan N,
ronchi -/- , wheezing -/-
Abdomen : datar, BU (+) N, lembut, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, R.
Trauber kosong, pekak samping (-).
2
Gambar 1. Candidiasis pada dorsum lidah Gambar 2. Xerostomia/dry mouth
Ekstremitas : akral hangat +/+, cap refill < 2”, sianosis -/-, edema pitting pre
tibial -/-
PEMERIKSAAN INTRA ORAL
Kebersihan Mulut : baik/sedang/buruk plak +/- RA
dan RB
Kalkulus +/- RA dan RB stain +/- RA dan RB
Gingiva : Oedem , terdapat destruksi pada papila interdental yang
ditutupi lapisan pseudomembran putih keabuan
Mukosa Bukal : TAK
Mukosa Labial : TAK
Palatum Durum : TAK
Palatum Mole : TAK
Frenulum : TAK
Lidah : terdapat lesi putih, berupa noda dan plak berwarna putih seperti
gumpalan susu (krim) pada dorsum lidah.
Dasar Mulut : TAK
Bibir : kering
3
Gambar 2. NUG pada gingiva
Diagnosis Kerja
B 20 Stadium IV dengan IO : Candidiasis Oral, wasting syndrome
Bisitopenia ec B 20
Diagnosis Intra Oral
NUG
Candidiasis
Xerostomia/dry mouth
Pengobatan
Bed Rest
Diet lunak 1500 kkal/hari, protein 1gr/KgBB/24 jam, Kh:L 60:40
IV NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam
Cotrimoxazol 1x960 mg PO
4
Paracetamol 3x500 mg/hari PO (6 Des’12)
Nystatin oral suspense 4 x 5 cc (4 Des’12 – 5 Des’12)
Fluconazol 1x200 mg PO (mulai 5 Des’12)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (4 Desember 2012)
No. Pemeriksaan Hasil Nilai Normal1 KIMIA KLINIK
AST (SGOT)ALT (SGPT)
8632
L:s/d 37L: s/d 40
2 URINE/FESESFeses rutinMakroskopis fesesWarna KonsistensiDarah LendirNanahParasitMikroskopis fesesLekositEritrositTelur cacingamoeba
KuningLembekNegatifNegatifNegatifNegatif
Positif 4NegatifNegatif
-LembekNegatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif
Pemeriksaan Laboratorium (9 Desember 2012)
No. Pemeriksaan Hasil Nilai Normal1. HEMATOLOGI
Darah Rutin Hemoglobin Hematokrit Leukosit Eritrosit
8.023
30002.53
13,5 - 17,5 g/dL40 - 52 %
4400 - 11300/mm34.5 - 6.5 juta/µL
5
Trombosit Indeks Eritrosit MCV MCH MCHC
258000
89.731.635.2
150000 - 450000/mm3
80 - 100 fL26 - 34 pg32 - 36 %
2 KIMIA KLINIK Ureum Kreatinin Glukosa Darah Sewaktu Natrium (Na) Kalium (K)Kalsium (Ca bebas)Magnesium (Mg)
230.721041244.64.901.60
15 - 50 mg/dL0.7 - 1.2 mg/dL
< 140 mg/dL135 - 145 mEq/L3.6 – 5.5 mEq/L4.7 – 5.2 mg/dL
1.70 – 2.55 mg/dL
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
1. DEFINISI HIV/AIDS
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang
kekebalan tubuh pada manusia sehingga tubuhnya rentan terhadap infeksi dan
penyakit. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang
menimbulkan infeksi opurtunistik, neoplasma sekunder dan manifesitasi neurologis
(Viney Kumar, 2007; Sepkowitz, 2001).
Pada tingkat pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada pendrita
AIDS itu sendiri. Penderita AIDS di masyarakat dapat digolongkan kedalam 2
kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita
AIDS negatif).
2. ETIOLOGI
Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
tergolong Retrovirus RNA. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan
7
kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HIV
III. Lalu, pada tahun 1986 atas kesepakatan internasional nama virus ini diubah
menjadi HIV (Siregar, 2004).
HIV merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai
sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Limfosit T, karena ia
mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Limfosit T,
virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama
dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian, virus dalam tubuh penderita
HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan ditularkan selama
penderita tersebut hidup. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan terhadap panas
dan bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai
disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, namun
virus ini relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet (Siregar, 2004).
Gambar 1. Human Immunodeficiency Virus/HIV(sumber:http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en2.png)
8
3. CARA PENULARAN
HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh, Cairan tubuh merupakan
vehikulum yang dapat membawa virus HIV dan cairan yang terbukti menularkan
diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik merupakan penularan infeksi HIV
yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan
vagina atau servik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia
yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (FHI, 2012; Siregar, 2004).
2. Transimisi Non Seksual
2.1 Transmisi Parenral
1. Penggunaan Jarum Suntik dan alat tusuk (jarum) lainnya
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik/tato)
yang telah terkontaminasi HIV, misalnya pada pengguna narkotika yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Selain itu,
transimisi dapat terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan
9
tanpa disterilkan terlebih dahulu atau penggunaan jarum yang telah tercemar pada
saat pemasangan tato atau tindik tubuh. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1% (FHI, 2012; Siregar, 2004).
2. Transfusi Darah
Transmisi melalui transfusi darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Setelah tahun 1985, transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang,
karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (FHI, 2012; Siregar,
2004).
2.2 Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar
50%. Penularan dapat terjadi sewaktu melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan
melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (FHI, 2012; Siregar,
2004).
4.PATOGENESIS HIV/AIDS
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk
zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel limfosit T4. Setelah HIV
10
mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak
akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi
irreversibel dan berlangsung seumur hidup Siregar, 2004).
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun
akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan
memperlihatkan gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6
bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan
pada orang dewasa (Siregar, 2004).
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak sehingga
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma Kaposi
(Vaseliu, 2013; Siregar, 2004).
11
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala (symptoms) yang timbul pada penderita AIDS sulit
didefinisikan karena merupakan gejala tersebut berawal dari gejala umum yang lazim
timbul pada beberapa penyakit lain, yaitu:
Rasa lelah dan lesu
Berat badan menurun secara drastis
Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru-paru
Kanker kulit
Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada Orang Dewasa Menurut WHO
Stadium
Gambaran Klinis Skala Aktifitas
I 1. Asimptomatik2. Limfadenopati generalisata
Asimptomatik, aktifitas normal
II 1. Berat badan menurun < 10%2. Kelinan kulat dan mukosa yang ringan
seperti mukosa seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir4. Infeksi saluran nafas bagian atas,
seperti sinusitis bakterialis
Simptomatik, aktifitas normal
III 1. Berat badan menurun < 10% Pada umumnya lemah,
12
2. Diare kronis yang lebih dari 1 bulan3. Demam berkepanjangan lebih dari 1
bulan4. Kandidiasis orofaringeal5. Oral hairy leukoplakia6. TB paru dalam tahun terakhir7. Infeksi bkcterial yang berat seperti
pneumonia, piomiositis.
aktifitas di tempat tidur < 50%
IV 1. HIV wasting syndrome 2. Pneumonia pneumocytis carinii3. Toksomplasmosis otak4. Diare kriptosporidiosis lebih dari 1
bulan5. Kriptokokosis ekstrapulmonal6. Retinitis virus sitomegalo7. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan8. Leukoensefalopati multifocal
progresif9. Mikosis diseminata seperti
histoplastosis10. Kandidiasis di eosophagus, bronkus,
trakea dan paru11. Mikobakteriosis atipikal desiminata 12. Septisimia salmenolosis non tipoid13. Tuberkolosis di luar paru14. Limfoma15. Sarcoma Kaposi16. Ensefalopati HIV
Pada umunya sangat lemah, aktifitas di tempat tidur > 50%
13
MANIFESTASI ORAL
Tabel 1. Lesi orofasial yang dihubungkan dengan HIV/AIDS pada orang dewqasa
(Vesiliu, 2013)
6.PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSIS AIDS
Ada lebih dari satu jenis tes HIV yang digunakan untuk menentukan apakah
seseorang telah terinfeksi HIV. Tes-tes ini mendeteksi zat yang berbeda dalam darah
yang muncul ketika seseorang telah terinfeksi HIV. Satu tes mendeteksi protein HIV
14
yang beredar dalam tubuh setelah seseorang telah terinfeksi. Dua tes lain mendeteksi
antibodi HIV yang telah diproduksi oleh tubuh setelah infeksi HIV terjadi. Tes-tes
tersebut adalah:
ELISA TES
Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif
maka orang tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan lagi..
Jika tes ini positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil yang positif
dari tes pertama (Riyarto, 2011).
BLOT WESTERN TES
Tes ini digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif tes Elisa. Uji Blot
Western mendeteksi pita protein spesifik yang hadir dalam individu yang terinfeksi
HIV. Bila tes Elisa positif serta Western Blot positif maka hasilnya adalah 99,9
persen akurat dalam mendeteksi bahwa infeksi HIV telah terjadi (Riyarto, 2011).
HIV PCR
Tes PCR mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Tes PCR
mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam ribonukleat (RNA)
dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur genetik orang yang
terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA dari virus HIV beredar
dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan" menunjukkan adanya virus
HIV (Riyarto, 2011).
15
7.TERAPI
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk
HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang waktu hidup dari penderita HIV. Pengobatan
ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 penderita
HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka diperlukan suatu
kombinasi yang terdiri dari tiga atau lebih ARV, secara umum disebut Antiretroviral
yang sangat aktif (High Active Antiretoviral Therapy / HAART). Kombinasi dari
ARV dapat mengunakan (FHI, 2012):
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), menargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan
dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu
enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam
memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk:
Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
16
2.2 WASTING SYNDROME
Wasting syndrome merupakan kondisi yang ditandai dengan menurunnya
berat badan berhubungan dengan demam kronis dan diare. Selama periode 1 bulan,
pasien bisa saja kehilangan 10% berat badan dari berat awal. Pada kasus infeksi
HIV,malnutrisi wasting dapat memperburuk kondisi. (Mosby's Medical Dictionary,
8th edition. 2009, Elsevier)
Wasting AIDS adalah hilangnya lebih dari 10% berat badan, disertai dengan
>30 hari diare, rasa lemas, dan atau demam. Wasting terkait dengan perkembangan
penyakit dan kematian. Kehilangan hanya 5% dari berat badan dapat memiliki efek
negative yang sama. Meskipun insidensi dari wasting syndrome sudah menurun
secara drastis sejak tahun 1996, wasting tetap menjadi masalah bagi penderita AIDS,
bahkan pada penderita HIV yang terkontrol dengan menggunakan obat-obatan.
Bagian dari berat tubuh yang hilang pada wasting adalah lemak. Yang lebih penting
adalah hiilangnya massa otot. Hal ini juga disebut “lean body mass” atau “body cell
mass” (http://www.aidsinfonet.org).
Wasting AIDS dan lipoatrophy, keduanya bisa menyebabkan beberapa
perubahan pada bentuk tubuh. Wasting merupakan hilangnya berat tubuh dan otot.
Lipoatrophy dapat menyebabkan hilangnya lemak di bawah kulit. Wasting tidak sama
dengan kehilangan lemak karena lipodystrophy. Namun, wasting pada wanita bisa
diawali dengan kehilangan lemak.
17
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap wasting AIDS diantaranya:
- Asupan makanan yang rendah:
- Penyerapan gizi yang buruk: Pada orang yang sehat, penyerapan nutrisi
berlangsung pada usus kecil. Pada penderita HIV, adanya beberapa infeksi
(termasuk parasit) dapat mengganggu proses ini. HIV secara langsung dapat
mempengaruhi lapisan usus dan mengurangi penyerapan nutrisis. Diare
menyebabkan hilangnya kalori serta nutrisi.
- Perubahan metabolism: pencernaan makanan dan pembentukan protein
terganggu dengan penyakit HIV, bahkan sebelum gejala muncul, dibutuhkan
energi lebih banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan aktivitas
dari system imun. Penderita HIV membutuhkan lebih banyak kalori hanya
untuk mempertahankan berat tubuhnya.
Tingkat hormon dapat mempengaruhi metabolisme. HIV tampaknya
mengubah tingkat beberapa hormon, termasuk testosteron dan tiroid. Sitokin
jugaberperan dalam wasting. Sitokin adalah protein yang menghasilkan peradangan
untuk membantu tubuh memerangi infeksi. Orang dengan HIV memiliki tingkat
sitokin yang sangat tinggi. Hal ini membuat tubuh memproduksi lebih banyak lemak
dan gula, tetapi protein kurang.
Sayangnya, faktor-faktor ini dapat bekerja sama untuk menciptakan sebuah
“downward spiral”. Misalnya, infeksi dapat meningkatkan kebutuhan energi tubuh.
Pada saat yang sama, mereka dapat mengganggu penyerapan gizi dan menyebabkan
18
kelelahan. Hal ini dapat mengurangi nafsu makan, mereka makan lebih sedikit, hal ini
mempercepat proses penurunan berat badan.
Tidak terdapat standar untuk mengobati Wasting AIDS. Namun, pengobatan
antiretroviral yang sukses biasanya menyebabkan naiknya berat badan yang sehat.
Pengobatan wasting berhubungan dengan masing-masing penyebab yang disebutkan
di atas (http://www.aidsinfonet.org).
- Mengurangi rasa mual dan muntah membantu meningkatkan jumlah makanan
yang masuk. Stimulan nafsu makan juga dapat digunakan.
- Mengobati diare dan infeksi oportunistik dalam usus membantu meringankan
penyerapan gizi yang buruk. Namun, dua infeksi parasit - kriptosporidiosis
dan mikrosporidiosis - masih sangat sulit untuk diobati. Pendekatan lainnya
adalah penggunaan suplemen gizi yang dirancang khusus untuk memberikan
kemudahan menyerap nutrisi. Suplemen harus digunakan sebagai tambahan
untuk diet seimbang.
- Mengobati perubahan dalam metabolisme: perawatan hormon sedang dalam
tahap penelitian. Hormon pertumbuhan manusia (Serostim) meningkatkan
berat badan dan lean body mass, sekaligus mengurangi massa lemak.
Testosteron dan anabolik (muscle building) mungkin juga dapat membantu
mengobati wasting.
19
2.3 NECROTIZING ULCERATIVE GINGIVITIS (NUG)
1. Definisi
NUG adalah kondisi inflamasi pada gingiva yang mengalami kerusakan
berupa ulserasi dan nekrosis pada papila dan margin gingiva. NUG sering terjadi pada
perokok dan pasien immunocompromised, terutama pada mereka dengan human
immunodeficiency virus (HIV). NUG dianggap sebagai infeksi oportunistik.
Penyebab pasti NUG tidak diketahui, tetapi diduga bahwa mikroorganisme yang
paling sering menyebabkan lesi ini adalah bacillus fusiform dan spirochetes. Ada juga
proliferasi obligat anaerob, batang non-spora (Field and Longman, 2004; Newman
et.al., 2002).
Sebagai akibat dari rasa sakit yang berat, timbul ketidakmampuan untuk
makan dan menjaga kebersihan mulut dan ada kaitannya dengan penurunan berat
badan. Dalam beberapa pasien dengan NUG terdapat demam, malaise, dan
limfadenitis. Setiap pasien dengan faktor predisposisi yang tidak dapat diidentifikasi,
harus dicurigai menderita gangguan sistemik yang mendasari, mengingat
kemungkinan adanya kelainan darah pada pasien tersebut, sehingga pemeriksaan
hematologis harus dilakukan. Salah satu masalah klinis terbesar dalam penanganan
NUG adalah kekambuhan. Pasien dengan kebersihan mulut yang buruk atau dengan
kontur gingiva berubah sebelumnya, karena faktor-faktor lokal, rentan terhadap
infeksi berulang, terutama jika faktor predisposisi masih bertahan (Field and
Longman, 2004).
20
2. Gambaran Klinis
Gambaran klinis NUG adalah nyeri dan perdarahan gingiva, disertai dengan
nekrosis papila gingiva, tenderness, dan rasa logam. Lesi awal umumnya terbatas
pada ujung papila interdental. Ulserasi ini kemudian menyebar di sepanjang margin
gingiva. Ulserasi ditutupi lapisan pseudomembran berwarna putih keabu-abuan.
Seiring dengan kerusakan papilla, nekrosis umumnya memanjang kea arah lateral di
sepanjang margin gingiva di permukaan facial atau lingual dari gigi (Field and
Longman, 2004).
Gambar. Lesi nekrosis yang meluas dari papila dan margin gingiva padapasien HIV (http://gr.dentistbd.com/necrotizing-ulcerative-gingivitis-ppt.html)
Pindborg dkk, menjelaskan proses pada NUG sebagai berikut:
a. erosi hanya pada ujung interdental papilla;
21
b. lesi yang berlanjut ke marginal gingival dan menyebabkan erosi lanjutan
pada papilla dan berpotensi menghilangkan seluruh papilla;
c. attached gingiva juga terpengaruh; dan
d. pembukaan tulang.
Horning dan Cohen menjelaskan tahap dari perjalanan suatu penyakit nekrosis
seperti dibawah ini :
Tahap 1 : Nekrosis pada ujung papila interdental
Tahap 2 : Nekrosis seluruh bagian papila
Tahap 3 : Nekrosis berlanjut ke margin gingiva
Tahap 4 : Nekrosis juga berlanjut ke attached gingiva
Tahap 5 : Nekrosis berlanjut ke mukosa bukal atau mukosa labial
Tahap 6 : Nekrosis merusak tulang alveolar
Tahap 7 : Nekrosis melobangi kulit pipi
Menurut Horning dan Cohen, tahap 1 adalah NUG, tahap 2 bisa digolongkan
sebagai NUG atau NUP jika terjadi loss attachment, tahap 3 dan 4 merupakan tahap
terjadinya NUP, tahap 5 dan 6 adalah necrotizing stomatitis, dan tahap 7 adalah noma
(Newman et.al., 2002).
Pada pasien immunocompromised kondisi lesi NUG akan memburuk karena
kerusakan fungsi T-cell dan pada pasien HIV yang jumlah neutrofil dalam darahnya
menurun dapat menyebabkan lesi nekrosis berkembang dengan cepat. Pasien
terinfeksi HIV dengan NUG, proses nekrosis dan ulserasi bersifat progresif, pertama
melibatkan gingiva saja, dan kemudian berkembang menjadi NUP (necrotizing
22
ulcerative periodontitis) dengan keterlibatan perlekatan jaringan periodontal dan
tulang alveolar (Regezi et.al., 2003).
3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terkait dengan NUG yang paling umum secara sistemik
adalah stres psikologis, kelelahan, daya tahan tubuh yang menurun, kekurangan gizi,
penyakit yang mempengaruhi neutrofil (seperti leukemia atau anemia aplastik), dan
infeksi HIV, juga faktor lain seperti merokok, meskipun tidak mudah untuk melihat
bagaimana faktor-faktor beroperasi. Nikotin menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah dengan penurunan aliran darah ke jaringan dan peningkatan kerentanan
terhadap infeksi dan kerusakan.
Penurunan respon imun merupakan faktor predisposisi sistemik penting untuk
NUG. Sebuah chronic necrotizing gingivitis berhubungan dengan infeksi HIV. Pada
pasien yang sehat dengan NUG, penyebaran infeksi dari margin gingiva relatif jarang
terjadi. Pada pasien dengan penyakit sistemik tertentu infeksi dapat menyebar ke
jaringan sekitarnya (Newman et.al., 200; Pindborg, 2009).
4. Diagnosis NUG
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Smear bakteri
digunakan untuk menguatkan diagnosis klinis. Bakteri yang mungkin dapat ditemui
meliputi, Treponema vincentii, denticola, dan macrodentium, Prevotella intermedia,
Porphyromonas gingivalis, dan Fusobacterium nucleatum. Dari penelitian Loesche
23
1972, sampel plak yang diambil dari pasien NUG menunjukkan adanya flora anaerob
Treponema spp, Selenomonas spp, Fusobacterium spp, dan Bacteroides intermedius
(Field and Longman, 2004; Newman et.al., 2002).
5. Penatalaksanaan NUG
Pengobatan awal NUG terdiri dari kontrol plak supragingiva, menghilangkan
faktor-faktor predisposisi dan penggunaan antibiotik sistemik. Pasien yang
mempunyai kebiasaan merokok harus dianjurkan untuk menahan diri dari merokok.
Instruksi yang diberikan pada pasien untuk menggunakan chlorhexidine gluconate
0,12% dengan cara berkumur dan menyikat gigi dengan lembut. NUG merespon
dengan cepat penggunaan Metronidazol dengan dosis 200 mg tiga kali sehari selama
3 hari, dan Penicillin 250mg sampai 500mg diberikan 4 kali sehari selama 5 hari,
dalam banyak kasus cukup untuk mengurangi gejala. Setelah fase akut telah teratasi,
perawatan periodontal harus dimulai seperti scaling dan root planning, serta dengan
saran berhenti merokok karena faktor predisposisi sangat bepengaruh pada
kekambuhan NUG (Field and Longman, 2004; Greenberg et.al., 2008; Newman
et.al., 2002).
2.4 XEROSTOMIA / DRY MOUTH
Xerostomia atau biasa disebut dengan mulut kering merupakan hal yang
umum dijumpai pada orang lanjut usia dan dapat pula disebabkan karena penyakit
24
sistemik, obat-obatan, maupun terapi radiasi pada kepala dan leher. Seseorang dengan
xerostomia biasanya merasa terganggu pada saat pengunyahan, berbicara, penelanan
dan penggunaan gigi tiruan. Kurangnya saliva dapat menjadi predisposisi salah satu
infeksi mulut seperti Candidiasis dan meningkatkan resiko karies gigi. Dokter gigi
harus bisa mendiagnosis kondisi ini dan memberikan terapi yang sesuai agar pasien
merasa nyaman (Dugal, 2010).
1. Definisi
Xerostomia diartikan sebagai keluhan subyektif dari mulut kering,yang bisa
disebabkan karena hipofungsi kelenjar saliva atau persepsi rasa kering meskipun
aliran salivanya normal (Bruch and Treister, 2010).
Biasanya kata ini digunakan untuk menggambarkan rasa subyektif dari mulut
kering (misalnya perasaan pasien yang merasa mulutnya kering) maupun tanda
obyektif dari mulut kering. Baru-baru ini, telah disarankan bahwa “xerostomia”
digunakan sebagai perasaan subyektif dari pasien, sedangkan pernyataan seperti
“berkurangnya aliran saliva” dan “hiposalivasi” digunakan ketika membahas kondisi
obyektif pasien, dimana saat pengukuran didapatkan aliran saliva yang berkurang
atau bahkan tidak ada. Masalah terminologi ini lebih rumit dari kenyataannya,
faktanya tidak semua pasien yang secara obyektif telah diukur aliran salivanya
berkurang (hiposalivasi) menderita xerostomia, begitu pula sebaliknya, banyak pasien
yang mengeluh perasaan subyektif mulut kering (xerostomia) menunjukkan hasil
25
pengukuran aliran saliva belum termasuk kategori hiposalivasi. Hal ini dikarenakan
tidak hanya jumlah dari saliva yang bertanggung jawab dalam membasahi mukosa
mulut, kualitas dari saliva juga penting.
2. Etiologi
Berkurangnya produksi saliva biasanya disebabkan oleh : efek dari terapi
obat; penyakit yang berhubungan dengan system imun; terapi radiasi; atau dehidrasi.
Kegelisahan juga dapat menyebabkan berkurangnya produksi saliva. Xerostomia
karena kelainan kongenital atau kegagalan perkembangan dari kelenjar saliva sangat
langka (Jordan and Lewis, 2004).
Xerostomia merupakan masalah yang umum dikeluhkan yang berhubungan
dengan beberapa kondisi, termasuk efek samping dari berbagai pengobatan, terapi
radiasi pada kepala dan leher, penyakit sistemik dan penyakit yang berhubungan
dengan kelenjar saliva. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelenjar ludah rentan
terhadap kerusakan, pada orang lanjut usia terlihat adanya peningkatan prevalensi
gangguan saliva berhubungan dengan pertambahan usia (Dugal, 2010).
Tabel berikut ini merupakan rangkuman dari penyebab umum xerostomia.
Penyebab umum xerostomiaPengobatan (obat-obatan) - Antihistamines
- Antidepressants dan antipsychotics- Antihypertensives- Antianxiety agents- Diuretics- Obat antiparkinsonism
26
- Antiematics- Bronchodilators- sedatives
Penyakit yang mempengaruhi kelenjar saliva
- sjogren’s syndrome- sarcoidosis- amyloidosis
Penyakit sistemik - diabetes- HIV infections- Chronis graft-vs-host disease setelah allogenic bone marrow transplant- Stress emosional dan depresi mental
Terapi radiasi (menyebabkan perubahan permanen)
- Terapi radiasi pada regio kepala dan leher untuk pengobatan Squamos cell kanker di rongga mulut, orofaring, nasofaring dan sinus.- Tumor otak- Tumor pada kelenjar ludah
Kemoterapi (menyebabkan perubahan sementara)
3. Manifestasi Klinis Xerostomia
Saliva sangat penting untuk menjaga kesehatan rongga mulut, dan memiliki
banyak fungsi pada rongga mulut serta gastrointestinal. Saliva membantu pada saat
pengunyahan, berperan sebagai self cleansing pada rongga mulut, membantu saat
berbucara, pengunyahan dan pengecapan. Saat hipofungsi atau terjadi xerostomia,
dapat terjadi gangguan sementara ataupun tetap pada intraoral maupun extraoral
(Dugal, 2010 ; Fox, 2008). Gejala dari xerostomia adalah rasa kering, sensasi terbakar
pada mulut dan tenggorokan, bibir kering dan pecah-pecah, terutama pada sudut
mulut. Gejala bibir pecah-pecah mulai dari yang ringan sampai dengan berdarah.
Pada orang lanjut usia dapat ditemukan masalah dalam penggunaan gigi tiruan dan
terdapat gangguan pada saat pengunyahan maupun penelanan makanan. Dapat juga
27
merasa kesulitan pada saat berbicara karena adanya sariawan dan peningkatan karies
gigi juga penyakit periodontal (Fox, 2008; Mohammad, 2006).
Gambar : bibir, lidah, dan seluruh permukaan mukosa terlihat kering pada pasien dengan Sjogren’s syndrome. Terlihat pula adanya erosi dan debris epitel pada gigi,
merupakan tanda dari berkurangnya sekresi saliva. (Fox, 2008).
Gambaran klinis dari xerostomia diantaranya gambaran mukosa oral yang
kering, pucat maupun atropik. Pada lidah dapat terlihat hilangnya papilla dan
terdapatnya fisur juga gambaran inflamasi. Karies yang baru maupun rekuren,
kesulitan dalam pegunyahan serta penelanan dan gangguan pengecapan juga sering
terjadi. Biasanya terjadi infeksi jamur pada pasien xerostomia (Mohammad, 2006).
Gambar: Mulut kering yang terkait dengan sjogren’s syndrome. Lidah tampak kering dan pucat, papilla pada permukaan lidah hilang (Fox, 2008).
28
4. Implikasi Dental (Dugal, 2010)
Pasien dengan xerostomia mengalami bermacam gejala pada rongga
mulutnya seperti:
- Meningkatnya kerentanan terhadap penyakit periodontal : xerostomia
menurunkan pH rongga mulut dan meningkatkan pembentukan plak gigi juga karies.
Karies merupakan masalah gigi yang sering terjadi pada pasien xerostomia, karena
berkurangnya aliran saliva dan ketidakmampuan pembersihan debris makanan dari
rongga mulut terutama gula dan makanan yang asam. Perkembangan dari rampan
karies terutama pada daerah servikal gigi telah diteliti beberapa minggu setelah terapi
radiasi pada kepala dan leher.
- Berkurangnya retensi pada geligi tiruan penuh karena berkurangnya
saliva.
- Iritasi dan ulserasi pada mukosa.
- Berkurangnya kapasitas buffering pada rongga mulut disertai
meningkatnya resiko infeksi opportunistik. Berkurangnya saliva
menyebabkan mudahnya pertumbuhan yang berlebihan dari jamur C.
albicans. Hal ini dapat bertambah dengan penggunaan denture, merokok
dan adanya penyakit diabetes.
- Meningkatnya sensitivitas oral, eritema pada jaringan lunak, sensasi
terbakar pada mulut, dan ketidaktoleran pada pemakaian denture.
29
- Demineralisasi pada jaringan gigi, karies gigi yang cepat dan progresif
serta atrisi gigi.
5. Diagnosis
Diagnosis dapat diperoleh dari riwayat dan pemerikasaan rongga mulut
pasien, atau dengan sialometry (mengukur laju aliran saliva). Ada empat penilaian
klinis yang dapat diandalkan sebagai prediksi hipofungsi dari kelenjar saliva pada
saat pemeriksaan, diantaranya: kekeringan pada bibir, kekeringan pada mukosa bukal,
tidak adanya produksi saliva saat palpasi kelenjar saliva, dan skor
decayed/missing/filled teeth (DMFT) (Dugal, 2010).
Sialography dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya batu maupun
suatu masa. Salivary scintigraphy dapat digunakan untuk menilai fungsi kelenjar
saliva. Biopsi kelenjar saliva minor digunakan untuk mendiagnosis Sjogren’s
syndrome, HIV salivary gland disease, sarcoidosis dan amyloidosis. Biopsi kelenjar
saliva mayor merupakan pilihan apabila dicurigai adanya keganasan (Dugal, 2010).
Skrining proaktif untuk mulut kering dapat dimasukkan secara sederhana
dalam pemeriksaan rutin pada pasien yang beresiko atau memiliki gejala melalui
(http://www.dental-professional.com):
- Catatan riwayat medis
- Riwayat penggunaan obat
- Pertanyaan subjektif mengenai gejala mulut kering
- Pemeriksaan klinis pada rongga mulut
30
Tanda-tanda khas dari xerostomia yang dapat diidentifikasi oleh dokter gigi
antara lain:
- Kaca mulut menempel pada lidah atau mukosa bukal.
- Tidak ada pooling saliva
- Karies pada servikal gigi
- Saliva yang berbuih “frothy saliva”
- Perubahan pada arsitektur gingival (tidak hanya berhubungan dengan mulut
kering)
Gambar: Frothy saliva (Jordan and Lewis, 2004)
6. Penatalaksanaan Xerostomia (Dugal, 2010)
Penatalaksaaan harus mencakup identifikasi penyebab dasar. Bahan-bahan
dan kebiasaan pasien yang berpotensi menyebabkan mulut kering seperti merokok,
alkohol, dan kafein harus dihindari.
Apabila ada keterlibatan obat xerogenic, maka pengobatan alternatif,
pengurangan dosis, atau penghentian obat harus dipertimbangkan. Pilihan lain adalah
31
dengan mengatur regimen : misalnya nocturnal xerostomia bisa diminimalkan dengan
meminum obat xerogenic pada saat siang hari saat produksi saliva optimal.
- Pencegahan Karies :
Diet rendah gula dan penggunaan topikal flouride sehari-hari, pemakaian
sealants dan obat kumur anti mikroba penting untuk mencegah karies gigi. Pasien
diintruksikan untuk meminu banyak cairan terutama saat memakan makanan yang
kering dan kasar, tetapi harus menghindari jus dan minuman ringan yang
mengandung gula. Flouride topical sangat berguna untuk mencegah karies apabila
terdapat peningkatan insidensi karies koronal, karies akar maupun keduanya serta
dapat membalikkan dekalsifikasi. Suplemen yang mengandung sodium fluoride,
acidulated phosphate fluoride atau sodium monoflourophosphate tersedia untuk
penggunaan rumah maupun dokter gigi. Produk-produk ini tersedia dalam bentuk gel
dan obat kumur.
- Stimulasi saliva dan substitusi saliva:
Pada pasien yang memiliki jaringan kelenjar saliva yang masih aktif, stimulasi
saliva dapat membantu. Permen karet bebas gula, permen dan mints dapat digunakan
untuk menstimulasi saliva. Pilocarpine hydrochloride dan Cevimiline hydrochloride
adalah obat yang umum digunakan untuk stimulasi saliva dan meningkatkan aliran
saliva secara signifikan pada pasien xerostomia. Obat ini dikontraindikasikan pada
pasien dengan asthma yang tidak terkontrol, narrow angle glaucoma atau iritis.
Variasi dari pengganti (substitusi) saliva tersedia dan efektif untuk mengurangi mulut
32
kering. Pengganti saliva sangat berguna bagi pasien yang salivanya tidak bisa
distimulasi.
- Pengobatan oral Candidiasis :
Candidiasis oral merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien
xerostomia. Anti jamur topical yang digunakan antara lain clotrimazole, ketokonazol
dan nystatin. Nystatin dalam bentuk oral suspensi merupakan obat yang umum
diberikan untuk terapi infeksi candida. Untuk infeksi yang lebih parah, penggunaan
obat anti jamur sistemik seperti fluconazole (diflucan) atau amphotericin B
dianjurkan. Amphotericin B sistemik harus digunakan dengan hati-hati karena
berpotensi menyebabkan toksisitas hati.
2.5 ORAL CANDIDIASIS
1. Definisi
Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi pada mukosa mulut yang paling
umum dan dapat diobati pada orang yang terkena penyakit HIV atau AIDS.
Kandidiasis oral dapat menyebabkan ketidak nyamanan pada mulut, hilangnya rasa,
dan keenggenan untuk makan. Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans
merupakan organisme jamur dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut
dalam keadaan non-patogen (Dangi, Y.S., 2010).
Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi jamur yang umum yang
mempengaruhi mukosa mulut. Lesi ini disebabkan oleh ragi Candida albicans.
33
Candida albicans merupakan salah satu komponen dari mikroflora mulut yang
normal dan sekitar 30% - 50% orang terdapat organisme ini di dalam mulut (Rao,
P.K., 2012).
Kandidiasis adalah infeksi pada mulut yang paling umum yang terjadi pada
mukosa pasien. Manifestasi oral yang seringkali terjadi pada pasien penderita AIDS.
Infeksi kandida biasanya bersifat kronis dan tampak merah, putih, rata, menimbul,
atau noduler. Semua permukaan mulut dapat terinfeksi seperti palatum, lidah, dan
mukosa pipi. Gejala-gejala infeksi dapat berupa rasa ketidaknyamanan pada rongga
mulut, rasa terbakar, atau pengecapan yang berubah (Langlais dan Miller, 2002).
2.Etiologi
Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans merupakan organisme jamur
dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut dalam keadaan non-patogen.
Biasanya hadir sebagai ragi, organisme, di bawah kondisi yang menguntungkan,
memiliki kemampuan untuk berubah menjadi patogen (penyebab penyakit) bentuk
hyphael. Kondisi yang mendukung perubahan ini termasuk terapi spektrum antibiotik
yang luas, seperti xerostomia, disfungsi kekebalan tubuh (diabetes atau penggunaan
obat penekan kekebalan tubuh). Perubahan dalam lingkungan mulut dapat
mempengaruhi atau memicu kandidiasis oral, seperti : antibiotik, kortikosteroid,
mulut kering (xerostomia), diabetes mellitus, kekurangan gizi, dan penyakit
imunosupresif dan terapi (Dangi, Y.S., 2010).
34
Ada tiga faktor umum yang membantu infeksi Candida albicans untuk
berkembang dalam tubuh pasien yaitu status imun pasien, keadaan mukosa oral,
strain of Candida albicans. Faktor utama yang meningkatkan kerentanan kandidiasis
oral yaitu imunosupresi, endocrinopathies, kekurangan nutrisi, keganasan, pemakaian
gigi tiruan, epithelial alteration, high carbohydrate diet, dewasa dan orang tua,
kebersihan mulut yang buruk, perokok berat (Akpan and Morgan, 2002).
3. Gambaran Klinis
Biasanya kandidiasis oral menyebabkan warna merah atau putih (terkadang
keduanya) yang terdapat pada lapisan mulut. Terdapat kemerahan dan pecah-pecah
pada sudut mulut. Beberapa pasien akan memiliki area berwarna merah yang halus
pada bagian tengah lidah, ke arah belakang, atau di langit-langit (Gambar 1 dan 2)
(web.aaomp.org).
Gambar 1. Gambar 2.
35
Tipe-tipe kandidiasis meliputi kandidiasis pseudomembranosus,
kandidiasis eritematous (atrofi), kandidiasis hiperplastik, dan keilitis
angularis. Kandidiasis pseudomembranosus ditandai dengan adanya plak
putih sepeti krem, yang pada saat dikerok menunjukan permukaan yang
merah, kasar, atau berdarah. Usap pewarnaan KOH atau kultur jamur
menunjukan morfologi khas dari Candida albicans. Pada kandidiasis
eritematous (atrofi) secara klinis tampak sebagai suatu daerah merah difus,
dapat terjadi di rongga mulut tetapi biasanya terletak pada dorsum lidah yang
disertai dengan hilangnya papila filiformis dan biasa disebut median rhomboid
glositis. Pada kandidiasis hiperplastik kronis yaitu tahap akhir dari infeksi
candida secara klinis tampak sebagai plak-plak keratotik putih dan difus pada
mukosa pipi, plak-plak ini tidak dapat dihapus (Langlais dan Miller, 2002).
Gambar. Lesi pseudomembranous pada trush yang berat (Greenberg and Glick,
2008)
4. Terapi
36
Untuk pasien sehat dan normal, pengobatan kandidiasis oral relatif sederhana
dan efektif. Biasanya, obat topikal yang memadai. Agen antifingal yang biasa
digunakan, suspensi nystatin oral, biasanya akan mengobati sebagian besar. Namun,
obat topikal harus berada dalam kontak dengan organisme untuk menghilangkannya.
Troches clotrimazole merupakan alternatif yang efektif karena pasien biasanya tidak
dapat menahan cairan di mulut mereka lebih lama. Ini terlarut perlahan dalam rongga
mulut, yang memungkinkan obat untuk bekerja dalam panjang waktu yang lebih
besar (Dangi, Y.S., 2010).
Ketika terapi topikal gagal maka kita harus memulai terapi sistemik karena
kegagalan respon obat merupakan tanda awal penyakit sistemik yang mendasarinya.
Tindak lanjut pengobatan setelah 3 sampai 7 hari sangat penting untuk memeriksa
efek obat. Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengidentifikasi &
menghilangkan faktor penyebab yang mungkin terjadi, untuk mencegah penyebaran
sistemik, untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang terkait, untuk mereduksi
beban candida. Pilihan pengobatan dikategorikan ke dalam dua lini yaitu, pengobatan
lini pertama & lini kedua (Rao, P.K., 2012). Nystatin merupakan pilihan obat lini
pertama. Biasanya digunakan obat lain untuk kandidiasis ringan dan lokal yang
meliputi clotrimazole dalam bentuk Lozenge dan Amphotercin B dalam bentuk
suspensi oral. Pengobatan lini keduaditerapkan pada pasien dengan penyakit yang
lebih berat, terlokalisasi, pasien imunosupresi, dan pasien yang tidak berespon
terhadap pengobtan lini pertama yaitu ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole
(Pappas, 2004).
37
BAB III
PEMBAHASAN
38
Seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun datang dengan keluhan panas badan
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh badan lemas, cepat merasa lelah,
pandangan berkunang-kunang dari duduk lalu berdiri, buang air besar sebanyak 4 kali
sehari dengan konsistensi encer, tidak berlendir, dan tidak berdarah, tidak ada nyeri
dan mules pada perut, berat badan menurun secara drastis, demam, muntah, dan
kurangnya nafsu makan.
Dari hasil anamnesis diketahui pasien menderita HIV/AIDS sejak 5 tahun
yang lalu. Pasien melakukan kontrol rutin di Poli Klinik Teratai hingga 1 tahun yang
lalu. Namun pasien tidak pernah kontrol lagi dan berhenti mengonsumsi obat sejak 1
tahun yang lalu karena merasa sudah sembuh. Terdapat riwayat TB 5 tahun yang lalu
dan dilakukan pengobatan di Klinik DOTS dan dinyatakan sudah sembuh. Pasien
mengaku mengonsumsi narkoba dengan menggunakan jarum suntik secara bergantian
pada tahun 2004.
Pada pemeriksaan klinis, kesadaran pasien dalam kondisi compos mentis,
tekanan darah pasien 110/70 mmhg, denyut nadi 98 x/menit, pernafasan 20 x/menit,
suhu febris (38,30 C). Pada mata pasien didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, mukosa bibir kering, bercak-bercak putih di rongga mulut.
Pada pemeriksaan darah pasien yang terakhir didapatkan hemoglobin,
hematokrit, leukosit, eritrosit berada di bawah nilai normal.
Keadaan lain yang terlihat pada pasien ini adalah adanya penurunan berat
badan yang drastis dari 60 kg menjadi 46 kg, demam yang terus menerus, sehingga
39
dapat dikatakan pasien mengalami wasting syndrome. Wasting syndrome dikatakan
sebagai berkurangnya berat badan lebih dari 10% disertai dengan demam yang terus
menerus selama 30 hari baik intermiten maupun konstan, dihubungkan dengan infeksi
HIV (Glick, 1994).
Pada pemeriksaan intra oral ditemukan selaput berwarna putih pada dorsum
lidah, terlihat pula adanya destruksi pada interdental papil, oedem pada gingiva, bibir
pasien terlihat kering dan pecah-pecah, “frothy saliva”, serta tidak terdapat pooling
saliva. Dari hasil pemeriksaan intra oral tersebut didapatkan diagnosis candidiasis
oral, NUG, dry mouth. Kelainan tersebut merupakan manifestasi oral dari penyakit
HIV/AIDS yang disebabkan karena rusaknya pertahanan sistem imun (Greenberg and
Glick, 2008).
Kandidiasis oral merupakan salah satu infeksi pada mukosa mulut yang paling
umum dan dapat diobati pada orang yang terkena penyakit HIV atau AIDS.
Kandidiasis oral dapat menyebabkan ketidak nyamanan pada mulut, hilangnya rasa,
dan keenggenan untuk makan. Infeksi ini disebabkan oleh Candida albicans
merupakan organisme jamur dimorfik yang biasanya hadir di dalam rongga mulut
dalam keadaan non-patogen (Dangi, Y.S., 2010). Kandidiasis oral merupakan salah
satu infeksi jamur yang umum yang mempengaruhi mukosa mulut. Lesi ini
disebabkan oleh ragi Candida albicans. Candida albicans merupakan salah satu
komponen dari mikroflora mulut yang normal dan sekitar 30% - 50% orang terdapat
organisme ini di dalam mulut (Rao, P.K., 2012). Biasanya kandidiasis oral
menyebabkan warna merah atau putih (terkadang keduanya) yang terdapat pada
40
lapisan mulut. Terdapat kemerahan dan pecah-pecah pada sudut mulut. Beberapa
pasien akan memiliki area berwarna merah yang halus pada bagian tengah lidah, ke
arah belakang, atau di langit-langit (web.aaomp.org).
NUG adalah kondisi inflamasi pada gingiva yang mengalami kerusakan
berupa ulserasi dan nekrosis pada papila dan margin gingiva. NUG sering terjadi pada
perokok dan pasien immunocompromised, terutama pada mereka dengan human
immunodeficiency virus (HIV). Gambaran klinis NUG adalah nyeri dan perdarahan
gingiva, disertai dengan nekrosis papila gingiva, tenderness, dan rasa logam. Lesi
awal umumnya terbatas pada ujung papila interdental. Ulserasi ini kemudian
menyebar di sepanjang margin gingiva. Ulserasi ditutupi lapisan pseudomembran
berwarna putih keabu-abuan (Field and Longman, 2004).
Pada pasien ini juga ditemukan dry mouth. Dry mouth merupakan keadaan
kekeringan pada mulut yang disebabkan oleh penghentian sekresi saliva normal.
Kondisi ini merupakan gejala dari berbagai penyakit seperti diabetes, infeksi akut,
hysteria, Sjogren’s sindrom dan dapat disebabkan oleh kelumpuhan saraf wajah.
Dapat pula merupakan reaksi umum dari obat (Mosby’s Medical Dictionary 8 th ed,
2009). Gejala dari dry mouth adalah rasa kering, sensasi terbakar pada mulut dan
tenggorokan, bibir kering dan pecah-pecah, terutama pada sudut mulut. Gejala bibir
pecah-pecah mulai dari yang ringan sampai dengan berdarah. Pada orang lanjut usia
dapat ditemukan masalah dalam penggunaan gigi tiruan dan terdapat gangguan pada
saat pengunyahan maupun penelanan makanan. Dapat juga merasa kesulitan pada
41
saat berbicara karena adanya sariawan dan peningkatan karies gigi juga penyakit
periodontal (Fox, 2008; Mohammad, 2006).
Pada pasien ini kemungkinan dry mouth dikarenakan infeksi HIV/AIDS dan
terapi obat antiretroviral yang dikonsumsi. Obat anti retroviral menyebabkan jumlah
aliran saliva berkurang sehingga menyebabkan dry mouth. Keadaan dry mouth dapat
menyebabkan ketidak seimbangan flora normal pada mulut sehingga dapat
menimbulkan Candidiasis dengan mudahnya (Little, W.G., 2004). Penyakit
imunosupresif seperti HIV/AIDS dapat memicu munculnya infeksi kandidiasis oral
(Dangi, Y.S., 2010).
Terapi yang diberikan pada pasien ini untuk mengobati infeksi candidiasis
oral adalah nystatin dalam bentuk suspensi oral 3 x 3-5cc, selain itu diberikan juga
flukonazol per oral. Pilihan pengobatan dikategorikan ke dalam dua lini yaitu,
pengobatan lini pertama & lini kedua (Rao, P.K., 2012). Nystatin merupakan pilihan
obat lini pertama. Biasanya digunakan obat lain untuk kandidiasis ringan dan lokal
yang meliputi clotrimazole dalam bentuk Lozenge dan Amphotercin B dalam bentuk
suspensi oral. Pengobatan lini kedua diterapkan pada pasien dengan penyakit yang
lebih berat, terlokalisasi, pasien imunosupresi, dan pasien yang tidak berespon
terhadap pengobatan lini pertama yaitu ketoconazole, fluconazole, dan itraconazole
(Pappas, 2004).
42
Terapi yang diberikan pada NUG adalah terapi antibiotik dengan
menggunakan metronidazol dan penicilin untuk 3-5 hari. Dilanjutkan dengan scaling
dan debridement jaringan nekrotik pada jaringan lunak dan keras. Pada pasien ini
tidak diberikan terapi NUG seperti yang disebutkan diatas (Greenberg and Glick,
2008).
43
BAB IV
SIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 34 tahun menderita penyakit B20 stadium IV dengan
wasting syndrome dan candidiasis oral. Penularan HIV pada pasien ini diduga melalui
penggunaan jarum suntik bergantian untuk pemakaian narkoba pada tahun 2004.
Pada rongga mulutnya ditemukan beberapa manifestasi oral sebagai akibat dari
penyakit sistemik yang diderita oleh pasien dan efek samping dari pengobatan yang
diberikan. Manifestasi oral yang ada di rongga mulut pasien antara lain, adalah
candidiasis, dry mouth dan NUG. Terapi yang diberikan untuk pengobatan
candidiasis pada pasien adalah nystatin dalam bentuk suspensi oral dan flukonazol
per oral; sedangkan untuk dry mouth dan NUG tidak diberikan terapi khusus.
44
DISKUSI SEMINAR
1. Pertanyaan dari Aco karso
NUG disebabkan oleh apa?
Beberapa faktor predisposisi dari NUG adalah stres psikologis, kelelahan, daya
tahan tubuh yang menurun, merokok, kekurangan gizi, penyakit yang
mempengaruhi neutrofil. Pada pasien immunocompromised kondisi lesi NUG
akan memburuk karena kerusakan fungsi T-cell dan pada pasien HIV yang
jumlah neutrofil dalam darahnya menurun dapat menyebabkan lesi nekrosis
berkembang dengan cepat. Pasien terinfeksi HIV dengan NUG, proses nekrosis
dan ulserasi bersifat progresif, pertama melibatkan gingiva saja, dan kemudian
berkembang menjadi NUP (necrotizing ulcerative periodontitis) dengan
keterlibatan perlekatan jaringan periodontal dan tulang alveolar.
2. Pertanyaan dari M. Erlangga
- Kenapa xerostomia dapat menyebabkan kandidiasis, bagaimana mekanismenya?
Jawab: Pada pasien xerostomia (dry mouth), aliran salivanya berkurang, sehingga
mengakibatkan berkurangnya kapasitas buffering pada rongga mulut disertai
meningkatnya resiko infeksi opportunistik seperti infeksi jamur candidiasis.
Kurangnya saliva dapat menjadi predisposisi salah satu infeksi mulut seperti
Candidiasis, juga menyebabkan mudahnya pertumbuhan yang berlebihan dari
jamur C. albicans
45
- Kalau tidak xerostomia apakah bisa kandidiasis?
Jawab: kalau tidak xerostomia tetap bisa kandidiasis. Hal ini dikarenakan
kandidiasis tidak hanya bisa disebabkan karena xerostomia, ada etiologi lain
yang bisa menyebabkan kandidiasis, seperti: obat antibiotik, kemoterapi,
perubahan sistemik misalnya pada penyakit Diabetes Melitus, imunodefisiensi
(HIV/AIDS), malnutrisi, dan oral hygiene yang buruk.
3. Pertanyaan dari Arina Hidayati
Pada pasien HIV kandidiasis apa yang sering terjadi?
Jawab : Salah satu manifestasi oral yang terjadi pada pasien HIV yaitu
kandidiasis oral. Terdapat berbagai macam kandidiasis oral seperti kandidiasis
pseudomembran, kandidiasis hiperplastik, kandidiasis eritematous, dan keilitis
angularis. Tidak hanya salah satu macam kandidiasis oral yang terjadi, tetapi
berbagai macam kandidiasis oral dapat terjadi pada pasien HIV.
4. Pertanyaan dari Ester vania
Apakah median rhomboid glositis sama dengan atrofi glositis?
Jawab : Median rhomboid glositis sama dengan atrofi glositis yang terjadi karena
hilangnya papila filiformis. Perbedaan median rhomboid glositis dengan atrofi
glositis hanya pada tempat yang terkena.
5. Pertanyaan dari Tri utami
Apa efek samping dari ARV?
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS
tetapi cukup memperpanjang waktu hidup dari penderita HIV. Obat-obatan ini
46
dibagi dalam 3 golongan yaitu Nucleosid Reverse Transcriptase inhibitor
(NRTI), Non Nucleosid Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI), dan Protease
Inhibitor (PI).
Yang termasuk dalam golongan NRTI adalah Zidovudine (AZT), Didanosine
(DDL), Zalcitabine (ddC), Stavudin (d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir (ABC),
Tenofovir (TDF), dan Emtricitabine (FTC). Zidovudine (AZT, ZDV, Retrovir)
memiliki efek samping anemia, netropenia, mual, muntah, rasa lemah, lelah,
asidosis laktat. Sedangkan Stavudine (d4T, Zerit) memiliki efek samping
neuropati, lipoatrofi. Dosis pemakaiannya berdasarkan berat badan. Lamivudine
(3TC, Epivir, Hiviral) biasanya dapat ditoleransi baik dengan efek samping
ringan.
Obat yang termasuk dalam golongan NNRTI adalah Nevirapine (NVP),
Delavirdine (DLV), Efavirenz (EFV). Nevirapine (Viramun, Neviral) memiliki
efek samping rash karena alergi, steven johnsons syndrome, anafilaksis,
meningkatnya SGOT/PT, menurunkan konsentrasi rifampisin dan ketokonazol
dalam darah. Efek samping mengonsumsi obat Efavirenz (stocin, sutiva)
adalah teratogenik, gejala sistem saraf pusat (dizziness, sakit kepala ringan,
mimpi buruk) yang akan hilang pada mingggu pertama pertama.
Golongan obat ketiga dari ARVadalah PI, yang terdiri dari Saquinavir (SQV),
Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV), Nelvinafir (NFV), Amprenavir (APV),
Lopinavir/Kaletra (LPV/r), Atazanavir (ATV). Golongan obat ini memiliki
47
kontraindiksi jika dipakai bersama dengan obat antiaritmia, hinotik-sedatif, dan
derivat ergot serta menurunkan knsentrasi plasma lovastatin dan simvastatin
secara umum.
Untuk mencari kombinasi ARV yang tepat untuk seorang pasien sangatlah sulit
sehingga kombinasi ARV seorang pasien dengan pasien lainnya dapat berbeda.
Oleh karena itu, apabila telah mendapatkan kombinasi ARV yang tepat pasien
harus mengonsumsi obat ARV itu setiap hari sepanjang hidupnya.
6. Pertanyaan dari Prilinar H.
Dalam kasus ini pasien sudah berhenti meminum ARV 1 tahun yang lalu, apakah
sekarang diberikan terapi ARV lagi? Bagaimana penanganan xerostomia?
Pada kasus ini, di medrek dan status pasien ditulis re-start pengobatan ARV.
Namun, tidak disebutkan lebih rinci macam obat ARV yang digunakan. Untuk
penanganan xerostomia pada pasien diinstruksikan minum air putih yang cukup
banyak dan memakai vaseline pada bibir untuk mengurangi keluhan pada bibir
keringnya.
48
DAFTAR PUSTAKA
Akpan, A. and Morgan, R. 2002. Oral candidiasis-Review. Postgrad. Med.J., 78:455–459
Bruch, J.M and Nathaniel S.T. 2010. Clinical Oral Medicine and Pathology. New York: Humana Press.
Dangi, Y. S., et al. 2010. Oral Candidiasis : A Review. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Selences Vol. 2 Issue 4. p. 36-41.
Dugal, Ramandeep. 2010. Xerostomia : Dental implications and management. Annals and Essences of Dentistry Vol II Issue 3 July-Sept 2010.
Field, Anne and L. Longman. 2004. Tyldesley’s Oral Medicine. 5th edition. Oxford. Oxford University Press.
FHI (Family Health International). 2012. Apa Itu HIV/AIDS?. Median And Hiv/Aids, Pp 1-5.
Fox, P.C. 2008. Xerostomia: Recognation and Management. Access Special Supplementary Issue-Feb 2008. ADHA.
Greenberg, M.S; M. Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc.
Greenberg. M.S.; M. Glick; J.A. Ship. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11th edition. New York. BC Decker Inc.
Jordan, R.C.K and Michael A.O.Lewis. 2004. A Color Handbook of Oral Medicine. Thieme.
Langlais, R.P. dan Miller, C.S. 2002. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta : Hipokrates. Hal. 104.
Mohammad, A.B. 2006. Xerostomia (Dry Mouth) as a Challenge in Management of the Medically Complex Patient. US Dentistry.
Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. 2009. Elsavier.
49
Newman, M.G.; H.H. Takei; F.A.Carranza. 2002. Carranza’s Clininal Periosontologi 9th ed. London. W.B Saunder Co.
Pappas, P.G. 2004. Guidelines for Treatment of Candidiasis. CID, 38:161-89Pindborg, J.J. 2009. Terjemahan oleh drg. Kartika Wangsaraharja, Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang. Binarupa Aksara Publisher.
Rao, P. K. 2012. Oral Candidiasis – A Review. Scholarly Journal of Medicine, Vol. 2(2) pp. 26-30.
Regezi, J.A.; J.J. Sciubba; R.C.K. Jordan. 2003. Oral Pathology Clinical Pathology Correlations. 4th edition. Missouri. Saunders.
Riyarto, S; Dkk. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterlambatan Diagnosis HIV Dan AIDS Di Yogyakarta, Solo Dan Semarang. Lapotan Penelitian. Universitas Gajah Mada, Fakultas Kedokteran: Pp 1-28.
Sepkowitz KA, 2001. "AIDS--the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–72.
Siregar, F.A. 2004. Pengenalan Dan Pencegahan AIDS. Universitas Sumatera Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Digitized By Usu Digital Library Pp 1-9.
Vaseliu, N.; Et.Al. Oral Manifestation Of HIV. 184-193. Available At (Diakses Pada 2 Januari 2013): Https://Pipl.Com/Directory/Name/Vaseliu/Nicoleta/
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en-2.png)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/2b/HIV_Virion-en-2.png)
www.dental-proffesional.com/Conditions_DryMouth.aspx
www.aaomp.org
http://gr.dentistbd.com/necrotizing-ulcerative-gingivitis-ppt.html
50