Manual Pengembangan Mma Libre

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    1/96

    PANDUANPENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT

    DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA/MMA)DI WILAYAH COREMAP II - INDONESIA BAGIAN BARAT

    Penyusun:Budy Wiryawan

     Agus Dermawan

    Editor :Suraji

    CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM

    COREMAP II2006

    D FT R ISI

    1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA) 11.1Pengantar 1

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    2/96

      1.2 Nomenklatur MMA 21.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia 51.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA) 101.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA 111.6 Strategi Pencapain Tujuan MMA 12

    1.7 Desain Pengelolaan MMA 141.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota 14

    2. RENCANA KELEMBAGAAN MMA 192.1 Dasar Kelembagaan MMA 192.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah2.3 Perspektif Kelembagaan MMA ke depan2.4 Mekanisme kerja Kelembagaan MMA2.5 Lembaga Pengelola MMA2.6 Sekretariat Pengelola MMA2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA2.9 LPSTK dan Pihak Swasta

    2.10 Pendanaan MMA

    2325252727282829

    30

    3. DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT 3331. Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di Desa 333.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL 363.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat 373.4 Metoda Pengelolaan DPL 393.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan 393.6 Zonasi Kawasan 413.7 Lokasi dan Ukuran 423.8 Partisipasi Masyarakat 44

    4. PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL 47

    4.1 Tahapan dan Pembentukan 474.2 Pemilihan Lokasi MMA 504.3 Sistem Biaya Masuk 534.4 Kelompok Pengelola 534.5 Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa 544.6 Pengelolaan DPL 574.7 Pembuatan Rencana Pengelolaan4.8 Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan

    5871

    4.9 Pendidikan Lingkungan Hidup 724.10 MCS dan Penegakan Hukum 734.11 Pemantauan dan Evaluasi 734.12 Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain (scaling-up ) 75

    DAFTAR PUSTAKA 77LAMPIRAN 79

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    3/96

    D FT R T BEL

    Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL ............................... 48

    Tabel 2. Matrik Rencana Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ................................... 70

    D FT R G MB R

    Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum ............................................................ 12

    Gambar 2. Jaringan DPL dalam satu Unit Pengelolaan KKLD Kabupaten/Kota ................ 14

    Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Kota Batam ................... 16

    Gambar 4. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut Daerah Kep. Mentawai .... 18Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA ............................................................................ . 31

    Gambar 6. Tahapan Pembentukan Daerah Perlindungan Laut ......................................... 49

    Gamabr 7. Tahapan Proses Pembentukan Peraturan Desa/Surat Keputusan Desa tentang

    Perlindungan Laut .............................................................................................. 56

    Gambar 8. Siklus Kebijakan pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir ............................. 57

    Gambar 9. Pentahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang .................. 63

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    4/96

     

    ADB

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    5/96

     

    Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II

    COREMAP IIDirektorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau KecilDEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANANJl. Tebet Raya No. 91, Tebet - Jakarta Selatan 12820Telp : (62-21) 83783931Fax : (62-21) 8305007e-mail : [email protected], [email protected] : www.dkp.go.id 

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    6/96

     

    1COREMAP II ADB 

    1. KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH

    (MARINE MANAGEMENT AREA)

    1.1 Pengantar

    Buku panduan ini disusun

    berdasar pengalaman COREMAP II ADB

    dalam mengimplementasikan program

    pengelolaan sumberdaya terumbu karang

    di Indonesia bagian barat, serta dari

    pengalaman program pengelolaan pesisir

    di Indonesia, terutama CRMP/USAID untuk model Daerah Perlindungan

    Laut. Pedoman ini ditujukan untuk para praktisi, perencana dan pengambil

    kebijakan untuk wilayah pesisir.

    Buku Panduan ini, yang menjelaskan langkah-langkah partisipatif

    dalam mengembangkan Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area),

    yang dalam istilah proyek COREMAP II ADB disebut MMA (Marine

    Management Area), yaitu mulai dari mengidentifikasikan isu-isu, baik

    potensi maupun masalah, secara singkat dijelaskan tahapan dalam

    pengembangan MMA di lokasi proyek. Generalisasi konsep dan ide-ide, serta

    ‘lesson-learned’ yang dijelaskan dalam buku ini diharapkan dapat

    diterapkan para pembaca. Buku ini didesain sebagai pustaka dalam

    pengembangan kawasan konservasi laut di wilayah pesisir di Indonesia,

    namun demikian para pembaca yang menginginkan informasi yang lebih

    spesifik disarankan melihat referensi yang digunakan buku ini.

    Manfaat yang diharapkan dari buku ini adalah untuk memfasilitasi

    perencana dan paktisi dalam mengembangkan MMA dengan memanfaatkan

    pengetahuan lokal, serta kearifan lokal mereka, dalam pengembangan

    rencana pengelolaan kawasan konservasi laut ke depan. Diharapkan, para

    praktisi dan perencana dapat meningkatkan proses partisipasi stakeholders,

    1.1.  Pengantar1.2.  Nomenklatur MMA1.3.  Pengembangan Kawasan Konservasi

    Laut di Indonesia1.4.  Jejaring Kawasan Konservasi (MMA)1.5.  Konsep MMA dan Desain Kelembagaan

    Pengelolaan MMA1.6.  Strategi pencapaian tujuan MMA1.7.  Desain Pengelolaan MMA

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    7/96

     

    2 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    sebagai basis dalam terbentuknya kolaboratif manajemen MMA, yang akan

    menjamin perikanan dan pariwisata berkelanjutan.

    Untuk menyamakan persepsi, maka penggunaan istilah MMA di

    dalam buku panduan ini digunakan istilah Kawasan Konservasi Laut (KKL)

    di tingkat kabupaten, yang dipadankan dalam bahasa Inggris disebut

    ’locally-managed Marine Management Area (MMA)’. Sedang kawasan

    konservasi laut pada skala desa dalam panduan ini disebut dengan Daerah

    Perlindungan Laut (DPL).

    1.2 Nomenklatur MMA

    Walaupun istilah Marine Management Area atau Marine

    Conservation Area ataupun Marine Protected Area mempunyai persamaan

    arti, namun demikian berikut akan dijelaskan tentang asal-usul istilah

    tersebut. Kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu kawasan, baik

    darat maupun laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan

    dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan

    sumber daya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya hukum atau

    upaya-upaya efektif lainnya (IUCN, 1994).

    Definisi dari IUCN dan UNDANG-UNDANG Nomor 5 Tahun 1990

    tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi

    adalah manajemen biosfer secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat

    bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

    IUCN mengelompokkan Kawasan Lindung menjadi 6 kategori : (1)

    Strict Nature Reserve/Wilderness Area, (b) National Park, (c) Nature

    Monument, (d) Habitat/Species Management Area, (e) Protected

    Landscape/Seascape, dan (f) Managed Resources Protected Area.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    8/96

     

    3COREMAP II ADB 

    Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) adalah daerah

    intertidal (pasang-surut) atau subtidal (bawah pasang- surut) beserta flora

    fauna, sejarah dan corak budaya dilindungi sebagai suaka dengan

    melindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perUndang-

    Undang an (IUCN, 1995).

    Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk

    berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,

    yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan

    locally-managed Marine Management Area (MMA). Di dunia Internasional

    MMA dikenal sebagai suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang

    secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitarkawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat

    maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. MMA merupakan pendekatan

    baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003). Dengan

    melihat perkembangan KKL di Indonesia, maka MMA dapat dipadankan

    dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat pada skala

    desa, yang terdapat di beberapa desa pesisir di Indonesia, seperti di desa

    Blongko, Bentenan, Tumbak di Minahasa dan Pulau Sebesi di Lampung

    Selatan, dsb.

     Adapun maksud pembentukan KKL dimaksudkan untuk :

    (1) Menjamin kelestarian ekosistem laut untuk menopang

    kehidupan masyarakat yang tergantung pada sumberdaya

    yang ada,

    (2) 

    Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut,

    (3) 

    Pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan,

    (4) 

    Pengelolaan sumberdaya laut dalam skala lokal secara

    efektif,

    (5) 

    Pengaturan aktivitas masyarakat dalam kawasan

    pengelolaan.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    9/96

     

    4 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    Sedang tujuan pembentukan KKL adalah :

    (1) 

    Peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang

    lamun, dan hutan mangrove),

    (2) 

    Peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya

    ikan,

    (3) Peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya

    ikan,

    (4) Peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat,

    (5) 

    Peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya

    alam.

    Terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut MMA

    (Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA

    (Marine Conservation Area). Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak

    mesti menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP

    II. Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat

    untuk MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi

    Laut (KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Perairan di dalam Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan)

    dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka

     Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan.

    Saat sekarang, Pemerintah Indonesia sedang memformalkan

    Rancangan Peraruran Pemerintah (RPP) tentang Konservasi Sumberdaya

    Ikan menjadi Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

    (PP KSDI), yang akan diterbitkan pada tahun 2006. Pada Pasal 10 PP

    tersebut, dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan ditetapkan oleh

    Menteri. Berdasarkan lingkup kewenanganya, pengelolaan Kawasan

    Konservasi Peraiaran terdiri dari : (a) Kawasan Konservasi Perairan

    Nasional, (b) Kawasan Konservasi Perairan Propinsi, (c) Kawasan

    Konservasi Perairan Kabupaten/Kota. Pada PP ini juga mengacu pada

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    10/96

     

    5COREMAP II ADB 

    Undang-Undang Nomor 31 tentang Perikanan, yang merekomendasikan

     jenis kawasan konsrvasi berdasar tujuan pengelolaan, sesuai dengan

    Undang-Undang tersebut.

    Peraturan perUndang-Undang an sebagaimana diuraikan di atas

    memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan

    proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah, swasta,

    dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia

    1.3 Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia

    Perkembangan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia sejalan dengan

    perubahan pendekatan dunia terhadap konservasi laut. Pendekatan pertama 

    yang dimulai pada abad lalu, terdiri dari pengaturan dan pengelolaan

    aktifitas kelautan secara individual sektor, seperti perikanan komersial

    dengan berbagai tingkatan koordinasi dan peraturan dari berbagai sektor.

    Biasanya kurang koordinasi dan perhatian pengelolaan kawasan pesisirnya.

    Pendekatan kedua, adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut

    pada skala kecil (desa) yang merupakan salah satu upaya pengelolaan

    sumberdaya ikan. Biasanya pendekatan kedua tersebut dilengkapai dengan

    pengaturan penggunaan alat-alat penangkapan ikan. Pendekatan ketiga 

    adalah pembentukan Kawasan Konservasi Laut dengan skala luas, dengan

    tujuan yang serba guna dan sistem pengelolaan yang terintegrasi.

    Pendekatan ketiga tersebut merupakan pendekatan yang relatif baru di

    Indonesia dan akan dilakukan pada pengembangan Kawasan Konservasi

    Laut atau MMA oleh COREMAP II.

    Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki luas

    wilayah laut lebih besar dari pada luas daratan, dengan total panjang garis

    pantainya terpanjang keempat di dunia, maka Indonesia memiliki jumlah

    pulau sebanyak ±  17.508 pulau dengan garis pantai ±  85.000 km (WRI,

    2004). Wilayah lautan Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    11/96

     

    6 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya,

    terutama sumberdaya alam yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan

    mangrove, terumbu karang), sehingga dikenal sebagai ’coral triangle’  

    sebagai pusat mega-biodiversitas. Wilayah pesisir juga memiliki arti

    strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem

    darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

    lingkungan. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik bagi

    berbagai pihak untuk memanfaatkannya.

    Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan

    alam yang dimiliki Indonesia dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.

     Akan tetapi sampai dengan saat ini, pemanfaatan sumberdaya alamtersebut kurang memperhatikan kelestariannya sehingga berakibat pada

    menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Degradasi

    ekosistem terumbu karang telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an, sampai

    saat ini kerusakan ekosistem pesisir dan penurunan kualitas lingkungan

    laut sudah memprihatinkan. Dari hasil penelitian P2O-LIPI (1998), kondisi

    terumbu karang di Indonesia hanya 6,41 % dalam kondisi sangat baik ; 24,3

    % dalam kondisi baik; 29,22 % dalam kondisi sedang; dan 40,14 % dalam

    kondisi rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan

    perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun cyanida dan

     juga penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi.

    Pelaku kerusakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir

    tetapi juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing.

    Kencenderungan di atas dikarenakan kurang optimalnya pengelolaan

    kawasan konservasi laut yang berbentuk Taman Nasional atau yang

    lainnya, disebabkan oleh ; (1) Orientasi pengelolaan kawasan konservasi

    laut lebih fokus pada manajemen teresterial, (2) Pengelolaan bersifat

    sentralistik dan belum melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat

    setempat,(3)Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    12/96

     

    7COREMAP II ADB 

    para pihak, (4) Banyaknya pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi

    laut.

    Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan sumberdaya laut

    adalah menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman

     jenis tumbuhan dan satwa, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya

    menjadi kawasan konservasi laut. Melalui cara tersebut diharapkan upaya

    perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber

    plasma nutfah dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam

    secara lestari dapat terwujud.

    Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam laut yang lestari, makadesain terpadu pengelolaan sumberdaya kelautan sangat diperlukan.

    Desain secara komprehensif pemanfaatan laut diharapkan dapat

    menyatukan beberapa kebijakan yang ada sehingga dapat mengakomodir

    kebutuhan masyarakat seperti : Taman Nasional Perairan, Taman Wisata

    Perairan, Suaka Alam Laut dan Cagar Alam Perairan, Taman Wisata

    Perairan, Kawasan Konservasi Laut atau Daerah Perlindungan Laut,

    sesuai dengan Nomenklatur yang terdapat pada Undang-Undang Nomor

    31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Rancangan Peraturan Pemerintah

    tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

    Kawasan Konservasi Laut merupakan paradigma baru, disamping

    kawasan konservasi nasional lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-

    Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

    dan Ekosistemnya. Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang

    No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada pasal 18

    dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah

    eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya.

    Kegiatan penyusunan desain KKL ini dimaksudkan untuk mendesain

    pokok-pokok pengelolaan konservasi laut yang berskala daerah dan atau

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    13/96

     

    8 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi daerah

    otonom. Untuk menghindari berbagai permasalahan yang berkembang

    dalam pengelolaan kawasan konservasi yang dapat berdampak pada konflik

     vertikal (tumpang-tindih perundangundangan) serta konflik horizontal

    (masalah pemanfaatan dan pengelolaan SDI) maka dibutuhkan suatu kajian

    yang mendalam terhadap berbagai peraturan perUndang-Undang an

    yang telah berjalan dan pada akhirnya melahirkan suatu produk

    perUndang-Undangan yang menguntungkan berbagai pihak.

    Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan

    ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber

    daya alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal33 ayat (3) UUD dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-

    besarnya kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan

    dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik

    sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan

    pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak.

    Dengan demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan

    ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat

    banyak bila secara ekonomis, politis, sosiologis dan kultural

    menguntungkan. 

    Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan

    berbagai upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasan-

    kawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia.

    Pemerintah telah merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah

    laut yang diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sampai

    tahun 2006, sebanyak 9 Kabupaten yang telah menetapkan sebagian

    wilayah pesisirnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

    Perbedaan bentuk, ukuran, karakteristik pengelolaan dan dibentuk

    berdasarkan perbedaan tujuan. Secara umum terdapat empat jenis MPA,

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    14/96

     

    9COREMAP II ADB 

    yaitu : konservasi kawasan, konservasi jenis, konservasi jenis peruaya dan

    Locally Marine Managed Area (LMMA). LMMA ini sepandan dengan konsep

    MMA di skala Kabupaten dan DPL di skala Desa, yang sedang

    dikembangkan oleh COREMAP II di Indonesia bagian barat.

    Di dunia Internasional LMMA dikenal sebagai Locally Managed

    Marine Area, yaitu suatu kawasan di suatu wilayah perairan pesisir yang

    secara aktif dikelola oleh masyarakat lokal/keluarga setempat di sekitar

    kawasan, atau oleh pengelolaan kolaboratif baik oleh masyarakat setempat

    maupun oleh perwakilan pemerintah daerah. LMMA merupakan

    pendekatan baru terhadap Marine Protected Area (LMMAnetwork, 2003).

    Sekali lagi, terminologi yang dipakai oleh COREMAP II ADB disebut

    MMA (Marine Management Area) dan oleh COREMAP II WB disebut MCA.

    Untuk di Indonesia bagian barat, satu Kabupaten/Kota hanya terdiri dari

    satu Unit MMA. Namun demikian, aplikasi di lapangan tidak mesti

    menggunakan istilah yang sama dengan istilah di dalam COREMAP II.

    Dengan alasan, bahwa (1) istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk

    MMA atau MCA, tetapi diterjemahkan menjadi Kawasan Konservasi Laut

    (KKL), (2) istilah Kawasan Konservasi Laut di dalam Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan

    menjadi 4, yaitu : Suaka Perikanan, Taman Nasional Perairan, Suaka Alam

    Perairan, dan Taman Wisata Perairan. Seperti juga disebutkan dalam

    Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya Ikan (draft

     Agustus 2006). Peraturan perUndang-Undangan sebagaimana diuraikan di

    atas memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi

    dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah,

    swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan MMA di Indonesia

    1.4 Jejaring Kawasan Konservasi (MMA)

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    15/96

     

    10 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    Dari beberapa MMA Kabupaten/Kota diupayakan membentuk jejaring

    MMA. Seperti disebutkan dalam Pasal 28 Rencana Peraturan Pemerintah

    Konservasi Sumberdaya Ikan, yaitu untuk meningkatkan daya tahan dan

    keutuhan Kawasan Konservasi Perairan terhadap pengaruh iklim global,

    iklim musiman, dan tekanan manusia, perlu dikembangkan Jejaring

    kawasan konservasi perairan.

    Jejaring kawasan konservasi perairan dikembangkan atas dasar:

    a. 

    keterkaitan biofisik antar Kawasan Konservasi Perairan;

    b. 

    kemitraan antar lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan

    dan/atau antara lembaga pengelola Kawasan Konservasi Perairan

    dengan lembaga non-pemerintah nasional dan/atau asing;

    Jejaring Kawasan Konservasi Laut, misalnya, dikembangkan dengan

    mempertimbangkan bukti ilmiah meliputi aspek oseanografi, limnologi,

    biologi perikanan, keterkaitan antar kawasan, daya tahan lingkungan,

    kelembagaan pengelolaan, dan aspek ekonomi, sosial serta budaya. Sedang

    rencana dan desain Jejaring Kawasan Konservasi Perairan merupakan

    bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan strategi nasional

    konservasi sumber daya ikan.

    Kriteria yang dapat digunakan untuk pemilihan lokasi MMA diterakan

    dalam Box di bawah ini.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    16/96

     

    11COREMAP II ADB 

    1.5 Konsep MMA dan Desain Kelembagaan Pengelolaan MMA

    Konsep MMA berikut merupakan kesepakatan yang diambil dari

    kesepakatan para praktisi MMA di Asia-Pasifik yang terjalin dalam MMA

    Network. Gambar 1 menjelaskan model konseptual MMA dengan 5

    komponen didalamnya, yaitu :

    (1)  Target (ekosistem terumbu karang), adalah kondisi dimana lokasi

    MMA difokuskan yang langsung berpengaruh terhadap aktivitas

    MMA.

    (2)   Ancaman langsung, adalah faktor dimana ancaman secara tiba-

    tiba bisa mempengaruhi target.

    (3)   Ancaman tidak langsung, adalah faktor dimana ancaman yang

    muncul dibalik ancaman langsung.

    Contoh Kriteria Pemilihan KKL

    Kriteria Sosial:

    Penerimaan sosial, kesehatan masyarakat, rekreasi, budaya, estetika,

    konflik kepentingan, keamanan, keterjangkauan kawasan, pendidikan,

    kesadartahuan masyarakat dan kecocokan

    Kriteria Ekonomi:

    Nilai penting spesies, nilai penting perikanan, sifat-sifat ancaman,

    keuntungan ekonomi dan pariwisata.

    Kriteria Ekologi:

    Keanekaragaman hayati, kealamiahan, ketergantungan, keterwakilan,

    keunikan, integritas, produktivitas, ketersediaan dan kawasan pemijahan

    ikan.

    Kriteria Regional:

    Urgensi Regional dan daerah

    Kriteria Fragmatik:

    Kepentingan, ukuran, tingakt ancaman, efektivitas, peluang,ketersediaan, daya pulih dan penegakan hukum. (Salm et al, 2002) 

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    17/96

     

    12 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    (4) 

    Strategi, adalah aksi yang dilakukan terhadap ancaman suntuk

    mencapai target. Untuk satu jaringangan MMA, hanya terdapat

    satu strategi MMA

    (5) 

    Parktisi, adalah individu atau organisasi yang memiliki

    keterampilan dan kapasitas untuk mengimplemntasika strategi-

    strategi

    Gambar 1. Model Konseptual MMA secara umum

    (Sumber LMMA Network, 2003)

    1.6 Strategi pencapaian tujuan MMA

    COREMAP II melakukan antisipasi terhadap ancaman langsung

    maupun tak langsung yang akan mempengaruhi target melalui beberapa

    strategi. MMA merupakan kawasan habitat laut yang dikelola oleh

    masyarakat setempat, pengelola kawasan, atau yang berhubungan dengan

    organisasi dan atau pengaturan bersama dengan perwakilan lembaga

    pemerintah. Tiga komponen spesifik dari strategi pengelolaan sebuah MMA

    adalah :

    (1)  Full Reserve (Perlindungan yang Menyeluruh), yaitu

    perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam suatu kawasan.

    Kawasan tersebut sering disebut ’Sanctuary’ (Suaka) atau

    ’Daerah Larang Ambil’ atau ’fully protected area’.

    Strategi

    MMA

     Ancaman

    Tak

    Langsung

     Ancaman

    LangsungTarget

    Praktisi

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    18/96

     

    13COREMAP II ADB 

    (2) 

    Species Specific Refugia (Pembatasan Penangkapan Spesies

    tertentu, adalah pembatasan penangkapan terhadap spesies

    tertentu atau beberapa spesies atau individu dengan ukuran atau

     jenis kelamin tertentu.

    (3) 

    Effort or behavioral Restrictions (Pengurangan Upaya

    Penangkapan), adalah pengaturan pembatasan usaha

    penangkapan ikan atau pemanfaatan tertentu di suatu kawasan.

    Perijinan oleh Pemerintah/Pengusaha Lokal menyangkut

    pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat

    usaha penangkapan ikan (seperti : jumlah ikan, jumlah perahu,

    kuota terhadap jumlah penangkapan, pengaturan musim, pola

    pemanfaatan lain yang diperbolehkan (seperti wisata selam) danpembatasan perijinan.

    Seperti ditargetkan dalam COREMAP II ADB, bahwa sekitar 60.000

    Hektar ekosistem terumbu karang dapat dilindungi sampai 2009, setelah

    terbentuknya 40-45 Lembaga Pengelola Terumbu Karang berbasis Desa.

    Karena COREMAP ADB mempunyai 8 lokasi kabupaten/kota, maka per

    lokasi diharapkan terbentuk sebuah MMA yang mempunyai luas 1000

    sampai dengan 1500 Hektar terumbu karang.

    MMA berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan

    konservasi laut berbasis desa (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis

    desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa

    berkembang, mengingat proses pembentukan dari masing-masing DPL

    berbasis desa bervariasi. Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat

    koordinasi pengelolaan kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan

    status dapat berbeda.

    Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut

    seperti, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti

    transportasi dan kegiatan lain yang selaras dengan tujuan konservasi

    kawasan dapat diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    19/96

     

    14 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan

    manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada

    masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi (seperti

    ikan dan mamalia laut) dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh

    dilindingi.

    Gambar 2. Jaringan Daeral Perlindungan Laut (DPL) dalam

    satu Unit Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah

    (KKLD) di Kabupaten/Kota.

    Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka Jaringan KKLD dapat

    berupa Kawasan-Kawasan Konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor

    31 Tahun 2004 dan Rancangan Peraturan Pemerintah Konservasi Sumberdaya

    Ikan, yaitu :  Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam

    Perairan dan Suaka Perikanan.

    1.7 Desain Pengelolaan MMA

    Pengelolaan suatu MMA haruslah dirancang secara terpadu, yaitu dengan

    memadukan segenap kegiatan ekonomi, seperti perhubungan laut,

    perikanan, pariwisata, kehutanan dan pertambangan. Keterpaduan

    pengelolaan MMA juga meliputi aktivitas sosial dan administrasi dan

    DPL

    DPL

    DPL

    DPL

    DPL

    KKLD/MMA

    DPL

    DPL

    DPL

    DPL

    DPL

    KKLD/MMA

     

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    20/96

     

    15COREMAP II ADB 

    kepemerintahan). Sementara dampak penting dari lingkungan, seperti

    pencemaran, erosi dan sedimentasi memerlukan pertimbangan khusus

    dalam desain pengelolaan MMA.

    Pengelolaan suatu MMA diharapkan menganut prinsip-prinsip dasar

    sebagai berikut :

    (1)   Adaptif. Pengelolaan yang adaptif terhadap perubahan dan

    informasi baru untuk memperbaiki kinerja pengelolaan

    suatu MMA.

    (2) 

    Berkelanjutan. Upaya-upaya pemanfaatan dilaksanakan

    berdasar pada azas keberlanjutan dan ekologis.

    (3) 

    Pendekatan Ekosistem. Pengelolaan ekosistemmemfokuskan pada integritas ekosistem dengan

    mempertimbangkan aspek pemanfaatan.

    (4) 

    Manfaat Ganda. Pengelolaan dengan mengikuti proses

    untuk alokasi sumberdaya dan pengambilan keputusan,

    terutama dalam perencanaan dan penetapan kawasan.

    (5) 

    Pengelolaan Bersama. Pengelolaan bersama untuk

    mengimplementasikan contoh-contoh pengelolaan

    sumberdaya yang baik.

    1.8 Opsi-opsi Desain MMA Kabupaten/Kota

    (1) MMA dibentuk dari Jaringan Daerah Perlindungan Laut (DPL) skala

    desa.

    Di dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan MMA

    Kabupaten/Kota menyebutkan batas-batas MMA dengan koordinat

    geografis. Adapun Sebuah MMA Kabupaten dapat terdiri lebih dari satu

    Sub-MMA (seperti MMA-1: Pantai Timur Natuna, MMA-2: Pulau Tiga-

    Sedanau, dsb). Di dalam satu Sub-MMA merupakan jaringan atau

    kumpulan dari Daerah Perlindungan Laut (DPL) terdekat secara hamparan

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    21/96

     

    16 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    di desa-desa yang bertetangga, yang ditetapkan dan diatur oleh Peraturan

    Desa masing-masing. (Lihat Lampiran  : Rancangan Surat Keputusan

    Walikota Batam, Bupati Mentawai, dan Natuna tentang Kawasan

    Konservasi Laut Daerah)

    Karena luasan DPL desa biasanya kecil, dalam lingkup Hektar (misal 10-20

    Hektar), maka dalam penetapannya batas-batas DPL tidak perlu untuk

    menetapkan posisi geografis dengan Lintang dan Bujur, tetapi cukup dengan

    ukuran jarak (meter). Dalam penetapan batas-batas DPL sebaiknya

    digunakan tanda-tanda alam (land mark) dan nama-nama lokal batas-batas

    zona inti. Zona-zona yang dibuat di dalam DPL diupayakan sesedehana

    mungkin, seperti Zona Inti, yaitu kawasan larang-ambil ekstraktif, dan ZonaPenyangga,merupakan zona pemanfaatan terbatas di sekeliling Zona Inti.

    (Lihat Lampiran: Surat Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan

    Laut).

    Gambar 3. Usulan Batas Geografis Kawasan Konservasi Laut

    Kota Batam

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    22/96

     

    17COREMAP II ADB 

    (2) Daerah Perlindungan Laut (DPL) dapat terdiri dari Sub-DPL

    Sebuah Daerah Perlindungan Laut yang ditetapkan oleh Desa dapat

    terdiri dari satu atau lebih sub-DPL sebagai Zona Inti. Beberapa

    pertimbangan, kenapa Desa menetapkan lebih dari satu Zona Inti

    dalam lokasi DPL adalah : a) Desa terdiri dari beberapa dusun

    (Rukun Warga) yang tersebar di beberapa pulau, b) terdapat lokasi-

    lokasi potensial untuk dilindungi sebagai Zona Inti di sepanjang

    pesisir desa, dengan jarak yang relatif jauh untuk keperluan

    pengawasan, sehingga perlu membuat batas-batas, misalnya: DPL-1:

    Pulau Nguan-Batam, DPL-2: Pulau Abang-Batam, DPL-3 dsb; untuk

    satu desa. Contoh lain adalah DPL di desa Botohilitanu di NiasSelatan, yang terdisri dari 3 zona inti sebagai sub-DPL.

    (3) 

    MMA dapat terdiri dari jaringan antara Kawasan Konservasi

    yang telah ada, digabung dengan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di

    desa-desa.

    Satu MMA yang disyahkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota dapat

    merupakan jaringan antara Kawasan, yaitu : Kawasan Konservasi yang

    telah ada, seperti Cagar Alam, Taman Wisata Laut, dsb. dengan DPL.

    Kawasan Konservasi atau kawasan lindung seperti yang termaktub dalam

    Rencana Tata Ruang Wilayah, sedang DPL adalah Daerah Perlindungan

    Laut yang ditetapkan oleh Peraturan Desa. Atau Surat Keputusan Desa.

    (Lihat Lampiran  : Peraturan Bupati Berau tentang Kawasan Konservasi

    Laut Kabupaten Berau)

    Dalam Surat Keputusan Bupati/Walikota batas-batas MMA telah di

    sebutkan dengan posisi geografis, sedang DPL hanya disebutkan desa-

    desanya saja. Peraturan dan pengelolaan DPL dijelaskan dengan Perturan

    Desa/SK Kepala Desa. Khusus untuk Kota Batam, Kelurahan tidak

    menerbitkan Peraturan Desa, karena kelurahan tidak otonom, sehingga

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    23/96

     

    18 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    untuk pembentukan MMA langsung dengan SK Walikota, termasuk

    pengelolaan DPL-DPL nya..

    Gambar 4. Usulan Geografis Kawasan Konservasi

    Laut Daerah Kepulauan Mentawai.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    24/96

     

    19COREMAP II ADB 

    RENCANA KELEMBAGAAN MMA

    2.1 Dasar Kelembagaan MMA

    Sesuai dengan asas

    otonomi seluas-luasnya, otonomi

    nyata dan otonomi yang bertanggung

     jawab yang dianut oleh Undang-

    Undang Nomor Nomor 32 Tahun

    2004. Depdagri sebagai aparat pusat

    tidak ingin menimbulkan kesan adanya campur tangan pusat dalam

    urusan pembentukan Kawasan Konservasi (MMA). Semua permasalahanyang terjadi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah hendaknya

    dapat diselesaikan oleh daerah sendiri sebagai konsekuensi dari penerapan

    otonomi. Dalam kaitan ini, provinsi sebagai kepanjangan tangan dari

    pemerintah pusat dapat melakukan inisiatif untuk menyelesaikan

    permasalahan yang timbul di kabupaten/kota. Apa bila permasalahan

    tersebut menyangkut kepentingan nasional, maka barulah Depdagri turun

    tangan.

    Lembaga pemerintah di tingkat Provinsi yang terkait dengan

    upaya pengembangan MMA terutama meliputi:

    (1)  Dinas Perikanan dan Kelautan (Di Batam Dinas KP2, di Lingga

    Dinas Pengelolaan SDA)

    (2)  Dinas Kehutanan;

    (3)  Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda)

    atau dinas yang bertanggungjawab dalam bidang lingkungan

    hidup did aerah

    (4)  Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

    Dinas Perikanan dan Kelautan berdasarkan Undang-Undang Nomor

    31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang

    2.1.  Dasar Kelembagaan MMA2.2.  Status Kelembagaan COREMAP II Daerah2.3.  Perpektif Kelembagaan MMA ke depan2.4.  Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA2.5.  Lembaga Pengelola MMA2.6.  Sekretariat Pengelola MMA2.7.  Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA2.8.  Gugus Tugas Pengelolaan MMA2.9.  LPSTK dan Pihak Swasta2.10. Pendanaan MMA

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    25/96

     

    20 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk melakukan konservasi

    laut di wilayah laut selebar 12 mil diukur dari garis pantai, dan melakukan

    koordinasi terhadap kegiatan konservasi yang dilakukan oleh DKP

    Kabupaten dan Kota di wilayah laut selebar 4 mil diukur dari garis pantai.

    Masalah batas wilayah laut yang tidak kasat mata tersebut sering

    menimbulkan perbedaan paham tentang batas-batas kewenangan di

    lapangan antara DKP Provinsi dan DKP Kabupaten/Kota.

    Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41

    Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 jo. Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai kewenangan konservasi, baik konservasi

    di darat maupun di laut. Untuk Kota Batam, dan Lingga pertentanganmengenai masalah kewenangan konservasi antara DKP dan Dishut

    memang kurang menonjol karena Dishut disibukan dengan masalah lain

    yang lebih besar, serta masih bergabungnya bidang kehutanan dalam Dinas

    KP2 dan Dinas Pengelolaan Sumberdaya Alam.

    Bapedalda berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 97 jo.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki kewenangan untuk

    melakukan pengelolaan lingkungan hidup di wilayah Provinsi . Dalam

    kaitannya dengan upaya pengembangan MMA, Bapedalda melakukan

    pelestarian fungsi-fungsi lingkungan di wilayah laut yang menjadi

    kewenangan provinsi dan melakukan koordinasi terhadap kegiatan

    pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup dalam upaya pengembangan

    MMA.

    Bappeda berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

    memiliki kewenangan untuk membuat perencanaan pembangunan dan

    menetukan alokasi pendanaannya untuk seluruh kegiatan pembangunan

    yang ada di wilayah, termasuk pengembangan MMA, dengan

    mempertimbangkan usulan dari daerah kabupaten/kota. Sebagai pengendali

    alokasi dana, Bappeda dengan sangat baik dapat memposisikan diri sebagai

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    26/96

     

    21COREMAP II ADB 

    koordinator dari berbagai kegiatan proyek pembangunan di daerah. Namun

    demikian, Bappeda lebih terlibat langsung dalam pengembangan MMA.

    Keterlibatan Bappeda dilakukan melalui koordinasi perencanaan dan

    alokasi pendanaan yang diajukan oleh Bappeda Kabupaten .

    Secara umum lembaga pemerintah di tingkat Kabupaten yang terkait

    secara langsung dengan pengembangan MMA meliputi:

    a. 

    Dinas Perikanan dan Kelautan;

    b.  Dinas Kehutanan;

    c. 

    Dinas Pariwisata;

    d. 

    Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah

    (Bapedalda);e.  Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda);

    f. 

    Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

    (PSDKP).

    DKP berdasarkan peraturan perUndang-Undang an yang berlaku

    memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengelolaan sumber

    daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut selebar 1/3 dari

    wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi diukur dari garis pantai.

    Kewenangan tersebut juga mencakup kewenangan untuk melakukan

    konservasi laut. Dalam kaitan ini, Dishut juga merasa mempunyai

    kewenangan di bidang konservasi laut, dan bahkan pada kenyataannya

    Dishut telah lebih dulu melaksanakannya sesuai dengan ketentuan hukum

    yang berlaku. Misalnya untuk Kota Batam, perbedaan paham haruslah

    diantisipasi terutama tentang kewenangan konservasi yang akan menjadi

    semakin kompleks dengan bergabungnya Unit Pelaksana Teknis (UPT)

    Pusat yang diberi mandat langsung oleh DKP untuk menegakan kebijakan

    penetapan Taman Nasional yang akan dikeluarkan oleh pemerintah pusat di

    Pulau Abang, Batam.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    27/96

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    28/96

     

    23COREMAP II ADB 

    kepentingan para pihak yang selaras dengan konteks pembangunan global,

    nasional, regional dan lokal.

    Renstra yang berisi arahan-arahan strategis pengelolaan terumbu

    karang dalam kerangka MMA di 8 lokasi COREMAP II di Indonesia bagian

    barat. Renstra diharapkan dapat memberikan keuntungan, dalam hal

    penyediaan informasi, pembentukan komitmen dan alokasi sumberdaya

    yang dibutuhkan untuk pengelolaan berkelanjutan.

    2.2 Status Kelembagaan COREMAP II Daerah

    Secara umum kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang

    dianut oleh organisasi, dalam hal ini pengelola COREMAP, yang akan

    dijadikan pegangan oleh seluruh anggota organisasi dalam menjalankan

    segenap aktivitas untuk mencapai tujuan bersama.

    Pengertian kelembagaan dalam COREMAP adalah seluruh lembaga,

    baik pemerintah sebagai pengelola maupun lembaga non-pemerintah yang

    kemungkikan untuk melaksanakan program COREMAP. Baik pengelola

    maupun pelaksana COREMAP dilapangan mempunyai wewenang hukum

    untuk terlibat langsung ataupun tak langsung dengan program COREMAP.

    Salah satu komponen utama dari COREMAP II adalah Pengelolaan

    Sumberdaya dan Pembangunan Masyarakat Berbasis Masyarakat (PBM).

    Ruang lingkup dari PBM mencakup empat sub-komponen, terdiri dari : (i)

    pemberdayaan masyarakat, (ii) pengelolaan sumberdaya berbasis

    masyarakat, (iii) pengembangan infrastruktur dasar dan fasilitas sosial, dan

    (iv) pengembangan mata pencaharian alternatif.

    Berikut adalah Target Lembaga yang diusulkan untuk mendapatkan

    Training dan Penyuluhan untuk memperkuat kinerja dalam pengelolaan

    terumbu karang di daerah.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    29/96

     

    24 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    LSM. Fungsi fasilitasi di lapangan COREMAP dilakukan oleh LSM

    yang telah terpilih. Adapun tugas dan fungsi dari LSM sebagai motivator

    lapangan berlaku sampai proyek selesai, yaitu :

    (1) 

    Menyiapkan fasilitator senior yang berkedudukan di

    kabupaten/kota dan berfungsi sebagai koordinator dari para

    fasilitator lapangan yang bekerja di desa.

    (2)  Menangani aspek administrasi kegiatan di tingkat desa hingga

    kabupaten/kota, yang mencakup laporan hasil pemantauan

    teknis dan keuangan agar sesuai dengan prosedur dan aturan

    yang berlaku mengacu kepada.

    (3) 

    Melakukan koordinasi dengan UPP kabupaten/kota daninstansi-instansi terkait di tingkat Kabupaten, RCU di Propinsi,

    PIU - LIPI dan PMO.

    (4)  Memfasilitasi pelatihan dan studi banding bagi fasilitator

    lapangan, motivator desa, dan kelompok – kelompok

    masyarakat;

    (5)  Memfasilitasi penyusunan dokumen-dokumen PBM di tiap-tiap

    desa;

    (6)  Memfasilitasi proses-proses pengadaan dan pelaksanaan

    kegiatan di tingkat desa melalui fasilitator lapangan;

    (7)  Mendorong terbentuknya Peraturan Daerah dalam mendukung

    pelaksanaan PBM;

    (8)  Membantu penanganan / resolusi konflik di tingkat desa;

    (9)  Memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok masyarakat,

    pemilihan motivator desa, pengawas lapangan dan pembentukan

    Lembaga Pengelola Sumberdaya (LPS) Terumbu Karang.

    2.3 Perpektif Kelembagaan MMA ke depan

    Untuk mencapai tujuan Program Pengelolaan MMA sehingga dapat

    mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik, maka

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    30/96

     

    25COREMAP II ADB 

    diperlukan pembangunan Kelembagaan Program Pengelolaan MMA yang

    didukung oleh lembaga terkait yang memiliki kepedulian terhadap

    pengelolaan perikanan berkelanjutan. Keberadaan kelembagaan Program

    Pengelolaan MMA diharapkan dapat diterima oleh masyarakat industri

    perikanan dan secara jangka panjang akan tetap berjalan. Keberadaan

    kelembagaan yang terpadu dan kuat akan menentukan keberhasilan

    pelaksanaan program. Adapun prinsip-prinsip yang akan dikembangkan

    dalam Program Pengelolaan MMA secara terpadu, adalah :

    1. 

    Transparan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk

    mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan

    2. 

    Struktur organisasi yang efisien dengan pengawasan yang efektif dandikelola secara profesional

    3. 

    Kejelasan tugas pokok fungsi dan tanggung jawab dari masing-masih

    unit pengelola program

    4.  Hasil Program Pengelolaan MMA dapat dipertanggung jawabkan

    kepada masyarakat pengguna

    5. 

     Adanya kelengkapan peraturan dan menerapkan prinsip dan norma

    hukum dalam pengelolaan Program Pengelolaan MMA

    6.  Dinamis untuk mengakomodasi perubahan untuk perbaikan Program

    Pengelolaan MMA.

    2.4 Mekanisme Kerja Kelembagaan MMA

    Untuk menjalankan sistem pengelolaan MMA diperlukan suatu

    mekanisme kerja yang dapat menjamin proses koordinasi para pemangku

    kepentingan. Mekanisme Kerja Pengelola MMAdapat dijabarkan secara

    singkat sbb :

    • 

    Bupati dan Gubernur merupakan anggota ex-officio karena jabatan

    pada Dewan/Badan Pengelola MMA. Mereka akan memilih

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    31/96

     

    26 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    perwakilan dari representasi para pemangku kepentingan utama

    untuk duduk dalam Lembaga Pengelola

    •  Lembaga Pengelola MMA akan mengadakan pertemuan rutin yang

    terbuka untuk umum.

    • 

    Sekretariat Lembaga Pengelola memberi dukungan dan

    mengkoordinasikan semua aspek pengelolaan MMA. Bupati dan

    Gubernur akan mengangkat sekretaris

    •  Penasehat ilmiah dan teknis berfungsi untuk memberikan masukan-

    masukan ilmiah dan teknis merupakan orang-orang ahli di bidang

    keilmuan dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan MMA.

    • 

    Bupati akan mengangkat anggota dan ketua Kelompok Kerja dan

    Pelaksana Teknis untuk mengimplementasikan pengelolaan MMA.

    • 

    Gugus Tugas dapat merupakan penjelmaan dari koordinator-

    koordinator bidang pada PIU Kabupaten saat ini. Gugus tugas akan

    ditentukan oleh Bupati dan memberikan dukungan kepada upaya-

    upaya yang akan dilakukan untuk pengelolaan MMA sesuai dengan

    bidangnya. Tugas-tugas dimaksudkan untuk mengembangkan

    strategi MMA di Kabupaten.

    •  Pelaksana teknis merupakan pengembangan dari LPS-TK yang

    beranggotakan : pokmas-pokmas, swasta, lembaga teknis pemerintah

    dan LSM. Pelaksana teknis ini merupakan unit pelaksana

    operasional dalam menjalankan program dan kegiatan pengelolaan

    terumbu karang daerah (MMA) di lapangan. Pelaksanaan hal-hal

    teknis dilakukan oleh anggota pelaksana teknis dan akan melaporkan

    secara rutin kemajuan pelaksanaan kegiatan di lapangan kepada

    sekretariat dan memberikan masukan-masukan untuk perbaikan dan

    penyempurnaan pengelolaan MMA.

    2.5 Lembaga Pengelola MMA

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    32/96

     

    27COREMAP II ADB 

    Lembaga Pengelola MMA akan membuat kebijakan dan melakukan

    koordinasi dalam penyelenggaraan program pengelolaan MMA secara

    terpadu. Tanggung jawab Lembaga Pengelola adalah:

    (1) 

    Mengadopsi dan mengamandemen Renstra Pengelolaan

    Terumbu Karang Daerah

    (2)  Menyetujui usulan program-program dan kegiatan

    pengelolaan MMA untuk pendanaannya

    (3) 

    Mendorong upaya-upaya mobilisasi sumberdaya, seperti

    dana, teknologi, SDM dari luar untuk pengelolaan MMA

    (4) 

    Memfasilitasi resolusi konflik antar pengguna MMA

    (5) 

    Mendorong kerjasama antara Eksekutif dan Legislatif

    (DPRD) untuk mengefektifkan pengelolaan MMA(6)  Membuat jaringan pengelolaan MMA di tingkat

    Propinsi/Region dan ikut berpartisipasi aktif dalam jaringan

    MMA Nasional

    (7)  Mendelegasikan wewenang dan menyediakan dana

    operasional dalam tugas-tugas kesekretariatan.

    2.6 Sekretariat Pengelola MMA

    Tugas Sekretariat Pengelolaan MMA adalah memberi dukungan dan

    mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan MMA, termasuk

    penggalangan partisipasi dari stakeholder. Seketariat mempunyai tanggung

     jawab, sbb :

    (1)  Memberikan dukungan, berupa memfasilitasi pertemuan,

    kepada Lembaga Pengelola MMA, Komite Penasehat Teknis,

    Gugus Tugas dan Pelaksana Teknis.

    (2)  Mebuat dan mempublikasikan hasil-hasil pengelolaan MMA

    (3) 

    Memfasilitasi persiapan proritas anggaran tahunan untuk

    pengelolaan MMA

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    33/96

     

    28 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    (4) 

    Memfasilitasi penyiapan proposal dan pencarian dana dari

    pihak luar untuk mendukung pengelolaan MMA yang efektif

    (5) 

    Memfasilitasi program pendidikan, penelitian dan

    keterlibatan masyarakat dengan lembaga-lembaga partner

    dan media massa, untuk pengelolaan MMA

    (6)  Membuat laporan tahunan mengenai kemajuan pengelolaan

    MMA.

    2.7 Komite Penasehat Teknis Pengelolaan MMA

    Komite teknis akan memberikan pedoman dan arahan untuk

    memastikan bahwa rencana dan program pengelolaan MMA dibuat denganpertimbangan ilmiah dan teknis. Adapun tanggung jawab Komite Penasehat

    Teknis :

    (1)  Memberikan saran mengenai perencanaan, pengelolaan dan

    penyempurnaan pengawasan (MCS) jangka panjang.

    (2) 

    Mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi

    antara pengguna tentang manfaat MMA bagi masyarakat,

    terutama tentang informasi ilmiah, sumberdaya perikanan

    dan jasa lingkungan di lokasi MMA.

    (3) 

    Memberikan saran penelitian terapan yang akan digunakan

    untuk peningkatan pengelolaan MMA.

    2.8 Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan MMA

    Unit Pelaksana Teknis di Kabupaten/Kota (UPT) MMA bertugas

    untuk mengawasi pelaksanaan program dan menjadi penghubung, serta

    memberi dukungan pengelolaan MMA antara pemerintah kabupaten dan

    desa-desa.

    Berikut adalah tanggung jawab UPT :

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    34/96

     

    29COREMAP II ADB 

    (1) 

    Mengembangkan dan melaksanakan program-program

    pengawasan pemanfatan dan perlindungan sumberdaya di

    lokasi MMA

    (2) 

    Membantu dalam mengembangkan kemampuan kelembagan

    pelaksana teknis dalam rangka pengelolaan MMA

    (3)  Memberikan rekomendasi berdasar masukan dari keleompok

    kerja di Pelaksana Teknis (LPS-TK) mengenai inisiatif

    prioritas program, kegiatan dan anggaran tahun yang akan

    datang.

    (4) 

    Merekomendasikan usulan mobilisasi sumberdaya dalam

    rangka memfasilitasi program dan pengelolaan

    (5) 

    Mengkomunikasikan pelaksanaan program denganpemerintah dan perwakilan desa

    (6) 

    Mengkoordinasikan kerja antar Gugus Tugas, maupun dengan

    berbagai lembaga di daerah dan nasional.

    2.9 LPS-TK dan Pihak Swasta

    Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) beserta

    Kelompok-kelompok Masyarakat (pokmas), Kelompok Swadaya Masyarakat

    dan Pihak Swasta (pengusaha Wisata, Pengusaha Perikanan, dsb.) akan

    melaksanakan kegiatan konservasi di Tugas pelaksana teknis adalah untuk

    menjalankan program/rencana aksi tahunan pengelolaan MMA yang telah

    disetujui dan disyahkan oleh Lembaga Pengelola Adapun tanggung Jawab

    Pelaksana Teknis MMA:

    (1) 

    Membantu Gugus Tugas dalam pelaksanaan program dan

    kegiatan yang terkait dengan pengelolaan MMA

    (2) 

    Membantu pelaksanaan kegiatan yang telah diusulkan oleh

    Kelompok Kerja (berdasarkan isu-isu pengelolaan MMA di

    lapangan), melalui Gugus Tugas.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    35/96

     

    30 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    2.10 Pendanaan MMA

    Untuk menjamin pendanaan yang berkelanjutan, maka secara

    operasional perencanaan program dan pendanaan pengelolaan MMA dapat

    disesuaikan dengan siklus perencanaan program dan pendanaan tahunan

    pemerintah, baik ditingkat Kabupaten dan Provinsi. Sinkronisasi program

    kerja sangat diperlukan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat

    (DKP). Sinkronisasi dan harmonisasi program dan pendanaan antara

    Kabupaten dan Provinsi dalam perencanaan dan pengelolaan MMA

    disarankan untuk menuangkannya ke dalam Kesepakatan Bersama atau

     Memorandum of Understanding (MoU) antara Kabupaten dan Provinsi,

    setelah MMA terbentuk.

    Proses pendanaan progran pemerintah akan mengikuti siklus

    pendanaan, yang akan diawali pada bulan Januari sampai Desember setiap

    tahunnya. Sebelum pendanaan disetujui menjadi Daftar Isian Proyek (DIP),

    maka lembaga terkait sektoral akan menerahkan usulan anggaran

    program/kegiatan ke DPRD, setelah diadakannya Musrenbang

    (Musyawarah Rencana Pembangunan).

    Disarankan Lembaga Pengelolaan MMA meninjau kemajuan lembaga

    dan program kerjanya dan akan memulai siklus Perencanaan Program

    Tahunan.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    36/96

     

    31COREMAP II ADB 

    : koordinatif : konsultatif

    Gambar 5. Usulan Kelembagaan MMA di Tingkat Kabupaten/Kota

    Lembaga PengelolaKKLD

    Sekretariat

    Komite PengarahTeknis

    Kelompok

    Kerja Provinsi

    Unit Pelaksana Teknis KKLD

    PenyadaranMasyarakat

    SistemInformasi,Training

    Kelembagaan /SDM

    PengelolaanBerbasis

    Masyarakat

    Pemantauan danPengawasan

     /MCS

    LPSTK:

    Pokmas

    Swasta/

    Asosiasi

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    37/96

     

    32 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS

    MASYARAKAT

    3.1 Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa

    Dalam melembagakan

    pengelolaan sumberdaya

    terumbu karang di tingkat desa,

    COREMAP berupaya untuk

    mengoptimalkan peran

    pemerintah desa dan lembaga formal di desa meskipun lembaga-lembaga

    formal di desa-desa belum berfungsi sebagaimana diharapkan masyarakat.

    Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK) di desa sebagai

    lembaga formal yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa.

    COREMAP telah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Pengelola

    Sumberdaya Terumbu Karang (LPS-TK). Lembaga ini adalah lembaga resmi

    di tingkat desa yang memiliki peran dalam menjalankan Rencana

    Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi atau Daerah

    Perlindungan Laut (DPL) yang akan disusun secara bersama-sama oleh

    seluruh Pokmas dan Kelompok Pengawasan Terumbu Karang dan

    difasilitasi oleh Fasilitator Lapangan. Tujuan LPS-TK adalah untuk

    mengorganisir dan mengkoordinir pokmas-pokmas yang ada dalam

    melaksanakan program PBM-COREMAP II. Disamping itu juga

    mensinergikan kegiatan pada masing-masing pokmas, sehingga sesuai

    dengan RPTK (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang) terpadu di DPL.

    LPS-TK bertanggung jawab kepada masyarakat desa melalui BPD

    atas pelaksanaan rencana pengelolaan pesisir desa. Bersama dengan BPD

    menetapkan rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan

    peraturan-peraturan mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di

    3.1.  Kelembagaan Konservasi Terumbu Karang di desa3.2.  Kelompok Masyarakat Pengelola DPL3.3.  Membangun DPL Berbasis Masyarakat3.4.  Metode Pengelolaan DPL3.5.  Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan3.6.  Zonasi Kawasan3.7.  Lokasi dan Ukuran3.8.  Partisipasi Masyarakat

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    38/96

     

    33COREMAP II ADB 

    desa. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana pengelolaan

    sumberdaya terumbu karang.

    Peran Badan Perwakilan Desa (Legislatif)  bersama dengan

    Pemerintah desa menyusun dan menetapkan rencana pembangunan dan

    pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa serta peraturan-peraturan

    mengenai pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa. Melakukan

    pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan

    rencana pengelolaan pembangunan di desa merupakan suatu lembaga yang

    sudah ada di desa yang dapat melaksanakan Rencana Pengelolaan Terumbu

    Karang di Tingkat Desa yang dilaksanakan oleh LPS-TK beserta dengan

    Pokmas-Pokmas.

    Oleh pemerintah desa Lembaga Pengelola ini ditetapkan melalui

    surat keputusan pemerintah desa untuk memberikan dukungan secara

    hukum kepada lembaga dan personil yang akan melaksanakan tugas.

    Dalam mengoptimalkan pelaksanaan Rencana pengelolaan, pemerintah

    desa, BPD, serta Badan Pengelola di desa terlibat secara aktif dan

    melakukan fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam Rencana

    Pengelolaan sebagai panduan dalam pelaksanaan.

    LPS-TK dibentuk dan diarahkan menjadi lembaga resmi yang

    berbadan hukum. LPS-TK berperan dalam membantu Pemerintah Desa

    dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumberdaya terumbu karang di

    tingkat desa. Dalam pengelolaan suatu kawasan lintas desa, LPS-TK

    melakukan koordinasi dan kerjasama dengan LPS-TK dari desa tetangga.

    LPS-TK memiliki pengurus yang terdiri dari Ketua, Sekretaris,

    Bendahara, dan staf administrasi, dengan anggota terdiri dari seluruh

    motivator desa, anggota Pokmas dan anggota pengawas terumbu karang.

    LPS-TK beranggotakan wakil-wakil dari para motivator desa, pengurus

    Pokmas dan Pengawas Terumbu Karang dan Perwakilan Desa.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    39/96

     

    34 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    LPS-TK dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat yang difasilitasi

    oleh fasilitator lapangan dan disahkan oleh Kepala Desa, serta disetujui oleh

    PIU kabupaten/kota.

    Tugas LPS-TK adalah sebagai berikut:

    1) 

    Menyiapkan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)

    2) 

    Mengimplementasikan RPTK

    3) 

    Menyusun usulan-usulan kegiatan berdasarkan usulan dari

    pokmas-pokmas dan kelompok pengawas terumbu karang;

    4) 

    Menyalurkan dana bagi kelompok-kelompok masyarakat yang

    diterima dari PIU;

    5) 

    Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan PIU dalam

    keseluruhan program pengelolaan berbasis mayarakat;

    6)  Melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur

    sosial yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara

    langsung;

    7) 

    Mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro yang akan

    melaksanakan Unit Simpan Pinjam (USP);

    8) 

    Melakukan koordinasi dengan LSM dan Konsultan;

    9) 

    Melaksanaan kegiatan administrasi keuangan sesuai dengan

    SE-Ditjen Anggaran;

    10) 

    Melakukan pemantauan dan evaluasi RPTK;

    Pada saat Proyek COREMAP masih berjalan, untuk membangun

    sistem koordinasi yang akomodatif antara desa dan kabupaten rapat

    koordinasi dilakukan secara berkala. Koordinator-koordinator Project

    Implementation Unit (PIU) Kabupaten yang terdiri dari dinas-dinas teknis

    di Kabupaten/Kota disepakati untuk memberikan rekomendasi serta kajian

    teknis atas usulan kegiatan desa dalam RPTK sekaligus memasukkan

    usulan kegiatan ke dalam usulan kegiatan dinas teknis yang akan dibiayai

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    40/96

     

    35COREMAP II ADB 

    melalui Proyek COREMAP. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan

    oleh Kelompok Masyarakat (Pokmas) di desa-desa lokasi COREMAP.

    3.2 Kelompok Masyarakat Pengelola DPL

    Kelompok masyarakat atau Pokmas adalah kelompok kecil yang

    dibentuk di tingkat desa. Proses pembentukan kelompok masyarakat

    difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Dalam satu desa dapat dibentuk

    beberapa kelompok masyarakat menurut kesamaan minat.

    Penguatan Pokmas adalah suatu proses meningkatkan kemampuan

    dan peran suatu kelompok masyarakat ke arah bidang kegiatan tertentu(konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan perempuan),

    agar dapat berperan aktif dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang.

    Pembentukan Pokmas adalah suatu proses membentuk kelompok atau

    organisasi masyarakat yang akan mempunyai peran dan fungsi bidang

    tertentu (konservasi, produksi, peningkatan peran dan kemampuan

    perempuan).

    Pokmas mempunyai tugas dan tanggung jawab utama :

    (1)  Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang arti

    dan nilai penting ekosistem terumbu karang, adanya ancaman

    terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang serta `upaya-

    upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan

    menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang.

    (2)  Berperan aktif dalam penyusunan Rencana Pengelolaan

    Terumbu Karang Terpadu (RPTK Terpadu) yang mencakup

    Program Pengelolaan Terumbu Karang, Pengembangan Mata

    Pencaharian Alternatif, Pengembangan Prasarana Dasar dan

    Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat.

    (3)  Mengimplementasikan RPTK Terpadu sesuai dengan bidang

    Pokmas yang bersangkutan, misalnya Pokmas Konservasi

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    41/96

     

    36 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    melaksanakan program-program pengelolaan terumbu karang.

    (4)  Membuat laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program

    kegiatan masing-masing Pokmas.

    Persyaratan pembentukan kelompok masyarakat:

    (1)  Kelompok masyarakat dianjurkan dibentuk dengan anggota

    antara 5 sampai 9 orang dengan anggota yang memiliki

    kesamaan minat;

    (2)  Kelompok masyarakat memilih 2 (dua) orang pengurus, yaitu

    ketua dan bendahara, yang bertanggung jawab dalam aspek

    administrasi teknis dan keuangan,

    (3)  Pengurus kelompok harus memiliki kemampuan baca dan tulis;

    (4)   Anggota kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan secara

    proporsional;

    (5)   Anggota kelompok yang dipilih adalah orang yang tergolong

    dewasa;

    (6)  Kelompok masyarakat disahkan oleh Kepala Desa;

    3.3 Membangun DPL Berbasis Masyarakat

    Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan

    kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan

    mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang

    dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan

    dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara

    bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan,

    memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et at, 2003). Dalam

    hal ini, COREMAP II ADB memodifikasi definisi tersebut, dengan memberikan

    penekanan bahwa DPL-DPL dalam skala desa, akan dikelola oleh satu Unit

    Pengelolaan yaitu Marine Management Area (MMA) di tingkat Kabupaten/Kota

    yang akan dikelola secara kolaboratif. MMA ini berbeda dengan Taman

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    42/96

     

    37COREMAP II ADB 

    Nasional Laut atau daerah konservasi dalam skala luas lainnya. Taman

    Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara, misalnya, mimiliki luas 89.065 Ha

    dan ditetapkan serta dikelola oleh Pemerintah secara nasional, walaupun saat

    sekarang dikelola secara kolaboratif oleh Dewan Pengelola Taman Nasional

    Bunaken, yang beranggotakan stakeholders di daerah.

    DPL dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada, terutama terumbu

    karang yang terkait dengan ekosistem pesisir lainnya. Keberadaannya dapat

    ditetapkan melalui peraturan Desa untuk Kabupaten, yang sudah otonom.

    Khusus untuk Kota (Batam), maka penetapan DPL dilakukan oleh walikota,

    karena Kelurahan di Kota tidak otonom. DPL dibentuk untuk melindungi dan

    memperbaiki sumberdaya terumbu karang dan perikanan di wilayah yangmempunyai peranan penting secara ekologis. DPL ini diharapkan merupakan

    alat pengelolaan perikanan yang efektif, karena adanya pengaturan perikanan,

    perlindungan daerah pemijahan dan pembesaran larva, sebagai asuhan juvenil

    (anak ikan), melindungi kawasan dari penangkapan berlebihan, dan menjamin

    ketersediaan stok ikan secara berkelanjutan.

    Tujuan Penetapan DPL:

    •  Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar

    •  Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati terumbu karang,

    ikan, dan biota lainnya

    •  Dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata

    •  Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pengguna

    •  Memperkuat masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang

    •  Mendidik masyarakat dalam konservasi dan pemanfaatan

    sumberdaya berkelanjutan

    •  Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan tentang keanekaragaman

    hayati laut

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    43/96

     

    38 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    3.4 Metode Pengelolaan DPL

    Walaupun DPL yang akan dibentuk adalah DPL yang berbasiskan

    masyarakat, tetapi pembentukan dan pengelolaannya harus dilakukan bersama

    antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak (stakeholder) yang

    ada di desa. Pemerintah daerah, terutama pemerintah desa, haruslah

    bekerjasama dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL, pendidikan

    masyarakat, bantuan teknis dan pendanaan awal. Tanggung jawab dalam

    menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL ditetapkan oleh masyarakat,

    sedangkan bantuan teknis dan pendanaan, serta persetujuan terhadapperaturan ditetapkan oleh pemerintah atas kesepakatan masyarakat.

    Masyakarat dapat bekerja sama dengan pihak lain,seperti LSM dan Swasta

    untuk pengelolaan DPL supaya lebih efektif.

    3.5 Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan

    Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu

    zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam

    zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan

    adanya kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi

    hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup

    lainnya dilarang untuk diambil.

    Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara musiman

    atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan ‘Sasi’ di Maluku

    atau ‘Mane’e di Sangir-Talaud. Pembukaan musiman dapat menyebabkan

    fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi

    ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami gangguan oleh

    manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai

    kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik. Zona inti

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    44/96

     

    39COREMAP II ADB 

    cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan

    dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa besar,

    seperti kerapu dan hiu.

    Diharapkan bahwa zona inti yang tidak diganngu oleh kegiatan

    penangkapan ikan atau sangat jarang dikunjungi oleh nelayan, akan memiliki

    ukuran ikan yang besar dan ikan-ikan yang hidup di zona inti akan menjadi

    induk yang sehat. Ukuran rata-rata ikan yang ada di zona inti yang berfungsi

    baik, cenderung memeiliki ukuran yang lebih besar dari pada ikan yang ada di

    luar zona inti (zona pemanfaatan). Dari penelitian diketahui bahwa, semakin

    panjang dan besar ukuran induk ikan akan memberikan telur yang jauh lebih

    besar secara exponensial. Apabila rata-rata umur dan ukuran ikan semakinmuda dan kecil, maka telur dan larva yang akan dihasilkan juga semakin

    sedikit. Sehingga, salah satu peran dari zona inti yang ditutup dari kegiatan

    penangkapan ikan adalah, untuk menghindari kegagalan perikanan akibat

    tidak tersedianya induk ikan yang mampu berkembang biak untuk

    menghasilkan juvenil ikan, yang akan menjadi besar dan siap untuk

    dimanfaatkan oleh kegiatan perikanan.

     Yang perlu kita perhatikan adalah, DPL tidak dapat mengatasi masalah-

    masalah yang berhubungan dengan tangkap lebih (over fishing) di suatu

    kawasan, tetapi DPL merupakan salah satu cara yang mudah untuk membantu

    menjaga kelestarian habitat, mengurangi cara-cara penangkapan ikan yang

    merusak, dan membantu nelayan memahami konsep pengelolaan perikanan.

    Fungsi rehabilitasi habitat dapat diperankan oleh DPL, apabila DPL

    ditetapkan pada kawasan terumbu karang yang mungkin sudah mulai rusak

    oleh kegiatan manusia atau suatu kawasan yang aktivitas perikanannya

    sudah berlangsung lama. Dengan adanya DPL maka habitat di kawasan

    tersebut mempunyai kesempatan untuk pulih dan biota yang hidup di

    dalamnya berkembang biak. Sehingga, DPL menjadi kawasan terumbu

    karang penyedia (source reef ) telur, larva dan juvenil, serta induk yang sehat,

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    45/96

     

    40 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    yang akan mengekport ikan-ikan keluar kawasan. Dilain pihak, DPL dapat

     juga menarik ikan-ikan yang ada di luar kawasan karena habitat di dalamnya

    yang terpelihara untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak.

    Mekanisme  export  larva-larva karang dan telur ikan pada zona inti DPL

    dipengaruhi oleh arus perairan, yang dapat sampai jauh di luar kawasan

    DPL, sampai beratus-ratus mil laut.

    Dari pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan

    memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar

    3-5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan

    terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan.

    3.6 Zonasi Kawasan

    DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara

    sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh

    masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona

    Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah

    suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas

    pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan.

    Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan

    karang, pelepasan jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu

     juga tidak diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, sepeprti

    berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan.

    Namun demikian perlu kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja

    yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal.

    Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak,

    serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPL-

    DPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti (no-take zone) dan zona

    penyangga (buffer zone). Di Zona penyangga, yang merupakan zona di

    sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    46/96

     

    41COREMAP II ADB 

    menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan

    perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu

    (light fishing) dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu

    karang masih dilarang di zona penyangga.

    3.7 Lokasi dan Ukuran

    Lokasi dan Ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL

    dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di

    sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Cakupan

    DPL sebaiknya mulai dari garis pantai sampai ke kawasan lepas pantai yang

    mencakup asosiasi ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.

    Sebenarnya tidak ada ukuran yang ideal untuk DPL, namun demikian

    ilmuwan merekomendasikan’ semakin luas ukuran DPL akan semakin baik

    fungsinya’. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 10-

    30 % dari luasan terumbu karang di suatu desa. Para ahli dari PISCO 2002,

    merekomendasikan bahwa 30% dari habitat ikan karang akan memberikan

    hasil yang optimal untuk pengelolaan perikanan, kegiatan wisata dan

    perlindungan keanekaragaman hayati. Namun demikian, dari pengalaman dan

    persetujuan dengan masyarakat, maka saat sekarang DPL berbasis desa yang

    ada di beberapa negara menunjukkan luasan sampai 50 hektar zona inti.

     Apabila terlalu kecil ukuran DPL maka DPL tidak akan berfungsi secara

    ekologis, sedang apabila ukuran DPL terlalu luas di suatu desa, maka fungsi

    kontrol masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan apa

    pengguna (nelayan) akan memjadi besar.

    Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip ekologi yang dipertimbangkan

    untuk penentuan lokasi dan ukuran DPL Berbasi Masyarakat, berdasar dari

    lesson-learned dari CRMP/USAID di Sulawesi Utara dan Lampung (2003),

    yaitu :

    • 

    Kondisi tutupan karang cukup tinggi (lebih dari 50% dianjurkan)

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    47/96

     

    42 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    • 

    Kepadatan ikan karang dan biota laut lannya tinggi

    • 

    Mencakup 10-20% dari keseluruhan habitat terumbu karang

    • 

    Habitat karang termasuk Rataan Terumbu dan Lereng, serta asosiasi

    dengan habitat lain

    • 

    Tempat pemijahan ikan karang

    •  Terhindar dari sedimentasi, polusi dari sungai

    •   Akses masyarakat untuk mengawasi DPL mudah

    • 

    Bukan merupakan lokasi utama panangkapan ikan nelayan

    •  Bukan merupakan kawasan penambatan perahu yang intensif.

    Karena kecenderungan ukuran DPL di desa berukuran kecil, maka

    sebaiknya DPL tidak dipandang sebagai pengganti Kawasan Konservasi yang

    berskala besar seperti Taman Nasional Laut, namun hendaknya dipandang

    sebagai pendukung, baik sebagai penerima (sink reef) ataupun dapat sebagai

    sumber (source reef) untuk larva ikan dan karang. Untuk meningkatkan

    efektifitas fungsi ekologis sebagai suatu kawasan konservasi, maka DPL

    sebaiknya bergabung menjadi suatu Jaringan (network) DPL-DPL di desa yang

    menjadi satu menjadi MMA (Marine Management Area) di tingkat

    Kabupaten/Kota. Dengan begitu, suatu sistem jaringan DPL berbasis

    masyarakat, akan sangat ideal untuk saling menopang dan mendukung suatu

    sistem Kawasan Konservasi yang lebih besar (MMA).

    3.8 Partisipasi Masyarakat

    Dalam pandangan masyarakat desa, partisipasi masyarakat sangat

    penting dalam menunjang keberhasilan program pengelolaan sumberdaya

    pesisir. Dari hasil survei di masyarakat yang memiliki DPL Pulau Sebesi,

    menunjukkan bahwa 98% masyarakat menilai partisipasi sangat penting

    dengan bebagai alasan. Misalnya, dengan proses partisipasi, masyarakat akan

    lebih merasakan manfaat dari program yang dilaksanakan. Selain itu,

    masyarakat juga akan membantu dalam implementasi program dan terlibat

    aktif dalam pemeliharaan selama dan sesudah program dilaksanakan.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    48/96

     

    43COREMAP II ADB 

    DPL berbasis masyarakat yang dimaksudkan adalah co-management

    (pengelolaan kolaboratif), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat

    bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat

    bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan

    perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan DPL. Pengelolaan DPL

    berbasis masyarakat berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai

    kemampuan sendiri untuk memperbiki kualitas kehidupannya, sehingga

    dukungan yang diperlukan adalah menyadarkan masyarakat dalam

    memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Namun demikian, pada kenyataannya pengelolaan yang murni berbasis

    masyarakat kurang berhasil, oleh karena itu dukungan dan persetujuan daripemerintah dalam hal memberikan pengarahan, bantuan teknis dan bantuan

    aspek hukum suatu kawasan konservasi sangat diperlukan. Dengan demikian,

    partisipasi masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama sejak awal

    kegiatan dari mulai perencanaan,pengelolaan sampai evaluasi suatu DPL

    sangatlah penting. Selain dukungan dari pemerintah, maka dukungan dan

    kerja sama dengan lembaga pendidikan, penelitian serta LSM juga dibutuhkan

    untuk menentukan lokasi DPL dan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan

    masyarakat di sekitar DPL.

    Beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena proses partisipatif dalam

    merencanakan dan mengelola DPL adalah :

    • 

    Pelibatan masyarakat dapat membantu bahkan bertanggung jawab

    dalam penegakan aturan, sehingga biaya penegakkan hukum dan

    pengawasan kawasan menjadi kecil.

    • 

    Masyarakat merasa memiliki DPL, dan dapat membuat aturan sendiri

    untuk ditetapkan di lingungannya

    •  Masyarakat akan membuat program penggalangan dana untuk

    operasional DPL melalui kegiatan ekonomi, seperti pariwisata dan tarif

    masuk, dll.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    49/96

     

    44 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    • 

    Menciptakan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama dalam

    bentuk organisasi di tingkat desa.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    50/96

     

    45COREMAP II ADB 

    PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL

    4.1 Tahapan dan Pembentukan

    Proses penetapan dan

    perencanaan DPL dilakukan

    dengan mengikuti proses kebijakan

    pengelolaan sumberdaya wilayah

    pesisir. Penetapan suatu DPL tidak

    dapat dipisahkan dengan agenda

    besar pengelolaan wilayah pesisir,

    atau dengan kata lain merupakan

    bagian dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di suatu desa ataukabupaten/kota. Isu-isu pengelolaan pesisir, seperti penangkapan ikan yang

    merusak, degradasi habitat, kurangnya kesadaran masyarakat, tangkap-

    lebih merupakan isu-isu yang juga berkaitan dengan pengembangan suatu

    DPL.

    Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan

    dalam pengembangan DPL (Tabel 1)

    4.1.  Tahapan dan Pembentukan4.2.

     

    Pemilihan Lokasi MMA4.3.  Sistem Biaya Masuk4.4.  Kelompok Pengelola4.5.  Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa4.6.  Pengelolaan DPL4.7.  Pembuatan Rencana Pengelolaan4.8.  Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan4.9.  Pendidikan Lingkungan Hidup4.10. MCS dan Penegakan Hukum4.11. Pemantauan dan Evaluasi4.12. Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain

    (Scaling-up )

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    51/96

     

    46 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    Tabel 1. Tahapan, Kegiatan, Hasil dan Indikator pengembangan DPL

    Tahapan

    Proses

    Perencanaan

    danPengelolaan

    Kegiatan yang

    dilakukan

    Hasil yang

    diharapkan

    Indikator Hasil

    1. Pengenalan

    dan Sosialisasi

    Program

    •  Lokasi desa

    dipilih

    •  Penempatan

    Penyuluh

    • 

    Survei data

    dasar

    •  Pembuatan

    Profil Desa

    • 

    Diskusi

    programpendampinga

    n masyarakat

    •  Identifikasi

    isu-isu

    Sosioekono

    mi dan

    budaya

    dipahami

    • 

    Pendekatan

    dapat

    dipahami

    bersama

    •  Deskripsi data

    dasar

    •  Profil lingkungan

    disebarkan kepada

    masyarakat

    •  Jumlah

    pertemuan

    masyarakat ttg

    DPL

    2. Pelatihan,

    Pendidikan,

    Pengembangan

    Kapasitas

    Masyarakat

    •  Studi banding

    DPL

    •  Penyuluhan

    DPL dan

    lingkungan

    • 

    Pelatihan

    Pemetaan

    Kawasan

    • 

    PelatihanKelompok

    •  Pemahaman

    Masyarakat

    •  Peta Karang

    • 

    Peningkatan

    Pengawasan

    •  Dukungan

    masyarakat

    • 

    Kapasitas

    masyarakatmeningkat

    •  Kapasitas

    dalam

    pengelolaan

    sumberdaya

    •  Jumlah

    pelatihan/penyuluh

    an

    •  Jumlah peserta

    pelatihan

    • 

    Jumlah kelompok

    masyarakat

    •  Jumlah proposal

    kegiatan kelompok• 

    Pelaporan

    penggunaan dana

    3. Konsultasi

    Publik• 

    Pembuatan

    draft Perdes

    •  Diskusi

    formal/inform

    al

    • 

    Perbaikandraft Perdes

    • 

    Partisipasi

    dalam

    pembuatan

    Perdes

    •  Konsensus

    tentangaturan DPL

    • 

    Jumlah pertemuan

    •  Jumlah peserta

    dalam penyiapan

    Perdes

    •  Jumlah peserta

    setuju denganPerdes

    4. Persetujuan

    Peraturan Desa•  Musyawarah

    Desa

    •  Peresmian

    Perdes

    •  Peresmian

    Formal oleh

    •  Penerimaan

    DPL secara

    formal

    • 

    Dasar

    Hukum

    •  Jumlah

    musyawarah

    •  Penandatanganan

    Perdes

    •  Peresmian DPL

    oleh Pemerintah

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    52/96

     

    47COREMAP II ADB 

    Tahapan

    Proses

    Perencanaan

    dan

    Pengelolaan

    Kegiatan yang

    dilakukan

    Hasil yang

    diharapkan

    Indikator Hasil

    Pemerintah

    5. Pelaksanaan • 

    Pemasangan

    Tanda Batas

    •  Rencana

    Pengelolaan

    Papan

    Informasi

    • 

    Rencana

    pengelolaan

    terumbu

    karang

    (RPTK)

    • 

    Pertemuan

    Pengelola

    •  Monitoring

    • 

    Penegakan

    Hukum

    • 

    Penyuluhan

    dan

    pendididkan

    • 

    Ketaatan

    •  Pengelolaan

    efektif

    • 

    Tutupan

    Karang

    meningkat

    •  Kepadatan

    biota

    meningkat

    •  Hasil

    tangkapan

    meningkat

    • 

    Jumlah

    Pelanggaran

    menurun

    •  Jumlah pertemuan

    kelompok

    • 

    Survei monitoring

    • 

    Data statistik

    perikanan di DPL

    Berikut adalah tahapan pembentukan DPL yang dapat diusulkan di

    lokasi COREMAP II ADB, dari hasil pembelajaran dari DPL yang difasilitasi

    oleh CRMP USAID di Lampung dan Sulawesi Utara. yang disesuaikan dengan

    perencanaan oleh COREMAP II ADB.

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    53/96

     

    48 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    Langkah Checklist  Hasil

    Gambar 6 . Tahapan dalam Pembentukan Daerah Perlindungan Laut

    Langkah 1Pengenalan dan

    sosialisasi COREMAPdan DPL

    Identifikasi Isu sosio-

    ekonomi, budayadipahami; pendekatan

    disetujui bersama

    Pemahaman dandukungan masyarakat;

    Peta Karang; PeningkatanPengawasan sumberdaya

    Pengelolaan Efektif;Ketaatan

    Penerimaan secara Formaldan Dasar Hukum

    Partisipasi Masyarakat,

    konsensus DPL

    Langkah 2Pelatihan dan

    Pengembangan

    Kapasitas Masyarakat

    Langkah 5

    Pelaksanaan danPengelolaan DPL

    Langkah 3

    Konsultasi Publik

    Langkah 4Persetujuan Peraturan

    Desa tentang DPL

    ● Lokasi dipilih● Penempatan Penyuluh

    ● Survei data dasar● Pembuatan Profil Desa● Pendam in an mas arakat

    •  Pembuatan Draf Perdes

    • 

    Diskusi Formal/Informal•  Perbaikan Draf Perdes

    •  Ketentuan DPL

    •  Musyawarah Desa•  Peresmian Perdes•  Formalisasi oleh

    Pemerintah

    •  Pemasangan TandaBatas

    • 

    Papan Informasi•  RPTK dan Pengelola

    ● Studi Banding DPL● Pendidikan Lingkungan● Pelatihan Pemetaan DPL● Pelatihan LPSTK/Pokmas

    Langkah 6Monitoring dan

    Evaluasi DPL

    •  Monitoring DPL•  Penegakaan Hukum•  Penyuluhan dan

    Pendidikan

    Tutupan KarangMeningkat; HasilTangkapan ikan

    meningkat;pendapatan

    Masyarakat Meningkat 

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    54/96

     

    49COREMAP II ADB 

    4.2 Pemilihan Lokasi Kawasan Konservasi Laut

    Mendefinisikan calon lokasi KKL atau DPL yang akan menjadi bagian

    dari jaringan KKL mencakup berbagai penekanan pada pertimbangan-

    pertimbangan yang lebih detail dari pada penetapan kawasan lindung di

    daratan, walaupun alasan utama dari pembentukan kawasan konservasi

    keduanya sangat mirip, yaitu :

    •  Untuk menjaga proses-proses ekologi penting dan penyangga

    kehidupan,

    •  Menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan,

    • 

    Melindungi keanekaragaman hayati.

    Di laut, habitat biasanya jarang dibatasi secara persis atau secara

    kritis dibatasi. Daya tahan hidup dari spesises tidak dapat dihubungkan

    secara spesifik dengan lokasi. Banyak spesies yang bergerak bebas secara

    luas dan arus air membawa material genetik melalui jrak yang sangat jauh.

    Oleh karenanya, di laut kasus ekologi untuk proteksi biasanya tidak selalu

    tergantung pada habitat kritis biota langka beserta ancamannya, namun

    perlindungan dapat diupayakan dengan pertimbangan perlindungan habitat

    kritis untuk keperluan komersial, rekreasi dan perlindungan tipe habitat

    dengan asosiasi genetik dalam komunitasnya. Contoh tentang Batas-batas

    Kawasan Konservasi Laut yang dapat dipadankan dengan MMA tertera

    pada Lampiran 2.

    Berikut adalah daftar faktor-faktor atau kriteria yang akan

    digunakan dalam memutuskan bahwa suatu kawasan harus termasuk

    dalam sebuah MMA atau untuk menentukan batas-batas MMA:

    •  Kealamiahan kawasan

    •  Kepentingan biogeografi

    •  Kepentingan ekologi

  • 8/9/2019 Manual Pengembangan Mma Libre

    55/96

     

    50 Panduan Pengembangan Marine Management Area

    • 

    Kepentingan ekonomi

    • 

    Kepentingan sosial

    • 

    Kepentingan ilmiah

    • 

    Kepentingan nasional dan internasional

    • 

    Kepraktisan dan kelayakan pengelolaan

    Jika suatu pulau atau suatu desa sudah terpilih menjadi lokasi DPL,

    maka penentuan lokasi yang sesuai dengan lokasi zona inti dan penyangga DPL

    perlu disepakati oleh masyarakat. Pemilihan lokasi biasanya merupakan suatu

    kompromi antara pertimbangan kebutuhan praktis (kemudahan pengelolaan)

    dan prinsip-prinsip konservasi (kondisi terumbu karang yang baik dengan

    keanekaragaman hayati yang tinggi).

    Berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sebuah

    daerah perlindungan laut adalah kemampuan masyarakat desa dalam

    mengawasi kawasan dimana kegiatan eksploitatif tidak diperkenankan. Hal

    ini sangat mempengaruhi pemilihan lokasi dan besar ukuran daerah

    perlindungan laut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kualitas aspek

    estetika kawasan ditinjau dari kualitas terumbu karang dan

    keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, kesepakatan masyarakat

    tentang pengelolaan dan pemanfaatan daerah perlindungan laut,