16
843 METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORA ARABIC METAPHOR A REVIEW STUDY THE DUALISM THEOLOGIANSVIEWS OF METAPHOR Dian Malinda [email protected] ABSTRACT The Arabic metaphor in this discussion is referred to the term al-majaz. It often causes debate among linguists, writers, theologians, or others. So that the problem becomes clear, then in this article the definition of Arabic metaphor is explained theoretically and its application in the verses of the Qur’an. Arabic metaphors or al-majaz a word that is used a meaning that is not the intended meaning, as there is a relationship accompanied by the word companion that obstructs the essential meaning or the actual meaning and there are several examples of it used in the Qur’an. The study takes on description of the two terms followed by its comparison and similarities between them. Arabic metaphors or al-majaz, in its development experienced clashes of opinion both from linguists, wordsmith and theologians regarding its existence. As-far-as there are some scholars who clearly deny the existence of metaphorical words, although not a few also agree with its existence. In this paper, the author tries to describe the dualism of opposing opinions regarding the existence of Arabic metaphors. It starts by describing the opinions of the scholars and the most influencer on both side who influenced them. Along with their arguments about the existence of metaphors in Arabic or al-majaz. Furthermore, there is an example of al-majaz contained in the Holy Qur’an and its explanation. Keyword : Arabic, Metaphor, Dualism, Al-majaz.

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

843

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORA

ARABIC METAPHORA REVIEW STUDY THE DUALISM

THEOLOGIANS’ VIEWS OF METAPHOR

Dian [email protected]

ABSTRACTThe Arabic metaphor in this discussion is referred to the term al-majaz. It often causes debate

among linguists, writers, theologians, or others. So that the problem becomes clear, then in this article the definition of Arabic metaphor is explained theoretically and its application in the verses of the Qur’an.

Arabic metaphors or al-majaz a word that is used a meaning that is not the intended meaning, as there is a relationship accompanied by the word companion that obstructs the essential meaning or the actual meaning and there are several examples of it used in the Qur’an.

The study takes on description of the two terms followed by its comparison and similarities between them. Arabic metaphors or al-majaz, in its development experienced clashes of opinion both from linguists, wordsmith and theologians regarding its existence. As-far-as there are some scholars who clearly deny the existence of metaphorical words, although not a few also agree with its existence.

In this paper, the author tries to describe the dualism of opposing opinions regarding the existence of Arabic metaphors. It starts by describing the opinions of the scholars and the most influencer on both side who influenced them. Along with their arguments about the existence of metaphors in Arabic or al-majaz. Furthermore, there is an example of al-majaz contained in the Holy Qur’an and its explanation.

Keyword : Arabic, Metaphor, Dualism, Al-majaz.

Page 2: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

844

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

ABSTRAKMetafora bahasa Arab yang dibahas dalam artikel ini adalah al-majaz. Metafora atau al-majaz

dalam bahasa Arab sering menimbulkan perdebatan di antara para linguis, sastrawan, teolog, ataupun lainnya. Agar persoalannya menjadi jelas, maka di dalam artikel ini diuraikan pengertian metafora atau al-majaz dalam bahasa Arab secara teoretis dan aplikasinya di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Metafora atau al-majaz adalah lafal yang digunakan dalam makna yang bukan makna seharusnya, karena adanya hubungan (‘alaqah) disertai qorinah yang menghalangi makna hakiki atau makna yang sebenarnya dan di dalam Al-Quran banyak sekali contoh penggunaannya.

Artikel ini diawali dengan penjabaran komparasi dan persamaan antara kedua terma tersebut. Metafora bahasa Arab atau al-majaz, dalam perkembangannya mengalami benturan-benturan pendapat baik dari kaum linguis, sastrawan hingga kaum teolog perihal metafora bahasa Arab atau al-majaz. Hingga terdapat beberapa ulama yang dengan gamblang mengingkari eksistensi lafal metaforis meski tidak sedikit juga yang mengamini wujudnya.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha menggambarkan dualisme pendapat yang bertentangan perihal eksistensi metafora Bahasa Arab. Dimulai dengan menjabarkan pendapat para ulama dan tokoh besar yang mempengaruhinya serta argumentasi mereka perihal eksistensi metafora dalam bahasa Arab atau al-majaz. Selanjutnya, penulis memberi pemaparan salah satu aplikasi dan contoh al-majaz yang terdapat dalam al-Qur’an.

Kata Kunci : Bahasa Arab, Metafora, Dualism, Al-majaz.

1. PendahuluanDi dalam studi ilmu bahasa Arab terdapat

13(tiga belas) cabang keilmuan. Dari ketiga belas cabang keilmuan di dalam linguistik Arab tersebut, terdapat 3(tiga) keilmuan pokok (‘umdatul-‘ulūm fil-lughatil-‘arabiyyah), yaitu ash-sharfu (morfologi Arab), an-nachwu (sintaksis Arab), dan al-balāghah yang terdiri atas al-bayān, al-ma’āniy,dan al-badĩ’ (semantik dan stilistika Arab). Majaz metafora adalah kiasan (kata-kata yang bukan arti sebenarnya) yang mengandung perbandingan tersirat. Materi ini termasuk dalam bahasan ’ilmul- balāghah yang menarik untuk didiskusikan dan diuraikan di dalam artikel ini.

Bahasa pada umumnya mengalami dekadensi seiring perkembangan zaman, sosio kultur dan manusia merupakan variabel utama

transisi bahasa. Hal demikian berlaku hampir pada seluruh bahasa, termasuk juga bahasa Arab, perkembangannya dan penyebarannya mengalami pergeseran sesuai dengan keadaan masyarakat dan budaya yang dimasukinya.

Bahasa Arab merupakan salah satu dari 3 bahasa yang dinisbatkan ke Sam bin Nuh AS. Adapun kedua bahasa lainnya adalah bahasa Arami dan bahasa Ibrani. Bahasa Arami dipakai kaum Suryani dan Kildani yang juga diyakini bibel lama menggunakan bahasa tersebut. Sedangkan bahasa Ibrani tampak dalam perjanjian lama. Hubungan antara tiga bahasa ini ditunjukan dalam perjanjian lama yang mengunakan bahasa Ibrani tetapi memiliki banyak persamaan dengan bahasa Arami dan Arab. Selain itu, Bani Israel yang mengembara selama 40 tahun di jazirah Arab mereka

Page 3: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

845

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

berinteraksi dengan masyarakat tanpa perantara penerjemah atau mediator apapun, begitupun halnya dengan komunikasi yang terjalin antara ratu Saba’ dan Sulaiman Bin Daud AS.1

Bangsa Arab memiliki gaya dan retorika yang khas. Bangsa Arab kerap menggunakan permisalan untuk menggambarkan sesuatu, untuk mengungkapkan keberanian dan karisma seorang pemimpin misalnya, mereka mengkiaskan dengan sosok singa yang terkenal dengan kekuatannya dan disegani. Begitupun dengan keindahan rembulan yang kerap digunakan sebagai perumpamaan untuk melukiskan kecantikan seorang wanita.

Gaya bahasa seperti di atas dalam Bahasa Arab mempunyai ragam yang berbeda, tamsil dua hal atau lebih yang memiliki satu kesamaan suatu karakter atau sifat dalam bahasa Arab disebut dengan tasybih. Adapun tamsil seperti di atas dengan menyebutkan keempat unsur yaitu : (1) sesuatu yang ditamsilkan, (2) sesuatu yang menjadi pengibaratan, (3) terma kiasan, (4) kesamaan karakteristik atau sifat di antara keduanya, tamsil seperti itu dalam bahasa Arab disebut dengan tasybih mufasol.

Selain menggunakan kiasan seperti di atas, Bangsa Arab juga kerap mengungkapkan sesuatu dengan lafal yang digunakan bukan untuk makna seharusnya, hal tersebut dapat diketahui dengan adanya hubungan (‘alaqah) antara makna yang dimaksud dan disertai dengan kata pendamping (qorinah) yang menghalangi makna hakiki atau makna yang sebenarnya inilah yang disebut dengan al-majaz dan menjadi fokus artikel ini.

Berbeda dengan bahasa Arami dan bahasa Ibrani, kemurniaan bahasa Arab dan eksistensinya begitu terjaga berabad-abad.

1 Jurji Zaidan, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfadz al-Arobiyah, Dar al Hilal, t.t, hal. 27.

Faktor utamanya berkat pengejewantahan firman Allah untuk seluruh ciptaannya yang di dalamnya terdapat seluruh ketetapan syariat agama Islam. Demikianlah anugrah Allah terhadap bahasa Arab, eksistensinya akan selamanya terjaga sebagaimana seorang muslim menjaga syariat agamanya.

Setelah al-Qur’an diturunkan, mendalami bahasa Arab kemudian menjadi peranti utama bagi seorang muslim untuk memahami Kitab sucinya. Telah banyak studi yang kemudian berkembang dari pendalaman bahasa Arab pada khususnya dan budaya bangsa Arab pada umumnya. Baik yang bersifat agamis, historis, sains bahkan astronomis.

Dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan tersebut adalah kodifikasi pelbagai islamologi dan sistematisasinya dari zaman ke zaman. Di antaranya adalah perumusan dan pembukuan paramasastra Arab, meskipun kodifikasinya bisa dibilang terbelakang setelah kodifikasi pelbagai islamologi lainnya, namun esensinnya sangat urgen terlebih untuk menyelami estetika bahasa Arab. Dalam perkembangan paramasastra Arab, setidaknya ada 3 golongan yang berperan penting; kaum teologi yang memunculkan kesadaran urgensitasnya, para linguis dan para sastrawan yang mengembangkan pembahasan serta memberi istilah hingga mensistematisasi sub-bab di dalamnya.

Para teolog Islam pada masa itu terpecah idealismenya, sebagian di antara mereka khowarij, syiah, sunni dan lainnya. Para teolog berpegang teguh dengan idealisme, hal tersebut kemudian diindikasi mempengaruhi pendapat dan pandangan mereka perihal al-majaz. Di antara para teolog tersebut tidak sedikit yang menolak eksistensi metafora meski mereka mengakui adanya tamsil. Meski menjadi

Page 4: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

846

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

perdebatan para teolog, studi ihwal metafora menjadi studi yang banyak dilakukan para teolog untuk mengukuhkan pendapat suatu golongan maupun untuk meruntuhkan argument lainnya. Hal tersebut mempuat peran para teolog tidak dapat diabaikan dalam studi al-majaz.

Seperti islamologi lainnya, pembahasan dalam paramasastra Arab juga mengalami banyak perbedaan pendapat antara para ulama. Dalam torehan ini, penulis berusaha mengangkat pasal metafora dalam paramasastra Arab atau yang lebih umum dikenal dengan al-majaz. Pasal metafora tidak hanya berhubungan dengan seni bahasa saja, tetapi ia bisa berperan lebih jauh bahkan hingga bisa berdampak pada akidah dan berimbas pada keimanan seseorang.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah seperti dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan masalah yang diteliti dalam artikel ini, yaitu (1) Bagaimana pendapat dan landasan para teolog yang menolak eksistensi al-majaz ?, (2) Bagaimana pendapat para teolog lainnya perihal penolakan tersebut ? dan (3) Bagaimana contoh al-majaz yang terdapat dalam Al-Qur’an?

3. Tujuan PenelitianSetelah mengetahui pendahuluan latar

belakang serta rumusan masalah pada subbab sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan perihal sejarah metafora dan dualism pandangan teolog teradap eksistensi metafora. Selain itu, peneliti juga memiliki beberapa tujuan khusus, berikut ini tujuan khusus adalah (1) Untuk menganalisis pendapat dan landasan para teolog yang menolak eksistensi al-majaz., (2) Untuk

menganalisis pendapat para teolog lainnya perihal penolakan tersebut, dan (3) Untuk menjabarkan dan memberikan contoh al-majaz yang terdapat dalam Al-Qur’an

4. Manfaat dan Signifikasi PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi berbagai pihak, baik bagi peneliti,akademisi maupun bagi masyarakat luas. Adapun dari sudut teoritis diharapkan dapat menjadi bahan informasi agar selanjutnya para peneliti dapat meneliti lebih jauh tentang metafora Bahasa Arab.

5. Kerangka Teori dan MetodologiMetafora atau dalam bahasa Arab disebut

dengan Al-majaz merupakan konfiks kata dari ajâza-yujizû yang kata dasarnya terdiri dari huruf jim, waw dan zai. Kata ajâza mempunyai banyak arti, dan makna utamanya adalah berjalan atau melewati. Secara literlejk, kata al-majaz pada mulanya berarti jalan atau tempat untuk lalu lintas. Demikian pemaknaan yang paling banyak digunakan untuk kata al-majaz, selain itu dengan pelbagai gubahannya, kata di atas dapat juga berarti perizinan, pemberian bahkan juga bisa juga bermakna meringankan beban.2

Dari penggalan di atas, belum kita temukan al-majaz yang berhubungan dengan maksud para linguis maupun para sastrawan. Tersebut dalam leksikon di atas pemaknaan yang kita dapatkan kerap hanya pemaknaan materialistis, adapun lafal al-majaz yang berhubungan dengan perkataan bangsa Arab bisa kita temukan dalam kamus Mukhtar as-2 Ibn Mandzur, Lisân al-Arab, tahkik : AbdulLah Ali Kabir dkk, Dar al-Ma’arif, Kairo, t.t., hal. 725. couf Zainuddin Muhammad bin Abi Bakar, Mukhtâr ash-Shihâh, Darussalam, Kairo, cet I, 1428 H/ 2007 M, hal. 105., dan Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, tahkik : Yahya Murod, Muassasah Al-Mukhtar, Kaiiro, cet II, 1431 H/2010 M, hal. 462.

Page 5: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

847

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

Shihah pada abad VIII H. Meski demikian, pemaknaan al-majaz sebagai konotasi makna hakiki, seperti yang dimaksud para linguis dan sastrawan, baru ada pada Qamus al-Muhith abad ke IX H. Demikianlah pengartian al-majaz dari beberapa perbendaharaan bahasa Arab. Baik pengartiannya secara literlejk hingga pergeseran hingga bermakna oposisi makna hakiki.

Definisi al-majaz di atas secara terminology, adapun secara epistimologi, awal kemunculan lafal tersebut terkenal ditangan Abu Ubaydah bin Mutsana dalam judul karyanya Majâz al-Qur’an. Banyak anggapan yang berasumsi maksud beliau saat itu adalah gramatikal yang terdapat dalam al-Qur’an. Selanjutnya, ditangan para sastrawan kata al-majaz diartikan sebagai kandungan makna emplisit dari suatu kata atau kalimat. Seperti makna terminologinya, pemaknaan demikian mengalami evolusi hingga terbentuklah definisi yang komprehensif pasca abad ke-5.

Al-Jahidz dalam karyanya al-Hayawân telah memberikan percikan eksistensi metafora dalam bahasa Arab. Dalam hal ini, beliau mengambil ayat al-Qur’an sebagai dalil adanya makna emplisit diluar makna umum suatu kalimat begitupun dengan korelasi antara makna emplisit dan eksplisit yang terkandung suatu lafal. Selain mengutip ayat al-Qur’an, beliau juga mengambil penggalan puisi Arab untuk menjelaskan maksud ayat tersebut. Dari penjelasan tersebut, beliau mengokohkan metafora dalam bahasa Arab, meski pada saat itu beliau tidak memberikan definisi apapun perihal al-majaz.3

Adapun sastrawan pertama yang memberikan definisi al-majaz dalam tata bahasa yaitu al-Jurjani. Beliau merumuskan 3 Abu Utsman Amru bin Bahr al-Jahidz, Al-Hayawân, tahkik : Abdus-Salam Muhammad Harun, Maktabah al-Usroh, Kairo, cet II, 2004 M, vol. V, hal 425.

bahwa untuk memahami suatu kata ataupun suatu kalimat dapat menggunakan dualisme makna hakiki dan makna metaforis. Makna hakiki adalah makna yang bersesuaian dengan awal mula peletakannya atau pengartiannya secara umum tanpa harus terikat dengan ketetapan apapun. Berbeda dengan sebelumnya, metafora adalah penggunaan lafal diluar makna umumnya yang bisa diserap dari makna implisit lafal tersebut, dengan catatan harus terdapat korelasi antara keduanya.4

Setelah al-Jurjani, as-Sakaki juga turut andil dalam menformulasikan kembali al-majaz. Beliau mendeskripsikan al-majaz sebagai pemaknaan kata yang keluar dari awal penetapannya dengan digandengkan dengan kata/kalimat sambung yang menghalangi pengambilan makna hakikinya.5

Upaya penggodokan kembali klasifikasi sub-bab dalam paramasastra Arab terus berkembang, begitu pula halnya dengan pendefinisian tiap terma kembali dimatangkan. Ditangan at-Tiftazani, definisi al-majaz kembali mengalami sedikit perubahan. Beliau mendefinisikan al-majaz ialah pemaknaan kata tidak bersesuaian dengan asli penetapannya dalam wicana dan pemaknaan tersebut dapat dibenarkan dengan adanya kata/kalimat sambung yang menghalangi pegambilan makna hakiki dan adanya korelasi antara makna hakiki dan makna metaforis.6

Di atas sekilas perkembangan definisi lafal al-majaz dalam paramasastra Arab. Adapun dalam tulisan ini, kata al-majaz disandingkan dengan terma metafora. Adapun 4 Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdur Rahman al-Jurjani, Asrâr al-Balâghah, tahkik: Mahmud Muhammad Syakir, Dar al-Madani, Jeddah, cet I, 1412 M/1991 H, hal. 353.5 Abu Ya’qub Yusuf bin Abu Bakar as-Sakaki, Miftâh al-Ulûm, Tahkik : Naim Zarzur, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet II, 1407 H/ 1987 M, hal.360.6 Sa’duddin Mas’ud bin Umar at-Tiftazani, Al-Muthowwal, Tahkik : Ahmad Azwu Inayah, Dar ak-Koukh, t.k., 1387 M, hal. 64.

Page 6: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

848

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

definisi metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.7

Dari definisi di atas, penulis memandang adanya beberapa persamaan antara kedua lafal tersebut. Meski keduanya tidak mutlak sama, akan tetapi terdapat beberapa kesamaan antara keduanya. Hemat penulis, lafal metafora dalam tulisan ini cukup mewakili terma al-majaz dalam paramasastra Arab.

6. Hasil Analisis dan Pembahasan.6.1 Antagonisme terhadap Metafora.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengertian metafora tidak lahir dan matang dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, ia mengalami beberapa fase. Dalam perkembangannya tentu terdapat benturan-benturan baik dari kaum linguis, sastrawan hingga kaum teolog. Tidak semua orang bisa menerima eksistensi lafal metaforis dalam bahasa Arab, bahkan beberapa ulama dengan gamblang mengingkarinya meski tidak sedikit juga yang mengamini wujudnya.

Di antara para ulama yang paling terkenal dalam menolak kandungan metaforis dalam bahasa Arab adalah Imam Daud bin Ali al-Asbahani, beserta putranya Abu Bakar pada abad ke-3 H. Pada abad selanjutnya, Ibnu Al-Qash, Abu Muslim al-Ashbahani, dan Abu Huwaidz Mandzad mengikari metafora. Demikian, sebab pada zaman tersebut maraknya pemahaman al-Qur’an dengan pemaknaan metaforis bahkan ironisnya beberapa sekte menggunakannya sebagai alat untuk membenarkan ideologinya hingga makna metaforis berbeda tipis dengan kebohongan. Berangkat dari sinilah kemudian para ulama di atas menganggap bahwa metafora berdampingan dengan kebohongan dan al-7 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Qur’an harus dihindarkan dari pemaknaan yang metaforis. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa metafora hanya dipakai ketika seseorang tidak mampu untuk mengungkapkan maksudnya secara gamblang, dan Allah swt. Mustahil dari ketidak mampuan tersebut dengan demikian adanya makna metaforis dalam al-Qur’an adalah absurd.8

Meskipun para ulama tersebut tidak mengakui adanya metafora dalam al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak terang-terangan mengingkari eksistensinya dalam bahasa Arab pada umumnya. Pada perkembangan gerakan anti-metafora selanjutnya, syeikh Ibnu Taymiyahmembabat habis metafora. Beliau tidak hanya menolak adanya metafora dalam al-Qur’an, lebih jauh beliau berusaha mentiadakan metafora dalam bahasa Arab pada umumnya.

Beliau mengungkapkan bahwa klasifikasi pemaknaan hakiki dan metaforis itu sendiri baru ada pasca abad ke III H. Beliau mengambil dallil bahwa para sahabat Nabi Saw., para Tabi’în dan para ulama abad I dan II seperti Imam Malik, imam Nawari, Imam Auza’i, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak ada seorangpun dari mereka yang berbicara perihal metafora bahkan para ulama linguistik seperti Sibaweih dan Khalil bin Ahmad pun tidak.9

Meskipun beliau juga turut mengamini bahwa orang pertama yang mencetuskan lafal al-majaz adalah Abu Ubaydah bin Mutsana, beliau tetap mentitik-beratkan bahwa pemaknaannya pada saat itu dalam dimensi gramatikal bukan dalam dimensi paramasastra.

Beliau mengamini perkataan Abu Ishaq al-Isfiraini yang menolak adanya metafora secara umum, tidak hanya yang terkandung 8 Jabir Ahmad Usfur, As-Sûroh al-Faniyah fî at-Turôts Naqdî wa al-Balâghî, Dar al-Maarif, Kairo, t.t,. hal. 140.9 Taaqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Taymiyah, Al-Îmân, tahkik : Muhammad Nasiruddin al-Albani, Al-Maktab al-Islami, Oman, cet. V, 1416 H/1996 M, hal. 80.

Page 7: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

849

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

dalam al-Qur’an tapi juga dalam bahasa Arab. Selanjutnya, beliau berusaha menjabarkan dualisme pendapat para ulama terhadap pedapat Abu Ishaq di atas. Para kritikus atas pendapat Abu Ishaq menjelaskan bahwa pertikaian antara mereka hanyalah pertikaian terma hal tersebut ditunjukan ketika mereka mengamini adanya makna lain dari suatu kata meskipun mereka tidak menebutnya sebagai metafora. Untuk menjawab penentang Abu Ishaq, para pembelanya berusaha membedah definisi metafora dan mengkaitkannya dengan awal kemunculan bahasa.

Begitu pula halnya dengan Ibnu Taymiyah, beliau mengungkapkan untuk mengklasifikasikan makna kedalam dua bagian ,makna metaforis dan makna hakiki, maka sudah lazim adanya suatu penetapan makna atas suatu lafal. Dengan demikian, secara tidak langsung pembahasan metafora berhubungan dengan teori konsesus. 10 Teori tersebut juga beliau sanggah dengan beberapa alasan: pertama, karena teori yang demikian mengharuskan para ulama untuk menetapkan tiap makna untuk tiap lafal sebelum penggunaannya dan hal tersebut mustahil. Kedua, teori demikian baru dicetuskan oleh Abu Hasyim bin al-Juba’i dan Abu Hasan al-Asy’ari dan pada akhirnya juga ditolak oleh Abu Hasan al-Asy’ari sendiri dengan teori Wahyu.11

Tidak hanya menolak teori konsensus, beliau juga menolak teori Ilham dan Wahyu dalam kemunculan bahasa. Meskipun teori ini mempunyai dalil dari al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Adam AS., memahami seluruh bahasa dalam semesta dengan demikian tidak mustahil bila kemudian keturunan nabi 10 Suatu teori dalam filologi yang menyatakan bahwa awal permulaan bahasa adalah dengan adanya ketetapan makna dari suatu kaum/golon-gan tertentu atas suatu lafal sebelum kemudian lafal tersebut tersebar dalam khalayak.11 Ibid., hal. 82.

Adam AS., terpecah ke tiap bagian bumi dan menyebarkan bahasa. Meskipun beliau tidak mengingkari dalil tersebut, akan tetapi beliau beliau juga menyatakan bahwa teori tersebut keliru. Demikian sebab keturunan nabi Adam AS., telah binasa kecuali yang berada dalam kapal nabi Nuh As. Akan tetapi mereka pun menyebar, dan tiap bagiannya banyak berbeda dengan lainnya. Keturunan nabi Nuh As dikerucut menjadi tiga yaitu, Ham, Sam dan Yafidz. Bagaimana ketiganya berbicara dengan seluruh keragaman bahasa seperti yang berkembang saat ini.12

Dari titik tolak di atas kemudian beliau kembali meyakinkan bahwa tidak ada penetapan makna hakiki aas suatu lafal karna sejatinya tidak dibenarkan teori konsesus dalam kemunculan bahasa. Begitupun halnya bila makna hakiki diartikan sebagai pemaknaan yang sesuai dengan penetapannya dari Ilham karna Ilham yang dimaksud dalam ayat adalah kemampuan untuk berbahasa bukan ketetapan bahasa.

Dengan demikian, bila akar dari klasifikasi pemaknaan tersebut telah diruntuhkan, maka klasifikasi makna hakiki dan makna metaforis tidak bisa dibenarkan. Semua lafal tidak perlu pengklasifikasian makna karna tidak mempuyai asal penetapan makna hakiki adapun suatu lafal yang memili makna lebih dari satu bukanlah disebut al-majaz, akan tetapi lafal al-musytarok.13

Setelah membedah habis awal kemunculan bahasa dan hubungannya dengan metafora, Ibnu Taymiyahjuga menjernihkan peranti yang sering menjadi bagian dari metafora yaitu kata sambung. Menurutnya, selain alasan di atas, pemaknaan metaforis juga kerap dihubungkan dengan kata sambung. Beliau 12 Ibid., hal. 84.13 Yaitu suatu kata dalam bahasa Arab yang mempunya makna lebih dari satu sesuai dengan kata sambung yang mengikutinya. Ibid., Hal. 88.

Page 8: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

850

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

menyatakan bahwa tidak ada lafal dalam bahasa Arab yang tunggal. Setiap kata pasti memiliki kata sambungnya masing-masing meski kata sambung tersebut tampak ataupun tidak. Semisal kata mata, ketika diungkapkan tunggal maka yang kerap dimaksud adalah mata manusia yang digunakan sebagai indra penglihatan. Akan tetapi ketika ia disambung dengan kata air baik menjadi air mata ataupun mata air, ataupun digubah menjadi kata mata-mata maka akan mengalami perubahan makna. Perubahan makna yang demikian tidaklah dapat disebut dengan lafal al-majaz akan tetapi dikenal dengan al-musytarok.14

Dalam karyanya yang lain, Ibnu Taymiyah menjelaskan efek negative dari eksistensi metafora dalam bahasa Arab pada umumnya, dan pengaruhnya dalam al-Qur’an pada khususnya. Di antara mafsadah makna metaforis adalah:

Pertama, adanya klasifikasi pemaknaan metaforis dan pemaknaan hakiki tentu berefek pada pengurangan nilai salah satu di antaranya. Adapun dalam kasus ini adalah makna metaforis, sebab ia merupakan cabang dari makna hakiki. Dengan demikian, pemaknaan metaforis menunjukan titik kelemahan pada satu lafal karna tingkatannya di atas makna hakiki. Hal demikian diperkuat lagi dengan adanya keniscayaan dalam penggunaan metafora bisa diserap dari makna konotasinya karna lafal metaforis harus diiringi dengan kata pelangkap, maka ketika kalimat pelengkap tersebut tiada atau tidak terbaca akan merubah makna.15

Kedua, pengakuan terhadap eksistensi metafora telah menyeret para ulama untuk mengatakan bahwa seluruh kata yang 14 Ibid.,hal. 90.15 Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Taymiyah, Majmu’ah al-Fatâwa, tahkik : Amir al-Jazzar dan Anwar al-Bazz, Dar al-Wafa`, t.k. cet III, 2005 M/ 1426 H, vol. XX, hal. 247.

tersusun darinya al-Qur’an mengandung makna metaforis. Sebagaimana ulama juga membukukan lafal metaforis yang berdampak pada perbedaan retorika pembacaan ayat al-Qur’an. Tidak sedikit dari pala ulama juga menisbatkan makna metaforis dalam ayat-ayat al-Qur’an yang mengakibatkan pemberian celah untuk kecondongan terhadap pemaknaan yang salah. Dengan demikian, mereka telah melenceng dari makna aksiomatis dan berusaha memperluas nama serta sifat Allah dengan bid’ah-bid’ah yang mereka buat sendiri.16

Demikianlah beberapa mafsadah yang cukup krusial yang dijelaskan oleh Ibnu Taymiyah. Bila kembali dibaca secara seksama, Ibnu Taymiyah berusaha menghapus jejak-jejak metafora dalam segala bentuk. Tidak hanya yang berkaitan dengan al-Qur’an tapi beliau membabat habis metafora seluruhnya. Upaya demikian tercermin bagaimana beliau yang notabene seorang ulama besar dalam bidang Ibadah dan Akidah menyibukan dirinya dengan permasalahan filologi yang rumit. Usaha tersebut beliau lakukan dalam sebagai upaya pendekatan ktiris terhadap konsep al-majaz. Bahkan beliau juga mengkisahkan histori awal kemunculan lafal al-majaz dengan menekankan bahwa lafal tersebut bukanlah lafal yang sudah ada sejak zaman primordial.

Setelah penafian eksistensi metafora dalam al-Qur’an, lalu timbulah pertanyaan bagaimana seharusnya seorang muslim memahami Kitab sucinya. Ibnu Taymiyahmenawarkan konsep pembacaan ayat al-Qur’an sesuai dengan teks termaktub. Beliau menekankan seseorang yang beriman akan mempercayai sifat-sifat dan nama Allah sesuai yang telah ditetapkan oleh-Nya dan

16 Ibid., hal. 249.

Page 9: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

851

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

oleh RasululLah Saw., tanpa penyelewengan makna dan tanpa mencari tahu bagaimana hakikatnya. 17

Konsep di atas diamini para pengikutnya dan para muridnya bahkan dijadikan sebagai fondasi ideologi tertentu. Di antara murid beliau yang paling banyak meneruskan estafet ideologi Ibnu Taymiyahadalah Ibn Qayim al-Jauzi. Karyanya dihiasi dengan penerapan-penerapan atas konsep yang telah dirumuskan Ibnu Taymiyah termasuk di dalamnya pengingkaran terhadap eksistensi metafora.

Ibn Qayim menekankan bahwa klasifikasi makna metaforis dan makna hakiki bukanlah klasifikasi yang bisa dipertanggung-jawabkan secara syariah, secara logika ataupun secara bahasa. Untuk menguatkan statemen demikian, beliau mengkhususkan satu sub-bab dalam bukunya yang menolak eksistensi al-majaz dengan lebih dari 50 sudut pandang dilengkapi dengan sampel-sampel untuk tiap argument yang diutarakan. Secara umum, apa yang beliau utarakan sama persis seperti pernyataan-pernyataan Ibnu Taymiyahyang telah dijelaskan sebelumnya.18

Jejak selanjutnya ulama yang mengingkari eksistensi metafora, terutama bila ia digunakan sebagai salah satu peranti kemukjizatan al-Qur’an adalah Muhammad Amin as-Syanqithi. Dalam mukadimah bukunya beliah menerangkan perbedaan pendapat para ulama tentang posisi metafora dalam bahasa. Beberapa ulama menentangnya dan sebagian juga mengamini keberadaannya. Meski demikian, yang terakhir juga terpecah menjadi dua golongan yaitu ulama yang mengakui eksistensinya dalam bahasa Arab tapi tidak dalam al-Qur’an dan ulama yang

17 Ibid., Juz 13 hal 204.18 Muhammad Ibn al-Mushili, Mukhtashor Shawâiq Mursalah li Ibn Qa-yyim Al-Jauziyah, tahkik : Hasan bin AbdurRahman al-Alawi, Maktabah Adhwa` as-Salaf, Riyadh, 2004 M/ 1425 H, vol. II, hal. 757.

menerima keberadaannya mutlak termasuk dalam al-Qur’an.

Meskipun sejak awal beliau mengamini pendapat Ibnu Taymiyahdan Ibn Qayim yang menolak eksistensi metafora dalam bahasa Arab secara menyeluruh. Akan tetapi, pada bukunya beliau berusaha memberikan penekanan terhadap keganjilan eksistensi metafora dari kedua sudut pandang; kaum yang menolak metafora dan kaum yang menerimanya.

Secara singkat, bagi kaum pertama tidak perlu pembahasan rumit sebab ketika eksistensi metafora dalam bahasa Arab telah ditolak maka secara tidak langsung juga eksistensinya dalam al-Qur’an menjadi absurd. Sedangkan untuk kaum kedua, beliau memberikan beberapa dalil atas penolakan majas dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah lafal metaforis bisa mengandung makna yang kontradiksi atau pemaknaannya bisa diingkari, sedangkan al-Qur’an adalah firman Allah tanpa cela. Dengan demikian, tidak mungkin unsur demikian bisa dimasukan dalam al-Qur’an.

Dari penjelasan di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa unsur-unsur penting dalam penolakan makna metaforis adalah; pertama, Para Sahabat Nabi Saw., para Tabi’in dan kaum salaf tidak mencetuskannya. Kedua, Penolakan teori konsensus dalam penetapan awal mula kemunculan bahasa. Ketiga, Penolakan asumsi bahwa tiap lafal dalam bahasa Arab bisa diutarakan secara independen(al-muthlaqah). Demikian sebab setiap lafal berbentuk afiks yang tidak bisa dipisahkan dari kata pengikatnya (al-muqoyadah). Keempat, pembahasan perihal majaz adalah pembahasan yang muncul dan berkembang di ranah kaum muktazilah yang notabene berseberangan ideologi dengan Ibnu Taymiyahdan pengikutnya. Kelima, upaya

Page 10: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

852

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

pembedahan kembali ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang digunakan sebagai dalil eksistensi metafora.19

6.2 Paparan Eksistensi MetaforaTidak sedikit ulama yang berseberangan

ideologi dan keyakinan dengan golongan di atas. Di antara ulama yang paling kental menyuarakan eksistensi metafora adalah Ibn Jinni. Bahkan dengan tegas beliau menyatakan bahwa tidak ada satu lafal-pun dalam bahasa Arab yang terlepas dari makna metaforis. Semisal kata “aku memasuki rumah” tiga kata di atas dapat dipahami secara tampak, akan tetapi sejatinya kata kerja dalam kalimat tersebut memiliki sisi implisit seperti proses yang dilakukan seseorang ketika ia memasuki rumah; mengetuk pintu, membuka kunci hingga menapakkan kakinya dalam rumah.

Adapun salah satu contoh al-majaz dalam Al-Qur’an terdapat dalam ayat di bawah ini. Allah SWT berfirman :

)واسأل القرية التي كنا فيها والعير التي أقبلنا فيها وإنا لصادقون (

Artinya : Dan tanyalah (penduduk) negeri tempat kami berada, dan kafilah yang datang bersama kami. Dan kami adalah orang yang benar. ( Q.S. Yusuf [13] : 82).

Dalam ayat tersebut, lafal yang disebut adalah negeri (al-qoryah) dan terdapat kata pendamping (qorinah) yang terdapat dalam ayat tersebut yakni kata bertanyalah. Disamping itu, terdapat hubungan tempat antara keduanya, dengan demikian yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah penduduk negeri.

Dari sampel di atas, tampak ketelitian seorang pakar linguistik dalam memberikan 19 Abdul Adzim Ibrahim Muhammad al-Muthni, Al-majaz Inda Ibnu Taymiyahwa Talâmîdzihi bayna al-Itsbât wa al-Iqrâr, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet I, 1995 M/ 1416 H, hal. 9.

indikasi dan pengertian suatu kata. Hal ini kemudian diperkuat dengan rumusan teori konsesusnya dalam ilmu filologi. Meskipun teori tersebut tidak dapat diterima secara mutlak bahkan telah ditolak mentah-mentah oleh Ibn Taymiyah. Akan tetapi, dalam ranah filologi tidak bisa dinafikan juga urgensitas esensinya dalam usaha perumusan teori kemunculan bahasa yang komprehensif.

Gerakan anti-metafora yang telah ada sejak abad ke-3 juga mengundang perhatian Ibnu Qutaybah untuk mencari hakikat metafora. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pelopor gerakan ini pada abad ke-tiga menolak makna metaforis karena metafora sangat erat dengan kebohongan dan penggunaan lafal metaforis hanya dipakai untuk menunjukan ketidak mampuan pengucapan lafal dengan pemaknaan yang gamblang.

Beliau menjawab dengan menggunakan sampel-sampel seperti kalimat : “pohon telah meninggi” “harga menjadi murah” “buah berubah matang” seluruh kata kerja dalam kalimat tersebut disandarkan pada benda mati, sedangkan benda mati tidak bergerak. Sedang kita meyakini bahwa Allah Swt., yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam semesta. Bila penisbatan tersebut yang merupakan bagian metafora dianggap suatu kebohongan, maka hamper seluruh bahasa Arab mengandung kebohongan dan yang demikian adalah penilaian yang fasid. Dengan demikian, metafora bukanlah suatu kebohongan, akan tetapi ia merupakan dimensi seni bahasa untuk memperkuat makna dalam suatu kalimat. Dan perlu diingat kembali, bahwa pemaknaan metaforis tidak serta-merta bisa disimpangkan dari makna hakikinya. 20

20 Jabir Ahmad Usfhur, op.cid., hal. 141.

Page 11: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

853

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

Ibn Rayiq yang datang dua abad setelah Ibnu Qutaybah kembali menegaskan jauhnya interelasi metafora dengan kebohongan. Ia menjelaskan rahasia terkandung dari seni penggunaan lafal metaforis, selain untuk lebih enak didengar ia juga dipakai untuk memberikan pemaknaan yang mendalam. Implisitas teks selanjutnya bisa dimasukkan dalam dimensi metafora.21

Perumus paramasastra Arab juga menekankan hal tersebut. Al-Jurjani menjelaskan korelasi makna hakiki dengan makna metaforis seperti korelasi antara cabang dengan induk suatu pohon. Untuk menjadi bagian dari suatu pohon, harus memiliki unsur kombinasi yang sama. Begitupa dengan pemaknaan metaforis yang hanya bisa diterima apabila kita memahami makna hakikinya terlebih dahulu dan juga mengerti akan korelasi antara keduanya.22

Adapun upaya menjawab atas gerakan anti-metafora yang dicanangkan Ibnu Taymiyah telah ramai dikalangan para ulama setelahnya. Argumentasi dengan menggunakan analisa filologi, liguistik hingga ranah sampel dan dalil. Dengan demikian, pembacaan ulang mengenai metafora kembali ramai di kalangan para ulama tidak terbatas pada teriotorial linguis atau sastrawan saja bahkan hingga ranah teolog.Semisal penjelasan Syeikh Muhammad al-Uzzazi yang dicantum Mansur Muhammad Uwais dalam bukunya, disana beliau berusaha membedah tiap titik penolakan Ibnu Taymiyahterhadap metafora.

Anggapan Ibnu Taymiyah yang menganggap bahwa istilah al-majaz adalah istilah yang baru terlahir pasca abad ke-3

21 Abu Ali Hasan bin Rasyiq al-Qayraawani al-Azadi, Al-‘Umdah fî Mahâsin asy-Syi’r wa Adâbuhu, takik : Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Dar al-Jayl, t.k., cet V, 1401 H/1981 M, vol. I, hal. 266.22 Jabir Ahmad Usfur, op.cid., hal. 142.

dan tidak mempunyai asal usul yang tetap bahkan lafal yg digunakan Abu Ubaydah saat itu bukanlah metafora seperti pemaknaannya saat ini. Muhammad al-Uzzazi menganggap bahwa penialaian yang terburu-buru atas hal yang tampak saja, apabila Ibnu Taymiyah mau membaca secara seksama kontens buku Majâz al-Qur’an maka beliau temukan didalamya apa yang dimaksud Abu Ubaydah dengan lafal al-majaz bukan sekedar gramatikal saja akan tetapi pengertian metafora yang sama seperti yang dipahami para linguis dan sastrawan.23

Sementara itu, kelahirannya pasca abad ke-3 bukanlah hal yang mengherankan sebab telah maklum bahwa seluruh kodifikasi dilakukan pada abad ke-3 dan selanjutnya. Disamping hal tersebut, kodifikasi paramasastra Arab dengan sub-bab yang seperti sekarang termasuk kodifikasi yang terakhir setelah kodifikasi islamologi lainnya. Bila demikian keadaannya, maka kemunculan makna metaforis sebagai pemecahan dari makna hakiki tidak perlu dipersoalkan.24

Tidak luput usaha Ibnu Taymiyah yang mengingkari metafora dengan mengingkari teori konsensus dan teori ilham. Disini perlu ditinjau usaha demikian bertujuan untuk menolak adanya penetapan makna terhadap suatu lafal sebelum penggunaannya. Dengan demikian, suatu lafal yang belum ditentukan pemaknaan tertentu tidak mungkin mempunyai cabang. Maka disini, beliau ingin menekankan kemustahilan klasifikasi makna dengan mengingkari eksistensi makna hakiki dari suatu lafal.

Benang merah yang berusaha ditarik Ibnu Taymiyah dijawab dengan pendekatan sampel oleh Muhammad al-Uzazi. Beliau

23 Taaqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Taymiyah, Al-Îmân, hal. 32.24 Ibid., hal. 33.

Page 12: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

854

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

mengambil lafal “Harimau” sebagai contoh, lafal tersebut bila disebutkan secara indenpen akan difahami sebagai hewan buas sedangkan bila disambung atau diikat dengan korelasi kata lainnya dapat bermakna seseorang yang disegani. Kemudian, tanpa perlu dipertanyakan asal mula pemaknaan harimau sebagai binatang buas atau pengartiannya dengan seseorang yang disegani, seseorang bisa mengambil kesimpulan bahwa pemaknaan yang tidak terikat oleh apapun dianggap induk.25 Adapun ketika ingin menelusuri kembali histori antara seekor binatang dan lafal manakah yang muncul dibumi terlebih dahulu, untuk menjawab pertanyaan demikian, seseorang tidak cukup hanya mengutip beberapa teori filologi saja, akan tetapi perlu juga memasuki ranah filologi secara mendalam.

Disamping ulama yang menentang ideologi Ibnu Taymiyah dalam problematika, ada juga beberapa ulama yang berusaha menyelami keyakinan beliau dan mencari titik temu antara Ibnu Taymiyahbeserta para pengikutnya dengan para ulama yang mengabsahkan eksistensi metafora.

Semisal Syeikh Ibrahim Uqaily yang berusaha menjelaskan kembali maksud dan hakikat penolakan eksistensi metafora yang dilakukan Ibnu Taymiyah. Menurutnya, sejatinya yang diingkari Ibnu Taymiyah hanyalah pemaknaan metafor is yang merupakan pemecahan dari makna hakiki bukan pengambilan makna emplisit dari suatu lafal. Demikian ditunjukan Ibnu Taymiyah yang secara tidak langsung mengamini adanya perluasan makna dari makna hakiki suatu lafal. Akan tetapi, beliau tidak menamakannya sebagai metafora melainkan perluasan makna

25 Mansur Muhammad Uwais, Ibnu TaymiyahLaysa Salafiyan, Dar an-Nahdlah Al-Arabiyah, Kairo, Cet I, t.t., hal. 33.

dalam kalimat sebagai usaha penyingkatan kata.26

Beliau berusaha menjelaskan bahwa pemaknaan hakiki sejatinya muncul dari bagaimana suatu lafal lazimnya diindikasikan terhadap benda atau gerakan tertentu bukan dengan penetapan apapun. Kemudian, beliau mengamini pendapat Ibnu Taymiyah yang menyatakan bahwa tidak ada suatu lafal yang tidak terikat karena kata sambung yang mengikat itulah yang menentukan makna yang diinginkan dari suatu teks. Apabila yang terjadi demikian, tidak perlu adanya klasifikasi antara makna hakiki dan makna metaforis. 27

Dari penjelasan di atas, dapat kita temukan perbedaan pengertian terma “ikatan” antara para linguis dan para teolog. Yang dimaksud ikatan oleh para linguis bukan sekedar kata sambung saja, akan tetapi juga korelasi antara makna hakiki dan makna metaforis. Adapun ikatan yang dimaksud Ibnu Taymiyah dan para pengikutnya adalah kata sambung dalam suatu kalimat.

Berikut adalah beberapa keterangan yang menunjukan inkonsistensi Ibnu Taymiyah dan pengikutnya yang menolak mentah-mentah metafora dalam karyanya. Akan tetapi, pada akhirnya dalam beberapa karyanya yang lain, beliau mencerminkan tindakan yang mengamini eksistensi metafora:

Pertama, Penakwilan secara metaforis yang dikutip dari ulama sebelumnya yang kemudian diakui oleh Ibnu Taymiyahdan pengikutnya. Semisal permasalahan kebersamaan Allah dengan hambanya yang menggunakan pendekatan al-majaz al-mursal dalam memahami ayat al-Qur’an dan Hadis.

Kedua, Penakwilan secara metaforis yang dilakukan sendiri oleh Ibn Taymiyah dan 26 Ibrahim Uqayli, Takâmul al-Manhaj al- Ma’rifî inda Ibn Taymiyah, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, cet I, t.k., 1994 M/ 1415 H, hal. 130.27 Ibid., hal 134.

Page 13: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

855

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

muridnya bukan dengan pengutipan dari orang lain. Meski keduanya tidak menyebutnya dengan takwil bahkan beliau sendiri mengingkari adanya takwil akan tetapi dalam Daqâiq at-Ta’wîl terdapat banyak dalil yang menunjukan hal di atas.

Ketiga, Kemunculan lafal metaforis da lam perka taan Ibnu Taymiyahdan muridnya. Bahkan tidak sedikit juga beliau menggunakannya sebagai upaya defensive untuk menjaga ideologinya atas orang-orang yang menghujatnya dengan dalil al-Qur’an dan Hadis. Meskipun Ibnu Taymiyah dan para muridnya secara terang-terangan menolak eksistensi majas, akan tetapi seluruhnya tidak mampu menafikannya dalam kehidupan.28

6.3 Interpretasi Lafal استوى (istawa) dalam Al-Qur’an.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

pembahasan metafora tidak berhenti pada seni bahasa Arab saja, tetapi ia juga berperan dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Interpretasi ayat yang menjadi perdebatan sengit antara dualisme di atas adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat, nama dan perbuatan Allah Swt., termasuk di antarannya lafal istawa.

Lafal tersebut penisbatannya kepada Allah Swt. termaktub 9 kali dalam al-Qur’an yaitu : surat al-Baqoroh [2] : 29, surat al-A’râf [8] : 54, surat Yûnus [11] : 3, surat al-Ra’d [13] : 2, surat Thâha [16] : 5, surat al-Furqân [19] : 59, surat as-Sajadah [21] : 4, surat Fushilat [24] : 11, dan al-Hadid [27] : 4. Dalam surat al-Baqoroh dan surat Fushilat, objek setelah lafal istiwa’ adalah kata as-Samâ`(langit) sedangkan dalam surat lainnya objeknya ialah lafal al-‘Arsy (singgasana).

28 Abdul Adzim Ibrahim Ahmad Al-Muthni, Op.Cid., hal. 10.

Para ulama berbeda pendapat perihal pemaknaan lafal tersebut, demikian sebab secara literlejk kata tersebut mempunyai banyak makna. Adapun untuk keabsahan pemaknaan tersebut dibutuhkan keteliatian dan kecermatan sebab dalam ayat di atas subjek dari kata tersebut adalah Allah Swt. dengan demikian, ada beberapa makna yang dianggap bisa digunakan sedang beberapa lainnya tidak.

Di antara pemaknaan ىوتسا )istawa( yang berobjekan langit adalah ‘bermaksud’ atau ‘berhasrat’; Allah bermaksud menciptakan langit, seperti yang dijelaskan Imam Qurthubi dalam tafsirnya. Pengertian demikian sesuai dengan salah satu sifat Allah yang Maha berkehendak. Selain bermaksud atau berhasrat, secara terminology lafal tersebut juga berarti bersemayam atau bertahta. Berbeda dari sebelumnya, lafal di atas, dengan singgasana sebagai objek lazimnya dimaknai kepemilikan dan kekuasaan. Pemaknaan demikian diambil secara metaforis, dengan korelasi bahwa hanya penguasa yang bisa bersemayam di atas singgasana penafsiran demikian yang diangkat oleh Imam Tsa’labi dan Abu Saud.29

Pemaknaan seperti di atas tidak diamini oleh Ibn Taymiyah, baginya lafal istawa tidak perlu dikiaskan dengan apapun hanya perlu dipahami sesuai teks al-Qur’an. Untuk memahami ayat-ayat tersebut ,terutama yang menggunakan lafal singgasana sebagai objek, baginya harus diterima dengan makna lazimnya yaitu bersemayam di atas singgasana, begitupun di langit. Pemaknaan tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan apapun, seorang mukmin harus mempercayai Allah yang bertahta di atas singgasananya.30

29 Husam bin Hasan Sharshur, Ayât ash-Shifât wa Manhaj ath-Thabari fi Tafsîr Ma’ânîhâ; Muqârinan bi al-Ârâi Ghairuhu min al-Ulamâ, Dar al-Ku-tub al-Ilmiyah, Beirut, cet I, 2004M/ 1424 H, hal. 334. 30 Ahmad bin Abdul Halim bin Taymiyah, Arsy ar-Rahmân, tah-kik : Abdul Aziz Sayrawan, Dar al-Ulum al-Arabiyah, Beirut, cet I,

Page 14: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

856

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Pemaknaan yang demikian kemudian menyeret Ibnu Taymiyah untuk menggambarkan bagaimana singgasana tersebut. Singgasana yang kedudukannya melebihi singgasana manapun bahkan melebihi posisi manusia sekalipun seperti halnya surga firdaus yang posisinya paling atas di antara surga lainnya.31

Bahkan dengan jelasnya Ibnu Taymiyah dan pengikutnya berusaha mengkorelasikan antara singgasana dan hati manusia. Dengan tendensus makna maksud bahwa yang dimaksud dengan singgasana disini adalah hati. Singkatnya beliau memaknai bahwa Allah bersemayam dalam hati tiap manusia demikian sebab hati mempunyai kedudukan paling tinggi untuk mengetahui perihal Allah dan mencintainya.32

Hal yang demikian bertentangan dengan statemen Ibnu Taymiyah sendiri yang melarang mengkiaskan apapun yang berhubungan dengan Allah dengan apa yang ada pada manusia. Contoh di atas juga menjabarkan kontradiksi teorinya dengan praktek penafsiran makna ayat al-Qur’an.

7. SimpulanSebagai ulama yang kemampuannya telah

diakui, kita mengapresiasi segala usaha yang telah dilakukan oleh Ibnu Taymiyah. Dalam ranah ideologi, bagaimanapun kebenaran masih akan terus dalam pencarian. Tidak ada pendapat 1995/1415, hal. 19.31 Ibid., hal. 47.32 Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayim al-Jauziyah, Al-Fawâid, Dar ar-Rayan, Kairo, cet I, 1987 M/1407 H, hal.41.

dan statemen seorang manusia yang luput dari kesalahan kecuali Nabi Muhammad Saw.

Ibnu Taymiyah yang menyatakan bahwa tidak ada suatu lafal yang tidak terikat karena kata sambung yang mengikat itulah yang menentukan makna yang diinginkan dari suatu teks. Apabila yang terjadi demikian, tidak perlu adanya klasifikasi antara makna hakiki dan makna metaforis. Perbedaan pengertian terma “ikatan” antara para linguis dan para teolog. Yang dimaksud ikatan oleh para linguis bukan sekedar kata sambung saja, akan tetapi juga korelasi antara makna hakiki dan makna metaforis. Adapun ikatan yang dimaksud Ibnu Taymiyah dan para pengikutnya adalah kata sambung dalam suatu kalimat.

Al-Jurjani menjelaskan korelasi makna hakiki dengan makna metaforis seperti korelasi antara cabang dengan induk suatu pohon. Untuk menjadi bagian dari suatu pohon, harus memiliki unsur kombinasi yang sama. Begitupa dengan pemaknaan metaforis yang hanya bisa diterima apabila kita memahami makna hakikinya terlebih dahulu dan juga mengerti akan korelasi antara keduanya.

Meskipun pada akhirnya, pengingkaran Ibnu Taymiyah atas metafora tidak dapat diterima secara menyeluruh. Bagaimanapun pendapat beliau tetap memberikan pengaruh positif agar setiap ulama lebih berhati-hati dalam penggunaannya apalagi yang berhubungan dengan teks al-Qur’an dan Hadis Nabi. WalLahu a’lam bi bâthinil umûr.

Page 15: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

857

METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME PANDANGAN TEOLOG TERHADAP METAFORADian Malinda

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim Fairuz. 2010. Al-Qâmûs al-Muhîth, Kairo : Muassasah Mukhtar.

Al-Azadi, Ibn Rasyiq Abu Ali Hasan al-Qayraawani. 1981. Al-‘Umdah fî Mahâsin asy-Syi’r wa Adâbuhu, t.k. : Dar al-Jayl.

Al-Jahidz, Abu Utsman Amru bin Bahr. 2004. Al-Hayawân, Kairo: Maktabah Usroh.

Al-Jauziyah, Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar Ibn Qayim, Al-Fawâid, (Kairo : Dar Ar-Rayan, 1987 M/1407 H).

Al-Jurjani, Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdur Rahman. 1991. Asrâr al-Balâghah, Jeddah: Dar al-Madani.

Al-Muthni, Abdul Adzim Ibrahim Muhammad. 1995. Al-majaz Inda Ibnu Taymiyahwa.

Talâmîdzihi bayna al-Itsbât wa al-Iqrâr, Kairo: Maktabah Wahbah.

Ar-Razi, Zainuddin Muhammad bin Abi Bakar. 2007. Mukhtâr ash-Shihâh, Kairo: Darussalam.

As-Sakaki, Abu Ya’qub Yusuf bin Abu Bakar. 1987. Miftâh al-Ulûm, Beirut: Dar Kutub Ilmiyah.

At-Tiftazani, Sa’duddin Mas’ud bin Umar. 1387 H. Al-Muthowwal, t.k. : Dar ak-Koukh.

Ibnu Mandzur. t.t.. Lisân al-Arab, Kairo : Dar al-Ma’arif.

Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 1995. Arsy ar-Rahmân, Beirut: Dar Ulum Arabiyah.

Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 1996. Al-Îmân, Oman: Maktab Islami.

Ibnu Taymiyah, Ahmad bin Abdul Halim. 2005. Majmu’ah al-Fatâwa, t.k. : Dar al-Wafa.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. 2018. Jakarta: Balai Pustaka.

Ibnu al-Mushili, Muhammad. 2004. Mukhtashor Shawâiq Mursalah li Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Riyadh: Maktabah Adhwa` Salaf.

Sharshur, Husam bin Hasan. 2004. Ayât ash-Shifât wa Manhaj ath-Thabari fi Tafsîr Ma’ânîhâ; Muqârinan bi al-Ârâi Ghairuhu min al-Ulamâ, Beirut : Dar Kutub Ilmiyah.

Uqayli, Ibrahim. 1994. Takâmul al-Manhaj al- Ma’rifî inda Ibn Taymiyah, t.k. : Ma’had Alami lil Fikr Islami.

Page 16: METAFORA BAHASA ARAB UPAYA TELAAH KEMBALI DUALISME

858

Jurnal Ilmiah Pesantren, Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2020

Usfur, Jabir Ahmad. t.t. As-Sûroh al-Faniyah fî at-Turôts Naqdî wa al-Balâghî, Kairo: Dar Ma’arif.

Uwais, Mansur Muhammad. t . t . Ibnu TaymiyahLaysa Salafiyan, Kairo: Dar Nahdlah Arabiyah.

Zaidan, Jurji. t.t. al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfadz al-Arobiyah, Kairo : Dar Hilal.