14

Click here to load reader

Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mekanisme reaksi hipersensitivitas

Citation preview

Page 1: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

 

Reaksi imun

 

Mekanisme

 

Klinis

 

Waktu reaksi

 

 

Tipe I (diperantarai

IgE)

 

Kompleks IgE-obat berikatan

dengan sel mast melepaskan

histamin dan mediator lain

 

Urtikaria, angioedema,

bronkospasme, muntah,

diare, anafilaksis

 

Menit sampai jam

setelah paparan

 

 

Tipe II (sitotoksik)

 

Antibodi IgM atau IgG spesifik

terhadap sel hapten-obat

 

Anemia hemolitik,

neutropenia,

trombositopenia

 

Variasi

 

 

Tipe III (kompleks

imun)

 

Deposit jaringan dari

kompleks antibodi-obat

dengan aktivasi komplemen

 

Serum sickness, demam,

ruam, artralgia,

limfadenopati, vaskulitis,

urtikaria

 

1-3 minggu

setelah paparan

 

 

Tipe IV (lambat,

diperantarai oleh

selular)

 

Presentasi molekul obat oleh

MHC kepada sel T dengan

pelepasan sitokin

 

Dermatitis kontak alergi

 

2-7 hari setelah

paparan

 

(Dikutip dari Riedl MA dan Casillas AM, 2003)

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai antigen diri

menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi autoimun.

Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel

sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis akibat aktivasi komplemen oleh

kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini

mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi

dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain

penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat, isoniazid, dan lain-lain.

Page 2: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi

seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, wheezing dan kolaps

kardiorespiratorius. Penyebab umum adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan

insulin.

Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi

sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran

permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin,

ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini

antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.

Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang

dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang

baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal

sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada,

misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar

antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2

sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan

artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin

antilimfositik dan fenitoin.

Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada

dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan

protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan

tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan

teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada sehingga terjadi

reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat

merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta

beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau lanolin.

Reaksi non imun yang tidak dapat diprediksi diklasifikasikan dalam pseudoalergi, idiosinkrasi atau

intoleransi. Reaksi pseudoalergi merupakan hasil aktivasi sel mast secara langsung, tidak melibatkan IgE

spesifik dan degranulasi oleh agen seperti opiat, koloid ekspander, polipeptida,  antiinflamasi non-steroid

dan media radiokontras.  Reaksi yang bersifat non imunologi ini dapat terjadi saat pertama kali paparan.

Reaksi idiosinkrasi hanya terjadi pada sebagian kecil populasi, seperti hemolisis yang diinduksi obat pada

orang dengan defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Intoleransi obat merupakan

ambang batas yang lebih rendah terhadap aksi farmakologi obat, seperti terjadinya tinitus setelah

pemberian aspirin.

Page 3: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Reaksi Hipersensitivitas

15FridayJUL 2011POSTED BY PHARMABRIGHT  IN IMUNOLOGI

≈ LEAVE A COMMENT

Tags

Imunologi

Oleh: Guruh Pratomo Setiawan Hadi

A.    LATAR BELAKANG

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang

berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,

molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan

tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan

dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).

Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan, tubuh

manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh yang dikenal

sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang mempunyai spektrum  luas,

yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, di dalam tubuh manusia juga

ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena

paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang

didapat secara aktif dan didapat secara pasif.

Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan

sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur

patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Dalam

pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan pengawasan.

Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis

berfungsi terhadap eliminasi komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan

dibutuhkan untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang  dicurigai akan menjadi ganas. 

Dengan perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat

mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.

Page 4: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi

sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang

tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau dengan kata lain

pada  keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada

aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan

menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008).

Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah

dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang

heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif

anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani

kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe

lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).

 2.1 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang

dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.

Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang

dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel

mast dan basofil. Selmast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena

sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa.

Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada kontak

pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah

dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi

tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang

berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas,

2004).

Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.

1.      mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting,

menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya

sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi

dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain

Page 5: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease

menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan

inflamasi tambahan (misalnya, C3a).

2.      Mediator Sekunder  yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang

dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam

meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien

B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.

Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel

mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.

Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,

pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada

reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel

radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4

juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel

B.

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik

eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu

dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan

faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian

merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I

(Arwin dkk, 2008).

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

1. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi beberapa

menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun

tanpa kontak dengan alergen lagi.

2.      Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I

fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan

terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi

alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel

Page 6: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan

permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

2.2 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi

jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi

antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah

komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi

yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang

memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan

kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja,

2009).

Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia

hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah

sebagai berikut :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu

Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya

diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit

golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan

eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan

golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan

A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana

dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi

transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok,

dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan

kompleks haem yang lepas.

Page 7: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang

tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh-

menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu

partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan

membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang

diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi

sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya

terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering

diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah

merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi

yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada

protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada

beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen

menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).

Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan

pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk

terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat

sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.

Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan

paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat

pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam penanggulangannya

telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan

transplantasi.

2.3 Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun

Page 8: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c (imun), diikuti

dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan

antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen

terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah

ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi

mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau

kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola

distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang

menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam

sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear,

terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat

dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk

dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit

merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks

imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan

akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).

 Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit

Spesifitas

antibodi Mekanisme

Manifestasi

klinopatologi

Lupus eritematosus

DNA, nukleoprotein

Inflamasi diperantarai komlplemen dan reseptor Fc

Nefritis, vaskulitis, artritis

Poliarteritis nodosa

Antigen permukaan virus hepatitis B

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Vaskulitis

Glomreulonefritis post-streptokokus

Antigen dinding sel streptokokus

Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor

nefritis

Page 9: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Fc

(Dikutip dari Abbas,2004)

2.4 Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type

Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan

antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada

permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin.

Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak

sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft),

mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus

kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T

dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena

adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang

mengandung antigen itu (sel target).

Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis,

histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).

Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T  CD4+ dan CD8+.

Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit

autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam

beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang

lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)

Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori hipersensitivitas reaksi lambat

terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis

melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik

yang dimana inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan

dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan

didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)

Page 10: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi dan

diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan

mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-

responsive sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada

produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan

memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1

dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan

berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa

dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang

lama (Abbas, 2004).

Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan

mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan

sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini.

IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai

sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi

dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan

inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme

tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung

secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas.

TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit

autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini

akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga

memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).

Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh

CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe

I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama

dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus.

Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui

oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi

tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang  terinfeksi yang dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan

granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan

mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang

dimana akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin

Page 11: Mekanisme reaksi hipersensitivitas

memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah

dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga

mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas

expressed pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang

terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa

agen kontak (Abbas, 2004).

KESIMPULAN

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah

dipajankan atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I

hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang

diperani kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada

satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease.. SAUNDERS:

China

Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI. Jakarta

Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:JakartaSHARE THIS:

Twitter

Facebook 1

LIKE THIS:

Like

Be the first to like this.

Post navigation

← Previous post