Masyarakat Madani

Embed Size (px)

Citation preview

Masyarakat MadaniPendahuluan Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian. Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas. Masyarakat Sipil Vs Militer Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan militer yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan. Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai backing untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan. Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasuskasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak. Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala contradictio internemis pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini. Masyarakat Sipil Vs Negara Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari masyarakat politik atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan nonpemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk

mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat. Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam. Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah berhasil mengangkangi hak-hak sipil selama 32 tahun, dengan apa yang ia sebut tiga strategi utama. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat terus berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan bermodalkan slogan dan jargon pembangunan. Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua RT pun lebih fasih melantunkan slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya sendiri. Maka yang terjadi, pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar swalayan. Demikian pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan yang terjadi di luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan di ruang penataran ketimbang dalam komunikasi sosial. Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rosullullah s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik, Nabi diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal. Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini. Mungkinkah terwujud? Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku

masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum; dalam masyarakat. Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan. Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde baru. Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Quran menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire). Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu. Penutup Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi

sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat. Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa. Kepustakaan: Bob S.Hadiwinata, Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan, dan Transformasinya, dalam Wacana (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif). Edisi 1.Vo.1,1999. Craig Calhoun, Social Theory of the Politics of Identity, Blackwell Publihers, USA,1994. Nezar Patria, dan Andi Arief, Antonio Gramci: Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar 1999. Neera Chandoke, State and Civil Society: Exploration in Political Theory. New Delhi dan London: Sage Publication,1955. Nico Schulte Nordholt, Menyokong Civil Society dalam era Kegelisahan, dalam Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata (eds.).Kanisius, 1999. Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, 1999. ?

Masyarakat MadaniSabtu, 06-06-2009 08:50:51 oleh: Arisakti Prihatwono Kanal: Opini Beberapa hari ini kita mendapat berita yang mengejutkan baik dari dalam maupun luar negeri. Berita tersebut sangat menggoncangkan perasaan kita. Mulai dari perebutan kursi tertinggi di Istana Negara, drama Manohara, pembelaan Ambalat, drama Ibu Prita dengan kasus OMNI Internasional dan yang paling terbaru dan dahsyat adalah pidato Obama kemarin di Kairo Mesir. Jika kita mau lebih melihat persoalan diatas. Kita akan melihat sebuah kehidupan. Kehidupan yang nyata di dunia. Penuh lika liku, intrik, cerita sedih, keberhasilan dan kepercayaan diri. Kita seperti dihentakkan ke atas dan ke bawah saat melihat berita tersebut. Hidup kita adalah sebuah garis lurus yang linier. Garis itu adalah garis tangan kita berdasarkan pilihan hidup yang kita pilih. Tidak peduli jalan itu adalah jalan yg benar atau tidak, kita tetap menjalani pilihan kita dengan penuh konsekuensi.

Dari semua itu kita menyadari bahwa kita hidup dalam sebuah peradaban. Sebuah peradaban manusia yang ada pada suatu kurun waktu saat bumi dan dunia ini ada. Kita ada sekarang ini. Suatu saat anak cucu kita akan melihat apa yang kita lakukan melalui guratan sejarah yang kita buat. Itulah mengapa pidato Obama menjadi sedemikian penting. Mengambil tempat di Universitas Kairo merupakan pilihan yang tepat bagi seorang pemimpin adidaya di peradaban saat ini untuk mengemukakan issue yang mutakhir. Kairo adalah lambang ilmu pengetahuan Islam sejak berabad lampau. Tempat lahirnya banyak pemikir Islam modern. Disinilah simbol renaisance Islam ingin ditonjolkan oleh Obama. Dalam pidatonya yang selalu menawan. Obama ingin sekali memberi harapan kepada dunia yang baru. Sebuah dunia yang menghargai dengan cara pandang yang baru dan dewasa. Perhatian Obama juga tercurah untuk sebuah hubungan Palestina - Israel. Ini memang batu sandungan bagi siapapun yang ingin membangun tata kelola dunia yang baru. Tidak terkecuali Obama. Dibesarkan oleh ayah muslim dengan masa kecil di Jakarta, tetapi mendapat sokongan penuh dari donatur Yahudi, menjadi teramat sulit untuk dia melangkah. Namun bagi muslim, tidaklah boleh melihat langkah seseorang dengan sudut pandang negatif. Sebagai muslim, kita selalu diajarkan untuk selalu khusnudhon dalam melihat kehidupan ini termasuk Obama sekalipun. Saya sebagai pribadi menyatakan kagum atas pidato-pidatonya, termasuk pidato kemarin. Dengan lancar dan fasih beliau menyebutkan beberapa kata dalam bahasa Arab bahkan menyebut nama Muhammad dengan diiringi kalimat "semoga Tuhan memberkahinya". Pilihan katanya dan referensi atas Qur'an, Taurat merupakan nilai tambah pidato kemarin. Namun dari semua itu kita ingin bahwa pidato ini menjadi sebuah awal berubahnya sudut pandang Amerika terhadap Islam khususnya Arab. Perubahan ini harus dilakukan secara simultan dengan berubahnya policy terhadap isu-isu Islam dan Arab. Perubahan ini haruslah bersifat politik dan hendaknya harus segera dirasakan oleh dunia Islam. Perumusan perubahan harus segera dan inilah saatnya jika Amerika untuk berubah. Jika waktu ini disia-siakan segeralah akan terungkap bahwa pidato Obama hanyalah sekedar simbolisasi atau pencitraan semata. Citra tanpa tindakan adalah omong kosong yang dibalut dengan pujian dan nyanyian indah. Indah tapi kosong. Berlanjut dengan khotbah di masjid saat Jumatan hari ini. Saya diingatkan tentang pembangunan masyarakat akan menuju ke pembangunan masyarakat yang sesuai dengan masyarakat Madinah saat Rasulullah SAW memimpin. Itulah yang disebut masyarakat madani. Sebuah masyarakat yang saling menghormati, tidak membedakan berdasarkan golongan, ras dan keturunan, bahkan kekayaan. Semua menjadi sama di hadapan hukum. Pembangunan masyarakat dimulai dari transformasi nilai dan budaya di keluarga berlanjut hingga kokohnya nilai dan etika sebuah bangsa. Suatu saat nanti kita akan melihat suksesi kepemimpinan dengan santun tanpa black campaign, santun, terhormat. Suatu saat kita akan melihat sebuah keluarga yang dibesarkan dengan nilai-nilai yang terhormat. Mendapatkan jodoh yang sholeh sholehah. Tanpa kekerasan, tanpa kebohongan, tanpa tipu daya. Jujur dan amanah. Suatu saat kita akan melindungi wilayah kita dimanapun. Baik yang mempunyai kekayaan alam maupun yang tidak. Semangat melindungi dengan berharap lindungan Allah SWT.

Suatu saat kita akan melihat sebuah masyarakat yang menghormati yang lemah. Yang melindungi siapapun dia. Tanpa arogan, tanpa maksud menyakiti dan menghakimi yang tidak berdaya. Suatu masyarakat yang menghormati konsumen dan produsen, pemberi jasa dan penerima jasa, penjual dan pembeli. Secara seimbang dalam koridor hukum yang kuat dan adil. Suatu saat kita akan melindungi wilayah kita dimanapun. Baik yang mempunyai kekayaan alam maupun yang tidak. Semangat melindungi dengan berharap lindungan Allah SWT. MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY) DAN PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA

Terlahirnya istilah masyarakat madani di Indonesia adalah bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika itu tengah menjabat sebagai Menteri keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, ke Indonesia membawa istilah masyarakat madani sebagai terjemahan civil society, dalam ceramahnya pada simposium nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acara festival Istiqlal, 26 september 1995. Istilah masyarakat madani pun sebenarnya sangatlah baru, hasil pemikiran Prof. Naquib al-Attas seorang filosof kontemporer dari negeri jiran Malaysia dalam studinya baru-baru ini. Kemudian mendapat legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia termasuk seorang Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi terhadap masyarakat madani dalam sejarah islam pada artikelnya Menuju Masyarakat Madani.[1] Dewasa ini, istilah masyarakat madani semakin banyak disebut, mula-mula terbatas di kalangan intelektual, misalnya Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan Amien Rais. Tetapi perkembangannya menunjukkan istilah masyarakat madani juga disebut-sebut oleh tokoh-tokoh pemerintahan dan politik, misalnya mantan Presiden B.J. habibie, Wiranto, Soesilo bambang Yudoyono dan masih banyak lagi.[2] Masyarakat madani atau yang disebut orang barat Civil society mempunyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human righttermasuk didalamnya adalah demokrasi. Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu citacita bagi negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani sudah ada. Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani merupakan tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional. Memencari padan kata masyarakat madani dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai masyarakat madaniyah dalam tradisi kehidupan social dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah masyarakat madani dan civil

society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.[3] Dalam bahasa Arab, kata madani tentu saja berkaitan dengan kata madinah atau kota, sehingga masyarakat madani bias berarti masyarakat kota atau perkotaan . Meskipun begitu, istilah kota disini, tidak merujuk semata-mata kepada letak geografis, tetapi justru kepada karakter atau sifat-sifat tertentu yang cocok untuk penduduk sebuah kota. Dari sini kita paham bahwa masyarakat madani tidak asal masyarakat yang berada di perkotaan, tetapi yang lebih penting adalah memiliki sifat-sifat yang cocok dengan orang kota,yaitu yang berperadaban. Dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai kata civilized, yang artinya memiliki peradaban(civilization), dan dalam kamus bahasa Arab dengan kata tamaddun yang juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. [4] Penggunaan istilah masyarakat madani dan civil society di Indonesia sering disamakan atau digunakan secara bergantian. Hal ini dirasakan karena makna diantara keduanya banyak mempunyai persamaan prinsip pokoknya, meskipun berasal dari latar belakang system budaya negara yang berbeda. Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah Civil Society dari sudut konsep sosiologis. Yaitu, dalam tingkatan kelembagaan dan organisasi sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Untuk yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertiancivil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, yang menurut Seligman dikembangkan oleh T.H. Marshall. Atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Dancivil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts) . Sedangkan yang kedua, civil society menjadi wilayah kajian filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan. Yang kedua ini menurut Seligman, kajian civil society sekarang ini mengarah pada kombinasi antara konsep durkheim tentang moral individualism dan konsep Weber tentang rasionalitas bentuk modern organisasi sosial, atau sintesa Talcott Person tentang karisma Weber dan individualism Durkheim.[5] Pemetaan tentang civil society pernah dilakukan oleh Michael W. Foley dan Bob Edwards yang menghasilkan Civil Sosiety I danCivil Society II. Namun dalam perkembangannya , terdapat analisis yang mencakup dari kedua aspek (civil Society I dan II), hingga menghasilkan kombinasi atau tipe Civil society III. Dalam wacana civil society I di Indonesia lebih menekankan aspek horizontal dan biasanya dekat dengan aspek budaya. Civil society di sini erat dengan civility atau keberadaban dan fraternity. Aspek ini dibahas pemikir masyarakat madani atau madaniah yang mencoba melihat relevansi konsep tersebut (semacam indigenisasi) dan menekankan toleransi antar agama. Analis utama dalam kelompok ini adalah Nurcholish Madjid yang mencoba melihatcivil society berkaitan

dengan masyarakat kota madinah pada jaman Rosulullah.Menurut Madjid, piagam madinah merupakan dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi di Eropa (Inggris ) baru dimulai dengan The Toleration Act of 1689.[6] Penggunaan konsep madani ini mendapat kritik dari kelompok yang menggunakan civil society dengan Muhammad Hikam sebagai pemikir utamanya. Perdebatan utamanya terletak pada bentuk masyarakat ideal dalamcivil society tersebut. Walaupun kedua kelompok tersebut erat dengan Islam cultural namun contoh masyarakat Madinah kurang mencerminkan relevansi dengan Indonesia.[7] Selain civil society dan masyarakat madani, konsep masyarakat warga atau kewargaan digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel Dhakidae. Wacana dalam civil Society II memfokuskan pada aspek vertical dengan mengutamakan otonomi masyarakat terhadap negara dan erat dengan aspek politik. Dalamcivil society II, istilah civil dekat dengan citizen dan liberty. Terjemahan yang diIndonesiakan adalah Masyarakat warga atau masyarakat kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik . Pemahaman civil society II intinya menekankan asosiasi diantara individu (keluarga) dengan negara yang relatif otonom dan mandiri. Namun, terdapat perdebatan apakah partai politik atau konglomerat termasuk disini atau apakah semua organisasi yang non-negara merupakan civil society. Jadi civil society II dapat bermakna beragam dan ada pula yang mndefinisikan civil society sebagai the third sector yang berbeda dari pemerintah dan pengusaha.[8] Pembahasan civil society III merupakan upaya untuk mempertemukan civil sosiey I dan civil society II. Kombinasi antaraCivil society I dan II yang menjadi civil society III telah dibahas oleh Afan Gaffar di bukunya Politik Indonesia; Transisi Menuju demokrasi(1999). Dibahas pula oleh Paulus Wirutomo dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berjudul Membangun Masyarakat Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Konsep civil society III ini yang dirasa relevan dengan masyarakat Indonesia dimana keadaan vertical (antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi horizontal atau SARA. Kedua aspek tersebut mengalami represi dan sejak reformasi 1998 muncu ke permukaan dan membutuhkan perhatian dalam proses re-integrasi.[9] Maka dari itu, perspektif masyarakat madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratif, dengan landasan taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban(tamaddun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).[10] Di sini pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus difahami sebagai

pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.[11] Di Indonesia, pluralisme dalam keberagamaan dapat dibagi menjadi 3 jaman perkembangannya, yaitu: 1. Pluralisme cikal-bakal. Yang di maksud istilah ini adalah pluralisme yang relative stabil, karena kemajemukan suku dan masyarakat pada umumnya masih berada dalam taraf statis. Mereka hidup dalam lingkungan yang relative terisolasi dalam batas-batas wilayah yang tetap, dan belum memiliki mobilitas yang tinggi karena teknologi komunikasi dan transportasi yang mereka miliki belum memadai. Agama-agama suku hidup dalam claim dan domain yang terbatas, tidak berhubungan satu dengan lainnya. Keadaan seperti ini tidak banyak berubah sampai datang pengaruh agama yaitu agama Hindu dan Budha dengan tingkat peradabannya masing-masing. 2. Pluralisme kompetitif. Pluralisme jenis kedua ini kira-kira mulai abad 13 ketika agama islam mulai berkembang di Indonesia, dan kemudian disusul dengan kedatangan agama Barat atau agama Kristen (baik katolik maupun Protestan) pada kira-kira abad 15. konflik dan peperangan mulai terjadi diantara kerajaan islam di pesisir dengan sisa-sisa kekuatan Majapahit di pedalaman Jawa. Ketika penjajah dating dengan konsep God, Gold, and Glory, persaingan antara Islam dan Kristen terus berlangsung hingga akhir abad 19. 3. Pluralisme Modern atau pluralisme organik. Di awal abad ke 20, puncak dominasi Belanda atas wilayah nusantara tercapai dengan didirikannya negara Nederland Indie. Kenyataan negara ini menjadi sebuah kesatuan organic yang memiliki satu pusat pemerintah yang mengatur kehidupan berdasarkan hukum dan pusat kekuasaan yang riil. Pluralisme SARA memang diperlemah, disegregasikan, , dan dibuat terfragmentasikan demi kepentingan Belanda. Kemudian upaya-upaya mansipasi SARA pun terjadi dalam peristiwa Sumpah pemuda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 1945.[12]

Ciri-Ciri Masyarakat Madani2. Kegiatan Belajar 2 a. Tujuan Kegiatan Belajar 2 Apabila telah mempelajari kegiatan belajar 1 dengan baik, maka pada akhir kegiatan belajar dapat : (1) Mendeskripsikan pengertian masyarakat madani (2) Mengidentifikasikan ciri-ciri masyarakat madani (3) Menjelaskan proses demokrasi menuju masyarakat madani. (4) Menjelaskan upaya mengatasi kendala yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani b. Uraian Materi 2

CIRI-CIRI MASYARAKAT MADANIIstilah masyarakat madani dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah civil society pertama kali dikemukan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis yang identik dengan negara. Dalam perkembangannya istilah civil society dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara serta keterikatan dengan nilai-nilai atau norma hukum yang dipatuhi masyarakat. Bangsa Indonesia berusaha untuk mencari bentuk masyarakat madani yang pada dasarnya adalah masyarakat sipil yang demokrasi dan agamis/religius. Dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani di Indonesia, maka warga negara Indonesia perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius dengan bercirikan imtak, kritis argumentatif, dan kreatif, berfikir dan berperasaan secara jernih sesuai dengan aturan, menerima semangat Bhineka Tunggal Ika, berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab, memilih calon pemimpin secara jujur-adil, menyikapi mass media secara kritis dan objektif, berani tampil dan kemasyarakatan secara profesionalis,berani dan mampu menjadi saksi, memiliki pengertian kesejagatan, mampu dan mau silih asah-asih-asuh antara sejawat, memahami daerah Indonesia saat ini, mengenal cita-cita Indonesia di masa mendatang dan sebagainya. Karakteristik masyarakat madani adalah sebagai berikut : 1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. 2. Demokratisasi, yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : (2) (3) (4) (5) Partai politik 3. Toleransi, yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain. 4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. (1) Lembaga Pers Supremasi Perguruan Swadaya Masyarakat (LSM) bebas hukum Tinggi yang

5. Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. 6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa, intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab. 7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum diantaranya : 1. Kualitas SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata 2. 3. 5. Masih Kondisi Pemutusan ekonomi rendahnya nasional Kerja yang (PHK) pendidikan belum sepihak stabil dalam politik pasca krisis yang masyarakat moneter besar yang sama tanpa kecuali. Adapun yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia

4. Tingginya angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas Hubungan jumlah 6. Kondisi sosial politik yang belum pulih pasca reformasi

Oleh karena itu dalam menghadapi perkembangan dan perubahan jaman, pemberdayaan civil society perlu ditekankan, antara lain melalui peranannya sebagai berikut : 1. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan pendidikan 2. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya, tidak berdaya membela hak-hak dan kepentingan mereka (masyarakat yang terkena pengangguran, kelompok buruh yang digaji atau di PHK secara sepihak dan lain-lain) 3. Sebagai kontrol terhadap negara 4. Menjadi kelompok kepentingan (interest group) atau kelompok penekan (pressure group)

5. Masyarakat madani pada dasarnya merupakan suatu ruang yang terletak antara negara di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Dalam ruang lingkup tersebut terdapat sosialisasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun dari sebuah jaringan hubungan di antara assosiasi tersebut, misalnya berupa perjanjian, koperasi, kalangan bisnis, Rukun Warga, Rukun Tetangga, dan bentuk organisasi-organsasi lainnya.

c. Rangkuman Materi 21. Mayarakat madani (civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan mamaknai kehidupannya. 2. Masyarakat madani akan terwujud apabila suatu masyarakat telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dengan baik. 3. Karakteristik masyarakat madani adalah : (1) Free public (2) (3) (4) (5) Keadilan (6) (7) Supremasi hukum sphere (ruang publik yang bebas) Demokratisasi Toleransi Pluralisme justice) sosial

sosial Partisipasi

(social

MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERKEADILANDR. EDI SUHARTO MSC PENGANTAR Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan. Ada dua kata yang langsung masuk ke pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata community workers dan kedua mengenai kata masyarakat madani yang berkeadilan. Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata yang berkeadilan? Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya tidak mengetahui terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial) masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan degradasi makna. Saya yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat bisa menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial profesional. Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah masyarakat madani tanpa tambahan kata sifat yang berkeadilan memiliki arti yang berbeda atau setidaknya tidak sesuai dengan arti masyarakat madani yang sejati? Untuk soal ini saya mencoba menerkanerka. Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah makna masyarakat lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa ingin menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani? Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak tantangantantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers, dalam

mengaktualisasikan jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya dengan tujuan profesionalismenya, yakni mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan epistemologi. Dengan sedikit modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba menyingkap tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai Jalan Ketiga. DUA PARADIGMA Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17). 1. Demokrasi Sosial Klasik. Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik: Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Negara mendominasi masyarakat madani Kolektivisme. Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme. Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran. Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal. Egalitarianisme yang kuat. Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara sejak lahir sampai mati. Modernisasi linear. Kesadaran ekologis yang rendah. Internasionalisme. Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

2. Neoliberalisme Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme adalah: Pemerintah minimal. Msyarakat madani yang otonom Fundamentalisme pasar. Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat. Kemudahan pasar tenaga kerja. Penerimaan ketidaksamaan. Nasionalisme tradisional. Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman Modernisasi linear. Kesadaran ekologis yang rendah.

Teori realis tentang tatanan internasional. Termasuk dalam dunia dwikutub.

MASYARAKAT MADANI Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market. Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya: 1. 2. 3. 4. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan programprogram pembangunan yang berbasis masyarakat. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasiorganisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.

5. 6. 7.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan programprogram pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat sipilisme yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya. 3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan. AGENDA JALAN KETIGA Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80): Politik Jalan Ketiga: Persamaan Perlindungan atas mereka yang lemah. Kebebasan sebagai otonomi. Tak ada hak tanpa tanggungjawab. Tak ada otoritas tanpa demokrasi. Pluralisme kosmopolitan. Konservatisme filosofis. Program Jalan Ketiga: Negara demokratis baru (negara tanpa musuh). Masyarakat madani yang aktif. Keluarga demokratis.

Ekonomi campuran baru. Kesamaan sebagai inklusi. Kesejahteraan positif. Negara berinvestasi sosial (social investemnt state). Bangsa kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997):

1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil. 2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. 3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat. 4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasiorganisasi lokal. Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.

CATATAN 1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002. 2. Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social Policy.EDNESDAY, JULY 18, 2 007

MENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI Demokratisasi PendidikanMENUJU MASYARAKAT MADANI MELALUI DEMOKRATISASI PENDIDIKAN Oleh Husaini Usman Abstrak: Hasil pemikiran ini mencoba menawarkan konsep-konsep baru tentang masyarakat madani ditinjau dari sudut: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Secara ontologis, masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologi, masyarakat madani bertujuan untuk meredam berbagai tuntutan reformasi baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan timbul inovasi-inovasi pendidikan. Secara epistemologis, masyarakat madani dicapai melalui tujuan jangka pendek dan jangka panjang melalui demokratisasi pendidikan. Dengan

demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik sehingga peserta didik tidak terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Kata kunci: masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, inovasi pendidikan, demokrasi pendidikan

*) Dr. Husaini Usman adalah Ketua Jurusan Teknik Sipil dan Dosen Jurusan

I. Pendahuluan Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat memimpin (capable). Untuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Jadi, pendidikan menjadi soko guru dalam mewujudkan masyarakat madani. Pendidikan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Artikel ini membatasi pembahasannya pada pencapaian tujuan jangka panjang masyarakat madani melalui demokratisasi pendidikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa, "pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Melihat kelengkapan tujuan pendidikan nasional tersebut seharusnya proses pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut sepenuhnya. Namun, dalam praktiknya ternyata tujuan pendidikan nasional tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal itu

mengakibatkan lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan perilaku-perilaku yang diharapkan oleh tujuan nasional tersebut sehingga timbullah gagasan untuk membentuk masyarakat madani termasuk di masyarakat kampus. Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat madani telah "menggoda" dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani. Dalam hal ini, Hefner (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah impian (dream) suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, Hefner meragukan upaya bangsa Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Senada dengan pendapat Hefner tersebut, Mulder (1999) memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, "sampai sejauh mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan? Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep baru masyarakat madani yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam mewujudkan masyarakat madani melalui perspektif pendidikan. Tentu saja pemikiran konseptual ini akan dapat dioperasionalisasikan di lapangan secara kontekstual setelah melalui pengujian empiris yang profesional. 2. Pembahasan Seligman seperti yang dikutip Munim (1994: 6) mendefinisikan istilah civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil society menurutHavel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main

melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah. Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakuttakuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani. Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999: 15-16). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta. Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil society. Katacivil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civilakhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.

Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) danurbanity (budaya kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Istilah madani menurut Munawir (1997: 1320) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madanayang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur. Hall (1998: 1) menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998: 16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan. Masyarakat madani menurut Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi (1999: 9) ialah masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan. Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999: 16), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hakhak asasi manusia (Farkan, 1999: 4).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki makna ganda yaitu: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanannya pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani (al-madaniy) jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang: demokratis, partisipatoris, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui makna madani, maka istilah masyarakat madani secara mudah dapat difahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota atau berfaham masyarakat kota yang pluralistik. Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya masyarakat madani ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis sebagai salah satu tuntutan reformasi di dalam negeri dan tekanantekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, menurut Suwardi (1999: 66) melalui masyarakat madani akan mendorong munculnya inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan. Selanjutnya, ditambahkan oleh Daliman (1999: 78-79) bahwa dengan terwujudnya masyarakat madani, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama Orde Baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah. Guna mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Suryadi (1999: 23) dan Daliman (1999: 78) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat madani diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi. Ciri utama masyarakat madani adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakat sebagai pelaku ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan mendapat tekanan-tekanan politik dari kaum reformis di dalam negeri. Di lain pihak, dari luar negeri, Indonesia akan mendapat tekanantekanan politik dan ekonomi dari PBB, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara penganut faham

demokratis. Sementara ini, ekonomi kita masih sangat bergantung pada pinjaman Bank Dunia dan IMF. Jika Bank Dunia dan IMF tidak memberikan bantuannya, maka ekonomi kita akan semakin terpuruk di mata internasional. Jika ekonomi kita semakin terpuruk, maka kerusuhan sosial akan semakin meningkat yang pada gilirannya membahayakan stabilitas nasional dan dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi bangsa. Di samping itu, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang khas sebagai unity dandiversity, maka karakteristik masyarakat madani cocok diterapkan di Indonesia sehingga persatuan dan kesatuan, toleransi umat beragama, persaudaraan, saling mengasihi sesama umat, dan persamaan hak akan menjadi lebih terjamin. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ciri utama masyarakat madani Indonesia adalah demokrasi yang menjunjung tingi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang mempunyai faham keagamaan yang berbeda-beda, penuh toleransi, menegakkan hukum dan peraturan yang berlaku secara konsisten dan berbudaya (Hartono, 1999: 55). 3. Pemecahan Masalah Salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah dengan melakukan demokratisasi pendidikan. Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata demos (rakyat) dan kratos(pemerintahan). Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsifungsi kekuasaan politik merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat. Konsep demokrasi memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi lebih berpihak kepada rakyat. Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat, sedangkan demokratisasi ialah proses menuju demokrasi. Tujuan demokratisasi pendidikan ialah menghasilkan lulusan yang merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik demokrasi (Suryadi, 1999: 23). Generasi penerus sebagai anggota masyarakat harus benar-benar disiapkan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan. Masyarakat dan generasi muda yang mampu membangun masyarakat madani dapat dipersiapkan melalui pendidikan (Hartono, 1999: 55). Senada dengan pendapat Hartono tersebut, Marzuki (1999: 50) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat madani adalah melalui jalur pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Generasi penerus merupakan anggota masyarakat madani di masa mendatang. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali cara-cara berdemokrasi melalui demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, demokratisasi pendidikan berguna untuk menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab, turut bertanggung jawab (melu angrungkebi), terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi, terbiasa bergaul dengan rakyat, ikut merasa memiliki (melu handarbeni), sama-

sama merasakan suka dan duka dengan masyarakatnya (padhasarasa), dan mempelajari kehidupan masyarakat. Kelak jika generasi penerus ini menjadi pemimpin bangsa, maka demokratisasi pendidikan yang telah dialaminya akan mengajarkan kepadanya bahwa seseorang penguasa tidak boleh terserabut dari budaya dan rakyatnya, pemimpin harus senantiasa mengadakan kontak dengan rakyatnya, mengenal dan peka terhadap tuntutan hati nurani rakyatnya, suka dan duka bersama, menghilangkan kesedihan dan penderitaan-penderitaan atas kerugian-kerugian yang dialami rakyatnya. Pernyataan ini mendukung pendapat Suwardi (1999: 66) yang menyatakan bahwa sistem pendidikan yang selalu mengandalkan kekuasaan pendidik, tanpa memperhatikan pluralisme subjek didik, sudah saatnya harus diinovasi agar tercipta masyarakat madani. Upaya ke arah ini dapat ditempuh melalui demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan tidak harus dimulai dari sistem pendidikan berskala nasional. Bahkan akan lebih efektif kalau dimulai dari sistem pendidikan berskala lokal berupa pendidikan di dalam kelas. Dalam proses PBM di kelas, demokrasi pendidikan dapat diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keberadaban, sebab menurut Zamroni (1997: 1) hal ini merupakan inti dari proses pendidikan. Pelaksanaan demokratisasi pendidikan di kelas harus mampu membawa peserta didik untuk menghargai kemampuan teman dan guru, kemampuan sosial-ekonomi teman dan guru, kebudayaan teman dan guru, dan sejumlah kemajemukan lainnya (Vaizey, 1976: 115). Di samping itu, menurut Battle seperti yang dikutip Shannon (1978: 32) demokratisasi pendidikan dalam PBM juga dapat ditempuh dengan mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia sekarang yang sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakatnya (pragmatisme), tanpa harus melupakan hari kemarin. Sebagai contoh jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat petani, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat nelayan, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas hasil perikanannya. Jika peserta didik kebanyakan berlatar belakang masyarakat bisnis, maka orang tua atau keluarganya cenderung menuntut hasil nyata dari pendidikan anaknya agar mampu meningkatkan produktivitas usaha bisnisnya, dan seterusnya. Contoh-contoh tersebut di atas menggambarkan bahwa dalam melakukan inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu diperhatikan masalah-masalah pragmatik yakni mulai dari pemilihan materi ajar, penentuan tujuan, pemilihan metode, pemilihan evaluasi hasil belajar, output lulusan, sampai kebutuhan yang diharapkan dunia kerja. Hal ini cukup beralasan karena pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya. Hal ini juga dinyatakan oleh Barnadib (1997: 1) bahwa pendidikan memang sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan dan pengalihan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah sebabnya pengajaran pragmatik yaitu

pengajaran yang menekankan pada aspek fungsi akan menjadi salah satu alternatif pencapaian pengajaran yang berwawasan kemanusiaan dan peradaban. Oleh sebab itu, di dalam PBM yang pragmatik akan tercipta suasana kondusif bagi demokratisasi pendidikan. Asumsi pendidikan pragmatik diturunkan dari pemeo klasik yang dikemukakan Rodrigues dan Badaczewski (1978: 278) yang menyatakan, "Kita boleh membawa kuda masuk ke sungai, namun kita tidak mampu menyuruh kuda itu meminum air." Maknanya adalah pengajar (kita) hanya bisa memberikan dorongan (tut wuri handayani) kepada peserta didik (kuda), namun biarkan peserta didik itu sendiri yang memanfaatkan informasi (air) itu. Biarlah peserta didik itu sendiri yang melakukan SITR (seleksi, interpretasi, tranformasi, dan revisi) terhadap semua informasi yang telah diterimanya. Seleksi berarti memilih informasi yang lengkap, objektif, dan relevan. Interpretasi berarti pemberian makna. Tranformasi berarti mampu mengemasnya kembali dengan bahasanya sendiri dan menawarkan gagasan-gagasan baru ke pihak lain. Revisi berarti terbuka untuk memperbaiki gagasan-gagasannya setelah mendapat masukan yang konstruktif dari pihak lain. Dalam proses pengajaran pragmatik, pendidik tidak monopoli dalam memberi dan mencari informasi. Intervensi pendidik adalah sebagai fasilitator, dinamisator, mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidik harus berusaha menciptakan iklim PMB yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai mediator, pendidik harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidik harus selalu memberikan dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu. Dalam pendidikan pragmatik yang bersifat profesional diakui bahwa kelemahan pendidikan sematamata hanya untuk menyiapkan tenaga kerja yang sifatnya praktis. Kalau demikian halnya, pendidikan hanya akan menciptakan bangsa tukang dan bukan bangsa pemikir. Namun, pendidik tidak hanya menerapkan pendidikan pragmatik melainkan juga pendidikan yang bersifat akademik yang bertugas menciptakan pemikir-pemikir bangsa yang sifatnya teoritis. Di samping tidak hanya teoritis, melainkan harus ada tindakan nyata dari hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan antara keterampilan operasional dengan kemampuan konseptual sehingga tercipta sumber daya manusia Indonesia yang berwawasan global dan sekaligus bertindak lokal. Freire (1984: 24) menyarankan upaya untuk mencapai demokratisasi pendidikan yang berwawasan adalah dengan menciptakan kebebasan interaksi antara pendidik dengan peserta didiknya dalam PBM di kelas. Oleh sebab itu, PBM harus terbuka dan penuh dialog yang sehat dan bertanggung jawab antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi antara peserta didik dan pendidik dalam bentuk egaliter dan kesetaraan (equity). Dengan adanya kesetaraan ini, kebebasan berinisiatif, berbeda aspirasi dan pendapat, dan keadilan dalam pendidikan akan terakomodasi. Bahkan Wahid seperti yang dikutip Freire (1994: xv) telah meyakinkan kita bahwa pendidikan memang merupakan wahana

terpenting untuk mencapai kemerdekaan (kebebasan). Dengan kebebasan ini menurut Russel (1998: 63) akan mewujudkan demokratisasi pendidikan. Komunikasi dalam demokratisasi pendidikan harus terjadi ke segala arah dan bukan hanya bersifat satu arah yaitu dari pendidik ke peserta (topdown) melainkan juga ada keseimbangannya yaitu dari peserta didik dengan pendidik dan antarpeserta didik sendiri (network). Dengan model komunikasi top down timbul kecenderungan pendidik akan merasa capek sementara peserta didik tidak mengerti, pasif, bosan, mengantuk, dan lebih parah lagi peserta didik tidak mendapatkan informasi baru. Pendidik merupakan satu-satunya sumber belajar dengan otoritas yang sangat tinggi dan menganggap otak peserta didik bagaikan tong kosong yang siap diisi penuh dengan berbagai informasi darinya. Sebaliknya, dengan model komunikasi network, sumber belajar bukan hanya terletak pada pendidik melainkan juga pada peserta didik. Guru cenderung tidak merasa capek, peserta didik mengerti dengan belajar dari pengalamannya sendiri, aktif, senang, dan kaya dengan informasi baru. Namun, selama ini terkesan bahwa pendidikan menganut asas subject matter oriented yang membebani peserta didik dengan informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Pendidikan yang menyangkut ranah kognitif sudah dijalankan dengan perhatian yang besar. Pengelolaan pengajaran yang ada memberi kesan terlalu berorientasi pada ipteks termasuk juga keterampilan motorik terlalu berorientasi pada teknis (Moeldjanto, 1998: 63). Dengan asas ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil; tetapi kepandaian dan kecerdasan intelektual tersebut kurang diimbangi dengan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya dalam membentuk perilaku peserta didik. Sekarang, dalam mendukung pelaksanaan demokratisasi pendidikan, tibalah saatnya mengubah asas subject matter oriented ke student oriented. Orientasi pendidikan yang bersifat student oriented lebih menekankan pada pertumbuhan, perkembangan, dan kebutuhan peserta didik secara utuh baik lahir maupun batin. Dalam hal ini kecerdasan otak memang penting, tetapi kecerdasan emosional juga tidak kalah pentingnya. Dalam suasana PBM yang demokratis terjadi egalitarian (kesetaraan atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down namun diimbangi dengan bottom upsehingga tidak ada lagi pemaksaan kehendak pendidik tetapi akan terjadi tawar-menawar kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi, media, PBM, dan evaluasi hasil belajarnya. Hal serupa juga diakui Martadiatmadja (1986: 70-71) yang menyatakan bahwa jika pengajaran kurang pragmatik dan lebih menekankan pada pengajaran menghafal, maka hal ini jelas kurang bermanfaat. Teknik menghafal mendikte peserta didik untuk menggunakan sistem drill dan hanya akan menjejali materi dalam waktu singkat yang mungkin tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan menurut Suryadi dan Tilaar (1993: 196) akan menyuap peserta didik dengan berbagai

informasi yang tinggal ditelan saja. Peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mencari dan mencerna sendiri informasi sesuai dengan bakat dan minatnya. Menurut Taroepratjeka (1996: 3) pendidikan yang berkonteks pragmatik sedapat mungkin harus mampu menghargai bakat, minat, dan tujuan peserta didik. Bila hal ini dilupakan, akibatnya peserta didik akan menjadi pembebekpembebek dan bukan menjadi manusia yang lebih beradab dan berbudaya melalui proses pendidikan tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam pandangan Acarya (1991: 147-148) menyatakan bahwa demokratisasi pendidikan merupakan pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Dengan komunikasi struktural dan kultural antara pendidik dan peserta didik, maka akan terjadi interaksi yang sehat, wajar, dan bertanggung jawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri dan mungkin saja berbeda dengan pendidiknya asalkan ada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Peserta didik bukan saja memahami demokrasi tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam setting diskusi. Peserta didik ditantang menguji validitas pikirannya dengan argumentasi-argumentasi yang rasional dan jika mungkin berdasarkan hasil penelitian yang seksama. Dalam iklim PBM yang demokratis, pendidik tidak harus merasa paling pandai di dalam kelasnya, tidak merasa paling benar di kelasnya, merasa telah menang belajar satu malam dibandingkan dengan peserta didiknya; tetapi akan terjadi saling tukar informasi dan pengalaman dengan peserta didiknya. Kondisi ini dimungkinkan akan terjadi dalam demokratisasi pendidikan. 4. Kesimpulan Secara ontologis, masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Secara aksiologis, masyarakat madani perlu segera diwujudkan karena bermanfaat untuk meredam berbagai tuntutan reformasi dari dalam negeri maupun tekanan-tekanan politik dan ekonomi dari luar negeri. Di samping itu, melalui masyarakat madani akan muncul inovasi-inovasi pendidikan dan menghindari terjadinya disintegrasi bangsa. Secara epistemologis, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam jangka panjang adalah dengan cara melakukan demokratisasi pendidikan. Demokratisasi pendidikan ialah pendidikan hati nurani yang lebih humanistis dan beradab sesuai dengan cita-cita masyarakat madani. Melalui demokratisasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajarnya. Inovasi pendidikan yang berkonteks demokratisasi pendidikan perlu memperhatikan masalah-masalah pragmatik. Pengajaran yang kurang menekankan pada konteks pragmatik pada gilirannya akan menyebabkan peserta didik akan terlepas dari akar budaya dan masyarakatnya.

Pustaka Acuan Acarya, A.A. 1991. Neo-Humanist Education.Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia. Al-Abrasyi, M.A. 1987. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Terjemahan Gani, B.A. dan Bahry, D.) Jakarta: Bulan Bintang. Barnadib, I. 1997. Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berwawasan Kemanusiaan. Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, 14 Mei. Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa,Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2. Farkan, H. 1999. Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani. Bernas, 29 Maret. Gellner, E. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan (Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan. Fiere, P. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia. Hall, J.A. 1998. Genealogies of Civility. Dalam Hefner (Editor). Democratic Civility: The History and Cross Cultural Possibility of a Modern Political Ideal. New York: Longman. Hartono. 1999. Perubahan Orientasi Pendidikan Menuju Masyarakat Madani, Cakrawala Pendidikan.Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2. Hefner, R.W. 1998. Civil Society: Cultural Possibility of a Modern Ideal. Society, Vol.35, No, 3 March/April. Hikam, M.A.S. 1994. Demokrasi adakan Wacana Civil Society. Republika. 10 Oktober. Madjis, N. 1977. Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani, dalam HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI. Mahasin, A. 1995. Masyarakat Madani dan Lawan-lawannya: Sebuah Mukadimah. Dalam Gneller.Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat menuju Kebebasan. Diterjemahkan: Hasan, I. Bandung: Mizan. Martadiatmadja. 1986. Tantangan Dunia Pendidikan. Jakarta: Kanisius. Marzuki. 1999. Membangun Masyarakat Madani melalui Pendidikan Islam Sebuah Refleksi Pendidikan Nasional, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2. Moeldjanto, G. 1998. Dimensi Moral dalam Pendidikan Menuju Pembentukan Manusia Seutuhnya, Widya Darma. No. 1 Tahun IX. Munawir, A.W. 1997. Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

Munim, A.D.Z. 1994. Masyarakat Sipil sebagai Masyarakat Beradab, Republika 20 September. Nurhadi, M.A., dkk. 1999. Filosofi, Kebijaksanaan, dan Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdikbud. Nordholt, N.S. 1999. Civil Society di Era Kegelisahan. Basis. Np. 3-4. Maret. Rahardjo, D. 1997. Relevansi Iptek Profetik dalam Pembangunan Masyarakat Madani, Academika,Vol. 01, Th. XV, halaman 17-24. Rodrigues, R & Badaczewski, D. 1978. A Guidebook for Teaching Literature. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Russel, B. 1998. Pendidikan dan Tatanan Sosial.Terjemahan: Abadi, A.S. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Shannon. 1978. Gagasan Baru dalam Pendidikan.Jakarta: Mutiara. Suryadi, K. 1999. Demokratisasi Pendidikan Demokrasi, Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 1 Tahun XVIII. Suryadi, A dan Tilaar, H.A.R. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Suwardi, 1999. Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra Sebagai Wahana Penciptaan "Masyarakat Madani" Cakrawala Pendidikan, Edisi Khusus Mei. Th. XVIII, No. 2. Taroepratjeka, H. 1996. Pengembangan Pendidikan Tinggi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Makalah Seminar Temu Alumni IKIP Yogyakarta, 18 Mei. Vaizey, J. 1967. Pendidikan di Dunia Modern.Jakarta: Gunung Agung. Zamroni. 1997. Pembaharuan Pendidikan dan Penelitian Multidisiplin. Makalah Seminar Regional Pengembangan Budaya Penelitian Multidisiplin dan Antardisiplin. Yogyakarta: 19-20 Mei.Posted by Taufiq at 1:16 PM 0 comments

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANIKEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA APARATUR NEGARA UNTUK MENDUKUNG MASYARAKAT MADANI PROF DR Sofian Effendi Badan Kepegawaian Negara Bahan presentasi didepan Peserta Kursus Adum Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) 29 Agustus 1999 Daftar Isi I. Pendahuluan

II. Perubahan Strategik dalam Proses menuju Pemerintahan yang Bersih, Bebas KKN dan Bertanggungjawab III. Dasar-dasar Kebijakan Kepegawaian Negara IV. Usulan Penyempurnaan RUU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan peraturan pelaksanaannya. I. Pendahuluan Tulisan ini secara ringkas menguraikan dasar-dasar kebijakan kepegawaian negara yang akan menjadi landasan fikiran dalam penyempurnaan UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Penyempurnaan Undang Undang tersebut diperlukan guna mempersiapkan suatu kepegawaian negara yang mampu melaksanakan Tap MPR-RI Nomor X/MPR/1998 dan Tap No. XI/MPR/1998. Karena perubahan-perubahan strategik yang akan terjadi setelah Pemilu 1999, UU Nomor 8 tahun 1974 dipandang tidak cukup memadai untuk mendukung kebutuhan pembangunan nasional dan karena itu harus disempurnakan dengan menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia sebagai landasan fikir. Pendekatan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) memandang keseluruhan siklus pengembangan kepegawaian -- perencanaan kepegawaian, pendidikan dan pelatihan, pemanfaatan dan pembinaan kepegawaian dan penetapan imbalan -- sebagai suatu proses yang integral yang tak terpisahkan. Setelah Pemilu 1999, Indonesia diperkirakan akan mengalami beberapa perubahan strategik yang membawa implikasi terhadap sistem kepegawaiannya. Perubahan strategik tersebut adalah, perubahan dalam sistem pemerintahan, hubungan antara pusat dan daerah serta dalam penyelengaraan pelayanan publik. Guna menghadapi perubahan-perubahan strategik tersebut, perlu dikembangkan pemerintahan negara yang bersih, bebas KKN dan bertanggunjawab. Untuk mendukung terciptanya pemerintahan seperti itu diperlukan sistem kepegawaian negara baru yang dilandasi oleh kebijakan PSDM yang lebih holistik dan terintegrasi. Pendekatan tata usaha kepegawaian terlalu sempit yang mendasari UU Nomor 8 tahun 1974 perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan dinamika dan perkembangan masyrakat dan pemerintahan II. Perubahan strategik dalam proses menuju Good Governance, Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan dan Peran Serta Masyarakat Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Korupsi. Pemerintahan Yang Bersih, Bertanggungjawab dan Bebas KKN (Good Governance) adalah bentuk dan cara pemerintahan yang paling sesuai dan paling mampu menyelenggarakan sistem ekonomi yang berwawasan kerakyatan, sistem multi partai yang memerlukan pemerintahan koalisi, serta untuk mendorong ketaatan hukum serta ketertiban umum yang menjadi ciri dari suatu masyarakat madani. Dalam upaya untuk mengembangkan aparatur negara yang mampu melayani masyarakat madani tesebut, pengembangan kepegawaian negara akan

menjadi bagian penting dalam penciptaan good governance capability. Proses menuju Masyarakat Madani (civil society) akan ditandai oleh beberapa perubahan strategik pada sistem politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial. Perubahan strategik tersebut memerlukan readjustment pada kebijakan aparatur negara, khususnya pada UU Nomor 8 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok kepegawaian. Perubahan strategik yang akan terjadi sebagai hasil dari Pemilu 1999 antra lain adalah: a. Sistem pemerintahan koalisi Setelah Pemilu 1999 akan terjadi dua perubahan strategik yang amat mendasar dalam lingkungan politik nasional kita; Pertama, sistem multi-partai. Dalam Pemilu mendatang, 48 partai yang sudah terdaftar secara resmi pada Komisi Pemilihan Umum dan diperkirakan 9-10 partai yang akan memperoleh cukup dukungan untuk membentuk pemerintahan koalisi. Dalam pemerintahan koalisi tersebut dipastikan para anggota koalisi pasti akan menuntut porsi yang cukup dalam Pemerintahan yang terbentuk. Untuk menjaga agar prinsip keahliian tetap terjaga, perlu diadakan adjustment dalam format kepegawaian negara dengan memisahkan secara tegas antara pengangkatan politik (political appointments) pada pelbagai jabatan negara di pemerintahan dengan jabatan profesional yang harus netral dari kegiatan politik, serta jabatan lainnya. Sistem keahlian (merit system) yang dianut dalam administrasi kepegawaian RI mengharuskan para pemegang jabatan profesional pada ketiga cabang pemerintahan (Jabatan E