Marx, Agama Adalah Candu

Embed Size (px)

Citation preview

Bagi Marx, agama merupakan medium dari ilusi sosial. Dalam agama tidak ada pendasaran yang real-objektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Ia justru melihat bahwa agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati namun karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Propaganda inilah yang disebutnya sebagai candu bagi masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Marx mengkritik agama Kristen yang telah mempropagandakan etika ketertundukan. Dalam etika ketertundukan itu manusia hanya bisa tunduk terhadap segala aturan yang dilegitimasi sebagai aturan dari Allah. Manusia pasif dan menerima penderitaan sebagai karunia, sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan kekal. Ini mengindikasikan bahwa manusia akhirnya hanya bisa menerima penderitaannya tak berbuat apa-apa. Justru sikap tunduk inilah yang menguntungkan kaum kapitalis yang nota bene menguasai roda perekonomian. Dalam konteks ini Marx melihat bahwa agama adalah ekspresi langsung dari kelas yang berkepentingan, kelas yang dominan secara ekonomi bahkan politik yaitu kelas kapitalis. Untuk itulah, Marx mengusulkan lahirnya masyarakat komunis. Dalam masyarakat komunis ini tidak ada lagi bentuk-bentuk penindasan kelas satu terhadap yang lain. Untuk mencapai cita-cita masyarakat komunis itu yang dipandang olehnya sebagai suatu penghapusan stratifikasi sosial dalam masyarakat- agama harus sepi. Artinya agama harus dipinggirkan dan tidak mendominasi kehidupan masyarakat. Kritik agama yang dilancarkan oleh Marx di atas sebenarnya merupakan langkah awal atau sebagai pintu gerbang untuk memasuki wilayah kritik masyarakat. Bagi Marx, kritik agama tidak akan mengubah keadaan manusia yang menderita. Yang dibutuhkan adalah kritik masyarakat, agar agama tidak lahir. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik

Marx sendiri meyakini bahwa masyarakat kapitalistik memangmenawarkan terjadinya realisasi diri manusia, tetapi hal itu hanya terjadi bagi segelintir orang dan bukan bagi seluruh masyarakat. Marx kemudian menawarkan apa yang disebut dengan masyarakat komunis bahwa dalam masyarakat komunis setiap inidividu akan menikmati kehidupan yang aktif, kaya, dan bermakna; kendati hal itu berkait dengan hidup bersama, akan tetapi realisasi diri tetap dimungkinkan. Dalam konteks alienasi, Marx membedakan setidaknya ada tiga hal yang harus disebut ketika orang berbicara tentang alienasi atau keterasingan yaitu alienasi sebagai tiadanya realisasi diri, sebagai tiadanya otonomi dan alienasi yang berkaitan dengan peran modal atas tenaga kerja. Namun di sini saya hanya akan mencoba memahami lebih dalam keterasingan yang diakui oleh Marx sebagai alienasi karena ketiadaan realsasi diri. Dikatakan oleh Marx bahwa dalam agama

tidak ada bentuk realisasi diri yang sesungguhnya. Hal ini karena dalam agama manusia hanya boleh tunduk dan tidak terbuka bagi dialog yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu untuk mengekspresikan dirinya. Agama tidak mengembangkan jati diri manusia secara utuh, karena manusia hanya tergantung pada otoritas semu yang diciptakannya sendiri. Menurut Marx agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya, pastilah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas dan meninabobokan orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Di mana dalam doktrin itu orang diharuskan hidup saleh dengan olah tapa yang berat dan menerima penderitaan dengan sukarela agar dapat memperoleh kemenangan di surga. Di sini Marx melihat bahwa hal itu hanya merupakan ciptaan masyarakat, khususnya disebut oleh Marx: masyarakat penguasa, untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Tapi sebenarnya apa yang menjadi keprihatinan Marx? Jelas bahwa Marx melihat dalam tindakan agama semacam itu orang sangat tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak otonom. Manusia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Hal mana dapat dijelaskan seperti dalam proses produksi. Marx mengatakan bahwa dalam proses produksi setiap pekerja akan sangat dekat barang yang sedang dibuatnya, sehingga ia dengan leluasa dapat menyentuh dan memperlakukannya. Tetapi ketika barang itu berpindah tangan, sang pekerja itu tidak lagi berkuasa atas barang itu. Dalam agama, menurut Marx, ketika manusia masih hidup sebagai makhluk yang bebas tanpa agama- ia dengan leluasa dapat membuat aturan-aturan, sanksi, ritus dan lain-lain; tetapi ketika ia masuk dan mulai meyakini suatu agama, manusia kemudian tunduk dengan aturan dan ritus yang dibuatnya sendiri. Pada saat itulah manusia terasing dari dirinya sendiri. Manusia melemparkan dirinya keluar dan tunduk atas ciptaannya sendiri, yang tidak lain adalah bayangan-bayangan indah dari makhluk yang menderita, yang merindukan otoritas yang melindunginya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya bahwa otoritas itu semakin membelenggu dan menambah penderitaannya. Di samping itu juga, Marx melihat bahwa agama memberikan pembebasan dari penindasan yakni dengan sikap pasrah. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai sifat fetisisme dengan merujuk pada benda-benda material yang memiliki kekuatan supranatural. Marx mengatakan bahwa fetisisme agama itu muncul ketika ilusi-ilusi dalam kehidupan diangkat menjadi doktrin yang mau tidak mau harus ditaati oleh setiap individu. Fetisisme ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Marx sebagai harapan semu orang tertindas. Fetisisme agama membuat masyarakat tidak mampu bergerak dengan leluasa untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman kemiskinan. Ini yang semakin memantapkan keyakinan Marx yang menyebut agama tidak lain sebagai candu masyarakat.

Karl Marx menjelaskan bahwa tidak ada alasan lain bagi siapa punbahwa orang harus menganut agama karena penderitaan dan penindasan. Keyakinan Marx ini, berangkat dari kritik agama Feurbach yaitu bahwa agama adalah institusi alienatif. Berangkat dari hal ini, Marx yakin bahwa orang menganut agama karena orang tersebut mengalami penderitaan dan penindasan dalam hidupnya. Penindasan yang dipahami oleh Marx adalah suatu perilaku eksploitatifekonomistik, di mana manusia dijadikan objek yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan karena tindakan-tindakan penindasan kepada mereka. Hal ini paling nyata dilakukan oleh para kapitalis. Dengan kata lain, kemiskinan itu disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka. Berhadapan dengan struktur-struktur yang menindas dan memiskinan itu, orang tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah dan akhirnya bersimpuh di hadapan Tuhan yang diciptakannya sendiri. Inilah yang disebut oleh Marx sebagai alienasi bahwa dalam agama alienasi itu terjadi karena manusia tunduk dan berada di bawah entitas suci yang diciptakannya sendiri. Dengan menciptakan Tuhan, dengan sendirinya manusia merendahkan martabatnya sendiri sehingga ia semakin asing dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, agama tidak lain adalah instrumen penindas yang diciptakan manusia sendiri. Berangkat dari perihal di atas, Marx kemudian menjelaskan bagaimana usaha agama untuk melestarikan diri. Agar dapat tetap exist, agama akan melanggengkan kemiskinan, kesengsaraan, dan perbudakan. Sehingga baginya agama hanya akan berakhir ketika kondisi-kondisi yang diperlukan untuk survivenya kesengsaraan, kekuasaan kelas, eksploitasi komoditas- dihilangkan. Lalu muncul pertanyaan mengapa setiap masyarakat mempunyai agama? Marx menanggapinya demikian bahwa agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait denga dominasi kelas dan penundukan kelas. Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas, sehingga baginya agama tidak lain adalah candu masyarakat.