Manajemen Stres

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Keperawatan jiwa

Citation preview

MANAJEMEN STRESA. Konsep Stres1. Definisi stresStres adalah sebagai suatu hubungan yang khas antar individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai suatu hal yang mengancam atau melampaui kemampuannya untuk mengatasinya sehingga membahayakan kesejahteraannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Stres menurut Maramis (1999) adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, oleh karena itu stres dapat mengganggu keseimbangan kita. Sementara itu menurut Kelliat (1998), stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari,disebabkan oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian. Stres tidak terlepas darimana datangnya dan apa saja sumbernya. Sumber stres atau yang disebut stresor adalah suatu keadaan, situasi objek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Stres yang berasal dari dalam diri disebut internal sources dan yang berasal dari luar disebut eksternal sources (Potter dan Perry, 1999).Menurut Spielberger (2001), bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

2. Gejala stres Cooper dan Straw (1995) mengemukakan gejala stres fisik, perilaku, dan dalam bentuk watak. Bentuk gejala fisik oleh Cooper dan Straw (1995) ditandai dengan adanya kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. Sementara dalam bentuk perilaku umumnya ditandai dengan perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. Dalam bentuk gejala watak dan kepribadian biasanya tanda yang dapat dilihat adalah sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, dan kurang percaya diri menjadi rawan (Cooper dan Straw, 1995). Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cooper dan Straw (1995) adalah pendapat Braham dalam Handoyo (2001:68), dimana gejala stres dapat dibedakan atas gejala fisik, emosional, intelektual, dan gejala interpersonal. Gejala fisik ditandai dengan adanya sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, selera makan berubah, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, dan kehilangan energi. Sementara gejala stres yang bersifat emosional ditandai dengan marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. Braham sebagaimana dikutip oleh Handoyo (2001) menambahkan bahwa gejala stres yang bersifat intelektual umumnya ditandai dengan mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. Sedangkan tanda stres yang bersifat interpersonal adalah acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain (Braham dalam Handoyo, 2001).

3. Tahapan Stres Seseorang yang stres akan mengalami beberapa tahapan stres. Menurut Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut:a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai. c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh terganggu, akan jatuh pingsan. d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dngan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidakadekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, lemah, serta pingsan.

Sementara menurut Holmes & Rehe (1976) dan Wiebe & Williams(1992), tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu: a. Stres ringan Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. b. Stres sedang Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti perselisihan dengan teman. c. Stres berat Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka panjang. Berdasarkan tahapan stres diatas, maka harus dipahami pula tentang bagaimana cara mengatasi stres.

4. Cara Mengatasi Stres Menurut Agus Hardjana (1994) ada 2 cara mengatasi stres yaitu: a. Mengatasi secara negatif, seperti lari ke tempat- tempat hiburan (bioskop, diskotik), minum- minuman keras, makan banyak, minum obat penenang, gelisah, kacau pikiran, menghisap rokok berlebihan dan acuh tak acuh, menyalahkan peristiwa dan menyimpan dendam.

b. Mengatasi stres secara positif a) Tindakan langsung (direct action), berbuat yang nyata secara khusus dan langsung, seperti meminta nasehat, mempelajari ilmu atau kecakapan barub) Mencari informasi dengan pengetahuan yang membuat stres sehingga dapat mengetahui dan memahami situasi stres yang dialami. c) Berpaling pada orang lain. Misal orang tua, saudara, sahabat. d) Menerima dengan pasrah, yaitu berusaha menerima peristiwa atau keadaan apa adanya, karena dengan cara apapun kita tidak dapat mengubah sumber penyebab stresnya, kita hanya bisa melepaskan emosi dan mengurangi ketegangan seperti menangis, berteriak atau melucu, bisa juga melakukan tindakan meloncat- loncat, memukul- mukul meja atau berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. e) Proses interpsikis yaitu dengan memanfaatkan strategi kognitif atau usaha pemahaman untuk menilai kembali situasi stres yang dialami, berupa strategi merumuskan kembali secara kognitif bentuk lain dari proses intrapsikis adalah apa yang disebut oleh Sigmund Frued yaitu mekanisme pertahanan (defence mechanisme), denial (penyangkalan), penekanan (suppresi).

B. Konsep Mekanisme Koping 1. Pengertian Mekanisme KopingMekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Kelliat, 1999). Jika individu berada pada kondisi stres ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia (Rasmun, 2001). Sedangkan menurut Stuart (1998), mekanisme koping dapat didefenisikan sebagai segala usaha untuk mengatasi stres.

2. Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut (Kozier, 2004) yaitu : a. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat. b. Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik.

Mekanisme koping juga dilihat sebagai mekanisme koping jangka pendek dan jangka panjang. Mekanisme koping jangka panjang merupakan cara konstruktif dan realistik. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu berbicara dengan orang lain tentang masalah dan mencoba untuk menemukan lebih banyak informasi tentang situasi. Mekanisme koping yang selanjutnya adalah mekanisme koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stres untuk sementara tetapi merupakan cara yang tidak efektif untuk menghadapi realitas. Sedangkan metode koping menurut Folkman & Lazarus; Folkman et al, dalam Afidarti (2006) adalah :

a. Planful problem solving (problem-focused) Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah. b. Confrontative coping (problem-focused)Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil resiko untuk merubah situasi. c. Seeking social support (problem or emotion- focused)Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau dukungan informasional.d. Distancing (emotion-focused)Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi.

e. Escape-Avoidanceting (emotion-focused)Menghindari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi.f. Self Control (emotion-focused) Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan dalam hubungannya dengan masalah. g. Accepting responcibility (emotion-focused)Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk memperbaikinya.h. Positive Reappraisal (emotion-focused)Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari situasi yang dihadapi.

3. Respon Koping Respon koping sangat berbeda antar individu dan sering berhubungan dengan persepsi individual dari kejadian yang penuh stres. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial. Reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stres. Koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Mustikasari, 2006) yaitu; Mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Katagorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial (Kelliat, 1999). a. Reaksi fisiologis merupakan manifestasi tubuh terhadap stres. b. Reaksi psikososial terkait beberapa aspek antara lain : 1) Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, seperti denial (menyangkal), projeksi, regresi, displacement, isolasi dan supresi.2) Reaksi yang berkaitan dengan respon verbal seperti, menangis, tertawa, teriak, memukul dan menyepak, menggenggam, mencerca respon. 3) Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Jika mekanisme pertahanan mental dan respon verbal tidak menyelesaikan masalah secara tuntas karena itu perlu dikembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. Ini merupakan koping yang perlu dikembangkan. Koping ini melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor. Koping ini meliputi : Berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain. Mencari tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi melalui buku, masmedia, atau orang ahli. Berhubungan dengan kekuatan supernatural. Melakukan ibadah secara teratur, percaya diri bertambah dan pandangan positif berkembang. Melakukan penanganan stress, misalnya latihan pernapasan, meditasi, visualisasi, otigenik, stop berpikir. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi. Belajar dari pengalaman yang lalu. Tidak mengulangi kegagalan yang sama.

4. Sumber Koping Sumber koping, pilihan, atau strategi membantu untuk menetapkan apa yang dapat dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan. Lazarus (1985) dalam Rasmun (2001), mengidentifikasikan lima sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi. Kemampuan menyelesaikan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, identifikasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan melaksanakan rencana. Social skill memudahkan penyelesaian masalah termasuk orang lain, meningkatkan kemungkinan memperoleh kerjasama dan dukungan dari orang lain. Aset materi mengacu kepada keuangan, pada kenyataannya sumber keuangan meningkatkan pilihan koping seseorang dalam banyak situasi stres. Pengetahuan dan intelegensia adalah sumber koping yang lainnya yang memberikan individu melihat cara lain untuk mengatasi stres. Sumber koping juga termasuk untuk kekuatan identitas ego, komitmen untuk jaringan sosial, stabilitas kultural, suatu sistem yang stabil dari nilai dan keyakinan, orientasi pencegahan kesehatan dan genetik atau kekuatan konstitusional (Stuart, 1998).