Upload
doanxuyen
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
MODEL PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PANGAN DI DAERAH PERBATASAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Meskipun secara agregat neraca perdagangan komoditas pangan nasional masih
defisit, Indonesia telah melakukan ekspor pangan, termasuk beras, jagung dan beberapa
komoditas pangan lain dalam jumlah tertentu namun belum kontinyu. Agar ekspor pangan
yang telah dilakukan dapat berlanjut, diperlukan pasokan yang kontinyu, kualitas yang sesuai
permintaan pasar dan preferensi konsumen, serta harga yang bersaing di pasar internasional.
Selain itu, agar keberlanjutan ekspor terjamin, perlu dilakukan strategi perluasan dan
diversifikasi pasar ekspor ke berbagai negara tujuan. Terkait dengan hal tersebut, untuk
memperoleh pasokan yang kontinyu, tidak bisa hanya menggantungkan produksi yang sudah
dicapai saat ini, namun diperlukan sumber-sumber pertumbuhan produksi pangan baru di
wilayah-wilayah yang potensial yang saat ini belum digarap secara maksimal. Salah satu
wilayah potensial untuk meningkatan produksi pangan nasional adalah wilayah perbatasan. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa wilayah perbatasan secara geografis merupakan wilayah
terdekat dengan negara tetangga, sehingga biaya distribusi relatif murah karena jarak negara
asal dan negara tujuan ekspor relatif dekat; juga potensi wilayah perbatasan saat ini belum
digarap secara maksimal, sehingga ada peluang untuk meningkatkan produksi pangan di
wilayah tersebut.
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang sangat strategis secara teritorial dan
sangat sensitif secara geo-politik berkaitan dengan masalah kedaulatan dan keutuhan NKRI
sehingga layak disebut sebagai beranda terdepan NKRI. Namun saat ini, kondisi wilayah
perbatasan secara umum masih merupakan daerah terpencil (remote) yang mengalami
keterbelakangan infrastruktur, ekonomi, maupun aksesibilitas informasi. Segala keterbatasan
ini memunculkan kompleksitas permasalahan, baik permasalahan sosial-ekonomi, politik,
teritorial dan budaya. Wilayah perbatasan pada umumnya memiliki potensi pertanian cukup
besar untuk dikembangkan, baik dilihat dari luasan areal, keragaman agroekosistem dan
biodiversity. Oleh karena itu, Nawacita yang menempatkan salah satu cita yaitu “membangun
2
indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara
kesatuan”, merupakan hal yang sangat tepat.
Hampir semua kawasan perbatasan Indonesia adalah daerah tertinggal. Selama ini
kawasan perbatasan dikelola dengan mengedepankan pendekatan keamanan (safety belt
approach) sehingga pembangunan sosial ekonomi menjadi terabaikan. Pemerintah Pusat
menyadari seriusnya permasalahan ini, dan sejak 28 Januari 2010 telah membentuk Badan
Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai institusi koordinasi dan implementasi program-
program pemerintah untuk membangun kawasan perbatasan. Bertolak dari kondisi tersebut,
Kementerian Pertanian telah membentuk Tim Teknis Pengembangan Lumbung Pangan
Berorientasi Ekspor di Wilayah Perbatasan dalam rangka Membangun Lumbung Pangan melalui
pendekatan kawasan terpadu, melalui Keputusan Menteri Pertanian No.215/Kpts/OT.050/3/
2017. Tim Teknis Kementan telah berhasil mengidentifikasi komoditas-komoditas pangan
unggulan yang telah dikembangkan di wilayah perbatasan yang saat ini telah melakukan
perdagangan lintas Negara secara tidak tercatat. Kementerian Pertanian telah mentargetkan
bahwa dalam jangka pendek, yakni pada tahun 2017, akan melakukan ekspor ke Negara
perbatasan secara formal.
Di beberapa wilayah, sesungguhnya perdagangan antar negara sudah berlangsung
lama, misalnya antara wilayah Propinsi NTT dengan Timor Timur. Kondisi wilayah
perbatasanan NTT - Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL) memiliki keunggulan ditinjau dari
perekonomian masyarakat karena Timor Timur adalah negara yang relatif baru dan
ekonominya lebih rendah dibanding wilayah NTT. Potensi pertanian di NTT yang ada (kondisi
eksisting wilayah) berpotensi dan berpeluang untuk percepatan pembangunan pertanian
dengan introduksi inovasi teknologi dan kelembagaan sehingga dapat menjadi wilayah mandiri
pangan untuk mengatasi kemiskinan dan rawan pangan (Priyanto dan Diwyanto, 2014).
Demikian pula perdagangan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara, yaitu di Kecamatan
Krayan, Kabupaten Nunukan dengan Sarawak Malaysia juga telah berlangsung lama untuk
beras organik, tanpa pencatatan secara resmi. Juga di wilayah perbatasan Kalimantan Barat,
meskipun usaha pertanian masih dikelola secara terbatas, namun hasilnya seperti beras Raja
Uncak (Kapuas Hulu), beras hitam (Bengkayang), dan beras merah (Sanggau) sudah
diperdagangkan ke Serawak-Malaysia. Komoditi lainnya seperti lada, kakao, pisang juga
diperdagangkan ke Serawak-Malaysia.
3
Permasalahan dan kendala dalam berusahatani dan melakukan perdagangan lintas
batas saat ini diantaranya transportasi masih terbatas, infrastruktur jalan rusak, jalan usaha tani
dan saluran irigasi perlu perbaikan, sarana produksi khususnya pupuk bersubsidi terbatas,
inovasi teknologi usahatani masih terbatas, kelembagaan di tingkat petani belum terbangun
secara baik, dan kesenjangan sosial masih tingginya dan ekonomi dengan penduduk negara
tetangga. Hal ini menyebabkan masyarakat di daerah perbatasan memiliki pola pikir yang
berorientasi ke negara tetangga. Selain itu permasalahan pokok dalam melakukan transaksi
lintas batas terutama adalah pedagang di wilayah perbatasan berstatus price taker, dimana
harga ditentukan oleh pedagang Negara tetangga sehingga posisi tawar pedagang sangat
lemah.
Berbagai kendala yang disebutkan di atas mengakibatkan akses pasar hasil komoditas
juga sangat terbatas, hanya tergantung ke Negara tetangga, dan sangat sedikit dipasarkan ke
pasar lokal/dalam negeri. Sebaliknya kebutuhan rumahtangga masyarakat sangat tergantung
dari produk Negara tetangga. Transaksi penjualan hasil komoditas dan pembelian kebutuhan
rumahtangga menggunakan mata uang Negara perbatasan sehingga nilainya tergantung dari
nilai tukar rupiah terhadap mata uang tersebut.
Untuk mewujudkan wilayah perbatasan sebagai lumbung pangan berorientasi ekspor
(LPBE) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No.215/Kpts/OT.050/3/2017
tersebut, maka Kementan telah menyiapkan rencana aksi baik dalam jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Jangka pendek adalah melakukan pelepasan komoditas
pangan yang akan diperdagangkan lintas batas negara tersebut (launching ekspor). Kegiatan
ini sekaligus untuk menunjukkan strategisnya aktivitas perdagangan lintas batas negara bagi
ekonomi wilayah dan ketahanan pangan masyarakat setempat, serta dalam rangka mendorong
aktivitas perdagangan lintas batas menjadi lebih besar lagi. Jangka menengah (6-10 bulan ke
depan) adalah kegiatan pengembangan komoditas pangan yang berpotensi ekspor melalui
penguatan teknologi dan kelembagaan produsen/petani dan eksportir. Jangka panjang (lebih 10
bulan) adalah program/grand design yang dirancang untuk menjamin keberlanjutan ekspor.
Kajian ini sudah barang tentu merupakan satu bingkai dengan kegiatan pengembangan
LPBE Kementerian Pertanian. Oleh karena itu hasil kajian dan rekomendasi yang akan
diperoleh diharapkan dapat melengkapi dan bermanfaat bagi kegitan pengembangan LPBE
Kementan. Bertolak dari hal tersebut, kajian ini akan menggali informasi tentang potensi
4
produksi dan eskpor di wilayah perbatasan, serta kelembagaan produksi perdagangannya;
kesiapan infrastruktur, regulasi, investasi serta kemitraan dengan pengusaha untuk
terlaksananya ekspor lintas Negara. Dari sisi pasar ekspor, akan digali kondisi dan potensi
pasar Negara tetangga terhadap komoditas yang diperdagangkan dari wilayah perbatasan,
bagaimana kondisi harga dan rantai tataniaganya, regulasi yang dikeluarkan dari negara lintas
batas dalam mengatur ekspor impor dan perdagangan lintas negara, serta faktor-faktor lain
yang terkait dengan perdagangan lintas negara. Informasi ini merupakan dasar untuk
menyusun model sistem produksi pertanian pangan dan perdagangan di wilayah perbatasan,
dan sistem kelembagaannya untuk dapat dijalankan secara efektif.
1.2. Tujuan kegiatan
Tujuan penelitian ini adalah menyajikan rekomendasi kebijakan terkait perdagangan
wilayah lintas perbatasan. Secara lebih spesifik tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisis kondisi dan potensi permintaan pangan dan kondisi pasar di negara
tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
2. Menganalis potensi dan sistem produksi serta pola perdagangan lintas batas komoditas
pangan di wilayah perbatasan ke negara tetangga.
3. Merancang model pengembangan produksi dan ekspor pangan di daerah perbatasan,
terutama sistem produksi, perdagangan dan kelembagaanya dari hulu sampai hilir .
1.3. Keluaran
Keluaran penelitian ini adalah rekomendasi kebijakan mengenai model pengembangan
produksi dan ekspor pangan di daerah perbatasan. Secara lebih spesifik keluaran penelitian
adalah :
1. Informasi kondisi dan potensi permintaan pangan dan kondisi pasar di negara tetangga
yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
2. Informasi potensi dan sistem produksi serta pola perdagangan lintas batas komoditas
pangan di wilayah perbatasan ke negara tetangga.
3. Rancangan model pengembangan produksi dan ekspor pangan di daerah perbatasan,
terutama model sistem produksi perdagangan dan kelembagaanya dari hulu sampai hilir .
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi banyak pihak dalam
mengembangkan pertanian pangan di wilayah perbatasan. Pengguna utama adalah
5
Kementerian Pertanian cq Tim Teknis Pengembangan Lumbung Pangan Berorientasi Ekspor di
Wilayah Perbatasan dalam rangka Membangun Lumbung Pangan. Namun, data dan informasi
serta rumusan dari studi ini dapat menjadi dokumen bagi pemerintah daerah untuk
pengembangan ekonomi wilayah perbatasan.
II. METODE PENELITIAN
2.1. Kerangka Pemikiran
Data perkembangan volume dan nilai impor komoditas suatu negara dapat digunakan
sebagai informasi awal bagi negara mitra bagaimana prospek pasar ekspor ke negara tersebut
untuk komoditas yang bersangkutan. Preferensi konsumen di negara tujuan ekspor juga
merupakan hal penting yang perlu diidentifikasi agar komoditas pangan yang akan ekspor
sesuai dengan keinginan konsumen. Di sisi lain, bagi Negara yang akan melakukan ekspor,
identifikasi tingkat produksi, konsumsi serta surplus produksi merupakan faktor penting untuk
dapat melakukan ekspor secara berkelanjutan. Faktor penting lainnya adalah identifikasi
berbagai aspek yang terkait dengan keragaan dan pengembangan kelembagaan petani dari
hulu ke hilir untuk mampu berproduksi dengan berorientasi ekspor.
Upaya pengembangan wilayah perbatasan untuk peningkatan produksi dan ekspor
adalah melalui pendekatan agribisnis. Secara prinsip, agribisnis memiliki berbagai tujuan, yaitu
komersialisasi usahatani (commercialization of agriculture), peningkatan produktivitas (increase
productivity), penggunaan teknologi modern, menekan biaya produksi, penciptaan nilai tambah
(value addition), ekspor (export agriculture), dan harapan untuk peningkatan pendapatan
(higher farm income). Pengembangan model membutuhkan berbagai asumsi antara lain: (1)
dukungan pemerintah pusat dan daerah cukup kuat, dengan alokasi dana dan tenaga yang
cukup, (2) dukungan dari pemerintah akan berlanjut, dengan melakukan pentahapan jangka
pendek, menengah dan panjang, dan (3) pengembangan model lumbung pangan terdiri atas
dua misi, yakni menjadi kawasan wilayah perbatasan yang mandiri dan mampu mencukupi
kebutuhan sendiri, lalu diikuti oleh keberhasilan melakukan ekspor produk pangan ke Negara
perbatasan sebagai Negara tujuan ekspor baik berupa bahan mentah maupun olahan.
Selain asumsi-asumsi di atas, dibutuhkan pula berbagai persyaratan untuk
pengembangan kelembagaan agribisnis dengan berbasiskan petani kecil (small holders). Dalam
buku FAO “Smallholder Business Models For Agribusiness-Led Development: Good practice and
6
policy guidance” (Kelly 2012), dipaparkan berbagai syarat dimaksud yaitu: (1) tidak ada aliansi
politik tertentu (non-politically aligned organizations), (2) pelayanan yang memadai (high
quality service provision), (3) menerapkan prinsip dan manajemen bisnis (social and enterprise
strategies), (4) menjadi bagian dari jaringan (network membership), (5) bsisnis yang fokus
(focus on core business), (5) kelembagaan dengan transaksi berbiaya rendah (low cost value
addition through organizational innovations), (6) terbuka terhadap penyesuaian-penyesuaian
(there is no “one-size-fits-all”), dan (7) memahami pola bisnis pada usaha agribisnis
(understanding the needs and risks of agribusiness companies).
Sistem produksi dan kelembagaan agribisnis untuk ekspor, mencakup pelaku, peran,
kebutuhan pendukungnya, serta aspek yang dipelajari disampaikan pada gambar berikut.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran kajian berdasarkan sistem agribisnis produksi pertanian pangan berorientasi ekspor
Pelaku dan
Subsistem
Subsistem pendukung
Subsistem onfarm
Subsistem pengolahan
Subsistem pemasaran
Pelaku utama
Perusahaan swasta, BUMN dan
Koperasi tani/kios level desa
(penyedia jasa saprotan)
− Individu petani
− Kelompok tani − Gapoktan
− Badan Usaha Milik Petani
− Investor
− Koperasi tani level desa (jasa
pengolahan)
− Badan Usaha Milik Petani
− BUMN
− Koperasi tani level kabupaten (usaha
perdagangan)
− Badan Usaha Milik Petani − Eksportir terdaftar
Peran
Menyiapan sarana pendukung
- Usahatani padi, jagung, sapi, dll dg
teknologi inovasi
- Pengolahan gabah menjadi beras
premium - Pengolahan
jagung
- Perluasan pasar lokal - Melakukan ekspor
Layanan
pendukung
-Dinas pertanian -Dinas PU
-Pemda untuk pengembangan
sarana pendukung (irigasi, jalan desa,
perluasan lahan, dsb)
- Penyuluhan pertanian
- Balai Penyuluhan - Pendidikan dan
pelatihan petani dan petugas
- dll
- Pabrik pengolahan skala industry
menengah dan besar
- Data dan informasi demand negara pengimpor
- Market intelligent - Regulasi perdagangan lokal
dan ekspor
Aspek yang
dipelajari
- Ketersediaan
prasarana irigasi, jalan, dll
- Ketersediaan sarana produksi
berdasarkan jumlah, kualitas,
dan mutu - Sistem
penyediaan sarana produksi
- Keefektifan sistem penyediaan
sarana dan prasana produksi
- Pola usahatani
- Keuntungan usahatani dan
efisiensi - Pola manajemen
usaha dan kelembagaan yang
terlibat
- Bentuk dan
permasalahan pengolahan
pangan - Keuntungan dan
nilai ekonomi usaha pengolahan
- Potensi pengolahan
pangan untuk meningkatkan nilai
tambah - Penerapan
teknologi - Kelembagaan yang
teribat, rmasalahan, dan
potensi ke depan
- Bentuk-bentuk pemasaran
eksisting, keuntungan, efektivitas, dll
- Sistem tata niaga, efisiensi, - Volume dan nilai impor
komoditas pangan dan negara asal impor
- Produksi pangan di negara-negara pemasok ke negara
tetangga. - Preferensi konsumen
meliputi jenis (varietas) beras, karakteristik produk
(bentuk, warna, rasa), dan kualitas (kadar air, kadar
pecah, aroma). - Ekspor ke negara tetangga)
legal dan ilegal), pola dan
7
permasalahan - Kelembagaan yang teribat,
permasalahan, dan potensi ke depan
2.2. Lokasi dan Fokus Komoditas
Penelitian dilakukan di dua kabupaten di Provinsi NTT, yaitu Kabupaten Malaka dan
Kabupaten Belu. Selain itu, untuk memperoleh gambaran awal tentang kondisi dan potensi
wilayah perbatasan, dilakukan kunjungan ke Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat,
dimana Kementerian Pertanian merencanakan akan melakukan ekspor beras dari kabupaten
tersebut ke Malaysia. Dengan demikian pembahasan hasil kajian sesuai difokuskan hanya
pada provinsi NTT, sementara untuk kabupaten Sanggau, bahasan terbatas pada laporan
kunjungan lapang sebagai gambaran awal untuk merancang model pengembangan produksi
dan ekspor di lokasi contoh di Provinsi NTT. Fokus penelitian diutamakan pada komoditas
utama, namun komoditas potensial lain juga dipelajari dalam studi ini. Lokasi dan komoditas
yang dipelajari dijabarkan pada tabel berikut.
Tabel 1. Sebaran lokasi penelitian dan komoditas pangan utama yang potensial dikembangkan
Lokasi Penelitian Komoditas Pangan Utama
1. Kabupaten Malaka (NTT) Jagung
2. Kabupaten Belu (NTT) Daging sapi
3. Kabupaten Sanggau (Kalbar) Beras
2.3. Cakupan Penelitian dan Data yang Diperlukan
Cakupan bahasan dan data yang diperlukan untuk melakukan analisis disesuaikan
dengan tujuan penelitian sebagai berikut. Untuk keperluan bahasan kondisi dan potensi
permintaan pangan dan kondisi pasar di negara perbatasan, data yang diperlukan antara lain:
(a) data sekunder perkembangan volume dan nilai impor komoditas pangan dan negara asal
impor, (b) Data/informasi preferensi konsumen di negara perbatasan untuk komoditas pangan
yang diimpor.
Untuk bahasan potensi produksi dan pola perdagangan lintas batas komoditas pangan di
wilayah perbatasan yang dipasarkan ke negara perbatasan, data yang diperlukan adalah : (a)
potensi produksi komoditas yang diekspor dan potensi volume yang diekspor, (b) pola
perdagangan lintas batas, (c) pola tataniaga di pasar lokal, (d) potensi pasar domestik, (e)
8
aturan perdagangan, persyaratan teknis, administrasi dan lainnya untuk terselenggaranya
ekspor komoditas pangan negara tujuan ekspor.
Untuk bahasan model pengembangan produksi dan ekspor pangan di daerah, informasi
dan data yang diperlukan pada bagian ini adalah: (a) data dan informasi kelembagaan yang
telah terlibat dalam sistem agribisnis mulai dari hulu sampai hilir, baik legal maupun ilegal,
permasalahan serta potensi pelibatannya ke depan, (b) informasi kapasitas kelembagaan
pelaku utama agribisnis serta kelembagaan pendukung, baik dari pemerintah daerah maupun
swasta. Secara keseluruhan, penggalian data dan informasi dilakukan mulai dari tingkat
usahatani (hulu) sampai dengan hilir (pengolahan, pemasaran, ekspor) termasuk penyiapan
SDM, infrastruktur, investasi dan kemitraan dengan swasta.
2.4. Analisis Data
Kajian ini menggunakan metoda analisis kuantitatif dan deskriptif kualitataif. Analisis
kuantitatif dilakukan untuk data sekunder melalui penghitungan rataan dan tingkat
pertumbuhan dari data series yang disajikan dalam tabel analisis. Analisis deskriptif kualitataif
dilakukan atas data dan informasi baik yang bersumber dari instansi terkait atau data yang
bersumber dari data primer dari lokasi kajian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. KONDISI DAN POTENSI PERMINTAAN PANGAN NEGARA RDTL
Berdasarkan data dari Comtrade Statistics (2015) komoditas pertanian utama yang
diimpor RDTL (Republik Demokratik Timor Leste) adalah minyak sawit dan turunannya, kedele,
kelapa, jagung, beras, kacang tanah dan kakao. Untuk semua jenis komoditas tersebut, RDTL
menggantungkan impornya dari Indonesia.
Tabel 1. Impor RDTL dari Indonesia dan Dunia, Produksi NTT dan Peluang Ekspor NTT ke
RDTL, 2015
No
Komoditas
Impor dari
Indo (Ton)
Impor dari
Dunia (Ton)
% Impor
Indo/Dunia
Produksi*
NTT (Ton)
Peluang ekspor
ke RDTL**
1 Minyak sawit &
turunannya
9.083 9.087 100,0 0 PK
2 Kedele 675 861 78,4 91.065 PE
3 Kelapa/kopra 475 477 99,6 136.454 PE
4 Jagung 270 271 99,6 633.733 PE
5 Beras 258 89.354 0,3 2.114.231 PP
6 Kacang tanah 68 68 100,0 41.889 PE
7 Kakao 23 34 67,6 11.581 PE
9
Sumber : Trade Map, ITC calculations based on UN COMTRADE statistics, 2015, *BPS (2015) Statistik
Provinsi; **Catatan : PE: peluang ekspor, PP =penetrasi pasar; PK : pengembangan komoditas
Dari Tabel 1, berdasarkan permintaan impor komoditas pertanian dari RDTL ke
Indonesia dan dunia, dan berdasarkan potensi produksi NTT, maka peluang ekspor NTT ke
RDTL untuk komoditas pertanian utama adalah sebagai berikut:
1. Peluang ekspor (PE) NTT ke RDTL tinggi : kedele, kelapa/kopra, jagung, kacang tanah
dan kakao
2. Perlu penetrasi/promosi pasar (PP) ke RDTL: beras
3. Perlu pengembangan komoditas (PK) di NTT untuk keperluan ekspor ke RDTL
disesuaikan dengan potensi wilayah : minyak sawit dan turunannya.
Secara umum neraca perdagangan Indonesia dengan RDTL surplus. Seluruh kebutuhan
penduduk RDTL 90% dipenuhi dari Indonesia, tetapi yang masuk melalui NTT terbatas karena
sebagian besar melalui Surabaya (langsung dari Surabaya ke Dili).
3.2. PERKEMBANGAN PRODUKSI, EKSPOR, IMPOR DAN POLA PERDAGANGAN LINTAS BATAS KOMODITAS PANGAN NTT - RDTL
3.2.1. Potensi produksi komoditas pertanian NTT
Struktur perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur masih tergantung pada sektor
pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun 2014 sebesar 28.85%, sekitar
9.42% merupakan sumbangan dari subsektor tanaman pangan dan 9.05% dari subsektor
peternakan. Potensi produksi komoditas pangan utama NTT di kabupaten Belu dan Malaka
diuraikan sebagai berikut:
Komoditas pangan
Komoditas pangan utama yang diproduksi NTT khsususnya Kabupaten Belu adalah :
Padi jagung, ubikayu, kacang hijau. Untuk Kabupaten Malaka, produksi komoditas pangan
utama adalah padi, jagung, kacang hijau.
Tabel 2. Luas areal, produksi dan produktivitas komoditas pangan potensial, 2015
Jenis Komoditas
Kabupaten Belu Kabupaten Malaka
Luas Panen
(Ha) Produksi (ton)
Produktifitas
(ton/Ha)
Luas Panen
(Ha) Produksi (ton)
Produktifitas
(ton/Ha)
Padi Sawah 6166 29640 4.81 6548 23507 3.59
Padi Ladang 71 199 2.8 380 630 1.66
Jagung 10883 36377 3.34 21429 58686 2.74
Kacang Tanah 533 557 1.05 184 133 0.72
Kacang Hijau 866 711 0.82 2199 2651 1.21
10
Ubi Kayu 3670 52270 14.24 3393 51498 15.18
Ubi Jalar 287 2450 8.54 340 2562 7.54
Sumber : BPS, 2016
Komoditas perkebunan
Komoditas perkebunan utama yang diproduksi NTT kelapa, kopi , kakao. Berdasarkan
permintaan impor RDTL di pasar dunia, kelapa dan kakao potensial untuk dilakukan ekspor
namun untuk permintaan impor minyak sawit dari RDTL, masih perlu dilakukan pengembangan
komoditas kelapa sawit di NTT. Oleh karenanya diperlukan identifikasi kesesuaian untuk
pengembangan kelapa sawit di wilayah NTT guna merespons permintaan impor RDTL.
Tabel 3. Luas tanam dan produksi komoditas perkebunan potensial, 2015
Jenis
Komoditas
Kabupaten Belu Kabupaten Malaka
Luas tanam
(Ha)
Produksi
(Ton)
Luas tanam
(Ha)
Produksi
(Ton)
Kelapa 1358 240 1754 9057
Kopi 1162 78 47 18
Kakao 548 32 558 56
Lainnya 27043 1012 2794 1299
Sumber : BPS, 2016
Komoditas Ternak
Komoditas ternak dominan di NTT adalah sapi potong, babi, kambing, kuda sedangkan
kerbau, domba dan sapi perah jumlahnya hanya sedikit. Oleh karena itu komoditas potensial
untuk diekspor ke RDTL dari NTT adalah babi dan sapi potong. Ekspor secara legal melalui bea
cukai untuk komoditas ternak tidak tercatat, namun ada lalu lintas eskpor melalui perbatasan
yang dicatat oleh Balai Karantina diantaranya yang dominan untuk babi potong, serta dalam
jumlah yang tidak banyak daging babi olahan dan daging sapi olahan.
Tabel 4. Jumlah ternak di Kabupaten Belu dan Malaka, 2015
Kabupaten Jumlah ternak (ekor)
Kabupaten Belu Kabupaten Malaka
Sapi Perah 6 -
Sapi Potong 56,377 69,556
Kerbau 975 497
Kuda 4,489 -
Kambing 11,676 6,862
11
Domba 26 -
Babi 68,975 63,631
Sumber : BPS, 2016
3.2.2. Potensi pasar domestik Terdapat dua komoditas utama tanaman pangan yang diusahakan, dikonsumsi dan
diperdagangkan oleh warga setempat yaitu padi dan jagung. Produksi padi cenderung
meningkat, dengan pertumbuhan sekitar 4.95% pada tahun 2014 karena peningkatan
produktivitas sebesar 1.13% dan peningkatan luas panen sebesar 3.43%. Selama sepuluh
tahun terakhir produksi jagung NTT berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan 0.39%/tahun,
namun terjadi pertumbuhan negatif tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar
8.55% akibat penurunan pertumbuhan produktivitas sebesar 3.78% dan luas panen sebesar
4.94%.
Dari sisi konsumsi, rata-rata konsumsi padi (beras) bertumbuh positif sedangkan konsumsi
jagung cenderung menurun dari tahun ke tahun. Produksi padi masih mengalami kekurangan
setara beras sebesar 11.5% di tingkat provinsi, demikian juga di Kabupaten Belu (12%) dan
Kabupaten Malaka (11%). Kekurangan tersebut dipasok dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur
melalui perdagangan antarpulau.
Tabel 5. Produksi, konsumsi komoditas padi dan jagung di Provinsi NTT, Kabupaten Belu dan Malaka, 2014
Lokasi Padi (beras) Jagung
Produksi** Konsumsi* Selisih Produksi** Konsumsi* Selisih
NTT 573,673 585,187 -11,513 647,108 71,020 576,088
Belu 11,665 23,618 -11,953 20,205 2,866 17,339
Malaka 9,666 20,610 -10,944 40,591 2,501 38,090
Sumber : BPS 2015
Sekali pun terjadi pertumbuhan yang menurun antara 2013-2014, produksi jagung
Provinsi NTT dan kedua kabupaten contoh mengalami surplus. Konsumsi jagung cenderung
mengalami penurunan, sedangkan industri pengolahan jagung di Provinsi NTT belum
berkembang dengan baik. Olahan jagung yang selama ini diproduksi oleh masyarakat dalam
bentuk industri rumahan adalah emping jagung dan marning, itu pun produksinya masih
12
terbatas. Industri pakan ternak juga belum ada di wilayah ini dan baru taraf wacana untuk
dibangun di Kupang.
Selain untuk bahan pangan pokok dan bahan baku olahan, kelebihan produksi jagung
oleh petani dijual dalam bentuk jagung pipilan kering kepada pedagang pengumpul atau
langsung kepada pedagang di pasar kabupaten atau pasar terdekat. Selanjutnya pedagang
pasar kabupaten mendistribusikan ke pasar kabupaten yang lain atau provinsi, baik dalam
partai besar atau eceran, juga kepada pedagang antarpulau. Pedagang pasar juga
mendistribusikan kepada industri pengolahan, dan konsumen langsung untuk bahan pangan
dan pakan. Secara umum pemasaran jagung sbb:
Gambar 1. Sistem pemasaran jagung di NTT
Sumber : data primer, 2017
Pemasaran jagung selama ini ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar lokal dan
antar pulau, dan belum ditujukan untuk pasar ekspor. Ekspor jagung ke negara tetangga
terdekat yaitu RDTL belum pernah dilakukan baik secara legal maupun ilegal karena penduduk
RDTL yang tinggal di perbatasan juga bertanam jagung, bahkan menurut informasi terdapat
pengembangan komoditas tanaman jagung dalam skala besar yang dilakukan oleh investor
Indonesia di wilayah RDTL. Demikian pula menurut informasi yang diperoleh dari pedagang
antar pulau sekaligus importir hasil pertanian, jagung juga diimpor dari RDTL untuk memenuhi
permintaan pasar di pulau Jawa (khususnya Jawa Timur).
Petani
Pedagang pasar
pedagang pengumpul Pedagang
antarpulau
Peternak
IRT pengolahan jagung
Konsumen
13
Selain jagung, komoditas pangan lainnya yang dihasilkan oleh petani setempat adalah
kacang tanah dan kacang hijau. Produksi kacang tanah pada tahun 2014 di NTT sebesar 14889
ton (Kabupaten Belu 680 ton, Malaka 233,6 ton), dan kacang hijau sebesar 9121 ton
(Kabupaten Belu 305 ton, Malaka 1946 ton) semuanya dalam bentuk biji kering. Kacang tanah
dan kacang hijau yang diproduksi petani di wilayah memiliki kualitas yang baik. Produksi
komoditas ini ditujukan untuk pasar domestik, baik lokal maupun antar pulau.
Komoditas pertanian yang juga sedang gencar dikenalkan dan dipacu produksinya agar
kelak bisa diekspor ke negara tetangga adalah bawang merah. Bertanam bawang merah
merupakan hal yang relatif baru bagi kebanyakan petani di Belu dan Malaka. Selama ini, petani
yang sudah terbiasa menanam bawang hanyalah petani di Desa Fofoe Kecamatan Malaka Barat
namun luasannya hanya sedikit, terutama untuk kebutuhan sendiri. Dinas Pertanian juga
mengintroduksi program penanaman bawang merah 50 ha di desa tersebut melalui program
RPM (Revolusi Pertanian Malaka).
Selama ini sebanyak 35 persen pasokan bawang merah ke Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) didatangkan dari daerah lain, yaitu Kabupaten Bima, NTB dan Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah. Wilayah NTT yang selama ini memasok 65 % kebutuhan bawang merah di
provinsi ini yakni dari Semau, Rote Ndao, Sabu Raijua dan Manggarai Timur. Pengembangan
bawang merah di Kabupaten Belu berlokasi di Kecamatan Kakuluk Mesak pada tahun 2016
seluas 9 ha yaitu diantaranya di Desa Fatuketi dan 2 ha dan di Desa Dualaus. Hasil rata-rata 7
ton/ha basah, menjadi sekitar 6 ton/ha bawang kering. Tahun 2017 ini kembali ditargetkan
penanaman bawang di Desa Dua Dalus 2 ha, Fatuketi 5 ha dan Kabuna 1 ha. Kegiatan tersebut
merupakan program introduksi dengan bantuan benih. Pupuk organik yang digunakan berupa
sisa-sisa jerami yang dibuat bokasi atau dibuat kompos. Pada bulan Juli 2017 sebagian petani
sudah mulai tanam, sebagian lagi dalam tahap pengolahan lahan. Panen diperkirakan sekitar
bulan September 2017.
Program penanaman bawang merah juga diintroduksi di Malaka dengan luasan sekitar 1
(satu) ha. Berbeda dengan di Belu yang menggunakan benih, penanaman bawang merah di
Malaka (Desa Motamasin) menggunakan bibit (umbi) yang dibeli dari daerah Kupang.
Introduksi tanaman bawang merah meningkat khususnya di Kecamatan Kakuluk Mesak
disambut dengan baik oleh petani setempat karena dapat menyerap tenaga kerja (yang sedang
14
menganggur karena biasanya tidak ada lagi kegiatan pertanian). Penanaman bawang merah
juga meningkatkan indeks pertanaman karena bawang merah ditanam di MT 2 di lahan bera.
Bawang merah di wilayah introduksi program merupakan jenis komoditas yang baru
bagi petani, sehingga petani juga belum mengenal dengan baik seluk beluk pemasarannya.
Sebagai bagian dari kegiatan tersebut, sebenarnya untuk pasar diharapkan Bulog dapat
berperan di dalamnya, namun hal itu tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan harga
antara petani dengan pihak Bulog. Bulog bersedia membeli semuanya dengan harga
Rp15.000/kg, sementara Kelompok Tani (KT) menginginkan harga Rp16.000/kg. karena tidak
ada kesepakatan harga, KT memasarkan ke pembeli konsumen langsung dan sebagian lagi ke
pedagang di pasar. Harga rata-rata 16.000/kg, terendah Rp 15.00/kg tertinggi 25.000/kg.
Sebenarnya untuk pemasaran bawang merah di lokasi tersebut sudah ada pengepul namun
juga tidak tercapai kata sepakat dalam penentuan harga. Petani akhirnya memilih menyimpan
atau menjual dalam jumlah sedkit demi sedikit kepada masyarakat umum maupun pegawai di
kantor pemerintah di wilayah tersebut. Khusus untuk pembeli pegawai pemerintah, bawang
merah bisa dibeli secara kredit dengan jangka pelunasan sebulan.
Selain bertani, masyarakat di Kabupaten Belu juga memelihara ternak. Usaha
peternakan merupakan salah satu kegiatan yang mampu menyangga kehidupan ekonomi
masyarakat setempat. Jenis ternak yang banyak dipelihara di kawasan perbatasan adalah sapi,
babi, dan ayam. Teknik pemeliharaan ternak bersifat tradisional. Ternak sapi dilepas untuk
mencari makan sendiri dan sebagian diikat di sekitar rumah atau di lapangan berumput. Ternak
babi dikandangkan dan diberi pakan sisa hasil pertanian. Rata-rata kepemilikan ternak sapi
adalah 1-2 ekor dan ternak babi 2 ekor induk per rumah tangga. Ternak terutama babi dan sapi
adalah sebagai “bank berjalan” (bank on the hoof) atau sebagai liquid capital yang dapat
diuangkan setiap waktu bilamana petani memerlukan. Kebutuhan uang tunai keluarga biasanya
meningkat pada awal tahun pelajaran. Dalam kondisi ini, petani yang memiliki ternak babi biasa
menjual satu atau dua ekor babi untuk keperluan pendidikan anak-anak. Fungsi lain dari ternak
adalah untuk keperluan membayar “belis” dan berbagai keperluan terkait upacara adat.
Ternak sapi saat ini gencar didorong peningkatan populasinya. Sapi umumnya dipelihara
secara ekstensif dengan cara dilepaskan, dan untuk menandai kepemilikan sapi, biasanya
dilakukan pengguntingan telinga atau dicap. Padahal sapi dengan kondisi seperti itu
dikategorikan cacat dan tidak bisa diperdagangkan untuk pasar tertentu. Sapi dari wilayah ini
15
dikirim dalam bentuk ternak hidup ke Jawa. Tidak ada ekspor sapi ke RDTL, sebaliknya sapi dari
RTDL mengalir ke NTT dalam bentuk hidup baik legal maupun illegal. Dahulu (sebelum
terpisah menjadi Negara RDTL) populasi sapi di NTT (Belu) lebih banyak, namun untuk saat ini
di RDTL persediaan hewan cukup banyak (populasinya terus meningkat). Ternak sapi yang
saat ini berkembang di RDTL sesungguhnya dahulu berasal dari NTT bersamaan dengan
penduduk yang melakukan eksodus saat pemisahan Negara. Terkait dengan pengiriman ternak
dari NTT, ternak dikirim dalam bentuk ternak hidup ke Jawa. Tidak ada ekspor sapi ke RDTL,
sebaliknya sapi mengalir ke NTT dari RDTL dalam bentuk hidup baik secara legal maupun
illegal.
3.2.3. Ekspor komoditas dari NTT ke RDTL
Data komoditas yang diekspor yang tercatat di Dinas Perdagangan berasal dari Kantor
Bea Cukai. Total ekspor dari NTT ke semua tujuan secara resmi yang tercatat di Bea Cukai
yang dominan adalah perabotan rumahtangga (mebel), peralatan mesin dan sebagainya
(Tabel 6). Tujuan ekspor barang-barang tersebut yang dominan adalah ke RDTL, selain itu
juga ke Australia, Tiongkok dan Singapura (Tabel 7). Sedangkan ekspor komoditas pertanian
tidak ada atau sangat sedikit, hanya tercatat olahan dari tepung, gandum dan susu (Tabel 8).
Tabel 6. Ekspor total komoditas oleh NTT ke semua negara tujuan, 2016
No Kelompok Komoditas Nilai (US$) (%)
1 Bahan bakar mineral 3,090,128 13.07
2 Garam, belerang, kapur 5,894,221 24.93
3 Kendaraan dan bagiannya 3,015,992 12.75
4 Perabot, penerangan rumah 1,827,374 7.73
5 Besi dan Baja 923,023 3.90
6 Minuman 104,777 0.44
7 Mesin - mesin / Pesawat Mekanik 181,941 0.77
8 Mesin dan Peralatan Listrik 143,516 0.61
9 Olahan dari Gandum, Tepung, Susu 172,868 0.73
10 Plastik dan Barang dari Plastik 195,252 0.83
11 Lain-lain 8,097,975 34.25
Jumlah: 23,647,067 100.00
Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi NTT, 2017 Tabel 7. Nilai ekspor total komoditas NTT menurut negara tujuan, tahun 2016
No Negara Tujuan Nilai (US$) (%)
1 Timor Leste 23,462,776 99.22
2 Australia 107,000 0.45
16
3 Tiongkok 33,000 0.14
4 Singapura 44,291 0.19
Total 23,647,067 100.00
Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi NTT, 2017 Tabel 8. Perkembangan ekspor komoditas pertanian NTT ke semua Negara tujuan, 2014-2016
Tahun Jenis Komoditas Pertanian Nilai (US $) %*
2014 Olahan dari Tepung 43874 0.21
2015 Tidak ada ekspor 0 0.00
2016 Olahan dari Gandum, Tepung, Susu 172868 0.73 Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi NTT, 2017, Ket : * % dari total nilai ekspor NTT
Data yang disajikan di atas adalah data ekspor resmi yang tercatat oleh Kantor Bea
Cukai dan Dinas Perdagangan, namun selain ekspor melalui prosedur resmi di Bea Cukai,
terdapat juga aliran komoditas pertanian yang dikirim ke Negara perbatasan yang tidak tercatat
di Bea Cukai. Lalu lintas komoditas yang keluar dari NTT ke RDTL atau sebaliknya, dicatat oleh
Balai Karantina yang ditempatkan di wilayah perbatasan tersebut. Fungsi pencatatan aliran
komoditas pertanian oleh Balai Karantian Pertanian tersebut lebih untuk memonitor
kemungkinan masuknya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dan organisme pengganggu
tumbuhan karantina (OPTK). Dari wawancara dengan Balai Karantina Pertanian Kupang, aliran
keluar masuk komoditas tersebut bukan bersifat ekonomi secara murni (jual beli), namun juga
berupa buah tangan yang dibawa masyarakat antar Negara yang saling berkunjung. Hubungan
keluarga antara masyarakat perbatasan tersebut tetap terjalin mengingat dua RDTL
sebelumnya juga merupakan bagian wilayah NKRI.
Frekuensi dan volume komoditas pertanian (pangan) yang dikirimkan melalui lalu lintas
perbatasan NTT ke dan dari RDTL yang dicatat oleh Balai Karantina Pertanian disajikan dalam
Tabel 9. Dari tabel tersebut, ternyata meskipun data secara resmi dari Dinas Perdagangan
Kupang tidak tercatat adanya ekspor komoditas pertanian ke RDTL, namun secara riil ada aliran
komoditas pertanian ke RDTL. Aliran barang tersebut dapat dibawa keluar sebagai buah
tangan, atau melalui penjualan komoditas antar pelintas batas yang tidak tercatat oleh Bea
Cukai karena dua kemungkinan: (1) memperoleh fasilitas pembebasan pungutan bea masuk
17
karena nilainya tidak melebihi nilai batas maksimum nilai pabean sebesar $ USD 50, atau (2)
tidak melalui Pos Lintas Batas resmi.
Dari Tabel 9 tersebut, komoditas yang melintas ke RDTL adalah padi, jagung, kedele,
dan komoditas hortikultura, terutama yang dalam jumlah cukup banyak adalah bawang merah,
bawang putih, bawang Bombay. Jenis buah-buahan adalah semangka, salak, rambutan,
mangga, papaya. Selain dalam bentuk buah dan sayuran, juga terdapat benih dan bibit
terutama sayuran (bawang merah, bawang putih, kangkung dan sebagainya). Bibit buah yang
keluar adalah bibit papaya dan salak. Aliran keluar dalam bentuk bibit tersebut dalam jangka
panjang jika tidak ada pembatasan dikhawatirkan akan berkonsekuensi pada pengembangan
dan peningkatan produksi komoditas sayuran dan buah-buahan di RDTL dan pengaruhnya
terhadap posisi ekspor impor komoditas pertanian antara NTT dan RDTL.
Tabel 9 . Frekuensi dan volume lalu lintas media pembawa Opt/Optk dari NTT ke RDTL, 2016 No Komoditi Frek Volume
(Kg) No Komoditi Frek Volume
(Kg) 1 Dedak Padi 1 400 24 Buah Manggis 3 910
3 Kedelai 31 427050 25 Buah Melon 3 225
4 Kacang Tanah 8 4850 26 Bibit Bw Putih 4 9550
5 Kacang hijau 8 15250 27 Bibit Bw Prei 1 50
6 Padi 9 74500 28 Bibit Bw Merah 1 50
7 Jagung 1 1250 29 Bibit jagung 1 50
8 Bawang Putih 30 113904 30 Bibit Kubis 2 350
9 Bawang bombay 13 6770 31 Bibit Melon 3 400
10 Bawang merah 26 24460 32 Bibit Paria 1 150
11 Jintan putih 1 400 33 Bibit Papaya* 1 100
12 Asam 1 30 34 Bibit sawi 2 150
13 Lada 1 600 35 Bibit seledri 2 75
14 Jahe 2 250 36 Bibit terong 1 100
15 Ketumbar 2 475 37 Bibit Tomat 2 125
16 Wijen 1 150 38 Bibit cabe 2 185
17 Pinang 3 32580 39 bibit buncis 2 235
18 Gula merah 2 40 40 Bibit Selada 3 800
19 Buah Mangga 15 3755 41 Bibit Kangkung 2 500
20 Buah Rambutan 7 965 42 Bibit Kc panjang 2 250
21 Buah Salak* 32 7190 43 Bibit ketimun 2 107
22 Buah Semangka 32 47290 44 Bibit wortel 1 25
23 Jeruk Nipis 1 125 45 Rumput grass 4 8700
Sumber : Balai Karantina Pertanian Kupang, 2017 * satuan : batang
18
Sedangkan untuk komoditas ternak yang banyak keluar adalah babi potong hidup
sebanyak 224 ekor dengan frekuensi 3 kali, daging babi olahan 355 Kg (3,5 kuintal) yang
dikirim dalam 3 kali pengiriman, daging sapi olahan 111 kg frekuensi 7 kali, pakan ternak, obat
hewan daan vaksin. Jika dihitung nilai sekali melintas nilainya cukup besar, seperti babi potong
sekali melintas keluar rata-rata 75 ekor, daging babi olahan sekali melintas keluar 1 kuintal
demikian pula untuk daging sapi olahan sekali melintas sekitar 60 Kg. Demikian pula untuk obat
vaksin sekali melintas sekitar 70 botol.
Tabel 10. Frekuensi dan volume lalu lintas media pembawa Opt/Optk (komoditas ternak) dari NTT ke RDTL ke NTT, 2016
No
Jenis Komoditas Jumlah Frekuensi
1 Babi potong 224 ekor 3
2 Daging babi olahan 355 kg 5
3 Daging sapi olahan 111kg 7
4 Pakan ternak 38.400 kg 13
5 Obat hewan 142 Btl 2
6 Vaksin 25 kms 1
Sumber :Balai Karantina Kupang, 2017 Sedangkan nama-nama perusahaan yang melakukan ekspor komoditas pertanian ke RDTL disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Nama perusahaan ekspor komoditas pertanian di NTT, 2017
NO Perusahaan Tujuan Ekspor Komoditi
A. Eksportir Kupang
1 PUSKUD NTT RDTL Hasil Bumi dan Ternak
2 Toko Usaha Baru RDTL Aneka Komoditi Primer
3 PT. Segarau Bahari RDTL Daging Sapi
4 CV. Bunga Lontar RDTL Kentang, Kacang - Kacangan
dan Bawang, Buah2an
5 UD. Putri Berlian RDTL Bw Merah, Bw Putih, Kc Tanah,
Kc Hijau, Kedele
6 PT. Kopi Manggarai Nusantara Eropa Kopi
7 NTT Trading Compnay LTD,NV Kopi
B Eksportir Ende dan Ngada
8 UD. Nusa Permai USA, Jerman,
Singapura
Kacang Mete Organik
9 KSU Fa Masa Antar pulau ke Sby Kopi Arabika
C Eksportir Sikka
10 PT. Comextra Majora Cab. Sikka Kakao dan Mente
19
D Eksportir Sumba
11 CV. Sumba Subur Taiwan Kopi Arabika
F. Eksportir Belu
12 CV. Faromas Timor Distribution Timor Leste Aneka barang kebutuhan rumah
tangga, makanan dan bahan
bangunan
13 CV. Central Timor Timor Leste Aneka barang kebutuhan rumah
tangga dan makanan
Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi NTT, 2017
Sebagian besar perusahaan ekpor komoditas pertanian di NTT untuk tujuan RDTL,
hanya beberapa perusahaan yang ekspor untuk tujuan selain RDTL (Singapura, Eropa, USA,
Taiwan). Terdapat pula perusahaan yang selain ekspor ke RDTL juga melakukan perdagangan
antar pulau ke Surabaya. Tantangan untuk ekspor adalah bagaimana memenuhi persyaratan
standar di RDTL, sejalan dengan penyiapan legalitas kelembagaan eksportirnya.
3.2.4. Impor Komoditas NTT dari RDTL
Berbeda dengan data untuk ekspor komoditas pertanian dari NTT ke RDTL, komoditas
yang masuk melalui impor dari RDTL ke NTT yang tercatat oleh Kantor Bea Cukai dan Dinas
Perdagangan Provinsi NTT menunjukkan nilai yang cukup tinggi untuk jenis komoditas biji-bijian
berminyak, kopi, teh, rempah-rempah, sayuran dan buah-buahan. Jika diperhatikan lebih
lanjut, perkembangan impor selama 2014-2016 menunjukkan kecenderungan nilai yang
semakin meningkat, dan hampir seluruh impor berasal dari RDTL kecuali untuk jenis aneka
gandum.
Tabel 12. Impor komoditas Pertanian NTT dari RDTL dan negara lainnya, 2016
Tahun Jenis Komoditas
Asal Impor
Total RDTL
Nilai (US $) %* Nilai (US $) %
2014 Biji - bijian Berminyak 63084 0.20 61067 96.8
Kopi, Teh, rempah - rempah 65838 0.21 65838 100
Sayuran 2334 0.01 2334 100
2015 Biji - bijian berminyak 191455 2.42 191455 100
Kopi, Teh, Rempah - rempah 138,983 1.76 138983 100
Buah - buahan 1260 0.02 1260 100
Sayuran 20457 0.26 20457 100
2016 Biji - bijian berminyak 296455 1.02 296455 100
Kopi, Teh, rempah - rempah 349836 1.20 349836 100
Sayuran 10733 0.04 10733 100
Buah - buahan 441 0.00 441 100
20
Aneka gandum 8200000 28.19 0 0
Sumber : Dinas Perdagangan Provinsi NTT, 2017 Ket : * = % dari total impor
Selain impor yang tercatat di Dinas Perdagangan dan Kantor Bea Cukai seperti Tabel 12,
juga terdapat lalu lintas komoditas pertanian yang dicatat oleh Balai Karantina Kupang yang
masuk ke NTT dari RDTL dan Thailand. Jenis komoditas yang masuk dari RDTL utamanya
adalah kopi, kemiri, kopra, kacang hijau dan asam. Juga terdapat kunyit, cengkeh, lada hitam
dalam jumlah yang lebih sedikit. Komoditas yang masuk dari Thailand adalah beras sebayak 15
ton sekali pengiriman.
Dari data aliran masuk dan keluar dari atau ke wilayah NTT dan RDTL tersebut, jika
dilihat imbangan data secara resmi yang tertera di Dinas Perdagangan, maka nilai komoditas
pertanian yang masuk ke NTT dari RDTL (impor NTT dari RDTL) lebih mendominasi kegiatan
ekspor- impor antara kedua Negara perbatasan tersebut.
Tabel 13. Frekuensi dan Volume Lalu Lintas Media Pembawa Opt/Optk yang Masuk ke NTT, Tahun 2016
No Media Pembawa Jumlah Asal
Impor Frek Vol (Kg) RDTL
1 Kemiri 72 511.130 RDTL
2 Kopra 97 621.000 RDTL
3 Kopi 126 880.182 RDTL
4 Kacang Hijau 2 4.340 RDTL
8 Gembili 19 103.480 RDTL
9 Cengkeh 1 105 RDTL
10 Kunyit 1 60 RDTL
11 Lada Hitam 1 120 RDTL
12 Beras 1 15.000.000 Thailand
13 Asam 1 3.200 RDTL
Sumber : Balai Karantina Pertanian Kupang, 2017 3.2.5. Perdagangan Lintas Batas Komoditas Pertanian RI-RDTL
Beberapa komoditas pertanian yang diproduksi di wilayah perbatasan NTT dipasok untuk
perdagangan antar pulau terutama ke Surabaya. Beberapa produk yang diperdagangkan antara
lain adalah kopi, kemiri, asam, jagung dan kacang hijau. Sebaliknya ada juga barang dari Jawa
Timur yang diekspor ke RDTL via NTT, yaitu berupa barang kelontong. Apabila mengambil
barang dari Surabaya, tidak dikenakan pajak, sedangkan kalau dari NTT dikenakan pajak
pertambahan nilai.
21
Salah satu contoh perdagangan lintas batas yang dilakukan oleh pelaku perdagangan
komoditas pertanian sekaligus sebagai pemilik toko di kabupaten Belu. Pelaku menampung hasil
pertanian seperti jagung, kacang hijau, kemiri, kacang tanah, empon-empon dari petani di
wilayah Belu dan Malaka secara langsung maupun melalui pedagang pengumpul yang menjadi
anak buahnya. Selanjutnya, berbagai komoditas tersebut akan dikirim ke pemesan di Surabaya.
Jika kuota yang dipesan belum dapat dipenuhi dari pembelian hasil pertanian dari petani di
wilayah itu dan sekitarnya, maka pengusaha ini akan mengimpor dari RDTL. Berbagai hasil
pertanian yang diimpor dari RDTL yaitu kemiri, kopi dan kopra. Sebaliknya pelaku ini belum
pernah mengekspor hasil pertanian ke RDTL. Kegiatan perdagangan resmi dengan RDTL juga
dilakukan oleh pelaku yang berada di luar wilayah ini, seperti dari Kupang, Surabaya dan
Jakarta.
Untuk dapat melintasi wilayah perbatasan dan melakukan transaksi perdagangan lintas
batas, penduduk wilayah perbatasan dapat memperoleh Pass Lintas Batas (PLB) yang berlaku
untuk waktu satu satu bulan yang selanjutnya dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Barang
pribadi pelintas batas diberikan fasilitas pembebasan pungutan bea masuk. Ketentuan besarnya
nilai pabean untuk perbatasan Indonesia dengan RDTL paling banyak FOB USD 50 (lima puluh
dolar Amerika) per orang per hari. Peraturan ini berlaku secara reciprocal di kedua Negara
berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani oleh pemerintah kedua Negara pada tahun
2001. Fasilitas ini biasanya digunakan oleh warga perbatasan untuk membeli berbagai barang
kebutuhan yang berasal dari Negara perbatasan.
Selain perdagangan lintas-batas, kegiatan perdagangan tidak resmi antar penduduk kedua
negara dilakukan melalui jalan masuk tidak resmi (jalan setapak, sungai, laut). Cakupan
komoditas, jumlah dan nilai yang diperdagangkan tidak diketahui karena tidak melalui pos bea
cukai maupun pos karantina. Diperoleh informasi ada sapi hidup yang dibawa dari wilayah
RDTL ke wilayah perbatasan di NTT. Hal ini menunjukkan bahwa dengan jumlah penduduk
yang relatif kecil, RDTL memiliki pasokan ternak sapi yang berlebih, walaupun pada saat yang
sama juga melakukan impor daging sapi dan ayam dari beberapa negara lain (Australia dan
Brazil).
Hubungan antar penduduk di wilayah perbatasan antar negara yang bersifat tradisional
dan berlangsung secara turun temurun menjadi salah satu penyebab tidak tercatatnya
perdagangan di wilayah lintas batas antar negara. Alasan mengunjungi sanak saudara di
wilayah seberang di RDTL dengan membawa hasil pertanian yang nantinya dijual di wilayah
22
tujuan merupakan fakta yang mendasari terjadinya aliran keluar dan masuknya barang dari dan
ke RDTL tanpa dilakukan pencatatan. Selain itu, volume terlalu kecil menjadi alasan lainnya
untuk tidak melakukan transaksi di pasar secara resmi melalui Pos Lintas Batas (PLB) resmi.
Pada beberapa kasus, transaksi pemasaran hasil pertanian dilakukan langsung oleh
petani ke RDTL. Komoditas yang diperdagangkan jumlahnya sedikit (misalnya cabai, bawang
merah, sekitar 10 kg) ditambah dengan ongkos yang harus dikeluarkan jika harus melewati PLB
resmi, berimplikasi pada pertambahan biaya. Oleh karenanya, beberapa petani NTT atau
sebaliknya petani RDTL, memilih menjual hasil panennya langsung ke wilayah RDTL atau
melalui PLB tidak resmi/pasar tradisional. Hal ini dapat terjadi karena dari aspek pengawasan,
keterbatasan jumlah personel penjaga lintas batas.
Perdagangan secara tidak tercatat dan tidak resmi tersebut dimungkinkan karena berbagai
alasan. Pertama, perbatasan antara RI dengan RDTL sangat panjang. Selain pintu lintas batas
resmi yang berada di titik-titik tertentu, masyarakat juga menggunakan lintas batas tradisional
yang telah dikenalnya selama ini. Jika harus melalui PLB, jarak yang harus ditempuh cukup jauh
dan harus membayar ongkos untuk transportasi. Di lain pihak jumlah hasil pertanian atau
barang lainnya yang akan dijual ke RDTL hanya sedikit sehingga tidak ekonomis jika lewat PLB,
sehingga dipilih jalan tikus yang lebih dekat tinggal menyeberang sungai.
Kedua, harga di tingkat konsumen di RDTL lebih tinggi daripada harga setempat, sehingga
barang akan mengalir ke RDTL. Ketiga, kehidupan perekonomian masyarakat perbatasan
NKRI–RDTL masih tergolong rendah. Kegiatan ekonomi masih bersifat tradisional dan jauh
tertinggal dibanding kelompok masyarakat lain di luar wilayah perbatasan. Kondisi ekonomi
yang masih rendah disertai tuntutan kebutuhan rumah tangga yang mendesak sering
menyebabkan terjadinya kegiatan ekonomi ilegal dengan masyarakat Timor Leste. Salah satu
bentuknya adalah penyelundupan BBM dan bahan pokok lain seperti beras dan bahan pangan
lain ke Timor Leste. Warga perbatasan dapat menggunakan Pas Lintas Batas (PLB) sebagai
pengganti paspor. Satu PLB untuk setiap orang dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 atau Rp
15.000 per keluarga (sepasang orang tua dengan maksimal empat orang anak), bahkan pada
tahun pertama saat sosialisasi dilakukan PLB bebas biaya untuk penggunaan dalam jangka
waktu setahun. Kemudahan dengan adanya PLB bagi warga di kawasan perbatasan ini ternyata
tidak selalu dimanfaatkan oleh semua warga perbatasan. Selain faktor kurangnya informasi
(walaupun sosialisasi sudah dilakukan di beberapa lokasi), alasan yang dikemukakan adalah
tidak memiliki uang untuk mengurus pas lintas batas dan membayar ongkos transportasi.
23
Keempat, masyarakat di wilayah berbatasan sebenarnya masih memiliki kesamaan garis
keturunan yang terus dipelihara secara turun temurun. Interaksi antara warga perbatasan
terutama yang terikat dalam clan yang sama masih terus berlangsung hingga kini. Saling
mengunjungi karena berbagai alasan sering dilakukan sekaligus dimanfaatkan juga untuk
melakukan aktivitas ekonomi.
Di wilayah perbatasan RI - RDTL, perdagangan berbagai barang termasuk komoditas
pertanian telah berlangsung secara tradisional terkait dengan interaksi antara penduduk di
wilayah perbatasan kedua negara, terutama yang memiliki hubungan keluarga. Dalam proses
interaksi tersebut masing-masing pihak saling berkirim barang-barang kebutuhan pokok dalam
jumlah yang terbatas untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga. Transaksi jual beli juga terjadi
di pasar lokal perbatasan yang dibuka seminggu sekali. Frekuensi pasar yang dibuka hanya
seminggu sekali ini terkait dengan giliran jadwal beberapa titik lintas batas di wilayah
perbatasan. Sebagai contoh, Pasar Inpres Haliulik hari pasarnya adalah hari Kamis; dan Pasar
Tradional Wedomu hari pasarnya adalah hari Sabtu. Data rinci hari pasar dari berbagai pasar di
perbatasan RI - RDTL dapat disimak pada Tabel 14.
Tabel 14. Nama, lokasi dan hari pasar beberapa pasar di perbatasan NTT, 2017
No. Nama Pasar Alamat Hari Pasar
1. Pasar Inpres Atambua Kel. Bairafu, Kec Atambua Barat Setiap hari
2. Pasar Tradional Atambua Kel. Bairafu, Kec. Atambua Barat Setiap hari 3. Pasar Inpres Haliluik Desa Naitimu, Kec. Tasifeto Barat Kamis
4. Pasar Tradisional Wedomo Desa Mantelen, Kec. Tasifeto Timur
Sabtu
5. Pasar Fatulotu Desa Fatulotu, Kec. Lasiolat Senin 6. Pasar Weluli Desa Dirun, Kec. Lamaknen Minggu 7. Pasar Sakafini Desa Tohe, Kec. Raihat Rabu
8. Pasar Tulakadi Desa Tulakadi, Kec. Tastim Senin 9. Pasar Lakafean Desa Duadalus, Kec. Kakuluk
Mesak Rabu
10. Pasar Tradisional Motaain Dusun Silawan, Kec. Tasifeto Timur
Selasa
Sumber: Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Belu, 2017
Warga RDTL biasanya membeli berbagai barang kebutuhan pokok seperti sembako, ikan
asin, sirih, pinang, dll. di pasar-pasar yang terletak di dekat perbatasan. Pasar ini biasanya
hanya berlangsung sekali dalam sepekan. Berbagai barang kebutuhan yang dibeli biasanya
24
dikarungi dan diangkut dengan cara dipikul, karena umumnya pelintas batas ini masuk dengan
berjalan kaki. Hasil pengamatan di pasar perbatasan RDTL, beberapa komoditas pertanian
(sayuran) dipasarkan dalam satuan “tumpuk” dimana sebagian besar komoditas tersebut
berasal dari Pasar Atambua, NTT. Sedangkan warga RI di perbatasan dengan RDTL biasanya
membeli berbagai jenis produk minuman jadi dari pasar di RDTL.
Transaksi di pasar perbatasan RDTL menggunakan mata uang dollar US, namun beberapa
pedagang bersedia dibayar dengan rupiah, dengan konversi $ 1 US berkisar Rp 10 ribu untuk
komoditas sayuran di pasar RDTL, sedangkan untuk di toko kurs yang digunakan adalah Rp 13
ribu/$ 1. Harga bawang merah, cabe merah, tomat masing-masing $ 0.50/tumpuk (sekitar
0.250 gram). Jeruk (berasal dari Atambua) seharga $ 1.0/tumpuk (lima buah ukuran sedang).
Telur ayam (berasal dari Dilli) dengan harga $ 0.25/butir. Harga beras yang berasal dari
Thailand $ 12.50/25 kg (sekitar Rp 6.500/kg dengan kualitas baik). Untuk produk peternakan
yang dipasarkan di pasar perbatasan RDTL berasal dari Brazil, yaitu sosis ayam harga $ 2/pack
(250 gram); ayam beku $ 2.5/ekor. Sedangkan untuk minuman/jus kaleng berasal dari Vietnam
dan Korea dengan harga $ 10/pack (24 botol kecil). Harga-harga tersebut jika dibandingkan
dengan rata-rata harga di pasar perbatasan RI relatif sama, kecuali beras harga di pasar RI
lebih mahal (Catatan: Harga pada tanggal 12 Juni 2017 di Pasar Rakyat Atambua). Data harga
rata-rata berbagai komoditas yang diperdagangkan di pasar perbatasan RI (Pasar Rakyat
Atambua) dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Harga Bahan Pangan Pokok di Pasar Tradisional Kabupaten Belu, Provinsi NTT, 2017
No. Nama Barang Satuan Harga Rata-rata (Rp) 1. Beras Premium
Beras Medium Beras Bulog
Kg Kg Kg
13 000 12 000 10 000
2. Gula pasir Gulaku Gula pasir Kristal
Kg Kg
19 000 15 333
3. Minyak goreng Bimoli Minyak goring curah/tanpa merk
Liter Liter
16 000 16 000
4. Telur ayam broiler Kg 24 000 5. Daging Sapi lokal murni
Daging Ayam broiler Daging Ayam kampung
Kg Kg Kg
100 000 31 200 61 500
6. Jagung (pipilan kering) Kg 6 000 7. Kacang Kedelai
Kacang tanah Kacang hijau
Kg Kg Kg
15 000 24 667 19 667
8. Cabe merah keriting/biasa Kg 40 000
25
9. Cabai rawit biasa/kecil Kg 40 000
10. Bawang Merah Bawang Putih
Kg Kg
25 000 60 000
Sumber: Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Belu, NTT
Informasi dan pengamatan dari beberapa kios pedagang wilayah perbatasan RI - RDTL
menunjukkan beberapa komoditas pertanian yang diimpor RDTL dari beberapa negara lain
adalah: daging sapi (Brazil), daging ayam (Brazil), beras (Thailand), minuman kaleng (Thailand,
Singapura, Korea). Produk-produk bahan pokok olahan yang diimpor dari Indonesia melalui
pelabuhan Dili, antara lain adalah: minyak goreng, mie instan, susu bubuk, bawang merah,
bawang putih, jagung muda, dan daging se’i.
Adanya impor daging sapi, daging ayam dan minuman kaleng menunjukkan potensi ekspor
bagi Indonesia bila produk-produk tersebut dalam jangka panjang memiliki daya saing. Dalam
jangka pendek-menengah ekspor daging ayam dari sisi pasokan lebih feasible. Tantangannya
adalah bagaimana memenuhi persyaratan standar yang ditetapkan oleh RDTL. Saat ini untuk
produk unggas khususnya ayam, RDTL mengikuti standar yang berlaku di Australia. Untuk
ternak babi, RDTL telah melakukan survei untuk mengidentifikasi dan menentukan perusahaan-
perusahaan yang bisa mengekspor babi ke RDTL.
Berdasar pengamatan di pasar perbatasan RDTL, preferensi konsumen /penduduk RDTL
relatif sama dengan rata-rata penduduk NTT atau Indonesia umumnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena pada awalnya mereka adalah satu rumpun. Oleh karena itu, potensi pasar
cukup terbuka bagi Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar RDTL. Secara geografis
lokasi RDTL yang berbatasan langsung dengan RI merupakan satu kekuatan yang kita miliki
untuk bisa menangkap peluang pasar tersebut. Beras RDTL yang selama ini dipasok dari
Thailand dan Vietnam merupakan peluang yang harus mampu kita manfaatkan. Harga beras
Thailand dan Vietnam yang lebih murah dari beras RI, menjadi tantangan bagi kita untuk bisa
menekan biaya produksi melalui penguatan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas,
mengurangi kehilangan hasil dan efisiensi dalam memproduksi beras.
3.2.6. Regulasi Perdagangan Lintas Batas dan Domestik
Aktivitas perdagangan barang pada umumnya mengacu pada UU No. 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan. Ketentuan ekspor dan impor barang merupakan kewenangan pemerintah
pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya melaksanakan kebijakan tersebut. Sampai saat ini
tidak ada Perda khusus yang dikeluarkan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota tentang
26
barang masuk dan keluar. Ketentuan mengenai kepabeanan untuk barang yang akan dibawa
masuk/keluar ke/dari wilayah RI oleh Pelintas Batas diatur dengan Prosedur Barang Pelintas
Batas, sedangkan barang yang akan diekspor secara komersial harus mengikuti Prosedur
Kepabeanan Ekspor.
Keluar masuknya barang antar wilayah perbatasan diatur dalam Prosedur Barang
Pelintas Batas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Lalu lintas barang antar
wilayah dibedakan atas : (1) barang dagangan, adalah barang yang menurut jenis, sifat dan
jumlahnya tidak wajar untuk keperluan pribadi, berupa barang yang diimpor/ekspor untuk
diperjualbelikan, barang contoh, barang yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong untuk industry, dan/atau barang yang akan digunakan untuk tujuan selain pemakaian
pribadi; dan (2) barang pribadi pelintas batas.
Selain barang pribadi pelintas batas, lalulintas barang antar wilayah perbatasan wajib
dilaporkan di di PLB (Pos Lintas Batas) dan/atau Petugas Bea Cukai. Untuk barang impor yang
dibawa oleh Pelintas Batas, wajib diberitahukan kepada Petugas Bea dan Cukai secara lisan di
Pos PLB dan hanya dapat dikeluarkan setelah mendapat persetujuan Petugas Bea dan Cukai.
Barang dagangan yang dibawa oleh Pelintas Batas dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka
impor, dan diselesaikan dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Impor Barang Khusus
(PIBK)
Sedangkan barang pribadi Pelintas Batas diberikan fasilitas pembebasan Bea masuk
dengan ketentuan memiliki nilai pabean tidak melebihi ketentuan, yaitu untuk perbatasan
Indonesia dengan RDTL maksimum nilainya sebesar FOB USD 50 (lima puluh dollar Amerika)
per orang per hari. Jika barang pribadi Pelintas Batas melebihi nilai pabean yang mendapatkan
fasilitas pembebasan bea masuk, maka kelebihan nilai pabean tersebut akan dikenakan
pungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Setiap Pelintas Batas yang membawa
barang impor wajib memiliki KILB (Kartu Identitas Pelintas Batas). KILB dikeluarkan oleh
Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Pos PLB, atas permohonan Pelintas Batas dengan
dilampiri fotocopy KTP dan fotocopy PLB yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Permohonan KILB bagi Pelintas Batas yang sudah memenuhi persyaratan dapat diberikan KILB
oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai serta akan dibuatkan Buku PBLB (Pas Barang Lintas Batas).
Sedangkan tata cara pengeluaran barang pelintas batas diatur ebagai berikut. Pelintas Batas
yang baru tiba dari luar negeri wajib menunjukkan KILB kepada petugas Bea dan Cukai di Pos
Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Bagi Pelintas Batas yang tidak dapat menunjukkan KILB,
27
maka tidak diberikan pembebasan Bea Masuk. Setelah menerima KILB serta pemberitahuan
pabean secara lisan dari pelintas batas, maka petugas Bea dan Cukai di Pos PLB akan
melakukan pemeriksaan fisik dan menuangkannya ke dalam Nota pemeriksaan serta
menetapkan tariff dan nilai pabean sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Ditjen Bea dan Cukai, 2015).
Prosedur Barang Pelintas Batas
a. Dasar hukum dari ketentuan ini adalah: (i) UU No.17/2006 tentang Perubahan Atas UU
No.10/1995 tentang Kepabeanan; (ii) UU No.39/2007 tentang Perubahan Atas UU
No.11/1995 tentang Cukai; dan (iii) Peraturan Menteri Keuangan RI No.188/PMK.04/2010
tentang Impor Barang yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas
Batas dan Barang Kiriman.
b. Pelintas batas adalah penduduk yang bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara
serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi berwenang dan yang
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pos Pengawasan Lintas
Batas. Sebagai identitas, Pelintas Batas harus meliliki dua macam dokumen, yaitu: (i) Pas
Lintas Batas (PLB) yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi; dan (ii) Kartu Identitas Lintas
Batas (KILB) yang dikeluarkan oleh Kantor Bea dan Cukai yang membawahi Pos
Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), dengan dilampiri fotocopy KTP dan fotocopy PLB.
c. Barang impor yang dibawa oleh Pelintas Batas, terdiri atas barang pribadi dan atau barang
dagangan. Barang impor tersebut wajib diberitahukan kepada Petugas Bea dan Cukai
secara lisan di Pos Lintas Batas dan hanya dapat dikeluarkan setelah mendapat
persetujuan Petugas Bea dan Cukai. Barang dagangan yang dibawa oleh Pelintas Batas
dipungut Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor, dan diselesaikan menggunakan
dokumen Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK).
d. Barang pribadi diberikan fasilitas pembebasan pungutan Bea Masuk. Untuk perbatasan RI
dengan RDTL, nilai impor yang dibebaskan Bea Masuknya adalah maksimal FOB USD 50
(lima puluh dolar Amerika Serikat) per orang per hari.
Prosedur Kepabeanan Ekspor
a. Dasar hukum dari ketentuan ini adalah: (i) UU No.17/2006 tentang Perubahan Atas UU
No.10/1995 tentang Kepabeanan; (ii) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2007
tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspo; (iii) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai No.P-40/BC/2008 jo.P-06/BC/2009 jo.P-30/BC/2009 jo.P-27/BC/2010 tentang Tata
28
Laksana Kepabeanan di Bidang Ekspor; (iv) Peraturan Bea dan Cukai No.P-41/BC/2008
tentang Pemberitahuan Pabean Ekspor.
b. Eksportir wajib memberitahukan barang yang akan diekspor ke kantor pabean pemuatan
dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) disertai Dokumen Pelengkap
Pabean.
c. PEB disampaikan paling cepat 7 (tujuh) hari sebelum perkiraan ekspor dan paling lambat
sebelum barang ekspor masuk Kawasan Pabean.
d. Dokumen Pelengkap Pabean adalah: (i) invoice dan packing List; (b) Bukti Bayar PNBP; (iii)
Bukti Bayar Bea Keluar (dalam hal ekspor dokenai Bea Keluar).
e. Penyampaian PEB dapat dilakukan oleh eksportir atau dikuasakan kepada Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).
f. Pada Kantor Pabean yang sudah menerapkan sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE)
kepabeanan, eksportir/PPJK wajib menyampaikan PEB dengan menggunakan sistem PDE
Kepabeanan.
Persyaratan yang menjadi hambatan ekspor antara lain: (1) Untuk ekspor produk olahan
hasil hutan harus ada V-Legal. Untuk mendapatkan V-Legal, nilai minimumnya Rp 60 juta,
padahal pelaku usaha di Provinsi NTT pada umumnya adalah UMKM, dengan nilai transaksi
ekspor dibawah nilai tersebut. Ketentuan V-Legal dimaksudkan untuk menjamin kelestarian
hutan; (2) Surat Keterangan Asal (SKA) Preferensial: barang masuk dapat memperoleh fasilitas
pengurangan bea masuk, namun karena RDTL belum masuk dalam kesepakatan skema MEA-
ASEAN, fasilitas tersebut belum bisa diterapkan; (3) Barang-barang yang berasal dari luar NTT
(terutama Jawa Timur) yang diekspor ke RDTL via NTT tidak dikenakan pajak, sedangkan
barang-barang yang berasal dari NTT dikenakan pajak pertambahan nilai.
Dari aspek karantina, pada prinsipnya semua komoditas pertanian yang masuk dari
RDTL (resmi atau tidak resmi) harus melalui pemeriksaan karantina. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah kemungkinan masuknya hama dan penyakit tanaman maupun hewan ternak dari
RDTL ke wilayah Indonesia. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan mengambil sampel dari
produk-produk yang masuk.
3.3. MODEL KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PANGAN
Pada bab ini dirancang model pengembangan produksi dan ekspor pangan di daerah
perbatasan, terutama sistem produksi, perdagangan dan kelembagaanya dari hulu sampai hilir.
Dua kabupaten yang dipelajari, yakni Kabupaten Belu dan Malaka, memiliki kesamaan karakter,
29
sehingga pemaparan dilakukan sekaligus. Pengembangan kelembagaan dalam konteks ini, tidak
hanya sekedar hard structure yakni pelaku dan pola relasinya, tetapi juga aspek soft structure
yakni regulasi, norma dan pengetahuan dari para pelakunya. Hal ini sesuai dengan pemaknaan
“institution” menurut Scott sebagai: “institution are comprised of regulative, normative and
cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide
stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48). Kelembagaan menyediakan pedoman dan
sumber daya untuk bertindak bagi semua pelaku (individu maupun organisasi), sekaligus
batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan adalah untuk tercapainya
stabilitas dan keteraturan (order), sedangkan rekayasa kelembagaan adalah upaya menysun
penataaan baru untuk tercapainya stuktur dan pola tindakan yang baru.
Secara sederhana, kelembagaan mencakup aspek aktor, perilaku, norma dan aturan,
serta struktur yang terbentuk (institutional arrangements). Dalam bagian ini dinarasikan kondisi
kelembagaan agribisnis yang eksis, mulai dari hulu sampai hilir. Dalam hal ini mencakup pula
baik relasi legal maupun ilegal, permasalahan serta potensi pelibatannya ke depan.
Sebagaimana dijelaskan di depan, kinerja agribisnis di lokasi studi (Kabupaten Belu dan
Kabupaten Malaka), menghadapi berbagai kendala yakni pengelolaan potensi sumber daya
belum optimal, terbatasnya infrastruktur ekonomi, serta lemahnya aspek permodalan dan
perdagangan. Pemanfaatan kawasan untuk kegiatan budi daya (pertanian, perkebunan
peternakan) belum optimal. Dalam konteks perdagangan, peran pasar tradisional masih
terbatas meskipun sudah menjalankan fungsi perdagangan langsung dari luar daerah ke negara
tetangga. Upaya pengembangan wilayah perbatasan untuk peningkatan produksi dan
ekspor adalah melalui pendekatan agribisnis. Secara prinsip, agribisnis memiliki berbagai
tujuan, yaitu komersialisasi usahatani (commercialization of agriculture), peningkatan
produktivitas (increase productivity), penggunaan teknologi modern, menekan biaya produksi,
penciptaan nilai tambah (value addition), ekspor (export agriculture), dan harapan untuk
peningkatan pendapatan (higher farm income). Pengembangan model membutuhkan berbagai
asumsi antara lain: (1) dukungan pemerintah pusat dan daerah cukup kuat, dengan alokasi
dana dan tenaga yang cukup, (2) dukungan dari pemerintah akan berlanjut, dengan melakukan
pentahapan jangka pendek, menengah dan panjang, dan (3) pengembangan model lumbung
pangan terdiri atas dua misi, yakni menjadi kawasan wilayah perbatasan yang mandiri dan
mampu mencukupi kebutuhan sendiri, lalu diikuti oleh keberhasilan melakukan ekspor produk
30
pangan ke Negara perbatasan sebagai Negara tujuan ekspor baik berupa bahan mentah
maupun olahan.
3.3.1. Penyusunan Model Pengembangan Produksi dan Ekspor
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terdapat tujuah persyaratan untuk
pengembangan kelembagaan agribisnis dengan berbasiskan petani kecil (small holders), yaitu
(1) tidak ada aliansi politik tertentu, (2) pelayanan yang memadai, (3) menerapkan prinsip dan
manajemen bisnis, (4) menjadi bagian dari jaringan, (5) bisnis yang fokus, (5) kelembagaan
dengan transaksi berbiaya rendah, (6) terbuka terhadap penyesuaian-penyesuaian, dan (7)
memahami pola bisnis pada usaha agribisnis. Ketujuh prinsip atau persyaratan di atas berlaku
pula untuk pengembangan agribisnis sapi di Kabupaten Belu maupun jagung di Kabupaten
Malaka, dengan berbagai penekanan. Bertolak dari kondisi pelaku agribisnis saat ini, maka
beberapa yang perlu penekanan ke depan berkaitan dengan bagaimana memperkuat pelaku
sekaligus pengembangan jaringan dengan pelaku-pelaku lain. Untuk kebutuhan ekspor ke
RDTL, maka pelayanan ekspor, mulai dari pelayanan pendaftaran sebagai perusahaan ekspor
dan kemudahan pada pos lintas batas menjadi penting. Pola perdagangan antar negara saat ini
masih berlangsung secara tradisional, namun ke depan membutuhkan pedoman yang jelas,
dengan mengandalkan kepada relasi formal.
3.3.1.1. Pengembangan Produksi dan Ekspor Peternakan
Provinsi NTT khususnya Kabupaten Belu selama ini dikenal sebagai lumbung ternak sapi
di Indonesia, bahkan sampai awal tahun 1980 an dari NTT masih mengekspor ternak sapi ke
Hongkong. Namun, sebagaimana sudah diterangkan di depan, populasi sapi di Belu semakin
menurun sehingga saat ini populasi yang ada tidak lagi mencukupi kebutuhan daging penduduk
NTT. Penyebab utama adalah terbatasnya pakan, karena konversi lahan penggembalaan ke
pertanian budidaya atau keperluan lain. Populasi yang semakin menurun juga disebabkan
tingginya volume perdagangan antar pulau (via Surabaya). Sebagai gambaran, rata-rata jumlah
sapi dari NTT yang dipasarkan ke DKI, Jabar, Banten, Kaltim, Kalsel, dan Sulsel sekitar 60 000
ekor/tahun. Untuk tahun 2017 sampai dengan bulan Juni telah diantar pulaukan sebanyak 23
000 ekor. Pengiriman sapi dari NTT menggunakan kapal khusus untuk mengangkut ternak
dengan frekuensi pengiriman setiap dua minggu sekali. Sementara itu jumlah sapi yang
diperdagangkan di Kota Kupang dan sekitarnya mencapai 40 – 45 ekor/hari. Perdagangan
ternak dari NTT selama ini berupa ternak hidup ke Jawa. Untuk eskpor, secara resmi tidak ada
31
ekspor sapi ke Timor Leste, justru yang terjadi sebaliknya yaitu sapi dari RDTL masuk dalam
bentuk hidup (legal dan illegal).
Program SIWAB (sapi indukan wajib bunting) dengan menggunakan teknologi inseminasi
buatan (IB) yang merupakan program nasional diharapkan dapat mempercepat peningkatan
populasi sapi di NTT. Potensi populasi ternak sapi di NTT sebesar 931.000 ekor, namun saat ini
populasi yang ada hanya sekitar 68.000 ekor. Terkait dengan kebijakan untuk ekspor sapi dari
NTT utamanya melalui Kabupaten Belu, cukup berat untuk bisa direalisasikan karena
permintaan sapi NTT untuk kebutuhan dalam negeri saja belum bisa dipenuhi.
Program peningkatan populasi sapi di NTT selain melalui SIWAB juga ditargetkan program
penambahan populasi sebesar 100.000 ekor yang akan dilakukan selama lima tahun (atau 20.
000 ekor/tahun) mulai tahun 2017. Saat ini jumlah sapi betina hanya 25 ribu, menjadi
tantangan berat untuk mengembangkan 20 ribu ekor/tahun kecuali didatangkan bibit sapi
indukan dari luar. Riilnya dari 25 ribu induk yang ada bisa meningkatkan 7 ribu/tahun tanpa
ada tambahan dari luar. Terkait hal ini, penambahan ternak sapi diharapkan tidak dilakukan
pada tahun pertama, namun di tahun ke tiga. Hal ini karena pada periode dua tahun pertama
perlu disiapkan infrastruktur terutama areal untuk sumber pakan hijauan dan sumber air berupa
embung. Selain itu, terkait dengan agroekosistem wilayah NTT yang relative kering, maka
penambahan ternak sapi diharapkan adalah jenis Sapi Bali yang memiliki daya adaptasi tinggi.
Terkait dengan penyiapan lahan untuk areal pakan hijauan ternak, Dinas Peternakan Kabupaten
Belu melalui dukungan dana APBN menyiapkan lahan seluas 500 Ha di setiap kecamatan
(Kabupaten Belu terdiri dari 12 kecamatan).
Data populasi sapi di kabupaten Belu tahun 2015 sebanyak 5020 ekor tersebar di
Kecamatan Kabuna 1384 ekor, Leosama 685 ekor, Fatuketi 1105 ekor, Duadalus 661 ekor,
Jenilu 314 ekor, Kenebibi 871 ekor. Terkait dengan program SIWAB, sudah disurvei oleh Tim
dari pusat untuk lokasi ranch di Desa Fatuketi dan Duadalus. Menggunakan lahan negara dan
tanah adat, ada sumber air, luas 500 ha, berupa perbukitan gersang dan ada tanaman. Jika
ditambah 10 ribu sapi, daya dukung lahan tidak mencukupi. Pengembangan ternak sapi di
wilayah NTT masih menghadapi beberapa masalah utamanya kesiapan sumber daya manusia.
Regenerasi peternak dengan tenaga yang lebih muda dan kapasitas pengelolaan ternak perlu
ditingkatkan. Petugas inseminasi buatan juga masih perlu ditambah. Inovasi teknologi pakan
32
ternak dan percepatan calving interval sangat dibutuhkan. Selain itu program ini perlu didukung
dengan kebutuhan lain terutama pakan.
Untuk kebutuhan pakan, pemerintah daerah sedang berupaya menyiapkan lahan hijauan
yang cukup. Hal ini membutuhkan infrastruktur terutama sumber air. Dinas Peternakan
Kabupaten Belu menyiapkan lahan seluas 500 Ha di setiap kecamatan, sehingga total 6.000 ha.
Sistem pemeliharaan sapi umumnya dilepas tidak dikandangkan. Sumber pakan baru
mengandalkan rumput dari padang gembalaan. Populasi sapi di Kabupaten Belu saat ini sekitar
68 ribu ekor, sedangkan potensi wilayah mampu menampung hingga sekitar 150 ribu ekor,
apabila pakan tersedia. Persoalan teknis utama adalah padang penggembalaan yang semakin
berkurang dan kelangkaan sumber air terutama di bulan-bulan tertentu.
Dengan kondisi alam dan jumlah penduduk yang ada di NTT, jenis ternak yang layak
dikembangkan menurut masyarakat adalah sapi (khususnya sapi Bali yang memiliki daya
adaptasi tinggi) dengan sistem pemeliharaan dilepas sehingga tidak memerlukan waktu banyak
untuk kegiatan pemeliharaan. Selain itu ternak babi juga memiliki potensi untuk
dikembangkan, ternak ini tidak berbasis lahan namun membutuhkan modal untuk membeli
pakan konsentrat.
Upaya pengembangan wilayah perbatasan yang berorientasi ekspor, di wilayah perbatasan
NTT yang saat ini sudah berlangsung dan juga memiliki prospek untuk dikembangkan ke depan
adalah ekspor babi dan unggas ke wilayah RDTL. Saat ini sekitar 100 – 500 ekor babi dan
produk olahan telah diperdagangkan dari NTT ke RDTL. Dari sisi pemeliharaan, dan waktu
panen maupun kebiasaan mengelola dan mengkonsumsi, maka pengembangan ternak babi
memiliki prospek yang baik dan perlu mendapat dukungan. Saat ini sumber pakan konsentrat
untuk babi masih didatangkan dari Surabaya. Dukungan pemerintah dapat dilakukan dengan
memberikan subsidi biaya angkut pakan dengan memanfatkan kapal angkut ternak pada rute
Surabaya – Kupang yang saat ini kapal tersebut tidak mengangkut barang (kosong).
Operasional untuk pendistribusian pakan yang telah disubsidi tersebut ke peternak babi dapat
dilakukan dan atau menugaskan Perum Bulog. Untuk mendorong ekspor unggas (ayam) ke
RDTL, wilayah perbatasan NTT masih menghadapi kendala regulasi yang melarang unggas
ayam masuk ke RDTL dengan alasan masih belum bebas AI (Afian Influensa), padahal
kenyataannya saat ini Indonesia telah bebas AI. Untuk ini perlu dilakukan pendekatan
diplomatik/ekonomi antara pemerintah RI – RDTL. Faktor keamanan pangan bisa dijadikan
33
salah satu justifikasi dalam perundingan diplomatic, karena lokasi geografis yang berdekatan
memungkinkan produk ternak yang diimpor TDTL dari Indonesia lebih segar dibandingkan dari
Brazil.
Tabel berikut memaparkan siapa pelaku dan bagaimana karateristik kinerjanya dalam
setiap bidang aktivitas agribisnis peternakan di Kabupaten Belu.
Tabel 16. Pelaku dan karakteristik yang telah terlibat dalam sistem agribisnis peternakan di Kabupaten Belu, 2017
Bidang kegiatan agribisnis Pelaku Karakteristik
1. Penyediaan bibit ternak
Pemerintah, komunitas, dan pasar
Peternak memperoleh bibit ternak dari bantuan pemerintah, serta membeli sendiri dari komunitas dan pasar ternak
2. Penyediaan pakan Peternak secara individual
Model penggembalaan ektensif, dimana ternak dilepas di padang penggembalaan, dan sebagian intensif di perkandangan
3. Penyediaan sarana produksi (obat-obatan)
Pemerintah, kios, kelompok tani, dan komunitas
Peternak membeli obat-obatan dari kios sarana produksi dengan panduan mantri ternak
4. Usaha ternak (on farm) Peternak individual dan kelompok tani
Usaha ternak dilakukan secara individual, oleh masing-masing peternak
5. Penyediaan teknologi Penyuluh pertanian dan mantri ternak
Teknologi pakan dan kesehatan ternak mengandalkan kepada mantri ternak
6. Pengolahan Petani individual skala rumah tangga
Hampir tidak ada kegiatan pengolahan produk ternak sapi, kecuali daging asap (sei) namun dengan skala kecil
7. Pelayanan informasi pasar Mantri ternak dan pedagang
Informasi berkenaan dengan harga bibit dan ternak hasil penggemukan diperoleh dari pedagang dan komunitas
8. Pemasaran dalam negeri Pedagang pengumpul di desa, dan pedagang di pasar ternak
pedagang pengumpul pro aktif membeli ternak langsung ke desa-desa
9. Pemasaran ekspor Pedagang di pasar tradisional, dan pembeli (individual) langsung dari
Belum ada eksportir khusus ternak ke RDTL, hanya dibeli secara ilegal, karena seharusnya tidak boleh mengantar negarakan ternak hidup. Produk ternak yang banyak masuk ke
34
RDTL RDTL adalah ayam potong, ayam hidup, dan babi hidup, serta produk daging asap (sapi dan babi)
Sumber : data primer, 2017
Tabel 17. Kapasitas kelembagaan pelaku utama agribisnis sapi di Kabupaten Belu serta kelembagaan pendukung untuk pengembangan lumbung pangan perbatasan ke depan, 2017
Pihak Kebutuhan untuk pengembangan
1. Petani peternak Peternak secara individual membutuhkan berbagai pengetahuan beternak mulai dari teknologi bibit, pakan, kesehatan ternak, dan reproduksi
2. Organisasi petani Kelompok tani ternak membutuhkan pendampingan serta pelatihan
3. Pedagang ternak (swasta)
Membutuhkan dukungan legalitas kelembagaan sehingga menjadi pelaku formal, terutama untuk kebutuhan ekspor ternak ke RDTL
4. Pemerintah (Dinas Peternakan)
Dukungan pembiayaan anggaran, serta pengembangan SDM
5. Mantri ternak dan penyuluh pertanian
Dukungan pelatihan, koordinasi, serta sarana dan prasarana kerja (operasional lapang)
Sumber : Dirumuskan dari data primer, 2017
3.3.1.2. Pengembangan Produksi dan Ekspor Jagung di Kabupaten Malaka
Dalam konteks pengembangan lumbung pangan, pemerintah telah mentargetkan
jagung sebagai salah satu komoditas unggulan di kabupaten, yaitu pengembangan seluas 10
ribu ha. Jagung ditanam hampir sepanjang tahun di Kabupaten Malaka, dimana ada lahan yang
sampai dua kali berturut-turut ditanami jagung. Sampai bulan Juni 2017, telah berhasil ditanami
seluas 3600 ha. Masayarakat menanam baik jagung hibrida maupun komposit. Pengembangan
jagung yang cukup luas ini agak mengkuatirkan dalam pemasarannya. Sampai sekarang
pemasaran jagung baru berlaku di dalam negeri, sedangkan ke Timor Leste masih terbatas.
Perusahaan pakan yang besar belum tersedia, meskipun ada rencana pembangunan pabrik
pakan di sekitar kota Kupang.
Usahatani jagung telah memasyarakat di Kabupaten Malaka yang cenderung lebih basah
dibanidngkan dengan Belu. Namun, permasalahan pengembangan jagung yang dihadapi di
antaranya adalah suplai dan mutu benih yang masih terbatas dan belum kontinyu, dan
ketersediaan sumber air. Selain jagung, pemerintah juga mengembangkan komoditas
hortikultura sayuran yang sesungguhnya juga berpotensi eskpor. Bawang putih telah
35
dikembangkan di daerah Lamaknen, sedangkan bawang merah di desa Ainiba kecamatan
Fatuketi. Perdagangan komoditas ini ke Timor Leste sudah berlangsung namun masih terbatas.
Pelaku dan kinerja nya dalam agribisnis jagung selama ini dipaparkan pada tabel
berikut. Dalam sistem yang berlangsung, terjadi relasi yang kuat antar berbagai pihak,
mencakup petani, kelompok tani, pemerintah dan swasta.
Tabel 18. Pelaku dan karakteristik yang telah terlibat dalam sistem agribisnis jagung di Kabupaten Malaka, 2017
Bidang kegiatan agribisnis Pelaku Karakteristik 1. Penyediaan benih
Pemerintah, komunitas, dan pasar
Selama ini, petani memperoleh benih dari pemerintah, membeli sendiri dari kios, atau menggunakan benih sendiri (jagung komposit)
2. Penyediaan sarana produksi (pupuk dan obat-obatan)
Pemerintah, kios, kelompok tani, dan komunitas
Petani membeli pupuk subsidi, serta obat-obatan dari kios
3. Usaha tani (on farm) Petani secara individual
Usaha tani dilakukan secara individual oleh masing-masing petani, tidak ada corporate farming atau collective farming
4. Penyediaan teknologi Penyuluh pertanian dan petani lain
pengetahuan tentang teknologi usahatani berasal dari PPL atau dari sesama petani
5. Pengolahan jagung Rumah tangga tani
Pengolahan jagung hanya untuk pangan, dilakukan secara individual pada masing-masing rumah tangga
6. Pelayanan informasi pasar Pedagang dan sesama petani
Informasi berkenaan dengan harga diperoleh dari pedagang dan komunitas
7. Pemasaran dalam negeri Pedagang pengumpul di desa
Pedagang pengumpul pro aktif membeli jagung langsung ke desa-desa
8. Pemasaran ekspor Pedagang di pasar tradisional, dan pembeli (individual) langsung dari RDTL
Belum ada eksportir khusus jagung ke RDTL. Pemasaran jagung ke Timor Leste lemah karena usaha peternakan belum berkembang disana. Justeru, masyarakat dari Timor Leste banyak membeli ayam potong dari daerah Malaka.
Sumber: data primer, 2017
36
Sedangkan pelaku kelembagaan agribisnis jagung dan komponen yang diperlukan untuk
pengembangan lumbung pangan ke depan, dirumuskan sebagaimana Tabel 18.
Tabel 19. Kapasitas kelembagaan pelaku utama agribisnis jagung di Kabupaten Malaka, serta kelembagaan pendukung untuk pengembangan lumbung pangan perbatasan ke depan, 2017
Pihak Kapasitas dan potensi untuk pengembangan ekspor 1. Petani Petani secara individual membutuhkan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan berusahatani jagung, terutama menghadapi kekurangan air, waktu tanam, serta teknis berusahatani yang lain
2. Organisasi petani Kelompok tani membutuhkan pendampingan serta pelatihan dalam usahatani jagung
3. Pedagang pengumpul Membutuhkan dukungan legalitas kelembagaan sehingga menjadi pelaku formal, terutama untuk kebutuhan ekspor jagung ke RDTL
4. Pemerintah (Dinas Pertanian)
Dukungan pembiayaan anggaran, serta pengembangan SDM
5. Penyuluh pertanian Dukungan pelatihan, koordinasi, serta sarana dan prasarana kerja (operasional lapang)
Sumber: Data Primer, 2017
Pertanaman jagung relatif menyebar di Kabupaten Malaka, dimana jagung sudah lama
menjadi sumber pangan utama masyarakat. Wilayah Malaka sebagian besar berupa dataran
rendah dengan topografi bergelombang sampai berbukit. Sumber daya air menjadi pembatas
utama pengembangan pertanian pangan. Sebagian memiliki air yang cukup, namun banyak
yang hanya mengandalkan lahan kering dengan sumber air terbatas.
3.3.2. Estimasi Peningkatan Produksi dan Marketable Surplus Komoditas Utama
Pengembangan komoditas unggulan NTT dalam rangka menuju lumbung pangan
berbasis ekspor, sudah barang tentu dilakukan upaya pengembangan komoditas baik melalui
ekstensifikasi (penambahan luas areal untuk tanaman atau populasi untuk ternak) maupun
intensifikasi (program-program peningkatan produktivitas). Sasaran dari program tersebut
adalah peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal dan ekspor.
Penghitungan estimasi kapasitas ekspor komoditas utama di NTT (terutama di
Kabupaten Belu sebagai lokasi contoh) menggunakan data bersumber dari BPS (publikasi
Statistik NTT Dalam Angka 2016, untuk data luas tanam, produksi dan produktivitas dan jumlah
penduduk, dan Susenas untuk data konsumsi per kapita per tahun). Peningkatan produksi
37
dengan adanya berbagai program-program peningkatan produksi menggunakan asumsi yang
diupayakan mendekati realisasi yang mengacu pada program-program yang telah dan akan
dilaksanakan.
Untuk komoditas padi, dengan menggunakan data base tahun 2016, diasumsikan akan
terjadi peningkatan luas tanam padi masing-masing 5 % per tahun pada tahun 2017 sampai
dengan 2019; dan jumlah penduduk meningkat 2 % per tahun selama periode yang sama.
Dengan asumsi tersebut, maka surplus produksi diasumsikan akan dialokasikan untuk pasar
dalam negeri dan pasar ekspor dengan proporsi yang sama. Demikian pula untuk komoditas
jagung digunakan asumsi yang sama dengan komoditas padi
Untuk komoditas sapi potong, melalui program SIWAB akan terjadi penambahan
populasi sebanyak 20 ribu ekor per tahun sampai dengan akhir tahun 2019 dengan kapasitas
daya tampung populasi sapi sebanyak 150 ribu ekor. Rata-rata berat per ekor sapi diasumsikan
sekitar 400 Kg dan kandungan daging tanpa tulang sekitar 150 Kg per ekor, akan diperoleh
peningkatan produksi daging sapi jauh lebih besar dari kebutuhan konsumsi dan surplus akan
dialokasikan secara proporsional untuk pasar lokal dan ekspor.
Dengan asumsi-asumsi tersebut, diperoleh perhitungan hasil perkiraan surplus produksi
(marketable surplus) untuk tujuan pasar lokal (dalam negeri) dan ekspor seperti disajikan pada
Tabel 19.
Hasil perhitungan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa untuk komoditas padi/beras,
marketable surplus untuk alokasi ekspor dan pasar lokal baru terjadi akhir tahun 2017 dan
diikuti tahun-tahun berikutnya namun dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Untuk komoditas
jagung dan sapi akan dapat dilakukan ekspor mulai tahun 2017 dan seterusnya dengan jumlah
yang cukup besar. Skenario hasil perhitungan pada Tabel 19 tersebut akan terjadi apabila
asumsi-asumsi yang dihunakan dalam perhitungan ini dipenuhi.
Tabel 10. Estimasi marketable surplus komoditas utama NTT untuk tujuan pasar lokal dan eskpor, 2016-2019
Kondisi dan orientasi Kondisi
tahun 2016
Tahun
2017
Tahun
2018
Tahun
2019
Padi Luas tanam (ha) 6.166 6.474 6.798 7.138
Produktivitas (ton/ha) 4,81 5,05 5,30 5,57
Produksi gabah (ton) 29.640 32.698 36.050 39.745
Produksi beras (ton) 18.596 20.515 22.618 24.936
Jumlah penduduk 204.541 208.632 212.804 217.061
Konsumsi (kg/kap/th) 94,82 94,82 94,82 94,82
38
Kebutuhan konsumsi sendiri
(ton)
19.395 19.782 20.178 20.582
Surplus utk pasar DN -399 366 1,220 2,177
Surplus utk Ekspor -399 366 1,220 2,177
Jagung Luas tanam (ha) 10.883 15.883 27.283 28.647
Produktivitas (ton/ha) 3,34 3,51 3,68 3,87
Produksi (ton) 36.377 55.702 100.466 110.763
Jumlah penduduk 204.541 208.632 212.804 217.061
Konsumsi (kg/kap/th) 24,02 24,02 24,02 24,02
Kebutuhan konsumsi sendiri
(ton)
4.913 5.011 5.112 5.214
Surplus utk pasar DN 31.464 25.345 47.677 52.775
Surplus utk Ekspor 25.345 47.677 52.775
Sapi Populasi (ekor) 56.377 76.377 96.377 116.377
Produksi daging (ton) 8.457 11.457 14.457 17.457
Jumlah penduduk 204.541 208.632 212.804 217.061
Konsumsi (kg/kap/th) 0,52 0,52 0,52 0,52
Kebutuhan konsumsi daging
sendiri (ton daging)
106 108 111 113
Surplus utk pasar DN (ton
daging)
8.350,19 11.348 14.346 17.344
Surplus utk pasar DN (ekor
sapi)
10.437,74 14.185 17.932 21.680
Surplus utk Ekspor (ekor sapi) 10.437,74 14.185 17.932 21.680
Sumber : BPS (berbagai terbitan), diolah
3.3.3. Rancangan Kelembagaan Agribisnis Lumbung Pangan Berbasis Ekspor di Perbatasan
Pelaku agribisnis mencakup orang secara individu, organisasi individual (individual
organization), serta organisasi peng-koordinator. Dengan demikian, rancangan kelembagaan
sebagai jalinan relasi antar pelaku, mestilah mencakup seluruhnya. Struktur kelembagaan
menarasikan bagaimana rancangan antar individu dengan individu, individu dengan organisasi,
serta organisasi dengan organisasi. Rancangan juga mencakup satu area tertentu dan antar
pelaku, secara horizontal dan vertikal.
Secara umum, ada dua level organisasi petani pelaku agribisnis, yakni level individual
yang lebih kecil, serta level di atasnya yang menjalankan fungsi koordinatif dan melakukan
relasi dengan pihak luar. Di luar itu adalah organisasi yang merupakan pendukung untuk petani
(FAO, 2001). Ketiganya berbeda dan saling terpisah satu sama lain. Format kelembagaan yang
dimaksud disini adalah bagaimana struktur dan manajemen organisasi petani secara internal,
maupun relasi antar organisasi. Semuanya adalah dalam konteks organisasi formal.
Sebagaimana objek studi ini, maka basisnya adalah relasi, yaitu bagaimana menata relasi
39
sedemikian sehingga menjadi lebih mudah dan tertata. Petani harus menjalin relasi dengan
berbagai pihak, karena mereka membutuhkan pihak-pihak lain dalam menjalankan usahanya.
Mereka secara individu dan kelompok menciptakan, menjalankan, dan menjaga berbagai relasi
di sekitar dirinya untuk membantunya menjalankan usaha pertanian.
Dari sisi organisasi, ada tiga jenis organisasi perlu dibangun, yakni level organisasi
individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-group organization), dan
organisasi pendukung (supporting group). Pola pengelompokkan seperti ini sesuai dengan
pemilahan dalam kegiatan-kegiatan di lapangan oleh FAO (2001).
Menurut pedoman, bentuk-bentuk kelompoktani dapat berupa petani dalam satu
wilayah, satu desa atau lebih, serta berdasarkan domisili ataupun hamparan. Jenis kegiatan
yang dapat dijalankan kelompok tani relatif menyeluruh yakni: “…..tergantung kepada
kesempatan anggotanya. Dapat berdasarkan jenis usaha, unsur-unsur subsistem agribisnis
(pengadaan sarana produksi, pemasaran, pengolahan hasil pasca panen)”, ….. wahana kerja
sama dan unit produksi, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit pengolahan dan
pemasaran dan unit jasa penunjang” (Permentan No. 273 tahun 2007).
Tentang organisasi koordinator (inter-group organization), dalam berbagai literatur
berkembang apa yang sering disebut dengan inter-group organization (FAO, 2001), yakni suatu
organisasi yang berada di atas organisasi individual. Dalam literatur, Gapoktan merupakan jenis
organisasi yang dapat digolongkan sebagai “intergroup association”, “representatives of
groups”, atau “secondary level organization”. FAO (2001) menyebut ini dengan “Small Farmer
Group Associaton (SFGA)”, yang didefinisikan sebagai: “ … is a local-level, informal, voluntary
and self-governing association of small farmer groups (SFGs). It is created and financed by the
individual members of its affiliated groups to provide them with services and benefits that help
improve their economic and social conditions. This means that an SFGA is a "secondary level"
organization of small farmer groups.”
Dalam sebuah inter-group organization berlangsung pertukaran informasi, pelatihan,
menyatukan sumber daya, serta dapat pula mencapai skala usaha yang ekonomis. Mereka
dapat membeli input menjadi lebih murah, memiliki daya tawar yang lebih kuat dalam
memasarkan produk, dan dapat pula menyewa sarana transportasi. Selain memperkuat relasi
horizaontal, inter-group organization dapat pula menjembatani dengan organisasi lebih tinggi di
atasnya bahkan di level nasional yakni berupa National Coordinating Committee. Sampai saat ini
petani Indonesia belum memiliki organisasi yang seperti ini di level nasional.
40
Di lokasi studi, organisasi peng-koordinasi ini adalah Gapoktan, sedangkan koperasi
tidak ditemukan. Definisi Gabungan Kelompoktani dalam Permentan 273/2007 adalah “…
kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan
skala ekonomi dan efisiensi usaha”. Organisasi koordinator adalah sebuah organisasi yang
posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator,
menyatukan kegiatan dan sumberdaya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala
kebutuhan organisasi ke luar. Ia menjadi koordinator dan mewakili semua kelompok tani di satu
desa. Jika kelompok tani anggota adalah petani sebagai individu, sedangkan anggota Gapoktan
adalah kelompok-kelompok tani tersebut.
Organisasi koordinator harus mampu menjalankan banyak peran (managing multiple
services), karena posisinya yang melayani banyak kebutuhan internal dan sekaligus untuk
urusan eksternal kelompok-kelompok tani satu desa. Untuk membagi-bagi tugas, maka perlu
dibentuk kelompok-kelompok (task groups) atau sebuah service committees, dengan tugas
yang berbeda. Akan lebih ideal bila posisi diisi oleh perwakilan tiap-tiap kelompok tani.
Bagaimana kerjasama antar organisasi koordinator yang ada di wilayah lain, perlu pula
difikirkan.
Ada banyak pihak di luar petani yang terkait dengan ini, misalnya adalah petugas
pendamping dan pelaksana program dari Dinas Pertanian, petugas penyuluhan, pendamping
program lain yang bekerja sesuai dengan masa kegiatan, serta dari LSM. Sampai saat ini,
organisasi mereka terpisah satu sama lain. Mereka bekerja sesuai dengan arahan dari
organisasinya masing-masing, menyusun sendiri jadwal kerja dan pendekatannya. Agar lebih
efektif, semestinya mereka bergabung dalam satu tim yang dalam berbagai literatur disebut
dengan “supporting group” atau “group promoters”. Karena saling terpisah, maka masing-
masing memiliki aktivitas sendiri yang akibatnya tidak terkoordinasi. Untuk pengembangan
wilayah perbatasan sebagai lumbung pangan, perlu ada satu kelembagaan lintas instansi untuk
mendapatkan komunikasi yang lebih baik. Di tingkat pusat telah ada Badan Nasional Pengelola
Perbatasan (BNPP), namun belum diakomodasi secara memuaskan di daerah.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa seluruh subsistem agribisnis perlu mendapat perhatian,
dengan berbagai peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaannya. Dalam hal lalu lintas barang
antar negara, perdagangan lintas batas telah berlangsung secara tradisional terkait dengan
basis interaksi kekeluargaan antara penduduk di wilayah perbatasan kedua negara. Dalam
41
interaksi ini masing-masing pihak saling berkirim barang-barang kebutuhan pokok dalam jumlah
yang terbatas untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Tabel 21. Rancangan kelembagaan pengembangan produksi pangan (ternak sapi dan jagung) untuk kebutuhan konsumsi dan ekspor di wilayah perbatasan, 2017
Aspek Subsistem Pendukung
Subsistem Onfarm
Subsistem Pengolahan
Subsistem Pemasaran
Pelaku − Kios sarana produksi
− Koperasi tani level desa (penyedia jasa saprotan)
- Kelompok tani
- Gapoktan
- Badan Usaha Milik Petani
- Koperasi tani
- Koperasi tani level desa (jasa pengolahan
- Badan Usaha Milik Petani
- Pabrik pakan
- Koperasi tani level kabupaten (usaha perdagangan)
- Badan Usaha Milik Petani
- Eksportir terdaftar
Peran -penyediaan sarana dan prasarana produksi
-Usahatani jagung dan sapi dengan teknologi inovasi
-Pengolahan jagung menjadi pakan ternak
-Melakukan ekspor ke RDTL
Layanan pendukung
-Dinas pertanian
-Dinas PU
-Penyuluhan pertanian
-Balai Penyuluhan
-Pendidikan dan pelatihan petani dan petugas
-Penyuluhan pertanian
-Balai Penyuluhan
-Pendidikan dan pelatihan petani dan petugas
-Data dan informasi demand negara pengimpor
- Bea cukai
-Pos lintas batas
Kebutuhan untuk pengembangan
-Peningkatan prasarana irigasi, farm road, dll
-Ketersediaan sarana produksi berdasarkan jumlah, kualitas, dan mutu
-Sistem penyediaan sarana produksi yang lebih efektif
-Peningkatan teknologi usahatani -Peningkatan produktivitas usahatani -Pengembangan usaha tani secara kolektif dalam kelompok tani
-Pelatihan berbagai bentuk pengolahan pangan (terutama jagung menjadi pakan) -Penerapan teknologi pengolahan pangan -Pengembangan kelembagaan untuk pengolahan pakan dan pangan
-Peningkatan ekspor ke RDTL secara legal -Pengembangan kelembagaan petani untuk ekspor (koperasi dan BUMP)
42
Selain relasi non pasar ini, transaksi jual beli juga terjadi di pasar lokal perbatasan
dengan waktu pasar tertentu. Selain perdagangan lintas-batas, kegiatan perdagangan tidak
resmi antar penduduk kedua negara dilakukan melalui jalan masuk tidak resmi (jalan setapak,
sungai, laut). Cakupan komoditas, jumlah dan nilai yang diperdagangkan tidak diketahui
karena tidak melalui pos bea cukai maupun pos karantina. Dalam hal aktivitas perdagangan,
tidak ada Perda yang mengatur barang masuk dan keluar. Pengamatan di pasar-pasar
tradisional dan wawancara dengan pelaku perdagangan, mendapatkan lebih banyak arus
ekspor dibandingkan impor. Impor yang agak rutin adalah untuk sapi serta minuman kaleng,
serta berbagai produk kehutanan termasuk kopi.
3.4. Rencana Pengembangan Padi dan Model Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani di Kawasan Perbatasan Kabupaten Sanggau Kabupaten Sanggau merupakan salah satu wilayah perbatasan yang menjadi prioritas
pengembangan pertanian dan diharapkan dapat menjadi penghasil pangan nasional. Lokasi
yang strategis di wilayah perbatasan memungkinkan Kabupaten Sanggau menjadi penghasil
sekaligus garda terdepan untuk ekspor pangan nasional utamanya beras. Terkait dengan hal
tersebut, perlu dilakukan kunjungan, audiensi dan diskusi dengan para pemangku kepentingan
mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa sekaligus untuk memetakan
wilayah yang potensial untuk pengembangan pangan serta komoditas lainnya di Kabupaten
Sanggau. Kunjungan dan pemetaan wilayah di Kabupaten Sanggau dilakukan di tiga Kecamatan
yaitu Kecamatan Entikong, Kecamatan Sekayam, dan Kecamatan Kembayan. Fakta hasil
kunjungan lapang ke Kalimantan Barat, Kecamatan Entikong, Kecamatan Sekayam, dan
Kecamatan Kembayan Kabupaten Sanggau dan saran tindak lanjut disampaikan sebagai
berikut.
3.4.1. Kondisi Pertanian Lokasi Pengembangan
Di desa Nekan, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, luas hamparan sawah di desa
sekitar 8 Ha dengan kondisi irigasi semi teknis. Tanaman padi sudah biasa diusahakan oleh
petani di Desa Nekan, dimana varietas padi yang biasa ditanam adalah: Ciherang, Inpari 7, dan
Cisadane dengan tingkat produktivitas sekitar 6 – 7 ton/ha (hasil ubinan) dan dengan hasil riil
antara 3,5 – 4 ton/ha GKP. Sistem tanam umumnya menggunakan sistem tanam semai kering.
Pemupukan yang diterapkan paket komplit dengan pengolahan lahan sempurna. Pola tanam
yang diterapkan adalah pola tanam Hazton dengan jarak tanam 25 cm dengan IP sudah
mencapai 200. Tanam padi dilaksanakan pada bulan Oktober – November kemudian tanam
43
kedua dilakukan pada bulan April. Setelah panen padi, umumnya lahan ditanami dengan kacang
tanah. Pemasaran padi dipasarkan di sekitar Sekayam, Entikong dan Malaysia. Untuk kacang
tanah bisa dipasarkan di Sanggau, Sintang dan Seriyan. Potensi yang lain ada tanaman karet
dan lada. Di Desa Nekan terdapat 3 kelompok tani yang berada pada di wilayah tersebut yaitu:
(1) Poktan Sungai Suban, (2) Poktan Sungai Sepinang, dan (3) Poktan Gunung Sinyang.
Gambar 2. Hamparan Sawah di Desa Nekan, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau
Di dusun Rintau, Desa Bungkang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, luas
hamparan sawah total 320 ha, luas yang teririgasi 100 ha, untuk perikanan 8 ha, dan luas
areal untuk komoditas hortikultura dan palawija seluas 20 ha dimana jenis tanaman yang umum
diusahakan adalah sayuran hijau, cabai, tomat, Jagung). Varietas padi yang umum digunakan
petani setempat adalah Inpari 24 dan Inpara 2.
Di dusun ini pernah dilakukan demplot dengan paket pemupukan lengkap untuk luasan
1 (satu) hektar dengan dosis pemupukan sebagai berikut: Kompos 3 ton, Urea 200 kg, NPK 300
kg, SP 100 kg, KCL 50 kg, dan Pupuk cair 6 Liter. Dengan dosis pemupukan seperti itu
diperoleh hasil ubinan 14,04 ton/ha dengan produktivitas real sebesar 9,7 ton/ha gabah kering
panen. Sedangkan yang ditanam oleh sebagian besar petani di desa ini adalah dengan cara
pemupukan sesuai kemampuan petani dengan pola tanam jarwo hazton diperoleh hasil dengan
produktivitas ubinan: 6,7 ton/ha dan produktivitas riil sebesar 3,9 ton/ha gabah kering panen.
IP di wilayah ini sudah mencapai 300. Namun demikian masih ada gangguan hama/gulma
yang menyerang tanaman padi di wilayah ini adalah walang sangit dan tikus. Di Dusun Rintau
terdapat dua Kelompok Tani (KT) yaitu KT Maju Terus dan KT Sejahtera Bersama. Sedangkan
di seluruh Desa Bungkang terdapat 13 KT.
44
Gambar 3. Hamparan sawah di Dusun Rintau, Desa Bungkang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau.
Di desa Tunggal Bhakti, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, luas hamparan
sawah di desa ini seluas 85 ha dimana potensi satu desa mencapai 124,5 ha; luas kebun cabai :
4 - 5 ha, dan luas tanaman hortikultura yang lainnya 8 -10 ha. Untuk komoditas padi, varietas
yang umum digunakan petani adalah Ciherang, Cibogo, IR 64, inpari 8/10, dan MSP. Pola
tanam yang umum diterapkan petani adalah jarwo 5:1, hazton 3:1 dan 2:1 dengan jarak tanam
berkisar antara 25-50 cm. Pupuk yang biasa digunakan adalah pupuk organik dan NPK cair. IP
sudah 200 dengan produktivitas 4 ton/ha. Gangguan hama/gulma : jamur, blast leher dan
kuda, wereng, ulat dan tikus
Irigasi yang ada saat ini dalam kategori sawah tadah hujan, walau sebenarnya ada
bendungan namun air tidak sampai di areal sawah masyarakat, karena aluran yang
bocor/rusak, serta pendangkalan bendungan sehingga debit air yang terbatas. Apabila
dilakukan perbaikan saluran serta pengerukan bendungan maka areal sawah yang dapat diairi
dan ditanami padi di wilayah ini cukup besar. Dengan kata lain potensi lahan sawah yang ada
dapat dioptimalkan dan indeks pertanaman bisa ditingkatkan.
Ketersediaan alsintan di desa ini adalah: Alat tanam (transplanter)1 buah; Alat panen
(Harvester) 1 buah; Traktor 11 buah,; dan RMU 2 buah. Saat ini di Desa Tunggal Bakti
terdapat 1 (satu) Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dengan 6 Kelompok Tani, dimana 5 KT
dan 1 Kelompok Wanita Tani. Telah adanya kelompok tani dan juga tersedianya beberapa alsin
di desa ini merupakan modal awal yang dapat dioptimalkan dan dikembangkan serta dikuatkan
untuk menjadi kelembangan ekonomi petani yang memenuhi skala ekonomi, berdaya saing dan
berperan aktif melayani kebutuhan petani mulai dari hulu sampai hilir.
45
Gambar 4. Hamparan Sawah di Desa Tunggal Bakti, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau
3.4.2. Rencana Pengembangan Padi di Kabupaten Sanggau
Hasil diskusi dengan para pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten,
kecamatan/desa dan pengurus/anggota kelompok tani di lokasi kunjungan menunjukkan bahwa
pemerintah daerah dan masyarakat setempat sangat antusias untuk mendukung dan
melaksanakan pengembangan wilayah perbatasan sebagai lumbung pangan dan pemasok
pangan khususnya beras tidak hanya untuk kebutuhan sendiri tetapi sekaligus pemasok pangan
negeri tetangga dalam hal ini Malaysia. Potensi wilayah untuk pengembangan padi tersedia,
aparat dan masyarakat sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Sanggau siap mendukung, maka
upaya yang perlu disiapkan dalam jangka pendek dan jangka panjang perlu segera dirumuskan
untuk dapat disepakati dan dilaksanakan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing
pihak.
Saat ini pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Sanggau bersama
SKPD terkait di masing-masing wilayah sedang menyusun dan memetakan lokasi besaran
luasan eksisting, luasan yang masih potensial, status lahan masing-masing luasan untuk segera
memberikan informasi luasan mana yang perlu dikoordinasikan oleh Mentan ke Kemen LHK jika
diperlukan. Dari 50 ribu ha yang direncanakan, minimal MT tahun 2017 seluas 14 ribu ha
disiapkan untuk bisa ditanam padi musim MH 2016/17. Pemetaan kawasan, lahan yang
statusnya clear and clean, 50 ribu ha untuk total areal pertanian, (padi, jagung, lada, dll) untuk
padi dan jagung sementara menjadi fokus, bukan berarti komoditas lain tidak diperhatian.
Dalam jangka panjang perlu disusun blueprint untuk pengembangan kawasan yang modern dan
handal.
46
Dengan potensi areal yang tersedia, apabila wilayah ini akan dijadikan wilayah pemasok
beras untuk kebutuhan sendiri sekaligus sumber ekspor, maka selain masalah teknis (teknologi
budidaya, penyediaan sarana produksi, dan prasarana jalan), penanganan masalah
kelembagaan pengembangan pertanian perlu diperhatikan. Untuk itu, telah disusun draft awal
rancangan kelembagaan melalui pengembangan Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP).
3.4.2. Rancangan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani di Kawasan Perbatasan
Dalam jangka panjang perlu disusun blueprint untuk pengembangan kawasan yang
modern dan handal. Dengan potensi areal yang tersedia, apabila wilayah perbatasan akan
dijadikan wilayah pemasok beras untuk kebutuhan sendiri sekaligus sumber ekspor, maka selain
masalah teknis (teknologi budidaya, penyediaan sarana produksi, dan prasarana jalan),
penanganan masalah kelembagaan pengembangan pertanian perlu diperhatikan. Untuk itu,
telah disusun draft awal rancangan kelembagaan melalui pengembangan Kelembagaan
Ekonomi Petani (KEP)
Kerangka kelembagaan KEP yang disajikan pada Gambar 5 diuraikan sebagai berikut
Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian, 2017.
Gambar 5. Kerangka Model Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani
Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) pada Dasarnya dilakukan melalui
pengembangan kapasitas kelembagaan petani yang diarahkan untuk meningkatkan skala
ekonomi, efisiensi usaha, dan posisi tawar. Pengembangan KEP dapat dilakukan melalui
penguatan kelembagaan Kelompok Tani/Gapoktan menjadi Kelembagaan ekonomi petani
(Badan Usaha Milik Petani/BUMP). Kelembagaan ekonomi petani tersebut bisa berupa Koperasi
47
ataupun Badan Usaha lainnya yang berbadan hukum. Melalui KEP tersebut diharapkan
pengembangan komoditas di lokasi pengembangan dapat memenuhi skala ekonomi, berdaya
saing, dapat dijadikan sebagai wadah investasi, pengembangan entrepreneur, sistem
pengelolaan secara bersama, dan pengembangan usaha berbasis informasi teknologi (IT).
Sistem kerja KEP akan melibatkan berbagai stakeholder dengan fungsinya masing-
masing, baik akademisi, swasta, pemerinah dan lembaga penelitian. Peran Pemerintah
(Kementan, Kemen PDT, Kemenkop, Kemendag) dalam hal ini adalah terkait dengan regulasi,
fasilitasi prasarana dan sarana serta mengadakan pelatihan. Swasta dan BUMN akan
berkontribusi khususnya dalam pembiayaan CSR perusahaan dan perbankan, pemasaran, dan
sarana prasarana. Lembaga Penelitian (Balitbangtan, PT, Akademisi, Profesional lainnya) akan
berperan dalam penyedia teknologi) yang didukung oleh pengawalan dan pendampingan oleh
penyuluh. Mekanisme kerja KEP diuraikan seperti pada bagan berikut.
Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian, 2017
Gambar 6. Alur dan Sistem Kerja Kelembagaan Ekonomi Petani
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
48
Kondisi dan potensi permintaan pangan dan kondisi pasar di wilayah perbatasan NTT - RDTL
1. Secara umum neraca perdagangan Indonesia dengan RDTL surplus. Seluruh kebutuhan
penduduk RDTL 90% dipenuhi dari Indonesia, tetapi yang melalui NTT terbatas karena
sebagian besar melalui Surabaya (langsung dari Surabaya ke Dili). Komoditas pangan utama
produksi kabupaten Belu dan Malaka adalah padi dan jagung. Untuk padi, keseimbangan
neraca produksi dan konsumsi secara umum di NTT, termasuk kabupaten Belu dan Malaka,
masih defisit. Namun untuk komoditas jagung, terjadi surplus yang cukup tinggi. Sedangkan
untuk komoditas ternak yang dominan adalah sapi potong dan babi. Selain padi, jagung dan
sapi, komoditas pertanian yang saat ini gencar dikenalkan dan dipacu produksinya, untuk
tujuan ekspor adalah bawang merah.
2. Sampai saat ini, ekspor komoditas pertanian dari NTT ke RDTL secara resmi yang tercatat di
Bea cukai sangat sedikit bahkan tidak ada. Namun terdapat lalu lintas komoditas pertanian
media pembawa Opt/Optk dari NTT ke RDTL yang tercatat oleh Balai Karantina maupun
melalui perdagangan tidak resmi antar penduduk lintas batas. Sebaliknya terdapat impor
komoditas pertanian NTT dari RDTL, terutama untuk kopi, rempah-rempah, sayuran dan
buah-buahan.
Pola perdagangan lintas batas komoditas pangan di wilayah perbatasan ke negara tetangga
3. Selain perdagangan ekspor impor yang tercatat di bea cukai, pola perdagangan antar
penduduk lintas batas berlangsung secara tradisional. Transaksi jual beli terjadi di 10 pasar
lokal perbatasan yang dibuka seminggu sekali atau pada hari-hari tertentu. Transaksi
menggunakan mata uang dollar US atau dikonversi ke dalam mata uang rupiah. Warga RDTL
umumnya membeli berbagai barang kebutuhan pokok seperti sembako, ikan asin, dsb,
sedangkan warga RI di perbatasan dengan RDTL membeli berbagai jenis produk minuman
jadi dari pasar di RDTL.
4. Perdagangan secara tidak tercatat dan tidak resmi di pasar tradisional dan lintas batas lain
terjadi karena beberapa faktor : (a) perbatasan antara RI dengan RDTL sangat panjang,
banyak lintas batas tradisional yang telah dikenal, (b) jumlah hasil pertanian yang dijual
sedikit, dan jarak yang cukup jauh dan biaya transportasi cukup mahal jika harus melalui
PLB resmi, (c) harga di tingkat konsumen di RDTL lebih tinggi daripada harga setempat,
sehingga mendorong aliran barang ke RDTL, (d) kehidupan perekonomian masyarakat
perbatasan NKRI–RDTL masih tergolong rendah, dan tuntutan kebutuhan rumah tangga
49
yang mendesak menyebabkan terjadinya kegiatan ekonomi illegal, (e) masyarakat di wilayah
berbatasan masih memiliki kesamaan garis keturunan, aktivitas saling mengunjungi sekaligus
untuk melakukan aktivitas ekonomi.
Model pengembangan system produksi, perdagangan, ekspor pangan dan kelembagaan di daerah perbatasan
5. Prospek pengembangan produksi komoditas padi, jagung dan daging sapi untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi lokal dan ekspor, untuk komoditas jagung dan sapi menunjukkan
prospek yang cukup baik dengan beberapa persyaratan tertentu, khususnya penyediaan
pakan untuk pengembagan sapi. Sedangkan untuk komoditas beras, masih diperlukan
upaya cukup besar dan waktu lebih lama untuk dapat mencapai target sebagai lumbung
pangan dan ekspor.
6. Model kelembagaan pengembangan produksi pangan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi
dan ekspor diwilayah perbatasan NTT dirancang mencakup pelaku subsistem dengan
perannya masing-masing yang dilengkapi dengan layanan pendukung dan rencana
kebutuhan untuk pengembangan, yaitu meliputi subsistem pendukung (kios, koperasi tani
dsb); Subsistem onfarm (Kelompok tani, Gapoktan, Badan Usaha Milik Petani); subsistem
pengolahan (pabrik pakan, dsb); serta subsistem pemasaran. Dari identifikasi subsistem
tersebut, seluruh subsistem agribisnis masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan, baik melalui
peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan serta sarana dan prasana agribisnis.
7. Pengembangan padi di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat sebagai lumbung pangan
berbasis ekspor memiliki peluang besar untuk ditingkatkan, yang didukung oleh areal
kawasan pengembangan yang cukup luas, enabling environment untuk melakukan ekspor ke
Malaysia, dan dukungan sarana prasana dari pemerintah khususnya melalui program
penyediaan alsintan dan sarana produksi. Model kelembagaan untuk mendukung
pengembangan kawasan untuk lumbung pangan berbasis ekspor yang dikembangkan adalah
Model Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) dengan modifikasi dan penyesuaian dengan
kondisi setempat.
4.2. Implikasi Kebijakan
1. Untuk mewujudkan lumbung pangan berorientasi ekspor di wilayah perbatasan NTT, maka
peningkatan kinerja sistem produksi pangan dan pengembangan ekspor perlu ditempuh
secara bersamaan.
50
2. Dengan mempertimbangkan potensi dan permasalahan sistem produksi pangan di wilayah
perbatasan NTT, maka karakteristik sistem produksi yang perlu diwujudkan adalah: (a)
handal, yaitu mampu meyediakan kebutuhan pangan untuk konsumsi sendiri maupun pasar
dan fleksibel dalam merespon gangguan produksi baik bencana alam maupun
ketidakpastian pasar; (b) inklusif, mampu memberikan pendapatan yang layak bagi semua
pelaku yang terlibat pada seluruh unsur rantai nilai; (c) kompetitif, mampu mencapai tingkat
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan, mencapai skala ekonomi, mengurangi
kehilangan/penurunan hasil dalam kuantitas dan kualitas dan mampu memenuhi preferensi
konsumen DN dan LN; dan (d) sensitif terhadap lingkungan, yaitu dapat menjaga,
mengurangi dan merehabilitasi dampak negatif terhadap lingkungan, serta berkontribusi
positif terhadap pelayanan jasa ekosistem.
3. Peningkatan kapasitas produksi pangan di wilayah perbatasan NTT dapat diupayakan antara
lain melalui: (1) optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan eksisting agar lebih produktif
melalui intensifikasi dan peningkatan intensitas tanam; (2) ekstensifikasi dengan
memanfaatkan lahan potensial yang masih tersedia; (3) pengembangan inovasi teknologi
pada seluruh unsur rantai pasok; (4) perbaikan tata kelola air irigasi secara berkelanjutan
dari hulu hingga hilir, pembangunan embung pemanen air, dan sumur pompa; dan (5)
fasilitasi kebutuhan sarana produksi seperti pupuk, benih, dan pestisida.
4. Pengembangan ekspor komoditas pangan dari wilayah perbatasan NTT memerlukan
langkah-langkah yang menyeluruh dan melibatkan berbagai stakeholder, yaitu: (a)
memperbaiki sistem logistik yang meliputi gudang, distribusi (jalan dan armada angkutan),
terminal handling, dan shipping untuk meningkatkan efisiensi perdaganga; (b) percepatan
pembangunan infrastruktur penunjang, revitalisasi pasar tradisional, pembangunan pusat
distribusi, serta membangun kelancaran konektivitas antar daerah dan antarsimpul logistik;
(c) meningkatkan jaringan informasi ekspor dan impor untuk merespon kebutuhan dunia
usaha, terutama eksportir kecil dan menengah; (d) menyederhanakan prosedur atau
perizinan di pusat dan daerah, termasuk prosedur dan dokumen ekspor impor di wilayah
perbatasan; dan (e) mengintensifkan diplomasi perdagangan dengan instansi terkait di
RDTL bersama-sama dengan pelaku usaha yang terlibat.
5. Mengingat secara umum neraca perdagangan NTT – RDTL masih deficit, maka untuk
pengembangan ekspor pangan wilayah perbatasan NTT perlu disusun dalam kerangka
kesatuan NKRI. Dalam hal ini wilayah perbatasan NTT dijadikan sebagai pintu gerbang
51
keluar untuk ekspor, sedangkan pangan yang diekspor bisa dipasok dari wilayah kabupaten-
kabupaten terdekat di NTT maupun dari wilayah lain Indonesia yang berdekatan.
6. Berdasar hasil perhitungan, di NTT untuk jagung dan sapi (dengan catatan asumsi-asumsi
dapat dipenuhi) menunjukkan prospek yang cukup baik dengan catatan ada penyediaan
pakan untuk pengembagan sapi. Sedangkan untuk komoditas beras, masih diperlukan upaya
cukup besar dan waktu lebih lama untuk dapat mencapai target sebagai lumbung pangan
dan ekspor. Namun demikian untuk menjadikan wilayah perbatasan NTT sebagai lumbung
pangan dan ekspor masih diperlukan dukungan sarana dan prasarana serta pendampingan
yang cukup intensif di seluruh mata rantai sub sistem agribisnis, dari hulu samai hilir.
7. Impor daging sapi, daging ayam dan minuman kaleng dari negara lain oleh RDTL merupakan
peluang pasar ekspor bagi Indonesia untuk bisa mengisi permintaan RDTL tersebut. Dalam
jangka pendek-menengah ekspor daging ayam dari sisi pasokan lebih feasible.
Tantangannya adalah Indonesia harus mampu memenuhi persyaratan sesuai standar yang
ditetapkan oleh RDTL. Saat ini untuk produk unggas khususnya ayam, RDTL mengikuti
standar yang berlaku di Australia. Untuk ternak babi, dalam jangka sangat pendek lebih
memungkinkan mengingat saat ini RDTL telah melakukan survei untuk mengidentifikasi dan
menentukan perusahaan - perusahaan yang bisa mengekspor babi ke RDTL.
8. Untuk perbatasan Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sanggau, mengingat cakupan
areal/kawasan pengembangan padi yang luas, maka kelembagaan ekonomi petani (KEP)
yang direncanakan dibentuk merupakan lembaga yang berbadan hukum (KEP berbentuk
Koperasi atau Badan Usaha Petani) tingkat kecamatan, dengan satu unit usahanya adalah
Jasa Alsin yang melayani pengolahan lahan petani. Untuk itu diperlukan pelatihan dan
pendampingan petani setidaknya untuk 3 hal yaitu: (1) Pengelolaan usahatani secara
kelompok mulai pengadaan sarana produksi, sistem produksi dan pemasaran; (2) Adopsi
teknologi untuk pengelolaan usahatani padi (organik); dan (3) Sosialisasi dan pemahaman
bahwa bantuan program pengembangan padi bersifat terbatas (waktu dan anggarannya)
dalam arti pada waktunya petani harus mampu mengembangkan padi (organik) tersebut
secara mandiri, orientasi komersial dan berkelanjutan.
9. Pasar output untuk hasil produksi pengembangan padi perlu dirumuskan secara baik sesuai
tujuan pasar untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, antar wilayah dan atau ekspor. Perlu
diidentifikasi potensi permintaan dan karakteristik beras yang dibutuhkan masing-masing
pasar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Untuk itu, diperlukan penelusuran dan kajian
52
cepat untuk memperoleh informasi pasar baik di tingkat lokal, wilayah domestik yang
potensial dan pasar ekspor.
Mengingat pengembangan padi di Kabupaten Sanggau selain ditujukan untuk beras kualitas
medium juga beras organik dan atau beras kualitas premium, maka persyaratan untuk
memperoleh sertifikasi beras organik atau beras berkualitas premium sejak awal sudah
harus dilakukan, diantaranya pencatatan histori pembukaan lahan, budidaya, panen, dan
pasca panen secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kelly S. 2012. Smallholder business models for agribusiness-led development: Good practice and policy guidance. Agribusiness Economist Rural Infrastructure and Agro-Industries Division (AGS). Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome, 2012
Scott RW. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.
Dwi Priyanto dan Kusuma Diwyanto. 2014. Pengembangan Pertanian Wilayah Perbatasan Nusa Tenggara Timur Dan Republik Demokrasi Timor Leste. Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian Vol. 7 No. 4 Desember 2014: 207-220
Kemitraan Bagi Pembaruan Tata PemerintahanKebijakan. 2011. Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Indonesia. Partnership Policy Paper No. 2/2011 Keputusan Menteri Pertanian No.215/Kpts/OT.050/3/ 2017 tentang Pengembangan Lumbung
Pangan Berorientasi Ekspor di Wilayah Perbatasan dalam rangka Membangun Lumbung Pangan melalui pendekatan kawasan terpadu.
Pusat Penyuluhan Pertanian. 2017. Upaya Percepatan Kegiatan Penyuluhan Pertanian Dalam
Pencapaian Program Tahun 2017. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementerian Pertanian.
53