Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
MASALAH HOAKS DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGKALANNYA
MELALUI PENDIDIKAN LITERASI MEDIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero
untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat
Program Studi Ilmu Teologi-Filsafat
Agama Katolik
Oleh:
SILVESTER GEBHARDUS KENEHAN HULER
NPM: 16. 75. 5967
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO
2020
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Hoaks adalah salah satu persoalan aktual di tengah pesatnya kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi. Kehadiran media-media yang berbasis
internet sebagai anak kandung dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
telah menimbulkan masif dan pesatnya produksi dan penyebaran hoaks. Masifnya
produksi dan penyebaran hoaks telah menimbulkan berbagai persoalan di tengah
masyarakat. Dengan demikian hoaks berpotensi mengancam keutuhan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
Salah satu cara untuk mengantisipasi dan menekan lajunya penyebaran
hoaks di Indonesia adalah dengan memberikan pendidikan literasi media kepada
masyarakat. Literasi media perlu diajarkan kepada masyarakat agar masyarakat
menjadi melek media atau dengan kata lain menjadi pengguna media yang bijak
dan kritis.
Pendidikan literasi media menjadi kebutuhan mendesak masyarakat di
tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Rendahnya
pengetahuan tentang literasi media menjadi salah satu alasan pengunaan media
lebih ke hal-hal yang bersifat negatif, seperti memproduksi dan menyebarkan
berita atau informasi-informasi yang bersifat hoaks.
Pendidikan literasi media menjadi suatu yang relevan untuk segera
dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan masyarakat dalam
merespon merebaknya berita atau informasi hoaks di media-media yang berbasis
internet terutama media sosial. Masyarakat yang memiliki kemampuan literasi
media yang tinggi akan kritis dan bijak dalam menggunakan media dan dalam
menerima, memproduksi, dan membagikan informasi atau berita.
Penulis menyadari bahwa ulasan dalam skripsi ini tidak akan berhasil tanpa
campur tangan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu selain rasa
syukur kepada Tuhan atas selesainya keseluruhan tulisan itu, ucapan terima kasih
patut penulis sampaikan kepada mereka semua.
vii
Pertama, terima kasih penulis sampaikan kepada Pater Bernardus Raho,
Drs, M.A., SVD yang begitu antusias sejak pertama penulis meminta
kesediaannya menjadi pembimbing dan yang telah dengan penuh kesetiaan,
kesabaran, dan keterbukaaan memberikan masukan-masukan yang sangat berarti
bagi tulisan ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pater Dr. Leo
Kleden, SVD yang telah bersedia menjadi penguji dari tulisan ini. Beliau telah
membantu penulis dalam menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih yang sama
juga penulis sampaikan kepada Pater Paskalis Lina, Drs, Lic., SVD yang telah
bersedia menjadi penguji ketiga.
Kedua, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Serikat Sabda Allah
dan Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang telah menyediakan dan
memberikan berbagai fasilitas yang membantu penulis dalam menyelesaikan dan
menyempurnakan tulisan ini. Terima kasih kepada segenap keluarga besar
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, secara khusus kepada Pater Paskalis Lina,
Drs, Lic., SVD dan Pater Dr. Puplius Meinrad Buru, SVD selaku Prefek unit St.
Yosef Freinademetz, teman-teman seangkatan, dan teman-teman unit St. Yosef
Freinademetz yang telah dengan caranya masing-masing mendukung dan
membantu penulis dalam proses pengerjaan dan penyempurnaan tulisan ini.
Skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa campur tangan langsung dari beberapa
sama saudara. Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan secara
khusus kepada Fr. Steven Surya Din, SVD; Fr. Iwat Mara, SVD; dan Fr. Feliks
Huler, SVD yang telah bersedia menjadi editor dari tulisan ini.
Ketiga, terima kasih penulis sampaikan juga kepada STFK Ledalero yang
telah menjadi rumah belajar yang menyenangkan bagi penulis lewat atmosfer
ilmiahnya, lewat seluruh proses perkuliahan, dan lewat perpustakaannya yang
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
Selain ucapan terima kasih, dalam nada syukur yang dalam, penulis
hendak mempersembahkan karya ini untuk semua orang yang telah mendukung
dan mencintai penulis dalam hidup ini. Secara khusus karya ini penulis
persembahkan untuk bapa Simon Sapon Huler dan mama Susana Sura Kewuan
yang telah melahirkan, membesarkan, dan senantiasa mencintai penulis. Karya ini
viii
juga penulis persembahkan untuk saudara dan saudari penulis: Abang Herman
Huler bersama Nona Lilis Kara dan No Pedro Huler, Abang Lius Huler, Ade Etty
Huler, dan Ade Kalis Huler yang selalu punya cara tersendiri untuk mencintai
penulis. Tidak lupa pula penulis persembahkan karya ini untuk keluarga besar,
keluarga angkat, dan para donatur dan penderma di mana saja berada yang juga
selalu mencintai penulis dengan cara mereka sendiri.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Besar harapan penulis semoga tulisan
ini bermanfaat bagi kita semua.
Ledalero, 18 Juni 2020
Penulis
ix
ABSTRAK
Silevester Gebhardus Kenehan Huler, 16.75.5967. Masalah Hoaks di Indonesia
dan Upaya Penangkalannya Melalui Pendidikan Literasi Media. Skripsi.
Program Studi Ilmu Teologi – Filsafat Agama Katolik, Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero, 2020.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk (1) menganalisis fenomena hoaks di
Indonesia dan (2) mengupayakan pendidikan literasi media sebagai penangkal
penyebaran hoaks. Objek kajian dari penulisan skripsi ini adalah fenomena hoaks
dan pendidikan literasi media di Indonesia. Metode yang digunakan ialah metode
kajian atau analisis data sekunder. Penulis mengkaji dan mempelajari data-data
tentang fenomena hoaks dan pendidikan literasi media di Indonesia dari pelbagai
buku, jurnal ilmiah, dan artikel surat kabar atau majalah baik cetak maupun online
dan memberi analisis atasnya.
Berdasarkan hasil kajian penulis disimpulkan bahwa: pertama, masifnya
penyebaran hoaks di Indonesia disebabkan oleh 3 faktor, yakni meningkatnya
penggunaan internet, tingginya budaya berbagi informasi, dan rendahnya tingkat
literasi media. Kedua, hoaks yang berkembang di Indonesia saat ini memiliki
tujuan-tujuan tertentu, diantaranya politik, ekonomi, dan agama. Ketiga, masifnya
produksi dan penyebaran hoaks di Indonesia berdampak buruk bagi demokrasi.
Dampak buruk hoaks bagi demokrasi itu antara lain: hilangnya ruang publik yang
sehat, munculnya aksi intoleransi dan radikalisme agama, dan potensi lahirnya
negara totaliter.
Hoaks merupakan satu persoalan krusial, dan karena itu menuntut untuk
segera diatasi. Ada banyak cara untuk mengatasi persoalan hoaks di Indonesia.
Namun hemat penulis cara terbaik untuk mengantisipasi dan menekan lajunya
penyebaran hoaks di Indonesia adalah dengan membangun kompetensi publik.
Upaya membangun kompetensi publik ini dapat dilakukan dengan memberikan
pendidikan literasi media. Namun pendidikan literasi media ini tidak dapat
berjalan baik jika tidak ada upaya atau peran dari semua pihak. Semua pihak mesti
terlibat, bertanggung jawab, dan bahu membahu dalam memberikan pendidikan
literasi media kepada masyarakat. Pihak-pihak itu antara lain: keluarga, lembaga
pendidikan (SD sampai dengan perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah
(partai politik, Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), yayasan, dan lembaga keagamaan), media, dan pemerintah.
Kata kunci: hoaks, pendidikan literasi media, politik, ekonomi, agama,
ruang publik, intoleransi, radikalisme agama, dan negara totaliter.
x
ABSTRACT
Silevester Gebhardus Kenehan Huler, 16.75.5967. The Hoax Problem in
Indonesia and Its Deterrence Efforts Through Media Literacy Education.
Degree Program, Catholic Theology - Philosophy Study Program, Ledalero
Catholic School of Philosophy, 2020.
The purpose of this thesis is to (1) analyze the phenomenon of hoaxes in
Indonesia and (2) seek media literacy education as an antidote to the spread of
hoax. The object of study of this thesis writing is the phenomenon of hoaxes and
media literacy education in Indonesia. The method used is study of secondary data
or analysis method. The author studies the data about the phenomenon of hoaxes
and media literacy education in Indonesia from various books, scientific journals,
and newspaper or magazine articles both in print and online and also provides an
analysis of it.
Based on the results of the study, the authors concluded that: first, the
massive spread of hoax in Indonesia was caused by 3 factors, namely the
increased use of the internet, the high culture of information sharing, and the low
level of media literacy. Second, the hoax that develop in Indonesia currently have
certain objectives, including politics, economics, and religion. Third, the massive
production and spread of hoax in Indonesia has a negative impact on democracy.
Bad impacts of the hoax for democracy include: the loss of healthy public space,
the emergence of acts of religious intolerance and radicalism, and the potential for
the birth of a totalitarian state.
Hoax are a crucial issue, and therefore require immediate resolution. There
are many ways to overcome the problem of hoax in Indonesia. But in writer's
opinion, the best way to anticipate and suppress the spread of hoax in Indonesia is
to build public competence. Efforts to build public competence can be done by
providing media literacy education. But this media literacy education cannot run
well if there is no effort or role from all parties. All parties must be involved,
responsible, and work together in providing media literacy education to public.
The parties include: families, educational institutions (elementary to tertiary
educational institutions), non-governmental organizations (political parties,
Community Organizations (ORMAS), Non-Governmental Organizations (NGOs),
foundations, and religious institutions), media, and government .
Keywords: hoax, media literacy of education, politics, economy, religion,
public space, intolerance, religious radicalism, and totalitarian state.
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... i
Halaman Penerimaan Judul ......................................................................... ii
Halaman Pengesahan ..................................................................................... iii
Halaman Pernyataan Orisinalitas ................................................................ iv
Halaman Persetujuan Publikasi .................................................................. v
Kata Pengantar .............................................................................................. vi
Abstrak ........................................................................................................... ix
Abstract .......................................................................................................... x
Daftar Isi ........................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Pokok Persoalan ....................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................... 9
1.5 Metode Penulisan ..................................................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 9
BAB II SEKILAS TENTANG HOAKS DAN LITERASI MEDIA .......... 11
2.1 Hoaks ......................................................................................................... 11
2.1.1 Pengertian Hoaks .................................................................................... 11
2.1.1.1 Menurut Kamus .................................................................................... 11
2.1.1.2 Menurut Para Ahli ............................................................................... 12
2.1.1.3 Kesimpulan .......................................................................................... 13
2.1.2 Sekelumit Latar Historis Hoaks .............................................................. 13
2.1.3 Ciri-ciri Hoaks ......................................................................................... 15
xii
2.1.4 Jenis-jenis Hoaks ..................................................................................... 17
2.2 Literasi Media........................................................................................... 19
2.2.1. Literasi.................................................................................................... 19
2.2.1.1. Pengertian Literasi .............................................................................. 19
2.2.1.1.1 Menurut Kamus ................................................................................. 19
2.2.1.1.2 Menurut Para Ahli ............................................................................. 19
2.1.1.1.3 Kesimpulan ....................................................................................... 20
2.2.1.2 Komponen Literasi ............................................................................... 20
2.2.2 Literasi Media ........................................................................................ 22
2.2.2.1 Pengertian Literasi Media .................................................................... 22
2.2.2.1.1 Menurut Kamus ................................................................................. 22
2.2.2.1.2 Menurut Para Ahli ............................................................................. 22
2.2.2.1.3 Kesimpulan ....................................................................................... 23
2.2.2.2 Sekelumit Latar Historis Perkembangan Literasi Media ..................... 23
2.2.2.3 Jenis-jenis Literasi Media .................................................................... 26
BAB III MASALAH HOAKS DI INDONESIA .......................................... 29
3.1 Merunut Fakta Sejarah Hoaks di Indonesia ......................................... 29
3.1.1 Era Presiden Sukarno .............................................................................. 29
3.1.2 Era Presiden Suharto ............................................................................... 30
3.1.3 Era Presiden Abdurrahman Wahid.......................................................... 31
3.1.4 Era Presiden Megawati Sukarnoputri...................................................... 32
3.1.5 Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ............................................. 32
3.1.6 Era Presiden Joko Widodo ...................................................................... 34
3.2. Faktor Penyebab Maraknya Penyebaran Hoaks di Indonesia ........... 35
3.2.1 Meningkatnya Penggunaan Internet ........................................................ 35
3.2.2 Tingginya Budaya Berbagi Informasi ..................................................... 37
3.2.3 Rendahnya Tingkat Literasi Media ......................................................... 39
xiii
3.3 Tujuan Produksi dan Penyebaran Hoaks di Indonesia ........................ 41
3.3.1 Politik ...................................................................................................... 41
3.3.2 Ekonomi .................................................................................................. 44
3.3.3 Agama ..................................................................................................... 47
3.4 Dampak Produksi dan Penyebaran Hoaks bagi
Demokrasi Indonesia .............................................................................. 49
3.4.1 Hilangnya Ruang Publik yang Sehat....................................................... 49
3.4.2 Munculnya Aksi Intoleransi dan Radikalisme Agama............................ 55
3.4.3 Potensi Lahirnya Negara Totaliter .......................................................... 59
BAB IV UPAYA PENDIDIKAN LITERASI MEDIA SEBAGAI
PENANGKAL PENYEBARAN HOAKS ..................................... 66
4.1 Sekilas tentang Pendidikan Literasi Media ........................................... 66
4.2 Merunut Fakta Sejarah Perkembangan Pendidikan Literasi Media
di Indonesia .............................................................................................. 70
4.2.1 Periode 1990-2000 .................................................................................. 71
4.2.2 Periode 2002-2010 .................................................................................. 73
4.2.3 Periode 2010-2018 .................................................................................. 76
4.3 Hambatan dalam Pendidikan Literasi Media Indonesia ..................... 77
4.3.1 Lemahnya Dukungan Pemerintah ........................................................... 78
4.3.2 Lembaga Pendidikan Belum Menjadi Aktor Utama ............................... 79
4.3.3 Minimnya Pengetahuan Orang Tua tentang Literasi Media ................... 80
4.3.4 Rendahnya Kesadaran Masyarakat untuk Memahamai Urgensi
Literasi Media ......................................................................................... 80
4.4 Upaya Pendidikan Literasi Media .......................................................... 81
4.4.1 Keluarga .................................................................................................. 81
4.4.2 Lembaga Pendidikan .............................................................................. 89
4.4.2.1 SD-SMA ............................................................................................... 89
4.4.2.2 Perguruan Tinggi .................................................................................. 93
xiv
4.4.3 Organisasi Non-pemerintah .................................................................... 96
4.4.3.1 Partai Politik ......................................................................................... 96
4.4.3.2 Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Yayasan......................... 97
4.4.3.3 Lembaga Keagamaan ........................................................................... 99
4.4.4 Media ...................................................................................................... 101
4.4.5 Pemerintah............................................................................................... 105
4.5 Pentingnya Pendidikan Literasi Media sebagai Penangkal
Penyebaran Hoaks ................................................................................... 107
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 112
5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 112
5.2. Usul dan Saran ........................................................................................ 117
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 121
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dewasa ini hoaks atau berita bohong menjadi perbincangan hangat di
ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa praktik hoaks sudah menjadi problem
yang menyebar luas dalam lalu lintas global. Di banyak negara termasuk
Indonesia, hoaks sudah menjadi satu persoalan krusial yang meresahkan di
samping persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Hoaks sudah menjadi semacam
“menu” wajib untuk dikonsumsi padahal hoaks adalah “racun mudarat” yang
menimbulkan kecemasan sosial di banyak tempat, dan karena itu hoaks disinyalir
memberikan angin buruk bagi tatanan demokrasi Indonesia.1
Hoaks menjadi tantangan bagi demokrasi Indonesia yang mengakui
kebebasan dalam berekspresi dan berpendapat. Pemberian kebebasan sebagai
bentuk partisipasi masyarakat dalam sistem demokrasi seringkali disalahgunakan
untuk menyerang dan menjatuhkan pihak lain dengan menyebarkan informasi-
informasi palsu. Di sini kebebasan diterjemahkan sebagai bebas untuk berbicara,
menulis, merekayasa, dan menyebarkan apa saja tanpa harus memikirkan dan
memperhitungkan dampaknya bagi kehidupan masyarakat secara umum.
Kebebasan untuk menyampaikan pendapat dalam ruang publik acap kali
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
menyebarkan provokasi dan propaganda yang dikemas dalam bentuk hoaks-
hoaks.
1 Frano Kleden, “Hoaks, Radikalisme, dan Demokrasi”, VOX, 62:02 (Ledalero: 2017), hal. 1.
2
Hoaks itu sendiri merupakan produk utama era pasca-kebenaran.2 Pada era
pasca-kebenaran, dalam upaya memainkan opini publik, orang lebih
mengedepankan daya tarik emosi, perasaan, dan keyakinan pribadi dan
mengesampingkan dan bahkan mendegradasikan fakta dan data yang objektif,3
atau dalam bahasa Haryatmoko, sebagaimana dikutip oleh Cosmas Eko
Suharyanto, orang lebih menomorsatukan sensasionalitas dan menggerakkan
emosionalitas dalam memengaruhi publik. Patokan kebenaran tidak lagi pada
kebenaran objektif dan faktual, tetapi pada daya tarik emosi dan perasaan
masyarakat. Penggunaan akal yang melandasi kebenaran dan pengamatan fakta
sebagai basis pengukuran objektivitas seakan-akan tidak penting dalam
memengaruhi opini, pemikiran, maupun perilaku publik. Di samping itu publik
juga lebih tertarik dan terpengaruh dengan berita dan hal-hal yang menyentuh
perasaan, seperti membuat rasa gembira, melahirkan sikap sedih, kecewa, dan
marah. Publik lebih sensitif jika disentuh sedikit emosinya.4 Akibatnya,
kemungkinan untuk berbagi berita bohong (hoaks) lebih sering daripada berita
yang diverifikasi.
Salah satu faktor yang menjadi katalisator berkembangnya hoaks adalah
pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kehadiran media sosial
yang berbasis internet sebagai anak kandung dari kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi telah menimbulkan masif dan pesatnya lalu lintas informasi yang
2 Secara terminologis, term pasca-kebenaran sebenarnya telah populer pada tahun 2004 ketika
Ralp Keyes menerbitkan bukunya yang berjudul THE POST- TRUTH ERA: Dishonesty and
Deception in Contemporary Life. Dalam bukunya tersebut, Keyes mengartikan term pasca-
kebenaran sebagai corak psikologis seseorang yang menggiring kebenaran dengan selera yang
diinginkan meskipun hal itu tidak mencerminkan sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Term ini
kemudian popular secara global pada akhir tahun 2016 ketika oxford Dictionaries menetapkannya
sebagai Word of the Year. Menurut Oxford Dictionaries, term ini diterjemahkan sebagai “suatu
keadaan di mana fakta-fakta objektif dipinggirkan karena kalah dari daya tarik emosi dan
kepercayaan pribadi”. Penetapan ini tidak dapat dilepaspisahkan dari aneka kejadian politik
sepanjang tahun 2016 yang terjadi di kancah global, khususnya kemenangan secara mengejutkan
Donald Trump dalam pemilihan Presiden di Amerika Serikat. Kemenangan Trump begitu
mengejutkan karena model kampanye yang diusung dianggap sarat dengan demagogi, kebencian,
Islamofobia, anti imigran, dan diskriminasi ras. Trump menang karena ia lebih menyentuh sisi
emosional ketimbang sisi rasional pendukungnya. Politik yang diusung Trump ini adalah contoh
yang paling nyata dari era pasca kebenaran. (Johan Paji, “Era (Politik) Pasca-Kebenaran dan
Fenomena Anti-Intelektualisme”, Akademika, XXI:I (Ledalero: Desember 2017), hal. 21-23.) 3 Frano Kleden, “Bahasa Era Pasca-Kebenaran dalam Tinjauan Hermeneutik Kecurigaan
Habermas”, Akademika, XXI:I (Ledalero: Desember 2017), hal. 7. 4 Cosmas Eko Suharyanto, “Analisis Berita Hoaks di Era Post-Truth: Sebuah Review”, Jurnal
Masyarakat Telematika dan Informasi, 10:2 (Jakarta: Desember 2019), hal. 39.
3
berdampak pada semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan,
kejujuran dan penipuan, dan fiksi dan nonfiksi. Fakta-fakta bersaing dengan
kebohongan-kebohongan untuk dipercaya publik. Akibatnya orang mengalami
kebingungan dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Di
tengah kebingungan itulah kebohongan atau hoaks semakin merajalela dan karena
itu semakin sulit dikendalikan.
Media sosial adalah wadah yang paling rentan terhadap hoaks. Produksi
dan penyebaran hoaks di media sosial menjadi marak lantaran sifat dari media ini
yang memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi, juga setiap orang, tidak
peduli latar belakangnya, punya kesempatan yang sama untuk menulis dan
membagikannya.5 Selain itu media-media ini memiliki kekuatan penyebarannya
yang relatif lebih cepat daripada media konvensional (koran, radio, dan televisi).6
Sifat media sosial yang demikian juga didukung dengan adanya kebiasaan
sebagian besar masyarakat yang ingin cepat berbagi informasi dan rendahnya
tingkat literasi media yang berakibat pada ketidakkritisan dalam menerima dan
menyebarkan informasi, membuat hoaks menjadi semakin sulit untuk
dikendalikan.
Hoaks juga sering diproduksi dan disebarkan melalui media massa. Aset-
aset media massa yang umumnya dimiliki oleh sekelompok orang yang adalah
konglomerat sekaligus politisi membuat media massa dikuasai dan dijadikan
sebagai kendaraan atau alat propaganda untuk kepentingan tertentu.7 Misalnya
kepentingan ekonomi dan politik pemilik media dan pihak-pihak yang memiliki
afiliasi dengan pemilik media, misalnya partai politik pendukung, penguasa, dan
juga kapitalis dan politisi yang memiliki kepentingan yang sama dengan pemilik
media.8 Hoaks yang diproduksi dan kemudian disebarkan melalui media massa itu
5 Mukti Ali, “Antara Komunikasi, Budaya dan Hoax” dalam Aep Wahyudin dan Manik Sunuantari
(eds.), Melawan Hoax di Media Sosial dan Media Massa (Yogyakarta: Trustmedia Publishing,
2017), hal. 92. 6 Sigit Surahman “Post-Truth, Masyarakat Digital, dan Media Sosial”, dalam Fajar Junaedi dan
Filosa Gita Sukmono (eds.), Komunikasi dalam Media Digital (Yogyakarta: Buku Litera
Yogyakarta, 2019), hal. 183. 7 Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media, dan Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hal. 142.
8 Anggalih Bayu Muh. Khamin dan Muhammad Fahmi Sabri, “Konglomerasi Media dan Partai
Politik: Membaca Relasi MNC Group dengan Partai Perindo”, POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik,
10:2 (Semarang: Oktober 2019), hal. 112-113.
4
biasanya memiliki tujuannya, yaitu untuk meningkatkan kepercayaan publik atas
pemilik media dan kelompok-kelompok yang didukungnya sekaligus untuk
melemahkan pihak-pihak yang dianggap sebagai oposisi atau lawan politik. Selain
itu tujuan lainnya adalah untuk meraih keuntungan ekonomis, sebab ada media
massa yang bertahan hidup dari upaya merekayasa fakta dan menyesatkan opini
publik.9
Hoaks yang berkembang saat ini, banyak didalangi oleh motif-motif
tertentu. Hoaks hadir bukan hanya berkutat pada urusan politik saja, melainkan
juga urusan ekonomi dan agama. Isu-isu sensitif semisal SARA (suku, agama, ras,
antar-golongan) seringkali diproduksi dan kemudian disebarkan dalam kemasan
hoaks-hoaks untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, untuk meraih
keuntungan ekonomis, dan untuk mendapatkan legitimasi agama.
Banyaknya produksi dan penyebaran hoaks menimbulkan kecemasan dan
ketakutan dalam masyarakat. Ruang publik yang oleh Jurgen Habermas,
sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman adalah tempat diskursus rasional yang
di dalamnya terjadi pertukaran kebenaran dan wacana bermakna10
menjadi tidak
sehat ketika diskursus ruang publik diambil alih oleh isu-isu SARA, ujaran
kebencian, fitnah, propaganda politik, dan paham-paham radikal-fundamentalis
yang dikemas dalam bentuk hoaks-hoaks. Hoaks-hoaks ini tentu berpotensi
memperbesar sentimentalitas kelompok-kelompok sosial, seperti suku, agama,
politik, dan budaya. Sentimentalisme, seperti perasaan benci, tidak suka, dan
agresif terhadap kelompok lain pada akhirnya menimbulkan konflik sosial dan
melahirkan aksi-aksi ekstrimis, semisal intoleransi, fundamentalisme, dan
radikalisme.
Hoaks juga berpotensi melahirkan negara totaliter. Negara menjadi
totaliter ketika penguasa (pemerintah) dengan peralatannya yang lengkap dan
dengan kekuasaannya mulai memproduksi dan menyebarkan hoaks11
untuk
melanggengkan kekuasaan dan untuk melenyapkan oposisi. Negara juga menjadi
9 Isidorus Lilijawa, op. cit., hal. 143
10 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam
Teori Diskursus Jurgen Habermas (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2009), hal. 133. 11
Rocky Gerung, “Hoax dan Demokrasi”, Tempo, 6 Januari 2017, hal. 11.
5
totaliter ketika wacana perang terhadap hoaks yang digencarkan oleh pemerintah
dimanfaatkan untuk menekan dan mengontrol kebebasan masyarakat. Penguasa
secara tidak langsung menanam benih-benih totalitarianisme melalui pengontrolan
informasi dan opini publik, dan atau lewat penentuan mana hoaks dan bukan
hoaks.12
Hoaks merupakan musuh demokrasi, sebab sifat dari hoaks yang memecah
belah persatuan dan yang menimbulkan konflik bertentangan dengan demokrasi
yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, kebebasan yang beradab, dan
keadilan. Karena hoaks adalah musuh demokrasi maka pada dasarnya hoaks
adalah musuh bersama masyarakat Indonesia. Oleh karena itu semua pihak, baik
pemerintah maupun masyarakat perlu bertindak bersama untuk memerangi hoaks.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah secara tegas menyatakan perang
terhadap penyebaran hoaks. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam
memerangi penyebaran hoaks adalah dengan memblokir situs internet (website)
yang dinilai memuat informasi bohong (hoaks). Berdasarkan informasi dari situs
web Kemkominfo, antgara Januari hingga Juli tahun 2017 Kemkominfo telah
berhasil memblokir kurang lebih 6.000 situs yang menyebar ujaran kebencian dan
hoaks.13
Pada bulan Desember Kemkominfo kembali menginformasikan bahwa
ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoaks
dan ujaran kebencian.14
Upaya lain yang dibuat pemerintah dalam memerangi hoaks adalah
dengan penguatan regulasi hukum berupa sanksi terhadap pelaku penyebar hoaks
yang ditegaskan dalam UU ITE No. 19 tahun 2016.15
Namun upaya-upaya
pemerintah ini bertendensi mengekang dan mengebiri kebebasan berekspresi
12
Peter Tan, “Hoaks, Demokrasi Kebablasan, dan Bahaya Kekuasaan”, VOX, 62 : 02 (Ledalero:
2017), hal. 70. 13
Nur Islami, “Blokir 6.000 Situs Hoax, Kemkominfo: Penyebaran Paling Tinggi di Januari “,
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 28 Agustus 2017, https://
kominfo.go.id/content/detail/10418/blokir-6000-situs-hoax-kemkominfo-penyebaran-paling-tinggi
-di-januari/0/sorotan_media, diakses pada tanggal 5 oktober 2019. 14
Ayu Yuliani, “Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia“, Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia, 13 Desember 2017, https://kominfo.go.id/content/detail/12008/
ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media, diakses pada tanggal 5 oktober
2019. 15
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama
Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax (Jakarta: PT. Elex Media Komputido, 2018), hal. 24.
6
masyarakat.16
Kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan berpendapat sebagai
bentuk pemberian kebebasan dalam negara demokrasi harusnya dilindungi oleh
pemerintah. Upaya-upaya yang dibuat oleh pemerintah ini, misalnya pemblokiran
situs, hemat penulis tidak cukup dalam memerangi penyebaran hoaks, khususnya
di internet. Dengan kemajuan teknologi dan kemudahan dalam membuat website,
pemblokiran situs menjadi tidak efektif dalam menangkal penyebaran hoaks.
Pemerintah bisa memblokir ribuan situs, tetapi dalam waktu yang relatif singkat
akan muncul situs-situs hoaks yang baru.
Salah satu tawaran alternatif penulis sebagaimana yang akan dipaparkan
dalam tulisan ini adalah pendidikan literasi media. Pendidikan literasi media perlu
ditingkatkan sebagai langkah preventif untuk mencegah dan menekan lajunya
penyebaran hoaks. Upaya menutup sumber-sumber penyebaran hoaks dan
mengadili para penyebarnya sebagaimana yang dibuat oleh pemerintah adalah
langkah kecil dalam memerangi hoaks. Namun, sebetulnya langkah besar dan
tepat sasaran dalam memerangi hoaks adalah dengan membangun ketahanan
informasi dalam masyarakat, yakni mengembangkan atau meningkatkan
pendidikan literasi media.17
Pendidikan literasi media menjadi tanggung jawab
semua pihak. Pihak-pihak, misalnya keluarga, lembaga pendidikan (SD sampai
dengan Perguruan Tinggi), organisasi non-pemerintah (partai politik, Organisasi
Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan, dan
lembaga keagamaan), media, dan pemerintah mesti terlibat, bertanggung jawab,
dan bahu-membahu dalam memberikan pendidikan literasi media kepada
masyarakat.
Target pendidikan literasi media pertama-tama terutama harus diarahkan
kepada anak-anak dan kalangan muda, dan oleh karena itu harus dimulai dari
jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, secara umum, usia muda adalah fase rawan karena mereka belum
memiliki konsep diri yang kokoh. Jiwa muda diwakili oleh semangat yang
menggebu dan kecederungan cepat bereaksi pada stimulus dari luar. Kedua,
16
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hal. 47. 17
Sahrul Mauludi, op.cit., hal. 359.
7
kalangan muda adalah pengguna media baru terbesar. Mereka ini adalah
penduduk asli dunia digital yang akan mewarnai hiruk pikuk dalam dunia online.
Bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman yang
memadai tentang media tentu hal itu tidak bermasalah. Namun bagi mereka yang
rentan pemahamannya terhadap media tentu mereka sulit membedakan mana
konten media yang bermanfaat dan mana konten media yang bermasalah. Pada
titik itulah pendidikan literasi media hadir untuk memberdayakan kelompok-
kelompok rentan tersebut.18
Pendidikan literasi media dalam menghadapi era digital haruslah menjadi
suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera dilakukan dalam rangka
mengembangkan keberdayaan masyarakat (netizen) dalam merespon merebaknya
hoaks di ranah online terutama melalui media sosial. Pendidikan literasi media
akan sangat membantu mewujudkan masyarakat yang kritis dalam bermedia
sosial sebab tujuan dari literasi media itu sendiri adalah memberi orang kontrol
yang lebih besar atas interpretasi terhadap muatan pesan media yang merupakan
hasil dari suatu konstruksi kepentingan.19
Dengan demikian pendidikan literasi
media dapat membantu masyarakat untuk menilai akurasi dari suatu berita dan
kemudian dapat menekan lajunya penyebaran hoaks.
Hoaks merupakan suatu persoalan krusial yang tengah menghantui bangsa
dan negara Indonesia. Penulis meyakini bahwa hampir sebagian besar orang
Indonesia pernah menjadi korban hoaks dan mungkin menjadi pelaku produksi
dan penyebaran hoaks. Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk membantu
masyarakat Indonesia dalam memerangi hoaks yang sudah menjadi racun yang
mematikan ini. Krisis literasi media membuat orang dengan mudah percaya dan
terprovokasi dengan hoaks. Penulis mendambakan publik Indonesia yang kritis
dalam menanggapi berbagai jenis hoaks yang menyebar di negeri ini. Bertolak
dari kenyataan dan harapan demikian, penulis mencoba menganalisis persoalan
hoaks di Indonesia dan menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.
18
Vibriza Juliswara, “Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam
Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial”, Jurnal Pemikiran Sosiologi, 4:2
(Yogyakarta: Agustus 2017), hal. 151. 19
Ibid., hal.147.
8
Analisis dan solusi ini digarap dalam kemasan judul: “MASALAH HOAKS DI
INDONESIA DAN UPAYA PENANGKALANNYA MELALUI
PENDIDIKAN LITERASI MEDIA”.
1.2 Pokok Persoalan
Bertolak dari latar belakang di atas, maka akan dirumuskan dua
pertanyaan mendasar yang menjadi pokok persoalan dalam tulisan ini.
Pertanyaan-pertanyaan itu ialah pertama, bagaimana fenomena hoaks di
Indonesia? dan kedua, bagaimana upaya pendidikan literasi media sebagai
penangkal penyebaran hoaks?
Secara terperinci, pokok-pokok persoalan dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa itu hoaks?
2. Apa penyebab maraknya penyebaran hoaks di Indonesia?
3. Apa tujuan produksi dan penyebaran hoaks di Indonesia?
4. Apa dampak produksi dan penyebaran hoaks bagi demokrasi Indonesia?
5. Apa itu literasi media?
6. Apa itu pendidikan literasi media?
7. Apa upaya dalam memberikan pendidikan literasi media kepada masyarakat
sebagai penangkal penyebaran hoaks?
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini sudah tentu memiliki tujuannya. Adapun tujuan dari penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian, sejarah, ciri-ciri, dan jenis-jenis hoaks.
2. Menjelaskan penyebab maraknya penyebaran hoaks di Indonesia.
3. Menjelaskan tujuan produksi dan penyebaran hoaks di Indonesia.
4. Menjelaskan dampak produksi dan penyebaran hoaks bagi demokrasi
Indonesia.
5. Menjelaskan pengertian literasi media, sejarah perkembangan literasi media,
dan jenis-jenis literasi media.
6. Menjelaskan konsep pendidikan literasi media.
9
7. Menjelaskan upaya-upaya dalam memberikan pendidikan literasi media kepada
masyarakat.
1.4 Manfaat Penulisan
Tulisan ini juga memiliki manfaatnya. Adapun beberapa manfaat dari
tulisan ini, yaitu:
Pertama, bermanfaat bagi penulis sendiri. Tulisan ini dibuat untuk
memenuhi persyaratan agar bisa mendapat gelar kesarjanaan (strata satu/ S1) pada
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero.
Kedua, bermanfaat bagi masyarakat. Tulisan ini dibuat dalam usaha untuk
menyadarkan masyarakat akan bahaya hoaks dan pentingnya pendidikan literasi
media sebagai jawaban atas persoalan hoaks sehingga masyarakat menjadi kritis
dan tidak lagi menjadi korban dari hoaks.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan karya ilmiah ini akan diselesaikan dengan menggunakan jenis
studi dengan metode kajian atau analisis data sekunder. Dalam proses
menganalisa data sekunder, penulis mengumpulkan dan mempelajari buku-buku
yang berisi tentang hoaks dan tentang literasi media. Selain buku-buku, penulis
juga berusaha untuk mendapatkan gagasan-gagasan dan data-data terkait hoaks
dan literasi media yang terdapat dalam berbagai media massa, jurnal, dan dari
internet.
1.6 Sistematika Penulisan
Tulisan ini digarap dalam kemasan judul: “Masalah Hoaks di Indonesia
dan Upaya Penangkalannya Melalui Pendidikan Literasi Media”. Secara
keseluruhan tulisan ini terdiri dari lima bab dengan rinciannya sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini dijabarkan mengenai
latar belakang penulisan, pokok persoalan, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.
10
Bab kedua berisikan ulasan tentang hoaks dan literasi media, yang di
dalamnya memuat pengertian hoaks, sejarah hoaks, ciri-ciri hoaks, jenis-jenis
hoaks; dan pengertian literasi, komponen literasi, pengertian literasi media,
sejarah perkembangan literasi media, dan jenis-jenis literasi media.
Bab ketiga berisikan studi deskriptif penulis atas fenomena hoaks di
Indonesia. Pada bagian ini penulis mendeskripsikan tentang fakta sejarah hoaks di
Indonesia, faktor penyebab maraknya hoaks di Indonesia, tujuan produksi dan
penyebaran hoaks di Indonesia, dan dampak produksi dan penyebaran hoaks bagi
demokrasi Indonesia.
Bab keempat berisi tentang upaya pendidikan literasi media sebagai
penangkal penyebaran hoaks. Pada bagian ini penulis mengulas tentang konsep
pendidikan literasi media; fakta sejarah perkembangan pendidikan literasi media
di Indonesia; hambatan dalam pendidikan literasi media Indonesia; upaya
pendidikan literasi media oleh keluarga, lembaga pendidikan (sekolah dasar
sampai dengan perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah (partai politik,
Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
yayasan, dan lembaga keagamaan), media, dan pemerintah; dan pentingnya
pendidikan literasi media sebagai penangkal penyebaran hoaks.
Bab kelima adalah penutup. Ada dua elemen penting dalam bagian ini
yaitu kesimpulan umum yang dibuat penulis atas keseluruhan tulisan ini dan
beberapa usul dan saran guna melengkapi maksud penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini.
11
BAB II
SEKILAS TENTANG HOAKS DAN LITERASI MEDIA
Masyarakat saat ini dihadapkan pada banyaknya informasi yang beredar,
baik informasi yang benar dan valid maupun informasi hoaks. Namun ironisnya,
di tengah membanjirnya informasi ini, banyak orang yang belum mampu
membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi bohong atau hoaks.
Bertolak dari kenyataan yang ada, maka pada bagian ini penulis memperkenalkan
hoaks dengan mempresentasikan tentang sejarah, pengertian, ciri-ciri, dan jenis-
jenis hoaks.
Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan hoaks adalah dengan literasi
media. Oleh karena itu, pada bagian ini juga penulis akan memperkenalkan
literasi media dengan mengulas tentang pengertian, sejarah perkembangan, dan
jenis-jenis literasi media.
2.1 Hoaks
2.1.1 Pengertian Hoaks
2.1.1.1 Menurut Kamus
2.1.1.1.1 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks diartikan sebagai berita
bohong.20
20
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline, Edisi V.
12
2.1.1.1.4 Oxford Dictionary
Istilah hoaks dalam bahasa Indonesia merupakan istilah serapan dari
istilah Inggris, yakni hoax, yang menurut Oxford Dictionary adalah an act
intended to make somebody belive something that is not true, especially something
unpleasant (suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat seseorang percaya
pada sesuatu yang tidak benar, terutama sesuatu yang tidak menyenangkan).21
2.1.1.2 Menurut Para Ahli
2.1.1.2.1 Marie Sekor dan Linda Wals
Marie Sekor dan Linda Wals dalam kajian mereka tentang kasus hoaks
yang dibuat oleh Alex Sokal22
, menyimpulkan bahwa hoaks adalah perangkat
retorik yang digunakan dengan sengaja untuk menyerang pihak-pihak yang
berlawanan dengan si pembuat hoaks.23
2.1.1.2.2 Alex Boese
Alex Boese mendefinisikan hoaks sebagai tindakan penipuan yang
melibatkan respons publik. Menurut Boese hoaks merupakan semacam
kebohongan yang sukses menyita perhatian dan imajinasi publik.24
2.1.1.2.3 L.A. Pellegrini
Pellegrini mendefinisikan hoaks sebagai sebuah kebohongan yang
dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan
21
A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition (London: Oxford
University Press, 2006), hal. 710. 22
Alex sokal adalah profesor fisika di Universitas New York yang sengaja menciptakan hoaks di
dunia akademik lewat artikel yang ia kirimkan ke jurnal Social Text. Setelah dimuat, Sokal
mengaku bahwa artikelnya yang berjudul “Transgressing the Boundaries: Toward a
Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” hanya tulisan asal-asalan dan tesis-tesisnya
dibangun tanpa landasan logika yang dapat dipertanggungjawabkan. (Budi Gunawan dan Barito
Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 6) 23
Ibid., hal. 6-7. 24
Ibid., hal. 6.
13
perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu
secara intrinsik maupun ekstrinsik.25
2.1.1.3 Kesimpulan
Dari beberapa definisi hoaks di atas dapat disimpulkan bahwa hoaks
adalah suatu kebohongan publik yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk menyerang pihak-pihak tertentu dan digunakan untuk kepentingan
pribadi maupun kepentingan kelompok.
2.1.2 Sekelumit Latar Historis Hoaks
Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik
Indonesia di beberapa dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah
yang panjang. Hoaks pertama yang berhasil dicatat dalam sejarah ditemui pada
1661 yang melibatkan musisi luar negeri yang bernama John Mompesson yang
menceritakan pengalamannya yang dihantui suara-suara drum di dalam rumahnya.
Kisah ini lambat laun menyebar ke pelosok negaranya. John berpendapat bahwa ia
mendapatkan nasib seperti itu karena menuntut William Drury yaitu seorang
musisi lainnya dan berhasil memenangkan perkara sehingga membuat William
mendapatkan hukuman. John menuduh Drury memberikan guna-guna atau
kutukan pada rumahnya karena kekalahannya di pengadilan hingga ia mendapat
hukuman. Pada suatu ketika seorang penulis buku yang bernama Glanvill
mendengar kisah rumah berhantu John dan mendatangi rumahnya. Penulis
tersebut mengaku mendengar suara-suara yang sama di rumah John. Setelahnya,
Glanvill menuliskan pengalaman mistisnya di rumah John ke dalam tiga buku
cerita yang diakuinya sebagai kisah nyata. Banyak yang tertarik untuk membaca
buku-buku milik Glanvill. Hingga di buku ketiganya, ia mengakui bahwa suara-
25
Christiany Juditha, “Interaksi Simbolik dalam Komunitas Virtual Anti Hoaks untuk Mengurangi
Penyebaran Hoaks”, Jurnal PIKOM (Penelitian Komunikasi dan Pembangunan), 19:1 (Jakarta:
Juni 2018), hal. 20.
14
suara yang ia dengar di rumah John Mompesson hanyalah sebuah trik belaka
untuk menghebohkan masyarakat sekitar.26
Alexander Boese dalam „Museum of Hoaxes‟ mencatat bahwa hoaks
pertama kali terpublikasi melalui almanac (penanggalan) palsu yang dibuat oleh
Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada tahun 1709 untuk meramalkan
kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan, ia bahkan membuat
obituarium (berita kematian) palsu tentang Partridge pada hari yang diramalkan
sebagai hari kematiannya.27
Kemudian generasi selanjutnya datang pada tahun
1745 yang bermula dari penduduk Amerika Serikat yang bernama Benjamin
Franklin. Pada suatu hari Benjamin menemukan sebuah batu yang dipercaya bisa
menyembuhkan beberapa penyakit berat, seperti rabies, kanker, dan penyakit
lainnya. Ia menamai batu tersebut dengan Batu China. Penemuan batu ini sempat
membuat dunia kedokteran di negara itu pun dianggap sempat memercayainya.
Hingga suatu ketika dilakukanlah sebuah penelitian tentang batu tersebut dan
hasilnya cukup mencengangkan, batu itu bukanlah batu pada umumnya, tetapi
hanya tanduk rusa biasa yang sudah diubah dan tidak mengandung unsur
penyembuhan apapun. Hal tersebut diketahui oleh salah satu pembaca harian
Pennsylvania Gazette, yaitu harian yang memuat berita bohong milik Benjamin.
Banyak sekali bermunculan hoaks-hoaks senada beberapa kali terjadi sampai
adanya Badan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat pada awal abad 20.28
Memang berbagai peristiwa hoaks sudah terjadi jauh sebelum itu, tetapi
istilah hoaks itu sendiri menurut Lynda Walsh dalam bukunya yang berjudul “Sins
Against Science: The Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others”,
sebagaimana dikutip oleh Sahrul Mauludi merupakan istilah dalam bahasa Inggris
yang baru ada pada tahun 1808 awal era revolusi industri di Inggris.29
Asal kata
hoaks diyakini sudah ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni „hocus’ dari
26
Ilham Syaifullah, “Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika” (Skripsi
Sarjana, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya,
2018), hal. 21-22. 27
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax. Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama Baik,
Ujaran Kebencian, dan Hoax, op. cit., hal. 309. 28
Ilham Syaifullah, op. cit., hal. 22. 29
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax. Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama Baik,
Ujaran Kebencian, dan Hoax, op. cit., hal. 308.
15
mantra „hocus pocus‟, yang berasal dari bahasa Latin „hoc est corpus‟ yang
artinya „ini adalah tubuh‟. Frasa ini kerap disebut oleh pesulap, serupa „sim
salabim‟. Kata ‟hocus‟ awalnya digunakan oleh penyihir untuk mengklaim
kebenaran, padahal sebenarnya mereka sedang menipu. Meskipun demikian,
istilah hoaks ini mulai populer oleh karena film The Hoax yang dibintangi oleh
Richard Gere pada tahun 2006 yang berkisah tentang skandal pembohongan atau
penipuan terbesar di Amerika Serikat, sehingga kemudian banyak kalangan
terutama para netizen menggunakan istilah hoaks untuk menggambarkan suatu
kebohongan.30
2.1.3 Ciri-ciri Hoaks
Hoaks umumnya dirangkai sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah
sebagai sebuah kebenaran. Akibatnya orang mengalami kesulitan dalam
membedakannya dengan fakta atau kebenaran yang sesungguhnya. Namun hoaks
tetaplah hoaks sebab ia dapat diketahui dari ciri-cirinya. Ciri-ciri hoaks dapat
diketahui dari beberapa segi, yakni sumber, tanda-tanda kebahasaan, dan isi.
Dari segi sumber, hoaks, menurut Yosep Adi Prasetyo31
sebagaimana
dikutip oleh Sahrul Mauludi, biasanya tidak memiliki sumber berita (media) yang
jelas. Hoaks juga tidak menempatkan nama pembuat dan keterangan waktu. Hal
ini membuat hoaks menjadi sulit untuk diverifikasi.32
Kemudian dari segi tanda-tanda kebahasaan, hoaks dapat dikenal dari ciri-
cirinya sebagai berikut:33
Pertama, judul yang provokatif. Judul pada dasarnya merupakan intisari
berita sehingga isi berita dapat diketahui secara singkat melalui pembacaan judul.
Judul pada berita hoaks umumnya dibuat semenarik mungkin demi menarik
animo pembaca. Judul yang bersifat provokatif biasanya terkait isu yang sedang
30
Ibid., hal. 308-309. 31
Yosep Adi Prasetyo adalah Ketua Dewan Pers periode 2016-2019. 32
Sahrul Mauludi, Socrates Cafe. Bijak, Kritis, dan Inspiratif Dunia dan Masyarakat Sekitar
(Jakarta: PT. Elex Media Komputido, 2018), hal. 264. 33
Eric Kunto Aribowo, “Menelusuri Jejak Hoaks dari Kacamata Bahasa: Bagaimana Mendeteksi
Berita Palsu Sedini Mungkin,” dalam Dr. Sawitri Retnatiti, M.PD., Dra. Rosyidah, M.PD., dan Dr.
Herri Akhmad Bukhori, M.A., M.Hum (eds.), Literasi dalam Pembelajaran Bahasa (Malang:
Universitas Negeri Malang, 2017), hal. 81-84.
16
marak diperbincangkan, tetapi kontras dengan judul berita yang dimuat pada
media massa.
Kedua, pungtuasi yang berlebihan. Hoaks biasanya dibuat dengan
menggunakan pungtuasi atau tanda baca yang berlebihan, baik berupa tanda titik
(.) maupun tanda seru (!). Misalnya, BERITA TERBARU…!!!
Ketiga, kata yang berunsur imperatif. Hoaks dapat diindikasikan dari
munculnya kata-kata yang berunsur imperatif, baik berupa suruhan maupun
larangan. Kata-kata kerja imperatif yang acap kali muncul, misalnya “share”,
“bagikan”, “like”, dan “sebarkan” dan kata-kata yang digunakan untuk
menyatakan ketakjuban, seperti “aneh”, “heboh”, “waw”, dan “astaga”.
Keempat, bahasa yang nirbaku. Hoaks pada dasarnya bukan diproduksi
oleh orang yang berkompetensi di bidang jurnalistik sehingga bahasa yang
digunakan pada umumnya jauh dari kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku.
Bahasa yang digunakan pada umumnya tidak baku serta susunan kalimat yang
tidak gramatikal.
Kelima, bahasa yang mengandung sarkasme. Penggunaan kata-kata pedas
untuk menyakiti orang lain, cemooh atau ejekan kasar juga menjadi variasi
ungkapan yang sering dimuat pada berita hoaks. Bahasa-bahasa sarkasme atau
yang lebih terkenal dengan “hate speech” biasanya diusung oleh partisan-partisan
yang fanatik terhadap golongan tertentu. Tujuan pemberitaan hoaks model ini
harapannya dapat menjatuhkan pihak lawan, khususnya terkait isu-isu politik.
Selanjutnya dari segi isi, hoaks, menurut Yosep Adi Prasetyo sebagaimana
dikutip oleh Sahrul Mauludi, biasanya bermuatan fanatisme dan ideologi tertentu.
Hal ini nampak dalam judul dan pengantarnya yang provokatif, memberikan
penghakiman, dan bahkan penghukuman, tetapi menyembunyikan fakta dan data
yang sebenarnya. Akibatnya isi pemberitaannya menjadi tidak berimbang dan
cenderung menyudutkan pihak-pihak tertentu.34
34
Sahrul Mauludi, Socrates Cafe. Bijak, Kritis, dan Inspiratif Dunia dan Masyarakat Sekitar,
op.cit., hal. 264-265.
17
2.1.4 Jenis-jenis Hoaks
Menurut First Draft35
, sebagaimana dikutip oleh Sobih AW Adnan, ada
tujuh jenis hoaks yang beredar dalam masyarakat. Ketujuh jenis hoaks itu antara
lain:36
2.1.4.1 Satire atau Parodi
Satire atau parodi merupakan konten yang dibuat sebagai sindiran pada
pihak tertentu. Umumnya, satire atau parodi dibuat sebagai bentuk kritik pada
individu atau kelompok atas berbagai masalah yang sedang terjadi. Konten jenis
ini biasanya tidak memiliki potensi atau kandungan niat jahat, tetapi bisa
mengecoh. Sebagian masyarakat masih banyak yang menanggapi informasi dalam
konten tersebut sebagai sesuatu yang serius dan menganggapnya sebagai
kebenaran.
2.1.4.2 Konten yang Menyesatkan
Konten yang menyesatkan adalah konten yang dibuat dengan
menggunakan informasi yang menyesatkan dan dengan nuansa pelintiran untuk
menjelekkan seseorang maupun kelompok. Konten semacam ini dibuat secara
sengaja dan diharapkan dapat menggiring opini sesuai dengan kehendak pembuat
informasi. Konten ini dibuat dengan cara memanfaatkan informasi asli seperti
gambar, pernyataan resmi, dan atau statistik, tetapi diedit dan tidak dihubungkan
dengan konteks aslinya.
35
First Draft adalah organisasi non-partisan yang didedikasikan untuk mendukung jurnalis,
akademisi, dan teknolog yang berupaya mengatasi tantangan terkait kepercayaan dan kebenaran di
era digital. First Draft dibentuk pada tahun 2015 dengan markas besarnya di London. Ia dibentuk
untuk memberikan panduan praktis dan etis tentang cara menemukan, memverifikasi, dan
menerbitkan konten yang bersumber dari jejaring sosial. Misi First Draft adalah memberdayakan
masyarakat dengan informasi yang akurat di saat-saat kritis. First Draft bekerja untuk memastikan
integritas ekosistem informasi dunia, mengembangkan dan memberikan teknik, alat, dan pelatihan
perintis untuk bagaimana informasi ditemukan, dibagikan, dan disajikan kepada publik. (First
Draft, https://firstdraftnews.org/about/, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.) 36
Sobih AW Adnan, “Mengenal Tujuh Jenis Hoaks”, Medcom.id, 27 Oktober 2019, https://
www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4KZ6rAqK- mengenal-7-jenis-hoaks, diakses pada tanggal 14
November 2019 Bdk dengan Claire Wardle dan Hossein Derakhshan, “Thinking About
„Information Disorder‟: Formats of Misinformation, Disinformation, and Mal-information” dalam
Cherilyn Ireton dan Julie Posetti (eds.), Journalism, Fake News, and Disinformation (Paris:
UNESCO, 2018), hal. 48-50 dan 53-54.
18
2.1.4.3 Konten Tiruan
Konten tiruan adalah sebuah informasi yang dibuat dengan mencatut
pernyataan tokoh terkenal dan berpengaruh, dan atau dibuat dengan cara
mendompleng ketenaran suatu pihak atau lembaga, misalnya menempatkan nama
jurnalis atau logo organisasi terkenal di bawah artikel atau di dalam video atau
gambar yang tidak mereka buat. Hal ini dibuat agar terlihat seolah asli sehingga
dapat menipu masyarakat.
2.1.4.4 Konten Palsu
Konten ini dibentuk dengan menciptakan informasi baru yang sama sekali
tidak dapat dipercaya karena kandungannya tidak bisa dipertanggung-jawabkan
secara fakta. Konten ini dirancang dengan tujuan untuk menipu dan menyebabkan
kerugian.
2.1.4.5 Hubungan yang Salah
Hubungan yang salah adalah sebuah konten yang memakai judul, visual,
atau keterangan yang tidak sesuai dengan isi berita.
2.1.4.6 Konteks yang Salah
Konteks yang salah adalah sebuah konten yang menggunakan informasi
asli, tetapi disajikan dengan narasi dan konteks yang salah. Umumnya, informasi
yang dipakai adalah pernyataan, foto, dan atau video peristiwa yang pernah terjadi
pada suatu tempat, tetapi konteks yang ditulis tidak sesuai dengan realita atau
dengan fakta yang ada.
2.1.4.7 Konten yang Dimanipulasi
Konten yang dimanipulasi adalah sebuah konten yang biasanya berisi
informasi hasil editan dari informasi yang pernah diterbitkan media-media besar
dan kredibel. Konten jenis ini dibentuk dengan cara mengedit konten yang sudah
ada dengan tujuan untuk menipu dan mengecoh publik.
19
2.2 Literasi Media
2.2.1 Literasi
2.2.1.1 Pengertian Literasi
2.2.1.1.1 Menurut Kamus
2.2.1.1.1.1 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan literasi sebagai; pertama,
kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan dalam bidang
atau aktivitas tertentu, dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan
pengetahuan untuk kecakapan hidup. Kedua, penggunaan huruf untuk
merepresentasikan bunyi atau kata.37
2.2.1.1.1.2 Oxford Dictionary
Istilah literasi dalam bahasa Indonesia merupakan istilah serapan dari
istilah Inggris, yakni literacy, yang menurut Oxford Dictionary adalah the ability
to read and write (kemampuan membaca dan menulis).38
2.2.1.1.2 Menurut Para Ahli
2.2.1.1.2.1 S. Jay Kuder dan Cindi Hasit
Kuder dan Hasit mengemukakan bahwa literasi merupakan semua proses
pembelajaran baca dan tulis yang dipelajari seseorang termasuk di dalamnya
empat keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis).39
2.2.1.1.2.2 Harvey J. Graff
Graff mengartikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan
menulis. Kemampuan membaca dan menulis sangat diperlukan untuk membangun
sikap kritis dan kreatif terhadap berbagai fenomena kehidupan.40
37
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, loc. cit. 38
A S Hornby, op. cit., hal. 863. 39
Muhammad Kharizmi, “Kesulitan Siswa Sekolah Dasar dalam Meningkatkan Kemampuan
Literasi”, JUPENDAS, 2:2 (Aceh: September 2015), hal. 13.
20
2.2.1.1.3 Kesimpulan
Dari beberapa definisi literasi di atas dapat disimpulkan bahwa literasi
adalah kemampuan untuk membaca dan menulis, dan keterampilan dalam bidang
atau aktivitas tertentu yang berhubungan dengan kemampuan baca tulis, misalnya
keterampilan dalam bidang media.
2.2.1.2 Komponen Literasi
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, tetapi mencakup
keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk
cetak, visual, digital, dan auditori. Kemampuan ini disebut sebagai literasi
informasi. B. Ferguson sebagaimana dikutip oleh Nurchaili menjabarkan bahwa
komponen literasi informasi terdiri atas literasi dasar, literasi perpustakaan,
literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Komponen-komponen literasi
tersebut dijelaskan sebagai berikut: 41
2.2.1.2.1 Literasi Dasar
Literasi dasar adalah kemampuan dalam mendengar, berbicara, membaca,
menulis, dan menghitung, kemampuan analisis untuk memperhitungkan,
mempersepsikan informasi, mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi
berdasarkan pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
2.2.1.2.2 Literasi Kepustakaan
Literasi perpustakaan adalah kemampuan dalam memahami dan
membedakan karya tulis berbentuk fiksi dan non-fiksi, memahami cara
menggunakan katalog dan indeks, serta kemampuan dalam memahami informasi
ketika membuat suatu tulisan, penelitian, pekerjaan, dan atau mengatasi suatu
persoalan.
40
Esti Swatika Sari dan Setyawan Pujiono, “Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa FBS UNY”,
LITERA, 16: 1 (Yogyakarta: April 2017), hal. 106. 41
Nurchaili, “Menumbuhkan Budaya Literasi Melalui Buku Digital”, LIBRIA, 8:2 (Banda Aceh:
Desember 2016), hal. 202.
21
2.2.1.2.3 Literasi Media
Literasi media adalah kemampuan dalam mengetahui dan memahami
berbagai bentuk media yang berbeda, seperti media cetak, media elektronik (radio
dan televisi), media digital (media internet), dan memahami tujuan
penggunaannya.
2.2.1.2.4 Literasi Teknologi
Literasi teknologi adalah kemampuan dalam mengetahui dan memahami
hal-hal yang berhubungan dengan teknologi misalnya hardware (peranti keras)
dan software (peranti lunak), serta memahami etika dan etiket dalam
menggunakan teknologi. Literasi teknologi juga berarti kemampuan dalam
memahami teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses
internet.
2.2.1.2.5 Literasi Visual
Literasi visual adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan
literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar
dengan memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat.
Dengan kata lain kemampuan dalam menginterpretasi dan memberi makna dari
suatu informasi yang berbentuk visual dan audiovisual. Literasi visual hadir dari
pemikiran bahwa suatu gambar bisa “dibaca” dan artinya bisa dikomunikasikan
dari proses membaca.
22
2.2.2 Literasi Media
2.2.2.1 Pengertian Literasi Media
2.2.2.1.1 Menurut Kamus
2.2.2.1.1.1 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan literasi media sebagai
kemampuan mengakses, menganalisis, dan menciptakan informasi untuk tujuan
tertentu.42
2.2.2.1.1.2 Dictionary of Media Literacy
Dictionary of Media Literacy mendefinisikan literasi media sebagai
keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan orang (audiens) menguraikan
informasi yang mereka terima melalui saluran komunikasi massa dan
memberdayakan mereka untuk mengembangkan penilaian secara bebas tentang
konten media.43
2.2.2.1.2 Menurut Para Ahli
2.2.2.1.2.1 D. Adams dan M. Hamm
Adams dan Hamm mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan
untuk menciptakan makna pribadi dari simbol-simbol visual dan verbal yang
diambil dari televisi, iklan, film, dan media digital.44
2.2.2.1.2.2 Renee Hobbs
Renee Hobbs mendefinisikan literasi media sebagai keseluruhan
kompetensi kognitif, emosional, dan sosial yang mencakup penggunaan teks, alat,
dan teknologi; keterampilan berpikir kritis dan analitis; praktik komposisi dan
42
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, loc. cit. 43
W. James Potter, “The State of Media Literacy”, Journal of Broadcasting & Electronic Media,
54:4 (Washington, DC: Desember 2010), hal. 676. 44
Ibid.
23
kreativitas pesan; kemampuan untuk terlibat dalam refleksi dan pemikiran etis;
serta partisipasi aktif melalui kerja tim dan kolaborasi.45
2.2.2.1.2.3 William James Potter
Menurut Potter literasi media adalah sebagai seperangkat perspektif yang
digunakan secara aktif untuk memosisikan diri terhadap media agar dapat
menafsirkan makna dari pesan yang diterima dan yang dibangun melalui struktur
pengetahuan.46
2.2.2.1.3 Kesimpulan
Dari beberapa definisi literasi media di atas dapat disimpulkan bahwa
literasi media adalah kemampuan untuk mengakses media, menganalisis konten
media, dan menciptakan serta menyebarkan informasi secara bijak dan kritis.
2.2.2.2 Sekelumit Latar Historis Perkembangan Literasi Media
Sejarah perkembangan literasi media sejatinya sudah dimulai sebelum
dekade 1960-an. Perkembangan pada era ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh
Marshall McLuhan47
, sebagaimana dikutip oleh Agus Alfons Duka yang
45
Renee Hobbs, Digital and Media Literacy: A Plan of Action (Washington, D.C.: The Aspen
Institute, 2010), hal. 17. 46
Liliek Budiastuti Wiratmo, “Literasi Media Berbasis Komunitas” dalam Dyna Herlina Suwarto
(ed.), Gerakan Literasi Media di Indonesia (Yogyakarta: Rumah Sinema, 2012), hal. 34. 47
Marshall McLuhan adalah seorang cendikiawan dan ilmuwan komunikasi asal Kanada. Ia
dikenal karena teori-teorinya yang fenomenal. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah
Global Village. Di dalam teori tersebut, ia membagi sejarah manusia menjadi empat era
komunikasi utama, yakni: era akustik, yang pada intinya merupakan tradisi lisan; era literatur,
yang dimulai dengan penemuan tulisan; era massal, yang dimulai dengan penemuan mesin cetak;
dan era elektronik, penyebaran informasi melalui komputer. Teori Global Village ini dijelaskannya
dalam bukunya yang berjudul The Gutenberg Galaxy yang diterbitkan pada tahun 1962. Di dalam
buku tersebut ia memprediksikan bahwa dunia akan masuk ke dalam periode ke-empat, yakni
periode elektronik, di mana manusia akan terhubung dengan teknologi komunikasi yang canggih
dan bisa mengakses banyak informasi. Kemudian pada tahun 1964, ia kembali menulis sebuah
buku dengan judul Understanding Media: The Extensions of Man. Buku ini merupakan kelanjutan
dari buku The Gutenberg Galaxy. Di dalam buku ini ia menjelaskan bahwa di era elektronik atau
internet, metode komunikasi akan jadi sesuatu yang lebih berpengaruh ketimbang informasi itu
sendiri. Teori yang dikemukakan Marshall McLuhan ini menjadi kontroversi di kalangan
akademik sepanjang tahun 1970. Bahkan setelah dia meninggal pada tahun 1980, kontroversi ini
masih berlanjut. Namun nama Marhsall McLuhann kemudian diagung-agungkan ketika internet
yang diprediksinya benar-benar lahir pada tahun 1989.
(Yoga Hastyadi Widiartanto, “Siapa Marshall McLuhan yang Jadi Google Doodle Hari ini?”,
KOMPAS.com, 21 Juli 2017, https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/tekno/ read
24
memberikan perspektif baru dalam memandang media, yakni sebagai “perluasan
sistem saraf manusia” dalam bukunya yang berjudul Understanding Media: The
Extensions of Man. McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia.
Media menciptakan dan memengaruhi cakupan serta bentuk dari hubungan-
hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia.48
Pengaruh media telah berkembang
dari individu kepada masyarakat. Dengan media setiap bagian dunia dapat
dihubungkan menjadi dusun global (The Global Village).49
Meski demikian sejarah literasi media baru dimulai pada tahun 1964 saat
UNESCO mengembangkan prototipe model program pendidikan media yang
hendak diterapkan di seluruh dunia. Pada waktu itu, baru dua negara yang
menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan Australia. Kalangan
pendidik di dua negara itu menyarankan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai
literasi media agar anak-anak remaja secara kritis melihat dan membedakan apa
yang baik dan apa yang buruk dalam media. Pada tahun 1970-an, pendidikan
media masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah di negara-negara di Eropa
dan Amerika Latin untuk membantu menghapuskan kesenjangan sosial akibat
ketidaksetaraan akses terhadap informasi, dan juga di Afrika Selatan yang
menyelenggarakan pendidikan media untuk mendorong reformasi pendidikan. 50
Pada tahun 1970-an dan 1980-an di negara-negara Amerika Latin, literasi
media pada awalnya hanya mendapat perhatian dari kalangan LSM dan tokoh-
tokoh masyarakat. Literasi media pada masa itu lebih dipandang sebagai
persoalan politik dan bukan persoalan pendidikan. Baru pada akhir tahun 1980-an
dan 1990-an, di Brazil, Chili, dan Venezuela literasi media mulai digunakan oleh
guru di sekolah dan tokoh masyarakat di tengah masyarakat. Di negara-negara
Eropa, literasi media dikembangkan melalui pendidikan persekolahan dan
pendidikan luar sekolah. Sedangkan di negara Amerika Serikat, perhatian besar
/2017/07/21/05583557/siapa-marshall-mcluhan-yang-jadi-google-doodle-hari-ini-, diakses pada
tanggal 1 Juni 2020). 48
Agus Alfons Duka, Komunikasi Pastoral Era Digital; Memaklumkan Injil di Jagat Tak
Berhingga (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hal. xiv. 49
Ibid., hal. 62-63. 50
Yosal Irianta “Model Pelatihan Literasi Media untuk Pembelajaran Khalayak Media Massa:
Studi Pengembangan Model Pelatihan Literasi Keberdayaan Ibu Rumah Tangga Khalayak Media
di Kota Bandung” (Disertasi Doktor, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, 2006),
hal. 88-89.
25
terhadap literasi media baru diberikan sejak tahun 1990, setelah diselenggarakan
National Conference Leadership on Media Education. Setelah itu, ada 15 negara
bagian yang memasukkan literasi media ke dalam kurikulum sekolah.51
Pada tahun-tahun sesudahnya perkembangan literasi media di Amerika
Serikat berlangsung dengan cepat dan luas, demikian pula yang terjadi di Eropa.
Negara-negara di Eropa mengembangkan literasi media dengan memasukkannya
ke dalam kurikulum mulai dari level sekolah dasar, menengah, hingga perguruan
tinggi. Pemerintah Perancis, misalnya mengembangkan literasi media dengan
tujuan mencegah cara menonton yang pasif (passive viewing) dan manipulasi.
Inilah mengapa siswa harus mempelajari bagaimana sebuah gambaran (image)
diproduksi, diorganisasikan, dan bagaimana untuk mengkombinasikannya dengan
bentuk pembelajaran yang lain, misalnya tulisan dan lisan, serta pengalaman
langsung.52
Pemerintah Finlandia juga mulai mengembangkan literasi media untuk
melatih siswa meneliti dan menginterpretasi pesan media massa, untuk
menumbuhkan analisis kritis, dan mengajari siswa cara mengembangkan opini
mereka sendiri tentang pesan yang disampaikan media massa. Pemerintah Inggris
bahkan menyusun program pendidikan literasi media dalam skala luas yang
meliputi empat bahasan pokok. Pertama, sumber, asal, dan determinan dari
konstruksi media. Kedua, teknik dan metode yang dominan digunakan media
untuk meyakinkan orang akan kebenaran yang diprepresentasikan, misalnya
bagaimana media menggunakan teknologi untuk mengedit informasi dalam
bentuk yang paling kuat dan meyakinkan. Ketiga, sifat dasar “realitas” yang
dibentuk oleh media, misalnya nilai implisit yang ada dalam pesan media,
karakteristik dunia yang direpresentasikan media, dan sebagainya. Keempat,
bagaimana konstruksi media tentang realitas diterima dan dipahami oleh
masyarakat umum.53
51
Ibid. 52
Nisya Rifiani, “Studi Literasi Media”, https://nisyarifiani.blogspot.com/2013/03/kuliah-
komunikasi-literasi-media-1_15.html, diakses pada tanggal 1 November 2019. 53
Ibid.
26
Di Asia, India dan Jepang merupakan dua negara yang memberikan
perhatian terhadap perkembangan literasi media. Di India, sekolah bersama
dengan LSM bekerja sama untuk menyelenggarakan pendidikan untuk mencapai
literasi media. Di Jepang didirikan komite yang beranggotakan para guru besar
dari berbagai disiplin untuk menetapkan kebijakan pendidikan literasi media,
sedangkan di negara-negara Afrika yang memberikan perhatian pada pendidikan
media adalah Uganda dan Mauritania.54
2.2.2.3 Jenis-jenis Literasi Media
Ada beragam media informasi yang muncul dan karena itu beragam pula
jenis literasi media. Berikut ini adalah jenis-jenis literasi media:55
2.2.2.3.1 Literasi Media Cetak
Media cetak merupakan tipe media lama dalam literasi media. Media cetak
umumnya menggunakan tulisan dan gambar serta ilustrasi tertentu untuk
menyampaikan pesannya. Media yang paling populer dalam media cetak ini
adalah surat kabar dan majalah. Hingga kini media cetak sebagai sumber
informasi bagi khalayak atau publik masih cukup digemari terutama surat kabar.
Meskipun eksistensinya mulai berkurang, tetapi surat kabar tetaplah menjadi
bahan literasi media.
Literasi media pada media cetak perlu karena dua hal ini; pertama, teks
pada media cetak itu merupakan hasil konstruksi pembuat media.56
Kedua, setiap
media, termasuk media cetak memiliki nilai-nilai dan sudut pandangnya
tersendiri.57
Karena itu literasi pada media cetak menjadi suatu keharusan agar
orang bisa menciptakan jarak kritis dengan media, dalam hal ini media cetak.
54
Yosal Irianta, op.cit., hal. 90. 55
Pratiwi Cristin Harnita, “Masihkah Perlu Khalayak Belajar Literasi Media?”, Jurnal Cakrawala,
6:1 (Salatiga: Juni 2017), hal. 124. 56
Herry Hermawan, Literasi Media; Kesadaran dan Analisis (Yogyakarta: Calpulis, 2017), hal.
60. 57
Ibid., hal. 66.
27
2.2.2.3.2 Literasi Media Elektronik
Radio dan televisi merupakan tipe media yang tidak hanya menampilkan
tulisan dan gambar, tetapi juga menampilkan kata-kata melalui suara dan juga
ilustrasi gambar bergerak atau video. Dalam hal ini radio dan televisi menjadi
suatu paket komplit yang sangat mudah diakses masyarakat sebagai suatu sumber
informasi.
Setiap media, termasuk radio dan televisi memiliki kecenderungan untuk
tidak netral, karena bagaimanapun juga setiap acara pada radio dan televisi adalah
kemasan yang selalu bermuatan kepentingan dan atau ideologi, dan juga selalu
mewakili kepentingan pemiliknya. Oleh karena itu literasi media pada media
elektronik ini menjadi penting karena akan sangat membantu orang untuk berpikir
lebih jernih dan kritis dalam menilai objektivitas suatu informasi yang
disampaikan oleh media, dalam hal ini radio dan televisi.58
2.2.2.3.3 Literasi Media Digital
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada
perkembangan literasi media. Kelahiran media baru yakni media digital yang
berbasis internet sebagai anak kandung dari perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi, di satu sisi menguntungkan karena orang akan dengan mudah
mengakses informasi kapan dan di mana saja sebab jangkauan akses informasinya
yang luas dan tak terbatas. Namun di sisi lain media baru ini menimbulkan
persoalan karena di dalam media digital terjadi badai informasi, di dalamnya
informasi yang benar dan bohong (hoaks) berseliweran. Di tengah badai informasi
ini, literasi media digital menjadi suatu keharusan. Literasi media digital perlu
untuk membantu orang memilah dan membaca secara analitis agar mendapatkan
informasi yang valid dan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Literasi media digital juga dapat membantu orang dalam memproses
berbagai informasi, memahami pesan, dan berkomunikasi secara efektif dengan
orang lain dalam berbagai format, termasuk menciptakan, mengelaborasi,
58
Nengah Bawa Atmadja dan Luh Putu Sri Ariyani, Sosiologi Media: Perspektif Teori Kritis
(Depok: Rajawali Pers, 2018), hal. 406.
28
mengkomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika, serta memahami
kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan secara efektif untuk mencapai
tujuan. Selain itu literasi media digital juga membantu orang untuk sadar dan
berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif yang mungkin terjadi
akibat penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari dan memacu individu
untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif menjadi produsen aktif, baik
secara individu maupun secara kelompok.59
59
Sahrul Mauludi, Socrates Cafe., op. cit., hal. 89.
29
BAB III
MASALAH HOAKS DI INDONESIA
Fenomena membanjirnya hoaks di Indonesia sudah menjadi satu persoalan
serius di samping persoalan korupsi, kemiskinan, dan narkoba. Apalagi
kompleksitas masalah hoaks dengan dampak yang variatif memberikan ancaman
tersendiri bagi tatanan demokrasi Indonesia. Oleh karena itu pada bagian ini
penulis akan mengkaji kompleksitas masalah hoaks ini serta dampaknya terhadap
demokrasi Indonesia.
3.1 Merunut Fakta Sejarah Hoaks di Indonesia
Meskipun istilah hoaks itu sendiri baru dikenal belakangan ini, tetapi
pembuatan dan penyebaran hoaks bukanlah merupakan fenomena baru di
Indonesia. Hampir di setiap periode pemerintahan, dari presiden Sukarno hingga
presiden Joko Widodo, muncul hoaks. Tidak jarang hoaks itu diterima apa adanya
oleh masyarakat biasa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, dan atau pun pejabat
pemerintahan.
Berikut ini contoh hoaks dari setiap periode pemerintahan dari
pemerintahan presiden Sukarno hingga pemerintahan presiden Joko Widodo:
3.1.1 Era Presiden Sukarno
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno muncul berita tentang Raja
Idrus dan Ratu Markonah. Mereka berdua mengakui diri sebagai pemimpin suku
Anak Dalam yang mempunyai kekuatan yang mumpuni. Cerita ini berawal
setelah Indonesia merdeka, saat konflik mengenai Papua Barat belum selesai.
Pihak Belanda masih berkeinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Presiden
Soekarno kemudian dibohongi Raja Idrus dan Ratu Markonah yang mengaku mau
30
menyumbang harta benda untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Saat itu,
Raja Idrus dan Ratu Markonah tentunya mendapat liputan media massa besar-
besaran. Soekarno sempat menerima mereka di Istana Kepresidenan dan disambut
dengan berbagai pelayanan yang luar biasa. Namun, kemudian kedok mereka
terbongkar. Keduanya diketahui sering melakukan aksi pemerasan dan penipuan.
Harian Kompas edisi Agustus 1968, sebagaimana dikutip oleh Aswab Nanda
Pratama memberitakan bahwa Idrus ditangkap warga di Kotabumi, Lampung
Utara, sebab dia mengaku sebagai anggota Intel Kodam V Jaya dan jadi anak
buah Mayor Simbolon. Idrus memeras beberapa pengusaha di Lampung untuk
mendapatkan uang sebelum akhirnya dibekuk aparat. Beberapa hari kemudian,
Markonah juga tertangkap oleh petugas. Menurut Harian Kompas edisi 21
Agustus 1968, sebagaimana dikutip oleh Aswab Nanda Pratama, Markonah
menjalani hukuman penjara tiga bulan karena terlibat prostitusi di Kota
Pekalongan, Jateng. Markonah diberitakan beroperasi di Semarang, Pekalongan,
dan Tegal selepas keluar dari penjara di Jakarta akibat aksi penipuan.60
3.1.2 Era Presiden Suharto
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, muncul hoaks tentang janin
yang berbicara di dalam kandungan. Pada akhir tahun 1970-an, Indonesia
dihebohkan dengan hoaks bayi ajaib di dalam kandungan yang bisa diajak
berbicara dan bahkan mengaji di perut Cut Zahara Fona, wanita asal Sigli,
Kabupaten Pidie, Aceh. Presiden Soeharto dan wakil presiden Adam Malik
sempat tertarik dengan fenomena itu, dan bahkan Menteri Agama saat itu juga
memberikan komentar di media massa. Akhirnya, Tim Medis RSPAD, Ikatan
Dokter Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Polri turun tangan. Saat hendak
diperiksa Tim Ikatan Dokter Indonesia di RSPAD Gatot Subroto tanggal 13
Oktober 1970, Cut Zahara Fona mengatakan bayinya menolak. Namun, ia
diperiksa di RSPAD sepekan kemudian. Tim dokter RSCM juga memeriksa Cut
Zahara dan menyatakan tak ada janin di rahim perempuan itu. Kasus itu tak hanya
60
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama
Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax, op. cit., hal. 311-312. Bdk. dengan Aswab Nanda Pratama,
“Hoaks hingga Lingkup Kekuasaan, dari Era Soekarno hingga SBY”, Kompas.com, 4 Oktober
2018, https://nasional.kompas.com/read/2018/10/04/13460401/hoaks-hingga-lingkup-kekuasaan-
dari-era-soekarno-hingga-sby?page=all, diakses pada tanggal 2 Februari 2020.
31
diliput media dalam negeri, tetapi juga oleh media asing seperti BBC yang ramai
memberitakannya. Aktivitas bayi ajaib terhenti setelah tape recorder yang
dipasang di dalam pakaian Cut Zahara ditemukan Polisi Komdak XIII Kalimantan
Selatan yang memburunya di Kampung Gambut, 14 kilometer dari Kota
Banjarmasin.61
Hoaks lain pada masa pemerintahan presiden Suharto adalah tentang
tambang emas di Busang pada tahun 1990-an. Hoaks ini bermula saat geolog
Filipina yang baru menjelajahi hutan Kalimantan mengaku menemukan jutaan ton
emas siap ditambang. Dia pun berupaya mencari investor. Salah satu yang tertarik
adalah pengusaha Kanada David Walsh yang juga CEO Bre-X Gold Minerals.
Kehebohan penemuan emas di Busang membuat harga saham Bre-X di Kanada
meroket dari 1,90 dollar Kanada per lembar saham pada akhir 1994 menjadi 24,8
dollar Kanada per lembar saham pada Juli 1996. Soeharto kemudian berupaya
mencegah agar emas di Busang dikuasai oleh Bre-X. Izin eksplorasi diubah. Bre-
X pun hanya dibatasi pengelolaan sebanyak 45 persen. Namun, emas tak juga
ditemukan. Ternyata pertambangan emas di Busang hanya tipu daya belaka,
miliaran dollar kerugian investor pun menimpa pemodal di bursa saham Kanada
dan Amerika Serikat.62
3.1.3 Era Presiden Abdurrahman Wahid
Hoaks juga pernah terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur). Saat itu, ada seorang bernama Soewondo yang membobol uang Yayasan
Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai
Rp 35 miliar. Soewondo dengan leluasa beraksi karena berprofesi sebagai tukang
urut presiden. Ini menyebabkan dia memiliki akses kekuasaan, serta “menjual”
nama para petinggi negara. Saat aksinya ketahuan, Soewondo kemudian
melarikan diri. Harian Kompas edisi 6 Juni 2000 sebagaimana dikutip oleh Aswab
Nanda Pratama memberitakan bahwa Reserse Kepolisian Daerah (Polda) Metro
Jaya terus melacak persembunyian Soewondo. Diduga, Soewondo tahu banyak
soal dana Rp 35 miliar dari Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan
61
Ibid. Bdk. ibid. 62
Aswab Nanda Pratama, ibid.
32
Logistik (Bulog). Polisi pun mendatangi beberapa kota yang diperkirakan menjadi
tempat pelarian Soewondo, seperti Surabaya, Batam, Magetan, dan beberapa
lokasi di Jakarta. Dia kemudian ditangkap setelah ditemukan di salah satu tempat
di kawasan Puncak, Jawa Barat. Soewondo kemudian divonis dengan hukuman
3,5 tahun.63
3.1.4 Era Presiden Megawati Sukarnoputri
Pada masa pemerintahan Megawati publik Indonesia digegerkan dengan
hoaks tentang adanya harta karun di pelataran Istana Batutulis, Bogor. Saat itu ada
kabar mengenai timbunan harta peninggalan Prabu Siliwangi. Harian Kompas
edisi 19 Agustus 2002 memberitakan, Menteri Agama Said Agil Al-Munawar
bersikeras melanjutkan penggalian di Situs Batutulis. Penggalian situs prasasti
Batutulis telah mendatangkan protes dari berbagai kalangan, khususnya Kepala
Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Endjat Djaenuderajat. Sejumlah
warga Bogor dari berbagai kalangan juga mengecam penggalian lokasi prasasti
Batutulis peninggalan Surawisesa (putra Prabu Siliwangi) tahun 1533.
Belakangan, penggalian itu dihentikan karena harta karun Batutulis tersebut tidak
ditemukan atau tidak terbukti kebenarannya.64
3.1.4 Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat
skandal “Banyu Geni” atau dugaan penipuan penggunaan air sebagai bahan bakar.
Dilansir dari harian Kompas 3 Juli 2008, “proyek banyugeni” bermula saat ada
penelitian untuk memanfaatkan air sebagai bahan bakar. Proyek itu juga dikenal
dengan sebutan blue energy. Dasar pemikirannya adalah, hidrogen yang
merupakan unsur dalam air memang bahan bakar. Namun, harus dilakukan
disosiasi pada air guna memisahkan hidrogen agar dapat dipakai langsung, atau
disenyawakan dulu dengan karbon, atau dengan karbon dan oksigen. Proyek ini
bahkan mendapat dukungan dari Presiden Yudhoyono (SBY), yang kemudian
memberikan bantuan kepada Joko Suprapto yang merupakan pelopor riset itu
63
Ibid. 64
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama
Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax, op. cit., hal. 312-313. Bdk. ibid.
33
sebesar Rp. 10 miliar dan mengijinkannya mendirikan pabrik blue energy di
Cikeas.65
Presiden bahkan memerintahkan membentuk tim untuk pengembangan
blue energy, dan bahkan sudah memberi nama atas temuan itu sebagai “Minyak
Indonesia Bersatu”. Blue energy bahkan lebih hebat karena Presiden kala itu SBY
mengumumkan kepada dunia mengenai proyek energi baru berbahan baku air
tersebut. Saat konferensi internasional Global Warming di Bali, akhir 2007,
Minyak Indonesia Bersatu turut dipamerkan. Namun saat akan mulai diproduksi
menjelang peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2008 Joko
Suprapto sang penemu justru menghilang. Temuan itu mendapat kecaman,
terutama dari Universitas Gadjah Mada, karena dianggap bohong. UGM
mengungkapkan, mereka sempat diminta membiayai proyek energi alternatif oleh
kelompok Joko Suprapto dan kawan-kawan, senilai Rp 3 miliar. Namun, setelah
melakukan beberapa pertemuan dan menelusuri latar belakang kelompok ini,
UGM menyimpulkan proyek yang ditawarkan itu merupakan upaya penipuan.
Pada akhirnya Joko Suprapto ditangkap oleh pihak berwajib, dan dipenjara selama
3,5 tahun.66
Kasus hoaks lainnya yang muncul pada masa pemerintahan SBY adalah
tentang temuan Padi Supertoy HL2. Padi hasil program staf khusus SBY, Heru
Lelono itu disebut bisa membuat hasil panen meningkat dari 3-4 ton per hektar
menjadi 15 ton per hektar. Namun petani di desa Grabag, Purworejo, Jawa Timur
memprotes karena hasilnya buruk. Partai Demokrat kemudian menganggap Padi
Supertoy HL2 telah mempermalukan SBY.67
65
Ibid., hal. 313. Bdk. ibid. 66
Ahmad Sahroji, “Berita-berita Hoax yang Sempat Ramai di Indonesia, Nomer Satu Hoax Iron
Man Bali”, Okenews, 7 Oktober 2017, https://nasional.okezone.com/read/2017/10/06/337/
1790379/ berita-berita-hoax-yang-sempat-ramai-di-indonesia-nomer-satu-hoax-iron-man-bali,
diakses pada tanggal 2 Februari 2020. 67
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama
Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax, loc. cit.
34
3.1.5 Era Presiden Joko Widodo
Ada banyak berita hoaks yang tersebar pada periode pertama masa
kepresidenan Jokowi, tetapi ada satu berita yang cukup menggemparkan publik
Indonesia dan bahkan dunia adalah berita tentang 10 juta pekerja asal Cina yang
telah masuk ke Indonesia. Berita ini banyak tersebar di media-media online
menjelang tutup tahun 2016. Pemerintah kemudian membuat klarifikasi atas berita
tersebut dengan mengungkapkan bahwa jumlah pekerja asing asal China hanya 21
ribu pekerja dari total 74 ribu pekerja asing di Indonesia. Jumlah ini disebut jauh
lebih kecil dibandingkan jumlah TKI di Hong Kong yang mencapai 153 ribu
orang. Pemerintah dalam hal ini presiden menilai isu yang beredar soal TKA ke
Indonesia tidak logis sebab upah bekerja di sini rata-rata masih Rp 1,5 juta sampai
Rp 3 juta, sedikit lebih rendah dibandingkan di China yang bisa diupah hingga di
atas Rp 5 juta. Akibat dari hoaks ini, presiden kemudian membentuk Badan Siber
Nasional.68
Menurut Menko Polhukam Wiranto, tujuan dibentuknya Badan Siber
Nasional adalah untuk menangkal dan memerangi hoaks yang mulai membanjir di
internet. Badan ini akan menjadi penyaring untuk membedakan berita bohong
(hoaks) dan berita benar. Badan ini juga bertugas untuk memberikan pemahaman
kepada masyarakat untuk cermat menyaring berita berdasarkan fakta.69
Hoaks lain pada masa pemerintahan Jokowi yang juga menggemparkan
publik Indonesia adalah tentang kasus Ratna Sarumpaet. Pada September 2018
Ratna Sarumpaet mengunggah foto wajahnya yang memar dan bengkak. Ia
mengklaim telah diserang oleh sekelompok orang. Serangan itu menurutnya
bermotif politik. Para tokoh politik pun ramai-ramai mengomentari informasi
yang simpang siur tersebut. Namun belakangan Ratna Sarumpaet mengakui
bahwa dirinya bukan dianiaya, melainkan sedang menjalani operasi di bagian
wajahnya.70
Informasi yang terlanjur dipercaya ini kemudian mengakibatkan
68
Ibid., hal. 314- 315. Bdk. dengan Ahmad Sahroji, loc. cit. 69
Ibid., hal. 270. 70
Lintang Ratri Rahmiaji, “Emak, Jangan Tabur Benci Di ddaku. Mengkaji Ulang “The Power of
Emak-Emak”, dalam Wicaksono (ed.), Demokrasi Damai Era Digital (Jakarta: Siberkreasi, 2019),
hal. 146.
35
kegaduhan dalam masyarakat, baik itu di media sosial maupun dalam dunia nyata,
apalagi dalam konteks politik yang sedang memanas menjelang pilpres saat itu.
3.2 Faktor Penyebab Maraknya Penyebaran Hoaks di Indonesia
Fenomena hoaks di Indonesia saat ini semakin sulit dikendalikan. Dalam
analisis penulis setidaknya ada tiga faktor yang menjadi sebab maraknya
penyebaran hoaks di Indonesia. Faktor-faktor itu antara lain:
3.2.1 Meningkatnya Penggunaan Internet
Salah satu faktor penyebab maraknya hoaks di Indonesia adalah
meningkatnya akses ke internet. Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia
(APJII) dan POLLING Indonesia melalui survei mereka melaporkan bahwa
pertumbuhan penetrasi internet di Indonesia telah mencapai angka 64,8% di
sepanjang tahun 2018. Dari total 264,16 juta penduduk Indonesia, 171,17 juta
jiwa di antaranya diperkirakan telah menggunakan intenet, baik dari komputer
desktop, perangkat mobile, dan atau dari perangkat lainnya. Angka ini naik dari
tahun sebelumnya (2017) yang hanya mencapai 54,68%, dengan jumlah penduduk
pengguna internet sebanyak 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk
indonesia 262 juta.71
Dengan melihat kecenderungan yang terjadi di masyarakat,
dapat dipastikan bahwa presentasi penggunaan internet akan meningkat pada
tahun-tahun sesudahnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Meningkatnya penggunaan internet di Indonesia didukung dengan
menjamurnya perangkat mobile (smartphone) yang dapat terkoneksi dengan
internet dan menyediakan beragam aplikasi yang popular di masyarakat, seperti
WhatsApp, Instagram, Youtube, Facebook, Twitter, BBM, Path, Kaskus,
Wikipedia, Wordprogress, Blogger, dan Line yang berbasis internet, yang
harganya terjangkau sehingga memungkinkan semua lapisan masyarakat dapat
memilikinya.
71
APJII (Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia) dan POLLING Indonesia, “Laporan
Survei Penetrasi dan Profil Pengguna Internet Internet Indonesia Tahun 2018”,
https://apjii.or.id/survei, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
36
Hasil survei APJII dan POLLING Indonesia menunjukkan bahwa alasan
paling utama penggunaan internet adalah untuk komunikasi lewat pesan (24,7%),
untuk bermedia sosial (18,8%), dan untuk mencari informasi terkait pekerjaan
(11,5%). Sedangkan alasan kedua penggunaan internet adalah untuk media sosial
(19,1%), komunikasi lewat pesan (16,4%), dan untuk mengisi waktu luang
(15,2%). Terkait dengan sosial media sebagai alasan menggunakan internet, APJI
menyebutkan bahwa ada tiga media sosial yang menjadi favorit di Indonesia,
yaitu facebook yang dikunjungi oleh 50,7% pengguna internet, instagram
sebanyak 17,8%, dan youtube sebanyak 15,1%.72
Sementara itu, Nielsen Cross-
Platform dalam survei mereka tahun 2017 di 11 kota di Indonesia, melaporkan
terjadinya peningkatan akses intenet oleh nitizen di hampir semua tempat.
Beberapa tempat di antaranya adalah kendaraan umum (53%), kafe atau restoran
(51%), dan bahkan acara konser (24%) pun mengalami peningkatan dalam jumlah
akses media digital dibandingkan tahun 2015. Peningkatan juga terjadi untuk
akses internet dari rumah dan tempat kerja. Menurut Hellen Katherine, Direktur
Eksekutif Nielsen Media, sebagaimana dikutip oleh Sahrul Mauludi, akses
internet di luar rumah disebabkan oleh karena semakin banyak orang memiliki
akses melalui telepon genggam juga ketersediaan wi-fi di area publik dan di
rumah yang semakin terjangkau.73
Menurut Manuel Castels, Profesor Teknologi Komunikasi dan Masyarakat
di Universty of Southern California, Los Angeles, sebagaimana dikutip Sahrul
Mauludi, dewasa ini ekspansi internet semakin menggurita dan tak terhentikan di
mana kehidupan sehari-hari dan infrastrukur yang diandalkan semakin
terpengaruh oleh internet dan aplikasinya.74
Fenomena ekspansi intenet ini
akhirnya membuat masyarakat menjadikan internet dan aplikasinya sebagai
kegiatan rutin dalam kehidupan sehari-hari. Banyak kegiatan masyarakat tidak
lagi dilakukan secara langsung. Cukup dengan mengakses internet semua jenis
pekerjaan atau aktivitas dapat dijalankan. Misalnya berbelanja, mencari pekerjaan,
72
Ibid. 73
Sahrul Mauludi, Socrates Cafe. Bijak, Kritis, dan Inspiratif Dunia dan Masyarakat Sekitar,
op.cit., hal. 62. 74
Ibid., hal. 23.
37
berbisnis, berkomunikasi, mencari hiburan, dan untuk mengakses berita atau
informasi. Cara ini dianggap lebih efektif karena memakan waktu relatif singkat.
Keberadaan internet membuat publik semakin mudah mengakses beragam
informasi dan berita, sebab internet menghadirkan dan menyebarkan ratusan
bahkan ribuan informasi setiap harinya. Namun imbasnya informasi yang belum
terverifikasi benar dan tidaknya tersebar dengan cepat. Hanya dalam hitungan
detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna
internet. Bahkan orang kadang belum sempat memahami materi informasi, reaksi
atas informasi tersebut sudah lebih dulu terlihat. Akibatnya hoaks mudah
disebarkan dan menjadi konsumsi publik, yang pada akhirnya berpotensi
melahirkan konflik, tindakan kekerasan, dan dapat menimbulkan perpecahan.
3.2.2. Tingginya Budaya Berbagi Informasi
Persoalan lainnya yang menyebabkan hoaks menjadi semakin sulit
dikendalikan adalah adanya kebiasaan sebagian besar masyarakat yang ingin cepat
berbagi informasi. Masyarakat Indonesia memang memiliki karakteristik “suka
bercerita” sehingga sifat ini terbawa dalam cara mereka berkomunikasi dengan
menggunakan media sosial. Sering terjadi bahwa para pengguna media sosial ini
membagikan sebuah informasi yang mereka dapatkan tanpa melakukan
pengecekan terhadap kebenarannya. Mereka bahkan kadang tidak tahu dari mana
sumber berita tersebut. Banyak yang langsung percaya dan secara tergesa-gesa
membagikan berita atau informasi tersebut kepada pengguna lainnya. Pengguna
lain yang mendapat informasi ini acap kali memiliki kecenderungan yang sama
dengan pengguna sebelumnya, tanpa menganalisis lebih jauh tentang informasi
yang mereka terima, langsung membagikan informasi yang mereka dapatkan
kepada orang lain. Demikian terus berlanjut sehingga berita yang sebenarnya
belum sempat divalidasi kebenarannya malah telah menjadi viral dan dipercaya
oleh masyarakat.
Kecenderungan suka berbagi informasi ini didukung oleh kemudahan
akses media sosial melalui smartphone, kemudahan untuk membuat akun,
termasuk membuat lebih dari satu akun ataupun akun palsu dengan menggunakan
38
nama samaran. Menurut laporan yang pernah dikeluarkan oleh Global Web Index
pada tahun 2015 mengenai tren terbaru berkenaan dengan jejaring sosial,
sebagaimana dikutip oleh Rina Juwita, kebanyakan masyarakat saat ini memiliki
kurang lebih lima akun media sosial.75
Dengan memiliki banyak akun, masyarakat
pada akhirnya dapat dengan bebas berbagi cerita, bergosip, dan bahkan membagi
dan mengkonsumsi berita-berita yang kebenarannya belum terverifikasi.
Kehadiran smartphone dengan harga yang terjangkau memungkinkan
semakin mudahnya akses ke media sosial yang berbasis internet. Bagi sebagian
masyarakat Indonesia, akses ke internet melalui smartphone seakan sudah
menjadi candu. Hal ini terbukti dari hasil riset yang dilakukan oleh APJII dan
POLLING Indonesia pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa setiap hari orang
terhubung ke internet melalui smartphone yang mereka miliki. Setiap hari dan
smartphone adalah waktu dan perangkat terbanyak, yaitu sebanyak 93,9% dari
waktu dan perangkat lainnya yang digunakan untuk akses ke internet. Lebih
mencengangkan lagi, riset yang sama menunjukkan bahwa sebagian besar
responden mengakui menghabiskan lebih dari 8 jam sehari untuk menggunakan
internet.76
Dengan waktu selama itu (8 jam) setiap hari untuk akses ke internet dan
bermedia sosial, bukan tidak mungkin orang akan mengkonsumsi hoaks dan
kemudian membagikannya atau menyebarkannya kepada orang lain untuk
dijadikan konsumsi bersama sebab media sosial merupakan ladang subur
bertumbuh dan berkembangnya hoaks. Data hasil survei MASTEL tentang wabah
hoaks nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa konten hoaks paling banyak
diterima oleh publik melalui media sosial, seperti Facebook, Path, Line,
WhatsApp, dan Telegram, yaitu sebanyak 87,50%, terbanyak dari saluran
penyebaran hoaks lainnya, seperti Aplikasi Chatting, Website, Email, dan media
massa (Televisi/Radio dan Media Cetak).77
Dengan demikian semangat berbagi
75
Rina Juwita, “Media Sosial dan Perkembangan Komunikasi Korporat”, Jurnal Penelitian
Komunikasi, 20:1 (Bandung: Juli 2017), hal. 48. 76
APJJI dan POLLING Indonesia, loc. cit. 77
MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia), “Hasil Survei Wabah Hoax Nasional Tahun
2019” https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2019/, diakses pada tanggal 9 Maret
2020.
39
informasi masyarakat Indonesia, secara khusus melalui media sosial
memungkinkan hoaks semakin sulit untuk dikendalikan.
3.2.3 Rendahnya Tingkat Literasi Media
Faktor lainnya yang turut memengaruhi maraknya hoaks di Indonesia
adalah rendahnya tingkat literasi media. Rendahnya tingkat literasi media di
Indonesia dapat ditunjukkan dari beberapa hal berikut ini: pertama, rendahnya
minat baca. Salah satu hal mendasar yang diperlukan dalam konteks literasi media
adalah kebiasaan membaca. Namun kenyataan menunjukkan bahwa minat baca
masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Data UNESCO menyebutkan bahwa
indeks minat baca di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Hal itu
berarti bahwa dari seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang rajin
membaca.78
Selain itu hasil studi Most Littered Nation in the World yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016, juga
menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal
minat baca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).79
Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung literasi, misalnya
jumlah perpustakaan, Indonesia menduduki peringkat kedua dengan jumlah
perpustakaan terbanyak di dunia.80
Data lain yang menunjukkan indeks literasi di Indonesia masih sangat
lemah adalah data dari hasil penelitian Perpustakaan Nasional, yang menyebutkan
bahwa durasi waktu membaca orang Indonesia rata-rata hanya 30-59 menit per
hari.81
Ironisnya bahwa meski minat baca buku rendah tapi dalam urusan
78
Sahrul Mauludi, Socrates Cafe, loc. cit., Bdk. dengan Astri Dwi Andriani, “Tantangan
Membangun Perdamaian di Era Milenial”, dalam Wicaksono (ed.), Demokrasi Damai Era Digital
(Jakarta: Siberkreasi, 2019), hal. 88. 79
Ibid. 80
Total perpustakaan di Indonesia sebanyak 164.610 unit, dengan rinciannya sebagai berikut;
perpustakaan umum sebanyak 42.460 unit, perguruan tinggi sebanyak 6.552 unit, khusus sebanyak
2.057 unit, dan sekolah sebanyak 113.541. (Tosiani, “Perpustakaan Nasional Tingkatkan Literasi
Masyarakat”, Media Indonesia, 20 Oktober 2019, https://www.google.co.id/amp/s/m.media
indonesia.com/amp/amp_detail/266450-perpustakaan-nasional-tingkatkan-literasi-masyarakat,
diakses pada tanggal 18 Maret 2020). 81
Badan LITBANG (Badan Penelitian dan Pengembangan) KEMENTRIAN DALAM NEGERI,
“Hasil Penelitian Perpusnas: Sehari Baca Buku Kurang Satu Jam”, Website Badan LITBANG
(Badan Penelitian dan Pengembangan) KEMENTRIAN DALAM NEGERI, 28 Maret 2018,
https://litbang.kemendagri.go.id/website/hasil-penelitian-perpusnas-sehari-baca-buku-kurang-satu-
jam/, diakses pada tanggal 18 Maret 2020.
40
penggunaan samartphone untuk akses ke internet, masyarakat Indonesia bisa
menghabiskan lebih dari 8 jam sehari.
Kedua, sekolah belum menjadi aktor utama dalam program-program
literasi media. Hal ini terbukti dari belum dimasukkannya literasi media ke dalam
kurikulum resmi pendidikan. Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di Inggris,
AS, Kanada, Australia, atau Jepang, di mana program literasi media sudah
terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar karena literasi media dianggap sebagai
keterampilan untuk hidup (life skill) yang harus diperkenalkan sejak dini,82
sehingga kemampuan literasi media warga di negara-negara tersebut pada
umumnya cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa literasi media di Indonesia
hanya dilihat sebagai aktivitas sampingan yang tidak menjadi prioritas utama bagi
siswa. Padahal siswa adalah kelompok yang paling rentan terhadap potensi
dampak negatif media. Literasi media hanyalah sebuah aktivitas tambahan yang
akan dibutuhkan ketika terjadi gejolak moral yang disebabkan oleh media.
Akibatnya pertahanan diri siswa dalam menerima informasi tidak terlalu matang
dan berakar. Implikasinya adalah siswa mudah terjebak dalam pola
pendayagunaan media yang tidak berdayaguna dan cenderung ceroboh. Misalnya
mereka menerima dan menyebarkan hoaks.
Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat untuk memahamai urgensi literasi
media. Masyarakat memandang literasi media hanya sebagai kegiatan tambahan
yang akan dibutuhkan ketika terjadi persoalan yang akut berkaitan dengan media,
misalnya hoaks. Bagi sebagian masyarakat, literasi media dipandang hanya
sebagai wacana yang berasal dari luar yang bisa hilang kapan saja ketika
masyarakat sudah aman dan tidak membutuhkannya. Dengan kata lain literasi
media bukanlah merupakan sebuah kondisi yang seharusnya ada dalam
masyarakat.
Keempat, kurangnya dukungan pemerintah. Pemerintah tidak menganggap
isu literasi media sebagai sesuatu yang mendesak seperti narkoba, korupsi,
kemiskinan, dan sebagainya. Keterlibatan pembuat kebijakan yang rendah
82
Hendriyani dan B. Guntarto, “Memetakan Literasi Media di Indonesia”, dalam Dyna Herlina
Suwarto (ed.), op. cit., hal. 9.
41
menyebabkan literasi media tidak dapat diintegrasikan ke dalam sistem yang telah
ada seperti sekolah atau rencana nasional. Lebih buruk lagi, isu literasi media juga
tidak dianggap sebagai isu „seksi‟ oleh lembaga-lembaga donor hingga mereka
hanya memberikan porsi dana yang sangat terbatas untuk literasi media.
Akibatnya, sebagian besar program literasi media bersifat satu waktu, program
berakhir ketika pendanaan berakhir.83
Fenomena rendahnya tingkat literasi media di Indonesia ini mengakibatkan
masyarakat menjadi tidak kritis dalam menerima dan menyebarkan suatu
informasi. Masyarakat menjadi tidak mampu mengevaluasi informasi yang
diterimanya, dalam artian bahwa mereka tidak mampu membedakan mana
informasi hoaks dan bukan hoaks. Konsekuensi lanjutnya adalah masyarakat
menerima begitu saja setiap informasi yang diperoleh, sekalipun itu merupakan
hoaks. Masyarakat menjadi mudah hanyut pada pendapat kebanyakan orang atau
dengan kata lain mudah menerima dan mempercayai hoaks. Akibat lain dari
rendahnya tingkat literasi media ini adalah masyarakat gagal dalam
mendayagunakan atau memanfaatkan media secara baik dan bijak, misalnya
menjadikan media sebagai sarana untuk menyebarkan hoaks yang dikonsumsinya
kepada orang lain untuk dijadikan konsumsi publik.
3.3 Tujuan Produksi dan Penyebaran Hoaks di Indonesia
Fenomena merebaknya hoaks di Indonesia sudah pasti memiliki tujuan
tertentu yang melatarbelakanginya. Hemat penulis ada tiga tujuan di balik
produksi dan penyebaran hoaks di Indonesia.
3.3.1 Politik
Salah satu faktor yang menjadi tujuan dari banyaknya produksi dan
penyebaran hoaks di Indonesia adalah politik. Berdasarkan data hasil riset yang
dimiliki oleh MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) terkait dengan wabah
hoaks di Indonesia pada tahun 2019, isu sosial-politik adalah isu hoaks yang
paling sering diterima oleh masyarakat, yaitu sebanyak 93,20%.84
Kenyataan ini
83
Ibid. 84
MASTEL, loc. cit
42
menunjukkan bahwa isu sosial politik menjadi isu yang paling sensitif diproduksi
dan kemudian disebarkan dalam bentuk konten-konten hoaks.
Praktik produksi dan penyebaran hoaks oleh sebagian politisi atau
pendukung politisi tertentu dianggap sebagai bagian dari komoditas politik,
terutama terkait dengan eskalasi suhu politik menjelang Pilkada, Pileg, dan
Pilpres. Hal ini terbukti dari masifnya produksi dan penyebaran hoaks yang
bertema politik menjelang Pemilu (Pemilihan Umum) 2019. Berdasarkan hasil
riset kajian tim Pengecekan Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo),
selama tahun 2018, terdapat 997 hoaks yang beredar di masyarakat. Dari jumlah
tersebut, 488 hoaks adalah hoaks politik.85
Sementara itu Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) mencatat ada 610 konten hoaks yang muncul di media sosial selama
proses penyelenggaraan tahapan Pemilu 2019 dimulai.86
Bahkan setelah Pemilu
telah berakhir pun, masih tetap saja banyak hoaks yang disebarkan, khususnya
yang menyerang Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dengan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2019. Hoaks-hoaks yang diciptakan
dan disebarkan ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi pemenangan
Pemilu.
Kebanyakan hoaks politik yang muncul menyangkut politik identitas,
bukan program atau visi-misi kandidat, sehingga yang terjadi adalah bergesernya
model kampanye dari kampanye positif menjadi kampanye negatif. Kampanye
negatif biasanya penuh dengan ujaran kebencian, fitnah, dan hasut yang dikemas
dalam bentuk hoaks-hoaks. Isu-isu terkait SARA (suku, agama, ras, dan antar-
golongan) adalah persoalan politik identitas. Isu-isu ini menjadi komoditas politik
yang dimobilisasi dengan liar dalam bentuk hoaks. Misalnya, beberapa hoaks
yang diproduksi dan kemudian disebarkan mengklaim bahwa Islam sebagai
agama mayoritas penduduk di Indonesia mengalami marginalisasi oleh
penguasa.87
Belum lagi hoaks tentang kriminalisasi terhadap ulama. Islam dan
85
Wisnu Martha Adiputra dkk., Yuk, Lawan Hoaks Politik, Ciptakan Pemilu Damai! (Yogyakarta:
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM, 2019), hal. 4. 86
Bayu Septianto, “Bawaslu Terima Laporan 610 Konten Hoaks Terkait Pemilu 2019”, Tirto.id,
11 Februari 2019, https://tirto.id/bawaslu-terima-laporan-610-konten-hoaks-terkait-pemilu-2019-
dgFN, diakses pada tanggal 9 Maret 2020. 87
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal 94.
43
ulama sering didudukkan sebagai pihak yang merasa tidak aman dan merasa tidak
dilindungi oleh negara. Akibatnya muncul hoaks baru, yaitu prasangka,
diskriminasi, dan kebencian terhadap Islam (Islamophobia) oleh penguasa. Hoaks
tentang Islam dan ulama merupakan cara untuk melemahkan dan mendiskreditkan
lawan politik, dalam hal ini presiden Jokowi dan orang-orangnya.
Contoh isu SARA lainnya yang dikemas dalam bentuk hoaks adalah
tentang China (Tionghoa) dan Kristen. Keturunan Tionghoa sudah lama menjadi
komoditas politik. Sebagai kelompok minoritas, mereka cenderung didudukkan
sebagai ancaman yang dapat merongrong kepentingan mayoritas dan
membahayakan kedaulatan bangsa.88
Dalam konteks Ahok, identitas Ahok
sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Kristen menjadi basis untuk
menghujat dan menebar kebencian. Hujatan dan kebencian itu kemudian
disebarkan di ruang-ruang siber, termasuk di antaranya di lima situs penyedia
hoaks: saracen.com, postmetro.co, nusanews.com, portalpiyungan.co, dan
NBCIndonesia.com.89
Ahok dalam hal ini didudukkan sebagai minoritas yang
menjadi musuh bersama dan dikhawatirkan akan mengancam harkat hidup
mayoritas. Akibatnya pada Pilkada 2017 yang lalu, frase-frase yang merendahkan
dan penuh kebencian tentang identitas Ahok sebagai keturunan Tionghoa dan
beragama Kristen diproduksi dan disebarluaskan dalam bentuk hoaks-hoaks yang
kemudian diadopsi menjadi komoditas politik oleh pihak-pihak tertentu dalam hal
ini lawan politik Ahok.
Isu-isu lain yang muncul dalam bentuk hoaks politik adalah isu tentang
PKI. Isu ini sebetulnya sudah cukup tua dalam sejarah politik Indonesia. Selama
32 tahun memerintah, Suharto dengan rezim orde barunya giat memproduksi dan
menyebarkan hoaks tentang PKI, misalnya PKI jahat, kejam, dan tidak ber-Tuhan
untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus melenyapkan lawan politik mereka.90
Isu ini kemudian dituduhkan kepada Jokowi, khususnya pada pemilihan presiden
tahun 2014. Jokowi yang adalah salah satu calon presiden saat itu paling banyak
menjadi korban dari hoaks politik ini. Jokowi dituduh berketurunan dan berafiliasi
88
Ibid., hal 95. 89
Ibid., hal. 98. 90
Peter Tan, op. cit., hal. 49.
44
dengan PKI, yang adalah anti agama, dan karena itu ia akan berencana menghapus
Kementrian Agama.91
Keluarga Jokowi juga dituduh sebagai antek-antek PKI
yang kemudian termuat dalam buku “Jokowi Undercover”.92
Selain itu muncul
hoaks tentang mata uang baru yang menampilkan gambar “palu arit”, identik
dengan lambang PKI.93
Isu-isu ini sengaja dimunculkan untuk mendiskreditkan
dan menyulut kebencian publik terhadap Jokowi.
Contoh-contoh kasus hoaks di atas menunjukkan bahwa hoaks sering kali
diproduksi dan disebarluaskan untuk kepentingan politik. Hoaks dijadikan sebagai
instrumen politik. Hal ini disebabkan oleh karena para politisi atau pun orang
yang mendukungnya memahami politik tidak lagi didasarkan dan berorientasi
pada apa yang benar, melainkan apa yang mendatangkan keuntungan dalam waktu
yang paling singkat bagi politisi itu sendiri dan sebagian masyarakat atau
kelompok yang mendukungnya.94
3.3.2 Ekonomi
Faktor ekonomi juga menjadi tujuan di balik produksi dan penyebaran
hoaks. Peristiwa terungkapnya sindikat Saracen oleh pihak kepolisian menjadi
bukti bahwa motif untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks bukan hanya
politik semata melainkan juga ekonomi. Konten-konten hoaks yang berbau ujaran
kebencian dan berbau SARA bisa menjadi lahan berdirinya industri skala besar
untuk mengais dan memperoleh keuntungan.95
Secara ekonomi, hoaks dijadikan sebagai bisnis dan industri baru yang
menjanjikan sebab dengan relatif terbukanya platform internet dan media sosial
dan kemudahan serta kedinamisan aksesibilitasnya. Setiap orang bisa menjadi
produsen informasi dengan keuntungan yang menjanjikan dari iklan. Setiap artikel
berita sekalipun hoaks yang menjadi viral akan menjadi sumber pemasukan ketika
91
Ibid., hal. 39. 92
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 99. 93
Kurniawan Hari Siswoko, “Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran Berita Palsu atau
„Hoax‟”, Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 1:1 (Jakarta: April 2017), hlm 16. 94
Paul Budi Kleden, “Ratzinger Tentang Tema Politik”, dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus
Sunarko (eds.), Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan
(Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hal. 213. 95
Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama
Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax, op. cit., hal 328.
45
para pengguna internet atau media sosial mengunjungi laman asli berita tersebut.
Semakin tinggi lalu lintas kunjungan ke laman asli hoaks itu, pendapatan dari
iklan pun semakin tinggi. Iklan ini berasal dari penyedia iklan seperti Google
AdSense.96
Dukungan dari platform penyedia iklan inilah yang ikut mendorong
bisnis hoaks di dunia maya. Akibatnya banyak situs dan akun yang sengaja dibuat
dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin, dengan membuat
berita penuh sensasi, termasuk memproduksi dan menyebarkan hoaks yang pada
ujungnya pengelola atau pemiliknya akan memperoleh keuntungan dari Google
sebagai pihak penyedia iklan.
Untuk memaksimalkan pendapatan finansial dari iklan, situs
portalpiyungan.co, bahkan memutuskan untuk menggaji seorang konsultan
periklanan. Alhasil, setelah dikelola oleh konsultan periklanan, pendapatan dari
iklan yang diperoleh naik fantastis dari hanya 1,5 juta per bulan menjadi 150 juta
per bulan.97
Praktek yang sama juga dilakukan oleh situs postmetro.co. Abdul
Hamdi pemilik situs postmetro.co, ketika diwawancari oleh Tirto.id mengakui
bahwa untuk meningkatkan pendapatan, ia akhirnya merekrut personel khusus
untuk menata dan mengelola bisnisnya ini. Struktur pembagian kerja pun dibuat.
Ada personel yang khusus bekerja untuk mencari dan menyalin berita dari media-
media arus utama, kemudian mengemas ulang dengan melakukan modifikasi-
modifikasi seperti perombakan judul dan gaya bahasa. Ada juga personel yang
khusus bekerja untuk membangun mesin viralisasi agitasi dan tipuan itu. Alhasil,
dengan memproduksi 80 hoaks setiap bulan, mereka dapat meraup pendapatan
dari iklan sekitar 25 juta hingga 30 juta rupiah.98
Menurut Saptiaji Eko Nugroho, inisiator MAFINDO (Masyarakat Anti
Fitnah Indonesia) satu konten hoaks yang ditayang 1.000 kali akan mendapatkan
kompensasi iklan sebesar US$1, atau per klik dibayar US$0,04. Dengan demikian,
menurut Nugroho, jika ada satu artikel viral meskipun hoaks yang diakses hingga
96
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 60. 97
Ibid., hal. 62. 98
Ibid., hal. 61. Bdk. dengan Dieqy Hasbi Widhana, "Rata-rata Penghasilan Kita Rp25-30 Juta",
Tirto.id, 16 Desember 2016, https://tirto.id/rata-rata-penghasilan-kita-rp25-30-juta-b9WS, diakses
pada tanggal 9 Maret 2020.
46
100 ribu kali, bisa mendapat US$ 100.99
Penghasilan dari iklan yang diperoleh
oleh masing-masing-masing situs dapat diidentifikasi melalui situs pengukur
seperti Site Worth Traffic. Dengan menggunakan Site Worth Traffic, dapat
diketahui bahwa situs NBCIndonesia.com ternyata dikunjungi sebanyak 481 ribu
kali setiap hari. Dengan jumlah kunjungan sebanyak itu, NBCIndonesia.com
diperkirakan mampu mendulang pemasukan US$ 194 per hari atau US$ 69.840
per tahun. Jumlah ini hampir setara dengan Rp 1 miliar setahun.100
Sementara itu
pendapatan situs PKSPiyungan.org berdasarkan penelusuran melalui Site Worth
Traffic sempat mencapai US$ 100 per hari atau US$ 36.500 setahun, yang setara
Rp 485 juta. Pendapatan itu ditopang dengan sebanyak 300 ribu kunjungan per
hari.101
Untuk memaksimalkan pendapatan finansial dari iklan, situs-situs
penyedia hoaks biasanya memiliki struktur dan sistem kerja. Saracennews.com
misalnya, memiliki struktur produksi dan pembagian kerja yang tertata dan
berskala cukup besar. Investigasi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) atas
sindikat saracennews.com ini menunjukkan bahwa sindikat ini mempekerjakan 33
personel yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang disebut
sebagai tim inti yang terdiri atas 22 orang. Tim ini bertanggung jawab
menjalankan proses produksi hoaks yang di dalamnya termuat ujaran kebencian
dan berbagai meme yang tendensius dan provokatif. Tim kedua terdiri atas 11
orang yang bertugas mendiseminasikan konten-konten hoaks tersebut dengan cara
memviralkannya di media-media sosial. Sindikat saracennews.com bahkan
disinyalir memiliki proposal jasa produksi dan penyebaran hoaks dengan harga
mulai 75 juta hingga 100 juta rupiah.102
Bisnis hoaks ini dapat menjadi besar tidak hanya karena dukungan dari
platform penyedia iklan seperti Google Adsense, tetapi juga karena ada
99
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 61. Bdk. dengan Muhammad Firman
dan Maria Yuniar Ardhiati, “Situs Berita Hoax, Mesin Pencetak Uang dan Kegaduhan”,
Katadat.co.id, 6 Januari 2016, https://katadata.co.id/telaah/2016/12/15/situs-berita-hoax-mesin-
pencetak-uang-dan-kegaduhan, diakses pada tanggal 9 Mare 2020. 100
Ibid., hal. 62. Bdk. dengan ibid. 101
Muhammad Firman dan Maria Yuniar Ardhiati, ibid. 102
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 64. Bdk. dengan Sahrul Mauludi, Seri
Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi Pencemaran Nama Baik, Ujaran Kebencian,
dan Hoax, op. cit., hal. 253.
47
permintaan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para politisi. Para politisi biasanya
membeli jasa pengelola situs-situs hoaks ini untuk mendapatkan pengaruh politik
dalam hal ini untuk meningkatkan popularitas mereka dan atau untuk menebar
kebencian dan hasutan untuk menjatuhkan lawan politik mereka. Apabila praktik
bisnis seperti ini dibiarkan dapat memicu industrialisasi hoaks dan merangsang
pihak-pihak lain untuk turut serta menjadi produsen hoaks yang baru.
3.3.3 Agama
Selain faktor politik dan ekonomi, faktor agama juga menjadi tujuan dari
produksi dan penyebaran hoaks. Hoaks-hoaks yang diproduksi dan kemudian
disebarkan dalam masyarakat bukan saja berkutat pada urusan politik dan
ekonomi saja, melainkan juga disisipi dengan sentimen-sentimen keagamaan
tertentu. Hal ini terbukti dalam hasil survei MASTEL tentang wabah hoaks di
Indonesia pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa SARA, dalam hal ini agama
termasuk di dalamnya, adalah isu yang diproduksi dan disebarkan dalam bentuk
hoaks terbanyak kedua, yaitu sebanyak 76,20% setelah isu sosial-politik
(93,20%).103
Agama acap kali menjadi salah satu alasan orang memproduksi dan
menyebarkan hoaks. Hal ini diakui sendiri oleh para pengelola situs penyebar
hoaks. Misalnya Abdul Hamdi, pemilik dan pengelola postmetro.co yang
mengaku punya semangat untuk memperjuangkan Islam. Ia melihat bahwa Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia sering diperlakukan secara tidak adil, dalam
arti tidak diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Semangat
memperjuangkan Islam ini kemudian ia tunjukkan dengan memproduksi hoaks-
hoaks yang bernuansa agama. Dalam konteks kasus Ahok, ia menciptakan dan
menyebarkan hoaks-hoaks untuk menggalang massa anti-Ahok guna
berdemonstrasi. Setelah semuanya berakhir, ia mengaku puas atas peran hoaks-
hoaks yang dibuatnya dalam menyatukan umat Islam dan menyukseskan
demonstrasi tersebut.104
Para pengelola situs yang melalui hoaks-hoaks yang
mereka ciptakan dan sebarkan, biasanya mendudukkan agama Islam sebagai
103
MASTEL, loc. cit. 104
Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, op. cit., hal. 92- 93.
48
“korban” dan pihak yang lemah dan terancam meskipun Islam adalah agama
mayoritas di Indonesia. Sebaliknya agama lain (minoritas) diposisikan sebagai
pihak yang sering diuntungkan, dan karena itu ia menjadi ancaman yang
mengganggu kenyamanan agama mayoritas. Hal ini memungkinkan adanya usaha
untuk membela keluhuran agama mayoritas agar memegang kendali terhadap
agama minoritas.
Hoaks-hoaks yang bermotif agama, pada titik tertentu akan melahirkan
aksi-aksi ekstrim dan tindakan kekerasan dalam masyarakat, misalnya
pembakaran Wihara dan Kelenteng di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada Juli
2016.105
Aksi ekstrim lainnya adalah penyerangan dan pembakaran markas
Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) di Bogor pada awal Januari 2018,
oleh sekelompok orang yang tergabung dalam ormas Front Pembela Islam (FPI)
yang berjumlah sekitar 150 orang. Aksi ini lahir dari hoaks tentang salah satu
anggota FPI yang ditusuk oleh anggota GMBI.106
Kasus penyerangan Ahok dengan tuduhan penistaan agama, juga lahir dari
hoaks dalam bentuk potongan video tak lengkap di Kepulauan Seribu, Jakarta
yang di-upload oleh Buni Yani ke youtube. Hoaks ini kemudian diperbesar oleh
berbagai media dan dimanipulasi lagi dalam bentuk hoaks-hoaks yang baru oleh
situs-situs penyedia hoaks. Akibatnya muncul demonstrasi besar-besaran 411 dan
212 dengan intensi ingin melengserkan dan memenjarakan Ahok. Hoaks tentang
Ahok ini tidak saja mengandung kebohongan melainkan juga terutama ujaran
kebencian, hasutan, dan propaganda yang menyudutkan dan melecehkan Ahok.107
Identitas Ahok sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Kristen didudukkan
sebagai minoritas yang menjadi musuh bersama karena dikhawatirkan akan
mengancam harkat hidup mayoritas (Islam).
Di samping itu publik juga dibuat resah dengan beredarnya isu
penyerangan ulama yang dilakukan oleh orang gila. Akibatnya, sejumlah wilayah
105
Ibid., hal. X. 106
Chyntia Sami Bhayangkara, “Ini 6 Informasi Hoax yang Fenomenal hingga Telan Korban
Jiwa”, Okenews, 28 Maret 2018, https://nasional.okezone.com/read/2018/03/28/337/1879324/ini-
6-informasi-hoax-yang-fenomenal-hingga-telan-korban-jiwa, diakses pada tanggal 2 Februari
2020. 107
Peter Tan, loc. cit.
49
pun melakukan razia terhadap orang gila guna meminimalisasi adanya serangan
yang dikabarkan menyasar kepada ulama. Menurut Kepala Satgas Nusantara, Irjen
Gatot Pramono Eddy, selama kurun waktu Februari 2018, terdapat 45 berita
tentang penyerangan terhadap ulama. Namun, dari puluhan berita tersebut, hanya
ada 3 berita yang benar-benar terjadi. Selebihnya adalah hoaks yang memang
diproduksi oleh Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen.108
Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan bahwa hoaks tentang agama
atau yang mengatasnamakan agama, yang adalah isu yang paling sensitif, begitu
laku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat keyakinan
emosional masyarakat Indonesia masih sangat tinggi ketimbang keyakinan
rasional. Tambahan pula pemahaman tentang agamanya sendiri pun masih lemah,
sehingga mereka mudah dipengaruhi dan diprovokasi dengan hoaks-hoaks yang
dibungkus dengan kemasan keagamaan. Jika hal ini tidak segera diatasi, dalam
arti beralih ke keyakinan rasional, maka tentu akan berakibat fatal karena aksi-
aksi ektrim dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama akan terus
berlanjut, dan ini akan menyebabkan disintegrasi bangsa.
3.4 Dampak Produksi dan Penyebaran Hoaks bagi Demokrasi Indonesia
Intensitas sirkulasi hoaks di Indonesia semakin tinggi setiap waktunya. Di
tengah belum beranjaknya mental masyarakat dari mental emosional ke mental
rasional, hoaks-hoaks ini menjadi “racun mudarat” yang dapat menimbulkan
kecemasan dan dapat mereproduksi konflik di dalam masyarakat sehingga
mengancam kesatuan dan kohesi sosial. Hoaks menjadi ancaman bagi tatanan
demokrasi. Dengan demikian hoaks berdampak buruk bagi demokrasi. Berikut
beberapa contoh dampak buruk dari produksi dan penyebaran hoaks bagi
demokrasi Indonesia.
3.4.1 Hilangnya Ruang Publik yang Sehat
Fenomena membanjirnya hoaks di berbagai media, baik di media massa
maupun media sosial yang adalah ruang publik mengindikasikan bahwa ruang
publik yang sehat tengah mengalami krisis. Ruang publik telah menjadi arena
108
Chyntia Sami Bhayangkara, loc. cit.
50
untuk memproduksi, mereproduksi, dan untuk meyebarkan manipulasi, kepalsuan,
isu-isu SARA, dan kebencian, yang dikemas dalam bentuk hoaks-hoaks. Padahal
ruang publik (public sphere), oleh Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh
Budi Hardiman adalah ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, di
dalamnya warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan
dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.109
Ruang publik menjadi
wadah bagi aspirasi-aspirasi warga masyarakat mengenai berbagi persoalan
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ruang publik, oleh Habermas adalah ruang
yang bebas dari sensor dan dominasi.110
Ruang publik yang terjamin
kebebasannya akan memunculkan opini publik yang benar-benar mewakili
kepentingan seluruh masyarakat. Opini publik tersebut kemudian dapat dijadikan
sebagai dasar lahirnya kebijakan publik yang berpihak kepada publik yang
kemudian akan berdampak pada meningkatnya mutu pelayanan publik. Oleh
karena itu, menurut Habermas, ruang publik memberikan peran yang penting
dalam demokrasi.111
Ruang publik adalah ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik
mengenai suatu permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai bagian dari
publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya
sehingga dapat menumbuhkan opini publik yang diharapkan akan membantu
munculnya kebijakan publik yang adil. Namun ideal ruang publik yang demikian
bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Ruang publik
Indonesia, dalam hal ini misalnya media massa (TV) tidak menyediakan ruangan
yang cukup bagi opini-opini atau aspirasi-aspirasi semua warga masyarakat.
Akibatnya tidak semua warga masyarakat memiliki akses ke ruang publik.
Apalagi sebagian besar aset-aset media massa dikuasai oleh sekelompok orang
yang adalah konglomerat sekaligus politisi.112
Ruang publik pada akhirnya
109
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik
dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, loc. cit. 110
F. Budi Hardimann, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2009), hal. 151. 111
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, loc. cit. 112
Ada beberapa konglomerat yang adalah juga politisi yang memiliki media di Indonesia,
misalnya: Hary Tanoesoedibjo, pendiri Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang memiliki MNC,
Global, RCTI, Koran Sindo, Okezone, Sindonews, Trijaya FM, RDI, dan Global Radio; Surya
Dharma Paloh, pendiri Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang memiliki Metro TV, Media
51
diokupasi untuk mengakomodasi suara dan kepentingan ekonomi dan politik
pemilik media dan pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan pemilik media,
misalnya partai politik pendukung, penguasa,113
dan juga kapitalis dan politisi
yang memiliki kepentingan yang sama dengan pemilik media.114
Fungsi media
massa dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi wacana dan perdebatan
rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk, mengkonstruksi, dan
membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan disetujui oleh pemilik
media. Warga negara dengan demikian sekadar menjadi penonton pertunjukan
dan wacana media massa yang membentuk opini publik dan menurunkan derajat
warga negara itu menjadi sekadar obyek bagi berita, informasi, dan urusan-urusan
publik.
Media massa sering dijadikan sebagai alat untuk memproduksi dan
menyebarkan hoaks. Hal ini terbukti dalam hasil riset yang dirilis oleh MASTEL
pada tahun 2019 yang mengkonfirmasi bahwa konten hoaks juga ditemukan di
media massa, yaitu melalui media televisi dan radio sebanyak 8,10% dan media
cetak sebanyak 5%.115
Hoaks yang diproduksi dan kemudian disebarkan melalui
media massa itu biasanya memiliki tujuannya, yaitu untuk meningkatkan
kepercayaan publik atas pemilik media dan kelompok-kelompok yang
didukungnya sekaligus untuk melemahkan pihak-pihak yang dianggap sebagai
oposisi atau lawan politik. Misalnya, pada malam penghitungan suara Pemilu
2014, siaran TVOne membuat kandidat yang kalah (Prabowo Subianto, didukung
oleh Aburizal Bakrie, pemilik TVOne) seolah-olah menang. Tak hanya itu,
TVOne juga membuat jajak pendapat abal-abal untuk mendukung klaim
Indonesia, dan Metrotv-news.com; dan Aburizal Bakrie, petinggi partai Golongan Karya (Golkar)
yang memiliki TVOne, ANTV, dan Vivanews. (Damianus Andreas dan Aulia Adam, “8
Konglomerat Media di Indonesia via Jalur Media TV & Cetak”, Tirto.id, 9 Februari 2018,
https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/8-konglomerat-media-di-indonesia-via-jalur-media-
tv-cetak-cEv7, diakses pada tanggal 20 Maret 2019. 113
Kehadiran penguasa (negara) di ruang publik secara tidak langsung mengontrol ruang publik itu
sendiri. Masyarakat pada akhirnya menjadi tidak bebas dalam berdiskusi, berdebat, dan beropini
tentang berbagai persoalan publik. Ini merupakan bentuk pengangkangan terhadap ruang publik.
Sebab bagi Habermas, sebagaimana dikutip oleh Budi Hardiman, ruang publik itu bukan wilayah
(kekuasan) negara. Memang negara itu bersifat “publik”, tetapi sifat publiknya itu ditentukan oleh
tugasnya untuk menyelengagarakan kesejahteraan publik. Maka, ruang publik sebetulnya justru
menjadi kekuatan tandingan terhadap negara. (F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat
Komunikatif, op. cit., hal. 151.) 114
Anggalih Bayu Muh. Khamin dan Muhammad Fahmi Sabri, loc. cit. 115
MASTEL, loc. cit.
52
kemenangan tersebut.116
Berita yang mengandung manipulasi dan kebohongan
semacam ini melahirkan suatu kepercayaan umum bahwa semua media massa
partisan, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan terhadap media massa.
Dalam survei tahun 2017 tentang kepercayaan atas lembaga-lembaga
besar, peringkat terendah ditempati partai politik (45%), parlemen (55%),
pengadilan (65%), dan media massa (67%). Bahkan peringkat kepolisian
Indonesia yang terkenal korup (70%) mengalahkan pers.117
Hal ini menunjukkan
tingkat kepercayaan terhadap jurnalisme profesional di Indonesia cukup rendah.
Hasil survei seperti ini bisa dimengerti karena konten-konten media massa, dalam
hal ini televisi sangat jelas dipengaruhi oleh kepentingan oligarki. Dalam iklim
seperti ini, orang beralih ke sumber-sumber informasi alternatif, yang sebagian
besar online dan nyaris seluruhnya berkisar di jaringan media sosial mereka
sendiri.
Kehadiran media sosial yang berbasis internet memberi harapan baru bagi
demokrasi. Di tengah krisis kepercayaan terhadap media massa, media sosial
tampil sebagai ruang publik baru (cyberspace) yang memungkinkan semakin
terbuka dan luasnya ruang diskursus terkait dengan berbagai persoalan, baik itu
ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai ruang publik baru, media sosial
pada tempat pertama menegaskan kembali maksud hakiki dari sistem demokrasi
itu sendiri, yaitu semua warga masyarakat memiliki kebebasan yang luas untuk
melaksanakan hak dan kewajiban termasuk dalam mengambil bagian dalam
kehidupan bernegara.118
Unsur hakiki dari politik, yaitu ketika manusia berbicara,
berkomunikasi, dan membangun wacana secara bebas dan egaliter,119
juga
terfasilitasi dengan kehadiran media sosial.
116
Tirto, “Berita Hoaks di Tengah Media Mainstream yang Makin Partisan”, Tulisan ini
diterjemahkan oleh Windu Jusuf dari "Disinformation and democracy in Indonesia" yang dimuat
di New Mandala pada 12 Januari 2018, dalam seri laporan khusus terkait krisis demokrasi di Asia
Tenggara yang didukung oleh Yayasan Tifa, Tirto.id, 9 Februari 2018, https://tirto.id/berita-hoaks-
di-tengah-media-mainstream-yang-makin-partisan-cEvC, diakses pada tanggal 9 Maret 2020. 117
Ibid. 118
John May, “Demokrasi dalam Genggaman Kekuasaan Penguasa”, VOX, 60: 01 (Ledalero:
2015), hal.43. 119
Otto Gusti Madung, Politik Antara Legalitas dan Moralitas (Maumere: Penerbit Ledalero,
2009), hal. x.
53
Media sosial menjadi medium partisipatoris, sebab ia menjadi sarana yang
menghadirkan suatu model komunikasi dan partisipasi politik yang lebih
partisipatif.120
Hal itu berarti bahwa melalui media sosial setiap warga masyarakat
dapat secara aktif dan langsung menyuarakan dan menyampaikan aspirasinya
dalam proses-proses politik dan terlibat dalam urusan pemerintahan. Berbagai
kritik terhadap kekuasaan dapat dengan mudah tersalurkan lewat media sosial
tanpa harus melalui pihak perwakilan. Dengan hadirnya media sosial, politik tidak
lagi hanya menjadi privilese kaum elite. Masyarakat memiliki sarana untuk
mendiskusikan dan mengontrol jalannya pemerintahan dengan efektivitas yang
tinggi. Masyarakat memiliki sarana untuk menjalankan agenda politik mereka
sendiri. Di sisi lain, pemerintah terkondisikan untuk makin transparan dan
partisipatif.121
Namun, media sosial itu berwajah ganda. Di satu sisi ia memfasilitasi
kebebasan berdiskursus, tetapi di sisi lain, ia menjadi ladang subur bertumbuh dan
berkembangnya hoaks. Data riset yang dirilis oleh Masyarakat Telematika
Indonesia pada tahun 2019 menunjukkan bahwa konten hoaks paling banyak
diterima oleh publik melalui media sosial, seperti Facebook, Path, Line,
Whatsapp, dan Telegram, yaitu sebanyak 87,50%, terbanyak dari saluran
penyebaran hoaks lainnya, seperti Aplikasi Chatting, Website, Email, dan media
massa (Televisi/Radio dan Media Cetak).122
Maraknya fenomena hoaks di media
sosial ini adalah wajah negatif yang ditampilkan dalam cyberspace. Hal ini
disebabkan oleh karena kebebasan yang nyaris tak terbatas dan tak terkontrol yang
menjadi ciri khas cyberspace. Selain itu kehadiran nir-tubuh (tanpa tubuh) dalam
komunikasi juga memungkinkan orang untuk secara bebas dan tanpa takut
memproduksi dan menyebarkan hoaks.
Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan konsep ruang publik yang
diharapkan oleh Jurgen Habermas. Ruang publik menurut Habermas adalah
120
Veronica Hamid, “Angin Harapan Demokrasi Digital, Nostalgia Demokrasi Klasik,
Transformasi Ruang Publik, dan Politisasi Media Sosial”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid
(eds.), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi (Jakarta: Kepustakaan
Popular Gramedia, 2014), hal. 737. 121
Agus Sudiboyo, Jagat Digital: Penguasaan dan Penguasaan (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2019),hal. 367. 122
MASTEL, loc.cit.
54
keadaan yang bisa diakses oleh semua orang. Namun keadaaan yang demikian
mestinya memungkinkan orang untuk membangun suatu komunikasi yang
rasional tanpa adanya suatu manipulasi untuk mencapai tujuan yang sepihak.
Dalam ruang publik (public sphere), Habermas menekankan relasi yang bersifat
intersubjektivitas di mana subjek yang saling berkomunikasi harus membangun
komunikasi yang bersifat timbal balik,123
sedangkan dalam cyberspace
komunikasi terjadi hanyalah antara subjek dan wacana. Subjek yang satu hanya
melemparkan wacana dalam media sosial dan serentak bisa saja menarik dari
wacana yang dilemparkannya itu, sementara subjek yang lain juga bergelut
dengan wacana yang ada dan di sana terjadilah multi tafsir dan interpretasi, dan
bahkan bisa saja terjadi interpretasi atau tafsir secara brutal.124
Publik pada
akhirnya menjadi sangat rentan untuk terpecah belah yang kemudian bisa
menimbulkan konflik sosial hanya karena perbedaan hasil interpretasi dan tafsir
atas suatu wacana. Cyberspace dalam konteks ini hanya bisa melahirkan
percakapan semu, di mana orang hanya sekedar meneruskan kata-kata asal bisa
menjadi bagian dari publik. Orang bahkan tidak merasa perlu bertindak secara
politis menyangkut masalah-masalah yang dibicarakan itu, cukup hanya dengan
melemparkan wacana saja.125
Ruang publik yang sehat membutuhkan diskursus yang rasional yang di
dalamnya terjadi pertukaran kebenaran dan wacana bermakna. Namun yang
terjadi sekarang ini adalah diskursus irasional, di mana prasangka dan emosi
menjadi hal yang dikedepankan daripada nalar dan debat argumentatif.
Rasionalitas digantikan dengan emosionalitas. Kejujuran dan akurasi tidak lagi
menjadi prioritas utama dalam diskursus ruang publik. Diskursus ruang publik
diambil alih oleh isu-isu SARA, ujaran kebencian, fitnah, propaganda politik, dan
paham-paham radikal-fundamentalis yang dikemas dalam bentuk hoaks-hoaks.
Hoaks-hoaks ini tentu berpotensi memperbesar sentimentalitas kelompok-
kelompok sosial, seperti suku, agama, politik, dan budaya. Sentimentalisme,
123
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, op. cit., hal. 135-136. 124
Patrisius Hariyono, “Fenomena Hoaks dan Demokrasi yang Terinstrumentalisasi”, VOX, 62 :
02 (Ledalero: 2017), hal. 156. 125
Karlina Supelli, “Ruang Publik Dunia Maya”, dalam F. Budi Hardiman (ed.), Ruang Publik:
Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Penerbit PT
Kanisius, 2010), hal. 343.
55
seperti perasaan benci, tidak suka, dan agresif terhadap kelompok lain pada
akhirnya menutup gerbang menuju suatu diskursus rasional yang menjadi basis
ruang publik dan demokrasi yang sehat.
3.4.2 Munculnya Aksi Intoleransi dan Radikalisme Agama
Pada tahun 2016, Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia
mengadakan survei tentang potensi intolerasi dan radikalisme sosial-keagamaan di
kalangan muslim di Indonesia. Terkait dengan intoleransi, hasil survei itu
menyebut sebesar 58,2% responden memiliki kelompok yang tidak disukai. Dari
58,2% responden ini, yang toleran hanya 0,6% dan yang netral cenderung toleran
43,4%. Sedangkan yang intoleran sebesar 49,0% dan yang netral cenderung
intoleran sebesar 7,0%. Sikap intoleran ini hadir dalam bentuk ketidaksukaan dan
ketidaksetujuan kelompok yang tidak disukai menjadi pejabat pemerintahan,
mengajar di sekolah negeri, mengadakan pawai di daerah mereka, berpidato di
hadapan mereka, bertetangga, membangun tempat peribadatan, dan mengadakan
acara keagamaan di sekitar mereka. Kemudian terkait dengan radikalisme sosial-
keagamaan, hasil survei itu menunjukkan bahwa sebesar 0,4% yang pernah
melakukan tindakan radikal dan sebesar 7,7% responden yang bersedia
melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan. Jika proyeksi terhadap 150 juta
penduduk Muslim Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa ada 600.000 orang
pernah melakukan radikalisme atas nama agama dan 11 juta jiwa berpotensi
berbuat radikal kalau ada kesempatan. Bentuknya berupa pemberian dana atau
materi kepada kelompok radikal sampai penyerangan rumah ibadat.126
Realitas
yang ditampilkan ini mau menunjukkan bahwa Indonesia rawan aksi intoleransi
dan radikalisme.
Rawannya aksi intoleransi dan radikalisme ini terbukti dari banyaknya
kasus dari tahun ke tahun sebagaimana yang dicatat oleh Wahid Foundation,
misalnya pada tahun 2009 terdapat 121 peristiwa. Jumlah ini meningkat menjadi
184 peristiwa pada tahun 2010, 267 peristiwa pada tahun 2011, dan 274 pada
126
Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia, “Paparan Hasil Survei Nasional-Potensi
Intoleransi dan Radikalisme Sosial-Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”,
http://wahidfoundation.org/index.php/publication/detail/Hasil-Survey-Nasional-2016-Wahid-
Foundation-LSI, diakses pada tanggal 19 Maret 2020.
56
tahun 2012. Pada tahun 2013 jumlahnya sedikit menurun menjadi 245 peristiwa127
dan kemudian menurun lagi menjadi 158 peristiwa pada tahun 2014. Jumlah ini
kemudian meningkat lagi menjadi 190 peristiwa pada tahun 2015, 204 peristiwa
pada tahun 2016, 213 peristiwa pada tahun 2017, dan kemudian menurun lagi
menjadi 192 peritiwa pada tahun 2018.128
Fenomena intoleransi dan radikalisme agama ini salah satunya disinyalir
tumbuh subur akibat maraknya hoaks yang begitu terbuka dan mudahnya diterima
dan diakui sebagai kebenaran. Banyak hoaks yang diterima oleh masyarakat
karena akses mereka ke internet. Dalam survei yang sama, Wahid Foundation dan
LSI menyebut bahwa 1,05% responden mengaku memperoleh informasi
keagamaan melalui media sosial, dalam hal ini youtube dan facebook. Padahal
media sosial yang berbasis internet merupakan ladang subur bertumbuh dan
berkembangnya hoaks. Informasi keagamaan yang diperoleh melalui media sosial
bisa saja adalah hoaks yang diciptakan dan disebarkan oleh kelompok radikal-
fundamentalis. Media sosial adalah salah satu sarana terbaik yang digunakan
kelompok radikal-fundamentalis melancarkan aksi mereka dengan menyebarkan
pengaruh dan ideologi mereka. Melalui media sosial, kelompok radikal-
fundamentalis meningkatkan pengaruh mereka dengan memproduksi dan
menyebarkan hoaks yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di dunia dan
menjamin kehidupan akhirat melalui video-video dan gambar yang dapat dilihat
dengan mudah oleh masyarakat.129
Selain itu, banyak ujaran kebencian yang mengutip ayat-ayat suci juga
disebarkan dalam bentuk hoaks melalui media sosial agar masyarakat saling
membenci satu sama lainnya, antar agama, dan bahkan intern-agama. Di sini
media sosial memiliki peranan yang sangat signifikan bagi peningkatan gerakan
kelompok radikal-fundamentalis. Oleh karena itu media sosial menjadi bidikan
127
Almasyah M. Dja‟far, “Intoleransi! Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas Nama Agama”,
(Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputido, 2018), hal, 76 128
Wahid Foundation, “Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan Wahid
Foundation 2018”, http://wahidfoundation.org/index.php/publication/detail/Presentasi-Laporan-
Kemerdekaan-BeragamaBerkeyakinan-Wahid-Foundation-2018, diakses pada tanggal 19 Maret
2020. 129
Ayub Al Ansori, “Keterkaitan Radikalisme Agama dengan Fenomena Hoaks”, STAIC,
https://staic.ac.id/keterkaitan-radikalisme-agama-dengan-fenomena-hoaks.html, diakses pada
tanggal 25 Januari 2020.
57
dan lahan subur bagi kampanye radikalisme, karena berdasarkan kenyataan yang
ada, akses penggunaan internet di Indonesia didominasi oleh akses ke media
sosial.
Fenomena penggunaan internet oleh kelompok terorisme merupakan suatu
pola, modus, dan startegi baru yang menggejala secara global.130
Kekuatan teroris
tidak lagi dari jaringan perseorang, tetapi melalui jejaring media yang terhubung
secara global. Melalui internet ini mereka tidak hanya mengirimkan pesan secara
lokal, nasional, regional, tetapi berskala global yang menjangkau semua audens.
Gabriel Weimann dalam penelitiannya, sebagaimana dikutip oleh Agus Surya
Bakti menunjukkan bahwa jaringan kelompok teroris menaruh perhatian lebih
pada penggunaan teknologi internet. Hal ini bisa dilihat dari jumlah dan ragam
situs yag dikelola oleh kelompok-kelompok teroris yang dari tahun ke tahun
selalu meningkat. Jika pada tahun 1998 hanya ada 12 situs, pada 2003 situs
kelompok teroris ini sudah mencapai 2.650. Data terakhir pada tahun 2014
menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 9.800 situs yang dikelola oleh kelompok
teroris.131
130
Aksi-aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikal-fundamentalis semakin merajalela
dengan penggunaan teknologi internet yang merupakan produk sistem informasi global. Jean
Baudrillard sebagaimana dikutip oleh Sil Ule berpandangan bahwa sistem informasi global
mempunyai peran yang sangat signifikan dalam terorisme. Secara spesifik, peran sistem informasi
global termasuk media informasi dalam kaitan dengan terorisme dapat dibagi dalam tiga hal
pokok, yaitu: pertama, peran sistem informasi global dalam menyebarkan informasi tentang teror.
Dalam konteks ini, terorisme yang sebenarnya merupakan kejadian pada waktu dan tempat tertentu
dan terbatas tersebar luas secara global melalui pelbagai media dan alat informasi global. Imaji
kerusakan yang ditimbulkan sebagai efek dari serangan teroris disebarkan dan menjadi tontonan
global dengan segala kepanikan, kerusakan, dan ketegangan yang ditimbulkannya. Hal ini pada
akhirnya melahirkan efek ketakutan global. Efek inilah yang sebenarnya diinginkan oleh pelaku
aksi teroris. Kedua, peran sistem informasi global dalam menyebarkan teror dalam bentuk
informasi. Karena sifat dari media adalah menyebarkan berita seluas mungkin, maka sifat tersebut
dapat digunakan oleh teroris untuk menyebarkan teror ke seluruh dunia dalam bentuk informasi.
Misalnya, ancaman bom pada tempat tertentu dan atau ancaman dengan menggunakan senjata
pemusnah massal, senjata kimia, dan biologis. Entah ancaman tersebut benar ataukah hanya
berupa hoaks, tetapi efek ketakutan yang tersebar melalui teror informasi tersebut dapat tersebar
secara meluas. Ketiga, teror yang menggunakan sistem informasi sebagai cara berkomunikasi.
Dalam konteks ini, alat-alat teknologi informasi modern menjadi sarana para teroris untuk
berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Keberhasilan usaha mereka membutuhkan alat-alat
informasi tertentu yang dapat dipakai sebagai alat koordinasi aksi mereka. Tingkat efektivitas dan
keamanan dari koordinasi melalui alat informasi tersebut menentukan keberhasilan aksi terorisme.
(Silvester Ule, Terorisme Global: Tinjauan, Kritik, dan Relevansi Pandangan Jean Baudrillard
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), hal. 167-168.) 131 Agus SB, Deradikalisasi Dunia Maya: Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media (Jakarta:
Penerbit Daulat Press, 2016), hal. 46.
58
Masifitas penggunaan internet oleh kelompok teoris menurut Weimann
adalah karena internet menawarkan banyak kelebihan, di antaranya adalah karena
akses yang mudah, tidak adanya kontrol yang dan regulasi yang mengikat,
audiens yang luas, anonim, kecepatan arus informasi, dapat digunakan sebagai
media interaksi, sangat murah untuk membuat dan memeliharanya, bersifat
multimedia (cetak, suara, foto, dan video), dan yang terakhir adalah karena
internet telah menjadi sumber media mainstream.132
Internet menjadi media yang efektif bagi kelompok radikal-fundamentalis
dalam peningkatan propaganda permusuhan dan promosi tindakan kekerasan,
menggalang dukungan dan penguatan jaringan, komunikasi dan pembangunan
antar-jaringan, dan sarana rekrutmen anggota baru. Indonesia yang adalah negara
dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia menjadi target kelompok
teroris, semisal ISIS. Melalui Internet, ISIS mencoba merekrut penduduk
Indonesia untuk bergabung dengan mereka. Diperkirakan 800 orang Indonesia
telah melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS
sejak tahun 2014, dan sebagian besar dari mereka masih berada di Timur
Tengah.133
Sebagai contoh, seorang mahasisiwa di salah satu perguruan tinggi di
Kalimantan Barat yang bernama Muhammad Alfian Nurzi, diperkirakan
bergabung dengan kelompok ISIS sekitar akhir Desember 2014 hingga awal
Januari 2015. Berdasarkan pengakuan teman terdekatnya, komunikasinya dijalin
melalui internet yang diduga diawali dengan diskusi-diskusi mengenai agama.
Contoh kasus lainnya adalah seorang pelajar SMK Al Faqih kabupaten
Muaojambi yang bernama Novaldi (19) yan memiliki atribut ISIS. Ia mengaku
mendapat paham atau ideologi ISIS dari internet.134
Banyak hoaks yang menyebar berkaitan dengan faktor ideologi agama
yang merupakan suatu hal yang sangat rentan di masyarakat. Apabila hoaks-hoaks
ini diterima dan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat, maka akibatnya
adalah banyak masyarakat yang terprovokasi dan kemudian melakukan aksi-aksi
132
Ibid. 133
James Massola dan Karuni Rompies, “Menkopolhukam Wiranto Ditusuk Terduga Simpatisan
ISIS”, Matamata Politik, 10 Oktober 2019, https://www.matamatapolitik.com/facebook-larang-
video-deepfake-jelang-pemilu-as-in-depth/, diakses pada tanggal 2 Februari 2020. 134
Agus SB, Deradikalisasi Dunia Maya, op. cit., hal. 122.
59
brutal dan anarkis. Dalam hal ini hoaks bisa melahirkan fundamentalisme agama
yang kemudian berpotensi menimbulkan sikap dan tindakan intoleransi.
Intoleransi merupakan pintu gerbang bagi aksi radikalisme hingga dalam
bentuknya yang paling ekstrim, yakni terorisme.
Fundamentalisme dan radikalisme agama adalah ancaman bagi demokrasi,
dan karena itu menurut Thomas Meyer sebagaimana dikutip oleh F. Budi
Hardiman adalah musuh demokrasi, sebab pandangan hidup yang baik menurut
mereka dipaksakan untuk seluruh masyarakat. Di sini mereka mengabaikan
partisipasi publik.135
Kaum radikal-fundamentalis biasanya tidak bersedia
mendialogkan apa yang menjadi gagasannya dengan pihak lain, tetapi
memaksakan pendapatnya pada pihak lain dan apabila pihak lain tidak bersedia
menerimanya maka akan dipaksakan, dan jika tetap tidak diterima maka pihak
lain akan dicap sebagai kafir. Dan karena itu mereka yang dianggap kafir harus
dan wajib diperangi sampai titik darah penghabisan. Ini adalah bentuk ancaman
yang paling nyata dari radikalisme. Penggunaan istiah kafir ini sering kali menjadi
pembenar oleh mereka yang radikal untuk menghadapi yang non-radikal.
Pemboman yang muncul di beberapa daerah di Indonesia adalah salah satu bukti
penggunaan istilah kafir ini.136
Aksi-aksi ekstrim dan brutal semacam ini pada
akhirnya menimbulkan krisis sosial yang hebat dan mengendurnya integritas
sebagai suatu bangsa.
3.4.3 Potensi Lahirnya Negara Totaliter
Hoaks sudah menjadi menu wajib untuk dikonsumsi publik Indonesia.
Untuk meredam produksi dan penyebaran hoaks, muncul wacana perang terhadap
hoaks yang dipelopori oleh pemerintah. Wacana ini pada satu posisi perlu
diapresiasi sebagai langkah tepat untuk mematikan virus yang bernama hoaks ini.
Namun pada posisi yang lain, yakni pada posisi dekonstruktif, wacana perang
terhadap hoaks mesti dikritisi dan dicurigai karena bahaya potensi terlibatnya
kekuasaan di balik wacana ini. Posisi ini penting agar antusiasme melawan hoaks
135
F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari Bangsa Setan-setan, Radikalisme
Agama, sampai Post-Sekularisme (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2018), hal. 48-49. 136
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 41.
60
jangan sentimental, membabi buta dan infantil.137
Jika wacana perang terhadap
hoaks ini dikritisi, soal paling pertama adalah sebetulnya bukanlah gairah perang
melawan hoaks itu melainkan siapa, dengan standar apa, atau lewat sistem
evaluasi opini publik macam mana yang dipakai untuk mengukur dan menentukan
suatu informsi disebut hoaks atau bukan.138
Pemerintah dalam hal ini adalah pihak yang paling bertanggung jawab
untuk mengukur dan menentukan hoaks tidaknya suatu informasi. Namun dalam
kondisi ini, pemerintah malah secara serampangan memblokir sumber informasi
tanpa ada ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi informasi hoaks atau
bukan. Negara tidak mempunyai demarkasi dan standar evaluasi yang jelas
terhadap kebenaran informsi dan opini publik. Demarkasi yang diajukan hanya
satu: sumber informasi yang bukan dari media mainstream harus dicurigai sebagai
hoaks. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik
diarahkan untuk hanya percaya kepada media mainstream. Padahal, bukan tidak
mungkin, justru melalui media mainstream itulah kekuasaan menyelundupkan
kepentingan hegemoninya.139
Media mainstream berpotensi menjadi alat untuk
melegitimasi eksistensi dan struktur kekuasaan politik dan ekonomi
pemerintah.140
Media mainstream acap kali dipakai oleh penguasa sebagai alat
untuk mendominasi dan menguasai jagat wacana, mengarahkan pikiran publik,
merekonstruksikan realitas, dan menanamkan ideologi.141
137
Peter Tan, op. cit., hal. 47. 138
Rocky Gerung, loc.cit. 139
Ibid. 140
Eduardus Dosi, Media Massa dalam Jaring Kekuasaan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2012),
hal. 17. 141
Ibid. Sejak awal berdirinya negara ini, media selalu menjadi alat untuk kepentingan politik
kekuasaan. Pada saat rezim orde lama, melalui 19 pasal yang diatur dalam peraturan perpeti No.
10/1960, pers nasional diwajibkan untuk mendukung politik pemerintah. Akibatnya, segala sepak
terjang pers Indonesia hanya berpusar di sekitar usaha penyebaran ajaran-ajaran Sukarno, yakni
nasionalisme, agama, dan komunisme (NASAKOM). Penguasaan media berlanjut ketika
memasuki orde baru. Pada masa ini pers dikebiri kebebasannya dan dipasung hak-haknya.
Idealisme dan profesionalisme pers dikurung dan digembok di dalam kotak represif bernama
Deppen dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pers yang berkiprah adalah pers plat
merah, pers yang corong kepada pemerintah. Pers disetir oleh rezim yang otoriter sehingga peran
etis media disulap menjadi instrumen politisasi kebenaran demi melanggengkan kekuasaan
Suharto yang korup serta berlumuran pelanggaran HAM. Pers akhirnya sedikit bernapas legah dan
bersorak kegirangan ketika memasuki era refomasi karena pada masa itu kebebasan berekspresi
dan berpendapat sangat dijunjung tinggi. Namun tanpa disadari, pers sama sekali tidak bisa lepas
dari hegemoni kekuasaan yang pada paruh zaman ini mengenakan cadar hegemoni oligarkis.
61
Jika diperhatikan secara serius, tampak bahwa pengendalian informasi,
penentuan mana hoaks dan bukan adalah cara halus untuk melenyapkan oposisi
dalam politik. Di sini negara memiliki segenap kekuatan untuk membunuh segala
informasi yang dianggap hoaks dan melahirkan hoaks-hoaks baru dalam
masyarakat. Tentang ini, Rocky Gerung, Peneliti Perhimpunan Pendidikan
Demokrasi, dalam artikelnya yang berjudul “Hoaks dan Demokrasi”, menulis:
“pembuat hoaks terbaik adalah penguasa, sebab mereka memiliki peralatan
lengkap untuk berbohong: statistik, intelejen, editor, panggung, media, dst...”142
Dengan peralatan-peralatan yang ada, kekuasaan berhak menentukan segala
sesuatu, termasuk menentukan mana informasi yang merupakan hoaks dan mana
yang bukan hoaks. Kritik Rocky ini secara implisit mau mengatakan bahwa
masyarakat perlu selalu mencurigai kekuasaan atau pemerintah. Apalagi data
historis perjalanan bangsa ini menunjukkan bahwa pemerintah memang kadang
membuat hoaks untuk menipu rakyat dan mengamankan kekuasaannya. Dengan
demikian perang melawan hoaks boleh jadi adalah wacana yang membuka
peluang masuknya monopoli kekuasaaan serentak rezim kebenaran dalam
mengontrol kebenaran dan opini publik dan membatasi kebebasan berpikir,
kreativitas, dan daya kritis masyarakat.
Contoh yang paling nyata bagaimana kekuasaan menjadi alat yang ampuh
memproduksi hoaks adalah ada pada rezim Orde Baru. Salah satu hoaks yang
diciptakan oleh rezim orde baru adalah wacana tentang kekejaman PKI. Wacana
ini diciptakan dan diindoktrinasi untuk tujuan politis, yaitu pelanggengan
kekuasaan. Stigma tentang PKI, yakni anti Tuhan, penentang agama,
pemberontak, pengkhianat bangsa, pembuat onar, pembunuh berdarah dingin dan
kejam, dan gambaran-gambaran negatif lainnya adalah hoaks yang diproduksi
secara sistematis oleh rezim Orde Baru dengan memakai kekuasaan sebagai
Segelintir orang berdompet tebal menguasai aset-aset kapital pers. Apalagi orang-orang berdompet
tebal tersebut adalah juga pejabat tinggi dalam hirarki partai-partai politik yang memiliki relasi
koncois dengan elit penguasa karena memiliki kepentingan tertentu, baik itu kepentingan bisnis
maupun kepentingan politik atau kekuasaan. Akibatnya, apa yang disuarakan media kurang kuat
memihak masyarakat dan tak jarang mencerminkan kepentingan politis pemilik perusahan media
dan atau elit penguasa. Status kepemilikan media massa dengan sendirinya turut memainkan
peranan penting dalam percaturan politik Nasional (Harris Meo Ligo, “Hoaks: Media di
Persimpangan Jalan”, VOX, 62 : 02 (Ledalero: 2017), hal. 176-179) 142
Rocky Gerung, loc. cit.
62
instrumen. Dan yang paling mengerikan adalah hoaks-hoaks tersebut kemudian
disebarkan lewat buku-buku sejarah dan film, khususnya film “Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI”. Buku-buku sejarah ini kemudian diajarkan di sekolah-
sekolah dan film ini selalu diputar ulang setiap tahunnya sejak dirilis. Akibatnya
hoaks tentang PKI tersebut terus hidup di hati dan pikiran sebagian masyarakat
hingga sekarang.143
Pada hal buku-buku sejarah dan film ini sebenarnya adalah
propaganda Soeharto agar paham komunisme yang pernah besar di Indonesia,
bahkan sempat menjadi tiga pilar kekuatan politik utama yang dirumuskan Bung
Karno yakni Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), musnah untuk selama-
lamanya di negeri ini. Tidak semua kejadian yang disuguhkan di dalam buku-
buku sejarah dan film tersebut merupakan peristiwa yang sebenarnya. Banyak
adegan yang didramatisasi untuk mengesankan bahwa PKI dan komunisme
merupakan ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Hal itu justru diakui sendiri
oleh Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film tersebut.144
Hoaks acap kali diproduksi dan disebarkan oleh mereka yang dianggap
berpengetahuan tinggi dan memiliki otoritas dalam masyarakat. Orang yang
berpengetahuan tinggi juga sering menjadi korban hoaks. Masyarakat pada
akhirnya mengalami kebingungan dalam menentukan yang hoaks dan bukan
hoaks. Di tengah kebingungan ini, masyarakat kemudian menyerahkan pilihannya
kepada negara. Negara menjadi pegangan terakhir yang oleh masyarakat dianggap
sebagai hakim yang menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar,
mana hoaks dan bukan hoaks. Negara menjadi patokan kebenaran. Pada titik ini,
negara dengan kekuasaannya dan dengan berbagai peralatannya mulai
mengendalikan kebenaran. Namun masyarakat gagal mencium permainan
kekuasaan dibalik semuanya ini karena terlalu percaya bahwa kebenaran yang
paling valid ditentukan oleh negara. Masyarakat menjadi tidak kritis dan terjebak
dalam idola semu terhadap pemerintah yang memiliki otoritas menentukan
kebenaran. Masyarakat mudah percaya akan pendapat seorang pejabat publik,
143
Peter Tan, op. cit., hal. 69. 144
Iswara N. Raditya, “Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta Sejarah atau Propaganda Orba?”,
Tirto.id, 30 September 2019, https://tirto.id/film-pengkhianatan-g30s-pki-fakta-sejarah-atau-
propaganda-orba-eiZe, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
63
bukan karena isi argumentasinya, melainkan karena jabatan pejabat publik
tersebut.145
Hoaks itu berwajah ganda: ada hoaks perlawanan dan hoaks kekuasaan.
Hoaks perlawanan muncul sebagai reaksi terhadap hoaks kekuasan. Apa yang
didefinisikan oleh pemerintah atau kekuasaan sebagai hoaks bisa jadi bukan hoaks
melainkan perlawanan terhadap kepemilikan kebenaran oleh kekuasaan.
Kekuasaan adalah pabrik kebohongan yang paling sempurna. Wacana perang
melawan hoaks bisa jadi adalah hoaks baru yang diproduksi rezim dan kekuasaan
untuk mengamankan kekuasaan dari hoaks-hoaks oposisi.146
Hal itu berarti bahwa
wacana perang terhadap hoaks yang gencar saat ini tidak boleh dibaca secara
linear dan tunggal.147
Hoaks memang buruk karena mengaburkan kebenaran, memicu konflik
sosial, memuat kepentingan politik partisan, dan menutup jalan kepada demokrasi
otentik serta diskurus publik yang rasional dan sehat. Namun wacana tentang
perang terhadap hoaks patut dikritisi karena boleh jadi wacana ini menjadi wadah
bagi masuk dan tumbuhnya benih-benih totalitarisme negara yang oleh Hannah
Arendt sebagaimana dikutip oleh Matias Daven sebagai “mesin pemusnah
kebebasan dan politk”148
untuk mengontrol kebenaran opini publik yang rasional
dan sehat, kebebasan berpendapat serta keluasan daya kreasi dan ekspresi
masyarakat di ruang publik.
Negara menjadi totaliter ketika dia mulai mengambil alih diskurus publik,
menentukan kebenaran, mengontrol cara berpikir, membatasi kreasi dan ekspresi
masyarakatnya, memutuskan mana yang harus dibicarakan, diucapkan atau
dilakukan warganya dan mana yang harus dilarang atau menentukan mana yang
harus ditonton dan dibaca dan mana yang tidak boleh.149
Hal ini terbukti dalam
peristiwa pelarangan diskusi dan seminar, misalnya pembubaran seminar yang
bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang dihelat di LBH
145
Peter Tan, op. cit., hal. 66. 146
Ibid., hal. 68. 147
Ibid., hal. 69. 148
Matias Daven, “Politik Pemusnahan dan Pemusnahan Politik: Telaah Kritis Atas Konsep
Hannah Arendt tentang Totalitarisme”, Jurnal Ledalero, 14:1 (Ledalero, Juni 2015), hal. 130. 149
Peter Tan, op. cit., hal. 69-70.
64
Jakarta pada Sabtu 16 September 2017 oleh pihak kepolisian. Padahal seminar
tersebut tidak memiliki tendensi politik tertentu, yaitu untuk membangkitkan
kembali Partai Komunis Indonesia. Seminar tersebut murni kegiatan akademis
yang bertujuan untuk memperjelas sejarah bangsa terkait dengan tragedi
pembunuhan besar-besaran yang terjadi di tahun 1965-1967 dan serta mendorong
negara untuk melakukan rehabilitasi terhadap para korban.150
Kondisi semacam ini kemudian berlanjut dengan penyisiran buku-buku
kiri oleh Kejaksaan dan aparat keamanan di bebarapa wilayah di Indonesia,
misalnya di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 26 Desember 2018, di Padang,
Sumatra Barat pada tanggal 8 Januari 2019.151
Dengan dalih bahwa buku-buku
yang selama ini dilarang beredar dinilai memiliki nuansa politik sehingga dapat
mengganggu ketertiban umum dan membahayakan negara, pemerintah melalui
aparatnya secara serampangan melakukan aksi razia terhadap buku-buku yang
dianggap berhaluan kiri ini.152
Padahal dalam demokrasi, kebebasan berpikir dan
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan seharusnya dijamin oleh negara.
Aksi razia terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri ini sama seperti
rezim Orde Baru yang menggunakan mekanisme kekuasaan untuk membatasi
pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sejarah negerinya sendiri.
Sikap kritis itu perlu karena boleh jadi di balik wacana perang terhadap
hoaks, penguasa mulai menanam benih-benih totalitarianisme melalui
pengontrolan informasi dan opini publik, atau lewat penentuan mana hoaks dan
bukan hoaks. Negara menjadi totaliter ketika dia mulai mengambil alih diskursus
publik, menentukan kebenaran, mengontrol cara berpikir, membatasi kreasi dan
ekspresi masyarakatnya, memutuskan mana yang harus dibicarakan dan dilakukan
150
Hendra Friana, “Hoax Sejarah Era Orba”, Tirto.id, 16 September 2017,
https://tirto.id/seminar-1965-digelar-untuk-luruskan-hoax-sejarah-era-orba-cwHV, diakses pada
tanggal 9 Maret 2020. 151
Ayomi Amindoni, “Razia buku: Mengapa buku-buku berhaluan kiri menjadi sasaran?”, BBC
News, 9 Januari 2019, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46796449, diakses pada tanggal
3 Maret 2020. 152
Menurut Human Rights Watch, sudah lebih dari 2.000 buku yang pernah dilarang di Indonesia,
mulai dari novel, studi sejarah, ajaran agama, buku-buku mengenai kontroversi sosial-politik,
agama, teologi liberal dan termasuk karya-karya tulis tentang gerakan sosial awal abad 20. (Irvan
Bagus Santoso, “Dianggap 'Kiri', 17 Buku Ini Dilarang Edar oleh Pemerintah”, Iyaa.com, 17 Mai
2016, https://media.iyaa.com/article/2016/05/Dianggap-Kiri-17-Buku-Ini-Dilarang-Edar-oleh-
Pemerintah-3443532.html, diakses pada tanggal 3 Maret 2020.
65
warganya, dan menentukan mana yang harus ditonton dan dibaca oleh
masyarakat.
66
BAB IV
UPAYA PENDIDIKAN LITERASI MEDIA SEBAGAI PENANGKAL
PENYEBARAN HOAKS
Salah satu cara untuk mengantisipasi dan menekan lajunya penyebaran
hoaks adalah dengan membangun kompetensi publik. Upaya membangun
kompetensi publik ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan literasi
media. Pendidikan literasi media adalah cara yang paling efekif untuk
menumbuhkan daya kritis pengguna media atas berita-berita yang tersebar dan
melatih kemampuan memahami isi dari sebuah teks yang ada. Oleh karena itu
pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan berbagai upaya pendidikan literasi
media yang harus dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengantisipasi dan
menekan lajunya penyebaran hoaks di Indonesia.
4.1 Sekilas tentang Pendidikan Literasi Media
Pendidikan literasi media merupakan suatu usaha untuk mendidik dan
mengajar masyarakat yang adalah pengguna media agar dapat memiliki
kompetensi dan keterampilan literasi media. Kompetensi dan keterampilan literasi
media sangat penting untuk dimiliki oleh masyarakat agar masyarakat menjadi
melek media, atau dengan kata lain menjadi pengguna media yang bijak dan
kritis. Dengan demikian masyarakat bisa menghindarkan diri dari pengaruh
negatif media.
67
Adapun kompetensi dan keterampilan literasi media yang mau dicapai
dalam pendidikan literasi media adalah sebagai berikut:
4.1.1 Kompetensi Literasi Media
Menurut Bamber Delver sebagaimana dikutip oleh Herry Hermawan, ada
sepuluh kompetensi literasi media yang diperlukan agar orang dapat berpartisipasi
secara aktif dan penuh kesadaran dalam masyarakat media. Kesepuluh kompetensi
itu antara lain:153
Pertama, pemahaman tentang pertumbuhan pengaruh media kepada
masyarakat. Media memainkan peran yang sangat penting dan karena itu memiliki
pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia. Menjadi melek media berarti
mampu memahami dan menyadari konsekuensi pertumbuhan pengaruh media
terhadap kehidupan masyarakat.
Kedua, pemahaman tentang bagaimana media dibuat. Banyak isi media itu
sepenuhnya dibentuk dan bentuk akhirnya biasanya meliputi keputusan teknik,
ekonomik, dan strategik. Menjadi melek media berarti mampu memahami
bagaimana media yang dikonsumsi itu dibentuk atau dibuat, atau dengan kata lain
memahami logika internal dari media.
Ketiga, pemahaman tentang bagaimana media mewarnai realitas. Media
selalu menyajikan realitas dari perspektif tertentu. Menjadi melek media berarti
mampu memahami bagaimana media menyajikan kembali realitas agar dapat
membuat penilaian yang berkualitas.
Keempat, penggunaan peralatan, perangkat lunak, dan aplikasi. Partisipasi
aktif dalam masyarakat media dimulai dengan keterampilan teknis dalam
menggunakan media. Menjadi melek media berarti orang harus terbuka untuk
menggunakan media baru dan harus aktif mengeksplorasi setiap aplikasi dan
teknologi yang baru, tetapi tidak menjadi budak dari media baru, aplikasi, dan
teknologi yang baru tersebut.
153
Herry Hermawan, op. cit., hal. 78-84.
68
Kelima, orientasi dalam lingkungan media. Media semakin merasuk dalam
kehidupan manusia. Akibatnya orang menghabiskan lebih banyak waktu di
lingkungan yang sepenuhnya online atau virtual, seperti Facebook, Whatsapp, dan
lain-lain. Berkenaan dengan pemilihan aplikasi media, orang harus mengetahui
kapan dan bagaimana ia harus menggunakannya. Menjadi melek media berarti
mampu mengeksplorasi kemungkinan dan mengembangkan keterampilan untuk
bergerak secara optimal dalam lingkungan media.
Keenam, mendapatkan dan memproses informasi. Setiap hari orang
dibanjiri oleh informasi dari berbagai media. Menjadi melek media berarti mampu
menemukan yang dicari, memilih yang dibutuhkan, dan menentukan informasi
yang dapat diandalkan, serta mampu memanfaatkan secara optimal informasi
yang relevan dan menyimpannya dengan baik serta berbagi dengan orang lain.
Ketujuh, membuat isi. Masyarakat media adalah warga yang telah
berevolusi dari konsumer ke prosumer (produser dan konsumer). Hal itu berarti
bahwa orang tidak hanya menjadi penonton atau pembaca secara pasif, tetapi juga
bereaksi terhadap sesuatu yang dilihat dan yang dibaca di media. Hal itu berarti
orang harus mampu membuat konten yang fungsional dan menarik. Dengan
demikian menjadi melek media berarti orang harus mampu membuat konten yang
fungsional dan menarik agar pesan dapat sampai ke audiens sasaran.
Kedelapan, berpartisipasi dalam jaringan sosial. Masyarakat media saat ini
adalah masyarakat jaringan. Dalam jaringan ini, pekerjaan penting dicapai dengan
berkreasi secara bersama-sama. Oleh karena itu menjadi melek media berarti
mampu berpartisipasi secara optimal dalam jaringan sosial. Hal pertama yang
harus dibuat sebelum berpartisipasi dalam jaringan sosial adalah mempelajari
norma-norma dan nilai-nilai dari sebuah komunitas online dan menyesuaikan
perilakunya. Selanjutnya orang harus memahami bagaimana jaringan sosial
bekerja. Hal itu berarti bahwa orang harus memahami bagaimana mendapatkan
orang lain untuk bekerja sama membuat sesuatu, bagaimana orang mendapatkan
dirinya melihat dan mendengar aktivitas dalam jaringan sosial, apa yang penting
untuk dibagikan, dan bagaimana orang dapat mengikuti dan mendukung orang
lain.
69
Kesembilan, pencerminan penggunaan media. Untuk memanfaatkan secara
optimal kemungkinan yang ditawarkan oleh media, orang harus dapat
merefleksikan semua aspek penggunaan media sendiri, terlebih khusus tentang
dampak mengonsumsi media secara pasif pada kepribadiannya. Oleh karena itu
menjadi melek media berarti mampu memahami penggunaan media sendiri dan
dampaknya sehingga orang dapat membuat pilihan untuk mengoptimalkan
tindakannya.
Kesepuluh, pencapaian tujuan melalui media. Dalam masyarakat media
saat ini hampir tidak mungkin untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok tanpa
menggunakan media. Dalam banyak kasus, media sangat diperlukan, seperti untuk
membangun karier, mendapatkan teman, menemukan pasangan hidup,
mempromosikan suatu tujuan, dan lain-lain. Menjadi melek media berarti mampu
mewujudkan tujuan diri sendiri berdasarkan penilaian mengenai kelebihan dan
keterbatasan dari media. Melek media berarti harus menggunakan media secara
efektif untuk tujuan yang ingin dicapai.
4.1.2 Keterampilan Literasi Media
Menurut William James Potter sebagaimana dikutip oleh Wulan Purnama
Sari, ada beberapa keterampilan literasi media yang harus dimiliki oleh
masyarakat, diantaranya:154
Pertama, analisis. Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan
memahami isi dan konten serta membongkar dan mengkaji suatu pesan atau
informasi dari sebuah media, dan kemudian mampu mengambil kesimpulan atas
isi pesan atau informasi secara bijaksana.
Kedua, evaluasi. Dalam tahapan evaluasi ini orang diharapkan untuk
mampu memberikan penilaian atas suatu pesan informasi yang media sampaikan.
Lebih dari itu pada tahapan ini orang diharapkan mampu menilai baik dan buruk,
serta benar dan tidak benarnya sebuah pesan atau informasi yang disampaikan
oleh media.
154
Wulan Purnama Sari, “Literasi Media Sosial Sebagai Tindakan Preventif pada Radikalisme dan
Hoax”, dalam Fajar Junaedi dan Filosa Gita Sukmono (eds.), op. cit., hal. 206-207.
70
Ketiga, pengelompokan. Dalam tahapan ini orang diharapkan untuk
mampu membuat persamaan, perbedaan bahkan membandingkan isi berita yang
diterimanya dengan sumber lain. Dengan kata lain seseorang mampu membuat
verifikasi berita atau informasi melalui media lain. Hal yang di kelompokkan
misalnya topik, sudut pandang, isu, dan atau permasalahan tertentu. Dengan
melakukan pengelompokan, seseorang akan mudah mencari titik permasalahan
dan mengetahui arah keberpihakkan suatu media.
Keempat, induksi. Induksi berkaitan dengan kemampuan menganalisis dan
mengkaji suatu informasi dari yang bersifat khusus dalam lingkup kecil menuju
pada yang bersifat umum secara menyeluruh.
Kelima, deduksi. Deduksi merupakan kebalikan dari pada induksi yaitu
kemampuan menganalisis dan mengkaji informasi yang bersifat umum kemudian
menjabarkannya menjadi informasi yang bersifat khusus.
Keenam, sintesis. Sintesis merupakan kemampuan untuk merangkai
kembali sebuah pesan atau informasi dari suatu media menjadi sebuah pesan
dalam struktur baru dan mampu menyajikannya berdasarkan isi pesan dari media
sebelumnya dengan bahasa yang mudah dipahami.
Ketujuh, abstraksi. Dalam tahapan ini yakni abstraksi diharapkan orang
sudah memiliki kemampuan dan kecakapan yang lengkap, mulai dari
menganalisis, mendeskripsikan, menilai baik buruk, mencari titik poin
permasalahan, meringkas pesan, dan menyajikannya kembali dengan bahasa yang
lebih mudah dimengerti.
4.2 Merunut Fakta Sejarah Perkembangan Pendidikan Literasi Media di
Indonesia
Di Indonesia aktivitas literasi media baru mulai dikembangkan pada tahun
1990.155
Aktivitas literasi media di Indonesia agak terlambat dibandingkan dengan
negara-negara maju di dunia yang telah lebih dahulu mengembangkan aktivitas
literasi media di negaranya. Secara ringkas perkembangan aktivitas literasi media
155
Muhammad Syukri, Anang Sujoko, dan Reza Safitri, “Gerakan dan Pendidikan Literasi Media
Kritis di Indonesia (Studi terhadap Yayasan Pengembangan Media Anak)”, Jurnal Ilmu
Komunikasi MEDIAKOM, 02:02 (Malang: Tahun 2019), hal. 118.
71
di Indonesia dapat dibagi dalam tiga periode, yakni periode 1990-2000156
, periode
2000-2010157
, dan periode 2010-2018158
.
4.2.1 Periode 1990-2000
Aktivitas literasi media mulai dikembangkan di Indonesia karena didorong
oleh kekhawatiran akan besarnya pengaruh yang dimunculkan oleh media televisi
yang merupakan media dengan khalayak yang cukup besar pada tahun 1990
sampai awal tahun 2000. Kekhawatiran ini berasal dari kalangan orang tua, guru,
tokoh-tokoh agama, LSM yang peduli dengan perlindungan anak, perguruan
tinggi, dan kelompok mahasiswa.159
Pada era ini muncul banyak stasiun televisi swasta yang mengusung misi
sebagian besar untuk mencari keuntungan. Media televisi menjadi sebuah industri
dengan berusaha untuk mendapatkan perhatian dari pemirsa dan dengan harapan
mendapatkan perhatian akan iklan yang mereka tayangkan sebagai sumber
keuntungan sebuah tayangan. Tayangan televisi banyak memberikan pengaruh
kepada khalayaknya, akan tetapi tidak semua tayangan di televisi berpengaruh
positif, misalnya tayangan yang mengandung kekerasan dan tayangan tidak
mendidik lainnya. Pengaruh tersebut terutama berdampak terhadap fisik, mental,
emosi dan perkembangan spiritual pada anak-anak dan remaja. Melihat fenomena
tersebut, maka pada tahun 1991, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
menyelenggarakan sebuah workshop di tingkat regional Asia-Pasific, tentang anak
dan televisi di Cipanas, Jawa Barat.160
Forum ini membicarakan isu tentang anak dan televisi yang sudah mulai
aktual pada waktu itu dengan komprehensif dan mendalam, serta antisipasinya di
masa depan dalam konteks kewilayahan Asia. Ada beberapa hal yang dihasilkan
dan menjadi rekomendasi dari workshop ini, yaitu perlunya peningkatan kualitas
156
Iswandi Syahputra, “Literasi Media di Indonesia: Keragaman Pemahaman dan Kegiatan”,
dalam KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Panduan Sosialisasi Literasi Media Televisi; Pegangan
untuk Narasumber (Jakarta: KPI, 2011), hal. 38. 157
Ibid., hal. 43. 158
Novi Kurnia, “Media dan Gerakan Literasi”, dalam Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Jurnalisme, “Berita Palsu”, &
Disinformasi Konteks Indonesia (Jakarta, UNESCO Ofice, 2019), hal. 20-21. 159
Muhammad Syukri, Anang Sujoko, dan Reza Safitri, loc.cit. 160
Iswandi Syahputra, op.cit., hal. 40.
72
tayangan televisi untuk anak karena televisi memiliki peran penting dalam
membantu menumbuh kembangkan anak menjadi lebih baik dan perlunya
pendidikan media dengan fokus pada televisi, untuk diajarkan kepada anak-anak.
Orang tua, guru, organisasi kesejahteraan anak, aktivis konsumen, LSM, dan
berbagai lembaga pembela hak anak memiliki peran besar dalam memberikan
pendidikan media kepada anak-anak. Adapun topik-topik yang perlu diajarkan
dalam pendidikan media adalah seperti bagaimana televisi bekerja; bagaimana
acara TV diproduksi; bagaimana berbagai lembaga dapat memengaruhi isi
tayangan TV; tentang perkembangan anak dan kaitannya dengan pemahaman
terhadap tayangan TV; bagaimana isi tayangan TV dapat memengaruhi nilai, gaya
hidup, dan perilaku pemirsa; bagaimana TV merepresentasikan realitas; dan
panduan dalam menonton TV. Hal lain yang dihasilkan dan menjadi rekomendasi
dari workshop ini adalah perlunya pelatihan mengenai pendidikan media atau
setidaknya konsep dasar mengenai sikap kritis dalam mengkonsumsi tayangan TV
untuk para guru, orang tua, pengasuh anak, berbagai lembaga di bidang anak,
pekerja tempat penitipan anak, dan bahkan para produser acara TV.161
Sebagai tindak lanjut dari workshop ini, maka pada tahun 1994, YKAI
bersama dengan Litbang Departemen Penerangan mengadakan penelitian analisis
isi tentang adegan prososial dan antisosial dalam tayangan anak. Hasil penelitian
ini sempat menjadi polemik karena beberapa lembaga penyiaran yang ada pada
waktu itu, mengadakan konferensi pers menolak dan mempertanyakan kualitas
penelitian tersebut. Namun setidaknya, masyarakat menjadi tahu bahwa dalam
tayangan anak, terdapat banyak sekali adegan anti-sosial yang didominasi dengan
kekerasan. Di tahun yang sama, YKAI juga menyelenggarakan workshop tentang
pendidikan media televisi. Workshop ini menandai adanya kebutuhan untuk mulai
secara serius memikirkan bagaimana memberi bekal pengetahuan dan
keterampilan kepada anak-anak agar mereka dapat berinteraksi dan mengonsumsi
televisi dengan aman. Sebagai tindak lanjut dari workshop tersebut kemudian
diadakan seminar tentang “Bagaimana Menonton Televisi yang Pas Untuk Anak”.
161
Ibid.
73
Dalam seminar tersebut, YKAI menerbitkan sebuah booklet 20 halaman dengan
judul yang sama yang ditujukan untuk orang tua.162
Kemudian pada tahun 1996, YKAI melakukan penelitian tentang
tayangan TV untuk anak. Penelitian dengan topik serupa pada saat bersamaan
juga dilakukan di berbagai negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura,
Philipina, Thailand, dan sebagainya. Setelah dikompilasi, hasil penelitian bersama
ini diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Growing Up With TV: Asian
Children’s Experience. Berikutnya pada tahun 1999, dilakukan penelitian dengan
pola serupa tentang pemberitaan mengenai anak yang dimuat dalam media, yang
kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Children in the News. Selain
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh YKAI, berbagai institusi, sekolah,
perguruan tinggi, dan lain-lain juga menyelenggarakan berbagai seminar
mengenai dampak televisi pada anak dan bagaimana orang tua dan guru harus
bersikap. Forum seminar tersebut diselenggarakan selama satu sesi atau setengah
hari dengan tema-tema populer yang dibutuhkan oleh para orang tua dan guru.163
4.2.2 Periode 2000-2010
Pada periode ini kesungguhan mengembangkan literasi media di Indonesia
mulai terlihat. Hal ini sejalan dengan diundangkannya UU No. 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran. Pada Pasal 52 (2) dinyatakan, "organisasi nirlaba, lembaga
swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan dapat
mengembangkan kegiatan literasi dan atau memperbaiki lembaga penyiaran".
Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa, "Yang dimaksud dengan kegiatan
literasi adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis
masyarakat".164
Dengan demikian UU ini secara jelas memuat perlunya
pengembangan literasi media.
Dalam rangka menanggapi UU ini, maka pada tahun 2003 beberapa
lembaga pemerintahan baik di tingkat Pusat maupun Daerah (Kota/Kabupaten)
162
Ibid., hal. 40-41. 163
Ibid., hal. 42. 164
Republik Indonesia, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang
Penyiaran”.
74
menyelenggarakan pelatihan. Lembaga Informasi Nasional (LIN) bekerja sama
dengan dengan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dan Serikat
Penerbit Surat kabar (SPS) menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan
peran dan literasi masyarakat sebagai khalayak media di ibu kota-ibu kota
provinsi di tanah air. Pelatihan tersebut melibatkan peserta yang berasal dari
kalangan dosen dan mahasiswa dari berbagai jurusan dan perguruan tinggi serta
aktivis organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis (Persatuan
Islam). Pada tingkat Kabupaten, misalnya Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Kesejahteraan Sosial (PMKS) Kabupaten Sumedang menyelenggarakan pelatihan
yang diikuti tokoh wanita dan wakil pemudi dari setiap kecamatan di Kabupaten
Sumedang. Di samping itu, pada tahun 2004 SPS bekerja sama dengan World
Association of Newspaper (WAN) menyelenggarakan Program NiE (Newspaper
in Education) yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan literasi media.
Namun Program Nie di Indonesia baru pada tahap awal yakni penyelenggaraan
seminar awal dan pelatihan untuk para guru. Selain Program NiE, Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyelenggarakan Program Pembelajaran
Melek Media (Program PMM) bagi siswa SD dan dilaksanakan di Jakarta.
Sedangkan Yayasan Junal Perempuan bekerja sama dengan UNICEF dan Kantor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyelenggarakan sosialisasi literasi
media di 5 SMA di Jakarta pada tahun 2004. Sedangkan Lembaga Konsumen
Media (LKM) Surabaya menyelenggarakan pendidikan literasi media dalam
bentuk pelatihan pada kelompok-kelompok masyarakat dan melalui siaran
mingguan di Radio Suara Surabaya.165
Meskipun penyelenggaraan pendidikan literasi media sudah disebutkan
dalam UU No. 32 tahun 2002, tetapi pendidikan literasi media belum menemukan
bentuk baku atau bentuk ideal. Pelatihan literasi media yang dilakukan di
Indonesia masih dalam bentuk gerakan-gerakan yang belum terstruktur dan
sistematis. Gerakan-gerakan tersebut dibuat dalam bentuk seminar, roadshow,
pelatihan, dan kampanye-kampanye mengenai literasi media yang dilakukan oleh
LSM maupun organisasi mahasiswa dan institusi lainnya, misalnya roadshow ke
beberapa sekolah dasar di DKI Jakarta oleh Komunitas Mata Air tahun 2004,
165
Yosal Irianta, op. cit., hal. 6-7.
75
seminar di beberapa SMA di DKI Jakarta pada tahun 2005 dan 2008 oleh
Yayasan Jurnal Perempuan, roadshow ke beberapa SLTP di DKI dan Depok
tahun 2005-2008 oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI, roadshow oleh
Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006,166
pelatihan literasi media
untuk remaja di sekolah menengah atas di Yogyakarta pada tahun 2008 oleh
Rumah Sinema,167
dan beberapa kegiatan lainnya oleh organisasi pemerhati media
lainnya.
Pada periode ini juga diupayakan penerapan pendidikan literasi media
melalui jalur lembaga pendidikan formal. Pada tahun 2002 Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) memulai sebuah proyek percontohan
penerapan Pendidikan Melek Media dalam bentuk kegiatan belajar mengajar di
kelas. Proyek ini diujicobakan pada Sekolah Dasar Negeri Johar Baru 01 Pagi,
Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, tim YKAI melakukan
diskusi kelompok terfokus terhadap para guru, orang tua, dan siswa tentang
tayangan televisi dan problemnya pada anak. Sesudah proyek percontohan selesai
dilakukan, pada bulan Desember 2004, dalam kerja sama dengan Kantor Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, YKAI menyelenggarakan pelatihan guru
tentang Pendidikan Melek Media dengan dukungan dari UNESCO untuk tingkat
SD dan SMP dengan pesertanya berasal dari beberapa sekolah di Jakarta, Bogor,
dan Yogyakarta. Pelatihan yang sama juga diselenggarakan lagi pada tahun 2005
bertempat di sekolah Nurul Fikri dengan dukungan dari UNESCO.168
Pada tahun 2006 Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang
dengan dukungan dari UNICEF menyempurnakan modul pelatihan guru tentang
Pendidikan Melek Media dan mengujicobakannya dalam pelatihan guru pada
bulan November 2006 di 8 sekolah di kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Dalam program tersebut, YPMA mengubah nama ‟Pendidikan Melek Media‟
menjadi ‟Pendidikan Media‟ yang dipandang lebih tepat karena merupakan
terjemahan dari istilah asli dalam bahasa Inggris, Media Education. Pada bulan
166
Iswandi Syahputra, op. cit., hal. 43. 167
Eko Suprati, “Pelatihan Literasi Media dengan Metode Kreatif untuk Remaja”, dalam Dyna
Herlina Suwarto (ed.), op. cit., hal. 78. 168
Iswandi Syahputra, op. cit., hal. 43-45.
76
November 2006 diadakan Round Table Discussion di UNICEF yang dipandu oleh
communication officer dari UNICEF untuk menjajaki kemungkinan penerapan
Pendidikan Media di sekolah. Peserta diskusi di antaranya adalah perwakilan dari
UNICEF, perwakilan dari UNESCO, Direktorat Pembinaan TK-SD Depdiknas,
Pusat Kurikulum Depdiknas, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, beberapa
guru dan kepala sekolah dasar di Jakarta, LSM bidang pornografi, dan LSM
bidang hak anak. Tahun 2008, dengan dukungan dana dari UNICEF dan dalam
kerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Tengah dan Dinas Pendidikan Jawa
Timur, YPMA mulai melakukan uji coba Pendidikan Media dalam skala yang
lebih luas. Ini adalah upaya untuk mengujicobakan materi dan metode penerapan
Pendidikan Media melalui jalur sekolah dan masuk ke kurikulum, yang telah
dirancang sebelumnya. Ada 35 sekolah di empat wilayah, yakni Kotamadya Solo,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Bondowoso, dan Kotamadya Malang yang terlibat
dalam uji coba ini. Untuk tingkat pra-sekolah, uji coba dilakukan pada tahun 2010
di Yogyakarta yang melibatkan guru-guru dari Wonosobo, Klaten, dan
Yogyakarta.169
4.2.3 Periode 2010-2018
Aktivitas literasi media mengalami perubahan signifikan pada akhir 2010-
an saat penggunaan internet dan media digital semakin meningkat di Indonesia
seiring dengan munculnya kekacauan informasi, hoaks, ujaran kebencian,
kecanduan gawai dan internet, dan pelanggaran privasi. Untuk meminimalisasi
permasalahan-permasalahan tersebut, maka kegiatan literasi media dibuat semakin
beragam dan bertambah.
Studi yang dilakukan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)
menunjukkan bahwa fokus gerakan literasi media di Indonesia pada 2010-an
adalah media digital, media daring, media sosial, dan game. Studi yang dilakukan
oleh 56 peneliti dari 26 perguruan tinggi ini memetakan 342 kegiatan literasi
media yang dilaksanakan di sembilan kota di Indonesia: Yogyakarta, Salatiga,
Semarang, Surakarta, Malang Raya, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Jakarta.
Studi ini menemukan bahwa pelaku kegiatan literasi digital paling banyak adalah
169
Ibid., hal. 45.
77
universitas (56,14%) yang diikuti dengan instansi pemerintah (14,4%), komunitas
(13,52%, lembaga swadaya masyarakat (5,32%, sekolah (3,68%), korporasi
(3,68%), asosiasi profesi dan organisasi massa (2,86%) dan media (0,4%).
Sementara itu, target sasaran literasi digital lebih banyak remaja (29,55%),
mahasiswa (18.5%), masyarakat umum (15,22%), orang tua (12.23%), guru dan
dosen (10,14%), serta komunitas dan masyarakat profesional termasuk media
(6,86%), dan peneliti (0,29%).170
Pada akhir tahun 2017 muncul Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD)
Siberkreasi, sebagai jawaban atas rekomendasi studi Japelidi tentang
dibutuhkannya gerakan literasi media yang kolaboratif. Dalam setahun sejak
Siberkreasi dibentuk, terdapat 92 organisasi (instansi pemerintah, akademisi dari
berbagai universitas, komunitas, korporasi, media) yang menggerakkan 297
program serta melibatkan 125.080 peserta. Hingga akhir 2018, selain
memproduksi beragam materi literasi digital seperti video dan infografik,
Siberkreasi sudah meluncurkan 65 buku panduan literasi digital dengan beragam
topik seperti melawan hoaks, mengelola informasi bencana alam, mengatasi
kecanduan games, hingga digital parenting.171
4.3 Hambatan dalam Pendidikan Literasi Media Indonesia
Perkembangan teknologi internet dan hadirnya berbagai media menuntut
orang untuk bisa memiliki kemampuan literasi media. Literasi media menjadi
sesuatu yang urgen untuk dimiliki sebagai penangkal dampak dan atau efek
negatif dari penggunaan media dan internet. Oleh karena itu pendidikan literasi
media menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna mendorong
kesadaran masyarakat akan pentingnya memahami, menggunakan, dan menilai
media secara benar dan tepat. Di Indonesia pendidikan literasi media sudah
berjalan, tetapi masih sangat terbatas.
170
Novi Kurnia, loc. cit. 171
Ibid., hal. 21.
78
Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat terbatasnya pendidikan
literasi media di Indonesia. Faktor-faktor itu antara lain:
4.3.1 Lemahnya Dukungan Pemerintah
Salah satu faktor yang menjadi penghambat terbatasnya pendidikan literasi
media di Indonesia adalah lemahnya dukungan pemerintah. Pemerintah tidak
menganggap isu literasi media sebagai sesuatu yang mendesak seperti narkoba,
korupsi, kemiskinan, dan sebagainya. Lemahnya dukungan pemerintah ini dapat
ditunjukkan dari belum dimasukkannya literasi media ke dalam kurikulum resmi
pendidikan, padahal pendidikan literasi media akan jauh lebih terstruktur,
sistematis, dan lebih optimal bila dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran di
sekolah dan mata kuliah penunjang di perguruan tinggi. Selain itu program-
program literasi media, semisal dalam bentuk seminar juga belum dibuat secara
berkala dan sifatnya juga masih tertutup karena terbatas untuk kalangan tertentu
saja. Misalnya seminar yang diselenggarakan di Ledalero pada tanggal 26
Oktober 2019 yang dinisiasi oleh anggota Komisi I DPR RI, Dr. Andreas Hugo
Parera dalam kerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Seminar ini sangat tertutup karena peserta seminarnya dibatasi hanya sampai 100
lebih orang saja. Akibatnya dampak dari program-program literasi media tidak
menyasar ke semua lapisan masyarakat.
Lemahnya dukungan pemerintah juga dapat ditunjukkan dari terbatasnya
porsi dana yang diberikan untuk kegiatan literasi media. Akibatnya sebagian besar
kegiatan literasi media bersifat satu waktu, kegiatan berakhir ketika pendanaan
berakhir.172
Lemahnya dukungan pemerintah ini membuat perkembangan literasi
media di Indonesia hanya sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur dan
sistematis. Hal itu pun lebih banyak diinisiasi dan difasilitasi oleh pihak swasta,
seperti para pegiat literasi media dan organisasi pemerhati media. Gerakan-
gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, sosialisasi, dan kampanye literasi
media. Padahal pendidikan literasi media tidak cukup bila hanya disampaikan
dalam bentuk seminar dan atau sosialisasi yang hanya berdurasi dua jam.
172
Hendriyani dan B. Guntarto, loc. cit.
79
4.3.2 Lembaga Pendidikan Belum Menjadi Aktor Utama
Faktor lainnya yang menjadi penghambat terbatasnya pendidikan literasi
media di Indonesia adalah lembaga pendidikan belum menjadi aktor utama dalam
kegiatan-kegiatan literasi media. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum
dimasukannya literasi media ke dalam kurikulum resmi pendidikan, melainkan
juga karena lembaga pendidikan belum terbuka terhadap ide literasi media.
Kegiatan literasi media dianggap sebagai beban tambahan bagi guru yang telah
menanggung kurikulum yang sangat padat. Kondisi ini tentu berbeda dengan yang
terjadi di Inggris, AS, Kanada, Australia, dan Jepang, yang sudah
mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum sekolah dasar, sehingga
kemampuan literasi media warga di negara-negara tersebut pada umumnya cukup
baik.173
Di Indonesia, sangat sedikit lembaga pendidikan yang menjadi aktor
literasi media. Hanya ada beberapa perguruan yang sudah memasukan literasi
media sebagai salah satu mata kuliah penunjang, seperti Universitas Gadjah Mada
(UGM), Universitas Islam Bandung (UNISBA), Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO), Universitas Paramadina
Jakarta,174
Universitas Sumatera Utara (USU),175
dan Universitas Negeri Surabaya
(UNESA).176
Hal ini menunjukkan bahwa literasi media di Indonesia hanya dilihat
sebagai aktivitas sampingan yang tidak menjadi prioritas utama bagi para peserta
didik. Padahal para peserta didik adalah kelompok yang paling rentan terhadap
potensi dampak negatif media. Literasi media hanya sebuah aktivitas tambahan
173
Ibid. 174
Novi Kurnia dan Santi Indra Astuti, “Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi tentang
Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran, dan Mitra”, Jurnal INFORMASI, 47:2 (Yogyakarta:
Desember 2017), hal. 160. 175
Pada tahun 2009 Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU melakukan perbaikan kurikulum
dengan mengakomodir materi tentang literasi media dalam mata kuliah media dan masyarakat.
(Mazdalifah, “Mengembangkan Literasi Media di Perguruan Tinggi”, dalam Dyna Herlina
Suwarto (ed.), op. cit., hal. 53). 176
Pada tahun 2019 UNESA mulai mewajibkan mata kuliah Literasi Media bagi semua
mahasiswa. (Awang Dharmawan, “Waktunya Kurikulum Literasi Media”, Times Indonesia, 11
Februari 2020, https://www.google.co.id/amp/s/amp.timesindonesia.co.id /read/news/250639/
waktunya-kurikulum-literasi media, diakses pada tanggal 26 April 2019).
80
yang akan dibutuhkan ketika terjadi gejolak moral yang disebabkan oleh dampak
negatif media.
4.3.3 Minimnya Pengetahuan Orang Tua tentang Literasi Media
Selain lemahnya dukungan pemerintah dan lembaga pendidikan yang
belum menjadi aktor utama, minimnya pengetahuan orang tua tentang literasi
media juga menjadi salah satu faktor penghambat pendidikan literasi media di
Indonesia. Minimnya pengetahuan literasi media orang tua tercermin dari
seringnya membiarkan anak-anak menggunakan gadget dan internet secara bebas
tanpa ada pengawasan dan pendampingan yang memadai. Beberapa orang tua
bahkan dengan sengaja memberikan berbagai perangkat teknologi terkini agar
anak-anak diam sehingga tidak mengganggu kesibukan mereka. Bahkan tidak
jarang, baik anak maupun orang tua masing-masing sibuk dengan gadgetnya.
Selain itu orang tua juga sering membiarkan anak-anak berinteraksi
dengan televisi selama berjam-jam. Banyak orang tua yang sudah membiasakan
anak-anaknya menonton televisi ketika masih bayi, misalnya sambil menyusui,
ibu-ibu asyik menonton televisi dan sambil menyuapi anak-anaknya yang masih
balita, ibu-ibu meletakkan anak-anak mereka di depan televisi. Tidak sedikit
orang tua yang menjadikan televisi sebagai pengasuh anak-anak mereka ketika
masih balita, dan bahkan meletakkan televisi di kamar tidur anak-anak.
Dua fenomena ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi media orang
tua masih sangat minim. Minimnya pemahaman literasi media orang tua yang
adalah agen literasi media dalam keluarga, membuat pendidikan literasi media di
dalam keluarga menjadi tidak berjalan.
4.3.4 Rendahnya Kesadaran Masyarakat untuk Memahamai Urgensi
Literasi Media
Faktor lainnya yang juga turut menjadi penghambat pendidikan literasi
media di Indonesia adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memahamai
urgensi literasi media. Masyarakat memandang literasi media hanya sebagai
kegiatan tambahan yang akan dibutuhkan ketika terjadi persoalan yang akut
berkaitan dengan media, misalnya hoaks, kekerasan, penipuan, pornografi, dan
81
lain sebagainya. Bagi sebagian masyarakat, literasi media dipandang hanya
sebagai wacana yang berasal dari luar yang bisa hilang kapan saja ketika
masyarakat sudah aman dan tidak membutuhkannya. Dengan kata lain literasi
media bukanlah sebuah kondisi yang seharusnya ada dalam masyarakat.
4.4 Upaya Pendidikan Literasi Media
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
pendidikan literasi media menjadi suatu urgen untuk dilakukan. Namun
pendidikan literasi media ini tidak dapat berjalan baik jika tidak ada upaya atau
peran dari semua pihak. Oleh karena itu pendidikan literasi media menjadi
tanggung jawab semua pihak. Hemat penulis ada beberapa pihak yang memiliki
peran penting dalam pendidikan literasi media. Pihak-pihak itu antara lain:
4.4.1 Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil yang ada di dalam sistem masyarakat.
Sekalipun sebagai unit terkecil, keluarga mampu memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam membangun kehidupan anak. Dari lingkungan keluarga, anak-
anak belajar tentang agama, etika, nilai moral, dan mengenal kehidupan untuk
pertama kalinya. Dengan pola pengasuhan yang baik, maka akan terlahir pribadi-
pribadi yang tidak hanya cerdas tapi juga bijak, kritis, berpikiran terbuka, dan
berkepribadian baik.
Tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan anak-anak dewasa ini sangat
dekat dengan media. Anak-anak merupakan generasi screen culture (generasi
layar). Mulai dari layar televisi, layar komputer maupun layar telepon genggam.
Media telah menggeser peran orang tua dan lingkungan sosial dalam hal
berinteraksi, berkomunikasi, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Anak-anak
begitu lekat dan dekat dengan layar-layar tersebut. Anak-anak telah menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk berinteraksi dengan beragam layar tersebut baik
untuk menonton televisi, bermain games, berselancar di internet, dan atau
berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial.
82
Studi kuantitatif tentang penggunaan internet oleh anak-anak yang
dilakukan oleh Puspita Adiyani Candra terhadap 100 anak sekolah yang berusia 6-
12 tahun di Surabaya pada tahun 2013, sebagaimana dikutip oleh Novi Kurnia,
menunjukkan bahwa 27% anak menggunakan internet pertama kalinya pada usia
8 tahun, 19% menggunakannya pada usia 7 tahun dan 12% pada usia 6 tahun.
Temuan lainnya yang menarik adalah beberapa responden mengaku mengenal
internet sejak usia lima tahun (balita) atau bahkan sebelumnya. Data menunjukkan
12% anak-anak telah mengenal internet pada usia 5 tahun, 4% pada usia 4 tahun,
dan 1% pada usia 3 tahun. Dari temuan penelitian tersebut terlihat pengguna
internet berusia muda dan bahkan perkenalan mereka dengan internet dimulai di
usia balita. Interaksi anak-anak dalam usia 3 hingga 12 tahun dengan internet
secara umum dimediasi oleh orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang
memiliki peran memperkenalkan internet untuk pertama kalinya pada anak-anak,
antara lain orang tua (45%), anggota keluarga lain selain orang tua seperti kakak,
sepupu atau paman, dan bibi (29%), guru (11%), dan teman (2%). Anak-anak
yang menyatakan belajar sendiri secara otodidak sebanyak 10%. Adapun lokasi
penggunaan internet secara umum merujuk pada tiga lokasi utama: rumah (51%),
ruang publik seperti pusat perbelanjaan atau restoran yang menyediakan Wi-Fi
(30,4%), dan sekolah (18.5%).177
Dari studi yang dicontohkan di atas, terlihat beberapa temuan menarik
terkait anak dalam penggunaan internet di Indonesia. Pertama, usia perkenalan
anak dengan internet termasuk menggunakannya terbukti sangat muda yakni
ketika anak masih berusia di bawah lima tahun. Kedua, perkenalan anak dengan
internet lebih banyak melalui orang tua dibandingkan dengan guru, anggota
keluarga lainnya, teman, maupun secara otodidak. Ketiga, rumah adalah lokasi
yang paling sering digunakan anak untuk mengakses internet dibandingkan
dengan lokasi lainnya.178
Data ini memberi kesimpulan bahwa dari keluargalah
lahir aktor-aktor penggunaan teknologi informasi.
177
Novi Kurnia, “Urgensi Literasi Digital Keluarga di Indonesia”, dalam Novi Kurnia (ed.),
Literasi Digital Keluarga, Teori dan Praktik Pendampingan Orangtua terhadap Anak dalam
Berinternet (Yogyakarta: Center for Digital Society (CFDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, 2017), hal. 5-6. 178
Ibid.
83
Anak-anak adalah pengguna media yang cukup aktif. Usia yang masih
belia dan minim pengetahuan tentang literasi media, membuat anak menjadi
rentan terhadap dampak negatif dari media. Oleh karena itu anak-anak perlu
diberikan pegetahuan mengenai literasi media agar mereka dapat dengan cerdas
dan bijak dalam menyikapi konten-konten media yang menerpa mereka.
Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam memberikan pendidikan literasi
media kepada anak-anak. Pendidikan literasi media menjadi sebuah keharusan
agar anak dapat bergaul dengan aman di dunia maya serta dapat memanfaatkan
internet secara sehat, kreatif, dan produktif sejak dini. Pendidikan literasi media di
dalam keluarga bisa dilakukan dengan beberapa cara sederhana, misalnya:
4.4.1.1 Membuat Peraturan tentang Waktu dan Tempat dalam
Menggunakan Gadget dan Akses ke Internet serta Menonton
Televisi
Orang tua perlu membatasi waktu dan tempat penggunaan gadget dan
internet pada anak-anak. Batasan waktu tersebut bisa dibuat dalam bentuk hari
maupun periode waktu tertentu, misalnya hanya di akhir pekan, hari libur, atau
hari libur semester, dan atau hanya sore hari sepulang sekolah, malam hari setelah
belajar, dan atau pagi hari sebelum berangkat sekolah. Orang tua juga bisa
menerapkan waktu bebas gadget, misalnya ketika makan, membaca buku, dan
olahraga.
Selain membatasi waktu penggunaan gadget dan internet, orang tua juga
perlu membatasi tempat untuk menggunakan gadget dan internet. Anak-anak
hanya bisa menggunakan gadget dan internet di area yang terbuka dan dapat
diakses oleh seluruh anggota keluarga, misalnya ruang keluarga. Dengan
demikian, orang tua lebih mudah mengontrol penggunaannya. Orang tua juga bisa
menerapkan area bebas gadget dan internet, misalnya ruang makan, kamar tidur,
ruang doa, dan kamar mandi.
Selanjutnya orang tua juga perlu membatasi waktu menonton televisi.
Waktu yang dihabiskan anak-anak di depan layar televisi cukup banyak. Rata-rata
anak menonton televisi 4-5 jam per hari. Jumlah tersebut meningkat ketika hari
libur. Jumlah jam anak-anak terpapar televisi lebih banyak dibandingkan dengan
84
jam belajar di sekolah.179
Dosis berlebihan menonton televisi berbanding lurus
dengan jumlah perilaku buruk yang ditonton anak di televisi. Oleh karena itu
orang tua perlu membatasi waktu yang digunakan untuk menonton televisi,
misalnya hanya saat setelah makan siang, sore setelah belajar, dan atau saat
setelah makan malam.
Orang tua perlu mengatur waktu yang digunakan untuk mengkonsumsi
media (gadget dan televisi) dengan menggantinya dengan kegiatan lain yang lebih
bermanfaat, misalnya belajar, membaca (buku, surat kabar, majalah, dan atau
jurnal), olahraga, dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hadirnya gadget dan
internet serta televisi membuat anak menjadi pribadi yang individualistik dan
menarik diri dari lingkungan pergaulan sosial karena waktunya telah dihabiskan
dengan bermain gadget, akses ke internet, dan dengan menonton televisi. Orang
tua diharapkan mengarahkan anak-anak mereka untuk belajar berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya, sehingga anak-anak kemudian tidak menjadi kaku dalam
pergaulan sosial. Jika orang tua mampu menyediakan aneka kegiatan yang
produktif dan afektif sebagiamana disebutkan di atas, maka waktu untuk
menggunakan gadget, mengakses internet, dan menonton televisi dapat dikurangi.
4.4.1.2 Mendampingi Anak ketika Menggunakan Gadget dan Akses ke
Internet, dan ketika Menonton Televisi
Berapapun usia anak, orang tua harus tetap mendampinginya ketika
menggunakan gadget dan mengakses internet. Dalam pendampingan orang tua
perlu memberitahukan kepada anak sejauh mana hak dan tanggung jawabnya serta
konsekuensi dari penggunaan gadget dan internet. Hak-hak anak yang perlu
diberitahu oleh orang tua, misalnya hak menggunakan gadget dan internet sesuai
kebutuhan; mencari informasi untuk keperluan tugas sekolah, mengunduh atau
mengunggah gambar, video, dan atau dokumen untuk keperluan tugas dan atau
179
Tri Hastuti Nur R “Gerakan Literasi Media: Melindungi Anak-Anak dari Gempuran Pengaruh
Media”, dalam Dyna Herlina Suwarto (ed.), op. cit., hal. 17.
85
hiburan; mengakses media sosial pada waktu yang telah ditentukan; bermain
games pada waktu yang telah ditentukan; dan bebas berekspresi secara online.180
Selain hak-hak, tanggung jawab anak yang juga perlu diberitahu oleh
orang tua, misalnya berhenti menggunakan gadget dan internet ketika sudah
melewati batas waktu yang telah ditentukan; fokus mencari informasi yang
dibutuhkan, tidak membuka situs lain yang tidak berkaitan; membuka situs yang
sesuai usia; mengunduh konten yang sesuai dengan usia; hanya mengunduh atau
mengunggah konten yang dibutuhkan; membagikan konten positif di media sosial,
menjaga privasi, dan tidak membagikan data pribadi; berhenti bermain games
ketika sudah melewati batas waktu yang telah ditentukan; memilih games yang
sesuai dengan usia; menghargai hak orang lain; dan tidak menyinggung orang lain
dalam mengekspresikan dirinya. Selanjutnya konsekuensi dari penggunaan gadget
dan internet juga perlu diberitahu oleh orang tua, misalnya jika menaati peraturan,
hak tetap diberikan, dan jika melanggar peraturan, maka hak akan dikurangi dan
atau dicabut orang tua.181
Dalam pendampingan, orang tua juga perlu memberitahukan dan
mengarahkan anak untuk menggunakan gadget dan internet untuk kegiatan-
kegiatan yang sifatnya produktif, seperti belajar mengambar, belajar bermain
musik, belajar bahasa asing, dan lain sebagainya. Jika anak-anak diarahkan
menjadi produsen maka waktu mereka menjadi konsumen akan jauh berkurang.
Dengan pendampingan orang tua, anak-anak akan menjadi sadar bahwa
penggunaan gadget dan internet secara efektif akan menunjang keterampilan dan
pengetahuan mereka saat ini dan kelak ketika sudah dewasa.
Bentuk pendampingan lainnya yang perlu dibuat oleh orang tua adalah
memilih jenis tontonan dan menyeleksi konten-konten yang layak untuk diakses.
Anak-anak biasanya menonton televisi tanpa perencanaan sehingga mereka selalu
memindah-mindahkan saluran televisi sesukanya. Anak-anak dihadapkan dengan
tayangan-tayangan yang belum layak untuk dikonsumsi, seperti berita kriminal,
180
Indriyatno Banyumurti, Laila Ayu Karlina, dan Widuri, Modul Smart School Online:
Mengaplikasikan Penggunaan Internet Sehat dan Cerdas di Sekolah, Panduan bagi Guru dan
Orangtua (Jakarta: Perkumpulan Mitra TIK Indonesia, 2018), hal, 21. 181
Ibid.
86
musik, dan film orang dewasa sehingga anak-anak mendapatkan informasi dan
hiburan yang tidak sesuai dengan usia mereka. Kondisi ini akan menyebabkan
kerancuan dalam pikiran karena anak-anak merupakan peniru yang handal.
Berhadapan dengan realitas ini, maka orang tua perlu memberitahu saluran-
saluran televisi dan memilih jenis tontonan yang layak untuk ditonton oleh anak-
anak. Namun sebelum itu, orang tua harus terlebih dahulu memberi pemahaman
kepada anak-anak tentang maksud dan tujuan dari tindakannya tersebut.
Teknologi internet, selain memberikan banyak kemudahan dan pengaruh
positif, tetapi juga membawa dampak negatif, seperti banyaknya konten
kekerasan, pornografi, ancaman penipuan, hoaks, dan sebagainya. Untuk
menghindarkan anak-anak dari pengaruh buruk tersebut, maka ketika anak-anak
menggunakan gadget dan internet, orang tua sebaiknya melakukan pendampingan
dengan cara menyeleksi konten-konten yang layak untuk diakses. Pentingnya
peran orang tua sebagai pendamping anak dalam menggunakan gadget dan
internet tidak lain karena anak belum mempunyai kecakapan teknis, pengetahuan
maupun emosi dalam mengakses berbagai informasi dan hiburan melalui internet.
Selain itu orang tua juga perlu memberitahukan kepada anak tentang cara
memverifikasi suatu informasi. Internet saat ini sudah menjadi sumber informasi.
Namun internet tidak hanya menghadirkan informasi yang benar, tetapi juga
informasi bohong (hoaks). Agar anak-anak tidak terjebak dalam hoaks, maka
orang tua perlu mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu kritis terhadap
informasi yang mereka terima. Orang tua perlu memberitahu pertanyaan-
pertanyaan kritis kepada anak-anak dalam rangka meminimalisasi hoaks. Menurut
Sierra Filucci, sebagaimana dikutip oleh Yulaika Ramadhani, anak-anak perlu
diberitahu tentang siapa yang membuat berita yang mereka baca, siapa target
pembacanya, siapa yang dibayar dan diuntungkan atas berita tersebut. Selain itu,
anak-anak juga butuh diberi pemahaman mengenai pesan apa saja yang
87
terkandung dalam berita tersebut, apakah penting, menguntungkan, dan atau
malah sebaliknya.182
Hal lain yang perlu diberitahukan kepada anak untuk memverifikasi suatu
informasi adalah dengan mengecek nama media, mengecek penanggung jawab
(redaksi) dan alamat media, mengecek data media, mengecek tanggal sumber
berita, membandingkan dengan berita dari media yang lain, dan melarang untuk
membuka kembali media yang mengirimkan hoaks.183
Hal-hal semacam ini perlu
disampaikan oleh orang tua sedini mungkin, sebab kenyataan menunjukkan
bahwa banyak informasi yang menyesatkan pada akhirnya merugikan
perkembangan anak.
4.4.1.3 Membangun Diskusi dengan Anak
Hal pertama yang perlu didiskusikan dengan anak adalah tentang
penggunaan gadget dan internet. Keberadaan gadget memberikan peluang bagi
anak-anak untuk mengakses internet tanpa pengawasan orang tua dan bekal
keterampilan yang minim. Melalui internet anak-anak bermain game, mencari
informasi, dan berinteraksi dengan menggunakan situs jejaring sosial seperti
facebook, twitter, dan whatsApp. Agar anak-anak tidak terjebak dampak negatif
dari internet, maka sebelum memberikan gadget kepada anak-anak, orang tua
sebaiknya membuat diskusi dengan anak mengenai penggunaan gadget dan
internet.
Ada tiga hal utama yang perlu didiskusikan terkait dengan penggunaan
gadget dan internet ini, yaitu diskusi tentang kebutuhannya, tentang tanggung
jawabnya, dan tentang risikonya. Dalam diskusi tentang kebutuhannya, orang tua
harus menanyakan kepada anak mengapa ia harus memiliki gadget dan harus
akses internet. Orang tua harus menanamkan kepada anak bahwa memiliki atau
membeli sesuatu harus berdasarkan kebutuhan, bukan karena mengikuti tren.
182
Yulaika Ramadhani, “Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax”, Tirto.id, 1 Oktober
2017, https://tirto.id/mengajarkan-anak-anak-menghindari-berita-hoax-cxw2, diakses pada tanggal
9 Maret 2020. 183
Gumgum Gumilar, Justito Adiprasetio, dan Nunik Maharani, “Literasi Media: Cerdas
Menggunakan Media Sosial dalam Menanggulangi Berita Palsu (Hoax) Oleh Siswa SMA”, Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 1:1 (Bandung: Februari 2017), hal. 39.
88
Kemudian dalam diskusi tentag tanggung jawabnya, orang tua harus menanamkan
rasa tangggung jawab anak dalam menggunakan gadget dan dalam mengakses
internet. Sejak awal perlu menegaskan konsekuensi jika anak terbukti
menyalahgunakan gadget dan internet. Selanjutnya dalam diskusi tentang
risikonya, orang tua harus memberitahukan dan mengingatkan risiko ataupun hal
negatif yang dapat timbul dari penggunaan gadget dan internet serta cara
pencegahan dan cara menghindarinya.184
Selain membuat diskusi tentang penggunaan gadget dan internet, orang tua
juga perlu membuat diskusi tentang kualitas berita atau informasi yang diperoleh
dari internet. Pendidikan literasi media dapat dilakukan dengan memperbanyak
diskusi bersama anak-anak. Melalui diskusi anak-anak dilatih untuk berpikir kritis
terhadap informasi yang mereka dapatkan saat akses ke internet. Joanne Orlando,
sebagaimana dikutip oleh Terry Muthahhari, menjelaskan bahwa anak-anak harus
diajak berdiskusi agar dapat sensitif dalam mengidentifikasi kualitas berita atau
informasi yang diperolehnya. Menurutnya, orang tua dapat memulai diskusi
dengan cara menanyakan: pembuat berita, target khalayak berita, informasi yang
hilang, dan perbandingan dengan situs berita lain.185
Hal lain yang juga perlu
didiskusikan adalah tentang situs-situs yang aman dan layak untuk usia mereka
dalam mencari berita atau informasi.
Diskusi antara orang tua dan anak bisa dilakukan untuk melatih anak
mengambil keputusan atas informasi yang diterimanya. Keputusan yang muncul,
misalnya apakah informasi ini layak dipercaya dan disebarluaskan, hanya cukup
untuk pengetahuan pribadi, atau justru diabaikan karena bukan merupakan
informasi yang penting. Dalam diskusi orang tua perlu juga memperkenalkan
konsep wilayah privat yang di era digital ini seringkali diabaikan bahkan dianggap
tidak penting. Secara sederhana, segala sesuatu yang tidak pantas dibagikan pada
banyak orang dalam kehidupan nyata juga tidak pantas dibagikan di media digital.
Agar cara-cara sederhana tersebut di atas menjadi efektif maka, hal
pertama yang wajib dibuat oleh orang tua adalah membangun kedekatan dengan
184
Indriyatno Banyumurti, Laila Ayu Karlina, dan Widuri, op. cit., hal. 19. 185
Terry Muthahhari, “Kembali ke Sekolah Melawan Hoax”, Tirto.id, 8 Desember 2017,
https://tirto.id/kembali-ke-sekolah-melawan-hoax-cBl3, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
89
anak-anak. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk membangun kedekatan
adalah dengan menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak-anak dan membangun
suasana komunikasi yang baik, efektif, dan menyenangkan. Dengan terciptanya
komunikasi yang baik, efektif, dan menyenangkan, maka akan lebih mudah bagi
orang tua untuk memasukkan nilai-nilai positif dalam hal bermedia. Orang tua
juga harus menjadi panutan atau teladan bagi anak-anak, dalam arti mampu
memberi contoh yang positif, misalnya tidak menjadi pecandu gadget dan televisi,
sehingga dengan demikian anak-anak bisa meniru dan mempraktikkannya dalam
keseharian hidupnya.
4.4.2 Lembaga Pendidikan
Pendidikan literasi media memiliki peluang yang besar untuk dilaksanakan
melalui jalur pendidikan resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Memang sampai
dengan saat ini literasi media belum masuk dalam kurikulum resmi pendidikan,
tetapi bukan berarti lembaga pendidikan harus menutup diri dari ide literasi
media. Lembaga pendidikan perlu mengembangkan ide literasi media, misalnya
dengan meleburkannya ke dalam kurikulum yang sudah ada atau menjadikannya
sebagai ekstrakurikuler pada tingkat sekolah (SD sampai dengan SMA) dan
sebagai mata kuliah penunjang pada tingkat perguruan tinggi.
4.4.2.1 Sekolah (SD-SMA)
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang dirancang secara khusus untuk
mengajar dan mendidik para peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk
melakukan banyak hal dalam membekali siswa dengan kemampuan kognitif
untuk mengakses dan belajar menganalis beragam hal, termasuk mengakses dan
menganalisis media.
Hasil survei Nielsen pada tahun 2018 menunjukkan bahwa generasi
milenial dengan rentang usia 10 sampai 19 tahun, sebanyak 97% masih menonton
televisi, 50% mengakses internet, 33% mendengarkan radio, 7% menonton
televisi berbayar, dan 4% membaca media cetak.186
Penggunaan media yang
tinggi pada usia 10 sampai 19 tahun yang adalah usia pelajar pada tingkat Sekolah
186
Awang Dharmawan, op. cit.
90
Dasar (SD) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ini perlu diimbangi
dengan kemampuan literasi media.
Sekolah menjadi salah satu tempat yang tepat untuk memberikan
pendidikan literasi media kepada para peserta didik dan karena itu sekolah perlu
mengusahakan dan memfasilitasi berbagai kegiatan yang dengannya pendidikan
literasi media dapat dilaksanakan. Hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu
dibuat oleh lembaga pendidikan dalam hal pelaksanaan pendidikan literasi media
ini:
4.4.2.1.1 Mengintegrasikan Literasi Media ke dalam Setiap Mata Pelajaran
Literasi media memang tidak dapat dijadikan sebagai satu mata pelajaran
baru, tetapi dapat diintegrasikan menjadi bagian integral dalam setiap mata
pelajaran, meski idealnya literasi media harus menjadi satu mata pelajaran
tersendiri. Literasi media dapat dimasukkan ke dalam setiap mata pelajaran, mulai
dari sains sampai dengan mata pelajaran sejarah, bahasa, serta pendidikan agama
dan budi pekerti. Di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, ada
beberapa keterampilan yang harus dikuasai siswa seperti membaca, menyimak,
dan menulis. Jika dihubungkan dengan literasi media maka keterampilan
membaca, menyimak dan menulis dapat dilakukan dengan menggunakan media
digital seperti melalui komputer, internet (blog, media sosial, web), dan telepon
pintar. Di sini siswa dapat diajak untuk membedakan berita bohong dan berita
benar yang tersebar di internet. Selain itu diberitahu alamat-alamat situs yang
bermanfaat untuk pembelajaran dan cara penggunaannya. Integrasi literasi media
ke dalam mata pelajaran wajib perlu dilakukan agar transfer pendidikan literasi
media dapat lebih optimal dan guru dapat lebih mudah memantau perkembangan
siswa tentang literasi media.
Program literasi media terintegrasi dengan kurikulum adalah tanggung
jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab keterampilan kritis terhadap
informasi tersebut dapat diberikan melalui semua pelajaran yang telah ada di
sekolah. Oleh karena itu, guru harus menciptakan satu ruang belajar yang
memungkinkan para peserta didik belajar tentang dunia dan keragaman yang ada
91
di sana sehingga mereka mempunyai ruang untuk menganalisis sekaligus
memperdebatkan dengan sehat apa yang mereka ketahui. Para peserta didik
jangan hanya diajarkan untuk menghafal fakta atau statistik media saja, tetapi juga
mereka harus dibiasakan untuk berefleksi dan bertanya secara kritis dan
mendalam tentang apa yang ditonton, dibaca, atau didengar. Kemandirian dan
kemampuan bertanya dan berpikir kritis harus terus ditumbuhkan pada setiap
individu para peserta didik. Dengan demikian, pengembangan profesional guru
dalam hal literasi media perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.
4.4.2.1.2 Melaksanakan Pelatihan dan Pendampingan kepada Para Guru
Kelompok sasaran yang perlu dilibatkan lebih aktif dalam kegiatan literasi
media adalah para guru. Para guru menjadi mitra strategis dalam program literasi
media karena mereka memiliki kemampuan dalam memengaruhi para siswa. Para
guru adalah kelompok yang paling mudah diyakinkan tentang perlunya literasi
media karena mereka adalah pihak yang paling tahu bagaimana media telah
memengaruhi siswa mereka, misalnya datang terlambat di pagi hari karena
menonton televisi atau bermedia sosial hingga larut malam, siswa menggunakan
istilah atau ungkapan-ungkapan yang tidak senonoh yang mereka tonton dari TV
atau youtube, siswa tidak mengerjakan PR karena kecanduan permainan
elektronik, dan sebagainya.
Mengacu pada metode pembelajaran Kurikulum 2013 yang menempatkan
peserta didik sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai fasilitator, maka
kegiatan literasi media tidak lagi berfokus pada peserta didik semata. Guru, selain
sebagai fasilitator, juga menjadi subjek pembelajaran. Akses yang luas pada
sumber informasi, baik di dunia nyata maupun dunia maya dapat menjadikan
peserta didik lebih tahu daripada guru. Oleh karena itu, kegiatan peserta didik
dalam berliterasi media semestinya tidak lepas dari kontribusi guru. Guru menjadi
figur teladan literasi media di sekolah dan karena itu harus menjadi fasilitator
yang berkualitas. Dengan demikian, sekolah perlu menyelenggarakankan
pelatihan dan pendampingan kepada para guru untuk meningkatkan kemampuan
para guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi media para peserta didik. Pihak sekolah perlu
92
mengundang para pakar literasi media untuk memberikan pelatihan dan
pendampingan tersebut sehingga kegiatan dimaksud dapat berjalan efektif.
4.4.2.1.3 Melaksanakan Seminar atau Sosialiasi tentang Literasi Media
kepada Semua Warga Sekolah, Para Orang Tua, dan Masyarakat
Sekolah perlu mengundang para pakar literasi media dan atau para pegiat
literasi media untuk memberikan seminar atau sosialiasi tentang literasi media
kepada semua warga sekolah terkhusus kepada para peserta didik. Seminar dan
sosialisasi ini juga perlu melibatkan orang tua dan masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran mereka terhadap literasi media agar perlakuan yang
diberikan kepada peserta didik di sekolah bisa ditindaklanjuti di dalam keluarga
dan di tengah masyarakat.
4.4.2.1.4 Meningkatkan Minat Baca Para Peserta Didik
Salah satu aspek dari literasi media adalah sikap kritis. Untuk
meningkatkan sikap kritis para peserta didik, sekolah perlu meningkatkan minat
baca para peserta didik, misalnya dengan melaksanakan kegiatan membaca
sebelum pembelajaran bagi seluruh warga sekolah. Pemerintah, melalui Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan peserta didik untuk lima belas menit
setiap hari membaca buku selain buku mata pelajaran sebelum jam pelajaran.187
Lima belas menit membaca setiap hari sebelum jam pelajaran dapat dilakukan
dengan tidak hanya membaca buku, tetapi juga membaca informasi atau berita
dari media cetak, media elektronik (radio dan televisi), media daring, dan media
sosial. Kegiatan membaca ini bisa dilakukan dengan membaca secara pribadi
dalam hati atau membaca secara bersama kemudian dapat diikuti dengan kegiatan
lain misalnya menganalisis dan memberikan catatan kritis atau berdiskusi tentang
tema yang dibacakan. Guru diharapkan bersikap kreatif dan proaktif dalam
memfasilitasi kegiatan-kegiatan dimaksud.
Menurut Janice L. Pilgreen sebagaimana dikutip oleh Billy Antoro, kunci
utama menjadikan siswa gemar membaca adalah meletakkan membaca sebagai
187
Republik Indonesia, “Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti”.
93
kegiatan reguler siswa.188
Tidak ada jaminan bahwa semua siswa punya waktu
membaca di luar sekolah. Di rumah, mereka bisa saja sibuk bermain, bekerja
membantu orang tua, atau menghabiskan waktu bersama teman-temannya dengan
melakukan aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan membaca. Lebih
buruk lagi ketika mereka tidak punya teladan membaca di sekitarnya. Oleh karena
itu pembiasaan kegiatan membaca melalui kegiatan membaca 15 menit adalah
sebuah keharusan. Selain itu sekolah juga perlu mengawasi dan mewajibkan
peserta didik untuk membaca sejumlah buku dan menyelesaikannya dalam kurun
waktu tertentu. Sekolah juga perlu mengelolah perpustakaan dengan baik dengan
mengadakan dan atau menambah buku-buku tentang literasi media dan juga
menciptakan ruang-ruang baca yang nyaman, sehingga bisa menarik minat baca
para peserta didik.
4.4.2.2 Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi mempunyai peran dan fungsi penting dalam
perkembangan suatu masyarakat. Peran dan fungsi perguruan tinggi tertuang
dalam pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Keberadaan Tri Dharma menempatkan perguruan
tinggi sebagai pihak yang strategis dalam mengembangkan literasi media. Literasi
media dapat diikutsertakan dalam kegiatan Tri Dharma perguruan tinggi. Oleh
karena itu, perguruan tinggi dapat mengembangakan literasi media dalam bentuk
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.189
Dosen dan
mahasiswa yang merupakan elemen penting dalam perguruan tinggi harus
proaktif dan wajib berpartisipasi di dalamnya.
4.4.2.2.1 Pengembangan Literasi Media melalui Pendidikan
Hal pertama yang perlu dibuat perguruan tinggi dalam mengembangkan
literasi media melalui pendidikan adalah dengan mengintegrasikan literasi media
ke dalam setiap mata kuliah wajib atau menjadikan literasi media sebagai salah
188
Billy Antoro, Gerakan Literasi Sekolah, Dari Pucuk Hingga Akar, Sebuah Refleksi (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2017), hal. 34. 189
Mazdalifah, op. cit., hal. 52.
94
satu mata kuliah penunjang. Jika literasi media diintegrasikan ke dalam setiap
mata kuliah wajib, maka dosen pada setiap mata kuliah tidak hanya mengajar
materi kuliah yang bersifat hafalan saja, tetapi juga wajib menciptakan suasana
perkuliahan yang memungkinkan mahasiswa untuk menganalisis sekaligus
memperdebatkan dengan sehat apa yang mereka ketahui, tonton, baca, dan
dengar. Strategi mengintegrasikan literasi media ke dalam setiap mata kuliah
hemat penulis sangat efektif karena setiap hari mahasiswa dipacu untuk berpikir
kritis terhadap segala sesuatu, termasuk kritis terhadap media.
Perguruan tinggi perlu juga menjadikan literasi media sebagai salah satu
mata kuliah penunjang sehingga mahasisiwa dapat memiliki pengetahuan atau
pemahaman yang utuh atau penuh tentang literasi media. Mahasiswa tidak hanya
dibekali dengan ilmu khusus yang digelutinya, tetapi juga dengan ilmu literasi
media, sehingga mahasiswa yang pada umumnya adalah pengguna aktif media
(media sosial) menjadi pribadi yang kritis dalam bermedia. Selain itu, untuk
menambah pengetahuan mahasiswa tentang literasi media, perguruan tinggi juga
harus menyelenggarakan seminar dan atau sosialisasi tentang literasi media yang
melibatkan seluruh civitas akademica, dan menambah jumlah dan koleksi buku-
buku tentang literasi media di perpustakaan.
4.4.2.2.2 Pengembangan Literasi Media melalui Penelitian
Ilmu yang dikuasai melalui proses pendidikan di perguruan tinggi harus
dimplementasikan dan diterapkan. Salah satunya dengan langkah ilmiah, seperti
melalui penelitian. Penelitian bukan hanya mengembangkan diri dosen dan
mahasiswa, melainkan juga memberikan manfaat bagi masyarakat umum. Salah
satu fenomena yang perlu mendapat perhatian dalam bidang penelitian adalah
kajian tentang literasi media.190
Pihak perguruan tinggi perlu menyediakan dan menambah jumlah
referensi berupa buku dan jurnal tentang literasi media di perpustakaan sehingga
merangsang dan menarik minat para dosen dan mahasiswanya untuk meneliti
dalam bidang literasi media. Keberadaan referensi dan pemberian materi literasi
190
Ibid., hal. 54.
95
media dalam salah satu mata kuliah dapat mendorong mahasiswa untuk
menjadikan topik literasi media sebagai bahasan skripsi. Topik tentang manfaat
dan dampak buruk serta dampak positif dari televisi, media sosial, dan internet,
dapat dijadikan sebagai topik untuk diteliti. Hasil dari penelitian ini kemudian
dapat dipublikasikan dalam bentuk buku dan jurnal serta dipublikasikan di media-
media massa sehingga bisa menjadi konsumsi publik dan menjadi bahan
pembelajaran bagi masyarakat.
4.4.2.2.3 Pengembangan Literasi Media melalui Pengabdian kepada
Masyarakat
Ilmu yang bermanfaat adalah bukan ilmu yang disimpan untuk diri sendiri
atau sekedar disimpan di dalam pikiran, melainkan ilmu yang diamalkan sesuai
dengan fungsinya dan memberikan manfaat bagi orang lain. Dosen dan
mahasiswa memiliki ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat. Caranya adalah dengan melakukan kegiatan pengabdian kepada
masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi ajang
mempraktekkan apa yang dipelajari dan diperoleh selama proses perkuliahan.
Menurut undang-undang pendidikan tinggi, dharma pengabdian kepada
masyarakat merupakan suatu bentuk usaha untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.191
Salah satu bentuk
pengabdian perguruan tinggi kepada masyarakat adalah dengan memperluas
jangkauan literasi media di masyarakat. Bentuk pengabdian ini dapat dilakukan
dengan membuat pelatihan, pendampingan, seminar, dan sosialisaasi tentang
literasi media, khususnya yang berhubungan dengan: cara menonton televisi yang
baik, pemanfaatan internet yang baik pada remaja, dampak televisi pada anak, dan
bagaimana membedakan informasi yang benar dengan informasi hoaks, dan lain
sebagainya. Kegiatan pengabdian ini dapat dibuat dalam kerja sama dengan
lembaga-lembaga yang ada, seperti sekolah, organisasi religius misalnya
SEKAMI (Serikat Kepausan Anak Misioner), OMK (Orang Muda Katolik), dan
Remaja Masjid, dan ataupun lingkungan setempat.
191
Republik Indonesia, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi”.
96
Bentuk lain dari pengabdian kepada masyarakat adalah dengan mengkritik
dan mendesak pemerintah untuk segera memasukkan literasi media ke dalam
kurikulum resmi pendidikan, menulis opini di media-media massa, dan
mempublikasikan kepada masyarakat hasil penelitian tentang tema-tema literasi
media sebagai satu bentuk pencerdasan kepada masyarakat. Bentuk-bentuk
pengabdian ini merupakan strategi agar literasi media menjadi sebuah gerakan
masif di tengah masyarakat.
4.4.3 Organisasi Non-pemerintah
Peran organisasi non-pemerintah, dalam hal ini partai politik, Organisasi
Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Yayasan, dan
lembaga keagamaan juga sangat penting dan dibutuhkan dalam upaya pendidikan
literasi media.
4.4.3.1 Partai Politik
Partai politik pada dasarnya memang berurusan dengan hal-hal politik
saja, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa partai politik juga terlibat dalam
upaya pendidikan literasi media. Partai politik jangan hanya memanfaatkan
masyarakat untuk kepentingannya, tetapi juga harus terlibat langsung dalam
mendidik masyarakat dalam hal literasi media.
Partai politik mesti mengusahakan berbagai cara agar tercapainya
pendidikan literasi media. Sebagai penyalur aspirasi masyarakat, partai politik
melalui DPR harus mendesak pemerintah untuk segera memasukkan literasi
media ke dalam kurikulum resmi pendidikan. Selain itu partai politik juga perlu
melaksanakan kampanye-kampanye politik yang kreatif. Kampanye-kampanye
yang dimaksud tidak harus hanya dalam bentuk konser-konser musik, olahraga,
dan juga kegiatan-kegiatan lainnya yang sifatnya hiburatif, tetapi juga dalam
bentuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif dan mendidik masyarakat,
misalnya seminar, diskusi, dan atau sosialisasi tentang literasi media.
97
4.4.3.2 Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Yayasan
ORMAS atau LSM adalah organisasi yang muncul dari masyarakat dalam
upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan
menitikberatkan kepada pengabdian dan pemberdayaan secara swadaya.
Kemunculan ORMAS dan LSM tidak terlepas dari kepentingan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan dan melakukan perubahan sosial bagi masyarakat itu
sendiri, di mana aspek kesejahteraan tersebut tidak dapat dipenuhi hanya dari
unsur pemerintah. Di sini Ormas dan LSM mempunyai fungsi strategis sebagai
pelopor yang melayani perubahan sosial.192
ORMAS dan LSM adalah organisasi yang independen dan bebas dari
intervensi pemerintah. Oleh karena itu bebas melakukan atau membuat program
sendiri dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat.193
Bertolak dari tujuan dan
fungsi ORMAS dan LSM ini, hemat penulis, memasukkan literasi media sebagai
satu program adalah suatu yang baik sebagai suatu bentuk pengabdian dan
pemberdayaan masyarakat. ORMAS dan LSM perlu memberdayakan masyarakat
dalam hal literasi media sehingga masyarakat menjadi kritis dan tidak menjadi
korban dari dampak negatif media.
Berkaca pada sejarah, literasi media di Indonesia pertama kali
diperkenalkan dan dimulai oleh Yayasan, yakni Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI). Yayasan ini, pada tahun 1991 menyelenggarakan sebuah
workshop di tingkat regional Asia-Pasific, tentang anak dan televisi di Cipanas
Jawa Barat. Sejak saat itu kemudian kerap diadakan seminar maupun pertemuan
yang membahas masalah pentingnya literasi media terhadap anak dan khalayak
televisi pada umumnya.194
Kegiatan-kegiatan literasi media selanjutnya juga
umumnya diinisiasi dan digerakkan oleh Yayasan dan LSM, seperti Masyarakat
Peduli Media, Rumah Sinema, Bandung School of Communication Studies
(BaSCom), Habibie Center, Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Yayasan
192
Ari Ganjar Herdiansah dan Randi, “Peran Organisasi Masyarakat (ORMAS) dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Menopang Pembangunan di Indonesia”, Jurnal
SOSIOGLOBAL, 1:1 (Bandung, Desember 2016), hal. 51. 193
Ibid., hal. 52. 194
Iswandi Syahputra, loc. cit.
98
Jurnal Perempuan (YJP), dan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan biasanya dalam bentuk pelatihan, seminar, dan
pendampingan.195
Mengamati perkembangan di Indonesia, pendidikan literasi media
mengalami pasang surut. Kegiatan-kegiatan literasi media yang dibuat oleh
beberapa LSM dan Yayasan masih sangat terbatas, baik dari segi waktu, tempat,
dan juga jenis kegiatan. Kegiatan-kegiatan ini masih bersifat musiman dan
umumnya hanya terjadi di wilayah-wilayah perkotaan. Hal itu berarti bahwa
belum ada pemerataan. Oleh karena itu LSM dan Yayasan yang bergerak dalam
bidang literasi media perlu meningkatkan lagi kegiatan-kegiatan literasi media,
baik dari segi waktu, tempat, dan juga jenis kegiatan. Penulis menawarkan
beberapa hal, yang bisa menjadi pertimbangan LSM dan Yayasan untuk
dilaksanakan, yakni:
Pertama, dari segi waktu, kegiatan-kegiatan literasi media, semisal
seminar, lokakarya, sosialisasi, kuliah dan kampanye terbuka, pelatihan, dan
pendampingan mesti dibuat secara berkala, sehingga bisa memberi efek yang
signifikan bagi masyarakat.
Kedua, dari segi tempat, kegiatan-kegiatan literasi media mesti juga dibuat
di wilayah-wilayah pedesaan, sehingga efek literasi media juga bisa dirasakan
masyarakat pedesaan. Jika memungkinkan, LSM dan Yayasan membangun
cabang-cabangnya di wilayah-wilayah pedesaan sehingga kegiatan-kegiatan
literasi media dapat berjalan efektif dan efisien.
Ketiga, dari segi jenis kegiatan, para pegiat literasi media perlu bekerja
sama dengan pemerintah untuk membangun rumah-rumah baca, menerbitkan dan
atau mengadakan buku-buku tentang literasi media, dan kemudian
menyalurkannya ke rumah-rumah baca dan juga ke lembaga-lembaga pendidikan,
melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi,
menyelenggarakan seminar, sosialisasi, diskusi publik, dan kampanye yang
sifatnya terbuka untuk umum. Para pegiat literasi media perlu juga memanfaatkan
195
Hendriyani dan B. Guntarto, op. cit., hal. 7.
99
teknologi untuk kegiatan-kegiatan literasi media ini secara online sehingga bisa
diakses oleh semakin banyak orang.
Keempat, para pegiat literasi media juga perlu menyelenggarakan
sosialisasi, pendampingan, dan pelatihan untuk para guru, tokoh masyarakat, dan
juga tokoh agama untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka
tentang literasi media, sehingga dengan itu dapat membantu mereka dalam
mendampingi dan menyadarkan siswa-siswi dan juga masyarakat umum.
Agar kegiatan-kegiatan tersebut di atas berjalan efektif, maka hal pertama
yang perlu dibuat oleh ORMAS, LSM, dan yayasan adalah membangun
komunikasi dengan pemerintah sehingga pemerintah bisa menyiapkan sarana dan
prasarana serta anggaran yang memadai demi terlaksananya kegiatan-kegiatan
literasi media. Selain itu, ORMAS, LSM, dan yayasan juga perlu membangun
komunikasi dengan pihak-pihak lainnya, semisal para ahli literasi media dan juga
para donatur yang mempunyai minat terhadap pendidikan literasi media untuk
bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan literasi media.
4.4.3.3 Lembaga Keagamaan
Peran lembaga-lembaga keagamaan juga dibutuhkan dalam upaya
pendidikan literasi media. Para tokoh dalam lembaga-lembaga keagamaan (tokoh
agama) berkewajiban untuk memberikan pemahaman kepada umatnya
(masyarakat) berkaitan dengan literasi media. Tokoh-tokoh agama adalah opinion
leader (pemimpin opini) dalam masyarakat sebab mereka memiliki kemampuan
untuk memengaruhi khalayak, mempunyai kesempatan untuk menyebarluaskan
informasi, dan memiliki kredibilitas dalam menyampaikan informasi. Pendapat
dari opinion leader biasanya merupakan acuan atau pedoman bagi masyarakat.
Oleh karena itu tokoh-tokoh agama dapat dijadikan sebagai ujung tombak dalam
memberikan pemahaman tentang literasi media kepada masyarakat.
Peran tokoh agama pada masing-masing agama diperlukan dalam
memberikan pemahaman kepada masyarakat berkaitan dengan literasi media.
Dalam Gereja Katolik, misalnya, peran Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja
sejagat dan Uskup sebagai pemimpin Gereja lokal dapat ditunjukkan dalam
100
bentuk imbauan-imbauan. Contohnya adalah pesan-pesan Paus pada hari
Komunikasi Sosial (KOMSOS) sedunia dan surat gembala prapaskah Uskup. Paus
biasanya menulis pesan-pesannya pada hari komunikasi sosial sedunia dengan
tema-tema yang relevan dengan literasi media, misalnya pada tahun 2018 Paus
menulis pesannya dengan tema “Kebenaran itu akan Memerdekakan Kamu (Yoh
8:32): Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian”,196
dan kemudian pada tahun
2019 Paus menulis pesannya lagi dengan tema “Kita adalah Sesama Anggota (Ef
4:25): Berawal dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani”.197
Para uskup, dalam surat gembala prapaskah juga bisa mengangkat tema-
tema yang relevan dengan literasi media. Ada beberapa Uskup yang sudah
mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan literasi media dalam menulis
surat gembala prapaskahnya. Misalnya Uskup keuskupan Banjarmasin yang
mengangkat tema “Berevaluasi dan Bersyukur, Bijak Berteknologi Menuju
Kalimantan Baru” dalam surat gembala prapaskah pada tahun 2019.198
Selain itu,
Uskup Keuskupan Agung Samarinda juga mengangkat tema tentang literasi
media, yakni: “Gunakanlah Alat-alat Modern dengan Baik dan Bijak” dalam surat
gembala prapaskah pada tahun 2019.199
Imbauan-imbauan semacam ini kemudian ditindaklanjuti oleh tokoh-tokoh
agama Katolik lainnya dalam hal ini para imam dan biarawan-biarawati dalam
bentuk kotbah-kotbah, seruan-seruan, imbauan-imbauan, dan juga dalam bentuk
katekese-katekese yang dibuat di komunitas-komunitas umat dan juga di lembaga-
lembaga pendidikan. Agar imbauan-imbauan ini menjadi efektif, para tokoh-tokoh
agama ini harus berkomitmen untuk tanpa henti meneruskan imbauan-imbauan ini
196
RD. Kamilus Pantus, “Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi ke-52, 2018”,
Mirificanews, 19 Februari 2018, https://www.mirifica.net/2018/02/19/pesan-paus-fransiskus-
untuk-hari-komunikasi-ke-52-2018/, diakses pada tanggal 18 Maret 2020. 197
RD. Kamilus Pantus, “Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi ke-53”, Mirificanews, 15
Februari 2019, https://www.mirifica.net/2019/02/15/pesan-paus-untuk-hari-komunikasi-sedunia-
ke-53/, diakses pada tanggal 18 Maret 2020. 198
Keuskupan Ketapang, “Surat Gembala Prapaskah 2019 Uskup Keuskupan Ketapang”,
http://keuskupanketapang.org/warta-keuskupan/surat-gembala-prapaskah-2019-keuskupan-
ketapang/, diakses pada tanggal 10 Mei 2020. 199
Keuskupan Agung Samarinda “Surat Gembala Prapaskah 2019 Uskup Keuskupan Agung
Samarinda”, https://www.sesawi.net/surat-gembala-prapaska-2019-keuskupan-agung-samarinda-
peraturan-puasa-dan-pantang-app/, diakses pada tanggal 10 Mei 2020.
101
sehingga umat (masyarakat) menjadi lebih sadar akan dampak negatif dari media
dan menjadi lebih kritis dan bijak dalam bermedia.
Para tokoh-tokoh agama juga perlu memikirkan strategi-strategi dan cara-
cara lain dalam memberikan pemahaman tentang literasi media kepada
masyarakat. Strategi-strategi dan cara-cara yang dimaksudkan di sini adalah yang
sedikit lebih bersifat akademis, misalnya seminar, diskusi, sosialisasi, pelatihan-
pelatihan, dan juga membangun rumah baca dan mendatangkan buku-buku
tentang literasi media. Sosialisasi dan pelatihahan-pelatihan literasi media ini
dapat juga diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, semisal
pembinaan dan pendampingan orang tua calon babtis, pembinaan dan
pendampingan orang tua dan anak calon sambut baru dan krisma, pembinaan dan
pendampingan OMK (Orang Muda Katolik), dan juga pembinaan dan
pendampingan calon nikah dalam kursus persiapan perkawinan. Memasukkan
literasi media sebagai salah satu bagian dalam kursus persiapan perkawinan
adalah sebuah keharusan sebagai suatu cara untuk mempersiapakan orangtua yang
matang dalam bermedia. Dengan demikian mereka dapat menjadi contoh atau
panutan yang baik bagi anak-anak mereka.
4.4.4 Media
Media merupakan sarana komunikasi yang berperan sebagai komunikator
serta agen atau pelopor perubahan dalam lingkungan publik yang dapat
memengaruhi khalayak melalui pesan berupa informasi, hiburan, pendidikan,
maupun pesan-pesan lainnya dan dapat dijangkau masyarakat secara luas. Dewasa
ini, di era globalisasi yang semakin cepat, peran media dalam kehidupan manusia
sehari-hari tidak dapat dihindari lagi. Media memiliki peran dan pengaruh yang
sangat siginifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Mengingat bahwa posisi
media dalam kehidupan masyarakat begitu penting maka sudah saatnya media
menjadi pelopor gerakan literasi media di tengah membanjirnya hoaks. Media
harus hadir untuk mendidik masyarakat agar tidak terjebak dalam informasi-
informasi yang sifatnya hoaks. Di sini media hadir sebagai wahana belajar publik.
102
Dalam sejarah gerakan literasi media di Indonesia, meskipun tidak
dominan, media tetap memegang peran penting. Studi yang dilakukan oleh Pusat
Kajian Media dan Budaya Populer sebagaimana dikutip oleh Novi Kurnia
menunjukkan bahwa media adalah salah satu penggerak literasi media, selain
lembaga swadaya masyarakat dan sekolah. Saat itu, fokus gerakan literasi adalah
meningkatkan kemampuan literasi media masyarakat dalam mengkonsumsi
produk cetak maupun siaran televisi.200
Data yang kurang lebih sama juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Media
(Japelidi) pada tahun 2017. Media (0.4%) merupakan salah satu pelaku kegiatan
literasi media selain perguruan tinggi, instansi pemerintah, komunitas, lembaga
swadaya masyarakat, sekolah, korporasi, asosiasi profesi, dan organisasi massa.201
Data-data tersebut di atas menunjukkan bahwa media sudah terlibat dalam
pendidikan literasi media. Contohnya adalah pada tahun 2018 Tempo Institute
yang berkolaborasi dengan berbagai komunitas jaringan pegiat literasi media
seperti Yukepo, ICT Watch, Siberkreasi dan Mafindo menyelenggarakan Tempo
Goes to Campus (TGTC). TGTC ini dilakukan untuk mencari duta kampanye anti
hoaks di 10 kota yakni Cilegon, Bandung, Aceh, Batam, Pontianak, Palu,
Makassar, Halmahera, Ambon dan Manado. Tujuan dari kegiatan ini adalah
mengajak mahasiswa untuk bisa bersikap kritis terhadap segala informasi yang
mereka terima sehingga mereka bisa menangkal hoaks. Upaya terlibat dalam
pendidikan literasi media juga dilakukan oleh Kompas.com. Berkolaborasi dengan
Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Kompas.com melakukan pemeriksaan
fakta terkait dengan pernyataan dua kandidat presiden setelah debat kedua Pilihan
Presiden (Pilpres) 2019 yang lalu melalui metode restricted search method
(metode pencarian terbatas). Kolaborasi ini menunjukkan peran aktif media berita
untuk berkolaborasi dengan perguruan tinggi dalam membuat program verifikasi
fakta yang hasilnya dipublikasikan di media daring sehingga bisa diakses luas
200
Novi Kurnia, “Peran Media dalam Mewujudkan Demokrasi Damai melalui Gerakan Literasi
Digital”, dalam Wicaksono (ed.), op. cit., hal. 42. 201
Ibid.
103
oleh masyarakat. Dengan begitu, upaya meminimalisasi hoaks politik bisa ditekan
seminimal mungkin.202
Upaya pendidikan literasi media juga dilakukan oleh 24 jurnalis dari
berbagai media antara lain Kontan.co.id, Tempo.co, Merdeka.com, Suara.com,
Liputan6.com, KBR.id, Kabar Makasar, Kabar Medan, Kompas.com, Viva.co.id,
Detik.com, Dream.co.id, Beritasatu.com, Katadata.co.id, dan Bisnis.com, yang
didukung oleh Google Indonesia, AJI Indonesia, dan Cekfakta.com dari
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Kegiatan ini dibuat dalam bentuk
live fact check (cek fakta langsung) dalam debat pilpres 2019 yang lalu. Tujuan
dari kegiatan ini adalah memberantas hoaks politik jelang pemilu sekaligus
sebagai langkah awal dalam membangun kerja sama media dalam gerakan literasi
media.203
Keterlibatan media dalam pendidikan literasi media sebagaimana contoh
di atas memang patut diapresiasi, tetapi harus diakui bahwa jumlahnya masih
sangat terbatas dengan area yang terbatas pula. Oleh karena itu dibutuhkan lagi
gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan lain yang kreatif dan inovatif yang
melibatkan masyarakat luas. Gerakan-gerakan dan kegiatan-kegiatan ini harus
dibuat secara berkala, sehingga targetnya bisa tercapai dan manfaatnya sungguh-
sungguh dirasakan khalayak banyak. Ada beberapa hal berikut yang mungkin baik
dibuat oleh media dalam rangka pendidikan literasi media:
Pertama, membuat pelatihan jurnalistik. Berkaitan dengan hal ini, media
pertama-tama perlu melakukan beragam pelatihan jurnalistik yang relevan untuk
membekali jurnalisnya agar mempunyai bekal cukup supaya tidak terjebak dalam
praktik jurnalisme buruk yang bisa menyeret ke dalam pusaran kekacauan
informasi (hoaks). Pelatihan jurnalistik ini juga perlu dibuat untuk masyarakat
umum dan lebih khususnya untuk para pelajar dan mahasiswa. Media perlu
mengirim wartawannya ke sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi untuk
memberikan pendidikan media kepada siswa-siswi dan mahasiwa-mahasiwi,
seperti yang dilakukan oleh BBC Inggris yang pada Maret 2018 mengutus
202
Novi Kurnia, “Media dan Gerakan Literasi”, op. cit., hal. 22. 203
Ibid., hal. 21-23.
104
wartawannya ke lebih dari 1000 Sekolah Menengah Pertama di Inggris untuk
mengajarkan kemampuan verifikasi informasi kepada para siswa.204
Kedua, melakukan kolaborasi dengan media lain, dengan komunitas, dan
ataupun dengan organisasi lain yang bergerak di bidang literasi media. Kolaborasi
ini dapat dibuat dengan cara bersama-sama menyelenggarakan seminar, diskusi,
sosialisasi, dan atau kampanye terbuka untuk mengajak masyarakat khususnya
kaum muda untuk meningkatkan kompetensi literasi media. Kaum muda yang
mempunyai pikiran dan sikap kritis dalam mengelola informasi merupakan salah
satu benteng dalam upaya menangkal penyebaran hoaks. Media-media yang
berbasis internet bisa melaksanakan aktivitas-aktivitas literasi media ini secara
online sehingga bisa melibatkan semakin banyak khalayak.
Ketiga, membuat dan memuat iklan-iklan tentang literasi media dan juga
memberi ruang yang cukup bagi tulisan-tulisan yang bertemakan literasi media.
Tulisan-tulisan ini pada waktu tertentu bisa dikumpulkan dan kemudian
diterbitkan menjadi buku.
Keempat, menyisihkan sebagian pendapatannya untuk secara formal
mendukung program atau gerakan literasi media yang buat oleh pemerintah dan
atau komunitas pegiat literasi media. Tak bisa dimungkiri bahwa media telah
meraih keuntungan ekonomi dari masyarakat lewat pemberitaan dan juga iklan-
iklan yang mereka tampilkan. Oleh karena itu media memiliki kewajiban moral
untuk mendidik masyarakat, salah satunya contohnya adalah dengan menyisihkan
sebagian pendapatannya untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan literasi media.
Sebagai salah satu pelaku dalam pendidikan literasi media, meskipun
masih terbatas, media perlu melakukan beragam program dan kegiatan yang
kreatif dan inovatif. Media perlu memikirkan inovasi baru dalam ragam program
maupun cara pelaksanaannya agar lebih sesuai dengan khalayak target.
204
Terry Muthahhari, “Kembali ke Sekolah Melawan Hoax”, Tirto.id, 8 Desember 2017,
https://tirto.id/kembali-ke-sekolah-melawan-hoax-cBl3, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
105
4.4.5 Pemerintah
Salah satu dampak negatif dari media adalah produksi dan penyebaran
hoaks. Usaha mencegah dan memberantas hoaks memang sulit dilakukan di
tengah pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Namun hal itu
tidak berarti bahwa usaha pemberantasan hoaks tidak akan bisa berhasil.
Pemerintah yang memiliki kekuasaan dan mempunyai perangkat-perangkat
hukum yang kuat tentunya memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mencegah
dan memberantas hoaks.
Sejauh ini pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan konkrit untuk
menangani persoalan penyebaran hoaks di Indonesia. Tindakan-tindakan itu
antara lain; pertama, pemblokiran situs yang bermasalah. Upaya ini dibuat dengan
maksud agar situs-situs tidak bisa beroperasi dan diakses lagi oleh masyarakat.
Kedua, pembentukan Badan Siber Nasional. Badan ini bertujuan sebagai payung
atau regulator seluruh aktivitas di dunia siber. Ketiga, kerja sama dengan Dewan
Pers. Kerja sama ini dibuat dengan maksud agar Dewan Pers memverifikasi media
untuk memastikan perusahaan media bekerja secara profesional. Keempat, kerja
sama dengan pihak Facebook. Kerja sama ini dilakukan dengan tujuan
meningkatkan penyaringan berita untuk mengurangi penyebaran hoaks.205
Namun
tindakan-tindakan ini belum cukup untuk membendung penyebaran hoaks karena
sifatnya masih kuratif dan belum preventif.
Pola penyelesaian semacam ini hanya bertendensi memperketat kontrol
terhadap media dan masyarakat pengguna media. Fokus perhatian ditujukan
kepada pelaku atau operator media dan yang ditonjolkan adalah pendekatan
kontrol. Mesti diakui bahwa pendekatan semacam ini memang dibutuhkan dan tak
terelakkan. Namun pendekatan ini tidak akan efektif jika tidak ada proses
pendidikan masyarakat. Pemerintah semestinya tidak mengabaikan hal yang tidak
kalah penting, yakni penanganan dampak media yang berfokus kepada
masyarakat sebagai pengguna media. Pendekatan kontrol semestinya dibarengi
dengan pendekatan pendidikan literasi media. Pendidikan literasi media sejauh ini
205
Kurniawan Hari Siswoko, op. cit., hal. 18.
106
masih dianggap sebelah mata, terkesan menjadi unsur penyedap program-program
media dan teknologi informasi.
Jika mempertimbangkan begitu besar ketergantungan masyarakat terhadap
berbagai jenis media saat ini, sudah saatnya ada regulasi atau strategi tentang
pendidikan literasi media yang lebih berfokus kepada masyarakat. Pendekatan
pendidikan literasi media akan jauh lebih menjanjikan karena bersentuhan
langsung dengan masyarakat yang adalah kelompok yang paling rentan terhadap
dampak negatif media. Lebih dari itu pendidikan literasi media menjadi langkah
preventif untuk menekan dan mencegah lajunya penyebaran hoaks. Oleh karena
itu pendidikan literasi media menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan. Ada
beberapa hal yang harus dibuat oleh pemerintah dalam rangka pendidikan literasi
media ini:
Pertama, memasukkan literasi media ke dalam kurikulum resmi
pendidikan. Sudah saatnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan literasi media ke dalam kurikulum
resmi pendidikan. Literasi media harusnya menjadi mata pelajaran dan mata
kuliah wajib di lembaga-lembaga pendidikan formal. Hal ini tentu akan sangat
efektif karena menyentuh langsung siswa dan mahasiswa yang adalah kelompok
yang paling rentan terhadap potensi dampak negatif media. Kita mesti belajar dari
negara-negara lain, semisal Inggris, AS, Kanada, Australia, dan Jepang, yang
sudah mengintegrasikan literasi media ke dalam kurikulum sekolah dasar,
sehingga kemampuan literasi media warga di negara-negara tersebut pada
umumnya cukup baik.206
Namun jika pemerintah mengalami kesulitan dalam hal
ini, setidaknya pemerintah mendorong sekolah-sekolah dan juga perguruan tinggi
untuk membuka diri terhadap ide literasi media.
Kedua, secara berkala menyelenggarakan seminar dan kampanye tentang
literasi media. Seminar dan kampanye ini mestinya terbuka untuk umum. Artinya
melibatkan seluruh lapisan masyarakat sehingga efeknya dapat dirasakan oleh
semua pihak secara luas. Praksisnya selama ini kegiatan-kegiatan semacam ini
sifatnya tertutup karena hanya diperuntukkan untuk kelompok-kelompok tertentu
206
Hendriyani dan B. Guntarto, loc. cit.
107
saja dengan jumlahnya yang terbatas. Misalnya seminar yang terjadi di Ledalero
pada tanggal 26 Oktober 2019 yang diinisiasi oleh oleh anggota Komisi I DPR RI,
Dr. Andreas Hugo Parera dalam kerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan
Informatika. Hemat penulis seminar ini sangat tertutup karena peserta seminarnya
dibatasi hanya sampai 100 lebih orang saja. Akibatnya efek dari seminar ini hanya
dirasakan oleh segelintir orang saja.
Ketiga, mendukung setiap kegiatan literasi media yang difasilitasi oleh
pihak swasta, semisal pegiat literasi media, LSM, dan lembaga keagamaan.
Pemerintah mesti membantu menyiapkan sarana dan prasarana, serta anggaran
yang memadai untuk mendukung setiap kegiatan yang berhubungan dengan
gerakan literasi media, semisal penerbitan buku-buku tentang literasi media dan
juga kegiatan diskusi, seminar, penyuluhan, dan lokakarya yang bertemakan
literasi media sehingga kegiatan-kegiatan ini dapat berjalan efektif dan
komprehensif. Pemerintah mesti mengalokasikan dana yang cukup untuk
pendidikan literasi media di Indonesia, yang bersumber pada APBN dan APBD,
sehingga menghindari ketergantungan pihak swasta pada donatur dari luar (pihak
asing), semisal International Children’s Centre, Asian Media, Information and
Communication Centre (AMIC) Singapore, dan UNICEF.207
Keempat, membangun rumah-rumah baca dengan fasilitas yang memadai.
Pemerintah harus membangun rumah-rumah baca yang dekat dengan masyarakat.
Artinya tidak hanya berpusat di wilayah perkotaan, tetapi juga di daerah-daerah
pedesaan. Fasilitas-fasilitas dalam rumah baca juga perlu diperhatikan, misalnya
kelengkapan koleksi buku. Kehadiran rumah-rumah baca dengan fasilitas yang
memadai akan sangat membantu mambangkitkan dan meningkatkan minat baca
masyarakat sehingga tercipta masyarakat yang cerdas dan kritis, termasuk cerdas
dan kritis dalam bermedia.
4.5 Pentingnya Pendidikan Literasi Media sebagai Penangkal Penyebaran
Hoaks
Tidak bisa dimungkiri bahwa saat ini teknologi komunikasi dan informasi
berkembang begitu cepat dan pesat. Hadirnya berbagai macam bentuk media
207
Iswandi Syahputra, loc. cit.
108
komunikasi yang lebih interaktif sebagai anak kandung dari perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi, membuat individu memiliki kebebasan
untuk memilih dan mengontrol kebutuhan akan informasi bagi dirinya sendiri.
Media komunikasi yang telah bermetamorfosis menjadi media digital dengan
perkembangannya yang semakin beragam memungkinkan setiap orang untuk
memproduksi dan mereproduksi pesan sesuai dengan keinginannya. Akibatnya
terjadilah banjir informasi yang pada akhirnya membawa orang pada arus
informasi yang sulit untuk diketahui kebenarannya. Hoaks atau berita bohong
menjadi sulit dibedakan dengan fakta ketika hoaks diproduksi dan dikemas
sedemikian rupa sehingga orang menjadi tidak sadar ketika berada dalam pusaran
arus hoaks atau berita bohong.
Fenomena membanjirnya informasi sebagai akibat dari penetrasi media
yang semakin gencar ini harus diimbangi dengan kemampuan literasi media.
Setiap orang dituntut untuk memiliki kemampuan literasi media agar mampu
membedakan informasi hoaks dan bukan hoaks. Kompetensi dan keterampilan
literasi media harus dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat khususnya mereka
yang kemudian menjadi sumber informasi. Orang tidak boleh hanya sekadar
membaca dan memperoleh informasi dan kemudian membagikannya, tetapi dalam
proses memperoleh informasi tersebut, orang harus mendayagunakan kemampuan
akalnya, sehingga tidak terjebak dalam informasi hoaks.
Jalan utama untuk mengantisipasi hoaks adalah dengan membangun
kompetensi publik. Upaya membangun kompetensi publik ini dapat dilakukan
dengan memberikan pendidikan literasi media. Melalui berbagai metode,
masyarakat sebagai khalayak aktif harus dikenalkan perihal dasar-dasar
kecukupan informasi, konsekuensi-konsekuensi terkait persebaran informasi,
kesadaran akan bentuk-bentuk teknologi informasi yang dapat memengaruhi
mereka, hingga pengetahuan metodis tentang bagaimana mengecek dan atau
memverifkasi informasi yang akan mereka konsumsi. Pendidikan literasi media
penting untuk dilakukan dalam rangka memberikan penyadaran dan pengenalan
akan informasi yang beredar di media. Setidaknya pengguna media bisa
109
mengetahui informasi yang sifatnya fakta atau hoaks dengan mengenali dari ciri-
cirinya.
Tujuan dari pendidikan literasi media adalah untuk menghasilkan khalayak
yang bisa memahami dan mengetahui isi media, efek media, dan industri media.
Pendidikan literasi media juga membuat seseorang lebih memahami diri sendiri
dan kebutuhan informasi yang tepat bagi diri sendiri. Jika khalayak berusaha
untuk bisa menganalisis, memahami, mencari titik permasalahan hingga
merekonstruksi informasi, dan menceritakan kembali dengan bahasa yang
sederhana, maka kemampuan literasi media akan semakin meningkat.
Menurut Potter sebagaimana dikutip oleh Nisya Rifiani semakin tinggi
tingkat literasi media seseorang maka semakin banyak makna pesan yang dapat
digali dari konten media yang diterimanya, sebaliknya semakin rendah tingkat
literasi media seseorang maka semakin sedikit atau semakin dangkal makna yang
dapat mereka ambil dari pesan yang mereka terima.208
Khalayak yang memiliki
tingkat literasi media yang tinggi memiliki banyak pilihan untuk untuk
menafsirkan sebuah pesan atau informasi. Mereka akan kritis dalam menilai
keakuratan sebuah informasi sebelum menerima itu sebagai kebenaran dan karena
itu mereka sulit untuk terjebak dalam informasi hoaks. Sebaliknya khalayak yang
memiliki tingkat literasi media yang rendah akan cenderung menerima begitu saja
informasi dari media tanpa melakukan refleksi kritis. Mereka tidak menyadari
bahwa informasi yang disampaikan mengandung banyak makna dan merupakan
sebuah interpretasi dan karena itu mereka cenderung menerima pesan apa adanya
tanpa menggali lebih dalam makna yang tersirat dari berita atau informasi yang
mereka dapatkan. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menilai keakuratan
sebuah pesan atau informasi.
Literasi media adalah hal yang perlu digenjot untuk menangkis atau
menangkal penyebaran hoaks dan untuk mengantisipasi keterlalu-percayaan
warga terhadap suatu informasi. Literasi media membuat masyarakat dapat
menunda keyakinannya, dan memberikan waktu untuk melakukan verifikasi
208
Nisya Rifiani, “Studi Literasi Media (Bagian IV)”, https://nisyarifiani.blogspot.com/2013/03/
kuliah-komunikasi-media-literacy-4.html, diakses pada tanggal 15 November 2019.
110
terhadap suatu informasi. Penulis memahami bahwa kepercayaan seseorang
terhadap hoaks itu terjadi karena rendahnya tingkat literasi media sehingga tidak
mampu memilah informasi yang benar dan yang tidak benar. Jika orang tidak
memiliki kemampuan literasi media yang cukup, maka orang tersebut akan mudah
percaya terhadap berita-berita yang tersebar. Tidak peduli berita itu benar atau
tidak. Jika judulnya menarik dan kontroversial, orang akan langsung
membagikannya tanpa ada proses analisis dan konfirmasi terlebih dahulu.
Pendidikan literasi media menjadi kebutuhan mendesak masyarakat di
tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Rendahnya
pengetahuan tentang literasi media dalam masyarakat pada zaman digital ini
menjadi salah satu alasan terbesar pengunaan media (media sosial) lebih ke hal-
hal yang bersifat negatif ketimbang ke hal-hal yang bersifat positif. Salah satu
penggunaan media ke arah yang bersifat negatif adalah seperti memproduksi dan
menyebarkan berita atau informasi-informasi yang bersifat hoaks. Dengan
pengetahuan literasi media masyarakat yang masih minim, maka penggiringan
opini melalui berita bohong atau hoaks sangat mudah dilakukan.
Upaya pendidikan literasi media menjadi suatu yang relevan untuk segera
dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan masyarakat dalam
merespon merebaknya berita-berita atau informaasi hoaks di media-media yang
berbasis internet terutama media sosial. Masyarakat yang memiliki kemampuan
literasi media cukup tinggi, tidak hanya sadar pada etika berkomunikasi saja,
tetapi juga memiliki keterampilan konstruktif dalam menerima, memproduksi, dan
membagikan muatan informasi atau berita.
Pendidikan literasi media menawarkan solusi dalam rangka menghadapi
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi agar terbentuk keseimbangan
terutama dalam memelihara harmoni di dalam masyarakat. Menjadi literat media
berarti dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan, dan
berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini,
bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengelaborasi,
mengkomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan etika, dan memahami kapan dan
bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan.
111
Termasuk juga kesadaran dan berpikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan
negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan media (teknologi) dalam
kehidupan sehari-hari. Memacu individu untuk beralih dari konsumen informasi
yang pasif menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian
dari komunitas. Literasi media akan menciptakan tatanan masyarakat dengan pola
pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Masyarakat tidak akan mudah termakan
oleh isu-isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, dan atau korban
penipuan. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan
cenderung aman dan kondusif.
112
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Hoaks adalah suatu kebohongan yang dibuat oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk menyerang pihak-pihak tertentu dan digunakan untuk
kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan
kelompok. Dalam konteks Indonesia, masifnya penyebaran hoaks disebabkan oleh
beberapa faktor berikut:
Pertama, meningkatnya penggunaan internet. Persentase penggunaan
internet di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya
penggunaan internet di Indonesia didukung dengan menjamurnya perangkat
mobile (smartphone) yang dapat terkoneksi dengan internet dan menyediakan
beragam aplikasi yang populer di masyarakat, dengan harganya yang terjangkau
sehingga memungkinkan semua lapisan masyarakat dapat memilikinya.
Keberadaan internet membuat publik semakin mudah mengakses beragam
informasi dan berita, sebab internet menghadirkan dan menyebarkan ratusan
bahkan ribuan informasi setiap harinya. Namun imbasnya informasi yang belum
terverifikasi benar dan tidaknya tersebar dengan cepat. Hanya dalam hitungan
detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna
internet.
Kedua, tingginya budaya berbagi informasi. Masyarakat Indonesia
memang memiliki karakteristik “suka bercerita” sehingga sifat ini juga terbawa
dalam cara mereka berkomunikasi dengan menggunakan media sosial. Sering
terjadi bahwa para pengguna media sosial ini membagikan sebuah informasi yang
mereka dapatkan tanpa melakukan pengecekan terhadap kebenarannya. Mereka
kadang bahkan tidak tahu dari mana sumber berita tersebut. Banyak yang
langsung percaya dan secara tergesa-gesa membagikan berita atau informasi
tersebut kepada pengguna lainnya. Pengguna lain yang mendapat informasi ini
juga acapkali memiliki kecenderungan yang sama dengan pengguna sebelumnya,
tanpa menganalisis lebih jauh tentang informasi yang mereka terima, langsung
113
membagikan kembali informasi yang mereka dapatkan itu. Demikian terus
berlanjut sehingga berita yang sebenarnya belum sempat divalidasi kebenarannya
itu malah telah menjadi viral dan dipercaya oleh masyarakat. Kecenderungan suka
berbagi informasi ini didukung oleh kemudahan akses media sosial melalui
smartphone, kemudahan untuk membuat akun, termasuk membuat lebih dari satu
akun ataupun akun palsu dengan menggunakan nama samaran. Dengan memiliki
banyak akun, masyarakat pada akhirnya dapat dengan bebas berbagi cerita,
bergosip, dan bahkan membagi dan mengkonsumsi berita-berita yang
kebenarannya belum terverifikasi.
Ketiga, rendahnya tingkat literasi media. Rendahnya tingkat literasi media
ini dapat ditunjukkan dari masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia,
sekolah belum menjadi aktor utama dalam program-program literasi media,
rendahnya kesadaran masyarakat untuk memahami urgensi literasi media, dan
masih lemahnya dukungan pemerintah. Fenomena rendahnya tingkat literasi
media ini mengakibatkan masyarakat menjadi tidak kritis dalam menerima dan
menyebarkan suatu informasi. Masyarakat menjadi tidak mampu dalam
mendayagunakan atau memanfaatkan media secara baik dan bijak, misalnya
menjadikan media sebagai sarana untuk menyebarkan hoaks yang dikonsumsinya
kepada orang lain untuk dijadikan konsumsi publik.
Hoaks yang berkembang di Indonesia saat ini memiliki tujuan-tujuan
tertentu yang melatarbelakanginya. Tujuan-tujuan itu antara lain:
Pertama, politik. Hoaks sering kali diproduksi dan disebarluaskan untuk
kepentingan politik. Hoaks dijadikan sebagai instrumen politik. Praktik produksi
dan penyebaran hoaks oleh sebagian politisi atau pendukung politisi tertentu
dianggap sebagai bagian dari komoditas politik, terutama terkait dengan eskalasi
suhu politik menjelang Pilkada, Pileg, dan Pilpres. Kebanyakan hoaks politik
yang muncul menyangkut politik identitas, bukan program atau visi-misi
kandidat, sehingga yang terjadi adalah bergesernya model kampanye dari
kampanye positif menjadi kampanye negatif. Kampanye negatif biasanya penuh
dengan ujaran kebencian, fitnah, dan hasut yang dikemas dalam bentuk hoaks-
hoaks. Isu-isu terkait SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) adalah
114
persoalan politik identitas. Isu-isu ini menjadi komoditas politik yang dimobilisasi
dengan liar dalam bentuk hoaks-hoaks.
Kedua, ekonomi. Secara ekonomi, hoaks dapat dijadikan sebagai bisnis
dan industri baru yang menjanjikan. Konten-konten hoaks yang berbau ujaran
kebencian dan berbau SARA bisa menjadi lahan berdirinya industri skala besar
untuk mengais dan memperoleh keuntungan. Dengan relatif terbukanya platform
internet dan media sosial dan kemudahan serta kedinamisan aksesibilitasnya,
setiap orang bisa menjadi produsen informasi dengan keuntungan yang
menjanjikan dari iklan. Bisnis hoaks ini dapat menjadi besar tidak hanya karena
dukungan dari platform penyedia iklan seperti Google Adsense, tetapi juga karena
ada permintaan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para politisi. Para politisi
biasanya membeli jasa pengelola situs-situs hoaks ini untuk mendapatkan
pengaruh politik dalam hal ini untuk meningkatkan popularitas mereka dan atau
untuk menebar kebencian dan hasutan untuk menjatuhkan lawan politik mereka.
Ketiga, agama. Hoaks-hoaks yang diproduksi dan kemudian disebarkan
dalam masyarakat bukan saja berkutat pada urusan politik dan ekonomi saja,
melainkan juga disisipi dengan sentimen-sentimen keagamaan tertentu. Agama
acap kali menjadi salah satu alasan orang memproduksi dan menyebarkan hoaks.
Hoaks-hoaks yang bermotif agama, pada titik tertentu akan melahirkan aksi-aksi
ekstrim dan tindakan kekerasan dalam masyarakat. Hoaks tentang agama atau
yang mengatasnamakan agama adalah isu yang paling sensitif, sehingga begitu
laku dalam masyarakat.
Masifnya produksi dan penyebaran hoaks dapat menimbulkan kecemasan
dan dapat mereproduksi konflik di dalam masyarakat. Akibatnya tatanan
demokrasi menjadi terancam. Dengan demikian hoaks berdampak buruk bagi
demokrasi. Ada beberapa contoh dampak buruk dari masifnya produksi dan
penyebaran hoaks di Indonesia:
Pertama, hilangnya ruang publik yang sehat. Ruang publik yang sehat
membutuhkan diskursus yang rasional yang didalamnya terjadi pertukaran
kebenaran dan wacana bermakna. Namun yang terjadi sekarang ini adalah
115
diskursus irasional, di mana prasangka dan emosi menjadi hal yang dikedepankan
daripada nalar dan debat argumentatif. Rasionalitas digantikan dengan
emosionalitas. Kejujuran dan akurasi tidak lagi menjadi prioritas utama dalam
diskursus ruang publik. Diskursus ruang pubik diambil alih oleh isu-isu SARA,
ujaran kebencian, fitnah, propaganda politik, dan paham-paham radikal-
fundamentalis yang dikemas dalam bentuk hoaks-hoaks. Hoaks-hoaks ini tentu
berpotensi memperbesar sentimentalitas kelompok-kelompok sosial, seperti suku,
agama, politik, dan budaya. Sentimentalisme, seperti perasaan benci, tidak suka,
dan agresif terhadap kelompok lain pada akhirnya menutup gerbang menuju suatu
diskursus rasional yang menjadi basis ruang publik dan demokrasi yang sehat.
Kedua, munculnya aksi intoleransi dan radikalisme agama. Fenomena
intoleransi dan radikalisme agama salah satunya disinyalir sebagai akibat dari
maraknya penyebaran hoaks. Banyak hoaks yang menyebar berkaitan dengan
faktor ideologi agama yang merupakan suatu hal yang sangat rentan dan sensitif
di masyarakat. Apabila hoaks-hoaks ini diterima dan diyakini sebagai kebenaran
oleh masyarakat, maka akibatnya adalah banyak masyarakat yang terprovokasi
dan kemudian melakukan aksi-aksi brutal dan anarkis. Dalam hal ini hoaks bisa
melahirkan fundamentalisme agama yang kemudian berpotensi menimbulkan
sikap dan tindakan intoleransi. Intoleransi merupakan pintu gerbang bagi aksi
radikalisme hingga dalam bentuknya yang paling ekstrim, yakni terorisme.
Ketiga, potensi lahirnya negara totaliter. Wacana perang terhadap hoaks
yang digencarkan oleh negara pada satu posisi perlu diapresiasi sebagai langkah
tepat untuk mematikan virus yang bernama hoaks ini. Namun pada posisi yang
lain, yakni pada posisi dekonstruktif, wacana perang terhadap hoaks mesti dikritisi
dan dicurigai karena bahaya potensi terlibatnya kekuasaan di balik wacana ini.
Negara mempunyai peralatan-peralatan yang lengkap dan memiliki kekuasaan
untuk menentukan segala sesuatu, termasuk menentukan mana informasi yang
merupakan hoaks dan mana yang bukan hoaks. Jika diperhatikan secara serius,
tampak bahwa pengendalian informasi, penentuan mana hoaks dan bukan adalah
cara halus untuk melenyapkan oposisi dalam politik dan untuk mengamankan
kekuasaan. Di sini negara memiliki segenap kekuatan untuk membunuh segala
116
informasi yang dianggap hoaks dan melahirkan hoaks-hoaks baru dalam
masyarakat. Wacana tentang perang terhadap hoaks patut dikritisi karena boleh
jadi wacana ini menjadi wadah bagi masuk dan tumbuhnya benih-benih
totalitarisme negara. Negara menjadi totaliter ketika dia mulai mengambil alih
diskursus publik, menentukan kebenaran, mengontrol cara berpikir, membatasi
kreasi dan ekspresi masyarakatnya, memutuskan mana yang harus dibicarakan
dan dilakukan warganya, dan menentukan mana yang harus ditonton dan dibaca
oleh masyarakat.
Salah satu cara untuk mengantisipasi dan menekan lajunya penyebaran
hoaks di Indonesia adalah dengan membangun kompetensi publik. Upaya
membangun kompetensi publik ini dapat dilakukan dengan memberikan
pendidikan literasi media. Pendidikan literasi media adalah suatu usaha untuk
mendidik dan mengajar masyarakat yang adalah pengguna media agar dapat
memiliki kompetensi dan keterampilan literasi media. Kompetensi dan
keterampilan literasi media sangat penting untuk dimiliki oleh masyarakat agar
masyarakat menjadi melek media, atau dengan kata lain menjadi pengguna media
yang bijak dan kritis.
Pendidikan literasi media menjadi kebutuhan mendesak masyarakat di
tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Rendahnya
pengetahuan tentang literasi media dalam masyarakat pada zaman digital ini
menjadi salah satu alasan terbesar pengunaan media (media sosial) lebih ke hal-
hal yang bersifat negatif ketimbang ke hal-hal yang bersifat positif. Salah satu
penggunaan media ke arah yang bersifat negatif adalah seperti memproduksi dan
menyebarkan berita atau informasi-informasi yang bersifat hoaks. Dengan
pengetahuan literasi media masyarakat yang masih minim, maka penggiringan
opini melalui berita bohong atau hoaks sangat mudah dilakukan.
Pendidikan literasi media menjadi suatu yang relevan untuk segera
dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan masyarakat dalam
merespon merebaknya berita-berita atau informasi hoaks di media-media yang
berbasis internet terutama media sosial. Masyarakat yang memiliki kemampuan
literasi media cukup tinggi, tidak hanya sadar pada etika berkomunikasi saja,
117
tetapi juga memiliki keterampilan konstruktif dalam menerima, memproduksi, dan
membagikan muatan informasi atau berita. Namun pendidikan literasi media ini
tidak dapat berjalan baik jika tidak ada upaya atau peran dari semua pihak. Semua
pihak mesti terlibat, bertanggung jawab, dan bahu membahu dalam memberikan
pendidikan literasi media kepada masyarakat. Pihak-pihak itu antara lain:
keluarga, lembaga pendidikan (SD sampai dengan perguruan tinggi, organisasi
non-pemerintah (partai politik, Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan, dan lembaga keagamaan), media, dan
pemerintah.
5.2. Usul dan Saran
Untuk menunjang upaya pendidikan literasi media, dibutuhkan peran atau
partisipasi dari berbagai pihak. Berikut beberapa usul dan saran yang penulis
berikan kepada pihak-pihak tertentu dalam rangka pendidikan literasi media:
Pertama, keluarga. Keluarga, dalam hal ini orang tua memiliki peran besar
dalam membangun kehidupan anak. Dalam rangka pendidikan literasi media,
peran orang tua sangat dibutuhkan. Orang tua perlu selalu mendampingi dan
mengarahkan anak untuk membiasakan pola hidup cerdas bermedia. Hal itu
berarti bahwa orang tua harus mengontrol perilaku anak dalam menggunakan
media, misalnya memberikan batasan waktu dan tempat penggunaan media.
Orang tua juga perlu memberikan pelbagai bentuk penjelasan yang logis tentang
dampak, baik positif maupun negatif dari penggunaan media sehingga anak bisa
mengetahui segala bentuk tujuan dan fungsi utama dari media.
Kedua, lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan adalah pihak yang
paling strategis dalam mengembangkan pendidikan literasi media. Memang
sampai dengan saat ini literasi media belum masuk dalam kurikulum resmi
pendidikan, tetapi bukan berarti lembaga pendidikan harus menutup diri dari ide
literasi media. Lembaga pendidikan perlu mengembangkan ide literasi media,
misalnya dengan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum yang sudah ada atau
menjadikannya sebagai ekstrakurikuler pada tingkat sekolah (SD sampai dengan
SMA) dan sebagai mata kuliah penunjang pada tingkat perguruan tinggi. Hal lain
118
yang perlu diupayakan oleh lembaga pendidikan adalah dengan
menyelenggarakan seminar atau sosialisasi tentang literasi media dan mengadakan
atau menambah jumlah dan koleksi buku tentang literasi media di perpustakaan.
Ketiga, organisasi non-pemerintah. Peran organisasi non-pemerintah,
dalam hal ini partai politik, Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Yayasan, dan lembaga keagamaan juga sangat
penting dan dibutuhkan dalam pendidikan literasi media. Organisasi-organisasi ini
dengan fungsinya masing-masing perlu juga memikirkan program-program yang
bersinggungan dengan pendidikan literasi media. Organisasi-organisasi ini harus
terlibat langsung dalam mendidik masyarakat dalam hal literasi media, misalnya
dengan menyelenggarakan seminar, sosialisasi, diskusi publik, kampanye-
kampanye terbuka, dan atau lewat himbauan-himbauan, pendampingan, dan
pelatihan-pelatihan. Jika memungkinkan organisasi-organisasi ini juga bisa
membangun rumah-rumah baca, menerbitkan dan atau mengadakan buku-buku
tentang literasi media, dan kemudian menyalurkannya ke rumah-rumah baca dan
juga ke lembaga-lembaga pendidikan
Keempat, media. Media memiliki peran dan pengaruh yang sangat
siginifikan dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Oleh karena itu
sudah saatnya media menjadi pelopor gerakan literasi media di tengah
masyarakat. Media harus hadir untuk mendidik masyarakat agar tidak terjebak
dan kemudian menjadi korban dari hoaks. Ada beberapa hal yang mungkin baik
dibuat oleh media dalam rangka pendidikan literasi media ini, yakni: membuat
pelatihan jurnalistik, baik kepada para wartawannya dan juga kepada masyarakat
umum terutama kepada anak-anak dan remaja, menyelenggarakan seminar,
diskusi, sosialisasi, dan atau kampanye terbuka, dan juga membuat dan memuat
iklan-iklan tentang literasi media dan juga memberi ruang yang cukup bagi
tulisan-tulisan yang bertemakan literasi media.
Kelima, pemerintah. Pemerintah yang memiliki kekuasaan dan
mempunyai perangkat-perangkat yang jelas tentunya memiliki tanggung jawab
lebih besar dalam memberikan pendidikan literasi media kepada masyarakat. Hal
pertama dan utama yang perlu dibuat oleh pemerintah dalam rangka pendidikan
119
literasi media ini adalah memasukan literasi media ke dalam kurikulum resmi
pendidikan dan atau mendorong lembaga-lembaga untuk membuka diri terhadap
ide literasi media, sebab literasi media akan jauh lebih terstruktur, sistematis, dan
efektif bila diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Hal lain yang perlu dibuat
oleh pemerintah adalah membangun rumah-rumah baca dengan fasilitas yang
memadai yang dekat dengan masyarakat dan menyelenggarakan seminar,
sosialisasi, dan kampanye terbuka tentang literasi media sehingga efeknya dapat
dirasakan oleh masyarakat secara luas. Pemerintah juga perlu mengalokasikan
dana yang cukup untuk mendukung setiap kegiatan literasi media.
Harus diakui bahwa upaya penangkalan hoaks tidak cukup hanya dengan
pendidikan literasi media. Pendidikan literasi media perlu dibarengi dengan
upaya-upaya lain sehingga penangkalan hoaks dapat berjalan efektif. Upaya-
upaya itu antara lain:
Pertama, penguatan regulasi hukum. Ada sejumlah pasal dalam UU
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang problematik, dalam hal ini
cendrung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lainnya.
Akibatnya upaya pemberantasan hoaks menjadi tidak efektif. Oleh karena itu
pemerintah dan DPR perlu bekerja sama untuk menyempurnakan undang-undang
UU ITE tersebut (revisi dan atau membuat pasal baru) sehingga menjadi jelas. Hal
tersebut diperlukan agar memberi landasan hukum yang jelas dan kuat dalam
melakukan pencegahan dan pemidanaan pelaku penyebaran hoaks. Sehingga
kemudian tidak menimbulkan kesan atau kecurigaan bahwa negara dengan
perangkat-perangkatnya secara sewenang-wenang memblokir situs-situs hoaks
dan menghukum para pelaku penyebaran hoaks.
Kedua, pendidikan hukum. Setelah menguatkan regulasi hukum, negara
perlu memberikan sosialisasi atau dengan kata lain memberikan pendidikan
terkait dengan regulasi hukum tersebut kepada masyarakat. Hal ini bukan
dimaksudkan untuk menakut-nakuti masyarakat, melainkan menyadarkan
masyarakat akan konsekuensi hukum dari penyebaran hoaks. Selain itu melalui
pendidikan hukum ini, masyarakat disadarkan untuk lebih hati-hati dalam
menyebarkan sebuah informasi.
120
Ketiga, pendidikan moral. Selain pendidikan hukum, pendidikan moral
juga perlu diberikan kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
selalu mengedepankan etika ketika berpendapat atau berkomunikasi khususnya
lewat media-media yang berbasis internet. Pendidikan moral ini menjadi tanggung
jawab semua pihak, baik itu keluarga, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan,
media, dan juga pemerintah.
Keempat, pengembangan pers yang bermutu. Pers yang bermutu adalah
pers yang selalu mengedepankan fakta objektif berdasarkan data-data yang akurat
dan netral dalam pemberitaan. Objektif dan netral berarti tidak mengakomodasi
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Pers yang bermutu akan selalu
melakukan cek fakta sebelum memberitakan sebuah informasi. Pers perlu
meningkatkan mutunya, sehingga bisa membangkitkan animo pembaca, dan
karena itu bisa mengalihkan perhatian masyarakat dari media-media abal-abalan
yang berbasis internet, yang memiliki kecenderungan untuk memberitakan
informasi-informasi yang kebenarannya belum diverifikasi.
121
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adiputra, Wisnu Martha dkk. Yuk, Lawan Hoaks Politik, Ciptakan Pemilu Damai.
Yogyakarta: Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM, 2019.
Alfons Duka, Agus. Komunikasi Pastoral Era Digital; Memaklumkan Injil di
Jagat Tak Berhingga. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.
Ali, Mukti. “Antara Komunikasi, Budaya dan Hoax”, dalam Aep Wahyudin dan
Manik Sunuantari, eds. Melawan Hoax di Media Sosial dan Media
Massa. Yogyakarta: Trustmedia Publishing, 2017.
Antoro, Billy. Gerakan Literasi Sekolah, Dari Pucuk Hingga Akar, Sebuah
Refleksi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Banyumurti, Indriyatno, Laila Ayu Karlina, dan Widuri. Modul Smart School
Online: Mengaplikasikan Penggunaan Internet Sehat dan Cerdas di
Sekolah, Panduan bagi Guru dan Orangtua. Jakarta: Perkumpulan Mitra
TIK Indonesia, 2018.
Bawa Atmadja, Nenga dan Luh Putu Sri Ariyani. Sosiologi Media: Perspektif
Teori Kritis. Depok: Rajawali Pers, 2018.
Budi Kleden, Paul. “Ratzinger Tentang Tema Politik”, dalam Paul Budi Kleden
dan Adrianus Sunarko, eds. Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-
Ratzinger dan Tanggapan. Yogyakarta: Penerbit Lamalera dan
Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
Budiastuti Wiratmo, Liliek. “Literasi Media Berbasis Komunitas”, dalam Dyna
Herlina Suwarto, ed. Gerakan Literasi Media di Indonesia. Yogyakarta:
Rumah Sinema, 2012.
Dosi, Eduardus. Media Massa dalam Jaring Kekuasaan. Maumere: Penerbit
Ledalero, 2012.
Dwi Andriani, Astri. “Tantangan Membangun Perdamaian di Era Milenial”,
dalam Wicaksono, ed. Demokrasi Damai Era Digital. Jakarta:
Siberkreasi, 2019.
Gusti, Otto. Politik Antara Legalitas dan Moralitas. Maumere: Penerbit Ledalero,
2009.
Hamid, Veronica. “Angin Harapan Demokrasi Digital, Nostalgia Demokrasi
Klasik, Transformasi Ruang Publik, dan Politisasi Media Sosial”, dalam
AE Priyono dan Usman Hamid, eds. Merancang Arah Baru Demokrasi:
Indonesia Pasca-Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia,
2014.
122
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan
Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Penerbit PT Kanisius, 2009.
------------------------. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik,
dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit
PT Kanisius, 2009.
------------------------. Demokrasi dan Sentimentalitas: Dari Bangsa Setan-setan,
Radikalisme Agama, sampai Post-Sekularisme. Yogyakarta: Penerbit PT
Kanisius, 2018.
Haryatmoko. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Hendriyani dan B. Guntarto. “Memetakan Literasi Media di Indonesia”, dalam
Dyna Herlina Suwarto, ed. Gerakan Literasi Media di Indonesia.
Yogyakarta: Rumah Sinema, 2012.
Hermawan, Herry. Literasi Media; Kesadaran dan Analisis. Yogyakarta:
Calpulis, 2017.
Hobbs, Renee. Digital and Media Literacy: A Plan of Action. Washington, D.C.:
The Aspen Institute, 2010.
Kunto Aribowo, Eric. “Menelusuri Jejak Hoaks dari Kacamata Bahasa:
Bagaimana Mendeteksi Berita Palsu Sedini Mungkin”, dalam Dr. Sawitri
Retnatiti, M.PD., Dra. Rosyidah, M.PD., dan Dr. Herri Akhmad Bukhori,
M.A., M.Hum, eds. Literasi dalam Pembelajaran Bahasa. Malang:
Universitas Negeri Malang, 2017.
Kurnia, Novi. “Media dan Gerakan Literasi”, dalam Departemen Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada. Jurnalisme, “Berita Palsu”, & Disinformasi Konteks Indonesia.
Jakarta, UNESCO Ofice, 2019.
----------------. “Peran Media dalam Mewujudkan Demokrasi Damai melalui
Gerakan Literasi Digital”, dalam Wicaksono, ed. Demokrasi Damai Era
Digital. Jakarta: Siberkreasi, 2019.
----------------. “Urgensi Literasi Digital Keluarga di Indonesia”, dalam Novi
Kurnia, ed. Literasi Digital Keluarga, Teori dan Praktik Pendampingan
Orangtua terhadap Anak dalam Berinternet. Yogyakarta: Center for
Digital Society (CFDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada, 2017.
Lilijawa, Isidorus. Perempuan, Media, dan Politik. Maumere: Penerbit Ledalero,
2010.
Dja‟far, Alamsyah M. Intoleransi! Memahami Kebencian dan Kekerasan Atas
Nama Agama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputido, 2018.
123
Mauludi, Sahrul. Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menghadapi
Pencemaran Nama Baik, Ujaran Kebencian, dan Hoax. Jakarta: PT. Elex
Media Komputido, 2018.
-------------------. Socrates Cafe. Bijak, Kritis, dan Inspiratif Dunia dan
Masyarakat Sekitar. Jakarta: PT. Elex Media Komputido, 2018.
Mazdalifah. “Mengembangkan Literasi Media di Perguruan Tinggi”, dalam Dyna
Herlina Suwarto, ed. Gerakan Literasi Media di Indonesia. Yogyakarta:
Rumah Sinema, 2012.
Nur R, Tri Hastuti. “Gerakan Literasi Media: Melindungi Anak-Anak dari
Gempuran Pengaruh Media”, dalam Dyna Herlina Suwarto, ed. Gerakan
Literasi Media di Indonesia. Yogyakarta: Rumah Sinema, 2012.
Purnama Sari, Wulan. “Literasi Media Sosial Sebagai Tindakan Preventif pada
Radikalisme dan Hoax”, dalam Fajar Junaedi dan Filosa Gita Sukmono,
eds. Komunikasi dalam Media Digital. Yogyakarta: Buku Litera
Yogyakarta, 2019.
Qodir, Zuly. Radikalisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Ratri Rahmiaji, Lintang. “Emak, Jangan Tabur Benci Di ddaku. Mengkaji Ulang
“The Power of Emak-Emak”, dalam Wicaksono, ed. Demokrasi Damai
Era Digital. Jakarta: Siberkreasi, 2019.
SB, Agus. Deradikalisasi Dunia Maya: Mencegah Simbiosis Terorisme dan
Media. Jakarta: Penerbit Daulat Press, 2016.
Sudiboyo, Agus. Jagat Digital: Penguasaan dan Penguasaan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2019.
Supelli, Karlina. “Ruang Publik Dunia Maya”, dalam F. Budi Hardiman, ed.
Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai
Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2010.
Suprati, Eko. “Pelatihan Literasi Media dengan Metode Kreatif untuk Remaja”,
dalam Dyna Herlina Suwarto, ed. Gerakan Literasi Media di Indonesia.
Yogyakarta: Rumah Sinema, 2012.
Surahman, Sigit. “Post-Truth, Masyarakat Digital, dan Media Sosial”, dalam
Fajar Junaedi dan Filosa Gita Sukmono, eds. Komunikasi dalam Media
Digital. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta, 2019.
Syahputra, Iswandi. “Literasi Media di Indonesia: Keragaman Pemahaman dan
Kegiatan”, dalam KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), Panduan
Sosialisasi Literasi Media Televisi; Pegangan untuk Narasumber.
Jakarta: KPI, 2011.
Ule, Silvester. Terorisme Global: Tinjauan, Kritik, dan Relevansi Pandanagan
Jean Baudrillard. Maumere: Penerbit Ledalero, 2011.
124
Wardle, Claire dan Hossein Derakhshan. “Thinking About „Information
Disorder‟: Formats of Misinformation, Disinformation, and Mal-
information” dalam Cherilyn Ireton dan Julie Posetti (eds), Journalism,
Fake News and Disinformation. Paris: UNESCO: 2018.
II. KAMUS
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Offline. Edisi V.
Hornby, A S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Seventh Edition. London:
Oxford University Press, 2006.
III. UNDANG-UNDANG
Republik Indonesia. “Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti”.
Republik Indonesia. “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi”.
Republik Indonesia. “Undang-undang Republik Indonesia tentang Penyiaran”.
IV. SKRIPSI DAN TESIS
Irianta, Yosal. “Model Pelatihan Literasi Media untuk Pembelajaran Khalayak
Media Massa: Studi Pengembangan Model Pelatihan Literasi
Keberdayaan Ibu Rumah Tangga Khalayak Media di Kota Bandung”.
Disertasi Doktor, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung,
2006.
Syaifullah, Ilham. “Fenomena Hoax di Media Sosial dalam Pandangan
Hermeneutika”. Skripsi Sarjana, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2018.
V. ARTIKEL JURNAL
Cristin Harnita, Pratiwi. “Masihkah Perlu Khalayak Belajar Literasi Media?”.
Jurnal Cakrawala, 6:1, Juni 2017.
Daven, Matias. “Politik Pemusnahan dan Pemusnahan Politik: Telaah Kritis Atas
Konsep Hannah Arendt tentang Totalitarisme”. Jurnal Ledalero, 14:1,
Juni 2015.
125
Eko Suharyanto, Cosmas. “Analisis Berita Hoaks di Era Post-Truth: Sebuah
Review”. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi, 10:2, Desember
2019.
Ganjar Herdiansah, Ari dan Randi. “Peran Organisasi Masyarakat (ORMAS) dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Menopang Pembangunan
di Indonesia”. Jurnal SOSIOGLOBAL, 1:1, Desember 2016.
Gumilar, Gumgum, Justito Adiprasetio, dan Nunik Maharani. “Literasi Media:
Cerdas Menggunakan Media Sosial dalam Menanggulangi Berita Palsu
(Hoax) Oleh Siswa SMA”. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1:1,
Februari 2017.
Hari Siswoko, Kurniawan. “Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran Berita
Palsu atau „Hoax‟”. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni,
1:1, April 2017.
Hariyono, Patrisius. “Fenomena Hoaks dan Demokrasi yang
Terinstrumentalisasi”. VOX, 62:02, 2017.
Juditha, Christiany. “Interaksi Simbolik dalam Komunitas Virtual Anti Hoaks
untuk Mengurangi Penyebaran Hoaks”. Jurnal PIKOM (Penelitian
Komunikasi dan Pembanguna), 19:1, Juni 2018.
Juliswara, Vibriza. “Mengembangkan Model Literasi Media yang
Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di
Media Sosial”. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 4:2, Agustus 2017.
Juwita, Rina. “Media Sosial dan Perkembangan Komunikasi Korporat”. Jurnal
Penelitian Komunikasi, 20:1, Juli 2017.
Kharizmi, Muhammad. “Kesulitan Siswa Sekolah Dasar dalam Meningkatkan
Kemampuan Literasi”. JUPENDAS, 2:2, September 2015.
Kleden, Frano. “Bahasa Era Pasca-Kebenaran dalam Tinjauan Hermeneutik
Kecurigaan Habermas”. Akademika, XXI:I, Desember 2017.
-------------------. “Hoaks, Radikalisme, dan Demokrasi”. VOX, 62:02, 2017.
Kurnia, Novi dan Santi Indra Astuti. “Peta Gerakan Literasi Digital di Indonesia:
Studi tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran, dan Mitra”.
Jurnal INFORMASI, 47:2, Desember 2017.
May, John. “Demokrasi dalam Genggaman Kekuasaan Penguasa”. VOX, 60:01,
2015.
Meo Ligo, Harris. “Hoaks: Media di Persimpangan Jalan”. VOX, 62 :02, 2017.
Bayu Muh. Khamin, Anggalih dan Muhammad Fahmi Sabri. “Konglomerasi
Media dan Partai Politik: Membaca Relasi MNC Group dengan Partai
Perindo”. POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik, 10:2, Oktober 2019.
126
Nurchaili. “Menumbuhkan Budaya Literasi Melalui Buku Digital”. LIBRIA, 8:2,
Desember 2016.
Paji, Johan. “Era (Politik) Pasca-Kebenaran dan Fenomena Anti-Intelektualisme”.
Akademika, XXI:I, Desember 2017.
Potter, W. James. The State of Media Literacy”, Journal of Broadcasting &
Electronic Media, 54:4. Desember 2010.
Swatika Sari, Esti dan Setyawan Pujiono. “Budaya Literasi di Kalangan
Mahasiswa FBS UNY”. LITERA, 16:1, April 2017.
Syukri, Muhammad, Anang Sujoko, dan Reza Safitri. “Gerakan dan Pendidikan
Literasi Media Kritis di Indonesia (Studi terhadap Yayasan
Pengembangan Media Anak)”. Jurnal Ilmu Komunikasi MEDIAKOM,
2:2, 2019.
Tan, Peter. “Hoaks, Demokrasi Kebablasan, dan Bahaya Kekuasaan”. VOX, 62 :
02, 2017.
VI. ARTIKEL MAJALAH
Gerung, Rocky. “Hoax dan Demokrasi”. Tempo, 6 Januari 2017.
VII. ARTIKEL SURAT KABAR/MAJALAH ONLINE
Al Ansori, Ayub. “Keterkaitan Radikalisme Agama dengan Fenomena Hoaks”.
STAIC, 12 November 2018 <https://staic.ac.id/keterkaitan-radikalisme-
agama-dengan-fenomena-hoaks.html>, diakses pada tanggal 25 Januari
2020.
Amindoni, Ayomi. “Razia buku: Mengapa buku-buku berhaluan kiri menjadi
sasaran?”. BBC News, 9 Januari 2019 <https://www.bbc.com/ indonesia
/indonesia-46796449>, diakses pada tanggal 3 Maret 2020.
Andreas, Damianus dan Aulia Adam. “8 Konglomerat Media di Indonesia via
Jalur Media TV & Cetak”. Tirto.id, 9 Februari 2018
<https://www.google.co.id/amp/s/amp.tirto.id/8-konglomerat-media- di-
indonesia-via-jalur-media-tv-cetak-cEv7>, diakses pada tanggal 20 Maret
2019.
APJII (Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia) dan POLLING Indonesia.
“Laporan Survei Penetrasi dan Profil Pengguna Internet Internet
Indonesia Tahun 2018”. <https://apjii.or.id/survei>, diakses pada tanggal
9 Maret 2020.
127
AW Adnan, Sobih. “Mengenal Tujuh Jenis Hoaks”. Medcom.id, 27 Oktober 2019
<https://www.medcom.id/telusur/cek-fakta/4KZ6rAqK-mengenal-7-jenis
-hoaks>, diakses pada tanggal 14 November 2019.
Badan LITBANG (Badan Penelitian dan Pengembangan) KEMENTRIAN
DALAM NEGERI. “Hasil Penelitian Perpusnas: Sehari Baca Buku
Kurang Satu Jam”. Website Badan LITBANG (Badan Penelitian dan
Pengembangan) KEMENTRIAN DALAM NEGERI, 28 Maret 2018
<https://litbang.kemendagri.go.id/ website/ hasil- penelitian- perpusnas-
sehari-baca-buku-kurang-satu-jam/>, diakses pada tanggal 18 Maret
2020.
Bagus Santoso, Irvan. “Dianggap 'Kiri', 17 Buku Ini Dilarang Edar oleh
Pemerintah”. Iyaa.com, 17 Mai 2016 <https://media.iyaa.com/article/
2016/05/ Dianggap-Kiri-17 -Buku-Ini- Dilarang-Edar-oleh-Pemerintah-
3443532.html>, diakses pada tanggal 3 Maret 2020.
Dharmawan, Awang. “Waktunya Kurikulum Literasi Media”, TimesIndonesia, 11
Februari 2020 <https://www.google.co.id/amp/s/amp. timesindonesia.
co.id/read/news/250639/ waktunya-kurikulum-literasi-media>, diakses
pada tanggal 26 April 2019.
Firman, Muhammad dan Maria Yuniar Ardhiati. “Situs Berita Hoax, Mesin
Pencetak Uang dan Kegaduhan”. Katadat.co.id, 6 Januari 2016
<https://katadata.co.id/ telaah /2016/12/15/ situs-berita- hoax-mesin-
pencetak-uang-dan-kegaduhan>, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
First Draft. <https://firstdraftnews.org/about/>, diakses pada tanggal 9 Maret
2020.
Friana, Hendra. “Hoax Sejarah Era Orba”. Tirto.id, 16 September 2017
<https://tirto.id/seminar-1965- digelar-untuk- luruskan-hoax-sejarah-era-
orba-cwHV>, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
Hasbi Widhana, Dieqy. "Rata-rata Penghasilan Kita Rp25-30 Juta", Tirto.id, 16
Desember 2016 <https://tirto.id/rata-rata-penghasilan-kita-rp25-30-juta-
b9WS>, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
Islami, Nur. “Blokir 6.000 Situs Hoax, Kemkominfo: Penyebaran Paling Tinggi di
Januari “. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia,
28 Agustus 2017 <https://kominfo.go.id/content/detail/10418/blokir-
6000- situs-hoax- kemkominfo- penyebaran- paling- tinggi-di-januari/0/
sorotan_media>, diakses pada tanggal 5 oktober 2019.
Keuskupan Agung Samarinda. “Surat Gembala Prapaskah 2019 Uskup
Keuskupan Agung Samarinda” <https://www.sesawi.net/surat-gembala-
prapaska- 2019- keuskupan- agung- samarinda- peraturan- puasa- dan-
pantang-app/>, diakses pada tanggal 10 Mei 2020.
Keuskupan Ketapang. “Surat Gembala Prapaskah 2019 Uskup Keuskupan
Ketapang” <http://keuskupan ketapang.org/ warta-keuskupan/ surat-
128
gembala-prapaskah-2019-keuskupan-ketapang/>, diakses pada tanggal
10 Mei 2020.
Massola, James dan Karuni Rompies. “Menkopolhukam Wiranto Ditusuk
Terduga Simpatisan ISIS”. Matamata Politik, 10 Oktober 2019
<https://www.matamatapolitik.com/facebook-larang-video-deepfake-
jelang-pemilu-as-in-depth/>, diakses pada tanggal 2 Februari 2020.
MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia). “Hasil Survei Wabah Hoax
Nasional Tahun 2019”. <https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-
nasional-2019/>, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
Muthahhari, Terry. “Kembali ke Sekolah Melawan Hoax”, Tirto.id, 8 Desember
2017 <https://tirto.id/kembali-ke-sekolah-melawan-hoax-cBl3>, diakses
pada tanggal 9 Maret 2020.
N. Raditya, Iswara. “Film Pengkhianatan G30S-PKI: Fakta Sejarah atau
Propaganda Orba?”. Tirto.id, 30 September 2019 <https://tirto.id/film-
pengkhianatan- g30s-pki- fakta- sejarah- atau-propaganda- orba-eiZe>,
diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
Nanda Pratama, Aswab. “Hoaks hingga Lingkup Kekuasaan, dari Era Soekarno
hingga SBY”. Kompas.com, 4 Oktober 2018 <https://nasional.
kompas.com/read/ 2018/10/04/ 13460401/ hoaks- hingga- lingkup-
kekuasaan- dari- era-soekarno- hingga-sby?page=all>, diakses pada
tanggal 2 Februari 2020.
Pantus, RD. Kamilus. “Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi ke-52,
2018”. Mirificanews, 19 Februari 2018 <https://www.mirifica.net
/2018/02/19/ pesan- paus-fransiskus- untuk-hari- komunikasi-ke-52-
2018/>, diakses pada tanggal 18 Maret 2020.
Pantus, RD. Kamilus. “Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi ke-53”,
Mirificanews, 15 Februari 2019 <https://www.mirifica.net/ 2019/02/15/
pesan-paus- untuk-hari- komunikasi-sedunia- ke-53/>, diakses pada
tanggal 18 Maret 2020.
Ramadhani, Yulika. “Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax”.
Tirto.id, 1 Oktober 2017 <https://tirto.id/ mengajarkan- anak-anak-
menghindari-berita-hoax-cxw2>, diakses pada tanggal 9 Maret 2020.
Rifiani, Nisya. “Studi Literasi Media” https://nisyarifiani.blogspot.com/ 2013/03/
kuliah-komunikasi- literasi-media-1_15.html, diakses pada tanggal 1
November 2019.
Rifiani, Nisya. “Studi Literasi Media (Bagian IV)” <https://nisyarifiani.
blogspot.com/ 2013/03/ kuliah- komunikasi -media-literacy-4. html>,
diakses 15 November 2019.
Sahroji, Ahmad. “Berita-berita Hoax yang Sempat Ramai di Indonesia, Nomer
Satu Hoax Iron Man Bali”. Okenews, 7 Oktober 2017 <https://nasional.
129
okezone.com/read/ 2017/10/06/ 337/1790379/ berita-berita-hoax yang-
sempat-ramai- di-indonesia- nomer-satu- hoax- iron-man-bali>, diakses
pada tanggal 2 Februari 2020.
Sami Bhayangkara, Cinthya. “Ini 6 Informasi Hoax yang Fenomenal hingga Telan
Korban Jiwa”. Okenews, 28 Maret 2018 <https://nasional.okezone.com/
read/ 2018/03/28/337/1879324/ ini-6-informasi- hoax-yang- fenomenal-
hingga-telan-korban-jiwa>, diakses pada tanggal 2 Februari 2020.
Septianto, Bayu. “Bawaslu Terima Laporan 610 Konten Hoaks Terkait Pemilu
2019”. Tirto.id, 11 Februari 2019 <https://tirto.id/bawaslu-terima-laporan
-610-konten- hoaks-terkait-pemilu- 2019-dgFN>, diakses pada tanggal 9
Maret 2020.
Terry Muthahhari. “Kembali ke Sekolah Melawan Hoax”. Tirto.id, 8 Desember
2017 <https://tirto.id/kembali- ke-sekolah- melawan-hoax-cBl3>, diakses
pada tanggal 9 Maret 2020.
Tirto, “Berita Hoaks di Tengah Media Mainstream yang Makin Partisan”, Tirto.id,
9 Februari 2018 <https://tirto.id/ berita- hoaks- di-tengah- media-
mainstream-yang-makin-partisan-cEvC>, diakses pada tanggal 9 Maret
2020.
Tosiani, “Perpustakaan Nasional Tingkatkan Literasi Masyarakat”, Media
Indonesia, 20 Oktober2019 <https://www.google.co.id/ amp/s/m. media
indonesia. com/ amp/ amp _detail/ 266450- perpustakaan- nasional-
tingkatkan-literasi-masyarakat>, diakses pada tanggal 18 Maret 2020.
Wahid Foundation. “Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan
Wahid Foundation 2018” <http://wahidfoundation.org/ index.php/
publication/ detail/ Presentasi- Laporan- Kemerdekaan- Beragama
Berkeyakinan-Wahid-Foundation-2018>, diakses pada tanggal 19 Maret
2020.
Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia. “Paparan Hasil Survei
Nasional-Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial-Keagamaan di
Kalangan Muslim Indonesia” <http://wahidfoundation.org/ index. php/
publication/ detail/ Hasil- Survey- Nasional-2016- Wahid- Foundation-
LSI>, diakses pada tanggal 19 Maret 2020.
Widiartanto, Yoga Hastyadi. “Siapa Marshall McLuhan yang Jadi Google Doodle
Hari ini?”. KOMPAS.com, 21 Juli 2017, <https://www.google.co.id/amp
/s/amp.kompas.com/ tekno/ read/ 2017/07/21/ 05583557/ siapa-marshall-
mcluhan-yang-jadi-google-doodle-hari-ini->, diakses pada tanggal 1 Juni
2020.
Yuliani, Ayu. “Ada 800.000 Situs Penyebar Hoax di Indonesia“. Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 13 Desember 2017
<https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada- 800000- situs-penyebar-
hoax-di-indonesia/0/sorotan_media>, diakses pada tanggal 5 oktober
2019.